pengaruh corak pada penafsiran (studi kasus...

108
PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS TAFSIR AYAT-AYAT HUKUM) Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag) Oleh: Fitrah Permana Putra NIM: 11140340000073 PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H/2018 M

Upload: hoangkhue

Post on 16-Mar-2019

239 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS

TAFSIR AYAT-AYAT HUKUM)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh:

Fitrah Permana Putra

NIM: 11140340000073

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1440 H/2018 M

Page 2: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman
Page 3: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman
Page 4: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman
Page 5: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

iii

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah subḥānahu wa ta‘ālā yang telah memberikan berkah

kasih sayang dan magfirah-Nya, sehingga penulis skripsi dengan judul “Pengaruh

Corak Pada Penafsiran (Studi Kasus Tafsir Ayat-Ayat Hukum)” dapat terselesaikan

meskipun masih banyak kekurangan. Shalawat dan salam tercurah kepada Nabi

Muhammad ṣallallāh ‘alaih wa sallām, ysng diberi berkah, untuk menerima kitab

yang diberkati yaitu al-Qurān, agar bisa menjadi petunjuk dan peringatan bagi umat

yang diberkati.

Penulis merasa berhutang budi dari kebaikan pada banyak pihak, karena tanpa

adanya bantuan informasi, tenaga, dana, kesempatan baik secara langsung maupun

tidak langsung, skripsi ini tidak mungkin bisa terwujud. Kepada mereka, penulis

haturkan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya, semoga Allah

memberikan balasan yang sebesar-besarnya dan menghitung sebagai amal jariyah

yang tetap mengalir hingga di Akhirat kelak.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada yang terhormat:

1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A., selaku Rektor Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, M.A., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, M.A., selaku Ketua Program Studi Ilmu Al-

Qurān dan Tafsir dan ibu Dra. Banun Binaningrum, M.Pd., selaku Sekretaris

Program Studi Ilmu Al-Qurān dan Tafsir. Tak lupa juga Kak Hanif, S. Thi.,

selaku asisten dari ibu Banun.

4. Bapak Dr. Eva Nugraha, M.Ag., selaku dosen pembimbing skripsi yang selalu

bijaksana dan sabar memberikan bimbingan, nasihat, kepercayaan serta

waktunya selama penulisan skripsi ini berlangsung sehingga penulisan skripsi

ini berjalan dengan lancar. Mudah-mudahan beliau selalu dirahmati Allah

subḥānahu wa ta‘ālā.

5. Bapak Prof. Dr. Hamdani Anwar, MA., selaku dosen pembimbing akademik

yang telah memberikan inspirasi dan arahan dalam pembuatan judul terhadap

penulis.

Page 6: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

iv

6. Segenap jajaran dosen dan civitas academica Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta, yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu tanpa

mengurangi rasa hormat, khususnya pada program studi Ilmu al-Qurān dan

Tafsir yang ikhlas dan sabar untuk mendidik kami agar menjadi manusia yang

cerdas, berkualitas dan berintelektual. Pimpinan dan seluruh Staff

Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, yang turut

memberikan pelayanan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Kedua orang tua penulis yaitu, Ayahanda Kamaludin dan Ibunda Ulyanah

tercinta, beserta seluruh keluarga besar yang selalu setia memberikan

dukungan kepada penulis baik secara moril ataupun materil, serta kasih sayang

yang besar sehingga penulis dapat menyelesaikan studi ini dengan baik dan

lancar.

8. Guru kami, Ust. Nurul Fahmi Yusuf, S.Thi., yang selalu sabar dan ikhlas

mendidik, mendoakan, mencurahkan ilmunya yang luas, menjadi suri teladan

bagi penulis. Semoga beliau selalu dirahmati Allah Swt., serta diberikan

kesehatan untuk selalu bisa mengajar murid-muridnya. Tak lupa guru-guru lain

yang ada di Yayasan Yusufi Belendung.

9. Seseorang yang telah setia menemani, memberikan semangat, dukungan

kepada penulis dari mulai proses awal perkuliahan sampai selesai

menyelesaikan skripsi ini, yaitu Rahmie Dzuraida.

10. Teman-teman seperjuangan Jurusan Tafsir Hadis UIN Syarif Hidayatullah

angkatan 2014, khususnya kepada teman-teman TH B, kepada Sandi teman

seperjuangan bimbingan, dan teman-teman lainnya yang telah banyak

berkontribusi agar terwujudnya skripsi ini.

11. Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan

pengalaman dan cerita hidup. Semoga segala proker dan kegiatan yang telah

kita kerjakan menjadi amal kebaikan yang diridhoi oleh Allah Swt.

Akhirnya, hanya kepada Allah subḥānahu wa ta‘ālā penulis menghambakan

diri dan memohon pertolongan. Semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi kita

semua khususnya bagi penulis dan pembaca umumnya. Apabila ada yang benar

dalam penulisan ini adalah semata-mata datangnya dari Allah SWT dan apabila

terdapat suatu kesalahan, maka itu kekhilafan diri penulis sebagai seorang hamba

Page 7: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

v

Allah yang daif, mudah-mudahan maksud dan tujuan penulis dapat tercapai dengan

apa yang penulis harapkan dan cita-citakan Amin.

Jakarta, Oktober 2018

Fitrah Permana Putra

NIM: 11140340000073

Page 8: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

vi

ABSTRAK

Fitrah Permana Putra

Pengaruh Corak Pada Penafsiran (Studi Kasus Tafsir Ayat-Ayat Hukum)

Skripsi ini ingin menguji pertanyaan “Bagaimana koherensi penafsiran ulama

tafsir dengan corak yang beragam terhadap ayat-ayat hukum?” Penelitian terkait

corak tafsir, sebagian besar memfokuskan pada permasalahan apa corak yang ada

pada mufasir yang satu dan mufasir yang lain, seperti yang dilakukan oleh

Muhammad Solahuddin, meneliti corak yang terdapat pada tafsir al-Zamakhsyarī.

Karena tidak adanya kejelasan apakah corak dan latar belakang itu dapat

mempengaruhi model penafsiran atau tidak sama sekali, jika tidak berpengaruh,

apakah hanya pada ayat-ayat tertentu. Maka dari itu menurut penulis, penelitian ini

menjadi penting dibahas untuk membuktikan apakah corak itu dapat mempengaruhi

ayat-ayat hukum atau tidak. Guna mendapatkan pemahaman yang komprehensif

mengenai permasalahan pengaruh corak tafsir.

Data tersebut didekati dengan pendekatan kualitatif, dan menggunakan teknik

pengumpulan data Library Research. Sedangkan metode yang digunakan penulis

adalah metode komparatif, yaitu membandingkan corak yang dimiliki oleh mufasir,

nama lainnya adalah metode muqāran, yaitu membandingkan ayat-ayat al-Qurān

yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi, yang berbicara tentang masalah

atau kasus yang berbeda, dan yang memiliki redaksi yang berbeda bagi masalah

atau kasus yang sama atau diduga sama.

Melalui beberapa tahap pada penelitian ini, maka dapat menunjukkan bahwa

koherensi penafsiran ulama tafsir dengan corak yang beragam atas ayat hukum,

yaitu pada Q.S. al-Nisā (4) ayat 34, Q.S. al-Maidah (5) ayat 38, Q.S. al-Nūr (24)

ayat 2, Q.S. Āli ‘Imrān (3) ayat 130, itu tidak mempengaruhi hasil penafsiran yang

disajikan pada masing-masing penafsirannya. Ketika mufasir dengan ragam corak

yang dimilikinya menafsirkan ayat hukum, maka penafsirannya akan selalu terkait

dengan hukum.

Corak tafsir yang ada pada mufasir itu akan berpengaruh, jika ayat yang

ditafsirkan oleh tiap-tiap mufasir memiliki tema yang sesuai dengan coraknya

masing-masing.

Page 9: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

vii

PEDOMAN TRANSLITERASI

Pedoman Transliterasi Arab Latin yang merupakan hasil keputusan bersama

(SKB) Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I. Nomor: 158

Tahun 1987 dan Nomor: 0543b/u/1987.

1. Konsonan

Daftar huruf bahasa Arab dan transliterasinya ke dalam huruf Latin dapat

dilihat pada halaman berikut:

No Arab Latin

Tidak Dilambangkan ا 1

B ب 2

T ت 3

ṡ ث 4

J ج 5

ḥ ح 6

Kh خ 7

D د 8

Ż ذ 9

R ر 10

Z ز 11

Page 10: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

viii

S س 12

Sy ش 13

ṣ ص 14

ḍ ض 15

ṭ ط 16

ẓ ظ 17

‘ ع 18

G غ 19

F ف 20

Q ق 21

K ك 22

L ل 23

M م 24

N ن 25

W و 26

Page 11: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

ix

H ه 27

′ ء 28

Y ي 29

Hamzah (ء) yang terletak di awal kata mengikuti vokalnya tanpa diberi

tanda apa pun. Jika ia terletak di tengah atau di akhir, maka ditulis dengan tanda (’).

2. Vokal

Vokal bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri atas vokal tunggal

atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.

Vokal tunggal bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau harakat,

transliterasinya sebagai berikut:

Tanda Nama Huruf Latin Nama

Fatḥah A A ا

Kasrah I I ا

Ḍammah U U ا

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ai A dan I ى ي

au A dan U ى و

Contoh:

Yauma : ي وم Kaifa : كيف

Page 12: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

x

3. Vokal Panjang

Maddah atau vokal panjang yang lambangnya berupa harkat dan huruf,

transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ا atau ى ā a dengan garis lurus di atas

و ū u dengan garis lurus di atas

ي ī i dengan garis lurus di atas

Contoh:

Māta : مات

Ramā : رمى

Qīla : قيل

Yamūtu : يموت

4. Ta marbūṭah

Transliterasi untuk ta marbūṭah ada dua, yaitu: ta marbūṭah yang hidup atau

mendapat harkat fatḥah, kasrah, dan ḍammah, transliterasinya adalah [t].

Sedangkan ta marbūṭah yang mati atau mendapat harkat sukun, transliterasinya

adalah [h].

Jika pada kata yang berakhir dengan ta marbūṭah diikuti oleh kata yang

menggunakan kata sandang al- serta bacaan kedua kata itu terpisah, maka ta

marbūṭah itu ditransliterasikan dengan ha (h). Contoh:

No Kata Arab Alih Aksara

ṭarīqah طريقة 1

al-Jāmi‘ah al-Islāmiyyah الجامعة األسالمية 2

Waḥdat al-Wujud وحدة الوجود 3

Page 13: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

xi

5. Syaddah (Tasydīd)

Syaddah (Tasydīd) yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan

sebuah tanda tasydīd ( ), dalam transliterasi ini dilambangkan dengan perulangan

huruf (konsonan ganda) yang diberi tanda syaddah. Contoh:

Kata Alih aksara

Rabbanā ربنا

نا Najjinā نج

Al-Ḥaqq الحق

Aduwwun‘ عدو

Jika huruf ى ber-tasydīd di akhir sebuah kata dan didahului oleh huruf

kasrah (ى ), maka ia ditransliterasi seperti huruf maddah (ī). Contoh:

Alī (bukan ‘Alyy atau ‘Aly)‘ : علي

Arabī (bukan ‘Arabyy atau ‘Araby)‘ : عربي

6. Kata Sandang

Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf (alif lam

ma‘arifah). Dalam pedoman transliterasi ini, kata sandang ditransliterasi seperti

biasa, al-, baik ketika ia diikuti oleh huruf syamsiah maupun huruf qamariah. Kata

sandang tidak mengikuti bunyi huruf langsung yang mengikutinya. Kata sandang

ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya dan dihubungkan dengan garis

mendatar (-). Contohnya:

No Kata Alih Aksara

al- Syamsu bukan as-syamsu الشمس 1

al- Zalzalah bukan az-zalzalah الزلزله 2

al- Falsafah الفاسفه 3

al-Bilād البالد 4

Page 14: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

xii

7. Hamzah

Aturan transliterasi huruf hamzah menjadi apostrof (’) hanya berlaku bagi

hamzah yang terletak di tengah dan akhir kata. Namun, bila hamzah terletak di awal

kata, ia tidak dilambangkan, karena dalam tulisan Arab ia berupa alif. Contohnya:

ta’murūna : تأمرون

’al-nau : النوء

syai’un : شيء

8. Penulisan Kata Arab yang Lazim digunakan dalam Bahasa Indonesia

Kata, istilah atau kalimat Arab yang ditransliterasi adalah kata, istilah atau

kalimat yang belum dibakukan dalam bahasa Indonesia. Kata, istilah atau kalimat

yang sudah lazim dan menjadi bagian dari pembendaharaan bahasa Indonesia, atau

sudah sering ditulis dalam tulisan bahasa Indonesia, tidak lagi ditulis menurut cara

transliterasi di atas. Misalnya kata Al-Qur’an (dari al-Qur’ān), Sunnah, khusus dan

umum. Namun, bila kata-kata tersebut menjadi bagian dari satu rangkaian teks

Arab, maka mereka harus ditransliterasi secara utuh. Contoh:

Fī Ẓilāl al-Qur’ān

Al-Sunnah qabl al-tadwīn

Al-‘Ibārāt bi ‘umūm al-lafẓ lā bi khuṣūṣ al-sabab

9. Lafẓ al-Jalālah (هللا)

Kata‚ Allah yang didahului partikel seperti huruf jarr dan huruf lainnya atau

berkedudukan sebagai muḍāf ilaih (frasa nominal), ditransli-terasi tanpa huruf

hamzah. Contoh:

dīnullāhi : دين للا

billāhi : با لل

Adapun ta marbūṭah di akhir kata yang disandarkan kepada Lafẓ al-Jalālah,

ditransliterasi dengan huruf [t]. Contoh:

hum fī raḥmatillāh : هم في رحمة للا

Page 15: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

xiii

10. Huruf Kapital

Walau sistem tulisan Arab tidak mengenal huruf kapital (All Caps), dalam

transliterasinya huruf-huruf tersebut dikenai ketentuan tentang penggunaan huruf

kapital berdasarkan pedoman ejaan Bahasa Indonesia yang berlaku (EYD). Huruf

kapital, misalnya, digunakan untuk menuliskan huruf awal nama diri (orang,

tempat, bulan) dan huruf pertama pada permulaan kalimat. Bila nama diri didahului

oleh kata sandang (al-), maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal

nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Jika terletak pada awal

kalimat, maka huruf A dari kata sandang tersebut menggunakan huruf kapital (Al-

). Ketentuan yang sama juga berlaku untuk huruf awal dari judul referensi yang

didahului oleh kata sandang al-, baik ketika ia ditulis dalam teks maupun dalam

catatan rujukan (CK, DP, CDK, dan DR). Contoh:

Wa mā Muḥammadun illā rasūl

Inna awwala baitin wuḍi‘a linnāsi lallażī bi Bakkata mubārakan

`Syahru Ramaḍān al-lażī unzila fīh al-Qur’ān

Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī

Abū Naṣr al-Farābī

Al-Gazālī

Page 16: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

xiv

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................... iii

ABSTRAK............................................................................................. vi

PEDOMAN TRANSLITRASI.............................................................. vii

DAFTAR ISI......................................................................................... xiv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ........................................................ 1

B. Identifikasi Masalah .............................................................. 9

C. Batasan Masalah.....................................................................10

D. Rumusan Masalah ................................................................. 10

E. Tujuan .................................................................................... 10

F. Manfaat .................................................................................. 10

G. Metode Penelitian .................................................................. 11

H. Kajian Pustaka ....................................................................... 13

I. Sistematika Penulisan ............................................................ 17

BAB II KAJIAN CORAK TAFSIR

A. Gambaran Tentang Corak Penafsiran.................................... 18

B. Macam-macam Corak Tafsir ..................................... ........... 22

1. Tafsīr al-ṣufiyah............................................................... 23

2. Tasīr al-falāsifah.................................................. ........... 24

3. Tafsīr al-fuqahāi................................................... ........... 25

4. Tafsīr al-adabī al-ijtimā‘ī.................................... ........... 26

5. Tafsīr Balagī atau Lugawī................................................26

6. Tafsīr Ḥarakī........................................................ ........... 27

BAB III RAGAM MUFASIR DAN CORAK TAFSIRNYA

A. Kelompok Pertama.................................................................29

1. Corak Fikih al-Qurṭubī.....................................................29

2. Corak al-Adabi al-Ijtimā‘ī M. Quraish Shihab ................33

3. Corak Lugawī al-Zamakhsyarī.........................................38

4. Corak Ḥarakī Sayyid Quṭb...............................................42

B. Kelompok Kedua...................................................................46

1. Corak Tasawuf al-Alūsī...................................................46

2. Corak Tasawuf al-Jīlānī...................................................50

3. Corak Tasawuf Ibn ‘Ajībah..............................................53

4. Corak Tasawuf al-Qusyairī..............................................58

BAB IV RELASI CORAK DENGAN TAFSIRAN

A. Penafsiran Ayat-Ayat Hukum................................................61

B. Relasi Kesesuaian Penafsiran Dengan Corak Tafsir..............65

C. Implikasi Klasifikasi Corak Tafsir.........................................78

D.

Page 17: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

xv

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ...........................................................................81

B. Saran .....................................................................................81

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................82

Page 18: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kajian pada corak tafsir, sudah banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti muslim.

Pencarian yang peneliti temukan, ada beberapa penelitian yang terkait dengan corak

penafsiran, seperti penelitian yang dilakukan oleh Hujair AH Sanaky1, mengatakan

bahwa corak penafsiran al-Qurān tidak terlepas dari perbedaan, kecenderungan,

inters, motivasi mufasir, perbedaan misi yang diemban, perbedaan ke dalaman dan

ragam ilmu yang dikuasai, perbedaan masa, lingkungan serta perbedaan situasi dan

kondisi, dan sebagainya. Kesemuanya menimbulkan berbagai corak penafsiran

yang berkembang menjadi aliran yang bermacam-macam dengan metode-metode

yang berbeda-beda, dan kesimpulan yang berbeda pula.

Selain Hujair, ada penelitian yang ditulis oleh Malik Ibrahim2, yang

menyatakan bahwa penafsiran al-Qurān tidak terlepas dari metode yang digunakan

oleh mufasir. Tidak dijelaskan masalah apa yang terdapat pada penelitian itu, Malik

Ibrahim langsung menjelaskan pembagian-pembagian metode tafsir. Menurut

penulis, kedua penelitian ini masih memiliki kekurangan, yaitu masing-masing dari

kedua penelitian tersebut tidak menjelaskan apakah corak dapat memengaruhi

semua model penafsiran dalam semua ayat al-Qurān, atau corak hanya

mempengaruhi pada ayat-ayat tertentu.

Pembahasan dalam ruang lingkup yang lebih sempit, mengenai corak

penafsiran terkait ayat hukum, ditemukan dari penelitian yang ditulis oleh

Muhammad Makmun Abha3, yang menjelaskan seorang tokoh pemikir

Kontemporer yang menafsirkan ayat dengan berlatar belakang corak fikih, yaitu

1Hujai AH Sanaky, “Metode Tafsir (Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti Warna atau

Corak Mufasirin),” Al-Mawarid Edisi XVII (2008): h. 263-284. 2Malik Ibrahim, “Corak dan Pendekatan Tafsir al-Qurān,” SOSIO RELIGIA, vol. 9, no. 3,

(Mei 2010): h. 641-654. 3Muhammad Makmun Abha, “Pola Baru Dalam Tafsir Fikih (Telaah Atas Pemikiran Tafsir

Al-Na‘īm),” Jurnal Syahdah¸ vol. 2, no. 1 (April 2014): h. 67.

Page 19: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

2

‘Abdullāh Aḥmad al-Na‘īm yang mengatakan bahwa di dalam menafsirkan ayat

hukum, ada yang namanya naskh wa al-mansūkh, dan naskh itu bukan berarti

“penghapusan total atau permanen”. Namun hanya merupakan penundaan atau

penangguhan pelaksanaan hukum dengan melihat kondisi yang tepat di masa yang

akan datang.

Penelitian-penelitian terkait corak, kebanyakan hanya membandingkan antara

satu mufasir dengan mufasir yang lain, dan dari penelitian yang telah penulis

telusuri, ada beberapa akademisi yang meneliti corak tafsir dengan membandingkan

mufasir, yaitu skripsi yang ditulis oleh Siti Khomsiatun4, yang membandingkan

antara corak penafsiran al-Zamakhsyarī dan Amina Wadūd terkait dengan nusyūz.

Siti mengatakan bahwa hasil yang disajikan oleh kedua mufasir dalam menafsirkan

ayat nuysūz dengan corak kedua mufasir yang berbeda menimbulkan perbedaan

yang signifikan, bahwa Zamakhsyarī menafsirkan secara tekstualis, dan Amina

Wadūd menafsirkan secara kontekstualis.

Selain itu ada penelitian yang serupa, akan tetapi dengan hasil tafsiran yang

sama, dilakukan oleh Ni’mah5 yang membandingkan antara penafsiran M.Quraish

Shihab dan Sayyid Quṭb tentang Q.S. al-Nisā (4) ayat 34. Bahwa dari corak kedua

mufasir yang berbeda ini menimbulkan hasil penafsiran tentang nusyūz itu tidak

jauh berbeda. M.Quraish Shihab menafsirkan kata faḍribūhunna dengan

memaknainya sebagai pukulan yang tidak boleh menyakitkan agar tidak

menciderainya, namun harus tetap menunjukkan sikap tegas. Sayyid Quṭb juga

menafsirkan hal yang serupa, bahwa pemukulan yang dilakukan bukanlah

pemukulan yang menyakiti, menyiksa, dan memuaskan diri. Pemukulan yang

dilakukan haruslah dalam rangka mendidik, yang harus disertai dengan rasa kasih

sayang seorang pendidik.

Permasalahan jenjang waktu penelitian corak tafsir, jika ditelusuri dengan

teliti, maka penulis menemukan penelitian yang membahas pertama kali dan

penelitian yang membahas terakhir kali. Seperti Penelitian yang pertama kali

4Siti Khomsiatun, “Nusyūz Dalam Pandangan Zamakhsyarī Dalam Kitab Al-Kassyāf Dan

Amina Wadud Dalam Qurān And Woman (Study Komparatif),” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin,

Institut Agama Islam Negeri Wali Songo Semarang, 2013), h. 107. 5Ni’mah, “Tafsir Q.S. Al-Nisā (4) ayat 34 Menurut Tafsir Al-Misbah Dan Tafsir Fī Ẓilal

al-Qurān,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin IAIN Pekalongan, 2011), h. 65.

Page 20: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

3

membahas corak adalah penelitian yang dilakukan oleh Abu Sujak6 dengan

pembahasan mengenai corak dari penafsiran Ibn ‘Arabī yang dikaitkan dengan

dakwah islam menggunakan tarekat Naqsyabandiyyah akan menimbulkan akhlak

yang terpuji. Dan penelitian terakhir yang membahas corak adalah penelitian yang

ditulis oleh Siti Wahidah dan Muhammad Najib7. Artikel ini hanya menjelaskan

para tokoh-tokoh mufasir dari Malaysia dan corak penafsirannya.

Pembahasan yang ada di dalam Ilmu tafsir menjelaskan bahwa manhāj seorang

mufasir dapat dikelompokkan menjadi8; segi sumber, yang dikenal dengan bentuk

penafsiran yang terdiri dari tafsīr bi al-ma’ṡur dan tafsīr bi al-ra’yi, dan segi materi,

kecenderungan atau yang dikenal dengan corak tafsir, yaitu antara lain; tafsīr al-

balagi9, tafsīr al- falsafi, tafsīr al-‘ilmi, tafsīr al-fiqih, tafsīr al-tasawuf.

Penafsiran al-Qurān jika dikaitkan dengan zaman sekarang ini, menurut

Syahrur, al-Qurān perlu ditafsirkan sesuai dengan tuntutan zaman yang dihadapi

oleh umat Islam dan umat manusia. Pemeliharaan dilakukan dengan pengkajian

yang menyentuh realitas dan mencoba menyapa realitas lebih sensitif dan

memfungsikannya dalam memahami realitas-realitas yang ada dengan interpretasi

yang baru sesuai dengan keadaan setempat.10

6Abu Sujak, “Metode dan Corak Tafsir al-Qur-anul Karim Karya Mahyuddin Ibn ‘Arabi,”

(Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya, 1989). 7Siti Wahidah dan Muhammad Najib, “Corak Penulisan Tafsir di Malaysia Abad Ke-21

(2001-2015),” Jurnal al-Turath, vol. 2, no. 1 (2017): h. 5. 8Jani Arni, “Kelemahan-Kelemahan Dalam Manhaj al-Mufasirin,” Jurnal Ushuluddin,

vol.XVIII, no. 2 (Juli 2012): h.167. 9A. Corak sastra bahasa, yang timbul akibat banyaknya orang-orang non-Arab yang

memeluk agama Islam, serta akibat kelemahan-kelemahan orang Arab sendiri di bidang sastra,

sehingga dirasakan kebutuhan untuk menjelaskan kepada mereka tentang keistimewaan dan

kedalaman arti kandungan al-Qurān. B. Corak filsafat dan teologi, akibatnya penerjemahan kitab

filsafat yang mempengaruhi sementara pihak, serta akibat masuknya penganut agama-agama lain ke

dalam Islam yang dengan sadar atau tanpa sadar masih mempercayai beberapa hal dari kepercayaan

lama mereka. Kesemuanya menimbulkan pendapat setuju atau tidak setuju yang tercermin dalam

penafsiran mereka. C. Corak penafsiran ilmiah: akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan usaha

penafsiran untuk memahami ayat-ayat al-Qurān sejalan dengan perkembangan ilmu. D. Corak fiqih

atau hukum: akibat berkembangnya ilmu fiqih, dan terbentuknya mazhab-mazhab fiqih, yang setiap

golongan berusaha membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiaran-penafsiran

mereka terhadap ayat-ayat hukum. E. Corak tasawuf: akibat timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai

reaksi dari kecenderungan berbagai pihak terhadap materi, atau sebagai kompensasi terhadap

kelemahan yang dirasakan. F. Bermula pada masa Syaikh Muhammad ‘Abduh (1849-1905), corak-

corak tersebut mulai berkurang dan perhatian lebih banyak tertuju kepada corak sastra budaya

kemasyarakatan. Dikutip dari, M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran

Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: al-Mizan, 2003), h.72-73 10M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qu’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan

Masyarakat (Jakarta: Lentera Hati, 2012), h. 88.

Page 21: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

4

Menurut Siti Musda Mulia, bahwa al-Qurān adalah suatu teks yang dibaca

dengan mempertimbangkan aspek kontekstualitasnya, yaitu dengan memahami

konteks sosio-historis dan sosio-politis ketika al-Qurān diturunkan. Membaca al-

Qurān, khususnya ayat-ayat tentang relasi gender secara tekstual dan kontekstual

akan membawa kepada penghayatan terhadap pesan-pesan moral islam universal

seperti keadilan, kemaslahatan, kedamaian, pemenuhan hak, penghormatan

terhadap kemanusiaan, cinta kasih, solidaritas, dan kebebasan.11

Dilihat dari sudut isi kandungan, al-Qurān mencakup seluruh aspek kehidupan

masyarakat. Al-Qurān tidak hanya membahas soal akidah, melainkan juga soal

hukum. Al-Qurān bukan hanya mengupas sejarah umat terdahulu, melainkan juga

etika dan akhlak. Al-Qurān membahas nilai etis dalam bidang ekonomi, politik,

sosial dan kebudayaan. Oleh karenanya, dari situ sebagian orang berkesimpulan

bahwa al-Qurān tak sistematis. Padahal ketiadaan sistematika al-Qurān itu, menurut

Quraish Shihab, dimaksudkan untuk memberikan kesan bahwa ajaran-ajaran al-

Qurān dan hukum-hukum yang tercakup di dalamnya merupakan satu kesatuan

yang harus ditaati oleh penganut-penganutnya secara keseluruhan tanpa ada

pemisah antara satu ayat dengan ayat lain12.

Pembahasan pada penelitian yang membahas masalah hukum, maka sudah

pasti pembahasannya akan terkait dengan ayat hukum. Menurut Dr. Abdul Moqsith

Ghazali dan Lilik Ummi Kaltsum, jumlah ayat hukum tidak banyak, ayat-ayat

hukum di dalam al-Qurān mencakup pada seluruh tema-tema hukum yang

diperlukan bukan hanya untuk zaman itu melainkan untuk zaman yang jauh

setelahnya juga. Jika dikategorisasikan, ayat hukum dalam al-Qurān mencakup 4

tema pokok, pertama, ayat-ayat ibadah, kedua, ayat-ayat hukum keluarga, ketiga,

ayat-ayat terkait keperdataan secara umum, keempat, ayat ayat yang terkait dengan

soal pidana.13 Bermacam-macam ayat hukum yang ada di dalam al-Qurān, maka

ada beberapa ayat hukum yang penulis kutip dan dijadikan sebagai fokus dari

penelitian ini di antaranya adalah pada Q.S. al-Nisā (4) ayat 34, Q.S. al-Maidah (5)

ayat 38, Q.S. al-Nūr (24) ayat 2, Q.S. Āli ‘Imrān (3) ayat 130.

11Jaya Suprana, Kelirumologi genderisme ( Jakarta: PT. Elex Komputindo, 2014), h. xvii. 12Lilik Ummu Kulsum dan Abd. Muqsith Ghazali, Tafsir Ahkam ( Ciputat : UIN Pres,

2015), h. 12. 13Lilik Ummu Kulsum dan Abd. Muqsith Ghazali, Tafsir Ahkam, h. 22

Page 22: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

5

Pembahasan Q.S. al-Nisā ayat 34 terkait dengan nusyūz, nusyūz sendiri

memiliki arti durhaka terhadap suami, seperti meninggalkan rumah tanpa restu

suami.14 Menurut ‘Alī al-Ṣabuni, ia berpendapat bahwa yang dimaksud dengan

nusyūz adalah “kedurhakaan dan kecongkangan seorang istri dari mentaati

suami”.15 Tidak hanya berhenti di sini, al-Qurān memberikan solusi untuk

permasalahan nusyūz, yaitu akan penulis kutip pada Q.S. al-Nisā (4) ayat 34.

“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah

melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan

karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dan hartanya. Maka

perempuan-perempuan yang saleh adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan

menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka).

Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyūz hendaklah kamu beri

nasihat kepada mereka tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan

(kalau perlu) pukulah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah

kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkanya, sungguh Allah Maha Tinggi

Maha Besar. “16

Ayat selanjutnya adalah Q.S. al-Maidah (5) ayat 38, pada ayat ini membahas

tentang hukuman yang akan diterima oleh pelaku pencurian. Ayat ketiga adalah

Q.S. al-Nūr (24) ayat 2 yang membahas tentang permasalahan hukuman bagi pelaku

zina. Sedangkan ayat terakhir adalah Q.S. Āli ‘Imrān (3) ayat 130 yang membahas

tetang larangan memakan harta riba.

Penafsiran terkait ayat-ayat ini, sangat bermacam-macam. Sesuai dengan latar

belakang mufasir itu sendiri, maka bisa jadi penafsiran yang disuguhkan akan

berbeda-beda, atau tidak sama sekali. Penulis akan mengkaji beberapa mufasir

yang berlatar belakang berbeda dalam menafsirkan al-Qurān. Karena corak tafsir

selama ini dipengaruhi oleh latar belakang mufasir. Dari latar belakang yang

berbeda-beda itu, penulis ingin membuktikan apakah corak dapat mempengaruhi

kesimpulan penafsiran dari Q.S. al-Nisā (4) ayat 34, Q.S. al-Maidah (5) ayat 38,

Q.S. al-Nūr (24) ayat 2, Q.S. Āli ‘Imrān (3) ayat 130 ini. Maka dari itu penulis

memiliki beberapa mufasir yang memiliki corak penafsiran berbeda. Dengan

14Kementrian Agama RI, Al-Qurān Dan Terjemahnya (Jakarta: PT. Sinergi Pustaka

Indonesia, 2012), h. 108-109. 15 Dudung Abdul Rahman, Mengembangkan Etika Berumah Tangga Moralitas Bangsa

Menurut Pandangan al-Qurān (Bandung: Nuansa Aulia, 2006), h. 94. 16Terjemahan al-Qurān Departemen Agama RI QS. al-Nisa ayat 34

Page 23: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

6

mengacu pada penafsiran al-Qurṭubī17 yang membuat kitab tafsir dengan judul al-

Jāmi’ Li Ahkām al-Qurān18 adalah kitab tafsir yang bercorak fikih.19 Selanjutnya

adalah al-Alūsī,20 pengarang dari kitab tafsir Rūh al-Ma’anī yang dinilai oleh

sebagian ulama sebagai tafsir yang bercorak isyārī,21 ada pula yang mengatakan

bahwa tafsir ini bercorak sufistik.22 Mufasir selanjutnya adalah al-Zamakhsyarī23,

beliau adalah pengarang kitab tafsir al-Kassyāf yang bersumber al-ra’yi, dan lebih

menekankan corak kebahasaan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qurān dengan

merujuk pada balagah al-Qurān dan bertujuan untuk membuktikan keindahan

setiap ayat sebagai aspek kemukjizatan al-Qurān24. Corak selanjutnya adalah,

penafsiran yang bercorak Ḥarakī, mufasir yang menggunakan corak ini adalah

Sayyid Quṭub, dengan karya tafsirnya adalah Fī Zilāl al-Qurān. Kemudian yang

terakhir adalah M. Quraish Shihab, yang mengarang kitab Tafsir al-Misbah: Pesan,

Kesan dan Keserasian al-Qur’an, menurut sebagian peneliti, kitab ini adalah kitab

yang bercorak al-Adabi al-Ijtimā‘i25.

Selain itu, penulis menambahkan 3 mufasir yang bercorak tasawuf murni,

karena corak yang dimiliki oleh al-Alūsī hanya sedikit sekali nuansa tasawufnya.

