kualitas silase tanaman jagung pada berbagai … · 3 hasil formulasi bahan pakan ransum ... sangat...
TRANSCRIPT
KUALITAS SILASE TANAMAN JAGUNG PADA BERBAGAI
UMUR PEMANENAN
SKRIPSI
PUTRI HIDAYAH
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
ii
RINGKASAN
PUTRI HIDAYAH. D24080345. 2012. Kualitas Silase Tanaman Jagung Pada
Berbagai Umur Pemanenan. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi
Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Dr. Despal, S.Pt., M.Sc.Agr
Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Ahmad Darobin Lubis, M.Sc
Tanaman jagung menghasilkan biji kaya kandungan energi dan hasil samping
yang berpotensi sebagai hijauan pakan. Ketersediaan tanaman jagung bergantung
pada musim sehingga perlu adanya teknik pengawetan yang dapat mengatasi
permasalahan akan ketersediaannya. Salah satu teknik pengawetan yang banyak
berkembang adalah silase. Salah satu faktor penentu kualitas silase adalah umur
tanaman. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kualitas silase tanaman jagung
pada berbagai umur pemanenan berdasarkan karakteristik fisik, fermentatif dan
utilitas silase.
Penelitian menggunakan tanaman jagung umur 60, 70, 80 dan 90 hari.
Perlakuan terdiri dari 5 yaitu SRK (Silase ransum komplit), SJ60 (Silase tanaman
jagung umur 60 hari), SJ70 (umur 70 hari), SJ80 (umur 80 hari) dan SJ90 (umur 90
hari). Peubah yang diamati meliputi karakteristik awal bahan (Proporsi tanaman,
kandungan BK, PK dan WSC awal), karakteristik fisik (aroma, warna, tekstur,
bagian terkontaminasi jamur), karakteristik fermentatif (pH, BK, kehilangan BK,
VFA, PK, NH3, kehilangan PK, residual dan kehilangan WSC dan nilai Fleigh) dan
karakteristik utilitas (konsentrasi NH3 dan VFA rumen, KCBK dan KCBO).
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dan rancangan
acak kelompok. Data yang berbeda nyata akan diuji lanjut menggunakan uji jarak
Duncan.
Hasil pengamatan karakteristik awal bahan menunjukkan tidak adanya
perbedaan pada aroma dan tekstur untuk ke empat silase tanaman jagung maupun
kontrol. Nilai pH setelah ensilasi menunjukkan SJ80 dan SJ90 lebih asam
dibandingkan silase lainnya. Kandungan BK setelah ensilasi menunjukkan SJ90
menghasilkan kandungan BK tertinggi sedangkan kandungan PK, SJ60
menghasilkan kandungan PK yang paling tinggi. Kandungan WSC setelah ensilasi
menunjukkan SJ60 menghasilkan residual WSC tertinggi. Pengukuran kualitas
berdasarkan nilai Fleigh (BK dan pH) menunjukkan SRK, SJ80 dan SJ90
dikategorikan sebagai silase yang berkualitas sangat baik.
Pada pengukuran karakteristik utilitas silase, konsentrasi NH3 rumen
menurun pada umur panen yang meningkat. Konsentrasi VFA rumen menghasilkan
konsentrasi yang tidak berbeda nyata (P>0,05) antar perlakuan. Hasil pengukuran
nilai kecernaan menunjukkan silase tanaman jagung umur yang lebih tua memiliki
nilai kecernaan tertinggi namun lebih rendah dari kontrol.
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa silase umur panen 80 hari
menghasilkan hasil yang paling optimal dilihat dari kandungan protein dan
karbohidrat silase yang dihasilkan.
Kata-Kata Kunci : Silase tanaman jagung, umur panen, kualitas.
iii
ABSTRACT
Quality of Whole Plant Corn Silage in the Different Harvest Age
P. Hidayah, Despal and A. D. Lubis
The objective of this 5 months research was to determine the optimum
harvest time of corn, through the physical, fermentative, and utility characteristics of
its whole-plant corn silage. Corns (Zea mays L) with different age (60 d,70 d,80 d,
and 90 d) were respectively harvested and separated by each part (Leave, stalk, cob,
kernel, and husk). Those parts were chopped (± 2cm) and mixed afterwards. The
amount of 2 kg of total mixed corn-plants were placed in plastic silo then ensiled for
5 weeks. Whole plant corn silage would be compared with total mixed ration silage.
Descriptive analysis of physical characteristics resulted indifferent for each silage.
Completely randomized design was used to analyze the fermentative data, showed
DM content increase but CP and WSC concentrations decrease as age advanced.
After ensiling, silages produced less DM losses and ammonia nitrogen, indicated
fermentation run well. Lower concentration of VFA can be explained by lower
soluble fermentation of lactate acid bacteria during ensilage. In vitro technique were
used to evaluate silage as diets in rumen by measure the VFA & NH3 rumen, DM &
OM digestibility. Ammonia in rumen were greater at early age than advanced age
whereas VFA concentrations showed insignificant. DM and OM digestibility at 90d
silage resulted the highest digestibility. The results showed that 80d corn silage was
the optimum age of harvest.
Keyword : Corn Silage, age of harvest, quality
iv
KUALITAS SILASE TANAMAN JAGUNG PADA BERBAGAI
UMUR PEMANENAN
PUTRI HIDAYAH
D24080345
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
v
Judul : Kualitas Silase Tanaman Jagung Pada Berbagai Umur Pemanenan
Nama : Putri Hidayah
NIM : D24080345
Menyetujui,
Pembimbing Utama,
Pembimbing Anggota,
(Dr. Despal, S.Pt, M.Sc.Agr)
(Dr. Ir. Ahmad Darobin Lubis, M.Sc)
NIP : 19701217 199601 2 001
NIP : 19670103 199303 1 001
Mengetahui:
Ketua Departemen,
Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan
(Dr. Ir. Idat Galih Permana, M.Sc.Agr)
NIP : 19670506 199103 1 001
Tanggal Ujian : 28 Juni 2012
Tanggal Lulus :
vi
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 4 Juni 1990 di
Bandar Lampung, Lampung. Penulis merupakan anak
ketiga dari lima bersaudara dari pasangan M. Isa dan
Rumyani. Penulis mengawali pendidikan usia dini pada
tahun 1994 hingga 1996 di Taman Kanak-Kanak Amarta
Tani Bandar Lampung. Pendidikan dasar diselesaikan pada
tahun 2002 di SD Al-azhar Bandar Lampung, Lampung.
Pendidikan lanjut tingkat pertama dimulai pada tahun 2002
dan diselesaikan pada tahun 2005 di SMP Negeri 4 Bandar Lampung. Penulis
kemudian melanjutkan pendidikan tingkat menengah atas di SMA Negeri 3 Bandar
Lampung dari tahun 2005 hingga 2008.
Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2008 melalui jalur
seleksi nasional masuk perguruan tinggi (SNMPTN) di Departemen Ilmu Nutrisi dan
Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan. Selama menjadi mahasiswa penulis aktif
dalam organisasi kemahasiswaan di IPB. Penulis aktif sebagai staf Kementerian
Kebijakan Kampus Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa IPB pada
tahun 2010 dan 2011 dan aktif di berbagai kepanitiaan tingkat fakultas dan tingkat
IPB.
Bogor, Juli 2012
Putri Hidayah
D24080345
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan hidayah-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kualitas Silase
Tanaman Jagung Pada Berbagai Umur Pemanenan”. Skripsi ini merupakan salah
satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan di Fakultas Peternakan,
Institut Pertanian Bogor.
Skripsi ini ditulis berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada
bulan November 2011 hingga Maret 2012 yang berlokasi di Laboratorium Nutrisi
Ternak Perah, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan,
IPB.
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kualitas silase tanaman jagung
berdasarkan karakteristik fisik, fermentatif dan utilitas silase dalam menentukan
umur panen optimum dalam pembuatan silase. Tulisan di dalamnya berisi tentang
informasi kualitas silase tanaman jagung berbagai umur panen.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini mungkin masih jauh dari kesempurnaan
namun demikian penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak.
Bogor, Juli 2012
Putri Hidayah
D24080345
viii
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN ....................................................................................... ii
ABSTRACT ......................................................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................... iv
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................. v
RIWAYAT HIDUP .............................................................................. vi
KATA PENGANTAR .......................................................................... vii
DAFTAR ISI ........................................................................................ viii
DAFTAR TABEL ................................................................................ x
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................ xi
PENDAHULUAN ................................................................................ 1
Latar Belakang ......................................................................... 1
Tujuan ...................................................................................... 2
TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 3
Tanaman Jagung ...................................................................... 3
Silase ........................................................................................ 5
Bakteri Asam Laktat .......................................................... 6
Silase Tanaman Jagung ............................................................ 7
Kualitas Berdasarkan Umur Tanaman Jagung ......................... 8
Kualitas Silase .......................................................................... 9
Kualitas Berdasarkan Karakteristik Fisik ...................... 9
Kualitas Berdasarkan Karakteristik Fermentatif .......... 10
Water Soluble Carbohydrate (WSC) ....................................... 12
Ammonia (NH₃) ....................................................................... 13
Volatile Fatty Acid (VFA) ........................................................ 14
Koefisien Cerna BK dan BO .................................................... 15
MATERI DAN METODE .................................................................... 16
Lokasi dan Waktu .................................................................... 16
Materi ....................................................................................... 16
Prosedur ................................................................................... 16
Pembuatan Silase .......................................................... 16
Kondisi Awal Bahan ..................................................... 17
Pengamatan Karakteristik Fisik ................................... 19
Pengamatan Karakteristi Fermentatif ............................ 19
Pengukuran pH ................................................... 19
Pengukuran BK silase ......................................... 19
Pengukuran VFA silase ....................................... 19
Pengukuran PK Silase ......................................... 20
ix
Pengukuran N-NH₃ Silase ................................... 21
Pengukuran WSC ................................................ 21
Pengukuran Nilai Fleigh ..................................... 22
Pengamatan Karakteristik Utilitas ............................... 22
Pengukuran NH₃ Rumen .................................... 22
Pengukuran VFA Rumen ..................................... 23
Pengukuran KCBK & KCBO ............................. 23
Rancangan Percobaan dan Analisa Statistik .......................... 24
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 26
Informasi Tanaman dan Kondisi Lingkungan........................... 26
Kondisi Awal Bahan ................................................................ 27
Karakteristik Fisik Silase ......................................................... 28
Karakteristik Fermentatif Silase ............................................... 30
Karakteristik Utilitas Silase ...................................................... 36
KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 39
Kesimpulan .............................................................................. 39
Saran ......................................................................................... 39
UCAPAN TERIMAKASIH ................................................................ 40
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... 41
LAMPIRAN ......................................................................................... 46
x
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1 Data Statistik Produksi dan Luas panen Tanaman Jagung ........... 3
2 Komposisi Zat Makanan Hasil Samping Tanaman Jagung ......... 4
3 Hasil Formulasi Bahan Pakan Ransum Komplit ......................... 17
4 Data Iklim Lokasi Tanam Tanaman Jagung ................................. 26
5 Hasil Pengamatan Proporsi Botani Tanaman Jagung .................... 27
6 Hasil Pengukuran Komposisi Kimia Sebelum Ensilasi ................ 28
7 Hasil Pengamatan Deskriptif karakteristik Fisik Silase .............. 29
8 Hasil Pengukuran pH, BK, VFA dan Kehilangan BK ................ 30
9 Hasil Perhitungan Kandungan dan Kehilangan BK Koreksi ....... 33
10 Hasil Pengukuran PK, N-NH3 dan Perombakan PK ................... 34
11 Hasil Pengukuran Residual dan Kehilangan WSC dan NF ........... 35
12 Hasil Pengukuran NH3, VFA rumen dan KCBK, KCBO ............ 37
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1 Hasil Sidik Ragam BK Sebelum Ensilasi ................................... 47
2 Hasil Sidik Ragam PK Sebelum Ensilasi ................................... 48
3 Hasil Sidik Ragam WSC Sebelum Ensilasi ................................ 49
4 Hasil Sidik Ragam pH ................................................................ 50
5 Hasil Sidik Ragam BK Setelah ensilasi........................................ 51
6 Hasil Sidik Ragam VFA Silase ................................................... 52
7 Hasil Sidik Ragam Kehilangan BK Silase .................................. 53
8 Hasil Sidik Ragam BK dan Kehilangan BK Koreksi ................. 54
9 Hasil Sidik Ragam PK Setelah Ensilasi ...................................... 55
10 Hasil Sidik Ragam N-NH₃ Silase ............................................... 56
11 Hasil Sidik Ragam Perombakan PK Silase ................................. 57
12 Hasil Sidik Ragam Residual dan Kehilangan WSC ................... 58
13 Hasil Sidik Ragam Nilai Fleigh .................................................. 59
14 Hasil Sidik Ragam NH₃ Rumen ................................................. 60
15 Hasil Sidik Ragam VFA Rumen ................................................. 61
16 Hasil Sidik Ragam KCBK .......................................................... 62
17 Hasil Sidik Ragam KCBO .......................................................... 63
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sumber daya hijauan yang melimpah tidak serta merta membuat penyediaan
hijauan berjalan tanpa kendala. Ketersediaan pakan hijauan tergantung pada
beberapa hal salah satunya adalah faktor musim. Hijauan akan berlimpah
ketersediannya ketika musim hujan, lalu mencapai titik sampai ketersediaannya
sangat rendah ketika musim kemarau. Fenomena ini menjadi alasan untuk
dilakukannya pengawetan pakan hijauan untuk memenuhi kebutuhan ternak serta
menjawab permasalahan kesinambungan penyediaan pakan.
Teknologi pengawetan pakan hijauan ternak yang banyak berkembang adalah
metode pengeringan dengan hasilnya yang disebut hay dan dengan fermentasi
anaerob dengan produknya yang dinamakan silase. Proses pembuatannya hay masih
bergantung pada musim karena membutuhkan sinar matahari berbeda dengan silase
yang kurang bergantung pada musim.
Proses pembuatan silase disebut ensilasi dengan menggunakan silo
(McDonald, 2002) yaitu wadah yang bisa dibuat dari tembok ataupun plastik yang
berlapis-lapis. Silase dibuat untuk meminimalisir kehilangan zat makanan dan
mengawetkan pakan sehingga dapat dimanfaatkan untuk waktu yang relatif lama.
Pengawetan pakan dengan silase dapat dilakukan untuk membantu peternak dalam
menyediakan hijauan pakan pada kondisi iklim yang tidak memungkinkan.
Pemanfaatan tanaman jagung sebagai bahan utama silase dapat dilakukan
untuk memenuhi kebutuhan ternak. Jagung merupakan tanaman yang banyak
diproduksi di Indonesia selain dimanfaatkan sebagai bahan pangan manusia juga
sangat bermanfaat bagi ternak sebagai sumber energi utama pakan ternak. Tanaman
jagung apabila dimanfaatkan bersama dengan biji sebagai silase akan menghasilkan
kandungan karbohidrat terlarut yang mencukupi untuk pertumbuhan bakteri selama
proses ensilasi.
Jumlah produksi jagung di Indonesia mencapai 17.230.172 ton pada tahun
2011 (Badan Pusat Statistik, 2011) dengan luas panen 3.869.855 ha. Sebagian besar
produksi tersebut digunakan untuk memenuhi konsumsi manusia dan ternak unggas
yang hanya memanfaatkan biji jagung.
2
Jagung mengandung hasil samping pertanian yang sangat bermanfaat bagi
ternak ruminansia. Hasil samping tanaman jagung meliputi daun, batang, klobot dan
tongkol. Tanaman jagung mengandung nilai nutrisi yang cukup baik terutama
karbohidratnya yang tinggi pada biji. Kandungan karbohidrat biji jagung dapat
memenuhi kebutuhan energi pada ternak sebagai konsentrat sedangkan daun, batang,
tongkol dan klobot merupakan sumber serat yang bisa dijadikan bahan alternatif
pengganti hijauan pakan ternak.
Penggunaan kombinasi bagian-bagian tanaman jagung menjadi bahan utama
pembuatan silase berpotensi menggantikan silase ransum komplit. Kualitas silase
tanaman jagung dan silase pada umumnya sangat dipengaruhi oleh jenis dan umur
tanaman, skala dan jenis silo.
Tujuan
Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi kualitas silase tanaman jagung
berdasarkan karakteristik fisik, fermentatif dan utilitas silase untuk menentukan umur
panen optimum dalam pembuatan silase.
