penerapan good manufacturing practice dan improvement...

6
1 Abstrak - Mutu dan keamanan pangan pada produk UKM telah mendapat perhatian yang cukup luas baik pemerintah, industri, pedagang maupun seluruh komponen masyarakat sebagai konsumen. Termasuk salah satunya adalah tempe, salah satu jenis pangan penting dalam penyediaan sumber protein nabati masyarakat Indonesia. Namun, tempe merupakan bahan pangan yang mudah rusak. Daya tahannya 2-3 hari, lebih dari itu tempe akan rusak atau tidak layak dikonsumsi. Industri tempe di Indonesia sebagian besar masih merupakan industri rumah tangga atau UKM yang dikerjakan secara tradisional. Setiap industri rumah tangga yang menghasilkan olahan pangan wajib memiliki SPP-IRT. SPP-IRT diperlukan oleh pelaku UKM agar dapat memperluas pasar penjualan. Untuk mendapatkan SPP- IRT terdapat beberapa aspek yang dinilai, antara lain lokasi dan lingkungan produksi, bangunan, fasilitas, peralatan, sanitasi, karyawan yang bekerja sesuai dengan peraturan GMP yang diatur oleh BPOM. Penelitian ini diselesaikan menggunakan penilaian daftar periksa GMP-WISE untuk melakukan evaluasi sistem kerja keseluruhan. Hasil dari penilaian daftar periksa diolah dengan bantuan kuesioner AHP oleh beberapa expert judgment. Hasil penilaian menunjukan kriteria pelaksanaan program hiegine dan sanitasi di UKM merupakan prioritas perbaikan sistem kerja. Beberapa usulan rekomendasi untuk perbaikan sistem kerja adalah rancangan sistem kerja SSOP, GMP, dan WISE serta perancangan tata letak yang baru yang disesuaikan dengan standar keamanan dan kebersihan pangan. Rekomendasi perbaikan yang diusulkan akan diberikan dalam bentuk buku panduan perbaikan sistem kerja agar dapat diterapkan oleh pihak UKM lainnya. Rekomendasi diharapkan mampu meningkatan produktivitas pada proses produksi serta kondisi kerja yang lebih aman, sehat, dan nyaman. Kata Kunci : Usaha Kecil dan Menengah, Good Manufacturing Practices, Work Improvement In Small Enterprise, SPP-IRT. I. PENDAHULUAN EMPE sebagai salah satu jenis pangan memiliki arti penting dalam penyediaan sumber protein nabati masyarakat Indonesia. Namun, tempe merupakan bahan pangan yang mudah rusak. Daya tahannya 2-3 hari, lebih dari itu tempe akan rusak atau tidak layak dikonsumsi. Adanya jaminan keamanan dalam produk pangan dapat menjadi salah satu faktor yang meningkatkan preferensi masyarakat. Industri tempe di Indonesia sebagian besar masih merupakan industri rumah tangga atau Usaha Kecil dan Menengah (UKM) yang dikerjakan secara tradisional. Mutu produk yang dihasilkan dapat dijaga jika produsen mempunyai suatu sistem yang dapat menjaga agar produk tersebut memenuhi standar yang telah ditetapkan, sesuai dengan Pasal 43 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan mengamanatkan bahwa pangan olahan yang diproduksi oleh industri rumah tangga wajib memiliki Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (SPP-IRT) yang diterbitkan oleh Bupati/Walikota dan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) menetapkan pedoman pemberian SPP-IRT (BPOM, 2012). SPP-IRT diperlukan oleh pelaku UKM agar dapat memperluas pasar penjualan. Supermarket, minimarket ataupun toko-toko besar lainnya mensyaratkan sertifikasi industri rumah tangga pangan bagi produk-produk makanan kemasan untuk dapat memasarkan produknya. Untuk mendapatkan SPP-IRT terdapat beberapa aspek yang dinilai, antara lain lokasi dan lingkungan produksi, bangunan, fasilitas, peralatan, sanitasi, karyawan yang bekerja sesuai dengan peraturan Cara Produksi Pangan yang Baik untuk industri rumah tangga (CPBB-IRT) yang diatur oleh BPOM. Salah satu usaha kecil dan menengah yang sedang berkembang adalah UKM Tempe Mejoyo di daerah Tenggilis, Surabaya milik Bapak Nur Hasan. Akan tetapi pengelola UKM tempe Tenggilis tersebut kurang memperhatikan kebersihan lingkungan kerja saat melakukan proses produksi. Terlihat dari hasil pengamatan yang dilakukan, terdapat faktor yang mempengaruhi kebersihan dari produk tempe. Beberapa faktor tersebut adalah tata letak proses produksi, kebersihan lokasi, sarana-prasarana, sanitasi dsb. Kebersihan yang belum memadai dengan tidak ada fasilitas sanitasi serta baju produksi seperti alas kaki, masker, dan sarung tangan untuk pekerja saat memproduksi Dari kondisi tersebut UKM Tempe Tenggilis Mejoyo memerlukan penilaian serta pembinaan keamanan pangan sesuai dengan standar Good Manufacturing Practices atau biasa disebut Cara Pembuatan Makanan yang Baik (CPMB) di Indonesia. GMP dilaksanakan agar produk yang dihasilkan dapat memiliki nomor Pangan Industri Rumah Tangga (P-IRT) yang bermanfaat untuk perluasan pemasaran produk dan dapat diterima masyarakat. Good Manufacturing Practices (GMP) merupakan salah satu indikator bahwa sanitasi dalam operasional produksi telah dilakukan dengan baik. Persyaratan GMP sama dengan CPPB-IRT yang dikeluarkan BPOM Indonesia. Dalam perbaikan sistem kerja secara menyeluruh dapat dievaluasi pula melalui daftar periksa Work Penerapan Good Manufacturing Practice dan Work Improvement In Small Enterprise pada Usaha Kecil dan Menengah Untuk Pemenuhan Standar Kesehatan (Studi Kasus : UKM Tempe Tenggilis Mejoyo Surabaya) Diah Rachmi Damarasri, Sri Gunani Partiwi, dan Janti Gunawan Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111 Indonesia e-mail: [email protected] T

