penelitian epidemiologi analitik

63
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Penyakit tuberkulosis masih menjadi masalah kesehatan global dan merupakan penyebab kematian ke dua setelah HIV. WHO memperkirakan bahwa pada tahun 2011 ada 8,7 juta kasus baru tuberkulosis (13% merupakan koinfeksi dengan HIV) dan 1,4 juta orang meninggal karena tuberkulosis (WHO, 2012). Di Indonesia setiap tahunnya kasus tuberkulosis paru bertambah seperempat juta kasus baru dan sekitar 140.000 kematian terjadi setiap tahunnya. Indonesia termasuk 10 negara tertinggi penderita kasus tuberkulosis paru di dunia. Menurut WHO (2012) dalam laporan Global Report 2011 bahwa prevalensi tuberkulosis diperkirakan sebesar 289 kasus per 100.000 penduduk, insidensi tuberkulosis sebesar 189 kasus per 100.000 penduduk, dan angka kematian sebesar 27 kasus per 100.000 penduduk. Penderita tuberkulosis paru yang tertinggi berada pada kelompok usia produktif (15-50 tahun) yaitu berkisar 75%. Seorang pasien tuberkulosis dewasa diperkirakan akan kehilangan rata-rata waku kerjanya 3-4 bulan sehingga berakibat pada kehilangan pendapatan rumah tangganya yaitu sekitar 20-30%. Jika seseorang meninggal akibat tuberkulosis, maka dia akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun. Selain merugikan secara ekonomis, tuberkulosis juga memberikan dampak buruk lainnya, yaitu dikucilkan oleh masyarakat (stigma) (WHO, 2012).

Upload: phunghuong

Post on 31-Dec-2016

257 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh

kuman Mycobacterium tuberculosis. Penyakit tuberkulosis masih menjadi masalah

kesehatan global dan merupakan penyebab kematian ke dua setelah HIV. WHO

memperkirakan bahwa pada tahun 2011 ada 8,7 juta kasus baru tuberkulosis (13%

merupakan koinfeksi dengan HIV) dan 1,4 juta orang meninggal karena

tuberkulosis (WHO, 2012).

Di Indonesia setiap tahunnya kasus tuberkulosis paru bertambah seperempat

juta kasus baru dan sekitar 140.000 kematian terjadi setiap tahunnya. Indonesia

termasuk 10 negara tertinggi penderita kasus tuberkulosis paru di dunia. Menurut

WHO (2012) dalam laporan Global Report 2011 bahwa prevalensi tuberkulosis

diperkirakan sebesar 289 kasus per 100.000 penduduk, insidensi tuberkulosis

sebesar 189 kasus per 100.000 penduduk, dan angka kematian sebesar 27 kasus

per 100.000 penduduk.

Penderita tuberkulosis paru yang tertinggi berada pada kelompok usia

produktif (15-50 tahun) yaitu berkisar 75%. Seorang pasien tuberkulosis dewasa

diperkirakan akan kehilangan rata-rata waku kerjanya 3-4 bulan sehingga berakibat

pada kehilangan pendapatan rumah tangganya yaitu sekitar 20-30%. Jika seseorang

meninggal akibat tuberkulosis, maka dia akan kehilangan pendapatannya sekitar

15 tahun. Selain merugikan secara ekonomis, tuberkulosis juga memberikan

dampak buruk lainnya, yaitu dikucilkan oleh masyarakat (stigma) (WHO, 2012).

2

Di Provinsi NTB setiap tahunnya ditemukan rata-rata 3000 kasus tuberkulosis

BTA+ baru dengan rata-rata kematian akibat tuberkulosis per tahun 130 kasus.

Sesuai hasil survei prevalensi tuberkulosis Paru tahun 2004 di Provinsi NTB

perkiraan jumlah kasus tuberkulosis paru dengan estimasi insidensi kasus

tuberkulosis BTA+ adalah 210 kasus per 100.000 penduduk (Dinas Kesehatan

Provinsi NTB, 2010).

Kota Mataram sebagai kota provinsi di NTB merupakan salah satu

kabupaten/kota yang menyumbang angka prevalensi tuberkulosis tertinggi

dibandingkan dengan kabupaten lainnya. Pada tahun 2009, jumlah kasus

tuberkulosis paru di Kota Mataram adalah sebesar 280 orang dengan prevalensi 79

per 100.000 penduduk, pada tahun 2010 jumlah kasus sebesar 254 kasus dengan

prevalensi 63 per 100.000 penduduk, sedangkan tahun 2011 menjadi 264 kasus

dengan prevalensi 65 per 100.000 penduduk. Tuberkulosis paru juga menjadi

penyebab kematian urutan ke tiga yaitu sebesar 6,2% dari 15 penyebab kematian di

Kota Mataram pada tahun 2011 (Balitbangkes RI, 2012). Prevalensi tertinggi kasus

tuberkulosis paru di Puskesmas pada wilayah Kota Mataram adalah Puskesmas

Karang Taliwang yaitu pada tahun 2010 sebesar 294 per 100.000 penduduk,

karena adanya penambahan Puskesmas baru dan salah satu wilayah kerja

Puskesmas Karang Taliwang yang merupakan lingkungan endemis tuberkulosis

masuk dalam wilayah kerja Puskesmas baru tersebut, sehingga prevalensinya

menjadi 173 per 100.000 penduduk pada tahun 2011, dan menjadi 202 per 100.000

pada tahun 2012. Data prevalensi tuberkulosis paru ini berdasarkan kunjungan

3

kasus ke Puskesmas Karang Taliwang dan bukan merupakan hasil survei rumah

tangga (Dikes Kota Mataram, 2011).

Menurut Supari (2005), faktor fisik rumah (ventilasi, pencahayaan alami,

kepadatan hunian, dan lantai rumah) memiliki hubungan terhadap kejadian

tuberkulosis paru di Karang Jati Kecamatan Ngawi. Hal ini didukung pula oleh

hasil penelitian Jelalu (2008) tentang faktor-raktor risiko kejadian tuberkulosis

paru pada orang dewasa di Kabupaten Kupang menemukan bahwa ada pengaruh

tingkat ekonomi, kebiasaan merokok, kepadatan hunian, dan kelembaban rumah

terhadap kejadian tuberkulosis paru pada orang dewasa. Menurut Fatimah (2008)

selain faktor kesehatan lingkungan rumah (pencahayaan, ventilasi, dan

kelembaban), status gizi juga berhubungan dengan kejadian tuberkulosis paru.

Kondisi sosial ekonomi suatu keluarga sangat berkaitan dengan kemampuan

untuk memenuhi kebutuhan asupan gizi dan sanitasi rumah. Puskesmas Karang

Taliwang sebagai salah satu sarana pelayanan kesehatan di Kecamatan

Cakranegara Kota Mataram, memiliki 5 (lima) Kelurahan sebagai wilayah

kerjanya dan dengan jumlah penduduk pada tahun 2012, yaitu Kelurahan Cakra

Barat dengan jumlah penduduk 6.268 jiwa, Kelurahan Cakra Utara sebesar 5.270

jiwa, Kelurahan Karang Taliwang 5.570 jiwa, Kelurahan Cilinaya 5.864 jiwa, dan

Kelurahan Sapta Marga 5.926 jiwa, dengan rata-rata kepadatan penduduk 531

jiwa/km2. Proporsi penduduk menurut jenis kelamin tiap kelurahan adalah rata-rata

sebesar 14.547 (50,4%) wanita dan 14.288 (49,6%) pria. Jumlah keluarga miskin

pada tiap Kelurahan menunjukkan jumlah yang tidak berbeda pada tiga Kelurahan

(Cakra Barat, Cilinaya, dan Sapta Marga) yaitu rata-rata 24% dari jumlah

4

penduduk, dan dua Kelurahan lainnya (Cakra Utara dan Karang Taliwang) 50%

dari jumlah penduduknya adalah keluarga miskin. Cakupan rumah sehat pada

wilayah Puskesmas Karang Taliwang untuk 3 tahun terakhir, belum memenuhi

target 80% rumah sehat, yaitu pada tahun 2010 sebesar 72,70%, tahun 2011

sebesar 73,43%, dan tahun 2012 menjadi 75%. Kasus gizi buruk juga ditemukan di

Puskesmas Karang Taliwang yaitu pada tahun 2010 adalah sebesar 1,62%,

meningkat menjadi 4,18% pada tahun 2011, kemudian menjadi 0,2% pada tahun

2012 (Puskesmas Karang Taliwang, 2011).

Cakupan rumah sehat yang belum memenuhi 80% dari target Nasional,

masalah gizi buruk, dan masih ditemukannya kasus tuberkulosis paru di Kota

Mataram khususnya Puskesmas Karang Taliwang, sebagai dasar penelitian ini

dilakukan, sehingga diketahuinya faktor risiko kejadian tuberkulosis paru di

Puskesmas Karang Taliwang Kota Mataram, dan dijadikan masukan untuk

tindakan penanggulangan dan pemberantasan tuberkulosis di Kota Mataram

khususnya di Puskesmas Karang Taliwang.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian permasalahan di atas maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah apakah faktor sanitasi rumah (ventilasi, kelembaban,

pencahayaan, dan padat hunian), sosial ekonomi, status gizi, paparan asap rokok,

penyakit penyerta, dan status imunisasi merupakan faktor risiko kejadian

tuberkulosis paru di Puskesmas Karang Taliwang Kota Mataram Provinsi NTB?

5

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Umum

Mengetahui faktor risiko kejadian tuberkulosis paru di Puskesmas Karang

Taliwang Kota Mataram Provinsi NTB Tahun 2013.

1.3.2 Khusus

a. Mengetahui risiko faktor sanitasi rumah (ventilasi, kelembaban,

pencahayaan, dan padat hunian) terhadap kejadian tuberkulosis paru di

Puskesmas Karang Taliwang Kota Mataram

b. Mengetahui risiko faktor sosial ekonomi terhadap kejadian tuberkulosis

paru di Puskesmas Karang Taliwang Kota Mataram.

c. Mengetahui risiko faktor status gizi terhadap kejadian tuberkolosis paru di

Puskesmas Karang Taliwang Kota Mataram.

d. Mengetahui risiko faktor paparan asap rokok terhadap kejadian

tuberkulosis paru di Puskesmas Karang Taliwang Kota Mataram

e. Mengetahui risiko faktor penyakit penyerta terhadap kejadian tuberkulosis

paru di Puskesmas Karang Taliwang Kota Mataram

f. Mengetahui risiko faktor status imunisasi terhadap kejadian tuberkulosis

paru di Puskesmas Karang Taliwang Kota Mataram

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat akademis, sebagai tambahan pengalaman dan mengembangkan teori

di lapangan, serta menambah wawasan tentang program tuberkulosis paru.

6

Hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk penelitian yang akan

datang.

1.4.2 Manfaat praktis yaitu bagi instansi terkait, hasil penelitian ini dapat

memberikan masukan dalam menyusun langkah dan strategi pencegahan dan

pemberantasan penyakit tuberkulosis.

1.4.3 Untuk masyarakat, hasil penelitian ini dapat memberi pemahaman pada

masyarakat tentang faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian

tuberkulosis paru, dan mau memeriksakan diri sedini mungkin dan mendapat

pengobatan.

7

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Epedemiologi Penyakit Tuberkulosis

Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh kuman

Mycobaclerium tuberculosis. Kuman tersebut biasanya masuk ke dalam tubuh

manusia melalui udara pernafasan kedalam paru, kemudian menyebar dari paru ke

organ tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfa,

melalui saluran pernafasan (bronchus) atau penyebaran langsung ke bagian

lainnya. Tuberkulosis paru pada manusia dapat dijumpai dalam 2 bentuk,

yaitu: a) Tuberkulosis primer: bila penyakit terjadi pada infeksi pertama kali;

b) Tuberkulosis paska primer: bila penyakit timbul setelah beberapa waktu

seseorang terkena infeksi dan sembuh. Tuberkulosis paru ini merupakan bentuk

yang paling sering ditemukan. Dengan ditemukannya kuman dalam dahak,

penderita adalah sumber penularan (Notoatmodjo, 2007).

Kuman Mycobacterium tuberculosa ditemukan pertama kali oleh Robert Koch

pada tahun 1882. Hasil penemuan ini diumumkan di Berlin pada tanggal 24 Maret

1882 dan tanggal 24 Maret setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Tuberkulosis

(Notoatmodjo, 2007). Kuman Mycobacterium tuberculosis mempunyai ukuran

0,5-4 mikron x 0,3-0,6 mikron dengan bentuk batang tipis, lurus atau agak

bengkok, bergranular atau tidak mempunyai selubung, tetapi mempunyai lapisan

luar tebal yang terdiri dari lipoid (terutama asam mikolat). Kuman Mycobacterium

tuberculosis dapat bertahan terhadap pencucian warna dengan asam dan alkohol,

sehingga disebut basil tahan asam (BTA), tahan terhadap zat kimia dan zat fisik,

8

serta tahan dalam keadaan kering dan dingin, bersifat dorman (dapat tertidur lama)

dan aerob (Depkes RI, 2002).

Bakteri tuberkulosis ini mati pada pemanasan 100ºC selama 5-10 menit atau

pada pemanasan 60ºC selama 30 menit, dan dengan alkohol 70-95% selama 15-30

detik. Bakteri ini tahan selama 1-2 jam di udara, di tempat yang lembab dan gelap

bisa berbulan-bulan namun tidak tahan terhadap sinar matahari atau aliran udara.

Data pada tahun 1993 melaporkan bahwa untuk mendapatkan 90% udara

bersih dari kontaminasi bakteri memerlukan 40 kali pertukaran udara

per jam (Widoyono, 2008)

Penularan penyakit tuberkulosis disebabkan oleh kuman Mycobacteriun

tuberculosis ditularkan melalui udara (droplet nuclei) saat seorang pasien

tuberkulosis batuk dan percikan ludah yang mengandung bakteri terhirup oleh

orang lain saat bernapas. Sumber penularan adalah pasien tuberkulosis paru BTA

positif, bila penderita batuk, bersin, atau berbicara saat berhadapan dengan orang

lain, basil tuberkulosis tersembur kemudian terhisap ke dalam paru orang sehat,

serta dapat menyebar ke bagian tubuh lain melalui peredaran darah pembuluh limfe

atau langsung ke organ terdekat. Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000

percikan dahak. Masa inkubasinya selama 3-6 bulan (Widoyono, 2008).

