pendapat nurcholis madjid tentang hukum hukum...

21
50 BAB III PENDAPAT NURCHOLIS MADJID TENTANG HUKUM HUKUM WARIS MEWARISI MUSLIM DAN NON MUSLIM A. Biografi Nurcolis Majid dan Karya-Karyanya 1. Latar Belakang Nur Cholis Madjid Nurcholish Madjid lahir di Mojoanyar, Jombang, 17 Maret 1939/26 Muharam 1358). Seorang cendekiawan muslim Indonesia yang dikenal dengan gagasannya tentang pembaruan pemikiran Islam. Lahir dari kalangan keluarga pesantren, ia adalah putra seorang guru Madrasah Al-Wathaniah di Jombang, Haji Abdul Madjid. Pendidikan awal ia peroleh dari Sekolah Rakyat (pagi) dan Madrasah Ibtidaiah (sore) di daerah kelahirannya. Kemudian ia melanjut ke Pesantren Darul Ulum Rejoso, Jombang, selama 2 tahun. Salah satu gurunya adalah KH Hasyim Asy'ari. Kemudian ia meneruskan pendidikan ke Kulliyatul muallimin al-Islamiyah (KMI) di Pesantren Darussalam, Pondok Modern Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, sampai tamat 1960. la mengajar selama setahun lebih di pesantren itu. Pendidikan tinggi ia peroleh dari Fakultas Adab (Sastra Arab dan Kebudayaan Islam), jurusan Bahasa dan Sastra Arab, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, sampai menyandang gelar sarjana (1968). 1 Sejak Maret 1978, ia mendapat kesempatan mengikuti studi lanjut (tugas belajar) di 1 Tim Penyusun Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Cet. 3, PT. Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 1994, hlm. 104

Upload: doantram

Post on 03-Apr-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

50

BAB III

PENDAPAT NURCHOLIS MADJID TENTANG HUKUM

HUKUM WARIS MEWARISI MUSLIM DAN NON MUSLIM

A. Biografi Nurcolis Majid dan Karya-Karyanya

1. Latar Belakang Nur Cholis Madjid

Nurcholish Madjid lahir di Mojoanyar, Jombang, 17 Maret 1939/26

Muharam 1358). Seorang cendekiawan muslim Indonesia yang dikenal

dengan gagasannya tentang pembaruan pemikiran Islam. Lahir dari kalangan

keluarga pesantren, ia adalah putra seorang guru Madrasah Al-Wathaniah di

Jombang, Haji Abdul Madjid. Pendidikan awal ia peroleh dari Sekolah

Rakyat (pagi) dan Madrasah Ibtidaiah (sore) di daerah kelahirannya.

Kemudian ia melanjut ke Pesantren Darul Ulum Rejoso, Jombang, selama 2

tahun. Salah satu gurunya adalah KH Hasyim Asy'ari. Kemudian ia

meneruskan pendidikan ke Kulliyatul muallimin al-Islamiyah (KMI) di

Pesantren Darussalam, Pondok Modern Gontor, Ponorogo, Jawa Timur,

sampai tamat 1960. la mengajar selama setahun lebih di pesantren itu.

Pendidikan tinggi ia peroleh dari Fakultas Adab (Sastra Arab dan

Kebudayaan Islam), jurusan Bahasa dan Sastra Arab, IAIN Syarif

Hidayatullah, Jakarta, sampai menyandang gelar sarjana (1968).1 Sejak Maret

1978, ia mendapat kesempatan mengikuti studi lanjut (tugas belajar) di

1 Tim Penyusun Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Cet. 3, PT. Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 1994, hlm. 104

51

Universitas Chicago, Amerika Serikat sampai meraih gelar doktor dalam

bidang Kalam dan Falsafah dengan predikat cum laude (Maret 1984)

Selama menjadi mahasiswa IAIN, Nurcholish Aktif di organisasi

kemahasiswaan, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). la pernah menjadi ketua

Umum Pengurus Besar HMI untuk dua periode 1966-1969 dan 1969-1971;

presiden Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara, 1967-1969; asisten

IIFSO (International Islamic Federation of Students Organizations/Federasi

Organisasi-organisasi Mahasiswa Islam Internasional), 1968-1971. Nur

Cholish pernah menjadi staf pengajar di IAIN (1972-1974) serta pemimpin

umum majalah Mimbar, Jakarta (1971-1974), dan pemimpin redaksi majalah

Forum. Bersama teman-temannya, ia mendirikan dan memimpin LSIK

(Lembaga Studi Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan, 1972-1976) dan LKIS