Upload: doanphuc

Post on 06-Feb-2018

218 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

1

Abstrak - Mutu dan keamanan pangan pada produk UKM telah

mendapat perhatian yang cukup luas baik pemerintah, industri,

pedagang maupun seluruh komponen masyarakat sebagai

konsumen. Termasuk salah satunya adalah tempe, salah satu jenis

pangan penting dalam penyediaan sumber protein nabati

masyarakat Indonesia. Namun, tempe merupakan bahan pangan

yang mudah rusak. Daya tahannya 2-3 hari, lebih dari itu tempe

akan rusak atau tidak layak dikonsumsi. Industri tempe di

Indonesia sebagian besar masih merupakan industri rumah

tangga atau UKM yang dikerjakan secara tradisional. Setiap

industri rumah tangga yang menghasilkan olahan pangan wajib

memiliki SPP-IRT. SPP-IRT diperlukan oleh pelaku UKM agar

dapat memperluas pasar penjualan. Untuk mendapatkan SPP-

IRT terdapat beberapa aspek yang dinilai, antara lain lokasi dan

lingkungan produksi, bangunan, fasilitas, peralatan, sanitasi,

karyawan yang bekerja sesuai dengan peraturan GMP yang

diatur oleh BPOM.

Penelitian ini diselesaikan menggunakan penilaian daftar

periksa GMP-WISE untuk melakukan evaluasi sistem kerja

keseluruhan. Hasil dari penilaian daftar periksa diolah dengan

bantuan kuesioner AHP oleh beberapa expert judgment. Hasil

penilaian menunjukan kriteria pelaksanaan program hiegine dan

sanitasi di UKM merupakan prioritas perbaikan sistem kerja.

Beberapa usulan rekomendasi untuk perbaikan sistem kerja

adalah rancangan sistem kerja SSOP, GMP, dan WISE serta

perancangan tata letak yang baru yang disesuaikan dengan

standar keamanan dan kebersihan pangan.

Rekomendasi perbaikan yang diusulkan akan diberikan dalam

bentuk buku panduan perbaikan sistem kerja agar dapat

diterapkan oleh pihak UKM lainnya. Rekomendasi diharapkan

mampu meningkatan produktivitas pada proses produksi serta

kondisi kerja yang lebih aman, sehat, dan nyaman.

Kata Kunci : Usaha Kecil dan Menengah, Good Manufacturing

Practices, Work Improvement In Small Enterprise, SPP-IRT.

I. PENDAHULUAN

EMPE sebagai salah satu jenis pangan memiliki arti

penting dalam penyediaan sumber protein nabati

masyarakat Indonesia. Namun, tempe merupakan bahan

pangan yang mudah rusak. Daya tahannya 2-3 hari, lebih dari

itu tempe akan rusak atau tidak layak dikonsumsi. Adanya

jaminan keamanan dalam produk pangan dapat menjadi salah

satu faktor yang meningkatkan preferensi masyarakat.