Lingkungan yang tidak sehat (kumuh) sebagai salah satu reservoir atau tempat

baik dalam menularkan penyakit menular seperti penyakit tuberkulosis. Menurut

Azwar (1990), peranan faktor lingkungan sebagai predisposing artinya berperan

dalam menunjang terjadinya penyakit pada manusia, misalnya sebuah keluarga

yang berdiam dalam suatu rumah yang berhawa lembab di daerah endemis

9

penyakit tuberkulosis. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan tempat percikan

dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah

percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman.

Menurut Depkes RI (2008), risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan

dengan percikan dahak. Pasien tuberkulosis paru dengan BTA positif memberikan

risiko penularan lebih besar dari pasien tuberkulosis paru dengan BTA negatif.

Risiko penularan setiap tahunnya ditunjukkan dengan Annual Risk of

Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi

tuberkulosis selama satu tahun. Di Indonesia angka risiko penularan bervariasi

antara 1 dan 3%. Infeksi tuberkulosis dibuktikan dengan perubahan reaksi

tuberculin negatif menjadi positif. Pada daerah dengan ARTI 1%, diperkirakan di

antara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 1000 kasus tuberkulosis dan 10% di

antaranya akan menjadi penderita tuberkulosis setiap tahunnya dan

sekitar 50 di antaranya adalah pasien tuberkulosis BTA positif (Depkes RI, 2008).

Menurut Depkes RI (2008) riwayat alamiah pasien tuberkulosis yang tidak

diobati, setelah 5 tahun sebesar 50% akan meninggal, 25% akan sembuh sendiri

dengan daya tahan tubuh yang tinggi, dan 25% menjadi kasus kronis yang tetap

menular.

2.2 Aspek Klinis dan Klasifikasi Penyakit Tuberkulosis

a. Aspek klinis penyakit tuberkulosis

Gejala klinis pasien tuberkulosis paru menurut Depkes RI (2008), adalah

1) batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih; 2) dahak bercampur darah;

3) batuk berdarah; 4) sesak napas; 5) badan lemas; 6) nafsu makan menurun;

10

7) berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik; 8) demam meriang lebih dari satu

bulan. Sedangkan menurut strategi yang baru DOTS (directly observed treatment

shortcourse), gejala utamanya adalah batuk berdahak dan/atau terus-menerus

selama tiga minggu atau lebih. Berdasarkan keluhan tersebut, seseorang sudah

dapat ditetapkan sebagai tersangka. Gejala lainnya adalah gejala tambahan. Dahak

penderita harus diperiksa dengan pemeriksaan mikroskopis (Widoyono, 2008).

Kegiatan penemuan pasien terdiri atas penjaringan suspek, diagnosis,

penentuan klasifikasi penyakit, dan tipe pasien. Penemuan pasien merupakan

langkah pertama dalam kegiatan program penanggulangan tuberkulosis. Penemuan

dan penyembuhan pasien tuberkulosis menular secara bermakna akan dapat

menurunkan kesakitan dan kematian akibat tuberkulosis, penularan tuberkulosis di

masyarakat, dan sekaligus merupakan kegiatan pencegahan penularan tuberkulosis

yang paling efektif di masyarakat.

Strategi penemuan pasien tuberkulosis dilakukan secara pasif dengan promosi

aktif. Penjaringan tersangka pasien dilakukan di unit pelayanan kesehatan,

didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun

masyarakat, untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka pasien

tuberkulosis. Pemeriksaan terhadap kontak pasien tuberkulosis, terutama mereka

yang BTA positif dan pada keluarga anak yang menunjukkan gejala sama,

harus diperiksa dahaknya. Penemuan secara aktif dari rumah ke rumah, dianggap

tidak cost efektif (Depkes RI, 2008).

Tuberkulosis pada anak sulit dilakukan diagnosis, sehingga sering terjadi

misdiagnosis baik overdiagnosis maupun underdiagnosis. Pada anak-anak, batuk

11

bukan merupakan gejala utama. Pengambilan dahak pada anak biasanya sulit,

maka diagnosis tuberkulosis anak perlu kriteria lain dengan menggunakan sistem

skor yang dilakukan dokter dengan parameter: kontak tuberkulosis, uji tuberkulin,

berat badan/keadaan gizi, demam tanpa sebab jelas, batuk, pembesaran kelenjar

limfe, koli, aksila, inguinal, pembengkakan tulang/sendi panggul, lutut, falang, foto

thoraks (Depkes RI, 2008).

b. Klasifikasi penyakit tuberkulosis paru

Penyakit tuberkulosis paru, berdasarkan pemeriksaan dahak menurut Depkes

RI (2008), dibagi dalam 2 bagian yaitu 1) tuberkulosis paru BTA positif; 2)

tuberkulosis paru BTA negatif.

Klasifikasi pasien tuberkulosis paru berdasarkan riwayat pengobatan

sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe, yaitu: a) baru; b) kambuh (Relaps); c)

pengobatan setelah putus berobat (Default); d) gagal (Failure); e) pindahan

(Transfer In); f) lain-lain.

2.3 Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Tuberkulosis Paru

Upaya pencegahan adalah upaya kesehatan yang dimaksudkan agar setiap

orang terhindar dari terjangkitnya suatu penyakit dan dapat mencegah terjadinya

penyebaran penyakit. Tujuannya adalah untuk mengendalikan faktor-faktor yang

mempengaruhi timbulnya penyakit yaitu penyebab penyakit (agent), manusia atau

tuan rumah (host) dan faktor lingkungan (environment) (Notoatmodjo, 2007).

Upaya pencegahan dan pemberantasan tuberkulosis secara efektif diuraikan

sebagai berikut: 1) melenyapkan sumber infeksi, dengan: a) penemuan penderita

sedini mungkin; b) isolasi penderita sedemikian rupa selama masa

penularan/penderita tersebut masih dapat menular; c) segera diobati;

12

2) memutuskan mata rantai penularan; 3) pendidikan kesehatan kepada masyarakat

tentang penyakit tuberkulosis paru (Depkes RI, 2008).

Untuk memberantas penyakit tuberkulosis paru yang perlu dilakukan adalah

mengendalikan keseimbangan unsur-unsur seperti manusia, sumber penyakit, dan

lingkungan, serta memperhitungkan interaksi dari ketiga unsur tersebut. Menurut

Entjang (2000), keberhasilan dari usaha pemberantasan tuberkulosis paru

tergantung juga pada: 1) keadaan sosial ekonomi rakyat: makin buruk keadaan

sosial ekonominya, sehingga nilai gizi dan sanitasi lingkungan jelek, yang

mengakibatkan rendahnya daya tahan tubuh mereka, makin mudah ia menjadi sakit

bila tertular tuberkulosis; 2) kesadaran berobat si penderita: kadang-kadang

walaupun penyakitnya agak berat si penderita tidak merasa sakit, sehingga tidak

mau mencari pengobatan; 3) pengetahuan penderita, keluarga, dan masyarakat

pada umumnya rendah tentang penyakit tuberkulosis: makin rendah pengetahuan

penderita tentang bahaya penyakit tuberkulosis untuk dirinya, keluarga dan

masyarakat sekitarnya, makin besar pula bahaya si penderita sebagai sumber

penularan penyakit, baik dirumah maupun di tempat pekerjaannya, untuk keluarga

dan orang di sekitarnya.

2.4 Faktor Risiko Kejadian Tuberkulosis Paru

Teori John Gordon tahun 1950 yang dikutip oleh Azrul Azwar (1999)

mengemukakan bahwa timbulnya suatu penyakit sangat dipengaruhi oleh tiga

faktor yaitu bibit penyakit (agent), pejamu (host), dan lingkungan (environment).

Beberapa faktor risiko pada penyakit tuberkulosis paru adalah:

13

a. Jenis kelamin

WHO (2012) melaporkan bahwa di sebagian besar dunia, lebih banyak laki-

laki daripada wanita didiagnosis tuberkulosis. Hal ini didukung dalam data yaitu

antara tahun 1985-1987 penderita tuberkulosis paru pada laki-laki cenderung

meningkat sebanyak 2,5%, sedangkan pada wanita menurun 0,7%. tuberkulosis

paru lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita karena laki-

laki sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok sehingga memudahkan

terjangkitnya tuberkulosis paru.

Hasil penelitian mengenai risiko jenis kelamin dan infeksi tuberkulosis masih

bervariasi, seperti penelitian Feng et al (2012) yang menunjukkan bahwa di

Taiwan Cina, jenis kelamin pria merupakan faktor risiko independen untuk

terinfeksi tuberkulosis (OR, 1,96, 95% CI, 1,12-3,41) karena memiliki kebiasaan

merokok. Sedangkan penelitian Zhenhua (1996-2000) di Arkansas Amerika

Serikat menunjukkan bahwa perempuan (OR, 1,98, 95% CI, 1,25-3,13), non-

Hispanik kulit hitam (OR, 2,38, 95% CI , 1,42-3,97), dan HIV-positif (OR, 4,93,

95% CI, 1,95-12,46) memiliki risiko lebih tinggi untuk tuberkulosis paru daripada

laki-laki, kulit putih non-Hispanik, dan HIV-negatif.

b. Umur

Faktor umur berperan dalam kejadian penyakit tuberkulosis paru. Hasil

penelitian Rusnoto dan kawan-kawan tentang faktor-faktor yang Berhubungan

dengan kejadian tuberkulosis paru pada orang dewasa di BP4 Pati tahun 2006, dari

karakteristik responden yang diteliti bahwa proporsi responden yang tuberkulosis

14

paru BTA positif berusia di atas 45 tahun lebih besar (69,8 %) dari usia antara 15 –

45 tahun (37,7 %).

Menurut Haryani tahun 2007 bahwa tuberkulosis paru pada anak biasanya

bersumber dari orang dewasa yang menderita tuberkulosis aktif, yaitu penderita

dengan bakteri tahan asam (BTA) positif. Frekuensi anak mengalami tuberkulosis

tergantung pada banyaknya jumlah sumber penularan, kedekatan dengan sumber

penularan, lama kontak dengan sumber penularan, dan umur anak. Meskipun risiko

terbesar anak tertular tuberkulosis dari kontak serumah dengan penderita

tuberkulosis, namun tidak tertutup kemungkinan anak mendapatkan infeksi dari

sumber penular yang asalnya di luar rumah.

c. Kondisi sosial ekonomi

WHO (2003) menyebutkan 90% penderita tuberkulosis paru di dunia

menyerang kelompok dengan sosial ekonomi lemah atau miskin.

Menurut Badan Pusat Statistik Republik Indonesia (2012), mengukur

kemiskinan menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic

needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidak-

mampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan

makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Jadi, penduduk miskin adalah

penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis

kemiskinan.

Faktor kemiskinan walaupun tidak berpengaruh langsung pada kejadian

tuberkulosis paru namun dari beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan

antara pendapatan yang rendah dan kejadian tuberkulosis paru (Coker, 2003;

15

Ratnasari, 2005; Mahfudin, 2006). Lebih jauh lagi Coker (2003) dan Leadefoget et

al. (2006) menunjukkan bahwa ada hubungan pengangguran dengan kejadian

tuberkulosis.

d. Kekebalan

Kekebalan dibagi menjadi dua macam, yaitu: kekebalan alamiah dan buatan.

Kekebalan alamiah didapatkan apabila seseorang pernah menderita tuberkulosis

paru dan secara alamiah tubuh membentuk antibodi, sedangkan kekebalan buatan

diperoleh sewaktu seseorang diberi vaksin BCG (Bacillus Calmette Guerin).

Tetapi bila kekebalan tubuh lemah, kuman tuberkulosis paru akan mudah

menyebabkan penyakit tuberkulosis paru.

Hubungan kekebalan (status imunisasi) dengan kejadian tuberkulosis menurut

Soysal et al. (2005) bahwa anak yang divaksinasi BCG memiliki risiko 0,6 kali

untuk terinfeksi tuberkulosis (95% CI 0,43-0,83, p = 0,003), dibandingkan dengan

anak-anak yang belum divaksin. Ditegaskan oleh Setiarini (2008) bahwa

walaupun imunisasi BCG tidak mengegah infeksi tuberkulosis namun dapat

mengurangi risiko tuberkulosis berat seperti meningitis tuberkulosa dan

tuberkulosis milier.

e. Status gizi

Kekurangan gizi atau malnutrisi bisa disebabkan karena asupan gizi yang

tidak seimbang baik dari kualitas dan kuantitas, bisa juga karena penyakit infeksi.

Gizi kurang atau buruk dapat menyebabkan menurunnya imunitas/kekebalan

tubuh. Kekebalan tubuh yang menurun akan menyebabkan seseorang mudah

terkena penyakit infeksi, seperti tuberkulosis. Demikian juga sebaliknya, seseorang

16

yang menderita penyakit kronis, seperti tuberkulosis paru, umumnya status gizinya

mengalami penurunan.

Menurut Badan Litbang Depkes RI (2012), proporsi tuberkulosis paru

ditemukan sedikit lebih besar pada yang mengkonsumsi buah sayur kurang dari 5

porsi/hari. Proporsi tuberkulosis paru yang besar juga ditemukan pada kondisi

status gizi kurus.

Menurut Narasimhan et al. (2012), malnutrisi (baik mikro dan makro-

defisiensi) meningkatkan risiko tuberkulosis karena adanya respon kekebalan yang

terganggu. Penyakit tuberkulosis dapat menyebabkan kekurangan gizi itu sendiri

karena penurunan nafsu makan dan perubahan dalam proses metabolisme.

Hubungan antara malnutrisi dan tuberkulosis telah ditunjukkan dengan uji vaksin

BCG yang dilakukan di Amerika Serikat pada tahun 1960 dan memperkirakan

bahwa anak-anak kekurangan gizi akan berisiko dua kali untuk terkena penyakit

tuberkulosis daripada anak-anak yang gizinya baik.

Menurut Supariasa (2011) pengukuran status gizi yang sesuai dengan standar

antropometri salah satunya adalah dengan mengukur Indek Masa Tubuh (IMT).