(Lembaga Kebajikan Islam Samanhudi, 1974— 1977). Sebelum dan

sepulangnya dari Amerika Serikat ia bekerja di LIPI sebagai anggota staf

peneliti, menjadi dosen di Fakultas Adab dan Pasca Sarjana IAIN Syarif

Hidayatullah, Jakarta; mendirikan dan menjadi ketua Yayasan Paramadina,

yang aktif dalam kajian keislaman; menjadi penulis tetap harian Pelita,

Jakarta; 1988 anggota MPR; Agustus 1991 dosen tamu di Institute of Islamic

Studies, McGill University, Montreal, Canada. 2

Nurcholish terkenal dengan gagasannya tentang pembaruan pemikiran

Islam. Menurut dia, Islam harus dilibatkan dalam pergulatan-pergulatan

modernistik yang didasarkan atas kekayaan khazanah pemikiran keislaman

2 Ibid, hlm. 104

52

tradisional yang telah mapan, sekaligus diletakkan dalam konteks

keindonesiaan.3

Nurcholish Madjid pertama kali menyampaikan ide-ide

pembaharuannya secara formal pada 2 Januari 1970 di Jakarta dalam acara

halal bihalal di depan keluarga HMI, GPI (Gerakan Pemuda Islam), PII

(Pelajar Islam Indonesia) dan Persami (Persatuan Sarjana Muslim Indonesia),

dengan judul "Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah

Integrasi Umat". Bahasannya mencakup: 'Islam Yes, Partai Islam No',

Kuantitas versus Kualitas, Liberalisasi Pandangan terhadap 'Ajaran Islam'

sekarang (Sekularisasi, Kebebasan Berpikir, Idea of Progress, dan Sikap

Terbuka), dan perlunya kelompok pembaharuan "liberal". Makalah tersebut

kemudian dilengkapi wawancara dengan Harian Kompas (1 April 1970),

yang bahasannya mencakup: Beragama secara Konvensional, Sekularisasi

dan Sekularisme, dan Beberapa 'Asuhan' dari Agama (Al-Qur'an).

Sebelumnya, 5 Februari 1970, ia menyampaikan pidato pada acara

HUT ke-3 HMI di Jakarta, dengan judul "Menuju Pembaharuan Pemikiran

dalam Islam", memberikan kuliah di Pusat Kesenian Jakarta, 30 Oktober

1972, dengan judul "Menyegarkan Paham Keagamaan di Kalangan Ummat

Islam Indonesia," dan sebagainya yang dimuat dalam Pos bangsa, Tribun,

dan Panji Masyarakat.

Ide-idenya tersebut mendapat pro dan kontra, sehingga tahun 70-an ia

disebut tokoh kontroversi. Ada pula yang menyebutnya dengan "Natsir

3Ibid, hlm. 104

53

Muda", sebutan yang dihubungkan dengan nama salah seorang tokoh partai

Masyumi yang berpandangan modern, Mohammad Natsir.4

2. Karyanya

Nurcholish Madjid dapat dikelompokkan sebagai seorang

cendekiawan Muslim Indonesia yang produktif. Kajian dan penelusuran

terhadap karya-karya Nurcholish Madjid dianggap perlu dalam rangka

mencari mata rantai gagasan dan pemikirannya, serta hubungannya dengan

konsep-konsep pembaruan yang menjadi bahasan sentral tulisan ini. Dalam

pembahasan ini, karya-karya yang dihasilkan Nurcholish Madjid, baik berupa

buku, artikel atau tinjauan buku, tidak akan diungkap dan dijelaskan semua.

Pembahasan hanya akan ditekankan kepada beberapa karyanya yang

dianggap mewakili gagasan gagasan sentralnya. Karya Nurcholish Madjid

yang telah beredar adalah sebagai berikut:5

Khazanah Intelektual Islam (1984). Karya suntingan ini dimaksudkan

untuk memperkenalkan salah satu segi kejayaan Islam di bidang pemikiran,

khususnya yang berkaitan dengan filsafat dan teologi. Nurcholish Madjid

memperkenalkan tokoh-tokoh Muslim klasik, seperti Al-Kindi, Al-Asy'ary,

Al-Farabi, Ibn Sina, Al-Ghazali, Ibn Rusyd, Ibn Taimiyyah, Ibn Khaldun, Al-

Afghani, dan Muhammad Abduh. Sebagaimana dikatakan secara "jujur" oleh

Nurcholish Madjid, buku ini merupakan sekadar pengantar pemikiran kepada

4Abdul Qodir, Jejak Langkah Pembaharuan Pemikiran Islam Di Indonesia, Bandung:

Pustaka Setia, 2004, hlm. 103-115 Ibid, hlm. 105 5Junaidi Idrus, Rekonstruksi Pemikiran Nurcholish Madjid Membangun Visi dan Misi

