komparasi pemikiran nurcholis madjid dan...

113
KOMPARASI PEMIKIRAN NURCHOLIS MADJID DAN MUHAMMAD AMIN SUMA TENTANG NIKAH BEDA AGAMA SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) Oleh : MOHAMMAD IQBAL IBNU ANSHORI 11150440000030 PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1441H/2020M

Upload: others

Post on 07-Feb-2021

11 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

  • KOMPARASI PEMIKIRAN NURCHOLIS MADJID DAN MUHAMMAD

    AMIN SUMA TENTANG NIKAH BEDA AGAMA

    SKRIPSI

    Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

    Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

    Oleh :

    MOHAMMAD IQBAL IBNU ANSHORI

    11150440000030

    PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

    FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

    SYARIF HIDAYATULLAH

    JAKARTA

    1441H/2020M

  • ii

    PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

    Skripsi yang berjudul “Komparasi Pemikiran Nurcholish Madjid dan

    Muhammad Amin Suma tentang Nikah Beda Agama” telah diajukan dalam

    sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Hukum Keluarga

    Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal ............ Skripsi

    ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Program

    Strata Satu (S-1) pada Program Studi Hukum Keluarga.

    Jakarta, .........................

    Mengesahkan,

    Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H.,M.A.,M.H.

    NIP. 197608072003121001

    PANITIA UJIAN MUNAQASYAH

    1. Ketua : Dr. Hj. Mesraini, S.H.,M.A.g. ( ............................) NIP.197602132003122001

    2. Sekretaris : Ahmad Chairul Hadi, M.A ( ............................) NIP. 197205312007101002

    3. Pembimbing : Hj. Rosdiana, M.A. ( ............................) NIP. 196906102003122001

    4. Penguji I : Dr. Umar Al-Haddad, M.Ag. ( ............................) NIP, 196809041994011001

    5. Penguji II : Mu'min Roup, M.A. ( ............................) NIP, 197004161997031004

  • iv

    ABSTRAK

    MOHAMMAD IQBAL IBNU ANSHORI. 11150440000030. Komparasi

    Pemikiran Nurcholish Madjid dan Muhammad Amin Suma Tentang Nikah Beda

    Agama. Program Studi Hukum Keluarga. Fakultas Syariah dan Hukum.

    Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 1441 H/ 2020 M.

    Xiii + 82 halaman.

    Tujuan skripsi ini adalah memaparkan permasalahan nikah beda agama

    yang merupakan topik yang tak pernah basi, karena selalu mengundang

    perdebatan dan perbedaan pendapat tentang boleh tidaknya pernikahan laki-laki

    muslim dengan perempuan non-muslim atau sebaliknya. Peneliti mengambil

    komparasi pemikiran tokoh antara Nurcholish Madjid dan Muhammad Amin

    Suma yang mempunyai perbedaan penafsiran walaupun berawal dari satu frame

    yang sama.

    Peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan

    deskriptif analitis dan menggunakan teknik pengumpulan data dengan riset

    pustaka dan wawancara langsung kepada tokoh terkait dan beberapa buku karya

    para tokoh.

    Hasil dan kesimpulan dari penelitian ini menjalaskan bahwa, Nurcholish

    Madjid dan murid-muridnya mengemukakan pemikiran bahwa nikah beda agama

    itu dimungkinkan. Demi terjalin ukhuwah antar agama, juga sebagai pembuka

    wacana yang lebih luas untuk masa depan dari agama-agama berangkat dari

    semangat „pembaharuan‟ dan pluralisme, terlihat bahwa Paramadina pernah

    menfasilitasi nikah beda agama pada masa lalu. Sementara itu, Muhammad Amin

    Suma menganjurkan tidak melakukan nikah beda agama kecuali dalam kasus-

    kasus tertentu yang tidak bisa dihindari, nikah beda agama adalah pintu darurat

    dan bukan sebuah kebolehan umum. Mereka berdua berbeda pendapat dalam

    memberikan definisi tentang ahli kitab serta siapa saja yang termasuk ahli kitab.

    Selain adanya perbedaan definisi ahli kitab, dalam memahami konsep nikah beda

    agama tetapi mereka juga mengambil pendekatan yang berbeda. Nurcholis Madjid

    dengan pendekatan teologi-historikal dan filosofis sementara Muhammad Amin

    Suma dengan pendekatan teologi dan aqidah syariah sehingga menghasilkan hasil

    pemikiran yang berbeda pula.

    Kata Kunci : Nikah Beda Agama, Nurcholish Madjid, Muhammad Amin Suma

    Pembimbing : Hj. Rosdiana, M.A.

    Daftar Pustaka : Tahun 1985 - 2019

  • v

    KATA PENGANTAR

    Segala Puji bagi Allah, Tuhan semesta alam dan Tuhan diatas segala

    kebesaran yang ada. Dengan kalimat “Laailaha illallah” kita hidup dan kita

    dimatikan semoga tetap dengan prinsip menjaga iman serta tauhid kita kepada

    Allah SWT. Atas dasar rahtmat-Nya lah yang selalu menaungi setiap hamba-Nya

    tanpa pilih kasih, tanpa membedakan satu sama lain dan dengan keadilan dan

    kebijaksanaan-Nya, sehingga penulis mampu merasakan nikmat hidup dan nikmat

    sehat serta nikmat lainnya, nikmat yang tiada tara. Dan dari sebab-sebab itulah,

    penulis pun akhirnya mampu menyelesaikan tulisan ini sebagai tugas akhir.

    Tidak lupa dan tidak akan pernah bisa putus shalawat serta salam kita

    kepada Nabi junjungan umat, yang selalu menegakkan kalimat Allah dalam setiap

    tutur kata, tindakan dan ketetapannya, yang selalu kita harap penuh syafaat

    darinya dan selalu kita rindu untuk berjumpa dengannya, tidak lain dan tidak

    bukan Baginda Nabi Besar nan Agung Muhammad Rasulullah SAW. Atas dasar

    peran besar beliaulah, Islam selain merupakan agama juga menjadi peran

    peradaban dan sejarah yang besar yang bisa membawa dan menuntun umatnya

    kedalam jalan yang benar-benar lurus dan penuh keridhoan dari-Nya. Jalan yang

    indah dan penuh perdamaian serta kesejahteraan bagi yang mampu meresapi nilai-

    nilainya.

    Alhamdulillah, penuh syukur atas karunia Allah yang telah diberikan.

    Sehingga sampai titik balik ini, sampai ke tahap ini, penulis mampu

    menyelesaikan skripsi ini, atas segala dorongan dan motivasi dari Bapak terhebat

    Khoirul Kamami dan Ibu yang lembut kasihnya Siti Nur Hasanah, juga terhadap

    saudara kandung satu-satunya Zulfikar Ali Musa yang ia pun masih berjuang di

    pondok sana. Mereka semua senantiasa memberi masukan, dorongan dan

    semangat yang tiada henti-hentinya kepada penulis untuk menyelesaikan proses

    yang pastinya selalu menemui fase naik-turun dan penuh ujian ini hingga sampai

    titik dimana terselesaikannya amanah di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

    Hidayatullah Jakarta. Dari sinilah, penulis belajar akan saling menguatkan satu

    sama lain dan selalu berusaha tanpa kenal lelah tanpa kata menyerah. Semoga

  • vi

    Allah selalu memberikan limpahan rezeki yang penuh barokah dan limpahan ilmu

    yang berkah dan teramalkan bagi lingkungan dan masyarakat. Amin.

    Selain itu, tak lupa penulis ucapkan banyak kata terimakasih kepada

    pihak-pihak lain yang turut memberikan sumbangsihnya dan membantu

    memberikan pengaruh positif selama masa perkuliahan ini. Terimakasih sebesar-

    besarnya kepada:

    1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Lubis, L.c.,M.A., selaku Rektor

    Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta periode 2019-

    2023.

    2. Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H.,M.A.,M.H selaku Dekan Fakultas

    Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

    Jakarta.

    3. Dr. Mesraini, M.Ag., selaku Ketua Program Studi Hukum Keluarga

    Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta.

    Yang mana selalu mendorong kami dengan nasihat, motivasi dan

    bantuannyalah kami selalu semangat untuk menyelesaikan skripsi ini.

    4. Ibu Hj. Rosdiana, M.A., selaku Dosen Pembimbing skripsi yang selalu

    meluangkan waktu membantu dengan memberi masukan, nasihat dan

    saran yang tak kenal lelah dalam proses penyusunan tulisan ini dari awal

    hingga akhir, hingga dapat terselesaikan seperti sekarang ini.

    5. Dr. Ahmad Juaini Syukri, L.c., M.A., selaku Dosen Penasehat Akademik

    yang selalu memberikan arahan dan banyak pelajaran yang bisa kami

    dapatkan dari awal masuk keliah hingga pada titik proses wisuda ini.

    6. Keluarga Besar Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri

    (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, segenap dosen, karyawan dan staff

    yang telah banyak membantu baik langsung maupun secara tidak langsung

    dengan menyediakan fasilitas-fasilitas belajar yang baik dan profesional.

    7. Keluarga Besar Dewan Eksekutif Mahasiswa Fakultas (DEMA-F) dan

    Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS) Hukum Keluarga Fakultas

  • vii

    Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

    Jakarta

    8. Keluarga Forum Komunikasi Alumni Walisongo (FORKALIS)

    Jabodetabek, kalian keluarga kecil yang tak bisa tergantikan. Tetaplah

    menjadi santri selayaknya santri dan jangan pernah berhenti berbuat baik.

    9. Aliansi Kosan Nenek: Edo, Sholeh, Fadil, Fiqi, Akbar, Jamet, Abu, Lani,

    dkk yang tak bisa disebutkan satu persatu. Yang selama ini selalu bertukar

    pikiran dan kegilaan.

    10. Keluarga Besar, Bpk. Khoirul Kamami, Ibunda Siti Nur Hasanah dan Adik

    laki-laki satu-satunya Zulfikar Ali Musa. Semua bentuk pengorbanan

    beliau-beliau demi melihat anak-anaknya sukses, do‟akan anak-anakmu

    selalu agar suatu saat tiba saatnya kami yang akan membahagiakan kalian

    dan membuat bangga nama keluarga. Ridhoi kami selalu karena dengan

    ridho kalian lah, kami menjadi kami yang sekarang dan yang akan datang.

    11. Rodiana Zahratul Muharom, sosok perempuan hebat yang selalu ada dan

    menemani di kala suka dan duka. Dari awal semester sampai lulus duluan,

    semoga tetep menjadi teman hidup yang selalu berbagi rasa. Sampai ke

    surga nanti. Amin.

    Dan terakhir, penulis mengucapkan terimakasih yang tak terhingga pada pihak-

    pihak yang tentunya tidak bisa disebutkan satuperastu yang turut andil dalam

    mendukung dan men-support secara lahir maupun batin. Semoga Allah SWT

    membalas kebaikan kalian semua. Amin.

    Ciputat, ................

    Penulis

    Mohammad Iqbal I. A

  • viii

    PEDOMAN TRANSLITERASI

    Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan

    asing (terutama Arab) ke dalam tulisan Latin dimana istilah Arab tersebut belum

    dapat diakui sebagai kata bahasa Indonesia atau lingkup penggunaannya masih

    terbatas.

    Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:

    Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

    tidak dilambangkan ا

    B Be ب

    T Te ت

    Ts te dan es ث

    J Je ج

    H ha dengan garis bawah ح

    Kh ka dan ha خ

    D De د

    Dz de dan zet ذ

    R Er ر

    Z Zet ز

    S Es س

    Sy es dan ye ش

    S es dengan garis bawah ص

    D de dengan garis bawah ض

    T te dengan garis bawah ط

  • ix

    Z zet dengan garis bawah ظ

    koma terbalik di atas hadap kanan „ ع

    Gh ge dan ha غ

    F Ef ف

    Q Qo ق

    K Ka ك

    L El ل

    M Em م

    N En ن

    W We و

    H Ha ه

    Apostrop ˋ ء

    Y Ya ي

    Dalam bahasa Arab, vokal sama seperti bahasa Indonesia, memiliki vokal

    atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal atau

    monoftong, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:

    Tanda Vokal

    Arab

    Tanda Vokal

    Latin Keterangan

    َ A Fathah

    ِ I Kasrah

    ُ U Dammah

    Sementara itu, untuk vokal rangkap atau diftong, ketentuan sebagai

    berikut:

  • xi

    .al-syuf‟ah tidak ditulis asy-syuf‟ah = الشفعة

    Dalam penulisan ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat

    contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na‟t) (lihat contoh 2), maka huruf ta

    marbȗtah tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta marbûtah

    tersebut diikuti dengan kata benda (isim), maka huruf tersebut dialihaksarakan

    menjadi huruf “t” (te) (lihat contoh 3).

    No. Kata Arab Alih Aksara

    syarî‟ah شريعة 1

    al-syarî‟ah al-islâmiyyah الشريعة اإلسالمية 2

    muqâranat al-madzâhib مقارنة املذاىب 3

    Untuk huruf kapital tidak dikenal dalam tulisan Arab. Tetapi dalam

    transliterasi huruf ini tetap digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku

    dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Perlu diketahui bahwa jika nama diri

    didahului oleh kata sandang, maka huruf yang ditulis dengan huruf kapital tetap

    huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Contoh: البخاري

    = al-Bukhâri tidak ditulis Al-Bukhâri.

    Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam alih

    aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak tebal.

    Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia

    Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski akar kara nama tersebut

    berasal dari bahasa Arab, Misalnya: Nuruddin al- Raniri, tidak ditulis Nûr al-Dîn

    al-Rânîrî.

  • xii

    Setiap kata, baik kata kerja (fi‟il) kata benda (isim) atau huruf (harf),

    ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih akasara dengan

    berpedoman pada ketentuan-ketentuan diatas:

    No Kata Arab Alih Aksara

    -al-darûrah tubîhu al الضرورة تبيح احملظورات 1mahzûrât

    al-iqtisâd al-islâmî االقتصاد اإلسالمي 2

    usûl al-fiqh أصول الفقو 3

    شياء اإلباحةاألصل يف األ 4 al-„asl fî al-asyya َ al-ibâhah

    al-maslahah al-mursalah املصلحة املرسلة 5

  • xiii

    DAFTAR ISI

    PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................................ i

    PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ......................................................... ii

    LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................... iii

    ABSTRAK ............................................................................................................. iv

    KATA PENGANTAR ............................................................................................ v

    PEDOMAN TRANSLITERASI .......................................................................... viii

    DAFTAR ISI ........................................................................................................ xiii

    BAB I PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang ................................................................................... 1

    B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah ........................... 4

    1. Identifikasi Masalah ...................................................................... 4

    2. Pembatasan Masalah ..................................................................... 5

    3. Rumusan Masalah ......................................................................... 5

    C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................................... 6

    D. Tinjauan Kajian Terdahulu ................................................................ 6

    E. Metode Penelitian .............................................................................. 8

    1. Jenis Penelitian .............................................................................. 8

    2. Jenis Pendekatan ........................................................................... 9

    3. Sumber Data ................................................................................ 10

    a. Sumber Data Primer ............................................................... 10

    b. Sumber Data Sekunder ........................................................... 10

    4. Teknik Pengumpulan Data .......................................................... 11

    c. Wawancara ............................................................................. 11

    d. Riset Kepustakaan/dokumen .................................................. 11

    F. Sistematika Penulisan ...................................................................... 12

    BAB II TINJAUAN UMUM NIKAH BEDA AGAMA ................................... 13

    A. Pengertian Nikah dan Nikah Beda Agama ...................................... 13

  • xiv

    B. Pandangan Ulama Klasik dan Kontemporer tentang Nikah Beda

    Agama .............................................................................................. 17

    C. Landasan Yuridis Nikah Beda Agama ............................................. 22

    D. Rukun dan Syarat Sah Nikah ........................................................... 26

    BAB III BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN NURCHOLIS MADJID DAN

    MUHAMMAD AMIN SUMA ............................................................. 30

    A. Biografi Nurcholis Madjid ............................................................... 30

    1. Latar Belakang dan Pendidikan .................................................. 30

    2. Karya-karya Intelektual ............................................................... 35

    3. Pemikiran Nurcholis Madjid tentang Nikah Beda Agama .......... 36

    B. Biografi Muhammad Amin Suma.................................................... 39

    1. Latar Belakang dan Pendidikan .................................................. 39

    2. Karya-karya Intelektual ............................................................... 42

    3. Pemikiran Muhammad Amin Suma tentang Nikah Beda Agama

    .....................................................................................................43

    BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN NIKAH BEDA AGAMA MENURUT

    PEMIKIRAN NURCHOLIS MADJID DAN MUHAMMAD AMIN

    SUMA ................................................................................................... 52

    A. Analisis Persamaan dan Perbedaan Pemikiran Nurcholis Madjid dan

    Muhammad Amin Suma tentang Nikah Beda Agama ..................... 52

    B. Analisis Dasar Hukum dan Penguat Argumentasi Pemikiran

    Nurcholis Madjid dan Muhammad Amin Suma tentang Nikah Beda

    Agama .............................................................................................. 61

    BAB V PENUTUP ............................................................................................. 77

    A. Kesimpulan ...................................................................................... 77

    B. Saran ................................................................................................ 79

    DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 81

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Maraknya aksi bela Hak Asasi Manusia (HAM), kesetaraan gender,

    kesetaraan hak warga negara dan aksi-aksi perihal kebebasan berpikir dan

    beraspirasi ini juga melahirkan banyak cabang permasalahan yang

    mendompleng/menyuarakan tentang kesetaraan hak. Diantaranya, selain

    maraknya masalah perkawinan sesama jenis (LGBT) ini juga marak terjadinya

    perkawinan beda agama atau cinta lintas agama. Perkawinan beda agama

    menimbulkan pro dan kontra terkait kebolehan secara hukumnya dan

    kebolehan dalam pelaksanaannya. Karena selain menimbulkan perbedaan

    pemikiran tentang kebolehannya, nikah beda agama ini juga menimbulkan

    dampak permasalahan setelahnya atau berdampak juga setelah terjadinya

    pernikahan itu.

    Perkawinan adalah akad yang membolehkan laki-laki dan perempuan

    boleh melakukan sesuatu yang sebelumnya dilarang, dengan tujuan untuk

    menjadikan keluarga sakinah, mawaddah wa rohmah. Pernikahan merupakan

    sesuatu yang pada dasarnya mubah (boleh) bahkan dianjurkan dan

    diperintahkan sebagai sunnah Allah dan sunnah Rasul. Perkawinan yang

    dianjurkan oleh agama menjadikan hubungan antara laki-laki dan perempuan

    itu menjadi mubah, oleh sebabnya perkawinan haruslah dilakukan dengan

    memenuhi rukun dan syarat yang telah ditentukan agama masing-masing.1

    Pernikahan juga merupakan cara yang Allah pilih untuk manusia beranak

    pinak dan meneruskan keturunan serta melestarikan kehidupan masing-masing

    saat mereka siap untuk mewujudkan dari tujuan pernikahan tersebut.2

    1 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta; Prenada Media,

    2014) Cet. ke-4, h. 43

    2 Drs. H. Abdu Rahman Ghazaly, M.A. Fikih Munakahat (Jakarta Timur: Prenada Media,

    2003) cet. pertama, h. 10-11

  • 2

    Indonesia adalah negara yang penuh keragaman dan bermacam-macam

    suku, bangsa dan bahasa. Juga terdapat lima agama yang diakui di Indonesia

    (yang keenam adalah konghucu/tionghoa) dan Islam merupakan mayoritas

    agama yang dipeluk di Indonesia yang jumlahnya sedemikian besar sehingga

    menjadi barometer bahwa pemerintah perlu ada campur tangan dalam

    pelaksanaannya. Terutama dalam pembahasan ini adalah tentang pelaksanaan

    pernikahan dan pencatatan pernikahan serta masalah keperdataan lainnya.3

    Keragaman itu bersifat mutlak, karenanya dengan menghormati

    keberagaman maka akan menjadi rahmat. Maka dari itu, diantara dilema fikih

    paling serius adalah ketika pembahasan keagamaan berbenturan atau

    bersinggungan dengan kalangan diluar komunitasnya, yaitu non-Muslim,

    apapun aliran dan kepercayaannya. Ada beberapa istilah fiqih klasik yang

    dianggap musuh adalah diantaranya, “musyrik”, “murtad” dan “kafir”. Bila

    pembahasan fiqih sudah bertemu dengan istilah-istilah itu pastinya fiqih klasik

    seolah merasa anti.4

    Seperti halnya pernikahan beda agama, selalu menjadi topik yang tak

    pernah basi, karena selalu mengundang perdebatan dan perbedaan pendapat

    antara boleh tidaknya pernikahan laki-laki Muslim dengan perempuan non-

    Muslim atau sebaliknya, dilihat dari sudut pandang hukum positif (peraturan

    perundang-undangan negara) maupun hukum agama, dalam konteks ini adalah

    hukum islam (fiqih).5 Nurcholis Madjid salah satu tokoh pembaharu islam

    yang modernis fenomenal dan kontroversial. Menurutnya, titik tolak yang

    menjadi perdebatan perihal nikah beda agama ini terletak pada definisi wanita

    “Ahlul Kitab”. Karena itu pastilah merujuk pada wanita non-Muslim,

    sebelumnya ulama keseluruhan sepakat bahwa haram menikahi wanita

    musyrik. Yang dibolehkan adalah menikahi wanita “Ahlul Kitab”.dan ulama

    3 A. Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama (Jakarta: Qolbun Salim, 2005) Cet. Pertama,

    h. 1

    4 Nurcholis Madjid dkk, Fikih Lintas Agama (Jakarta: Paramadina, 2004) Cet. ke-5, h. 2

    5 Kawin Beda Agama di Indonesia, Prof. Dr. Muhammad M Amin Suma, S.H., MA.,

    M.M., (Tangerang, Lentera Hati, 2015) h. 100-101

  • 3

    mempunyai definisi yang berbeda-beda tentang itu, karena yang kita pahami

    sekarang adalah konsep “Ahlul Kitab”-nya Imam Syafi‟i saja.

    Nurcholis Madjid menyatakan bahwa, tidak semua orang non-Muslim

    itu haram dinikahi, selain orang musyrik. Lalu, apa definisi musyrik itu

    sendiri. Bukankah Agama Yahudi dan Nasrani itu sendiri juga menyekutukan

    Allah, karena menganggap Isa bin Maryam adalah putra Allah atau Uzzair

    sebagai anak Allah. Yang digadang-gadang bahwa Agama Yahudi dan

    Nasrani itu termasuk Ahli Kitab dan yang dibolehkan untuk dinikahi.6 Tapi

    tidak berhenti disitu, dalam pembahasan nanti juga dipaparkan bahwa sebutan

    Ahli Kitab tidak hanya untuk yang beragama Yahudi dan Nasrani (Agama

    Samawi) saja, sehingga poin untuk melaksanakan nikah beda agama semakin

    kuat, terutama jika dibenturkan dengan Hak Asasi Manusia dan keberagaman

    dalam bingkai kebangsaan.