Parameter yang harus ada dalam mengukur IMT adalah berat badan dan tinggi

badan. IMT adalah perbandingan berat badan dengan kuadrat tinggi badan

individu, dan merupakan alat yang sederhana memantau status gizi orang dewasa

khususnya yang berkaitan dengan kekurangan atau kelebihan berat badan.

Kelebihan menggunakan pengukuran status gizi dengan IMT adalah tidak

memerlukan data umur dan dapat membedakan proporsi badan. Sedangkan

17

kekurangan IMT adalah membutuhkan dua jenis alat ukur, pengukurannya lebih

lama, dan saat prakteknya sulit melakukan pengukuran pada balita.

Menurut Fatimah (2008) dan Rusnoto et al (2005), ada hubungan antara status

gizi dan kejadian tuberkulosis paru.

g. Perilaku merokok

Rokok atau tembakau sebutan lainnya merupakan faktor risiko ke empat

timbulnya semua jenis penyakit didunia, termasuk penyakit tuberkulosis paru, hal

ini didukung dari penelitian Wijaya (2012), bahwa merokok meningkatkan risiko

infeksi Mycobacterium tuberculosis, risiko perkembangan penyakit dan penyebab

kematian pada penderita tuberkulosis.

Menurut Sajinadiyasa et al. (2010) dalam penelitiannya di Poliklinik Paru

Rumah Sakit Sanglah didapatkan prevalensi pasien yang terpapar rokok masih

tinggi dan sebagian besar pasien adalah bekas perokok. Risiko mendapat penyakit

paru cenderung lebih besar pada pasien yang terpapar rokok.

Menurut Priyadi (2001) bahwa adanya hubungan yang bermakna antara

kebiasaan merokok dengan kejadian tuberkulosis paru dan tidak ada hubungan

yang bermakna antara jumlah rokok yang dihisap, lamanya merokok serta jenis

rokok yang dihisap dengan kejadian tuberkulosis paru.

h. Penyakit Penyerta (Infeksi HIVdan DM)

Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menderita tuberkulosis

adalah daya tahan tubuh yang rendah, di antaranya infeksi HIV/AIDS dan

malnutrisi (gizi buruk). Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan faktor

risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi tuberkulosis menjadi sakit

18

tuberkulosis. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh

seluler (cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi penyerta (opportunity),

seperti tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan

bisa mengakibatkan kematian.(Depkes RI, 2008)

Seseorang yang hidup dengan HIV dan juga terinfeksi tuberkulosis

akan lebih cenderung mengembangkan penyakit tuberkulosis dibandingkan mereka

yang HIV negatif. Pada tahun 1980 hingga tahun 2004, epidemic HIV

menyebabkan peningkatan jumlah kasus tuberkulosis dan kematian akibat

tuberkulosis pada banyak negara, terutama di Afrika Selatan dan AfrikaTimur.

Pada tahun 2011, 1,1juta (13%) dari 8,7 juta orang yang mengembangkan

tuberkulosis di seluruh dunia adalah HIV positif, 79% dari kasus tuberkulosis HIV

positif berada di Negara Afrika. Diperkirakan 0,4 juta kematian HIV karena

tuberkulosis pada tahun 2011, dengan angka kira-kira sama antara pria dan wanita.

WHO telah menetapkan target angka kematian akibat tuberkulosis separuh antara

orang yang HIV positif pada tahun 2015, dibandingkan dengan tahun 2004 (tahun

di mana angka kematian tuberkulosis pada orang HIV positif diperkirakan telah

mencapai puncaknya) (WHO, 2012).

Menurut Widyasari et al (2011) bahwa seseorang dengan riwayat penyakit

diabetes mellitus (DM) memiliki risiko 5 kali lebih besar untuk terinfeksi

tuberkulosis dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki riwayat penyakit

DM. Hal ini didukung oleh penelitian Nasution (2007), bahwa ada hubungan

antara kadar gula darah (KGD) puasa dengan BTA sputum.

19

g. Kepadatan Penghuni Rumah

Ukuran luas ruangan suatu rumah sangat terkait dengan luas lantai bangunan

rumah, dimana luas lantai bangunan rumah yang sehat harus cukup untuk penghuni

didalamnya. Luas bangunan yang tidak sebanding dengan jumlah penghuninya

akan menyebabkan overcrowded. Hal ini tidak sehat, sebab disamping

meyebabkan kurangnya konsumsi oksigen, jika salah satu anggota keluarga

terkena penyakit infeksi, akan mudah menularkan kepada anggota keluarga yang

lain. Luas bangunan yang optimum adalah apabila dapat menyediakan 2,5-3 m2

untuk setiap orang (tiap anggota keluarga) (Soekidjo, 2007).

Menurut Kepmen Pemukiman dan Prasarana (2002) bahwa Kebutuhan ruang

perorang dihitung berdasarkan aktivitas dasar manusia di dalam rumah. Aktivitas

seseorang tersebut meliputi aktivitas tidur, makan, kerja, duduk, mandi, kakus, cuci

dan masak serta ruang gerak lainnya. Dari hasil kajian, kebutuhan ruang per orang

adalah 9 m2 dengan perhitungan ketinggian rata-rata langit-langit adalah 2,80 m.

Sedangkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Kepmenkes RI)

No.829/Menkes/SK/VII/1999 menyebutkan bahwa syarat perumahan sederhana

sehat minimum 8 m²/orang. Untuk kamar tidur diperlukan minimum 2 orang.

Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni > 2 orang, kecuali untuk suami istri dan anak

dibawah dua tahun.

Hasil penelitian Rusnoto et al. (2005) bahwa ada hubungan yang bermakna

antara kepadatan rumah dengan kejadian tuberkulosis paru (OR=5,983).

20

h. Kelembaban rumah

Rumah dinyatakan sehat dan nyaman, apabila suhu udara dan kelembaban

udara ruangan sesuai dengan suhu tubuh manusia normal. Suhu udara dan

kelembaban ruangan sangat dipengaruhi oleh penghawaan dan pencahayaan.

Penghawaan yang kurang atau tidak lancar akan menjadikan ruangan terasa pengap

atau sumpek dan akan menimbulkan kelembaban tinggi dalam ruangan. Untuk

mengatur suhu udara dan kelembaban suatu ruangan normal bagi penghuni dalam

melakukan kegiatannya, perlu memperhatikan: keseimbangan penghawaan antara

volume udara yang masuk dan keluar, pencahayaan yang cukup pada ruangan

dengan perabotan tidak bergerak dan menghindari perabotan yang menutupi

sebagian besar luas lantai ruangan (Kepmen Perumahan dan Prasarana Wilayah,

2002).

Indikator kelembaban udara dalam rumah sangat erat dengan kondisi ventilasi

dan pencahayaan rumah. Bila kondisi suhu ruangan tidak optimal, misalnya terlalu

panas akan berdampak pada cepat lelah saat bekerja dan tidak cocok untuk

istirahat. Sebaliknya, bila kondisinya terlalu dingin akan tidak menyenangkan dan

pada orang orang tertentu dapat menimbulkan alergi. Hal ini perlu diperhatikan

karena kelembaban dalam rumah akan mempermudah berkembang biaknya

mikroorganisme antara lain bakteri spiroket, ricketsia dan virus. Mikroorganisme

tersebut dapat masuk ke dalam tubuh melalui udara, selain itu kelembaban yang

tinggi dapat menyebabkan membran mukosa hidung menjadi kering sehingga

kurang efektif dalam menghadang mikroorganisme (Kepmenkes, 1999).

21

Pengukuran kelembaban secara umum menggunakan alat hygrometer dengan

standar kelembaban ruangan minimal 40%–70%, dan suhu ruangan dengan suhu

ideal antara 180C – 30

0C. Pengukuran dilakukan pada ruang keluarga yang lebih

banyak digunakan aktivitas dan pada jam 09.00-12.00. Saat pengukuran alat

diletakkan pada permukaan ruangan yang akan diukur kelembabannya pada posisi

horizontal, kemudian tunggu ± 1 menit dan lakukan pembacaan skalanya. Selama

pembacaan haruslah diberi aliran udara yang dihembus ke arah alat tersebut, hal ini

dapat dilakukan dengan secarik kertas atau kipas (Depkes RI, 1995).

Mengetahui kelembaban ruangan tanpa alat dapat dilakukan dengan melihat

kondisi lantai dan dinding. Lantai dan dinding tidak lembab dapat dirasakan

dengan menyentuh dinding dan lantai, jika lembab akan terasa basah saat dipegang

dan terlihat ditumbuhi jamur (Depkes RI, 1995).

Menurut Rusnoto et al. (2005) bahwa ada hubungan yang bermakna antara

kelembaban dan kejadian tuberkulosis paru (OR=6,3 ; 95% CI=2,651-14,971).

Hasil penelitian Jelalu (2008) menunjukkan bahwa 73,7% kejadian

tuberkulosis paru pada orang dewasa di Kabupaten Kupang dipengaruhi oleh

4 variabel, salah satunya adalah kelembaban rumah.

i. Ventilasi

Ventilasi pada rumah memiliki banyak fungsi, selain menjaga agar aliran

udara dalam rumah tetap segar juga membebaskan udara ruangan dari bakteri-

bakteri, terutama bakteri pathogen, karena disitu selalu terjadi aliran udara yang

terus menerus. Fungsi lainnya adalah untuk menjaga agar ruangan rumah selalu

dalam kelembaban yang optimum. Ventilasi yang tidak mencukupi akan

22

menyebabkan peningkatan kelembaban ruangan karena terjadinya proses

penguapan dan penyerapan cairan dari kulit. Kelembaban ruangan yang tinggi akan

menjadi media yang baik untuk tumbuh dan berkembangbiaknya bakteri-bakteri

patogen termasuk kuman tuberkulosis (Soekidjo, 2007).

Ventilasi yang baik pada ruang tidur adalah dapat berupa lubang angin yang

berseberangan sehingga pertukaran udara akan berjalan terus dan ruangan menjadi

segar, atau jendela yang dapat dibuka sehingga udara segar dan sinar matahari

dapat masuk. Cara praktis untuk memperoleh ventilasi alami adalah jika dengan

ventilasi tetap/lubang angin minimal 5% dari luas lantai, sedangkan jika

menggunakan ventilasi variabel/jendela juga minimal 5% dari luas lantai (Depkes

RI, 1995).

Secara umum penilaian ventilasi rumah dengan membandingkan antara luas

ventilasi dengan luas lantai rumah, dengan menggunakan roll meter. Menurut

indikator penghawaan rumah, luas ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan

adalah ≥ 10% luas lantai rumah dan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat

kesehatan adalah < 10%luas lantai rumah. Luas ventilasi rumah yang < 10% dari

luas lantai (tidak memenuhi syarat kesehatan) akan mengakibatkan berkurangnya

konsentrasi oksigen dan bertambahnya konsentrasi karbondioksida yang bersifat

racun bagi penghuninya (Kepmenkes, 1999).

Menurut Rusnoto et al. (2005) bahwa adanya hubungan yang bermakna

antara luas ventilasi dengan kejadian tuberkulosis paru, didapatkan hasil odds ratio

(OR) sebesar 16,9 dengan 95 % Confidence Interval (CI) 2,121 – 134,641, dengan

nilai p = 0,001.

23

Hasil penelitian Dahlan (2001) menunjukkan bahwa untuk ventilasi rumah

merupakan variabel yang paling memberikan kontribusi yang mengatur kualitas

suhu kamar untuk kejadian tuberkulosis paru, secara statistik menunjukkan

hubungan yang signifikan p <0,05 dengan OR= 8,8 (p = 0,000).

Menurut Susiloawati (2012), kejadian tuberkulosis BTA positif berpeluang

atau berisiko lebih besar pada orang yang tinggal serumah dengan penderita

tuberkulosis BTA positif, rumah beratap seng, luas ventilasi <10% luas lantai

dibanding orang yang tidak tinggal serumah dengan penderita tuberkulosis BTA

positif, rumah tidak beratap seng, luas ventilasi ≥10% luas lantai pada daerah

dataran tinggi Kabupaten Temanggung dan bermakna secara statistik.

j. Pencahayaan Sinar Matahari

Cahaya matahari yang masuk ke dalam rumah dalam jumlah cukup berfungsi

untuk memberikan pencahayaan secara alami. Cahaya matahari dapat membunuh

bakteri-bakteri pathogen dalam rumah, termasuk basil tuberkulosis. Oleh karena

itu, rumah yang sehat harus memiliki jalan masuk cahaya yang cukup yaitu dengan

intensitas cahaya minimal 60 lux atau tidak menyilaukan. Jalan masuk cahaya

minimal 15%-20% dari luas lantai yang terdapat dalam ruangan rumah. Cahaya

matahari dimungkinkan masuk ke dalam rumah melalui jendela rumah ataupun

genteng kaca. Cahaya yang masuk juga harus merupakan sinar matahari pagi yang

mengandung sinar ultraviolet yang dapat mematikan kuman, dan memungkinkan

lama menyinari lantai bukannya dinding (Soekidjo, 2007).

Persyaratan pencahayaan rumah sehat menurut Kemenkes No.

829/Menkes/SK/VII/1999 adalah pencahayaan yang meliputi pencahyaan alami

24

dan/atau buatan langsung maupun tidak langsung yang dapat menerangi seluruh

ruangan dengan intensitas penerangan minimal 60 lux dan tidak menyilaukan mata.

Cahaya efektif dari sinar matahari dapat diperoleh dari jam 08.00 sampai

dengan jam 16.00. Pengukuran dapat dilakukan dengan alat luxmeter, yang

diukur pada tengah-tengah ruangan dan pada tempat setinggi < 84 cm dari

lantai (Nurhidayah et al., 2007).

Kuman tuberkulosis dapat bertahan hidup bertahun-tahun lamanya, dan mati

bila terkena sinar matahari, sabun, lisol, karbol, dan panas api. Rumah yang tidak

masuk sinar matahari mempunyai risiko menderita tuberkulosis 3-7 kali

dibandingkan dengan rumah yang dimasuki sinar matahari (Depkes, 2008).

Menurut Rusnoto et al. (2005) bahwa ada hubungan yang bermakna antara

pencahayaan rumah dengan kejadian tuberkulosis paru dengan nilai odds ratio

(OR) sebesar 7,926 dengan 95 % Confidence Interval (CI)( 3,129 –20,080).

