bab i - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/621/1/laporan_hasil_penelitian_(pelaksanaan... · adalah...

50

Upload: vuhanh

Post on 06-Feb-2018

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/621/1/Laporan_Hasil_Penelitian_(PELAKSANAAN... · adalah kekhawatiran terjadinya perpecahan bangsa akibat dari pertikaian antar umat beragama
Page 2: BAB I - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/621/1/Laporan_Hasil_Penelitian_(PELAKSANAAN... · adalah kekhawatiran terjadinya perpecahan bangsa akibat dari pertikaian antar umat beragama
Page 3: BAB I - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/621/1/Laporan_Hasil_Penelitian_(PELAKSANAAN... · adalah kekhawatiran terjadinya perpecahan bangsa akibat dari pertikaian antar umat beragama

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Harian Kompas pernah menampilkan hasil polling ke berbagai kota besar di Indonesia

tentang “persoalan bangsa yang paling mengkhawatirkan”. Persentase terbesar (40,1%)

adalah kekhawatiran terjadinya perpecahan bangsa akibat dari pertikaian antar umat

beragama. Ada dua hal yang perlu diperhatikan; (1) masyarakat Indonesia yang sangat

heterogen dan majemuk dalam segala segi, hubungan antar umat memegang peran

penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, 2) hubungan antar umat penting

sebagai usaha preventif munculnya kerusuhan dan tindak kekerasan yang berakibat pada

disintegrasi bangsa. Seperti dikemukakan oleh Furnivall bahwa masyarakat-masyarakat

plural Asia Tenggara khususnya Indonesia akan terjerumus ke dalam anarki jika gagal

menemukan formula federasi pluralis yang memadai ( Azyumardi Azra, 2007).

Kondisi penuh gejolak dan kekerasan akhir-ahkir ini, patut dipikirkan upaya-upaya

perdamaian dan solidaritas di antara anggota masyarakat. Setiap orang dengan teguh mau

dan mampu terlibat membangun masyarakat persaudaraan yang semakin luas dan

inklusif. Menolak setiap tindak kekerasan, ketidakadilan, dan bentuk-bentuk kejahatan

lainnya. Diperlukan pembinaan, kondisi dan fasilitas agar tercipta budaya damai,

menghormati hak-hak asasi manusia serta kemerdekaan, menghargai setiap pribadi, tetapi

juga untuk menjamin semakin kuatnya ikatan-ikatan sosial, karena setiap orang harus

memperhatikan sesamanya tanpa diskriminasi.

Merupakan kebutuhan mendesak untuk mengajarkan kepada kaum muda nilai-nilai

fundamental kemanusiaan dan akhlak mulia yang amat penting bagi kehidupan pribadi

dan komunitasnya. Perlu upaya mengembangkan iman dan kecerdasan spiritual, agar

kaum muda tidak terkotak-kotak dalam budaya dan agama yang saling bertentangan,

yang dapat memecah kesatuan bangsa. Menurut Azyumardi Azra (2007) harus diupaya-

kan secara sistematis, programatis, integrated, dan berkesinambungan pendidikan

multikultural yang diselenggarakan melalui seluruh lembaga pendidikan baik formal, non

formal, bahkan informal dalam masyarakat luas.

Page 4: BAB I - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/621/1/Laporan_Hasil_Penelitian_(PELAKSANAAN... · adalah kekhawatiran terjadinya perpecahan bangsa akibat dari pertikaian antar umat beragama

2

Dalam praksis pendidikan beragama di sekolah dapat diidentifikasi sejumlah persoal-

an (S. Belen, 2007) bahwa; (1) Pendidikan agama umumnya dilakukan secara eksklusif.

Waktu berdoa, pelaksanaan ibadah, doa pada awal dan akhir jam sekolah, doa dalam

forum bersama, pelaksanaan kewajiban keagamaan tertentu, serta peringatan hari besar

keagamaan, didominasi oleh agama mayoritas di sekolah. Sedangkan pelayanan keaga-

maan bagi siswa-siswa kelompok minoritas terabaikan. Kondisi demikian sebagai bentuk

diskriminasi bagi siswa. (2) Kehidupan beragama yang diskriminatif dapat menyebabkan

siswa-siswa SD kelas-kelas awal yang sebenarnya belum mampu membedakan agamanya

dengan agama teman-temannya, mendapatkan pengalaman bahwa ternyata agama

memisah-misahkan mereka. Pada jenjang selanjutnya sampai sekolah menengah tingkat

atas, perasaan engkau termasuk kelompok saya (in-group) sedangkan ia tidak termasuk

kelompok kita (out-group) dapat menguat. Akibat selanjutnya dapat terpupuk perasaan

out-group harus dikalahkan, sedangkan in-group harus dimenangkan dalam kancah

kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian, pelajaran agama dan berbagai pelayanan

kehidupan beragama di sekolah tidak berkontribusi mempersatukan tetapi justru

memecah belah masyarakat yang pluralistik. (3) Pelajaran agama dan berbagai bentuk

pelayanan keagamaan yang lain cenderung bersifat simbolik, ritualistik, dan legal-formal.

Hal ini dapat menghambat perkembangan kecerdasan spiritual dan perkembangan nilai-

nilai religius yang merupakan inti dari pendidikan agama.

Pendidikan agama yang sejati adalah pendidikan hati (Magnis Suseno, 2006; S. Belen,

2007). Pendidikan hati melibatkan kemampuan menghidupkan kebenaran yang paling

dalam guna mewujudkan hal terbaik, utuh, dan paling manusiawi dalam batin. Gagasan,

energi, nilai, visi, dorongan, dan arah panggilan hidup mengalir dari dalam, dari suatu

keadaan kesadaran yang hidup bersama cinta-kasih. Pendidikan hati bersifat inklusif dan

dapat merupakan common denominator bagi berragam kepercayaan. Agama hanya

memberi petunjuk umum, umat lalu lebih didewasakan, inisiatif dikembangkan, sehingga

masyarakat bisa lebih maju dan dinamis (Al Andang, 1998). Pemimpin agamapun

dituntut untuk mempunyai pandangan yang lebih universal. Untuk itu, pendidikan agama

seharusnya mampu berperan sebagai pendidikan hati, yang dapat mengembangkan ke-

mampuan siswa akan hal-hal umum yang sama bagi beragam agama, agar tercipta buda-

ya damai, menghormati hak-hak asasi manusia, kemerdekaan, menghargai setiap pribadi.

Page 5: BAB I - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/621/1/Laporan_Hasil_Penelitian_(PELAKSANAAN... · adalah kekhawatiran terjadinya perpecahan bangsa akibat dari pertikaian antar umat beragama

3

Di SD peranan media dan sumber-sumber belajar amat penting dalam kegiatan

pembelajaran. Media dan sumber-sumber belajar pendidikan agama sangat diperlukan

oleh guru-guru agama sebagai dasar untuk menentukan aktivitas belajar siswa.

Kurikulum, buku teks, media dan kegiatan pembelajaran merupakan satu kesatuan yang

saling terkait. Tujuan, konsep, ketrampilan dan nilai-nilai dasar yang termuat di dalam

kurikulum dituangkan ke dalam buku teks, kemudian dimanfaatkan guru dalam

pembelajaran.

Hasil penelitian tahun pertama (2009) mengungkapkan bahwa secara umum dalam

mendesain pesan buku-buku teks pendidikan agama SD sudah sesuai logika pikir dan

konteks lingkungan anak, namun belum tampak jelas upaya mengembangkan potensi

mental pada diri anak dalam menciptakan, memelihara, dan mentransformasikan arti

melalui pendekatan kognitif-struktural yang mampu mengarah pada perkembangan iman

anak secara bertahap menuju pada terbentuknya iman otonom. Strategi pembelajaran

yang berlangsung selama inipun masih terkesan sebagai misi penerusan informasi (R.

Joni, 2007). Fakta, konsep, dan prinsip-prinsip disajikan dalam bentuk lepas-lepas tanpa

ada kaitan dengan kehidupan siswa. Upaya agar pembelajaran mengarah pada pendekatan

integratif juga belum sepenuhnya terlaksana. Tema-tema yang dipelajari berhenti sampai

pada pengenalan kognitif tidak sampai pada pengembangan kemampuan/potensi anak

secara utuh, apalagi sampai pada refleksi dan kontemplasi.

Tercapainya misi pendidikan agama berkaitan erat dengan kurikulum, penyediaan

buku teks, media/sumber belajar dan pendekatan pembelajaran. Kurikulum formal

dijabarkan ke dalam kurikulum instruksional berupa seperangkat skenario pembelajaran

pada jam-jam pertemuan sebagai bentuk implementasi kurikulum. Interaksi pembelajaran

yang tergelar dalam sesi-sesi pembelajaran sebagai kurikulum eksperiensial berkaitan

dengan apa yang dikerjakan guru, apa yang dikerjakan siswa, dan bagaimana interaksi

keduanya. Pengalaman belajar yang mendidik tidak sebatas mengacu pada GBPP, namun

lebih pada proses keterbentukan berbagai pengetahuan, kemampuan, sikap dan nilai yang

tersurat dan tersirat sebagai tujuan utuh pendidikan (R. Joni, 2005). Perspektif

perkembangan siswa penting sebagai kerangka pikir pembelajaran (developmentally

appropriate practice) (Gardner, 1995; R. Joni, 2005).

