penelitian bab 1-5 new

76
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia, sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang -Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berkaitan dengan hal itu, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan bahwa derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dicapai melalui penyelenggaraan pembangunan kesehatan. Derajat kesehatan masyarakat pada hakikatnya dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, perilaku masyarakat, pelayanan kesehatan dan genetika. Kalangan ilmuwan umumnya berpendapat bahwa determinan utama dari derajat kesehatan masyarakat tersebut selain kondisi lingkungan adalah perilaku masyarakat (Pedoman Pembinaan PHBS, 2011). Salah satu penyakit terbanyak yang disebabkan oleh buruknya sanitasi di lingkungan masyarakat adalah diare, yaitu buang air besar yang tidak normal berbentuk tinja encer dengan frekuensi lebih banyak dari biasanya (Hiswani, 2003). Faktor lingkungan yang memiliki pengaruh sangat dominan terhadap kejadian penyakit ini adalah sarana air bersih dan

Upload: made-pageh-undiksha

Post on 02-Aug-2015

2.151 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Penelitian Bab 1-5 New

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus

diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia, sebagaimana dimaksud dalam

Pancasila dan Undang -Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berkaitan

dengan hal itu, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan menyatakan bahwa derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya

dicapai melalui penyelenggaraan pembangunan kesehatan. Derajat kesehatan masyarakat

pada hakikatnya dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, perilaku masyarakat, pelayanan

kesehatan dan genetika. Kalangan ilmuwan umumnya berpendapat bahwa determinan

utama dari derajat kesehatan masyarakat tersebut selain kondisi lingkungan adalah perilaku

masyarakat (Pedoman Pembinaan PHBS, 2011).

Salah satu penyakit terbanyak yang disebabkan oleh buruknya sanitasi di lingkungan

masyarakat adalah diare, yaitu buang air besar yang tidak normal berbentuk tinja encer

dengan frekuensi lebih banyak dari biasanya (Hiswani, 2003). Faktor lingkungan yang

memiliki pengaruh sangat dominan terhadap kejadian penyakit ini adalah sarana air bersih

dan pembuangan tinja. Kedua faktor ini akan berinteraksi bersama perilaku manusia,

apabila faktor lingkungan yang tidak sehat karena tercemar bakteri atau virus berakumulasi

dengan perilaku manusia yang tidak sehat pula, maka dapat menimbulkan kejadian

penyakit diare (Depkes RI, 2005).

Berdasarkan hasil penelitian Sucipto (2003), penyebab diare pada anak balita di

Puskesmas Sinokidul adalah ketersediaan air bersih dan perilaku hidup bersih dan sehat.

Menurut penelitian Nilton, dkk (2008) faktor-faktor penyebab diare adalah menggunakan

air sumur, minum air yang tidak dimasak, sumur < 10 meter, tidak mempunyai jamban,

tidak menggunakan jamban, tidak mempunyai tempat sampah dan tidak cuci tangan.

Sedangkan hasil penelitian Apriyanti, dkk (2009), menunjukan bahwa ada hubungan yang

Page 2: Penelitian Bab 1-5 New

2

signifikan antara, kebiasaan cuci tangan, dan penggunaan jamban dengan kejadian diare

pada balita.

Menurut data World Health Organization (WHO) pada tahun 2004, diare adalah

penyebab nomor satu kematian balita di dunia. Bahkan, UNICEF melaporkan setiap detik

satu anak meninggal karena diare. Hal ini banyak terjadi di negara-negara berkembang

seperti Indonesia karena buruknya perilaku higiene perorangan dan sanitasi masyarakat

yang dipengaruhi oleh rendahnya tingkat sosial, ekonomi dan pendidikan (Novick and

Marr, 2003).

Di Indonesia, diare masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang

utama. Hal ini disebabkan masih tingginya angka kesakitan dan menimbulkan banyak

kematian terutama pada bayi dan balita, serta sering menimbulkan kejadian luar biasa. Data

dari profil kesehatan Indonesia tahun 2000-2010 terlihat kecenderungan insiden diare

meningkat. Pada tahun 2000 IR (incidence rate) penyakit diare 301/1000 penduduk, tahun

2003 naik menjadi 374/1000 penduduk, tahun 2006 naik menjadi 423/1000 penduduk dan

tahun 2010 menjadi 411/1000 penduduk. Pada tahun 2010 dilaporkan terjadi KLB dengan

jumlah kasus 2.580 dengan kematian sebanyak 77 kasus (CFR: 2,98%) (Kemenkes RI,

2011).

Di Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali terjadi peningkatan morbiditas diare secara

signifikan. Berdasarkan profil kesehatan Kabupaten Karangasem, IR diare meningkat dari

18,6/1000 penduduk tahun 2009 dan 20,06/1000 penduduk tahun 2010, menjadi 51/1000

penduduk pada tahun 2011. Sebesar 55% dari 18.601 kasus yang tercatat merupakan kasus

diare pada balita. Berdasarkan pengkajian di wilayah kerja Puskesmas Bebandem,

Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem, jumlah balita diare mengalami

peningkatan dari 188 balita tahun 2009 dan 231 balita tahun 2010 menjadi 238 balita pada

tahun 2011. Dari 8 (delapan) desa di wilayah kerja Puskesmas Bebandem, Desa Bungaya

Kangin memiliki insiden diare pada balita tertinggi dalam tiga tahun berturut turut (Gambar

01).

Kondisi sehat dapat dicapai dengan mengubah perilaku dari yang tidak sehat menjadi

perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) dan menciptakan lingkungan sehat di rumah

tangga. Menurut Green (1990) dalam Notoatmodjo S. (2007) salah satu faktor seseorang

Page 3: Penelitian Bab 1-5 New

3

melakukan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat adalah faktor pemungkin (enambling factor)

yaitu faktor pemicu terhadap perilaku yang memungkinkan suatu tindakan atau motivasi.

Faktor pemicu tersebut mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas

kesehatan misalnya air bersih, tempat pembuangan sampah, ketersediaan jamban, makanan

bergizi dan sebagainya.

Gambar 01. Jumlah Balita Diare Berdasarkan Desa di Wilayah KerjaPuskesmas Bebandem Tahun 2009 s.d. 2011

Berdasarkan 7 indikator PHBS dan 3 indikator gaya hidup sehat yang berhubungan

dengan kejadian diare pada balita adalah mencuci tangan pakai sabun, menggunakan air

bersih, dan menggunakan jamban (Pedoman Pembinaan PHBS, 2011). Hasil studi Basic

Human Services (BHS) di Indonesia tahun 2006 dalam KepMenKes RI No. 852 tentang

Strategi Nasional Sanitasi Total Berbasis Masyarakat, perilaku masyarakat dalam mencuci

tangan adalah setelah buang air besar 12%, setelah membersihkan tinja bayi dan balita 9%,

sebelum makan 14%, sebelum memberi makan bayi 7%, dan sebelum menyiapkan

makanan 6%. Dan perilaku pengelolaan air minum rumah tangga menunjukan 99,20%

merebus air untuk mendapatkan air minum, tetapi 47,50 % dari air tersebut masih

Page 4: Penelitian Bab 1-5 New

4

mengandung Eschericia coli. Kondisi tersebut berkontribusi terhadap tingginya angka

kejadian diare di Indonesia.

Beranjak dari hasil studi pendahuluan, maka penulis tertarik untuk melakukan

penelitian dengan judul “ Hubungan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) rumah tangga

dengan kejadian diare pada balita di wilayah kerja Puskesmas Bebandem Kabupaten

Karangasem pada bulan Juli-Agustus 2012”.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimanakah gambaran perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) rumah tangga dengan

kejadian diare pada balita di wilayah kerja Puskesmas Bebandem Kabupaten Karangasem

pada bulan Juli-Agustus 2012?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui gambaran perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) rumah tangga dengan

kejadian diare pada balita di wilayah kerja Puskesmas Bebandem Kabupaten Karangasem

pada bulan Juli-Agustus 2012.

1.3.2 Tujuan Khusus

Penelitian ini bertujuan, antara lain:

1. Untuk mengetahui karakteristik responden di wilayah kerja Puskesmas Bebandem

Kabupaten Karangasem pada bulan Juli-Agustus 2012.

2. Untuk mengetahui kejadian diare pada balita di wilayah kerja Puskesmas Bebandem

Kabupaten Karangasem pada bulan Juli-Agustus 2012.

3. Untuk mengetahui gambaran PHBS (penggunaan air bersih, penggunaan jamban, dan

mencuci tangan) rumah tangga di wilayah kerja Puskesmas Bebandem Kabupaten

Karangasem pada bulan Juli-Agustus 2012.

4. Untuk mengetahui kejadian diare berdasarkan karakteristik responden di wilayah

kerja Puskesmas Bebandem Kabupaten Karangasem pada bulan Juli-Agustus 2012.

Page 5: Penelitian Bab 1-5 New

5

5. Untuk mengetahui kejadian diare berdasarkan gambaran PHBS (penggunaan air

bersih, penggunaan jamban, dan mencuci tangan) rumah tangga di wilayah kerja

Puskesmas Bebandem Kabupaten Karangasem pada bulan Juli-Agustus 2012.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat:

1. Bagi Masyarakat Setempat

Memberikan informasi kepada masyarakat tentang gambaran PHBS rumah tangga

dengan kejadian diare pada balita sehingga masyarakat dapat mengetahui pentingnya

PHBS dan menerapkan PHBS dalam ke hidupan sehari-hari untuk mencegah

penyakit diare.

2. Bagi Instansi Puskesmas

Memberikan informasi bagi Puskesmas Bebandem tentang hubungan PHBS rumah

tangga dengan kejadian diare pada balita. Sehingga hasil penelitian diharapkan dapat

digunakan sebagai dasar evaluasi maupun perancangan dalam rangka pengambilan

keputusan penanggulangan penyakit diare di wilayah kerja Puskesmas Bebandem dan

dapat menurunkan angka kejadian kasus diare.

3. Bagi Peneliti

Hasil penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai referensi bagi penelitian yang

lebih lanjut.

Page 6: Penelitian Bab 1-5 New

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)

2.1.1 Pengertian Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)

Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) adalah sekumpulan perilaku yang dipraktikkan

atas dasar kesadaran sebagai hasil pembelajaran, yang menjadikan seseorang,

keluarga,kelompok atau masyarakat mampu menolong dirinya sendiri (mandiri) di bidang

kesehatan dan berperan aktif dalam mewujudkan kesehatan masyarakat. Dengan

demikian,PHBS mencakup beratus-ratus bahkan mungkin beribu-ribu perilaku yang harus

dipraktikkan dalam rangka mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-

tingginya.

Dibidang pencegahan dan penanngulangan penyakit serta kesehatan lingkungan

harus dipraktikkan perilaku mencuci tangan dengan sabun, pengelolaan air minum dan

makanan yang memenuhi syarat, menggunakan air bersih, menggunakan jamban sehat,

pengelolaan limbah cair yang memenuhi syarat, memberantas jentik nyamuk, tidak

merokok di dalam ruangan dan lain-lain. Di bidang kesehatan ibu dan anak serta keluarga

berencana harus dipraktikkan perilaku meminta pertolongan persalinan oleh tenaga

kesehatan, menimbang balita setiap bulan,menimbang, imunisasi lengkap bayi, menjadi

akseptor keluaran berencana dan lain-lain. Di bidang gizi dan farmasi harus dipraktikkan

perilaku makan dengan sehat seimbang, minum Tablet Tambah Darah selama hamil,

memberi bayi air susu ibu (ASI) eksklusif, mengonsumsi Garam Beryodium dan lainlain.

Sedangkan di bidang pemeliharaan kesehatan harus dipraktikkan perilaku ikut serta dalam

jaminan pemeliharaan kesehatan, aktif mengurus dan atau memanfaatkan upaya kesehatan

bersumberdaya masyarakat (UKBM), memanfaatkan Puskesmas dan fasilitas pelayanan

kesehatan lain dan lain-lain.