Agar dapat menjadi perbandingan yang lebih baik, maka dari itu corak tasawuf pada

mufasir-mufasir tersebut apakah dapat berpengaruh jika dihadapkan dengan ayat

hukum, atau tidak sama sekali. Berikut adalah Tafsīr al-Jīlānī karya ‘Abd al-Qādir

17Nama aslinya adalah ‘Abd al-Jalīl bin Mūsa bin ‘Abd Jalīl Abu Muhammad al-Anshāri

al-Andalūsi al-Qurṭubī (W 608 H). 18Muḥammad bin Aḥmad bin Abī Bakr al-Qurṭubī, al-Jāmi’ li Aḥkāmi al-Qurān (Beirut:

al-Resalah, 2008). 19Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsīr wa al-Mufasirūn, Juz II (Cairo: Maktabah

Wahbah, 2000), h. 226-342. 20Nama lengkapnya adalah Mahmūd bin ‘Abdillāh bin Muhammad bin Darwisy al-Husainī

al-Alūsī Syihāb al-Dīn al-Shana’ 21al-Dzahabi, al-Tafsīr wa al-Mufasirūn, Juz 1, h. 308 22Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern (

Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2011), h. 75. 23Nama aslinya adalah Abū al-Qāsim Mahmud bin Muhammad al-Khawarizmi 24Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h. 49 25Atik Wartini, “Corak Penafsiran M.Quraish Shihab dalam Kitab al-Misbah,” Hunafa:

Jurnal Studi Islamika, vol. 11, no. 1 (Juni 2014): h. 109-126.

Page 24: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

7

al-Jīlānī26, Tafsīr al-Baḥr al-Madīd fī Tafsīr al-Qurān al-Majīd karya Ibn ‘Ajībah27,

dan yang terakhir adalah Laṭā’if al-Isyārāt karya al-Qusyairī.28

Sebagai gambaran untuk penelitian ini, penulis ingin memaparkan satu ayat

hukum yang ditafsirkan oleh beberapa mufasir yang berlatar belakang berbeda-beda

dalam menafsirkan ayat al-Qurān, yaitu ayat terkait nikah beda agama. Maksud dari

nikah beda agama di pembahasan ini adalah pernikahan yang salah satu dari suami

atau istrinya adalah non-Muslim. Ayat tentang nikah beda keyakinan terdapat pada

Q.S. Al-Baqarah/2: 221.

“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka

beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik,

walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang

musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya

budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu.

Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan

dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya)

supaya mereka mengambil pelajaran.”29

Penelitian yang ditulis oleh Dedi Irawan30. Dengan judul skripsi Pernikahan

Beda Keyakinan Dalam al-Qurān (Analisi Penafsiran al-Marāgī atar QS. Al-

Baqarah ayat 221 dan al-Maidah ayat 5), menyatakan bahwa al-Marāgī adalah

26Tafsīr al-Jīlānī muncul pada awal tahun 2009. Kemunculannya menggemparkan dunia

Islam karena karya klasik yang memperkaya khazanah tafsir al-Qurān merupakan karya yang ditulis

seorang Syaikh ‘Abd al-Qādir al-Jīlānī, tidak pelak kemunculnya menimbulkan kontroversi

sehingga wacana orisinilitas karya ini sempat menjadi isi perdebatan yang hangat. Adalah Markaz

al-Jailānī li al-Buḥūṡ al-‘Ilmiyah, Istanbul, Turki, yang berinsiatif menerbitkan karya langka dan

penting ini sehingga menjadi karya Tafsīr al-Jīlānī, masuk dalam jajaran mufasir yang

diperhitungkan dalam tafsir sufistik. Lembaga ini mengklaim bahwa penerbitan tafsir tersebut

merupakan penerbitan perdana sepanjang sejarah pengetahuan Islam. Ironinya, manuskirip tafsir ini

ditemukan sebagian besarnya di Vatikan Italia, disamping sebagiannya merupakan koleksi

Perpustakaan Qadiriyyah Baghdad serta manuskrip lainnya di Negara India. Tafsīr al-Jīlānī ini

terdiri dari enam volume (VI juz), dengan ketebalan sekitar 550 halaman untuk masing-masing

volume. Lihat lilik Ummi Kaltsum, “Hak-Hak Perempuan dalam Pernikahan Perspektif Tafsir

Sufistik: Analisis terhadap Penafsiran Al-Alūsi dan ‘Abd al-Qādir al-Jilāni.” Journal of Qur’ān and

Hadīth Studies, Vol. 2, no.2. (2013): h. 170. 27Ibn ‘Ajībah , Tafsīr al-Baḥr al-Madīd fī Tafsīr al-Qurān al-Majīd, jilid 1 (al-hirah:

Thaba’a ‘alā Nafaqahu Min ‘Abbās Zaki, 1999), h. i 28Muḥammad Abū al-Qāsim ‘Abd al-Karīm Al-Qusyairī, Laṭā’if al-Isyārāt, jilid 1

(Bairut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2007), h. i.

29

30Mahasiswa fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Page 25: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

8

mufasir yang menafsirkan al-Qurān dengan corak al-Adabi al-Ijtimā’i. Saat

menafsirkan ayat ini al-Marāgī berpendapat bahwa laki-laki muslim tidak boleh

menikahi wanita musyrik, wanita muslimah tidak boleh menikahi laki-laki musyrik,

laki-laki muslim boleh menikahi wanita dari kalangan ahlu kitab dengan catatan

wanita itu berpegang teguh dengan kitab yang ia percayai31.

Selanjutnya adalah penelitian yang ditulis oleh Ruslan32, dengan judul skripsi

Studi Atas Penafsiran al-Qurṭubī Terhadap Ayat-Ayat Tentang Nikah Beda Agama

Dalam Kitab al-Jami’ Li Ahkam al-Qurān. Al-Qurṭubī adalah mufasir yang

menafsirkan al-Qurān dengan bercorak Fikih, sehingga kesimpulan dari penafsiran

al-Qurṭubī tekait ayat nikah beda keyakinan adalah wanita Ahl al-Kitāb tidak

termasuk al-Musyrikīn, sehingga ia boleh dinikahi oleh laki-laki muslim33.

Penafsiran selanjutnya datang dari tokoh mufasir yang menafsirkan ayat-ayat

al-Qurān dengan menggunakan corak al-adabi al- Ijtimā’i dan Fikih. Yaitu Wahbah

Zuhaili, dengan berpijak pada penelitian M.Joko Subiyanto34, yaitu skripsi yang

berjudul Pernikahan Lintas Agama (Studi Atas Pemikiran Hukum Wahbah Zuḥailī

Tentang Perempuan Ahl al-Kitāb). Pada skripsi ini, dijelaskan bahwa Wahbah

Zuḥailī dalam menafsirkan ayat pernikahan terkait nikah lintas agama

membolehkan adanya pernikahan antara laki-laki muslim dengan perempuan Ahl

al-Kitāb, dengan alasan wanita yang Ahl al-Kitāb mengerti dan percaya dengan apa

yang dipercayai oleh orang muslim35.

Mufasir dengan corak ḥarāki, penulis memilih berpijak pada penelitian Annisa

Zahra Aini36, dengan judul skripsi Pernikahan Beda Agama Menurut Sayyid Quṭb

(Telaah Penafsiran Ayat-ayat Nikah Beda Agama dalam Kitab Tafsir Fī zilāl al-

Qurān. Di dalam skripsi ini dijelaskan bahwa Sayyid Quṭb menafsirkan ayat-ayat

nikah beda agama dengan kesimpulan, nikah beda agama itu dilarang hukumnya.

31Dedi Irawan, ”Pernikahan Beda Keyakinan Dalam al-Qurān ( Analisi Penafsiran al-

Maraghi atar QS. Al-Baqarah ayat 221 dan al-Maidah ayat 5),” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 75. 32Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga 33Ruslan, “Studi Atas Penafsiran al-Qurthubi Terhadap Ayat-Ayat Tentang Nikah Beda

Agama Dalam Kitab al-Jami’ Li Ahkam al-Qurān,” ( Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin UIN Sunan

Kalijaga, 2009), h. 39.

34Joko adalah mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Fakultas Syari’ah dan Hukum

35M. Joko Subiyanto, “Pernikahan Lintas Agama (Studi Atas Pemikiran Hukum Wahbah

Zuḥaili Tentang Perempuan Ahl al-Kitāb),” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin Universitas Islam

Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2012), h. 99.

36Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya

Page 26: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

9

Baik antara laki-laki muslim dengan wanita musyrik, antara wanita muslimah

dengan laki-laki non-muslim dan antara laki-laki muslim dengan wanita ahl al-

Kitab.37

Buku yang ditulis oleh Syamruddin Nasution, dengan judul buku Pernikahan

Beda Agama Dalam al-Qurān: Kajian Tentang Pro dan Kontra. Menjelaskan

tentang penafsiran M.Quraish Shihab, Hamka, Ibn Kaṡīr dan Sayyid Quṭb bahwa

semua tokoh mufasir yang sama sekali corak tafsirnya bukan fikih, melarang

pernikahan antara laki-laki muslim dan perempuan muslim menikah dengan orang

musyrik. Akan tetapi laki-laki muslim boleh menikahi Ahl al-kitāb dengan alasan

pintu darurat38.

Beberapa penelitian yang sudah dikemukakan, penulis merasa bahwa masih

ada yang kurang terkait dengan corak tafsir, karena tidak dijelaskan secara jelas,

apakah corak dan latar belakang itu memiliki koherensi39 dengan model penafsiran

atau tidak sama sekali, jika tidak berpengaruh, apakah hanya pada ayat-ayat

tertentu. Karena dari itu menurut penulis, penelitian ini menjadi penting dibahas

untuk membuktikan apakah corak itu dapat mempengaruhi ayat-ayat aḥkam atau

tidak. Guna mendapatkan pemahaman yang komprehensif mengenai permasalahan

pengaruh corak tafsir.

Dengan latar belakang pemikiran diatas maka masalah pokok yang akan

dibahas adalah PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS

TAFSIR AYAT-AYAT HUKUM).

B. Identifikasi Masalah

Latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, dapat diidentifikasi

beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Kajian-kajian seputar corak tafsir baik itu dalam al-Qurān ataupun secara

umum, masih berkisar pada studi komparatif antara satu mufasir dan mufasir

37Anissa Zahra Aini, “Pernikahan Beda Agama Menurut Sayyid Quthub (Telaah

Penafsiran Ayat-ayat Nikah Beda Agama dalam Kitab Tafsir Fī zilāl al-Qurān,” (Skripsi S1

Fakultas Ushuluddin UIN Suan Ampel Surabaya, 2017), h. 80.

38Syamruddin Nasution, Pernikahan Beda Agama Dalam al-Qurān: Kajian Tentang Pro

dan Kontra (Riau: Yayasan Pustaka Riau, 2011), h. 322. 39Koherensi adalah tersusunya uraian atau pandangan sehingga bagian-bagianya berkaitan

satu dengan yang lain, lihat. Tim Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia (jakarta: Gramedia

Pustaka Utama, 2008), h. 712.

Page 27: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

10

lain. Sementara itu masih ada satu hal yang luput dari kajian mereka yakni

pengaruh corak tafsir pada model penafsiran.

2. Ayat-ayat hukum memiliki pemaknaan yang cukup luas. Para mufasir

memaknainya dengan cara yang berbeda-beda, dan corak dari para mufasir

itulah yang menimbulkan penafsiran yang beda.

C. Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian skripsi ini akan dibatasi

pada masalah bagaimana Pengaruh Corak Pada Penafsiran (Studi Kasus Tafsir

Ayat-Ayat Hukum). Oleh karena itu kitab tafsir yang menjadi rujukan penelitian ini

adalah kitab tafsir al-Jāmi’ Li Aḥkām al-Qurān karya al-Qurṭubi, Yang selanjutnya

adalah kitab tafsir Rūh al-Ma’anī karya al-Alusi, kemudian kitab tafsir al-Kassyāf

yang dikarang oleh Imam al-Zamakhsyarī, selanjutnya adalah kitab tafsir Fī zilāl

al-Qurān karya Sayyid Quṭub, kitab Tafsir al-Misbah: pesan, kesan dan keserasian

al-Qurān karya M. Quraish Shihab, Tafsīr al-Jīlānī karya ‘Abd al-Qādir al-Jīlānī,

Tafsīr al-Baḥr al-Madīd fī Tafsīr al-Qurān al-Majīd karya Ibn ‘Ajībah, dan yang

terakhir adalah Laṭā’if al-Isyārāt karya al-Qusyairī.

D. Rumusan Masalah

Kemudian agar pembahasannya tidak menyimpang dan lebih terarah kepada

tema yang diangkat, maka penulis mengambil rumusan masalah:

Bagaimana koherensi penafsiran ulama tafsir dengan corak yang beragam

terhadap ayat-ayat hukum?

E. Tujuan Dan Manfaat

Berdasarkan masalah yang telah ditetapkan, maka penelitian ini bertujuan

untuk memberikan sebuah pemahaman yang utuh tentang pengaruh corak pada

penafsiran, menurut pandangan ulama-ulama tafsir pada ayat-ayat hukum dan

untuk menguji apakah latar belakang mufasir dapat mempengaruhi hasil penafsiran

terkait ayat hukum.

Page 28: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

11

Di antara tujuan penelitian, adalah sebagai berikut:

1. Untuk menganalisis corak penafsiran mufasir terkait ayat hukum yaitu pada

permasalahan nusyūz, hukum potong tangan, hukum pelaku zina, dan riba.

2. Untuk mengetahui apakah ada pergeseran makna dalam memahami ayat-ayat

hukum oleh masing-masing mufasir.

3. Untuk menemukan apakah corak tafsir dapat mendasari terjadinya perbedaan

penafsiran.

Adapun manfaat penelitian ini terlihat dari segi teoritis dan praktisnya:

1. Dalam Aspek Teoritis

a. Memberikan wawasan tambahan mengenai corak mufasir yang berbeda

dalam menafsirkan ayat hukum.

b. Memberikan wawasan terkait persoalan ayat-ayat hukum di dalam al-Qurān.

c. Memberikan pemahaman yang komprehensif terkait dengan corak tafsir

ketika menafsirkan al-Qurān.

2. Dalam aspek praktis.

a. Karya ilmiah ini akan berguna bagi mahasiswa yang hendak menambah

keilmuannya dan menjadi referensi dalam memberikan proses belajar-

mengajar di Fakultas masing-masing. Penelitian ini dapat memberikan

sedikit pemahaman terkait persoalan corak tafsir yang ditafsirkan oleh

mufasir dengan corak yang berbeda-beda.

b. Sebagai karya ilmiah, tulisan ini diharapkan dapat menambah wawasan

pengetahuan di bidang pendidikan al-Qurān dan Tafsir khususnya yang

berkaitan dengan ayat-ayat hukum dan corak tafsir di dalam al-Qurān

sehingga mahasiswa-mahasiswi IQTAF dapat menjawab tantangan

permasalahan secara global.

F. Metode Penelitian

Data yang digunakan dari skripsi ini adalah kitab Tafsīr al-Jāmi’ Li Ahkām al-

Qurān karya al-Qurṭubi, kitab Tafsīr Rūh al-Ma’anī karya al-Alusi, selanjutnya

adalah kitab Tafsīr al-Kassyāf yang dikarang oleh al-Zamakhsyarī, kemudian kitab

tafsīr Fī Zilāl al-Qurān karya Sayyid Quṭb, dan yang terakhir adalah kitab Tafsir

al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an karya M.Quraish Shihab.

Page 29: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

12

Tafsīr al-Jīlānī karya ‘Abd al-Qādir al-Jīlānī, Tafsīr al-Baḥr al-Madīd fī Tafsīr al-

Qurān al-Majīd karya Ibn ‘Ajībah, dan yang terakhir adalah Laṭā’if al-Isyārāt karya

al-Qusyairī. Beberapa kitab tafsir tersebut menjadi data premier di dalam penelitian

ini.

Sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh lewat pihak lain, tidak

langsung diperoleh oleh peneliti dari subjek penelitiannya40. Dalam penelitian ini

penulis lebih mengarahkan pada data-data pendukung dan alat-alat tambahan yang

dalam hal ini berupa buku-buku terkait dengan corak tafsir dan ayay-ayat terkait.

Semua itu dilakukan melalui proses pengumpulan data-data, pendapat para ahli Al-

Qurān dan Tafsir untuk kemudian dijadikan analisis kesimpulan akhir pada

penelitian ini.

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

penelitian kepustakaan (Library research), Library research adalah suatu

penelitian penyelidikan terhadap buku-buku, majalah dan bahan-bahan yang

berkaitan dengan penelitian yang akan dibahas. Kemudian dari bacaan tersebut

penulis mengklasifikasikan materi dan kemudian dituangkan dalam bentuk

tulisan41.

Fase selanjutnya penulis menggunakan metode muqāran, metode tafsir

muqāran adalah membandingkan ayat-ayat al-Qurān yang memiliki persamaan

atau kemiripan redaksi, yang berbicara tentang masalah atau kasus yang berbeda,

dan yang memiliki redaksi yang berbeda bagi masalah atau kasus yang sama atau

diduga sama42. Penulis ingin membandingkan penafsiran para ulama tafsir dengan

corak yang berbeda terhadap Q.S. al-Nisā (4) ayat 34, Q.S. al-Maidah (5) ayat 38,

Q.S. al-Nūr (24) ayat 2, Q.S. Āli ‘Imrān (3) ayat 130.

Selanjutnya metode pemaparan hasil perbandingan akan dideskripsikan dan

kemudian dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif-analitis dalam

penelitian ini dimaksudkan sebagai metode penelitian yang sumber-sumbernya

didata, dikumpulkan, dianalisis dan kemudian diinterpretasikan secara kritis

40Saifudi Azwar, Metode Penelitian (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 91. 41Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008),

h. 2. 42Mula Salim, Metodologi Ilmu Tafsir (Sleman: Teras, 2005), h. 85.

Page 30: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

13

sebelum dituangkan dan diimplementasikan dalam sebuah gagasan.43 Oleh karena

itu, dalam hal seperti ini diharapkan dapat memahami dan memberikan gambaran

yang jelas mengenai permasalahan yang terkait dengan isi penelitian ini. Demikian

juga agar penulis dapat menyusun dalam bentuk yang sistematis sehingga nantinya

dapat mengena pada inti permasalahan dan dapat memperoleh hasil penelitian yang

benar.

Sumber data primer adalah data pokok yang berkaitan dan diperoleh secara

langsung dari objek penelitian. Sementara sumber data primer adalah sumber data

yang dapat memberikan data penelitian secara langsung.44

Sementara itu, pada bagian teknis penulisan, penulis menggunakan buku

panduan Pedoman Penulisan Karya ilmiah45, dan buku pedoman penulisan

skripsi46. Kecuali transliterasi dan penamaan sūrah, penulis menggunakan pedoman

transliterasi Arab latin keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri P dan K

nomor 158 tahun 1987.

G. Kajian Pustaka

Dalam beberapa literatur yang penulis baca, sudah banyak pembahasan terkait

dengan corak tafsir, tetapi dari sekian banyak itu penulis ingin membahas dari sudut

pandang yang lain dari masalah ini, yaitu masalah yang terkait dengan penafsiran

mufasir dengan corak yang berbeda pada ayat-ayat hukum. Salah satunya adalah

yang dikutip dari Q.S. al-Nisā ayat (4) 34. Sebelum penulis, sudah ada yang

mengulas tentang masalah ini dalam kajian tafsir. Dari beberapa penelusuran,

penulis menemukan beberapa tema yang terkait dengan penelitian ini. Yaitu:

Penelitian yang ditulis oleh Andi Miswar dalam artikelnya yang berjudul

Corak Pemikiran Tafsir Pada Perkembangan Awal Tradisi Tafsir Di Nusantara

43Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah; Dasar, Metode, Teknik, Cet. Ke-7,

(Bandung: Tarsito, 1982), h. 139. 44Joko P Subagyo, Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta,

2004), h. 87 45Hamid Nasuhi, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Desertasi) (Jakarta:

CEQDA, 2007), h. 1-71. 46Masri Mansoer, Pedoman Penulisan Skripsi (Jakarta: Fakultas Ushuluddin Uin Syarif

Hidayatullah, t.t.), h. 1-55.

Page 31: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

14

(Hamzah al-Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani dan Abd Rauf al- Singkel)47. Fokus

pada penelitian ini tentu saja pada kajian corak penafsiran para ulama Nusantara.

Penelitian ini hanya menjelaskan dari masing-masing tokoh ulama Nusantara yaitu

Hamzah al-Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani dan Abd Rauf al- Singkel dan corak

penafsirannya. Maka penulis belum menemukan masalah yang ada di dalam

penelitian ini.

Penelitian yang kedua dilakukan oleh Malik Ibrahim, dengan judul artikel

Corak Dan Pendekatan Tafsir al-Qurān48, fokus kajian ini yaitu pada permasalahan

metode yang digunakan oleh mufasir bukan mengenai corak. Penelitian ini

dijelaskan pembagian metode tafsir dari mulai metode Taḥlilī, Ijmālī, Mauḍū‘ī dan

Muqarran. Tidak ada masalah yang ditemukan di dalam penelitian, maka menurut

penulis penelitian ini memiliki kekurangan.

Penelitian selanjutnya yaitu pada penelitian yang ditulis oleh Amina Rahmi

Hati, dengan judul skripsi Metode Dan Corak Penafsiran Imam al-Alusi Terhadap

al-Qurān (Analisa Terhadap Tafsir Ruh al-Ma’ani)49. Penelitian ini berfokus pada

kajian tentang tafsir Rūh al-Ma’āni yang menurut penelitian ini adalah secara garis

besar corak penafsiran Imam al-Alusi dalam tafsirnya Rūh al-Ma’āni ada tiga

corak, yaitu corak Fiqh, Isyari dan corak lughawi. Menurut penulis masih ada

kekurangan tentang penelitian ini yaitu hanya membahas seputar tentang tafsir ini,

tidak ada masalah yang ditimbulkan dari penelitian ini.

Penelitian dengan judul skripsi Penafsiran Q.S. Al-Nisā (4): 34 Menurut Ibn

‘Āsyūr dan Muhammad Quraish Shihab karya Alfi Nur’aini, menjelaskan tentang

pemahaman Q.S. al-Nisā (4) ayat 34 dari 2 tokoh mufasir, yaitu Ibn ‘Āsyūr dan

Muhammad Quraish Shihab. Skripsi tersebut menjelaskan secara keseluruhan dari

ayat 34 ini. Lalu dari kesimpulan skripsi tersebut, Alfi Nur’aini menjelaskan

perbedaan dan persamaan, bentuk penyajian dalam tafsirnya, dan metode yang

47Andi Miswar, “Corak Pemikiran Tafsir Pada Perkembangan Awal Tradisi Tafsir Di

Nusantara ( Hamzah al-Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani dan Abd Rauf al- Singkel),” Jurnal

Rihlah, vol. IV, no. 1, (2014): h. 115-129. 48Malik Ibrahim, “Corak dan Pendekatan Tafsir al-Qurān,” SOSIO RELIGIA, vol. 9, no. 3

(Mei 2010): h. 642-658. 49Aminah Rahmi Hati, “Metode Dan Corak Penafsiran Imam al-Alusi Terhadap al-Qurān

(Analisa Terhadap Tafsir Ruh al-Ma’ani),” (Skripsi S1 fakultas Ushuluddin Universitas Islam

Negeri Sultan Kasyim ( Riau 2013), h.1-74.

Page 32: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

15

dipakai dari kedua mufasir yang telah disebutkan. Sehingga permasalahan tentang

nusyūz dalam hal ini tidak terlalu ditekankan oleh penulis.50

Kemudian skripsi dengan judul Tindakan Suami Terhadap Istri Yang Nusyūz

Dalam QS. al-Nisa’ ayat 34 (Studi atas Penafsiran Hamka dan M. Quraish Shihab),

dijelaskan oleh penulis tentang bagaimana penafsiran kedua tokoh mufasir yang

sama-sama berasal dari Indonesia. Sehingga menurut penulis ini memudahkan

untuk mengkaji Q.S. al-Nisā’ (4) ayat 34, dan bagaimana seharusnya tindakan

suami terhadap istri yang melakukan nusyūz. Kemudian pada kesimpulannya

penulis menjelaskan bahwa kedua mufasir tersebut sama sama menjelaskan solusi

yang harus dilakukan oleh suami terhadap istri, yaitu menasihati, meninggalkan

atau menjauhi tempat tidurnya, memukulnya (pukulan yang tidak menyakitkan,

tidak di wajah, tidak di satu tempat dan tidak boleh memakai alat-alat). Sehingga

dari skripsi ini tidak terjadi perbedaan antara pemaknaan kata ḍorbun dari kedua

mufasir baik itu Hamka dan M.Quraish Shihab. Tetapi setelah itu Heri Susanto

berpendapat bahwa M.Quraish Shihab lebih relevan penafsirannya dari pada

Hamka, karena menurutnya penafsiran Quraish Shihab lebih komprehensif

ketimbang Hamka.51

Penelitian selanjutnya berupa sebuah artikel, karya Muhammad Solahuddin

dengan judul Metodologi dan Karakteristik Penafsiran Dalam Tafsir al-Kasyāf.

Bahwa dalam penelitian ini doktrin-doktrin Mu'tazilah mempengaruhi al-

Zamakhsyarī dalam tafsirannya:

1. Al-Zamakhsyarī menta’wilkan ayat-ayat Al-Qurān sesuai dengan mazhab

Hanafi dan akidah Mu’tazilah yang dianutnya, dengan cara yang hanya

diketahui oleh orang yang ahli dan menamakan kaum Mu’tazilah sebagai

“Saudara seagama dan golongan utama yang selamat dan adil”;

2. Al-Zamakhsharī berusaha memagari ayat-ayat agar sesuai dengan paham

Mu’tazilah, di antaranya; (1) Merubah makna ayat ke dalam makna lain; dan

(2) Al-Zamakhsyarī mendahulukan dan menerapkan prinsip-prinsip

mu’tazilah. Dalam menafsirkan al-Qurān, terlihat ketika posisinya sebagai

50Alfi Nur’aini, “Penafsiran QS. Al-Nisā (4) : 34 Menurut Ibn ‘Āsyūr dan Muhammad

Quraish Shihab,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015), h. 1-79 51Heri Susanto, “Tindakan Suami Terhadap Istri Yang Nusyuz Dalam QS. al-Nisa’ ayat 34

(Studi atas Penafsiran Hamka dan M. Quraish Shihab),” ( Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin UIN

Sunan Kalijaga, Yogyakarta), h. 1-80

Page 33: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

16

mufasir, memandang Al-Qurān secara umum, ia menjadikan ayat-ayat yang

jelas mendukung mazhabnya mu’tazilah sebagai muhkamat, sebaliknya jika ia

menemukan ayat-ayat yang jelas bertentangan, maka dianggapnya sebagai

mutashābihāt; dan (3) Al-Zamakhsharī menafsirkan ayat-ayat Alquran

berdasarkan ajaran-ajaran Mu’tazilah, terutama yang berkenaan dengan lima

prinsip, yaitu: tauhid, keadilan, janji dan ancaman, tempat di antara dua tempat,

dan Amar ma’rūf nahī al-munkar.52

Artikel karya Lenni Lestari, dengan judul jurnal Epistimologi Corak Tafsir

Sufstik. Penelitian ini menjelaskan tentang konsep dan perkembangan tafsir

bercorak tasawuf. Kemudian dijelaskan bahwa Sumber penafsiran corak tafsir sufi

adalah intuisi dan filsafat. Pendekatan yang digunakan adalah takwil. Metode yang

digunakan adalah taḥlili. Sedangkan validitas penafsiran cenderung pada penguasa

yang ada saat itu dan teori keilmuan mufasir. Menurut Lenni tidak semua ayat-ayat

al-Quran ditafsirkan oleh mufasirnya dalam nuansa tasawuf. Maka dari itu saya

ingin membuktikan penafsiran ayat ahkam yang ditafsirkan dengan corak sufi53.

Penelitian tentang nusyūz, dengan judul skripsi Pendapat Muhammad Nawawi

al-Bantani Mengenai Hukum Suami Memukul Istri Dalam Kitab Uqud al-Lujain

Dan Relevansinya Dalam Tindak Pidana KDRT, berisi tentang kesimpulan seorang

Mufasir asal Indonesia ini yang menafsirkan Q.S. al-Nisā (4) ayat 34, bahwa

Pendapat Muhammad Nawawi al-Bantani mengenai kebolehan suami memukul

istri didasarkan pada penafsiran Q.S. al-Nisā (4) ayat 34. Isi dalam kitab Uqud al-

Lujain juga dijelaskan bahwa laki-laki mempunyai kedudukan yang lebih tinggi

dari perempuan. Ke sewenang-wenangan laki-laki digambarkan sedemikian besar,

sedangkan perempuan digambarkan sedemikian rendah, tidak berdaya, dan wajib

tunduk pada suami54.

Sejauh ini dari beberapa penelitian yang sudah dikemukakan, penulis

berkesimpulan, sedikit sekali yang membahas pengaruh corak tafsir, pada

52Muhammad Solahuddin, “Metodologi dan Karakteristik Penafsiran Dalam Tafsir al-

Kassyāf,” Jurnal Ilmiah : Agama dan Sosial Budaya, vol.1, no. 1 (Januari 2016): h.1-20 53Lenni Lestari, ” Epistimologi Corak Tafsir Sufstik,” Junal syahadah, vol.2, no.1 (April

2014): h. 26. 54Ilma Rofiudn, “Pendapat Muhammad Nawawi al-Bantani Mengenai Hukum Suami

Memukul Istri Dalam Kitab Uqud al-Lujayyn Dan Relevansinya Dalam Tindak Pidana KDRT,”

(Skripsi S1Fakultas Ushuluddin UIN Walisongo semarang, 2011), h. 1-75.

Page 34: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

17

penafsiran ayat-ayat terkait hukum atau bukan hukum. Maka dari itu penulis ingin

membahas hal-hal tersebut agar bisa melengkapi penelitian-penelitian terdahulu.

H. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan gambaran secara besar dan seluruh permasalahan yang

dibahas terarah, serta memudahkan pembaca dalam menelaahnya, maka penulis

membagi skripsi ini pada lima bab, sebagai berikut:

Bab pertama, berupa pendahuluan yang terdiri dari beberapa sub-bab yaitu:

latar belakang masalah, identifikasi masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan

dan manfaat penelitian, kajian pustaka, dan metode penelitian serta sistematika

penulisan. Bab ini ditujukan untuk memberikan gambaran dari keseluruhan

permasalahan yang akan dibahas secara rinci dan detail pada bab-bab berikutnya.

Bab kedua, gambaran umum tentang corak penafsiran terhadap ayat-ayat

hukum. Berisi tentang penjelasan dari corak-corak tafsir dan ayat-ayat hukum,

ditunjukan untuk memberikan pemaparan terkait dengan corak tafsir secara umum.

Bab ketiga, berisi tentang pemaparan latar belakang mufasir dan penafsiranya

terkait dengan ayat-ayat hukum, berfungsi untuk dijadikan sumber data.

Bab keempat, berisikan tentang kerangka pemahaman serta analisis dari

corak-corak mufasir, dan hasil temuan terhadap kajian Q.S. al-Nisā (4) ayat 34.

Selain ditujukan untuk mengungkap persamaan dan perbedaan penafsiran yang

dihasilkan dari corak tafsir yang berbeda. Kajian pada bab ini juga ditujukan untuk

mengungkap latar belakang pemaknaan yang berbeda-beda dari ayat tersebut.

Penelitian ini diakhiri dengan bab kelima yang merupakan penutup, yaitu

berisi kesimpulan-kesimpulan dari data yang diperoleh serta saran-saran. Bab ini

akan menerangkan kesimpulan dari penelitian ini serta akan mengungkapkan

kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam penelitian ini dan memberikan saran-

saran agar para peneliti selanjutnya bisa dengan mudah mencari kekurangan dalam

kajian ini

Page 35: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

18

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG CORAK TAFSIR DAN AYAT HUKUM

A. Gambaran tentang Corak Penafsiran

Corak penafsiran dalam literatur sejarah tafsir biasanya diistilahkan dalam

bahasa Arab yaitu al-laun yang memiliki arti “dasarnya warna”.1 Sebelum berbicara

tentang corak, penulis ingin mencoba menjelaskan dasar dari munculnya penafsiran

yang berbeda ketika memahami teks. Artikel yang ditulis oleh A. Baijuri Khotib,

sedikit menyinggung masalah tersebut, ia mengatakan bahwa pemaknaan antara

pengarang- teks- pembaca seolah membentuk opini adanya perdebatan pemaknaan

di antara pemerhati makna. Perdebatan tersebut mengisyaratkan bahwa makna teks

dalam karya bersifat relatif, atau makna tidak lagi absolut.2

Karena teks itu bersifat relatif, maka pendapat ini dikuatkan lagi oleh

pendapatnya Roland Barthes, yang mengatakan bahwa ada jarak yang jauh antara

pengarang dan pembaca dalam memberikan makna, sehingga ia menitikberatkan

pemahaman suatu teks hanya pada pembaca, termasuk di dalamnya penafsir dalam

memberikan makna. Kemudian, ia menekankan bahwa pembaca atau penafsir

pastinya dipengaruhi oleh mitos, logika, kepercayaan dan situasi historis sehingga

teks dapat ditafsirkan atau diberikan makna sesuai dengan kondisi pembaca atau

penafsirannya.3

Al-Qurān itu tidak berubah dan selamanya yang disebut dengan tafsīr al-Qurān

memang selalu berubah dan berbeda. Hal ini didasari oleh perkataan ‘Alī ibn Abī

Ṭālib, “Al-Qurān tidak bisa bicara apa-apa tetapi yang berbicara adalah manusia”4.