Page 6: BAB I - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/621/1/Laporan_Hasil_Penelitian_(PELAKSANAAN... · adalah kekhawatiran terjadinya perpecahan bangsa akibat dari pertikaian antar umat beragama

4

Untuk itu, pembelajaran semestinya dilakukan sesuai dengan taraf perkembangan

siswa dengan menggunakan pendekatan induktif-konstruktivistik. Strategi pembelajaran

integrated learning, cooperative learning, pembelajaran berpijak pada konsep awal

siswa, melalui penilaian portofolio, melakukan refleksi, semua ini sangat dianjurkan.

Pembelajaran demikian disamping mampu mencapai tujuan pembelajaran (insructional

effects), tujuan ikutan (nurturants effects) juga dapat dicapai (Joyce & Weil, 1992).

Komponen-komponen yang berpengaruh terhadap proses pembelajaran meliputi guru,

materi, pola interaksi, media/sumber belajar/bahan ajar dan teknologi, situasi belajar,

serta sistem pembelajaran. Komponen guru dapat berupa gaya kognitif, latar belakang

pendidikan, pengalaman mengajar, dan lain-lain. Informasi mengenai gaya kognitif

bermanfaat untuk mengetahui bagaimana cara guru mengorganisasi materi pembelajaran.

Guru dengan gaya kognitif field-independent lebih memiliki kemampuan untuk

menstruktur materi pelajaran secara mandiri. Sedangkan guru dengan gaya kognitif field-

dependent lebih mudah mengajar jika materi pelajaran sudah distruktur lebih dahulu

dalam buku teks (Entwistle, 1981, Degeng, 1991). Informasi mengenai gaya kognitif ini

penting bagi penulisan buku teks khususnya untuk dapat memberi petunjuk apakah dalam

menyusun bahan ajar perlu disertai dengan kerangka isi atau advance organizer, epitome,

atau skema yang memuat seluruh materi pelajaran, dll.

Guru merupakan komponen amat penting, namun dalam mengolah informasi masih

banyak yang kurang menguasai cara mengorganisasi materi pelajaran. Seringkali guru

menuntut jawaban siswa persis sama dengan apa yang ia jelaskan. Dengan kata lain,

siswa tidak diberi peluang untuk berfikir bebas dan kreatif. Guru mempunyai

keterbatasan dalam mengakses informasi baru yang memungkinkan ia mengetahui

perkembangan terakhir di bidangnya (state of the art) serta kemungkinan perkembangan

yang lebih jauh dari yang sudah dicapai sekarang (frontier of knowledge).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas permasalahan penelitian dapat dirumuskan:

1. Media atau sumber-sumber belajar apa saja yang tersedia di sekolah guna menunjang

pelaksanaan pendidikan agama di SD?

Page 7: BAB I - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/621/1/Laporan_Hasil_Penelitian_(PELAKSANAAN... · adalah kekhawatiran terjadinya perpecahan bangsa akibat dari pertikaian antar umat beragama

5

2. Dari yang tersedia di sekolah, media atau sumber-sumber belajar apa yang cenderung

digunakan guru dalam kegiatan pembelajaran dan yang paling banyak digunakan?

3. Hambatan-hambatan apa yang dijumpai guru dalam menggunakan media atau sumber-

sumber belajar untuk menunjang pelaksanaan pendidikan agama?

4. Bagaimana penggunaan media dan sumber-sumber belajar pendidikan agama di SD

dalam proses pembelajaran?

5. Kemampuan guru dalam melaksanakan proses pembelajaran agama di SD apakah

sesuai dengan pola pikir peserta didik dan konteksnya, melalui langkah-langkah

sistematis, obyektif, serta menggunakan pendekatan induktif-konstruktivistik?

6. Bagaimana pemahaman guru-guru agama SD terhadap pendekatan konstruktivisme

dalam pelaksanaan pembelajaran?

7. Adakah hubungan antara kemampuan mengajar guru dengan gaya kognitifnya?

8. Adakah hubungan antara kemampuan mengajar guru dengan latar belakang pendidik-

annya?

9. Adakah hubungan antara kemampuan mengajar guru dengan pengalaman kerjanya?

C. Definisi Operasional

Definisi operasional dipandang penting dalam penelitian ini untuk menghindari

terjadinya salah interpretasi. Untuk itu, istilah-istilah penting dalam penelitian ini perlu

dijelaskan.

1. Pembelajaran

Menurut pandangan konstruktivisme belajar merupakan upaya pemberian makna oleh

peserta didik kepada pengalamannya yang mengarah kepada pengembangan struktur

kognitifnya dan dilakukan baik secara mandiri maupun sosial. Oleh sebab itu, guru dalam

melaksanakan kegiatan pembelajaran harus berupaya untuk dapat memberi kondisi

terjadinya proses pembentukan atau penstrukturan tersebut secara optimal dalam diri

peserta didik.

Dalam penelitian ini, kemampuan pembelajaran (mengajar) guru yang diamati ditinjau

dari beberapa aspek, yaitu 1) dari aspek guru (pengajar) meliputi: a) penguasaan materi,

b) teknik menjelaskan, c) cara melibatkan siswa dalam pembelajaran, d) memberikan

balikan, e) memberikan penguatan, f) cara menanggapi pertanyaan/ komentar siswa, g)

Page 8: BAB I - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/621/1/Laporan_Hasil_Penelitian_(PELAKSANAAN... · adalah kekhawatiran terjadinya perpecahan bangsa akibat dari pertikaian antar umat beragama

6

memberi bantuan secara individual. 2) Aspek siswa meliputi: a) kehadiran siswa, b)

keterlibatan siswa dalam pembelajaran, c) jenis kegiatan yang dilakukan siswa, d)

kualitas respon/pertanyaan yang disampaikan, e) antusiasme siswa dalam pembelajaran,

f) rasa ingin tahu siswa. 3) aspek iklim pembelajaran meliputi: a) cara pengorganisasian

kegiatan, b) komunikasi guru dan siswa, c) suasana saling mempercayai dan

menghormati, d) kehangatan suasana, e) iklim belajar yang membetahkan. 4) Kaitan

dengan kehidupan nyata meliputi: a) pemodelan materi pembelajaran dalam kehidupan,

b) penggunaan contoh-contoh yang diambil dari kehidupan siswa, c) refleksi (keterlibatan

siswa dalam refleksi).

2. Mata Pelajaran Agama di SD

Mata pelajaran agama di SD dimaksudkan untuk meningkatkan potensi spiritual, yang

mencakup pengenalan, pemahaman, dan penanaman nilai-nilai keagamaan, serta

pengamalannya dalam kehidupan individual maupun kolektif kemasyarakatan.

Peningkatan potensi spiritual pada akhirnya bertujuan pada optimalisasi berbagai potensi

manusia yang aktualisasinya mencerminkan harkat dan martabatnya sebagai makhluk

Tuhan. Peningkatan potensi spiritual ini perlu dilakukan sejak SD melalui penggunaan

sumber-sumber belajar dan proses pembelajaran yang berkualitas.

3. Sumber belajar

Sumber belajar meliputi semua sumber yang dapat digunakan dalam kegiatan

pembelajaran baik secara terpisah maupun gabungan, untuk memberikan fasilitas belajar.

Sumber belajar meliputi pesan, orang, bahan, peralatan, teknik, dan tata tempat. Dapat

dibedakan menjadi dua jenis: a) sumber belajar yang direncanakan (by design), yaitu

semua sumber yang secara khusus telah dikembangkan sebagai “komponen sistem

pembelajaran” untuk memberikan fasilitas belajar yang terarah dan bersifat formal, dan

b) sumber belajar karena dimanfaatkan (by utilization), yaitu sumber-sumber yang tidak

secara khusus didesain untuk keperluan pembelajaran namun dapat ditemukan,

diaplikasikan dan digunakan untuk keperluan belajar.

Dalam penelitian ini sumber-sumber belajar yang digunakan oleh guru dalam kegiatan

pembelajaran agama digali dari aspek-aspek: 1) Jenis-jenis sumber belajar pendidikan

Agama yang ada di sekolah, 2) sumber-sumber belajar yang digunakan guru dalam

pembelajaran agama, 3) hambatan-hambatan penggunaan sumber-sumber belajar

Page 9: BAB I - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/621/1/Laporan_Hasil_Penelitian_(PELAKSANAAN... · adalah kekhawatiran terjadinya perpecahan bangsa akibat dari pertikaian antar umat beragama

7

pendidikan agama, 5) bagaimana penggunaan media/sumber-sumber belajar oleh guru-

guru dalam kegiatan pembelajaran pendidikan agama di SD.