2.1.2 Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di Berbagai Tatanan

PHBS mencakup semua perilaku yang harus dipraktikkan di bidang pencegahan dan

penanggulangan penyakit, penyehatan lingkungan, kesehatan ibu dan anak, keluarga

berencana, gizi, farmasi dan pemeliharaan kesehatan. Perilaku-perilaku tersebut harus

Page 7: Penelitian Bab 1-5 New

7

dipraktikkan dimana pun seseorang berada di rumah tangga, di institusi pendidikan, di

tempat kerja, di tempat umum dan di fasilitas pelayanan kesehatan – sesuai dengan situasi

dan kondisi yang dijumpai.

1. PHBS di Rumah Tangga

Di rumah tangga, sasaran primer harus mempraktikkan perilaku yang dapat

menciptakan Rumah Tangga Ber- PHBS, yang mencakup persalinan ditolong oleh

tenaga kesehatan, memberi bayi ASI eksklusif, menimbang balita setiap bulan,

menggunakan air bersih, mencuci tangan dengan air bersih dan sabun, pengelolaan air

minum dan makan di rumah tangga, menggunakan jamban sehat (Stop Buang Air

Besar Sembarangan/Stop BABS), pengelolaan limbah cair di rumah tangga,

membuang sampah di tempat sampah, memberantas jentik nyamuk, makan buah dan

sayur setiap hari, melakukan aktivitast fisik setiap hari, tidak merokok di dalam

rumah dan lain-lain.

2. PHBS di Institusi Pendidikan

Di institusi pendidikan (kampus, sekolah, pesantren, seminari, padepokan dan lain-

lain), sasaran primer harus mempraktikkan perilaku yang dapat menciptakan Insttusi

Pendidikan Ber-PHBS, yang mencakup antara lain mencuci tangan menggunakan

sabun, mengkonsumsi makanan dan minuman sehat, menggunakan jamban sehat,

membuang sampah di tempat sampah, tidak merokok, tidak mengkonsumsi Narkotika,

Alkohol, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA), tidak meludah sembarang

tempat, memberantas jentik nyamuk dan lain-lain.

3. PHBS di Tempat Kerja

Di tempat kerja (kantor, pabrik dan lain-lain), sasaran primer harus mempraktikkan

perilaku yang dapat menciptakan Tempat Kerja Ber-PHBS, yang mencakup mencuci

tangan dengan sabun, mengkonsumsi makanan dan minuman sehat, menggunakan

jamban sehat, membuang sampah di tempat sampah, tidak merokok, tidak

mengkonsumsi NAPZA, tidak meludah sembarang tempat, memberantas jentik

nyamuk dan lain-lain.

4. PHBS di Tempat Umum

Page 8: Penelitian Bab 1-5 New

8

Di tempat umum (tempat ibadah, pasar, pertokoan, terminal, dermaga dan lain-lain),

sasaran primer harus mempraktikkan perilaku yang dapat menciptakan Tempat Umum

Ber-PHBS, yang mencakup mencuci tangan dengan sabun, menggunakan jamban

sehat, membuang sampah di tempat sampah, tidak merokok, tidak mengkonsumsi

NAPZA, tidak meludah di sembarang tempat, memberantas jentik nyamuk dan lain-

lain.

5. PHBS di Fasilitas Pelayanan Kesehatan

Di fasilitas pelayanan kesehatan (klinik, Puskesmas, rumah sakit dan lain-lain),

sasaran primer harus mempraktikkan perilaku yang dapat menciptakan Fasilitas

pelayanan kesehatan Ber-PHBS, yang mencakup mencuci tangan dengan sabun,

menggunakan jamban sehat, membuang sampah di tempat sampah, tidak merokok,

tidak mengkonsumsi NAPZA, tidak meludah di sembarang tempat, memberantas

jentik nyamuk dan lain-lain.

2.2. Gambaran Umum Diare

2.2.1. Pengertian Diare

Diare berasal dari bahasa Yunani yaitu diarroi yang berarti mengalir terus. Terdapat

beberapa pendapat tentang defenisi penyakit diare. Hipocrates mendefinisikan diare

sebagai buang air besar dengan frekuensi yang tidak normal (meningkat) dan konsistensi

tinja yang lebih lembek atau cair. Menurut WHO (2005), penyakit diare adalah gejala yang

umum, di mana penderita diare buang air besar (defekasi) lebih sering dari biasanya, dan

konsistensi tinjanya encer, berat tinjanya lebih dari 200 gram atau berat tinjanya kurang

dari 200 gram tapi buang air besar lebih dari 3 kali sehari dan tinjanya berlendir, berdarah.

Sedangkan menurut Depkes RI (2005) secara operasinoal diare adalah buang air besar

lembek/cair bahkan dapat berupa air saja yang frekuensinya lebih sering dari biasanya dan

berlangsung kurang dari 14 hari.

2.2.2. Faktor-Faktor Penyebab Diare

Menurut Widoyono (2008), diare dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain:

1. Faktor infeksi

Infeksi saluran pencernaan makanan yang merupakan penyebab utama diare yang

disebabkan oleh infeksi bakteri, virus atau parasite.

Page 9: Penelitian Bab 1-5 New

9

2. Faktor Malabsorsi

Faktor malabsorpsi dibagi menjadi dua yaitu malabsorpsi karbohidrat dan lemak.

Malabsorpsi karbohidrat, pada bayi kepekaan terhadap lactoglobulis dalam susu

formula dapat menyebabkan diare. Gejalanya berupa diare berat, tinja berbau sangat

asam, dan sakit di daerah perut. Sedangkan malabsorpsi lemak, terjadi bila dalam

makanan terdapat lemak yang disebut triglyserida. Triglyserida, dengan bantuan

kelenjar lipase, mengubah lemak menjadi micelles yang siap diabsorpsi usus. Jika

tidak ada lipase dan terjadi kerusakan mukosa usus, diare dapat muncul karena

lemak tidak terserap dengan baik.

3. Faktor makanan

Makanan yang mengakibatkan diare adalah makanan yang tercemar, basi, beracun,

terlalu banyak lemak, mentah (sayuran) dan kurang matang. Makanan yang

terkontaminasi jauh lebih mudah mengakibatkan diare pada anak-anak balita.

4. Faktor lingkungan

Dapat terjadi pada lingkungan yang tidak saniter seperti : Pasokan air tidak

memadai, air terkontaminasi tinja, jamban tidak memenuhi syarat kesehatan.

Sumber air minum utama merupakan salah satu sarana sanitasi yang tidak kalah

pentingnya berkaitan dengan kejadian diare. Sebagian kuman infeksius penyebab

diare ditularkan melalui jalur fekal oral. Mereka dapat ditularkan dengan

memasukkan ke dalam mulut, cairan atau benda yang tercemar dengan tinja,

misalnya air minum, jari-jari tangan, dan makanan yang disiapkan dalam panci

yang dicuci dengan air tercemar (Depkes RI,2004). Tempat pembuangan tinja yang

tidak memenuhi syarat sanitasi akan meningkatkan risiko terjadinya diare berdarah

pada anak balita sebesar dua kali lipat dibandingkan keluarga yang mempunyai

kebiasaan membuang tinjanya yang memenuhi syarat sanitasi (Wibowo, 2004).

5. Faktor perilaku pengasuh

Menurut Depkes RI (2005), faktor perilaku pengasuh yang dapat menyebabkan

penyebaran bakteri patogen dan meningkatkan risiko terjadinya diare adalah

sebagai berikut :

a. Tidak memberikan ASI secara penuh 4-6 bulan pada pertama kehidupan.

Page 10: Penelitian Bab 1-5 New

10

b. Menggunakan botol susu yang memudahkan pencemaran bakteri pathogen,

karena botol susu susah dibersihkan.

c. Menyimpan makanan pada suhu kamar, yang jika didiamkan beberapa jam

bakteri pathogen akan berkembang biak.

d. Menggunakan air minum yang tercemar.

e. Tidak mencuci tangan setelah buang air besar atau sesudah makan dan

menyuapi anak.

f. Tidak membuang tinja (termasuk tinja bayi) dengan benar.

Menurut hasil penelitian Irianto (1996), bahwa anak balita berasal dari

keluarga yang menggunakan jamban (kakus) yang dilengkapi dengan tangki

septik, prevalensi diare 7,4% terjadi di kota dan 7,2% di desa. Sedangkan

keluarga yang menggunakan kakus tanpa tangki septik 12,1% diare terjadi di

kota dan 8,9 % di desa. Kejadian diare tertinggi terdapat pada keluaga yang

mempergunakan sungai sebagai tempat pembuangan tinja, yaitu, 17,0% di

kota dan 12,7% di desa.

6. Faktor psikologis

Rasa takut, cemas, dan tegang, jika terjadi pada anak dapat menyebabkan diare

kronis. Tetapi jarang terjadi pada anak balita,umumnya terjadi pada anak yang lebih

besar.

7. Faktor Sosiodemografi

Demografi adalah ilmu yang mempelajari persoalan dan keadaan perubahan-

perubahan penduduk yang berhubungan dengan komponen-komponen

perubahan tersebut seperti kelahiran, kematian, migrasi sehingga menghasilkan

suatu keadaan dan komposisi penduduk menurut umur dan jenis kelamin

tertentu (Lembaga Demografi FE UI, 2000). Dalam pengertian yang lebih luas,

demografi juga memperhatikan berbagai karakteristik individu maupun

kelompok yang meliputi karakteristik sosial dan demografi,

karakteristik pendidikan dan karakteristik ekonomi. Karakteristik sosial dan

demografi meliputi: jenis kelamin, umur, status perkawinan, dan agama.

Page 11: Penelitian Bab 1-5 New

11

Karakteristik pendidikan meliputi: tingkat pendidikan. Karakteristik ekonomi

meliputi jenis pekerjaan, status ekonomi dan pendapatan (Mantra, 2000).

Faktor sosiodemografi meliputi tingkat pendidikan ibu, jenis pekerjaan ibu, dan

umur ibu.

a. Tingkat pendidikan

Jenjang pendidikan memegang peranan cukup penting dalam kesehatan

masyarakat. Pendidikan masyarakat yang rendah menjadikan mereka sulit

diberi tahu mengenai pentingnya higiene perorangan dan sanitasi lingkungan

untuk mencegah terjangkitnya penyakit menular, diantaranya diare. Dengan

sulitnya mereka menerima penyuluhan, menyebabkan mereka tidak peduli

terhadap upaya pencegahan penyakit menular (Sander, 2005). Masyarakat yang

memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi lebih berorientasi pada tindakan

preventif, mengetahui lebih banyak tentang masalah kesehatan dan memiliki

status kesehatan yang lebih baik. Pada perempuan, semakin tinggi tingkat

pendidikan, semakin rendah angka kematian bayi dan kematian ibu (Widyastuti,

2005).

b. Pendapatan

Menurut Sarwono (2004) keluarga dengan penghasilan yang tinggi memungkinkan

keluarga tersebut melaksanakan kebersihan lingkungan dan ketersediaan sarana

sanita si lingkungan yang baik sehingga resiko kontak keluarga dengan bakteri

pathogen penyebab penya kit lebih rendah dibandingkan dengan keluarga dengan

pendapatan rendah. Selain itu disebutkan juga bahwa pendapatan berhubungan

dengan pemenuhan kebutuhan makanan bagi keluarga sehingga status gizi anak

juga akan terpengaruh.

c. Umur ibu

Umur merupakan salah satu variabel terkuat yang dipakai untuk memprediksi

perbedaan dalam hal penyakit, kondisi, dan peristiwa kesehatan, dan karena

saling diperbandingkan maka kekuatan variabel umur menjadi mudah dilihat

(Widyastuti, 2005). Notoatmodjo (2003) juga menyebutkan bahwa umur adalah

Page 12: Penelitian Bab 1-5 New

12

variabel yang selalu diperhatikan di dalam penyelidikan-penyelidikan

epidemiologi.

2.2.3. Gejala dan Tanda Diare

Menurut Widoyono (2008), beberapa gejala dan tanda diare antara lain:

1. Gejala Umum

a. Berak cair atau lembek dan sering adalah gejala khas diare

b. Muntah, biasanya menyertai diare pada gastroenteritis akut

c. Demam, dapat mendahului atau tidak mendahului gejala diare

d. Gejala dehidrasi, yaitu mata cekung, ketegangan kulit menurun, apatis, bahkan

gelisah.