Industri tempe di Indonesia sebagian besar masih

merupakan industri rumah tangga atau Usaha Kecil dan

Menengah (UKM) yang dikerjakan secara tradisional. Mutu

produk yang dihasilkan dapat dijaga jika produsen mempunyai

suatu sistem yang dapat menjaga agar produk tersebut

memenuhi standar yang telah ditetapkan, sesuai dengan Pasal

43 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 Tentang

Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan mengamanatkan bahwa

pangan olahan yang diproduksi oleh industri rumah tangga

wajib memiliki Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah

Tangga (SPP-IRT) yang diterbitkan oleh Bupati/Walikota dan

Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM)

menetapkan pedoman pemberian SPP-IRT (BPOM, 2012).

SPP-IRT diperlukan oleh pelaku UKM agar dapat

memperluas pasar penjualan. Supermarket, minimarket ataupun toko-toko besar lainnya mensyaratkan sertifikasi

industri rumah tangga pangan bagi produk-produk makanan

kemasan untuk dapat memasarkan produknya. Untuk

mendapatkan SPP-IRT terdapat beberapa aspek yang dinilai,

antara lain lokasi dan lingkungan produksi, bangunan, fasilitas,

peralatan, sanitasi, karyawan yang bekerja sesuai dengan

peraturan Cara Produksi Pangan yang Baik untuk industri

rumah tangga (CPBB-IRT) yang diatur oleh BPOM.

Salah satu usaha kecil dan menengah yang sedang

berkembang adalah UKM Tempe Mejoyo di daerah Tenggilis,

Surabaya milik Bapak Nur Hasan. Akan tetapi pengelola UKM

tempe Tenggilis tersebut kurang memperhatikan kebersihan

lingkungan kerja saat melakukan proses produksi. Terlihat dari

hasil pengamatan yang dilakukan, terdapat faktor yang

mempengaruhi kebersihan dari produk tempe. Beberapa faktor

tersebut adalah tata letak proses produksi, kebersihan lokasi,

sarana-prasarana, sanitasi dsb. Kebersihan yang belum

memadai dengan tidak ada fasilitas sanitasi serta baju produksi

seperti alas kaki, masker, dan sarung tangan untuk pekerja saat

memproduksi

Dari kondisi tersebut UKM Tempe Tenggilis Mejoyo

memerlukan penilaian serta pembinaan keamanan pangan

sesuai dengan standar Good Manufacturing Practices atau

biasa disebut Cara Pembuatan Makanan yang Baik (CPMB) di

Indonesia. GMP dilaksanakan agar produk yang dihasilkan

dapat memiliki nomor Pangan Industri Rumah Tangga (P-IRT)

yang bermanfaat untuk perluasan pemasaran produk dan dapat

diterima masyarakat. Good Manufacturing Practices (GMP)

merupakan salah satu indikator bahwa sanitasi dalam

operasional produksi telah dilakukan dengan baik. Persyaratan

GMP sama dengan CPPB-IRT yang dikeluarkan BPOM

Indonesia. Dalam perbaikan sistem kerja secara menyeluruh

dapat dievaluasi pula melalui daftar periksa Work

Penerapan Good Manufacturing Practice dan Work

Improvement In Small Enterprise pada Usaha Kecil dan

Menengah Untuk Pemenuhan Standar Kesehatan

(Studi Kasus : UKM Tempe Tenggilis Mejoyo Surabaya) Diah Rachmi Damarasri, Sri Gunani Partiwi, dan Janti Gunawan

Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS)

Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111 Indonesia

e-mail: [email protected]

T

2

Improvement in Small Enterprise (WISE) yang dikeluarkan

oleh International Labor Organization (ILO) yang memiliki

tujuan untuk memberikan perbaikan di UKM (ILO, 2004).

Kedua aspek tersebut yaitu GMP dan WISE

diaplikasikan untuk mendapatkan rekomendasi perbaikan

UKM tempe di daerah Tenggilis, Surabaya agar mendapatkan

peningkatan produktivitas pada proses produksi serta kondisi

kerja yang lebih aman, sehat, dan nyaman.

II. URAIAN PENELITIAN

Penelitian ini diawali dengan tahap persiapan yang

meliputi identifikasi permasalahan berdasarkan kondisi

eksisting yang terjadi pada objek penelitian yaitu pada sistem

kerja UKM Tempe Tenggilis. Selain itu dilakukan pula studi

literatur dan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini.

Setelah itu akan dilanjutkan dengan tahap pengumpulan dan

pengolahan data. Tahap pengolahan data ini akan

menggunakan beberapa metode. Dalam mengevaluasi sistem

kerja eksisting dibentuk daftar periksa GMP-WISE.

