penentuan masa tanam berdasarkan indeks...

11
Rejekiningrum dan Surmaini: Masa Tanam berdasarkan Indeks Kecukupan Air dan Unsur Dominan Iklim 316 PENENTUAN MASA TANAM BERDASARKAN INDEKS KECUKUPAN AIR DAN UNSUR DOMINAN IKLIM PENENTU PRODUKSI KEDELAI DI JAWA TIMUR Popi Rejekiningrum dan Elza Surmaini Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Bogor Jl. Tentara Pelajar No. 1A Bogor e-mail: [email protected] ABSTRAK Unsur iklim sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil kedelai, sehingga perlu dilakukan identifikasi didasarkan pada berbagai hasil penelitian agroklimat tanaman kedelai yang telah dilakukan di Indonesia dan beberapa hasil penelitian manca negara. Berdasarkan unsur iklim yang dominan mempengaruhi pertumbuhan dan hasil kedelai, maka radiasi dan suhu udara di wilayah Jawa Timur dapat memenuhi persyaratan yang dibutuhkan tanaman kedelai. Faktor paling dominan yaitu ketersediaan air yang dapat disiasati dengan mengatur pola tanam, sehingga dapat mengurangi cekaman kekeringan. Penentuan waktu tanam dapat menggunakan indikator indeks kecukupan air atau nisbah ETR/ETM (evapotranspirasi riil/eva- potransiprasi maksimum) untuk menentukan kehilangan hasil akibat cekaman kekeringan. Hasil analisis potensi masa tanam kedelai menunjukkan bahwa penanaman kedelai dengan risiko kehilangan hasil yang rendah dapat dilakukan pada MH dan awal MK-1. Penanaman dilakukan paling lambat pada bulan Februari sampai Mei tergantung daerahnya. Penanaman setelah bulan tersebut mengakibatkan terjadinya defisit air pada fase generatif yang menye- babkan kehilangan hasil 11–35%. Penanaman baru dianjurkan pada awal musim hujan, mulai bulan Oktober. Kata kunci: iklim dominan, sumberdaya air, indeks kecukupan air, masa tanam ABSTRACT Determining the adequacy of the growing season based index of water and climate dominant element determining soybean production in East Java. Climate elements affects the growth and yield of soybean, so the identification was based on the results of various agro-climatic studies of soybean that have been carried out in Indonesia and several foreign research results. Based on the dominant climate elements that affect the growth and yield of soybean, the availability of radiation and air temperature in the region of East Java can fulfill the requirements of soybean. While the most dominant factor is the availability of water can be circumvented by adjusting the cropping pattern, so can reduce drought stress. Identifi- cation of planting period can use the indicator of water satisfaction index or ratio ETR/ETM (real evapotranspiration/maximum evapotranspiration) to determine the yield loss due to drought stress. The results of the analysis of the potential of the soybean growing season showed that soybean planting with a low risk of yield loss that can be carried out in the rainy season and the beginning of the dry season 1. Planting later than February to May depending on the region. Planting after the month will result in a water deficit in the generative phase that causes yield losses 11–35%. Early planting is recommended at the start of the rainy season in October. Keywords: dominant climate, water resource, water satisfaction index, planting period

Upload: hoangduong

Post on 06-Mar-2019

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Rejekiningrum dan Surmaini: Masa Tanam berdasarkan Indeks Kecukupan Air dan Unsur Dominan Iklim 316

PENENTUAN MASA TANAM BERDASARKAN INDEKS KECUKUPAN AIR DAN UNSUR DOMINAN IKLIM PENENTU

PRODUKSI KEDELAI DI JAWA TIMUR

Popi Rejekiningrum dan Elza Surmaini Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Bogor

Jl. Tentara Pelajar No. 1A Bogor e-mail: [email protected]

ABSTRAK Unsur iklim sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil kedelai, sehingga perlu

dilakukan identifikasi didasarkan pada berbagai hasil penelitian agroklimat tanaman kedelai yang telah dilakukan di Indonesia dan beberapa hasil penelitian manca negara. Berdasarkan unsur iklim yang dominan mempengaruhi pertumbuhan dan hasil kedelai, maka radiasi dan suhu udara di wilayah Jawa Timur dapat memenuhi persyaratan yang dibutuhkan tanaman kedelai. Faktor paling dominan yaitu ketersediaan air yang dapat disiasati dengan mengatur pola tanam, sehingga dapat mengurangi cekaman kekeringan. Penentuan waktu tanam dapat menggunakan indikator indeks kecukupan air atau nisbah ETR/ETM (evapotranspirasi riil/eva-potransiprasi maksimum) untuk menentukan kehilangan hasil akibat cekaman kekeringan. Hasil analisis potensi masa tanam kedelai menunjukkan bahwa penanaman kedelai dengan risiko kehilangan hasil yang rendah dapat dilakukan pada MH dan awal MK-1. Penanaman dilakukan paling lambat pada bulan Februari sampai Mei tergantung daerahnya. Penanaman setelah bulan tersebut mengakibatkan terjadinya defisit air pada fase generatif yang menye-babkan kehilangan hasil 11–35%. Penanaman baru dianjurkan pada awal musim hujan, mulai bulan Oktober.