Page 10: BAB I - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/621/1/Laporan_Hasil_Penelitian_(PELAKSANAAN... · adalah kekhawatiran terjadinya perpecahan bangsa akibat dari pertikaian antar umat beragama

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Teoritik

1. Pendidikan Agama di SD

Pendidikan merupakan infestasi yang sangat strategis bagi pembangunan suatu

bangsa, bahkan menjadi salah satu indikator majunya suatu Negara. Oleh karena itu,

pendidikan menjadi prioritas utama dalam usaha memajukan bangsa dan negara

khususnya di Indonesia sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945. Secara jelas

ditunjukkan di dalam UU RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Bab IV pasal 5 (1) bahwa “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk

memperoleh pendidikan yang bermutu”. Berdasarkan bunyi undang-undang tersebut jelas

bahwa siapapun setiap warga Negara berhak mendapatkan pelayanan pendidikan tanpa

pandang bulu. PP RI No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan juga

ditegaskan bahwa pada hakekatnya pendidikan dalam konteks pembangunan nasional

mempunyai fungsi: (1) pemersatu bangsa, (2) penyamaan kesempatan, dan (3)

pengembangan potensi diri. Pendidikan diharapkan dapat memperkuat keutuhan bangsa

dalam Negara Kesatuan Republik Indonesai (NKRI), memberi kesempatan yang sama

bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam pembangunan, dan memungkinkan

setiap warga negara untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya secara optimal.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa proses pendidikan harus mencakup: (1) penumbuh-

kembangan keimanan, ketakwaan, (2) pengembangan wawasan kebangsaan, kenegaraan,

demokrasi, dan kepribadian, (3) penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, (4)

pengembangan, penghayatan, apresiasi, dan ekspresi seni, serta (5) pembentukan manusia

yang sehat jasmani. Maka pendidikan nasional yang bermutu diarahkan untuk

mengembangkan potensi seluruh peserta didik sebagai warga bangsa ini agar menjadi

manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia,

sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta

bertanggungjawab.

PP RI No.19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan ditegaskan bahwa pada

hakekatnya pendidikan dalam konteks pembangunan nasional mempunyai fungsi: (1)

Page 11: BAB I - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/621/1/Laporan_Hasil_Penelitian_(PELAKSANAAN... · adalah kekhawatiran terjadinya perpecahan bangsa akibat dari pertikaian antar umat beragama

9

pemersatu bangsa, (2) penyamaan kesempatan, dan (3) pengembangan potensi diri.

Pendidikan diharapkan dapat memperkuat keutuhan bangsa dalam NKRI, memberi

kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam pembangun-

an, dan memungkinkan setiap warga negara untuk mengembangkan potensi yang dimili-

kinya secara optimal. Proses pendidikan harus mencakup: (1) penumbuhkembangan

keimanan, ketakwaan, (2) pengembangan wawasan kebangsaan, kenegaraan, demokrasi,

dan kepribadian, (3) penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, (4) pengembangan,

penghayatan, apresiasi, dan ekspresi seni, serta (5) pembentukan manusia yang sehat

jasmani. Pendidikan nasional yang bermutu diarahkan untuk pengembangan potensi

peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang

Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga

negara yang demokratis serta bertanggungjawab. Untuk mencapai tujuan tersebut

dikembangkan standar isi yang mencakup lingkup materi dan tingkat kompetensi untuk

mencapai kompetensi lulusan pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Standar isi

memuat kerangka dasar dan struktur kurikulum, beban belajar, kurikulum tingkat satuan

pendidikan, dan kalender pendidikan/akademik.

Kelompok mata pelajaran agama dan aklak mulia dimaksudkan untuk membentuk

peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha

Esa serta berakhlak mulia. Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, atau moral

sebagai perwujudannya. Kelompok mata pelajaran agama dan aklak mulia di SD dimak-

sudkan untuk meningkatkan potensi spiritual, yang mencakup pengenalan, pemahaman,

dan penanaman nilai-nilai keagamaan, serta pengamalannya dalam kehidupan individual

maupun kolektif kemasyarakatan. Peningkatan potensi spiritual pada akhirnya bertujuan

pada optimalisasi berbagai potensi manusia yang aktualisasinya mencerminkan harkat

dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan. Peningkatan potensi spiritual ini perlu

dilakukan sejak SD melalui sumber-sumber belajar dan proses pembelajaran yang

berkualitas.

2. Hakekat Belajar dan Pembelajaran

Manusia sejak lahir telah memiliki potensi kognitif namun tidak dibekali dengan

pengetahuan empiris atau aturan metodologis dalam pikirannya. Manusia tidak pernah

memperoleh pengetahuan siap pakai atau pengetahuan jadi dalam bentuk paket-paket

Page 12: BAB I - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/621/1/Laporan_Hasil_Penelitian_(PELAKSANAAN... · adalah kekhawatiran terjadinya perpecahan bangsa akibat dari pertikaian antar umat beragama

10

yang dapat dipersepsi secara langsung. Semua pengetahuan, cara-cara untuk mengetahui,

serta berbagai disiplin ilmu yang ada di dalam masyarakat dibangun (constructed) oleh

pikiran manusia. Pendapat ini selanjutnya dikenal dengan paham konstruktivisme.

Phillips (dalam Light dan Cox, 2001) memetakan proses mengkonstruksi pengetahuan ini

ke dalam tiga dimensi pembelajaran yaitu dimensi horizontal, dimensi diagonal, dan

demensi vertikal, dapat digambarkan sebagai berikut;

Konstruksi PengetahuanSosiokultural

Konstruksi pasif,agen pengetahuansebagai “penonton”

Konstruksi Pengetahuan

individual

Manusia sebagaikreator, realitas

“diciptakan”

Konstruksi aktif,agen pengetahuan

sebagai “aktor”

Pembelajaran olehalam, realitas“ditemukan”.

Phillips, 1995, 2000

Dimensi horizontal menjelaskan bahwa dalam mengkonstruksi pengetahuan atau

realitas, pada satu sisi pengetahuan atau realitas itu “ditemukan” sedangkan pada sisi

yang lain pengetahuan atau tealitas itu “diciptakan”. “Ditemukan” maksudnya bahwa

pengetahuan itu bebas dari campur tangan manusia. Alam berfungsi sebagai “instruktur”

dan manusia tinggal menemukan prinsip-prinsipnya. Ini artinya bahwa pembelajaran

dilakukan oleh alam, realitas ditemukan dan manusia tinggal mempelajarinya. Sedangkan

pada sisi yang lain, pengetahuan atau realitas itu “diciptakan” oleh manusia. Manusia

sebagai kreator dimana realitas “diciptakan” olehnya.

Dimensi diagonal menunjukkan tingkat keaktifan proses konstruksi pengetahuan,

antara aktif dan pasif. Pada ujung yang satu manusia (baik secara individu maupun sosial)

mengkonstruksi pengetahuan secara pasif dan ia sebagai penonton, sedangkan pada ujung

yang lainnya manusia mengkonstruksi pengetahuannya secara aktif, ia sebagai aktor.

Dimensi vertikal menggambarkan perdebatan tentang faktor pendukung terjadinya

konstruksi pengetahuan, yaitu antara proses internal (dalam diri individu manusia)

apakah peserta didik mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, atau proses sosial dan

kultural (dalam komunitas masyarakat) yaitu apakah peserta didik mengkonstruksi

Page 13: BAB I - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/621/1/Laporan_Hasil_Penelitian_(PELAKSANAAN... · adalah kekhawatiran terjadinya perpecahan bangsa akibat dari pertikaian antar umat beragama

11

pengetahuannya secara bersama-sama dalam kelompok. Pandangan konstruktivistik

tentang belajar berada di tengah-tengah sumbu horisontal, tetapi agak condong ke arah

kutub “sosial” dan “aktor” dari kedua sumbu lainnya.

Menurut pandangan konstruktivisme ini, belajar merupakan upaya pemberian makna

oleh peserta didik kepada pengalamannya yang mengarah kepada pengembangan struktur

kognitifnya dan dilakukan baik secara mandiri maupun sosial (Brooks & Brooks, 1993).

Oleh sebab itu, pembelajaran diupayakan agar dapat memberikan kondisi terjadinya

proses pembentukan atau penstrukturan tersebut secara optimal dalam diri peserta didik.

Pada dasarnya berbagai upaya perbaikan pembelajaran dilakukan mengarah kepada

pembelajaran yang berpusat pada peserta didik (student-centred, learning-oriented),

untuk memberikan pengalaman belajar yang menantang dan sekaligus menyenangkan.

Peserta didik diharapkan terbiasa menggunakan pendekatan mendalam (deep approach)

dan pendekatan strategis (strategic approach) dalam belajar. Peserta didik tidak sekedar

belajar mengingat informasi atau belajar untuk lulus saja, dengan ungkapan lain tidak

sekedar menggunakan pendekatan permukaan (surface approach) dan belajar hafalan

(rote learning).

Reigeluth dan Merrill (dalam Degeng, 1991) mengemukakan bahwa untuk mengukur

keefektifan pembelajaran harus selalu dikaitkan dengan pencapaian tujuan pembelajaran.