Selanjutnya diolah dengan bantuan kuesioner Analytic Hierarchy Process. Kemudian dilakukan pula identifikasi

kriteria yang paling berpengaruh dengan bantuan Pareto Chart dan identifikasi penyebab dengan Root Causes Analysis. Langkah terakhir adalah merancang rekomendasi sistem kerja

yang baru untuk perbaikan kerja UKM dalam memenuhi

standar mendapatkan SPP-IRT.

A. Tahap Penyusunan Daftar Periksa GMP-WISE Pemenuhan kriteria SPP-IRT dapat ditinjau dengan daftar

periksa GMP yang telah dikeluarkan BPOM. Dalam

pemenuhan kriteria tersebut dibutuhkan kondisi atau sistem

kerja UKM yang sehat dan aman. Perancangan sistem kerja

UKM yang baik dapat ditinjau dari daftar periksa WISE milik

ILO. Maka dari itu untuk memperbaiki sistem kerja UKM dan

pemenuhan SPP-IRT diusulkan daftar periksa GMP-WISE.

Dari daftar periksa GMP-WISE didapatkan prioritas kriteria

dan nilai kondisi eksisting di UKM.

B. Tahap Pembobotan Kriteria Penilaian Penilaian kondisi kerja UKM dari daftar periksa UKM

diolah dengan bantuan kuesioner Analytic Hierarchy Process dengan software Expert Choice. Berdasarkan hasil kuisioner

AHP dan pengolahan dari daftar periksa ini nantinya akan

didapatkan urutan kriteria yang harus diperbaiki terlebih

dahulu.

C. Tahap Perancangan Fasilitas Perencanaan fasilitas juga merupakan salah satu usulan

perbaikan perancangan sistem kerja eksisting. Dalam

perencanaan fasilitas produksi, terdapat dua hal pokok yaitu

perencanaan lokasi pabrik dan perancangan fasilitas produksi.

Perancangan tata letak mengenai fasilitas produksi dibagi

menjadi beberapa pendekatan. Salah satu pendekatan yang

digunakan adalah pendekatan prosedural yang disebut juga

SLP atau Systematic Layout Planning yang di dalamnya

terdapat beberapa metode, yaitu Activity Relationship Chart)

dan Activity Relationship Diagram (ARD).

D. Tahap Penyusunan Experiental Booklet Modules (SEMs) Modul panduan berisi petunjuk pengolahan UKM yang baik

dan benar sesuai standar GMP dengan mengkombinasikan

panduan WISE dalam penerapannya. Diharapkan modul

panduan dapat membantu mejaga produktivitas, keamanan,

dan higenitas produksi tempe di UKM Tempe Tenggilis.

Strategic experiential Modules (SEMs) yaitu buku panduan

yang dapat digunakan oleh pemasar untuk menciptakan jenis-

jenis pengalaman yang berbeda bagi konsumen.

III. HASIL DAN DISKUSI

Hasil yang diperoleh dari penelitian menunjukkan beberapa

hasil penilaian dan analisis yang meliputi daftar periksa GMP-

WISE, penyusunan sistem hierarki untuk menentukan kriteria

utama, penyusunan perancangan fasilitas dan buku modul.

Hasil penelitian dapat diuraikan sebagai berikut :

Penilaian Daftar Periksa GMP-WISE

Berdasarkan penyusunan dan penilaian terhadap daftar

periksa GMP-WISE, didapatkan hasil sebagai berikut :

Tabel 3.1 Penilaian Keputusan Prioritas Pada UKM Tenggilis

Mejoyo

Langkah selanjutnya adalah melakukan penilaian kondisi

eksisting terhadap sub aspek yang diteliti dan dianalisis,

penilaian terhadap sub aspek tersebut, adalah untuk sub aspek

yang dinilai menjadi prioritas dalam perbaikan, sedangkan sub

aspek yang bukan menjadi prioritas dieliminasi. Penilaian

dilakukan berdasarkan pengamatan langsung di lapangan dan

melalui proses validasi dengan Pembina UKM, dari hasil

penilaian kondisi eksisting didapatkan data sebagai berikut :

3

Tabel 3.2 Penilaian Kondisi Kerja UKM Tenggilis Mejoyo

Usulan perbaikan sistem kerja UKM dapat dirangkum pada

Tabel 3.3 berikut ini. Rekomendasi metode berdasarkan

pertanyaan, parameter dan tujuan tiap sub kriteria yang ada di

daftar periksa GMP-WISE.