2. Gejala Spesifik

a. Vibrio cholera: diare hebat, warna tinja seperti cucian beras dan berbau amis.

b. Disenteriform: tinja berlendir dan berdarah.

2.2.4. Pengobatan Diare

Menurut Widoyono (2008), pengobatan diare yaitu: berdasarkan derajat dehidrasinya,

yaitu:

1. Rehidrasi (pengembalian cairan yang hilang)

Pengobatan yang dilakukan dapat dilakukan dengan memberikan minuman yang ada di

rumah seperti air mineral, air kelapa, larutan gula garam (LGG), air teh, maupun oralit.

2. Teruskan pemberian makanan.

Pemberian makanan seperti semula diberikan sedini mungkin dan disesuaikan dengan

kebutuhan. Makanan tambahan diperlukan pada masa penyembuhan. Untuk bayi, ASI

tetap diberikan bila sebelumnya mendapatkan ASI, namun bila sebelumnya tidak

mendapatkan ASI dapat diteruskan dengan memberikan susu formula.

3. Antibiotik bila perlu.

Sebagian besar penyebab diare adalah rotavirus yang tidak memerlukan antibiotik

dalam penatalaksanaan kasus diare karena tidak bermanfaat dan efek sampingnya

bahkan merugikan penderita.

4. Memberikan tablet Zinc

Page 13: Penelitian Bab 1-5 New

13

Untuk usia kurang dari enam buln diberikan tablet zinc 10mg/KgBB dan apabila usia

lebih dari enam bulan diberikan tablet Zinc sebanyak 20mg/KgBB.

2.3 Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di Dalam Rumah Tangga yang

Berkaitan dengan Penularan Diare pada Balita

PHBS di Rumah Tangga adalah upaya untuk memberdayakan anggota rumah tangga agar

tahu, mau dan mampu melaksanakan perilaku hidup bersih dan sehat serta berperan aktif

dalam gerakan kesehatan di masyarakat. PHBS di Rumah Tangga dilakukan untuk

mencapai Rumah Tangga Sehat. Rumah tangga sehat berarti mampu menjaga,

meningkatkan, dan melindungi kesehatan setiap anggota rumah tangga dari gangguan

ancaman penyakit dan lingkungan yang kurang kondusif untuk hidup sehat (Depkes RI,

2007).

Adapun tujuan serta manfaat PHBS dalam rumah tangga yaitu,: Meningkatkan

pengetahuan, kemauan dan kemampuan anggota rumah tangga untuk melaksanakan PHBS,

berperan aktif dalam gerakan PHBS di masyarakat, setiap rumah tangga meningkatkan

kesehatannya dan tidak mudah sakit, anak tumbuh sehat dan cerdas, serta produktivitas

kerja anggota keluarga meningkat dengan meningkatnya kesehatan anggota rumah tangga

maka biaya yang dialokasikan untuk kesehatan dapat dialihkan untuk biaya investasi

seperti biaya pendidikan, pemenuhan gizi keluarga dan modal usaha untuk peningkatan

pendapatan keluarga.

Rumah Tangga Ber-PHBS adalah rumah tangga yang melakukan 10 PHBS di Rumah

Tangga yaitu:

1. Persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan

2. Memberi bayi ASI eksklusif

3. Menimbang balita setiap bulan

4. Menggunakan air bersih

5. Mencuci tangan dengan air bersih dan sabun

6. Menggunakan jamban sehat

7. Memberantas jentik di rumah sekali seminngu

8. Makan buah dan sayur setiap hari

Page 14: Penelitian Bab 1-5 New

14

9. Melakukan aktivitas fisik setiap hari

10. Tidak merokok di dalam rumah

Dari sepuluh indikator PHBS di atas yang berhubungan dengan kejadian diare adalah:

menggunakan air bersih, menggunakan jamban sehat, dan cuci tangan dengan air dan

sabun.

2.3.1. Penyediaan Air Bersih

2.3.1.1 Air Dalam Kehidupan

Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan manusia setelah udara. Sekitar

tiga per empat tubuh kita terdiri dari air dan tidak seorang pun dapat bertahan hidup lebih

dari 4-5 hari tanpa air minum. Volume air dalam tubuh manusia rata-rata 65% dari total

berat badannya, dan volume tersebut sangat bervariasi pada masing-masing orang, bahkan

juga bervariasi antara bagian-bagian tubuh seseorang. (Chandra, 2007).

Dalam kehidupan sehari-hari air dipergunakan untuk memasak, mencuci, mandi, dan

membersihkan kotoran yang ada di sekitar rumah. Air juga digunakan untuk keperluan

industri, pertanian, pemadam kebakaran, tempat rekreasi, tranportasi, dan lain-lain.

Menurut perhitungan WHO di negara-negara maju volume rata-rata kebutuhan air setiap

individu per hari antara 60 120 liter dan untuk Negara berkembang termasuk Indonesia

setiap orang membutuhkan air antara 30-60 liter per hari. Kebutuhan air tersebut bervariasi

dan bergantung pada keadaan iklim, standar kehidupan, dan kebiasaan masyarakat.

Ditinjau dari sudut ilmu kesehatan masyarakat, penyediaan sumber air bersih harus dapat

memenuhi kebutuhan masyarakat karena persediaan air yang terbatas memudahkan

timbulnya penyakit di masyarakat.

2.3.1.2 Sumber-Sumber Air Bersih

Menurut Chandra (2007) air yang berada di permukaaan bumi ini dapat berasal dari

berbagai sumber. Berdasarkan letak sumbernya, air dapat dibagi menjadi air hujan, air

permukaan, dan air tanah.

1. Air Angkasa (Hujan)

Air angkasa atau air hujan merupakan sumber utama air di bumi. Walau pada saat

presipitasi merupakan air yang paling bersih, air tersebut cenderung mengalami

Page 15: Penelitian Bab 1-5 New

15

pencemaran ketika berada di atmosfer. Pencemaran yang berlangsung di atmosfer

itu dapat disebabkan oleh partikel debu, mikroorganisme dan gas, misalnya karbon

dioksida, nitrogen, dan amonia.

2. Air Permukaan

Air permukaan merupakan salah satu sumber penting bahan baku air bersih. Faktor-

faktor yamg harus diperhatikan, antara lain: mutu atau kualitas baku, jumlah atau

kuantitasnya, dan kontinuitasnya. Dibandingkan dengan sumber air lain, air

permukaan merupakan sumber air yang paling tercemar akibat kegiatan manusia,

fauna, flora dan zat-zat lain. Sumber-sumber air permukaan antara lain sungai,

selokan, rawa, parit, bendungan, danau, laut, dan air terjun. Air terjun dapat dipakai

untuk sumber air di kota-kota besar karena air tersebut sebelumnya sudah

dibendung oleh alam dan jatuh secara gravitasi. Air ini tidak tercemar sehingga

tidak membutuhkan purifikasi bakterial. Sumber air permukaan yang berasal dari

sungai, selokan, dan parit mempunyai persamaan, yaitu airnya mengalir dan dapat

menghanyutkan bahan yang tercemar. Sumber air permukaan yang berasal dari

rawa, bendungan dan danau memiliki air yang tidak mengalir, tersimpan dalam

waktu yang lama, dan mengandung sisa-sisa pembusukan alam, misalnya

pembusukan tumbuh-tumbuhan, ganggang, fungi, dan lain-lain. Air permukaan

yang berasal dari air laut mengandung kadar garam yang tinggi sehingga jika akan

digunakan untuk air minum, air tersebut harus menjalani proses ion-exchange.

3. Air Tanah

Air tanah (ground water) berasal dari air hujan yang jatuh ke permukaan bumi yang

kemudian mengalami perkolasi atau penyerapan ke dalam tanah dan mengalami

proses fertilisasi secara alamiah. Proses-proses yang telah dialami air hujan

tersebut, di dalam perjalanannya ke bawah tanah membuat air tanah menjadi lebih

baik dan lebih murni dibandingkan dengan air permukaan. Air tanah memiliki

beberapa kelebihan dibandingkan sumber lain. Pertama, air tanah biasanya bebas

dari kuman penyakit dan tidak perlu mengalami proses purifikasi atau penjernihan.

Persediaan air tanah juga cukup tersedia sepanjang tahun, saat musim kemarau

sekalipun. Sementara itu, air tanah juga memiliki beberapa kerugian atau

Page 16: Penelitian Bab 1-5 New

16

kelemahan disbanding sumber lainnya. Air tanah mengandung zat-zat mineral

dalam konsentrasi yang tinggi. Kosentrasi yang tinggi dari zat-zat mineral semacam

magnesium, kalsium, dan logam berat seperti besi dapat menyebabkan kesadahan

air. Selain itu, untuk mengisap dan mengalirkan air ke permukaan diperlukan

pompa.

2.3.1.3. Syarat-Syarat Air Bersih

Kelayakan air dapat diukur secara kualitas dan kuantitas. Kualitas air adalah sifat air dan

kandungan makhluk hidup, zat, energi, atau komponen lain dalam air yang mencakup

kualitas fisik, kimia dan biologis (Effendi, 2003). Menurut Kusnaedi (2004), syarat-syarat

kualitas air bersih, antara lain:

1. Syarat Fisik

Persyaratan fisik untuk air bersih, antara lain: airnya jernih tidak keruh, tidak

berwarna, rasanya tawar, tidak berbau, suhunya normal (20- 260C), tidak

mengandung zat padatan.

2. Syarat Kimia

Kualitas air tergolong baik bila memenuhi persyaratan kimia, antara lain: pH netral,

tidak mengandung zat kimia beracun, tidak mengandung garam-garam atau ion-ion

logam, kesadahan rendah, tidak mengandung bahan kimia anorganik.

3. Syarat Biologis

Air tidak boleh mengandung Coliform. Air yang mengandung golongan Coli

dianggap telah terkontaminasi dengan kotoran manusia (Sutrisno, 2004).

Berdasarkan PERMENKES RI No. 416/MENKES/PER/IX/1990, persyaratan

bakteriologis air bersih adalah dilihat dari Coliform tinja per 100 ml sampel air

dengan kadar maksimum yang diperbolehkan adalah 50.

2.3.1.4 Menggunakan Air Bersih

Penyakit diare dapat ditularkan melalui makanan dan air yang tercemar oleh bakteri

pathogen. Keluarga dapat mengurangi resiko diare dengan menggunakan air bersih

yang tersedia dan melindunginya dari kontaminasi baik dari sumbernya maupun di

rumah. Sumber air bersih yang memenuhi syarat adalah paling sedikit jaraknya 10

meter dari sumber pencemar seperti penampungan air kotor, tempat pembuangan

Page 17: Penelitian Bab 1-5 New

17

sampah, jamban/kakus. Menurut Depkes RI (2007), kegiatan yang dapat dilakukan

keluarga adalah:

1. Ambil air dari sumber air yang bersih

2. Tempat penampungan air harus selalu bersih

3. Wadah penyimpanan air harus tertutup dan sering dibersihkan

4. Gayung pengambil air juga harus bersih

5. Masaklah air sampai mendidih sebelum diminum

6. Gunakan alat-alat minum yang bersih

2.3.2 Penggunaan Jamban

2.3.2.1 Pengertian dan Manfaat Jamban

Jamban atau kakus adalah tempat pembuangan kotoran manusia berupa tinja dan air seni.

Yang dimaksud dengan kotoran manusia adalah semua benda atau zat yang tidak dipakai

lagi oleh tubuh dan yang harus dikeluarkan dari dalam tubuh (Notoatmodjo, 2007).

Ditinjau dari sudut kesehatan lingkungan, kotoran manusia merupakan masalah yang

sangat penting. Pembuangan tinja secara layak merupakan kebutuhan kesehatan yang

paling diutamakan. Manfaat penggunaan jamban adalah untuk menjaga lingkungan bersih,

sehat dan tidak berbau, tidak mencemari sumber air yang ada disekitarnya, dan tidak

mengundang datangnya agen penular penyakit.