    Berbeda halnya dengan Nurcholis Madjid, MUI dalam fatwanya

    Nomor: 4/MunasVII/MUI/8/2005 tentang Pernikahan Beda Agama bahwa

    nikah beda agama itu haram dan tidak sah, begitupun menikahi wanita ahli

    kitab. Karena menurut fatwa tersebut, untuk saat ini tidak ada yang namanya

    Wanita Ahli Kitab lagi. Sudah barang tentu fatwa ini menimbulkan banyak

    persoalan karena berbeda dengan apa yang telah di firmankan Allah dalam Al-

    qur‟an, hadis maupun literatur fiqih klasik.7

    Pendapat yang serupa juga pernah diatakan oleh Muhammad Amin

    Suma dalam wawancaranya bersama wartawan hukumonline.com, terkait

    perdebatan hukum nikah beda agama dan uji materi Pasal 2 ayat (1) UU

    Perkawinan yang diuji di Mahkamah Konstitusi (MK). Beliau berpendapat

    bahwa “ Nikah beda agama itu hanya sebagai pintu darurat dan bergantung

    pada kasusnya. Jika memang tinggal di daerah yang mayoritas non-Islam dan

    sulit untuk menemukan wanita muslimah, walaupun sebenarnya bisa dengan

    6 Nurcholis Madjid dkk. Fikih Lintas Agama. H. 158

    7 Skripsi oleh Wahyu Sunandar, Fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI) tentang Nikah

    Beda Agama dan Respon para Pemuka Agama terhadapnya, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat,

    UIN Jakarta, 2011. h. 42

  • 4

    cara pulang ke Indonesia dan mencari wanita muslimah, tapi tidak semua

    orang mempunyai kemampuan seperti itu. Maka dibolehkan saja, ini contoh

    kasus yang real. Jika tidak ada halangan dan keterpaksaan untuk

    melakukannya, selagi masih ada wanita muslimah, kenapa tidak.” Muhammad

    Amin Suma juga menjelaskan bahwa, terlepas dari perdebatan dari definisi

    wanita ahli kitab ataupun wanita musyrik, dampak yang ditimbulkan ketika

    seseorang melakukan pernikahan beda agama akan sangat merugikan, entah

    untuk diri masing-masing pihak maupun untuk anak-anaknya kelak.8

    Dari penjelasan diatas, dapat menjadi gambaran dua pendapat yang

    saling bertentangan tentang pernikahan beda agama. Untuk selengkapnya akan

    ditulis di bab selanjutnya dan juga akan dijabarkan secara detail dasar

    pemikiran kedua tokoh tersebut dalam skripsi ini yang berjudul “Komparasi

    Pemikiran Nurcholish Madjid dan Muhammad Amin Suma tentang

    Nikah Beda Agama”

    B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah

    1. Identifikasi Masalah

    Dalam menulis sebuah karya ilmiah, identifikasi masalah menjadi

    sangat amat penting untuk memulai langkah awal. Identifikasi masalah

    dimulai ketika penulis mengetahui fenomena atau peristiwa yang

    mempunyai potensi untuk diteliti. Setelah itu, mengidentifikasi masalah

    yang menjadi bahan penelitian dan apa saja yang akan muncul dalam topik

    bahasan tersebut.

    Berikut adalah beragam permasalahan yang akan dipaparkan, yaitu:

    1. Nikah beda agama menurut pandangan islam dan kacamata hukum

    Indonesia

    8 Prof. M. Amain Suma, Nikah Beda Agama Hanya Sebagai Pintu Darurat, Hukum

    Online, diakses dari https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt546049e2779c7/prof-m-amin-

    suma--nikah-beda-agama-hanya-sebagai-pintu-darurat/ ,pada tanggal 31 Juli 2019 pukul 02.08

    WIB

    https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt546049e2779c7/prof-m-amin-suma--nikah-beda-agama-hanya-sebagai-pintu-darurat/https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt546049e2779c7/prof-m-amin-suma--nikah-beda-agama-hanya-sebagai-pintu-darurat/

  • 5

    2. Beberapa permasalahan yang terjadi tentang fenomena nikah beda

    agama di Indonesia

    3. Pertentangan pemahaman antara pengertian perempuan ahli kitab dan

    perempuan musyrik

    4. Dasar pemikiran nikah beda agama menurut Nurcholish Madjid dalam

    buku Fikih Lintas Agama

    5. Dasar pemikiran nikah beda agama menurut Muhammad Amin Suma

    dalam buku Kawin Beda Agama

    6. Pandangan filosofis dan yuridis tentang nikah beda agama menurut

    Nurcholish Madjid dan Muhammad Amin Suma

    7. Hasil pemikiran Nurcholis Madjid dan Muhammad Amin Suma

    mengenai nikah beda agama berdasarkan dasar pemikiran, dalil-dalil

    dan penerapan konsep Maslahah (Kemaslahatan)

    2. Pembatasan Masalah

    Sudah banyak buku dan karya ilmiah yang meneliti dan membahas

    kasus pernikahan beda agama dan penerapannya di Indonesia. Tentu

    pembahasan yang demikian sangatlah luas dan umum, maka dari itu

    penulis membatasi pokok bahasan agar lebih terarah dan spesifik.

    Pembahasan tulisan ini lebih mengarah ke perbedaan dan dasar pemikiran

    nikah beda agama menurut Nurcholis Madjid dan Muhammad Amin

    Suma.

    3. Rumusan Masalah

    Dari latar belakang dan pembatasan masalah yang penulis paparkan,

    maka penulis merangkum beberapa pokok permasalahan utama, yaitu:

    1. Apa yang melatar belakangi perbedaan dan persamaan dasar

    pemikiran Nurcholish Madjid dan Muhammad Amin Suma mengenai

    nikah beda agama tersebut ?

    2. Bagaimana metode dan dalil-dalil apa saja yang mereka pakai untuk

    menguatkan argumentasi meraka ?

  • 6

    C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

    1. Tujuan dari penelitian ini adalah :

    a. Untuk mengetahui perbedaan pemikiran dan sudut pandang

    Nurcholish Madjid dan Muhammad Amin Suma mengenai hukum

    dan penerapan nikah beda agama di Indonesia

    b. Untuk mengetahui pengaruh dari penerapan nikah beda agama

    yang ada di Indonesia menurut Nurcholish Madjid dan Muhammad

    Amin Suma

    2. Manfaat yang diperoleh dari hasil penelitian ini adalah :

    a. Sebagai bentuk referensi tertulis dan keikutsertaan penulis dalam

    membuka wawasan masyarakat awam mengenai momok dan

    perhelatan nikah beda agama di Indonesia

    b. Sebagai bentuk sumbangsih pemikiran kepada civitas akademika

    untuk menambah wawasan dan pengetahuan terkait permasalahan

    nikah beda agama

    c. Teruntuk penulis sendiri, penelitian dan penulisan skripsi ini

    berguna untuk menjadi bahan ajar sekaligus pelatihan dalam

    menganalisa permasalahan yang tengah menjadi perbincangan serta

    menjadi kontroversial di tengah-tengah masyarakat. Terutama

    dalam hal pernikahan dan hubungan lintas agama

    D. Tinjauan Kajian Terdahulu

    Sudah menjadi perbincangan hangat sesuatu yang berbau „lintas

    agama‟ atau „beda agama‟ dalam lingkungan masyarakat. Karena agama

    adalah sesuatu yang riskan dan sangat sensitif di tengah masyarakat. Sudah

    barang tentu, kajian yang penulis ambil “Komparasi Pemikiran Nikah Beda

    Agama” ini sudah banyak yang mengkaji dan meneliti dari berbagai aspek,

    namun masih bisa dikorelasikan dan diambil inti permasalahan yang serupa.

    Maka dari itu, penulis juga membahas kajian terdahulu dari karya-

    karya ilmiah yang pernah memuat pokok bahasan yang hampir sama mengenai

  • 7

    pemikiran nikah beda agama menurut Nurcholish Madjid dan Muhammad

    Amin Suma yang menjadi tokoh dari pembahasan skripsi ini.

    Diantara karya skripsi yang membahas atau mengkaji tentang

    pemikiran Nurcholish Madjid antara lain: Skripsi oleh Muhammad Irpan yang

    berjudul “Perkawinan Beda Agama di Indonesia, Studi Perbandingan

    Pemikiran Prof. Dr. Nurcholish Madjid dan Prof. Dr. Ali Mustofa Yaqub”.

    Karya ini menelaah tentang pandangan Cak Nur (Nurcholish Madjid)

    mengenai pernikahan beda agama dengan membandingkan pemikiran dari Ali

    Mustofa Yaqub, pengasuh Pondok Hadist „Darussunnah‟ dan mantan Imam

    Masjid Istiqlal. Pemikiran Nurcholis Madjid yang cenderung Pluralis

    dibenturkan dengan pemikiran Ali Mustofa Yaqub yang tidak mentolerir

    apapun yang bisa merusak akidah dan iman, terutama permasalahan umat

    lintas agama yang bersifat kontemporer.9

    Juga ada skripsi dari Moch. Anang Abidin yang berjudul “Kawin Beda

    Agama (Kajian terhadap Buku Fikih Lintas Agama)”. Karya ini mencoba

    membahas pemikiran Cak Nur tentang nikah beda agama, yang menjadi

    sumber pokok rujukan adalah buku karya Cak Nur, dkk yang diterbitkan di

    Universitas Paramadina dengan judul “Fikih Lintas Agama: Membangun

    Masyarakat Inklusif-Pluralis”. Buku ini adalah buku yang menimbulkan

    banyak kontroversi dan kontradiksi pemikiran, sehingga MUI sendiri

    mengecam buah pemikiran yang ditulis Nurcholis Madjid dkk ini, karena

    mengandung bias makna hingga penafsiran yang sangat bebas dan terkesan

    liberal. 10

    Lalu ada skripsi dari Imam Fauzi dari UIN Maulana Malik Ibrahim

    Malang yang berjudul :Studi Komparatif Pemikiran Masfuk Zuhdi dan

    Nurcholis Madjid tentang Nikah Beda Agama” disini juga membahas beda

    9 Skripsi oleh Muhammad Irpan, Perkawinan Beda Agama di Indonesia, Studi

    Perbandingan Pemikiran Prof. Dr. Nurcholish Madjid dan Prof. Dr. Ali Mustofa Yaqub, Fakultas

    Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014

    10 Skripsi oleh Moch. Anang Abidin, Kawin Beda Agama (Kajian terhadap Buku Fiqih

    Lintas Agama), Fakultas Syari‟ah UIN Maulana Malik Ibrahim, 2008

  • 8

    pemikiran tentang dibolehkan atau tidaknya nikah beda agama antara Masjfuk

    Zuhdi pengarang buku Masail Fiqhiyyah dengan membandingkan pemikiran

    dari Nurcholis Madjid. Lebih tepatnya, tulisan ini mencoba menelaah

    pemikiran Nurcholis Madjid dan membandingkannya dengan seorang ahli

    fiqih yang tentunya, membahas permasalahan Nikah Beda Agama dari segi

    pendalaman fiqih dan ushul fiqh. Kedua tokoh tersebut memang tokoh

    kontemporer yang aktif membahas isu-isu seputar fikih kontemporer dan

    penerapannya.11

    Perbedaan dari karya-karya ilmiah yang sudah disebutkan diatas, disini

    penulis lebih membahas kedalam analisis Nikah Beda Agama yang objektif

    dan tidak memihak kepada salah satu subjek tokoh yang penulis bahas. Karena

    materi skripsi ini adalah studi tokoh yang komparatif, dengan analisis

    perbandingan pemikiran dari kedua tokoh, penulis juga harus adil mengambil

    kesimpulan yang objektif. Jika dilihat secara subyektif, penulis juga

    mengambil tokoh yang berangkat dari latar akademis yang tak jauh berbeda

    tapi menghasilkan pemikiran yang kontradiktif, sehingga menarik untuk

    menjadi bahasan masalah.

