penelitian bab 1-5 new
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus
diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia, sebagaimana dimaksud dalam
Pancasila dan Undang -Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berkaitan
dengan hal itu, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan menyatakan bahwa derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya
dicapai melalui penyelenggaraan pembangunan kesehatan. Derajat kesehatan masyarakat
pada hakikatnya dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, perilaku masyarakat, pelayanan
kesehatan dan genetika. Kalangan ilmuwan umumnya berpendapat bahwa determinan
utama dari derajat kesehatan masyarakat tersebut selain kondisi lingkungan adalah perilaku
masyarakat (Pedoman Pembinaan PHBS, 2011).
Salah satu penyakit terbanyak yang disebabkan oleh buruknya sanitasi di lingkungan
masyarakat adalah diare, yaitu buang air besar yang tidak normal berbentuk tinja encer
dengan frekuensi lebih banyak dari biasanya (Hiswani, 2003). Faktor lingkungan yang
memiliki pengaruh sangat dominan terhadap kejadian penyakit ini adalah sarana air bersih
dan pembuangan tinja. Kedua faktor ini akan berinteraksi bersama perilaku manusia,
apabila faktor lingkungan yang tidak sehat karena tercemar bakteri atau virus berakumulasi
dengan perilaku manusia yang tidak sehat pula, maka dapat menimbulkan kejadian
penyakit diare (Depkes RI, 2005).
Berdasarkan hasil penelitian Sucipto (2003), penyebab diare pada anak balita di
Puskesmas Sinokidul adalah ketersediaan air bersih dan perilaku hidup bersih dan sehat.
Menurut penelitian Nilton, dkk (2008) faktor-faktor penyebab diare adalah menggunakan
air sumur, minum air yang tidak dimasak, sumur < 10 meter, tidak mempunyai jamban,
tidak menggunakan jamban, tidak mempunyai tempat sampah dan tidak cuci tangan.
Sedangkan hasil penelitian Apriyanti, dkk (2009), menunjukan bahwa ada hubungan yang
2
signifikan antara, kebiasaan cuci tangan, dan penggunaan jamban dengan kejadian diare
pada balita.
Menurut data World Health Organization (WHO) pada tahun 2004, diare adalah
penyebab nomor satu kematian balita di dunia. Bahkan, UNICEF melaporkan setiap detik
satu anak meninggal karena diare. Hal ini banyak terjadi di negara-negara berkembang
seperti Indonesia karena buruknya perilaku higiene perorangan dan sanitasi masyarakat
yang dipengaruhi oleh rendahnya tingkat sosial, ekonomi dan pendidikan (Novick and
Marr, 2003).
Di Indonesia, diare masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang
utama. Hal ini disebabkan masih tingginya angka kesakitan dan menimbulkan banyak
kematian terutama pada bayi dan balita, serta sering menimbulkan kejadian luar biasa. Data
dari profil kesehatan Indonesia tahun 2000-2010 terlihat kecenderungan insiden diare
meningkat. Pada tahun 2000 IR (incidence rate) penyakit diare 301/1000 penduduk, tahun
2003 naik menjadi 374/1000 penduduk, tahun 2006 naik menjadi 423/1000 penduduk dan
tahun 2010 menjadi 411/1000 penduduk. Pada tahun 2010 dilaporkan terjadi KLB dengan
jumlah kasus 2.580 dengan kematian sebanyak 77 kasus (CFR: 2,98%) (Kemenkes RI,
2011).
Di Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali terjadi peningkatan morbiditas diare secara
signifikan. Berdasarkan profil kesehatan Kabupaten Karangasem, IR diare meningkat dari
18,6/1000 penduduk tahun 2009 dan 20,06/1000 penduduk tahun 2010, menjadi 51/1000
penduduk pada tahun 2011. Sebesar 55% dari 18.601 kasus yang tercatat merupakan kasus
diare pada balita. Berdasarkan pengkajian di wilayah kerja Puskesmas Bebandem,
Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem, jumlah balita diare mengalami
peningkatan dari 188 balita tahun 2009 dan 231 balita tahun 2010 menjadi 238 balita pada
tahun 2011. Dari 8 (delapan) desa di wilayah kerja Puskesmas Bebandem, Desa Bungaya
Kangin memiliki insiden diare pada balita tertinggi dalam tiga tahun berturut turut (Gambar
01).
Kondisi sehat dapat dicapai dengan mengubah perilaku dari yang tidak sehat menjadi
perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) dan menciptakan lingkungan sehat di rumah
tangga. Menurut Green (1990) dalam Notoatmodjo S. (2007) salah satu faktor seseorang
3
melakukan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat adalah faktor pemungkin (enambling factor)
yaitu faktor pemicu terhadap perilaku yang memungkinkan suatu tindakan atau motivasi.
Faktor pemicu tersebut mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas
kesehatan misalnya air bersih, tempat pembuangan sampah, ketersediaan jamban, makanan
bergizi dan sebagainya.
Gambar 01. Jumlah Balita Diare Berdasarkan Desa di Wilayah KerjaPuskesmas Bebandem Tahun 2009 s.d. 2011
Berdasarkan 7 indikator PHBS dan 3 indikator gaya hidup sehat yang berhubungan
dengan kejadian diare pada balita adalah mencuci tangan pakai sabun, menggunakan air
bersih, dan menggunakan jamban (Pedoman Pembinaan PHBS, 2011). Hasil studi Basic
Human Services (BHS) di Indonesia tahun 2006 dalam KepMenKes RI No. 852 tentang
Strategi Nasional Sanitasi Total Berbasis Masyarakat, perilaku masyarakat dalam mencuci
tangan adalah setelah buang air besar 12%, setelah membersihkan tinja bayi dan balita 9%,
sebelum makan 14%, sebelum memberi makan bayi 7%, dan sebelum menyiapkan
makanan 6%. Dan perilaku pengelolaan air minum rumah tangga menunjukan 99,20%
merebus air untuk mendapatkan air minum, tetapi 47,50 % dari air tersebut masih
4
mengandung Eschericia coli. Kondisi tersebut berkontribusi terhadap tingginya angka
kejadian diare di Indonesia.
Beranjak dari hasil studi pendahuluan, maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian dengan judul “ Hubungan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) rumah tangga
dengan kejadian diare pada balita di wilayah kerja Puskesmas Bebandem Kabupaten
Karangasem pada bulan Juli-Agustus 2012”.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimanakah gambaran perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) rumah tangga dengan
kejadian diare pada balita di wilayah kerja Puskesmas Bebandem Kabupaten Karangasem
pada bulan Juli-Agustus 2012?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) rumah tangga dengan
kejadian diare pada balita di wilayah kerja Puskesmas Bebandem Kabupaten Karangasem
pada bulan Juli-Agustus 2012.
1.3.2 Tujuan Khusus
Penelitian ini bertujuan, antara lain:
1. Untuk mengetahui karakteristik responden di wilayah kerja Puskesmas Bebandem
Kabupaten Karangasem pada bulan Juli-Agustus 2012.
2. Untuk mengetahui kejadian diare pada balita di wilayah kerja Puskesmas Bebandem
Kabupaten Karangasem pada bulan Juli-Agustus 2012.
3. Untuk mengetahui gambaran PHBS (penggunaan air bersih, penggunaan jamban, dan
mencuci tangan) rumah tangga di wilayah kerja Puskesmas Bebandem Kabupaten
Karangasem pada bulan Juli-Agustus 2012.
4. Untuk mengetahui kejadian diare berdasarkan karakteristik responden di wilayah
kerja Puskesmas Bebandem Kabupaten Karangasem pada bulan Juli-Agustus 2012.
5
5. Untuk mengetahui kejadian diare berdasarkan gambaran PHBS (penggunaan air
bersih, penggunaan jamban, dan mencuci tangan) rumah tangga di wilayah kerja
Puskesmas Bebandem Kabupaten Karangasem pada bulan Juli-Agustus 2012.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat:
1. Bagi Masyarakat Setempat
Memberikan informasi kepada masyarakat tentang gambaran PHBS rumah tangga
dengan kejadian diare pada balita sehingga masyarakat dapat mengetahui pentingnya
PHBS dan menerapkan PHBS dalam ke hidupan sehari-hari untuk mencegah
penyakit diare.
2. Bagi Instansi Puskesmas
Memberikan informasi bagi Puskesmas Bebandem tentang hubungan PHBS rumah
tangga dengan kejadian diare pada balita. Sehingga hasil penelitian diharapkan dapat
digunakan sebagai dasar evaluasi maupun perancangan dalam rangka pengambilan
keputusan penanggulangan penyakit diare di wilayah kerja Puskesmas Bebandem dan
dapat menurunkan angka kejadian kasus diare.
3. Bagi Peneliti
Hasil penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai referensi bagi penelitian yang
lebih lanjut.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)
2.1.1 Pengertian Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) adalah sekumpulan perilaku yang dipraktikkan
atas dasar kesadaran sebagai hasil pembelajaran, yang menjadikan seseorang,
keluarga,kelompok atau masyarakat mampu menolong dirinya sendiri (mandiri) di bidang
kesehatan dan berperan aktif dalam mewujudkan kesehatan masyarakat. Dengan
demikian,PHBS mencakup beratus-ratus bahkan mungkin beribu-ribu perilaku yang harus
dipraktikkan dalam rangka mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-
tingginya.
Dibidang pencegahan dan penanngulangan penyakit serta kesehatan lingkungan
harus dipraktikkan perilaku mencuci tangan dengan sabun, pengelolaan air minum dan
makanan yang memenuhi syarat, menggunakan air bersih, menggunakan jamban sehat,
pengelolaan limbah cair yang memenuhi syarat, memberantas jentik nyamuk, tidak
merokok di dalam ruangan dan lain-lain. Di bidang kesehatan ibu dan anak serta keluarga
berencana harus dipraktikkan perilaku meminta pertolongan persalinan oleh tenaga
kesehatan, menimbang balita setiap bulan,menimbang, imunisasi lengkap bayi, menjadi
akseptor keluaran berencana dan lain-lain. Di bidang gizi dan farmasi harus dipraktikkan
perilaku makan dengan sehat seimbang, minum Tablet Tambah Darah selama hamil,
memberi bayi air susu ibu (ASI) eksklusif, mengonsumsi Garam Beryodium dan lainlain.
Sedangkan di bidang pemeliharaan kesehatan harus dipraktikkan perilaku ikut serta dalam
jaminan pemeliharaan kesehatan, aktif mengurus dan atau memanfaatkan upaya kesehatan
bersumberdaya masyarakat (UKBM), memanfaatkan Puskesmas dan fasilitas pelayanan
kesehatan lain dan lain-lain.
2.1.2 Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di Berbagai Tatanan
PHBS mencakup semua perilaku yang harus dipraktikkan di bidang pencegahan dan
penanggulangan penyakit, penyehatan lingkungan, kesehatan ibu dan anak, keluarga
berencana, gizi, farmasi dan pemeliharaan kesehatan. Perilaku-perilaku tersebut harus
7
dipraktikkan dimana pun seseorang berada di rumah tangga, di institusi pendidikan, di
tempat kerja, di tempat umum dan di fasilitas pelayanan kesehatan – sesuai dengan situasi
dan kondisi yang dijumpai.
1. PHBS di Rumah Tangga
Di rumah tangga, sasaran primer harus mempraktikkan perilaku yang dapat
menciptakan Rumah Tangga Ber- PHBS, yang mencakup persalinan ditolong oleh
tenaga kesehatan, memberi bayi ASI eksklusif, menimbang balita setiap bulan,
menggunakan air bersih, mencuci tangan dengan air bersih dan sabun, pengelolaan air
minum dan makan di rumah tangga, menggunakan jamban sehat (Stop Buang Air
Besar Sembarangan/Stop BABS), pengelolaan limbah cair di rumah tangga,
membuang sampah di tempat sampah, memberantas jentik nyamuk, makan buah dan
sayur setiap hari, melakukan aktivitast fisik setiap hari, tidak merokok di dalam
rumah dan lain-lain.