Maka dari itu penafsir dari zaman klasik sampai modern, saat menelaah teks suci

dipengaruhi oleh situasi historis yang tentunya dapat berimbas pada corak, model,

makna atau pemahaman terhadap teks itu sendiri5.

1Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir (Bandung: Tafakur, 2011), h. 199 2A. Baijuri Khotib, “Corak Penafsiran al-Qurān (Periode Klasik- Modern),” Jurnal

Hikamuna, edisi 1, vol. 1, no. 1 (2016): h. 115. 3Roland Barthes, Image, Music, Text and Translated by Stephen Heath (New York: Hill

and Wang, 1977), h. 142. 4Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir. Penerjemah Alaika Salamullah. Syaifuddin Zuhri.

Badrus Syamsul Fata (Yogyakarta: eLSAQ press, 2006), h. xii. 5Baijuri Khotib, “Corak Penafsiran al-Qurān (Periode Klasik- Modern),” h. 116.

Page 36: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

19

Pemaknaan kata corak pun masih menjadi perdebatan. Penulis merasa bahwa

penjelasan ini menjadi penting, sebab dalam beberapa buku ‘Ulūm al-Qurān,

seringkali ditemukan kerancuan atas penggunaan kata corak dalam

mengidentifikasi jenis-jenis atau ragam penafsiran. Sebagian ada yang

menyamakan kata corak dengan metode. Sebagian lagi menyamakan corak dengan

pendekatan atau sifat penafsiran, seperti yang ditulis oleh Muhammad Ḥusain al-

Żahabī6.

Rasanya sulit untuk melacak siapa pertama kali yang menggunakan kata corak

dalam menjelaskan ragam penafsiran. Seandainya bisa dilacak, pasti akan

ditemukan jawaban dari maksud kata corak tersebut. Meskipun begitu, sebetulnya

bisa juga dilacak maksud istilah corak penafsiran dari sejumlah buku-buku ‘Ulūm

al-Qurān yang ada.

Penelitian yang membahas masalah corak, sebagian besar hanya membahas

satu tokoh mufasir dan karyanya, yang kemudian diteliti apa corak dan metode

tafsirnya, di antaranya penelitian yang dilakukan oleh Idris7, penelitian ini secara

keseluruhan membahas tentang tafsīr al-Bayḍāwī baik dari segi metode tafsirnya

atau corak tafsirnya, tetapi pada pembahasan corak, Idris menyebutkan bahwa kata

lain dari corak adalah kecenderungan atau Ittijāh / naz‘ah, kemudian yang menjadi

perhatian penulis adalah bahwa Idris di kalimat selanjutnya menjelaskan bahwa

setiap mufasir memiliki kecenderungan berbeda di setiap tafsirnya, sentuhan

berbeda akan berdampak pada produk-produk penafsiran nya. Sehinga pembaca

buku tafsir akan merasakan aroma kecenderungan mufasir dalam karya tafsirnya.

Kecenderungan-kecenderungan itu dipengaruhi beberapa faktor, di antaranya,

faktor ideologis, spesialisasi ilmu dan kecenderungan mazhab fikih, dan selainnya.

Penelitian serupa dilakukan oleh Dony Burhan, yang membahas tentang corak

sastra dalam kitab tafsir yang dikarang oleh ‘Āisyah ‘Abd al-Raḥmān (Bint Al-

Syāṭī). Dony menjelaskan dalam artikelnya bahwa kitab tafsir bercorak sastra yang

dikarang oleh Bint Al-Syāṭī banyak dipengaruhi oleh Amin al-Khullī, kemudian

6Muhammad Ḥusain al-Żahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, jilid 1 (al-Qāhirah: Maktabah

Wahbah, 1978), h. 136-148. 7Idirs, “Tafsīr al-Bayḍāwī (Analisis metode dan corak kitab Anwār al-Tanzīl wa Asrār al-

Ta’wīl,” Al-Tsiqoh: Islamic Economy and Da’wa Journal, vol. 1, no. 2 (2016): h. 53-73.

Page 37: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

20

dipaparkan metode sastra yang digunakan dalam tafsir tersebut dan disertai dengan

contoh penafsirannya8.

Penelusuran corak tafsir yang pernah dibahas oleh sebagian tokoh di dalam

bukunya, yaitu di antaranya: M. Quraish Shihab, yang menggunakan kata corak

untuk menyebut metode, yaitu corak bi al-ma’ṡūr9. Kemudian Nashruddin Baidan

juga mencoba untuk mengidentifikasi tafsir-tafsir Indonesia periode klasik,

pertengahan, pra-modern dan modern, ke dalam kategori bentuk, metode dan corak

tafsir. Kategori bentuk yang dimaksud adalah tafsir dengan bentuk bi al-ma’ṡūr dan

bi al-ra’yi. Sedangkan metode yang dimaksud adalah metode ijmalī, taḥlilī,

muqāran atau mauḍu‘ī. Terkait dengan corak, Nashruddin Baidan tidak

menjelaskan apa yang dimaksud dengan istilah corak tafsir itu sendiri. Meski

demikian ia pernah menyebut corak-corak tafsir adalah seperti corak fikih, tasawuf,

filsafat dan al-adābi al-Ijtima‘ī, Lugawī, dan lain-lain10.

Sedangkan ada seorang tokoh yang berbeda pendapat, mengenai permasalahan

corak, yaitu Abdul Mustaqim. Beliau menjelaskan bahwa corak tafsir adalah nuansa

khusus atau sifat khusus yang memberikan warna tersendiri terhadap sebuah

penafsiran, seperti nuansa kebahasaan, teologi, sosial-kemasyarakatan, psikologis

dan lain-lain11. Istilah nuansa tafsir juga dipakai oleh M. Nurdin Zuhdi yang turut

melanjutkan penelitian Islam Gusmian tentang nuansa tafsir Indonesia 1990-2000

dengan melanjutkan mengidentifikasi tafsir Indonesia tahun 2000-2010, seperti

berdasarkan nuansa kebahasaan, nuansa sosial kemasyarakatan, nuansa teologis,

nuansa sufistik, dan nuansa psikologis12.

8Dony Burhan Noor Hasan, “Corak Sastra Tafsir al-Qurān ‘Āisyah ‘Abd al-Raḥmān “Bint

Al-Syāṭī”,” The Learning University, h. 121-129. 9M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qurān, cet. Ke-3. (Bandung: Mizan, 1993), h. 83. 10Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir al-Qurān di Indonesia (Solo: Tiga Serangkai,

2003), h. 37, 54, 68, 92, 105. 11Abdul Mustaqim, Mazahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran al-Qurān Periode

Klasih hingga Kontemporer (Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003), h. 81. 12M. Nurdin Zuhdi, Pasaraya Tafsir Indonesia dari Kontestasi Metodologi hingga

Kontekstualisasi (Yogyakarta: Kaukaba, 2014), h. 1-320.

Page 38: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

21

Dilihat dari kitab-kitab asing, seperti kitab berbahasa Arab yang dikarang oleh

Amīn al-Khūlī (1895-1966 M)13 dan Muhammad Alī Iyāzī14 menggunakan kata laun

dalam buku mereka. Al-Khūlī mengatakan bahwa setiap orang yang menafsirkan

teks pasti memberikan warna (yulawwinu) terhadap teks tersebut, tak terkecuali teks

sastra dengan penafsiran dan pemahamannya.

Orang yang memahami suatu ungkapan sebenarnya dialah melalui

kepribadiannya (syakhsiyyah) yang menentukan taraf pemikiran ungkapan tersebut.

Dialah yang menentukan seberapa jauh cakrawala intelektualitas dari makna dan

tujuan ungkapan itu. Cakrawala intelektualitas dari kepribadian seorang mufasir ini

bisa mewarnai penafsiran nya. Pewarnaan tersebut dipengaruhi oleh ilmu-ilmu

pengetahuan yang dipakai mufasir untuk menangani teks dan digunakan untuk

mengungkapkan makna15.

Terkait apakah corak itu dapat mempengaruhi hasil suatu penafsiran,

khususnya pada ayat-ayat hukum, sedikit artikel yang membahas tentang hal

tersebut, setelah di telusuri kembali, kebanyakan artikel membahas tentang corak

tafsir itu sendiri, dan perbandingan antara mufasir yang satu dengan yang lain.

Artikel yang ditulis oleh Abdul Syukur, menjelaskan tentang pengertian dan

pembagian corak tafsir, dan pada kesimpulannya ia berpendapat bahwa yang perlu

diperhatikan adalah apakah kecenderungan tersebut menjadi senjata bagi

penafsirannya untuk mendukung pendapatnya, sehingga terjebak pada pengalihan

makna al-Qurān sesuai dengan keinginannya, atau kecenderungan tersebut hanya

sebatas kecenderungan yang tidak memiliki motif tersembunyi untuk

memutarbalikkan makna al-Qurān, dan tetap menjadikan al-Qurān di atas

13Nama lengkap dari Amīn al-Khūlī adalah Amīn Ibnu Ibrāhīm ‘Abd al-Bāqī Ibn ‘Āmir Ibn

Ismā‘īl Ibn Yūsuf al-Khūlī. Dia lahir di Syūsyai pada tanggal 1 mei 1895. sebuah kota kecil di Mesir.

Ia berasal dari keluarga petani gandum yang berpegang ketat pada tradisi keagamaan al-Azhar. Dia

memiliki wacana yang luas terhadap peradaban Barat dengan metodologi pengkajiannya. Ia

menempuh pendidikan formal di Sekolah Tinggi Hakim Agama pada tahun 1920, kemudian di

Eropa menjadi imam ekspedisi ilmiah dan Atase Agama Kedutaan Besar Mesir di Roma dan Berlin,

Jerman. Sepulang dari Eropa, ia ditunjuk menjadi dosen di universitas Mesir dan mengajar ilmu

Balaghah, Tafsir, dan Sastra Mesir. Di Al-Azhar, ia menjadi guru besar Filsafat dan Perbandingan

Agama pada Fakultas Ushuluddin, Lihat. Kāmil Sa’fān, Amīn al-Khūlī (Kairo: al-Hay’ah al-

Misriyah al-Āmma Li al-Kitāb, 1982), h. 5-13. 14Muhammad ‘Alī Iyāzī, al-Mufassirūn Ḥayātuhum wa manhajuhum (Teheran: Muassasah

al-Ṭiba’ah Wa al-Nasyr Wizarāt al-Syaqafah Wa al-Irsyād al-Islamī, 1313 H), h.33. 15Amin Al-Khuli dan Nashr Hamid Abu Zayd, Metode Tafsir Sastra, penerjemah Khairon

Nahdiyyin (Yogyakarta: Adabpress, 2004), h. 65.

Page 39: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

22

pendapatnya, dan bukan malah sebaliknya, al-Qurān dijadikan alat untuk

menjustifikasi pendapatnya16.

Penelitian serupa ditulis oleh Asy’ari, yang mencoba untuk memaparkan

sejauh mana perkembangan bentuk, metode dan corak penafsiran pada saat itu.

Asy’ari membagi bentuk penafsiran pada dua macam yaitu al-Tafsīr bi al-ma’ṡūr

dan al-Tafsīr bi al-ra’yi, sedangkan corak, ia membaginya pada corak sufi, fikih,

‘ilmi, falsafi, dan adabī. Kemudian pada bagian metode ia membaginya pada

metode taḥlilī, mauḍū‘ī, dan muqāran17. Penulis tidak menemukan masalah pada

penelitian yang ditulis oleh Asy’ari, maka dari itu perlu bagi penulis untuk

melanjutkan apa yang sudah diteliti oleh penulis-penulis sebelumnya.

Kemudian tidak sedikit juga kritik dari para sarjanawan muslim, terkait corak

tersebut, seperti yang dilakukan oleh Taufiq Adnan Amal dan Samsu Rizal,

terutama pada corak-corak teologis, sufistik dan ilmi. Penafsiran teologis umumnya

telah mendekati al-Qurān secara atomistik dan parsial serta terlepas dari konteks

kesejarahan dan kesusastraan dalam membela sudut pandang tertentu18.

B. Macam-Macam Corak Tafsir

Pembagian corak tafsir telah banyak ditulis oleh pemikir-pemikir muslim,

salah satunya yang disebutkan oleh seorang cendikiawan muslim di dalam kitabnya,

yaitu Muḥammad Ḥusain al-Żahabī, bahwa beliau mengatakan19, ada

kecenderungan dari mereka untuk memaksakan bahwa corak-corak yang menjadi

kecenderungan mufasir hanya ada dalam metode tafsir al-Taḥlilī. Padahal, jika

memang corak itu kecenderungan yang menjadi arah tujuan dalam penafsiran, dan

ini menjadi kebiasaan yang sangat dipengaruhi pula oleh kemampuan dan keilmuan

mufasir, maka tidak menutup kemungkinan munculnya corak-corak penafsiran

dalam berbagai metode tafsir.

16Abdul Syukur, “Mengenal Corak Tafsir al-Qurān,” Elfurqonia, v.1, no.1 (Agustus 2015):

h. 84-104. 17Asy’ari, “Studi Tentang Bentuk Corak Dan Metode Tafsir,” (Skripsi S1 Fakultas

Ushuluddin, Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 1999), h. 43-94. 18Taufiq Adnan Amal dan Syamsu Rizal Panggabean, Tafsir Kontekstual Al-Qurān:

Sebuah Kerangka Konseptual (Bandung: Mizan, 1989), h. 17. 19Muhammad Ḥusain al-Żahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, jilid 1 (al-Qāhirah: Maktabah

Wahbah, 1978), h. 136-148.

Page 40: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

23

Terkait macam-macamnya, menimbulkan juga perbedaan-perbedaan

dikalangan pemikir-pemikir muslim maupun non-muslim, terhadap satu karya

tafsir. Sebut saja ‘Abdullah Sa‘īd, beliau menggolongkan kitab tafsir Fī Ẓilāl al-

Qurān karya Sayyid Quṭb ke dalam corak penafsiran sosial-politis (Sosio-political

exegesis).20 Sedangkan Mossimo Campannini menggolongkan kitab tafsir tersebut

ke dalam corak penafsiran yang radikal (Islamic Radical Exegesis).21

Selanjutnya penulis akan mengutip pendapat Imām al-Żahabī, yang tidak

membedakan antara corak dan metode, dalam kitabnya beliau menggabungkan

antara keduanya, yaitu antara lain22: al-Tafsīr bi al-ma’ṡūr, al-Tafsīr bi al-ra’yi,

Tafsīr al-ṣufiyah, Tasīr al-falāsifah, Tafsīr al-fuqahāi, al-Tafsīr al-‘ilmī, al-Laun

al-mażhabī, al-Laun al-ilhādī, al-Laun al-adabī al-ijtimā‘ī.

1. Tafsīr al-ṣufiyah

Tafsir bercorak sufi, biasanya tafsir dengan kecenderungan men-takwil-kan al-

Qurān selain dari apa yang tersirat, dengan berdasar pada isyarat-isyarat yang

nampak pada ahli ibadah.23 Tafsir corak seperti ini disebut juga dengan tafsīr

isyārī24, yaitu menakwilkan al-Qurān dengan makna yang bukan makna

lahiriyahnya karena adanya isyarat yang samar dan diketahui oleh para penempuh

jalan spiritual dan tasawuf dan mampu memadukan antara makna-makna itu dengan

makna lahiriah yang juga dikehendaki oleh ayat yang bersangkutan25

Penelitian terkait dengan corak sufi, sudah ada beberapa yang pernah

membahas. Di antaranya adalah penelitian yang ditulis oleh Abdul Moqsith

Ghazali26, di dalam penelitianya tersebut membahas tentang corak sufi dari Imām

al-Gazāli. Peneliti juga menyebutkan bahwa orang pertama yang mendapat julukan

sufi adalah Jābir ibn Ḥayyān ibn ‘Abdillah al-Kūfi al-Azdi (w. 161 H.)27. Dan tiga

20Abdullah Saeed, The Qur’an an Introduction (London and New York: Routledge, 2008),

h.211. 21Massimo Campanini, The Basic The Qur’an (English: Routledge, 2007), h. 116. 22Muhammad Ḥusain al-Żahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, jilid 2, h. 418. 23Abdul Kholid, Kuliah Madzahib al-Tafsir (IAIN Sunan Ampel Surabaya: Fakultas

Ushuluddin, 2003), h. 56. 24Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir (Bandung: Tafakkur, 2011), h. 88. 25Yunus Hasan Abidu, Tafsir al-Qurān, Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufassir (Jakarta:

Gaya Media Pratama, 2007), h.9-12. 26Abd Moqsith Ghazali, “Corak Tasawuf al-Gazāli Dan Relevansinya Dalam Konteks

sekarang,” Al-Tahrir, v. 13, no. 1 (Mei 2013): h. 61 – 85. 27R.A Nicholson, Fi al-Tasāwwuf al-Islamī wa Tarīkhihi (Kairo: Lajnah al-Ta’līf wa al-

Tarjamah wa al-Nashr, 1969), h. 3.

Page 41: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

24

orang lainya yang disebutkan yaitu ‘Abdullah al-Kūfi al-Azdi (w. 161 H.), Abū

Haṣim al-Kūfi, ‘Abdu al-ṣufi (w. 210)28. Kemudian selain itu peneliti juga

menjelaskan pokok-pokok taṣawwuf yang dimiliki oleh Gazāli, dan setelah itu

barulah menganalisa ke relevanya dengan masa sekarang ini, sehingga

berkesimpulan bahwa sejauh yang bisa dilihat dari karya-karyanya al- Gazāli,

diketahui bahwa corak taṣawwuf al- Gazāli lebih dekat kepada taṣawwuf khuluqi-

‘amali dari pada taṣawwuf falsafī29.

Penelitian serupa dilakukan oleh Masrur30, dengan penelitian yang membahas

corak sufi dari kitab tafsir al-Azhar. Bahwa taṣawwuf modern Hamka sebenarnya

adalah taṣawwuf sunni atau akhlāqi. Kemudian penelitian yang tulis oleh Habibi al-

Amin31 yang membahas tentang corak sufi yang terdapat di dalam kitab Tafsīr Ṣufi

Laṭā‘if al-Isyārāt, ada sesuatu yang berbeda dari kitab ini, yaitu ada corak yang

serupa dengan corak sufi, yaitu corak psikologi, dari segi objeknya yakni sama-

sama membedah kejiwaan.

Lebih jauh lagi al-Żahabī menjelaskan tentang perkembangan dan keberadaan

tafsir sufi isyari, ia mengatakan bahwa tidak terdengar ada seorang yang mengarang

kitab tertentu tentang tafsir sufi yang menafsirkan ayat demi ayat dalam al-Qurān

seperti dalam tafsīr isyārī. Maka yang ditemukan adalah keterangan-keterangan

yang terpencar-pencar yang termuat dalam penafsiran yang disandarkan kepada Ibn

‘Arabi dan kitab Al-Futūḥāt al-Makiyyah, karangan beliau, sebagaimana sebagian

yang lain dapat ditemukan dalam banyak kitab-kitab tafsir yang corak

penafsirannya berbeda-beda32.

2. Tasīr al-falāsifah

Artikel terkait corak atau tafsir ini, telah banyak dibahas oleh peneliti-peneliti

yang ada di Indonesia, penelitian yang ditulis oleh Syafieh, membahas tentang

perkembangan tafsir Falsafi dalam pemikiran islam kini telah dikaitkan oleh ilmu

28Kāmill Muṣṭafā al-Syaybi, al-ṣilah bayn al-Taṣawwuf wa al-Tashayyu’ (Mesir: Dār al-

Ma’ārif, tt.), h. 265-266. 29Abd Moqsith Ghazali, “Corak Tasawuf al-Gazāli Dan Relevansinya Dalam Konteks

sekarang,” h. 83. 30Masrur, “Pemikiran Dan Corak Tasawwuf Hamka Dalam Tafsir al-Azhar,” Medina-Te,

Jurnal Studi Islam, v. 14, no. 1 (Juni 2016): h. 17-24. 31Habibi al-Amin, “Tafsīr Ṣufi Laṭā‘if al-Isyārāt Karya al-Qusyairī Perspektif Tasawwuf

dan Psikologi,” Ṣuḥuf, v. 9, no. 1 (Juni 2016): h. 59-78. 32Muhammad Ḥusain al-Żahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, jilid 2, h. 377.

Page 42: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

25

hermeneutik, bahwa peneliti mengatakan Tasīr al-falāsifah, yakni menafsirkan

ayat-ayat al-Qurān berdasarkan pemikiran atau pandangan filsafat, seperti tafsīr bi

al-Ra’yi. Dalam hal ini ayat lebih berfungsi sebagai justifikasi pemikiran yang

ditulis, bukan pemikiran yang menjustifikasi ayat. seperti tafsir yang dilakukan al-

Farabi, ibn Sina, dan ikhwan al- Ṣafa. Menurut al-Żahabī, tafsir mereka ini ditolak

dan di anggap merusak agama dari dalam33.

Penelitian serupa membahas tentang Tasīr al-Ṣufi al-Falsafi prespektif Ibn

‘Arabī terkait dengan perempuan di dalam al-Qurān. Bahwa pada penelitian itu

peneliti mengatakan Tasīr al-falāsifah adalah tafsir yang di dalamnya mengandung

unsur-unsur filsafat dalam menafsirkan setiap ayat-ayat al-Qurān34.

Perkembangan corak ini, telah dibahas oleh Miftachur Rosyidah. Menulis

sebuah artikel tentang perbandingan corak atau tafsir falsafi, dengan menjelaskan

latar belakang munculnya, dan aspek-aspek pendukung corak tafsir falsafi, seperti

Tafsīr al-‘Ilm, Tafsīr Isyārī dan Tafsīr Bāṭinī. Sehingga peneliti berkesimpulan

munculnya Tafsir Falsafi dangan segala tantangan dan dukungan yang ada

merupakan fenomena kemajuan umat Islam dalam pola pemikiran filosofis yang

pada gilirannya akan mampu memberikan konstribusi positif bagi kemajuan umat

Islam.35

3. Tafsīr al-fuqahāi

Pembaharuan corak fikih telah coba dilakukan oleh seorang cendikiawan

muslim, yaitu ‘Abdullah Aḥmad al-Na‘im. Melalui artikel yang terkait dengan

‘Abdullah Aḥmad al-Na‘im, penulis mengutip penelitian yang ditulis oleh

Muhammad Makmun Abha, yang mengatakan bahwa Prof. Dr. ‘Abdullah Aḥmad

al-Na‘īm lahir dengan sejumlah pemikirannya yang ingin melakukan perombakan

terhadap metode dan rumusan para ‘Ulamā fikih klasik. Salah satu konsepnya yang

terkenal liberal yakni konsep nāskh mansūkh dimana ia berpendapat bahwa ayat al-

33Syafieh, “Perkembangan Tafsir Falsafi Dalam Ranah Pemikiran Islam,” Jurnal At-

Tibyan, v. 2, no. 2 (Juli-Desember 2017): h. 4. 34Layliati Sa’adah, “Tafsir Ṣūfī Falsafī Ibn ‘Arabi Tentang Perempuan Dalam al-Qurān,”

(Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008), h.

16. 35Miftachur Rosyidah, “Tafsir Falsafi: Sebuah Telaah Perbandingan,” Tribakti, v. 14,

no.1 (Januari 2005): h. 1-11.

Page 43: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

26

Qurān yang awal me- nāskh ayat yang turun kemudian (dalam hal ini hukum ayat

Makkah mengganti hukum ayat yang turun di Madinah).36

Lebih jauh lagi artikel yang ditulis oleh Sofyan, membahas tentang corak fikih

Literalistik-Tekstualistik, peneliti mencoba menjelaskan ada corak fikih yang

secara literal artinya mendedikasi hukum dari al-Qurān dan Ḥadīṡ secara tekstual.

Kemudian menurutnya Kecendrungan tekstualisme ini sebenarnya mulai

diperlihatkan oleh Imam Syāfi‘ī bahkan mungkin bisa dikatakan beliau adalah

peletak dasar paradigma literalisme.37

4. Tafsīr al-adabī al-ijtimā‘ī

Corak ini berupaya menyingkap keindahan bahasa al-Qurān dan mukjizatnya;

menjelaskan makna dan maksudnya; memperhatikan aturan-aturan al-Qurān

tentang kemasyarakatan; mengatasi persoalan yang dihadapi umat islam secara

khusus dan permasalahan umat lainnya secara umum. Semua itu diuraikan dengan

memperhatikan petunjuk-petunjuk al-Qurān yang menuntun jalan bagi kebahagiaan

dunia dan akhirat. Selain itu corak tafsir ini berupaya menghilangkan keraguan

mengenai al-Qurān dengan mengemukakan argumentasi yang kuat.38

Pembahasan tentang contoh tafsir sosial ini atau disebut al-ijtimā‘ī telah

dilakukan oleh sarjanawan muslin, di antaranya adalah penelitian yang dilakukan

oleh Choirul mahfud yang membahas tentang kontekstualitas tafsir sosial dalam

ibadah qurban, bahwa menurutnya di sinilah, tafsir sosial atau tafsir yang bercorak

al-ijtimā‘ī kontekstual juga memiliki dimensi kemanfaatan dan kemaslahatan

sosial yang luas bagi masyarakat.39

5. Tafsīr Balagī atau Lugawī

Corak tafsir bercorak Lugawī adalah sebuah tafsir yang cenderung mengaitkan

tafsirnya pada bidang bahasa. Penafsirannya meliputi segi i’rab, harakat, bacaan,

pembentukan kata, susunan kalimat dan kesusastraannya. Tafsir semacam ini

36Muhammad Makmun Abha, “Pola Baru Dalam Corak Tafsir Fikih (Telaah atas Pemikiran

Tafsir ‘Abdullah Aḥmad al-Na‘im),” Jurnal Syahadah, v. 2, no. 1 (April 2014): h. 52-68. 37Sofyan, “Corak Fikih Literalistik-Tekstualistik,” Jurnal Al- Ulum, v. 10, no. 2 (Desember

2010): h. 291-308. 38Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir ( Bandung: CV Pustaka Setia, 2015), h. 174. 39Choirul Mahfud, “Tafsir Sosial Kontekstual Ibadah Kurban Dalam Islam,” Institut

Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) dan Lembaga Kajian Agama dan Sosial (LKAS), h. 1-16.

Page 44: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

27

selain menjelaskan maksud-maksud ayat-ayat Al-Quran juga menjelaskan segi-

segi kemukjizatannya.40

Hal yang mendasari munculnya corak ini adalah salah satunya seperti muncul

akibat banyaknya orang non-Arab yang memeluk agama Islam. Akibat kurang

memahami bahasa Arab, mereka tidak mampu menyelami keindahan bahasa al-

Qurān.41

Penafsiran dengan model corak kebahasaan merupakan ragam penafsiran al-

Qurān pada periode awal. Yang dimaksud dengan kebahasaan di sini adalah

berfokus pada kajian filologi dan ilmu-ilmu gramatikal. Tafsir dengan corak bahasa

(Tafsīr al-Lugawī), yang menonjol atau mendominasi biasanya adalah pembahasan

tentang ṡaraf, istiqāq, naḥwu, argumen-argumen dari bahasa Arab (seperti Syair),

dan uslub-uslub bahasa Arab.42

6. Tafsīr Ḥarakī

Penelitian yang dilakukan oleh Abu Sufyan, membahas tentang manhaj ḥarakī,

bahwa ia mengatakan hanya sedikit saja yang melakukan penelitian terhadap istilah

baru ini. Karena istilah ini baru muncul di awal abad 20 M, Seperti ‘Abd al-Fattāḥ

al-Khālidī melalui dua karyanya, yaitu Ta’rīf al-Dārisīn bi Manāhij al-Mufasirīn,

dan al-Manhaj al-Ḥarakī fī Zilāl al-Qurān. Akan tetapi, dalam karyanya ini tidak

memberikan penjelasan secara komperhensif pada istilah ini. Begitu pula

kurangnya pembahasan ilmiyah yang menyangkut perjalanan sejarah dan

berkembangnya manhaj ḥarakī43.

Sejauh pencarian penulis, pembahasan tentang corak ini lebih tertuju pada

kitabnya Sayyid Quṭb. Karena pada penafsiran Sayyid Quṭb di dalam kitabnya,

memiliki corak ḥarakī, yang mana menurut sebagian cendekiawan hal ini

dipengaruhi akibat mendekamnya Sayyid Quṭb terlalu lama di penjara sehingga

40Abd. Kholid, Madzahib al-Tafsir (Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2003), h. 61. 41Saiful Amin Ghafur, Profil ParaMufassir (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008),

h.14-15. 42Musa‘ad Ibn Sulaimān ibn Nasīr al-Ṭayyār, Al-Tafsīr al-Lugawī li al-Qurān al-Karīm

(t.Tp: Dār Ibn Al-Jauzi, 1422 M), h.120 43Abu Sufyan, “Deradikalisasi Penafsiran Mufassir Manhaj Ḥarakī Terhadap Ayat-ayat

Qitāl (Analisis Penafsiran Sayyid Quṭb dengan Teori Naskh Maḥmūd Muḥammad Ṭaha),” (Skripsi

S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2018), h. 1-

128.

Page 45: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

28

penghayatan terhadap al-Qurān, Islam, kehidupan dan perjuangannya menjadi

berkembang.44

44Ṣalāḥ ‘Abd Fattāḥ, Ta’rīf al-Darisin bi Manāhij al-Mufassirīn (Damaskus: Dār al-Qalam,

2002), h. 605-606.

Page 46: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

29

BAB III

RAGAM MUFASIR DAN CORAK TAFSIRNYA

Pembahasan pada bab ini, akan menguras latar belakang mufasir dan

penafsiranya terkait dengan ayat-ayat yang sudah penulis sebutkan pada bab-bab

sebelumnya. Penulis membagi pada bab ini, menjadi dua bagian, yaitu kelompok

pertama adalah mufasir yang penafsirannya bercorak fikih, lugawī, al-adabī al-

ijtimā‘ī, dan ḥarakī. Sedangkan kelompok kedua, adalah mufasir yang

penafsirannya bercorak tasawuf. Guna menemukan hasil yang sesuai dari ayat-ayat

yang dikaji pada penelitian ini.

A. Kelompok Pertama

Mufasir dengan corak yang berbeda, di antaranya adalah al-Qurṭubī, M.

Quraish Shihab, Al-Zamakhsyarī, dan Sayyid Quṭb.

1. Corak Fikih al-Qurṭubī

Ulama yang disebut memiliki corak fikih pada penafsirannya salah-satunya

adalah al-Qurṭubī, berikut penulis akan memaparkan tulisan terkait dengan al-

Qurṭubī1. Ia dilahirkan di Cordoba (Spanyol) tahun 486 H/1093 M dan wafat pada

bulan Syawal tahun 671 H/1172 M2, ia lahir di lingkungan keluarga petani di

Cordoba pada masa kekuasaan Bani Muwāḥiddūn3. Setelah tinggal di Cordoba,

kemudian ia pindah ke Mesir dan menetap di sana, hingga menghembuskan napas

terakhir. Ia meninggal dunia di Mesir pada malam senin tanggal 9 syawal tahun 671

H. Makam ia berada di kota Elemennya sebelah timur sungai Nil, sampai sekarang

makam ia sering diziarahi oleh banyak orang.4 Sehingga pada tahun 1971 M di sana

dibangun sebuah masjid sekaligus diabadikan nama Imam al-Qurṭubī pada masjid,

1Nama aslinya Abū ‘Abdullah Muḥammad bin Aḥmad bin Abū Bakr bin Farḥ al-Anṣārī al-

Khazrajī al-Andalusī al-Qurṭubī. Lihat. Abū ‘Abdullah Muḥammad bin Aḥmad bin Abū Bakr bin

Farḥ al-Anṣārī al-Khazrajī al-Andalusī al-Qurṭubī, al-Jami’ Li Aḥkām al-Qurān, Juz I (Beirut:

Muassasah al-Risālah, 2006), h 37. 2Mochtar Effendy, Ensiklopedi Agama dan Filsafat, Jilid V (t.k: Universitas Sriwijaya,

2011), h. 71. 3Sayyid Muḥammad ‘Alī Iyyazi, al-Mufasirūn: Ḥayatuhum Wa Manḥajuhum ( Teheran:

Mu‘assasah al-Ṭibā‘ah Wa al-Nasyr, 1414H), h. 408. 4al-Qurṭubī, al-Jāmi‘ li aḥkām al-Qurān, Juz. 1 (Beirut : Muassasah al-Risalah, 2006), h.

6.