3
TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Jagung
Tanaman jagung atau Zea mays termasuk ke dalam famili graminiae atau
rerumputan, kelas monokotiledon, genus Zea dan termasuk golongan spesies Zea
mays. Tanaman ini adalah tanaman C4 yang lebih produktif dibandingkan dengan
tanaman C3. Tanaman C4 dapat memanfaatkan energi matahari dengan efisiensi
yang lebih tinggi dibandingkan C3 sehingga dapat mensintesis karbohidrat lebih
baik. Tanaman jagung merupakan tumbuhan tropis namun dapat beradaptasi pada
iklim tropis maupun subtropis. Fase pertumbuhan tanaman jagung dibagi menjadi 3
tahap yaitu fase vegetatif (V), reproduksi (R) dan matang fisiologis (Lee, 2012).
Tanaman jagung akan optimal pertumbuhannya pada temperatur lingkungan
berkisar antara 23-27 ˚C dengan besaran kelembaban rata-rata 80%. Curah hujan
yang normal untuk menunjang pertumbuhan tanaman jagung adalah berkisar antara
80-200 mm. Pertumbuhan tanaman jagung dan perkembangan biji jagung juga
dipengaruhi oleh kedapatan akan sinar matahari yang optimal (Departemen
pertanian, 2011).
Di Indonesia produksi jagung tahun 2011 sebanyak 17.230.172 ton, dengan
sentra terbesar berada di propinsi Jawa Timur yaitu sebanyak 5.010.626 ton atau
berkisar 29,08% (Badan Pusat Statistik, 2011). Data produksi jagung di Indonesia
dari tahun 2007 sampai 2011 dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Data statistik Produksi dan Luas panen Tanaman Jagung di Indonesia.
Tahun Luas Panen (ha) Produksi (ton)
2007 3.630.324 13.287.527
2008 4.001.724 16.317.252
2009 4.160.659 17.629.748
2010 4.131.676 18.327.636
2011 3.869.855 17.230.172
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2011
Tanaman jagung merupakan tanaman yang banyak dimanfaatkan untuk
kebutuhan manusia dan ternak. Tanaman jagung merupakan tumbuhan pangan kedua
setelah padi (Umiyasih dan Wina, 2008). Biji jagung sampai saat ini masih dijadikan
4
bahan penyusun utama pakan ternak terutama dalam pemenuhan karbohidrat pada
ternak unggas. Umumnya penggunaan biji jagung pada ruminansia tanpa batasan,
tetapi jagung mengandung kadar protein yang rendah sehingga perlu disuplementasi
oleh bahan pakan berprotein tinggi dalam ransum (McDonald et al., 2002).
Hasil samping tanaman jagung yaitu daun, tongkol, batang dan klobot juga
dapat dimanfaatkan untuk pengganti hijauan pakan ruminansia (Parakkasi, 1995;
Umiyasih dan Wina, 2008). Daun jagung yang masih muda sudah banyak
dimanfaatkan peternak sebagai hijauan pakan ternak dan berpotensi sebagai
pengganti sumber serat hijauan khususnya pada saat ketersediaan rumput lapang
berkurang (Putra, 2011). Klobot dan tongkol jagung adalah sumber serat yang lebih
disukai ternak dibanding biji jagung (Parakkasi, 1995). Komposisi zat makanan hasil
samping tanaman jagung dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi Zat Makanan Hasil Samping Tanaman Jagung
Komposisi Kimia
(%BK)
Bagian
Dauna Batang
b Klobot
c Tongkol
b Biji
b
BK 81,43 80,00 91,41 90,00 88,00
TDN 48,51 59,00 54,29 48,00 88,00
PK 9,00 5,00 7,84 3,00 9,00
SK 29,44 35,00 32,25 36,00 2,00
Abu 17,00 7,00 3,23 2,00 2,00
Ca - 0,35 0,21 0,12 0,02
P - 0,19 0,44 0,04 0,30
Sumber: Anggraeny et al (2006)a; Preston (2006)
b; Furqaanida (2004)
c.
Hasil samping tanaman jagung bukan merupakan pakan yang berkualitas
tinggi dan tidak dapat mengoptimalkan pertumbuhan, produksi dan performa ternak
terkecuali ditunjang dengan ketersediaan bahan pakan sumber nutrisi lainnya.
Proporsi botani hasil samping tanaman jagung berdasarkan berat kering terdiri dari
50% batang, 20% daun, 20% tongkol dan 10% klobot (McCutcheon dan Samples,
2002). Batang jagung merupakan bagian yang paling sukar dicerna. McCutcheon dan
Samples (2002) melaporkan bahwa batang jagung memiliki kecernaan bahan kering
5
in vitro yaitu sebesar 51% dibandingkan dengan klobot, tongkol dan daun masing-
masing 68%, 60% dan 58%.
Silase
Silase adalah salah satu teknik pengawetan pakan atau hijauan pada kadar air
tertentu melalui proses fermentasi mikrobial oleh bakteri asam laktat yang disebut
ensilasi dan berlangsung di dalam tempat yang disebut silo (McDonald et al., 2002).
Silase biasa digunakan untuk pakan sapi perah namun pemanfaatannya kini dapat
diterapkan pada sapi penggemukan (Parakkasi, 1995). Silase sudah diterapkan di
banyak negara khususnya negara beriklim subtropis, di mana musim menjadi kendala
utama ketersediaan hijauan dan penerapan pengawetan dengan metode pengeringan
sulit dilakukan (Saun dan Heinrichs, 2008). Pemanfaatan silase sebagai pakan telah
berkembang di negara-negara Eropa dan menyebar ke negara lain sejak 50-60 tahun
yang lalu (Church, 1991).
Berbagai tanaman atau hijauan yang berkadar air tinggi atau hasil samping
tanaman sering dijadikan bahan utama pembuatan silase. Tujuan utama pembuatan
silase adalah mengawetkan pakan dengan meminimalisir kehilangan nutrisi. Prinsip
kerja atau proses ensilasi merupakan proses fermentasi yang berlangsung secara
anaerob. Karbohidrat terlarut difermentasi oleh bakteri asam laktat untuk
memproduksi asam dan menurunkan pH sehingga kondisi anaerob dapat cepat
tercapai dan kehilangan komposisi kimia nutrisi dapat ditekan.
Silase tidak bersifat statis namun dinamis. Perubahan dapat lebih buruk
meskipun pada kondisi yang baik sekalipun (Saun dan Heinrichs, 2008). Silase pada
prinsipnya tidak akan meningkatkan nilai nutrisi dari pakan karena akan banyak
mengalami kehilangan selama ensilasi. Silase kurang ekonomis dan sulit untuk
dibawa dengan jarak yang jauh, namun fermentasi yang dilakukan dapat menurunkan
kadar antinutrisi, kandungan nitrat dan racun.
Silase dapat dibuat pada berbagai bentuk silo yaitu bunker silo, drum silo
ataupun plastik silo. Mekanisme pembuatan silase pada prinsipnya sama untuk ke
semua jenis silo selama pengeluaran atau pembatasan suplai oksigen optimal. Tiga
hal yang berperan penting dalam proses ensilasi di dalam silo meliputi produk
bakteri asam laktat dan produk fermentasinya, pencapaian kondisi anaerob yang
maksimal dan penurunan pH yang cepat (Muck, 2011).
6
Proses ensilasi secara garis besar terbagi atas 4 fase yaitu (1) fase aerob, (2)
fase fermentasi, (3) fase stabil dan (4) fase pemberian pada ternak (Moran, 2005).
Proses aerob terjadi pada saat pemasukan bahan ke dalam silo di mana bakteri dari
permukaan hijauan akan mengkonsumsi oksigen sampai oksigen habis. Proses ini
sangat diinginkan pada proses pembuatan silase, di mana dengan penghabisan
oksigen secara optimal kondisi anaerob dapat segera tercapai. Saat waktu yang
bersamaan pula bakteri-bakteri tersebut akan memanfaatkan karbohidrat terlarut
yang seharusnya digunakan bakteri asam laktat (BAL) untuk membentuk asam laktat
menjadi CO2, H2O dan panas. Proses ini menyebabkan kehilangan energi dan bahan
kering (Muck, 2011).
Saat fase aerob ini pula terjadi perubahan kimiawi yang meliputi perombakan
protein menjadi ammonia. Lamanya fase aerob ini bergantung pada seberapa cepat
silase mendapatkan suasana yang kedap udara secara optimal. Fase kedua merupakan
fase di mana oksigen telah habis dan aktivitas bakteri asam asetat dan bakteri asam
laktat meningkat, kemudian pH menurun hingga akhirnya aktivitas bakteri asam
asetat terhenti.
Berhentinya aktivitas bakteri asam asetat akan meningkatkan aktivitas bakteri
asam laktat. Bakteri asam laktat menyebabkan konsentrasi asam laktat meningkat
dan pH semakin menurun. Besaran pH akan semakin menurun hingga akhirnya
mencapai besaran optimal. Kondisi ini mengakibatkan aktivitas berbagai macam
bakteri terhenti dan akhirnya bahan sudah mulai terawetkan dan tidak ada lagi proses
penguraian. Proses ini menandakan fase fermentasi telah berhenti dan memasuki fase
stabil.
Fase stabil akan berjalan optimal selama tidak adanya suplai oksigen. Fase
terakhir adalah fase pembukaan silase atau disebut dengan fase aerob. Fase ini sangat
rentan terhadap kontaminasi jamur yang nantinya akan mempengaruhi stabilitas
aerob silase yang dapat menyebabkan kehilangan energi dan bahan kering (Nussio,
2005).
Bakteri Asam Laktat (BAL)
Bakteri asam laktat merupakan bakteri anaerob fakultatif. Bakteri ini dapat
hidup di kondisi terpapar oksigen maupun tanpa oksigen (McDonald et al., 2002).
Bakteri ini dibagi menjadi 2 kategori yaitu homofermentatif (Lactobacillus
7
plantarum, Pediococcus pentosaceus, dan Enterococcus faecalis) dan
heterofermentatif (Lactobacillus brevis dan Leuconostoc mesenteroides).
Bakteri asam laktat akan memfermentasikan karbohidrat terlarut menjadi
beberapa produk fermentasi tergantung tipe bakterinya (Muck, 2011). Produk
fermentasi bakteri asam laktat seperti asam laktat dan asam asetat dapat berfungsi
sebagai penghambat beberapa mikroorganisme seperti asam asetat dan listeria.
Bakteri asam laktat pada tanaman berfungsi untuk melindungi tanaman dari
serangan mikroorganisme patogen dengan memproduksi antagonistik komponen
seperti asam, bakteriosin dan agen anti fungal. Bakteri asam laktat memiliki toleransi
yang baik pada pH, suhu dan udara. BAL dapat bertahan hidup pada pH hingga 3,5
(Muck, 2011). Kisaran suhu hidup BAL sangat luas dan beragam pada kisaran 5-50
˚C Minimal populasi optimum BAL adalah 105
cfu/g bahan.
Silase Tanaman Jagung
Tanaman jagung dapat dimanfaatkan sebagai bahan utama dalam pembuatan
silase. Tanaman jagung menghasilkan hasil samping yang dapat dimanfaatkan
sebagai hijauan dan bijinya merupakan sumber energi utama dalam penyusunan
bahan pakan ternak. Tanaman jagung apabila dimanfaatkan seluruh bagian dari daun
hingga biji sebagai silase maka akan menyumbang kandungan karbohidrat terlarut
yang mencukupi untuk pertumbuhan bakteri pada proses ensilasi.
Pemanfaatan jerami jagung dan daun jagung harus ditambahkan sumber
karbohidrat terlarut seperti molases (Umiyasih dan Wina, 2008) atau menggunakan
berbagai bakteri inokulan (Nussio, 2005). Silase tanaman jagung mengandung energi
tinggi dengan kandungan bahan kering yang relatif sama dengan hijauan potongan
(Bal et al., 2000).
Silase tanaman jagung merupakan silase yang banyak digunakan di banyak
negara. Silase tanaman jagung lebih banyak dipilih dibandingkan silase tebu dan
silase singkong karena silase jagung lebih optimal dalam menghasilkan nutrisi yang
mudah dicerna (Church, 1991). Silase tanaman jagung dapat meningkatkan performa
dari ruminansia baik sapi penggemukan (Keady, 2005) maupun sapi perah. Pada sapi
perah laktasi pemberian silase tanaman jagung meningkatkan produksi susu (Ouellet
et al., 2003).
8
Kualitas Berdasarkan Umur Tanaman Jagung
Kualitas silase ditentukan oleh beberapa faktor yaitu jenis dan skala silo,
bahan pakan yang digunakan, umur tumbuhan, pengolahan mekanik dan
penambahan zat aditif atau inokulan. Umur dan tingkat kematangan tanaman akan
memberikan efek yang lebih besar terhadap kualitas fermentatif silase dibandingkan
pengolahan mekanis dan penambahan zat aditif maupun inokulan (Johnson et al.,
2003).
Kualitas tanaman dapat dipengaruhi oleh varietas benih, kelembaban tanah,
iklim, pengolahan dan pemupukan. Faktor-faktor ini juga nantinya akan dapat
mempengaruhi kualitas silase. Bal et al. (2000) melaporkan bahwa terjadi
peningkatan kandungan bahan kering pada silase tanaman jagung seiring dengan
bertambahnya umur panen, hal tersebut juga diperkuat oleh pernyataan Darby dan
Lauer (2002). Kadar air tanaman jagung pada fase belum masak akan menghasilkan
kandungan air sebesar 80%-85%.
Peningkatan umur panen juga mempengaruhi kandungan pati pada jagung di
mana pati terakumulasi optimal pada biji umur tua (Bal et al., 2000; Marco et al.,
2002). Menurut Johnson dan McClure (1968), Chase (2011) dan Weiss (2012)
kandungan BK tanaman jagung fase Silking (R1) dan blister (R2) kurang dari 20%.
Besarnya kandungan bahan kering juga dipengaruhi oleh cuaca, cekaman hara dan
air, varietas bahan, pemupukan dan interval dan waktu pemotongan.
Kandungan protein kasar tanaman jagung masa vegetatif akan lebih tinggi
akibat masih terjadinya perkembangan bagian-bagian vegetatif seperti daun dan
batang sebagai hasil proses fotosintesis dan belum tumbuhnya biji. Tanaman akan
berkurang kandungan protein, mineral dan karbohidratnya dengan meningkatnya
umur tanaman namun kandungan serat kasar dan ligninnya bertambah.
Tingginya serat umumnya didominasi oleh komponen lignoselulosa yang
sulit dicerna sehingga menurunkan kecernaan. Kandungan protein yang rendah pada
umur panen tua juga disebabkan karena menurunnya fraksi daun. Daun pada
tanaman muda memiliki kandungan protein kasar lebih tinggi dibandingkan daun
umur tanaman tua (Tarigan et al., 2010).
9
Kualitas Silase
Kualitas Berdasarkan Karakteristik Fisik
Salah satu pengujian kualitas silase adalah dengan pengamatan fisik silase.
Beberapa faktor menjadi faktor utama dalam penentuan kualitas fisik silase yaitu
bau, warna, tekstur dan kontaminasi jamur. Silase yang berkualitas baik adalah silase
yang akan menghasilkan aroma asam di mana aroma asam tersebut menandakan
bahwa proses fermentasi di dalam silo berjalan dengan baik (Elfrink et al., 2000).
Silase yang beraroma seperti cuka diakibatkan oleh pertumbuhan bakteri asam asetat
(Bacili) di mana produksi asam asetat tinggi. Produksi etanol oleh yeast atau kapang
dapat mengakibatkan silase beraroma seperti alkohol. Aroma tembakau dapat terjadi
pada silase yang memiliki suhu yang tinggi dan mengalami pemanasan yang cukup
ekstrim (Saun dan Heinrichs, 2008).
Silase berkualitas baik akan menghasilkan warna yang hampir menyamai
warna tanaman atau pakan sebelum diensilasi. Saun dan Heinrichs (2008)
menambahkan bahwa warna silase dapat menggambarkan hasil dari fermentasi.
Dominasi asam asetat akan menghasilkan warna kekuningan sedangkan warna hijau
berlendir dipicu oleh tingginya aktivitas bakteri Clostridia yang menghasilkan asam
butirat dalam jumlah yang cukup tinggi.