Pembelajaran dikatakan efektif jika siswa mampu menguasai indikator kompetensi yang

telah ditetapkan. Ada tujuh indikator yang dapat digunakan untuk menetapkan

keefektifan pembelajaran, yaitu:

1. Kecermatan penguasaan perilaku.

2. Kecepatan unjuk kerja.

3. Kesesuaian dengan prosedur.

4. Kuantitas unjuk kerja

5. Kualitas hasil akhir.

6. Tingkat alih belajar

7. Tingkat retensi.

Untuk mengetahui keefektifan pembelajaran, dilihat dari ketercapaian peserta didik

terhadap indikator kompetensi yang telah dirumuskan di dalam RPP. Untuk itu tes hasil

belajar dapat digunakan untuk mengetahui ketercapaian siswa terhadap kompetensi yang

Page 14: BAB I - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/621/1/Laporan_Hasil_Penelitian_(PELAKSANAAN... · adalah kekhawatiran terjadinya perpecahan bangsa akibat dari pertikaian antar umat beragama

12

diharapkan sehingga tes hasil belajar dikembangkan dari indikator-indikator kompetensi

yang diharapkan dapat dicapai siswa tersebut.

Agar mampu menghasilkan proses, hasil, dan dampak belajar yang optimal, diperlu-

kan upaya untuk mengintegrasikan semua komponen masukan instrumental pembelajaran

secara sistemik dan sinergis. Komponen instrumental yang dimaksud adalah guru,

kurikulum atau bahan ajar, media/sumber-sumber belajar, fasilitas, iklim belajar, materi

dan sistem pembelajaran. Media/sumber belajar merupakan salah satu komponen

masukan instrumental pembelajaran yang amat penting diperhatikan.

3. Kemampuan Mengajar Guru

Kajian tentang kemampuan mengajar guru perlu diawali dengan mengidentifikasi sub-

sub kompetensi yang terkandung dalam empat kompetensi guru sebagaimana tertuang di

dalam UU nomor 14 tahun 2005 meliputi:

a. Kompetensi pedagogik, dimaknai sebagai kemampuan mengelola pembelajaran

peserta didik. Kompetensi pedagogik meliputi pemahaman pada peserta didik,

perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan

pengembangan potensi peserta didik.

b. Kompetensi kepribadian, dimaknai sebagai kemampuan kepribadian. Kompetensi

kepribadian ini dirinci meliputi kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif,

berwibawa, berakhlak mulia, dan dapat menjadi teladan.

c. Kompetensi sosial, bertolak dari asumsi bahwa pendidik adalah bagian dari

masyarakat, sehingga layak dituntut memiliki kemampuan untuk berkomunikasi

dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga

kependidikan, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.

d. Kompetensi profesional, sebagai regulasi yang membingkai kebijakan sertifikasi

guru ditampilkan setara dengan ketiga kompetensi lainnya, yaitu kompetensi

profesional yang dimaknai sebagai kemampuan penguasaan materi pembelajaran

secara luas dan mendalam yang memungkinkannya untuk membimbing peserta

didik memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan dalam standar nasional

pendidikan.

Jika dicermati, di antara empat kompetensi guru di atas agaknya sulit untuk dipilah-

pilahkan. Kompetensi pedagogik tidak akan terwujud jika tidak terkait dengan

Page 15: BAB I - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/621/1/Laporan_Hasil_Penelitian_(PELAKSANAAN... · adalah kekhawatiran terjadinya perpecahan bangsa akibat dari pertikaian antar umat beragama

13

penguasaan materi pembelajaran baik yang menyangkut perancangan dan pelaksanaan

pembelajaran, evaluasi hasil belajar, serta pengembangan potensi peserta didik maupun

dengan pemahaman peserta didik, khususnya yang menyangkut perbedaan individual

dalam kapasitas dan gaya belajarnya, bahkan juga dengan kemampuan khas ketika

berkomunikasi dengan peserta didik dalam interaksi pembelajaran yang dipandu oleh

wawasan kependidikan sebagai rujukan kearifan profesional pandidik. Dengan kata lain,

antara penguasaan pedagogik dengan penguasaan bidang studi tidak dapat dipisahkan.

Kompetensi sosial sebagai kemampuan guru untuk berkomunikasi dan bergaul secara

efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali

peserta didik, dan masyarakat sekitar, tidak serta merta secara khusus berbicara tentang

komunikasi yang khas yang terjadi dalam interaksi pembelajaran. Bentuk komunikasi dan

bahasa yang digunakan akan berbeda ketika guru berkomunikasi dengan sesama

pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar,

dengan ketika guru berkomunikasi dengan peserta didik di dalam seting pembelajaran.

Bahasa yang digunakan guru dalam transaksi pembelajaran dibangun secara siklikal

(Tim Khusus PGSD, 2007) mulai dari penyiapan situasi, upaya agar peserta didik

merespon baik pertanyaan maupun tugas yang diberikan oleh guru, merespon peserta

didik dan memberi tanggapan balik baik secara individu maupun kelompok berupa

penguatan, koreksi atau remidiasi, dan tindak lanjut yang mengarah pada peningkatan

kualitas belajar peserta didik. Ragam bahasa yang digunakan dalam pembelajaran tidak

sebatas bahasa verbal lisan atau tertulis, tetapi juga bahasa isyarat seperti anggukan

kepala, acungan jempol, juga bagaimana guru memposisikan dirinya di antara peserta

didik sebagai strategi penting dalam pengelolaan kelas.

Pembelajaran adalah suatu layanan ahli, karena terapannya harus selalu dilandasi oleh

suatu keahlian. Mulai dari persiapannya, program pembelajaran yang disusun mengarah

pada pencapaian tujuan utuh pendidikan, kesiapan belajar peserta didik, serta dukungan

logistik yang tersedia. Sedangkan dalam implementasinya guru perlu melakukan

penyesuaian-penyesuaian sambil jalan, karena peserta didik akan mereaksi secara unik

terhadap setiap tindakan guru. Ini berarti bahwa dalam pelaksanaan tugasnya guru harus

selalu waspada memperhitungkan berbagai kemungkinan dampak jangka panjang dari

keputusan serta tindakanya demi tercapainya tujuan utuh pendidikan.

Page 16: BAB I - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/621/1/Laporan_Hasil_Penelitian_(PELAKSANAAN... · adalah kekhawatiran terjadinya perpecahan bangsa akibat dari pertikaian antar umat beragama

14

Dalam melaksanakan tugasnya, guru yang kompeten harus memahami aspek why

sebagai rujukan normatif yang berupa tujuan utuh pendidikan, aspek how sebagai rujukan

prosedural dalam melaksanakan pembelajaran, dan aspek when sebagai rujukan

kontekstual dalam pengambilan keputusan dan tindakan pembelajaran. Setiap peserta

didik memiliki karakteristik yang berbeda-beda jika dilihat dari kemampuannya, gaya

belajar dan gaya kognitif, budaya yang melatari sejarah hidupnya, serta motivasi

belajarnya, sehingga di dalam mereaksi terhadap setiap tindakan guru juga akan bersifat

unik. Pada dasarnya setiap transaksi pendidikan dan pembelajaran adalah suatu

perjumpaan budaya antara pendidik dan peserta didik. Di setiap interaksi pembelajaran

baik peserta didik maupun pendidik menggunakan pola respon yang berbeda-beda yang

dipelajari secara alamiah di lingkungan hidupnya masing-masing.

Oleh karena itu, di dalam melaksanakan tugasnya sebagai layanan ahli kependidikan

seorang guru di dalam membuat keputusan situasional selain berdasarkan pada

pencapaian tujuan utuh pendidikan, aspek-aspek lain seperti materi ajar sebagai substansi

kurikuler yang dijadikan konteks proses pembelajaran, kesiapan belajar peserta didik,

sarana pendukung yang tersedia dan lainnya, harus dijadikan pijakan dalam melakukan

penyesuaian transaksional pembelajaran sesuai dengan peristiwa pembelajaran yang

terjadi, untuk diarahkan bagi kemaslahatan peserta didik dalam mencapai tujuan utuh

pendidikan.

Kemampuan menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik tidak terbatas pada

penerusan informasi (content transmission) sebagaimana yang selama ini banyak

dilakukan di dalam praktik-praktik pebelajaran di tanah air, melainkan terutama berupa

penyediaan lingkungan pembelajaran yang memfasilitasi pembentukan kemampuan yang

utuh dalam diri peserta didik. Untuk itu, kemampuan-kemampuan dan kompetensi yang

diharapkan dikuasai oleh peserta didik perlu dimodifikasi menjadi (Raka Joni, 2006):

a. Pengetahuan pemahaman yang diperoleh melalui pengkajian yang dilakukan

dalam berbagai bentuk dan konteks.

b. Ketrampilan baik kognitif dan personal-sosial serta psikomotorik yang diperoleh

melalui latihan.

c. Sikap dan nilai serta kebiasaan yang diperoleh melalui penghayatan, keterlibatan

dan/atau partisipasi aktif dalam peristiwa serta kegiatan yang sarat nilai, sehingga

Page 17: BAB I - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/621/1/Laporan_Hasil_Penelitian_(PELAKSANAAN... · adalah kekhawatiran terjadinya perpecahan bangsa akibat dari pertikaian antar umat beragama

15

bermuara kepada terbangunya karakter, atau lingkungan belajar yang menggiring

peserta didik bukan saja untuk menjawab pertanyaan (answering questions)

melainkan juga mempertanyakan jawaban baik yang diajukan oleh rekan-

rekannya maupun ditemukannya sendiri, bahkan secara lebih mendasar juga

mempertanyakan pertanyaan-pertanyaan atau permasalahan yang tengah dibahas.