Kata kunci: iklim dominan, sumberdaya air, indeks kecukupan air, masa tanam

ABSTRACT Determining the adequacy of the growing season based index of water and

climate dominant element determining soybean production in East Java. Climate elements affects the growth and yield of soybean, so the identification was based on the results of various agro-climatic studies of soybean that have been carried out in Indonesia and several foreign research results. Based on the dominant climate elements that affect the growth and yield of soybean, the availability of radiation and air temperature in the region of East Java can fulfill the requirements of soybean. While the most dominant factor is the availability of water can be circumvented by adjusting the cropping pattern, so can reduce drought stress. Identifi-cation of planting period can use the indicator of water satisfaction index or ratio ETR/ETM (real evapotranspiration/maximum evapotranspiration) to determine the yield loss due to drought stress. The results of the analysis of the potential of the soybean growing season showed that soybean planting with a low risk of yield loss that can be carried out in the rainy season and the beginning of the dry season 1. Planting later than February to May depending on the region. Planting after the month will result in a water deficit in the generative phase that causes yield losses 11–35%. Early planting is recommended at the start of the rainy season in October.

Keywords: dominant climate, water resource, water satisfaction index, planting period

Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2014 317

PENDAHULUAN Kedelai merupakan komoditas tanaman pangan terpenting ketiga setelah padi dan

jagung. Selain itu, kedelai memiliki arti penting dalam industri pangan dan pakan. Kebu-tuhan kedelai terus meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan per-kembangan industri olahan pangan seperti tahu, tempe, kecap, susu kedelai, tauco, snack. Konsumsi kedelai per kapita pada tahun 1998 sebesar 8,3 kg kemudian meningkat menjadi 8,97 kg pada tahun 2004, dan 10,70 kg pada tahun 2009. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan kedelai terus meningkat.

Kebutuhan kedelai pada tahun 2013 sebesar 2,116 juta ton, sedangkan produksi dalam negeri baru mencapai 0,808 juta ton dan kekurangannya diimpor sebesar 1,3 juta ton. Hanya sekitar 35% dari total kebutuhan dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri. Impor yang semakin besar dan luas panen yang semakin menurun tidak dapat dibiarkan mengingat potensi lahan cukup luas, teknologi telah tersedia dan SDM juga tersedia. Upaya untuk menekan laju impor kedelai dapat ditempuh melalui strategi peningkatan produktivitas, perluasan area tanam, peningkatan efisiensi produksi, penguatan kelem-bagaan petani, peningkatan kualitas produk, peningkatan nilai tambah, perbaikan akses pasar, perbaikan sistem permodalan, pengembangan infrastruktur, serta pengaturan tata-niaga dan insentif usaha. Mengingat Indonesia dengan jumlah penduduk yang cukup besar, dan industri pangan berbahan baku kedelai berkembang pesat maka pengem-bangan kedelai perlu mendapat prioritas untuk menekan laju impor.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah mengembangkan kedelai di lahan marjinal khususnya di lahan kering, melalui upaya peningkatan ketersediaan air, mem-perpanjang masa tanam, dan menekan risiko kehilangan hasil untuk menciptakan sistem usahatani lahan kering berkelanjutan.

Salah satu upaya untuk meningkatkan ketersediaan air adalah dengan melakukan pemodelan yang mengintegrasikan komponen iklim, tanah, dan tanaman ke dalam suatu sistem. Analisis yang dilakukan antara lain menggunakan model simulasi tanaman dan iklim, serta menghitung nisbah ETR/ETM (evapotranspirasi riil/evapotranspirasi maksi-mum) yang mencerminkan kecukupan air tanaman. Dengan mengetahui nisbah ETR/ETM (indeks kecukupan air) dapat diketahui tanaman mengalami kekeringan (cekaman air), sehingga dapat disusun skenario pemberian air irigasi baik dari segi volume air maupun saat pemberiannya.