Pembuangan tinja secara tidak baik dan sembarangan dapat mengakibatkan

kontaminasi pada air, tanah, atau menjadi sumber infeksi, dan akan mendatangkan bahaya

bagi kesehatan, karena penyakit yang tergolong waterborne disease akan mudah

berjangkit. Yang termasuk waterborne disease adalah tifoid, paratifoid, disentri, diare,

kolera, penyakit cacing, hepatitis viral dan sebagainya (Chandra, 2007). Di negara

berkembang, masih banyak terjadi pembuangan tinja secara sembarangan akibat tingkat

sosial ekononi yang rendah, pengetahuan di bidang kesehatan lingkungan yang kurang, dan

kebiasaan buruk dalam pembuangan tinja yang diturunkan dari generasi ke generasi.

Page 18: Penelitian Bab 1-5 New

18

2.3.2.2. Penggunaan Jamban Sehat

Untuk mencegah sekurang-kurangnya mengurangi kontaminasi tinja terhadap lingkungan,

maka pembuangan kotoran manusia harus dikelola dengan baik, pembuangan kotoran

harus di suatu tempat tertentu atau jamban yang sehat. Menurut Departemen Kesehatan

(2009), suatu jamban disebut sehat apabila memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai

berikut:

1.Tidak mencemari sumber air minum (jarak antara sumber air minum dengan

lubang penampungan minimal 10 meter)

2.Tidak berbau

3.Kotoran tidak dapat dijamah oleh serangga atau tikus

4.Tidak mencemari tana disekitarnya

5.Mudah dibersihkan dan aman digunakan

6.Dilengkapi dinding dan atap pelindung

7.Penerangan dan ventilasi cukup

8.Lantai kedap air dan luas ruangan memaadai

9.Tersedia air, sabun, dan alat pembersih

Menurut Depkes RI (2007), dalam menjaga jamban jamban tetap sehat dan bersih

keluarga dapat melakukan beberapa cara yaitu, sebagai berikut:

1. Lantai jamban hendaknya selalu bersih dan tidak ada genangan air.

2. Membersihkan jamban secara teratur sehingga ruangan jamban selalu dalam

keadaan bersih.

3. Di dalam jamban tidak ada kotoran yang terlihat

4. Tidak ada serangga (kecoa, lalat) dan tikus yang berkeliaran

5. Tersedia alat pembersih (sabun, sikat, dan air bersih)

6. Bila ada kerusakan, segera diperbaiki

Menurut Soeparman (2002), jamban sehat juga harus mempertimbangkan pada pemenuhan

berbagai keiinginan berikut:

1. Sedapat mungkin pembuangan tinja dilakukan orang dengan tenang tanpa

terganggu privasinya.

Page 19: Penelitian Bab 1-5 New

19

2. Sedapat mungkin pembuangan tinja dilakukan dengan nyaman (comfort) dalam

posisi dan suasana yang disukainya.

3. Sedapat mungkin pembuangan tinja dapat dilakukan oleh orang yang sedang

menderita penyakit saluran pencernaan dengan tidak menimbulkan risiko bahaya

penularan bagi orang lain.

4. Sedapat mungkin pembuangan tinja dapat dilakukan orang dengan semaksimal

mungkin memperoleh manfaat dari tinja yang dibuang, yang dapat diproses

menjadi kompos atau bio gas.

5. Sedapat mungkin pembuangan tinja dapat dilakukan orang di berbagai daerah

dengan teknik yang sesuai dengan kondisi setempat.

2.3.2.3. Tinja dan Cara Penularan Penyakit Diare

Menurut Depkes RI (2007), jalur penularan penyakit dari tinja atau kotoran manusia

sebagai sumber penyakit melalui mulut sehingga menjadi sakit dapat digambarkan sebagai

berikut:

1. Tinja atau kotoran manusia mengandung agent penyakit sebagai sumber penularan

bila pembuangannya tidak aman maka dapat mencemari tangan, air, tanah, atau

dapat menempel pada lalat dan serangga lainnya yang menghinggapinya.

2. Air yang tercemar tinja dapat mencemari makanan yang selanjutnya makanan

tersebut dimakan oleh manusia atau air yang tercemar diminum oleh manusia.

3. Tinja dapat mencemari tangan atau jari-jari manusia selanjutnya dapat mencemari

makanan pada waktu memasak atau menyiapkan makanan, demikian juga yang

telah tercemar dapat langsung kontak dengan mulut.

4. Tinja secara langsung dapat mencemari makanan yang kemudian makanan

tersebut dimakan oleh manusia, melalui lalat/serangga kuman penyakit dapat

mencemari makanan yang kemudian dimakan oleh manusia.

5. Melalui lalat atau serangga lainnya kuman penyakit dapat mencemari makanan

sewaktu hinggap dimakanan yang kemudian dimakan oleh manusia.

6. Tinja juga dapat mencemari tanah sebagai akibat tidak baiknya sarana pembuangan

tinja atau membuang tinja disembarang tempat di mana tanah tersebut selanjutnya

dapat mencemari makanan atau kontak langsung dengan mulut manusia.

Page 20: Penelitian Bab 1-5 New

20

2.3.3 Cuci Tangan

Tangan yang bersentuhan langsung dengan kotoran manusia dan hewan, ataupun cairan

tubuh lain seperti ingus dan air ludah dapat terkontaminasi oleh kuman-kuman penyakit

seperti bakteri, virus dan parasit yang dapat menempel pada permukaaan kulit. Oleh karena

itu tangan sangat berperan dalam penularan penyakit, khususnya penyakit yang ditularkan

melalui mulut, misalnya diare. Menurut Depkes (2009) tangan akan bebas dari kuman

penyakit apabila cuci tangan dengan baik dan benar.

2.3.3.1. Pengertian Cuci Tangan Pakai Sabun dan Air Mengalir

Menurut Depkes (2009) cuci tangan pakai sabun adalah salah satu tindakan sanitasi dengan

membersihkan tangan dan jari jemari menggunakan air dan sabun oleh manusia untuk

menjadi bersih dan memutuskan mata rantai kuman. Mencuci tangan dengan sabun dikenal

juga sebagai salah satu upaya pencegahan penyakit. Mencuci tangan dengan air saja tidak

cukup. Penggunaan sabun selain membantu singkatnya waktu cuci tangan, dengan

menggosok jemari dengan sabun menghilangkan kuman yang tidak tampak minyak/ lemak/

kotoran di permukaan kulit, serta meninggalkan bau wangi. Perpaduan kebersihan, bau

wangi dan perasaan segar merupakan hal positif yang diperoleh setelah menggunakan

sabun.

2.3.3.2. Waktu Yang Tepat Cuci Tangan

Kebiasaan mencuci tangan dapat mencegah terjadinya diare pada balita. Seorang ibu atau

anggota keluarga harus membiasakan mencuci tangan dengan benar sebelum dan setelah

melakukan kegiatan di bawah ini, sesuai dengan Departemen Kesehatan (2009) :

Setiap kali tangan kita kotor (setelah memegang uang, memegang binatang,

berkebun, dll).

Setelah buang air besar

Setelah menceboki bayi atau anak

Sebelum makan dan menyuapi anak

Sebelum memegang makanan

Sebelum menyusui bayi

Page 21: Penelitian Bab 1-5 New

21

2.3.4. Cara Cuci Tangan Yang Benar

Mencuci tangan yang benar harus menggunakan sabun dan di bawah air yang mengalir.

Menurut Departemen Kesehatan (2009) langkah-langkah teknik mencuci tangan yang

benar adalah sebagai berikut,:

1. Basahi tangan dengan air di bawah kran atau air mengalir.

2. Ambil sabun cair secukupnya untuk seluruh tangan.

3. Gosokkan kedua telapak tangan. Gosokkan sampai ke ujung jari.

4. Telapak tangan kanan menggosok punggung tangan kiri (atau sebaliknya) dengan

jari-jari saling mengunci (berselang-seling) antara tangan kanan dan kiri. Gosok

sela-sela jari tersebut. Lakukan sebaliknya.

5. Letakkan punggung jari satu dengan punggung jari lainnya dan saling mengunci.

6. Usapkan ibu jari tangan kanan dengan telapak kiri dengan gerakan berputar.

Lakukan hal yang sama dengan ibu jari tangan kiri.

7. Gosok telapak tangan dengan punggung jari tangan satunya dengan gerakan ke

depan, ke belakang dan berputar. Lakukan sebaliknya.

8. Pegang pergelangan tangan kanan dengan tangan kiri dan lakukan

gerakan memutar. Lakukan pula untuk tangan kiri.

9. Bersihkan sabun dari kedua tangan dengan air mengalir.

10. Keringkan tangan dengan menggunakan tissue dan bila menggunakan kran, tutup

kran dengan tissue.

2.4 Keterkaitan Kebiasaan Mencuci Tangan, Penggunaan Air Bersih, dan

Penggunaan Jamban dengan Kejadian Diare

Sejumlah penelitian yang menyatakan hubungan penggunaan jamban dan penyediaan air

bersih dengan kejadian diare disajikan dalam tabel berikut.

Tabel 1. Ringkasan Penelitian Hubungan Penggunaan Jamban dan Penyediaan Air Bersih dengan Kejadian Diare

NO PENELITI RANCANGAN HASIL PENELITIAN

1 Suwantoro,

2006

Deskriptif

analitik cross

Ketersediaan sarana air bersih (p=0.003), pemanfaatan sarana air bersih (p=0.0001),

Page 22: Penelitian Bab 1-5 New

22

sectional ketersediaan jamban (p=0.024) dan pemanfaatan jamban (p=0.019) memiliki hubungan signifikan dengan kejadian diare

2 Apriyanti,

dkk., 2009

Survey cross

sectional

Terdapat hubungan yang signifikan antara penggunaan jamban (p value=0,046; α=0,05) dengan kejadian diare pada anak.

3 Arie, dkk.,

2011

Survey analitik

cross sectional

ada hubungan yang bermakna antara variabel pemberian penggunaan air bersih (p= 0,006, OR= 4,021), penggunaan jamban sehat (p= 0,024, OR= 3,043), kebiasaan mencuci tangan (p=0,000, OR= 7,667)

4 Indah, 2011 Survey analitik

cross sectional

ada pengaruh tempat pembuangan tinja (p = 0,030); tempat pembuangan sampah (p = 0,007), sumber air minum (p = 0,002), kebiasaan ibu mencuci tangan (p = 0,003), dan kebiasaan ibu merebus botol susu (p = 0,000)

Tintisnowati,

2010

Survey analitik

cross sectional

ada hubungan antara kebiasaan mencuci tangan setelah Buang Air Besar dengan kejadian diare (p=0,024), ada hubungan kebiasaan mencuci tangan sebelum menyuapi anak dengan kejadian diare (p value=0,02), tidak ada hubungan antara kebiasaan mencuci tangan sebelum memasak dengan kejadian diare (p=0,072), tidak ada hubungan antara kebiasaan mencuci botol dengan sabun dengan kejadian diare (p=0,924).

5 Anggraeni,

2004

Survey cross

sectional

ada hubungan antara kondisi jamban keluarga dengan kejadian diare pada anak balita (p=0,010),ada hubungan antara kondisi tempat sampah dengan kejadian diare pada anak balita (p=0,001),tidak ada hubungan antara kondisi SPAL dengan kejadian diare pada anak balita (p=0,129).Ada hubungan antara kebiasaan cuci tangan dengan kejadian siare pada anak balita (p=0.035)

6 Longginus,

2004

Deskriptif

analitik cross

sectional

Ada hubungan antara cakupan air bersih non perpipaan dengan kejadian diare (p=0.011). Ada hubungan antara cakupan jamban keluarga dengan kejadian diare (p=0,005).