    E. Metode Penelitian

    1. Jenis Penelitian

    Jenis atau metode penelitian yang penulis pakai adalah jenis penelitian

    Kualitatif yang penyajiannya menggunakan analisis data secara naratif.12

    Dalam pengolahan data/informasi yang didapat akan disajikan dengan

    deskripsi detail menurut analisis penulis dengan penguatan pendapat-

    pendapat tokoh serta telaah dari buku-buku yang menunjang hasil

    pemikiran dari pendapat Nurcholish Madjid dan Muhammad Amin Suma

    tentang nikah beda agama ini.

    11

    Skripsi oleh Imam Fauzi, “Studi Komparatif Pemikiran Masjfuk Zuhdi dan Nurcholish

    Madjid” Fakultas Syariah UIN Maulana Malik Ibrahim, 2011

    12 Muri Yusuf, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan Gabungan (Jakarta:

    Kencana, 2017) Cet. Ke-4 h. 331

  • 9

    Selain itu, penulis juga memasukkan penelitian ini kedalam jenis

    penelitian Filsafat Hukum, mengacu pada pendapat dari Prof. Dr. H. M.

    Atho‟ Mudzhar dalam bukunya yang berjudul Esai-esai Sejarah Sosial

    Hukum Islam bahwa, “ ...Salah satu catatan atau bahkan keberatan

    terhadap pendapat Soejono ialah bahwa ia memasukkan penelitian hukum

    atau asas-asas hukum kedalam penelitian hukum normatif. Sesungguhnya

    penelitian hukum atau asas-asas hukum adalah penelitian filsafat hukum

    dan setiap filsafat tentu selalu bersifat spekulatif dan tidak bersifat

    normatif. Mungkin lebih tepat jika penelitian filsafat hukum dikeluarkan

    dari kategori penelitian hukum normatif dan diletakkan dalam kategori

    tersendiri yaitu kategori penelitian filsafat hukum ...”

    Selanjutnya beliau menjelaskan bahwa “Studi filsafat hukum Islam

    atau studi pada tataran filsafat hukum. Termasuk kedalam kategori ini

    adalah semua topik atau pertanyaan yang tercakup dalam kajian ushul

    fikih, baik ushul fikih sebagai filsafat hukum maupun ushul fikih sebagai

    teori hukum... ”.13

    a. Jenis Pendekatan

    Pendekatan penelitian merupakan cara berpikir peneliti dalam

    membangun bagaimana penelitian akan dilakukan. Proses pendekatan

    adalah proses yang dilakukan peneliti dalam mengidentifikasi dan

    menganalisa sebuah permasalahan. Dalam tulisan ini, salah satunya

    peneliti memakai pendekatan hukum normatif-doktriner atau pendekatan

    hukum yang dibangun atas dasar norma-norma keagamaan/wahyu yang

    asalnya dilakukan secara deduktif (tanpa pertimbangan akal, norma sosial,

    historis dll)14

    tapi disini penulis memadukannya dengan pendekatan yang

    deskriptif-analitis yaitu menggunakan metode analisis secara induktif atau

    13

    Prof. Dr. H.M. Atho‟ Mudzhar, “Esai-esai Sejarah Sosial Hukum Islam” (Yogyakarta:

    Pustaka Pelajar, 2014) Cet. pertama, h. 13 & 14 14

    Muhamad Sirozi, Arah Baru Studi Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,

    2008) h. 343

  • 10

    interpretasi yang mengedepankan penalaran makna serta pemahaman

    subtansial dari sebuah permasalahan.15

    2. Sumber Data

    Penelitian ini juga memiliki sumber data yang validitasnya bisa

    dipertanggung jawabkan. Diantara lain sebagai berikut :

    a. Sumber Data Primer

    Sumber data primer adalah data yang langsung diambil dari

    pemikiran tokoh berupa karya-karya buku yang tokoh tersebut

    tulis sendiri dan dipublikasikan. Diantaranya sebagai berikut :

    1) Buku karya Nurcholis Madjid dkk yang berjudul “Fiqih

    Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis”

    2) Buku karya Muhammad Amin Suma yang berjudul “Kawin

    Beda Agama: Telaah Syariah dan Qonuniyah”

    3) Wawancara peneliti dengan Dr. Aan Rukmana, M.A.

    4) Wawancara peneliti dengan Prof. Dr. H. Muhammad Amin

    Suma, S.H., M.A., M.M

    Penelitian ini mengkaji tulisan dan karya-karya Nurcholis

    Madjid dan Muhammad Amin Suma yang membahas langsung

    tentang nikah beda agama atau tentang hal lain yang menguatkan

    argumentasi mereka.

    b. Sumber Data Sekunder

    Sumber data sekunder adalah data-data yang diambil dari

    orang kedua atau data lain yang membahas permasalahan serupa

    namun bukan dari tokoh tersebut. Bisa juga dari orang lain yang

    membahas pemikiran tokoh tersebut. Diantara lain sebagai berikut

    :

    15

    Ajat Rukajat, Pendekatan Penelitian Kualitatif (Qualitative Research Approach),

    (Yogyakarta: Deepublish, 2018) Cetakan pertama, h.27

  • 11

    1) Buku “Islam dan Hak Asasi Manusia: Dalam Pandangan

    Nurcholis Madjid” oleh Mohammad Monib

    2) Buku “Pandangan Muslim Moderat” oleh Zuhairi Misrawi

    3) Buku “Islam dihujat Islam menjawab” oleh Prof. Dr.

    Mahmoud Hamdi Zaqzouq

    4) Pendalaman Fatwa MUI : Nomor 4/MUNAS

    VII/MUI/8/2005 tentang Perkawinan Beda Agama

    5) Buku-buku dan karya tulis lainnya yang membahas masalah

    Nikah Beda Agama

    3. Teknik Pengumpulan Data

    Teknik dalam pengumpulan data yang penulis pakai untuk

    mendapatkan data yang relevan dan kredibel sebagai bahan penulisan

    karya ilmiah ini diataranya adalah sebagai berikut:

    c. Wawancara

    Peneliti merupakan salah satu instrumen dalam penelitian kualitatif

    sekaligus sebagai pengumpul data dan informan sebagai sumber data

    karena kadang dalam interaksinya, subjek penelitian akan lebih

    tanggap mengenai proses pengumpulan data melalui wawancara

    tersebut.16

    Disini peneliti melakukan wawancara langsung pada tokoh

    terkait atau tokoh yang berpemikiran sama dengan kajian penelitian.

    d. Riset Kepustakaan/dokumen

    Penelusuran pustaka merupakan langkah awal dalam membangun

    kerangka penelitian untuk memperdalam kajian teoritis juga sebagai

    sarana untuk memperdalam metodologi.17

    Peneliti dalam

    pengumpulan datanya juga banyak mengambil dokumen dari pustaka

    16

    Albi Anggito dan Johan Setiawan, Metodologi Penelitian Kualitatif (Sukabumi: Jejak

    Publisher, 2018) Cetakan pertama, h. 75

    17 Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008)

    Cet. Ke-2, h. 1-2

  • 12

    baik cetak maupun dari literatur online yang relevan dengan

    pembahasan.

    F. Sistematika Penulisan

    Agar diperoleh pemahaman yang sistematis dan mudah dipahami bagi

    pembaca. Maka, penulis akan menyajikan karya ilmiah ini ke dalam bentuk

    sistematika pembahasan yang terdiri dari lima bab, diantaranya yaitu :

    BAB I, berisi Pendahuluan yang meliputi antara lain Latar Belakang,

    Masalah, Identifikasi Masalah, Batasan Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan

    dan Manfaat Penelitian, Kajian Terdahulu, Kerangka Teori, Metode Penelitan,

    Analisis Data dan Sistematika Pembahasan.

    BAB II, berisi tentang penjelasan umum (landasan teori) Nikah Beda

    Agama dalam Islam meliputi Teks Al-Qur‟an dan dalil pendukung hingga

    interpretasi teks keagamaan, telaah syariah dan qonuniyah di Indonesia.

    BAB III, berisi tentang biografi singkat dari Nurcholis Madjid dan M

    Amin Suma, rekam jejak pendidikan, peran penting beliau dalam dunia

    intelektual-akademik hingga buah-buah pemikiran beliau dengan

    memperkenalkan karya-karya fenomenal dan kontroversial dari Nurcholis

    Madjid dan Muhammad Amin Suma, serta pemikiran-pemikiran beliau

    tentang Nikah Beda Agama.

    BAB IV, memaparkan Komparasi Pemikiran Nurckolis Madjid Dan M

    Amin Suma Dalam Nikah Beda Agama yang didalamnya meliputi, Kawin

    Beda Agama menurut Nurcholis Madjid dalam buku “Fikih Lintas Agama:

    Menuju Masyarakat Inklusif-Pluralis”, Kawin Beda Agama menurut M Amin

    Suma dalam buku “Kawin Beda Agama: Telaah Syariah dan Qonuniyah”,

    Latar belakang Pemikiran dan Bangunan Epistemologi dari pemikiran kedua

    tokoh, dan Analisis penulis tentang pemikiran mereka.

    BAB V, yaitu penutup. Berisi kesimpulan dan pesan atau saran-saran.

  • 13

    BAB II

    TINJAUAN UMUM NIKAH BEDA AGAMA

    A. Pengertian Nikah dan Nikah Beda Agama

    Pernikahan merupakan sunnah yang dianjurkan rasulullah kepada

    umatnya. Islam sendiri juga mengajarkan bagaimana mengatur dan mengelola

    rumah tangga, karena dalam Islam rumah tangga menjadi dasar dari kehidupan

    manusia dan merupakan faktor utama dalam membina masyarakat. Hubungan

    pernikahan juga bertujuan untuk meneruskan kelangsungan hidup manusia

    kedepannya.

    Pernikahan berasal dari kata “ Kata nikah menurut bahasa sama .“ النكاح

    dengan kata “ الزواج “. Secara harfiah, an-nikah berarti “ الضمّ ”,“ الوطء “ dan ” الجمع

    “. Al-Wath‟u berasal dari kata َوْطء –َيَطُء –َوِطَء yang artinya adalah berjalan diatas,

    melalui, memijak, menginjak, memasuki, menaiki, menggauli dan bersetubuh atau

    bersenggama. Adh-dhommu yang terambil dari akar kata َضّم – َيُضم –َضم yang

    secara harfiah berarti mengumpulkan, memegang, menggenggam, menyatukan,

    menggabungkan, menyandarkan, merangkul dan menjumlahkan. Dan bisa juga

    diartikan, melunak dan ramah. Sedangkan al-jam‟u yang asal katanya َيْجَمُع –َجَمَع–

    ,yang artinya yaitu, mengumpulkan, menghimpun, menyatukan َجْمعا

    menggabungkan, menjumlahkan dan menyusun.18

    Secara definisi dalam Kitab Al-Fiqhu al-Islam wa „adillatuhu karangan

    Prof. Wahbah Az-Zuhaili menyebutkan bahwa:19

    رأة, بالوطء واملباشرة, والتقبيل واضّم وغريذالك. باحة اإلمتتاع باملوالزوج شرعا : عقد يتضّمن إإذاكانت املرأة غري حمرم بنسب أو رضاع أو صهر. أوىوعقد وضعو الشارع ليفيد ملك استمتاع

    الرجل باملرأة, وحّل استمتاع املرأة بالرجل.