Menurut Doorenbos dan Kassam (1979), hasil tanaman secara teoritis dapat ditingkat-kan apabila nisbah ETR/ETM selama periode pertumbuhan mencapai maksimal. Dengan demikian, peningkatan hasil dapat dilakukan dengan memilih masa tanam yang terbaik dengan mengantisipasi terjadinya cekaman atau pada periode kritis tanaman tidak terjadi cekaman air.

Penelitian bertujuan untuk mengetahui potensi ketersediaan air dan menyusun skenario masa tanam berdasarkan indeks kecukupan air.

BAHAN DAN METODE Penelitian menggunakan bahan sebagai berikut: (1) data iklim harian (curah hujan,

suhu udara maksimum dan minimum, kelembaban udara, radiasi matahari, dan kece-patan angin 5–10 tahun terakhir, (2) data tanah: sifat fisik (pF 2,54; pF 4,2) dan keda-laman/solum tanah, dan (3) data tanaman: umur tanaman, umur tanaman pada setiap

Rejekiningrum dan Surmaini: Masa Tanam berdasarkan Indeks Kecukupan Air dan Unsur Dominan Iklim 318

fase pertumbuhan, koefisien tanaman (kc) dan koefisien stress (ky) pada setiap fase pertumbuhan tanaman, tinggi maksimum tanaman, kedalaman perakaran, umur pera-karan maksimum, dan produksi tanaman.

Analisis Unsur Dominan Iklim Penentu Pertumbuhan dan Hasil Untuk menentukan unsur iklim yang dominan pengaruhnya terhadap pertumbuhan

dan hasil kedelai didasarkan pada berbagai hasil penelitian agroklimat tanaman kedelai yang telah dilakukan di Indonesia dan beberapa hasil penelitian mancanegara. Hasil-hasil penelitian yang dikumpulkan lebih ditekankan pada penelitian yang dilakukan di Indo-nesia karena kedelai merupakan tanaman berumur pendek, yang tidak akan berbunga apabila lama penyinaran melebihi 12 jam. Varietas unggul dari daerah subtropis tidak cocok ditanam di Indonesia, karena akan tumbuh kerdil, cepat berbunga, dan hasilnya rendah.

Analisis Potensi Masa Tanam Berdasarkan Indeks Kecukupan Air Potensi masa tanam ditetapkan berdasarkan indeks kecukupan air tanaman (nisbah

ETR/ETM) dan potensi kehilangan hasil relatif. Apabila nisbah ETR/ETM lebih besar atau sama dengan 0,65 dengan kehilangan hasil relatif kurang dari 20%, maka periode tersebut ditetapkan sebagai potensi masa tanam di suatu wilayah. Saat tanam terbaik ditetapkan berdasarkan nilai indeks kecukupan air mendekati atau sama dengan 1 dengan potensi kehilangan hasil mendekati atau sama dengan 0.

Nisbah ETR/ETM runtut waktu memungkinkan untuk mengetahui waktu dan jumlah defisit air yang terjadi. Berdasarkan informasi tersebut, maka dipilih masa tanam yang terbaik sehingga risiko terjadinya kekeringan dapat diminimalkan, atau paling tidak dapat diupayakan agar cekaman air tidak terjadi pada periode kritis. Kehilangan hasil akibat kekeringan pada tanaman kedelai ditentukan oleh intensitas dan periode cekaman air (water stress). Cekaman air akan menyebabkan kehilangan hasil terbesar apabila terjadi pada fase kritis tanaman kedelai, yaitu fase pembungaan dan pengisian polong (umur 40–60 hari) yang menyebabkan bunga dan polong gugur.

Selanjutnya, indeks kecukupan air dikuantifikasi melalui kebutuhan air tanaman pada periode defisitnya yang ditandai oleh nisbah ETR/ETM <0,65 (Baron et al. 1996). Apabila ETR/ETM kurang dari 0,65 berarti tanaman mengalami kekurangan air dan akan verakibat rendahnya produksi (CIRAD dalam Irianto 2000).

Kebutuhan air maksimum tanaman (ETM) dapat dihitung menggunakan data ETo dan koefisien tanaman. Evapotranspirasi dihitung menggunakan metode Penman-Monteith (Persamaan 1).

0ETKcETM ×= (1)

Di mana: ETM = evapotranspirasi maksimum/ evapotranspirasi tanaman Kc = koefisien tanaman ETo = evapotranspirasi acuan (reference evapotranspiration)

Koefisien tanaman (Kc) kedelai disajikan pada Tabel 1.

Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2014 319

Tabel 1. Koefisien tanaman (Kc) kedelai.

Stadia pertumbuhan kedelai Lama (hari) Kc Perkecambahan 20 0,30 – 0,40 Pertumbuhan awal 20 0,70 – 0,80 Medium/ Pembungaan 40 1,00 – 1,15 Pengisian Polong 20 0,70 – 0,80 Panen 0,40 – 0,50

Sumber: Doorenbos dan Kassam (1979).