Keadaaan rumah tidak cukup cahaya dan memiliki lantai tanah/semen retak

juga memiliki proporsi tuberkulosis paru yang besar (Badan Litbangkes, 2012).

k. Lantai rumah

Komponen yang harus dipenuhi rumah sehat memiliki lantai kedap air dan

tidak lembab, tinggi minimum 10 cm dari pekarangan dan 25 cm dari badan jalan,

bahan kedap air, untuk rumah panggung dapat terbuat dari papan atau anyaman

bambu dan tidak lembab (Ditjen Cipta Karya, 1997).

Jenis lantai tanah memiliki peran terhadap proses kejadian tuberkulosis paru,

melalui kelembaban dalam ruangan. Lantai tanah cenderung menimbulkan

kelembaban, pada musim panas lantai menjadi kering sehingga dapat

25

menimbulkan debu yang berbahaya bagi penghuninya (Azwar, 1996). Hal ini

didukung oleh hasil penelitian Mahfudin (2006) bahwa kondisi rumah yang

berlantai tanah memiliki hubungan bemakna dengan kejadian tuberkulosis paru

dengan OR 2,2 (1,135;4,269).

l. Dinding

Dinding berfungsi sebagai pelindung, baik dari gangguan hujan maupun angin

serta melindungi dari pengaruh panas dan debu dari luar serta menjaga kerahasiaan

(privacy) penghuninya. Beberapa bahan pembuat dinding adalah dari kayu, bambu,

pasangan batu bata atau batu dan sebagainya. Tetapi dari beberapa bahan

tersebut yang paling baik adalah pasangan batu bata atau tembok

(permanen) yang tidak mudah terbakar dan kedap air sehingga mudah

dibersihkan (Ditjen Cipta Karya, 1997).

26

BAB III

KERANGKA BERFIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Berfikir

Adapun kerangka berfikir dalam penelitian ini adalah :

Gambar 3.1.

Kerangka teori penelitian dikembangkan dari Depkes RI (2008)

dan John Gordon (1950).

Kerangka pikir dari penelitian ini mengutip konsep faktor risiko kejadian

tuberkulosis paru (Depkes RI, 2008) dan keseimbangan faktor epidemiologi

(John Gordon, 1950), yaitu faktor host/pejamu, environment/lingkungan, dan

agent/penyakit terhadap timbulnya suatu penyakit.

Faktor pejamu dalam penelitian ini adalah karakteristik individu (umur, jenis-

kelamin, tempat tinggal, dan kekebalan/imunitas), sosial ekonomi (

Kejadian

TB paru

Faktor Lingkungan

Ventilasi

Kepadatan hunian

dalam ruangan

Kelembaban

Pencahayaan

Merokok

Faktor Sosial Ekonomi

Pendapatan

Pekerjaan

Pendidikan

Akses ke fasilitas kesehatan

Penyakit Penyerta

Malnutrisi

Infeksi HIV

Penyakit DM

Faktor Karakteristik

Individu

Umur

Jenis Kelamin

Tempat tinggal

Kekebalan

(imunisasi)

27

pendapatan/tingkat pengeluaran, pekerjaan, pendidikan, dan akses sarana fasilitas

kesehatan), dan penyakit penyerta (malnutrisi, HIV, dan DM). Faktor lingkungan

adalah sanitasi rumah (ventilasi, kelembaban, pencahayaan, padat hunian) dan

paparan asap rokok. Sedangkan faktor peneybab penyakit adalah merupakan

Mycobacterium tuberculosis).

3.2 Kerangka konsep penelitian

Berdasarkan uraian kerangka pikir diatas, dan karena kemampuan serta

keterbatasan penelitian tidak semua faktor risiko di teliti, maka kerangka konsep

yang diajukan penelitian ini adalah sebagai berikut:

: variabel dependen

: variabel independen

: variabel confounding

Gambar 3.2 Kerangka konsep penelitian

Lingkungan

- Sanitasi rumah

(ventilasi,

kelembaban,

pencahayaan, suhu,

padat hunian)

- Perilaku merokok

Kejadian

TB paru

Karakteristik Individu

(Umur, jenis kelamin, tempat

tinggal )

Sosial Ekonomi

(Pendapatan, pekerjaan,

pendidikan, akses ke fasilitas

kesehatan)

Penyakit Penyerta

(Infeksi HIV, penyakit DM)

Status Imunisasi (BCG)

28

Variabel independen penelitian ini adalah sanitasi rumah (ventilasi,

kelembaban, pencahayaan, dan kepadatan hunian), faktor sosial ekonomi (tingkat

pengeluaran), status gizi, paparan asap rokok, penyakit penyerta (HIV dan DM),

dan status imunisasi (BCG), yang merupakan faktor risiko terhadap kejadian

tuberkulosis paru (varibel dependen), dan sebagai variabel confounding adalah

karakteristik individu (umur, jenis kelamin, dan tempat tinggal).

3.3 Hipotesis Penelitian

Dari uraian tersebut maka hipotesis yang dapat dibangun adalah:

Faktor sanitasi rumah, sosial ekonomi, status gizi, paparan asap rokok,

penyakit penyerta, dan status imunisasi merupakan faktor risiko kejadian

tuberkulosis paru di Puskesmas Karang Taliwang Kota Mataram Provinsi NTB.

29

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini adalah jenis penelitian analitik dengan menggunakan metode

case control, untuk mempelajari faktor risiko kejadian tuberkulosis paru di Kota

Mataram Provinsi NTB. Sedangkan rancangan penelitiannya adalah sebagai

berikut :

Gambar 4.1 Rancangan penelitian case control

Pada Gambar 4.1 dapat dilihat bahwa penelitian ini meneliti dan

membandingkan riwayat paparan yang dialami oleh kelompok kasus (penderita

tuberkulosis) dengan kelompok kontrol (bukan penderita tuberkulosis) di masa lalu

dan saat penelitian.

Penderita

TB paru

paru

Terpapar faktor risiko

Tidak terpapar faktor risiko

Bukan penderita

TB paru

Terpapar faktor risiko

Tidak terpapar faktor risiko

30

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

4.2.1 Lokasi penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kota Mataram khususnya di Puskesmas Karang

Taliwang Provinsi Nusa Tenggara Barat

4.2.2 Waktu penelitian

Penelitian dilakukan mulai bulan April sampai dengan Agustus 2013.

4.3 Definisi Kasus dan Kontrol

Kelompok kasus dalam penelitian ini adalah penderita yang dinyatakan

tuberkulosis paru oleh Puskesmas Karang Taliwang, yang berusia ≥ 15 dan tercatat

di register TB UPK di Kota Mataram.

Kelompok kontrol dalam penelitian ini adalah pengunjung rawat jalan di

Puskesmas wilayah Kota Mataram yang berusia ≥ 15 dan tidak sedang menderita

tuberkulosis paru.

4.4. Populasi Penelitian

4.4.1 Populasi kasus

Populasi kasus pada penelitian ini adalah seluruh penderita yang dinyatakan

tuberkulosis paru yang berusia ≥ 15 dan tercatat di register TB UPK Puskesmas

Karang Taliwang sampai bulan Mei 2013. Kriteria inklusi kasus dalam penelitian

ini adalah a) bersedia menjadi subjek penelitian dengan menandatangani surat

persetujuan yang telah disediakan (informed consent); b) dinyatakan tuberkulosis

paru oleh Puskesmas; dan c) berdomisili di wilayah Puskesmas Karang Taliwang.

31

4.4.2 Populasi kontrol

Populasi kontrol diperoleh dari register pengunjung rawat jalan di Puskesmas

Karang Taliwang tahun 2012, yang berusia 15-80 tahun, dengan kriteria inklusi

adalah a) bersedia menjadi subjek penelitian dengan menandatangani surat

persetujuan yang telah disediakan (informed consent); b) tercatat di register

sebagai pasien rawat jalan dan bukan sedang menderita penyakit tuberkulosis paru

dan Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA); c) Berdomisili di wilayah Puskesmas

Karang Taliwang.

4.5. Sampel Penelitian

4.5.1 Besar sampel

Besar sampel dihitung dengan rumus :

{ Zα √(1+1/c) pq + Zβ√(p1q1 + p0q0/c)}

2

n =

(p1-p0)2

Keterangan :

Z = α (0.05)= 1,96

β = power (80%) = 0,20

f = proporsi rumah tidak sehat = 27,57% (30%)

c = 2 (jumlah kontrol)

R = 3

Dengan menggunakan R terkecil dari variabel sanitasi rumah (ventilasi: 4,5;

pencahayaan: 6,9; kelembaban: 3,2; dan kepadatan: 3) pada penelitian sebelumnya

(Priyadi, 2003; Ruswanto, 2010), maka diperoleh besar sampel yaitu sebesar 46,

32

dengan perbandingan kasus dan kontrol 1:2, sehingga besar kontrol adalah

2x46 = 92. Jadi jumlah sampel yang diperlukan adalah 138 sampel.

4.5.2 Tehnik pemilihan sampel kasus dan kontrol

Pemilihan sampel kasus diambil dari register TB UPK Puskesmas Tahun 2012

sampai dengan Mei 2013, yang memenuhi kriteria inklusi, yaitu penderita berumur

≥ 15 tahun, sampai dengan jumlah sampel kasus terpenuhi. Sampel kontrol diambil

dari register pengunjung rawat jalan Puskesmas Karang Taliwang Kota Mataram

tahun 2012 yang memenuhi kriteria inklusi, yaitu pasien yang berusia 15-80 tahun

dan tidak sedang menderita tuberkulosis paru serta ISPA. Karakterisitik kontrol

mirip dengan kasus menurut umur dan jenis kelamin.

4.6 Cara Pengumpulan Data Faktor Risiko

Pengumpulan data faktor risiko dilakukan dalam beberapa cara, yaitu

wawancara, pengukuran, observasi, dan test HIV, dengan hasil data yang

dikumpulkan seperti yang diuraikan sebagai berikut.

a. Wawancara

Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara langsung terhadap responden

dan di rumah responden, yaitu dengan menggunakan kuesioner terstruktur yang

dilakukan untuk memperoleh data faktor risiko seperti variabel sanitasi rumah,

sosial ekonomi, paparan asap rokok, karakterisitik individu, penyakit penyerta, dan

status imunisasi.

b. Pengukuran

Pengumpulan data dengan pengukuran yaitu dengan menggunakan roll meter

untuk memperoleh data luas ventilasi dan luas ruangan, hygrometer untuk tingkat

33

kelembaban, luxmeter untuk tingkat pencahayaan dalam rumah, dan penimbangan

berat badan merek Yamamoto Giken dengan tingkat ketelitian akurasi per

kilogram untuk mendapatkan berat badan responden, serta meteran dan mistar

untuk mengukur tinggi badan responden.

c. Observasi

Observasi dilakukan dengan pengamatan langsung pada rumah untuk

memperoleh data tentang ada tidaknya ventilasi/jendela, kelembaban rumah secara

fisik, pencahayaan, dan kepadatan hunian, sedangkan untuk status imunisasi yaitu

dengan melihat scar imunisasi BCG pada lengan kanan atas responden saat

wawancara.

d. Test HIV

Tes HIV disarankan pada responden saat wawancara, jika belum pernah atau

belum dinyatakan menderita HIV, sebelumnya responden dikonseling terlebih

dahulu oleh konselor voluntary counseling and testing (VCT), jika bersedia

kemudian dilakukan test HIV, dan jika tidak bersedia tidak dipaksa.

4.7 Variabel, Definisi Operasional dan Cara Pengukuran Variabel

4.7.1 Variabel penelitian

Variabel independen adalah sanitasi rumah (ventilasi, kelembaban,

pencahayaan, dan kepadatan hunian), status sosial ekonomi, status gizi, paparan

asap rokok, penyakit penyerta, dan status imunisasi.

Variabel dependen adalah kejadian tuberkulosis paru.

Variabel confounding adalah umur dan jenis kelamin.

34

4.7.2 Definisi Operasional

1. Kejadian tuberkulosis paru adalah penderita yang dinyatakan tuberkulosis paru

oleh Puskesmas dan tercatat di register TB UPK Puskesmas Karang Taliwang

Kota Mataram tahun 2012, dengan kategori: a) penderita tuberkulosis paru,

kode 0; b) bukan penderita tuberkulosis paru, kode 1.

2. Ventilasi rumah adalah ventilasi alami pada ruang tidur responden baik

ventilasi tetap maupun variabel, yang dapat menciptakan suasana pertukaran

udara sehingga ruangan menjadi menyenangkan dan menyehatkan dan diukur

dengan mengukur perbandingan luas ventilasi dan luas lantai dengan

menggunakan roll meter, dengan kategori: a) tidak memenuhi syarat (TMS),

luas ventilasi < 10%, kode 0, b) memenuhi syarat (MS), luas ventilasi ≥ 10%,

kode 1.

3. Kelembaban ruangan adalah kelembaban udara dalam kamar responden yang

dihitung dalam persentase kandungan jumlah air dalam ruangan dengan

menggunakan alat hygrometer. Pengukuran dilakukan jam 09.00-12.00, dengan

kategori: a) tidak memenuhi syarat (TMS), kelembaban ruangan hasilnya

<40% atau >70%, kode 0; b) memenuhi syarat (MS), kelembaban ruangan

hasilnya 40%-70%, kode 1.

4. Pencahayaan ruangan adalah pencahayaan alami rumah yang bersumber dari

matahari pagi yang memungkinkan matahari masuk melalui lubang angin,

jendela, genteng kaca, dan pintu kedalam rumah, yang diukur dengan

menggunakan alat luxmeter pada pukul 09.00 – 12.00, dengan kategori: a)

35

tidak memenuhi syarat (TMS), tingkat pencahayaan < 60 lux atau > 300 lux,

kode 0; b) memenuhi syarat (MS), tingkat pencahayaan 60-300 lux, kode 1.

5. Kepadatan hunian rumah adalah perbandingan antara luas ruangan yang

tersedia, dengan jumlah anggota keluarga yang berada dalam rumah responden.