    18

    Zaenal Arifin dan Muh. Anshori , Fiqih Munakahat (Madiun: Pustaka Pelajar, 2019) h.

    1-2 19

    Wahbah Az-Zuhaili, Kitab Al-Fqhu al-Islam wa Adillatuhu, Juz 7 (Damaskus, Dar Al-

    Fikr, 1985) , h. 29

  • 14

    Artinya: “ Nikah menurut syariat adalah sebuah akad yang membolehkan

    bersenang-senang dengan perempuan, dengan berhubungan intim, menyentuh,

    mencium, memeluk, dan sebagainya, jika perempuan tersebut bukan termasuk

    mahrom dari segi nasab, sesusuan dan keluarga. Atau bisa diartikan bahwa nikah

    adalah sebuah akad yang telah ditetapkan oleh syariat yang berfungsi untuk

    memberikan hak kepemilikan bagi laki-laki untuk bersenang-senang, dan

    menghalalkan seorang perempuan bersenang-senang dengan laki-laki “20

    Selebihnya, dalam Buku Fiqih Munakahat karangan Drs. H. Dzamaan Nur

    menjelaskan lebih lanjut tentang pengertian pernikahan menurut golongan 4

    (empat) mazhab, diantaranya sebagai berikut :21

    Menurut golongan Hanafiyah mendefinisikan nikah sebagai,

    بِأَنَُّو َعْقٌد يُِفْيد ِمْلَك اْلُمَتاَعِة َقْصًداالنَكاُح

    “ Nikah itu adalah akad yang menfaedahkan memiliki, bersenang-senang

    dengan sengaja”

    Menurut golongan Syafi‟iyyah mendefinisikan sebagai berikut,

    النَِّكُح بِأَنّو َعْقٌد يَ َتَضمَُّن ِمْلَك َوْطٍء بَِلْفِظ ِإْنَكٍح أْو تَ ْزِوْيٍج أَْوَمْعَناَىا

    “ Nikah adalah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan

    watha‟ dengan lafaz nikah atau tazwij atau yang semakna dengan keduanya “

    Sementera menurut golongan Malikiyah, nikah didefinisikan sebagai,

    ُر ًمْوِجٍب ِقيْ ْقدٌ النَِّكاُح بِأَنَُّو عَ ُد بِاََد ميٍَّة َغي ْ َعِة الت ََّلذَّ َنةٍ َمتَ َها بِبَ ي ِّ َعَلى ُُمَرَِّد ًمت ْ

    “Nikah adalah akad yang mengandung ketentuan hukum semata-mata

    untuk membolehkan watha‟, bersenang-senang dan menikmati apa yang ada pada

    diri seorang wanita yang boleh nikah dengannya”

    Sementara itu golongan Hanabilah juga mendefinisikan nikah sebagai:

    َفَعِة اإِلْسِتْمَتاعِ ُىَوَعْقٌد بَِلْفِظ ِإْنَكٍح أَْو تَ ْزِوْيٍج َعَلى َمن ْ

    20

    Wahbah Az-Zuhaili, Kitab Al-Fqhu al-Islam wa Adillatuhu, Juz 9 Terj. Abdul Hayyie

    al-Kattani, dkk (Jakarta: Gema Insani, 2011) cet.kesepuluh, h.48

    21 Dzamaan Nur, Fiqih Munakahat (Semarang, Dina Utama Semarang, 1993), cet.

    pertama, h.2-3

  • 15

    “ Nikah adalah akad dengan mempergunakan lafadz nikah atau tazwij guna

    membolehkan manfaat, bersenang-senang dengan wanita”

    Dalam pengertian-pengertian diatas bisa disimpulkan bahwa ulama-ulama

    terdahulu melihat definisi pernikahan itu dari satu sudut segi pandang saja. Tapi

    tidak melihat aspek hukum dan aspek yang lain. Para ulama mutaakhirin

    memasukkan unsur hak dan kewajiban istri kedalam definisi pernikahan,

    Muhammad Abu Ishrah mendefinisikan nikah sebagai:

    ُحُقْوٍق َوَماَعَلْيِو ِمْن َوِجَباتٍ اِلَكْيِلِهَما ِمنْ َعْقٌد يُِفْيُد َحلَّ ُعْشرٍَة بَ ْْيَ اَرُجِل َواْلَمْرأَِة َوتَ َعاَوِِنَِما َوَيَُِد مَ

    “Nikah adalah akad yang memberikan faedah hukum kebolehan

    mengadakan hubungan keluarga (suami-istri) antara pria dan wanita dan

    mengadakan tolong-menolong serta memberi batas hak bagi pemiliknya dan

    pemenuhan kewajiban masing-masing”22

    Pernikahan jika dilihat dari segi hukum adalah merupakan sebuah

    perjanjian. Yaitu sebagai “Perjanjian yang Kuat” atau istilah arabnya adalah

    Mitsaqon Ghalizhan.

    امَّرِي اَىِن َفُكُلوهُ سانَف وُ مِّن ءَشي َعن َلُكم ِطبَ فَِإن َلةِن َصُدقََِٰتِهنَّ ءَ ٱلنَِّسا َوَءاتُواْ Artiunya: “ Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal

    sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri.

    dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat. “

    (An-Nisaa‟ [04] : 21)

    Selanjutnya, pernikahan jika dilihat dari segi sosial di dalam masyarakat

    itu ditemui suatu penilaian yang umum bahwa orang yang berkeluarga

    mempunyai kedudukan yang lebih dihargai dari mereka yang tidak menikah atau

    belum melangsungkan pernikahan. Lalu, pernikahan jika dilihat dari segi agama

    adalah sesuatu yang sangat penting karena pernikahan itu dianggap sebagai suatu

    lembaga yang suci yang didalamnya terdapat Upacara perkawinan yang juga

    merupakan upacara yang suci.23

    Cinta memang tak pandang bulu, cinta memang buta, hingga terkadang

    banyak yang salah menaruh harapan cinta. Cinta tak pernah salah, tapi perilaku

    22

    Djamaan Nur, Fiqih Munakahat, (Semarang, Dina Utama Semarang, 1993) h. 2-4

    23 Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia (Jakarta: Prenada Media, 2016) h. 25

  • 16

    pecinta yang kadang salah, cinta itu murni tapi dalam tindakannya belum tentu

    suci. Cinta tak pandang perbedaan, entah itu berbeda suku, ras, warna kulit hingga

    perbedaan agama. Trend saat ini, banyak yang melakukan nikah beda agama.

    Nikah beda agama adalah pernikahan antara seorang muslim dan non-muslim.

    Dikatakan nikah beda agama atau lintas agama, karena memang pernikahan

    tersebut dilakukan oleh pasangan yang berbeda agamanya. Sebagian besar lainnya

    juga mengakui bahwa demi memelihara kerukunan beragama antar pemeluk

    agama, terkadang dibungkus dengan tradisi ataupun memang kedekatan keluarga

    sehingga dalam implementasi (kerukunan) tersebut dituangkan dalam sebuah

    pernikahan (nikah beda agama), setidaknya itu yang mereka percayai. Diantara

    fenomena global saat ini tentang kamuflase motto “Persaudaraan”, “Persamaan”,

    “Kesetaraan” dan gembor-gembor dengan perdamaian umat beragama yang

    disana ada titik pertemuan antar agama-agama dan ikatan antar pemeluknya.

    Abdul Mutaal Muhammad al Jabry dalam bukunya Perkawinan Campuran

    menurut Pandangan Islam disini menjelaskan bahwa tidak akan ada titik

    pertemuan yang seperti itu, bahkan tidak akan terjadi. Yang terjadi jika memang

    begitu adalah pertemuan dusta, hipokrit atau pertemuan lucu yang mengundang

    gelak tawa.24

    Dalam sejarahnya, nikah beda agama memang sudah terjadi sejak zaman

    dahulu, sebelum zaman kenabian Muhammad SAW bahkan sebagian Nabi dahulu

    juga mempunyai istri yang beda agama. Diantaranya adalah pernikahan Nabi Nuh,

    Nabi Luth dan lain-lain. Walaupun kenyataannya, kasus nikah beda agama ini

    hanya tergolong sedikit, bahkan mungkin cuma ada dua-tiga kasus yang dilakukan

    oleh beberapa tokoh-tokoh Muslim tertentu, tapi dalam kenyataannya hal tersebut

    masih berlanjut hingga kini dan dari waktu ke waktu menjadi semakin banyak

    jumlahnya, teritama yang terjadi di era transnasional seperti saat ini.25

    Nikah beda

    agama memunculkan resistensi diantara masyarakat luas, memang masih menjadi

    momok dan perdebatan sosial. Karena memang sebagian ulama masih

    24

    Abdul Mutaal Muhammad Al Jabry, Perkawinan Campuran menurut Pandangan Islam

    Tejm. Drs. Achmad Syathori, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1988) h. 3

    25 Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama, h. 99-100

  • 17

    beranggapan bahwa dalam beberapa ayat dalam Al-Qur‟an menyebutkan bahwa

    Kristen dan Yahudi adalah musyrik. Yang tidak boleh dinikahi karena bukan

    termasuk orang-orang yang musyrik. Pandangan seperti ini karena masih banyak

    yang beranggapan bahwa musyrik itu adalah non-muslim, secara keseluruhan.

    Lalu apa yang membedakan wanita kafir musyrik dan wanita kafir ahli kitab ?

    Padahal jelas-jelas kedua hal itu berbeda dan dibedakan. Dibalik itu, ada nilai

    keharaman dan pembolehan untuk melaksanakan nikah beda agama, apa saja yang

    termasuk musyrik dan yang termasuk ahli kitab, yang jelas-jelas dua hal ini

    dibedakan karena mengandung hukum yang berbeda pula.26

    Dalam hal ini, untuk kedepannya jika terjadi perbedaan-perbedaan

    pendapat mengenai masalah perkawinan diharapkan menjadi tolak ukur terhadap

    negara-negara Islam atau negara yang mayoritas penduduknya muslim sebagai

    sumbangsih positif agar saling mengadopsi hukum-hukum perkawinan yang lebih

    baik dan lebih adil bagi masing-masing. Dan, titik terang bagi beberapa negara

    yang memang pada mulanya menganut satu mazhab tertentu yang sekarang

    sedikit demi sedikit mengarah pada talfik mazhab secara kooperatif yang

    setidaknya pada hukum-hukum tertentu.27

    B. Pandangan Ulama Klasik dan Kontemporer tentang Nikah

    Beda Agama

    Semua madzhab sepakat bahwa, laki-laki dan perempuan muslim tidak

    boleh menikahi laki-laki dan perempuan yang tidak memiliki Kitab Suci atau

    yang hanya dekat dengan Kitab Suci. Diantara yang masuk dalam kategori itu

    adalah Penyembah berhala, penyembah matahari, penyembah bintang, orang

    zindik dan segala apapun yang mereka sembah selain Allah.28

    Maksud dari orang-orang yang hanya dekat dengan Kitab Suci (Syibhul-

    Kitab) adalah seperti orang-orang majusi yang beranggapan bahwa mereka

    26

    Nurcholish Madjid, dkk. Fiqih Lintas Agama, h. 155-156 27

    Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Indonesia (Jakarta: Rajawali Press,