Tabel 3.3 Pengkelompokan Metode dari Daftar Periksa WISE dan

GMP

Pengolahan Data Hasil Daftar Periksa GMP-WISE

Dalam penentuan sub aspek mana yang menjadi prioritas

dalam perbaikan UKM, skor penilaian tidak serta merta dapat

digunakan untuk pengambilan keputusan, karena harus

dipastikan apakah sub aspek tersebut memiliki bobot atau

pengaruh kontribusi yang signifikan atau tidak terhadap

standardisasi perbaikan untuk UKM. Dalam pengolahan nilai

untuk mengetahui tingkat pengaruh sub aspek terhadap

keseluruhan pencapaian perbaikan UKM, dilakukan dengan

pendekatan Analytical Hierarchy Process (AHP)

Tabel 3.4 Contoh Penilaian Antar Kriteria Utama di UKM Tenggilis

Mejoyo

Penilaian antar sub kriteria dalam satu kriteria juga

dilakukan untuk mendapatkan bobot global antar sub kriteria

terhadap keseluruhan tujuan perbaikan.

Gambar 3.1 Contoh Penilaian Bobot Local dan Global pada

Software Expert Choice

Metode ini mensintesis perbandingan „judgement‟

pengambil keputusan yang berpasangan pada setiap level. Untuk mendapatkan nilai prioritas tersebut dibutuhkan

pandangan pihak-pihak yang kepentingan terhadap keputusan

tersebut baik secara langsung (diskusi wawancara) maupun

tidak langsung (kuisoner). Berikut merupakan rekap bobot

global untuk masing-masing kriteria dan tiap penilaian dari

lima pakar (expert) dalam sistem perbaikan kerja UKM

Tenggilis Mejoyo:

Tabel 3.4 Bobot Global Tiap Kriteria

No Aspek Penilaian Usulan Metode Perbaikan Nomer Pertanyaan WISE Nomer Pertanyaan GMP

1. Perancangan Sistem Pemindahan Material 1,2,4,5,6

2. Manual Material Handling 3,4,5,6,7,8

1. Perancangan Tata Letak Fasilitas Produksi 17,19,20 26

2. Ergonomi - Anthropometry 15,16,21,22

3. Kesehatan dan Keselamatan Kerja 18,21 2,3,23,24

1. Kesehatan dan Keselamatan Kerja 9,10,11,12,14 5

2. Sistem Manufaktur 11,13 6,7,29

4 Zat berbahaya Kesehatan dan Keselamatan Kerja 28,29,30,31,32,33 19

5 Cahaya Ergonomi - Kondisi Lingkungan Kerja 23,24,25,26,27,28

1. Kesehatan dan Keselamatan Kerja 39,40,41,42 11,12,13

2. Ergonomi - Kondisi Lingkungan Kerja 40,41

3. Manajemen Organisasi dan Sumber Daya Manusia 39,41

1. Kesehatan dan Keselamatan Kerja 35,37,38 22

2. Perancangan Tata Letak Fasilitas Produksi 34,35

3. Lokasi Fasilitas pada Perancangan Fasilitas dan

Kluster Industri1,9

4. Ergonomi - Kondisi Lingkungan Kerja 34,36 4,8

1. Manajemen Organisasi dan Sumber Daya Manusia 43,44 17,18,32,33

2. Kesehatan dan Keselamatan Kerja 45 14,15,16,34,37

Tempat Kerja

Organisasi pekerjaan

1Penyimpanan dan

Penanganan Material

 Desain Tempat Kerja

Keamanan Mesin

Fasilitas Kesejahteraan

8

7

6

3

2

9 7 5 3 1 3 5 7 9

1 Penyimpanan & Penanganan Material v Mesin dan Proses Produksi

2 Penyimpanan & Penanganan Material v Desain Tempat Kerja

3 Penyimpanan & Penanganan Material v Pencahayaan

4 Penyimpanan & Penanganan Material v Sanitasi dan Zat Berbahaya

5 Penyimpanan & Penanganan Material v Fasilitas Kesejahteraan

6 Penyimpanan & Penanganan Material v Lingkungan Kerja

7 Penyimpanan & Penanganan Material v Karyawan dan Organisasi Pekerjaan

8 Mesin dan Proses Produksi v Desain Tempat Kerja

9 Mesin dan Proses Produksi v Pencahayaan

10 Mesin dan Proses Produksi v Sanitasi dan Zat Berbahaya

11 Mesin dan Proses Produksi v Fasilitas Kesejahteraan

12 Mesin dan Proses Produksi v Lingkungan Kerja

13 Mesin dan Proses Produksi v Karyawan dan Organisasi Pekerjaan

No Kriteria ASkala Penilaian Aspek Utama

Kriteria B

4

Rekapan hasil penilaian sub kriteria menunjukan sub kriteria

permasalahan yang paling sering terjadi pada sistem kerja

UKM Tempe Tenggilis Mejoyo.