Warna kecoklatan bahkan hitam dapat terjadi pada silase yang mengalami
pemanasan cukup tinggi atau terlampau ekstrim. Warna gelap pada silase
mengindikasikan silase berkualitas rendah (Despal et al., 2011). Warna coklat muda
diakibatkan karena hijau daun dari klorofil akan hancur selama proses ensilasi
(Umiyasih dan Wina, 2008) sedangkan warna putih mengindikasikan pertumbuhan
jamur yang tinggi.
Jamur yang sering ditemukan pada tanaman jagung yaitu Aspergilus dan
Fusarium. Mikotoksin yang sering ditemukan adalah Aflatoksin oleh jamur
Aspergilus flavus dan Fumonisin oleh jamur Fusarium. (Trung et al., 2008;
Tangendjaja et al., 2008). Nilai optimum bagian terkontaminasi jamur pada silase
menurut Davies (2007) sebesar 10%. Pertumbuhan jamur pada silase disebabkan
oleh belum maksimalnya kondisi kedap udara. Jamur-jamur akan aktif pada kondisi
aerob dan tumbuh dipermukaan silase (McDonald et al., 2002). Pembatasan suplai
oksigen yang kurang optimal berkaitan dengan ukuran partikel dari bahan.
10
Ukuran partikel yang lebih kecil akan menyediakan karbohidrat terlarut yang
lebih banyak sehingga bakteri asam laktat dapat lebih aktif dalam memproduksi asam
laktat sehingga konsentrasi asam laktat ikut meningkat (McDonald et al., 1991).
Akhirnya penurunan pH optimal dan pengawetan pakan lebih cepat tercapai.
Pencacahan dilakukan untuk mengurangi partikel bahan. Partikel yang lebih kecil
dapat mengubah pola fermentasi dengan mengubah laju kerusakan jaringan tanaman
dan memperbaiki proses fermentasi, melalui pengepakan yang lebih mudah dan
teratur sehingga lebih mudah dipadatkan. Kondisi ini akan meningkatkan area kontak
substrat dan mikroorganisme (Church, 1991).
Kualitas Berdasarkan Karakteristik Fermentatif
Nilai pH optimum silase yang berkualitas baik adalah <4,2, dan silase
berkualitas sedang berada pada kisaran 4,5-5,2 sedangkan silase kualitas buruk
memiliki nilai pH >5,2 (Haustein, 2003). Saun dan Heinrichs (2008) menyatakan
bahwa silase tanaman jagung berkualitas baik akan menghasilkan pH pada kisaran
3,8-4,2. Tingginya kandungan karbohidrat terlarut dan rendahnya protein dapat
memicu penurunan pH. Kandungan protein tanaman yang rendah menyebabkan
kapasitas penyangga rendah sehingga pengasaman lebih mudah terjadi (Despal et al.,
2011). Cherney et al. (2004) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang positif antar
karbohidrat larut air dan pH. Karbohidrat larut air dibutuhkan oleh bakteri asam
laktat hingga menyebabkan penurunan pH sampai 3,5 (Muck, 2011).
Nilai pH yang rendah akan menghambat pertumbuhan bakteri merugikan
seperti Clostridia dan juga menghentikan aktivitas enzim proteolitik tanaman yang
menyebabkan perombakan protein. Saat kondisi asam, asam laktat dan asam asetat
lebih mampu membatasi pertumbuhan mikroorganisme pembusuk (Muck, 2011).
Tingginya pH dapat dipicu oleh terpaparnya silase terhadap oksigen yang terlalu
lama, menyebabkan fermentasi aerob kembali terjadi. Saat kondisi aerob bakteri
asam laktat dan kapang (yeast) lebih banyak memfermentasi karbohidrat terlarut
menjadi CO2, H2O dan panas dibandingkan produksi asam sehingga menyebabkan
terjadinya pemanasan sekunder dan peningkatan suhu (Tabbaco et al., 2011).
Pertumbuhan Clostridia akan memfermentasikan karbohidrat terlarut menjadi
asam butirat yang akan menaikan derajat keasaman atau pH. Nilai pH yang tinggi
pada bahan berkadar air tinggi akan mengakibatkan perombakan protein yang cukup
11
tinggi akibat aktivitas proteolisis yang tinggi (Saun dan Heinrichs, 2008).
Perombakan protein yang tinggi menyebabkan menyebabkan pembusukan (Muck,
2011). Penurunan pH maksimal tidak hanya ditunjang oleh ketersediaan karbohidrat
terlarut namun juga oleh kandungan bahan kering bahan yang optimal (Johnson et
al., 2003).
Kandungan bahan kering yang mengindikasikan silase berkualitas baik
adalah silase yang terbuat dari bahan dengan kisaran BK 35%-40%. Kandungan
bahan kering <35% akan mengakibatkan silase terlalu asam dan berair (Ohmomo et
al., 2002). Semakin berair bahan pakan yang digunakan dalam pembuatan silase,
maka akan semakin banyak panas yang dihasilkan sehingga menyebabkan
kehilangan bahan kering menjadi tinggi.
Silase berkadar air tinggi akan lebih berpotensi mengalami kehilangan bahan
kering yang tinggi dalam bentuk gas. Peristiwa ini menyebabkan penurunan kualitas
karena meningkatnya aktivitas fermentasi yang tidak diinginkan seperti Clostridia
dan bakteri heterolaktat yang memproduksi CO2, etanol dan panas (Nussio, 2005)
yang pada akhirnya menyebabkan tingginya kehilangan energi (McDonald et al.,
1991).
Besarnya kandungan bahan kering silase dipengaruhi oleh besarnya
kandungan bahan kering sebelum ensilasi dan besarnya kehilangan bahan kering
(Despal et al., 2011). Kehilangan bahan kering dapat terjadi pada saat panen,
pemasukan bahan ke dalam silo, fermentasi di dalam silo juga pada saat
pembongkaran silo (Nussio, 2005).
Hood et al. (1971) menyatakan bahwa pengeringan bahan fermentasi seperti
silase yang menggunakan oven-drying akan menyebabkan banyak kehilangan
senyawa volatile. Pengukuran kadar bahan kering bahan fermentasi sebaiknya
menggunakan faktor koreksi untuk mendekati keakurasian (Weissbach et al., 2008).
Fox dan Fenderson (1978) menggunakan faktor koreksi sebesar 1,056 untuk silase
jagung dan 1,063 untuk silase berbahan dasar rumput. Silase berkualitas baik adalah
silase yang menghasilkan kehilangan bahan kering <6% (Despal et al., 2011).
Penelitian menggunakan silase jagung telah dilakukan oleh Kim dan Adesogan
(2009) yang mengalami kehilangan bahan kering hingga 13%.
12
Asam lemak terbang (VFA) merupakan hasil akhir dari fermentasi bahan
organik oleh mikroorganisme pada proses ensilasi. Silase yang berkualitas baik
adalah silase yang didominasi dengan asam laktat sebesar >60% dari total VFA
silase. Proporsi VFA juga dapat menggambarkan perkembangan mikroba selama
proses ensilasi. Tingginya asam butirat dan propionat menandakan kualitas buruk
pada silase akibat buruknya proses fermentasi. Proporsi asetat yang tinggi
menunjukkan dominasi bakteri asam asetat sedangkan butirat yang tinggi
menunjukkan dominasi bakteri Clostridia tyrobuturicum dalam silase (Elfrink et al.,
2000).
Beberapa faktor yang mempengaruhi besarnya konsentrasi asam lemak
terbang silase meliputi jenis tanaman, kandungan bahan kering, populasi bakteri,
kehilangan selama proses ensilasi juga kandungan karbohidrat pada tanaman (Saun
dan Heinrichs, 2008)
Kehilangan tidak hanya terjadi pada kandungan bahan kering, namun juga
pada kandungan nutrisi lainnya seperti protein. Hijauan umur muda akan digunakan
menjadi bahan utama pembuatan silase untuk mendapatkan kandungan protein yang
optimal. Hijauan dengan tinggi kandungan protein adalah hijauan pada saat fase
pertumbuhan (Saun dan Heinrichs, 2008). Kandungan protein kasar (N x 6,25) silase
dipengaruhi oleh kandungan protein kasar bahan, besarnya perombakan protein kasar
dan juga perombakan bahan kering.
Kehilangan atau perombakan protein akan menghasilkan ammonia nitrogen
(N-NH3). Silase yang berkualitas baik adalah silase yang menghasilkan konsentrasi
ammonia nitrogen sedikit. Ammonia nitrogen <8% total Protein kasar (PK) pada
silase jagung menunjukkan keberhasilan dalam proses fermentasi silase (Saun dan
Heinrichs, 2008). Silase yang berkualitas baik adalah silase yang dapat menghasilkan
konsentrasi ammonia nitrogen <50 g/kg total N atau setara dengan perombakan PK
<4,1% (Zamudio et al., 2009; Despal et al., 2011).
Water Soluble Carbohydrate (WSC)
Karbohidrat larut air (WSC) merupakan substrat penting bagi bakteri asam
laktat selama proses ensilasi, untuk meningkatkan proses pengawetan dengan
menurunkan pH dengan cepat dan meminimalisasi perombakan protein (Davies et
al., 2005). Tanaman atau hijauan yang baik untuk dijadikan silase adalah tanaman
13
yang memiliki kandungan karbohidrat terlarut pada kisaran 3%-5% BK (McDonald
et al., 1991).
Kandungan karbohidrat terlarut berhubungan positif dengan nilai pH silase
(Cherney et al., 2004). Karbohidrat larut air (WSC) akan dimanfaatkan oleh bakteri
asam laktat untuk memproduksi asam dan menurunkan pH (Chen dan Wienberg,
2008). Karbohidrat terlarut air (WSC) pada kondisi anaerob akan dimanfaatkan
bakteri asam laktat dalam menghasilkan produk fermentasi berupa asam laktat yang
pada gilirannya akan menurunkan pH hingga 3,5 (Muck, 2011).
Tingginya kandungan karbohidrat terlarut dalam silase dapat menghasilkan
kecernaan in vitro yang tinggi (Marco, 2000). Tanaman dari lingkungan dengan
iklim yang temperate umumnya mengandung WSC yang cukup tinggi dalam bentuk
fruktan yang sangat mudah difermentasi oleh bakteri asam laktat. Kondisi tersebut
berbeda dengan tanaman pada iklim tropik yang sebagian besar komponen utama
WSC-nya dalam bentuk pati yang secara alami BAL tidak memiliki kemampuan
memfermentasikannya secara langsung (McDonald et al., 1991).
Amonia (NH3) Rumen
Protein pakan di dalam rumen dipecah oleh mikroba menjadi peptida dan
asam amino. Beberapa asam amino dipecah lebih lanjut menjadi ammonia. Ammonia
diproduksi bersama dengan peptida dan asam amino yang akan digunakan oleh
mikroba rumen dalam pembentukan protein mikroba (McDonald et al., 2002).
Protein mikroba nantinya akan menentukan status nutrisi pada ternak (Uhi et al.,
2006). Tingginya konsentrasi ammonia rumen menggambarkan banyaknya nitrogen
yang didegradasi di dalam rumen (Puastuti et al., 2004). Produksi NH3 berasal dari
protein yang didegradasi oleh enzim proteolitik. Kadar ammonia dalam rumen
merupakan petunjuk antara proses degradasi dan proses sintesis protein oleh mikroba
rumen. Pakan yang defisien akan protein atau proteinnya tahan degradasi maka
konsentrasi ammonia dalam rumen akan rendah dan pertumbuhan mikroba rumen
akan lambat yang menyebabkan turunnya kecernaan pakan (McDonald et al., 2002).
Faktor utama yang mempengaruhi penggunaan NH3 adalah ketersediaan
karbohidrat dalam ransum yang berfungsi sebagai sumber energi untuk pembentukan
protein mikroba. Peningkatan jumlah karbohidrat yang mudah difermentasi oleh
14
mikroba akan mengurangi konsentrasi amonia rumen karena terjadi kenaikan
penggunaan ammonia untuk sintesis protein mikroba.
Ammonia rumen ketersediaannya harus mencukupi, apabila berlebih maka
bakteri tidak dapat memanfaatkan ammonia. Ammonia yang berlebih tersebut
diserap ke tubuh ternak dan dikeluarkan sebagai urea melalui urin sedangkan bila
jumlahnya terlalu sedikit maka fermentasi asam organik akan terganggu.
Ammonia merupakan sumber nitrogen utama untuk sintesis protein mikroba.
Konsentrasinya dalam rumen merupakan suatu hal yang perlu diperhatikan. Menurut
McDonald (2002), kisaran konsentrasi NH3 yang optimal untuk sintesis protein
mikroba rumen adalah 6-21 mM sedangkan Sutardi (1977) melaporkan bahwa
kisaran NH3 optimum adalah pada kisaran 4-12 mM. Tinggi rendahnya konsentrasi
ammonia rumen ditentukan oleh kandungan protein pakan (Despal et al., 2011),
besarnya perombakan protein, lamanya pakan difermentasi di rumen dan pH rumen
(Uhi et al., 2006).
Konsentrasi VFA (Volatile Fatty Acid) Rumen
VFA merupakan produk fermentasi bahan organik yang digunakan mikroba
sebagai sumber energi (Orskov dan Ryle, 1990). Karbohidrat pakan dalam rumen
akan mengalami 2 tahap pencernaan oleh enzim-enzim yang dihasilkan mikroba
rumen. Pertama, karbohidrat akan mengalami hidrolisis menjadi monosakarida
seperti glukosa, fruktosa, dan pentosa.
Tahap kedua gula sederhana tersebut dipecah menjadi VFA (Volatile Fatty
Acid) berupa asam asetat, asam propionat, asam butirat, CO2 dan CH4. Asam lemak
terbang yang terbentuk kemudian diserap melalui dinding rumen sedangkan gas CH4
serta CO2 akan hilang melalui eruktasi (McDonald et al., 2002).
Banyaknya VFA yang ada dalam rumen dicirikan oleh aktivitas mikroba
(Church, 1971). Konsentrasi VFA total yang layak bagi kelangsungan hidup ternak
adalah 80-160 mM dengan titik optimumnya adalah 110 mM (Suryapratama, 1999).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Despal et al. (2011) pada silase daun
rami beraditif sumber karbohidrat menghasilkan konsentrasi VFA rumen pada
kisaran 127-164 mM. Hasil ini lebih tinggi dari konsentrasi VFA (93,4-99,6 mM)
pada penelitian Wang et al. (2009) yang menggunakan silase batang jagung.
15
Koefisien Cerna Bahan Kering dan Bahan Organik
(KCBK dan KCBO)
Kecernaan merupakan perubahan fisik dan kimia yang dialami bahan
makanan dalam alat pencernaan dan merupakan salah satu ukuran dalam menentukan
kualitas suatu bahan pakan. Semakin tinggi kecernaan bahan kering maka semakin
tinggi pula peluang nutrisi yang dapat dimanfaatkan ternak untuk pertumbuhannya.
Kecernaan yang tinggi mencerminkan besarnya sumbangan nutrien pada ternak.
Pakan yang mempunyai kecernaan rendah menunjukan bahwa pakan tersebut kurang
mampu menyuplai nutrien baik untuk hidup pokok maupun untuk tujuan produksi
ternak (Yusmadi, 2008).
Pola besarnya kecernaan bahan kering akan diikuti oleh besarnya kecernaan
bahan organik (Puastuti et al., 2004). Sebagian besar komponen bahan kering terdiri
atas bahan organik sehingga faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya
kecernaan bahan kering akan mempengaruhi pula tinggi rendahnya kecernaan bahan
organik ransum. Kecernaan bahan organik merupakan faktor penting yang dapat
menentukan nilai kualitas pakan (Sutardi, 1977). Kecernaan bahan organik (KCBO)
menggambarkan senyawa protein, karbohidrat dan lemak yang dapat dicerna oleh
ternak.
Weinberg et al. (2007) pada penelitiannya dengan silase jagung melaporkan
bahwa nilai cerna bahan kering yang dihasilkan melalui tehnik in vitro sebesar 66,6%
dan lebih tinggi dibandingkan silase gandum yaitu sebesar 61,7%. Pengukuran
kecernaan silase tanamanan jagung secara in vivo yang dilakukan oleh Aksu et al.
(2003) pada domba menghasilkan koefisien cerna bahan kering pada kisaran 57%-
61% dan pada sapi perah FH oleh Dann et al. (2008) berkisar pada 80%-85%.