Kebutuhan air aktual tanaman (ETR) dapat dihitung menggunakan persamaan Eagel-man yang telah dimodifikasi oleh Forest dan Reyniers (1996) yang disajikan pada Persa-maan 2.

( ) ( ) ( )HRHRHR DCBAETMETR321

+++= (2)

Di mana:

ETPDETPCETPB

ETPA

.880.035.4.56.157.8.661.097.4

/732.0050.0

−=+−=

−=+−=

ETR = evapotranspirasi aktual HR = kelembaban relatif tanah, dihitung dengan menggunakan Persamaan 3.

( ) ( )HPFHCCHPFHMHR −−= / (3)

HM = kadar lengas tanah hasil pengukuran di lapangan HCC = lengas tanah pada kapasitas lapang (pF 2,54) HPF = kadar lengas tanah pada titik layu permanen (pF 4,2) Analisis potensi masa tanam ditetapkan dengan software Crop Water Balance (CWB-

ETo) (Balitklimat 2002). Parameter yang diperhitungkan meliputi unsur iklim, tanah, dan tanaman. Unsur iklim yang diperhitungkan yaitu curah hujan dan evapotranspirasi, sedangkan unsur tanah mencakup jenis tanah serta kandungan air pada kondisi kapasitas lapang dan titik layu permanen. Unsur tanaman yang menjadi penentu dalam pemetaan potensi saat tanam yaitu umur seluruh siklus hidup tanaman, umur tanaman pada setiap fase pertumbuhan, koefisien tanaman (kc) dan koefisien stress (ky) pada setiap fase per-tumbuhan tanaman, tinggi maksimum tanaman, kedalaman dan umur perakaran maksimum.

Analisis potensi masa tanam dilakukan pada lima daerah potensi pengembangan ke-delai yang belum merupakan sentra produksi dengan menggunakan data iklim di stasiun Sumberwaru (Banyuputih-Situbondo), stasiun Jenu (Jenu-Tuban), stasiun Prajegan (Praje-gan-Ponorogo), stasiun Paciran (Paciran-Lamongan), dan stasiun Muneng (Sumberasih-Probolinggo).

Untuk menentukan waktu tanam di mana kedelai mulai mengalami cekaman keke-ringan, dilakukan simulasi tanggal tanam selang 15 hari sepanjang tahun. Berdasarkan

Rejekiningrum dan Surmaini: Masa Tanam berdasarkan Indeks Kecukupan Air dan Unsur Dominan Iklim 320

hasil simulasi tersebut diketahui periode tanam dimana tanaman mengalami cekaman kekeringan yang berdampak terhadap kehilangan hasil lebih dari 10%. Hubungan defisit evapotranspirasi dan kehilangan hasil disajikan pada Gambar 1. Dari Gambar 1 dapat dilihat bahwa kehilangan hasil tertinggi terjadi apabila defisit evapotranspirasi terjadi pada fase pembungaan dan pengisian polong (Doorenbos dan Kassam 1979).

Gambar 1. Hubungan antara penurunan hasil (1–Ya/Ym) dengan defisit evapotranspirasi (1–ETR/ETM) pada tanaman kedelai.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Unsur Iklim Dominan yang Menentukan Produksi Tanaman KedelaiDari berbagai hasil penelitian diperoleh bahwa unsur iklim yang pengaruhnya dominan

dan bersifat langsung terhadap pertumbuhan tanaman kedelai adalah curah hujan (keter-sediaan air tanah), radiasi matahari, dan suhu udara.

Curah HujanPengaruh curah hujan dalam hal ini adalah menentukan ketersediaan air tanah untuk

tanaman kedelai. Kebutuhan air tanaman kedelai menurut Doorenbus dan Kassam (1979) sebesar 319 mm selama pertumbuhannya. Selama pertumbuhan vegetatif (sampai umur 35 hari) dibutuhkan air 126 mm dan selama pertumbuhan generatif ( umur 35 sampai 85 hari) 203 mm. Kehilangan hasil tanaman kedelai akibat cekaman kekeringan berkisar 25–40%, bergantung fase pertumbuhan dan tergantung pula pada cekaman, varietas, lokasi dan musim. Stadia kecambah (VE) pembentukan polong (R3 dan R4), dan pengisian biji (R5 dan R6) merupakan stadia kritis tanaman kedelai terhadap cekaman kekeringan. Kehilangan hasil terbesar kedelai apabila kekeringan terjadi pada minggu terakhir per-kembangan polong dan pengisian biji (Runge et al. 1960 dalam Kasno dan Yusuf 1994).