Diukur pada tempat dimana penghuni menghabiskan sebagian waktunya

dirumah yaitu kamar tidur, ruang keluarga atau ruang istirahat keluarga, yaitu

dengan menggunakan roll meter, dengan kategori: a) tidak memenuhi syarat

(TMS) < 9 m2, kode 0; b) memenuhi syarat (MS) ≥ 9 m

2, kode 1.

6. Sosial ekonomi adalah rata-rata tingkat pengeluaran perkapita responden

perorang, yang diketahui dengan melakukan wawancara langsung, dan

dibandingkan dengan standar pengeluaran perkapita dibawah garis kemiskinan

(BPS RI, 2012). Kategorinya antara lain: a) miskin, pengeluaran

perkapita/orang/bulan ≤ Rp. 270.652.-, kode 0; b) tidak miskin, pengeluaran

perkapita/orang/bulan > Rp. 270.652.-, kode 1.

7. Status Gizi adalah status gizi responden berdasarkan pengukuran Indeks Masa

Tubuh (IMT) yang diukur dengan perhitungan berat badan dan kuadrat tinggi

badan responden yaitu dengan menggunakan penimbangan berat badan,

meteran, dan mistar (WHO, 2005), dengan kategori: a) kurang, < 18,5 kg/m2

(usia ≥ 18 tahun), dan untuk anak-anak usia < 18 tahun adalah < 14,1 kg/m

2,

kode 0; b) normal, ≥ 18,5 kg/m2

(usia ≥ 18 tahun), dan untuk anak-anak usia

< 18 tahun adalah ≥ 14,1 kg/m2,

kode 1.

8. Paparan asap rokok adalah jika responden atau salah satu anggota keluarga ada

memiliki kebiasaan merokok yang akan diketahui dengan melakukan

36

wawancara langsung, dengan kategori: a) ada paparan asap rokok, kode 0; b)

tidak ada paparan asap rokok, kode 1.

9. Penyakit Penyerta adalah penyakit lain yang diderita responden seperti HIV,

dan DM, yaitu dengan melakukan wawancara langsung dan melihat status

kesehatan responden, dengan kategori: a) ada penyakit penyerta, kode 0; b)

tidak ada penyakit penyerta, kode 1.

10. Status Imunisasi adalah riwayat imunisasi BCG responden yang diketahui dari

hasil wawancara dan observasi, dengan melihat scar BCG pada lengan kanan,

dan status kesehatan responden, dengan kategori: a) tidak imunisasi/tidak ada

scar BCG, kode 0; b) sudah imunisasi/ada scar BCG, kode 1.

4.8 Prosedur Penelitian

Penelitian telah dilaksanakan di Puskesmas Karang Taliwang Kota Mataram

Provinsi NTB. Penelitian ini telah memiliki persetujuan laik etik dari Komisi Etik

Universitas Udayana, dan surat ijin mengadakan penelitian dari Pemda Kota

Mataram dengan tembusan ke Dinas Kesehatan Kota Mataram dan Dinas

Kesehatan Provinsi NTB. Sebelum pengumpulan data ke lokasi penelitian telah di

adakan tatap muka atau sosialisasi tentang tujuan diadakannya penelitian di Dinas

Kesehatan Kota Mataram, dan pelatihan petugas wawancara di Puskesmas Karang

Taliwang. Penelitian dilaksanakan oleh peneliti dan dibantu oleh programer TB

dan sanitarian Puskesmas Karang Taliwang di Kota Mataram, yang telah dilatih.

saat wawancara, pendekatan informal pada responden dilakukan terlebih dahulu

untuk menjelaskan maksud dan tujuan penelitian, memberikan lembar persetujuan

37

sebagai responden (informed consent) jika repsonden bersedia, dan jika menolak

peneliti tidak memaksa dan menghormati hak responden.

Pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara langsung di rumah

responden, dibantu oleh petugas Sanitarian dan petugas TB Puskesmas.

Pengukuran berat badan responden dilakukan dengan cara meletakkan alat

penimbangan pada lantai yang rata, kemudian meminta responden naik pada alat

penimbangan berat badan, tanpa menggunakan alas kaki, dan berdiri tegak,

selanjutnya skala pengukuran pada penimbangan dibaca. Sedangkan untuk

pengukuran tinggi badan, responden diminta berdiri tegak tanpa alas kaki pada

dinding rumah yang rata, dengan kepala, tumit, dan pantat menmpel di dinding.

Kemudian mistar diletakkan tepat di atas kepala, pada bagian mistar yang

menempel di dinding diberi tanda dengan spidol, dan dilakukan pengukuran

dengan roll meter dari batas tanda pada dinding, sampai batas tumit responden

menempel di antara dinding dan lantai. Selanjutnya membaca skala pengukuran

pada roll meter yang menyatakan tinggi responden dalam senti meter.

4.9 Pengolahan dan Analisis Data

4.9.1 Pengolahan data

Setelah pengumpulan data, pengolahan data dilakukan dalam beberapa tahap

yaitu meliputi editing, coding, scoring, entry data, dan tabulasi data.

4.9.2 Analisis data

Analisis data dilakukan dengan 2 proses yaitu analisis deskriptif dan analisis

hubungan antar variabel. Analisis deskriptif dilakukan untuk mengetahui proporsi

38

dari masing-masing kondisi responden, ada tidaknya perbedaan antara kelompok

kasus dan kontrol.

Sedangkan analisis hubungan antara variabel untuk melihat hubungan masing-

masing variabel bebas dengan variabel terikat menggunakan analisis bivariat dan

analisis multivariat.

Analisis bivariat dilakukan dengan tabel silang 2x2 untuk menghitung nilai

crude Odds Ratio (OR) dan nilai confidence interval (CI). Hipotesis statistik yang

digunakan adalah OR = 1, jika variabel independent bukan merupakan faktor

risiko, sedangkan OR ≠ 1, adalah variabel independent merupakan faktor risiko.

Uji statistik yang digunakan adalah uji chi-square dengan menggunakan power

sebesar 80%, dan tingkat kemaknaan (α = 0,05). Sedangkan analisis multivariat

dilakukan untuk mengetahui peran variabel pengganggu terhadap hubungan

variabel bebas dan variabel terikat dengan menggunakan uji regresi logistik,

dengan melihat hasil analisis bivariat yang mempunyai kemaknaan statistik

(P < 0,25). Untuk uji kemaknaan kaitan antara variabel yang diteliti terhadap

variabel terpengaruh dilihat dari p–value < 0,05. Selanjutnya untuk memperkirakan

besarnya risiko variabel bebas terhadap variabel terikat dilaksanakan penghitungan

adjusted odds ratio (OR).

39

BAB V

HASIL PENELITIAN

5.1 Komparasi Karakteristik Kasus dan Kontrol

Penelitian ini menggunakan besar sampel sebanyak 138, yang terdiri dari 46

sampel adalah penderita tuberkulosis paru, dan 92 sampel adalah pasien

kunjungan rawat jalan puskesmas yang tidak tuberkulosis paru dan ISPA. Data

dikumpulkan sesuai pedoman wawancara yang dilakukan di rumah responden.

Dalam penelitian ini tidak ada responden yang drop-out, seperti yang terlihat pada

Tabel 5.1

Tabel 5.1

Komparasi Karakteristik responden Kasus dan Kontrol

Karakteristik Kasus Kontrol P

% %

Umur

15-55 tahun

56-80 tahun

33 (71,7)

13 (28,3)

66 (71,7)

26 (28,3)

1,000

Jenis kelamin

Laki-laki

Perempuan

33 (71,7)

13 (28,3)

64 (69,6)

28 (30,3)

0,792

Status perkawinan

Tidak menikah

Menikah

18 (38,1)

28 (60,9)

19 (20,7)

73 (79,3)

0,021

Kelurahan

Karang Taliwang

Cakra Barat

Cakra Utara

Cilinaya

Sapta Marga

14 (30,4)

11 (23,9)

10 (21,7)

6 (13,1)

5 (10,9)

39 (42,4)

13 (14,1)

26 (28,3)

12 (13,0)

2 (2,2)

0,095

Tingkat Pendidikan

Rendah

Tinggi

31 (67,4)

15 (32,6)

63 (68,5)

29 (31,5)

0,897

Pekerjaan

Tidak bekerja

Bekerja

14 (30,4)

32 (69,6)

30 (32,6)

62 (67,4)

0,796

40

Pada Tabel 5.1 terlihat bahwa karakteristik kelompok kasus dan kelompok

kontrol tidak berbeda (sudah komparabel) dalam variabel-variabel umur, jenis

kelamin, tempat tinggal, pendidikan, dan pekerjaan, tetapi ada perbedaan

bermakna (tidak komparabel) dalam hal variabel status perkawinan.

Sampel kelompok umur 15-55 lebih banyak ditemukan baik pada

kelompok kasus maupun kontrol dibandingkan dengan kelompok umur 56-80,

sedangkan untuk jenis kelamin, sampel berjenis kelamin laki-laki juga lebih

banyak baik itu pada kasus maupun pada kontrol. Pada status perkawinan

ditemukan juga lebih banyak jumlah sampel yang sudah menikah pada kasus dan

kontrol. Distribusi sampel penderita tuberkulosis paru lebih banyak ditemukan di

Kelurahan Karang Taliwang, kemudian Kelurahan Cakra Barat, dan Cakra Utara.

Sedangkan untuk tingkat pendidikan jumlah sampel lebih banyak ditemukan pada

tingkat pendidikan yang rendah baik pada kasus maupun pada kontrol. Jumlah

sampel yang bekerja juga ditemukan lebih banyak dari pada yang tidak bekerja

pada kasus dan kontrol.

5.2 Crude Odds Ratio

Crude odds ratio (OR) atau OR kasar adalah besarnya risiko variabel bebas

terhadap variabel terikat, dan besaran nilai OR didapat dengan melakukan analisis

bivariat, sedangkan untuk mengetahui tingkat kemaknaannya dengan melakukan

uji chi-square. Hasil analisis bivariat dengan nilai crude OR masing-masing faktor

risiko seperti yang disajikan pada Tabel 5.2.

41

Tabel 5.2

Crude Odds Ratio (OR) Ventilasi, Kelembaban, Pencahayaan, Suhu,

Kepadatan Hunian, Sosial Ekonomi, Status Gizi, Perilaku Merokok, Penyakit

Penyerta (DM), dan Status Imunisasi terhadap Tuberkulosis Paru

Faktor Risiko Kasus (%)

Kontrol (%)

Crude OR

95%CI P

Ventilasi TMS (< 10%) MS (≥ 10%)

38 (82,6) 8 (17,4)

53 (57,6) 39 (42,4)

3,495

1,47-8,32

0,003

Kelembaban TMS ( >70 %) MS (40-70 %)

38 (82,6) 8 (17,4)

51 (55,4) 41 (44,6)

3,819

1,61-9,08

0,002

Pencahayaan TMS (< 60 lux) MS (≥ 60 lux)

39 (84,8) 7 (15,2)

53 (57,6) 39 (42,4)

4,100

1,66-10,13

0,001

Suhu TMS ( > 30oc) 26 (56,6) 34 (37,0) 2,218 1,08-4,56 0,029 MS ( 18-30 oc) 20 (43,4) 68 (63,0) Kepadatan Hunian TMS (< 9 M2) MS (≥ 9 M2)

25 (54,3) 21 (45,7)

50 (54,3) 42 (45,7)

1,000

0,49-2,03

1,000

Pengeluaran perkapita ≤ Rp. 270.652.- > Rp.270.652.- Kepesertaan Jamkesmas Tidak dapat Dapat

23 (50,0) 23 (50,0)

10 (21,7) 36 (78,3)

28 (30,4) 64 (69,6)

31 (33,7) 61 (66,3)

2,286

1,830

1,10-4,74

0,80-4,17

0,025

0,147

Status Gizi Kurang Normal

29 (63,0) 17 (37,0)

24 (26,1) 68 (73,9)

4,833

2,26-10,32

0,000

Merokok Ada Tidak

29 (63,0) 17 (37,0)

62 (67,4) 30 (32,6)

0,825

0,39-1,73

0,611

Penyakit Penyerta (DM) Ada Tidak ada

5 (10,9) 41 (89,1)

1 (1,1)

91 ( 98,9)

11,098

1,26-98,02

0,008

Statusimunisasi (BCG) Tidak imunisasi Imunisasi

32 (69,6) 14 (30,4)

52 (56,5) 40 (43,5)

1,758

0,83-3,73

0,139

42

Pada Tabel 5.2 dapat dilihat bahwa variabel sanitasi rumah (ventilasi,

kelembaban, pencahayaan, suhu, dan kepadatan hunian), sosial ekonomi,

kepesertaan jamkesmas, status gizi, paparan asap rokok, penyakit penyerta, dan

status imunisasi merupakan faktor risiko terhadap kejadian tuberkulosis paru.

Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa varibel yang berisiko secara statistik

terhadap kejadian tuberkulosis paru adalah variabel sanitasi rumah (ventilasi,

kelembaban, tingkat pencahayaan, suhu ruangan), sosial ekonomi, status gizi, dan

penyakit penyerta.