Pengukuran kecernaan bahan organik digunakan untuk mengestimasi
kandungan net energi dari bahan pakan. Besarnya nilai kecernaan bahan organik
dipengaruhi oleh kandungan serat bahan pakan dan aktivitas bakteri selulolitik akibat
perubahan pH (Fabio et al., 2007). Pengukuran koefisien cerna bahan organik silase
tanaman jagung secara in vivo pada domba yang dilakukan oleh Aksu et al.(2003)
sebesar 68,39%. Pengukuran nilai kecernaan bahan organik secara in vitro telah
dilakukan oleh Despal et al. (2011) pada silase daun rami beraditif tepung jagung
dengan nilai kecernaan sebesar 73,6% dan silase sorghum oleh Marco (2009)
kecernaan sebesar 54%.
16
MATERI DAN METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian dilakukan selama 5 bulan (November 2011-Maret 2012). Lokasi
pengamatan dilakukan di Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Perah, Departemen
INTP, Fakultas Peternakan IPB, Darmaga, Bogor.
Materi
Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan dalam pembuatan silase antara lain plastik
antipanas berwarna putih ukuran 5 kg (28 x 50 cm), polybag (60 x 120 cm), alat
pemotongan dan pencacahan tanaman, timbangan, blender (Cosmos), pH meter
(Loviband), spektrofotometer (Model UV-200-RS), cawan conway, tabung
fermentor, tabung reaksi, gelas ukur, pipet, buret, ruang asam, vortex (Genie-2),
waterbath (Memmert), alat destilasi uap, tanur (Nabertherm) dan oven.
Bahan yang digunakan dalam pembuatan silase ini adalah tanaman jagung,
ransum komplit. Ransum komplit terdiri dari rumput lapang dan konsentrat (onggok,
bungkil kedele, jagung, bungkil kelapa, DCP dan CaCO3). Bahan yang digunakan
untuk kebutuhan analisis laboratorium adalah cairan rumen sapi, aquadest, larutan
fenol 5%, H2SO4, larutan glukosa standar, vaselin, Na2CO3 jenuh, asam borat
berindikator, H2SO4 0,005 N, larutan penyangga McDougall (NaHCO3, Na2HPO4.
2H2O, KCl, NaCl, MgSO4.7H2O dan CaCl2), larutan pepsin 0,2%, HCl 15%, NaOH
0,5 N dan HgCl2.
Prosedur
Pembuatan Silase
Tanaman jagung (Varietas Pertiwi-3) yang telah dipanen pada masing-masing
umur kemudian dipisahkan masing-masing bagian yaitu batang, daun, klobot, biji
dan tongkol. Bagian tersebut ditimbang bobotnya kemudian dicacah sepanjang ± 2
cm. Potongan bagian kemudian dicampur hingga homogen. Sebanyak 2 kg sampel
dimasukkan ke dalam silo plastik 2 lapis berukuran 28 x 50 cm. Udara dalam
kantung dikeluarkan dan silo ditutup rapat.
17
Ransum komplit disusun dari campuran 50% rumput lapang dan 50 %
konsentrat untuk memenuhi kebutuhan kambing perah (65% TDN, 15% PK).
Ransum tersebut digunakan sebagai silase kontrol. Ensilasi dilakukan selama 5
minggu.
Tabel 3. Hasil Formulasi Bahan Pakan Ransum Komplit
Bahan % BK Zat Nutrien *Kandungan
Nutrisi (%BK)
Rumput lapang 50 BK 56,01
Onggok 15 Abu 9,52
Jagung 7,07 PK 15,05
Bungkil Kelapa 15,73 LK 3,08
Bungkil Kedelai 10,49 SK 20,88
DCP 1,24 TDN 67,06
CaCO₃ 0,47 Ca 0,75
P 0,55
Keterangan : (*) Hasil Perhitungan.
Kondisi awal bahan
Proporsi Tanaman. Pengamatan kondisi tanaman jagung sebelum ensilasi dengan
menimbang proporsi tiap bagian tanaman yaitu daun, biji, batang, klobot dan
tongkol. Besarnya persentase bagian dihitung menggunakan rumus :
Pengukuran Kandungan BK (%BK segar) Sebelum Ensilasi. Sebanyak 1 kg
sampel bahan yang akan dibuat silase ditimbang berat awalnya (a). Pengeringan
dilakukan setelah penimbangan sampel dengan oven 60 oC selama 3-7 hari kemudian
ditimbang (b) dan digiling.
Sebanyak 3-5 g (c) sampel yang telah digiling halus dimasukkan ke dalam
cawan porselen kemudian dipanaskan dalam oven 105 oC hingga beratnya stabil
kemudian dikeluarkan dari oven dan dimasukkan ke dalam eksikator. Cawan dan
18
sampel kemudian ditimbang (d) setelah 10 menit dieksikator. Bahan kering (%)
dihitung menggunakan rumus :
Pengukuran Kandungan PK (%BK) Sebelum Ensilasi. Sebanyak 0,2-0,3 g
sampel yang telah digiling halus dimasukan ke dalam labu kjeldahl, lalu
ditambahkan selenium mixture sedikit pada ujung sudip. Sampel kemudian ditambah
dengan H2SO4 sebanyak 20 ml lalu didestruksi. Destruksi dilakukan dengan
memanaskan campuran tersebut diatas hot plate selama 6 jam hingga warna berubah
menjadi bening.
Sampel yang telah didestruksi kemudian diencerkan dengan aquadest sampai
120 ml lalu didestilasi menggunakan metode makro Kjeldahl (1883). Destilasi
dilakukan dengan menambahkan larutan NaOH tio sulfat (0,6 g NaOH kristal dalam
100 ml aquadest ditambah 0,15 g Na tiosulfat) sebanyak 10 ml ke dalam labu hasil
destruksi kemudian didestilasi.
Uap hasil destilasi dikondensasi dan ditampung dalam labu erlenmeyer
bervolume 100 ml yang telah diisi dengan asam borat berindikator. Destilasi
dihentikan jika volume tampungan mencapai 50 ml. Selanjutnya dilakukan titrasi
menggunakan HCl 0,0115 N hingga warna berubah menjadi merah muda.
Perhitungan persentase kadar N dan PK menggunakan rumus :
Pengukuran Kandungan WSC (%) Sebelum Ensilasi. Pengukuran kandungan
WSC sebelum ensilasi menggunakan metode fenol oleh Dubois (1956). Sebanyak 2
g sampel kering yang telah digiling ditambahkan dengan 10 ml aquadest yang telah
dipanaskan. Campuran sampel dan aquadest kemudian diaduk dan digerus
menggunakan mortar. Campuran tersebut kemudian disaring hingga endapan dan
cairan terpisah.
Supernatan sebanyak 2 ml dimasukkan ke dalam tabung reaksi 10 ml
kemudian tambahkan 1 ml larutan fenol 5% kemudian dihomogenkan dan ditambah
19
asam sulfat sebanyak 5 ml, lalu divortex. Larutan kemudian didinginkan dan diukur
nilai absorbansinya menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 490
nm.
Pengamatan Karakteristik Fisik
Pengamatan dilakukan dengan pengujian sensori untuk peubah aroma, tekstur
dan warna. Perhitungan persentase bagian yang terkontaminasi jamur menggunakan
rumus berikut :
Pengamatan Karakteristik Fermentatif
Pengukuran pH Silase. Pengukuran derajat keasaman atau pH menggunakan pH
meter. Sebanyak 10 g silase dicampurkan dengan aquadest 100 ml. Campuran
kemudian dihomogenkan dengan menggunakan blender selama 1 menit dengan
kecepatan 4000 rpm. Endapan kemudian dipisahkan dengan cairan. Cairan tersebut
kemudian diukur pH-nya menggunakan pH meter.
Pengukuran Kandungan BK Silase. Silase yang telah difermentasi selama 5
minggu dikeluarkan dari silo kemudian ditimbang berat setelah ensilasi. Silase segar
ditimbang berat awalnya (a). Pengeringan silase dilakukan dengan oven 60 oC
setelah penimbangan selama 3-7 hari dan setelah kering sampel ditimbang (b) lalu
digiling.
Sebanyak 3-5 g (c) silase yang telah digiling halus dimasukkan ke dalam
cawan porselen kemudian dipanaskan dalam oven 105 oC hingga beratnya stabil.
Cawan dan sampel kemudian dikeluarkan dari oven dan dimasukkan ke dalam
eksikator. Cawan dan sampel setelah dingin ditimbang (d). Bahan kering (%)
dihitung menggunakan rumus :
Pengukuran Konsentrasi Asam Lemak Terbang (VFA) (mM). Supernatan hasil
pencampuran 10 g silase segar dengan aquadest 100 ml digunakan dalam
20
pengukuran konsentrasi VFA silase. Sebanyak 5 ml NaOH 0,5N dimasukkan ke
dalam tabung erlenmeyer dan dipasangkan ditempat penampungan hasil destilasi.
Supernatan silase diteteskan sebanyak 5 ml ke dalam tabung destilasi dan kemudian
ditambah 1 ml H2SO4 15%.
Uap air yang merupakan hasil pemanasan ditampung di dalam tabung
erlenmeyer yang berisi NaOH hingga volume mencapai 250 ml. Penambahan
indikator phenolpthalin dilakukan tepat setelahnya sebanyak 2-3 tetes hingga cairan
berubah menjadi merah muda kemudian larutan dititrasi dengan HCl 0.5 N hingga
warna menjadi bening. Perhitungan konsentrasi VFA total menggunakan rumus :
Keterangan : a = volume titran blanko (ml)
b = volume titran sampel (ml)
Pengukuran Kehilangan Bahan Kering (%BK). Pengukuran kehilangan bahan
kering dihitung dari selisih berat kering bahan awal sebelum ensilasi dengan berat
setelah ensilasi.
Pengukuran Kandungan PK (%BK) Silase. Sebanyak 0,2 - 0,3 g silase yang telah
dikeringkan dan digiling halus dimasukan ke dalam labu kjeldahl, lalu ditambahkan
selenium mixture sedikit pada ujung sudip. Sampel silase kemudian ditambah dengan
H2SO4 sebanyak 20 ml kemudian didestruksi. Destruksi dilakukan dengan
memanaskan campuran tersebut diatas hot plate selama 6 jam hingga warna berubah
menjadi bening.
Sampel yang telah didestruksi kemudian diencerkan dengan aquadest sampai
120 ml lalu didestilasi menggunakan metode makro Kjeldahl (1883). Destilasi
dilakukan dengan menambahkan larutan NaOH tio sulfat (0,6 g NaOH kristal dalam
100 ml aquadest ditambah 0,15 g Na tiosulfat) sebanyak 10 ml ke dalam labu hasil
destruksi kemudian didestilasi.
Uap hasil destilasi dikondensasi dan ditampung dalam labu erlenmeyer
bervolume 100 ml yang telah diisi dengan asam borat berindikator. Destilasi
dihentikan jika volume tampungan mencapai 50 ml. Tahap selanjutnya adalah titrasi
21
menggunakan HCl 0,0115 N hingga warna berubah menjadi merah muda.
Perhitungan persentase kadar N dan PK menggunakan rumus :
Pengukuran Konsentrasi N-NH3 Silase (mM). Pengukuran konsentrasi NH3 silase
menggunakan metode mikrodifusi Conway. Supernatan pada pengukuran pH silase
sebanyak 1 ml diteteskan pada salah satu ujung jalur cawan conway yang telah
diolesi vaselin pada bibir cawan. Sebanyak 1 ml larutan Na2CO3 ditempatkan pada
sisi yang bersebelahan dengan sampel.
Asam borat sebanyak 1 ml diteteskan pada bagian tengah cawan lalu cawan
ditutup dengan rapat. Cawan dimiringkan dan digoyangkan perlahan, sehingga
supernatan dan larutan Na2CO3 tercampur merata. Cawan kemudian didiamkan
selama 24 jam pada suhu ruang, lalu setelah 24 jam cawan conway dibuka dan
dititrasi menggunakan larutan H2SO4. Titrasi dilakukan sampai terjadi perubahan
warna menjadi merah muda. Konsentrasi NH3 dihitung menggunakan rumus :
Pengukuran Perombakan Protein Kasar (%BK). Pengukuran perombakan
protein kasar diukur dari perbandingan antara banyaknya protein yang dirombak
menjadi NH3 (%) dengan protein awal sampel (%).
Pengukuran Residual WSC (%) Silase. Pengukuran kandungan WSC setelah
ensilasi sama seperti pengukuran sebelum ensilasi dengan menggunakan metode
fenol oleh Dubois (1956). Sebanyak 2 g silase yang telah dikeringkan dan digiling
ditambahkan dengan 10 ml aquadest yang telah dipanaskan. Campuran silase dan
aquadest kemudian diaduk dan digerus menggunakan mortar. Campuran kemudian
tersebut disaring hingga endapan dan cairan terpisah.
Supernatan sebanyak 2 ml dimasukkan ke dalam tabung reaksi 10 ml
kemudian tambahkan 1 ml larutan fenol 5% lalu dihomogenkan dan ditambah asam
sulfat sebanyak 5 ml, campuran kemudian divortex. Selanjutnya larutan didinginkan
dan diukur nilai absorbansinya menggunakan spektrofotometer pada panjang
gelombang 490 nm.
22
Pengukuran Kehilangan WSC (%). Pengukuran kehilangan WSC didapatkan dari
perhitungan selisih besaran kandungan WSC sebelum ensilase dan residual WSC
silase.
Perhitungan Kualitas Silase Berdasarkan Nilai Fleigh. Nilai Fleigh merupakan
salah satu metode pengukuran kualitas silase berdasarkan kandungan bahan kering
dan pH silase. Nilai Fleigh dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:
NF = 220+(2 x BK(%) – 15) - (40 x pH)
Silase akan dikategorikan sebagai silase berkualitas sangat baik apabila
menghasilkan nilai 85-100, berkualitas baik 60-80, berkualitas cukup 50-60,
berkualitas sedang 25-40, dan berkualitas rendah apabila <20 (Ozturk, 2005).
Pengamatan Karakteristik Utilitas Silase
Pengukuran Fermentabilitas Pakan. Sebanyak 0,5 g silase yang telah dikeringkan
dan dihaluskan dimasukan ke dalam tabung fermentor. Sebanyak 40 ml larutan
penyangga McDougall dan 10 ml cairan rumen ditambahkan ke dalam tabung
fermentor sambil dialiri gas CO2 selama 30 detik dan ditutup rapat dengan prop karet
berventilasi. Sampel kemudian diinkubasi selama 4 jam dalam shaker waterbath
bersuhu 39 °C. Sampel yang telah diinkubasi selama 4 jam kemudian ditambahkan
2-3 tetes HgCl2 jenuh ke dalam tabung fermentor untuk menghentikan aktivitas
mikroba. Cairan kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 10.000 rpm dalam waktu
10 menit. Endapan kemudian dipisahkan dengan cairan. Supernatan kemudian
digunakan pada pengukuran NH3 dan VFA rumen.
Pengukuran NH3 rumen (mM). Pengukuran konsentrasi NH3 rumen menggunakan
metode mikrodifusi Conway. Supernatan sebanyak 1 ml diteteskan pada salah satu
ujung jalur cawan conway yang telah diolesi vaselin pada bibir cawan. Sebanyak 1
ml larutan Na2CO3 ditempatkan pada sisi yang bersebelahan dengan sampel.
Asam Borat sebanyak 1 ml diteteskan pada bagian tengah cawan lalu cawan
ditutup dengan rapat. Cawan dimiringkan dan digoyangkan perlahan, sehingga
supernatan dan larutan Na2CO3 tercampur merata. Cawan kemudian didiamkan
selama 24 jam pada suhu ruang. Cawan conway tersebut setelah 24 jam dibuka dan
23
dititrasi menggunakan larutan H2SO4 sampai terjadi perubahan warna menjadi merah
muda. Konsentrasi NH3 dihitung menggunakan rumus :
Pengukuran VFA rumen (mM). Supernatan yang sama pada pengukuran NH3
rumen digunakan dalam pengukuran konsentrasi VFA rumen. Sebanyak 5 ml NaOH
0,5 N dimasukkan ke dalam tabung erlenmeyer dan dipasangkan di tempat
penampungan hasil destilasi. Supernatan silase diteteskan sebanyak 5 ml ke dalam
tabung destilasi dan kemudian ditambah 1 ml H2SO4 15%.