7 Sulistyowati,

2004

Survey cross

sectional

Ada hubungan antara kondisi penggunaan air bersih dengan kejadian diare pada anak balita (p=0,004), ada hubungan antara pemanfaatan

Page 23: Penelitian Bab 1-5 New

23

jamban (p value=0.019) memiliki hubungan signifikan dengan kejadian diare pada balita

8 Fitriatun,

2011

Deskriptif

analitik cross

sectional

praktik mencuci tangan dengan sabun yang memenuhi syarat sebesar 39 responden,p value = 0,030 (39%)ada hubungan yang bermakna dengan kejadian diare pada balita, praktik ibu menyiapkan makanan dan minuman yang memenuhi syarat sebesar 79 responden,p value = 0,591 (79%)tidak ada hubungan yang bermakna dengan kejadian diare pada balita,praktik ibu mensterilkan botol susu yang memenuhi syarat sebesar 54 responden,p value = 0,260 (54%)tidak ada hubungan yang bermakna dengan kejadian diare pada balita

Page 24: Penelitian Bab 1-5 New

24

BAB III

KERANGKA KONSEP PENELITIAN

3.1 Gambar Kerangka Konsep

= variabel yang tidak diteliti

= variabel yang diteliti

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian

Karakteristik Responden :

1. Umur2. Pendidikan3. Pendapatan

Keluarga

Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) :

1. Menggunakan air bersih

2. Menggunakan jamban3. Mencuci tangan dengan

sabun

Kejadian diare pada balita

Faktor makanan

Faktor psikologis

Faktor infeksi

Faktor perilaku pengasuh

Faktor lingkungan

Faktor malabsorpsi

Page 25: Penelitian Bab 1-5 New

25

BAB IV

METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Jenis penelitian yang dipergunakan adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan cross-

sectional.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Bebandem Kabupaten Karangasem pada

bulan Juli-Agustus 2012.

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian

3.3.1 Populasi Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh keluarga yang memiliki anak balita (anak

umur 1-5 tahun) yang berada di wilayah kerja Puskesmas Bebandem Kabupaten

Karangasem dimana dipilih 4 dari 8 desa berdasarkan peningkatan insiden diare pada balita

selama 3 tahun terakhir dengan perkiraan jumlah 3140 orang.

3.3.2 Sampel Penelitian

Sampel dalam penelitian ini merupakan keluarga yang memiliki balita yang berada di

wilayah kerja Puskesmas Bebandem Kabupaten Karangasem.

3.3.2.1 Besar Sampel

Besar sampel yang diperlukan didapatkan berdasarkan perhitungan studi cross-sectional:

Keterangan:

n : besar sampel

Z : sama dengan 1,96 pada confidence interval 95%

Page 26: Penelitian Bab 1-5 New

26

p : proporsi balita yang mengalami diare dengan menggunakan data Riskesdas

Indonesia tahun 2007 (p=0,17)

q : 1–p = 0,83

d : ketepatan absolut yang dipakai (ditetapkan oleh peneliti = 10%)

Maka, akan didapatkan perhitungan sebagai berikut:

Karena jumlah populasi kurang dari 10.000 orang (3140 orang), maka dilakukan

koreksi jumlah sampel dengan menggunakan formula:

Keterangan:

nk : jumlah sampel yang diperlukan bila jumlah populasi penelitian < 10.000

orang

n : jumlah sampel yang diperlukan bila jumlah populasi penelitian ≥ 10.000

N : perkiraan jumlah populasi penelitian

Sampel minimal yang digunakan pada penelitian sebesar 53 orang. Dengan alasan

convinence peneliti menetapkan sampel sebesar 60 orang.

3.3.2.2 Cara Pengambilan Sampel

Dari 8 desa yang merupakan wilayah kerja Puskesmas Bebandem dipilih 4 desa yang

memiliki peningkatan insiden diare pada balita selama 3 tahun terakhir berdasarkan data

register Puskesmas Bebandem. Desa tersebut yaitu Desa Bungaya Kangin, Desa Bungaya,

Desa Bebandem, dan Desa Sibetan. Jumlah sampel dari masing-masing desa dipilih

berdasarkan proporsi masing-masing desa dengan rumus:

Keterangan:

Page 27: Penelitian Bab 1-5 New

27

nd: jumlah sampel masing-masing desa

x : jumlah populasi balita masing-masing desa

y : jumlah total populasi balita dari keempat desa sampel.

Adapun jumlah sampel masing-masing desa sebagai berikut:

Sampel masing-masing desa dipilih secara random yang berdasar pada daftar nama

keluarga yang memiliki balita yang tercatat di register kantor puskesmas pembantu masing-

masing.

3.3.2.3 Kriteria Inklusi dan Ekslusi

Subjek direkrut setelah memenuhi kriteria inklusi yang ditetapkan dan bersedia menjadi

responden. Adapun kriteria inklusi yang dimaksud, yakni:

1. Ibu yang memiliki anak balita yang berdomisili di Desa Bungaya Kangin

Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali dan bersedia menjadi

responden.

2. Ibu yang memiliki sumber air dari PDAM (pemerintah/desa) atau sumur.

3. Ibu yang memiliki jamban.

Subjek yang memenuhi kriteria inklusi tidak dapat diikutsertakan dalam penelitian

apabila memiliki satu atau lebih kondisi dalam kriteria eksklusi. Subjek yang dieksklusi

adalah sebagai berikut:

1. Tidak mampu diwawancarai disebabkan kondisi medis umum yang berat.

Page 28: Penelitian Bab 1-5 New

28

2. Menolak untuk mengikuti penelitian ini

3. Tidak berada di tempat saat penelitian berlangsung

3.4 Responden Penelitian

Berdasarkan survey singkat yang dilakukan di Puskesmas Bebandem, pengasuhan balita di

wilayah kerja puskesmas ini lebih banyak dilakukan oleh ibu. Sehingga, subjek penelitian

ini adalah ibu yang memiliki balita yang terpilih menjadi sampel penelitian pada wilayah

kerja Puskesmas Bebandem.

3.5 Variabel Penelitian dan Defenisi Operasional

3.5.1. Variabel Penelitian

Variabel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah

1. Umur

2. Pendidikan

3. Pekerjaan

4. Kejadian diare pada balita.

5. Pendapatan keluarga.

6. Penggunan air bersih.

7. Penggunaan jamban.

8. Mencuci tangan.

3.5.2. Defenisi Operasional

Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di rumah tangga adalah semua perilaku kesehatan

yang dilakukan atas kesadaran sehingga anggota keluarga yang paling sering memiliki

kontak dengan balita, dalam hal ini ibu, di wilayah kerja Puskesmas Bebandem dapat

menolong dirinya sendiri di bidang kesehatan terutama perilaku yang dapat mencegah

terjadinya penyakit diare pada balita, yang meliputi:

a. Umur adalah usia terakhir responden dalam tahun yang disampaikan saat

wawancara yang dihitung dari selisih tahun wawancara dengan tahun lahir.

Page 29: Penelitian Bab 1-5 New

29

b. Pendidikan adalah jenjang pendidikan terakhir yang pernah ditempuh oleh

responden. Pendidikan diklasifikasikan berdasarkan skala ordinal, meliputi: (1)

pendidikan rendah (tidak sekolah/tidak tamat SD/tamat SD dan tamat SMP) dan (2)

pendidikan tinggi (tamat/tidak tamat SMA dan tamat/tidak tamat perguruan tinggi).

c. Pendapatan keluarga adalah rata-rata pendapatan responden dan suami per bulan

yang dinyatakan dalam rupiah. Pendapatan keluarga diklasifikasikan menjadi: (1)

cukup (bila pendapatan keluarga ≥ Rp 953.750,00 per bulan) dan (2) kurang (bila

pendapatan keluarga < Rp 953.750,00 per bulan), sesuai dengan Upah Minimum

Regional (UMR) Kabupaten Karangasem tahun 2012.

d. Kejadian diare pada balita adalah keadaan yang dialami balita berupa buang air

besar lebih dari 3 kali dalam sehari dengan konsistensi cair dan yang diderita

sebulan terakhir.

e. Penggunaan air bersih adalah air bersih yang dipergunakan dalam kehidupan sehari-

hari sesuai dengan syarat-syarat air bersih serta digunakan untuk kegiatan membuat

makanan dan memelihara peralatan makan balita.

f. Penggunaan jamban adalah kepemilikan jamban berdasarkan syarat-syarat jamban

sehat dan menggunakan jamban sebagai sarana sanitasi individu.

g. Mencuci tangan adalah salah satu tindakan sanitasi dengan membersihkan tangan

dan jari jemari menggunakan air mengalir dan sabun yang dilakukan pada saat

sebelum dan sesudah kontak dengan balita.

3.6 Instrumen atau Alat Pengumpulan Data

Instrumen yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner yang terdiri dari

sejumlah pertanyaan dan lembar observasi. Kuesioner dan lembar observasi yang

digunakan dalam penelitian ini merupakan kuesioner yang dirancang oleh peneliti yang

berdasarkan teori kepustakaan dan disesuaikan dengan beberapa jenis kuesioner yang telah

digunakan dalam beberapa penelitian yang hampir mendekati penelitian ini.

Page 30: Penelitian Bab 1-5 New

30

4.7 Cara Pengumpulan Data

Data diperoleh secara primer dengan cara menanyakan pertanyaan yang ada di dalam

kuesioner kepada responden dan melihat langsung hal-hal yang harus dinilai pada lembar

observasi. Kemudian surveyor mencatat jawaban responden ke dalam kuesioner dan

lembar observasi. Pengisian kuesioner dilakukan di rumah masing-masing responden.

Untuk data sekunder didapatkan dari literatur, referensi dari internet dan untuk data

kejadian diare serta data kependudukan yang diperlukan dari register puskesmas,

puskesmas pembantu serta kantor kepala desa.

3.8 Kriteria Pengukuran Variabel

3.8.1 Kejadian Diare

Untuk mengetahui adanya kejadian diare yang diderita balita dalam keluarga responden

selama satu bulan terakhir dengan kriteria sebagai berikut:

a. Mengalami penyakit diare, jika BAB dengan frekuensi lebih dari 3 kali dalam sehari

dengan konsistensi cair dalam satu bulan terakhir.

b. Tidak mengalami penyakit diare, jika responden tidak BAB dengan frekuensi lebih

dari 3 kali dalam sehari dengan konsistensi cair dalam satu bulan terakhir.

3.8.2 Pengukuran Menggunakan Air Bersih

Pengukuran variabel didasarkan pada Skala Guttman dari 10 pertanyaan dengan total skor

8, untuk jawaban “YA” diberi skor 1 (satu) dan untuk jawaban “TIDAK” diberi skor 0

(nol), kemudian dikategorikan berdasarkan jumlah skor yang diperoleh dengan kategori

sebagai berikut :

a. Baik, jika skor yang diperoleh responden ≥ 6

b. Buruk, jika skor yang diperoleh responden < 6

3.8.3 Pengukuran Menggunakan Jamban

Pengukuran variabel didasarkan pada Skala Guttman dari 8 pertanyaan dengan total skor

9, untuk jawaban “YA” diberi skor 1 (satu) dan untuk jawaban “TIDAK” diberi skor 0

(nol), kemudian dikategorikan berdasarkan jumlah skor yang diperoleh dengan kategori

sebagai berikut :

Page 31: Penelitian Bab 1-5 New

31

a. Baik, jika skor ya ng diperoleh responden ≥ 6

b. Buruk, jika skor yang diperoleh responden < 6

3.8.4 Pengukuran Cuci Tangan

Pengukuran variabel didasarkan pada Skala Guttman dari 15 pertanyaan dengan total skor

17, untuk jawaban “YA” diberi skor 1 (satu) dan untuk jawaban “TIDAK” diberi skor 0

(nol), kemudian dikategorikan berdasarkan jumlah skor yang diperoleh dengan kategori

sebagai berikut :

a. Baik, jika skor ya ng diperoleh responden ≥ 11

b. Buruk, jika skor yang diperoleh responden < 11

3.9 Analisis Data

Analisis yang dilakukan meliputi analisis univariat dan bivariat. Kemudian disajikan dalam

bentuk naratif atau tabel. Seluruh data yang diperoleh akan dianalisis menggunakan

perangkat lunak SPSS 16.0.

Adapun data yang dianalisis berupa:

a. Analisis univariat terhadap variabel tingkat umur ibu, pendidikan, dan pendapatan

keluarga untuk karakteristik sosio demografi responden.

b. Analisis univariat terhadap variabel penggunaan air bersih, penggunaan jamban,

dan mencuci tangan untuk gambaran perilaku hidup bersih dan sehat responden.

c. Analisis univariat terhadap variabel kejadian diare pada balita untuk menentukan

prevalensi.

d. Analisis bivariat melalui tabulasi silang antara karakteristik responden dengan

kejadian diare pada balita

e. Analisis bivariat melalui tabulasi silang antara variabel PHBS rumah tangga dengan

kejadian diare pada balita.