Sanitasi rumah secara statistik menunjukkan sebagai salah satu faktor risiko

kejadian tuberkulosis paru (OR: 12,578; 95%CI: 3,64-43,46; p = 0,000), dengan

beberapa komponen rumah yang paling berperan yaitu luas ventilasi, kelembaban,

pencahayaan, dan suhu yang tidak memenuhi syarat. Responden dengan luas

ventilasi rumah < 10% dari luas lantai berisiko 3 kali lebih besar untuk terinfeksi

tuberkulosis paru daripada responden dengan rumah yang memiliki luas ventilasi

≥ 10% (OR: 3,495; 95%CI: 1,47-8,32). Rumah dengan tingkat kelembaban > 70%

berisiko menjadi tempat berkembangnya kuman tuberkulosis paru sebesar 3 kali

lebih besar dibandingkan rumah dengan tingkat kelembaban diantara 40-70%

(OR: 3,819; 95%CI: 1,61-9,08), demikian juga responden yang memiliki rumah

dengan tingkat pencahayaan < 60 lux memiliki risiko terinfeksi tuberkulosis paru

sebesar 4 kali lebih besar di bandingkan responden yang memiliki rumah dengan

tingkat pencahayaan ≥ 60 lux (OR: 4,100 95%CI: 1,66-10,13). Suhu rumah > 30oc

juga memberikan risiko 2 kali lebih besar terhadap penghuninya untuk terinfeksi

tuberkulosis paru daripada rumah dengan suhu 18oC-30

oC. Tingkat pengeluaran

43

responden juga berisiko terhadap kejadian tuberkulosis paru yaitu pada responden

dengan rata-rata pengeluaran perkapita ≤ Rp. 270.652.- akan berisiko 2 kali lebih

besar terinfeksi tuberkulosis paru daripada responden dengan rata-rata pengeluaran

perkapita > Rp. 270.652.- (OR: 2,286; 95%CI: 1,10-4,74). Responden dengan

status gizi yang kurang akan berisiko 4 kali lebih besar terinfeksi tuberkulosis paru

dibandingkan responden dengan status gizi normal (OR: 4,833; 95%CI: 2,26-

10,32). Responden dengan penyakit penyerta DM memiliki risiko 11 kali lebih

besar terinfeksi tuberkulosis paru daripada responden yang tidak sedang menderita

DM (OR: 11,098; 95%CI: 1,26-98,02). Untuk penyakit penyerta HIV, tidak semua

responden mau melakukan tes HIV, dimana dari 138 responden, yang mau

melakukan tes HIV adalah 38 orang (27,5%), yang terdiri dari 35 orang (76,1%)

kelompok kasus dan 3 orang (3,3%) dari kelompok kontrol, dengan hasil

keseluruhan adalah 100% non reaktif (NR). Sedangkan faktor risiko kepadatan

hunian, kepesertaan Jamkesmas, paparan asap rokok, dan status imunisasi tidak

menunjukkan sebagai faktor risiko.

Nilai crude OR yang diperoleh dari hasil analisis bivariat tidaklah murni

sebagai faktor risiko, namun masih ada pengaruh dari variable confounding,

sehingga faktor risiko yang memenuhi nilai kemaknaan p < 0,25 diikutkan dalam

analisis multivariat. Variabel tersebut adalah ventilasi, kelembaban, pencahayaan,

suhu, sosial ekonomi, kepesertaan Jamkesmas, status gizi, penyakit penyerta DM,

dan status imunisasi.

44

5.3 Adjusted Odds Ratio

Adjusted Odds Ratio dipakai untuk mengetahui faktor risiko yang berperan

terhadap kejadian tuberkulosis paru, dan besarnya didapat dengan analisis

multivariat, melalui uji regresi logistik terhadap variabel yang dianalisis. dan hasil

selengkapnya seperti yang disajikan pada Tabel 5.3.

Tabel 5.3

Adjusted Odds Ratio (OR) Ventilasi, Kelembaban, Pencahayaan, Suhu, dan

Status Gizi, terhadap Tuberkulosis Paru

Faktor Risiko

Adjusted OR 95%CI P

Ventilasi

Kelembaban

Pencahayaan

2,872

3,905

4,456

1,01-8,20

1,28-11,89

1,34-14,85

0,049

0,017

0,015

Suhu 5,411 1,90-15,39 0,002

Status Gizi 6,736 2,52-18,02 0,000

Pada Tabel 5.3 hasil dari analisis multivariat menunjukkan bahwa ada lima

variabel yang berperan bersama-sama sebagai faktor risiko terhadap kejadian

tuberkulosis paru, variabel tersebut dari yamg memiliki OR terbesar adalah status

gizi kurang meningkatkan risiko 6 kali lebih besar daripada status gizi normal

(OR: 6,736; 95%CI: 2,52-18,02), suhu rumah lebih dari 30oC berisiko juga

meningkatkan kejadian tuberkulosis paru 5 kali lebih besar daripada rumah dengan

suhu 18oC-30

oC (OR: 5,431; 95%CI: 1,90-15,39), tingkat pencahayaan kurang dari

60 lux meningkatkan risiko 4 kali lebih besar terhadap terjadinya tuberkulosis paru

daripada tingkat pencahayaan ≥ 60 lux (OR: 4,456; 95%CI: 1,34-14,85), tingkat

kelembaban lebih dari 70% meningkatkan risiko 3 kali lebih besar daripada tingkat

kelembaban 40%-70% (OR: 3,255; 95%CI: 1,04-10,20), dan terakhir adalah luas

ventilasi rumah kurang dari 10% meningkatkan risiko terhadap kejadian

45

tuberkulosis paru 2 kali lebih besar daripada rumah dengan ventilasi ≥ 10%

(OR: 2,872; 95%CI: 1,01-8,20). Setelah mempertimbangkan kelima variabel

diperoleh nilai R² = 48,9%. Hal ini berarti kemungkinan terjadinya tuberkulosis

paru adalah 48,9% ditentukan oleh kelima faktor tersebut dan sekitar 51,1% di

tentukan oleh faktor lain.

46

BAB VI

PEMBAHASAN

6.1 Faktor Risiko Kejadian Tuberkulosis Paru

Perbandingan karakteristik responden untuk umur, jenis kelamin, tempat

tinggal, tingkat pendidikan, dan pekerjaan responden tidak berbeda, namun ada

perbedaan status perkawinan antara sampel kasus dan kontrol, sehingga mungkin

berpengaruh terhadap kejadian tuberkulosis paru.

Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa dari sebelas variabel bebas yang

bermakna terhadap kejadian tuberkulosis paru, dan dengan nilai p < 0,05 adalah

variabel ventilasi rumah, kelembaban, pencahayaan, suhu rumah, sosial ekonomi,

status gizi, dan penyakit penyerta. Setelah dilakukan analisis multivariat diperoleh

variabel yang secara bersama-sama berpengaruh terhadap kejadian tuberkulosis

paru yaitu variabel sanitasi rumah seperti variabel ventilasi, kelembaban,

pencahayaan, dan suhu, serta status gizi. Kelima variabel tersebut menentukan

kejadian tuberkulosis paru di Puskesmas Karang Taliwang sebesar 48,9%, dan

sisanya 51,1% disebabkan oleh faktor lain.

Sanitasi rumah secara umum berisiko terhadap kejadian tuberkulosis paru

dengan nilai OR: 12, 578; dan 95%CI: 3,64-43,46, namun komponen rumah yang

paling berperan berisiko terhadap kejadian tuberkulosis paru adalah ventilasi

rumah, kelembaban, pencahayaan, dan suhu dalam rumah. Orang yang tinggal di

rumah yang memiliki luas ventilasi tidak memenuhi syarat berisiko 2 kali lebih

besar untuk terinfeksi tuberkulosis paru daripada orang yang tinggal pada rumah

yang memiliki ventilasi memenuhi syarat, dengan nilai OR: 2,872;

47

95%CI: 1,01-8,20, tingkat pencahayaan tidak memenuhi syarat meningkatkan

risiko 4 kali lebih besar terhadap kejadian tuberkulosis paru dengan nilai

OR: 4,456; 95%CI: 1,34-14,85.. Pencahayaan dan ventilasi merupakan indikator

untuk memperoleh suhu dan kelembaban ruangan yang dapat diterima tubuh

maupun dalam kemampuan membunuh kuman dalam rumah. Dalam penelitian ini

kelembaban yang dihasilkan adalah rumah dengan kelembaban > 70% yang

menunjukkan risiko meningkatkan kejadian tuberkulosis paru sebesar 3 kali lebih

besar daripada rumah dengan kelembaban 40%-70%, dengan nilai OR: 3,905;

95%CI: 1,28-11,89, sedangkan suhu yang tidak memenuhi syarat berisiko bagi

penghuninya untuk terinfeksi tuberkulosis paru sebesar 5 kali lebih besar daripada

rumah dengan suhu yang memenuhi syarat (18oC-30

oC), dengan nilai OR: 5,411;

95%CI: 1,90-15,39. Penelitian ini sesuai dengan penelitian terdahulu yang

menunjukkan bahwa kejadian tuberkulosis paru akan berisiko pada rumah dengan

ventilasi < 10% (OR: 29,994; 95%CI: 3,39-265,51), kelembaban > 70% (OR:

9,299; 95%CI: 2,29-37,84), pencahayaan yang tidak memenuhi syarat (OR:

4,923) dan suhu rumah yang tidak memenuhi syarat (OR: 3,471) (Rusnoto et al.,

2005; Ruswanto, 2010). Rumah dinyatakan sehat dan nyaman, apabila suhu udara

dan kelembaban udara ruangan sesuai dengan suhu tubuh normal manusia. Suhu

udara dan kelembaban ruangan sangat dipengaruhi oleh penghawaan dan

pencahayaan. Penghawaan yang kurang atau tidak lancar akan menjadikan ruangan

terasa pengap atau sumpek dan akan menimbulkan kelembaban tinggi dalam

ruangan (Kepmen Perumahan dan Prasarana Wilayah, 2002). Indikator

kelembaban udara dalam rumah sangat erat dengan kondisi ventilasi dan

48

pencahayaan rumah (Kepmenkes RI, 1999). Ventilasi pada rumah memiliki banyak

fungsi, selain menjaga agar aliran udara dalam rumah tetap segar juga

membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri pathogen,

karena disitu selalu terjadi aliran udara yang terus menerus. Fungsi lainnya adalah

untuk menjaga agar ruangan rumah selalu dalam kelembaban yang optimum.

Ventilasi yang tidak mencukupi akan menyebabkan peningkatan kelembaban

ruangan karena terjadinya proses penguapan dan penyerapan cairan dari kulit.

Kelembaban ruangan yang tinggi akan menjadi media yang baik untuk tumbuh dan

berkembang biaknya bakteri-bakteri patogen termasuk kuman tuberkulosis

(Notoatmodjo, 2007). Kuman tuberkulosis mampu bertahan hidup di tempat yang

gelap dan lembab, dan akan dormant di tempat kering dan dingin. Bakteri

tuberkulosis paru akan mati pada pemanasan 100oC selama 5-10 menit, atau pada

suhu 60oC selama 30 menit. Kemampuan bakteri tuberkulosis berkembang pada

suhu 35oC-37

oC, tidak tumbuh pada suhu 25

oC atau lebih dari 40

oC, dan bakteri

tuberkulosis akan hidup subur pada lingkungan dengan kelembaban tinggi, karena

air membentuk lebih dari 80% volume sel bakteri dan merupakan media yang

paling baik untuk pertumbuahan dan kelangsungan hidup sel bakteri (Gould dan

Brooker, 2003) .

Status gizi juga berperan sebagai faktor risiko kejadian tuberkulosis paru.

Status gizi kurang meningkatkan risiko 6 kali lebih besar terhadap tuberkulosis

paru dibandingkan dengan status gizi normal, dengan nilai OR = 6,736; 95%CI =

2,52-18,02. Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian terdahulu yang

menunjukkan bahwa orang dengan IMT < 18,5 mempunyai risiko 11,31 kali lebih

49

besar untuk menderita tuberkulosis paru dibanding orang dengan IMT ≥ 18,5

dengan nilai OR: 11,331; dan 95%CI: 4,05<OR<31,59 (Priyadi, 2003). Penyebab

utama dari kekurangan gizi dan malnutrisi adalah karena asupan gizi yang tidak

seimbang baik dari kualitas dan kuantitas, bisa juga karena penyakit infeksi. Gizi

kurang atau buruk dapat menyebabkan menurunnya imunitas/kekebalan tubuh.

Kekebalan tubuh yang menurun akan menyebabkan seseorang mudah terkena

penyakit infeksi, seperti tuberkulosis. Demikian juga sebaliknya seseorang yang

menderita penyakit kronis, seperti tuberkulosis paru umumnya status gizinya

mengalami penurunan (Notoatmodjo, 2007).

Variabel yang tidak terbukti sebagai faktor risiko setelah didapatkan nilai

adjusted OR antara lain variabel kepadatan hunian, variabel sosial ekonomi,

adanya paparan asap rokok, dan status imunisasi.

Kepadatan hunian sesuai nilai crude OR dan adjusted OR menunjukkan bukan

faktor risiko kejadian tuberkulosis paru. Hasil ini sama dengan penelitian yang

dilakukan Priyadi (2003) yang menunjukkan bahwa kepadatan hunian tidak ada

hubungan dengan kejadian tuberkulosis paru. Rata-rata tingkat kepadatan

penduduk pada wilayah Puskesmas Karang Taliwang adalah sebesar 513 jiwa/km2

(Puskesmas Karang Taliwang, 2012), dan suatu wilayah di kategorikan sangat

padat jika kepadatan penduduk melebihi dari 401 jiwa/km2

(BPS RI, 2012).

Kepadatan hunian adalah salah satu unsur dalam sanitasi rumah. Kepadatan

penghuni dalam satu rumah tinggal akan memberikan pengaruh bagi penghuninya.

Luas rumah yang tidak sebanding dengan jumlah penghuninya akan menyebabkan

berjubel (overcrowded). Hal ini tidak sehat karena disamping menyebabkan

50

kurangnya konsumsi oksigen, juga bila salah satu anggota keluarga terkena

penyakit infeksi, terutama tuberkulosis akan mudah menular kepada anggota

keluarga lain (Notoatmodjo, 2007).

Menurut hasil analisis terhadap variabel kepadatan hunian dengan tingkat

pencahayaan, kelembaban, ventilasi, dan suhu, yang menunjukkan siginifikan

merupakan faktor risiko terhadap kejadian tuberkulosis paru adalah rumah dengan

tingkat padat hunian dan kelembaban yang tidak memenuhi syarat dengan nilai

OR = 4,472; 95%CI = 1,34-22,50, sedangkan rumah dengan padat hunian dan suhu

yang tidak memenuhi syarat juga menunjukkan berisiko terhadap kejadian

tuberkulosis, dengan nilai OR = 2,912; 95%CI = 1,08-7,85. Hal ini sesuai dengan

sifat kuman tuberkulosis yang mampu bertahan hidup di tempat gelap dan lembab

selama berbulan-bulan, namun tidak tahan terhadap sinar matahari atau aliran

udara (penghawaan). Suhu udara dan kelembaban ruangan sangat dipengaruhi oleh

penghawaan dan pencahayaan. Penghawaan dan pencahayaan yang memenuhi

syarat berfungsi dalam mencegah terjadinya penularan penyakit tuberkulosis paru,

dan dapat diperoleh jika luas ventilasi memenuhi syarat, sehingga dapat

melakukan pertukaran udara secara teratur, dan memberi peluang sinar matahari

masuk ke dalam rumah, sehingga suhu dan kelembaban ruangan tidak berisiko

sebagai media berkembang biaknya kuman tuberkulosis paru (Soekidjo, 2007).