Dengan memfasilitasi peserta didik untuk memperoleh dan mengintegrasikan

pengetahuan (acquiring and integrating knowledge), memperluas cakupan serta

meningkatkan kecermatan pengetahuan (expanding and refining knowledge) dan

menerapkan pengetahuan secara bermakna (applying knowledge meaningfully)

akan mampu mengembangkan cara berpikir yang produktif.

d. Sedangkan penetapan besaran beban studi dalam kurikulum dilakukan dengan

menjabarkan pengalaman belajar yang dipersyaratkan untuk memfasilitasi

pembentukan kemampuan yang akan dicapai berdasarkan kerangka pikir yang

digunakan dalam merancang kegiatan pembelajaran dengan memperhatikan teori,

praktik dan tugas lapangan ditinjau dari bentuk kegiatannya, serta kegiatan

terjadwal, tugas tersetruktur, dan kegiatan mandiri dari segi keterawasannya.

Secara lebih rinci, kemampuan mengajar guru (kemampuan menyelenggarakan

pembelajaran yang mendidik) terdiri atas sub-sub kemampuan:

a. Merancang program pembelajaran yang memfasilitasi penumbuhan karakter serta

soft skills di samping pembentukan hard skills baik yang terbentuk sebagai

dampak langsung dari tindakan pembelajaran (instructional effects) maupun

sebagai dampak tidak langsung dari akumulasi pengalaman belajar yang dihayati

oleh peserta didik sepanjang rentang proses pembelajaran atau dampak pengiring

(nurturant effects) kesemuanya berdasarkan pada pertimbangan-pertimbangan

situasional.

b. Mengimplementasikan program pembelajaran dengan kewaspadaan penuh

(informed responsiveness) terhadap peluang untuk menjadikan optimasi antara

pemanfaatan dampak instruksional dan dampak pengiring pembelajaran yang

dibingkai dengan wawasan kependidikan sebagai asas pengendali. Semua ini

demi tercapainya tujuan utuh pendidikan.

Page 18: BAB I - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/621/1/Laporan_Hasil_Penelitian_(PELAKSANAAN... · adalah kekhawatiran terjadinya perpecahan bangsa akibat dari pertikaian antar umat beragama

16

c. Mengases hasil dan proses pembelajaran yang tercapai baik sebagai dampak

langsung maupun dampak pengiring proses pembelajaran dalam konteks tujuan

utuh pendidikan.

d. Memanfaatkan hasil asesmen terhadap proses dan hasil pembelajaran untuk

perbaikan pengelolaan pembelajaran secara berkelanjutan baik melalui tindakan

remidi maupun pengayaan.

Dalam penelitian ini, kemampuan mengajar guru yang diamati ditinjau dari beberapa

aspek, yaitu 1) dari aspek guru (pengajar) meliputi: a) penguasaan materi, b) teknik

menjelaskan, c) cara melibatkan siswa dalam pembelajaran, d) memberikan balikan e)

memberikan penguatan, f) cara menanggapi pertanyaan/komentar siswa, g) memberi

bantuan secara individual. 2) Aspek siswa meliputi: a) kehadiran siswa, b) keterlibatan

siswa dalam pembelajaran, c) jenis kegiatan yang dilakukan siswa, d) kualitas

respon/pertanyaan yang disampaikan, e) antusiasme siswa dalam pembelajaran, f) rasa

ingin tahu siswa. 3) aspek iklim pembelajaran meliputi: a) cara pengorganisasian

kegiatan, b) komunikasi guru dan siswa, c) suasana saling mempercayai dan

menghormati, d) kehangatan suasana, e) iklim belajar yang membetahkan. 4) Kaitan

dengan kehidupan nyata meliputi: a) pemodelan materi pembelajaran dalam kehidupan,

b) penggunaan contoh-contoh yang diambil dari kehidupan siswa, c) refleksi (keterlibatan

siswa dalam refleksi).

Komponen-komponen yang berpengaruh terhadap proses pembelajaran meliputi guru,

materi, pola interaksi, media/bahan ajar dan teknologi, situasi belajar, serta sistem

pembelajaran. Komponen guru dapat berupa gaya kognitif, latar belakang pendidikan,

pengalaman mengajar, dan lain-lain. Informasi mengenai gaya kognitif bermanfaat untuk

mengetahui bagaimana cara guru mengorganisasi materi pembelajaran. Guru dengan

gaya kognitif field-independent lebih memiliki kemampuan untuk menstruktur materi

pelajaran secara mandiri. Sedangkan guru dengan gaya kognitif field-dependent lebih

mudah mengajar jika materi pelajaran sudah distruktur lebih dahulu dalam buku teks

(Entwistle, 1981, Degeng, 1991). Informasi mengenai gaya kognitif ini penting bagi

penataan materi pelajaran khususnya dalam memberi petunjuk apakah dalam menyusun

dan menata materi ajar disertai dengan kerangka isi atau advance organizer, epitome,

atau skema yang memuat seluruh materi pelajaran, dll.

Page 19: BAB I - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/621/1/Laporan_Hasil_Penelitian_(PELAKSANAAN... · adalah kekhawatiran terjadinya perpecahan bangsa akibat dari pertikaian antar umat beragama

17

Guru merupakan komponen amat penting, namun dalam mengolah informasi masih

banyak yang kurang menguasai cara mengorganisasi materi pelajaran. Seringkali ia

menuntut jawaban yang persis sama dengan apa yang ia jelaskan. Dengan kata lain,

peserta didik tidak diberi peluang untuk berfikir bebas dan kreatif. Guru mempunyai

keterbatasan dalam mengakses informasi baru yang memungkinkan ia mengetahui

perkembangan terakhir di bidangnya (state of the art) serta kemungkinan perkembangan

yang lebih jauh dari yang sudah dicapai sekarang (frontier of knowledge).

4. Sumber-sumber Belajar

Seels & Richey (1994) merumuskan sumber belajar meliputi semua sumber yang

dapat digunakan sisa baik terpisah maupun gabungan, untuk memberikan fasilitas belajar.

Sumber itu meliputi pesan, orang, bahan, peralatan, teknik, dan tata tempat. Dapat

dibedakan menjadi dua jenis: a) sumber belajar yang direncanakan (by design), yaitu

semua sumber yang secara khusus telah dikembangkan sebagai “komponen sistem

pembelajaran” untuk memberikan fasilitas belajar yang terarah dan bersifat formal, dan

b) sumber belajar karena dimanfaatkan (by utilization), yaitu sumber-sumber yang tidak

secara khusus didesain untuk keperluan pembelajaran namun dapat ditemukan,

diaplikasikan dan digunakan untuk keperluan belajar.

Sumber belajar sebagai komponen sistem pembelajaran adalah sumber-sumber belajar

yang disusun terlebih dahulu dalam proses desain atau pemilihan dan pemanfaatan,

disatukan ke dalam sistem pembelajaran yang lengkap, untuk mewujudkan proses belajar

yang terkontrol dan berarah tujuan. Sumber belajar dikatakan berkualitas jika: a) dapat

menciptakan pengalaman belajar yang bermakna, b) mampu memfasilitasi proses

interaksi antara siswa dan guru, siswa dan siswa lain, serta siswa dengan ahli bidang ilmu

yang relevan serta lingkungan sekitar, c) sumber belajar dapat memperkaya pengalaman

belajar siswa, d) dengan sumber belajar mampu mengubah suasana belajar dari siswa

pasif dan guru sebagai sumber ilmu satu-satunya, menjadi siswa aktif berdiskusi dan

bereksplorasi mencari informasi melalui berbagai sumber belajar yang ada.

Penggunaan sumber belajar bertujuan untuk meningkatkan kualitas belajar siswa,

meningkatkan efektifitas, efisiensi dan daya tarik pembelajaran. Hal ini dilaksanakan

dengan menyediakan berbagai macam pilihan guna menunjang kegiatan kelas tradisional,

dan untuk menggunakan cara-cara baru yang paling sesuai demi tercapainya tujuan

Page 20: BAB I - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/621/1/Laporan_Hasil_Penelitian_(PELAKSANAAN... · adalah kekhawatiran terjadinya perpecahan bangsa akibat dari pertikaian antar umat beragama

18

belajar. Sumber belajar dikembangkan dengan maksud untuk 1) menyediakan berbagai

macam pilihan komunikasi dan kegiatan guna menunjang aktivitas pembelajaran, 2)

mendorong penggunaan cara-cara belajar baru yang paling tepat untuk mencapai tujuan

belajar, 3) memberikan pelayanan dalam merencanakan dan melaksanakan sistem

pembelajaran yang bermakna, 4) menyebarkan informasi yang dapat membantu

penggunaan berbagai macam sumber belajar agar pembelajaran lebih efektif dan efisien,

5) mengadakan pelayanan pengembangan sumber-sumber belajar, 6) membantu

mengembangkan standar penggunaan sumber-sumber belajar, 7) menyediakan pelayanan

pemeliharaan berbagai macam peralatan, 8) membantu pemilihan dan pengadaan bahan-

bahan belajar dan peralatannya, serta 9) menyediakan pelayanan evaluasi terhadap

efektivitas berbagai strategi pembelajaran.