1.0 0.9 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0.0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

0.8

0.9

1.0

ky=0.2 vegetatif

1–ETR/ETM

1–Ya/Ym

Pembungaan (2)

Pengisian polong (3)

ky=1.5 ky=0.8

Produksi biji pada periode pertumbuhan yang berbeda

A

B

C

Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2014 321

Pengaruh cekaman kekeringan selama periode berbunga (R1 dan R2) lebih kecil dibanding periode pembentukan polong dan pengisian biji. Pengaruh cekaman kekeringan selama fase vegetatif dan pemasakan lebih kecil daripada fase pembungaan yang ditun-jukkan oleh faktor kerentanan 0,35 untuk fase pembungaan, 0,25 untuk fase vegetatif, dan 0,19 untuk fase pemasakan (Suharto 1986). Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa cekaman kekeringan selama fase pertumbuhan vegetatif (Vc-Vn) dan pemasakan (R7 dan R8) lebih kecil dari fase berbunga dan pengisian polong. Faktor kerentanan pada fase vegetatif, pembungaan, pengisian polong, dan pemasakan polong berturut turut 0,39; 0,54; 0,67; dan 0,14 (Wirosoedarmo dan Hardjoamidjojo 1988). Cekaman kekeringan pada periode berbunga dan pembentukan polong menyebabkan bunga dan polong gugur, sedangkan cekaman kekeringan selama pengisian biji akan menghasilkan biji berukuran kecil yang berakibat mutu biji dan daya kecambah dapat berkurang hingga 15% (Smicklas et al. 1992 dalam Kasno dan Yusuf 1994).

Periode kritis pertumbuhan varietas Orba dan Lubuk Pakam terhadap kekurangan air adalah umur 30–60 hari, dan periode paling kritis 40–50 hari, yaitu periode pembungaan, pembentukan polong, dan pengisian polong. Kekeringan menyebabkan umur berbunga terlambat 1–2 hari, tinggi tanaman berkurang 4–5 cm, umur panen lebih cepat 1–2 hari, dan hasil biji berkurang rata-rata 63% atau dari 0,5 t/ha menjadi 0,2 t/ha. Hasil penelitian Hutami dan Pasaribu (1989) menunjukkan bahwa tingkat ketersediaan air tanah sampai 90% pada fase pembungaan sangat mempengaruhi tinggi tanaman, namun setelah tana-man berbunga (fase reproduktif), peningkatan kelembaban tanah tidak berpengaruh terha-dap akumulasi bahan kering tajuk.

Selain kekeringan, kandungan air tanah yang tinggi dapat menyebabkan turunnya pro-duksi tanaman. Hasil penelitian Tampubolon et al (1989) menunjukkan bahwa penggena-ngan pada periode pembungaan sampai pengisian polong menyebabkan penurunan hasil sebesar 51%. Hal ini disebabkan oleh terbentuknya akar adventif yang sensitif kekeringan, akibatnya fase pematangan biji diperpendek dan panen dipercepat, sehingga biji yang ter-bentuk kurang sempurna dan berukuran kecil.

Boer (1999) menyatakan bahwa ketersediaan air yang cukup selama fase vegetatif aktif (VE-Vn) sangat menentukan produksi kedelai. Produksi yang lebih tinggi akan diperoleh apabila cekaman air tidak terjadi pada fase pembungaan dan pembentukan polong (R1-R4), walaupan fase pengisian biji dan pemasakan (R5-R8) tanaman tidak mendapatkan air. Namun pemberian air yang cukup hanya pada fase R1-R4 tidak dapat memulihkan tanaman yang sudah mengalami kekeringan pada fase VE-Vn. Tanaman akan berproduksi sangat rendah apabila mengalami kekurangan air pada fase VE-R4. Artinya penanaman terakhir yang dapat ditoleransi adalah apabila selama fase pertumbuhan VE sampai R1 masih mendapat hujan yang cukup.

Radiasi Matahari Kedelai merupakan tanaman yang tanggap cahaya. Energi radiasi surya merupakan

unsur penting dalam proses fotositesis, fotomorfogenesis, fotorespirasi, perpanjangan sel, dan pematangan biji. Penurunan radiasi surya selama stadia tertentu akan mempengaruhi pertumbuhan dan hasil kedelai. Hasil penelitian Baharsjah et al. (1985) menunjukkan bahwa produksi kedelai yang ditanam pada musim kemarau di Bogor dengan radiasi 345 cal/cm2 dan lama penyinaran 6,4 jam lebih tinggi dibanding yang ditanam pada musim hujan dengan radiasi 270 cal/cm2 dan panjang hari 2,7 jam.