2. PHBS di Institusi Pendidikan
Di institusi pendidikan (kampus, sekolah, pesantren, seminari, padepokan dan lain-
lain), sasaran primer harus mempraktikkan perilaku yang dapat menciptakan Insttusi
Pendidikan Ber-PHBS, yang mencakup antara lain mencuci tangan menggunakan
sabun, mengkonsumsi makanan dan minuman sehat, menggunakan jamban sehat,
membuang sampah di tempat sampah, tidak merokok, tidak mengkonsumsi Narkotika,
Alkohol, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA), tidak meludah sembarang
tempat, memberantas jentik nyamuk dan lain-lain.
3. PHBS di Tempat Kerja
Di tempat kerja (kantor, pabrik dan lain-lain), sasaran primer harus mempraktikkan
perilaku yang dapat menciptakan Tempat Kerja Ber-PHBS, yang mencakup mencuci
tangan dengan sabun, mengkonsumsi makanan dan minuman sehat, menggunakan
jamban sehat, membuang sampah di tempat sampah, tidak merokok, tidak
mengkonsumsi NAPZA, tidak meludah sembarang tempat, memberantas jentik
nyamuk dan lain-lain.
4. PHBS di Tempat Umum
8
Di tempat umum (tempat ibadah, pasar, pertokoan, terminal, dermaga dan lain-lain),
sasaran primer harus mempraktikkan perilaku yang dapat menciptakan Tempat Umum
Ber-PHBS, yang mencakup mencuci tangan dengan sabun, menggunakan jamban
sehat, membuang sampah di tempat sampah, tidak merokok, tidak mengkonsumsi
NAPZA, tidak meludah di sembarang tempat, memberantas jentik nyamuk dan lain-
lain.
5. PHBS di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Di fasilitas pelayanan kesehatan (klinik, Puskesmas, rumah sakit dan lain-lain),
sasaran primer harus mempraktikkan perilaku yang dapat menciptakan Fasilitas
pelayanan kesehatan Ber-PHBS, yang mencakup mencuci tangan dengan sabun,
menggunakan jamban sehat, membuang sampah di tempat sampah, tidak merokok,
tidak mengkonsumsi NAPZA, tidak meludah di sembarang tempat, memberantas
jentik nyamuk dan lain-lain.
2.2. Gambaran Umum Diare
2.2.1. Pengertian Diare
Diare berasal dari bahasa Yunani yaitu diarroi yang berarti mengalir terus. Terdapat
beberapa pendapat tentang defenisi penyakit diare. Hipocrates mendefinisikan diare
sebagai buang air besar dengan frekuensi yang tidak normal (meningkat) dan konsistensi
tinja yang lebih lembek atau cair. Menurut WHO (2005), penyakit diare adalah gejala yang
umum, di mana penderita diare buang air besar (defekasi) lebih sering dari biasanya, dan
konsistensi tinjanya encer, berat tinjanya lebih dari 200 gram atau berat tinjanya kurang
dari 200 gram tapi buang air besar lebih dari 3 kali sehari dan tinjanya berlendir, berdarah.
Sedangkan menurut Depkes RI (2005) secara operasinoal diare adalah buang air besar
lembek/cair bahkan dapat berupa air saja yang frekuensinya lebih sering dari biasanya dan
berlangsung kurang dari 14 hari.
2.2.2. Faktor-Faktor Penyebab Diare
Menurut Widoyono (2008), diare dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain:
1. Faktor infeksi
Infeksi saluran pencernaan makanan yang merupakan penyebab utama diare yang
disebabkan oleh infeksi bakteri, virus atau parasite.
9
2. Faktor Malabsorsi
Faktor malabsorpsi dibagi menjadi dua yaitu malabsorpsi karbohidrat dan lemak.
Malabsorpsi karbohidrat, pada bayi kepekaan terhadap lactoglobulis dalam susu
formula dapat menyebabkan diare. Gejalanya berupa diare berat, tinja berbau sangat
asam, dan sakit di daerah perut. Sedangkan malabsorpsi lemak, terjadi bila dalam
makanan terdapat lemak yang disebut triglyserida. Triglyserida, dengan bantuan
kelenjar lipase, mengubah lemak menjadi micelles yang siap diabsorpsi usus. Jika
tidak ada lipase dan terjadi kerusakan mukosa usus, diare dapat muncul karena
lemak tidak terserap dengan baik.
3. Faktor makanan
Makanan yang mengakibatkan diare adalah makanan yang tercemar, basi, beracun,
terlalu banyak lemak, mentah (sayuran) dan kurang matang. Makanan yang
terkontaminasi jauh lebih mudah mengakibatkan diare pada anak-anak balita.
4. Faktor lingkungan
Dapat terjadi pada lingkungan yang tidak saniter seperti : Pasokan air tidak
memadai, air terkontaminasi tinja, jamban tidak memenuhi syarat kesehatan.
Sumber air minum utama merupakan salah satu sarana sanitasi yang tidak kalah
pentingnya berkaitan dengan kejadian diare. Sebagian kuman infeksius penyebab
diare ditularkan melalui jalur fekal oral. Mereka dapat ditularkan dengan
memasukkan ke dalam mulut, cairan atau benda yang tercemar dengan tinja,
misalnya air minum, jari-jari tangan, dan makanan yang disiapkan dalam panci
yang dicuci dengan air tercemar (Depkes RI,2004). Tempat pembuangan tinja yang
tidak memenuhi syarat sanitasi akan meningkatkan risiko terjadinya diare berdarah
pada anak balita sebesar dua kali lipat dibandingkan keluarga yang mempunyai
kebiasaan membuang tinjanya yang memenuhi syarat sanitasi (Wibowo, 2004).
5. Faktor perilaku pengasuh
Menurut Depkes RI (2005), faktor perilaku pengasuh yang dapat menyebabkan
penyebaran bakteri patogen dan meningkatkan risiko terjadinya diare adalah
sebagai berikut :
a. Tidak memberikan ASI secara penuh 4-6 bulan pada pertama kehidupan.
10
b. Menggunakan botol susu yang memudahkan pencemaran bakteri pathogen,
karena botol susu susah dibersihkan.
c. Menyimpan makanan pada suhu kamar, yang jika didiamkan beberapa jam
bakteri pathogen akan berkembang biak.
d. Menggunakan air minum yang tercemar.
e. Tidak mencuci tangan setelah buang air besar atau sesudah makan dan
menyuapi anak.
f. Tidak membuang tinja (termasuk tinja bayi) dengan benar.
Menurut hasil penelitian Irianto (1996), bahwa anak balita berasal dari
keluarga yang menggunakan jamban (kakus) yang dilengkapi dengan tangki
septik, prevalensi diare 7,4% terjadi di kota dan 7,2% di desa. Sedangkan
keluarga yang menggunakan kakus tanpa tangki septik 12,1% diare terjadi di
kota dan 8,9 % di desa. Kejadian diare tertinggi terdapat pada keluaga yang
mempergunakan sungai sebagai tempat pembuangan tinja, yaitu, 17,0% di
kota dan 12,7% di desa.
6. Faktor psikologis
Rasa takut, cemas, dan tegang, jika terjadi pada anak dapat menyebabkan diare
kronis. Tetapi jarang terjadi pada anak balita,umumnya terjadi pada anak yang lebih
besar.
7. Faktor Sosiodemografi
Demografi adalah ilmu yang mempelajari persoalan dan keadaan perubahan-
perubahan penduduk yang berhubungan dengan komponen-komponen
perubahan tersebut seperti kelahiran, kematian, migrasi sehingga menghasilkan
suatu keadaan dan komposisi penduduk menurut umur dan jenis kelamin
tertentu (Lembaga Demografi FE UI, 2000). Dalam pengertian yang lebih luas,
demografi juga memperhatikan berbagai karakteristik individu maupun
kelompok yang meliputi karakteristik sosial dan demografi,
karakteristik pendidikan dan karakteristik ekonomi. Karakteristik sosial dan
demografi meliputi: jenis kelamin, umur, status perkawinan, dan agama.
11
Karakteristik pendidikan meliputi: tingkat pendidikan. Karakteristik ekonomi
meliputi jenis pekerjaan, status ekonomi dan pendapatan (Mantra, 2000).
Faktor sosiodemografi meliputi tingkat pendidikan ibu, jenis pekerjaan ibu, dan
umur ibu.
a. Tingkat pendidikan
Jenjang pendidikan memegang peranan cukup penting dalam kesehatan
masyarakat. Pendidikan masyarakat yang rendah menjadikan mereka sulit
diberi tahu mengenai pentingnya higiene perorangan dan sanitasi lingkungan
untuk mencegah terjangkitnya penyakit menular, diantaranya diare. Dengan
sulitnya mereka menerima penyuluhan, menyebabkan mereka tidak peduli
terhadap upaya pencegahan penyakit menular (Sander, 2005). Masyarakat yang
memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi lebih berorientasi pada tindakan
preventif, mengetahui lebih banyak tentang masalah kesehatan dan memiliki
status kesehatan yang lebih baik. Pada perempuan, semakin tinggi tingkat
pendidikan, semakin rendah angka kematian bayi dan kematian ibu (Widyastuti,
2005).
b. Pendapatan
Menurut Sarwono (2004) keluarga dengan penghasilan yang tinggi memungkinkan
keluarga tersebut melaksanakan kebersihan lingkungan dan ketersediaan sarana
sanita si lingkungan yang baik sehingga resiko kontak keluarga dengan bakteri
pathogen penyebab penya kit lebih rendah dibandingkan dengan keluarga dengan
pendapatan rendah. Selain itu disebutkan juga bahwa pendapatan berhubungan
dengan pemenuhan kebutuhan makanan bagi keluarga sehingga status gizi anak
juga akan terpengaruh.
c. Umur ibu
Umur merupakan salah satu variabel terkuat yang dipakai untuk memprediksi
perbedaan dalam hal penyakit, kondisi, dan peristiwa kesehatan, dan karena
saling diperbandingkan maka kekuatan variabel umur menjadi mudah dilihat
(Widyastuti, 2005). Notoatmodjo (2003) juga menyebutkan bahwa umur adalah
12
variabel yang selalu diperhatikan di dalam penyelidikan-penyelidikan
epidemiologi.
2.2.3. Gejala dan Tanda Diare
Menurut Widoyono (2008), beberapa gejala dan tanda diare antara lain:
1. Gejala Umum
a. Berak cair atau lembek dan sering adalah gejala khas diare
b. Muntah, biasanya menyertai diare pada gastroenteritis akut
c. Demam, dapat mendahului atau tidak mendahului gejala diare
d. Gejala dehidrasi, yaitu mata cekung, ketegangan kulit menurun, apatis, bahkan
gelisah.
2. Gejala Spesifik
a. Vibrio cholera: diare hebat, warna tinja seperti cucian beras dan berbau amis.
b. Disenteriform: tinja berlendir dan berdarah.
2.2.4. Pengobatan Diare
Menurut Widoyono (2008), pengobatan diare yaitu: berdasarkan derajat dehidrasinya,
yaitu:
1. Rehidrasi (pengembalian cairan yang hilang)
Pengobatan yang dilakukan dapat dilakukan dengan memberikan minuman yang ada di
rumah seperti air mineral, air kelapa, larutan gula garam (LGG), air teh, maupun oralit.
2. Teruskan pemberian makanan.
Pemberian makanan seperti semula diberikan sedini mungkin dan disesuaikan dengan
kebutuhan. Makanan tambahan diperlukan pada masa penyembuhan. Untuk bayi, ASI
tetap diberikan bila sebelumnya mendapatkan ASI, namun bila sebelumnya tidak
mendapatkan ASI dapat diteruskan dengan memberikan susu formula.