Pemanfaatan sumber belajar dimaksudkan agar siswa mendapat kesempatan

berkembang sesuai dengan kemampuannya. Memberi kemungkinan pembelajaran lebih

mandiri karena mengurangi kontrol yang kaku dan tradisional baik dalam penggunaan

waktu maupun tempat. Memungkinkan belajar dapat dilakukan seketika (immediacy of

learning), dengan mengurangi gap antara pelajaran verbal dan abstrak dengan realita

yang konkrit. Disamping itu, memberi kesempatan para guru untuk berfungsi lebih baik

dengan mengurangi beban guru. Kegiatannya dapat dialihkan untuk lebih meningkatkan

gairah belajar siswa.

Pengelolaan sumber belajar difokuskan kepada; 1) fungsi pengembangan sistem

pembelajaran (perencanaan program pembelajaran, seleksi peralatan dan bahan, prosedur

evaluasi, dsb), 2) fungsi pelayanan sumber-sumber belajar (penggunaan sumber-sumber

belajar untuk kelompok besar maupun kelompok kecil, program belajar mandiri,

pengadaan, pemeliharaan dan penggunaan bahan serta peralatan, dsb.), 3) fungsi produksi

(produksi sumber-sumber belajar sendiri, trasparansi untuk OHP, dll.), 4) fungsi

administrasi (pendataan, pencatatan, supervisi penggunaan sumber-sumber belajar,

pengembangan koleksi dan spesifikasi, dll) (Merrill & Drob, 1997). Keempat fungsi

tersebut merupakan fungsi dan kegiatan yang ideal. Seberapa jauh kegiatan yang ideal

tersebut dapat dilaksanakan tergantung dari tujuan, fasilitas dan peralatan yang dimiliki,

serta personalia yang tersedia di sekolah.

Page 21: BAB I - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/621/1/Laporan_Hasil_Penelitian_(PELAKSANAAN... · adalah kekhawatiran terjadinya perpecahan bangsa akibat dari pertikaian antar umat beragama

19

Dalam penelitian ini media atau sumber-sumber belajar yang digunakan oleh guru

dalam kegiatan pembelajaran agama digali dari aspek-aspek: 1) Jenis-jenis media/

sumber-sumber belajar pendidikan Agama yang ada di sekolah, 2) Jumlah masing-

masing jenis, 3) media/sumber-sumber belajar yang dapat digunakan, 4) media/sumber-

sumber belajar yang tidak dapat digunakan, dan apa sebabnya, 5) bagaimana penggunaan

media/sumber-sumber belajar pendidikan agama, dan 6) hambatan-hambatan penggunaan

media/sumber-sumber belajar pendidikan agama.

5. Perbedaan Pendidikan Agama, Religiositas dan Kecerdasan Spiritualitas

Agar pendidikan agama dapat meningkatkan potensi spiritual, terlebih dahulu perlu

dipahami pandangan-pandangan dasariah tentang kecedasan spiritual yang cenderung

sejalan dengan pendidikan religiusitas. Pengembangan kecerdasan spiritual peserta didik

dalam kenyataan telah tercakup dalam pendidikan religiositas. Pendidikan agama dan

pendidikan religiositas tidak dapat dipisahkan, saling melengkapi, namun ada

perbedaannya sbb.

No Aspek Pendidikan Agama Pendidikan Religiositas1 Tujuan Meningkatkan kehidupan

beragama siswaMeningkatkan kehidupan iman dan takwa siswa

2 Pola spiritualitas

Individualistis & vertikalMerujuk ke kelembagaan kebaktian kpd Tuhan dlm aspek resmi dan yuridis (peraturan dan hukum).Keseluruhan organisasi dan tafsir kitab suci.Bergerak pd tataran masya-rakat terbuka & fungsional (Gesellschaft)

Yang memerdekakanMelihat aspek dalam lubuk hati, riak gerak hati nurani pribadi. Sikap personal kepada misteri, napas keintiman jiwa dan cita rasa totalitas.Bergerak pada tataran ma-syarakat tertutup (Gemein-schft).

3 Ciri Simbolik, ritualistik, legal-fomalistik.

Dialogal-komunikatif dalam interaksi iman

4 Ranah yg dite-kankan

Ranah kognitif Ranah kognitif, afektif, psikomotor.

Page 22: BAB I - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/621/1/Laporan_Hasil_Penelitian_(PELAKSANAAN... · adalah kekhawatiran terjadinya perpecahan bangsa akibat dari pertikaian antar umat beragama

20

5 Tanggapan terhadap komunalisme

Memperkuat gejala komu-nalisme, berpola pikir in-group & out-group, kelom-pok luar itu musuh, tidak berprinsip pd benar-salah, baik-buruk, tapi menang-kalah, utk mencapai tujuan (kemenangan), kekerasan mudah digunakan.

Memperlemah gejala ko-munalisme, mengarah ke lubuk kedalaman jiwa, sikap mecari sari serat-serat kehidupan yang tak begitu kelihatan tetapi vital.

6 Iman Cenderung diformalkan Sebagai inspirasi terhadap situasi & peristiwa penye-lamatan utk memperjuang-kan keadilan& perdamaian, dalam mengolah dan me-melihara alam, demi men-capai kebahagiaan yang di-rindukan semua orang.

7 Harap Cederung sudah dirumus-kan, berkali-kali diulang

Cenderung bersifat indivi-dual & spesifik sesuai kea-daan yg mengelilingi indi-vidu.

8 Kasih sayang Cenderung diformalkan Bakat alam, yaitu cita rasa religius yg takjub cinta & mencari kehendak Allah.

9 Manusia agamawan dan manusia religius

Manusia agamawan:Pindah agama mungkin dengan motivasi dagang untuk mencari keuntungan materiil, agar karier me-nanjak, atau dituntut calon mertua.

Manusia religius:Mungkin tak cermat men-taati aturan agama dan sering dicap ateis, namun memiliki rasa keadilan, cinta kepada yang benar, benci kebohongan dan kemunafikkan.Berperasaan halus, peka penderitaan orang lain, su-ka menolong, suka mere-nung hakekat hidup. Bergema terhadap segala yang indah dan luhur.Orang merasa damai bila dekat dengannya, menyinar kan damai yang murni.Orang baik yang punya antena religius.Memiliki kejujuran menda-lam.

Page 23: BAB I - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/621/1/Laporan_Hasil_Penelitian_(PELAKSANAAN... · adalah kekhawatiran terjadinya perpecahan bangsa akibat dari pertikaian antar umat beragama

21

10 Mengapa sikap religius harus diperhatikan?

Stimuli pendidikan agama telah melimpah terpapar & dihidangkan di masyarakat. Iklim budaya & kebijakan negara amat kuat mendo-rong masyarakat beragama. Agama bertugas agar kehi-dupan masyarakat teratur, pemujaan thd Allah secara bersama tak simpang siur atau menyeleweng.Karenanya agama berke-cimpung dlm peraturan hu-kum, ajaran, khotbah, ma-nifestasi publik.Agama sangat memperhati-kan kuantitas. Kualitas di-perhatikan sepanjang bisa dilihat, diukur, dinilai dari luar. Pendidikan religius ibarat mutiara, sedangkan pendi-dikan agama kulit kerang.Atau sari bunga dengan kelopak bunga.

Penghayatan sari religius orang-orang berbeda aga-ma, suku, status, kekayaan, saling berpadu penuh tole-ransi & saling menghargai dlm simfoni gamelan/orkesPada tingkat religiositas yg berbicara bukan peraturan/ hukum, tapi keiklasan, su-karela, pasrah diri, hormat dan takjub cinta Tuhan. Tak cari menang karena yg menang adalah Allah, se-dangkan yg kalah adalah kelaliman, kebohongan, ke sombongan, iblis, pikiran jahat, dan tingkah nista. Aneka bunga di taman sari religiositas tak saling ber-saing tapi saling memeriah-kan.Pohon-pohon tak men-cemooh perdu dan rumput, karena semua saling me-nyumbang untuk keselaras-an keseluruhan.

6. Ciri-ciri Individu yang Memiliki Kecerdasan Spiritual dan Religiositas

Secara keseluruhan, ciri-ciri individu yang memiliki kecerdasan spiritual dan yang

religiositas atau memiliki sikap religius tidak berbeda nyata. Keduanya memiliki ciri-ciri

yang sama sbb.

Ciri-ciri kecerdasan spiritual Ciri-ciri manusia religiusJujur JujurPolos, apa adanya, terus terang, kesatuan kata dan perbuatan.

Benci kebohongan, tak berbohong.

Kreatif Jiwa penuh kemerdekaan, kreatifCeria, gembira Spontanitas, ria bermain-main, orang me-

rasa pasti dan damai bila dekat dengannyaMudah memaafkan Mudah memaafkanHumoris ?Takjub terhadap sesuatu yg indah, meng-herankan, mendebarkan, berbakat estetis.

Sikap pasrah kepada misteri, bergema terhadap yg indah dan luhur, pendamba keindahan dan cenderung suka memper-indah sesuatu.

Intuitif ?