Tabel 3.5 Sub Kriteria yang Paling Sering Terjadi pada Sistem Kerja

UKM

Tahap berikutnya adalah mengidentifikasi sub kriteria apa

yang paling berpengaruh dari enam belas sub kriteria yang ada.

Cara identifikasi dengan membuat diagram pareto. Diagram

pareto bertujuan untuk mendapatkan hasil maksimal atau dapat

memilih masalah-masalah utama dari sebuah permasalahan.

Diagram pareto dibuat berdasarkan data statistik dan prinsip

bahwa 20% penyebab bertanggung jawab terhadap 80%

masalah yang muncul atau sebaliknya.

A B C D E F G H I J K L M N O P

Nilai Sub Kriteria 0.5 0.4 0.4 0.3 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1

% Kumulatif 16. 27. 38. 46. 52. 59. 65. 70. 74. 79. 84. 88. 92. 95. 97. 100

0.0%

10.0%

20.0%

30.0%

40.0%

50.0%

60.0%

70.0%

80.0%

90.0%

100.0%

-0.3

0.2

0.7

1.2

1.7

2.2

2.7

3.2

Per

sen

Nil

ai

Pareto Chart Sub Kriteria Permasalahan

Gambar 3.2 Diagram Pareto Kriteria Perbaikan Sistem Kerja Secara

Keseluruhan

Perancangan Fasilitas

Perancangan sistem kerja merupakan salah satu output pada

penelitian ini yang akan dimasukan pada buku panduan.

Beberapa rancangan sistem kerja ini terdiri dari langkah

operasi kerja yang sesuai dengan sanitation standard operating procedures, good manufacturing practices, work improvement in small enterprise, dan perancangan tata letak

fasilitas produksi sesuai dengan rekomendasi perbaikan.

Tabel 3.6 Kebutuhan dan Kondisi Fasilitas Ruang UKM Tempe

Tenggilis

Tabel 3.7 Perhitungan Kebutuhan Luas Layout Perbaikan

Sesuai dengan model GMP yaitu menyesuaikan urutan

proses kerja berikutnya atau mendekatkan ruang kerja yang

memiliki kesamaan fasilitas yang dibutuhkan.

1. Warehouse Bahan

Baku

5. Tempat Pencucian

Peralatan

4. Ruang Office

3. Kamar Mandi

2. Warehouse Produk

Jadi

9. Tempat

Pengupasan Biji

Kedelai

8. Tempat Perebusan

Kedelai

7. Tempat Pencucian

Kedelai

6. Tempat Penakaran dan

Pemisahan Kotoran

Kedelai

10. Tempat

Perendaman Kedelai

11. Tempat Penirisan

Kedelai

12. Tempat Pencampuran

Ragi dan Pembungkusan

Kedelai

13. Mushola

O

1X

9U

X

9 I

6

U

U

U

U

U

U

U

9

X

9 I

1X

9X

9X

9X

9X

9

UX

9E

2,3,6

U

O

X

9U

U

U

U

U

U

U

E

4

U

U

U

U

U

U

U

U

I

4

X

9X

9

UX

9

UX

9X

9

U

A

2,4,6A

2,4,6

U

U

U

X

9

X

A

2,4,6E

6E

6,7E

7X

9

U

U

U

U

U

U

U

A

2,4,6

A

2,4,6

A

2,4,6

A

2,4,6

U

U

I

8I

8

U

Gambar 3.3 Diagram ARC UKM Tempe Tennggilis Surabaya

5

Setelah ditentukan ARC yang berupa chart, lalu dilakukan ke

dalam diagram ARD. Diagram ARD ini menggambarkan

hubungan kedekatan antara fasilitas, mesin. Penentuan simbol

garis dan warna antara fasilitas satu dengan yang lain adalah

didapakan sesuai dengan penentuan kedekatan pada ARC.

12

3

4

6

7

9

10

11

12

13

5

8

Gambar 3.4 ARD (Activity Relationship Diagram)

Dari hasil ARD yang berupa diagram garis yang

menghubungkan fasilitas atau ruang satu dengan ruang yang

lain, maka selanjutnya adalah dengan mengubahnya pada

diagram ruang. Pada diagram ruang atau SRD ini ditentukan

posisi layout untuk tiap fasilitas, mesin, dan ruangan yang

dibuat berdasarkan output dari ARD.