Page 47: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

30

yang diberi nama Masjid al-Qurṭubī.5 Kemudian jika Imam al-Qurṭubī wafat pada

tahun 671H / 1172 M, maka ia hidup sampai berusia lebih dari 79 tahun menurut

kalender masehi, atau kurang lebih 81 tahun berdasarkan kalender hijriah.6

Al-Qurṭubī juga seorang yang haus akan ilmu pengetahuan7, pendidikan yang

dijalaninya sudah dimulai sejak ia kecil.8 Aktivitas dalam mencari ilmu ia jalani

dengan serius di bawah bimbingan ulama yang ternama pada saat itu, diantaranya

adalah al-Syeikh Abū al-‘Abbas Ibn ‘Umar al-Qurṭubī dan Abū ‘Alī al-Ḥasan Ibn

Muḥammad al-Bakr.9

Begitu juga Paham Mazhab dan Teologi yang dianut oleh al-Qurṭubī10 adalah

ahl al-sunnah wa al-jamā‘ah. Ia tidak membiarkan serangan-serangan Muktazilah

terhadap pemikiran Sunni baik dalam persoalan hukum maupun akidah. Begitupun

5al-Qashabi Maḥmūd zalaṭ, al-Qurṭubī Wa Manḥājuhum fī Tafsīr (Kuwait: Dār al-Qalam,

1981), h. 6 dan 30. 6Muhammad Aris Imroni, “Corak Tafsir Ayat Ahkam al-Qurṭubī,” (Desertasi S3 Fakultas

Ushuluddin, Pasca Sarjana Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 54. 7Al-Qurṭubī dikenal memiliki semangat kuat dalam menuntut ilmu. Ketika Perancis

menguasai Cordoba pada tahun 633 H/1234 M, ia pergi meninggalkan Cordoba untuk mencari ilmu

ke negeri-negeri lain yang ada di wilayah timur. Al-Qurṭubī kemudian riḥlah ṭalab al-‘ilmi menulis

dan belajar dengan ulama-ulama yang ada di Negara Mesir, Iskandariyah, Manṣurah, al-Fayyun,

Kairo, dan wilayah-wilayah lainnya. Lihat. Heri Siswanto, “Konsep Penerimaan Amal Dalam al-

Qurān Karya Muḥammad Bin Aḥmad Bin Abī Bakr Bin Farḥ al-Qurṭubī Tafsīr al-Jami’ Li Ahkam

al-Qurān Wa al-Mubayyin Limā Tahammanahu Min al-Sunnah Wa ayyi al-Furqān,” (Tesis S2

Fakultas Ushuluddin, Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2016), h. 24. 8Al-Qurṭubī sejak kecil telah mempelajari berbagai disiplin ilmu ke beberapa guru, dan

setelah dewasa ia baru berkelana ke berbagai kota yang telah disebutkan sebelumnya. Ia sangat luas

dalam mengkaji ayat-ayat hukum, dari mengemukakan masalah-masalah khilafiyah, menengahkan

dalil bagi setiap pendapat dan mengomentarinya serta tidak memihak pada mazhab. Ketika sedang

berargumen, ia selalu santun dalam berdebat dengan lawannya karena ia memiliki penguasaan ilmu

tafsir dan ilmu syari‘at yang tidak diragukan lagi. Lihat. Mannā’ Khalīl al-Qaṭṭān, Studi Ilmu-Ilmu

Qur’an . Penerjemah Mudzakir AS ( Jakarta: Pustaka Litera AntarNusa, 2013), h. 520. 9Ibn Farhun, al-Dībāj al-Mażhab Fī Ma’rifah A’yān ‘Ulamā al-Mażhab (Beirut: Dār al-

Fikr, t.th.), h. 317. 10Al-Qurṭubī dalam perjalanan intelektualnya ternyata dibarengi dengan pemahaman

teologi dan mazhab sebagai bagian dari cara berpikirnya dalam menuangkan kitab tafsirnya. Pada

beberapa literatur disebutkan bahwa al-Qurṭubī adalah seorang penganut Sunni al-‘Asy‘ārī dimana

ia membela dan mempertahankan ahlu sunnah. lihat. Sayyid Muḥammad ‘Alī Iyyazi, al-Mufasirūn:

Ḥayatuhum Wa Manḥajuhum, h. 411.

Page 48: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

31

mazhab fikihnya adalah Mazhab Mālikī.11 Metode yang digunakan dalam

penafsirannya adalah metode taḥlilī .12

Penafsiran al-Qurṭubī, Penafsiran tentang Q.S al-Nisā ayat 34, Imam al-

Qurṭubī membaginya pada 13 masalah13, di antara 13 masalah penulis hanya

memasukan sebagian masalah yang menurut penulis ini penting untuk dibahas,

diantaranya:

Pertama, kata al-Rijālu qawwāmūna ‘alā al-nisā memiliki arti laki-laki itu

adalah pemimpin bagi kaum wanita. Maksudnya adalah memberikan nafkah dan

membela mereka, juga karena laki-laki itu ada yang menjadi hakim, pemimpin dan

orang yang suka berperang, sedangkan wanita tidak ada, sering disebut juga

Qawwam dan Qayyim. Kemudian pada permasalahan pertama ini, beberapa hadis

dijelaskan oleh al-Qurṭubī untuk menunjukkan sebab turunnya ayat ini. Yaitu

berkenaan dengan Sa‘ad bin Rābi’ dimana istrinya Ḥabībah bint Zaid bin Khārijah

yang durhaka kepadanya lalu ia menampar nya, kemudian Ḥabībah dan bapaknya

mendatangi Nabi, dan berkata “Wahai Rasulullah apakah aku harus

memisahkannya karena ia telah menamparnya?,” lalu Nabi Muḥammad bersabda

“Hendaknya istrinya membalas hal serupa kepada suaminya.” Istrinya pun pergi

dengan ayahnya untuk membalasnya, belum sempat mereka pergi jauh Nabi

Muhammad bersabda “kembalilah karena Jibril telah mendatangi ku, Allah

11Dalam persoalan mazhab, ia adalah seorang Malikiyah (penganut mazhab Imam Mālik).

Dan hal ini dapat dilihat dari penafsirannya mengenai persoalan hukum atau fikih. Sebagaimana

yang terdapat pada Q.S al-Māidah ayat 6: “Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan

siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki”. Imam al-Qurṭubī

dalam memahami kata fagsilū wujūhakum (maka basuhlah mukamu), Allah menyebutkan 4 anggota

tubuh: pertama, wajah; yang diwajibkan untuknya membasuh (nya). Kedua, kedua tangan; yang

diwajibkan untuk keduanya adalah membasuh keduanya. Ketiga, kepala; yang diwajibkan untuknya

adalah menyapu (nya). Keempat, kedua kaki; terjadi silang pendapat terhadap apa yang diwajibkan

untuk keduanya. Lebih lanjut ia memaparkan bahwa saat membasuh wajah air harus dipindahkan ke

wajah dan tanganpun harus diusapkan kepadanya, inilah hakikat membasuh menurut mazhab

Maliki. Lihat. Al-Qurṭubī, al-Jāmi‘ li aḥkām al-Qurān, Juz. 1, h. 327. 12Menurut Amīn al-Khūlī dalam bukunya Manāhij Tajdīd bahwa dalam penulisan kitab

tafsir dikenal beberapa sistematika penulisan, yaitu muṣhāfī, nuzūlī, dan mawḍū‘ī. Jika dilihat dari

penafsiran al-Qurṭubī, ia menafsirkan ayat sesuai dengan urutan muṣhāf, maka berdasarkan

kategorisasi metode tafsir, maka dapat dikatakan bahwa tafsir al-Qurṭubī ini memakai mmetode

taḥlilī. Hal ini dapat dilihat dalam tafsirnya ketika secara panjang lebar dan mendalam ia

menjelaskan kandungan ayat-ayat dari berbagai aspek secara runtut dengan langkah-langkah

penafsiran sesuai dengan metode tafsir taḥlilī. Lihat. Heri Siswanto, “Konsep Penerimaan Amal

Dalam al-Qurān Karya Muḥammad Bin Aḥmad Bin Abī Bakr Bin Farḥ al-Qurṭubī Tafsīr al-Jami’

Li Ahkam al-Qurān Wa al-Mubayyin Limā Tahammanahu Min al-Sunnah Wa ayyi al-Furqān,” h.

34. 13Abī Muḥammad bin Aḥmad bin Abī Bakr al-Qurṭubī, al-Jāmi’ li Aḥkāmi al-Qurān, juz 6

(Beirut: al-Resalah, 2008), h. 278

Page 49: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

32

menurunkan ayat ini.” Nabi bersabda lagi “Kami menginginkan satu perkara, tapi

Allah menginginkan yang lain.”14

Kedua, firman Allah SWT “Wanita-wanita yang kamu khawatirkan

nusyūznya.” Al-Nusyūz adalah durhaka, terambil dari kata al-nasyz, yaitu sesuatu

yang tinggi di permukaan bumi. Maka ayat ini bermakna jika kamu takut atau

khawatir akan kedurhakaan dan kesombongan mereka terhadap apa yang

diwajibkan Allah kepada mereka yaitu mentaati para suami. Abū Manṣūr al-Lugawī

berkata, “nusyūz adalah bencinya salah seorang dari dua pasangan terhadap

pasangannya.”15

Ketiga, Firman Allah fa‘iẓūhunna (maka nasihatilah mereka), nasihatilah

mereka apa saja yang Allah wajibkan kepada mereka berupa pergaulan yang baik

terhadap suami, dan pengakuan akan kedudukannya terhadap istri. Kemudian al-

Qurṭubī memaparkan beberapa hadis, seperti hadis “Jika aku dibolehkan

memerintahkan untuk sujud kepada yang lain, pastilah aku perintahkan istri untuk

sujud kepada suami” dan hadis “Wanita manapun yang bermalam dengan

memisahkan diri dari ranjang suaminya (menolak hubungan intim) maka Malaikat

akan melaknat nya sampai pagi.”16

Keempat, Firman Allah Wahjurūhunna fī al-maḍāji’ (dan pisahkanlah mereka

di tempat tidur mereka), menurut al-Qurṭubī apabila suami berpaling dari ranjang

istrinya (tidak menggaulinya), maka jika si istri itu mencintai suaminya, hal itu akan

membuat dia susah sehingga ia akan kembali untuk kebaikan. Dan jika ia

membencinya maka akan muncul penentangan dari istri, sehingga terlihat bahwa

penentangan tampak dari pihak istri. Jika dilihat dari beberapa hadis tersebut,

makna kalimat ini adalah memisahkan, dan menurut jumhūr al-‘ulamā batasan

memisahkan diri dari istri itu adalah satu bulan sebagaimana yang dilakukan Nabi

SAW, ketika Nabi bercerita kepada Ḥafṣah lalu ia menyebarkannya kepada ‘Āisyah

lalu keduanya berdemonstrasi kepada ia, dan tidak sampai pada waktu 4 bulan yang

14Abī Muḥammad bin Aḥmad bin Abī Bakr al-Qurṭubī, al-Jāmi’ li Aḥkāmi al-Qurān, juz

6, h. 279. 15Abī Muḥammad bin Aḥmad bin Abī Bakr al-Qurṭubī, al-Jāmi’ li Aḥkāmi al-Qurān, juz

6, h. 282. 16Abī Muḥammad bin Aḥmad bin Abī Bakr al-Qurṭubī, al-Jāmi’ li Aḥkāmi al-Qurān, juz

6, h. 283.

Page 50: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

33

Allah jadikan batas untuk orang yang melakukan li‘an (sumpah untuk tidak

bersetubuh dengan istri).17

Kelima, Firman Allah Waḍribū hunna (dan pukulah mereka), Allah

memerintahkan untuk memulainya dengan nasihat dahulu kemudian pisah ranjang,

bila belum berhasil maka pukulah, karena itulah yang dapat memperbaikinya dan

yang dapat mendorongnya untuk memenuhi hak suaminya. Sedangkan pukulan di

sini adalah pukulan pendidikan bukan pukulan yang menyakitkan, tidak

mematahkan tulang dan tidak menyebabkan luka seperti meninju dan yang

semisalnya, karena tujuannya untuk memperbaiki bukan yang lain. Seperti sabda

Nabi “Pukulah para istri itu apabila mereka menentang kalian dalam kebaikan

dengan pukulan yang tidak menyakitkan.” ‘Aṭa’ berkata: Aku berkata kepada Ibn

‘Abbās, “Apa itu pukulan yang tidak menyakitkan?” ia menjawab, “dengan kayu

siwak atau yang semisalnya.”18

Keenam, Apabila ini telah ditetapkan maka ketahuilah bahwa Allah tidak

memerintahkan sesuatu dalam kitab-Nya untuk memukul dengan tegas kecuali

dengan hukum ḥadd yang besar. Allah menyamakan kemaksiatan istri kepada

suami dengan dosa-dosa besar. Dan suami tidak wajib menafkahkan istri apabila ia

durhaka kepadanya.19

2. Corak al-Adabi al-Ijtimā‘ī M. Quraish Shihab

Mufasir yang termasyhur di Indonesia yang sangat produktif dalam

menghasilkan karya-karya berkenaan dengan tafsir dan Alquran. Salah satu

karyanya yang monumental adalah Tafsir al-Misbah yaitu M. Quraish shihab,

dengan bercorak al-adabī al-ijtimā‘ī.20

17Abī Muḥammad bin Aḥmad bin Abī Bakr al-Qurṭubī, al-Jāmi’ li Aḥkāmi al-Qurān, juz

6, h. 284. 18Abī Muḥammad bin Aḥmad bin Abī Bakr al-Qurṭubī, al-Jāmi’ li Aḥkāmi al-Qurān, juz

6, h. 285.

19Abī Muḥammad bin Aḥmad bin Abī Bakr al-Qurṭubī, al-Jāmi’ li Aḥkāmi al-Qurān, juz

6, h. 297. 20Abdurahamn Rusli Tanjung, “Ananlisis Terhadap Corak Tafsir al-adabī al-ijtimā‘ī,”

Analytica Islamica, vol. 3, no. 1 (2014): h. 162-177.

Page 51: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

34

Biografi singkat M. Quraish Shihab M21, beliau besar di keluarga yang senang

dengan ilmu.22 Begitu juga latar belakang pendidikannya mulai dari sekolah dasar

hingga menggapai Gelar Doktor, ia lalui dengan nilai diatas rata-rata.23

Corak dan Metode Tafsir, telah banyak penelitian terkait corak dan metode

yang ada pada tafsir M. Quraish Shihab, semua sepakat dengan menggolongkannya

sebagai satu corak24 dan metode yang sama. 25

Akan tetapi menurut Gusmian, Tafsir Al-Misbah ini digolongkan sebagai karya

tafsir yang menggunakan metode tematik modern. Yaitu, model penyajian tematik

21M. Quraish Shihab dilahirkan pada 16 Februari di Kabupaten Sidenreng Rappang,

Sulawesi Selatan sekitar 190 Km dari kota Ujung Pandang. Ia berasal dari keturunan Arab terpelajar.

Shihab merupakan nama keluarganya (ayahnya) seperti lazimnya yang digunakan di wilayah Timur

(anak benua india termasuk Indonesia). Lihat. Saiful Amin Ghafur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an

(Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008), h. 236. 22Ia dibesarkan dalam lingkungan keluarga Muslim yang taat, pada usia sembilan tahun, ia

sudah terbiasa mengikuti ayahnya ketika mengajar. Ayahnya, Abdurrahman Shihab (1905-1986)

merupakan sosok yang banyak membentuk kepribadian bahkan keilmuannya kelak. Ia menamatkan

pendidikannya di Jam’iyyah al-Khair Jakarta, yaitu sebuah lembaga pendidikan Islam tertua di

Indonesia. Ayahnya seorang Guru besar di bidang Tafsir dan pernah menjabat sebagai rektor IAIN

Alaudin Ujung Pandang dan juga sebagai pendiri Universitas Muslim Indonesia (UMI) Ujung

Pandang. Lihat. Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Terbuka dalam Beragama (Bandung: Mizan,

1999), h. 5. 23Memulai pendidikan di Kampung halamannya di Ujung Pandang, dan melanjutkan

pendidikan menengahnya di Malang tepatnya di Pondok Pesantren Dār al- Hadīṡ al-Fiqhiyyah.

Kemudian pada tahun 1958, dia berangkat ke Kairo Mesir untuk meneruskan pendidikannya di al-

Azhar dan diterima di kelas II ṡanawiyyah. Selanjutnya pada Tahun 1967 dia meraih gelar Lc. (S1)

pada Fakultas Ushuludin Jurusan Tafsīr Ḥadīṡ Universitas Al-Azhar. Kemudian dia melanjutkan

pendidikannya di fakultas yang sama, sehingga tahun 1969 ia meraih gelar MA untuk spesialis Tafsīr

al-Qurān dengan judul al- I’jāz al-Tasyri’ li al-Qurān al-Karī Pada tahun 1980, M. Quraish Shihab

kembali melanjutkan pendidikannya di Universitas al-Azhar, dan menulis disertasi yang berjudul

Naẓm al-Durar li al-Baqā‘i Taḥqīq wa Dirāsah, sehingga pada tahun 1982 berhasil meraih gelar

doktor dalam studi ilmu-ilmu al-Qurān dengan yudisium Summa Cumlaude, yang disertai dengan

penghargaan tingkat 1 (Mumtaz Ma‘a Martabat al-syaraf al-‘Ula). Dengan demikian ia tercatat

sebagai orang pertama dari Asia Tenggara yang meraih gelar tersebut. Lihat. M. Quraish Shihab,

Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, h. 6. 24Corak tafsir yang dimiliki oleh M. Quraish Shihab dapat dikategorikan sebagai al-Adabi

al-Ijtimā‘ī, dikarenakan tema-tema yang dipilih mengandung uraian yang berkaitan dengan

kehidupan kemasyarakatan atau dalam istilahnya sosial-kultural. Di samping menjelaskan makna-

makna dan sasaran yang dituju oleh al-Qurān, mengungkapkan tatanan-tatanan kemasyarakatan

yang dikandungnya, sekaligus mampu memecahkan problematika umat Islam pada khususnya dan

umat manusia pada umumnya. Lihat. Ali Aljufri, “Corak Dan Metodelogi Tafsir Indonesia

“Wawasan al-Qurān” Karya Muhammad Quraish Shihab,” Rausyan Fikr, v. 11, no. 1 (Januari-Juni

2015): h. 144-145. 25Adapun metode penafsiran yang digunakannya dalam tafsirnya adalah metode mauḍū‘i

(tematik, dapat diketahui dari kata pengantar yang disampaikan pada kitab tafsirnya, bahwa ia

mengatakan : “para pakar al-Qurān telah berhasil melahirkan sekian banyak metode dan cara

menghidangkan, pesan-pesan al-Qurān. Salah satunya adalah metode mauḍū‘i. Metode ini dinilai

dapat menghidangkan pandangan dan pesan al-Qurān secara mendalam dan menyeluruh

menyangkut tema-tema yang dibicarakan.” Lihat. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan,

Kesan dan Keserasian al-Qurān, jilid 1 (Jakarta: Lentera hati, 2011), h. xi.

Page 52: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

35

di mana di dalam satu karya tafsir terdapat banyak tema penting yang menjadi objek

kajian, dan disajikan berurutan sesuai dengan tartīb muṣḥafī.26

Penafsiran M. Quraish Shihab, terkait dengan Q.S. al-Nisā (4) ayat 34 bahwa

ia menyatakan: para lelaki yakni jenis kelamin laki-laki atau suami adalah

Qawwāmūn, pemimpin dan penanggung jawab atas wanita, oleh karena Allah telah

melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan karena mereka (laki-laki)

secara umum telah menafkahkan sebagian dari harta mereka untuk membayar

mahar dan biaya hidup untuk istri dan anak-anaknya. Karena tidak semua istri taat

kepada Allah demikian juga suami maka ayat ini memberi tuntunan kepada suami,

bagaimana seharusnya bersikap dan berlaku terhadap istri yang membangkang.

Jangan sampai pembangkangan mereka berlanjut, dan jangan sampai juga sikap

suami berlebihan sehingga mengakibatkan runtuhnya kehidupan rumah tangga.27

Petunjuk Allah adalah: Wanita-wanita yang kamu khawatirkan yakni sebelum

terjadi nusyūz mereka, yaitu pembangkangan terhadap hak-hak yang dianugerahkan

oleh Allah kepada kamu, wahai para suami maka nasihatilah mereka pada saat yang

tepat dan dengan kata-kata yang menyentuh, tidak menimbulkan kejengkelan, jika

masih membangkang, maka tinggalkanlah mereka bukan dengan keluar dari rumah,

tetapi ditempat pembaringan kamu berdua, dengan memalingkan wajah dan

membelakangi mereka. Kalau perlu tidak mengajak berbincang paling lama tiga

hari berturut-turut untuk menunjukkan rasa kesal dan ketidak butuhanmu terhadap

mereka.

Jika sikap mereka berlanjut dan kalau inipun belum mempan, maka demi

memelihara kelanjutan rumah tanggamu maka pukulah merek, tetapi pukulan yang

tidak menyakitkan agar tidak menciderainya namun menujukan sikap tegas. Lalu

jika mereka telah mentaati kamu, baik sejak awal nasihat atau setelah

meninggalkannya ditempat tidur, atau saat memukulnya, maka janganlah kamu

menyusahkannya, dengan menyebut dan mengecam pembangkangan yang lalu.

26Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika hingga Ideologi (Jakarta:

Teraju, 2003), h. 129. 27M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, vol. 5

(Jakarta: Lentera Hati, 2007), h.403.

Page 53: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

36

Tetapi tutuplah lembaran yang lama, dan membuka lembaran baru dengan

bermusyawarah dalam segala persoalan rumah tangga.28

Menurut M. Quraish Shihab, ayat ini menjelaskan ada 3 langkah yang

dianjurkan untuk ditempuh suami ketika istrinya nusyūz yang didasarkan pada Q.S.

al-Nisā (4) ayat 34, ketiga langkah tersebut adalah:

Pertama fa‘iẓūhunna, Suami ketika melihat tanda-tanda bahwa istri yang nusyūz

adalah dengan cara menasihatinya, dengan kata-kata menyentuh dan pada saat yang

tepat. Sehingga tidak menimbulkan masalah baru. Hal ini tentu saja harus dilakukan

dalam rangka memperbaiki kejiwaan dan tatanan kehidupan rumah tangga, bukan

untuk menambah rusaknya hati.29

Kedua wahjurūhunna fī al-maḍāji’, Firman-Nya Wahjurūhunna yang

diterjemahkan dengan “dan tinggalkanlah mereka” adalah perintah kepada suami

untuk meninggalkan istri, didorong oleh rasa tidak senang pada kelakuannya. Ini

dipahami dari kata “hajar” yang berarti meninggalkan tempat, atau keadaan yang

tidak baik, atau tidak disenangi menuju ke tempat dan atau keadaan yang baik atau

lebih baik. Kata ini tidak digunakan untuk sekedar meninggalkan sesuatu, tetapi di

samping itu juga mengandung dua hal lain. Yang pertama, bahwa sesuatu yang

ditinggalkan itu buruk atau tidak disenangi, ke dua, ia ditinggalkan untuk menuju

ke tempat dan keadaan yang lebih baik.30

Kata fī al-maḍāji’ yang diterjemahkan “dengan di tempat pembaringan”, di

samping menunjukkan bahwa suami tidak meninggalkan mereka di rumah, bahkan

tidak juga di kamar, tetapi di tempat tidur, bukan kata “min” yang berarti dari, yang

berarti meninggalkan dari tempat tidur. Jika demikian, suami hendaknya jangan

meninggalkan rumah, bahkan tidak meninggalkan kamar yang biasanya tidur.

Kejauhan dari pasangan yang sedang dilanda kesalahpahaman dapat memperlebar

jurang perselisihan. Perselisihan hendaknya tidak diketahui oleh orang lain, bahkan

28M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, vol. 5,

h.403. 29M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, vol. 5,

h.408. 30M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, vol. 5,

h.409.

Page 54: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

37

anak-anak dan anggota keluarga di rumah sekalipun. Karena semakin banyak yang

mengetahui, semakin sulit memperbaiki.31

Kalaupun kemudian ada keinginan untuk meluruskan benang kusut, boleh jadi

harga diri di hadapan mereka yang mengetahuinya akan menjadi aral penghalang.

Keberadaan di kamar membatasi perselisihan itu, dan karena keberadaan dalam

kamar adalah untuk menunjukkan ketidak senangan suami atas kelakuan istrinya,

maka yang ditinggalkan adalah hal yang menunjukkan ketidaksenangan suami itu.

Kalaupun seorang suami berada di dalam kamar dan tidur bersama, tidak ada kata-

kata manis, tidak ada hubungan seks, maka itu telah menunjukkan bahwa istri tidak

lagi berkenan di hati suami. Ketika itu wanita akan merasakan bahwa senjata ampuh

yang dimilikinya, yaitu daya tarik kecantikannya, tidak lagi mempan untuk

membangkitkan gairah suami.

Ketiga waḍribū hunna, M. Quraish Shihab menjelaskan, bahwa kata waḍribū

hunna artinya pukulan ini tidak boleh menyakitkan agar tidak menciderainya

namun harus tetap menunjukkan sikap tegas. Waḍribū hunna yang diterjemahkan

dengan pukulah mereka terambil dari kata ḍaraba, yang mempunyai banyak arti.

Bahasa, ketika menggunakan dalam arti memukul, tidak selalu dipahami dalam arti

menyakiti atau melakukan suatu tindakan keras dan kasar32. Sebenarnya kata

ḍaraba, yang diterjemahkan memukul, digunakan al-Qur’an untuk pukulan yang

keras maupun lemah lembut.33

Kalau ketiga langkah yang diajarkan itu, belum juga berhasil, maka habis sudah

upaya yang dapat dilakukan suami, ketika itu, sudah sangat sulit membatasi

perselisihan mereka terbatas dalam kamar atau rumah. Kepada yang melihat atau

mengetahui adanya pertengkaran rumah tangga, baik keluarga, penguasa atau

orang-orang yang dipercaya mengurus kesejahteraan rumah tangga hendaknya

mengindahkan tuntunan ayat: Jika kamu wahai orang-orang yang bijak dan

bertakwa, khususnya penguasa, khawatir akan terjadi persengketaan antara

31M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, vol. 5,

h.410. 32M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, vol. 5,

h.410. 33M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, vol. 5,

h.411.

Page 55: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

38

keduanya, yakni menjadikan suami dan istri masing-masing mengambil arah

berbeda dengan arah pasangannya sehingga terjadi perceraian, maka utuslah kepada

keduanya seorang ḥakam, yakni juru damai yang bijaksana untuk menyelesaikan

kemelut mereka dengan baik.34

3. Corak Lugawī al-Zamakhsyarī

Tokoh yang memiliki corak ini pada kitab tafsirnya, salah satunya adalah al-

Zamakhsyarī, dengan kitab tafsirnya al-Kassyāf, adalah kitab tafsir yang bersifat

al-ra’yi, tentunya akan lebih menekankan pada corak kebahasaan dalam

menafsirkan ayat-ayat al-Qurān dengan menunjuk pada balagah al-Qurān.35

Riwayat hidup Al-Zamakhsyarī, nama lengkapnya Abū al-Qasim Maḥmūd Ibn

Muḥammad al-Khawarizmī yang diberi gelar dengan sebutan jār al-Allah36. Gelar

ini ia dapatkan karena pernah pergi ke Mekkah dan tinggal beberapa lama disana37.

Ia lahir di salah satu desa khawarizim yang bernama zamakhsyar pada bulan Rajab

tahun 467 H. Dari nama desa itulah nama ia dinisbahkan dengan sebutan al-

Zamakhsyarī38. Ia dikenal begitu cerdas dan sangat mobilitan terhadap ilmu

pengetahuan, selalu menanamkan dalam dirinya pikiran-pikiran progresif bahkan

ia termasuk tokoh islam banyak dikritisi karena dengan kitab tafsirnya

menginterpretasikan ayat-ayat al-Qurān dengan secara rasional dan liberal.39

Mencari ilmu agama ia lalui dengan cara riḥlah dai satu kota ke kota lain,40

Sehingga banyak mengahsilkan karya dalam hidupnya.41 Pendek kata, dalam

34M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, vol. 5,

h.413. 35Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern (

Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2011), h.49. 36Muḥammad Ḥusain al-Żahabi, al-Tafsīr wa al-Mufasirūn (Kairo: Daār al-Ḥadīṡ, T.tb), h.

362. 37Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h. 39. 38Mani’ Abdul Halim Mahmud, Metodologi Tafsir (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

T.tb), h. 224 39Sya’ban Muḥammad Ismā‘īl, al-Madkhal li Dirasah al-Qurān wa al-Sunnah wa al-‘Ulum

al-Islamiyyah, Juz II (Kairo: Dār al-Anshar, t.t.), h. 252. 40Al-Zamaksyarī pada perkembangan intelektualitasnya tidak terlepas dari karakter ia yang

sangat gigih dalam melakukan perjalanan itu, ia sangat sering berpindah-pindah tempat, bepergian

dari satu tempat ke tempat yang lain hanya untuk menambah dan mencari keilmuanya, dan seringkali

bepergian ke Bagdād, Khurasān dan Quds (Palestina), bahkan di sinilah awal mula lahirnya kitab

al-Kassyāf . Lihat. Mani’ Abdul Halim Mahmud, Metodologi Tafsi, h. 224. 41Dilihat secara rinci maka perjalanan ia dalam mencari ilmu agama, sudah dimulai sejak

masih berusia dini, mengingat sang ayah adalah seorang tokoh agama terkenal pada saat itu. Setelah

ia menamatkan pendidikan dasar, Ia meninggalkan desanya untuk menuntut ilmu ke Bukhara. Pada

Page 56: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

39

perjalanan ia yang produktif dengan sentuhan penanya yang signifikan, yang

sampai saat ini banyak dipakai oleh para pelajar maupun pengajar sebagai bajan

rujukan. Setelah banyak berkontribusi untuk agama islam, pada tahun 538 H. Al-

Zamakhsyarī meninggal dunia di Jarjaniyah, sebuah daerah di Khawarizm.42

Paham Teologi43 dan Mazhab Fikih44. Melihat paham teologi dan mazhab yang

dianut oleh al-Zamakhsyarī karena adanya faktor lingkungan yang menjembatani

atau melatarbelakangi itu semua, diketahui bahwa pusat pemikiran Mu’tazilah

adalah bertempat di Khawarizm. Oleh karena itu konsekuensi dari pemikirannya

inilah yang mewarnai dalam kitab tafsirnya yang banyak menuai kontroversi dan

kritikan dari ulama lain.45 Selain itu corak dan paradigma pemikiran al-

Zamakhsyarī tidak hanya dipengaruhi oleh lingkungan, akan tetapi juga

dipengaruhi oleh guru-guru al-Zamakhsyarī yang berperan penting dalam

perjalanan intelektualitasnya.46

Adapun corak penafsirannya adalah termasuk corak lugawī.47Melanjutkan

pernyataan al-Żahabī bahwa kitab tafsir ini adalah kitab yang bersifat al-Ra’yi,

masa itu, Bukhara terkenal sebagai pusat pendidikan terkemuka di bawah dinasti Sāmānīd pada

waktu itu. Kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan dan aktivitasnya dalam berkarya yang

ditulisnya, mendorong untuk selalu berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah yang lain. Sehingga

menyebabkan ia membujang seumur hidupnya. Lihat. Siti Khomsiatun, “Nusyuz Dalam Pandangan

Zamakhsyari Dalam Kitab al-Kassyyaf dan Amina Wadud dalam al-Qur’an And Woman (Study

Komparatif),” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Instritut Agama Islam Negeri WaliSongo

Semarang, 2013), h. 46. 42Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h. 41. 43Al-Zamakhsyarī dalam perkembangan intelektualitasnya banyak menganut paham yang

lebih berpijak pada rasionalitas yaitu Mu’tazilah. Oleh karena itu dalam tafsirnya cenderung liberal

dalam menginterpretasikan ayat-ayat al-Qurān, bahkan menurut sebagian rivalnya, ia terkesan

membela secara total ideologi Mu’tazilah dengan menggunakan segala macam argumen yang dapat

diajukan untuk kepentingan tersebut. Lihat. Abī al-Qāsim Jār al-Allah Maḥmūd bin ‘Umar al-

Zamakhsyarī al-Khawārizmī, Tafsīr al-Kasyyāf (Beirut: Dār al-Ma’rifah, 2009), h. 5-24. 44Mazhab fikih yang dianut oleh ia adalah mazhab Imām Abū Ḥanīfah. Tidak menutup

kemungkinan bahwa paham teologi dan mazhab yang dianut oleh al-Zamakhsyarī sangat relevan,

karena Abū Ḥanīfah adalah seorang ulama yang dikenal dengan cara berfikir dalam hal hukum yang

transparantif dan rasional, yang tidak terlepas dari sumber-sumber islam. Namun Abū Ḥanīfah juga

dikenal dengan ulama yang sering melakukan Ijtihad dalam mengambil hukum. Lihat. Ahmad al-

Syurbasi, Sejarah dan Biografi Empat Imam Madzhab (Jakarta: Amzah, 2009), h. 19. 45Mannā’ Khalīl al-Qaṭṭān, Studi Ilmu-Ilmu al-Qurān, penerjemah Muzakir AS, h. 532. 46Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h. 43. 47Pembahasan mengenai corak tafsir telah dibahas pada pembahasan sebelumnya, akan

tetapi pada pembahasan ini penulis lebih menekankan pada corak tafsir yang terdapat pada kitab

tafsir al-Kassyāf. Al-Zamakhsyarī terkenal sebagai orang yang ahli dalam bidang bahasa Arab, yang

meliputi sastranya, balagahnya, naḥwunya atau gramatika nya. Oleh karena itu, tidak mengherankan

kalau bidang-bidang keahliannya itu juga sangat mewarnai hasil penafsirannya. Al-Żahabī misalnya,

menyatakan bahwa penafsiran al-Zamakhsyarī lebih banyak berorientasi pada aspek balagah, untuk

menyingkap keindahan dan rahasia yang terkandung dalam al-Qurān. Lihat. Subḥ Ṣāliḥ, Membahas

Ilmu-Ilmu al-Qurān, penerjemah Tim Pustaka Firdaus (Jakarta: Pustaka Firdaus. 1996), h. 390.

Page 57: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

40

tentunya akan lebih menekankan pada corak kebahasaan, dengan tujuan untuk

membuktikan keindahan sebagian aspek kemukjizatan al-Qurān.48

Penafsiran Al-Zamakhsyarī, terhadap Q.S. al-Nisā (4) ayat 34 dalam kitab al-

Kassyāf:

“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah

melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan),

dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dan hartanya. Maka

perempuan-perempuan yang saleh adalah mereka yang taat (kepada Allah)

dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga

(mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan Nusyūz

hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka tinggalkanlah mereka di tempat

tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukulah mereka. Tetapi jika mereka

menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkanya,

sungguh Allah Maha Tinggi Maha Besar.”49

Ayat ini ditafsirkan oleh al-Zamakhsyarī dengan penafsiran kata perkata, pada

awal tafsir ayat ini, ia menafsirkan kata qawwāmūna ‘alā al-nisā yaitu bahwa laki-

laki itu adalah pemimpin para perempuan. Selanjutnya, qānitāt, diartikan dengan

“taat kepada suaminya”, dan jika mereka (istri) tidak ta’at kepada suaminya maka

mereka wajib dan berhak dihukum. Hal yang harus diketahui dari penafsiran ayat

tersebut bahwa laki-laki merupakan pemimpin perempuan dengan alasan kelebihan

laki-laki atas perempuan, laki-laki membayar mahar dan memberikan nafkah

keluarga.50

Al-Zamakhsyarī menafsirkan fa al-ṣāliḥāt dalam lanjutan ayat ini adalah

perempuan-perempuan yang taat (qānitāt) melaksanakan kewajibannya kepada

suami, dan menjaga kehormatan diri serta menjaga kehormatan keluarga serta

menjaga rumah tangga dan harta benda milik suami, maupun ketika dalam keadaan

ḥāfiẓat li al-gaib ketika suaminya tidak ada, serta menjaga rahasia suaminya51.