3. Antibiotik bila perlu.
Sebagian besar penyebab diare adalah rotavirus yang tidak memerlukan antibiotik
dalam penatalaksanaan kasus diare karena tidak bermanfaat dan efek sampingnya
bahkan merugikan penderita.
4. Memberikan tablet Zinc
13
Untuk usia kurang dari enam buln diberikan tablet zinc 10mg/KgBB dan apabila usia
lebih dari enam bulan diberikan tablet Zinc sebanyak 20mg/KgBB.
2.3 Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di Dalam Rumah Tangga yang
Berkaitan dengan Penularan Diare pada Balita
PHBS di Rumah Tangga adalah upaya untuk memberdayakan anggota rumah tangga agar
tahu, mau dan mampu melaksanakan perilaku hidup bersih dan sehat serta berperan aktif
dalam gerakan kesehatan di masyarakat. PHBS di Rumah Tangga dilakukan untuk
mencapai Rumah Tangga Sehat. Rumah tangga sehat berarti mampu menjaga,
meningkatkan, dan melindungi kesehatan setiap anggota rumah tangga dari gangguan
ancaman penyakit dan lingkungan yang kurang kondusif untuk hidup sehat (Depkes RI,
2007).
Adapun tujuan serta manfaat PHBS dalam rumah tangga yaitu,: Meningkatkan
pengetahuan, kemauan dan kemampuan anggota rumah tangga untuk melaksanakan PHBS,
berperan aktif dalam gerakan PHBS di masyarakat, setiap rumah tangga meningkatkan
kesehatannya dan tidak mudah sakit, anak tumbuh sehat dan cerdas, serta produktivitas
kerja anggota keluarga meningkat dengan meningkatnya kesehatan anggota rumah tangga
maka biaya yang dialokasikan untuk kesehatan dapat dialihkan untuk biaya investasi
seperti biaya pendidikan, pemenuhan gizi keluarga dan modal usaha untuk peningkatan
pendapatan keluarga.
Rumah Tangga Ber-PHBS adalah rumah tangga yang melakukan 10 PHBS di Rumah
Tangga yaitu:
1. Persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan
2. Memberi bayi ASI eksklusif
3. Menimbang balita setiap bulan
4. Menggunakan air bersih
5. Mencuci tangan dengan air bersih dan sabun
6. Menggunakan jamban sehat
7. Memberantas jentik di rumah sekali seminngu
8. Makan buah dan sayur setiap hari
14
9. Melakukan aktivitas fisik setiap hari
10. Tidak merokok di dalam rumah
Dari sepuluh indikator PHBS di atas yang berhubungan dengan kejadian diare adalah:
menggunakan air bersih, menggunakan jamban sehat, dan cuci tangan dengan air dan
sabun.
2.3.1. Penyediaan Air Bersih
2.3.1.1 Air Dalam Kehidupan
Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan manusia setelah udara. Sekitar
tiga per empat tubuh kita terdiri dari air dan tidak seorang pun dapat bertahan hidup lebih
dari 4-5 hari tanpa air minum. Volume air dalam tubuh manusia rata-rata 65% dari total
berat badannya, dan volume tersebut sangat bervariasi pada masing-masing orang, bahkan
juga bervariasi antara bagian-bagian tubuh seseorang. (Chandra, 2007).
Dalam kehidupan sehari-hari air dipergunakan untuk memasak, mencuci, mandi, dan
membersihkan kotoran yang ada di sekitar rumah. Air juga digunakan untuk keperluan
industri, pertanian, pemadam kebakaran, tempat rekreasi, tranportasi, dan lain-lain.
Menurut perhitungan WHO di negara-negara maju volume rata-rata kebutuhan air setiap
individu per hari antara 60 120 liter dan untuk Negara berkembang termasuk Indonesia
setiap orang membutuhkan air antara 30-60 liter per hari. Kebutuhan air tersebut bervariasi
dan bergantung pada keadaan iklim, standar kehidupan, dan kebiasaan masyarakat.
Ditinjau dari sudut ilmu kesehatan masyarakat, penyediaan sumber air bersih harus dapat
memenuhi kebutuhan masyarakat karena persediaan air yang terbatas memudahkan
timbulnya penyakit di masyarakat.
2.3.1.2 Sumber-Sumber Air Bersih
Menurut Chandra (2007) air yang berada di permukaaan bumi ini dapat berasal dari
berbagai sumber. Berdasarkan letak sumbernya, air dapat dibagi menjadi air hujan, air
permukaan, dan air tanah.
1. Air Angkasa (Hujan)
Air angkasa atau air hujan merupakan sumber utama air di bumi. Walau pada saat
presipitasi merupakan air yang paling bersih, air tersebut cenderung mengalami
15
pencemaran ketika berada di atmosfer. Pencemaran yang berlangsung di atmosfer
itu dapat disebabkan oleh partikel debu, mikroorganisme dan gas, misalnya karbon
dioksida, nitrogen, dan amonia.
2. Air Permukaan
Air permukaan merupakan salah satu sumber penting bahan baku air bersih. Faktor-
faktor yamg harus diperhatikan, antara lain: mutu atau kualitas baku, jumlah atau
kuantitasnya, dan kontinuitasnya. Dibandingkan dengan sumber air lain, air
permukaan merupakan sumber air yang paling tercemar akibat kegiatan manusia,
fauna, flora dan zat-zat lain. Sumber-sumber air permukaan antara lain sungai,
selokan, rawa, parit, bendungan, danau, laut, dan air terjun. Air terjun dapat dipakai
untuk sumber air di kota-kota besar karena air tersebut sebelumnya sudah
dibendung oleh alam dan jatuh secara gravitasi. Air ini tidak tercemar sehingga
tidak membutuhkan purifikasi bakterial. Sumber air permukaan yang berasal dari
sungai, selokan, dan parit mempunyai persamaan, yaitu airnya mengalir dan dapat
menghanyutkan bahan yang tercemar. Sumber air permukaan yang berasal dari
rawa, bendungan dan danau memiliki air yang tidak mengalir, tersimpan dalam
waktu yang lama, dan mengandung sisa-sisa pembusukan alam, misalnya
pembusukan tumbuh-tumbuhan, ganggang, fungi, dan lain-lain. Air permukaan
yang berasal dari air laut mengandung kadar garam yang tinggi sehingga jika akan
digunakan untuk air minum, air tersebut harus menjalani proses ion-exchange.
3. Air Tanah
Air tanah (ground water) berasal dari air hujan yang jatuh ke permukaan bumi yang
kemudian mengalami perkolasi atau penyerapan ke dalam tanah dan mengalami
proses fertilisasi secara alamiah. Proses-proses yang telah dialami air hujan
tersebut, di dalam perjalanannya ke bawah tanah membuat air tanah menjadi lebih
baik dan lebih murni dibandingkan dengan air permukaan. Air tanah memiliki
beberapa kelebihan dibandingkan sumber lain. Pertama, air tanah biasanya bebas
dari kuman penyakit dan tidak perlu mengalami proses purifikasi atau penjernihan.
Persediaan air tanah juga cukup tersedia sepanjang tahun, saat musim kemarau
sekalipun. Sementara itu, air tanah juga memiliki beberapa kerugian atau
16
kelemahan disbanding sumber lainnya. Air tanah mengandung zat-zat mineral
dalam konsentrasi yang tinggi. Kosentrasi yang tinggi dari zat-zat mineral semacam
magnesium, kalsium, dan logam berat seperti besi dapat menyebabkan kesadahan
air. Selain itu, untuk mengisap dan mengalirkan air ke permukaan diperlukan
pompa.
2.3.1.3. Syarat-Syarat Air Bersih
Kelayakan air dapat diukur secara kualitas dan kuantitas. Kualitas air adalah sifat air dan
kandungan makhluk hidup, zat, energi, atau komponen lain dalam air yang mencakup
kualitas fisik, kimia dan biologis (Effendi, 2003). Menurut Kusnaedi (2004), syarat-syarat
kualitas air bersih, antara lain:
1. Syarat Fisik
Persyaratan fisik untuk air bersih, antara lain: airnya jernih tidak keruh, tidak
berwarna, rasanya tawar, tidak berbau, suhunya normal (20- 260C), tidak
mengandung zat padatan.
2. Syarat Kimia
Kualitas air tergolong baik bila memenuhi persyaratan kimia, antara lain: pH netral,
tidak mengandung zat kimia beracun, tidak mengandung garam-garam atau ion-ion
logam, kesadahan rendah, tidak mengandung bahan kimia anorganik.
3. Syarat Biologis
Air tidak boleh mengandung Coliform. Air yang mengandung golongan Coli
dianggap telah terkontaminasi dengan kotoran manusia (Sutrisno, 2004).
Berdasarkan PERMENKES RI No. 416/MENKES/PER/IX/1990, persyaratan
bakteriologis air bersih adalah dilihat dari Coliform tinja per 100 ml sampel air
dengan kadar maksimum yang diperbolehkan adalah 50.
2.3.1.4 Menggunakan Air Bersih
Penyakit diare dapat ditularkan melalui makanan dan air yang tercemar oleh bakteri
pathogen. Keluarga dapat mengurangi resiko diare dengan menggunakan air bersih
yang tersedia dan melindunginya dari kontaminasi baik dari sumbernya maupun di
rumah. Sumber air bersih yang memenuhi syarat adalah paling sedikit jaraknya 10
meter dari sumber pencemar seperti penampungan air kotor, tempat pembuangan
17
sampah, jamban/kakus. Menurut Depkes RI (2007), kegiatan yang dapat dilakukan
keluarga adalah:
1. Ambil air dari sumber air yang bersih
2. Tempat penampungan air harus selalu bersih
3. Wadah penyimpanan air harus tertutup dan sering dibersihkan
4. Gayung pengambil air juga harus bersih
5. Masaklah air sampai mendidih sebelum diminum
6. Gunakan alat-alat minum yang bersih
2.3.2 Penggunaan Jamban
2.3.2.1 Pengertian dan Manfaat Jamban
Jamban atau kakus adalah tempat pembuangan kotoran manusia berupa tinja dan air seni.
Yang dimaksud dengan kotoran manusia adalah semua benda atau zat yang tidak dipakai
lagi oleh tubuh dan yang harus dikeluarkan dari dalam tubuh (Notoatmodjo, 2007).
Ditinjau dari sudut kesehatan lingkungan, kotoran manusia merupakan masalah yang
sangat penting. Pembuangan tinja secara layak merupakan kebutuhan kesehatan yang
paling diutamakan. Manfaat penggunaan jamban adalah untuk menjaga lingkungan bersih,
sehat dan tidak berbau, tidak mencemari sumber air yang ada disekitarnya, dan tidak
mengundang datangnya agen penular penyakit.
Pembuangan tinja secara tidak baik dan sembarangan dapat mengakibatkan
kontaminasi pada air, tanah, atau menjadi sumber infeksi, dan akan mendatangkan bahaya
bagi kesehatan, karena penyakit yang tergolong waterborne disease akan mudah
berjangkit. Yang termasuk waterborne disease adalah tifoid, paratifoid, disentri, diare,
kolera, penyakit cacing, hepatitis viral dan sebagainya (Chandra, 2007). Di negara
berkembang, masih banyak terjadi pembuangan tinja secara sembarangan akibat tingkat
sosial ekononi yang rendah, pengetahuan di bidang kesehatan lingkungan yang kurang, dan
kebiasaan buruk dalam pembuangan tinja yang diturunkan dari generasi ke generasi.