Page 32: Penelitian Bab 1-5 New

32

BAB V

HASIL PENELITIAN

5.1 Karakteristik Responden

Responden dalam penelitian ini adalah ibu yang memiliki balita di wilayah kerja

Puskesmas Bebandem, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem, yang telah

memberikan persetujuan untuk mengikuti penelitian ini. Responden diwawancarai saat

responden berada di rumah masing-masing. Data dikumpulkan dari kuisioner yang telah

diisi oleh surveyor sesuai dengan jawaban responden. Dari 60 responden yang

berpartisipasi dalam penelitian ini, diperoleh karakteristik responden yang meliputi umur,

tingkat pendidikan, serta pendapatan kelurga seperti yang tercantum dalam tabel 5.1.

Tabel 5.1 Tabel Distribusi Frekuensi Karakteristik Berdasarkan Umur, Tingkat Pendidikan, serta Pendapatan Keluarga

Karakteristik Jumlah (N=60) Persentase (%)

Usia- ≤ 30 tahun- >30 tahun

28

32

46,7

53,3

Pendidikan- Rendah- Tinggi

43

17

71,7

28,3

Pendapatan

- Kurang- Cukup

34

26

56,7

43,3

Tabel di atas menunjukkan karakteristik bahwa sebagian besar ibu yang memiliki

balita berusia di atas 30 tahun dengan pendidikan rendah dan pendapatan keluarga kurang.

Page 33: Penelitian Bab 1-5 New

33

5.2 Gambaran Kejadian Penyakit Diare pada Balita

Berdasarkan data kuesioner mengenai apakah dalam satu bulan terakhir balita terkena

diare, dapat dicari gambaran kejadian dari diare yang ditunjukkan pada tabel 5.2.

Tabel 5.2 Tabel Distribusi Frekuensi Kejadian Diare pada Balita dalam Rentang Waktu 1 Bulan Terakhir

Kejadian Diare Jumlah (N=60) Persentase (%)

Ya 11 18,3

Tidak 49 81,7

Berdasarkan tabel di atas, dari 60 keluarga yang diteliti, didapatkan persentase

kejadian diare pada balita di wilayah kerja Puskesmas Bebandem dalam rentang waktu 1

bulan terakhir mencapai 18,3% (11 orang).

5.3 Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) Rumah Tangga

5.3.1 Gambaran Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) Responden

Berdasarkan data dari kuesioner, didapatkan distribusi frekuensi dan persentase gambaran

perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) setelah dilakukan skoring seperti yang tercantum

dalam tabel 5.3.1

Tabel 5.3.1 Tabel Distribusi Frekuensi Variabel Perilaku Hidup Bersih dan Sehat

Variabel Frekuensi (N=60) Persentase (%)

Penggunaan

air bersih

Buruk 5 8,3

Baik 55 91,7

Penggunaan

jamban

Buruk 11 18,3

Baik 49 81,7

Kebiasaan Buruk 31 51,7

Page 34: Penelitian Bab 1-5 New

34

cuci tangan Baik 29 48,3

Tabel di atas menggambarkan bahwa perilaku hidup bersih dan sehat sebagian besar

ibu yang memiliki balita yaitu menggunakan air bersih dengan kategori baik, menggunakan

jamban dengan kategori baik, dan mempunyai kebiasaan mencuci tangan yang buruk.

5.3.2. Frekuensi dan Presentase Jawaban Responden Mengenai Gambaran Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) Rumah Tangga Responden

Berdasarkan data kuesioner yang diperoleh, didapatkan frekuensi dan persentase jawaban

pada masing-masing blok mengenai perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). Pertanyaan

mengenai perilaku hidup bersih dan sehat ini sendiri dibagi menjadi 3 blok yaitu, blok 1

mengenai penggunaan air bersih dibagi menjadi 9 pertanyaan, blok 2 mengenai

penggunaan jamban dibagi menjadi 10 pertanyaan, dan blok 3 mengenai kebiasaan

mencuci tangan dibagi menjadi 17 pertanyaan. Data mengenai frekuensi dan persentase

jawaban dari masing-masing pertanyaan dapat dilihat pada tabel 5.3.2.1, tabel 5.3.2.2, dan

tabel 5.3.2.3.

5.3.2.1 Tabel Deskripsi Perilaku Penggunaan Air Bersih

Sub variable Ya Tidak

Jumlah % Jumlah %

Blok 1. Penggunaan Air Bersih- Mencuci dot dengan air mendidih- Membuat susu dengan air mendidih- Penampungan air tertutup- Membersihkan penampungan air - Syarat fisik (tidak berasa)- Sumber air PDAM- Jarak sumur ≥ 10 meter- Syarat fisik (tidak berbau)- Syarat fisik (tidak berwarna)

40

54

45

49

58

50

3

59

66,7

90,0

75,0

81,7

96,7

83,3

5,0

98,3

20

6

15

11

2

10

57

1

33,33

10,0

25,0

18,3

3,3

16,7

95,0

1,7

Page 35: Penelitian Bab 1-5 New

35

59 98,3 1 1,7

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat dari pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan

dengan penggunaan air bersih didapatkan hasil, lebih banyak responden yang

menggunakan air bersih lebih banyak dibandingkan yang tidak menggunakan air bersih.

Dilihat dari pertanyaan mencuci dot dengan air mendidih yang menjawab ya sebanyak 40

orang (66,7%) sedangkan responden yang menjawab ya pada pertanyaan membuat susu

dengan air mendidih sebanyak 54 orang (90%). Untuk pertanyaan mengenai penampungan

air yang tertutup, responden yang menjawab ya sebanyak 45 orang (75%), pertanyaan

mengenai membersihkan penampungan air yang menjawab ya sebanyak 49 orang (81,7%).

Untuk pertanyaan mengenai persyaratan fisik air (tidak berasa, tidak berbau, dan tidak

berwarna) masing-masing yang menjawab ya sebanyak 58 orang (96,7%), 59 orang

(98,3%), dan 59 orang (98,3%). Pertanyaan tentang sumber air yang menggunakan PDAM

serta jarak sumur yang lebih dari sama dengan 10 m masing-masing responden yang

menjawab ya sebanyak 50 orang (83,3%) dan 3 (5,0%).

5.3.2.2 Tabel Deksripsi Perilaku Penggunaan Jamban

Sub variable Ya Tidak

Jumlah % Jumlah %

Blok 2. Penggunaan Jamban- Ibu menggunakan jamban untuk BAB- Membersihkan jamban- Balita menggunakan jamban- Seluruh keluarga menggunakan

jamban- BAB di jamban umum- Jamban leher angsa- Mempunyai Septic tank- Tersedia air cukup - Mempunyai ventilasi- Lantai dan dinding bersih,tidak

licin,tidak bau

60

47

47

35

5

50

58

53

44

100,0

78,3

78,3

58,3

8,3

83,3

96,7

88,3

73,3

0

13

13

25

55

10

2

7

16

0,00

21,7

21,7

41,7

91,7

16,7

3,3

11,7

26,7

Page 36: Penelitian Bab 1-5 New

36

24 40,0 36 60,0

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat dari pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan

dengan penggunaan jamban didapatkan hasil bahwa seluruh ibu yang memiliki balita

menggunakan jamban untuk BAB (100%), sedangkan untuk balita yang menggunakan

jamban hanya 47 orang (78,3%) saja, dan anggota keluarga yang seluruhnya menggunakan

jamban hanya 35 orang (58,3%), yang menggunakan jamban umum sebanyak 5 orang

(8,3%). Ibu yang membersihkan jamban hanya 47 orang (78,3%).

Responden yang menggunakan jamban leher angsa dirumahnya yaitu, sebanyak 50

orang (83,3%), hampir seluruh responden memiliki septic tank dirumahnya, yaitu sebanyak

98 orang (96,7%). Untuk pertanyaan ketersediaan air yang cukup, adanya ventilasi,serta

lantai dan dinding bersih, tidak licin, tidak berbau didaptkan hasil yang bervariasi, yaitu

masing-masing yang menjawab ya sebanyak 53orang (88,3%), 44 orang (73,3%), dan

hanya 24 orang (40,0%).

5.3.2.3 Tabel Deskripsi Perilaku Kebiasaan Mencuci Tangan

Sub variable Ya Tidak

Jumlah % Jumlah %

Blok 3. Kebiasaan Mencuci Tangan- Sebelum ibu memberi makan anak- Sebelum menyusui balita- Sebelum membuat makanan- Setelah anak BAB- Setelah anak BAK- Setelah ibu BAB- Setiap tangan ibu kotor- Anak mencuci tangan sebelum makan- Anak mencuci tangan setelah BAB- Tersedia sabun di tempat cuci tangan- Mencuci tangan dengan sabun- Mencuci tangan dengan air mengalir- Menggunakan lap bersih- Menggosok telapak tangan- Menggosok punggung tangan- Membersihkan sela jari

34

19

50

60

38

59

38

11

48

28

56,7

31,7

83,3

100,0

63,3

98,3

63,3

18,3

80,0

46,7

26

41

10

0

22

1

22

49

16

32

43,3

68,3

16,7

0,0

36,7

1,7

36,7

81,7

20,0

53,3

Page 37: Penelitian Bab 1-5 New

37

- Membersihkan kuku 36

57

28

59

24

31

6

60,0

95,0

46,7

98,3

40,0

51,7

10,0

24

3

32

1

36

29

54

40,0

5,0

53,3

1,7

60,0

48,3

90,0

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa untuk pertanyaan mengenai kapan saja

cuci tangan dilakukan didapatkan hasil yang menjawab ya sebanyak 34 orang (56,7%)

untuk pertanyaan ibu mencuci tangan sebelum memberi makan anak, hanya sebanyak 19

orang (31,7%) yang mencuci tangan sebelum menyusui balitanya, setengah dari responden

yaitu 50 orang (83,3%) yang sudah mencuci tangannya sebelum membuat makanan,

sebanyak 59 orang (98,3%) yang mencuci tangan setelah ibu BAB, seluruh responden yaitu

sebanyak 60 orang (100%) yang mencuci tangan setelah balitanya BAB, tetapi hanya 38

orang (63,3%) yang mencuci tangan setelah balitanya BAK, 38 orang (63,3%) responden

yang mencuci tangannya apabila tangan kotor. Untuk kebiasaan mencuci tangan balita

didapatkan hasil, 11 orang (18,3%) balita yang mencuci tangannya sebelum makan dan 40

orang (80%) yang sudah mencuci tangannya setelah BAB. Untuk pertanyaan di setiap

tempat cuci tangan apakah ada sabun atau tidak hanya 28 orang (46,7%) responden yang

menjawab ya. Pertanyaan mengenai cara mencuci tangan didapatkan hasil 36 (60%) orang

yang mencuci tangan dengan menggunakan sabun, 57 orang (95%) orang yang

menggunakan air mengalir untuk mencuci tangan, hanya 28 (46,7%) orang yang

menggunakan lap bersih untuk mengeringkan tangannya, hampir seluruh responden yaitu

59 (98,3%) orang yang mencuci tangannya dengan cara menggosokkan kedua telapak

tangan, 24 orang (40%) yang sudah mencuci tangannya dengan cara menggosokkan

punggung tangannya, 31 (51,7%) orang yang mencuci tangan dengan cara membersihkan

sela jari, dan hanya 6 orang (10%) saja yang sudah mencuci tangan dengan cara

membersihkan ke bagian kuku.

Page 38: Penelitian Bab 1-5 New

38

5.4 Tabulasi Silang Kejadian Diare pada Balita Dengan Karakteristik Responden

Berdasarkan data yang diperoleh dari kuesioner, dilakukan tabulasi silang antara kejadian

diare pada balita dengan karakteristik responden yaitu umur, tingkat pendidikan, dan

pendapatan keluarga. Data mengenai tabulasi silang ini dapat dilihat pada tabel 5.4.

Tabel 5.4 Tabulasi Silang Kejadian Diare pada Balita Dengan Karakteristik Responden

Variabel Kejadian Diare

Ya (F/%) Tidak (F/%)

Umur

≤30 tahun

>30 tahun

6(21,4)

5(15,6)

22 (78,6)

27 (84,4)

Tingkat pendidikan

Rendah

Tinggi

7(16,3)

4(23,5)

36 (78,6)

13 (84,4)

Pendapatan

Kurang

Cukup

5(14,7)

6(23,1)

29(85,3)

20(76,9)

Berdasarkan data dari tabel di atas, didapatkan bahwa proporsi kejadian diare pada

balita lebih banyak terjadi pada responden dengan usia kurang dari sama dengan 30 tahun,

responden dengan tingkat pendidikan tinggi, dan responden dengan pendapatan cukup.