Menambah penjelasan dari tafsirnya Al-Zamakhsyarī memasukan sebuah hadis

yang diriwayatkan dari Abū Hurairah yaitu: “Sebaik-baik istri adalah perempuan

yang apabila engkau memandangnya menggembirakanmu, apabila engkau

48Muhammad Ḥusain al-Żahabī, al-Tafsīr wa al-Mufasirūn, jilid 4 (al-Qāhirah: Maktabah

Wahbah, 1978), h. 9. 49Kementerian Agama RI, Al-Qurān Dan Terjemahannya (Jakarta: PT. Sinergi Pustaka

Indonesia, 2012), h. 108-109. 50Abī al-Qāsim Jār al-Allah Maḥmūd bin ‘Umar al-Zamakhsyarī al-Khawārizmī, Tafsīr al-

Kasyyāf, h. 234. 51Abī al-Qāsim Jār al-Allah Maḥmūd bin ‘Umar al-Zamakhsyarī al-Khawārizmī, Tafsīr al-

Kasyyāf, h. 235.

Page 58: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

41

memerintahkannya dia patuh padamu, dan apabila engkau tidak ada di sisinya dia

akan menjaga dirinya dan harta benda mu.”52.

Pembahasan selanjutnya adalah mengenai nusyūz, bahwa menurutnya nusyūz

memiliki arti “bangkit”, ”menonjolkan”, atau ”mengeluarkan”. Pengertian itu bisa

berimbas pada arti “melawan”. Al-Zamakhsyarī memberikan satu perincian

terhadap kata nusyūz berarti “menentang suaminya dan berbuat dosa kepadanya”

atau dalam bahasa tafsirnya an ta’ṡā zaujahā. Dia juga meluaskan artinya dengan

“berbalik melawan suaminya dengan rasa kebencian dan memalingkan wajahnya

dari suaminya”. Karena dalam arti bahasa, nusyūz diartikannya sebagai

“penonjolan” atau “kebangkitan”.53

Kata fa ‘iẓūhunna, ditafsirkan oleh al-Zamakhsyarī memberi nasihat kepada

istri. Ini adalah tindakan pertama yang dilakukan oleh pemimpin atau kepala rumah

tangga, yaitu melakukan tindakan pendidikan. Kata selanjutnya al-Zamakhsyarī

menyebut fī al-maḍāji’ dengan arti tempat tidur. Yaitu jika seorang istri berlaku

nusyūz kepada suaminya maka cara yang selanjutnya adalah menjauhinya dari

tempat tidurnya, al-Zamakhsyarī menegaskan lagi kata ini juga berarti tidak

melakukan hubungan badan dengan seorang istri, bahkan ia menafsirkan kata ini

untuk tidak memasuki selimut yang sama dengan istrinya. Dikatakan bahwa kata fī

al-maḍāji’ juga memiliki arti rumah-rumah yang ditempati oleh seorang istri,

artinya tidak tinggal satu rumah dengannya.54

Kemudian adalah kata wa ḍribūhunna, Al-Zamakhsyarī memberikan tafsiran

bahwa pukulan yang dibenarkan adalah pukulan yang tidak menyakitkan (ghair

mubarriḥ) yaitu pukulan yang tidak melukai, tidak mematahkan tulang dan tidak

merusak wajah. Pukulan yang tidak boleh melukai dan tidak boleh menyebabkan

luka, atau merusak tulang apapun, dan tidak menyentuh wajah. Ia juga menekankan

bahwa ketika istri tunduk maka kamu (suami) tidak boleh mengganggunya, dan

menafsirkan kata “Allah Maha Tinggi dan Besar” dengan arti bahwa kekuasaan

52Abī al-Qāsim Jār al-Allah Maḥmūd bin ‘Umar al-Zamakhsyarī al-Khawārizmī, Tafsīr al-

Kasyyāf, h. 235. 53Abī al-Qāsim Jār al-Allah Maḥmūd bin ‘Umar al-Zamakhsyarī al-Khawārizmī, Tafsīr al-

Kasyyāf, h. 235. 54Abī al-Qāsim Jār al-Allah Maḥmūd bin ‘Umar al-Zamakhsyarī al-Khawārizmī, Tafsīr al-

Kasyyāf, h. 236.

Page 59: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

42

Allah terhadap kamu adalah lebih besar daripada kekuasaan kamu terhadap mereka

yang dibawah kamu.55

4. Corak Ḥarakī Sayyid Quṭb

Telah dibahas pembahasan tentang corak tafsir ini pada bab sebelumnya, maka

pada bab ini penulis ini menjelaskan tokoh dan penafsiranya terhadap ayat-ayat al-

Qurān dengan menggunakan corak ḥarakī. Mufasir yang dikenal menggunakan

corak ḥarakī pada pnafsiranya yaitu adalah Sayyid Quṭb.

Biografi singkat mufasir56 Latar belakang pemikiran Sayyid Quṭb , menurut

‘Abd al-Fatāḥ tidak terlepas dari pendidikan dan lingkungan yang diajarkan oleh ayahnya,

hal inilah yang membuat Sayyid Quṭb menjadi terkenal, dan ahli dalam bidang sosial,

politik, bahasa maupun pendidikan.57 Berbicara tentang politik, bahwa bapaknya

yang bernama al-Ḥajj Quṭb Ibrāhīm juga terlibat dalam gerakan politik dengan

menyertai Ḥizb al-Waṭanī (Partai Nasionalis) pimpinan Muṣṭafa Kāmil, sekaligus

pengelola majalah al-Liwā, salah satu majalah yang berkembang pada saat itu di

mana ia adalah anggota lajnah pertai tersebut. Kemudian ayahnya meninggal dunia

setelah Sayyid Quṭb belajar di Kahirah.58

Latar belakang pendidikan Sayyid Quṭb,59 berawal dari pendidikan yang

dikasih orang tuanya. Selain pengaruh yang besar dari kedua orang tuanya, ternyata

55Abī al-Qāsim Jār al-Allah Maḥmūd bin ‘Umar al-Zamakhsyarī al-Khawārizmī, Tafsīr al-

Kasyyāf, h. 236. 56Seorang pengarang kitab tafsir dengan nama asli Sayyid Quṭb Ibrāhīm ḥusain al-Syāżilī,

ia dilahirkan pada 9 Oktober 1906 di Kampung Mūsyā, daerah Asūṭ Mesir, dalam satu keluarga

yang kuat mematuhi ajaran agama dan mempunyai kedudukan yang terhormat di kampung itu.

Lihat. Abdul Mustaqim dan Syahiron, Studi Al-Qurān Kontemporer (Yogyakarta: PT. Tiara

Wacana: 2002), h. 111. 57Ṣalah ‘Abd al-Fatāḥ, Sayyid Quṭb, al-Sayyid al-Ḥayyi (Jeddah: Daar al-Mannarah, 1981),

h. 56. 58Jazilatun Nafsiah, “Kepemimpinan ‘Ulamā Dalam Al-Qurān Perspektif Qurash shihab

Dan Sayyid Quṭb,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin Dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Sunan

Ampel Surabaya, 2015), h. 39. 59Memulai jenjang pendidikannya mulai dari lingkungan rumahnya sendiri, setelah itu

barulah ia mendapatkan pendidikan formal di daerahnya sendiri sampai ia taman ibtidaiyah (sekolah

dasar), tahun 1912 ia masuk dan tamat pada tahun 1918 di Kota Kuttab, selain itu ia juga mampu

menghafal al-Qurān ketika umurnya masih 10 tahun. Pada tahun selanjutnya Sayyid Quṭb berangkat

dari kampungnya menuju ke Kairo Mesir, untuk menempuh pendidikan ṡanawiyyah (SMP), dan

‘Āliyah (SMA). Setelah lulus sekolah, sekitar tahun 1930 ia melanjutkan pendidikanya di Unversitas

Dār al-‘Ulūm tepatnya Fakultas Adab, dan lulus pada tahun 1933 di Universitas tersebut dengan

meraih gelar Lc (Lecience) pada bidang sastra dan diploma pada bidang tarbiyah. Lihat. Faizah Ali

Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h. 132.

Page 60: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

43

Sayyid Quṭb juga memiliki guru yang mempengaruhinya.60 Setelah ia berhasil

menyelesaikan studinya, ia banyak menjabat di berbagai organisasi.61

Sekitar tahun 1954, setelah kembali dari Amerika Serikat, ia langsung

bergabung dengan Jamā‘ah Ikhwān al-Muslimīn.62 Maka di sinilah Sayyid Quṭb

menyerap pemikiran-pemikiran Ḥasan al-Bannā’ (1906-1949) dan al-Maudūdī.63

Samapai pada akhir karir yang ia jalani, ia akhiri di dalam penjara.64

60Gurunya memiliki peranan penting dalam membentuk pemikiran ia, Secara Umum

Sayyid Quṭb belajar langsung dari kedua orang tuanya, kemudian setelah beranjak dewasa ia belajar

kepada pamannya dari pihak ibu, bernama Aḥmad Ḥusain ‘Uṡmān seorang wartawan Azhar, Ṭāha

Ḥusain, penasihat utama Kementrian Pendidikan. ‘Abbās Maḥmūd al-‘Aqqād dan Aḥmad al-Zayyāt.

Inilah para tokoh modernist sastrawan yang mempunyai engaruh besar terhadapnya. Menjadikan

Sayyid Quṭb salah satu anggota delegasi dari Departemen Pendidikan Mesir yang kementeriannya

dijabat oleh Ṭāha. Lihat. ḤusainHayyul, “Studi Atas Penafsiran Surah al-Ikhlāṣ Menurut Sayyid

Quṭb Dalam Kitab Tafsīr Fī ẓilāl al-Qurān,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat,

Universitas Islam Negeri Alaudin Makassar, 2010), h. 29. 61Berhasil menyelesaikan pendidikan kuliahnya, Sayyid Quṭb diangkat menjadi guru di

kementerian pendidikan Mesir Dār al-Ma‘ārif. Setelah bertahun-tahun lamanya, pada tahun 1948 ia

diberikan kesempatan mendapatkan tugas belajar ke Amerika Serikat, yaitu kuliah di Wilson‘s

Teacher College dan Stanford University dan berhasil memperoleh gelar M.A di bidang pendidikan.

Ia tinggal di Amerika selama dua setengah tahun, dan hilir mudik antara Washington dan California

untuk memperdalam pengetahuannya di bidang pendidikan. Pengalaman yang diperoleh selama

belajar di Barat inilah yang kemudian memunculkan paradigma baru dalam pemikiran Sayyid Quṭb.

Atau, bisa juga dikatakan sebagai titik tolak kerangka berfikir sang pembaharu masa depan.

Keberangkatan itu juga yang telah mengubah dari bidang sastra ke bidang reformasi dan pendidikan

berdasarkan pandangan islam. Sejak itulah ia banyak menulis buku, mengadakan seminar-seminar

dan ikut dalam berbagai aktivitas sosial, politik dan ekonomi sampai pecahnya revolusi di Mesir di

bawah pimpinan Jamāl ‘Abd al-Naṣr. Lihat. Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas

Kitab Tafsir Klasik-Modern, h. 133. 62Adalah organisasi Islam terbesar di dunia yang bergerak di bidang dakwah Islamyang

beraliran sunni di Mesir dan Arab. Para pendiri organisasi ini antara lain Ḥāfiẓ ‘Abd Ḥāmid, Aḥmad

al-Miṣrī, Fū‘ad Ibrāhīm, ‘Abd al-Raḥmān Ḥasbullāh, Ismā‘il ‘Izz, dan Ḥasan al-Bannā’. lihat

Mausu‘ah al- Ḥarakah wa Mażāhib al-Islamiyah fī al-‘Alam, terj. Muhtarom dan Tim Grafido,

Esiklopedia Golongan, Kelompok, Aliran, Mazhab, Partai dan gerakan Islam Seluruh dunia (Cet.

II; Jakarta: Grafido Khasah Ilmu, 2009), h. 22. 63Abdul Mustakim dan Sahiron Syamsuddin, Studi al-Qurān Kontemporer Wacana Baru

Berbagai Metodologi Tafsir (Yokyakarta: Tiara Wacana, 2002), h. 111. 64Akan tetapi baru dua bulan usianya, harian ini ditutup oleh pemerintah Mesir atas perintah

kolonel Gamel ‘Abd al-Naṣr karena tulisan-tulisan Sayyid Quṭb bisa mengancam perjanjian Mesir-

Inggris. Dan pada tahun berikutnya yaitu sekitar 1955 Sayyid Quṭb adalah salah seorang pemimpin

Jamā‘ah Ikhwān al-Muslimīn yang ditahan setelah organisasinya dilarang oleh presiden ‘Abd al-

Naṣr, dan dijatuhkan hukuman lima tahun kerja berat. Sekitar tahun 1964 ia lalu dibebaskan atas

permintaan presiden Irak, ‘Abd al-Salam ‘Arif. Namun tidak lama kemudian, ia ditahan kembali

dengan tuduhan yang sama. Bahkan ia dituduh ingin menumbangkan pemerintahan Mesir dengan

kekerasan, hal ini terjadi pada tahun 1965. Pada hari senin tanggal 29 Agustus tahun 1966 ia

menghadapi hukuman mati bersama para pembesar Ikhwān al-Muslimīn lainya, seperti ‘Abd al-

Fattāḥ Ismā‘īl dan Muḥammad Yūsuf Ḥawasyi. Lihat. Lembaga Pengkajian dan Penelitian

Wamy,Gerakan Keagamaan dan Pemikiran Akar Ideologi dan Penyebarannya (Jakarta: al-Tishon

Cahaya Umat, 2002), h. 9.

Page 61: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

44

Penafsiran Sayyid Quṭb Q.S. al-Nisā (4) ayat 34:

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah

telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain

(wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah memaafkan sebahagian dari

harta mereka….”

Keluarga sebagaimana telah kita sebutkan sebelumnya, adalah institusi

pertama dalam kehidupan manusia. Dikatakan pertama karena ia merupakan titik

awal yang mempengaruhi semua fase perjalanan. Pertama, karena ia merupakan

pembangunan pertama, pembangunan unsur manusia yang merupakan unsur alam

yang paling penting dalam persepsi islam. Allah menciptakan manusia terdiri dari

laki-laki dan perempuan yang berpasang-pasangan berdasarkan prinsip umum

dalam membangun alam ini. Allah menentukan tugas perempuan antara lain

mengandung, melahirkan, menyusui dan memelihara hasil hubungannya dengan

lelaki.65 Lelaki tidak boleh membebankan wanita supaya mengandung, melahirkan

menyusui dan menjaga anak, kemudian pada saat yang sama dia juga harus disuruh

bekerja, berusaha payah dan begadang untuk menjaga diri dan anaknya! Adalah

adil bila lelaki diberi kekhususan dalam struktur organ tubuh, syaraf pikiran dan

kejiwaan sehingga membantunya dalam melaksanakan tugas.

Kepemimpinan laki-laki terhadap wanita tidak harus menghapus

kepribadian dari seorang wanita itu sendiri dalam rumah tangga dan di tengah

masyarakat. Juga tidak harus menghapuskan status sosialnya. Sebab kepemimpinan

itu hanyalah sebatas peranan dalam lingkup keluarga untuk mengelola, menjaga

dan melindungi institusi yang sangat vital ini. Adanya seorang pemimpin dalam

institusi manapun, tidak bisa menghapuskan eksistensi, kepribadian dan hak para

mitra orang-orang yang bekerja di dalamnya sesuai dengan fungsinya masing-

masing. Islam telah menetapkan di tempat lain sifat kepemimpinan seorang lelaki

65Sayyid Quṭb, Tafsīr Fī Ẓilāl al-Qurān, Penerjemah Aunur Rafiq ST (Jakarta: Robbani

Press, 2011), h. 75.

Page 62: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

45

dan apa yang harus menyertainya berupa perasaan belas kasih, pemeliharaan,

penjagaan, perlindungan, kewajiban terhadap diri dan hartanya serta etika

berperilaku terhadap istri dan anggota keluarganya.66

Potongan dari Q.S. al-Nisā ayat (4) 34:

“Wanita yang saleh ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri

ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara mereka”

Kata fa al-ṣāliḥāt , dijelaskan oleh Sayyid Quṭb bahwa wanita yang salihah

itu adalah wanita yang qānitāt yaitu ketaatan yang dilandasi kemauan, konsentrasi,

kesukaan dan kesenangan, bukan karena terpaksa, dipaksa kesal atau dongkol. Al-

Qurān menggunakan kata qānitāt bukan ṭāi‘āt karena kata qānitāt mengandung

makna kejiwaan; memiliki bayangan perasaan yang menyenangkan dan

menyejukan, kondisi semacam ini memungkinkan bagi terwujudnya ketenangan,

kasih sayang, saling menutupi dan menjaga antara kedua jenis anak manusia di

dalam rumah tangga yang memelihara dan membentuk anak-anaknya dalam

suasana yang indah ini.67

Adapun wanita yang tidak salihah menurut Sayyid Quṭb adalah wanita yang

melakukan nusyūz (durhaka terhadap suaminya). Nusyūz dalam bahasa Arab berarti

berdiri di tempat yang agak tinggi dari permukaan bumi. Disimpulkan bahwa orang

yang nusyūz adalah orang yang menonjolkan diri, merasa lebih tinggi dari

melakukan kedurhakaan dan pembangkangan.68 Karena sejatinya islam itu tidak

menunggu sampai terjadi nusyūz, dan istri mengibarkan bendera pembangkangan,

sehingga merontokkan wibawa kepemimpinan dan memecah institusi rumah tangga

menjadi dua kubu.

Jika benar-benar terjadi hal- hal yang tidak diinginkan dalam rumah tangga,

maka Sayyid Quṭb memberikan penjelas di kalimat selanjutnya yaitu:

“.....Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyūz

hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka tinggalkanlah mereka di

tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukulah mereka. Tetapi jika

66Sayyid Quṭb, Tafsīr Fī Ẓilāl al-Qurān, Penerjemah Aunur Rafiq ST, jilid 3 (Jakarta:

Robbani Press, 2011), h. 78. 67Sayyid Quṭb, Tafsīr Fī Ẓilāl al-Qurān, Penerjemah Aunur Rafiq ST, jilid 3, h. 78. 68Sayyid Quṭb, Tafsīr Fī Ẓilāl al-Qurān, Penerjemah Aunur Rafiq ST, jilid 3, h. 78.

Page 63: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

46

mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk

menyusahkanya, sungguh Allah Maha Tinggi Maha Besar”

Bahwa ada sebuah hukuman bagi pelaku nusyūz dimana hukuman itu

dijalankan oleh seorang suami dan bukan bertujuan untuk balas dendam dan

sebagainya, melainkan bertujuan untuk ijra‘āt ta’dibiyah, yaitu tindakan pemberian

pelajaran. Selain itu, tujuan lainnya juga untuk segera memperbaiki diri dan situasi

sebagai langkah yang preventif, bukan untuk merusak perasaan dan memenuhinya

dengan kemarahan dan kekesalan atau untuk menghina dan membungkamnya.69

fa ‘iẓūhunna dalam arti maka nasihatilah mereka, Sayyid Quṭb tidak banyak

menafsirkan langkah ini, karena menurutnya biasanya langkah ini tidak efektif, dan

jika tidak efektif maka akan diambil langkah kedua, apabila istri merasa dirinya

lebih tinggi dari suaminya karena faktor kecantikan, daya tarik dan nilai-nilai lain

yang membuatnya merasa lebih hebat dari suaminya. Maka langkah selanjutnya

adalah wah jurūhunna fī al-maḍāji’, yaitu pisahkanlah mereka di tempat tidur

mereka. Artinya memisahkan istri hanya ditempat tidur, tidak boleh

memisahkannya secara terang-terangan di luar tempat peraduan suami istri, tidak

boleh memisahkannya di hadapan anak-anak, tidak boleh di hadapan orang asing

yang merendahkan istri atau yang mengusik harga dirinya70. Terakhir tindakan yang

harus diambil oleh seorang suami jika kedua tindakan itu tidak efektif adalah wa

ḍribūhunna yaitu pukulah mereka.

B. Kelompok kedua

Penulis mengelompokkan mufasir pada kelompok yang kedua ini, berdasarkan

dengan corak yang dianggap tidak berkaitan dengan hukum, yaitu corak tasawuf.

Ada beberapa mufasir yang penulis jadikan sebagai sumber data dari penelitian ini,

di antaranya:

1. Corak Tasawuf al-Alūsī

Biografi al-Alūsī 71 Nama al-Alūsī disandarkan pada sebuah daerah yang biasa

disebut dengan Alūs, terletak di dekat sungai Efrat antara Syam dan Bagdād.72 Garis

69Sayyid Quṭb, Tafsīr Fī Ẓilāl al-Qurān, Penerjemah Aunur Rafiq ST, jilid 3, h. 80. 70Sayyid Quṭb, Tafsīr Fī Ẓilāl al-Qurān, Penerjemah Aunur Rafiq ST, jilid 3, h. 82. 71Muḥammad Syafiq girbāl, al-Mausū‘ah al-‘Arabiyyah al-Muyassarah ( T.tp.: Dār al-

Sya‘ab, 1965), h. 665. 72Muhammad Ḥusain al-Żahabī, al-Tafsīr wa al-Mufasirūn, jilid 1, h. 250.

Page 64: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

47

darah keturunan Syihāb al-Dīn terbilang sangat mulia, dari pihak ayah silsilah ia

sampai pada Sayyidinā al-Ḥusain, sedangkan dari pihak ibu sampai kepada

Sayyidinā al-Ḥasan.73 Ia juga tidak terlepas dari menuntut ilmu.74

Pada hari jum'at tanggal 25 żū al-Qa’dah tahun 1270 H/ 1852 M al-Alūsī

meninggal dunia. Saat itu al-Alūsī berumur 53 tahun. Ia dimakamkan di

pemakaman Syaikh Ma‘ruf al-Karkhī di Karḥ, Bagdād.75

Masalah akidah dan mazhab al-Alūsī menganut keyakinan salaf (Salafi

I’tiqādi), sedang untuk fikih ia berpijak pada mazhab Ḥanafi. Hanya saja, dia setia

mengikuti mazhab Syāfi’ī dalam ruang lingkup ibadah.76

Corak dan Metode Tafsir al-Alūsī, Sementara mengenai corak yang digunakan

dalam tafsir Rūh al-Ma‘ānī ini dinilai oleh sebagian ulama sebagai tafsir yang

bercorak isyārī, dan ada juga mengatakan tafsir ini bercorak sufistik.77 Penjelasan

lebih lanjut mengenai corak ini dikatakan bahwa corak ini ingin melihat makna lain

dari al-Qurān78.

73Mufasir ini adalah Seorang tokoh yang ahli dalam bidang agama, baik yang bersifat uṣulī

atau furū‘ī. Di sebuah kota dekat Bagdād yang bernama Karḥ pada hari jumat tanggal 14 Sya’bān

1217 H/ 1802 M ia dilahirkan. Ia lahir dengan nama lengkap Mahmūd bin ‘Abdillāh bin Muhammad

bin Darwisy al-Husainī al-Alūsī Syihāb al-Dīn al-Shana’. Semasa hidupnya, ia terkenal dengan

kepiawaiannya dalam bidang ilmu pengetahuan sehingga dipercaya memangku jabatan mufti. Di

samping itu, karena tingkat pengetahuannya, banyak sanjungan yang dinisbatkan kepada ia, baik

dari golongan pemikir, sastrawan, maupun penguasa. Di antara sanjungan tersebut adalah Syaikh

‘Ulamā al-Irāq, al-Mufarrid fī Jamī al-‘Ulūm bi al-Ittifāq, Āyat Allāh al-Kubrā, Nādirah al-Zamān,

Baḥr al-Zamān al-Zāhir, Sibawaih al-‘Arabiyyah, Sa‘du Zamānih, Khātimah al-Mufasirīn, al-Syihāb

al-ṡāqib. Lihat. Muḥsin ‘Abd Ḥhmīd, al-Alūsi Mufasiran ( Bagdād: Muṭba‘ah al-Ma‘ārif, 1968), h.

40-41. 74Al-Alūsī banyak berguru kepada ulama yang ahli di bidangnya masing-masing, di

antaranya orang tuanya sendiri, yaitu Sayyid ‘Abdullah Ibn Maḥmūd al-Ḥusainī, Syaikh ‘Alī

Suwaidī, Syaikh Khālid al-Kurdī al-Mujaddidī al-Naqsyabandī. Guru yang terakhir ini sangat

mempengaruhi dan mewarnai pola pikir dan kehidupan al-Alūsi, khususnya dalam spiritual, al-Alūsi

sangat menghormatinya, sehingga ia menyebut Syaikh Khālid al-Kurdī al-Mujaddidī al-

Naqsyabandī sebagai sosok sufi yang meraih dua mutiara, yakni ilmu dan amal, serta keutamaan

lahir dan batin yang menjadi sumber rujukan. Lihat. Muhammad Ḥusain al-Żahabī, al-Tafsīr wa al-

Mufasirūn, jilid 1, h. 250. 75Ahmad Muhaimin, “Konsep Hidayah Dalam al-Qurān (Studi Tafsir Rūh al-Ma’anī karya

al-Alūsī dan Tafsir al-Taḥrīr wa al-Tanwīr karya Ibn ‘Āsyūr,” (Tesis S2 Fakultas Ushuluddin,

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2016), h. 29 76Saiful Amin Ghafur, Profil Para Mufasir al-Qurān (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani,

2008), h. 122. 77Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern

(Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2011), h. 75. 78Yaitu suatu tafsir yang mencoba menguak dimensi makna batin berdasarkan isyarat atau

ilham dan takwil sufi. Tafsir sūfi– isyārī ini di samping mengarahkan sasaran penafsirannya pada

pengungkapan makna ayat-ayat al-Qur’an yang tersirat juga berusaha menelusuri daya cakup makna

al-Qur’an, yang tersusun dari makna eksoterisnya secara transparan dan menjadikan pendekatan

tafsirnya sebagai dua koin mata uang yang tidak dapat terpisahkan. Usaha menelusuri maknanya

yang tersirat, didasarkan pada asumsi bahwa, makna yang tersirat bukanlah satu-satunya yang

Page 65: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

48

Penafsiran al-Alūsī, penafsiran Q.S al-Nisā ayat 34 yaitu:

“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah

melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan),

dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dan hartanya. Maka

perempuan-perempuan yang saleh adalah mereka yang taat (kepada Allah)

dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga

(mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan Nusyūz

hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka tinggalkanlah mereka di tempat

tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukulah mereka. Tetapi jika mereka

menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkanya,

sungguh Allah Maha Tinggi Maha Besar79

Pertama menafsirkan kata al-rijāl qawwāmūna ‘alā al-nisā yaitu bahwa

seorang suami itu adalah pemegang kuasa atas seorang istri. Digambarkan oleh al-

Alūsī bahwa pemegang kendali suami terhadap istri seperti pemegang kendalinya

pemimpin terhadap rakyatnya. Dilanjutkan lagi alasan kenapa suami yang

memegang kendali, karena ada kata setelahnya menyatakan bimā faḍal al-Allah

ba’ḍahum ‘alā ba‘ḍ , karena Allah telah memberikan sesuatu kepada suami yang

tidak diberikan kepada istri.80

Selanjutnya kata wa bimā anfaqū min amwālihim (dan kerena mereka (laki-

laki) telah memberikan nafkah dan hartanya), mengutip perkataan Mujāhid bahwa

maksudnya adalah mahar. Kemudian al-Alūsī memaparkan sebuah hadis riwayat

Muqātil, bahwa ayat ini turun kepada Sa‘īd bin Rabī’ ibn ‘Amrun dan kepada

istrinya Habībah bint Zaid, bahwa istrinya Sa‘īd telah berbuat nusyūz kepadanya,

lalu Sa‘īd menampar istrinya yang membuat bapaknya Habībah membawa Habībah

ke Rasulullah, kemudian Nabi memerintahkan untuk membalas yang setimpal

kepada suaminya Habībah. Tidak lama setelah itu datanglah malaikat Jibril untuk

menurunkan ayat ini yaitu Q.S al-Nisā ayat 34, kemudian Nabi berkata bahwa kita

menginginkan suatu urusan, dan Allah juga menginginkan suatu urusan, dan yang

dikehendaki Allah yang lebih baik.81

dikehendaki oleh ayat, akan tetapi lebih merupakan perluasan makna dari maknanya yang tersurat.

Lihat. Yeni Setianingsih, “Melacak Pemikiran al-Alūsī dalam Tafsir Rūh al-Ma‘ānī,” Kontemplasi,

Vol. 5, no. 1 (Agustus 2017): h. 236-257. 79Kementerian Agama RI, Al-Qurān Dan Terjemahannya (Jakarta: PT. Sinergi Pustaka

Indonesia, 2012), h. 108-109. 80Abī al-Faḍl Syihāb al-Dīn al-Sayid Maḥmūd al-Alūsī, Rūḥ al-Ma‘ānī, Juz 5 (Beirut:

Idārah al-ṭibā‘ah, t.t.), h. 23. 81Abī al-Faḍl Syihāb al-Dīn al-Sayid Maḥmūd al-Alūsī, Rūḥ al-Ma‘ānī, Juz 5, h. 23.

Page 66: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

49

Membahas tentang kata fa al-ṣāliḥāt dan qānitāt bahwa al-Alūsī menafsirkan

kata ini dengan arti perempuan-perempuan yang taat kepada Allah dan taat kepada

suami mereka. Kemudian disambung dengan kalimat ḥāfiẓat li al-gaib yang

ditafsirkan dengan arti perempuan yang menjaga dirinya, kehormatannya dalam

keadaan tidak dengan suaminya, lalu mengutip perkataan al-Ṡaurī dan Qatādah

bahwa makna dari kata ini adalah seorang istri wajib menjaga dirinya dan hartanya

ketika suaminya sedang tidak bersamanya. Dikatakan juga bahwa yang dimaksud

dengan kata ḥāfiẓat adalah rahasianya suami-siami mereka yang terjadi di antara

mereka ketika sedang berkhalwah.82

Kalimat nusyūzahunna, diartikan oleh al-Alūsī sikap tingginya istri dari

ketaatan suami dan durhakanya istri kepada suami.83 Sebagaimana yang tertulis di

dalam al-Qurān setelah penjelasan nusyūz, maka ada beberapa tahapan yang harus

dilakukan oleh seorang suami di dalam menanggapi istri yang nusyūz. Pertama

yaitu fa ‘iẓūhunna, yaitu menasihati istri dengan mengucapkan “takutlah engkau

kepada Allah, dan kembalilah kamu dari perbuatan nusyūz”. Dan nasihat yang

diucapkan oleh suami itu harus menunjukan kepada istri tentang jalan yang benar.84

Kedua dengan cara wahjurūhunna fī al-maḍāji’, yaitu meninggalkan mereka

sendiri di tempat tidur mereka dan tidak mencampurinya (berhubungan badan).

Kemudian mengutip pendapat dari ‘Ikrimah, bahwa maknanya adalah mengeraskan

ucapan atau perkataan kepada istri, dan sebagian lain berpendapat maknanya adalah

memakruhkan berhubungan badan kepada istri.85

Ketiga adalah kalimat wa ḍribūhunna, al-Alūsī mengartikannya dengan

pukulan yang tidak menyakitkan yaitu ghair mubarriḥ yang berlandasan dari hadis

yang riwayatkan oleh Ibn Jarīr dari Ḥajāj dari Rasulullah. Dan dijelaskan bahwa

makna ghair mubarriḥ adalah tidak membuat bekas dan tidak mematahkan tulang.

Selanjutnya mengutip perkataan Ibn ‘Abbās bahwa memukulnya dengan

menggunakan siwak dan yang serupa dengannya. Maka inilah urutan-urutan yang

harus dilakukan oleh suami ketika menghadapi istri yang nusyūz. 86

82Abī al-Faḍl Syihāb al-Dīn al-Sayid Maḥmūd al-Alūsī, Rūḥ al-Ma‘ānī, Juz 5, h. 24. 83Abī al-Faḍl Syihāb al-Dīn al-Sayid Maḥmūd al-Alūsī, Rūḥ al-Ma‘ānī, Juz 5, h. 24. 84Abī al-Faḍl Syihāb al-Dīn al-Sayid Maḥmūd al-Alūsī, Rūḥ al-Ma‘ānī, Juz 5, h. 25. 85Abī al-Faḍl Syihāb al-Dīn al-Sayid Maḥmūd al-Alūsī, Rūḥ al-Ma‘ānī, Juz 5, h. 25. 86Abī al-Faḍl Syihāb al-Dīn al-Sayid Maḥmūd al-Alūsī, Rūḥ al-Ma‘ānī, Juz 5, h. 25.