18
2.3.2.2. Penggunaan Jamban Sehat
Untuk mencegah sekurang-kurangnya mengurangi kontaminasi tinja terhadap lingkungan,
maka pembuangan kotoran manusia harus dikelola dengan baik, pembuangan kotoran
harus di suatu tempat tertentu atau jamban yang sehat. Menurut Departemen Kesehatan
(2009), suatu jamban disebut sehat apabila memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai
berikut:
1.Tidak mencemari sumber air minum (jarak antara sumber air minum dengan
lubang penampungan minimal 10 meter)
2.Tidak berbau
3.Kotoran tidak dapat dijamah oleh serangga atau tikus
4.Tidak mencemari tana disekitarnya
5.Mudah dibersihkan dan aman digunakan
6.Dilengkapi dinding dan atap pelindung
7.Penerangan dan ventilasi cukup
8.Lantai kedap air dan luas ruangan memaadai
9.Tersedia air, sabun, dan alat pembersih
Menurut Depkes RI (2007), dalam menjaga jamban jamban tetap sehat dan bersih
keluarga dapat melakukan beberapa cara yaitu, sebagai berikut:
1. Lantai jamban hendaknya selalu bersih dan tidak ada genangan air.
2. Membersihkan jamban secara teratur sehingga ruangan jamban selalu dalam
keadaan bersih.
3. Di dalam jamban tidak ada kotoran yang terlihat
4. Tidak ada serangga (kecoa, lalat) dan tikus yang berkeliaran
5. Tersedia alat pembersih (sabun, sikat, dan air bersih)
6. Bila ada kerusakan, segera diperbaiki
Menurut Soeparman (2002), jamban sehat juga harus mempertimbangkan pada pemenuhan
berbagai keiinginan berikut:
1. Sedapat mungkin pembuangan tinja dilakukan orang dengan tenang tanpa
terganggu privasinya.
19
2. Sedapat mungkin pembuangan tinja dilakukan dengan nyaman (comfort) dalam
posisi dan suasana yang disukainya.
3. Sedapat mungkin pembuangan tinja dapat dilakukan oleh orang yang sedang
menderita penyakit saluran pencernaan dengan tidak menimbulkan risiko bahaya
penularan bagi orang lain.
4. Sedapat mungkin pembuangan tinja dapat dilakukan orang dengan semaksimal
mungkin memperoleh manfaat dari tinja yang dibuang, yang dapat diproses
menjadi kompos atau bio gas.
5. Sedapat mungkin pembuangan tinja dapat dilakukan orang di berbagai daerah
dengan teknik yang sesuai dengan kondisi setempat.
2.3.2.3. Tinja dan Cara Penularan Penyakit Diare
Menurut Depkes RI (2007), jalur penularan penyakit dari tinja atau kotoran manusia
sebagai sumber penyakit melalui mulut sehingga menjadi sakit dapat digambarkan sebagai
berikut:
1. Tinja atau kotoran manusia mengandung agent penyakit sebagai sumber penularan
bila pembuangannya tidak aman maka dapat mencemari tangan, air, tanah, atau
dapat menempel pada lalat dan serangga lainnya yang menghinggapinya.
2. Air yang tercemar tinja dapat mencemari makanan yang selanjutnya makanan
tersebut dimakan oleh manusia atau air yang tercemar diminum oleh manusia.
3. Tinja dapat mencemari tangan atau jari-jari manusia selanjutnya dapat mencemari
makanan pada waktu memasak atau menyiapkan makanan, demikian juga yang
telah tercemar dapat langsung kontak dengan mulut.
4. Tinja secara langsung dapat mencemari makanan yang kemudian makanan
tersebut dimakan oleh manusia, melalui lalat/serangga kuman penyakit dapat
mencemari makanan yang kemudian dimakan oleh manusia.
5. Melalui lalat atau serangga lainnya kuman penyakit dapat mencemari makanan
sewaktu hinggap dimakanan yang kemudian dimakan oleh manusia.
6. Tinja juga dapat mencemari tanah sebagai akibat tidak baiknya sarana pembuangan
tinja atau membuang tinja disembarang tempat di mana tanah tersebut selanjutnya
dapat mencemari makanan atau kontak langsung dengan mulut manusia.
20
2.3.3 Cuci Tangan
Tangan yang bersentuhan langsung dengan kotoran manusia dan hewan, ataupun cairan
tubuh lain seperti ingus dan air ludah dapat terkontaminasi oleh kuman-kuman penyakit
seperti bakteri, virus dan parasit yang dapat menempel pada permukaaan kulit. Oleh karena
itu tangan sangat berperan dalam penularan penyakit, khususnya penyakit yang ditularkan
melalui mulut, misalnya diare. Menurut Depkes (2009) tangan akan bebas dari kuman
penyakit apabila cuci tangan dengan baik dan benar.
2.3.3.1. Pengertian Cuci Tangan Pakai Sabun dan Air Mengalir
Menurut Depkes (2009) cuci tangan pakai sabun adalah salah satu tindakan sanitasi dengan
membersihkan tangan dan jari jemari menggunakan air dan sabun oleh manusia untuk
menjadi bersih dan memutuskan mata rantai kuman. Mencuci tangan dengan sabun dikenal
juga sebagai salah satu upaya pencegahan penyakit. Mencuci tangan dengan air saja tidak
cukup. Penggunaan sabun selain membantu singkatnya waktu cuci tangan, dengan
menggosok jemari dengan sabun menghilangkan kuman yang tidak tampak minyak/ lemak/
kotoran di permukaan kulit, serta meninggalkan bau wangi. Perpaduan kebersihan, bau
wangi dan perasaan segar merupakan hal positif yang diperoleh setelah menggunakan
sabun.
2.3.3.2. Waktu Yang Tepat Cuci Tangan
Kebiasaan mencuci tangan dapat mencegah terjadinya diare pada balita. Seorang ibu atau
anggota keluarga harus membiasakan mencuci tangan dengan benar sebelum dan setelah
melakukan kegiatan di bawah ini, sesuai dengan Departemen Kesehatan (2009) :
Setiap kali tangan kita kotor (setelah memegang uang, memegang binatang,
berkebun, dll).
Setelah buang air besar
Setelah menceboki bayi atau anak
Sebelum makan dan menyuapi anak
Sebelum memegang makanan
Sebelum menyusui bayi
21
2.3.4. Cara Cuci Tangan Yang Benar
Mencuci tangan yang benar harus menggunakan sabun dan di bawah air yang mengalir.
Menurut Departemen Kesehatan (2009) langkah-langkah teknik mencuci tangan yang
benar adalah sebagai berikut,:
1. Basahi tangan dengan air di bawah kran atau air mengalir.
2. Ambil sabun cair secukupnya untuk seluruh tangan.
3. Gosokkan kedua telapak tangan. Gosokkan sampai ke ujung jari.
4. Telapak tangan kanan menggosok punggung tangan kiri (atau sebaliknya) dengan
jari-jari saling mengunci (berselang-seling) antara tangan kanan dan kiri. Gosok
sela-sela jari tersebut. Lakukan sebaliknya.
5. Letakkan punggung jari satu dengan punggung jari lainnya dan saling mengunci.
6. Usapkan ibu jari tangan kanan dengan telapak kiri dengan gerakan berputar.
Lakukan hal yang sama dengan ibu jari tangan kiri.
7. Gosok telapak tangan dengan punggung jari tangan satunya dengan gerakan ke
depan, ke belakang dan berputar. Lakukan sebaliknya.
8. Pegang pergelangan tangan kanan dengan tangan kiri dan lakukan
gerakan memutar. Lakukan pula untuk tangan kiri.
9. Bersihkan sabun dari kedua tangan dengan air mengalir.
10. Keringkan tangan dengan menggunakan tissue dan bila menggunakan kran, tutup
kran dengan tissue.
2.4 Keterkaitan Kebiasaan Mencuci Tangan, Penggunaan Air Bersih, dan
Penggunaan Jamban dengan Kejadian Diare
Sejumlah penelitian yang menyatakan hubungan penggunaan jamban dan penyediaan air
bersih dengan kejadian diare disajikan dalam tabel berikut.
Tabel 1. Ringkasan Penelitian Hubungan Penggunaan Jamban dan Penyediaan Air Bersih dengan Kejadian Diare
NO PENELITI RANCANGAN HASIL PENELITIAN
1 Suwantoro,
2006
Deskriptif
analitik cross
Ketersediaan sarana air bersih (p=0.003), pemanfaatan sarana air bersih (p=0.0001),
22
sectional ketersediaan jamban (p=0.024) dan pemanfaatan jamban (p=0.019) memiliki hubungan signifikan dengan kejadian diare
2 Apriyanti,
dkk., 2009
Survey cross
sectional
Terdapat hubungan yang signifikan antara penggunaan jamban (p value=0,046; α=0,05) dengan kejadian diare pada anak.
3 Arie, dkk.,
2011
Survey analitik
cross sectional
ada hubungan yang bermakna antara variabel pemberian penggunaan air bersih (p= 0,006, OR= 4,021), penggunaan jamban sehat (p= 0,024, OR= 3,043), kebiasaan mencuci tangan (p=0,000, OR= 7,667)
4 Indah, 2011 Survey analitik
cross sectional
ada pengaruh tempat pembuangan tinja (p = 0,030); tempat pembuangan sampah (p = 0,007), sumber air minum (p = 0,002), kebiasaan ibu mencuci tangan (p = 0,003), dan kebiasaan ibu merebus botol susu (p = 0,000)
Tintisnowati,
2010
Survey analitik
cross sectional
ada hubungan antara kebiasaan mencuci tangan setelah Buang Air Besar dengan kejadian diare (p=0,024), ada hubungan kebiasaan mencuci tangan sebelum menyuapi anak dengan kejadian diare (p value=0,02), tidak ada hubungan antara kebiasaan mencuci tangan sebelum memasak dengan kejadian diare (p=0,072), tidak ada hubungan antara kebiasaan mencuci botol dengan sabun dengan kejadian diare (p=0,924).
5 Anggraeni,
2004
Survey cross
sectional
ada hubungan antara kondisi jamban keluarga dengan kejadian diare pada anak balita (p=0,010),ada hubungan antara kondisi tempat sampah dengan kejadian diare pada anak balita (p=0,001),tidak ada hubungan antara kondisi SPAL dengan kejadian diare pada anak balita (p=0,129).Ada hubungan antara kebiasaan cuci tangan dengan kejadian siare pada anak balita (p=0.035)
6 Longginus,
2004
Deskriptif
analitik cross
sectional
Ada hubungan antara cakupan air bersih non perpipaan dengan kejadian diare (p=0.011). Ada hubungan antara cakupan jamban keluarga dengan kejadian diare (p=0,005).
7 Sulistyowati,
2004
Survey cross
sectional
Ada hubungan antara kondisi penggunaan air bersih dengan kejadian diare pada anak balita (p=0,004), ada hubungan antara pemanfaatan
23
jamban (p value=0.019) memiliki hubungan signifikan dengan kejadian diare pada balita
8 Fitriatun,
2011
Deskriptif
analitik cross
sectional
praktik mencuci tangan dengan sabun yang memenuhi syarat sebesar 39 responden,p value = 0,030 (39%)ada hubungan yang bermakna dengan kejadian diare pada balita, praktik ibu menyiapkan makanan dan minuman yang memenuhi syarat sebesar 79 responden,p value = 0,591 (79%)tidak ada hubungan yang bermakna dengan kejadian diare pada balita,praktik ibu mensterilkan botol susu yang memenuhi syarat sebesar 54 responden,p value = 0,260 (54%)tidak ada hubungan yang bermakna dengan kejadian diare pada balita
24
BAB III
KERANGKA KONSEP PENELITIAN
3.1 Gambar Kerangka Konsep
= variabel yang tidak diteliti
= variabel yang diteliti
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian
Karakteristik Responden :
1. Umur2. Pendidikan3. Pendapatan
Keluarga
Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) :
1. Menggunakan air bersih
2. Menggunakan jamban3. Mencuci tangan dengan
sabun
Kejadian diare pada balita
Faktor makanan
Faktor psikologis
Faktor infeksi
Faktor perilaku pengasuh
Faktor lingkungan
Faktor malabsorpsi
25
BAB IV
METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Jenis penelitian yang dipergunakan adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan cross-
sectional.