Rejekiningrum dan Surmaini: Masa Tanam berdasarkan Indeks Kecukupan Air dan Unsur Dominan Iklim 322

Penelitian tanggap kedelai terhadap radiasi dengan pemberian perlakuan naungan oleh Boer (1994) di Bogor menunjukkan bahwa tingkat naungan 35% dengan rata-rata radiasi 225 Ly/hari tidak mengganggu pertumbuhan dan tidak menurunkan hasil. Naungan 50% dan 60% masing-masing menurunkan hasil biji 36% dan 55%. Tingkat penaungan yang tinggi menyebabkan berkurangnya jumlah polong yang terbentuk, karena rendahnya laju fotosintesis tanaman, tingginya pengguguran bunga, banyaknya polong hampa yang menyebabkan rendahnya indeks biji. Naungan dapat memperpanjang masa vegetatif, tetapi tidak menguntungkan bagi pembentukan dan pengisian biji.

Radiasi pada fase reproduktif memberi kontribusi yang tinggi terhadap hasil. Fase ini merupakan masa kritis tanaman terhadap radiasi. Board dan Harville (1973) menyatakan bahwa fase RI sampai R5 merupakan masa kritis tanaman terhadap radiasi, sedangkan radiasi pada fase R6 dan R7 sedikit pengaruhnya pada hasil tanaman. Selanjutnya Dar-miyati (1992) menyatakan bahwa penurunan radiasi pada fase ini dapat mengurangi ke-mampuan pengisian polong dan biji. Hasil penelitian Syahbuddin dan Las (2002) di Bogor pada bulan September–Desember menunjukkan hasil polong tertinggi dicapai oleh perlakuan tanpa naungan dengan tingkat ketersediaan air 50%.

Suhu Suhu merupakan faktor dominan yang menentukan pertumbuhan dan perkembangan

tanaman di daerah tropis dan dapat digunakan untuk menentukan kematangan polong dengan metode satuan panas. Selain itu, suhu bersama kelembaban juga merupakan faktor penting untuk perkecambahan dan pertumbuhan bakteri Rhizobium japonicum yang dibutuhkan tanaman kedelai untuk mengikat nitrogen dari udara.

Suhu optimum untuk perkecambahan biji kedelai adalah 27–30 oC, dan mudah me-nurun daya kecambahnya bila benih disimpan di atas suhu 25 oC. Batas suhu optimal untuk pertumbuhan bakteri pembentuk bintil akar yang akan mengikat nitrogen dari udara yang selanjutnya digunakan untuk pertumbuahan kedelai adalah 18–20 oC. Hasil pene-litian Gibson dan Mullen (1996) menunjukkan bahwa interaksi yang penting antara suhu siang dan suhu malam berpengaruh terhadap komponen hasil kedelai, terutama pada fase R1 dan R5.

Berdasarkan berbagai hasil penelitian yang telah dilakukan, secara skematis tingkat kesensitifan kedelai terhadap keragaman ketiga unsur iklim tersebut berdasarkan fase pertumbuhan disajikan pada Gambar 2.

Faktor Iklim VE Fase vegetatif Fase generatif

VC V1 V2 vn R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8

Hujan/lengas tanah

Radiasi

Suhu

Gambar 2. Sensitivitas tanaman kedelai terhadap unsur iklim dominan.

Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2014 323

Berdasarkan unsur iklim yang dominan mempengaruhi pertumbuhan dan hasil kedelai, maka ketersediaan radiasi dan suhu di wilayah Jawa Timur dapat memenuhi persyaratan yang dibutuhkan tanaman. Faktor paling dominan adalah ketersediaan air yang dapat disiasati dengan mengatur pola tanam, sehingga dapat mengurangi cekaman kekeringan yang merupakan faktor yang memberikan sumbangan terbesar terhadap kehilangan hasil kedelai. Penentuan waktu tanam dapat menggunakan indikator indeks kecukupan air atau nisbah ETR/ETM (evapotranspirasi riil/evapotransiprasi maksimum) untuk menentukan besarnya kehilangan hasil akibat cekaman kekeringan.

Potensi Masa Tanam Kedelai Berdasarkan Indeks Kecukupan Air Simulasi dilakukan di lima daerah dengan lahan marginal yang berpotensi untuk pe-

ngembangan kedelai di Jawa Timur, yaitu di Kabupaten Situbondo, Tuban, Ponorogo, Lamongan, dan Probolinggo. Berdasarkan hasil simulasi, penanaman kedelai dengan risiko kehilangan hasil yang rendah dapat dilakukan pada periode MH dan awal MK1. Periode penanaman yang menyebabkan tanaman mengalami cekaman kekeringan disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Periode penanaman yang menyebabkan cekaman kekeringan tanaman kedelai.