Uap air yang merupakan hasil pemanasan ditampung di dalam tabung
erlenmeyer yang berisi NaOH hingga volume mencapai 250 ml. Penambahan
indikator phenolpthalin dilakukan tepat setelahnya sebanyak 2-3 tetes hingga cairan
berubah menjadi merah muda kemudian larutan dititrasi dengan HCl 0.5 N hingga
warna menjadi bening. Perhitungan konsentrasi VFA total menggunakan rumus :
Keterangan : a = volume titran blanko (ml)
b = volume titran sampel (ml)
Pengukuran Nilai Koefisien Cerna BK dan BO (%). Pengukuran kecernaan
bahan kering dan bahan organik menggunakan metode in vitro (Tilley & Terry,
1963). Tahap pertama pengukuran kecernaan adalah pengukuran pencernaan
fermentatif. Sebanyak 0,5 g silase yang telah dikeringkan dan dihaluskan, dimasukan
ke dalam tabung fermentor.
Tabung fermentor yang telah diisi sampel kemudian ditambahkan dengan
larutan penyangga McDougall 40 ml dan 10 ml cairan rumen sambil dialiri gas CO2
selama 30 detik dan ditutup rapat dengan prop karet berventilasi. Sampel kemudian
diinkubasi selama 48 jam dalam shaker waterbath bersuhu 39 °C, setelah 48 jam
inkubasi ditambahkan 2-3 tetes HgCl2 jenuh ke dalam tabung fermentor untuk
menghentikan aktivitas mikroba. Cairan kemudian disentrifugasi dengan kecepatan
10.000 rpm dalam waktu 10 menit. Endapan kemudian dipisahkan dengan cairan
kemudian digunakan pada tahap selanjutnya.
24
Tahap selanjutnya adalah tahap hidrolisis. Endapan dicampur dengan larutan
pepsin HCl 0,2% sebanyak 50 ml kemudian diinkubasi selama 48 jam. Sisa
pencernaan hidrolisis kemudian disaring dengan kertas Whatman no. 41 yang telah
diketahui bobotnya dengan bantuan pompa vakum (Rotary model 2X-0.5). Sisa
kemudian dimasukkan ke dalam cawan porselen dan dipanaskan pada oven 105 °C
selama 24 jam.
Cawan ditimbang (BK Residu) setelah 24 jam. Cawan tersebut kemudian
dimasukkan ke dalam tanur 600 °C selama 6 jam lalu ditimbang bobotnya (BO
Residu). Pengukuran kecernaan bahan kering dan bahan organik dihitung
menggunakan rumus:
Keterangan : KCBK = Koefisien cerna bahan kering; KCBO = Koefisien cerna
bahan organik
Rancangan Percobaan dan Analisis Statistika
Rancangan Percobaan
Pengamatan karateristik fisik dilakukan dengan pengamatan deskriptif
sedangkan pengamatan kondisi awal bahan dan karateristik fermentatif
menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 5 taraf perlakuan dan 3 kali
pengulangan dengan model matematik sebagai berikut :
Yij = μ + τi + εij
Pengamatan karakteristik utilitas silase menggunaan rancangan acak
kelompok dengan 5 taraf perlakuan dan 3 rumen yang berbeda sebagai kelompok
dengan menggunakan model matematik sebagai berikut:
Yij = μ + τi + βj + εij
Keterangan rumus (Matjjik & Sumertajaya, 2006) :
Yij = Nilai pengaruh perlakuan ke-i, ulangan (RAL) atau kelompok (RAK) ke-j
μ = Rataan umum
τi = Pengaruh perlakuan ke-i
25
β = Pengaruh ulangan/kelompok ke-j
εij = Pengaruh acak pada perlakuan ke-i ulangan (RAL) / kelompok (RAK) ke-j
Perlakuan
Perlakuan yang diberikan sebagai berikut :
1) SRK : Silase ransum komplit
2) SJ60 : Silase jagung umur 60 hari
3) SJ70 : Silase jagung umur 70 hari
4) SJ80 : Silase jagung umur 80 hari
5) SJ90 : Silase jagung umur 90 hari
Peubah yang Diamati
Peubah yang diamati pada penelitian ini adalah karakteristik awal bahan,
karakteristik fisik setelah ensilasi, karakteristik fermentasi dan karakteristik utilitas
silase yang dihasilkan. Pengamatan karakteristik awal bahan meliputi kondisi awal
bahan yaitu proporsi botani tiap bagian tanaman, kadar bahan kering (BK), protein
kasar (PK) dan karbohidrat larut air (WSC). Karakteristik fisik diamati secara
deskriptif melalui uji sensori meliputi aroma, tekstur, warna dan persentase bagian
berjamur. Pengamatan karakteristik fermentatif, parameter yang diamati adalah pH,
BK, VFA (Volatile fatty acid), kehilangan BK, Kadar PK, ammonia-nitrogen (N-
NH3), perombakan PK, residual WSC, kehilangan WSC dan nilai Fleigh.
Karakteristik utilitas silase diukur dari fermentabilitas silase dalam rumen dan
kecernaan secara in vitro (Tilley & Terry, 1963). Fermentabilitas silase dalam rumen
diukur dari konsentrasi NH3 dan VFA, sedangkan kecernaan diukur dari nilai
koefisien cerna bahan kering (KCBK) dan bahan organik (KCBO).
Analisis Statistik
Data kualitatif pada pengamatan kondisi awal bahan dianalisis secara
deskriptif sedangkan data kuantitatif pada pengamatan karakteristik fermentatif dan
utilitas dianalisa menggunakan uji sidik ragam (ANOVA). Perbedaan yang nyata
antar perlakuan diuji lanjut dengan uji jarak Duncan (1955) dengan menggunakan
perangkat lunak SPSS 17.
26
HASIL DAN PEMBAHASAN
Informasi Tanaman dan Kondisi Lingkungan
Tanaman Jagung yang digunakan adalah tanaman jagung varietas Pertiwi-3
diproduksi oleh PT. Agri Makmur Pertiwi. Tanaman Jagung yang digunakan pada
penelitian ini diolah menggunakan pupuk NPK dengan luas lahan tanam 64 x 27 cm.
Lokasi tanam di kebun jagung Cikarawang.
Tanaman Jagung dipanen pada umur 60, 70, 80 dan 90 hari. Pemanenan ke
empat umur panen jatuh pada bulan Desember. Tabel 4 memperlihatkan data iklim
lokasi tempat tanaman jagung ditanam dari bulan di mana tanaman di tanam hingga
bulan panen. Temperatur rata-rata memperlihatkan besaran yang normal yaitu pada
kisaran 25-26 ˚C dengan nilai besaran rata-rata kelembaban yang relatif optimal.
Temperatur optimal untuk jagung dalam proses perkembangannya adalah
pada kisaran 23-27 ˚C dan besaran kelembaban rata-rata 80% (Departemen
Pertanian, 2011). Tanaman jagung ditanam dan dipanen pada saat musim hujan, hal
ini dapat dilihat dari besaran curah hujan yang dialami pada bulan Oktober hingga
Desember.
Curah hujan optimal pada pertumbuhan biji jagung adalah 85-200 mm, angka
ini jauh lebih rendah dari besaran curah hujan yang dialami. Jagung merupakan
tanaman yang mudah beradaptasi pada kondisi tropis maupun subtropis akan tetapi
tanaman ini sangat membutuhkan sinar matahari. Sinar matahari yang kurang akan
menghambat pertumbuhan dan perkembangan biji pada tanaman jagung penelitian
(Departemen Pertanian, 2011). Tanaman jagung lebih optimal ditanam pada akhir
musim hujan menjelang musim kemarau.
Tabel 4. Data Iklim Lokasi Tanam Tanaman Jagung
Bulan Tahun Temperatur
Rata-Rata (˚C)
Kelembaban
Rata-rata (%)
Curah Hujan
(mm)
Okt 2011 26,30 75,00 257,00
Nop 2011 25,30 80,00 458,00
Des 2011 26,10 84,00 345,00
Jumlah 77,70 264,90 1060,00
Rata-rata 25,85 88,30 353,34
Keterangan : Data diambil dari BMKG, Balai Besar Wilayah II, Stasiun Klimatologi Darmaga Bogor.
27
Kondisi Awal Bahan
Silase tanaman jagung yang digunakan pada penelitian ini memanfaatkan
seluruh bagian tanaman. Bagian-bagian tersebut meliputi daun, jagung, batang,
klobot dan tongkol. Data pada Tabel 5 memperlihatkan proporsi bagian-bagian dari
tanaman jagung. Data menunjukkan hasil yang bervariasi untuk masing-masing
umur. Proporsi daun tertinggi dihasilkan pada SJ60 yaitu 21,66% sedangkan untuk
biji, data menunjukkan pola bahwa semakin tua umur panen, produksi biji jagung
semakin tinggi di mana jumlah tertinggi terdapat pada SJ90 sebesar 14,22%. Proporsi
batang terbanyak terdapat pada SJ60 sebesar 54,25% sedangkan klobot dan tongkol
tertinggi dihasilkan pada SJ70. Hasil pengamatan sejalan dengan pernyataan
McCutcheon dan Samples (2002) di mana batang merupakan proporsi terbanyak
pada tanaman jagung.
Tabel 5. Hasil Perhitungan Proporsi Botani Tanaman Jagung
Umur
Tanaman
Proporsi Botani (% BS)*
Daun Biji Batang Klobot Tongkol
60 hari 21,66 - 54,25 18,22 5,87
70 hari 18,03 4,92 30,33 27,38 19,34
80 hari 19,31 7,23 39,52 20,46 13,48
90 hari 18,74 14,22 36,57 18,08 12,39
Keterangan : (*) berdasarkan perhitungan.
Data selanjutnya yang disajikan pada Tabel 6 menunjukkan hasil pengukuran
kadar bahan kering (BK), protein kasar (PK) dan karbohidrat larut air (WSC) bahan
sebelum ensilasi. Hasil pengukuran BK awal memperlihatkan bahwa semakin tua
kadar BK tanaman semakin tinggi. Bal et al. (2000) dan Darby dan lauer (2002)
menyatakan bahwa BK hijauan akan semakin meningkat seiring dengan
meningkatknya umur tanaman tersebut.
Kandungan BK tanaman jagung yang digunakan pada penelitian tergolong
rendah. Rendahnya kandungan BK dapat dihubungkan dengan umur dan tingkat
kematangan tanaman. Umur jagung yang digunakan pada penelitian ini merupakan
tanaman jagung pada fase belum masak (Silking/ R1 dan Blister/ R2) (Weiss, 2012)
di mana kadar air mencapai >80% (Johnson dan McClure, 1968; Chase, 2011)
28
Hasil pengukuran kadar protein kasar (PK) menunjukkan SJ60 memiliki
kadar protein paling tinggi dibandingkan SJ70, SJ80 dan SJ90 yaitu sebesar 16,75%
± 1,19%. Besaran kadar PK pada tanaman jagung berhubungan dengan fase
pertumbuhan tanaman. Tanaman jagung umur 60 hari merupakan akhir fase vegetatif
di mana produksi hijauan maksimal dan merupakan awal fase reproduksi di mana
kandungan protein kasar lebih tinggi untuk pertumbuhan bagian vegetatif dan belum
terakumulasinya pati akibat belum munculnya biji jagung.
Tabel 6. Hasil Pengukuran Komposisi Kimia Sebelum Ensilasi
Perlakuan Peubah
BK (%)* PK (%)* WSC (%)*
SRK 45,28 ± 0,06a 19,52 ± 1,69
a 18,31 ± 0,29
a
SJ60 14,30 ± 0,05e 16,75 ± 1,19
b 11,85 ± 0,13
c
SJ70 17,99 ± 0,15d 13,72 ± 0,89
c 16,46 ± 0,63
b
SJ80 21,09 ± 0,04c 14,74 ± 0,01
bc 12,11 ± 0,88
c
SJ90 25,41 ± 0,04b 10,71 ± 0,64
d 15,65 ± 0,00
b
Keterangan : SRK= silase ransum komplit; SJ60= silase jagung umur 60 hari; SJ70 = silase jagung
umur 70 hari; SJ80= silase jagung umur 80 hari; SJ90 = silase jagung 90 hari. (*)
Analisis dilakukan di Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Perah, INTP. Huruf pada
kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) berdasarkan uji Duncan.
Hasil pengukuran menunjukkan SJ60 dan SJ80 menghasilkan WSC lebih
rendah dibandingkan SJ70 dan SJ90. Nilai kandungan WSC bertolak belakang
dengan kandungan PK. Hasil pengukuran kadar WSC tanaman jagung berkisar pada
11%-16%. Kadar WSC tanaman jagung yang digunakan lebih tinggi dari nilai
kandungan WSC hijauan yang berkualitas baik untuk pembuatan silase yaitu 3-5%
(McDonald et al., 1991) sehingga diharapkan dapat mempercepat proses fermentasi
aerob dan penurunan pH sehingga bahan cepat terawetkan.
Karakteristik Fisik Silase
Karakteristik fisik silase yang dihasilkan pada semua perlakuan secara umum
tidak menunjukkan hasil yang berbeda (Tabel 7). Aroma yang teramati setelah
kelima silase dibuka adalah asam segar. Silase beraroma asam menunjukkan proses
fermentasi berjalan dengan baik (Elfrink et al., 2000). Tekstur silase dari semua
silase menunjukkan tekstur yang lepas tidak menggumpal.
29
Pengamatan warna pada silase menghasilkan warna yang terbentuk yaitu warna hijau
yang lebih gelap dari warna asal. Saun dan Heinrichs (2008) menyatakan bahwa
warna pada silase menggambarkan hasil fermentasi selama proses ensilasi dan silase
yang berkualitas baik adalah silase yang berwarna hampir sama dengan warna bahan
sebelum ensilasi. Warna gelap pada silase menunjukkan ciri kualitas silase yang
rendah (Despal et al., 2011).
Tabel 7. Hasil Pengamatan Deskriptif karakteristik Fisik Silase
Perlakuan
Peubah
Aroma Tekstur Warna Bagian Berjamur
(%BS)*
SRK Asam Lepas Hijau 1,1
SJ60 Asam Lepas Hijau gelap 3,27
SJ70 Asam Lepas Hijau gelap 6,97
SJ80 Asam Lepas Hijau gelap 14,44
SJ90 Asam Lepas Hijau gelap 12,74
Keterangan : SRK= silase ransum komplit; SJ60= silase jagung umur 60 hari; SJ70 = silase jagung
umur 70 hari; SJ80= silase jagung umur 80 hari; SJ90 = silase jagung 90 hari. (*)
Berdasarkan pada perhitungan.
Perhitungan persentase bagian yang berjamur menunjukkan silase jagung
pada umur panen lebih tua berjamur lebih banyak dibandingkan umur panen muda
dan kontrol. Persentase optimum bagian berjamur pada silase berkualitas baik adalah
10% (Davies, 2007). Penyebab paling utama silase terkontaminasi jamur adalah
suplai oksigen yang maksimal. Jamur tersebut akan tumbuh pada kondisi aerob dan
tumbuh dipermukaan silase (McDonald et al., 2002).
Pembatasan oksigen yang kurang optimal dipicu oleh ukuran partikel dari
bahan. Tanaman jagung pada umur panen tua lebih keras dibandingkan panen muda
sehingga ukuran partikel yang terlampau besar akan menyulitkan dalam pengepakan
dan pencacahan.
Pencacahan pada bahan dapat mengubah pola fermentasi. Pencacahan
mengubah laju kerusakan jaringan tanaman sekaligus memperbaiki proses fermentasi
melalui pengepakan yang lebih mudah dan teratur, sehingga lebih mudah dipadatkan.
Pemadatan optimal akan memperluas permukaan area kontak antara substrat dan
30
mikroorganisme (Church, 1991) sehingga bakteri asam laktat dapat lebih aktif dalam
memproduksi asam laktat dan konsentrasi asam laktat meningkat (McDonald et al.,
1991). Akhirnya penurunan pH optimal dan pengawetan pakan lebih cepat tercapai.
Karakteristik Fermentatif Silase
Nilai pH silase
Hasil pengukuran yang disajikan pada Tabel 8 menunjukkan silase yang
dipanen pada umur tua (SJ80 dan SJ90) lebih asam dibandingkan perlakuan lainnya.