Baru Islam Indonesia, Yogyakarta: Logung Pustaka, 2004, hlm. 50-55

54

kajian yang lebih luas dan mendalam tentang kha2anah kekayaan pemikiran

Islam.6

Islam Kemoderenan dan Keindonesiaan (1987). Eksistensi buku ini

mampu menunjukkan "giginya" dengan beberapa kali cetak ulang. Buku ini

hanya semacam kumpulan tulisan yang "tercecer" yang dikemas dalam

rentang waktu dua dasawarsa sebagai wujud respons terhadap isu-isu yang

berkembang saat itu. Signifikansi buku ini terlihat dengan jelas bagaimana

Nurcholish Madjid "menganyam" pemikiran dalam gagasan-gagasan di

sekitar kemodernan, keislaman, dan keindonesiaan. Di bawah prinsip "untuk

mencari dan terus mencari kebenaran", bahwa Tuhan adalah kebenaran yang

mutlak.7

Islam, Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang

Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan (1992). Sebuah buku

yang menunjukkan "kesempurnaan" dan kelengkapan muatan isinya, bukan

karena jumlah halamannya tetapi perspektif yang utuh dan komprehensif

sekaligus merupakan karya monumentalnya. Franz Magnis Suseno, seorang

rohaniawan Katolik mengomentarinya, sebagai buku tentang 'Islam Ideal'

yang memuat secara mendalam dan substantif argumen-argumen pembaruan

Islam di Indonesia yang dirintisnya sejak tahun 70-an.8 Di dalamnya

terungkap "misteri" tema Tauhid dan Emansipasi Harkat Manusia, disiplin

6 Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam, Jakarta Bulan Bintang, 1984, hlm. v-

vi 7 Nurcholish Madjid, Islam Kemoderenan dan Keindonesiaan, Mizan Bandung, 1987,

hlm. 1 8 Franz Magnis Suseno, Nurcholish Madjid, Islam dan Modernitas, dalam Mengkaji

Ulang Pembaharuan Pemikiran Islam: Respon dan Kritik terhadap Gagasan Nurcholish Madjid, Ulumul Qur'an, Jakarta, 1993, hlm. 36

55

ilmu keislaman tradisional, membangun masyarakat etis serta universalisme

Islam dan kemodernan.

Dalam pengantarnya, Nurcholish Madjid menyebutkan bahwa agama

Islam mengajarkan manusia untuk menjaga dirinya di masa datang untuk

keselamatan dunia dan akhirat. Selanjutnya Nurcholish Madjid memaparkan

lebih jauh bagaimana manusia mempunyai tujuan hidup yang transendental

berdasarkan Iman yang dinyatakan dalam bentuk amal, kebajikan sosial,

menciptakan masyarakat egaliter dan inklusif dalam mencari kebenaran dan

keadilan.9

Islam, Kerakyatan dan Keindonesiaan: Pikiran-pikiran Nurcholish

Madjid "Muda" (1994). Sebagaimana terungkap dalam buku Islam

Kemodernan dan Keindonesiaan, dalam buku ini Nurcholish Madjid

berbicara mengenai keislaman, keindonesiaan, dan kemodernan, dengan

penekanan bagaimana menciptakan masyarakat berkeadilan dengan nilai-nilai

tauhid.

Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin

Islam dalam Sejarah (1995). Dalam buku refleksi ini pemikiran-pemikiran

Nurcholish Madjid lebih tertuang dan terarah pada makna dan implikasi

penghayatan iman terhadap perilaku sosial. Lebih jauh Nurcholish Madjid

menyatakan bahwa sejarah umat Islam mengalami perkembangan dan

sekaligus distorsi di tangan umat Islam sendiri sehingga menjadi mitos dan

dongeng. Diungkapkan oleh Komaruddin Hidayat, sebagai "kata pengantar",

9 Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2000, hlm. xxxix

56

Nurcholish Madjid menunjukkan konsistensinya sebagai pemikir yang

apresiatif, memiliki akses intelektual terhadap khazanah Islam klasik, dan

tetap konsisten dengan cita-cita humanisme dan modernisme Islam. Ditambah

lagi kesempurnaan Nurcholish Madjid dengan wawasan kesejarahan dan

sosiologis telah memungkinkan Nurcholish Madjid menyuguhkan interpretasi

doktrin Islam yang terbebas dari pemihakan kepada kepentingan politik

praktis.10

Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam

Indonesia (1995). Sebagaimana buku Islam Doktrin dan Peradaban, buku ini

memiliki mainstream yang sama, yaitu menghadirkan ajaran Islam secara

lebih human, adil, inklusif, dan egaliter. Perbedaannya Nurcholish Madjid

menyuguhkannya dengan gaya yang lebih kosmopolit.dan universal dan

mempertimbangkan aspek kultural paham-paham keagamaan yang

berkembang. Muhammad Wahyuni Nafis dalam kata pengantar buku ini

menyatakan Nurcholish Madjid mengajak bagaimana memahami mana yang

benar-benar agama yang karenanya bersifat mutlak dan mana yang benar-

benar sebagai budaya yang karenanya relatif dan sementara sifatnya.11

Masyarakat Religius (1997). Buku ini dengan muatan lima bab

mengetengahkan Islam dan konsep kemasyarakatan, komitmen pribadi dan

sosial, konsep keluarga Muslim, prinsip medis dan kesehatan keluarga

Muslim serta konsep mengenai eskatologis dan kekuatan supraalami.

10 Komaruddin Hidayat, "Kata Pengantar", Dalam Nurcholish Madjid, Islam Agama

Peradaban, Membangun Makna Dan Relevansi Doktrin Islam Dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina, 2000, hlm. xvi-xvii.