Page 67: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

50

Sebagai pengikut Imām Ḥanifah, al-Alūsī memperjelas bahwa ada 4 alasan

diperbolehkannya suami memukul istri. Pertama, tidak mau berhias (berdandan)

padahal suami menginginkan; kedua, mengabaikan ajakan suami ke tempat tidur;

ketiga, meninggalkan sholat; keempat, keluar rumah kecuali ‘użur syar‘ī.87

2. Corak Tasawuf ‘Abd al-Qādir al-Jīlānī

‘Abd al-Qādir al-Jīlānī sebagai tokoh yang banyak dikenal dalam dunia tarekat

juga memiliki tafsir yang sedikit banyak dipengaruhi oleh kesufiannya. Menurut

penelitian Anis Masduki, Tafsīr al-Jīlānī adalah kelanjutan dari sufisme al-Gazālī.

Sufisme al-Jīlānī berdiri di atas ilmu yang didorong oleh ketajaman akal dan amal

yang dilandaskan pada kejernihan batin. Batin menjadi suci ketika sesuai dengan

lahir dan mampu meluruskan aktivitas lahir sehingga terhiasi dengan akhlak batin

yang telah menyucikan diri dan bertobat dari segala dosa dan maksiat. 88

Penafsiran Q.S. al-Maidah (5) ayat 38:

“Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah

tangan keduanya (sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka lakukan

dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa, Maha

Bijaksana.” Kata al-sāriq dan al-sāriqah diartikan sebagai orang-orang yang melewati

batasan-batasan yang sudah ditentukan oleh Allah. Maka bagi mereka potonglah

kalian para hakim, tangan-tangan mereka yaitu tangan kanannya ketika barang yang

dicuri itu sampai pada batasan yang memang harus dipotong. Maka dari penafsiran

awal ini, telah diketahui bahwa ada ketentuan-ketentuan yang dijelaskan oleh

mufasir ketika ada suatu kasus pencurian, maka tindakan yang harus diberikan

adalah potong tangan kanannya, karena itu adalah sebagai hukuman bagi pencuri.

Mereka dihukum karena mereka telah melewati batas mencuri harta orang lain89.

87Abī al-Faḍl Syihāb al-Dīn al-Sayid Maḥmūd al-Alūsī, Rūḥ al-Ma‘ānī, Juz 5, h. 26. 88Anis Masduki, Metode Tafsir Sufistik Syaikh ‘Abd al-Qādir al-Jīlānī (Yogyakarta: STIQ

al-Nur, 2010), h. 80.

89Muḥy al-Dīn ‘Abd Qādir al-Jīlānī, Tafsīr al-Jīlānī, Jilid 1 (Pakistan: Maktabah al-

Ma’rūfah, 2010), h. 442.

Page 68: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

51

Penafsiran yang kedua yaitu permasalahan hukum terkait dengan zina, pada

Q.S. al-Nūr (24) ayat 2:

“Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari

keduanya seratus kali, dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya

mencegah kamu untuk (menjalankan) agama (hukum) Allah, jika kamu

beriman kepada Allah dan hari kemudian; dab hendaklah (pelaksanaan)

hukuman mereka disaksikan oleh sebagian orang beriman”

Penafsiran pada ayat ini, pelaku zina perempuan dan laki-laki yaitu hukuman

keduanya dan batasan keduanya, telah ditetapkan dan dibacakan di dalam ayat ini,

yaitu hukuman dera. Didahulukan oleh Allah kata al-Zāniah karena terjadinya

perzinahan menurut umumnya itu dari sisi mereka perempuan dan dari tujuannya

diri mereka, dan zinanya kaum perempuan terhadap laki-laki. Dan apabila para

hakim itu mendengar persoalan terkait dengan zina, maka deralah mereka.

Hukuman bagi pezina ini ada dua macam, menurut kesepakatan ijmā’ pertama

adalah jika kedua pelaku zinanya adalah gair muḥṣan, maka hukumannya adalah

didera, dan jika kedua pelaku zinanya adalah muḥṣan maka hukumannya adalah

dengan cara dirajam. Jika satunya muḥṣan dan satunya lagi gair muḥṣan maka

hukumannya tetap sesuai dengan keadaan masing-masing, yaitu didera dan

dirajam.90

Dijelaskan lagi bahwa yang disebut dengan muḥṣan adalah seorang muslim

yang merdeka yang berakal yang balig yang sudah menikah dengan sah. Penjelasan

kalimat kullu wāḥid miata jaldah maksudnya adalah masing-masing dari keduanya

dicambuk dengan 100 kali pukulan yang menyakitkan. Sedangkan lafaz jaldah

merupakan ganti dari perbuatan zina yang sudah dilakukan.91 Al-Jīlānī

menambahkan dalam tafsirnya pendapat Imām al-Syāfi‘ī, yaitu setelah mereka

diberi hukuman dera, maka mereka akan diasingkan selama satu tahun.

90al-Jīlānī, Tafsīr al-Jīlānī, Jilid 3, h. 280. 91al-Jīlānī, Tafsīr al-Jīlānī, Jilid 3, h. 280.

Page 69: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

52

Potongan ayat selanjutnya, yaitu “dan janganlah rasa belas kasihan kepada

keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama (hukum) Allah, jika kamu

beriman kepada Allah dan hari kemudian; dab hendaklah (pelaksanaan) hukuman

mereka disaksikan oleh sebagian orang beriman,” ditafsirkan bahwa janganlah

bagi seorang hakim untuk memberikan waktu istirahat bagi pelaku zina, dan jangan

juga bagi hakim untuk memberikan belas kasihannya kepada pelaku zina, ketika

seorang hakim tidak memberikan belas kasihnya maka ia sudah melestarikan dan

menjaga hukum Allah. Sehingga ia dianggap orang yang beriman karena telah

menjalankan perintah dan larangan Allah, dan semua ketetapan yang sudah

ditetapkan.92

Bagi hakim maka seharusnya hukuman yang diberikan kepada pelaku zina

hendaklah disaksikan, dihadirkan dan diperlihatkan di hadapan orang banyak, agar

orang-orang tersebut yang menyaksikan dapat mengambil pelajaran dari apa yang

sudah dilakukan oleh pelaku zina tersebut.

Ayat selanjutnya adalah Q.S. Āli ‘Imrān (3) ayat 130:

“Wahai orang-orang beriman janganlah kamu memakan riba dengan berlipat

ganda, dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung”

Penafsiran terkait ayat riba, al-Jīlānī hanya sedikit menafsirkan permasalahan

ini, ia menyatakan bahwa ayat ini turun untuk orang-orang yang beriman karena hal

ini berkaitan dengan keteguhan hati orang-orang beriman terhadap jalan ketauhidan

dari perangai yang baik. Kalimat Wahai orang-orang beriman diartikan oleh

mufasir adalah orang-orang yang tetap pada keimanannya kepada Allah dan Rasul-

Nya, maka janganlah orang-orang beriman itu memakan harta ribā artinya adalah

harga yang ditawar-tawar sehingga lebih tinggi dari harga normalnya. Seperti

mengambil uang dari orang yang memiliki hutang, akan tetapi dengan cara berlipat

ganda.93

92al-Jīlānī, Tafsīr al-Jīlānī, Jilid 3, h. 281. 93al-Jīlānī, Tafsīr al-Jīlānī, Jilid 1, h. 306.

Page 70: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

53

3. Corak Tasawuf Ibn ‘Ajībah

Menurut Nassarudin Baidan corak penafsiran sebuah tafsir dipengaruhi dan

selaras dengan latar belakang, pendidikan, dan kecenderungan mufasirnya. Maka,

apabila diperhatikan, dengan melihat sosok Ibnu ‘Ajībah berdasarkan riwayat

hidupnya dan berbagai macam karyanya, ada beberapa peneliti mengklaim bahwa

tafsir ini mempunyai corak kombinasi antara corak lughawī dan corak al-ṣufī.

Corak lughawī terlihat dominan ketika Ibnu ‘Ajībah memaparkan makna lahiriyah

ayat, dan corak al-ṣufī pada makna isyārīnya.94

Ditambahkan oleh Muhammad Azwar yang menyatakan bahwa jika ditelusuri

lebih jauh maka dapat dikatakan corak penafsiran Ibnu ‘Ajībah lebih dominan pada

corak sufistiknya. ini terbukti dari intensitas Ibn ‘Ajībah menguraikan makna isyārī

di setiap penafsirannya.95 Maka dari itu agar lebih jelas, penulis akan memaparkan

penafsiran Ibn ‘Ajībah terkait ayat-ayat hukum.

Penafsiran Ibn ‘Ajībah Q.S. al-Maidah (5) ayat 38:

““Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah

tangan keduanya (sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka lakukan

dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa, Maha

Bijaksana.”

Ibn ‘Ajībah pada awal menafsirkan ayat ini mengatakan bahwa ayat ini

adalah bagian dari sesuatu yang telah dibacakan kepada orang-orang mukmin

tentang hukum pencuri, kemudian dilanjutkan lagi tentang apa hikmah dari

didahulukannya kata al-sāriq dengan kata al- sāriqah dan kata al-zāniah

dengan al-zānī, menurutnya kebanyakan pencurian itu dilakukan oleh laki-laki,

sedangkan perzinahan datangnya dari perempuan.

Kata faqṭa‘ū aidiyahumā yang dimaksud adalah pemotongan tangan itu,

dan yang dipotong adalah tangan kanan pelaku di bagian pergelangan.

Sedangkan hukum potong tangan itu memiliki beberapa syarat: pertama,

94Nashruddin Baidan, Wawasan Baru ilmu Tafsir (Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2005), h.

388. 95Muhammad Azwar Hairul, Mengkaji Tafsir Sufi Karya Ibn ‘Ajībah (Tangerang: YPM,

2017), h. 90.

Page 71: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

54

mengutip pendapat Imam Malik bahwa pencurian yang dilakukan bukan

karena kelaparan yang sangat pada pencuri, kedua, jika yang mencuri bapak

atau budak dari orang yang memiliki barang maka tidak dikenakan hukuman

ini, ketiga, jika orang yang mencuri itu adalah orang mengelola barangnya

ketika barang tersebut telah hilang lama, dan keempat, pemotongan tangan itu

jika pencuriannya mencapai 1 nisab atau ¼ dīnār.96 Sedangkan Imam Hanifah

menambahkan tidak ada pemotongan jika pencuriannya dibawah 10 dirhām.

Hikmah adanya hukuman ini menurut mufasir untuk memberikan efek

jera, dan denda yang diberikan bagi pelaku pencurian adalah lebih besar dari

nisab jumlah minimal potong tangan, karena untuk menghinakan orang-orang

yang mencuri.

Kalimat وأصلح فمن تاب من بعد ظلمه ketika pencuri tersebut bertobat

kepada Allah setelah pencurian yang ia lakukan, maka hendaklah ia

memperbaiki perbuatannya dengan cara mengembalikan apa yang telah ia curi,

dan ia memurnikan dirinya dari hal-hal yang buruk sesuai dengan

kemampuannya, setelah itu ia berniat untuk tidak melakukannya lagi. Jika ia

sudah melakukan hal itu maka menurut mufasir tobatnya sudah diterima oleh

Allah.97

Pada akhir tafsirnya ia menyimpulkan dengan mengutip pendapat imam

mazhab, terkait masalah apakah hukuman potong tangan bisa dibatalkan.

Pendapat Imām al-Syāfi‘ī adalah bisa jadi hukum ini menjadi batal apabila

melihat zahirnya ayat, sedangkan menurut Imām Mālik hukum ini tidak bisa

gugur, dengan cara bertaubat karena Allah telah menentukan batasan-batasan-

Nya, kecuali itu adalah hak Allah.98

96Ibn ‘Ajībah , Tafsīr al-Baḥr al-Madīd fī Tafsīr al-Qurān al-Majīd, jilid 2 (al-hirah:

Thaba’a ‘alā Nafaqahu Min ‘Abbās Zaki, 1999), h. 38. 97Ibn ‘Ajībah , Tafsīr al-Baḥr al-Madīd fī Tafsīr al-Qurān al-Majīd, jilid 2, h. 39. 98Ibn ‘Ajībah , Tafsīr al-Baḥr al-Madīd fī Tafsīr al-Qurān al-Majīd, jilid 2, h. 39.

Page 72: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

55

Penafsiran yang kedua adalah Q.S. al-Nūr (24) ayat 2:

“Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari

keduanya seratus kali, dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya

mencegah kamu untuk (menjalankan) agama (hukum) Allah, jika kamu

beriman kepada Allah dan hari kemudian; dab hendaklah (pelaksanaan)

hukuman mereka disaksikan oleh sebagian orang beriman”

Pezina yang dikenakan hukum dera, jika keduanya adalah orang yang

merdeka, balig, dan gair muḥṣanain, dan ketika melakukan perzinahan itu diantara

mereka tidak ada paksaan. Setelah itu ada hadis yang menasakh ayat ini yaitu:

و الشيخة إذا زنيا فارمجومها ألبتة نكاال من هللا و هللا عزيز حكيم الشيخ“Orang yang tua (laki-laki) dan orang yang tua (perempuan) apabila mereka

berdua berzina maka rajamlah keduanya pada saat itu juga, sebagai balasan dari

Allah yang Maha Kuat dan Adil99”

Sedangkan syarat-syarat muḥṣan adalah berakal, merdeka, islam, balig, dan

ia sudah menikah dengan pernikahan yang sah, dan ia sudah pernah menggauli

istrinya. Selanjutnya mufasir menjelaskan makna yang dipilih dalam ayat tersebut

dengan menggunakan kata al-jild bukan al-ḍarb, maksudnya adalah hukuman

tersebut tidak sampai menusuk ke dalam bagian dalam tubuh yaitu daging, akan

tetapi deraan tersebut diringankan sampai terasa sakit pada bagian luar saja. Ayat

ini juga diperuntukkan untuk para pemimpin atau hakim untuk menggunakan

hukum Allah dalam menjatuhkan hukuman, kecuali sudah tidak memungkinkan

hukum itu ditetapkan oleh satu orang imam, maka berkumpullah untuk membuat

kesepakatan. Mengutip pendapat Imām al-Syāfi‘ī dan Imām Mālik yang

mengatakan bahwa setelah dihukum, maka pelaku zina tersebut harus diasingkan

selama satu tahun.100

99Ibn ‘Ajībah , Tafsīr al-Baḥr al-Madīd fī Tafsīr al-Qurān al-Majīd, jilid 4, h. 6. 100Ibn ‘Ajībah , Tafsīr al-Baḥr al-Madīd fī Tafsīr al-Qurān al-Majīd, jilid 4, h. 7.

Page 73: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

56

Dilanjutkan lagi oleh Ibn ‘Ajībah dalam menafsirkan kalimat ini, bahwa tidak

seharusnya memberikan rasa belas kasih terhadap pelaku zina dalam menentukan

suatu hukum seperti menolak apa yang dibencinya dan mengasihi apa yang

disenanginya, dan wajib bagi orang-orang beriman itu untuk menjalankan batasan-

batasan yang Allah berikan kepadanya. Berkaitan dengan disebutkanya beriman

kepada hari akhir menandakan bahwa akan ada hukuman bagi orang yang melewati

batas, baik dari pelakunya atau orang terlalu toleran terhadap pelaku zina, artinya

jika beriman, maka deralah. Kemudian ia mengutip hadis terkait dengan Ibn ‘Umar

yang mendera pembantunya, lalu Ibn ‘Umar berkata kepada orang yang akan

mendera pembantunya, “Deralah punggungnya, kakinya dan telapak kakinya,

ringankanlah pukulanmu,” kemudian Ibn ‘Umar dibantah oleh orang yang akan

mendera, dengan mengatakan potongan ayat dan janganlah rasa belas kasihan

kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama (hukum) Allah, lalu

Ibn ‘Umar berkata lagi “Apakah aku membunuhnya? Karena aku diperintahkan

oleh Allah untuk memukulnya dan mendidiknya bukan untuk membunuhnya.”101

Potongan ayat selanjutnya, jika hukuman dera itu terlihat pada bagian auratnya,

maka harus ditutupi hukuman tersebut. Hukuman tersebut juga harus disaksikan

oleh segolongan orang-orang yang beriman, sebagai tambahan siksaan secara

sosial, karena sesungguhnya membuka hukuman mereka di depan umum,

merupakan lebih baik dari pada menyandera. Sebaiknya hukuman itu dilaksanakan

oleh para hakim, bukan oleh orang yang tidak mengerti hukum, karena mencegah

terjadinya perbuatan semena-mena.

Sesungguhnya darah dan kehormatan seorang muslim itu adalah sesuatu yang

agung, maka wajib untuk dijaga. Tidak boleh juga bagi hakim untuk menambahkan

hukuman atau mengurangi hukuman tersebut. Terkait dengan alat yang dipakai

untuk mendera adalah harus dengan sesuatu yang lurus, tidak boleh yang lentur

101Ibn ‘Ajībah , Tafsīr al-Baḥr al-Madīd fī Tafsīr al-Qurān al-Majīd, jilid 4, h. 7.

Page 74: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

57

sekali dan keras sekali, dalam pemukulan juga ditegaskan oleh mufasir, tidak boleh

memukul yang keras sekali sampai kelihatan ketiaknya atau lemah sekali artinya

sedang. Hukuman tersebut bisa dilakukan seperti adanya pergelaran di antara

segolongan orang, banyak pendapat mengenai berapa batasan paling sedikit orang

yang harus ada dalam menyaksikan hukuman tersebut, ada yang mengatakan 3, 4

dan 10 orang.102

Selanjutnya mufasir dalam akhir tafsirnya mengutip beberapa hadis, pertama,

“Aku tidak pernah meninggalkan setelah sepeninggalanku paling mudarat antara

laki-laki dari pada perempuan”, ke dua, hadis riwayat Ḥużaifah “Wahai manusia,

takutlah kalian kepada zina, karena di dalam zina terdapat 6 perkara, 3 di dunia, 3

di akhirat. Perkara yang di dunia adalah, ia akan kehilangan wibawa, mendapatkan

kefakiran, dan mendapatkan pendeknya umur (tidak adanya keberkatan).

Sedangkan 3 yang di akhirat adalah, murkanya Allah, jeleknya hisab, dan kekal di

neraka (lamanya diam di neraka).” Hadis ke tiga, “sesungguhnya penduduk neraka

akan merasa jijik dengan baunya kemaluan orang yang berzina.” 103

Penafsiran yang ketiga adalah Q.S. Āli ‘Imrān (3) ayat 130:

“Wahai orang-orang beriman janganlah kamu memakan riba dengan berlipat

ganda, dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung”

Riba itu artinya adalah menambah-nambahkan sesuatu, kalimat dengan

berlipat ganda, memiliki makna mengkhususkan pada kondisi tertentu, misalnya

jika ada seorang yang berhutang kepada si fulan, kemudian telah jatuh tempo, lalu

orang yang yang mengutangi itu seharusnya berkata “jika bayar sekarang boleh,

bayar nanti pun juga boleh,” ditegaskan lagi oleh mufasir, sebaiknya janganlah bagi

orang memberikan hutang itu menambah-nambahkan hutangnya, sampai

tenggelam harta orang yang hutang. Berkata juga al-Wartajibī, makna isyarat ayat

ini adalah bahwa neraka itu tidak disediakan untuk orang-orang beriman, melainkan

102Ibn ‘Ajībah , Tafsīr al-Baḥr al-Madīd fī Tafsīr al-Qurān al-Majīd, jilid 4, h. 8. 103Ibn ‘Ajībah , Tafsīr al-Baḥr al-Madīd fī Tafsīr al-Qurān al-Majīd, jilid 4, h. 8

Page 75: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

58

tujuan Allah adalah untuk menakut-nakuti orang beriman dan juga sebagai

peringatan, diumpamakan seperti seorang bapak yang menakuti anaknya dengan

macam dan pedang104.

4. Corak Tasawuf al-Qusyairī

Al-Qusyairī sebagai mufasir sufi menjadikan media takwil sebagai ide kreatif

dalam mempertemukan gagasan tasawuf dan psikologi dalam satu rumah, yaitu

tafsir sufi melalui simbol-simbol bahasa sastra. Penafsiran al-Qusyairī dalam

Laṭā’if al-Isyārāt membuka cakrawala gagasan simbiosis psikologi, tasawuf, dan

sastra dalam satu rumah besar, yaitu tafsir sufi. Melalui bahasa sastra yang sarat

kondisi jiwa, al-Qusyairī menafsirkan Al- Qur’an dengan pendekatan tasawuf. Dia

mencoba mengaplikasikan konsep- konsep tasawuf yang tersebar dalam berbagai

karyanya untuk menjadi model penafsiran ayat Al-Qur’an. Konsep maqāmāt dan

aḥwāl (keadaan) menjadi inti penafsirannya dalam mengungkap pengalaman

kejiwaan sufistik105.

Berikut penafsiran al-Qusyairī Q.S. al-Maidah (5) ayat 38:

““Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah

tangan keduanya (sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka lakukan

dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa, Maha

Bijaksana.”

Tidak banyak penafsiran yang dituangkan oleh al-Qusyairī dalam

menafsirkan ayat ini, yaitu jika ada orang tua mencuri nisab dari tikus, dan

menemukan hak dari potong tersebut, batasan tersebut didirikan pada batasan

seperti yang diadakan pada korban, dan tidak mengurangi batas untuk

kemaslahatannya. Dan isyaratnya adalah perintah raja dapat diterima untuk

menghormatinya, tetapi semua dari sesuatu yang tertinggi maka ia

meningkatkannya lebih sempurna atau lebih tersembunyi, dan tuntutan atasnya

104Ibn ‘Ajībah , Tafsīr al-Baḥr al-Madīd fī Tafsīr al-Qurān al-Majīd, jilid 1, h. 406. 105Habibi al-Amin, “Tafsir Sufi Laṭā’if al-Isyārāt Karya Al-QusyairĪ Perspektif Tasawuf

dan Psikologi,” Ṣuḥuf, Vol. 9, No. 1 (Juni 2016): h. 59-78.

Page 76: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

59

lebih banyak. Dan janganlah bagi seseorang itu merasa takut kepada seorang

imam sekalipun.106

Penafsiran kedua Q.S al-Nūr ayat 2:

“Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari

keduanya seratus kali, dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya

mencegah kamu untuk (menjalankan) agama (hukum) Allah, jika kamu

beriman kepada Allah dan hari kemudian; dan hendaklah (pelaksanaan)

hukuman mereka disaksikan oleh sebagian orang beriman”

Ayat ini merupakan hukuman yang sangat berat dan kuat bagi orang yang

melakukan zina dan Allah menjadikan tetapnya perintah ini, dan pengulangan

suatu hukum, karena banyaknya manusia itu hanya menginginkan kemudahan.

Karena tidak diterima kesaksiannya seseorang sampai ia berkata “aku melihat

perzinahan dari dia (laki-laki) dan dari dia (perempuan),” maka yang demikian

itulah perkara yang tidak mudah, kemuliaan hukuman terbesar untuk tindakan

itu tidak senonoh, kemudian ditetapkannya hukuman tersebut untuk

membuktikannya dengan pasti!.107

Kalimat selanjutnya adalah

Allah berfirman: “Dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya

mencegah kamu untuk (menjalankan) agama (hukum) Allah, jika kamu

beriman kepada Allah dan hari kemudian,” apa yang diperintahkan oleh Allah

itu adalah sebuah kebenaran dan wajib untuk menerimanya dengan

mendengarkannya dan taat. Raḥmah itu adalah sesuatu yang terpuji, dan

106Al-Qusyairī, Tafsīr Al-Qusyairī, Juz 1 (al-Qāhirah: Dār al-Kutub, 2007), h. 296. 107Al-Qusyairī, Tafsīr Al-Qusyairī, Juz 3, h. 446.

Page 77: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

60

dilarang mengatas namakan raḥmah untuk menenggelamkan syariat,

meninggalkannya, dan buruknya etika, dan berdiri dalam pelanggaran warga

negara. Dikatakan larangan kami untuk belas kasihan terhadap mereka, artinya

bahwa raḥmah tidak menghapus perbuatan kotor merek. Rasulullah SAW

bersabda: “Tidaklah berzina oleh orang yang berzina sedang ia dalam keadaan

beriman.”108

Allah berfiman “dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan

oleh sebagian orang beriman.” Artinya, untuk menjadi lebih keras bagi mereka,

untuk menakut-nakuti para pelaku tindakan tersebut, maka hak mereka yang

bersaksi di tempat itu akan mengingat bahwa anugerah Allah yang luar biasa ada

pada mereka bahwa mereka tidak melakukan hal yang sama, dan bagaimana mereka

telah tidak taat. Dan jika ada di antara mereka yang disebutkan, mereka akan

menyebutkan rahmat Allah yang besar kepada mereka. Jika dia menutupi mereka,

dan dia tidak mengekspos mereka, maka mereka lupa bahwa hukum Allah ada

ditempat ini.109

Penafsiran al-Qusyairī Q.S. . Āli ‘Imrān (3) ayat 130:

“Wahai orang-orang beriman janganlah kamu memakan riba dengan berlipat

ganda, dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung”

Ia menafsirkan ayat ini, langsung menyatakan bahwa Allah

mengharamkan riba kepada hambanya, contohnya adalah ketika ada seseorang

meminta satu pinjaman berupa 200, dan kemudian si peminjaman tersebut

memintanya mengembalikan menjadi tujuh ratus hingga tak terbatas,

isyaratnya adalah bahwa kemuliaan itu tidak cocok untuk seorang ciptaan,

karena itu adalah milik Allah.110

108Al-Qusyairī, Tafsīr Al-Qusyairī, Juz 3, h. 446. 109Al-Q.usyairī, Tafsīr Al-Qusyairī, Juz 3, h. 446. 110Al-Qusyairī, Tafsīr Al-Qusyairī, Juz 1, h. 190.

Page 78: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

61

BAB IV

RELASI CORAK DENGAN TAFSIRAN

Penafsiran terkait ayat-ayat hukum yang telah dibahas pada bab

sebelumnya, memiliki berbagai kesimpulan. Kesimpulan itu, akan penulis coba

tuangkan melalui beberapa pemaparan pada bab ini. Pembahasan pertama adalah

analisis penafsiran terhadap ayat-ayat hukum tersebut, pembahasan kedua terkait

dengan tabel yang bersisi relasi kesesuaian corak dengan tafsiranya. Pembahasan

ketiga merupakan penjelasan tentang relasi-relasi dan implikasi dari kajian corak

tafsir yang sudah dipaparkan.

A. Penafsiran Ayat-ayat Hukum Ditinjau dari Berbagai Corak Tafsir

Setelah melewati beberapa pencarian data-data terkait corak tafsir, penulis

berhasil mengumpulkan beberapa data yang menurut penulis penting untuk

dijadikan sebagai sumber dari penelitian ini. Data-data tersebut berupa profil, latar

belakang, penafsirannya dan kitab tafsir dari para mufasir yang penulis pilih dalam

penelitian ini.

Mereka di antaranya adalah Imām al-Qurṭubī, dengan kitab tafsirnya adalah

al-Jami’ Li Aḥkām al-Qurān1, al-Alūsī dengan kitab tafsirnya adalah Rūḥ al-

Ma‘ānī2, M. Quraish Shihab dengan karya tafsirnya yang berjudul Tafsir al-

Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian3, al-Zamakhsyarī dengan kitab tafsir yang

berjudul Tafsīr al-Kassyāf4, Sayyid Quṭb dengan judul tafsirnya Tafsīr Fī Ẓilāl al-

Qurān 5, ‘Abd al-Qādir al-Jīlānī dengan kitab tafsirnya Tafsīr al-Jīlānī, Ibn ‘Ajībah

dengan kitab tafsirnya Tafsīr al-Baḥr al-Madīd fī Tafsīr al-Qurān al-Majīd dan

terakhir al-Qusyairī dengan kitab tafsirnya Laṭā’if al-Isyārāt.

1Abū ‘Abdullah Muḥammad bin Aḥmad bin Abū Bakr bin Farḥ al-Anṣārī al-Khazrajī al-

Andalusī al-Qurṭubī, al-Jami’ Li Aḥkām al-Qurān, Juz I (Beirut: Muassasah al-Risālah, 2006), h 30. 2Abī al-Faḍl Syihāb al-Dīn al-Sayid Maḥmūd al-Alūsī, Rūḥ al-Ma‘ānī, Juz 1 (Beirut: Idārah

al-ṭibā‘ah, T.tb), h. 2. 3M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qurān, jilid 1

(Jakarta: Lentera hati, 2011), h. xi. 4Abī al-Qāsim Jār al-Allah Maḥmūd bin ‘Umar al-Zamakhsyarī al-Khawārizmī, Tafsīr al-

Kasyyāf (Beirut: Dār al-Ma’rifah, 2009), h. 2. 5Sayyid Quṭb, Tafsīr Fī Ẓilāl al-Qurān, Jilid 1 (Beirut: Dār al-Syurūq, t.t.), h. 1.

Page 79: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

62

Berikut adalah tabel terkait dengan corak mufasir dan penafsirannya dalam

Q.S. al-Nisā (4) ayat 34, Q.S. al-Maidah (5) ayat 38, Q.S. al-Nūr (24) ayat 2, Q.S.

Āli ‘Imrān (3) ayat 130.

Tabel 4.1

Relasi Ragam Corak Dengan Ayat Hukum

Corak Mufasir Penafsiran Ayat

Fikih Al-Qurṭubī Terkait Hukum

Al-adabī al-ijtimā‘ī M. Quraish Shihab Terkait Hukum

Lugawī Al-Zamakhsyarī Terkait Hukum

Ḥarakī Sayyid Quṭb Terkait Hukum

Tasawuf Al-Alūsī Terkait Hukum

Tasawuf Al-Jīlānī Terkait Hukum

Tasawuf Ibn ‘Ajībah Terkait Hukum

Tasawuf al-Qusyairī Terkait Hukum

Tiap-tiap corak dari mufasir ketika di hadapkan dengan ayat hukum, khususnya

pada Q.S. al-Nisā (4) ayat 34, Q.S. al-Maidah (5) ayat 38, Q.S. al-Nūr (24) ayat 2,

Q.S. Āli ‘Imrān (3) ayat 130, maka penafsirannya diarahkan ke dalam masalah

fikih. Al-Qurṭubī dengan corak yang terdapat di dalam tafsirnya yaitu corak hukum,

ketika menafsirkan ayat tersebut, sudah pasti bahwa ia menafsirkannya dengan

menggunakan corak fikihnya. Salah satu kutipan dari penafsirannya adalah Apabila

masalah nusyūz telah ditetapkan bahwa Allah tidak memerintahkan sesuatu dalam

kitab-Nya untuk memukul dengan tegas kecuali dengan hukum ḥadd yang besar.

Allah menyamakan kemaksiatan istri kepada suami dengan dosa-dosa besar.

Suamipun tidak wajib lagi menafkahi istri yang nusyūz.6

Al-Alūsī menafsirkan ayat tersebut tidak terlepas dengan hukum, walaupun

corak yang dimiliki olehnya adalah corak tasawuf, seperti penafsirannya yaitu pada

kata ḥāfiẓat li al-gaib yang ditafsirkan dengan arti perempuan yang menjaga

dirinya, kehormatannya dalam keadaan tidak dengan suaminya, selain itu seorang

6Abī Muḥammad bin Aḥmad bin Abī Bakr al-Qurṭubī, al-Jāmi’ li Aḥkāmi al-Qurān, juz 6,

h. 297.

Page 80: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

63

istri wajib menjaga dirinya dan hartanya ketika suaminya sedang tidak

bersamanya7.

Mufasir selanjutnya adalah M. Quraish Shihab, seperti data yang ada pada

tabel, beliau juga menafsirkan ayat ini, menggunakan cara fikih. Misalnya pada ayat

ini telah dijelaskan 3 langkah ketika mendapati istri yang nusyūz, maka jika masih

belum kembali, haruslah bagi keduanya mengutus kedua hakam, yakni juru damai

yang bijaksana untuk menyelesaikan kemelut mereka dengan baik8.

Corak lugawī yang ada pada al-Zamakhsyarī, ketika menafsirkan ayat hukum,

tidak semua penafsirannya difokuskan pada kebahasaan, melainkan juga ada corak

fikihnya. Seperti kata wa ḍribūhunna, al-Zamakhsyarī memberikan tafsiran bahwa

pukulan yang dibenarkan adalah pukulan yang tidak menyakitkan (ghair mubarriḥ)

yaitu pukulan yang tidak melukai, tidak mematahkan tulang dan tidak merusak

wajah9.

Sayyid Quṭb pun juga sama, tafsiran terhadap ayat ini disajikan juga dengan

tafsiran yang bercorak fikih, misalnya adalah kata wah jurūhunna fī al-maḍāji’,

yaitu pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka. Artinya memisahkan istri hanya

ditempat tidur, tidak boleh memisahkannya secara terang-terangan di luar tempat

peraduan suami istri, tidak boleh memisahkannnya di hadapan anak-anak, tidak

boleh di hadapan orang asing yang merendahkan istri atau yang mengusik harga

dirinya.10

Selanjutnya adalah beberapa mufasir dengan corak tasawuf, yaitu Al-Alūsī,

Al-Jīlānī, Ibn ‘Ajībah, al-Qusyairī, pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa ketika

mufasir dengan corak tasawuf sekalipun akan tetap menafsirkan ayat hukum,

dengan penafsiran yang terkait dengan hukum, seperti al-Alūsī menafsirkan ayat

tersebut tidak terlepas dengan hukum, walaupun corak yang dimiliki olehnya adalah

corak tasawuf, seperti penafsirannya yaitu pada kata ḥāfiẓat li al-gaib yang

ditafsirkan dengan arti perempuan yang menjaga dirinya, kehormatannya dalam

7Abī al-Faḍl Syihāb al-Dīn al-Sayid Maḥmūd al-Alūsī, Rūḥ al-Ma‘ānī, Juz 5, h. 24. 8M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, vol. 5,

h.413.