Kisaran nilai pH yang dihasilkan pada silase tanaman jagung penelitian berada dalam
kisaran yaitu 3,7-3,9. Silase tanaman jagung yang berkualitas baik memiliki kisaran
pH 3,8-4,2 (Haustein, 2003; Saun dan Heinrich, 2008)
Perbedaan pH yang terjadi pada tiap perlakuan berhubungan dengan
ketersediaan karbohidrat larut air pada bahan. Cherney et al. (2004) menyatakan
bahwa terdapat hubungan yang positif antar karbohidrat larut air dan pH.
Karbohidrat larut air dibutuhkan oleh bakteri asam laktat sebagai substrat dalam
memproduksi asam hingga menyebabkan penurunan pH sampai 3,5 (Muck, 2011).
Tabel 8. Hasil Pengukuran pH, BK, VFA, dan Kehilangan BK
Perlakuan Peubah
pH* BK (%)* VFA (mM)* Kehilangan BK (%)
SRK 4,53 ± 0,09a 44,46 ± 0,01
a 57,94 ± 5,90
a 3,22 ± 0,03
a
SJ60 3,86 ± 0,03b 13,77 ± 0,58
e 34,08 ± 5,90
b 1,47 ± 0,42
b
SJ70 3,79 ± 0,03bc
16,31 ± 0,70d 30,67 ± 10,22
b 1,72 ± 0,68
b
SJ80 3,75 ± 0,04c 19,83 ± 0,75
c 30,67 ± 10,22
b 1,49 ± 0,33
b
SJ90 3,76 ± 0,01c 23,76 ± 0,25
b 34,08 ± 11,81
b 1,65 ± 0,25
b
Keterangan : SRK= silase ransum komplit; SJ60= silase jagung umur 60 hari; SJ70 = silase jagung
umur 70 hari; SJ80= silase jagung umur 80 hari; SJ90 = silase jagung 90 hari. (*)
Analisis dilakukan di Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Perah, INTP. Huruf yang
berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) berdasarkan uji
Duncan.
Derajat keasaman atau pH yang rendah akan menghambat pertumbuhan
bakteri merugikan dan juga menghentikan aktivitas enzim tanaman yang
menyebabkan perombakan protein. Saat kondisi asam, asam laktat dan asam asetat
lebih mampu membatasi pertumbuhan mikroorganisme pembentuk jamur (Muck,
31
2011). Silase berkadar air tinggi apabila tidak dikontrol dengan penurunan pH yang
optimal maka akan mengalami perombakan protein yang cukup besar akibat
tingginya aktivitas enzim proteolisis dan tingginya kontaminasi jamur hingga
menyebabkan kebusukan (Saun dan Heinrichs, 2008; Muck, 2011)
Kandungan BK, VFA, dan Kehilangan BK
Kandungan bahan kering merupakan aspek penting penentuan kualitas silase.
Hasil pengukuran kadar BK pada Tabel 8 menunjukkan tanaman jagung yang
dipanen pada umur tua lebih tinggi dibandingkan dengan umur panen muda. Pola
data kandungan bahan kering setelah esilasi serupa dengan kadar bahan kering
sebelum ensilasi. Kandungan bahan kering silase tanaman jagung penelitian
tergolong sangat rendah dibandingkan kisaran optimum (Ohmomo et al., 2002) .
Rendahnya nilai kandungan bahan kering berkaitan dengan kandungan bahan
kering awal, tingkat kematangan tanaman, dan kehilangan yang terjadi pada saat
ensilasi maupun pada saat pengeringan bahan. Umur panen tanaman jagung
penelitian merupakan diduga masih dalam fase reproduksi awal di mana kandungan
bahan kering silase <20% (Johnson dan McClure, 1968). Keterlambatan
pertumbuhan tanaman dapat diakibatkan oleh varietas benih, pengolahan, keadaan
tanah dan iklim.
Pengeringan silase pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan oven-
drying yang banyak menyebabkan penguapan senyawa-senyawa volatil (Hood et al.,
1971) akibatnya kehilangan BK meningkat dan akhirnya mempengaruhi kadar BK
(Despal et al., 2011). Silase identik dengan terjadinya kehilangan kandungan nutrisi
salah satunya adalah kehilangan BK dan energi. Kehilangan ini dapat terjadi dari
mulai pemanenan hingga pemberian silase pada ternak.
Asam lemak terbang (VFA) merupakan hasil dari penguraian bahan organik
selama ensilasi. Konsentrasi VFA silase yang dihasilkan berdasarkan analisis
statistik menunjukkan silase kontrol nyata lebih tinggi dibandingkan ke empat silase
tanaman jagung (P<0,05) sedangkan ke empat silase tanaman jagung tidak
memperlihatkan perbedaan yang nyata (P>0,05). Variasi konsentrasi total VFA silase
secara umum dipengaruhi beberapa faktor yaitu jenis tanaman, kadar bahan kering
pada saat panen, populasi bakteri, kehilangan selama panen maupun saat proses
ensilasi, cuaca pada saat panen, kandungan karbohidrat bahan (Saun dan Heinrichs,
32
2008). Silase yang berkualitas baik adalah silase dengan dominasi asam laktat
(>60%) pada komposisi total asam lemak terbang (VFA) silase.
Besarnya kehilangan bahan kering akan menurunkan nilai nutrisi dari silase
tersebut. Silase tanaman jagung pada penelitian ini mengalami kehilangan bahan
kering pada kisaran 1,0%-1,8%, angka ini lebih rendah dari silase tanaman jagung
Kim dan Adesogan (2005) yang mengalami kehilangan BK lebih tinggi (13%).
Despal et al. (2011) menyatakan bahwa kehilangan BK masih dapat dikatakan
normal pada kisaran <6%.
Silase berkadar air tinggi akan lebih berpotensi mengalami kehilangan bahan
kering yang tinggi dalam bentuk gas. Kondisi ini menurunkan kualitas dan
meningkatkan aktivitas fermentasi yang tidak diinginkan akibat meningkatnya
aktivitas Clostridium dan bakteri heterolaktat memproduksi CO2, etanol dan panas
(Nussio, 2005) dan juga menyebabkan tingginya kehilangan energi (McDonald et al.,
1991). Kondisi aerob menyebabkan bakteri lebih banyak memproduksi CO2, etanol
dan panas dibandingkan memfermentasikan asam. Kondisi aerob juga terjadi sebagai
akibat dari penanganan terhadap silase pada saat pemasukan bahan yang buruk di
mana silase terpapar oksigen terlalu banyak dalam jangka waktu yang cukup lama
(Muck, 2011)
Bahan pakan yang mengalami proses fermentasi akan mengalami banyak
kehilangan senyawa volatil yang mengandung energi. Peristiwa ini yang
menyebabkan pengukuran bahan kering pakan fermentasi sebaiknya menggunakan
faktor koreksi untuk akurasi nilai kandungan bahan kering silase (Weissbach et al.,
2008).
Hasil perhitungan bahan kering setelah ensilasi menggunakan faktor koreksi
sebesar 1,056 untuk silase tanaman jagung dan 1,063 untuk silase ransum komplit
(Fox dan Fenderson, 1978) disajikan pada Tabel 9. Kandungan bahan kering koreksi
yang dihasilkan menunjukkan pola yang sama dengan BK tidak terkoreksi namun
angka yang dihasilkan lebih besar. Hasil perhitungan kehilangan bahan kering
setelah koreksi menunjukkan tidak berbeda nyata secara statistik (P>0,05).
33
Tabel 9. Hasil Perhitungan Kandungan dan Kehilangan BK Koreksi
Perlakuan Peubah
BK Koreksi (%) Kehilangan BK Koreksi (%)
SRK1
44,70 ± 0,04a 0,57 ± 0,04
SJ602 13,55 ± 0,45
e 0,74 ± 0,45
SJ702 17,19 ± 0,72
d 0,81 ± 0,72
SJ802 20,70 ± 1,41
c 0,39 ± 0,34
SJ902 25,09 ± 0,27
b 0,32 ± 0,27
Keterangan : SRK= silase ransum komplit; SJ60= silase jagung umur 60 hari; SJ70 = silase jagung
umur 70 hari; SJ80= silase jagung umur 80 hari; SJ90 = silase jagung 90 hari. 1faktor
koreksi 1,063; 2Faktor koreksi 1,056. Huruf yang berbeda pada kolom yang sama
menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) berdasarkan uji Duncan.
Kandungan PK, N-NH3, dan Perombakan PK
Hasil pengukuran kadar protein kasar (N 6,25) pada perlakuan silase
tanaman jagung beda umur menunjukkan pola yang sama dengan kandungan protein
kasar tanaman jagung sebelum ensilasi (Tabel 10). Berdasarkan analisis sidak ragam
silase tanaman jagung umur 60, 70 dan 80 menunjukkan hasil yang tidak berbeda
nyata (P>0,05) dan nyata lebih tinggi dibandingkan umur 90 hari (P<0,05). Besarnya
kandungan protein silase dipengaruhi oleh besarnya kandungan protein bahan dan
juga perombakan protein kasar.
Protein bahan akan mengalami penguraian pada saat ensilasi di mana protein
akan dirombak menjadi asam amino dan polipeptida, yang kemudian diurai lebih
lanjut menjadi ammonia nitrogen, VFA dan CO2. Kondisi ini akan terjadi secara
intensif apabila suplai oksigen mencukupi.
Perombakan protein menjadi ammonia nitrogen (N-NH3) pada silase tanaman
jagung penelitian ini berkisar antara 1,3-1,7 mM. Silase yang berkualitas baik adalah
silase yang menghasilkan ammonia nitrogen sebesar <50 g/kg total N (Zamudio et
al., 2008) atau perombakan protein sebesar <4,1% (Despal et al., 2011). Silase
tanaman jagung pada penelitian ini menghasilkan ammonia nitrogen yang rendah
yaitu <2 mM mengindikasikan silase berkualitas baik namun karena kandungan PK
awal yang rendah, perombakan protein yang dialami jagung tersebut menjadi lebih
tinggi secara proporsi yaitu berkisar antara 4,8%-6,0% dari kadar protein bahan.
34
Tabel 10. Hasil Pengukuran PK, N-NH3, dan Perombakan PK
Perlakuan Peubah
PK (%)* N-NH₃ (mM)* Perombakan PK (%)
SRK 19,23 ± 0,24a 2,99 ± 0,12
a 3,01 ± 0,17
b
SJ60 14,78 ± 1,20b 1,41 ± 0,12
b 5,90 ± 0,74
a
SJ70 13,10 ± 1,08b 1,55 ± 0,21
b 5,67 ± 1,24
a
SJ80 13,66 ± 1,41b 1,59 ± 0,05
b 4,89 ± 0,61
a
SJ90 10,61 ± 0,11c 1,58 ± 0,09
b 5,75 ± 0,31
a
Keterangan : SRK= silase ransum komplit; SJ60= silase jagung umur 60 hari; SJ70 = silase jagung
umur 70 hari; SJ80= silase jagung umur 80 hari; SJ90 = silase jagung 90 hari. (*)
Analisis dilakukan di Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Perah, INTP. Huruf yang
berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) berdasarkan uji
Duncan.
Water Soluble Carbohydrate (WSC)
Karbohidrat terlarut air (WSC) merupakan substrat bagi BAL selama ensilasi
untuk meningkatkan proses pengawetan (Davies et al., 2005). Data hasil pengukuran
kandungan karbohidrat terlarut air disajikan pada Tabel 11. Residual WSC yang
dihasilkan pada silase tanaman jagung penelitian secara numerik memperlihatkan
kecenderungan pola semakin menurun pada umur panen yang meningkat.
Residual WSC pada silase tanaman jagung umur panen 60 hari cenderung
lebih tinggi dibandingkan silase pada umur panen lainnya dan tidak berbeda nyata
(P>0,05) dengan SRK. Residual WSC SRK lebih tinggi dibandingkan dengan SJ70,
SJ80 dan SJ90. Didasarkan pada besarnya nilai kandungan WSC awal bahan dan
setelah ensilasi, maka banyaknya kehilangan WSC dapat dihitung. Hasil perhitungan
menunjukkan silase tanaman jagung SJ70 dan SJ90 dengan besar kehilangan
berturut-turut yaitu 11,87% ± 0,28% dan 11,76% ± 0,85% mengalami kehilangan
lebih besar dari umur lainnya.
Berdasarkan besarnya nilai kehilangan WSC dapat diduga BAL
memanfaatkan karbohidrat terlarut lebih optimal dibandingkan umur lainnya. Silase
tanaman jagung umur 80 hari meskipun mengalami kehilangan WSC lebih sedikit,
namun hasil pengukuran menunjukkan kualitas fermentatif yang dihasilkan cukup
optimal.
35
Tabel 11. Hasil Pengukuran Residual & Kehilangan WSC dan NF
Perlakuan Peubah
Residual WSC (%BK)* Kehilangan WSC (%BK) Nilai Fleigh
SRK 6,11 ± 1,31a 11,78 ± 0,29
a 109,68 ± 7,03
a
SJ60 4,98 ± 0,29ab
6,81 ± 0,07b 74,66 ± 0,40
c
SJ70 4,68 ± 0,07b 11,87 ± 0,28
a 80,72 ± 0,50
c
SJ80 4,23 ± 0,28b 7,88 ± 0,29
b 90,09 ± 2,56
b
SJ90 3,91 ± 0,85b 11,76 ± 0,85
a 95,13 ± 1,20
b
Keterangan : SRK= silase ransum komplit; SJ60= silase jagung umur 60 hari; SJ70 = silase jagung
umur 70 hari; SJ80= silase jagung umur 80 hari; SJ90 = silase jagung 90 hari. (*)
Analisis dilakukan di Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Perah, INTP. Huruf yang
berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) berdasarkan uji
lanjut Duncan.
Nilai pH, kehilangan BK dan perombakan protein kasar SJ80 cenderung sama
dengan SJ70 dan SJ90. Kondisi ini diduga bahwa kehilangan WSC tidak hanya
karena pemanfaatannya yang optimal oleh BAL (Chen dan Weinberg, 2008) namun
juga karena kehilangan akibat fermentasi aerob. Kehilangan WSC selama ensilasi
disebabkan tidak hanya akibat aktivitas bakteri namun juga akibat respirasi oleh
enzim tanaman.
Aksi respirasi dari enzim tanaman ini didukung dengan ketersediaan oksigen
yang akan memperpanjang proses fermentasi aerob sehingga menyebabkan banyak
kehilangan akibatnya kualitas fermentasi menurun. Kehilangan WSC pada SRK
meskipun cukup tinggi, namun tidak mampu menurunkan pH ke arah optimal.
Kondisi tersebut diduga oleh tingginya PK ransum yang menyebabkan kapasitas
penyangga silase menjadi tinggi.
Kualitas Silase Berdasarkan Nilai Fleigh
Nilai Fleigh merupakan perhitungan yang digunakan untuk mengukur
kualitas fermentasi silase berdasarkan nilai kandungan bahan kering dan pH silase.
Nilai Fleigh yang dihasilkan pada silase penelitian ini menunjukkan SRK, SJ80, dan
SJ90 menghasilkan nilai Fleigh >85 sehingga dikategorikan sebagai silase yang
berkualitas sangat baik sedangkan SJ60 dan SJ70 menghasilkan nilai Fleigh yang
masuk pada kisaran 60-80 sehingga dikategorikan sebagai silase berkualitas baik
(Ozturk, 2005).
36
Karakteristik Utilitas Silase
Fermentabilitas Pakan di dalam Rumen
NH3 Rumen. Amonia (NH3) merupakan hasil fermentasi protein di dalam rumen
yang akan digunakan mikroba rumen sebagai sumber nitrogen untuk sintesis protein
mikroba (McDonald et al., 2002) yang akan menentukan status nutrisi pada ternak
(Uhi et al., 2006). Protein pakan akan dihidrolisis oleh enzim proteolisis menjadi
asam amino dan peptid. Asam amino kemudian akan diurai menjadi ammonia, asam
organik (VFA) dan CO2. Penguraian protein didalam rumen dibutuhkan dalam
jumlah terbatas hanya untuk memenuhi kebutuhan bakteri akan nitrogen.
Kadar NH3 rumen yang dihasilkan silase tanaman jagung pada Tabel 12
menunjukkan secara statistik SJ60 dan SJ70 menghasilkan ammonia yang nyata
lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan SJ80 dan SJ90 dan tidak berbeda nyata
dengan silase kontrol (P>0,05). Konsentrasi ammonia di dalam rumen harus optimal
untuk memaksimalkan sintesis protein mikroba, memasok sebagian sumber N
mikroba dan mempengaruhi fermentasi asam organik. Tinggi atau rendahnya
konsentrasi NH3 didalam rumen disebabkan oleh besarnya kandungan protein pakan
(Despal et al., 2011), tingkat perombakan protein dan lamanya pakan difermentasi di
dalam rumen (Uhi et al., 2006).