Tingkat kepadatan penduduk adalah salah satu indikator pemicu munculnya

masalah sosial yaitu sulitnya mendapat pekerjaan, pendidikan, dan layanan

kesehatan, yang berdampak juga pada masalah ekonomi atau kemiskinan. Makin

buruk keadaan sosial ekonomi masyarakat, berakibat pada makin buruk juga nilai

51

gizi dan sanitasi lingkungannya, yang menyebabkan daya tahan tubuh rendah, dan

makin rentan menjadi sakit (Entjang, 2000). Kemiskinan digambarkan dalam

ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan makanan dan

bukan makanan, yang diukur dari sisi pengeluaran. Jadi Penduduk Miskin adalah

penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan dibawah garis

kemiskinan (BPS RI, 2012). Hasil analisis bivariat menunjukkan responden dengan

pengeluaran rata-rata perkapita ≤ Rp. 270.652.- sebagai faktor risiko kejadian

tuberkulosis paru, namun setelah masuk dalam analisis multivariat, rata-rata

tingkat pengeluaran responden adalah bukan sebagai faktor risiko kejadian

tuberkulosis paru. Penelitian ini serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh

Priyadi (2003) yang menunjukkan bahwa tingkat pengeluaran tidak berhubungan

dengan kejadian tuberkulosis paru, namun beberapa penelitian menunjukkan

adanya hubungan antara pendapatan yang rendah dengan kejadian tuberkulosis

paru (Coker, 2003; Ratnasari, 2005; Mahfudin, 2006). Hasil pengumpulan data

menunjukkan proporsi yang sama pada responden yang dapat kartu Jamkesmas

yaitu sebesar 78,3% pada kasus dan 66,3% pada kontrol, dan karena populasi

sampel dari penelitian ini adalah seluruh pengunjung rawat jalan Puskesmas

Karang Taliwang, dengan jumlah penduduk yang berobat menggunakan

Jamkesmas adalah sebesar 539 jiwa (60%), sisanya adalah pasien ASKES dan

umum, sedangkan jumlah keluarga miskinnya adalah 9764 jiwa (34%) dari jumlah

pendduduk. Dengan demikian tingkat pengeluaran masih memungkinan sebagai

faktor risiko kejadian tuberkulosis paru, dan ditemukan juga ada hubungan

bermakna antara rata-rata pengeluaran perkapita penduduk di wilayah Puskesmas

52

Karang Taliwang dengan kepesertaan Jamkesmas yaitu dengan nilai OR : 4,032;

95%CI: 1,63-9,98.

Paparan asap rokok juga tidak terbukti secara statistik sebagai faktor risiko

terjadinya tuberkulosis paru. Penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian yang

dilakukan Wijaya (2012), yang menunjukkan bahwa merokok dapat meningkatkan

risiko infeksi tuberkulosis paru, risiko perkembangan penyakit, dan penyebab

kematian pada penderita tuberkulosis. Hasil analisis pada lamanya responden

merokok, dan jumlah rokok yang dihisap dalam sehari, juga tidak menunjukkan

sebagai faktor risiko. Lama merokok lebih atau sama dengan 10 tahun

menunjukkan 0,4 kali berisiko terinfeksi tuberkulosis (95%CI: 0,19-0,98),

demikian juga dengan jumlah rokok yang dihisap lebih dari tiga batang perhari

menunjukkan 0,7 kali berisiko terinfeksi tuberkulosis paru (95%CI: 0,36-1,59).

Dari hasil pengumpulan data, proporsi antara kelompok kasus dan kontrol sama-

sama lebih besar pada adanya paparan asap rokok dalam keluarga yaitu 63% pada

kasus dan 67,4% pada kontrol. Hasil Survey Perilaku Hidup Bersih dan Sehat

menunjukkan bahwa proporsi rumah tangga sehat dengan indikator tidak merokok

baru mencapai 42,5%, belum mencapai 80% target Nasional (Dikes Kota Mataram,

2012). Merokok dapat mengganggu efektifitas sebagian mekanisme pertahanan

respirasi, hasil dari asap rokok dapat merangsang pembentukan mukosa dan

menurunkan pergerakan silia, sehingga menyebabkan terjadinya penimbunan

mukosa dan peningkatan risiko pertumbuhan bakteri, termasuk kuman

tuberkulosis, dan berakibat pada rentannya tubuh pada infeksi tuberkulosis paru

(Aditama, 2003).

53

Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menderita tuberkulosis

adalah daya tahan tubuh yang rendah, di antaranya infeksi HIV/AIDS dan

malnutrisi (gizi buruk). Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan faktor

risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi tuberkulosis menjadi sakit

tuberkulosis. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh

seluler (cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi penyerta (opportunity),

seperti tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan

bisa mengakibatkan kematian (Depkes RI, 2008). Dalam penelitian ini penyakit-

penyakit yang biasa menyertai dan memperburuk kondisi penderita tuberkulosis

paru adalah DM dan HIV. Hasil analisis bivariat dari 138 responden, hanya 38

orang (27%) responden yang mau mengikuti screening HIV dan hasilnya 100%

non reaktif, karena proporsi sampel yang mau di tes HIV hasilnya sama yaitu non

reaktif, sehingga tidak dilakukan analisis bivariat maupun multivariat. Sedangkan

untuk penyakit penyerta DM menunjukkan bahwa penyakit penyerta DM

berhubungan terhadap kejadian tuberkulosis paru pada analisis bivariat, namun

pada analisis multivariat tidak menunjukkan sebagai faktor risiko. Penelitian ini

tidak sesuai dengan penelitian yang dahulu yang menunjukkan bahwa orang

dengan penyakit diabetes mellitus memiliki risiko 2,66 kali terinfeksi tuberkulosis

paru (Coker et al, 2005). Hal ini disebabkan karena proporsi sampel dengan

penyakti penyerta DM sangat kecil. Proporsi responden dengan penyakit penyerta

DM pada penelitian ini adalah 10,9% (5 orang) pada kasus, dan 1,1% (1 orang)

pada kontrol, dan penyakit penyerta DM masih memungkinkan sebagai faktor

risiko kejadian tuberkulosis paru di Puskesmas Karang Taliwang.

54

Status imunisasi bukan sebagai faktor risiko terjadinya tuberkulosis paru.

Hasil ini sama dengan hasil peneiltian terdahulu yang menyatakan bahwa status

imunisasi tidak bermakna secara statistik terhadap kejadian tuberkulosis paru

(Retnaningsih et al., 2010), lebih lanjut dijelaskan meskipuan vaksinasi BCG tidak

mencegah infeksi tuberkulosis, namun mengurangi risiko tuberkulosis berat seperti

meningitis tuberkulosa dan tuberkulosis milier (Setiarini, 2008). Namun berbeda

dengan yang ditemukan Soysal et al. (2005) bahwa anak yang mendapatkan

vaksinasi BCG memiliki risiko lebih rendah terinfeksi tuberkulosis, dibandingkan

dengan anak yang tidak mendapatkan imunisasi BCG. Pada populasi dengan

prevalensi tuberkulosis yang tinggi, imunisasi BCG tidak bisa untuk memproteksi

risiko terinfeksi tuberkulosis pada orang dewasa, namun imunisasi BCG dapat

memberi proteksi yang cukup/hampir di atas 50% pada anak. Karena itu pada

daerah dengan prevalensi tuberkulosis tinggi imunisasi BCG diberikan pada anak

sejak baru lahir, agar sedini mungkin memiliki kekebalan terhadap tuberkulosis

paru. Pada penelitian ini status imunisasi tidak terbukti sebagai faktor risiko

kejadian tuberkulosis, karena sampel penelitian berumur 15 tahun hingga 80 tahun,

dan pengukuran berdasarkan melihat scar BCG, terkadang ada beberapa scar BCG

tidak terlihat, dan untuk menggali langsung pada responden faktor lupa tidak bisa

dihindari pada kelompok kontrol karena kejadian yang sudah lama, sedangkan

pada kelompok kasus bisa dilihat juga dari status kesehatannya. Selain itu proporsi

yang hampir sama pada responden yang sudah diimunisasi BCG yaitu sebesar

30,4% pada kasus dan 43,5% pada kontrol, atau lebih banyak pada responden yang

tidak imunisasi BCG.

55

6.2 Kelemahan Penelitian

1. Penelitian ini menggunakan studi case control yang mempunyai kelemahan

dalam pengendalian recall bias yaitu pada saat mencari data tentang imunisasi

BCG, dan data status gizi responden. Strategi pengendalian yang dilakukan adalah

dengan melibatkan anggota keluarga lain, dan dukungan bukti keterangan dari

status kesehatan responden.

2. Adanya kemungkinan terjadi missclasifikasi dalam pengukuran status gizi

responden, yaitu dalam memasukkan IMT responden, apakah kategori gizi kurang

atau normal.

3. Pendekatan penelitian menggunakan Hospital based, sehingga kemungkinan

responden yang diperoleh hanya yang berdomisili disekitar sarana kesehatan, dan

kemungkinan memiliki karakteristik yang hampir mirip khususnya dalam hal sosial

ekonomi, yang menyebabkan variabel sosial ekonomi dalam penelitian ini tidak

terbukti sebagai faktor risiko.

4. Kontrol dalam penelitian ini adalah pasien rawat jalan, yang pada saat

penelitian dinyatakan bukan sebagai penderita tuberkulosis paru, tidak dengan

pemeriksaan laboratorium.

56

BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

Setelah melakukan penelitian tentang faktor risiko terhadap kejadian

tuberkulosis paru dengan studi case control di wilayah kerja Puskesmas Karang

Taliwang Kota Mataram Provinsi Nusa Tenggara Barat, maka dapat disimpulkan

bahwa variabel yang merupakan faktor risiko determinan terhadap kejadian

tuberkulosis paru adalah faktor ventilasi rumah, kelembaban, pencahayaan, suhu

rumah, dan status gizi. Kelima variabel tersebut 48,9% merupakan faktor risiko

terhadap kejadian tuberkulosis paru. Sedangkan kepadatan hunian, sosial ekonomi,

paparan asap rokok, penyakit penyerta, dan status imuniasi bukan merupakan

faktor risiko terjadinya tuberkulosis paru di Puskesmas Karang Taliwang Kota

Mataram.

7.2 Saran

7.2.1 Untuk penentu kebijakan, disarankan: a) perlunya upaya perbaikan sosial

ekonomi masyarakat yang secara tidak langsung akan berdampak pada

kemampuan memenuhi kebutuhan sanitasi rumah dan gizi keluarga; b)

mengintensifkan layanan konseling di Puskesmas dan penyuluhan kesehatan

tentang rumah sehat, asupan gizi, dan bahaya asap rokok bagi perokok aktif

dan perokok pasif; c) mengadakan pendekatan pada instansi terkait yang

menangani masalah rehabilitasi rumah, khsusnya untuk penderita

tuberkulosis paru, agar dapat perbaikan rumah terutama untuk perbaikan

57

ventilasi/jendela/genteng kaca, karena luas ventilasi rumah yang kurang dari

10% luas lantai menyebabkan tidak maksimalnya sinar matahari masuk

kedalam rumah, dan berakibat juga pada kelembaban, serta suhu rumah yang

tidak memenuhi syarat.

7.2.2 Pada penelitian berikut dianjurkan, untuk meningkatkan keterwakilan

kontrol di populasi agar memilih kontrol pada populasi, dan terhadap kontrol

juga dilakukan pemeriksaan dahak, untuk memastikan bahwa kontrol benar-

benar tidak sedang menderita tuberkulosis.

58

DAFTAR PUSTAKA

Aditama, T.Y. 2003. Rokok dan Tuberkulosis Paru. Jakarta: Bagian Pulmonologi

dan Kedokteran Respiratori FKUI.

Azwar, A. 1996. Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan . Jakarta : Mutiara

Sumber Widya.

Azwar, A. 1999. Pengantar Epidemiologi . Jakarta : Mutiara Sumber Widya.

Agustin, H. 2011. “Tuberkulosis Pada HIV/AIDS”. J Respir Indo Vol. 31: No. 3,

Juli 2011.

Abdusalam, A. 2011, Juli 27, “HIV dan Tuberkulosis Derita Indonesia”,

Kompasiana Tersedia di http://sosbud.kompasiana.com/2011/06/27. diakses

pada tanggal 22 Feruari 2013.

Badan Pusat Statistik Republik Indonesia. 2012. “ Sosial dan Kependudukan”.

BPS. Tersedia di http:// www. bps.go.id/ menutab.php? tabel=1&kat=1&id -

subyek=23. Diakses pada tanggal 29 April 2013.

Balitbangkes RI, 2012. Profil Konsumsi Sumber Antioksidan Alami, Status Gizi,

Gaya Hidup, dan Sanitasi Lingkungan pada Daerah-Daerah dengan TB Paru

Tinggi di Indonesia. Tersedia di grey.litbang.depkes.go.id. Diakses pada

tanggal 21 Februari 2013.

Bappeda Kota Mataram. 2011. Mataram Dalam Angka 2011. Mataram: Setda Kota

Mataram.

Bappeda Kota Mataram. 2012. Mataram Dalam Angka 2012. Mataram: Setda Kota

Mataram.

Coker, R.; Reader; McKee, M.; Atun, R.; Dimitrova, B.; Dodonova, E.;

Kuznetsov, S.; Drobniewski, F. 2005. “Risk factors for pulmonary

tuberculosis in Russia: case-control study”. BMJ. 2006:332:85. Tersedia di

http:// www. bmj. com/ content/332/7533/85. Diakses pada tanggal 4 Februari

2013.

Dahlan, A. 2001. ”Faktor-Faktor Risiko Lingkungan Yang Berhubungan Dengan

Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru BTA(+) (studi kasus kontrol) di Kota

Jambi Tahun 2000-2001” (tesis). Jakarta: UI.

Departemen Kesehatan RI. 2008. Pedoman Nasional Penanggulangan

Tuberkulosis,cetakan kedua, 2008.Jakarta: Depkes RI.