11 Muhammad Wahyuni Nafis, "Kata Pengantar", Dalam Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, Jakarta Paramadina, 1995, hlm. vii.

57

Dialog Keterbukaan: Artikulasi Nilai lslam Dalam Wacana Sosial

Politik Kontemporer (1997). Karya Nurcholish Madjid ini "hanya" sebuah

wawancara, sehingga berbeda dengan buku Nurcholish Madjid lainnya.

Wawancara ini pernah dimuat dalam berbagai media massa sekitar tahun

1970 sampai 1996 dengan tema yang sangat beragam dan spontan, meliputi

berbagai persoalan aktual; politik, budaya, pendidikan, sampai peristiwa 27

Juli "kelabu". Fachry Ali seorang pengamat politik dalam kata pengantar

buku ini mengomentari, "sangat menarik dan menjadi pendukung penting

untuk dapat menangkap semua gagasan yang pernah dilontarkan Nurcholish

Madjid"12

Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi (1999). Sebuah karya

Nurcholish Madjid yang dapat dikatakan merupakan perjalanan panjang

pandangan sosial politik Nurcholish Madjid dalam wacana perpolitikan Islam

di Indonesia. Buku ini berisi semua gagasan dalam pembaruan pemikiran

yang pernah dilontarkan Nurcholish Madjid dalam berbagai bidang

tranformasi nilai-nilai Al-Qur'an dalam mewujudkan masyarakat madani

istilah ini semakin populer dalam wacana intelektual Indonesia saat ini.

Dari karya-karya tulis Nurcholish Madjid yang telah disebutkan, ada

satu karakteristik kuat yang dapat diangkat ke permukaan. Semuanya

berangkat dari keprihatinan yang mendalam terhadap kondisi umat Islam.

Dari sikap itu, Nurcholish Madjid lalu mengajukan alternatif agar Islam

menjadi agama yang benar-benar fungsional dalam kehidupan. Untuk itu, Al-

12 Fachry Ali, dan Bachtiar Effendi, 1997, "Intelektual, Pengaruh Pemikiran dan Lingkungannya" dalam Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan, Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer, Jakarta: Paramadina, 1997, hlm xxi-xxiii

58

Qur'an dan Sunnah Nabi harus ditafsirkan secara kreatif, kritis dan

bertanggung jawab serta dipahami secara keseluruhan dengan menggunakan

metode filosofis sehingga nilai-nilai universal yang dikandungnya mampu

menjadi landasan yang kukuh bagi segala tindakan umat, dan dapat sesuai

dengan kehidupan konkret. Nurcholish Madjid tidak diragukan lagi telah

memberikan kontribusi yang cukup berharga bagi pengembangan wacana

keislaman modern, khususnya di Indonesia.

B. Pendapat Nurcholis Madjid,dkk tentang Hukum Waris Mewarisi

Muslim dan Non Muslim

Menurut Nurcholish Madjid, dkk, sistem pemikiran fiqih yang sejak

awal tidak memberikan ventilasi pemikiran bagi non-Muslim sudah bisa

dipastikan, bila berhubungan dengan agama lain maka kesimpulan hukum

yang diambil cenderung kaku dan keras. Ini dikarenakan cara pandang fiqih

klasik terhadap non-Muslim sebagai kafir. Dan kafir menurut ulama fiqih

klasik, merupakan salah satu kelompok yang diharamkan untuk menerima

dan memberi warisan (mawani' al-irtsi).

Ayat yang digunakan sebagai landasan hukum adalah ayat yang

berbunyi: Dan Allah tidak memberikan jalan kepada orang-orang Kafir untuk

menundukkan (memusnahkan) orang-orang mukmin (QS. 4: 141). Sedangkan

hadis yang digunakan landasan normatif, yaitu seorang Muslim tidak

59

mewarisi kepada orang-orang kafir, begitu pula orang kafir tidak mewarisi

kepada orang Muslim.13

Selanjutnya Nurcholish Madjid mengatakan bahwa Ibn Rusyd

mengakui, sebagian besar ulama melarang atau mengharamkan waris beda

agama/terutama berdasarkan ayat dan hadis di atas. Dan ini menurut

Nurcholish Madjid merupakan problem mendasar fiqih yang melibatkan

agama lain. Fiqih sangat tidak toleran terhadap agama lain.

Namun, masih terdapat perbedaan pendapat mengenai hukum seorang

Muslim mewarisi non-Muslim. Para ulama terbelah dalam dua pendapat.

Pertama, mereka yang mutlak menolak waris beda agama, baik seorang

Muslim mewarisi seorang kafir atau sebaliknya, berdasarkan kedua dalil di

atas. Mazhab Syafi'i termasuk kelompok ini.

Kedua, mereka yang membolehkan hukum seorang Muslim mewarisi

seorang kafir dan mengharamkan kebalikannya. Ini berdasarkan analogi

(qiyas) diperbolehkannya pernikahan seorang Muslim dengan wanita non-

Muslim (Ahli Kitab), sebagaimana disinyalir dalam surat al-Ma'idah ayat 5.