5.5 Tabulasi Silang Kejadian Diare Pada Balita dengan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Rumah Tangga

Berdasarkan data yang diperoleh dari kuesioner, dilakukan tabulasi silang antara kejadian

diare dengan perilaku hidup bersih dan sehat rumah tangga, yaitu: penggunaan air bersih,

penggunaan jamban, dan kebiasaan mencuci tangan. Data mengenai tabulasi silang ini

dapat dilihat pada tabel 5.5.

Page 39: Penelitian Bab 1-5 New

39

Tabel 5.5 Tabulasi Silang Kejadian Diare pada Balita dengan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Rumah Tangga Responden

Variabel Kejadian Diare

Ya (F/%) Tidak (F/%)

Penggunaan air bersih

buruk

baik

2(40,0)

9(16,4)

3(60,0)

46(83,6)

Penggunaan jamban

buruk

baik

1(9,1)

10(20,4)

10(90,9)

39(79,6)

Kebiasaan cuci tangan

buruk

baik

8 (25,8)

3 (10,3)

23(74,2)

26(89,7)

Berdasarkan data dari tabel di atas, didapatkan bahwa proporsi kejadian diare pada

balita lebih banyak terjadi pada kelompok responden yang menggunakan air bersih dengan

kategori buruk, kelompok responden yang menggunakan dengan kategori baik, dan pada

kelompok responden yang memiliki kebiasaan cuci tangan dengan kategori buruk.

Page 40: Penelitian Bab 1-5 New

40

BAB VI

PEMBAHASAN

5.1 Kejadian Diare pada Balita

Dari penelitian ini ditemukan kejadian diare pada balita sebulan terakhir di wilayah Kerja

Puskesmas Bebandem adalah 11 orang (18,3%). Angka ini lebih rendah dari angka

prevalensi kejadian diare berdasarkan data Risketdas Karangasem tahun 2007 yaitu sebesar

32% dan hasil analisis data Riskesdas seluruh Indonesia tahun 2007 (32,2%).

Hasil penelitian menunjukkan angka refatif kejadian diare pada balita di wilayah

Kerja Puskesmas Bebandem lebih rendah mungkin dikarenakan oleh singkatnya batasan

waktu yang digunakan yakni hanya selama satu bulan saja. Peneliti menggunakan batasan

waktu hanya sebulan untuk mengurangi bias pada penelitian sebab ditakutkan responden

yang menjawab akan lupa mengingat kejadian diare yang dialami anak balitanya jika

waktunya lebih panjang. Selain itu, teori juga menyatakan bahwa diare pada balita

disebabkan juga oleh makanan. Biasanya kejadian diare akan meningkat pada musim buah-

buahan. Sedangkan, saat penelitian dilaksanakan di desa sampel sedang tidak musim buah.

Menurut Depkes (2005), penyakit diare merupakan penyakit berbasis lingkungan dan

perilaku manusia. Kejadian diare pada anak balita sangat ditentukan oleh perilaku hidup

bersih dan sehat (PHBS) rumah tangga terutama ibu sebagai pengasuh utama. Dan PHBS

ibu akan sangat ditentukan dengan tersedianya sarana air. Pada musim kering, terutama di

wilayah karangasem yang sulit mendapatkan sumber air, ibu-ibu akan jarang mencuci

tangan dan meminimalisir penggunaan air untuk menghemat persediaan. Ini tentunya akan

memperbesar resiko penularan kuman diare pada anak balita sehingga kejadian diare akan

meningkat pada musim kering.

5.2 Gambaran Karakteristik Ibu (Umur, Pendidikan, Pendapatan Keluarga)

terhadap Kejadian Diare pada Balita

5.2.1 Umur

Ditinjau berdasarkan usia, jumlah responden dengan usia di bawah 30 tahun dan di atas 30

tahun hampir berimbang, dimana responden dengan usia di atas 30 merupakan setengah

Page 41: Penelitian Bab 1-5 New

41

lebih (53,3%) dari seluruh responden. Umur ibu ≤ 30 tahun proporsi kejadian diarenya

lebih tinggi. Hal ini mungkin terkait dengan pengetahuan dan pengalaman ibu dalam

pengasuhan anak. Semakin tua umur ibu biasanya akan memiliki pengalaman dan tingkat

pengetahuan yang lebih baik (Notoatmodjo, 2003). Responden yang berumur > 30 th

sebagian besar memang telah memiliki minimal lebih dari satu anak sehingga pengalaman

dalam hal pengasuhan anak termasuk pencegahan terhadap penyakit akan lebih baik.

Semakin tua umur ibu dan semakin banyak memiliki anak maka pengasuhan anak akan

relatif semakin baik sehingga proteksi terhadap penyakit akan semakin baik pula

(Sulistyowati, 2004).

5.2.2 Pendidikan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pendidikan responden di wilayah kerja

Puskesmas Bebandem lebih banyak pendidikan rendah yaitu 43 orang (71,7%). Menurut

Notoatmodjo (2003), tingkat pendidikan seseorang dapat meningkatkan pengetahuannya

tentang kesehatan. Pendidikan akan memberikan pengetahuan sehingga terjadi perubahan

perilaku positif yang meningkat. Menurut Widyastuti (2005), orang yang memiliki tingkat

pendidikan lebih tinggi lebih berorientasi pada tindakan preventif, mengetahui lebih

banyak tentang masalah kesehatan dan memiliki status kesehatan yang lebih baik.

Teori tersebut tidak sesuai dengan hasil penelitian yang memperlihatkan bahwa

proporsi kejadian diare pada responden dengan tingkat pendidikan rendah ternyata lebih

rendah dari pada responden dengan tingkat pendidikan tinggi. Hal tersebut memberi arti

bahwa tingkat pendidikan seseorang belum menjamin dimilikinya pengetahuan tentang

diare dan pencegahannya. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Sander

(2005), yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan

dengan kejadian diare. Tetapi hasil penelitian ini bertolak belakang dengan penelitian

Yulisa (2008), yang menunjukkan ada pengaruh tingkat pendidikan ibu terhadap

kejadian diare pada balita dengan nilai p = 0,001. Hal ini mungkin karena karakteristik

responden di suatu daerah dengan daerah lain berbeda-beda, sehingga pemahaman

terhadap diare dan penanganannya pun juga berbeda.

Page 42: Penelitian Bab 1-5 New

42

5.2.3 Pendapatan Keluarga

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan keluarga yang lebih banyak adalah < Rp

953.750,00 per bulan yaitu 34 keluarga (56,7%). Pendapatan termasuk dalam kategori

kurang karena di bawah nilai upah minimum regional (UMR) Kabupaten Karangasem

tahun 2011. Menurut Irwanto (2002), keluarga yang berpenghasilan rendah, biasanya

pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang diperhatikan kualitasnya, hanya kuantitasnya saja

sehingga kualitas gizi pada anak bisa berkurang. Keluarga dengan tingkat pendapatan yang

tinggi akan lebih memperhatikan kualitas nutrisi sehingga lebih sedikit menderita penyakit

infeksi dibandingkan dengan keluarga dengan tingkat pendapatan yang rendah.

Menurut Sarwono (2004), keluarga dengan penghasilan yang tinggi

memungkinkan keluarga tersebut melaksanakan kebersihan lingkungan dan ketersediaan

sarana sanitasi lingkungan yang baik sehingga resiko kontak keluarga dengan bakteri

patogen penyebab penyakit lebih rendah dibandingkan dengan keluarga dengan pendapatan

rendah. Hal ini tentu berkaitan juga dengan penyediaan jamban keluarga dan sabun di

setiap tempat cuci tangan.

Meskipun demikian, jika dianalisa lebih lanjut ternyata keluarga dengan pendapatan

cukup memiliki angka kejadian diare lebih tinggi daripada pendapatan kurang. Hasil

penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Rian (2008) di Kelurahan Majennang

bahwa ada hubungan pendapatan keluarga dengan kejadian diare pada balita dengan nilai

p=0,04 (p<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa bisa saja keluarga dengan pendapatan cukup

berdasarkan UMR Kabupaten Karangasem memiliki pemenuhan kebutuhan lebih banyak.

Misalnya, keluarga dengan pendapatan 2 juta perbulan harus menghidupi 4 orang anak.

Sedangkan keluarga dengan pendapatan 900 ribu sebulan hanya memiliki 1 anak balita.

Selain itu, dalam penelitian ini mungkin terjadi bias karena responden tidak mau jujur

dalam menginformasikan pendapatan keluarganya. Sebagian besar responden dalam

penelitian ini adalah ibu rumah tangga sehingga yang menyumbangkan pendapatan

keluarga adalah dari suami. Dan kebanyakan suami bekerja sebagai wiraswata, petani

salah, atau buruh harian. Hal ini menyebabkan ibu yang menjadi responden penelitian tidak

tau pasti berapa angka pendapatan keluarga rata-rata per bulannya.

Page 43: Penelitian Bab 1-5 New

43

5.3 Gambaran Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) Rumah Tangga terhadap

Kejadian Diare pada Balita

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran PHBS rumah tangga

terhadap kejadian diare pada balita. Adapun PHBS rumah tangga yang berkaitan dengan

kejadian diare adalah penggunaan air bersih, penggunaan jamban, dan mencuci tangan.

6.3.1 Gambaran Penggunaan Air Bersih terhadap Kejadian Diare pada Balita

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kriteria dalam penggunaan air bersih lebih banyak

pada kategori baik yaitu 55 responden. Dapat dilihat bahwa pada kategori baik maupun

buruk, kejadian diare selama satu bulan terakhir lebih rendah daripada balita yang tidak

mengalami diare dengan persentase 16,4% dan 40%. Hal ini mungkin disebabkan karena

ibu yang memiliki balita telah menggunakan air bersih sebagai salah satu PHBS dalam

upaya pencegahan diare sehingga angka kejadian diare yang meningkat 3 tahun terakhir di

desa sampel disebabkan oleh faktor resiko yang lain.

Jika dilihat dari masing-masing sub variable pada blok pertanyaan penggunaan air

bersih, sumber air responden lebih banyak berasal dari PDAM (83,3%). Dan walaupun

sumber air adalah sumur, kualitas fisik air yakni tidak berbau, tidak berasa, dan tidak

berwarna sudah memenuhi syarat air bersih. Selain itu, sebagian besar ibu telah sadar untuk

menutup dan membersihkan tempat penampungan air minimal seminggu sekali untuk

mencegah perkembangbiakan bakteri patogen. Sebanyak 90% responden juga telah

menggunakan air mendidih untuk membuat susu balita dan mencuci dot dengan air

mendidih sebelum digunakan. Tahu ataupun tidak, perilaku tersebut mampu membunuh

bakteri penyebab diare yang sebelumnya ada pada air dan botol susu.

Apabila dibandingkan proporsi kejadian diare pada kedua kategori penggunaan air

bersih didapatkan gambaran bahwa balita dengan riwayat diare sebulan terakhir lebih

banyak terjadi pada kategori buruk daripada baik. Ini mungkin disebabkan karena sebagian

besar keluarga yang menggunakan sumber air sumur tidak memperhatikan syarat-syarat

sumur sehat. Dapat dilihat bahwa masih banyak keluarga yang membuat sumur dengan

jarak sumur < 10 meter terhadap pusat pencemaran seperti WC atau tempat pembuangan

Page 44: Penelitian Bab 1-5 New

44

sampah (95%). Hal tersebut tentunya membuat resiko kontaminasi air sumur oleh bakteri

pathogen penyebab penyakit diare semakin besar.