9Abī al-Qāsim Jār al-Allah Maḥmūd bin ‘Umar al-Zamakhsyarī al-Khawārizmī, Tafsīr al-

Kasyyāf, h. 236. 10Sayyid Quṭb, Tafsīr Fī Ẓilāl al-Qurān, Penerjemah Aunur Rafiq ST, jilid 3, h. 82.

Page 81: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

64

keadaan tidak dengan suaminya, selain itu seorang istri wajib menjaga dirinya dan

hartanya ketika suaminya sedang tidak bersamanya.11

Mufasir dengan corak tasawuf selanjutnya adalah ‘Abd al-Qādir al-Jīlānī,

penafsirannya terhadap Q.S. al-Maidah (5) ayat 38, terkait dengan hukuman bagi

pencuri, ia menafsirkanya sesuai dengan makna zahir dari ayat tersebut, yaitu maka

bagi mereka potonglah kalian para hakim, tangan-tangan mereka yaitu tangan

kanannya ketika barang yang dicuri itu sampai pada batasan yang memang harus

dipotong.12 Begitu juga ketia ia menafsirkan ayat terkait dengan hukuman bagi

pelaku zina, yaitu pada Q.S. al-Nūr (24) ayat 2, hukuman bagi pezina ini ada dua

macam, menurut kesepakatan ijmā’ pertama adalah jika kedua pelaku zinanya

adalah gair muḥṣan, maka hukumannya adalah didera, dan jika kedua pelaku

zinanya adalah muḥṣan maka hukumannya adalah dengan cara dirajam. Jika

satunya muḥṣan dan satunya lagi gair muḥṣan maka hukumannya tetap sesuai

dengan keadaan masing-masing, yaitu didera dan dirajam.13

Ketika melihat kepada mufasir yang berbeda dengan corak yang sama yaitu

corak tasawuf, seperti yang dilakukan oleh Ibn ‘Ajībah, hal serupa pun demikian,

ia menafsirkan ayat terkait dengan hukuman bagi pelaku zina maupun ayat terkait

dengan hukuman bagi pencuri tidak terlepas dari persoalan hukum. Seperti

penafsiran terhadap potongan ayat Q.S. al-Maidah (5) ayat 38, Kata faqṭa‘ū

aidiyahumā yang dimaksud adalah pemotongan tangan itu, dan yang dipotong

adalah tangan kanan pelaku di bagian pergelangan. Sedangkan hukum potong

tangan itu memiliki beberapa syarat: pertama, mengutip pendapat Imam Malik

bahwa pencurian yang dilakukan bukan karena kelaparan yang sangat pada pencuri,

kedua, jika yang mencuri bapak atau budak dari orang yang memiliki barang maka

tidak dikenakan hukuman ini, ketiga, jika orang yang mencuri itu adalah orang

mengelola barangnya ketika barang tersebut telah hilang lama, dan keempat,

pemotongan tangan itu jika pencuriannya mencapai 1 nisab atau ¼ dīnār.14

11Abī al-Faḍl Syihāb al-Dīn al-Sayid Maḥmūd al-Alūsī, Rūḥ al-Ma‘ānī, Juz 5, h. 24. 12Muḥy al-Dīn ‘Abd Qādir al-Jīlānī, Tafsīr al-Jīlānī, Jilid 1 (Pakistan: Maktabah al-

Ma’rūfah, 2010), h. 442. 13al-Jīlānī, Tafsīr al-Jīlānī, Jilid 3, h. 280. 14Ibn ‘Ajībah , Tafsīr al-Baḥr al-Madīd fī Tafsīr al-Qurān al-Majīd, jilid 2 (al-hirah:

Thaba’a ‘alā Nafaqahu Min ‘Abbās Zaki, 1999), h. 38.

Page 82: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

65

Untuk menjadi hasil yang lebih relevan, maka penulis measukan mufasir

dengan corak tasawuf yang terakhir, yaitu al-Qusyairī. Ternyata penafsirannya

terkait ayat hukum juga masih sama seperti mufasir sebelumnya, contohnya seperti

jika ada seorang pemimpin sekalipun jika ia mencuri walupun hanya nisabnya dari

tikutm maka potonglah tanganya.15 Walau tidak dijelaskan secara mendalam, dari

sedikit penafsirannya ini sudah bisa disimpulkan bahwa ia tetap saja menggunakan

hukum dalam menafsirkan ayat hukum.

Mufasir-mufasir tersebut masing-masing memiliki corak tafsir yang berbeda-

beda. Seperti yang telah penulis jelaskan di bab sebelumnya. Ternyata setelah

dikumpulkan data dari masing-masing mufasir tersebut penulis menemukan

sesuatu, yang seharusnya penafsiran itu dipengaruhi oleh corak yang melatar

belakngi penafsirannya, tetapi pada kenyataannya corak itu tidak mempengaruhi

penafsiran para mufasir itu, terutama pada ayat yang berkaitan dengan hukum, dan

hasilnya adalah semua mufasir menafsirkan dengan nuansa hukum.

B. Relasi Kesesuaian Penafsiran dengan Corak Tafsir

Setelah diteliti dari penafsiran para mufasir, corak yang disebut-sebut melekat

pada penafsiran mufasir ternyata tidak berpengaruh pada Q.S. al-Nisā (4) ayat 34,

Q.S. al-Maidah (5) ayat 38, Q.S. al-Nūr (24) ayat 2, Q.S. Āli ‘Imrān (3) ayat 130.

Maka dari itu pada pembahasan yang kedua ini , penulis akan mencoba menyajikan

dari sudut mana seorang mufasir bisa menafsirkan ayat al-Qurān sesuai dengan

coraknya masing-masing, dan pada ayat seperti apa.

Tabel 4.2

Relasi Kesesuaian Ragam Corak dengan Penafsiran

Corak Mufasir Tema Ayat Tafsiran

Fikih Al-Qurṭubī Nikah Beda

Agama

Hukumnya

Haram

Tasawuf Al-Alūsī Maḥabbah

kepada Allah

Cinta haruslah

selalu

dikaitkan

kepada Allah

Al-adabī al-ijtimā‘ī M. Quraish Shihab Jihad

Jihad bukan

hanya

berperang

15Al-Qusyairī, Tafsīr Al-Qusyairī, Juz 1 (al-Qāhirah: Dār al-Kutub, 2007), h. 296.

Page 83: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

66

Lugawī Al-Zamakhsyarī Balagah

Makna dari

objek yang

diletakan di

awal kalimat

lebih dalam

dari pada di

akhir kalimat

Ḥarakī Sayyid Quṭb iṣlāḥ

Setiap orang

harus memiliki

sifat ini, untuk

mencegah

dirinya

ataupun

masyarakat

dari kelaliman

di dunia.

Melihat tabel di atas, penulis akan mencoba jelaskan maksud dari penafsiran

yang sesuai dengan coraknya masing-masing. Dapat dilihat bahwa tiap-tiap mufasir

itu akan condong kepada coraknya jika tema ayat yang ditafsirkan adalah tema-

tema tertentu. Berikut adalah penjelasannya.

1. Al-Qurṭubī

Hal yang terlihat pada penafsiran al-Qurṭubī yang bercorak fikih adalah ketika

beliau menafsirkan ayat terkait hukum, seperti penelitian yang ditulis oleh Budy

Prestiawan, ia menjelaskan bahwa penafsiran al-Qurṭubī, terkait dengan hukum

nikah beda agama16. Firman Allah dengan penggalan ayat Q.S. al-Baqarah (2) ayat

221 “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka

beriman”, diartikan bahwa wanita musyrik adalah wanita penyembah berhala dan

yang beragama Majusi, hal ini dinukil dari pendapat Imam Mālik, al-Syāfi‘ī, Abū

Ḥanīfah, al-Auza’i, yang melarang menikah dengan wanita Majusi, sedangkan Ibn

Ḥanbal berkata, “Hal itu tidak menarik untukku”. Diriwayatkan bahwa Ḥuzaifah

16Budy Prestiawan, “Menikahi Orang Musyrik Prespektif al-Jaṣaṣ dan Al- Qurṭubī (Analisa

Terhadap Surat al-Baqarah: 221 Dalam Tafsir Aḥkam al-Qurān dan Jāmi’ li Aḥkam al-Qurān),”

(Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin Dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,

2014), h. 1-70.

Page 84: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

67

bin al-Yaman pernah menikahi seorang wanita Majusi, lalu ‘Umar berkata

kepadanya, “Ceraikan dia!”17.

Al-Qurṭubī menjelaskan bahwa alasan pengharaman tersebut telah diterangkan

Allah dalam ayat setelahnya, yaitu: “Mereka mengajak ke neraka” dimana ajakan

ke neraka dijadikan sebagai alasan hukum diharamkan menikahi mereka, maka

jawaban dari hal tersebut (mengajak ke neraka) merupakan jawaban untuk firman

Allah: “Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita

musyrik”, sebab orang yang musyrik itu mengajak ke neraka. Alasan hukum ini

berlaku pula untuk orang-orang kafir18.

Setelah beberapa pemaparan yang disajikan oleh al-Qurṭubī dapat dilihat

bahwa dalam tafsirnya itu, beliau selain menggunakan nuansa hukum, tentunya

harus berdasarkan riwayat-riwayat. Ia berkesimpulan bahwa menikahi wanita

musyrik adalah hukumnya haram, dan lebih baik menikahi wanita budak dari pada

wanita musyrik19.

Contoh ayat aḥkām lain adalah ketika al-Qurṭubī memberikan penjelasan

panjang lebar mengenai persoalan-persoalan fikih pada Q.S. al-Baqarah (2) ayat 43:

“Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan ruku‘lah beserta orang-orang

yang ruku'.

Pembahasan pada ayat ini al-Qurṭubī membaginya menjadi 34 masalah.

Salah satu pembahasan yang menarik adalah pada masalah ke 16, yaitu al-Qurṭubī

mendiskusikan berbagai pendapat tentang hukum anak kecil yang menjadi imam

salat20.

Kasus lain yang masih terkait dengan hukum adalah pada penafsiran Q.S. al-

Baqarah (2) ayat 185:

17Abū ‘Abdullah Muḥammad bin Aḥmad bin Abū Bakr bin Farḥ al-Anṣārī al-Khazrajī al-

Andalusī al-Qurṭubī, al-Jami’ Li Ahkam al-Qurān, Juz I (Beirut: Muassasah al-Risālah, 2006), h.

151. 18al-Qurṭubī, al-Jāmi‘ li aḥkām al-Qurān, Juz. 1, h. 146. 19 Budy Prestiawan, “Menikahi Orang Musyrik Prespektif al-Jaṣaṣ dan Al- Qurṭubī

(Analisa Terhadap Surat al-Baqarah: 221 Dalam Tafsir Aḥkam al-Qurān dan Jāmi’ li Aḥkam al-

Qurān)”, h. 37-38. 20al-Qurṭubī, al-Jāmi‘ li aḥkām al-Qurān, Juz. 1, h. 70-72.

Page 85: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

68

“Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan al-Qurān,

sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan mengenai petunjuk-petunjuk

itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil). Karena itu

barangsiapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah. Dan

barang siapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka

(wajib) menggantinya sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-

hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak

menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan

bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan

kepadamu agar kamu bersyukur21”.

Al-Qurṭubī dalam menafsirkan ayat ini, membagi permasalahan ayat ini pada

21 masalah, pembahasan yang penulis ambil adalah Ketika memasuki pembahasan

ke 17, yaitu beliau mendiskusikan persoalan idul fitri yang dilaksanakan hari ke 2.

Kemudian al-Qurṭubī berpendapat bahwa tetap boleh dilaksanakannya idul fitri,

dengan dasar hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Nasāī22 bahwa ada suatu kaum

yang melihat hilal, lalu mereka menemui Rasulullah SAW, maka Beliau

memerintahkan mereka untuk berbuka setelah matahari sudah tinggi dan hendaknya

mereka keluar untuk melakukan solah hari raya keesokan harinya. Namun pendapat

ini berbeda dengan pendapat Imam Malik, dan sebagian Imam Mazhab yang tak

membolehkan23.

Penelitian selanjutnya masih terkait dengan corak fikihnya al-Qurṭubī, tetapi

dengan menafsirkan ayat yang tidak terkait dengan hukum, seperti penelitian yang

21Kementerian Agama RI, Al-Qurān Dan Terjemahannya (Jakarta: PT. Sinergi Pustaka

Indonesia, 2012), h. 28. 22Abī ‘Abd al-Raḥmāan Aḥmad bin Syu‘aib Bin ‘Alī al-Syuhair (Al-Nasāī), Sunan al-

Nasāī , Kitab 19, bab 2, no. 1557 (Riyāḍ: Maktabah al-Ma‘ārif, t.t.), h. 257. 23al-Qurṭubī, al-Jāmi‘ li aḥkām al-Qurān, Juz. 3, h. 149-170.

Page 86: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

69

dilakukan oleh Abdul Rouf, membahas tentang makna al-Magḍūb dan al-Ḍallīn

Q.S. al-Fātihah (1) Ayat 7 Penafsiran al-Qurṭubī dalam kitab tafsir al-Jāmi‘ li

aḥkām al-Qurān24. Bahwa di dalam penelitian ini dikatakan, al-Qurṭubī

menjelaskan Q.S. al-Fātihah (1) Ayat 7 dengan mengutip beberapa pendapat para

‘Ulamā dan berbeda pendapat tentang siapakah orang-orang yang dimurkai oleh

Allah dan siapa pula orang-orang yang sesat. Mayoritas ‘Ulamā berpendapat bahwa

orang-orang yang dimurkai adalah umat Yahudi dan orang-orang yang sesat adalah

umat Nasrani25.

Melihat penafsiran yang telah penulis sajikan dapat disimpulkan bahwa corak

yang dimiliki oleh al-Qurṭubī yaitu corak fikih, terlihat dari penilitian yang

dilakukan oleh Abdul Rouf. Bahwa penafsiran bercorak fikih tidak berlaku pada

semua ayat, melihat penafsiran Q.S. al-fātihah (1) ayat 7, sama sekali beliau tidak

membahas masalah-masalah fikih dalam menafsirkan ayat tersebut. Akan tetapi

sangat kental sekali corak fikihnya ketika dihadapkan dengan ayat yang terkait

dengan hukum.

2. Al- Alūsī

Penafsiran yang disajikan oleh al-Alūsī pada Q.S. al-Nisā (4) ayat 34, yang

menjadi bahasan dalam penelitian ini, ternyata tidak dipengaruhi oleh corak yang

dimiliki oleh al-Alūsī. Maka dari itu peneliti mencoba mencari letak corak sufi yang

dimiliki oleh al-Alūsī akan berpengaruh pada ayat seperti apa. Karena Secara garis

besar corak penafsiran Imām al-Alūsī dalam tafsirnya Rūḥ al-Ma‘anī ada tiga

corak, yaitu corak Fiqh, Isyāri26 atau ṣūfi dan corak lugawī27.

24Abdul Rouf, “Makna al-Magḍūb dan al-Ḍallīn Q.S. al-Fātihah Ayat 7 Penafsiran al-

Qurṭubī Dalam Kitab Tafsir al-Jāmi‘ li aḥkām al-Qurān,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Sekolah

Tinggi Agama Islam Negeri Kudus, 2017), h. 1-66 25Abdul Rouf, “Makna al-Magḍūb dan al-Ḍallīn Q.S. al-Fātihah Ayat 7 Penafsiran al-

Qurṭubī Dalam Kitab Tafsir al-Jāmi‘ li aḥkām al-Qurān”, h. 52. 26penafsiran yang dilakukan oleh para sufi yang pada umumnya dikuasai oleh ungkapan

mistik. Ungkapan-ungkapan tersebut tidak dapat dipahami kecuali oleh orang-orang Sufi yang

menghayati ajaran tasawuf. Ṣubḥi Ṣāliḥ mendefinisikan pengertian tafsir ini dengan tafsir yang

menta’wilkan ayat tidak menurut zahirnya namun disertai usaha menggabungkan antara ayat yang

jelas dan yang tersembunyi. Lihat, St. Aminah, Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (Semarang:

CV Assyifa’, 1999), h. 324. 27Aminah Rahmi, “Metode dan Corak Penafsiran Imām al- Alūsī terhadap al-Qurān

(Analisa Terhadap Tafsir Rūḥ al-Ma‘anī),” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam

Negeri sultan Syarif Kasim Riau, 2013), h. 59.

Page 87: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

70

Penelitian yang ditulis oleh Aminah Rahmi mencoba untuk menganalisis tafsir

yang dikarang oleh Imām al-Alūsī, salah satunya adalah ia memaparkan corak

Isyāri atau ṣūfi dari tafsir Rūḥ al-Ma‘anī. Yaitu pada Q.S. Ṭaha (20) ayat 48:

“Sesungguhnya telah diwahyukan kepada kami bahwa siksa itu (ditimpakan) atas

orang-orang yang mendustakan dan berpaling”.

Menurutnya bahwa al-Alūsī menafsirkan ayat tersebut Selain pada makna

aslinya, ayat ini juga mengandung pesan yang tidak diungkapkan, bahwa orang

yang mendustakan dan berpaling dari petunjuk Allah akan mendapatkan azab.

Yaitu azab di dunia dan di akhirat28.

Ayat lain yang ditafsirkan oleh al-Alūsī, yang diambil dari penelitian Abu

Hasan29, adalah Q.S. Āli ‘Imrān (3) ayat 31:

“Katakanlah jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya

Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun

lagi Maha Penyayang”

Menurutnya, cinta adalah penyesuaian diri orang yang mencintai dan orang

yang dicintai, tetapi cinta tersebut harus berlandaskan dengan Allah S.W.T. dengan

mengutip ucapan al-Alūsī:

اللأ بأ و املحب وبأ فل يكأن أن ت ت علق بأ ية ب ي املحأ ي اجلأنسأ ن املحبة ت قتضأ ت عاىل بأ “Sesungguhnya Maḥabbah adalah penyatuan dua ikatan (orang yang

mencintai dan orang yang di cintai) dengan harus berlandaskan kepada

Allah”.

Pada kesimpulannya ia mengatakan bahwa menurut al-Alūsī, bahwa cinta

merupakan kuasa Allah yang diberikan kepada Manusia yang dikhususkan untuk

28Aminah Rahmi, “Metode dan Corak Penafsiran Imām al- Alūsī terhadap al-Qurān

(Analisa Terhadap Tafsir Rūḥ al-Ma‘anī),” h. 69. 29Abu Hasan, “Konsep Cinta Kepada Allah Dalam al-Qurān (Telaah Atas Pemikiran Al-

Alūsī Dalam Kitab Rūḥ al-Ma‘anī),” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin Dan Filsafat, Universitas

Islam Negeri Sunan Ampel surabaya, 2016), h. 61-89.

Page 88: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

71

beribadah kepada Allah. Artinya dalam hal ini cinta merupakan kekuasaan Tuhan

yang diberikan kepada manusia dengan tujuan untuk beribadah, seperti diberikan

keleluasaan untuk mencintai seseorang dengan tujuan untuk beribadah.

Terminologi ḥabl min al-nās yang diterapkan oleh al-Alūsī harus benar benar

menyatu dengan Allah30.

Ditambah lagi dengan penjelasannya bahwa maksud dari kalimat yuḥibbūnahu

adalah mereka selalu berusaha mendekatkan diri kepada-Nya dengan mentaati

segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, sebagai sebuah perasaan yang

terkait dengan zat Tuhan dan semestinya seorang pencinta mencintai Tuhan karena

zat-Nya bukan karena pahala-Nya atau kebaikan-Nya karena cinta menempati

derajat yang lebih rendah dibandingkan dengan cinta karena Zat-Nya31.

Permulaan ayat pada Q.S. al-Syūrā juga ditafsirkan oleh al-Alūsī dengan

menyingkap makna yang terkandung di dalamnya, yaitu kalimat ( قعس ditafsirkan (حم

dengan penafsiran bahwa al-Alūsī mengemukakan riwayat ‘Izz bin ‘Abd al-Salām

bahwa khalīfah ‘Alī R.A memutuskan untuk memerangi Mu‘awiyah berdasarkan

makna isyarī dari ayat tersebut, akan tetapi menurut pendapat Reza dalam

penelitiannya ini tidak ada penjelasan lebih detail tentang hal tersebut32.

Ayat-ayat terkait zuhud juga banyak ditafsirkan oleh al-Alūsī salah satunya

penulis mengutip beberapa penafsiran al-Alūsī dengan mengambil dari penelitian

yang dilakukan oleh Reza, bahwa dalam Q.S. Ibrāhīm (14) ayat 3, al-Alūsī

menjelaskan tidak seharusnya mengaitkan hati manusia kepada dunia, dan

seharusnya hidup di dunia dijadikan kesempatan untuk berbuat baik. Berbuat baik

juga harus dilandaskan untuk mendapatkan riḍa Allah, bukan untuk mendapatkan

pujian33.

Q.S. Yūsuf (12) ayat 20 yaitu:

30Abu Hasan, “Konsep Cinta Kepada Allah Dalam al-Qurān (Telaah Atas Pemikiran Al-

Alūsī Dalam Kitab Rūḥ al-Ma‘anī),” h. 66. 31Abu Hasan, “Konsep Cinta Kepada Allah Dalam al-Qurān (Telaah Atas Pemikiran Al-

Alūsī Dalam Kitab Rūḥ al-Ma‘anī),” h. 81. 32Reza Permana Aditya, “Zuhud Dalam Tafsīr Rūḥ al-Ma‘anī Karya al-Alūsī,” (Skripsi S1

Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2017), h. 34 33Reza Permana Aditya, “Zuhud Dalam Tafsīr Rūḥ al-Ma‘anī Karya al-Alūsī,” h. 64.

Page 89: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

72

“Dan mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah, yaitu beberapa

dirham saja, dan mereka merasa tidak tertarik hatinya kepada Yusuf”

Al-Alūsī menyatakan, zuhud dalam ayat ini mempunyai arti ragiba ‘anh

(membenci). Sedangkan kata كانوا dalam ayat ini kembalinya pada saudara-saudara

Nabi Yusuf, terbukti bahwa jika saudara Nabi Yusuf tidak benci kepada Nabi

Yusuf maka tidak mungkin mereka menyembunyikan identitas Nabi Yusuf yang

sebenarnya. Dilanjutkan oleh al-Alūsī bahwa kata al-zāhidīn adalah orang-orang

yang di dalam hatinya terdapat rasa benci dengan hal-hal yang bersifat duniawi34.

3. M. Quraish Shihab

Pada bab sebelumnya telah dipaparkan bahwa mufasir asal Indonesia ini

memiliki corak dalam penafsirannya, yaitu yang disebut dengan corak al-Adabi al-

Ijtimā‘ī. Adapun penafsiran yang menunjukkan bahwa Tafsir al-Misbah ini adalah

tafsir yang bercorak al-Adabi al-Ijtimā‘ī, adalah sebagai berikut.

Pertama, penafsiran Quraish shihab yang menyepakati penafsiran Ibn Qayyim

atas Q.S. al-Furqān (25) ayat 30. Menurut Atik Wartini dalam artikelnya bahwa

penafsiran ini sesuai dengan corak yang dimiliki oleh Quraish Shihab35.

Menjelaskan bahwa di hari kemudian kelak Rasulullah SAW. Akan mengadu

kepada Allah SWT, beliau berkata, “Wahai Tuhanku, sesungguhnya

kaumku/umatku menjadikan al-Qurān sebagai sesuatu yang mahjūra. Kata

mahjūra, dalam ayat tersebut bermakna; Tidak tekun mendengarkannya, tidak

mengindahkan halal dan haramnya walau dipercaya dan dibaca, tidak menjadikan

rujukan dalam menetapkan hukum menyangkut Ushul al-Dīn (prinsip-prinsip

ajaran agama) dan rinciannya, tidak berupaya memikirkan dan memahami apa yang

dikehendaki oleh Allah yang menurunkannya, Tidak menjadikannya sebagai obat

bagi semua penyakit-penyakit kejiwaan36.

Kedua, penafsiran Quraish Shihab terkait dengan ayat-ayat jihad, yang penulis

temukan dalam artikel berjudul relevansi pemikiran tafsir jihad M. Quraish Shihab

dalam Tafsir al-Misbah37. Penulis Penelitian tersebut mengatakan, bahwa Quraish

34Reza Permana Aditya, “Zuhud Dalam Tafsīr Rūḥ al-Ma‘anī Karya al-Alūsī,” h. 62. 35Atik wartini, “Corak Penafsiran M. Quraish Shihab Dalam Tafsir Al-Misbah,” Hunafa:

Jurnal Studia Islamika, vol. 11, no. 1 (Juni 2014): h. 109-126. 36Atik wartini, “Corak Penafsiran M. Quraish Shihab Dalam Tafsir Al-Misbah,” h. 118. 37M. Cholil, “Relevansi Pemikiran Tafsir Jihad M. Quraish Shihab Dalam Tafsir Al-

Misbah,” Marāji‘: Jurnal Studi Keislaman, vol. 1, no. 2 (Maret 2015): h. 538-566.

Page 90: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

73

Shihab memaknai Jihad dengan makna ujian dan cobaan bagi kualitas seseorang

yang membutuhkan kesabaran dan ketabahan. Jihad juga mengandung arti

kemampuan yang menuntut sang mujāhid mengeluarkan segala daya dan

kemampuannya demi mencapai tujuan. Meskipun demikian, Shihab tidak

menafikan bahwa jihad di sebagian ayat bermakna perang. Bagi Shihab jihad bukan

hanya memiliki makna perang akan tetapi juga memiliki makna kesungguhan, kerja

keras, dan keteguhan. Ia yang membagi jihad menjadi tiga macam, antara lain jihad

menghadapi musuh yang nyata, menghadapi setan, dan menghadapi nafsu yang

terdapat dalam diri masing-masing38.

Ketiga, pembahasan tentang konteks perubahan masyarakat (sosial), di dalam

al-Qurān terdapat paling tidak ada dua ayat, yaitu Q.S. al-Ra’d (13) ayat 11:

“Bagi manusia ada Malaikat-Malaikat yang selalu mengikutinya

bergiliran, di depan dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah

Allah. Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga

mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila

Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang

dapat menolaknya; dan sekali-kali tidak ada pelindung bagi mereka selain

dia”.

Ayat kedua adalah Q.S. al-Anfāl (8) ayat 53:

“(Siksaan) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali

tidak akan merubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada

suatu kaum, hingga kaum itu merubah apa-apa yang ada pada diri mereka

sendiri, dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha

Mengetahui.”

38M. Cholil, “Relevansi Pemikiran Tafsir Jihad M. Quraish Shihab Dalam Tafsir Al-

Misbah,” h. 565.

Page 91: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

74

Ditafsirkan oleh Qurasih Shihab, ayat-ayat ini mengandung makna perubahan.

Yaitu perubahan dari segala aspek kehidupan, sedangkan ayat kedua berbicara

tentang perubahan nikmat39.

Dikutip dari kitab Tafsir Al-Misbah, ada beberapa hal penting yang ditafsirkan

oleh Quraish Shihab terkait dua ayat tersebut. Yaitu: Ayat-ayat tersebut berbicara

tentang perubahan sosial, bukan perubahan individu. Ini dipahami dari kata qaum

(masyarakat) pada kedua ayat tersebut. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa

perubahan sosial tidak dapat dilakukan oleh perindividu saja. Bisa juga bermula

dari pemikiran yang dilontarkan oleh satu individu kemudian disebarkan kepada

masyarakat, maka akan menjadi perubahan yang bersifat kemasyarakatan40.

Selanjutnya, kata qaum pada ayat tersebut bermakna umum, tidak untuk satu

ras, bangsa atau lainnya. Karena ayat tersebut berbicara tentang qaum, ini berarti

sunnatullāh yang dibicarakan berkaitan dengan kehidupan dunia, bukan kehidupan

akhirat41. Perubahan yang terjadi pada qaum tersebut tidak terlepas dari dua pihak,

yaitu Allah yang memiliki kekuasaan untuk membuat masyarakat itu menjadi yang

diinginkannya, dan juga manusia yang berperan untuk mengatur dirinya sendiri.

Penjelasan terakhir tentang kedua ayat tersebut juga menekankan bahwa

perubahan yang dilakukan oleh Allah haruslah didahului oleh perubahan yang

dilakukan oleh masyarakat menyangkut sisi dalam mereka. Tanpa perubahan ini

maka rasanya sulit akan terjadi perubahan sosial. Karena itu boleh saja terjadi

perubahan penguasa atau bahkan sistem, tetapi jika sisi dalam masyarakat tidak

berubah, keadaan akan tetap bertahan sebagaimana sediakala. Jika demikian, maka

sekali lagi perlu ditegaskan bahwa dalam pandangan al-Qurān yang paling pokok

guna perubahan sosial adalah perubahan sisi dalam manusia karena sisi inilah yang

melahirkan aktivitas, baik positif maupun negatif, dan bentuk, sifat, serta corak

aktivitas itulah yang mewarnai keadaan masyarakat42.

39Saifuddin, “Revolusi Mental Prespektif al-Qurān: Studi Penafsiran Quraish Shihab,”

Maghza, vol. 1, no. 2 (Juli-Desember 2016): h. 62. 40M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qurān, jilid 6

(Jakarta: Lentera Hati, 2011), h. 232. 41M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qurān, jilid 6,

h. 233. 42M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qurān, jilid 6,

h. 233.

Page 92: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

75

4. Al-Zamakhsyarī

Telah dibahas pembahasan terkait corak tafsir Zamakhsyarī, yaitu tafsir yang

penafsirannya bersumber dari al-ra’yi dan tafsir yang coraknya bertujuan untuk

membuktikan keindahan sebagian aspek kemukjizatan al-Qurān. Dikenal dengan

corak balāgah atau lugawī43.

Berikut penulis akan mencoba menyajikan contoh penafsiran Zamakhsyarī

yang menunjukkan perhatiannya pada aspek balāghah. Dalam penafsiran Q.S. al-

Fātihah (1) ayat 5:

“Hanya kepadaMu kami menyembah dan hanya kepadaMu kami memohon

pertolongan”

Akan tetapi diterjemahkan sekaligus ditafsirkan oleh Zamakhsyarī dengan

menjadi “Kami mengkhususkanMu dalam beribadah dan kami pun

mengkhususkanMu dalam memohon pertolongan atau hanya kepadaMu lah kami

menyembah dan hanya kepadaMu lah kami memohon pertolongan.’’ Dalam

penjelasan tafsir ayat ini, Zamakhsyarī memberikan contoh pengkhususan

kedudukan objek dengan cara meletakkannya di awal atau sebelum kata kerja,

seperti pada Q.S. al-Zumar (39) ayat 64:

“Katakanlah: maka apakah kamu menyuruh aku menyembah selain

Allah? Hai orang-orang yang tidak berpengetahuan”

Lalu ia membandingkan kedua ayat di atas dan menjelaskan kedua susunan

kalimat tersebut dalam cara pengkhususan nya. Ia menjelaskan pada Q.S. al-Fātihah

(1) ayat 5, bahwa dengan adanya pengkhususan yang digunakan di dalamnya

mengandung makna yang lebih, serta seni bahasa yang indah. Zamakhsyarī juga

menambahkan penjelasan terkait dengan pengalihan kata ganti yang terdapat dalam

43Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern

(Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2011), h.49.

Page 93: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

76

Q.S. al-Fātihah (1), dikatakan bahwa hal ini terdapat pada judul al-Iltifāt44 dalam

pembahasan balāghah45.

Al-Zamakhsyarī, selain menggunakan balāgah ia juga mencoba menjelaskan

ayat dilihat dari segi ilmu naḥwunya. Bertujuan untuk menjaga bahasa Arab dan

untuk menunjukkan keahliannya dalam bidang bahasa. Berikut beberapa contoh

penafsiran Zamakhsyarī yang menunjukkan perhatiannya akan ilmu naḥwu dalam

memahami ayat-ayat al-Qurān46. Dalam Q.S. al-Baqarah (2) ayat 21:

“Wahai manusia! Sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan

orang-orang yang sebelum kamu, agar kamu bertakwa”

Al-Zamakhsyarī menafsirkan ayat tersebut secara rinci, seperti pada huruf (يا),

dimaknai huruf ini adalah suara yang terdengar dan digunakan untuk memanggil

objek yang berjarak jauh. Adapun huruf yang digunakan untuk memanggil objek

yang berjarak dekat adalah ( أ أي, ). Kemudian ia menambah penjelasannya bahwa

huruf (يا) yang digunakan untuk memanggil objek berjarak jauh juga dapat

digunakan untuk memanggil objek yang berjarak dekat, disebabkan objek tersebut

dianggap lengah atau lupa sehingga diibaratkan ia berada di tempat yang jauh47.

Ayat lain yang ditafsirkan oleh al-Zamakhsyarī terkait dengan penafsiranya

dengan menyajikan permasalahan naḥwu, di dalam Q.S. al-Baqarah (2) ayat 23:

44al-Iltifāt adalah pengalihan format kata, dari kata ganti orang pertama ke kata ganti orang

kedua ataupun ketiga dan sebaliknya atau artinya menoleh, berbelok atau beralih, dalam ilmu

balagah pun al-Iltifāt yaitu mengalihkan uslub (gaya bicara) dari satu arah ke arah yang lain. Lihat,

‘Abd al-Ḥākim Ḥasan, Al-mannar fī ‘Ulūm Al-balāgah (kairo: Maktab Al-jāmi’ah Al-Azhariyah,

t.t.), h. 143. 45Muḥammad Abū Mūsā, al-Balāghah al-Qurāniyah fī Tafsīr al-Zamakhsyarī wa Aṡaruhā

fī al-Dirasah al-Balagiyah, cet. II (Kairo: Maktabah Wahbah, 1988), h. 94. 46‘Abd al-Fataḥ ‘Abd al-Ghāni Muḥammad Ibrāhīm al-Awarī, Rauḍat al-Ṭālibīn fî Manāhij

al-Mufassirīn, jilid II (Kairo: Maktabah al-Iman, 2015), hal. 242. 47Abī al-Qāsim Jār al-Allah Maḥmūd bin ‘Umar al-Zamakhsyarī al-Khawārizmī, Tafsīr

al-Kasyyāf (Beirut: Dār al-Ma’rifah, 2009), h. 56.