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Bebandem Kabupaten Karangasem pada
bulan Juli-Agustus 2012.
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian
3.3.1 Populasi Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh keluarga yang memiliki anak balita (anak
umur 1-5 tahun) yang berada di wilayah kerja Puskesmas Bebandem Kabupaten
Karangasem dimana dipilih 4 dari 8 desa berdasarkan peningkatan insiden diare pada balita
selama 3 tahun terakhir dengan perkiraan jumlah 3140 orang.
3.3.2 Sampel Penelitian
Sampel dalam penelitian ini merupakan keluarga yang memiliki balita yang berada di
wilayah kerja Puskesmas Bebandem Kabupaten Karangasem.
3.3.2.1 Besar Sampel
Besar sampel yang diperlukan didapatkan berdasarkan perhitungan studi cross-sectional:
Keterangan:
n : besar sampel
Z : sama dengan 1,96 pada confidence interval 95%
26
p : proporsi balita yang mengalami diare dengan menggunakan data Riskesdas
Indonesia tahun 2007 (p=0,17)
q : 1–p = 0,83
d : ketepatan absolut yang dipakai (ditetapkan oleh peneliti = 10%)
Maka, akan didapatkan perhitungan sebagai berikut:
Karena jumlah populasi kurang dari 10.000 orang (3140 orang), maka dilakukan
koreksi jumlah sampel dengan menggunakan formula:
Keterangan:
nk : jumlah sampel yang diperlukan bila jumlah populasi penelitian < 10.000
orang
n : jumlah sampel yang diperlukan bila jumlah populasi penelitian ≥ 10.000
N : perkiraan jumlah populasi penelitian
Sampel minimal yang digunakan pada penelitian sebesar 53 orang. Dengan alasan
convinence peneliti menetapkan sampel sebesar 60 orang.
3.3.2.2 Cara Pengambilan Sampel
Dari 8 desa yang merupakan wilayah kerja Puskesmas Bebandem dipilih 4 desa yang
memiliki peningkatan insiden diare pada balita selama 3 tahun terakhir berdasarkan data
register Puskesmas Bebandem. Desa tersebut yaitu Desa Bungaya Kangin, Desa Bungaya,
Desa Bebandem, dan Desa Sibetan. Jumlah sampel dari masing-masing desa dipilih
berdasarkan proporsi masing-masing desa dengan rumus:
Keterangan:
27
nd: jumlah sampel masing-masing desa
x : jumlah populasi balita masing-masing desa
y : jumlah total populasi balita dari keempat desa sampel.
Adapun jumlah sampel masing-masing desa sebagai berikut:
Sampel masing-masing desa dipilih secara random yang berdasar pada daftar nama
keluarga yang memiliki balita yang tercatat di register kantor puskesmas pembantu masing-
masing.
3.3.2.3 Kriteria Inklusi dan Ekslusi
Subjek direkrut setelah memenuhi kriteria inklusi yang ditetapkan dan bersedia menjadi
responden. Adapun kriteria inklusi yang dimaksud, yakni:
1. Ibu yang memiliki anak balita yang berdomisili di Desa Bungaya Kangin
Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali dan bersedia menjadi
responden.
2. Ibu yang memiliki sumber air dari PDAM (pemerintah/desa) atau sumur.
3. Ibu yang memiliki jamban.
Subjek yang memenuhi kriteria inklusi tidak dapat diikutsertakan dalam penelitian
apabila memiliki satu atau lebih kondisi dalam kriteria eksklusi. Subjek yang dieksklusi
adalah sebagai berikut:
1. Tidak mampu diwawancarai disebabkan kondisi medis umum yang berat.
28
2. Menolak untuk mengikuti penelitian ini
3. Tidak berada di tempat saat penelitian berlangsung
3.4 Responden Penelitian
Berdasarkan survey singkat yang dilakukan di Puskesmas Bebandem, pengasuhan balita di
wilayah kerja puskesmas ini lebih banyak dilakukan oleh ibu. Sehingga, subjek penelitian
ini adalah ibu yang memiliki balita yang terpilih menjadi sampel penelitian pada wilayah
kerja Puskesmas Bebandem.
3.5 Variabel Penelitian dan Defenisi Operasional
3.5.1. Variabel Penelitian
Variabel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
1. Umur
2. Pendidikan
3. Pekerjaan
4. Kejadian diare pada balita.
5. Pendapatan keluarga.
6. Penggunan air bersih.
7. Penggunaan jamban.
8. Mencuci tangan.
3.5.2. Defenisi Operasional
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di rumah tangga adalah semua perilaku kesehatan
yang dilakukan atas kesadaran sehingga anggota keluarga yang paling sering memiliki
kontak dengan balita, dalam hal ini ibu, di wilayah kerja Puskesmas Bebandem dapat
menolong dirinya sendiri di bidang kesehatan terutama perilaku yang dapat mencegah
terjadinya penyakit diare pada balita, yang meliputi:
a. Umur adalah usia terakhir responden dalam tahun yang disampaikan saat
wawancara yang dihitung dari selisih tahun wawancara dengan tahun lahir.
29
b. Pendidikan adalah jenjang pendidikan terakhir yang pernah ditempuh oleh
responden. Pendidikan diklasifikasikan berdasarkan skala ordinal, meliputi: (1)
pendidikan rendah (tidak sekolah/tidak tamat SD/tamat SD dan tamat SMP) dan (2)
pendidikan tinggi (tamat/tidak tamat SMA dan tamat/tidak tamat perguruan tinggi).
c. Pendapatan keluarga adalah rata-rata pendapatan responden dan suami per bulan
yang dinyatakan dalam rupiah. Pendapatan keluarga diklasifikasikan menjadi: (1)
cukup (bila pendapatan keluarga ≥ Rp 953.750,00 per bulan) dan (2) kurang (bila
pendapatan keluarga < Rp 953.750,00 per bulan), sesuai dengan Upah Minimum
Regional (UMR) Kabupaten Karangasem tahun 2012.
d. Kejadian diare pada balita adalah keadaan yang dialami balita berupa buang air
besar lebih dari 3 kali dalam sehari dengan konsistensi cair dan yang diderita
sebulan terakhir.
e. Penggunaan air bersih adalah air bersih yang dipergunakan dalam kehidupan sehari-
hari sesuai dengan syarat-syarat air bersih serta digunakan untuk kegiatan membuat
makanan dan memelihara peralatan makan balita.
f. Penggunaan jamban adalah kepemilikan jamban berdasarkan syarat-syarat jamban
sehat dan menggunakan jamban sebagai sarana sanitasi individu.
g. Mencuci tangan adalah salah satu tindakan sanitasi dengan membersihkan tangan
dan jari jemari menggunakan air mengalir dan sabun yang dilakukan pada saat
sebelum dan sesudah kontak dengan balita.
3.6 Instrumen atau Alat Pengumpulan Data
Instrumen yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner yang terdiri dari
sejumlah pertanyaan dan lembar observasi. Kuesioner dan lembar observasi yang
digunakan dalam penelitian ini merupakan kuesioner yang dirancang oleh peneliti yang
berdasarkan teori kepustakaan dan disesuaikan dengan beberapa jenis kuesioner yang telah
digunakan dalam beberapa penelitian yang hampir mendekati penelitian ini.
30
4.7 Cara Pengumpulan Data
Data diperoleh secara primer dengan cara menanyakan pertanyaan yang ada di dalam
kuesioner kepada responden dan melihat langsung hal-hal yang harus dinilai pada lembar
observasi. Kemudian surveyor mencatat jawaban responden ke dalam kuesioner dan
lembar observasi. Pengisian kuesioner dilakukan di rumah masing-masing responden.
Untuk data sekunder didapatkan dari literatur, referensi dari internet dan untuk data
kejadian diare serta data kependudukan yang diperlukan dari register puskesmas,
puskesmas pembantu serta kantor kepala desa.
3.8 Kriteria Pengukuran Variabel
3.8.1 Kejadian Diare
Untuk mengetahui adanya kejadian diare yang diderita balita dalam keluarga responden
selama satu bulan terakhir dengan kriteria sebagai berikut:
a. Mengalami penyakit diare, jika BAB dengan frekuensi lebih dari 3 kali dalam sehari
dengan konsistensi cair dalam satu bulan terakhir.
b. Tidak mengalami penyakit diare, jika responden tidak BAB dengan frekuensi lebih
dari 3 kali dalam sehari dengan konsistensi cair dalam satu bulan terakhir.
3.8.2 Pengukuran Menggunakan Air Bersih
Pengukuran variabel didasarkan pada Skala Guttman dari 10 pertanyaan dengan total skor
8, untuk jawaban “YA” diberi skor 1 (satu) dan untuk jawaban “TIDAK” diberi skor 0
(nol), kemudian dikategorikan berdasarkan jumlah skor yang diperoleh dengan kategori
sebagai berikut :
a. Baik, jika skor yang diperoleh responden ≥ 6
b. Buruk, jika skor yang diperoleh responden < 6
3.8.3 Pengukuran Menggunakan Jamban
Pengukuran variabel didasarkan pada Skala Guttman dari 8 pertanyaan dengan total skor
9, untuk jawaban “YA” diberi skor 1 (satu) dan untuk jawaban “TIDAK” diberi skor 0
(nol), kemudian dikategorikan berdasarkan jumlah skor yang diperoleh dengan kategori
sebagai berikut :
31
a. Baik, jika skor ya ng diperoleh responden ≥ 6
b. Buruk, jika skor yang diperoleh responden < 6
3.8.4 Pengukuran Cuci Tangan
Pengukuran variabel didasarkan pada Skala Guttman dari 15 pertanyaan dengan total skor
17, untuk jawaban “YA” diberi skor 1 (satu) dan untuk jawaban “TIDAK” diberi skor 0
(nol), kemudian dikategorikan berdasarkan jumlah skor yang diperoleh dengan kategori
sebagai berikut :
a. Baik, jika skor ya ng diperoleh responden ≥ 11
b. Buruk, jika skor yang diperoleh responden < 11
3.9 Analisis Data
Analisis yang dilakukan meliputi analisis univariat dan bivariat. Kemudian disajikan dalam
bentuk naratif atau tabel. Seluruh data yang diperoleh akan dianalisis menggunakan
perangkat lunak SPSS 16.0.
Adapun data yang dianalisis berupa:
a. Analisis univariat terhadap variabel tingkat umur ibu, pendidikan, dan pendapatan
keluarga untuk karakteristik sosio demografi responden.
b. Analisis univariat terhadap variabel penggunaan air bersih, penggunaan jamban,
dan mencuci tangan untuk gambaran perilaku hidup bersih dan sehat responden.
c. Analisis univariat terhadap variabel kejadian diare pada balita untuk menentukan
prevalensi.
d. Analisis bivariat melalui tabulasi silang antara karakteristik responden dengan
kejadian diare pada balita
e. Analisis bivariat melalui tabulasi silang antara variabel PHBS rumah tangga dengan
kejadian diare pada balita.
32
BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1 Karakteristik Responden
Responden dalam penelitian ini adalah ibu yang memiliki balita di wilayah kerja
Puskesmas Bebandem, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem, yang telah
memberikan persetujuan untuk mengikuti penelitian ini. Responden diwawancarai saat
responden berada di rumah masing-masing. Data dikumpulkan dari kuisioner yang telah
diisi oleh surveyor sesuai dengan jawaban responden. Dari 60 responden yang
berpartisipasi dalam penelitian ini, diperoleh karakteristik responden yang meliputi umur,
tingkat pendidikan, serta pendapatan kelurga seperti yang tercantum dalam tabel 5.1.