Page 24: BAB I - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/621/1/Laporan_Hasil_Penelitian_(PELAKSANAAN... · adalah kekhawatiran terjadinya perpecahan bangsa akibat dari pertikaian antar umat beragama

22

Saling terkait dgn orang-orang lain, me-miliki ikatan kekeluargaan dgn orang lain.

Cenderung menerima out-group ke dalam in-group

Mementingkan kepentingan orang lain (altruistis), ingin memberikan kontribusi kepada orang lain untuk menyejahterakan, dermawan (berbagi keutungan dgn orang lain).

Peka terhadap penderitaan orang lain, mau berkorban utk orang lain, suka membantu orang yg menderita atau rentan.

Biasa mengekspresikan gagasan segar dan aneh

Berjiwa kreatif, berusaha mencari untuk menemukan

Lapar tak terpuaskan kepada hal-hal yang diminati

Suka mencari dan menemukan

Cenderung menentukan pilihan-pilihan yg sehat dan menghasilkan hal yang praktis

?

Bersikap fleksibel (aktif & adaptif secara spontan)

Spontanitas

Cepat sadar diri Tahu kemampuan, ketakmampuan, dan batas kemampuan

Mampu dan sabar menghadapi penderita-an dan memanfaatkannya

?

Terinspirasi dengan visi dan nilai-nilai ?Enggan menyebabkan kerugian yang tak perlu

Cenderung bersaing sehat

Cenderung melihat keterkaitan antara hal-hal yang berbeda

Memiliki cita-rasa totalitas

Senang bertanya ”mengapa” atau ”bagai-mana jika”, cenderung mencari jawaban-jawaban mendasar (prinsipiil).

Suka bertanya tentang dari mana asal manusia dan hendak ke mana sesudah mati

Adil Memiliki rasa adil, suka meperjuangkan keadilan dan perdamaian.

Mudah bekerja melawan konvensi atau kebiasaan

Berjiwa kreatif

Rajin berdoa Rajin berdoa dan berdoa untuk orang lainIngin selalu memperbaiki diri dalam perjalanan menjadi baik

Suka memperbaiki kelemahan diri

Berani berpendirian kepada kebenaran Cinta kepada yang benarMemliki standar (patokan) moral danetika

Menjalankan tuntutan hati nurani, memili-ki kerangka acuan etis, menghormati mar-tabat manusia

Hati mencintai Tuhan Tuhan adalah sahabat anak, mencintai Tuhan dan suka mencari kehendak Allah

Tak melanggar hukum walaupun tanpa resiko kena sangsi

Taat kepada orang tua dan aturan yang berguna bagi manusia

Mencintai dan aktif memelihara lingkung-an hidup

Menghormati hak hidup, mengolah sambil memelihara alam, suka membangun dan memperbaharui

Page 25: BAB I - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/621/1/Laporan_Hasil_Penelitian_(PELAKSANAAN... · adalah kekhawatiran terjadinya perpecahan bangsa akibat dari pertikaian antar umat beragama

23

Suka memelihara hewan Menghormati hak hidup dan memelihara alam

Bersyukur atas keberuntungan diri Suka bersyukurSuka memegang janji (komitmen) Keutuhan berdisiplinToleran terhadap perbedaan Membiarkan orang lain melakukan ajaran

yg diyakini, mengakui jalan yg ditempuh orang lain sesuai dengan kondisinya.

Anti kekerasan Menyinarkan damai murniRendah hati Rendah hati, tidak mencari menangHemat (tak konsumtif dan tak boros) ?Sopan Sopan dan paham mengapa harus sopanDapat dipercaya Dapat dipercayaTerbuka waktu berinteraksi dengan orang lain

Solider

7. Bentuk-Bentuk Pelayanan untuk Mengembangkan Kecerdasan Spiritual dan

Sikap Religius Siswa di Sekolah

Berbagai kegiatan yang dapat dilakukan di sekolah untuk mengembangkan kecerdasan

spiritual dan sikap religius siswa adalah:

a. Mengadakan kegiatan PMR sebagai kegiatan ekstrakurikuler.

b. Mendorong siswa memberikan sumbangan bagi sesama yang terkena musibah,

kaum miskin dan orang-orang yang rentan, seperti anak-anak yatim-piatu, orang

jompo, anak jalanan, orang cacat.

c. Menjadi kakak atau teman asuh dengan membayar uang sekolah atau kebutuhan

adik kelas atau teman kelas.

d. Melakukan aksi sosial untuk kaum miskin dan membuat laporan.

e. Menghargai teman, tidak mengolok-olok teman.

f. Melaksanakan hak asasi manusia terutama hak asasi anak

g. Mengadakan kegiatan pramuka sebagai kegiatan ekstrakurikuler

h. Merefleksikan dengan membuat rancangan, melaksanakan dan mengevaluasi

kegiatan doa lintas agama dan kepercayaan.

i. Merenungkan dan berbagi pengalaman iman/rohani.

j. Menulis puisi dan prosa yang berkaian dengan nilai-nilai religius.

k. Mengadakan berbagai kegiatan sastra dan drama di sekolah.

l. Mengunjungi komunitas agama dan kepercayaan lain di lingkungan setempat dan

membuat laporan.

Page 26: BAB I - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/621/1/Laporan_Hasil_Penelitian_(PELAKSANAAN... · adalah kekhawatiran terjadinya perpecahan bangsa akibat dari pertikaian antar umat beragama

24

m. Melaporkan dan merefleksikan tindakan bergaul dan bekerja sama dengan

siapapun.

n. Menggalakkan aktivitas kesenian di sekolah, misanya melalui vokal grup, koor,

band, drumband, orkestra, seni tari, dll.

o. Melatih siswa menghargai dan bertanggung jawab terhadap hal-hal sehari-hari

yang tak berarti dan tak berhubungan dengan khidupan rohani.

p. Memastikan bahwa para guru menjadi teladan bagi para siswa dalam kehidupan

nyata sehari-hari di sekolah.

q. Mendorong siswa membaca buku cerita dan novel yang bermutu.

r. Membiasakan berdialog dengan siswa dan melatih siswa berdialog antar mereka.

s. Melatih siswa berdialog melalui imajinasi dunia yang indah lewat perlambangan

puisi, musik, cerita, drama, permainan, dan ikhtiar lain yang sesuai dengan siswa.

t. Menanamkan dan menyadarkan bahwa Tuhan bukan mandor pencari kesalahan,

bukan raja yang sewenang-wenang, bukan pedagang serakah, bukan pemimpin

partai atau golongan, dan bukan tukang sulap agung.

Sejauh mana bentuk-bentuk pelayanan untuk mengembangkan kecerdasan spiritual

dan sikap religius anak didik di atas dilaksanakan di sekolah?

B. Konstruk Analisis Yang Digunakan

James Fowler (1988) mengemukakan bahwa manusia memiliki 6 tahap iman yaitu; 1)

iman dihayati sebagai kegiatan meniru, 2) iman dihayati sebagai usaha pemenuhan

terhadap perintah-perintah, 3) iman dihayati sebagai usaha untuk menjaga warisan nilai-

nilai kelompok atau jemaat, 4) iman dihayati sebagai usaha untuk mengikuti hati

nuraninya, 5) iman dihayati sebagai usaha untuk mewujudkan nilai-nilai universal, seperti

perdamaian dan keadilan tanpa memandang latar belakang manusianya, 6) iman dihayati

sebagai usaha untuk mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan dalam kerjasama antara

kesetiaan aktif manusiawi dan rahmat Ilahi. Secara garis besar mereka yang berada pada

tahap 1, 2, dan 3, dipandang beriman hanya dalam batas-batas kelompok atau jemaatnya

saja (in-group), dan orang yang tidak masuk dalam kelompok atau jemaatnya (out-group)

dianggap tidak beriman. Sedangkan mereka yang berada pada tahap 4, 5, dan 6,

dipandang dalam perspektif yang lebih luas, yaitu mereka yang berjuang demi tegaknya

Page 27: BAB I - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/621/1/Laporan_Hasil_Penelitian_(PELAKSANAAN... · adalah kekhawatiran terjadinya perpecahan bangsa akibat dari pertikaian antar umat beragama

25

nilai-nilai kemanusiaan universal, sikapnya semakin terbuka terhadap umat lainnya, mau

bekerjasama dalam penghargaan satu terhadap yang lain demi terwujudnya perdamaian

dan demi masa depan yang lebih baik bagi semua bangsa.

Hasil penelitian Asri Budiningsih dkk., terhadap remaja-remaja SMP dan SMA di

Jawa (2001) nenunjukkan bahwa iman mereka berada pada tahap 3, dimana iman

dihayati sebagai usaha untuk menjaga warisan nilai-nilai kelompok atau jemaat semata.

Remaja mengalami perubahan radikal dalam caranya �ember arti. Ia berupaya

menciptakan sintesis identitas. Soal identitas dan diri batiniah pada dirinya sendiri

maupun orang lain sangat menarik perhatiannya. Namun penciptaan identitas pribadi dan

arti ini bersifat konformistis, yaitu serupa dengan pandangan orang lain/masyarakat,

karena identitas diri dibentuk berdasarkan rasa dipercaya dan diteguhkan oleh orang lain.