Sumber air minum merupakan salah satu sarana sanitasi yang berkaitan dengan

kejadian diare. Sebagian besar kuman – kuman infeksius penyebab diare ditularkan

melalui jalur fekal – oral. Menurut Soemirat (2007), salah satu peran air dalam

penyebaran penyakit menular adalah air sebagai penyebar mikroba patogen atau disebut

dengan water borne diseases. Penyakit-penyakit ini hanya dapat menyebar apabila

mikroba-mikroba penyebabnya ada pada air yang digunakan masyarakat dan salah satunya

adalah penyakit diare.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Edi (2002) di Puskesmas Sinokidul

menyatakan bahwa ada hubungan secara signifikan menggunakan sarana air bersih dengan

kejadian diare. Demikian juga dengan penelitian Nilton, dkk (2008) yang menyatakan

kejadian diare lebih tinggi terjadi pada kelompok yang tidak menggunakan/ tidak

memanfaatkan sarana air bersih.

6.3.2 Gambaran Penggunaan Jamban terhadap Kejadian Diare pada Balita

Menggunakan jamban sehat adalah setiap rumah tangga harus memiliki dan menggunakan

jamban leher angsa dengan tangki septic atau lubang penampungan kotoran sebagai

pembuangan akhir (Depkes RI, 2007). Penggunaan jamban di wilayah kerja Puskesmas

Bebandem sudah termasuk menggunakan jamban yang sehat sebab sebanyak 49 responden

(81,7%) masuk ke dalam kategori baik.

Meskipun demikian, hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi kejadian diare

pada balita ternyata lebih tinggi pada ibu yang menggunakan jamban dengan baik

dibandingkan pada ibu yang masuk kategori penggunaan jamban buruk. Padahal seluruh

ibu yang menjadi responden menjawab menggunakan jamban pribadi untuk buang air

besar. Sebanyak 78,3% responden juga mengaku telah membersihkan jamban minimal

seminggu sekali. Jamban yang dimiliki pun sebagian besar telah memenuhi kriteria jamban

sehat yakni menggunakan jamban leher angsa, telah memiliki septik tank, terdapat ventilasi

ruangan yang memadai, serta tersedia air yang cukup.

Page 45: Penelitian Bab 1-5 New

45

Fenomena ini menunjukkan bahwa mungkin faktor resiko lain memiliki pengaruh

yang lebih kuat untuk menyebabkan kejadian diare pada balita tetap tinggi selain faktor

resiko penggunaan jamban ibu yang tidak sehat. Mungkin saja hal itu lebih disebabkan

karena imunitas balitanya sendiri, faktor makanan, faktor lingkungan, atau faktor perilaku

dari balita itu sendiri. Berdasarkan pengakuan para ibu yang memiliki balita yang sudah

mampu buang air sendiri (kurang lebih balita dengan umur > 3 th), anak balita tersebut

menggunakan jamban pribadi di rumah (78,3%) dan tidak BAB di sembarang tempat

seperti di kebun atau sungai. Hal ini mungkin berkontribusi terhadap hasil penelitiaan yang

menunjukkan bahwa proporsi kejadian diare pada PHBS rumah tngga dalam menggunakan

jamban dengan kategori baik lebih besar daripada kategori buruk.

Penyebab lainnya mungkin karena PHBS dari anggota keluarga lain dalam

penggunaan jamban masih ada yang tidak baik. Hal ini dibuktikan dengan berimbangnya

jumlah anggota keluarga responden yang BAB dengan menggunakan jamban pribadi dan

yang tidak yakni 58,3% dan 41,7%. Dan ternyata, anggota keluarga yang tidak BAB di

jamban pribadi lebih memilih BAB di sungai daripada BAB di jamban umum. Berdasarkan

pengakuan salah satu keluarga responden yang sempat ditanyai menjawab bahwa mereka

lebih senang BAB di sungai daripada di jamban. Mereka mengatakan jika BAB di sungai

perut mereka akan terasa dingin (tis) dan sensasi yang didapatkan setelahnya terasa lebih

nyaman dan nikmat.

Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Nilton, dkk (2008) menyatakan

bahwa responden yang menggunakan jamban sehat kejadian diarenya lebih rendah

dibandingkan yang tidak menggunakan jamban sehat. Begitu pula dengan penelitian

Yusnani (2008) menyatakan bahwa ada hubungan memanfaatkan jamban dengan kejadian

diare.

6.3.3 Gambaran Mencuci Tangan terhadap Kejadian Diare pada Balita

Aspek yang dimuat dalam kuisioner pada blok mencuci tangan adalah cara dan waktu

mencuci tangan sesuai dengan PHBS rumah tangga yang benar. Berdasarkan hasil

penelitian, terlihat bahwa sebagian besar ibu yang memiliki balita telah masuk ke dalam

kategori baik untuk perilaku mencuci tangan (89,7%). Meskipun demikian, untuk cara

Page 46: Penelitian Bab 1-5 New

46

mencuci tangan yang benar kebanyakan responden belum tahu benar dan belum dapat

mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase kejadian diare pada responden

dengan kategori buruk lebih tinggi daripada kategori baik yakni 25,8% berbanding 10,3%.

Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Edi (2002) yang menyatakan bahwa ada hubungan

cuci tangan pakai sabun dengan kejadian diare di Puskesmas Sinokidul Kecamatan

Kunduran. Dan penelitian Nilton, dkk (2008) yang menyatakan bahwa kejadian diare lebih

banyak terjadi pada responden yang tidak cuci tangan pakai sabun di Desa Klopo Sepuluh

Kecamatan Sukodono.

Jika dilihat dari variable mencuci tangan, sebagian besar responden telah mencuci

tangan sebelum dan sesudah melakukan pekerjaan-pekerjaan yang berisiko menularkan

penyakit diare seperti sebelum memberi makan anak balita, sebelum membuat makanan

untuk, setelah menceboki anak BAB, setelah anak BAK, setelah ibu BAB, dan setiap kali

tangan kotor misalnya setelah memegang uang atau hewan peliharaan. Ini menunjukkan

bahwa pengetahuan ibu akan pentingnya mencuci tangan untuk pencegahan penulara

penyakit sudah baik jika dilihat dari segi waktu.

Jika dilihat segi perilaku anak balita sendiri, menurut pengakuan ibunya, anak-anak

lebih sering tidak mencuci tangan terlebih dahulu sebelum makan terutama sebelum makan

makanan ringan. Ini dibuktikan dari jumlah responden yang menjawab anak balita tidak

mencuci tangan sebelum makan adalah 49 orang (81,7%). Dari hasil observasi langsung

untuk meng-crosscheck jawaban juga terlihat bahwa anak langsung mengambil makanan

yang diberikan peneliti dan langsung memakannya begitu saja meskipun tangan mereka

masih kotor setelah bermain dengan hewan atau bermain tanah. Hal ini menunjukkan

bahwa kurangnya pengawasan dan didikan ibu terhadap anak sehingga anak tersebut

langsung memakan makanan dengan tangan yang kotor tanpa mencuci tangan terlebih

dahulu. Inilah yang dapat menyebabkan bakteri penyebab diare masuk ke dalam tubuh

anak tersebut, sehingga bagi anak yang berumur 1-5 tahun yang masih mempunyai daya

tahan tubuh yang rendah akan mudah menderita diare.

Mencuci tangan pakai sabun merupakan aktivitas yang selama ini dianggap biasa-

biasa saja oleh kebanyakan orang, bahkan ada yang menanggap cuci tanga pakai sabun

Page 47: Penelitian Bab 1-5 New

47

tidak ada gunanya. Tetapi sebaliknya bahwa mencuci tangan pakai sabun sebenarnya

sangat besar manfaatnya. Berdasarkan kajian Badan Kesehatan Dunia (WHO, 2005), cuci

tangan pakai sabun terbukti mampu mencegah angka kejadian diare hingga 45 persen.

Para ibu yang dipakai sebagai responden sepertinya sudah mulai menyadari

pentingnya menggunakan sabun saat mencuci tangan. Meskipun masih ada 40% dari

mereka yang tidak menunjukkannya saat observasi mencuci tangan dengan sabun dan

sebanyak 32 responden tidak menyediakan sabun di tempat cuci tangan dengan alasan

habis atau memang sengaja tidak disediakan. Dari hasil kuisioner juga terlihat bahwa

hampir seluruh responden telah mencuci tangan dengan air mengalir (95%) sehingga

kuman dan kotoran yang menempel pada tangan dapat dihilangkan dengan baik.

Sayangnya, kebanyakan dari mereka tidak mengeringkan tangan dengan lap bersih atau

tissue kering (53,3%) sehingga kemungkinan menempelnya kuman dan debu baru bisa saja

terjadi.

Hasil kuisioner juga menunjukkan bahwa hampir seluruh responden tidak

mempraktekkan 6 langkah cara mencuci tangan yang baik dan benar sesuai anjuran Depkes

RI. Hal ini diperlihatkan dari hasil observasi langsung bahwa sebagian besar ibu hanya

menggosokkan telapak tangan saja dan hampir berimbang jumlah ibu yang membersihkan

punggung tangan dan sela jari. Bahkan untuk aktivitas membersihkan sela kuku hanya 6

orang saja yang melakukannya. Hal inilah yang mungkin berkontribusi terhadap angka

kejadian diare yang lebih tinggi pada responden dengan kategori buruk untuk variable

mencuci tangan.

Mencuci tangan harus dilakukan dengan cara yang benar dan pada waktu yang tepat.

Mencuci tangan hendaknya menggunakan air mengalir baik langsung dari kran air maupun

langsung mengalirkan dari gayung sehingga kotoran dan kuman yang menempel pada

tangan dapat langsung dibersihkan. Namun, cuci tangan pakai air saja tidak cukup karena

cuci tangan pakai sabun selain membantu singkatnya waktu cuci tangan, dengan

menggosok jemari dengan sabun dapat menghilangkan bakteri yang tidak tampak, minyak/

lemak/ kotoran di permukaan kulit, serta meninggalkan bau wangi. Perpaduan kebersihan,

bau wangi dan perasaan segar merupakan hal positif yang diperoleh setelah menggunakan

sabun (Depkes 2009).

Page 48: Penelitian Bab 1-5 New

48

BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat dibuat simpulan sebagai berikut:

1. Karakteristik sebagian besar responden adalah ibu berusia di atas 30 tahun (53,3%)

dengan pendidikan rendah (71,7%) dan pendapatan keluarga kurang (56,7%).

2. Presentase kejadian diare pada anak balita dalam rentang waktu 1 bulan terakhir

adalah 18,3%. Ini lebih rendah dari angka kejadian diare berdasarkan data

Risketdas Karangasem dan hasil analisis data Riskesdas seluruh Indonesia tahun

2007.

3. Sebagian besar responden telah menggunakan air bersih dengan baik (91,7%),

menggunakan jamban dengan baik (81,7%), namun masih memiliki kebiasaan

mencuci tangan yang buruk (51,7%).

4. Proporsi kejadian diare pada anak balita lebih tinggi pada responden yang berumur

≤ 30 tahun. Namun, lebih tinggi pada responden dengan tingkat pendidikan tinggi

dan memiliki pendapatan keluarga yang cukup.

5. Berdasarkan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) rumah tangga angka kejadian

diare pada anak balita lebih tinggi pada responden dengan kategori penggunaan air

dan mencuci tangan yang buruk namun kategori penggunaan jamban yang baik.

7.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian ini, maka saran yang dapat penulis sampaikan adalah sebagai

berikut:

1. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui signifikansi hubungan

sejumlah variabel perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) rumah tangga terhadap

kejadian diare pada balita di wilayah kerja Puskesmas Bebandem.

2. Mengingat pentingnya pengetahuan tentang PHBS rumah tangga dalam kehidupan

sehari-hari, maka kepada dinas kesehatan Kabupaten Karangasem dan pihak

Page 49: Penelitian Bab 1-5 New

49

puskesmas Bebandem diharapkan memberikan penyuluhan mengenai PHBS rumah

tangga terutama yang berkaitan dengan kejadian diare.

3. Untuk menunjang keberhasilan kegiatan PHBS rumah tangga maka perlu diimbangi

dengan kerjasama lintas program oleh dinas kesehatan maupun puskesmas dengan

instansi terkait lainnya.

4. Diperlukan pembentukan dan pemberdayaan kader-kader kesehatan lingkungan

dimasing-masing banjar agar pembinaan kesehatan tentang pentingnya PHBS

rumah tangga terhadap pencegahan penyakit diare pada balita dapat menjangkau

keseluruhan wilayah kerja puskesmas Bebandem secara baik.