59

Departeman Kesehatan RI. 2008. Profil Kesehatan Indonesia, Jakarta:

Kemenkes RI.

Departemen Kesehatan RI, 2011. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis.

Jakarta: Kemenkes RI.

Dinas Kesehatan Provinsi NTB. 2010. Laporan Evaluasi Kegiatan TB Paru

Provinsi NTB. Mataram: Bidang P2 Dinas Kesehatan Provinsi NTB.

Dinas Kesehatan Kota Mataram. 2012. Profil Dinas Kesehatan Kota Mataram.

Mataram: Dikes Kota Mataram.

Dirjen PPM & PLP. 1995. Lembar Bacaan Dan Penugasan Modul Pelatihan

Pengawasan Kualitas Lingkungan Permukiman Bagi Petugas Kesehatan

Lingkungan Tingkat Puskesmas. Jakarta: Depkes RI.

Dirjen Bina Gizi dan KIA, 2011. Standar Antropometri Penilaian Status Gizi

Anak. Jakarta: Kemenkes RI.

Ditjen Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum R.I. 1997. Rumah dan

Lingkungan Pemukiman Sehat . Jakarta : Departemen PU R.I.

Ditjen PPM dan PL. 2002. Pedoman Teknis Penilaian Rumah sehat . Jakarta:

Departemen Kesehatan R.I.

Ditjen PP&PL. 2011. Laporan Situasi Terkini Perkembangan Tuberkulosis di

Indonesia Januari-Juni 2011. Jakarta: Kemenkes RI.

Ditjen PP&PL, 2012. Laporan Situasi Terkini Perkembangan Tuberkulosis di

Indonesia Januari-Desember 2012. Jakarta: Kemenkes RI.

Entjang, I. 1991. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Fatimah, S. 2008. “Faktor Kesehatan Lingkungan Rumah Yang Berhubungan

Dengan Kejadian Tuberkulosis Paru Di Kabupaten Cilacap (Kecamatan:

Sidareja, Cipari, Kedungreja, Patimuan, Gandrungmangu, Bantarsari) Tahun

2008” (tesis). Semarang: UNDIP.

Feng, J.Y. 2012. “Gender Differences in Treatment Outcomes of Tuberculosis

Patients in Taiwan: a Prospective Observational Study”. Pubmed.(serial

online), Juni 2012. Tersedia di http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/

22734962. Diakses Februari 2013.

Fitriatun, S. 2002. “Kondisi Rumah Sebagai Faktor Risiko Tuberkulosis Paru

Pada Balita Yang Berkunjung Di BP4 Semarang Tahun 2002” (tesis),

Semarang: UNDIP.

60

Girsang, M.; Tobing, K.; Rafrizal. 2011.”Faktor Penyebab Kejadian Tuberculosis

Serta Hubungannya Dengan Lingkungan Tempat Tinggal Di Provinsi Jawa

Tengah (Analisis Lanjut Riskesdas 2007)”. Bul. Penelit. Kesehat, Vol. 39,

No.1, 2011: 34 – 41. Diakses pada Februari 2013.

Gould, D. dan Brooker (2003). Mikrobiologi Terapan untuk Perawat. Jakarta:

EGC

Haryani. 2007. “Faktor Risiko Yang Berhubungan Dengan Kejadian Tuberkulosis

Anak di Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta” (tesis). Yogyakarta:

UGM.

Jelalu, T. 2008. “Faktor-Faktor Risiko Kejadian Tubekulosis Paru Pada Orang

Dewasa di Kabupaten Kupang” (tesis). Yogyakarta: UGM.

Kementrian Kesehatan RI. 1999. Keputusan Menteri Kesehatan No. 829 Tahun

1999 Tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan. Jakarta: Kemenkes RI.

Keman, S. 2005. Kesehatan Perumahan Dan Lingkungan Pemukian. Jurnal

Kesehatan Lingkungan Vol. 2, Juli 2005: 29 -42: Surabaya :UNAIR.

Kusnoputranto, H. 1986. Kesehatan Lingkungan. Jakarta: UI.

Ladefoged, K.; Rendal, T.; Skifte, T.; Andersson, M.; Soborg, B.; Koch, A. 2011.

“Risk factors for tuberculosis in Greenland: case-control study”. Pubmed

Januari 2011: Tersedia di http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21276295.

Diakses pada tanggal 07 Maret 2013.

Lonnroth, K.; Brian, G.; Williams; Stadlin, S.; Jaramillo, E.; Christopher, D.

“Alcohol Use as a Risk Factor for Tuberculosis – a systematic review”. BMC

Public Health 2008, 8:289 doi:10.1186/1471-2458-8-289. Tersedia di

http://www. biomedcentral.com/1471-2458/8/289. diakses Maret 2013.

Mahpudin, A.H. 2006. “Hubungan faktor Lingkungan Fisik Rumah, Sosial

Ekonomi Dan Respon Biologis Terhadap Kejadian Tuberkulosis Paru BTA

Positif Pada Penduduk Dewasa di Indonesia (analisis data SPTBC Susenas

2004)” (tesis). Jakarta: UI.

Marsaulina, I. 2009. “Hubungan Karakteristik Penderita, Lingkungan Fisik

Rumah Dan Wilayah Dengan Kejadian Tuberkulosis Paru Di Kabupaten Aceh

Tenggara Tahun 2009”. Respitory USU (serial online), 19 September 2011.

Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah RI. 2002. Keputusan Menteri

Permukiman Dan Prasarana Wilayah Nomor: 403/KPTS/M/2002 Tentang

Pedoman Teknis Pembangunan Rumah Sederhana Sehat (Rs SEHAT). Jakarta:

Kepmen Permukiman dan Prasarana.

61

Mubarak, W.I.; Chayatin, N. 2009. Ilmu Kesehatan Masyarakat Teori Dan

Aplikasi. Jakarta: Salemba Medika.

Narasimhan, P.; Wood, J.; Macintyre, C.R.; Mathai, D. 2012. “Risk Factors for

Tuberculosis”. Pulmonary Medicine Vol. 2013 (2013), Article ID 828939, 11

pages. Tersedia di http://dx.doi.org/10.1155/2013/828939. Diakses pada

tanggal 07 Maret 2013.

Nasution, E.J.S. 2007. ”Profil Penderita Tuberkulosis Paru dengan Diabetes

Mellitus dihubungkan dengan Kadar Gula Darah Puasa” (tesis).

Medan: USU.

Notoatmodjo, S. 2007. Ilmu Kesehatan Masyarakat Ilmu Dan Seni. Jakarta: Rineka

Cipta.

Nugroho, A. 2009. ”Faktor Yang Berhubungan Dengan Sebaran Penyakit

Tuberkulosis Paru BTA psoitif”(tesis).Jogyakarta: Universitas Gajah Mada.

Nurhidayah, I.; Mamad, L.; Windy, R. 2007. “Hubungan Antara Karakteristik

Lingkungan Rumah Dengan Kejadian Tuberkulosis (TB) Pada Anak Di

Kecamatan Paseh Kabupaten Subang” (tesis). Bandung: UNPAD.

Pertiwi, R.N.; Wuryanto, M.A.; Sutiningsih, D. 2011. “Hubungan Antara

Karakteristik Individu, Praktik Hygiene Dan Sanitasi Lingkungan Dengan

Kejadian Tuberculosis Di Kecamatan Semarang Utara Tahun 2011”. Jurnal

Kesehatan Masyarakat, Volume 1, Nomor 2, Tahun 2012, Halaman 435 –

445. Tersedia di http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jkm. Diakses pada

Januari 2013.

Priyadi, S. 2001. “Hubungan Kebiasaan Merokok dengan Kejadian Tuberkulosis

Paru di Kabupaten Banjarnegara” (tesis). Semarang: UNDIP.

Priyadi, S. 2003. “Analisa Beberapa Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian

TB Paru BTA(+) di Kabupaten Wonosobo” (tesis). Semarang: UNDIP.

Program Pasca Sarjana Unud. 2010. Buku Pedoman Penulisan Usulan Penelitian,

Tesis Dan Disertasi. Denpasar: UNUD.

Purwaningtyas, W. 2009. “Status Gizi Anak Tuberkulosis Paru Di Balai Paru

Kesehatan Masyarakat (BPKM) Semarang”. Eprints(serial online), 17 Januari

2011. Tersedia di http://eprints.undip.ac.id/25705. Diakses pada tanggal 4

Februari 2013.

Retnoningsih, E.; Taviv, Y.; Yahya. 2010. “Model Prediksi Faktor Risiko Infeksi

TB Paru Kontak Serumah Untuk Perencanaan Program Di Kabupaten Oku

62

Provinsi Sumatra Selatan Tahun 2010 (Model Faktor Risiko Infeksi TB

Paru)”. Jakarta: Balitbang Kemenkes RI.

Rusnoto; Pasihan, R.; Udino, A. 2005. ”Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan

Kejadian Tuberkulosis Paru Pada Usia Dewasa (Studi Kasus di Balai

Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Paru Pati)”,Semarang: Universitas

Diponogoro.

Ruswanto, B. 2010. “Analisis Spasial Sebaran Kasus Tuberkulosis Paru Ditinjau

dari Faktor Lingkungan Dalam dan Luar Rumah di Kabupaten Pekalongan

(tesis)”. Semarang: UNDIP.

Sajinadiyasa; Bagiada; Rai. 2010.” Prevalensi dan Risiko Merokok pada Penyakit

Paru di Poliklinik Paru Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah”. J.Penyakit

Dalam, vol. 11 nomor 2 Mei 2010. Diakses pada tanggal 22 Februari 2013.

Sastroasmoro, S.; Sofyan, I. 2011. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis,

Edisi ke-4. Jakarta: CV Sagung Seto.

Setiarini I. 2010. “Penggunaan Vaksin BCG Untuk Pencegahan Tuberkulosis”.

Tersedia di http:/lyosefw.wordpress. com/2008/01/02/ penggunaanvaksinasi-

bcg-untuk-pencegahan-tuberculosis/. Diakses pada tanggal 2 Agustus 2013.

Soysal, A.; Millington, K.A.; Bakir, M.; Dosanjh, D.; Asla,n Y.; Deeks, J.J.; Efe,

S.; Staveley, I.; Ewer, K.; Lalvani, A., 2005. “Effect of BCG vaccination on

risk of Mycobacterium tuberculosis infection in children with household

tuberculosis contact: a prospective community-based study”. Lancet

366(9495): Department of Paediatrics, Marmara University School of

Medicine, Istanbul, Turkey. Diambil tanggal 4 Februari 2013.

Supari. 2005. “Hubungan Faktor Fisik Rumah Terhadap Kejadian Tuberkulosis

Paru di Wilayah Puskesmas Karang Jati Kecamatan Karang Jati Kabupaten

Ngawi” (tesis). Semarang: UNDIP.

Supariasa. 2011. Pendidikan & Konsultasi Gizi. Jakarta: EGC.

Supraptini; Hapsari, D. 2011. “Status Gizi Balita Berdasarkan Kondisi Lingkungan

Dan Status Ekonomi (Data Riskesdas 2007)”. Ekologi Kesehatan, Vol. 10, No

2, Juni 2011 : 103 -1. Tersedia di ejournal.lituberkulosisang.depkes.go.id.

Diakses pada tanggal 4 Februari 2013.

Susilawati. 2012. “Faktor Risiko Tuberkulosis Paru BTA Positif Daerah Dataran

Tinggi Kabupaten Temanggung Provinsi Jawa Tengah” (tesis). Yogyakarta:

UGM.

63

Sutowo, H. 2010. ”Faktor Risiko Penularan Tuberkulosis Pada Kontak Serumah

Penderita TB Paru BTA + di Kota Mataram Provinsi NTB” (tesis). Surabaya:

Universitas Airlangga.

Taha, M..; Deribew, A.; Tessema, F.; Assegid, S.; Duchateau, L.; Colebunders, R.

2011. “Risk Factors Of Active Tuberculosis In People Living With HIV/AIDS

In Southwest Ethiopia: A Case Control Study”. Pubmed Vol.21 No.12 Juli

2011: Tersedia di http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22434992. Diakses

pada tanggal 07 Maret 2013.

Widoyono. 2008. “Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan Dan

Pemberantasannya”. Surabaya: Erlangga.

Widyasari, R.M.; Wuryanto, M.A.; Setyawan, H. S. 2011. “Hubungan Antara

Jenis Kepribadian, Riwayat Diabetes Mellitus Dan Riwayat Paparan Merokok

Dengan Kejadian Tuberkulosis Paru Dewasa Di Wilayah Kecamatan

Semarang Utara Tahun 2011”. Jurnal Kesehatan Masyarakat, Vol.1 Nomor 2

Tahun 2012: Halaman 446-453. Tersedia di http://ejournals1.undip.ac.id/-

index. php/jkm. Diakses pada Maret 2013.

Wijaya, A.A. 2012. “Merokok dan Tuberkulosis”. Jurnal Tuberkulosis Indonesia,

vol 8. Jakarta: PPTI. Diakses pada tanggal 22 Februari 2013.

WHO 2004. “Pedoman Surveilans HIV Diantara Pasien Tuberkulosis Edisi Kedua

Terjemahan”. WHO-Geneva.

WHO 2012. “Global Tuberculosis Report 2012”. World Health Organization 20

Avenue Appia, 1211–Geneva–27, Switzerland. Tersedia di www. who.int/-

tuberkulosis. diakses pada tanggal 11 Februari 2013.

Yadip, M. 2009. “Faktor Risiko Kemiskinan Pada Kejadian Penyakit Tuberkulosis

Paru BTA Positif di Kota Lubuklinggau Tahun 2008” (tesis). Yogyakarta:

UGM.

Yang, Z. 2004. “Identification of Risk Factors for Extrapulmonary Tuberculosis”.

Pubmed, Januari 2004. Tersedia di http:// www. ncbi.nlm.nih.gov/ pubmed/-

14699451. Diakses pada tanggal 10 Februari 2013.

Yulistyaningrum; Rejeki, D.S.S. 2010. “Hubungan Riwayat Kontak Penderita

Tuberkulosis Paru (TB) Dengan Kejadian TB Paru Anak Di Balai

Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) Purwokerto”. Jurnal Kesmas vol. 4

No.1 September 2010. Diakses pada tanggal 10 Februari 2013.