Yang termasuk dalam kelompok kedua antara lain: Mu'adz ibn Jabal,

Mu'awiyah, Sa'id ibn al-Musayyab dan Masruq.14

Pemandangan ini menurut Nurcholish Madjid menjelaskan, bahwa

para ulama terdahulu masih mencoba untuk mencari "jalan alternatif" dalam

kaitannya dengan agama lain. Salah satu buktinya, lanjut Nurcholish Madjid

dalam hukum yang berkaitan dengan agama lain, seperti waris beda agama,

13 Nurcholish Madjid, et al., Fiqih Lintas Agama, Jakarta: Paramadina, cet ke-5, 2004, hlm.165

14 Ibid, hlm. 166

60

selalu ada pelbagai pandangan yang menegaskan adanya perbedaan cara

pandang terhadap agama lain. Namun, yang tersosialisasi kadangkala hanya

pandangan mayoritas (al-jamahir), sedangkan pandangan ulama minoritas

yang membela hak-hak non-Muslim cenderung "dilupakan" atau dihilangkan

begitu saja. Pandangan kelompok kedua yang memberikan ruang waris beda

agama merupakan upaya ijtihadi yang perlu diapresiasi, karena mereka mau

mengakomodasi non-Muslim. Dan mereka mempunyai landasan normatif

yang sangat kuat.

Dalam pandangan yang lebih jauh, hal-hal yang dilarang dalam hak

waris (mawani' al-irtsi) bukan merupakan hal yang baku dan absolut.

Sewaktu-waktu hukum tersebut bisa berubah sesuai dengan konteks yang

berbeda. Dulu, tatkala hukum waris ini turun, memang harus diakui adanya

kekhawatiran dan ketakutan terhadap non-Muslim. Yang terjadi sebenarnya

bukan hanya perbedaan agama, melainkan perbedaan kepentingan politik dan

kepentingan ekonomi antara komunitas Muslim dan non-Muslim.

Sikap tersebut telah ditunjukkan oleh Umar ibn-Khatthab, tatkala

Hudzayfah dan Thalhah menikahi Ahli Kitab. Umar berkata dengan bijak,

"saya tidak melarang pernikahan tersebut, tapi saya hanya khawatir dan

takut.....". Ucapan Umar ibn Khattab ini sebenarnya bukan sebagai "fatwa

keagamaan", akan tetapi lebih tepat bila disebut sebagai sikap politis,

demikian penjelasan Nurcholish Madid.15

15 Ibid, hlm. 167

61

Lebih jauh Nurcholish Madjid menjelaskan bahwa dalam pandangan

yang lebih mendasar, ayat yang digunakan para ulama fiqih di atas

merupakan ayat yang tidak menunjuk langsung pada pengharaman waris beda

agama, melainkan hadis yang bersifat umum. Karenanya, ayat tersebut tidak

bisa secara serta-merta bisa dijadikan landasan untuk melarang waris beda

agama. Dalam banyak ayat, Tuhan justru mengakomodasi agama-agama

langit (Kristen, Yahudi dan Shabi'ah) dan mereka yang beramal shaleh.

Mereka pun akan mendapatkan surga di hari kiamat nanti.

Dengan demikian tegas Nurcholish Madjid bahwa sejatinya hukum

waris harus dikembalikan pada semangat awalnya yaitu dalam konteks

keluarga (ulu al-arham), keturunan (nasab) dan menantu (shakhr), apapun

agamanya. Yang menjadi tujuan utama dalam waris adalah mempererat

hubungan keluarga. Dan logikanya, bila Islam menghargai agama lain dan

mempersilahkan pernikahan dengan agama lain, maka secara otomatis waris

beda agama diperbolehkan.

Sedangkan hadis yang melarang waris beda agama harus dibaca

dalam semangat zamannya, yang mana terdapat hubungan kurang sehat

dengan agama lain (kafir). Maka bila hubungan Muslim dengan non-Muslim

dalam keadaan normal dan kondusif, maka menurut Nurcholish Madjid

secara otomatis matan hadis tersebut tidak bisa digunakan.16

Berdasarkan uraian di atas maka intinya, Nurcholish Madjid,dkk

berpendapat bahwa hukum waris beda agama diperbolehkan.

16 Ibid, hlm. 168

62

C. Metode Istinbath Hukum Nurcholis Madjid

Nurcholish Madjid dalam metode istinbath hukumnya menggunakan

al-Qur'an surat al-Baqarah ayat 62 dan ayat sejenis pada al-Qur'an surat 5

ayat 69. Dalam surat 2 ayat 62 Allah SWT berfirman:

ابئنيالصى وارصالنوا واده الذينوا ونآم م اآلخر إن الذينواليبالله و نآم نم

وعمل صالحا فلهم أجرهم عند ربهم وال خوف عليهم وال هم يحزنون

Artinya: Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-

orang Nasrani dan orang-orang Shabi'in, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan Mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.17

Menurut Nurcholish Madjid, dkk, ayat ini menunjukkan bahwa surga

itu bukan monopoli orang yang menamakan dirinya Islam. Karena siapa saja

yang beramal saleh maka ada peluang masuk surga. Ayat ini juga

mengisyaratkan bahwa perbedaan agama tidak bisa dijadikan sebagai dasar

perbedaan dalam penilaian Tuhan. Karenanya tidak adil bila perbedaan

agama dijadikan dasar untuk menghalangi waris mewaris. Tuhan menilai

manusia dalam tiga aspek, pertama, beriman kepada Allah; kedua, beriman

pada hari kemudia; ketiga, beramal saleh.