Kabupaten Kecamatan Periode tanam Situbondo Banyuputih 15 April sampai 15 Oktober Tuban Jenu 1 April sampai 15 Oktober Ponorogo Prajegan 1 Mei sampai 1 Oktober Lamongan Prijetan 1 April sampai 1 Oktober Probolinggo Sumberasih 15 Februari sampai 15 Oktober

Penanaman paling lambat dilakukan pada bulan Februari sampai Mei, bergantung

daerahnya. Penanaman setelah tanggal tersebut, seperti pada skenario tanggal tanam pada Gambar 2, terjadi defisit air pada fase generatif yang menyebabkan kehilangan hasil berkisar antara 11–35%. Penanaman setelah periode tersebut menyebabkan indeks kecu-kupan air kurang dari 65%, karena rendahnya curah hujan yang menyebabkan defisit pada setiap fase pertumbuhan tanaman. Penanaman baru dianjurkan pada awal musim hujan, mulai bulan Oktober.

Defisit air yang menyebabkan rendahnya nilai ETR/ETM mengakibatkan tingginya kehilangan hasil. Kehilangan hasil tanaman dihitung berdasarkan defisit transpirasi relatif dikalikan dengan koefisien stres pada setiap fase tanaman. Kehilangan yang tinggi terjadi apabila penanaman dilakukan mulai bulan April sampai September dengan tingkat kehi-langan hasil di atas 20% bahkan mencapai 65% (Gambar 3). Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, maka penanaman kedelai di lima daerah tersebut hanya disarankan pada musim hujan dan awal MK-1. Penanaman terakhir dapat dilakukan pada awal MK-1 karena masih tersedia cukup hujan untuk memenuhi kebutuhan air pada fase vegetatif dan pembungaan.

Rejekiningrum dan Surmaini: Masa Tanam berdasarkan Indeks Kecukupan Air dan Unsur Dominan Iklim 324

Gambar 3. Fluktuasi nilai ETR/ETM tanaman kedelai pada tanggal tanam yang mulai mengalami cekaman kekeringan.

Sumberasih-Probolinggo, tanam 15 Feb

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

1.2

1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81

Umur (Hst)

ET

R/E

TM

Banyuputih-Situbondo, tanam 15 April

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

1.2

1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81

Umur (Hst)

ET

R/E

TM

Jenu-Tuban, tanam 1 April

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

1.2

1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81

Umur (Hst)

ET

R/E

TM

Paciran-Lamongan, tanam 1 April

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

1.2

1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81

Umur (Hst)

ET

R/E

TM

Prajegan-Ponorogo, tanam 1 Mei

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

1.2

1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81

Umur (Hst)

ET

R/E

TM

Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2014 325

Gambar 4. Tingkat kehilangan hasil pada kedelai setiap skenario tanggal tanam.

KESIMPULAN 1. Unsur iklim yang dominan mempengaruhi pertumbuhan dan hasil kedelai adalah

radiasi dan suhu udara. Di wilayah Jawa Timur, kedua unsur ini dapat memenuhi per-syaratan yang dibutuhkan tanaman kedelai. Faktor paling dominan yaitu ketersediaan air yang dapat disiasati dengan mengatur pola tanam, sehingga dapat mengurangi cekaman kekeringan yang merupakan faktor yang memberikan sumbangan terbesar terhadap kehilangan hasil kedelai.

2. Penanaman kedelai dengan risiko kehilangan hasil yang rendah dapat dilakukan pada periode MH dan awal MK 1. Penanaman dilakukan paling lambat pada bulan Februari sampai Mei.

3. Penanaman kedelai setelah Mei menyebabkan terjadinya defisit air pada fase generatif yang mengakibatkan kehilangan hasil berkisar antara 11–35%. Penanaman baru dianjurkan kembali pada awal musim hujan, mulai bulan Oktober.