Page 94: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

77

“Dan jika kamu meragukan al-Qurān yang kami turunkan kepada hamba

kami (Muhammad), maka buatlah satu surah semisal dengannya dan

ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang

benar”

Diambil dari penelitian yang ditulis oleh Ahmad Husnul48, bahwa menurut

Zamakhsyarī, kembalinya ḍamīr (kata ganti) hi pada kata miṡlihi adalah pada kata

mā anzalnā atau pada kata ‘abdinā. Akan tetapi, pendapat yang lebih kuat adalah

ḍamīr itu kembali pada kata mā anzalnā sesuai dengan maksud ayat tersebut, sebab

yang dibicarakan dalam ayat tersebut adalah al-Qurān, bukan nabi Muḥammad49.

5. Sayyid Quṭb

Penelitian terkait penafsiran mufasir kali ini, telah banyak dilakukan oleh para

pemikir-pemikir muslim. Salah satunya adalah penelitian Wulandari, yang

membahas tentang iṣlāḥ50. Menurut Sayyid Quṭb dalam Al-Qurān iṣlāḥ mempunyai

makna yang lebih luas dari sekedar memisahkan atau mendamaikan orang-orang

yang bermusuhan, tetapi mempunyai makna yang lebih luas yaitu bagaimana

manusia selalu memperbaiki diri dan menciptakan suasana perdamaian antara

sesama manusia baik dalam ruang lingkup keluarga, sosial kemasyarakatan51.

Menurutnya juga bahwa iṣlāḥ dapat mewujudkan kalimatullah sebagai

kenyataan di muka bumi, antara lain; keadilan, kemerdekaan, dan keamanan bagi

semua umat manusia baik individu ataupun masyarakat. Bukan hanya sekedar

mencegah terjadinya peperangan dengan segala resikonya, tetapi mencegah

kelaliman serta kerusakan di muka bumi. Karena itu, menurut Sayyid Quṭb “Islam

memulai upaya perdamaian atau perbaikan (iṣlāḥ) pertama-tama di dalam

perasaan setiap individu, kemudian meluas ke semua anggota keluarga lalu ke

masyarakat52.”

48Ahmad husnul Qowwim, “Penafsiran Ayat-Ayat Tentang Penciptaan Dan Kemampuan

Jin (Studi Komparatif Penafsiran Zamakhsyarī Dalam Tafsīr al-Kasyyāf dan Fakhr Al-Rāzi Dalam

Tafsir Mafātīḥ Al-Gaib),” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Institut Agama Islam negeri Walisongo

semarang, 2012), h. 75. 49Abī al-Qāsim Jār al-Allah Maḥmūd bin ‘Umar al-Zamakhsyarī al-Khawārizmī, Tafsīr al-

Kasyyāf, h. 242. 50Wulandari, “Penafsiran Sayyid Quṭb Tentang Ayat-Ayat Iṣlāḥ (Studi Tafsīr FĪ żiāL Al-

Qurān),” Al-Bayan: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Tafsir, vol.2, no. 1 (Juni 2017): h. 78-83. 51Wulandari, “Penafsiran Sayyid Quṭb Tentang Ayat-Ayat Iṣlāḥ (Studi Tafsīr FĪ żiāL Al-

Qurān),” h. 82. 52 Sayyid Quṭb, Tafsīr FĪ żilāl Al-Qurān di Bawah Naungan Al-Qurān, Jilid 7,

Diterjemahkan oleh As’ad Yasin (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), h. 108.

Page 95: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

78

Selain itu, ditambah lagi penjelasan tentang iṣlāḥ serta ditegaskan bahwa Islam

tidak mengenal batas-batas negara. Kelaliman yang terjadi di suatu negara, maka

umat muslim wajib untuk menghilangkannya. Karena itu di dalam Islam tidak ada

tempat bagi pemikiran yang memandang suci negara atau bangsa, sehingga

menghalalkan perbuatan haram dan membolehkan perbuatan yang mungkar

(tercela)53.

Penelitian selanjutnya yaitu artikel yang membahas tentang ukhuwah islamiyah

yang ditafsirkan oleh Sayyid Quṭb, dalam Q.S. al-Hujurat (49) ayat 13, dijelaskan

ukhuwwah yang dimaksud oleh Quṭb adalah persaudaraan yang tidak

mengorbankan segi akidah karena menurutnya sesungguhnya akidah Islam tidak

bias toleransi sedikitpun prihal syirk (persekutuan) dalam hati. Jadi, hanya ada satu

pilihan yang menjadikan hati itu murni, yakni hanya dengan akidah Islam atau

memilih untuk berlepas diri darinya sama sekali. Namun, bukanlah yang dituntut

agar setiap Muslim memutuskan segala hubungan dengan keluarga, kerabat,

pasangan, anak, harta benda, perhiasan dan kenikmatan. Bukan pula melakukan

rahbānīyah “kependetaan dan mengurung diri dalam biara tidak makan dan beristri

dan lain-lain” bukan pula bersikap zuhd dalam kenikmatan-kenikmatan hidup54.

C. Implikasi Klasifikasi Corak Tafsir

Pembahasan terakhir ini, akan menjelaskan tentang hasil dari dua tabel yang

sudah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya. Yaitu corak tafsir akan

dipengaruhi oleh ayat tersebut atau tidak, dilihat dari tema ayat yang ditafsirkan

oleh mufasir. Untuk mempermudah penjelasan kali ini, maka penulis juga

menggunakan tabel yang dapat dilihat pada berikut ini:

Tabel 4.3.

Klasifikasi Corak Tafsir

Latar Mufasir Ayat Tafsiran

Fikih Al-Qurṭubī Q.S. al-Baqarah

(2) ayat 185

Terkait Fikih

Tasawuf Al-Alūsī Q.S. Āli ‘Imrān

(3) ayat 31

Terkait

Tasawuf

53Wulandari, “Penafsiran Sayyid Quṭb Tentang Ayat-Ayat Iṣlāḥ (Studi Tafsīr FĪ żiāL Al-

Qurān),” h. 83. 54Arsyad Sobby Kusuma, “RE-Interpretasi Pemikiran Ukhuwwah Sayyid Quṭb”, Miqot,

vol. XLII, no. 1 (Januari-Juni 2018): h. 79-104.

Page 96: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

79

Al-adabī al-ijtimā‘ī M. Quraish Shihab Q.S. al-Anfāl

(8) ayat 53

Terkait

kemasyarakatan

Lugawī Al-Zamakhsyarī Q.S. al-Fātihah

(1) ayat 5

Terkait balagah

Ḥarakī Sayyid Quṭb

Q.S. al-Hujurat

(49) ayat 13

Terkait

Pergerakan

(Ḥarakī)

Klasifikasi corak tafsir, dengan ayat-ayat terkait hukum atau bukan hukum,

maka memiliki hasil yang berbeda-beda. Masing-masing mufasir dengan latar

belakang yang berbeda-beda jika dihadapkan dengan ayat hukum, maka hasil

penafsirannya akan terkait dengan hukum, seperti yang ada pada tabel 4.1. Akan

tetapi jika dihadapkan dengan ayat yang memiliki tema sesuai dengan coraknya,

maka corak itu akan memiliki peran dalam penafsirannya, seperti yang terdapat

pada tabel 4.3. Sehingga pada akhir bab ini, ada dua kesimpulan yang dapat penulis

jelaskan yaitu:

1. Relasi Latar Belakang Mufasir dengan Corak Tafsirnya

Melihat pembahasan sebelumnya, penulis berasumsi bahwa tiap-tiap mufasir

itu, memiliki relasi antara latar belakang mufasir dengan corak yang dimilikinya,

yang terdapat di dalam kitab tafsirnya. Seperti pembahasan pada bab sebelumnya

telah dipaparkan hal-hal terkait dengan profil singkat dan latar belakang mufasir,

bahwa corak yang dimilikinya itu sangat berkaitan dengan latar belakang kehidupan

masing-masing mufasir, seperti diambil contoh pada Sayyid Quṭb, seorang mufasir

yang awalnya memiliki corak ijtimā‘ī kemudian berubah menjadi corak ḥarakī,

karena pada saat itu beliau melanjutkan menulis tafsirnya di dalam jeruji besi55.

2. Relasi Corak Tafsir dengan Ayat Hukum

Setelah disajikan penafsiran-penafsiran mufasir Q.S. al-Nisā (4) ayat 34, Q.S.

al-Maidah (5) ayat 38, Q.S. al-Nūr (24) ayat 2, Q.S. Āli ‘Imrān (3) ayat 130, yang

dikategorikan sebagai ayat hukum. Hasil penafsiran tersebut ternyata tidak

dipengaruhi oleh corak tafsir yang dimiliki oleh para mufasir. Bahkan para mufasir,

cenderung mengarahkan tafsirannya ke masalah hukum. Sebut saja al-Alūsī, yang

55Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h.

138.

Page 97: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

80

memiliki corak isyārī, ketika dihadapkan dengan ayat-ayat yang berkaitan dengan

hukum, tetap saja corak yang dimilikinya tidak berpengaruh dalam menafsirkan

ayat hukum.

Corak itu akan berpengaruh pada ayat-ayat seperti yang telah penulis paparkan

diatas. Dan penafsiran-penafsirannya juga sesuai dengan corak dimiliki oleh

mufasir tersebut.

Page 98: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

81

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, maka

jawaban atas rumusan masalah dari skripsi ini adalah:

Bahwa koherensi penafsiran ulama tafsir dengan corak yang beragam atas ayat

hukum, yaitu pada Q.S. al-Nisā (4) ayat 34, Q.S. al-Maidah (5) ayat 38, Q.S. al-Nūr

(24) ayat 2, Q.S. Āli ‘Imrān (3) ayat 130, itu tidak mempengaruhi hasil penafsiran

yang disajikan pada masing-masing penafsirannya. Ketika mufasir dengan ragam

corak yang dimilikinya menafsirkan ayat hukum, maka penafsirannya akan selalu

terkait dengan hukum.

Corak tafsir yang ada pada mufasir itu akan berpengaruh, jika ayat yang

ditafsirkan oleh tiap-tiap mufasir memiliki tema yang sesuai dengan kecendrungan

umuma dari corak mufasir tersebut.

B. Rekomendasi dan Saran

Merujuk pada hasil temuan penelitian di atas, maka ada hal yang bisa menjadi

rekomendasi atau saran untuk peneliti yang akan melakukan kajian terkait dengan

corak tafsir, yaitu apa yang telah penulis kaji masih belum sempurna, dan masih

banyak kekurangan. Seperti penafsiran yang dikaji pada penelitian ini hanya

berfokus Q.S. al-Nisā (4) ayat 34, Q.S. al-Maidah (5) ayat 38, Q.S. al-Nūr (24) ayat

2, Q.S. Āli ‘Imrān (3) ayat 130. Oleh karenanya bagi mereka yang ingin

meneruskan penelitian ini bisa juga melebarkan objek kajian pada ayat-ayat yang

lebih bervarian, dan mufasir-mufasir yang memiliki corak baru pada zaman modern

ini. Disebabkan karena mufasir yang penulis kutip pada penelitian ini adalah

mufasir pada masa klasik, kecuali M. Quraish Shihab. Sehingga penafsiran yang

lebih beragam dari mufasir yang lain, akan menimbulkan hasil yang berbeda juga.

Maka dari itu apakah jika mufasirnya diganti dengan mufasir modern atau

mufasir lain yang memiliki pemikiran dan pembaharuan baru dalam ilmu atau corak

tafsir, mungkin akan menjadi penelitian yang lebih baik dari penelitian ini.

Page 99: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

82

DAFTAR PUSTAKA

Abha, Muhammad Makmun. “Pola Baru Dalam Corak Tafsir Fikih (Telaah

atas Pemikiran Tafsir ‘Abdullah Aḥmad al-Na‘im).” Jurnal

Syahadah, v. 2, no. 1 (April 2014): h. 52-68.

Abidu, Yunus Hasan. Tafsir al-Qur’an, Sejarah Tafsir dan Metode Para

Mufassir. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007.

Abu Sujak. “Metode dan Corak Tafsir al-Qur-anul Karim Karya Mahyuddin

Ibn ‘Arabi.” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel

Surabaya, 1989.

Aditya, Reza Permana. “Zuhud Dalam Tafsīr Rūḥ al-Ma‘anī Karya al-Alūsī.”

Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam

Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2017.

Aḥmad, Abī ‘Abd al-Raḥmāan (Al-Nasāī). Sunan al-Nasāī , Kitab 19, bab 2,

no. 1557. Riyāḍ: Maktabah al-Ma‘ārif, t.t.

AH Sanaky, Hujai. “Metode Tafsir (Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti

Warna atau Corak Mufassirin).” Al-Mawarid Edisi XVII (2008): h.

263-284.

Aljufri, Ali. “Corak Dan Metodelogi Tafsir Indonesia “Wawasan al-Qurān”

Karya Muhammad Quraish Shihab.” Rausyan Fikr, v. 11, no. 1

(Januari-Juni 2015): h. 144-145.

‘Alī Iyāzī, Muḥammad. al-Mufassirūn Ḥayātuhum wa manhajuhum. Teheran:

Muassasah al-Ṭiba’ah Wa al-Nasyr Wizarāt al-Syaqafah Wa al-

Irsyād al-Islamī, 1313 H.

Amal, Taufiq Adnan dan Panggabean, Syamsu Rizal. Tafsir Kontekstual Al-

Qur’an: Sebuah Kerangka Konseptual. Bandung: Mizan, 1989.

Al-Amin, Habibi. “Tafsīr Ṣufi Laṭā‘if al-Isyārāt Karya al-Qusyairī Perspektif

Tasawwuf dan Psikologi.” Ṣuḥuf, v. 9, no. 1 (Juni 2016): h. 59-78.

Aminah, St. Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. Semarang: CV Assyifa’,

1999.

Page 100: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

83

Anissa, Zahra Aini. “Pernikahan Beda Agama Menurut Sayyid Quthub (Telaah

Penafsiran Ayat-ayat Nikah Beda Agama dalam Kitab Tafsir Fī zilāl

al-Qurān.” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin UIN Suan Ampel

Surabaya, 2017.

Anwar, Rosihon. Ilmu Tafsir. Bandung: CV Pustaka Setia, 2015.

Arni, Jani. “Kelemahan-Kelemahan Dalam Manhaj al-Mufassirin.” Jurnal

Ushuluddin vol.XVIII, no. 2 (Juli 2012): h.167.

Al-‘Ard, ‘Alī Ḥasan. Sejarah Dan Metodologi Tafsir. Penerjemah Ahmad

Akram. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994.

Asy’ari. “Studi Tentang Bentuk Corak Dan Metode Tafsir.” Skripsi S1

Fakultas Ushuluddin, Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel

Surabaya, 1999.

Asy-Syurbasi, Ahmad. Sejarah dan Biografi Empat Imam Madzhab. Jakarta: Amzah,

2009.

Azwar, Saifudin. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.

Baidan, Nashruddin. Perkembangan Tafsir al-Qurān di Indonesia. Solo: Tiga

Serangkai, 2003.

Barthes, Roland. Image, Music, Text and Translated by Stephen Heath. New

York: Hill and Wang, 1977.

Campanini, Massimo. The Basic The Qur’an. English: Routledge, 2007.

Cholil, Muhammad. “Relevansi Pemikiran Tafsir Jihad M. Quraish Shihab

Dalam Tafsir Al-Misbah.” Marāji‘: Jurnal Studi Keislaman, vol. 1,

no. 2 (Maret 2015): h. 538-566.

Effendy, Mochtar. Ensiklopedi Agama dan Filsafat, Jilid V. t.k: Universitas

Sriwijaya, 201.

Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy. Membahas Kitab Tafsir Klasik-

Modern. Ciputat : Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah,

2011.

Farhun, Ibn. al-Dībāj al-Mażhab Fī Ma’rifah A’yān ‘Ulamā al-Mażhab.

Beirut: Dār al-Fikr, t.th.

Al-Farmāwī, ‘Abd al-Ḥay. al-Bidāyah fī al-Tafsīr al-Mauḍū‘i: Dirasah

Manhajiyyah Mauḍū‘iyyah. Kairo: Al-Azhar, 1977.

Page 101: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

84

Fattāḥ, Ṣalāḥ ‘Abd. Ta’rīf al-Darisin bi Manāhij al-Mufassirīn. Damaskus: Dār

al-Qalam, 2002.

Ghafur, Saiful Amin. Profil Para Mufassir. Yogyakarta: Pustaka Insan

Madani, 2008.

Ghazali, Abd Moqsith. “Corak Tasawuf al-Gazāli Dan Relevansinya Dalam

Konteks sekarang,” Al-Tahrir, v. 13, no. 1 (Mei 2013): h. 61 – 85.

Girbāl, Muḥammad Syafiq. al-Mausū‘ah al-‘Arabiyyah al-Muyassarah. t.tp.:

Dār al-Sya‘ab, 1965.

Goldziher, Ignaz. Mazhab Tafsir. Penerjemah Alaika Salamullah, Syaifuddin

Zuhri dan Badrus Syamsul Fata. Yogyakarta: eLSAQ press, 2006.

Gusmian, Islah. Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika hingga

Ideologi. Jakarta: Teraju, 2003.

Ḥamīd, Muḥsin ‘Abd. Al-Alūsi Mufassiran. Bagdād: Muṭba‘ah al-Ma‘ārif,

1968.

Halim Mahmud, Mani’ Abdul. Metodologi Tafsir. Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada, T.tb.

Hasan, Abu. “Konsep Cinta Kepada Allah Dalam al-Qurān (Telaah Atas

Pemikiran Al- Alūsī Dalam Kitab Rūḥ al-Ma‘anī).” Skripsi S1

Fakultas Ushuluddin Dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Sunan

Ampel surabaya, 2016.

Ḥasan, ‘Abd al-Ḥākim. Al-mannar fī ‘Ulūm Al-balāgah. kairo: Maktab Al-

jāmi’ah Al-Azhariyah, t.t.

Hayyul. “Studi Atas Penafsiran Surah al-Ikhlāṣ Menurut Sayyid Quṭb Dalam

Kitab Tafsīr Fī ẓilāl al-Qurān.” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan

Filsafat, Universitas Islam Negeri Alaudin Makassar, 2010.

Ḥusain al-Żahabi, Muḥammad. Al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, Juz II. Cairo:

Maktabah Wahbah, 2000.

Ibn Nasīr al-Ṭayyār, Musa‘ad Ibn Sulaimān. Al-Tafsīr al-Lugawī li al-Qurān

al-Karīm. t.tp: Dār Ibn Al-Jauzi, 1900.

Ibrahim, Malik. “Corak dan Pendekatan Tafsir al-Qurān.” Sosio Religia, vol.

9, no. 3 (Mei 2010): h. 641-654.

Page 102: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

85

Idirs. “Tafsīr al-Bayḍāwī (Analisis metode dan corak kitab Anwār al-Tanzīl wa

Asrār al-Ta’wīl.” Al-Tsiqoh: Islamic Economy and Da’wa Journal,

vol. 1, no. 2 (2016): h. 53-73.

Imroni, Muhammad Aris. “Corak Tafsir Ayat Ahkam al-Qurṭubī,” Desertasi

S3 Fakultas Ushuluddin, Pasca Sarjana Universitas Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2008.

Irawan, Dedi. ”Pernikahan Beda Keyakinan Dalam al-Qurān ( Analisi

Penafsiran al-Maraghi atar QS. Al-Baqarah ayat 221 dan al-Maidah

ayat 5).” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, 2011.

Ismā‘īl, Sya’ban Muḥammad. al-Madkhal li Dirasah al-Qurān wa al-Sunnah

wa al-‘Ulum al-Islamiyyah, Juz II. Kairo: Dār al-Anshar, T.tb.

Izzan, Ahmad. Metodologi Ilmu Tafsir. Bandung: Tafakur. 2011.

Jarir al-Tabari, Abū Ja‘far Muhammad. Terjemah Tafsir Ath-Thabari. jilid 6.

Jakarta: Pustaka Azam. 2008.

Jaya Suprana, Kelirumologi genderisme. Jakarta: PT Elex Komputindo, 2014.

Joko P Subagyo, Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Rineka

Cipta, 2004.

Kaltsum, Lilik Ummi dan Abdul Muqsith Ghazali. Tafsir Ahkam. Ciputat : UIN

Pres. 2015.

−−− −−− −−− . “Hak-Hak Perempuan dalam Pernikahan Perspektif Tafsir

Sufistik: Analisis terhadap Penafsiran Al-Alūsi dan ‘Abd al-Qādir

al-Jilāni.” Journal of Qur’ān and Hadīth Studies, Vol. 2, no.2.

(2013): h. 167-188.

Kasmantoni. “Lafadz Kalam dalam Tafsir al-Misbah Quraish Shihab Studi

Analisa Semantik.” Tesis S2 Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam

Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008.

Kementerian Agama RI. Al-Qurān Dan Terjemahannya. Jakarta: PT. Sinergi

Pustaka Indonesia, 2012.

Khomsiatun, Siti. “Nusyūz Dalam Pandangan Zamakhsyarī Dalam Kitab al-

Kassyāf Dan Aminah Wadud Dalam Kitab Al-Qurān And Woman

Page 103: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

86

(Study Komparatif).” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Institut

Agama Islam Negeri Wali Songo Semarang, 2013.

Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushul fiqih, tej. Mohammad Zuhri. Semarang :

Dina Utama, 1994.

Kholid, Abdul. Madzahib al-Tafsir. Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2003.

Khomsiatun, Siti. “Nusyuz Dalam Pandangan Zamakhsyari Dalam Kitab al-

Kassyyaf dan Amina Wadud dalam al-Qur’an And Woman (Study

Komparatif).” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Instritut Agama

Islam Negeri WaliSongo Semarang, 2013.

Khotib, A. Baijuri. “Corak Penafsiran al-Qur’an (Periode Klasik- Modern).”

Jurnal Hikamuna, edisi 1, vol. 1, no. 1 (2016): h. 115.

Al-Khuli, Amin dan Abu Zayd, Nashr Hamid. Metode Tafsir Sastra.

Penterjemah Khairon NahdiyyinYogyakarta: Adabpress, 2004.

Kusuma, Arsyad Sobby. “RE-Interpretasi Pemikiran Ukhuwwah Sayyid

Quṭb.” Miqot, vol. XLII, no. 1 (Januari-Juni 2018): h. 79-104.

Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qurān. Tafsir Ringkas. Jakarta : Lajnah

Pentashihan Mushaf al-Qurān. 2016.

Mahmud, Abdul Halim. Metodologi Tafsir, Kajian Komprehensif Metode Para

Ahli Tafsir. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006.

Maḥmūd, Abī al-Qāsim Jār al-Allah bin ‘Umar al-Zamakhsyarī al-

Khawārizmī. Tafsīr al-Kasyyāf. Beirut: Dār al-Ma’rifah, 2009.

Makmun Abha, Muhammad. “Pola Baru Dalam Tafsir Fikih (Telaah Atas

Pemikiran Tafsir Al-Na’im).” Jurnal Syahdah¸ vol. 2, no. 1 (April

2014): h. 67.

Masrur. “Pemikiran Dan Corak Tasawwuf Hamka Dalam Tafsir al-Azhar.”

Medina-Te, Jurnal Studi Islam, v. 14, no. 1 (Juni 2016): h. 17-24.

Muhaimin, Ahmad. “Konsep Hidayah Dalam al-Qurān (Studi Tafsir Rūh al-

Ma’anī karya al-Alūsī dan Tafsir al-Taḥrīr wa al-Tanwīr karya Ibn

‘Āsyūr.” Tesis S2 Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri

Sunan Ampel Surabaya, 2016.

Page 104: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

87

Muḥammad Ibrāhīm al-Awarī, ‘Abd al-Fataḥ ‘Abd al-Ghāni. Rauḍat al-

Ṭālibīn fî Manāhij al-Mufassirīn, jilid II. Kairo: Maktabah al-Iman,

2015.

Muḥammad bin Aḥmad, Abī Bakr al-Qurṭubī. Al-Jāmi’ li Aḥkāmi al-Qurān.

Beirut: al-Resalah, 2008.

Mulia, Musdah. Kemuliaan Perempuan dalam Islam. Jakarta: Bisma Optima.

2014.

Mūsā, Muḥammad Abū. al-Balāghah al-Qurāniyah fī Tafsīr al-Zamakhsyarī

wa Aṡaruhā fī al-Dirasah al-Balagiyah, cet. II. Kairo: Maktabah

Wahbah, 1988.

Mustaqim, Abdul. Mazahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran al-Qur’an

Periode Klasih hingga Kontemporer. Yogyakarta: Nun Pustaka,

2003.

−− −− −− −− dan Syahiron. Studi Al-Qurān Kontemporer. Yogyakarta: PT.

Tiara Wacana: 2002.

Nafsiah, Jazilatun. “Kepemimpinan ‘Ulamā Dalam Al-Qurān Perspektif

Qurash shihab Dan Sayyid Quṭb.” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin

Dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya,

2015.

Nasuhi, Hamid. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan

Desertasi). Jakarta: CEQDA, 2007.

Nasution, Syamruddin. Pernikahan Beda Agama Dalam al-Qurān: Kajian

Tentang Pro dan Kontra. Riau: Yayasan Pustaka Riau, 2011.

Nicholson, R.A. Fī al-Tasāwwuf al-Islamī wa Tarīkhihi. Kairo: Lajnah al-

Ta’līf wa al-Tarjamah wa al-Nashr, 1969.

Ni’mah. “Tafsir Q.S. Al-Nisā ayat 34 Menurut Tafsir Al-Misbah Dan Tafsir Fī

Ẓilal al-Qurān.” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin IAIN Pekalongan,

2011.

Prestiawan, Budy. “Menikahi Orang Musyrik Prespektif al-Jaṣaṣ dan Al-

Qurṭubī (Analisa Terhadap Surat al-Baqarah: 221 Dalam Tafsir

Aḥkam al-Qurān dan Jāmi’ li Aḥkam al-Qurān).” Skripsi S1

Page 105: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

88

Fakultas Ushuluddin Dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2014.

P Subagyo, Joko. Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek. Jakarta:

Rineka Cipta, 2004.

Al-Qaṭṭān, Mannā’ Khalīl. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an . Penerjemah Mudzakir

AS. Jakarta: Pustaka Litera AntarNusa, 2013.

Quṭb, Sayyid. Tafsīr Fī Ẓilāl al-Qurān, Jilid 1. Beirut: Dār al-Syurūq, t.t.

Qowwim, Ahmad husnul. “Penafsiran Ayat-Ayat Tentang Penciptaan Dan

Kemampuan Jin (Studi Komparatif Penafsiran Zamakhsyarī Dalam

Tafsīr al-Kasyyāf dan Fakhr Al-Rāzi Dalam Tafsir Mafātīḥ Al-

Gaib).” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Institut Agama Islam negeri

Walisongo semarang, 2012.

Rahman, Dudung Abdu. Mengembangkan Etika Berumah Tangga Moralitas

Bangsa Menurut Pandangan al-Qurān. Bandung: Nuansa Aulia.

2006.

Rahmi, Aminah. “Metode dan Corak Penafsiran Imām al- Alūsī terhadap al-

Qurān (Analisa Terhadap Tafsir Rūḥ al-Ma‘anī.” Skripsi S1 Fakultas

Ushuluddin, Universitas Islam Negeri sultan Syarif Kasim Riau,

2013.

Razi, Muhammad. 50 Ilmuwan Muslim Populer. Jakarta: Qultummedia, 2005.

Rouf, Abdul. “Makna al-Magḍūb dan al-Ḍallīn Q.S. al-Fātihah Ayat 7

Penafsiran al-Qurṭubī Dalam Kitab Tafsir al-Jāmi‘ li aḥkām al-

Qurān.” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Sekolah Tinggi Agama

Islam Negeri Kudus, 2017.

Rosyidah, Miftachur. “Tafsir Falsafi: Sebuah Telaah Perbandingan.” Tribakti,

v. 14, no.1 (Januari 2005): h. 1-11.

Ruslan. “Studi Atas Penafsiran al-Qurthubi Terhadap Ayat-Ayat Tentang

Nikah Beda Agama Dalam Kitab al-Jami’ Li Ahkam al-Qurān,”

Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, 2009.

Sa’adah, Layliati. “Tafsir Ṣūfī Falsafī Ibn ‘Arabi Tentang Perempuan Dalam

al-Qurān.” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam

Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008.

Page 106: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

89

Saeed, Abdullah. The Qur’an an Introduction. London and New York:

Routledge, 2008.

Sa’fān, Kāmil. Amīn al-Khūlī. Kairo: al-Hay’ah al-Misriyah al-Āmma Li al-

Kitāb, 1982.

Saifuddin. “Revolusi Mental Prespektif al-Qurān: Studi Penafsiran Quraish

Shihab.” Maghza, vol. 1, no. 2 (Juli-Desember 2016): h. 62.

Ṣāliḥ, Subḥ. Membahas Ilmu-Ilmu al-Qurān, Terj. Tim Pustaka Firdaus.

Jakarta: Pustaka Firdaus. 1996.

Setianingsih, Yeni. “Melacak Pemikiran al-Alūsī dalam Tafsir Rūh al-Ma‘ānī.”

Kontemplasi, Vol. 5, no. 1 (Agustus 2017): h. 236-257.

Shihab, Alwi. Islam Inklusif: Menuju Terbuka dalam Beragama (Bandung:

Mizan, 1999.

Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qurān.

Jakarta: Lentera Hati, 2012.

−−− −−− −−−. Membumikan al-Qur’an, cet. Ke-3. Bandung: Mizan, 1993.

Shihāb al-Dīn, Abī al-Faḍl al-Sayid Maḥmūd al-Alūsī. Rūḥ al-Ma‘ānī, Juz 5.

Beirut: Idārah al-ṭibā‘ah, T.tb.

Siswanto, Heri. “Konsep Penerimaan Amal Dalam al-Qurān Karya

Muḥammad Bin Aḥmad Bin Abī Bakr Bin Farḥ al-Qurṭubī Tafsīr al-

Jami’ Li Ahkam al-Qurān Wa al-Mubayyin Limā Tahammanahu

Min al-Sunnah Wa ayyi al-Furqān.” Tesis S2 Fakultas Ushuluddin,

Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya,

2016.

Sofyan. “Corak Fikih Literalistik-Tekstualistik.” Jurnal Al- Ulum, v. 10, no. 2

(Desember 2010): h. 291-308.

Subiyanto, M. Joko. “Pernikahan Lintas Agama (Studi Atas Pemikiran Hukum

Wahbah Zuḥaili Tentang Perempuan Ahl al-Kitāb).” Skripsi S1

Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga

Yogyakarta, 2012.

Sufyan, Abu. “Deradikalisasi Penafsiran Mufassir Manhaj Ḥarakī Terhadap

Ayat-ayat Qitāl (Analisis Penafsiran Sayyid Quṭb dengan Teori

Naskh Maḥmūd Muḥammad Ṭaha).” Skripsi S1 Fakultas

Page 107: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

90

Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Surabaya, 2018.

Surakhmad, Winarno. Pengantar Penelitian Ilmiah; Dasar, Metode, Teknik.

Cet. Ke-7. Bandung: Tarsito, 1982.

Suryadilaga, M. Alfatih. dkk. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta: TERAS,

2005.

Syafieh. “Perkembangan Tafsir Falsafi Dalam Ranah Pemikiran Islam.”

Jurnal At-Tibyan, v. 2, no. 2 (Juli-Desember 2017): h. 4.

Syaughi al-Ghadri. Nusyuz. Jakarta : Gema Insani. 2006.

Al-Syaybi, Kāmill Muṣṭafā. Al-ṣilah bayn al-Taṣawwuf wa al-Tashayyu’ .

Mesir: Dār al-Ma’ārif, t.t.

Syukur, Abdul. “Mengenal Corak Tafsir al-Qurān”, Elfurqonia, v.1, no.1

(Agustus 2015): h. 84-104.

Tanjung, Abdurahamn Rusli. “Ananlisis Terhadap Corak Tafsir al-adabī al-

ijtimā‘ī,” Analytica Islamica, vol. 3, no. 1 (2014): h. 162-177.

Wahidah dan Najib, Muhammad. “Corak Penulisan Tafsir di Malaysia Abad

Ke-21 (2001-2015).” Jurnal al-Turath. vol. 2, no. 1 (2017): 27-36.

Wartini, Atik. “Corak Penafsiran M.Quraish Shihab Dalam Kitab al-Misbah.”

Hunafa: Jurnal Studi Islamika. vol. 11, no. 1 (Juni 2014): h. 109-

126.

Wulandari. “Penafsiran Sayyid Quṭb Tentang Ayat-Ayat Iṣlāḥ (Studi Tafsīr FĪ

żiāL Al-Qurān).” Al-Bayan: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Tafsir,

vol.2, no. 1 (Juni 2017): h. 78-83.

Al-Żahabī, Muhammad Ḥusain. al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, jilid 1. al-Qāhirah:

Maktabah Wahbah, 1978.

Zalaṭ, al-Qashabi Maḥmūd. al-Qurṭubī Wa Manḥājuhum fī Tafsīr. Kuwait: Dār

al-Qalam, 1981.

Zed, Mestika. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia, 2008.

Al-Zuhaili, Wahbah. Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari’ah wa al-

Manhaj. Damaskus: Dar al-Fikr, 2009.

Page 108: PENGARUH CORAK PADA PENAFSIRAN (STUDI KASUS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42866/1/FITRAH... · Teman-teman KKN ANTHOPHILA 141 yang pernah memberikan pengalaman

91

Zuhdi, M. Nurdin. Pasaraya Tafsir Indonesia dari Kontestasi Metodologi

hingga Kontekstualisasi. Yogyakarta: Kaukaba, 2014.