Dalam metode istinbathnya, Nurcholish Madjid menyoroti secara

tajam, bahwa sebagian pengkaji dan aktivis fiqih terjebak dalam kubangan

17 Depag RI, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 1986, hlm. 19

63

fatalisme, sehingga wacana fiqih yang semula bersifat terbuka dan beragam,

akhirnya masuk dalam wilayah politik dan upaya perebutan otoritas.

Fenomenanya, ada semacam gelembung memori kolektif untuk

menghadirkan kembali sejarah yang terkoyak (al-tarikh al-mumazzaq) dalam

arena politik, tentu saja dengan mengatasnamakan resistensi terhadap

kebiadaban modernitas. Indikasinya, seperti kecenderungan memukul beduk

"Piagam Jakarta"18 dan "formalisasi Syariat" yang diderivasi ke dalarn "fiqih

negara Islam" dan "fiqih Khilafah Islamiyah"19 hampir menasional dan kian

menemukan momentum politik bersamaan dengan digelarnya desentralisasi.

Formalisasi fiqih yang awalnya bersifat kultural, pada akhirnya dijadikan

"mesin kekuasaan" untuk merebut kekuatan politik. Ini menunjukkan adanya

"pendulum peradaban", sebagaimana disebut Ibn Khaldun sebagai "tarik ulur"

yang membawa peradaban dari kemegahannya menuju kehancuran.

Tentu saja, konteks di masa lalu dengan masa kini dan masa yang

akan datang pasti berbeda. Masyarakat modern mempunyai logika dan sikap

yang jauh berbeda dengan apa yang dihadapi masyarakat Arab di zaman dulu.

Mungkin juga letak geografis di mana Islam diturunkan dengan letak

geografis Indonesia dan beberapa negara Asia lainnya memberikan inspirasi

bagi lahirnya sebuah tafsir baru terhadap doktrin dan dogma keagamaan

Perbedaan konteks dan sejarah inilah yang menyebabkan perlunya

pembacaan yang bersifat distingtif antara Syari'ah dan maqashid al-Syari'ah.

Selama ini ada upaya untuk menguniversalisasikan Syariat untuk semua

18Nurcholish Madjid, et al., Fiqih Lintas Agama, Jakarta: Paramadina, cet ke-5, 2004, hlm.168

19 Ibid, hlm. 169

64

zaman dan tempat. Apa yang diproduk ulama di masa lalu dianggap sebagai

solusi bagi problem kemanusiaan kontemporer. Ini bukan tanpa konsekuensi.

Akibatnya, syariat sebagai pranata, nilai yang komprehensif menyangkut

hubungan antara manusia dengan Tuhan (ibadah mahdhah) dan hubungan

manusia dengan manusia dan makhluk lainnya (mu'amalah), mengalami

kemandulan. Yang tampak ke permukaan adalah wajah fiqih yang keras, kaku

dan rigid. Fiqih sebagai cara mengambil kesimpulan sebuah hukum. yang

berasal dari sumber asli agama (al-Qur'an dan hadis) pada akhirnya juga

menjadi sangat teosentris, karena fiqih lebih dianggap sebagai otoritas

pengetahuan daripada upaya memfungsionalisasikan doktrin keagamaan

untuk menyelesaikan ketegangan yang terjadi dalam realitas sehari-hari. Dr.

Yusuf al-Qardhawi melihat kenyataan mandulnya fiqih ini ditandai dengan

sistematisasi fiqih yang dimulai dengan pembahasan mengenai ibadah.

Menurutnya, karakteristik fiqih seperti ini telah memandulkan cara pandang

fiqih terhadap masalah-masalah sosial, politik dan ekonomi.

Karenanya, Qardhawi mengajukan alternatif pemikiran agar fiqih

direformasi menjadi fiqih realitas (fiqh al-waqi'} dan fiqih prioritas (fiqh al-

awlawiyat), yaitu fiqih yang dapat dijadikan sinaran baru bagi problem

kemanusiaan yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Dalam hal ini,

Syariat diharapkan tidak lagi hanya bercorak vertikalistik, yang hanya

mengupas masalah hubungan manusia dengan Tuhan, melainkan mencoba

merambah masalah-masalah kemanusiaan.20 Fiqih didesak untuk menyentuh

20 Ibid, hlm. 169

65

isu-isu kesetaraan gender (fiqh al-mar'ah'), ketatanegaraan (fiqh al-dawlah),

kewarganegaraan (fiqh al-muwathanah) dan lain-lain. Di sini semakin

terlihat, bahwa mendinamisasikan fiqih merupakan langkah awal guna

mendekonstruksi Syariat dari wajahnya yang statis, eksklusif dan

diskriminatif menjadi Syariat yang dinamis, inklusif dan egalitarianistik.