Warehouse

Bahan Baku

Warehouse Produk Jadi Kantor OfficeMushola

Kamar

Mandi

Tempat

Pencucian

Peralatan

Tempat

Penakaran dan

pemisahan

kotoran

Tempat Pencucian

Kedelai

Tem

pa

t Pereb

usa

n

Tempat

Pengupasan Biji

Kedelai

Tem

pa

t

Per

end

am

an

Ked

ela

i

Tempat Penirisan

Kedelai

Tempat

Pencampuran

Ragi dan

Pembungkusan

1

2

3 4 5

6

7

8

9

10

Aliran Bahan Baku

Masuk

Aliran Produk Jadi

Keluar

Wilayah Basah

Gambar 3.5 Visualisasi SRD UKM

Dari hasil ARC, ARD, dan SRD yang telah didapatkan

sebelumnya, makan didapatkan gambaran kedekatan antar

ruang sesuai dengan prinsip GMP-WISE. Selanjutnya

dirancang layout perbaikan dengan menyesuaiakan hasil

kedekatan antar ruang dengan perhitungan jumlah kebutuhan

luas. Dalam rekomendasi tata letak UKM perbaikan ini

mengasumsikan lokasi baru yang strategis serta memenuhi

standar dari GMP-WISE dengan luas yang sama dengan lokasi

eksisting.

Gambar 3.6 Layout Perbaikan 2D UKM Tempe Tenggilis

Penyusunan Buku Panduan

Gambar 3.7 Cover Buku Panduan Perancangan Sistem Kerja pada

UKM Tempe untuk Pemenuhan Standar Kesehatan

Pada tahap ini dilakukan penyusunan buku panduan sesuai

dengan hasil pengolahan data pada bab sebelumnya di UKM

Tenggilis Mejoyo Surabaya. Buku panduan digunakan untuk

memberikan arahan kepada pemilik usaha dalam merancangan

sistem kerja produksi yang lebih baik. Buku panduan menjadi

tuntunan hal apa saja yang harus dilakukan, dihindari, dan

diperbaiki. Beberapa aspek yang penting dalam sistem kerja

adalah karyawan, peralatan, bahan baku, program kebersihan,

kehandalan mesin, lingkungan kerja, dan masih banyak lagi.

Pada buku panduan terdapat contoh yang dapat ditiru baik

dalam bentuk tulisan atau gambar visualisasi agar

mempermudah pembaca. Dengan adanya tips dan arahan di

buku diharapkan memberikan motivasi untuk melakukan

perbaikan sistem kerja di UKM.

IV. KESIMPULAN/RINGKASAN

Kesimpulan dan ringkasan berdasarkan hasil penelitian yang

sudah disampaikan adalah sebagai berikut :

1) Berdasarkan evaluasi penilaian daftar periksa GMP-WISE

terdapat enam belas aspek yang menjadi prioritas

perbaikan sistem kerja UKM Tempe Tenggilis. Lima

aspek utama permasalahan yang diperbaiki diantaranya

adalah ketersediaan program higiene dan sanitasi, kondisi

kebersihan peralatan kerja, kepemilikan sertifikasi pemilik

usaha dan izin usaha, tata letak ruang produksi yang luas

dan sesuai urutan kerja, dan kebersihan penempatan

material. Lima aspek tersebut merupakan kriteria yang

6

dirasa paling mempengaruhi keamanan dan kebersihan

produk olahan UKM.

2) Perancangan sistem kerja perbaikan untuk memenuhi

persyaratan SPP-IRT adalah dengan menerapkan sistem

kerja perbaikan SSOP, GMP, dan didukung dengan

metode WISE. Dengan menerapakan rekomendasi sistem

kerja tersebut, UKM dapat memperbaiki kondisi eksisting

yang ada sesuai dengan syarat dari Dinas Kesehatan

dalam pengajuan SPP-IRT.

3) Metode terpilih yang digunakan untuk memberikan

informasi mengenai perbaikan sistem kerja di UKM

Tempe Tenggilis yaitu pembuatan buku panduan yang

ditujukan untuk memperbaiki mutu dan keamanan pangan

dari hasil produksi UKM, serta meningkatkan

produktivitas kerja. Buku panduan sistem kerja terlampir

terpisah dengan laporan penelitian dan dapat menjadi

pedoman para pengerajin untuk memperbaiki kondisi

eksisting UKM.

4) Saran yang dapat diberikan mengenai penelitian ini antara

lain:

- Penelitian dapat dilanjutkan dengan memperhatikan

faktor biaya dan mengarah pada faktor efisiensi

- Untuk mendapatkan hasil yang lebih maksimal dalam

perbaikan sistem kerja yang berkelanjutan pada

pengerajin UKM Tempe seharusnya dilakukan

implementasi dari serangkaian alternatif metode, bukan

hanya satu metode saja.