    2005), h. 45 28

    Muhammad Jawad Mughniyah, (Beirut: Penerbit Lentera, 2015) Cet. 29, Fiqih Lima

    Mazhab, h. 364

  • 18

    memiliki kitab suci dan kemudian mereka ubah sendiri seperti yang ada sekarang

    ini sehingga kitab asli mereka telah hilang atau sudah lenyap. Tetapi keempat

    mazhab juga sepakat bahwa laki-laki muslim boleh menikahi wanita ahli kitab,

    yaitu perempuan dari nasrani dan Yahudi tapi tidak sebaliknya.29

    Mengenai nikah beda agama Islam telah mengaturnya dalam suat Al-Baqarah :

    221, yang berbunyi :

    تَنِكُحواْ َواَل ُتِ ٱمل ُ تُنِكُحواْ َواَل َجَبتُكمأَع َوَلو رَِكةمُّش مِّن َخري ِمَنةٌ مُّؤ َوأَلََمة ِمنَّ يُؤ َحّتََّٰ شرِكََٰ

    ِشِكْيَ ٱمل نَّةِ ٱلَ ِإَل ُعواْ يَد َوٱللَّوُ ٱلنَّارِ ِإَل يَدُعونَ ِئكَ أُْولََٰ َجَبُكمأَع َوَلو رِكمُّش مِّن َخري ِمنٌ مُّؤ دَوَلَعب ِمُنواْ يُؤ َحّتََّٰ َُ ۦۖنِوِ بِِإذ ِفغِفرَةِ َوٱمل ٕٕٔ يَ َتذَكَُّرونَ َلَعلَُّهم لِلنَّاسِ ۦَءايََِٰتوِ َويُ بَ ْيِّ

    Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum

    mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari

    wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan

    orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.

    Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia

    menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga

    dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-

    perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. “ (QS. Al-

    Baqarah [2] : 221)

    Dan juga pada surat al-Mumthahanah Ayat 10, yang bebunyi :

    ُ ءَُكمُ َجا ِإَذا َءاَمنُ وْ ٱلَِّذينَ أَي َُّهايََٰ ِجرََٰت ؤِمنََٰتُ ٱمل ُتُموُىنَّ َعِلم فَِإن بِِإيََِٰنِهنَّ َلمُ أَع ٱللَّوُ َتِحُنوُىنَّ فَٱم ُمهََٰ

    ُجَناحَ َواَل أَنَفُقواْ مَّا اتُوُىمَوءَ ََّلُنَّ َيَِلُّونَ ُىم َواَل َّلَُّم ِحلّ ُىنَّ اَل ُكفَّارِ ٱل ِإَل ِجُعوُىنَّ َتر َفاَل ِمنََٰتُمؤ َما ُلواْ َيسَول ُتمأَنَفق َما َوسُلواْ َكَواِفرِ ٱل بِِعَصمِ ِسُكواْ تُ َواَل أُُجوَرُىنَّ ُتُموُىنَّ َءاتَي ِإَذا تَنِكُحوُىنَّ َأن ُكمَعَلي

    ِلُكم أَنَفُقواْ ٓٔ َحِكيم َعِليمٌ َوٱللَّوُ َنُكمبَي مُ كُ َيَ ٱللَّوِ مُ ُحك ذََٰArtinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah

    kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji

    (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika

    kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman Maka janganlah

    kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir.

    mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada

    29

    Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, h. 365

  • 19

    halal pula bagi mereka. dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar

    yang telah mereka bayar. dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila

    kamu bayar kepada mereka maharnya. dan janganlah kamu tetap berpegang

    pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu

    minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang

    telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara

    kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Mumthahanah

    [60] : 10)

    Kemudian dilanjutkan dalam al-Maidah ayat 5 berbunyi:

    ُم ِحلّ َوَطَعاُمُكملَُّكم ِحلّ ٱلِكتََٰبَ أُوتُواْ ٱلَِّذينَ َوطََعامُ ٱلطَّيِّبََٰتُ َلُكمُ أُِحلَّ َيومَ ٱل ُحَصنََٰتُ َّلَّ ِمنَ َوٱمل

    ؤِمنََٰتِ ُحَصنََٰتُ ٱمل

    ُ َغريَ ِصِنْيَ وَرُىنَّ حمُ أُجُ َءاتَيُتُموُىنَّ ِإَذا قَبِلُكم ِمن ٱلِكتََٰبَ أُوتُواْ ٱلَِّذينَ ِمنَ َوٱمل

    ِفحِ ٘ ٱلََِٰسرِينَ ِمنَ ٱألِخرَةِ يف َوُىوَ ۥَعَمُلوُ َحِبطَ فَ َقد بِٱإِليََٰنِ َيكُفر َوَمن َأخَدان ُمتَِّخِذي َواَل ْيَ ُمسََٰ Artinya: “Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan

    (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan

    kamu halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang

    menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita

    yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum

    kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud

    menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya

    gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-

    hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat Termasuk orang-

    orang merugi.”(QS. Al-Ma‟idah [5] : 5)

    Menurut Al-Qur‟an Al-Baqarah ayat 221 “Janganlah kamu menikahi

    wanita musyrik sampai ia beriman” dan Al-Mumthahanah ayat 10 “Janganlah

    kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan

    kafir” tersebut, pria dan wanita muslim dilarang kawin dengan wanita dan pria

    musyrik dan kafir, sebab illat-nya menurut Al-Baqarah ayat 221 “Orang musyrik

    dan orang kafir itu membawa kamu ke neraka sedang Allah membawa kamu ke

    Syurga dan ampunan”. Kemudian didalam Al-Ma‟idah ayat 5 “Dihalalkan

    mengawini wanita beriman yang baik-baik dan ahl-Kitab yang baik-baik”.

    Didalam ayat ini Allah memberikan dispensasi tentang kebolehan seorang pria

    menikahi wanita ahli-kitab yaitu wanita dari Yahudi dan Nashrani. Dikatakan

    bahwa hak dan kewenangan yang dimiliki oleh pria ini boleh dipergunakan atau

    tidak dipergunakan tergantung pada situasi dan kondisi dirinya. Tapi hak tersebut

  • 20

    juga tidak boleh ditafsirkan secara eksplisit diberikan pada pria muslim itu secara

    implisit juga diberikan pula pada perempuan muslim untuk bisa menikah dengan

    pria non-muslim, karena dalam Al-Ma‟idah ayat 5 ini juga secara jelas

    menyatakan bahwa dispensasi itu hanya diberikan pada pria muslim tidak kepada

    wanita muslim.30

    Dalam istilah modernnya adalah nikah campuran atau nikah antara yang

    berbeda keyakinan. Perkawinan yang dibenarkan dalam Islam adalah perkawinan

    antara seorang laki-laki muslim dengan perempuan non-muslim yang ahli-kitab,

    bukan wanita musyrik. Tapi, sekalipun pada dasarnya perkawinan antara laki-laki

    muslim dengan perempuan non-muslim itu dibolehkan, menurut Prof. Huzairin,

    yang dinukil dalam Buku Kajian Fiqih Nabawi dan Fiqih Kontemporer karya

    Hassan Saleh, mengatakan bahwa penggunaan dispensasi sempit ini ada

    syaratnya, yaitu apabila di tempat tinggal laki-laki Muslim tersebut perempuan

    Muslimnya sangat sedikit, lebih banyak perempuan ahli-kitabnya. Dengan

    demikian, di Indonesia yang memang mayoritas perempuannya muslim, maka

    alangkah baiknya laki-laki muslim menikahi perempuan yang juga muslim pula,

    karena syarat dispensasi itu tidak terpenuhi.31

    Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili pun menerangkan dalam isi kitabnya Fiqih

    Islam wa Adillatuhu, tentang perempuan-perempuan yang dilarang dinikahi,

    bahwa menurut Mazhab Hanafi dan Syafi‟i serta mazhab yang lainnya

    memasukkan perempuan yang murtad kedalam golongan musyrik dan tidak ada

    seorang muslim pun yang boleh menikahinya. Karena ia tidak mengakui Islam

    dan tidak pula percaya pada Allah, dia pun tidak menyadari dan mengakui

    kemurtadannya sehingga dia mempunyai pilihan antara Islam atau mati. Yang

    artinya juga bahwa murtad itu berarti mati dan tidak diperbolehkan menikahi

    orang mati. Pada intinya, kesepakatan fuqaha bahwa dilarang menikah dengan

    perempuan selain ahli kitab, diantaranya perempuan Watsaniyyah, yaitu

    30

    Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama dalam Perspektif Fiqih dan Kompilasi Hukum

    Islam (Jakarta: Qolbun Salim, 2005) h. 34-35

    31 Hassan Saleh, Kajian Fiqh Nabawi dan Fiqh Kontemporer, (Jakarta, Rajagrafindo

    Persada, 2008). h. 332-335

  • 21

    perempuan-perempuan penyembah berhala dan perempuan Majusiyyah, yaitu

    perempuan-perempuan penyembah api. Larangan ini dikarenakan tidak adanya

    kitab yang mereka percayai dan bukan pula termasuk agama samawi (langit).

    Keterangan lebih lanjut, bahwa menikahi perempuan-perempuan itu (musyrik)

    tidaklah mendatangkan suatu keharmonisan, ketenangan dan kerjasama diantara

    suami dan istri. Karena dimungkinkan bahwa perbedaan akidah akan membawa

    kedalam kegelisahan dan ketidak tenangan, serta perpecahan. Sehingga tujuan

    utama dibentuknya keluarga yang berdirin diatas kasih sayang dan cinta untuk

    mewujudkan keluarga yang sakinah mawaddah wa rohmah ini tidak

    dimungkinkan terwujud.32

    Sayyid Sabiq dalam kitabnya yang berjudul “Fikih Sunnah” menukil

    pendapat Ibnu Mundzir yang berkata, “Tidaklah sah pendapat salah seorang

    sahabat yang mengatakan bahwa Allah swt. mengharamkan pernikahan muslim

    dengan perempuan ahli kitab.” Perihal itu menanggapi pernyataan Ibnu Umar

    yang ketika ditanya mengenai hukum seorang Muslim yang menikahi seorang

    perempuan Nasrani dan Yahudi, ia mengkiaskan bahwa jika menikahi wanita

    musyrik saja haram, lalu kemusyrikan apa yang lebih tinggi dan berbahaya dari

    mengakui Nabi Isa, a.s sebagai Tuhan, padahal ia hanyalah hamba Allah. Secara

    tidak langsung Ibnu Umar mempersamakan bahwa perempuan Nashrani dan

    Yahudi (ahli kitab) adalah perempuan musyrik juga. Masih dalam buku Fikih

    Sunnah Sayyid Sabiq bahwa Imam Qurthubi menyangkal pendapat Ibnu Umar

    tersebut karena bertolak belakang dengan peendapat mayoritas ulama tentang

    halalnya menikahi wanita ahli kitab, pendapat ini juga didukung pendapat para

    sahabat dan tabi‟in secara keseluruhan, seperti: Utsman bin Affan, Thalhah, Ibnu

    Abbas, Jabir dan Hudzaifah dari golongan para sahabat. Dan dari golongan para

    tabi‟in adalah Sa‟id bin Musayyib, Said bin Jubair, Hasan, Mujahid, Thawus,

    Ikrimah, Sya‟hi, Dhahhak, dan berbagai ulama fikih di berbagai negeri.33

    32

    Wahbah Az-Zuhaili, Kitab Al-Fqhu al-Islam wa Adillatuhu, Juz 9 Terj. Abdul Hayyie