Langkah kolosal yang dilakukan ulama kontemporer dalam rangka

memperbarui fiqih adalah mencoba melihat Syariat sebagai sumber nilai dan

etika sosial, bukan hanya sekadar sumber hukum. Kendatipun tidak bisa

dimungkiri, bahwa Syariat juga mengatur hal-hal yang bersifat taken for

granted, tapi meletakkan Syariat hanya dalam kerangka sumber hukum dapat

menyebabkan hilangnya kelenturan Syariat. Akibatnya, Syariat rentan pada

monopoli tafsir untuk kepentingan kekuasaan. Sejarah peradaban fiqih

misalnya memberikan contoh menarik, bahwa fiqih selalu digunakan oleh

penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya. Tafsir keagamaan harus

merujuk pada kepentingan kekuasaan tertinggi (khalifah), bukan kepada

realitas kemanusiaan yang muncul di tengah-tengah masyarakat.

Untuk itu, yang mesti diangkat ke permukaan adalah Syariat dalam

arti sebagai sumber kemaslahatan. Kemaslahatan yang dimaksud tidak hanya

kemaslahatan untuk Tuhan dan penguasa secara berdiri sendiri-sendiri,

melainkan kemaslahatan bagi manusia di seantero alam, apapun agama, suku

dan rasnya. Karenanya, yang perlu dikedepankan adalah fiqh al-maqashid,

yaitu fiqih yang lebih mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan universal,

66

seperti kemaslahatan, keadilan dan kesetaraan daripada hukum-hukum yang

bersifat partikular.21

Para ulama klasik menyebut al-maqashid sebagai ilmu yang

mendasari kelahiran fiqih (ushul al-fiqh). Sejak kelahirannya pertama kali

oleh Imam al-Syafi'i dalam karya besarnya, al-Risalah, fiqh al-maqashid ini

kurang mendapat perhatian dari pemerhati masalah keagamaan. Dalam kurun

waktu yang cukup lama. Syariat hanya dilihat dalam bentuk-bentuk hukum

partikular (furu'). Konsekuensinya, ilmu yang mendasari kelahiran fiqih tidak

banyak tersentuh. Syariat dan fiqih yang dianut lebih sekadar upaya

mengejawantahkan Mukadimah kesimpulan-kesimpulan hukum yang

diproduksi para ulama atau mazhab yang berkembang di masa lalu.

Karenanya, yang diperlukan saat ini adalah upaya menguak kembali

hakikat doktrin keagamaan, terutama mengembalikan syariah pada maqashid

al-syari'ah, memulangkannya pada ushul fiqh, sehingga Syariat dapat

rnenegosiasikan visinya dengan kekinian dan kemodernan. Bukan hanya itu,

Syariat diharapkan dapat memotret konteks, ruang dan zamannya.

Di antara ulama klasik yang sangat menonjol dalam mengembangkan

fiqh maqashid adalah Abu Ishaq al-Syathibi (790 H). Beliau menulis sebuah

buku amat menarik, yaitu al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah (Beberapa

Konsensus dalam Dasar-dasar Syariat). Buku tersebut bisa dipandang sebagai

kerangka metodologis dalam memahami Syariat, dan bukannya kesimpulan-

kesimpulan hukum (istinbath al-ahkam).

21 Ibid, hlm. 170

67

Pandangan seperti ini dikemukakan, karena seakan-akan Syariat atau

fiqih secara umum hanya dipahami oleh sebagian kalangan sebagai kebenaran

kognitif (al-haqiqah fi al-adzhan), bukan sebagai kebenaran praksis (al-

haqiqah fi al-a'yan) Syariat disakralkan sebagai pandangan yang

kebenarannya tidak bisa ditafsir dan diperdebatkan. Akibatnya, kita

mengalami kemiskinan paradigmatik dan metodologis, karena yang dilakukan

para ulama saat ini hanya sekadar reproduksi pandangan-pandangan klasik

(al-fahm al-turatsy li al-'ashr} tanpa melakukan upaya persenyawaan dengan

problem kemanusiaan yang senantiasa berkembang dan semakin menantang.

Al-Syathibi dalam fiqh maqashid-nya itu menghendaki agar ilmu

dasar-dasar fiqih (ushul fiqh) diwacanakan kembali. Bahkan, menurut dia,

ilmu dasar-dasar fiqih merupakan tujuan utama diletakkannya fiqih.