Tabel 5.1 Tabel Distribusi Frekuensi Karakteristik Berdasarkan Umur, Tingkat Pendidikan, serta Pendapatan Keluarga
Karakteristik Jumlah (N=60) Persentase (%)
Usia- ≤ 30 tahun- >30 tahun
28
32
46,7
53,3
Pendidikan- Rendah- Tinggi
43
17
71,7
28,3
Pendapatan
- Kurang- Cukup
34
26
56,7
43,3
Tabel di atas menunjukkan karakteristik bahwa sebagian besar ibu yang memiliki
balita berusia di atas 30 tahun dengan pendidikan rendah dan pendapatan keluarga kurang.
33
5.2 Gambaran Kejadian Penyakit Diare pada Balita
Berdasarkan data kuesioner mengenai apakah dalam satu bulan terakhir balita terkena
diare, dapat dicari gambaran kejadian dari diare yang ditunjukkan pada tabel 5.2.
Tabel 5.2 Tabel Distribusi Frekuensi Kejadian Diare pada Balita dalam Rentang Waktu 1 Bulan Terakhir
Kejadian Diare Jumlah (N=60) Persentase (%)
Ya 11 18,3
Tidak 49 81,7
Berdasarkan tabel di atas, dari 60 keluarga yang diteliti, didapatkan persentase
kejadian diare pada balita di wilayah kerja Puskesmas Bebandem dalam rentang waktu 1
bulan terakhir mencapai 18,3% (11 orang).
5.3 Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) Rumah Tangga
5.3.1 Gambaran Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) Responden
Berdasarkan data dari kuesioner, didapatkan distribusi frekuensi dan persentase gambaran
perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) setelah dilakukan skoring seperti yang tercantum
dalam tabel 5.3.1
Tabel 5.3.1 Tabel Distribusi Frekuensi Variabel Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
Variabel Frekuensi (N=60) Persentase (%)
Penggunaan
air bersih
Buruk 5 8,3
Baik 55 91,7
Penggunaan
jamban
Buruk 11 18,3
Baik 49 81,7
Kebiasaan Buruk 31 51,7
34
cuci tangan Baik 29 48,3
Tabel di atas menggambarkan bahwa perilaku hidup bersih dan sehat sebagian besar
ibu yang memiliki balita yaitu menggunakan air bersih dengan kategori baik, menggunakan
jamban dengan kategori baik, dan mempunyai kebiasaan mencuci tangan yang buruk.
5.3.2. Frekuensi dan Presentase Jawaban Responden Mengenai Gambaran Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) Rumah Tangga Responden
Berdasarkan data kuesioner yang diperoleh, didapatkan frekuensi dan persentase jawaban
pada masing-masing blok mengenai perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). Pertanyaan
mengenai perilaku hidup bersih dan sehat ini sendiri dibagi menjadi 3 blok yaitu, blok 1
mengenai penggunaan air bersih dibagi menjadi 9 pertanyaan, blok 2 mengenai
penggunaan jamban dibagi menjadi 10 pertanyaan, dan blok 3 mengenai kebiasaan
mencuci tangan dibagi menjadi 17 pertanyaan. Data mengenai frekuensi dan persentase
jawaban dari masing-masing pertanyaan dapat dilihat pada tabel 5.3.2.1, tabel 5.3.2.2, dan
tabel 5.3.2.3.
5.3.2.1 Tabel Deskripsi Perilaku Penggunaan Air Bersih
Sub variable Ya Tidak
Jumlah % Jumlah %
Blok 1. Penggunaan Air Bersih- Mencuci dot dengan air mendidih- Membuat susu dengan air mendidih- Penampungan air tertutup- Membersihkan penampungan air - Syarat fisik (tidak berasa)- Sumber air PDAM- Jarak sumur ≥ 10 meter- Syarat fisik (tidak berbau)- Syarat fisik (tidak berwarna)
40
54
45
49
58
50
3
59
66,7
90,0
75,0
81,7
96,7
83,3
5,0
98,3
20
6
15
11
2
10
57
1
33,33
10,0
25,0
18,3
3,3
16,7
95,0
1,7
35
59 98,3 1 1,7
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat dari pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan
dengan penggunaan air bersih didapatkan hasil, lebih banyak responden yang
menggunakan air bersih lebih banyak dibandingkan yang tidak menggunakan air bersih.
Dilihat dari pertanyaan mencuci dot dengan air mendidih yang menjawab ya sebanyak 40
orang (66,7%) sedangkan responden yang menjawab ya pada pertanyaan membuat susu
dengan air mendidih sebanyak 54 orang (90%). Untuk pertanyaan mengenai penampungan
air yang tertutup, responden yang menjawab ya sebanyak 45 orang (75%), pertanyaan
mengenai membersihkan penampungan air yang menjawab ya sebanyak 49 orang (81,7%).
Untuk pertanyaan mengenai persyaratan fisik air (tidak berasa, tidak berbau, dan tidak
berwarna) masing-masing yang menjawab ya sebanyak 58 orang (96,7%), 59 orang
(98,3%), dan 59 orang (98,3%). Pertanyaan tentang sumber air yang menggunakan PDAM
serta jarak sumur yang lebih dari sama dengan 10 m masing-masing responden yang
menjawab ya sebanyak 50 orang (83,3%) dan 3 (5,0%).
5.3.2.2 Tabel Deksripsi Perilaku Penggunaan Jamban
Sub variable Ya Tidak
Jumlah % Jumlah %
Blok 2. Penggunaan Jamban- Ibu menggunakan jamban untuk BAB- Membersihkan jamban- Balita menggunakan jamban- Seluruh keluarga menggunakan
jamban- BAB di jamban umum- Jamban leher angsa- Mempunyai Septic tank- Tersedia air cukup - Mempunyai ventilasi- Lantai dan dinding bersih,tidak
licin,tidak bau
60
47
47
35
5
50
58
53
44
100,0
78,3
78,3
58,3
8,3
83,3
96,7
88,3
73,3
0
13
13
25
55
10
2
7
16
0,00
21,7
21,7
41,7
91,7
16,7
3,3
11,7
26,7
36
24 40,0 36 60,0
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat dari pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan
dengan penggunaan jamban didapatkan hasil bahwa seluruh ibu yang memiliki balita
menggunakan jamban untuk BAB (100%), sedangkan untuk balita yang menggunakan
jamban hanya 47 orang (78,3%) saja, dan anggota keluarga yang seluruhnya menggunakan
jamban hanya 35 orang (58,3%), yang menggunakan jamban umum sebanyak 5 orang
(8,3%). Ibu yang membersihkan jamban hanya 47 orang (78,3%).
Responden yang menggunakan jamban leher angsa dirumahnya yaitu, sebanyak 50
orang (83,3%), hampir seluruh responden memiliki septic tank dirumahnya, yaitu sebanyak
98 orang (96,7%). Untuk pertanyaan ketersediaan air yang cukup, adanya ventilasi,serta
lantai dan dinding bersih, tidak licin, tidak berbau didaptkan hasil yang bervariasi, yaitu
masing-masing yang menjawab ya sebanyak 53orang (88,3%), 44 orang (73,3%), dan
hanya 24 orang (40,0%).
5.3.2.3 Tabel Deskripsi Perilaku Kebiasaan Mencuci Tangan
Sub variable Ya Tidak
Jumlah % Jumlah %
Blok 3. Kebiasaan Mencuci Tangan- Sebelum ibu memberi makan anak- Sebelum menyusui balita- Sebelum membuat makanan- Setelah anak BAB- Setelah anak BAK- Setelah ibu BAB- Setiap tangan ibu kotor- Anak mencuci tangan sebelum makan- Anak mencuci tangan setelah BAB- Tersedia sabun di tempat cuci tangan- Mencuci tangan dengan sabun- Mencuci tangan dengan air mengalir- Menggunakan lap bersih- Menggosok telapak tangan- Menggosok punggung tangan- Membersihkan sela jari
34
19
50
60
38
59
38
11
48
28
56,7
31,7
83,3
100,0
63,3
98,3
63,3
18,3
80,0
46,7
26
41
10
0
22
1
22
49
16
32
43,3
68,3
16,7
0,0
36,7
1,7
36,7
81,7
20,0
53,3
37
- Membersihkan kuku 36
57
28
59
24
31
6
60,0
95,0
46,7
98,3
40,0
51,7
10,0
24
3
32
1
36
29
54
40,0
5,0
53,3
1,7
60,0
48,3
90,0
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa untuk pertanyaan mengenai kapan saja
cuci tangan dilakukan didapatkan hasil yang menjawab ya sebanyak 34 orang (56,7%)
untuk pertanyaan ibu mencuci tangan sebelum memberi makan anak, hanya sebanyak 19
orang (31,7%) yang mencuci tangan sebelum menyusui balitanya, setengah dari responden
yaitu 50 orang (83,3%) yang sudah mencuci tangannya sebelum membuat makanan,
sebanyak 59 orang (98,3%) yang mencuci tangan setelah ibu BAB, seluruh responden yaitu
sebanyak 60 orang (100%) yang mencuci tangan setelah balitanya BAB, tetapi hanya 38
orang (63,3%) yang mencuci tangan setelah balitanya BAK, 38 orang (63,3%) responden
yang mencuci tangannya apabila tangan kotor. Untuk kebiasaan mencuci tangan balita
didapatkan hasil, 11 orang (18,3%) balita yang mencuci tangannya sebelum makan dan 40
orang (80%) yang sudah mencuci tangannya setelah BAB. Untuk pertanyaan di setiap
tempat cuci tangan apakah ada sabun atau tidak hanya 28 orang (46,7%) responden yang
menjawab ya. Pertanyaan mengenai cara mencuci tangan didapatkan hasil 36 (60%) orang
yang mencuci tangan dengan menggunakan sabun, 57 orang (95%) orang yang
menggunakan air mengalir untuk mencuci tangan, hanya 28 (46,7%) orang yang
menggunakan lap bersih untuk mengeringkan tangannya, hampir seluruh responden yaitu
59 (98,3%) orang yang mencuci tangannya dengan cara menggosokkan kedua telapak
tangan, 24 orang (40%) yang sudah mencuci tangannya dengan cara menggosokkan
punggung tangannya, 31 (51,7%) orang yang mencuci tangan dengan cara membersihkan
sela jari, dan hanya 6 orang (10%) saja yang sudah mencuci tangan dengan cara
membersihkan ke bagian kuku.
38
5.4 Tabulasi Silang Kejadian Diare pada Balita Dengan Karakteristik Responden
Berdasarkan data yang diperoleh dari kuesioner, dilakukan tabulasi silang antara kejadian
diare pada balita dengan karakteristik responden yaitu umur, tingkat pendidikan, dan
pendapatan keluarga. Data mengenai tabulasi silang ini dapat dilihat pada tabel 5.4.
Tabel 5.4 Tabulasi Silang Kejadian Diare pada Balita Dengan Karakteristik Responden
Variabel Kejadian Diare
Ya (F/%) Tidak (F/%)
Umur
≤30 tahun
>30 tahun
6(21,4)
5(15,6)
22 (78,6)
27 (84,4)
Tingkat pendidikan
Rendah
Tinggi
7(16,3)
4(23,5)
36 (78,6)
13 (84,4)
Pendapatan
Kurang
Cukup
5(14,7)
6(23,1)
29(85,3)
20(76,9)
Berdasarkan data dari tabel di atas, didapatkan bahwa proporsi kejadian diare pada
balita lebih banyak terjadi pada responden dengan usia kurang dari sama dengan 30 tahun,
responden dengan tingkat pendidikan tinggi, dan responden dengan pendapatan cukup.