Jenu-Tuban

0

10

20

30

40

50

60

70

1 15 1 15 1 15 1 15 1 15 1 15 1 15 1 15 1 15 1 15 1 15 1 15

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des

Tanggal tanam

% K

ehila

ngan

has

il

Banyuputih-Situbondo

0

10

20

30

40

50

60

70

1 15 1 15 1 15 1 15 1 15 1 15 1 15 1 15 1 15 1 15 1 15 1 15

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des

Tanggal tanam

% K

ehila

ngan

has

il

Prajegan-Ponorogo

0

10

20

30

40

50

60

1 15 1 15 1 15 1 15 1 15 1 15 1 15 1 15 1 15 1 15 1 15 1 15

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des

Tanggal tanam

% K

ehila

ngan

has

il

Paciran-Lamongan

0

10

20

30

40

50

60

70

1 15 1 15 1 15 1 15 1 15 1 15 1 15 1 15 1 15 1 15 1 15 1 15

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des

Tanggal tanam

% K

ehila

ngan

has

il

Sumberasih-Probolinggo

0

10

20

30

40

50

60

70

80

1 15 1 15 1 15 1 15 1 15 1 15 1 15 1 15 1 15 1 15 1 15 1 15

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des

Tanggal tanam

% K

ehila

ngan

has

il

Rejekiningrum dan Surmaini: Masa Tanam berdasarkan Indeks Kecukupan Air dan Unsur Dominan Iklim 326

DAFTAR PUSTAKA Baharsjah, Didi Suardi dan Irsal. 1985. Pengaruh Naungan pada Berbagai Tahap Perkem-

bangan dan Populasi Tanaman terhadap Pertumbuhan, Hasil dan Komponen Hasil Kedelai (Glycine max (L) merr.) dalam Somaatmadja, 1985. Hubungan Iklim dengan Per-tumbuhan Kedelai. Institut Pertanian Bogor dan Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor.

Balitklimat. 2002. Software Crop Water Balance. Puslitbangtanak. Bogor. Baron. F.P. Perez and Maraux, F. 1996. Module Sarrabil Guide d'Utilization. Unite de

Recherche "Gestion de 1'ea". Montpellier. Board, T and Harville, G. 1973. Response of yield component of soybean to radiation

interception gradient during reproductive periode. Crop Science 33: 772–777. Boer, R. 1994. Pertumbuhan Tanaman Kedelai pada Tanah Podsolik Merah Kuning pada

Empat Tingkat Radiasi Surya dan Tiga Tingkat Pengapuran. J. Agromet 10(1&2): 1–7. Boer, R. 1999. Penyusunan Model Simulasi Tanam Kedelai. Laporan RUT. Dewan Riset

Nasional. CIRAD. 1995. La validation du ETR/ETM sur le rendemen du manioc au Cote d’ivoire. Bulletin

CIRAD no 2. 75 p. Darmijati, S. 1992. Pengaruh Naungan Terhadap Pertumbuhan Kedelai Dan Kacang Tanah.

Jurnal Agromet 8: 32–40. Doorenbos. J. and A.H. Kassam. 1979. Yield Response to Water. FAO Irrigation and Drainage

Paper no 33. 193 p. Forest, F and F.N. Reyniers. 1986. Proposal for the Classification of Agroclimatic Situations of

Upland Rice in Term of Water Balance. Upland rice research, IRRI Los Banos. Gibson, M.L. and Muller, J.V. 1996. Influence of Dday and Night Temparature on Soybean

Seed Yield. Crop Science 36: 98–104. Hutami, S dan Pasaribu, D. 1989. Tanggap Varietas Kedelai terhadap Tekanan Kekeringan

Seminar Hasil Tanaman Pangan. Balittan. Bogor. Vol 1: 215–225. Irianto, G. 2000. Panen Hujan dan Aliran Permukaan untuk Meningkatkan Produktivitas Lahan

Kering DAS Kali Garang. Jurnal Biologi LIPI. 5(1): 29–39. Kasno, A. dan M. Yusuf. 1994. Evaluasi Plasma Nutfah Kedelai untuk Daya Adaptasi terhadap

Kekeringan. Jurnal llmu Pertanian Indonesia 4(1): 12–15, Balittan, Bogor. Syahbuddin, H dan Las, I. 2002. Kadar air Tanah, Iklim Mikro, dan Hasil Tanaman Kedelai

dengan Waktu Naungan dan Pemberian Air Berbeda. J. Agromet XVI(1 & 2). 2002. Suharto, B. 1986. Penetran Suseptibilitas Tanaman Kedelai terhadap Kekeringan dan Hubu-

ngannya dengan Produksi dan Metode Indeks Stress Harian. Univ. Brawijaya. Malang. Tampubolon, T. Wiroadmodjo, J., Baharsjah, J, dan Soedarsono. 1989. Penggaruh Pengge-

nangan pada berbagai Fase Pertumbuhan Kedelai terhadap Pertumbuhan dan Produksi. Forum Pascasarjsans 12:17–25.

Wirosoedarmo, D dan Hardjoamidjojo. 1988. Kepekaan Tanaman Kedelai terhadap Tegangan Air pada Empat Taraf Pertumbuhan. Agrivita 11(2).