    al-Kattani, dkk (Jakarta: Gema Insani, 2011) cet.kesepuluh, h. 147

    33 Sayyid Sabiq, Kitab Fikih Sunnah, Terj. Abdurrahim dan Masrukhin (Jakarta,

    Cakrawala Publishing, 2008) h. 336

  • 22

    Tapi, secara khusus Sayyid Sabiq menganjurkan untuk tidak menikahi

    wanita ahli kitab, karena walaupun dalam islam itu diperbolehkan tapi

    menurutnya hukum menikahi wanita ahli kitab masuk dalam kategori makruh

    (lebih baik dihindari). Dalam pertimbangan bahwa, ditakutkan jika seorang laki-

    laki bisa condong berlebihan kepada pihak perempuannya bisa-bisa menjadikan ia

    berpaling dari aqidah asalnya (Islam). Selain itu, makruh juga hukumnya karena

    disebabkan bisa memperbanyak komunitas non-Muslim.34

    C. Landasan Yuridis Nikah Beda Agama

    Agama merupakan bentuk eksistensi, partisipasi dan fungsi dalam

    membangun dan mengembangkan negara bangsa Indonesia, maka peran penting

    tersebut juga menjadi hal sebaliknya manakala negara pun juga mengatur tentang

    pemberlakuan hukum agama terhadap penerapannya dalam masyarakat beragama

    atau umat beragama. Sebagaimana negara juga mengatur perundang-undangan

    tentang pernikahan di Indonesia, pada tempat tertentu, waktu tertentu dan dalam

    konteks tertentu. Maka, peraturan tersebut berlaku dan diberlakukan pada waktu,

    tempat dan dalam konteks tertentu pula.35

    Para penyusun Kompilasi Hukum Islam (KHI) berpendapat bahwa

    diperlukannya prinsip dalam penyusunan KHI yang ditetapkan, diantara lain:36

    1. Kompilasi Hukum Islam merupakan awal pembaharuan Hukum Islam di

    Indonesia

    2. Perjalanan sejarah bangsa Indonesia pada umumnya dan masyarakat Islam

    khususnya masih jauh, karenanya disadari keterbatasan kemampuan utuk

    berbuat sempurna

    3. Hasil rumusan dan sistematika Kompilasi Hukum Islam, adalah sebagai

    Trail Solving (mencoba memecahkan) kebekuan masa kini.

    34

    Sayyid Sabiq, Kitab Fikih Sunnah, h. 337

    35 Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia, h. 132

    36 Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama, h. 144

  • 23

    4. Kompilasi Hukum Islam merupakan hasil karya, nilai yang dikandungnya

    memiliki nilai warisan untuk generasi yang akan datang.

    Sementara, mengenai Nikah Beda Agama KHI menempatkan pada

    larangan perkawinan. Yang menyinggung pernikahan beda agama terdapat dalam

    dua pasal, yakni Pasal 40 (c), dan pada Pasal 44.37

    Dalam pasal 40 (c) “Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang

    pria dengan seorang wanita karena keaadaan tertentu: (c) Seorang wanita yang

    tidak beragama Islam.”. dan pada Pasal 44 berbunyi: “Seorang wanita Islam

    dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama

    Islam.”38

    Drs. H. A. Basiq Djalil menjelaskan bahwa kedua pasal diatas dengan jelas

    melarang seorang muslim menikahi seorang non-muslim lainnya. Tanpa

    membedakan laki-laki atau perempuan, wanita musyrik atau ahli-kitab sekalipun.

    Dalam hal ini KHI memperlihatkan ketentuannya yang bertolak belakang dengan

    pendapat para jumhur dan para fuqaha lainnya atau dalam istilahnya ulama klasik.

    Dalam hal ini pula, KHI mengambil kaidah syaddua al-dzari‟ah (Menutup

    Peluang), yaitu meninggalkan atau menjauhi sesuatu yang pada dasarnya boleh

    atau halal, dimana terdapat resiko tinggi atau nilai syubhat dalam kebolehannya

    yang bisa mendatangkan mafsadah. Jadi, jika peluang mafsadah dan mudharat

    nya lebih tinggi, daripada nilai maslahat-nya maka lebih baik ditinggalkan untuk

    berjaga-jaga.Sikap KHI disini pun adalah sikap yang penuh kehati-hatian yang ini

    diakui oleh para jumhur dan sebagian sahabat lainnya. Seperti contoh pada Masa

    kekhalifahan Umar bin Khattab yang menghimbau sahabat-sahabat lainnya untuk

    menceraikan istri-istri mereka yang tidak mau masuk Islam (agar tidak membawa

    suaminya kepada kemusyrikan dan kelemahan iman).39

    37

    Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama, h. 145

    38 Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung, Nuansa Aulia, 2015),

    h. 12-13

    39 Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama, 146

  • 24

    Saddu dzara‟i atau dzari‟ah yang dimaksudkan dalam Ilmu Ushul Fiqih

    adalah:

    ْسِئَلُة اَلَِّّت ظَاِىرَُىا اإِلبَاَحُة َويَ تَ َوَصلُ َ ِِبَا إَل ِفْعِل اْلَمْحظُْوِر. امل

    “ Suatu masalah yang tampaknya mubah, tetapi (kemungkinan) bisa

    menyampaikan kepada perkara yang terlarang (haram).”

    Sesuatu dikatakan bisa menjerumuskan dalam bahaya (mafsadah) dilihat

    dari segi bentuknya dibagi menjadi tiga:40

    1 Sesuatu yang jika dilakukan, biasanya akan terbawa kepada yang

    terlarang.

    2 Sesuatu yang jika dilakukan tidak terbawa kepada yang terlarang

    3 Sesuatu yang jika dilakukan menurut pertimbangan adalah sama

    kemungkinannya untuk terbawa pada yang terlarang dan pada yang

    tidak terlarang.

    Alasan ini juga selaras dengan hadis Nabi yang berbunyi:

    ْع َمايُرِيْ ُبَك إَل َما يُرِيْ ُبَك . )راوه الرتمزى(د“Tinggalkanlah sesuatu yang meragukan engkau kepada sesuatu yang tidak

    meragukanmu.” (HR. At-Tirmidzhi)

    Terkadang banyak persepsi yang salah dalam membedakan nikah beda

    agama dan nikah campuran dalam Undang-undang Perkawinan tahun 1974,

    bahkan terkesan menyamakan definisi keduanya. Karena sesungguhnya yang

    diatur dalam Undang-undang itu adalah nikah campuran antar warga negara yang

    tunduk pada hukum yang berbeda (hukum negara). Seperti diuraikan pada Pasal

    57 yang berbunyi: “Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini

    ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena

    perbedaan kewarga-negaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”..

    Selain mengacu pada Intruksi Presiden (Inpres) No. 1 tahun 1991 tentang

    Kompilasi Hukum Islam yang memang ditujukan pada orang-orang Indonesia

    yang mayoritas muslim sebagai dasar pengambilan hukum islam dalam penerapan

    40

    Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih (Jakarta, Prenada Media Group, 2014) Cet. Ke-2, h.

    169-170

  • 25

    UU Perkawinan tahun 1974. Hukum positif indonesia juga mengatur perihal

    pernikahan yang dilakukan oleh warganya. Dalam KUHPer Bab IV Pasal 26

    berbunyi bahwa ”Undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam

    hubungan-hubungan perdata” jadi dalam undang-undang ini menyatakan bahwa

    yang diatur dalam KUHPer ini hanya sebatas pertalian perdata atau ikatan lahiriah

    yang dicatatkan tertulis oleh pegawai pencatatan sipil antara laki-laki dan

    perempuan dan tidak ada sangkut pautnya dengan agama dalam aturannya. Jadi,

    dalam KUHPer sendiri tidak diatur secara eksplisit apakah pernikahan beda

    agama itu diperbolehkan atau tidak.

    Kembali lagi pada Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa

    perkawinan adalah “ ...ikatan lahir batin antara pria dan wanita dengan tujuan

    membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

    Esa”. Dalam undang-undang ini lebih memperjelas bahwa pernikahan itu tidak

    hanya perihal perikatan perdata atau hubungan lahiriah saja tapi juga menyangkut

    hubungan bathiniyah. Lalu diteruskan lagi pada Pasal 2, yang berbunyi bahwa “

    .... perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing

    agama dan kepercayaannya itu.” bahkan disini lebih mempertegas bahwa dalam

    sebuah hubungan perkawinan itu tidak akan lepas dari hukum masing-masing

    agamanya dan campur tangan lainnya. Pasal ini juga memperkuat bahwa tidak sah

    suatu pernikahan apabila tidak didasari oleh hukum agama masing-masing. Dan

    tentunya, sinergitas itu hanya terwujud apabila masih dalam lingkup satu frame

    (agama yang sama). Undang-undang ini ditujukan bukan hanya untuk umat islam

    saja, melainkan umat beragama lainnya dikarenakan keumuman dari penulisan

    kata pada pasal tersebut mengacu pada ... agama masing-masing dan bukan hanya

    agama islam saja.

    Jadi, berdasarkan uraian diatas, tidak ada satupun pasal atau undang-

    undang yang dengan jelas memperbolehkan terjadinya nikah beda agama. Bahkan

    dari telaah bunyi pasal-pasal tersebut mengacu pada pelarangan dari nikah beda

    agama itu. KHI pun melarang dengan tegas dan secara jelas juga tertulis dalam

    kompilasinya.

  • 26

    D. Rukun dan Syarat Sah Nikah

    Rukun dan syarat sangatlah penting diketahui sebelum melangsungkan

    sebuah pernikahan, karena sah atau tidaknya sebuah pernikahan sangat ditentukan

    dengan kelengkapan rukun dan pemenuhan syarat pernikahan. Bahkan, jika rukun

    dan syarat pernikahan tidak dilengkapi tanpa sebab tertentu bisa menjadikan

    alasan pembatalan pernikahan atau sebab dari fasakh-nya pernikahan. Rukun

    adalah sesuatu yang berada didalam hakikat dan merupakan bagian atau unsur

    yang mewujudkannya, sedangkan syarat adalah sesuatu yang berada diluarnya dan

    merupakan unsurnya. 41

    Para ulama juga berbeda pendapat dalam menentukan mana rukun dan

    mana syarat ini, tapi letak perbedaannya tidak bersifat substansial namun lebih

    karena perbedaan dalam memandang fokus pernikahan saja.