5.5 Tabulasi Silang Kejadian Diare Pada Balita dengan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Rumah Tangga
Berdasarkan data yang diperoleh dari kuesioner, dilakukan tabulasi silang antara kejadian
diare dengan perilaku hidup bersih dan sehat rumah tangga, yaitu: penggunaan air bersih,
penggunaan jamban, dan kebiasaan mencuci tangan. Data mengenai tabulasi silang ini
dapat dilihat pada tabel 5.5.
39
Tabel 5.5 Tabulasi Silang Kejadian Diare pada Balita dengan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Rumah Tangga Responden
Variabel Kejadian Diare
Ya (F/%) Tidak (F/%)
Penggunaan air bersih
buruk
baik
2(40,0)
9(16,4)
3(60,0)
46(83,6)
Penggunaan jamban
buruk
baik
1(9,1)
10(20,4)
10(90,9)
39(79,6)
Kebiasaan cuci tangan
buruk
baik
8 (25,8)
3 (10,3)
23(74,2)
26(89,7)
Berdasarkan data dari tabel di atas, didapatkan bahwa proporsi kejadian diare pada
balita lebih banyak terjadi pada kelompok responden yang menggunakan air bersih dengan
kategori buruk, kelompok responden yang menggunakan dengan kategori baik, dan pada
kelompok responden yang memiliki kebiasaan cuci tangan dengan kategori buruk.
40
BAB VI
PEMBAHASAN
5.1 Kejadian Diare pada Balita
Dari penelitian ini ditemukan kejadian diare pada balita sebulan terakhir di wilayah Kerja
Puskesmas Bebandem adalah 11 orang (18,3%). Angka ini lebih rendah dari angka
prevalensi kejadian diare berdasarkan data Risketdas Karangasem tahun 2007 yaitu sebesar
32% dan hasil analisis data Riskesdas seluruh Indonesia tahun 2007 (32,2%).
Hasil penelitian menunjukkan angka refatif kejadian diare pada balita di wilayah
Kerja Puskesmas Bebandem lebih rendah mungkin dikarenakan oleh singkatnya batasan
waktu yang digunakan yakni hanya selama satu bulan saja. Peneliti menggunakan batasan
waktu hanya sebulan untuk mengurangi bias pada penelitian sebab ditakutkan responden
yang menjawab akan lupa mengingat kejadian diare yang dialami anak balitanya jika
waktunya lebih panjang. Selain itu, teori juga menyatakan bahwa diare pada balita
disebabkan juga oleh makanan. Biasanya kejadian diare akan meningkat pada musim buah-
buahan. Sedangkan, saat penelitian dilaksanakan di desa sampel sedang tidak musim buah.
Menurut Depkes (2005), penyakit diare merupakan penyakit berbasis lingkungan dan
perilaku manusia. Kejadian diare pada anak balita sangat ditentukan oleh perilaku hidup
bersih dan sehat (PHBS) rumah tangga terutama ibu sebagai pengasuh utama. Dan PHBS
ibu akan sangat ditentukan dengan tersedianya sarana air. Pada musim kering, terutama di
wilayah karangasem yang sulit mendapatkan sumber air, ibu-ibu akan jarang mencuci
tangan dan meminimalisir penggunaan air untuk menghemat persediaan. Ini tentunya akan
memperbesar resiko penularan kuman diare pada anak balita sehingga kejadian diare akan
meningkat pada musim kering.
5.2 Gambaran Karakteristik Ibu (Umur, Pendidikan, Pendapatan Keluarga)
terhadap Kejadian Diare pada Balita
5.2.1 Umur
Ditinjau berdasarkan usia, jumlah responden dengan usia di bawah 30 tahun dan di atas 30
tahun hampir berimbang, dimana responden dengan usia di atas 30 merupakan setengah
41
lebih (53,3%) dari seluruh responden. Umur ibu ≤ 30 tahun proporsi kejadian diarenya
lebih tinggi. Hal ini mungkin terkait dengan pengetahuan dan pengalaman ibu dalam
pengasuhan anak. Semakin tua umur ibu biasanya akan memiliki pengalaman dan tingkat
pengetahuan yang lebih baik (Notoatmodjo, 2003). Responden yang berumur > 30 th
sebagian besar memang telah memiliki minimal lebih dari satu anak sehingga pengalaman
dalam hal pengasuhan anak termasuk pencegahan terhadap penyakit akan lebih baik.
Semakin tua umur ibu dan semakin banyak memiliki anak maka pengasuhan anak akan
relatif semakin baik sehingga proteksi terhadap penyakit akan semakin baik pula
(Sulistyowati, 2004).
5.2.2 Pendidikan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pendidikan responden di wilayah kerja
Puskesmas Bebandem lebih banyak pendidikan rendah yaitu 43 orang (71,7%). Menurut
Notoatmodjo (2003), tingkat pendidikan seseorang dapat meningkatkan pengetahuannya
tentang kesehatan. Pendidikan akan memberikan pengetahuan sehingga terjadi perubahan
perilaku positif yang meningkat. Menurut Widyastuti (2005), orang yang memiliki tingkat
pendidikan lebih tinggi lebih berorientasi pada tindakan preventif, mengetahui lebih
banyak tentang masalah kesehatan dan memiliki status kesehatan yang lebih baik.
Teori tersebut tidak sesuai dengan hasil penelitian yang memperlihatkan bahwa
proporsi kejadian diare pada responden dengan tingkat pendidikan rendah ternyata lebih
rendah dari pada responden dengan tingkat pendidikan tinggi. Hal tersebut memberi arti
bahwa tingkat pendidikan seseorang belum menjamin dimilikinya pengetahuan tentang
diare dan pencegahannya. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Sander
(2005), yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan
dengan kejadian diare. Tetapi hasil penelitian ini bertolak belakang dengan penelitian
Yulisa (2008), yang menunjukkan ada pengaruh tingkat pendidikan ibu terhadap
kejadian diare pada balita dengan nilai p = 0,001. Hal ini mungkin karena karakteristik
responden di suatu daerah dengan daerah lain berbeda-beda, sehingga pemahaman
terhadap diare dan penanganannya pun juga berbeda.
42
5.2.3 Pendapatan Keluarga
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan keluarga yang lebih banyak adalah < Rp
953.750,00 per bulan yaitu 34 keluarga (56,7%). Pendapatan termasuk dalam kategori
kurang karena di bawah nilai upah minimum regional (UMR) Kabupaten Karangasem
tahun 2011. Menurut Irwanto (2002), keluarga yang berpenghasilan rendah, biasanya
pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang diperhatikan kualitasnya, hanya kuantitasnya saja
sehingga kualitas gizi pada anak bisa berkurang. Keluarga dengan tingkat pendapatan yang
tinggi akan lebih memperhatikan kualitas nutrisi sehingga lebih sedikit menderita penyakit
infeksi dibandingkan dengan keluarga dengan tingkat pendapatan yang rendah.
Menurut Sarwono (2004), keluarga dengan penghasilan yang tinggi
memungkinkan keluarga tersebut melaksanakan kebersihan lingkungan dan ketersediaan
sarana sanitasi lingkungan yang baik sehingga resiko kontak keluarga dengan bakteri
patogen penyebab penyakit lebih rendah dibandingkan dengan keluarga dengan pendapatan
rendah. Hal ini tentu berkaitan juga dengan penyediaan jamban keluarga dan sabun di
setiap tempat cuci tangan.
Meskipun demikian, jika dianalisa lebih lanjut ternyata keluarga dengan pendapatan
cukup memiliki angka kejadian diare lebih tinggi daripada pendapatan kurang. Hasil
penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Rian (2008) di Kelurahan Majennang
bahwa ada hubungan pendapatan keluarga dengan kejadian diare pada balita dengan nilai
p=0,04 (p<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa bisa saja keluarga dengan pendapatan cukup
berdasarkan UMR Kabupaten Karangasem memiliki pemenuhan kebutuhan lebih banyak.
Misalnya, keluarga dengan pendapatan 2 juta perbulan harus menghidupi 4 orang anak.
Sedangkan keluarga dengan pendapatan 900 ribu sebulan hanya memiliki 1 anak balita.
Selain itu, dalam penelitian ini mungkin terjadi bias karena responden tidak mau jujur
dalam menginformasikan pendapatan keluarganya. Sebagian besar responden dalam
penelitian ini adalah ibu rumah tangga sehingga yang menyumbangkan pendapatan
keluarga adalah dari suami. Dan kebanyakan suami bekerja sebagai wiraswata, petani
salah, atau buruh harian. Hal ini menyebabkan ibu yang menjadi responden penelitian tidak
tau pasti berapa angka pendapatan keluarga rata-rata per bulannya.
43
5.3 Gambaran Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) Rumah Tangga terhadap
Kejadian Diare pada Balita
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran PHBS rumah tangga
terhadap kejadian diare pada balita. Adapun PHBS rumah tangga yang berkaitan dengan
kejadian diare adalah penggunaan air bersih, penggunaan jamban, dan mencuci tangan.
6.3.1 Gambaran Penggunaan Air Bersih terhadap Kejadian Diare pada Balita
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kriteria dalam penggunaan air bersih lebih banyak
pada kategori baik yaitu 55 responden. Dapat dilihat bahwa pada kategori baik maupun
buruk, kejadian diare selama satu bulan terakhir lebih rendah daripada balita yang tidak
mengalami diare dengan persentase 16,4% dan 40%. Hal ini mungkin disebabkan karena
ibu yang memiliki balita telah menggunakan air bersih sebagai salah satu PHBS dalam
upaya pencegahan diare sehingga angka kejadian diare yang meningkat 3 tahun terakhir di
desa sampel disebabkan oleh faktor resiko yang lain.
Jika dilihat dari masing-masing sub variable pada blok pertanyaan penggunaan air
bersih, sumber air responden lebih banyak berasal dari PDAM (83,3%). Dan walaupun
sumber air adalah sumur, kualitas fisik air yakni tidak berbau, tidak berasa, dan tidak
berwarna sudah memenuhi syarat air bersih. Selain itu, sebagian besar ibu telah sadar untuk
menutup dan membersihkan tempat penampungan air minimal seminggu sekali untuk
mencegah perkembangbiakan bakteri patogen. Sebanyak 90% responden juga telah
menggunakan air mendidih untuk membuat susu balita dan mencuci dot dengan air
mendidih sebelum digunakan. Tahu ataupun tidak, perilaku tersebut mampu membunuh
bakteri penyebab diare yang sebelumnya ada pada air dan botol susu.
Apabila dibandingkan proporsi kejadian diare pada kedua kategori penggunaan air
bersih didapatkan gambaran bahwa balita dengan riwayat diare sebulan terakhir lebih
banyak terjadi pada kategori buruk daripada baik. Ini mungkin disebabkan karena sebagian
besar keluarga yang menggunakan sumber air sumur tidak memperhatikan syarat-syarat
sumur sehat. Dapat dilihat bahwa masih banyak keluarga yang membuat sumur dengan
jarak sumur < 10 meter terhadap pusat pencemaran seperti WC atau tempat pembuangan
44
sampah (95%). Hal tersebut tentunya membuat resiko kontaminasi air sumur oleh bakteri
pathogen penyebab penyakit diare semakin besar.
Sumber air minum merupakan salah satu sarana sanitasi yang berkaitan dengan
kejadian diare. Sebagian besar kuman – kuman infeksius penyebab diare ditularkan
melalui jalur fekal – oral. Menurut Soemirat (2007), salah satu peran air dalam
penyebaran penyakit menular adalah air sebagai penyebar mikroba patogen atau disebut
dengan water borne diseases. Penyakit-penyakit ini hanya dapat menyebar apabila
mikroba-mikroba penyebabnya ada pada air yang digunakan masyarakat dan salah satunya
adalah penyakit diare.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Edi (2002) di Puskesmas Sinokidul
menyatakan bahwa ada hubungan secara signifikan menggunakan sarana air bersih dengan
kejadian diare. Demikian juga dengan penelitian Nilton, dkk (2008) yang menyatakan
kejadian diare lebih tinggi terjadi pada kelompok yang tidak menggunakan/ tidak
memanfaatkan sarana air bersih.