- Lingkup objek penelitian dapat diperluas yaitu untuk

berbagai macam jenis UKM pangan lainnya

DAFTAR PUSTAKA

[1] Ardhianto. (2011), Usulan Perbaikan Tata Letak Fasilitas Pada Usaha Kecil Menengah Konveksi Adios, Jakarta: Universitas

Gunadarma

[2] Ariawati, Ria Ratna. (2004). Usaha Kecil dan Kesempatan Kerja. Fakultas Ekonomi, UNIKOM. Jakarta.

[3] Badan Pusat Statistik (2009), Peraturam Kepala Badan Pusat Statistik Nomor 57 Tahun 2009 Tentang Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia, BPS, Jakarta.

[4] Bourgeois, R. (2005), Analytical Hierarchy Process: an Overview, UNCAPSA-UNESCAP, Bogor.

[5] Departemen Kesehatan (1991), Daftar Komposisi Zat Gizi Pangan Indonesia. Depkes RI Jakarta.

[6] Dipta, I. W. (2004). Membangun Jaringan Usaha Bagi Usaha Kecil dan Menengah. Jakarta.

[7] Heragu, S. (2006), Facilities Design, 2nd edition, New York:

Universe, Inc.

[8] Mangkunegara, A. (2001). Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan.

Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.

[9] Kopersi Produsen Tahu Tempe Indonesia (2013), Buku Saku Rumah Tempe Indonesia, Buku Saku, Vol. 1, KOPTI, Bogor.

[10] Menteri Kesehatan Republik Indonesia (2002). Persyaratan

Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri No.

1404/MENKES/XI/2002, Jakarta.

[11] Menteri Negara Sekretaris Negara. (1996). Undang-Undang

Republik Indonesia No. 7. 1996 tentang Pangan, Jakarta.

[12] Ramadhani M, Fariza A, Basuki DK. (2007). Sistem Pendukung Keputusan Identifikasi Penyebab Susut Distribusi Energi Listrik Menggunakan Metode FMEA. Jakarta

[13] Rooney, J.J & Heuve, L.N.V (2004), Root Cause analysis for Beginners. Diakses 2 Juni 2013 dari situs

https://webspace.utexas.edu.

[10] Saaty (1983). The Analytic Hierarchy Process; Planning, Priority, Setting,

Resource Allocation. University of Pittsburgh.

[11] Saaty, Thomas L., and Luis G. Vargas. (1994). The Analytical Hierarchy Process, University of Pittsburgh

[12] Sari (2011), Perancangan Sistem Kerja Pada Usaha Kecil Dan Menengah (UKM) Untuk Memenuhi HACCP (Studi Kasus : UKM Syafrida Produsen Snacks), Surabaya: Institut Teknologi

Sepuluh Nopember.

[13] Schmitt, B. H., (1999). Bernd Schmitt. New York: The Free Press.

[10] Suharna, C. (2006), Kajian Sistem Manajemen Mutu Pada Pengolahan Ikan Jambal Roti di Pangandaran Kabupaten Ciamis, Semarang : Program Pascasarjana Universitas Diponegoro. Diakses pada tanggal 10 April 2011.

http://www.uajy.ac.id/jurnal/jti/2000/4/3/pdf/2000_4_3_6.pdf.

[11] Suma'mur. (2001). Keselamatan Kerja dan Pencegahan Kecelakaan . Jakarta: Gunung Agung

[12] Perdana (2008), Kajian Penerapan GMP, GTP, GRP dan SSOP Serta Penyusunan Awal Rencana Sistem HACCP Pada Produksi Yoghurt Di KPSBU Lembang, Bandung, Surabaya: Institut

Teknologi Sepuluh Nopember.

[13] Thaheer, H. (2005). Sistem Manajemen HACCP. Bumi Aksara,

Jakarta.

[11] Widianarko. (2002). Tips Pangan “Teknologi, Nutrisi, dan Keamanan Pangan”. Grasindo. Jakarta

[12] Wignjosoebroto, S. (2000) Ergonomi, Studi Gerak dan Waktu : Teknik Analisis untuk Meningkatkan Produktivitas Kerja. Jakarta : PT. Gunawidya.

[13] Wignjosoebroto, S. (2006). Pengantar Teknik dan Manajemen Industri (Edisi Pertama Catakan Kedua). Surabaya : Guna

Widya.

[11] Wignjosoebroto, S. (2009). Tata Letak Pabrik dan Pemindahan Bahan (Edisi Ketiga). Surabaya : Guna Widya.

[12] Wikepedia. (2013). Demografi. Diakses pada tanggal 6 Juni

2013, http://id.wikipedia.org/wiki/Demografi