    Rukun pernikahan ada lima, yaitu:42

    1. Calon mempelai laki-laki

    2. Calon mempelai perempuan

    3. Wali dari mempelai perempuan

    4. Dua orang saksi yang adil

    5. Shigot / Ijab yang dilakukan oleh wali dan kabul yang dilakukan suami

    Selain rukun nikah yang ditetapkan oleh dua madzhab besar yaitu,

    Malikiyah dan Syafi‟iyah dengan 4 (empat) rukun nikah yang sama persis dan 1

    (satu) rukun nikah yang berbeda, yaitu terletak pada rukun tentang mahar dari

    Malikiyah dan rukun tentang dua orang saksi dari Syafi‟iyah. Sementara di

    mazhab Hanafiyah mempunyai pendirian tegas tentang rukun nikah („aqd al-

    zawaj) itu cuma dua saja yaitu, ijab dan kabul (al ijab wa al qobul). Disebutkan

    bahwa banyakn juga ulama-ulama fiqih “non-mazhab” di zaman kontemporer ini

    yang membatasi rukun nikah pada pembahasan “ijab dan kabul” saja dan

    41

    Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta: Prenada Media,

    2007) h.59

    42 Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia (Jakarta: Prenada Media, 2016) h. 39

  • 27

    menempatkan yang lain pada syarat nikah atau bahkan tidak masuk dalam syarat

    sah nikah. Tapi, bukan berarti ulama-ulama tersebut menolak atau tidak mengakui

    keberadaan wali, saksi, dan mahar dalam suatu pernikahan. Lebih tepatnya,

    sebagian ulama memang menempatkan ketiadaan wali, saksi dan mahar itu hanya

    sekedar dalam keadaan tertentu atau syarat-syarat khusus yang tidak bisa

    dielakkan sehingga diperbolehkan ketiadaannya. Sehingga dapat disimpulkan

    bahwa rukun nikah yang disepakati oleh keempat mazhab ialah rukun al-ijab wa

    al-qobul (Ijab-kabul).43

    Syarat-syarat pernikahan meliputi syarat mempelai laki-laki dan

    perempuan, syarat wali dan kedua saksi hingga syarat ijab kabul. Syarat-syarat

    pernikahan merupakan dasar dari sahnya pernikahan. Jika syarat-syarat ini

    terpenuhi, maka pernikahan tersebut sah dan menimbulkan kewajiban dan hak-

    hak pernikahan.44

    Dan selain syarat diatas untuk sahnya suatu akad pernikahan, disyaratkan

    tidak ada larangan-larangan pada calon istri untuk dinikahi. Diantara syarat

    diharamkan nya perempuan untuk dinikahi selain dari keharaman menurut

    nasabnya, ada juga halangan atau larangan pernikahan dikarenakan sebab-sebab

    tertentu. Salah satu sebab tertentu itu adalah sebab perbedaan kepercayaan, iman

    atau agama. 45

    ُتُكم َعَليُكمُحرَِّمت ُتُكم َوبَ َناُتُكم أُمَّهََٰ ُتُكم َوَأَخوََٰ ُتُكم َوَعمََّٰ لََٰ ُتُكُم ٱأُلختِ َوبَ َناتُ ٱأَلخِ َوبَ َناتُ َوخََٰ َوأُمَّهََُٰتُكم أَرَضعَنُكمٱلََِِّٰت َعةِ مِّنَ َوَأَخوََٰ تُ ٱلرَّضََٰ ٱلََِِّٰت نَِّساِئُكمُ مِّن ُحُجورُِكم يف ٱلََِِّٰت َوَربََِٰئُبُكمُ ُكمِنَسائِ َوأُمَّهََِٰبُكم ِمن ٱلَِّذينَ أَبَناِئُكمُ ِئلُ َحلََٰ وَ َعَليُكم ُجَناحَ َفاَل ِِبِنَّ َدَخلُتم َتُكونُواْ ّلَّ فَِإن ِِبِنَّ َدَخلُتم َوَأن َأصلََٰ

    ُحَصنََٰتُ ۞ ٖٕا رَِّحيما َغُفور َكانَ ٱللَّوَ ِإنَّ َسَلفَ َقد َما ِإالَّ ٱأُلخَتْيِ َبْيَ َمُعواْ تَ ِإالَّ ٱلنَِّساءِ ِمنَ َوٱمل

    ِلُكم َورَاءَ مَّا َلُكم َوأُِحلَّ َعَليُكم ٱللَّوِ ِكتََٰبَ أَيََُٰنُكم َمَلَكت َما ِلُكم تَبتَ ِفُغواْ َأن ذََٰ ِصِنْيَ بَِأموََٰ َغريَ حمُّ

    43

    Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia, h. 38-39

    44 Djamaan Nur, Fiqih Munakaha, (Semarang: Dina Utama Semarang, 1993) h. 61

    45 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab h.364

  • 28

    ِفِحْيَ بَعدِ ِمن ۦبِوِ تَ رَََٰضيُتم ِفيَما َعَليُكم ُجَناحَ َواَل َفرِيَضة ُأُجوَرُىنَّ اتُوُىنَّ َ فَ نَّ ِمنهُ ۦبِوِ ٱسَتمَتعُتم َفَما ُمسََٰ ٕٗا َحِكيم َعِليًما َكانَ ٱللَّوَ ِإنَّ ِة ٱلَفرِيضَ

    Artinya: “ ...diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu

    yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara

    bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak

    perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari

    saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara

    perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang

    dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu

    belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak

    berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak

    kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan

    yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya

    Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. dan (diharamkan juga kamu

    mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah

    telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan Dihalalkan

    bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu

    untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati

    (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan

    sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan Tiadalah mengapa bagi kamu terhadap

    sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu.

    Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisaa‟

    [4]: 23-24)

    Berdasarkan ayat diatas, ajaran Islam menyatakan bahwa larangan

    pernikahan meliputi:46

    1 Larangan yang berlaku selamanya, yaitu larangan perkawinan

    karena hubungan darah (keturunan), karena sepersusuan, karena

    hubungan mertua, dan sebagai anak tiri.

    2 Larangan yang berlaku sementara, yaitu larangan perkawinan

    karena perbedaan agama, karena masih dalam iddah, masih sebagai

    istri atau suami orang lain, sedang melakukan ihram, dan istri yang

    ditalak tiga.

    Menurut Firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 221 pun menjelaskan

    bahwa “ Jangan engkau menikahi orang-orang musyrik diantara kamu sebelum ia

    beriman ...” yang ini merupakan dasar bahwa larangan ini bersifat sementara dan

    46

    Hassan Saleh, Kajian Fiqh Nabawi dan Fiqh Kontemporer, h. 306

  • 29

    tidak untuk selamanya. Dilarang menikahi perempuan-perempuan (yang masih

    dalam keadaan) musyrik, hingga ia beriman (lalu dibolehkan karena ia sudah

    beriman kepada Allah).

  • 30

    BAB III

    BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN NURCHOLIS MADJID DAN

    MUHAMMAD AMIN SUMA

    A. Biografi Nurcholis Madjid

    1. Latar Belakang dan Pendidikan

    Nurcholish Madjid lahir pada tanggal 17 Maret 1939 M, di desa Mojoanyar,

    Jombang, Jawa Timur. Ayahnya K.H. Abdul Madjid, dikenal sebagai kyai

    terpandang dan juga seorang pemimpin Masyumi, partai berideologi Islam pada

    saat itu. Nurcholish Madjid kecil pernah bermimpi menjadi seorang masinis,

    karena pada waktu itu kereta api merupakan kendaraan rakyat ter-populer. Tapi,

    dikemudian hari beliau tidak hanya menjadi „masinis kereta api‟ bahkan menjadi

    „Bapak Lokomotif Pembaharu Islam‟ yang fenomenal. 1

    Wacana-wacana para pendiri bangsa, seperti H.O.S Cokroaminoto dengan

    ideologi Islam dan Sosialisme, H.Agus Salim dengan ide keadilan sosial

    (Sosialisme) yang berlandaskan ajaran-ajaran agama dan pemikiran-pemikiran

    founding father yang lain, itu menjadi daya dorong untuk memberikan andil

    dalam pemikiran Nurcholis Madjid dalam membangun upaya pencapaian keadilan

    sosial bagi seluruh rakyat indonesia. Melalui telaah pemikiran-pemikiran diatas

    mampu mematangkan Nurcholish Madjid menjadi sosok seorang pemikir dan

    cendekiawan muslim.2

    Pendidikan dasar Nurcholish ditempuh di Madrasah yang dikelola ayahnya,

    yaitu Madrasah al-Wathaniyah (Sekolah Patriot) pada sorenya, dan paginya di

    Sekolah Rakyat (SR). Di madrasah, pelajarannya diprioritaskan pada ilmu nahwu

    dan shara maka dari itu tidak heran sejak dini ia menguasai dan hafal kitab-kitab

    dasar seperti Aqidah al-Awam dan Imrithi. Ia juga termasuk murid yang

    1 Nurcholish Madjid, dkk. Fiqih Lintas Agama, h. 271

    2 Nurcholish Madjid, dkk. Fiqih Lintas Agama, h. 271

  • 31

    berprestasi cemerlang, walaupun sempat terlambat masuk Sekolah Rakyat namun

    ia mampu menyelesaikannya dalam waktu lima tahun (1953) di umur 14 tahun.3

    Pada tahun 1954, Nurcholish melanjutkan pendidikan SMP nya di Peantren

    Darul Ulum, Rejoso, Jombang. Disana ia langsung dimasukkan ke kelas enam dan

    hanya mengulang banyak pelajaran yang telah dikuasainya dulu. Pada waktu itu

    banyak tokoh NU yang keluar dari Masyumi, tapi ayah Nurcholish tetap bertahan.

    Menurut ayahnya, sikap konsistensi pilihan partai itu dikarenakan „fatwa‟ Kiai

    Hasyim Asy‟ari. Bahkan ayahnya berucap “Lho, saya ini ikut Pak Natsir dalam

    soal politik dan ikut Kiai Hasyim Asy‟ari dalm soal-soal Agama”. Sehingga ada

    seorang kiai yang menyindirnya dan tidak menghargainya, padahal Nurcholis

    kecil sangat berbakat dan sering mendapatkan juara. Karena merasa tidak betah ia

    akhirnya pindah, Nurcholish dipindahkan ke Pesantren Gontor, sebuah pesantren

    modern, bahkan sangat modern. Secara kognitif dan motorik, di pesantren ini ia

    terlatih untuk berpikiran bebas, berwawasan luas dan komparatif. Menurutnya,

    kitab Bidayatul Mujtahid karangan Ibnu Rusyd memiliki andil dalam hidupnya

    untuk berwawasan komparatif dan tidak fanatik mazhab. Di Gontor ini pula, ia

    mengenal Tasawuf Modern-nya Buya Hamka, Civillization on Trial-nya Arnold

    Tonybee, dan Personal Psychology-nya Frits Kunkle. Ia lulus dari Gontor pada

    tahun 1960.4

    Pada tahun 1961. Nurcholis resmi menjadi mahasiswa di Fakultas Adab

    IAIN Ciputat, Jakarta. Ia memilih Fakultas ini karena memang dari Gontor ia

    sudah mempunyai bekal Bahasa Arab yang mumpuni. Bahkan, di kampus ia juga

    aktif di Dewan Mahasiswa (DEMA) sebagai Ketua Departemen Hubungan Luar

    Negeri karena mempunyai kemampuan Bahasa Inggris yang lancar. Walaupun ia

    sangat aktif dalam keorganisasian, ia mengaku tak pernah sekalipun ikut

    melakukan demonstari. Ia lulus dari IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan

    skripsi sarjananya berjudul: Al-Qur‟an, Arabiy-un Lughat-an wa Alaiy-un Ma‟nan

    3Mohammad Monib, Islam dan Hak Asasi Manusia dalam Pandangan Nurcholish

    Madjid, (Jakarta: Gramedia, 2011), h. 26

    4 Mohammad Monib, Islam dan Hak Asasi Manusia dalam Pandangan Nurcholish

    Madjid, h. 27-28

  • 32

    (al-Qur‟an dari Segi Bahasa bersifat lokal, tapi dari segi Makna bersifat

    Universal).5

    Nurcholish Madjid pernah menduduki kepemimpinan dalam Himpunan

    Mahasiswa Islam (HMI) selama dua periode, pertama pada periode 1966-1968

    dan yang kedua pada tahun 1969-1971. Dalam masa-masa inilah Nurcholish

    Mad