Besarnya NH3 rumen yang dihasilkan silase tanaman jagung penelitian
berada pada kisaran ammonia optimum dalam rumen menurut Sutardi (1977) yaitu 4-
12 mM dan McDonald et al. (2002) yaitu 6-21 mM.
VFA rumen. Volatile fatty acid (VFA) atau asam lemak terbang merupakan hasil
fermentabilitas bahan organik untuk digunakan mikroba rumen sebagai sumber
energi (Orskov dan Ryle, 1990). Konsentrasi VFA rumen yang dihasilkan pada
penelitian ini berkisar antara 154-168 mM berada pada kisaran optimum silase
berkualitas baik menurut Suryapratama (1999) yaitu 80-160 mM. Tingginya kadar
VFA yang dihasilkan menggambarkan sedikitnya bahan yang mudah larut
difermentasi oleh BAL selama ensilasi dan mudahnya pakan difermentasi dalam
rumen.
Konsentrasi VFA rumen silase yang dihasilkan lebih tinggi dari silase daun
rami beraditif sumber karbohidrat yang dilaporkan Despal et al. (2011) dan Wang et
37
al. (2005) yaitu 127-164 mM dan 93,4-99,6 mM. Berdasarkan analisis sidik ragam,
konsentrasi VFA dalam rumen tidak berbeda nyata antar perlakuan (P>0,05).
Koefisien Cerna Bahan Kering dan Bahan Organik
Kecernaan merupakan salah satu indikator dalam evaluasi bahan pakan dan
mengindikasikan ketersediaan nutrien yang terkandung bagi ternak yang
mengkonsumsinya. Analisis sidik ragam pada pengukuran kecernaan silase tanaman
jagung pada penelitian (Tabel 12) menunjukkan kecernaan BK silase tanaman jagung
umur 90 hari nyata lebih tinggi dibandingkan umur yang lebih muda (P<0,05) namun
nyata lebih rendah dibandingkan kontrol.
Nilai kecernaan bahan kering silase tanaman jagung yang dihasilkan
menunjukkan pola yang positif antara umur panen dan kecernaan bahan kering di
mana semakin meningkatnya umur panen kecernaan semakin tinggi. Kondisi tersebut
diduga berhubungan dengan meningkatnya proporsi biji jagung dan menurunnya
proporsi serat (batang, tongkol, klobot dan daun). Kecernaan bahan kering yang
dihasilkan pada silase tanaman jagung penelitian berkisar pada 58%-73%.
Tabel 12. Hasil Pengukuran NH3, VFA rumen dan KCBK, KCBO
Perlakuan Peubah
NH₃ (mM)* VFA (mM)* KCBK (%)* KCBO (%)*
SRK 10,09 ± 2,64a 168,38 ± 48,59 77,79 ± 2,79
a 79,37 ± 3,59
a
SJ60 10,18 ± 3,36a 168,45 ± 62,19 62,32 ± 4,73
c 63,86 ± 5,54
c
SJ70 9,32 ± 2,37a 161,01 ± 10,43 62,24 ± 1,59
c 64,86 ± 2,15
c
SJ80 7,81 ± 1,94b 155,11 ± 27,00 63,08 ± 3,72
c 63,30 ± 4,99
c
SJ90 6,20 ± 2,82c 154,63 ± 52,80 68,75 ± 3,88
b 69,80 ± 4,47
b
Keterangan : SRK= silase ransum komplit; SJ60= silase jagung umur 60 hari; SJ70 = silase jagung
umur 70 hari; SJ80= silase jagung umur 80 hari; SJ90 = silase jagung 90 hari. (*)
Analisis dilakukan di Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Perah, INTP. Huruf yang
berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) berdasarkan uji
lanjut Duncan.
Weinberg et al. (2007) melaporkan nilai cerna silase tanaman jagung selama
48 jam inkubasi menghasilkan koefisien cerna sebesar 66,6% lebih tinggi dari silase
gandum sebesar 61,7%. Aksu et al. (2003) melaporkan bahwa pemberian silase
tanaman jagung secara in vivo pada domba menghasilkan koefisien cerna yang
38
berkisar antara 57%-61% dan Dann et al. (2008) sebesar 84%-86% pada sapi perah
FH.
Kecernaan yang tinggi mencerminkan besarnya sumbangan nutrien pada
ternak, sementara itu pakan yang mempunyai kecernaan rendah menunjukan bahwa
pakan tersebut kurang mampu menyuplai nutrien baik untuk hidup pokok maupun
untuk tujuan produksi ternak (Yusmadi, 2008).
Pola nilai kecernaan bahan organik akan mengikuti pola kecernaan bahan
kering (Puastuti et al., 2004). Kecernaan bahan organik merupakan faktor penting
yang dapat menentukan nilai pakan (Sutardi, 1977). Sebagian besar komponen bahan
kering terdiri atas bahan organik sehingga faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi
rendahnya kecernaan bahan kering akan mempengaruhi juga tinggi rendahnya
kecernaan bahan organik ransum. Pernyataan ini sesuai dengan hasil pengukuran
kecernaan BK silase perlakuan. Silase tanaman jagung umur panen 90 hari secara
statistik juga menghasilkan koefisien cerna BO yang nyata lebih tinggi (P<0,05)
diantara silase tanaman jagung lainnya. Aksu et al. (2003) melaporkan nilai koefisien
cerna BO secara in vivo pada domba sebesar 68,39%. Nilai kecernaan bahan organik
silase jagung pada penelitian ini lebih rendah dari pada silase daun rami dengan
penambahan 20% jagung yaitu 73,60% (Despal et al., 2011) dan lebih tinggi dari
silase sorghum sebesar 54% (Marco et al., 2009).
Kecernaan bahan organik menggambarkan senyawa protein, karbohidrat dan
lemak yang dapat dicerna oleh ternak. Pengukuran kecernaan bahan organik
digunakan untuk mengestimasi kandungan net energi dari bahan pakan. Besarnya
nilai kecernaan bahan organik dipengaruhi oleh kandungan serat bahan pakan dan
aktivitas bakteri selulolitik akibat perubahan pH (Fabio et al., 2007). Pengukuran
kandungan serat bahan meskipun tidak dilakukan selama penelitian namun efek serat
terhadap kecernaan dapat diduga dari tingginya fraksi daun, batang, klobot dan
tongkol. Bagian-bagian tersebut mengandung lebih banyak serat yang sulit dicerna
seperti lignin. Menurut McCtucheon dan Samples (2002) batang jagung memiliki
kecernaan bahan kering in vitro sebesar 51%, daun 58%, tongkol 60% dan klobot
68%.
39
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Hasil pengamatan sensori karakteristik fisik menunjukkan ke empat umur
tanaman jagung yaitu umur 60, 70, 80 dan 90 hari baik untuk dijadikan silase.
Berdasarkan hasil pengamatan karakteristik fermentatif umur 80 hari lebih optimum
dibandingkan umur lainnya. Umur 80 hari menghasilkan kandungan BK silase, PK
dan WSC yang optimal dan mengalami kehilangan atau perombakan yang relatif
lebih sedikit selama fermentasi dibandingkan umur lainnya. Hasil pengamatan
karakteristik utilitas menunjukkan fermentabilitas pakan di rumen (NH3 dan VFA
rumen) relatif optimal dengan nilai kecernaan bahan kering dan bahan organik relatif
seimbang.
Saran
Penggunaan silase tanaman jagung yang didasarkan pada umur panen yang
berbeda sebaiknya disesuaikan dengan kebutuhan nutrisi dan status fisiologis ternak.
Umur tanaman jagung yang digunakan (60, 70, 80 dan 90 hari) pada penelitian ini
merupakan tanaman jagung berumur muda sehingga akan lebih baik diterapkan pada
ruminansia pada fase pertumbuhan, sapi perah periode kering dan sapi laktasi.
40
UCAPAN TERIMA KASIH
Alhamdulillahi rabbil alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala
limpahan rahmat dan nikmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas
akhirnya sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan di Departemen
Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah SAW
Ucapan terima kasih sebesar-besarnya tak lupa penulis ucapkan kepada orang
tua tercinta Ayahanda M. Isa Yusuf dan Ibunda Rumyani serta kepada Saudara
kandung penulis atas segala kasih sayang, bimbingan, do’a dan dukungan baik secara
moril maupun materil.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Dr.
Despal, S.Pt. M.Sc.Agr sebagai pembimbing skripsi dan pembimbing akademik dan
Dr. Ir. Ahmad Darobin Lubis, M.Sc sebagai pembimbing skripsi anggota atas segala
bimbingan, arahan, nasihat, motivasi dan dukungan selama masa perkuliahan dan
penyusunan tugas akhir. Kepada Prof. Dr. Ir. Nachrowi Ramli, M.Sc selaku penguji
seminar, Kepada Ir. Bernadeth Nenny Polii, SU dan Dr. Anuraga Jayanegara, S.Pt
M.Sc selaku penguji sidang, dan kepada Iwan Prihantoro S.Pt, M.Si selaku panitia
sidang yang telah memberikan masukan dan saran atas penulisan skripsi ini. Terima
kasih pula diucapkan kepada Ibu Dian Aggraeni dan Ibu Nur selaku teknisi
Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Perah atas keikhlasan, dukungan, dan bantuan
kepada penulis selama penelitian. Ucapan terima kasih juga diberikan kepada
Prastiwi Andina dan Dewi Ayu Lestari selaku teman sepenelitian, sahabat
seperjuangan (Altami Nurmila, Liza Aziza, Ira Dewiyana, Dhiki M. Januari, Annita
Aviantri, Denbeti Noviani, Emmi Ratna S., Selviana Y. M., Ermana S. Dini), teman-
teman satu laboratorium, satu bimbingan, keluarga Genetik 45, keluarga Diastin,
keluarga Jakpus BEM KM dan semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu-persatu
atas keihklasannya dan bantuan selama penelitian maupun pendampingan dalam
penyelesaian skripsi kepada penulis. Semoga Skripsi ini dapat bermanfaat. Aamiin.
Bogor, Juni 2012
Penulis
41
DAFTAR PUSTAKA
Aksu, T., E. Baytok, & D. Bolat. 2003. Effects of bacterial silage inoculant on corn
silage fermentation and nutrient digestibility. Small Ruminant Research
55:249-252
Anggraeny, Y. N., U. Umiyasih, & N. H. Krishna. 2006. Potensi limbah jagung siap
rilis sebagai sumber hijauan sapi potong. Pros. Lokakarya Nasional Jejaring
Pengembangan Sistem Integrasi Jagung-Sapi. Pontianak, 9-10 Agustus 2006.
Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 149 – 153.
Badan Pusat statistik. 2011. Statistik Pertanian. Pusat data dan informasi pertanian.
Departemen Pertanian, Jakarta
Bal, M. A., R. D Shaver, K. J Shinners, J. G Coors, J. G Lauer, R. J Straub, & R. G
Koegel. 2000. Stage of maturity, processing and hybrid effects on ruminal in
situ disappearance of whole-plant corn silage. J. Anim. Feed Sci. and Tech.
86:83-94
Chase, L. E. 2011. Considerations for Working With Immature Corn Silage.
Departement of Animal Science. Cornell University.
Chen, Y. & Z. G. Weinberg. 2008. Changes during aerobic exposure of wheat
silages. Anim. Feed Sci and Tech. 154:76-82
Cherney, D. J., H Cherney, & W. J. Cox. 2004. Fermentation characteristics of corn
forage ensiled in mini silos. J. Dairy Sci. 87:4238-4246.
Church, D. C. 1991. Livestock Feeds and Feeding. 3rd
ed. Prentice-Hall Inc., New
Jersey.
Dann, H. M., R. J. Grant, K. W. Cotanch, E. D. Thomas, & C. S. Ballard. 2008.
Comparison of brown midrib sorghum-sudangrass with corn silage on
lactational performance and nutrient digestibility in holstein dairy cows. J.
Dairy Sci. 91:663-672
Darby, H. M. & J. G. Lauer. 2002. Harvest date and hybrid influence on corn forage
yield, quality and preservation. Agron. J. 94:559-566.
Davies, D. 2007. Improving silage quality and reducing CO2 emmision.
http://www.dow.com/silage/tools/experts/improving.htm. [28 Juni 2012]
Davies, D. R., M. K. Theodorou, A. H. Kingston-Smith, & R. J. M. Merry. 2005.
Advances in Silage Qualty in The 21st Century. Silage Production and
Utilisation. Wageningen Academic Publishers. Netherlands.
Departemen Pertanian. 2011. Budidaya jagung. http://epetani.deptan.go.id [8 Juli
2012]
42
Despal, I. G. Permana, S. N. Safarina, & A. J. Tatra. 2011. Penggunaan berbagai
sumber karbohidrat terlarut air untuk meningkatkan kualitas silase daun rami.
Med. Pet. 67-69
Dubois, M., K. A. Gilles, J. K. Hamilton, P. A. Rebers, & F. Smitth. 1956.
Calorimetric Method for Determination of Sugars and Related Substances.
Division of Biochemistry. University of Minnesota, St. Paul, Minn.
Duncan, D. B. 1955. Multiple Range and Multiple F Tests. Biometrics 11; 1-42.
Elfrink, S. J. W. H. O., F. Driehuis, J. C. Gottschal, & S. F. Speolstra. 2000. Silage
fermnetation processes and their manipulation. In Proceeding of the FAO
Electronic conference on Tropical Silage 1 September to 15 December 1999.
Fabio, Z., S. Calabro, V. Piccolo, S. D’Urso, & R. Tudisco. Diets with different
forage/concentrate rations for the mediteranean italian buffalo : in vivo and
in vitro digestibility. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 21(1):75-82
Fox, D. G. & L. Fenderson. 1978. Influence of NPN treatment oven temperate and
drying time on error in determining true corn silage dry matter. J. Anim Sci
47:1152-1156
Furqaanida, N. 2004. Pemanfaatan klobot jagung sebagai subsitusi sumber serta
ditinjau dari kualitas fisik palatabilitas wafer ransum komplit untuk domba.
Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Haustein, S. 2003. Evaluating silage quality. http:www.agric.gov.ab.ca [4 mei 2012]
Hood, R. L., C. E Allen, R. D Goodrich, & J. C Meiske. 1971. A rapid methode for
the direct chemical determination of water in fermented feed. J. Anim Sci vol
33(6)
Johnson, R. R. & K. E. McClure. 1968. Corn plant maturity IV: effects on
digestibility of corn silage in sheep. J. Anim. Sci. 27:535-540
Johnson, L. M., J. H. Horrison, D. Davidson, W. C. Mahanna, & K. Shinners. 2003.
Corn silage management: effect of hybrid, maturity, inoculation and
mechanical processing on fermentation characteristics. J. Dairy Sci. 86:287-
308
Keady, T. W. J. 2005. Ensiled maize and Whole Crop Wheat Forages For Beef and
Dairy Cattle: Effects on Animal Performance. In: Silage Production and
Utilization. Park, R.S. and M.D. Stronge (Eds.). Wageningen Academic Publ.
The Netherlands. pp. 65 – 82.
Kim, S. C. & A. T Adesogan. 2006. Influence of ensilage temperature, simulated
rainfall and delayed sealing on fermentation charachteristics and aerobics
stability of corn silage. J. Dairy Sci. 89:3122-3132.
43
Kjeldahl, J. 1883. A new method for the determination of nitrogen in organic matter.
Zeitschreft fur Analytische Chemie. 22: 366
Lee, C. 2012. Corn growth and development. http://www.uy.edu/Ag/GrainCrops [8
mei 2012]
Marco, O. N. D., M. S. Aello, M. Nomdedeu, & S. Van Houtte. 2002. Effect of
maize crop maturity on silage chemical composition and digestibility (in
vivo, in situ and in vitro). Anim. Feed Sci. And Tech. 99:37-43.
Marco, O. N. D., M. A. Ressia, S. Arias, M. S. Aello, & M. Arzadun. 2009.
Digestibility of forage silages from grain, sweet and bmr sorghum types:
comparison of in vivo, in situ and in vitro data. Anim. Feed Sci. And Tech.
153:161-168
Mattjik, A. A. & M. Sumertajaya. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi
SAS dan Minitab. Jilid I. Edisi ke-2. Institut Pertanian Bogor (IPB)-Press,
Bogor.