6.3.2 Gambaran Penggunaan Jamban terhadap Kejadian Diare pada Balita
Menggunakan jamban sehat adalah setiap rumah tangga harus memiliki dan menggunakan
jamban leher angsa dengan tangki septic atau lubang penampungan kotoran sebagai
pembuangan akhir (Depkes RI, 2007). Penggunaan jamban di wilayah kerja Puskesmas
Bebandem sudah termasuk menggunakan jamban yang sehat sebab sebanyak 49 responden
(81,7%) masuk ke dalam kategori baik.
Meskipun demikian, hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi kejadian diare
pada balita ternyata lebih tinggi pada ibu yang menggunakan jamban dengan baik
dibandingkan pada ibu yang masuk kategori penggunaan jamban buruk. Padahal seluruh
ibu yang menjadi responden menjawab menggunakan jamban pribadi untuk buang air
besar. Sebanyak 78,3% responden juga mengaku telah membersihkan jamban minimal
seminggu sekali. Jamban yang dimiliki pun sebagian besar telah memenuhi kriteria jamban
sehat yakni menggunakan jamban leher angsa, telah memiliki septik tank, terdapat ventilasi
ruangan yang memadai, serta tersedia air yang cukup.
45
Fenomena ini menunjukkan bahwa mungkin faktor resiko lain memiliki pengaruh
yang lebih kuat untuk menyebabkan kejadian diare pada balita tetap tinggi selain faktor
resiko penggunaan jamban ibu yang tidak sehat. Mungkin saja hal itu lebih disebabkan
karena imunitas balitanya sendiri, faktor makanan, faktor lingkungan, atau faktor perilaku
dari balita itu sendiri. Berdasarkan pengakuan para ibu yang memiliki balita yang sudah
mampu buang air sendiri (kurang lebih balita dengan umur > 3 th), anak balita tersebut
menggunakan jamban pribadi di rumah (78,3%) dan tidak BAB di sembarang tempat
seperti di kebun atau sungai. Hal ini mungkin berkontribusi terhadap hasil penelitiaan yang
menunjukkan bahwa proporsi kejadian diare pada PHBS rumah tngga dalam menggunakan
jamban dengan kategori baik lebih besar daripada kategori buruk.
Penyebab lainnya mungkin karena PHBS dari anggota keluarga lain dalam
penggunaan jamban masih ada yang tidak baik. Hal ini dibuktikan dengan berimbangnya
jumlah anggota keluarga responden yang BAB dengan menggunakan jamban pribadi dan
yang tidak yakni 58,3% dan 41,7%. Dan ternyata, anggota keluarga yang tidak BAB di
jamban pribadi lebih memilih BAB di sungai daripada BAB di jamban umum. Berdasarkan
pengakuan salah satu keluarga responden yang sempat ditanyai menjawab bahwa mereka
lebih senang BAB di sungai daripada di jamban. Mereka mengatakan jika BAB di sungai
perut mereka akan terasa dingin (tis) dan sensasi yang didapatkan setelahnya terasa lebih
nyaman dan nikmat.
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Nilton, dkk (2008) menyatakan
bahwa responden yang menggunakan jamban sehat kejadian diarenya lebih rendah
dibandingkan yang tidak menggunakan jamban sehat. Begitu pula dengan penelitian
Yusnani (2008) menyatakan bahwa ada hubungan memanfaatkan jamban dengan kejadian
diare.
6.3.3 Gambaran Mencuci Tangan terhadap Kejadian Diare pada Balita
Aspek yang dimuat dalam kuisioner pada blok mencuci tangan adalah cara dan waktu
mencuci tangan sesuai dengan PHBS rumah tangga yang benar. Berdasarkan hasil
penelitian, terlihat bahwa sebagian besar ibu yang memiliki balita telah masuk ke dalam
kategori baik untuk perilaku mencuci tangan (89,7%). Meskipun demikian, untuk cara
46
mencuci tangan yang benar kebanyakan responden belum tahu benar dan belum dapat
mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase kejadian diare pada responden
dengan kategori buruk lebih tinggi daripada kategori baik yakni 25,8% berbanding 10,3%.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Edi (2002) yang menyatakan bahwa ada hubungan
cuci tangan pakai sabun dengan kejadian diare di Puskesmas Sinokidul Kecamatan
Kunduran. Dan penelitian Nilton, dkk (2008) yang menyatakan bahwa kejadian diare lebih
banyak terjadi pada responden yang tidak cuci tangan pakai sabun di Desa Klopo Sepuluh
Kecamatan Sukodono.
Jika dilihat dari variable mencuci tangan, sebagian besar responden telah mencuci
tangan sebelum dan sesudah melakukan pekerjaan-pekerjaan yang berisiko menularkan
penyakit diare seperti sebelum memberi makan anak balita, sebelum membuat makanan
untuk, setelah menceboki anak BAB, setelah anak BAK, setelah ibu BAB, dan setiap kali
tangan kotor misalnya setelah memegang uang atau hewan peliharaan. Ini menunjukkan
bahwa pengetahuan ibu akan pentingnya mencuci tangan untuk pencegahan penulara
penyakit sudah baik jika dilihat dari segi waktu.
Jika dilihat segi perilaku anak balita sendiri, menurut pengakuan ibunya, anak-anak
lebih sering tidak mencuci tangan terlebih dahulu sebelum makan terutama sebelum makan
makanan ringan. Ini dibuktikan dari jumlah responden yang menjawab anak balita tidak
mencuci tangan sebelum makan adalah 49 orang (81,7%). Dari hasil observasi langsung
untuk meng-crosscheck jawaban juga terlihat bahwa anak langsung mengambil makanan
yang diberikan peneliti dan langsung memakannya begitu saja meskipun tangan mereka
masih kotor setelah bermain dengan hewan atau bermain tanah. Hal ini menunjukkan
bahwa kurangnya pengawasan dan didikan ibu terhadap anak sehingga anak tersebut
langsung memakan makanan dengan tangan yang kotor tanpa mencuci tangan terlebih
dahulu. Inilah yang dapat menyebabkan bakteri penyebab diare masuk ke dalam tubuh
anak tersebut, sehingga bagi anak yang berumur 1-5 tahun yang masih mempunyai daya
tahan tubuh yang rendah akan mudah menderita diare.
Mencuci tangan pakai sabun merupakan aktivitas yang selama ini dianggap biasa-
biasa saja oleh kebanyakan orang, bahkan ada yang menanggap cuci tanga pakai sabun
47
tidak ada gunanya. Tetapi sebaliknya bahwa mencuci tangan pakai sabun sebenarnya
sangat besar manfaatnya. Berdasarkan kajian Badan Kesehatan Dunia (WHO, 2005), cuci
tangan pakai sabun terbukti mampu mencegah angka kejadian diare hingga 45 persen.
Para ibu yang dipakai sebagai responden sepertinya sudah mulai menyadari
pentingnya menggunakan sabun saat mencuci tangan. Meskipun masih ada 40% dari
mereka yang tidak menunjukkannya saat observasi mencuci tangan dengan sabun dan
sebanyak 32 responden tidak menyediakan sabun di tempat cuci tangan dengan alasan
habis atau memang sengaja tidak disediakan. Dari hasil kuisioner juga terlihat bahwa
hampir seluruh responden telah mencuci tangan dengan air mengalir (95%) sehingga
kuman dan kotoran yang menempel pada tangan dapat dihilangkan dengan baik.
Sayangnya, kebanyakan dari mereka tidak mengeringkan tangan dengan lap bersih atau
tissue kering (53,3%) sehingga kemungkinan menempelnya kuman dan debu baru bisa saja
terjadi.
Hasil kuisioner juga menunjukkan bahwa hampir seluruh responden tidak
mempraktekkan 6 langkah cara mencuci tangan yang baik dan benar sesuai anjuran Depkes
RI. Hal ini diperlihatkan dari hasil observasi langsung bahwa sebagian besar ibu hanya
menggosokkan telapak tangan saja dan hampir berimbang jumlah ibu yang membersihkan
punggung tangan dan sela jari. Bahkan untuk aktivitas membersihkan sela kuku hanya 6
orang saja yang melakukannya. Hal inilah yang mungkin berkontribusi terhadap angka
kejadian diare yang lebih tinggi pada responden dengan kategori buruk untuk variable
mencuci tangan.
Mencuci tangan harus dilakukan dengan cara yang benar dan pada waktu yang tepat.
Mencuci tangan hendaknya menggunakan air mengalir baik langsung dari kran air maupun
langsung mengalirkan dari gayung sehingga kotoran dan kuman yang menempel pada
tangan dapat langsung dibersihkan. Namun, cuci tangan pakai air saja tidak cukup karena
cuci tangan pakai sabun selain membantu singkatnya waktu cuci tangan, dengan
menggosok jemari dengan sabun dapat menghilangkan bakteri yang tidak tampak, minyak/
lemak/ kotoran di permukaan kulit, serta meninggalkan bau wangi. Perpaduan kebersihan,
bau wangi dan perasaan segar merupakan hal positif yang diperoleh setelah menggunakan
sabun (Depkes 2009).
48
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat dibuat simpulan sebagai berikut:
1. Karakteristik sebagian besar responden adalah ibu berusia di atas 30 tahun (53,3%)
dengan pendidikan rendah (71,7%) dan pendapatan keluarga kurang (56,7%).
2. Presentase kejadian diare pada anak balita dalam rentang waktu 1 bulan terakhir
adalah 18,3%. Ini lebih rendah dari angka kejadian diare berdasarkan data
Risketdas Karangasem dan hasil analisis data Riskesdas seluruh Indonesia tahun
2007.
3. Sebagian besar responden telah menggunakan air bersih dengan baik (91,7%),
menggunakan jamban dengan baik (81,7%), namun masih memiliki kebiasaan
mencuci tangan yang buruk (51,7%).
4. Proporsi kejadian diare pada anak balita lebih tinggi pada responden yang berumur
≤ 30 tahun. Namun, lebih tinggi pada responden dengan tingkat pendidikan tinggi
dan memiliki pendapatan keluarga yang cukup.
5. Berdasarkan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) rumah tangga angka kejadian
diare pada anak balita lebih tinggi pada responden dengan kategori penggunaan air
dan mencuci tangan yang buruk namun kategori penggunaan jamban yang baik.
7.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini, maka saran yang dapat penulis sampaikan adalah sebagai
berikut:
1. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui signifikansi hubungan
sejumlah variabel perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) rumah tangga terhadap
kejadian diare pada balita di wilayah kerja Puskesmas Bebandem.
2. Mengingat pentingnya pengetahuan tentang PHBS rumah tangga dalam kehidupan
sehari-hari, maka kepada dinas kesehatan Kabupaten Karangasem dan pihak
49
puskesmas Bebandem diharapkan memberikan penyuluhan mengenai PHBS rumah
tangga terutama yang berkaitan dengan kejadian diare.
3. Untuk menunjang keberhasilan kegiatan PHBS rumah tangga maka perlu diimbangi
dengan kerjasama lintas program oleh dinas kesehatan maupun puskesmas dengan
instansi terkait lainnya.
4. Diperlukan pembentukan dan pemberdayaan kader-kader kesehatan lingkungan
dimasing-masing banjar agar pembinaan kesehatan tentang pentingnya PHBS
rumah tangga terhadap pencegahan penyakit diare pada balita dapat menjangkau
keseluruhan wilayah kerja puskesmas Bebandem secara baik.