Karenanya, fiqh maqashid bersifat definitif (qath'iy). Sedangkan fiqih sebagai

cara mengambil kesimpulan hukum bersifat hipotetis (zhanny). Fiqih-fiqih

yang diproduksi ulama di zaman dahulu pada hakekatnya bersifat relatif,

karena pandangan mereka lebih merupakan hipotesis-hipotesis yang tidak

bisa digunakan untuk mengatasi pelbagai persoalan di banyak tempat dan

zaman. Mazhab yang mereka kembangkan mempunyai konteksnya tersendiri,

sehingga jika ditarik ke dalam konteks yang berbeda, maka perlu diuji ulang

perihal aktualitas dan kontektualitasnya.22

Dalam mereformasi fiqih, al-Syathibi sebagai penganut mazhab Imam

Malik menulis sebuah kerangka umum Syariat. Menurutnya, dalam Syariat

22 Ibid, hlm. 171

68

terdapat beberapa varian yang mesti dipahami secara utuh, antara lain:

hukum, tujuan umum, dalil dan ijtihad. Hal ini menunjukkan bahwa Syariat

tidak hanya hukum belaka, karena ada varian lain yang sangat penting yaitu

tujuan-tujuan utama (maqashid al-Syari'ah) diturunkannya Syariat kepada

manusia. Dan tujuan-tujuan tersebut merupakan nilai-nilai yang sangat

prinsipil dalam Islam. Jika diperas dan dicari inti sarinya, maka tujuan-tujuan

utama Syariat adalah "kemaslahatan", yang didefinisikan sebagai "mengambil

yang bermanfaat dan menghindari yang merusak (jalb al-manafi' wa dar-u al-

masafid)."

Pandangan seperti ini mencerminkan sebuah cara pandang yang

terbuka terhadap doktrin-doktrin keagamaan. Imam al-Syathibi memberikan

sinaran baru terhadap Syariat. Menurutnya, agama tidak hanya memuat ajaran

yang menekankan aspek ritual dan peribadatan (al-ta'abbud), tetapi juga

membawa misi kemaslahatan bagi manusia (al-mashlahat al-'ammah).

Dimensi kemanusiaan inilah yang kurang diapreasi secara lebih mendalam

oleh pengkaji fiqih, sehingga yang terjadi hanya perhatian terhadap masalah-

masalah ritual belaka.23

Dalam memaknai fiqih sebagai sumber etika sosial dan kemaslahatan,

Imam al-Syathibi membagi kemaslahatan dalam tiga tingkatan. Pertama:

kemaslahatan yang bersifat primer (dharuriyyat), yaitu kemaslahatan yang

mesti menjadi acuan utama bagi implementasi Syariat. Sebab jika tidak, maka

akan terjadi ketimpangan dan ketidakadilan yang mengakibatkan ambruknya

23 Ibid, 171

69

tatanan sosial. Kemaslahatan dalam kategori menjadi penyeimbang dan

mediasi antara kecenderungan ukhrawi dan duniawi. Titik temunya terletak

pada upaya pembumian nilai-nilai yang diidealkan Tuhan untuk kemanusiaan

universal. Yang dimaksud dengan kemaslahatan primer yaitu perlunya

melindungi agama (hifzh al-din}, melindungi jiw a (hifzh al-nafs), melindungi

akal (hifzh al-'aql), melindungi keturunan (hifzh al-nasab) dan melindungi

harta (hifzh al-mal). Setiap manusia mesti menghargai keberagamaan orang

lain, menghormati jiwa, menghargai kebebasan berpikir dan berpendapat,

menjaga keturunan (hak reproduksi) serta menghargai kepemilikan harta

setiap orang. Imam al-Syathibi menegaskan, bahwa kemaslahatan yang

bersifat primer tersebut merupakan inti semua agama dan ajaran.

Kedua, kemaslahatan yang bersifat sekunder (al-hajiyat), yaitu

kemaslahatan yang tidak menyebabkan ambruknya tatanan sosial dan hukum,

melainkan sebagai upaya untuk meringankan bagi pelaksanaan sebuah

hukum. Misalnya, dalam hal ibadat, bahwa dalam praktek peribadatan

diberikan dispensasi (al-rukhash al-mukhaffafah} apabila dalam

pelaksanaannya terdapat kesulitan.24 Bagi mereka yang melakukan perjalanan

jauh, sakit dan orang tua-renta diberikan keringanan yang diatur dalam fiqih.

Kemaslahatan sekunder ingin memberikan pesan, bahwa dalam pelaksanaan

peribadatan pun diberikan beberapa keringanan dalam rangka memberikan

kemaslahatan dan kenyamanan bagi pemeluknya, sehingga beragama dan

beribadah tidak merasa adanya keberatan dan keterpaksaan.

24 Ibid, hlm. 172

70

Ketiga, kemaslahatan yang bersifat suplementer {al-tahsiniyat}, yaitu

kemaslahatan yang memberikan perhatian pada masalah estetika dan etiket.

Misalnya, ajaran tentang kebersihan, berhias, shadaqah dan bantuan

kemanusiaan. Kemaslahatan ini juga menjadi penting dalam rangka

menyempurnakan kemaslahatan primer dan sekunder.