McCutcheon, J. & D. Samples. 2002. Grazing corn residue. Extension Factsheet.
Ohio State University, Ohio.
McDonald, P., R. Edwards, & J. Greenhalgh. 1991. The Biochemistry of silage. 2nd
Ed. Chalcombe Publications. Marlow, Bucks SL7 3PU.
McDdonald, P., R. Edwards, & J. Greenhalgh. 2002. Animal Nutrition. 6th. New
York
Moran, J. 2005. Tropical dairy farming: feeding management for small holder dairy
farmers in the humid tropics. Lanlink Press. 312 pp
Muck, R. E. 2011. The Art and Science of Making Silage. Plant Science
Departement, University of California. California.
Nussio, L. G. 2005. Silage production from tropical forages. In Proceedings of the
XIVth International Silage Conference, a Satelite Workshop of the XXth
International Grassland Congress, July 2005, Belfast, Northern Ireland.
Ohmomo, S., O. Tanaka, H. K Kitamoto, & Y. Cai. 2002. Silage and microbial
performance, old story but new problems. JARQ 36 (2) : 59-71
Orskov, E. R. & M. Ryle. 1990. Energy Nutrition in Ruminant. London: Elseivier.
Oullet, D. R., H. Lapierre, & J. Chiquette. 2003. Effects of corn silage processing
and amino acid supplementation on the performance of lactating dairy cows.
J. Dairy Sci. 86:3675-3684.
Ozturk, D., M. Kizilsimsek, A. Kamalak, O. Canbolat, & C. O. Ozkan. 2005. Effects
of ensiling alfalfa with whole-crop maize on the chemical composition and
44
nutritive value of silage mixtures. Departement of Crop Science,
Kahramanmaras Sutcu Imam University, Turkey.
Parakkasi, A. 1995. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. Universitas
Indonesia Press. Jakarta.
Preston, R. L. 2006. Feed composition tables. http://beefmag.om [20 April 2012].
Puastuti, W., D. Yulistiani, & I. W. Mathius. 2004. Nilai biologis (in vitro dan in
sacco) bulu ayam yang diolah secara kimiawi sebagai sumber protein by-pass
rumen. JITV Vol. 9 No. 2.
Putra, D. K. 2011. Evaluasi kecernaan biskuit daun jagung sebagai pakan sumber
serat pada domba. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Saun, R. J. V. & A. J Heinrich. 2008. Trouble Shooting silage problem. In
Proceedings of the Mid-Atlantic Conference: Pensylvania, 26 May 2008. Pen
State’s Collage. Hlm 2-10.
Suryapratama, W. 1999. Efek suplementasi asam lemak volatile bercabang dan
kapsul lisin serta treonin terhadap nutrisi protein sapi holstein. Disertasi.
Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sutardi, T. 1977. Ikhtisar Ruminologi. Bahan Khusus Peternakan Sapi Perah. Kayu
Ambon, Lembang. Direktorat Jenderal Peternakan-FAO. Bandung
Tabacco, E., F. Righi, A. Quarantelli, & G. Borreani. Dry matter and nutritional
losses during aerobic deterioration of corn and sorghum silages as influences
by different lactic acid bacteria inoculan. J. Dairy. Sci. 94:1409-1419.
Tangendjaja, B., S. Rachmawati, & E. Wina. 2008. Origins and factor associated
with mycotoxins level in corn used as animal feed in indonesia. IJAS
Tarigan, A., L. Abdullah, S. P. Ginting, & I. G. Permana. 2010. Produksi dan
komposisi nutrisi serta kecernaan in vitro indigofera sp pada interval dan
tinggi pemotongan berbeda. JITV 15(2):188-195.
Tilley, J. M. A. & R. A. Terry. 1963. Two-stage technique for the in vitro digestion
of forage crops. J. Brit. Grassland Soc. 18:104-11
Trung, T. S., C. Tabuc, S. Bailly, A. Querin, P. Guerre, & J. D Bailly. 2008. Fungal
mycoflora and contamination of maize from vietnam with AFL B1 and
Fumonisin B1. World. Myco. J. 1:87-94.
Uhi, H. T., A. Parakkasi, & B. Haryanto. 2006. Pengaruh suplemen katalitik terhadap
karakteristik dan populasi mikroba rumen domba. Med. Pet. Edisi April Hlm.
20-26
45
Umiyasih, U. & E. Wina. 2008. Pengolahan dan nilai nutrisi limbah tanaman jagung
sebagai pakan ternak ruminansia. Wartazoa Puslitbang Peternakan. 18(3)
Wang, C., Q. Liu, W. J. Huo, W. Z Yang, & G. Guo. 2009. Effects of glycerol on
rumen fermentation, urinary excretion of purine derivatives and feed
digestibility in steers. Livestock Science. 121:15-20
Weinberg, Z. G., O. Shatz, Y. Chen, E. Yosef, M. Nibahat, D. Ben-Ghedalla, & J.
Miron. 2007. Effect of lactic acid bacteria inoculants on in vitro digestibility
of wheat and corn silage. J. Dairy Sci. 90:4754-4762.
Weiss, B. 2012. Immature corn silage. www.dairy.osu.edu [4 mei 2012]
Weissbach, F., Elmenhorst, C Strubelt, & Parchim. 2008. Correcting the dry matter
cntent of maize silages as a substrate for biogas production. Landtechnik 2, p.
63-83
Yusmadi. 2008. Kajian mutu dan palatabilitas silase dan hay ransum komplit
berbasis sampah organik primer pada kambing PE. Tesis. Program
Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Zamudio, D. M., J. M Pinos-Rodriguez, S. S Gonzalez, P. H Robinson, J. C Garcia,
& O. Montanez. 2009. Effects of agave salmania otto ex salm-dyck silage as
forage on ruminal fermentation and growth in goats. Anim Feed Sci and
Tech. 148:1-11
46
LAMPIRAN
47
Lampiran 1. Hasil Sidik Ragam BK Sebelum Ensilasi
ANOVA
SK JK Db KT Fhit F 0,05
Perlakuan 1180,14 4 295,04 45197,87 5,19
Error 0,03 5 0.007
Total 1180,17 9
Hasil Uji Lanjut Duncan
perlakuan N Subset α = 0,05
1 2 3 4 5
SJ60 2 14,30
SJ70 2
17,99
SJ80 2
21,09
SJ90 2
25,41
SRK 2
45,28
Sig. 1 1 1 1 1
48
Lampiran 2. Hasil Sidik Ragam PK Sebelum Ensilasi
ANOVA
SK JK db KT Fhit F 0,05
Perlakuan 87,33 4 21,83 20,05 5,19
Error 5,45 5 10,89
Total 92,78 9
Hasil Uji Lanjut Duncan
perlakuan N Subset α = 0,05
1 2 3 4
SJ90 2 10,71
SJ70 2
13,72
SJ80 2
14,74 14,74
SJ60 2
16,75
SRK 2
19,53
Sig.
1 0,37 0,11 1
49
Lampiran 3. Hasil Sidik Ragam WSC Sebelum Ensilasi
ANOVA
SK JK db KT Fhit F 0,05
Perlakuan 59,329 4 14,832 69,576 5,19
Error 1,066 5 0,213
Total 60,395 9
Hasil Uji Lanjut Duncan
perlakuan N Subset α = 0,05
1 2 3
SJ60 2 11,80
SJ80 2 12,11
SJ90 2
15,67
SJ70 2
16,55
SRK 2
17,90
Sig. 0,53 0,12 1
50
Lampiran 4. Hasil Sidik Ragam pH
ANOVA
SK JK db KT Fhit F 0,05
Perlakuan 1,32 4 0,33 151,39 3,48
Error 0,02 10 0,00
Total 1,34 14
Hasil Uji Lanjut Duncan
Perlakuan N Subset α = 0,05
1 2 3
SJ80 3 3,75
SJ90 3 3,76
SJ70 3 3,79 3,79
SJ60 3
3,86
SRK 3
4,53
Sig.
0,34 0,13 1
51
Lampiran 5. Hasil Sidik Ragam BK Setelah Ensilasi
ANOVA
SK JK db KT Fhit F 0,05
Perlakuan 1571,53 4 392,88 2441,68 3,48
Error 1,61 10 0,16
Total 1573,14 14
Hasil Uji Lanjut Duncan
perlakuan N Subset α = 0,05
1 2 3 4 5
SJ60 3 12,83
SJ70 3
16,28
SJ80 3
19,60
SJ90 3
23,76
SRK 3
42,05
Sig.
1 1 1 1 1
52
Lampiran 6. Hasil Sidik Ragam VFA Silase
ANOVA
SK JK db KT Fhit F 0,05
Perlakuan 1602,29 4 400,57 4,79 3,48
Error 836,41 10 83,64
Total 2438,70 14
Hasil Uji Lanjut Duncan
perlakuan N Subset α = 0,05
1 2
SJ70 3 30,67
SJ80 3 30,67
SJ60 3 34,08
SJ90 3 34,08
SRK 3
57,93
Sig.
0,68 1
53
Lampiran 7. Hasil Sidik Ragam Kehilangan BK Silase
ANOVA
SK JK db KT Fhit F 0,05
Perlakuan 6,59 4 1,65 10,10 3,48
Error 1,63 10 0,16
Total 8,22 14
Hasil Uji Lanjut Duncan
perlakuan N Subset α = 0,05
1 2
SJ60 3 1,47
SJ80 3 1,49
SJ90 3 1,65
SJ70 3 1,72
SRK 3
3,22
Sig. 0,50 1
54
Lampiran 8. Hasil Sidik Ragam BK & Kehilangan BK Koreksi
ANOVA BK Koreksi
SK JK db KT Fhit F 0,05
Perlakuan 1788,23 4 447,06 2463,12 3,48
Error 1,82 10 0,18
Total 1790,04 14
Hasil Uji Lanjt Duncan BK Koreksi
perlakuan N Subset α = 0,05
1 2 3 4 5
SJ60 3 13,55
SJ70 3
17,19
SJ80 3
20,70
SJ90 3
25,09
SRK 3
44,70
Sig.
1.000 1.000 1.000 1.000 1.000
ANOVA Kehilangan BK Koreksi
SK JK db KT Fhit F 0,05
Perlakuan 0,55 4 0,14 0,75 3,48
Error 1,83 10 0,18
Total 2,38 14
55
Lampiran 9. Hasil Sidik Ragam PK Silase
ANOVA
SK JK db KT Fhit F 0,05
Perlakuan 120,04 4 30,01 21,89 3,48
Error 13,71 10 1,37
Total 133,75 14
Hasil Uji Lanjut Duncan
Perlakuan N Subset α = 0,05
1 2 3
SJ90 3 10,60
SJ70 3
13,10
SJ80 3
13,66
SJ60 3
14,78
SRK 3
19,23
Sig.
1 0,12 1
56
Lampiran 10. Hasil Sidik Ragam N-NH3 Silase
ANOVA
SK JK db KT Fhit F 0,05
Perlakuan 5,18 4 1,30 83,25 3,48
Error 0,16 10 0,16
Total 5,34 14
Hasil Uji Lanjut Duncan
perlakuan N Subset α = 0,05
1 2
SJ60 3 1,41
SJ70 3 1,55
SJ90 3 1,58
SJ80 3 1,59
SRK 3
2,99
Sig.
0,06 1
57
Lampiran 11. Hasil Sidik Ragam Perombakan PK Silase
ANOVA
SK JK db KT Fhit F 0,05
Perlakuan 17,31 4 4,33 8,35 3,48
Error 5,18 10 0,52
Total 22,49 14
Hasil Uji Lanjut Duncan
Perlakuan N Subset α = 0,05
1 2
SRK 3 3,01
SJ80 3
4,89
SJ70 3
5,67
SJ90 3
5,74
SJ60 3
5,90
Sig.
1 0,14
58
Lampiran 12. Hasil Sidik Ragam Residual dan Kehilangan WSC
ANOVA Residual WSC
SK JK db KT Fhit F 0,05
Perlakuan 8,66 4 2,16 4,14 3,48
Error 13,71 10 1,37
Total 133,75 14
Hasil Uji Lanjut Duncan
Perlakuan N Subset α = 0,05
1 2
SJ90 3 3,91
SJ80 3 4,24
SJ70 3 4,68
SJ60 3 4,98 4,98
SRK 3
6,11
Sig.
0,12 0,08
ANOVA Kehilangan WSC
SK JK db KT Fhit F 0,05
Perlakuan 73,24 4 18,31 34,97 3,48
Error 5,24 10 0,52
Total 78,48 14
Hasil Uji Lanjut Duncan
Perlakuan N Subset α = 0,05
1 2
SJ60 3 6,82
SJ80 3 7,88
SJ90 3
11,76
SRK 3
11,78
SJ70 3
11,87
Sig.
0,10 0,87
59
Lampiran 13. Hasil Sidik Ragam Nilai Fleigh
ANOVA
SK JK db KT Fhit F 0,05
Perlakuan 2205,24 4 551,31 47,52 3,48
Error 115,94 10 11,59
Total 2321,18 14
Hasil Uji Lanjut Duncan
perlakuan N Subset α = 0,05
1 2 3
SJ60 3 74,66
SJ70 3 80,72
SJ80 3
90,09
SJ90 3
95,13
SRK 3
109,677
Sig.
0,05 0,10 1,00
60
Lampiran 14. Hasil Sidik Ragam NH3 Rumen
ANOVA
SK JK db KT Fhit F 0,05
Model terkoreksi 95.11a 6 15,85 97,99 3,58
Intercept 1130,136 1 1130,14 6986,355 5,32
Perlakuan 34,14 4 8,54 52,763 3,84
Rumen 60,97 2 30,48 188,443 4,46
Error 1,29 8 0,16
Total 1226,54 15
Koreksi 96,401 14
a = R Squared = 0,987 (Adjusted R Squared = 0,977)
Hasil Uji Lanjut
Perlakuan N Subset α = 0,05
1 2 3 4
SJ90 3 6,20
SJ80 3
7,81
SJ70 3
9,32
SJ60 3
9,59
SRK 3
10,48
Sig.
1 1 0,44 1
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = ,162.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
b. Alpha = 0,05.
61
Lampiran 15. Hasil Sidik Ragam VFA Rumen
ANOVA
SK JK db KT Fhit F 0,05
Model terkoreksi 21065,51a 6 3510,92 3,48 3,58
Intercept 417971,02 1 417971,02 413,73 5,32
Perlakuan 4450,84 4 1112,71 1,10 3,84
Rumen 16614,66 2 8307,33 8,22 4,46
Error 8082,06 8 1010,26
Total 447118,59 15
Koreksi 29147,57 14
a. R Squared = ,723 (Adjusted R Squared = ,515)
62
Lampiran 16. Hasil Sidik Ragam KCBK
ANOVA
SK JK db KT Fhit F 0,05
Model terkoreksi 628,53a 6 104,76 25,76 3,58
Intercept 67004,43 1 67004,43 16474,28 5,32
Perlakuan 538,04 4 134,51 33,07 3,84
Rumen 90,49 2 45,25 11,12 4,46
Error 32,54 8 4,07
Total 67665,50 15
Koreksi 661,07 14
a. R Squared = ,951 (Adjusted R Squared = ,914)
Hasil Uji Lanjut Duncan
Perlakuan N Subset α = 0,05
1 2 3
SJ70 3 62,24
SJ60 3 62,32
SJ80 3 63,08
SJ90 3
68,75
SRK 3
77,79
Sig.
0,64 1 1
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 4,067.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
b. Alpha = 0,05.
63
Lampiran 17. Hasil Sidik Ragam KCBO
ANOVA
SK JK db KT Fhit F 0,05
Model terkoreksi 693,33a 6 115,56 25,06 3,58
Intercept 69845,01 1 69845,01 15145,16 5,32
Perlakuan 543,96 4 135,99 29,49 3,84
Rumen 149,37 2 74,69 16,20 4,46
Error 36,89 8 4,61
Total 70575,23 15
Koreksi 730,22 14
a. R Squared = ,949 (Adjusted R Squared = ,912)
Hasil Uji Lanjut Duncan
Perlakuan N Subset α = 0,05
1 2 3
SJ80 3 63,30
SJ60 3 638,57
SJ70 3 64,86
SJ90 3
69,80
SRK 3
79,37
Sig.
0,42 1 1
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 4,612.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
b. Alpha = 0,05.