Tempat otoritas ada di antara orang lain dan dirinya. Menciptakan relasi dengan orang

lain sangat penting dan ini ditandai oleh kesetiakawanan emosional. Remaja tertarik pada

ideologi dan agama. Hal ini sesuai dengan pendapat Fowler bahwa remaja memandang

agama sebagai bentuk kelembagaan sistem keyakinan dan nilai untuk menyalurkan

kesetiakawanan emosional pada orang-orang lain sebagai relasi sosialnya. Agamalah

yang menciptakan kerangka makna eksistensial (iman) yang terdalam dan terakhir.

Namun sintesis religius ini sering bersifat kurang refleksif dan masih terikat (sering

secara negatif) pada pandangan religius konformistik.

Selama ini pendidikan iman dilakukan melalui pendidikan agama dengan pendekatan

teologis-dogmatis. Jika meminjam taksonomi Bloom, tujuan pendidikan agama tidak

sampai pada aspek penalaran atau penilaian. Penanaman iman demikian akan melahirkan

iman yang heteronom. Sedangkan pendidikan iman (religiositas) menyangkut upaya

mental untuk menciptakan, memelihara, dan mentransformasikan arti. Pendekatan Fowler

adalah teori psikososial dan teori kognitif-struktural yang tidak sejalan dengan pendekat-

an pendidikan agama yang teologis-dogmatis. Iman berkembang secara bertahap dan

mengarah pada terbentuknya iman yang otonom.

Mendasarkan pada teori tahap-tahap perkembangan penalaran moral menurut

Kohlberg, ditemukan juga bahwa penalaran moral remaja di Jawa cenderung berada pada

tahap III yaitu orientasi kerukunan atau orientasi good boy-nice girl (Asri Budiningsih,

dkk, 2001). Remaja cenderung berpandangan bahwa tingkah laku yang baik adalah yang

Page 28: BAB I - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/621/1/Laporan_Hasil_Penelitian_(PELAKSANAAN... · adalah kekhawatiran terjadinya perpecahan bangsa akibat dari pertikaian antar umat beragama

26

menyenangkan atau menolong orang lain serta diakui oleh orang lain. Mereka cenderung

bertindak menurut harapan-harapan lingkungan sosialnya, sehingga mendapat pengakuan

sebagai “anak yang baik”. Tujuan utamanya, demi hubungan sosial yang memuaskan,

iapun harus berperan sesuai dengan harapan-harapan keluarga dan masyarakatnya.

Masyarakat dan keluarga telah memiliki nilai-nilai yang harus diikuti oleh generasi

muda. Dalam menanamkan nilai-nilai tersebut digunakan cara instruktif, ceramah,

nasehat, hukuman edukatif dan kadang-kadang diskusi. Cara transmisi kultural demikian

hanya memberikan “paket nilai-nilai” seperti jadilah warga negara yang baik, belajarlah

dengan rajin, bersikaplah tenggang rasa, berbuatlah sopan, dan lain-lain. Cara demikian

bukan hanya dapat dipertanyakan “isi” kebenarannya, tetapi juga sangat jarang ada guru

atau orang dewasa dapat mengajarkannya secara tepat dengan menghadapi anak/remaja

sebagai subyek moral yang rasional. Akibatnya anak dapat melaksanakan nilai-nilai yang

dikehendaki orang dewasa, tetapi tidak memahami alasannya. Mereka dapat menghafal-

kan tetapi tidak mengerti maknanya. Cara ini tidak menghormati anak sebagai subyek

moral, sehingga terbentuk nilai-nilai moral heteronom.

Penelitian Kohlberg membenarkan gagasan Piaget (Cremers, 1995) bahwa pada masa

remaja, tahap tertinggi dalam proses penalaran moral dapat dicapai. Sebagaimana Piaget

telah membuktikan bahwa baru pada masa remaja pola pemikiran operasional-formal

berkembang, demikian pula Kohlberg secara sejajar pada bidang perkembangan moral

memperlihatkan bahwa pada masa remaja dapat dicapai tahap tertinggi pertim-bangan

moral di mana remaja berhasil menerapkan prinsip keadilan yang universal.

Penelitian Asri Budiningsih dkk. (2001) juga menemukan kecenderungan empati

remaja terhadap orang lain merefleksikan surface feelings. Mereka hanya menanggapi

perasaan-perasaan yang terungkapkan, sedangkan perasaan di balik perasaan belum dapat

ditangkap. Peran sosial remaja cenderung cukup, namun mereka hanya mau berperan di

dalam kelompoknya. Dari hasil kajian di atas perlu diadakan reorientasi dan reorganisasi

dalam pendidikan agama, agar terbentuk generasi yang memiliki kekuatan iman yang

otonom, memiliki sikap juang demi tegaknya nilai-nilai kemanusiaan universal, semakin

terbuka terhadap umat lainnya, mau bekerjasama dan menghargai satu dengan lainnya

demi terwujudnya perdamaian dan masa depan bangsa yang lebih baik.

Page 29: BAB I - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/621/1/Laporan_Hasil_Penelitian_(PELAKSANAAN... · adalah kekhawatiran terjadinya perpecahan bangsa akibat dari pertikaian antar umat beragama

27

Mendasarkan pada temuan-temuan penelitian di atas, amatlah urgen dilakukan

penelitian serupa untuk bidang studi pendidikan agama di SD. Hasil penelitian dapat

menjadi masukan bagi para guru pendidikan agama untuk meningkatkan kualitas

pembelajarannya. Juga sebagai masukan bagi pengambil kebijakan, hasil penelitian ini

dapat memberikan masukan berkenaan dengan aplikasi secara sistematis dan sistemik

dalam mengembangkan teori pendidikan dan pembelajaran serta pelaksanaannya pada

matapelajaran pendidikan agama SD.

C. Pertanyaan-Pertanyaan Penelitian.

Mendasarkan kajian teori di atas dapat dirumuskan beberapa pertanyaan penelitian

yang perlu dicari jawabannya adalah:

1. Media atau sumber-sumber belajar apa saja yang tersedia di sekolah guna menunjang

pelaksanaan pendidikan agama di SD?

2. Dari yang tersedia di sekolah, media atau sumber-sumber belajar apa yang cenderung

digunakan guru dalam kegiatan pembelajaran dan yang paling banyak digunakan?

3. Hambatan-hambatan apa yang dijumpai guru dalam menggunakan media atau sumber-

sumber belajar untuk menunjang pelaksanaan pendidikan agama?

4. Bagaimana penggunaan media dan sumber-sumber belajar pendidikan agama di SD

dalam proses pembelajaran?

5. Kemampuan guru dalam melaksanakan proses pembelajaran agama di SD apakah

sesuai dengan pola pikir peserta didik dan konteksnya, melalui langkah-langkah

sistematis, obyektif, serta menggunakan pendekatan induktif-konstruktivistik?

6. Bagaimana pemahaman guru-guru agama SD terhadap pendekatan konstruktivisme

dalam pelaksanaan pembelajaran?

7. Adakah hubungan antara kemampuan mengajar guru dengan gaya kognitifnya?

8. Adakah hubungan antara kemampuan mengajar guru dengan latar belakang pendidik-

annya?

9. Adakah hubungan antara kemampuan mengajar guru dengan pengalaman kerjanya?

Page 30: BAB I - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/621/1/Laporan_Hasil_Penelitian_(PELAKSANAAN... · adalah kekhawatiran terjadinya perpecahan bangsa akibat dari pertikaian antar umat beragama

28

BAB III

TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

A.Tujuan Penelitian

Penelitian ini ingin memberikan informasi tentang; 1) gambaran atau profil tentang

ketersediaan, pemanfaatan dan hambatan penggunaan media dan sumber-sumber belajar

guna mencapai misi dan tujuan pendidikan agama di SD, 2) gambaran tentang

kemampuan guru dalam pelaksanaan proses pembelajaran pendidikan agama di SD-SD

Negeri di wilayah kota Yogyakarta ditinjau dari sistematika atau skenario pembelajaran,

obyektifitas dan pendekatan pembelajaran yang digunakan, serta pemahaman guru-guru

agama SD terhadap pendekatan konstruktivisme dalam pelaksanaan pembelajaran, dan 3)

memberikan informasi tentang hubungan antara kemampuan mengajar guru dengan gaya

kognitif, latar belakang pendidikan dan pengalaman kerjanya.

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan dukungan informasi empiris

maupun teoritis bahwa penanaman iman/religiositas kepada anak selama ini dilaksanakan

melalui pendidikan agama dengan pendekatan teologis-dogmatis yang sering kali tidak

sampai pada aspek penalaran atau penilaian, sehingga melahirkan iman yang heteronom.

Pendidikan iman seharusnya menyangkut upaya mental melalui pendekatan psikososial

dengan teori kognitif-struktural (konstruktivistik), sesuai dengan pola pikir peserta didik

dan konteksnya sehingga iman berkembang secara bertahap mengarah pada terbentuknya

iman yang otonom.

B. Manfaat Penelitian

Secara teoritis, hasil penelitian ini merekomendasikan bahwa dalam melaksanakan

pembelajaran pendidikan agama di SD harus didasarkan pada karakteristik siswa.

Karakteristik yang dimaksud meliputi kebutuhan belajar siswa atau perspektif

perkembangan siswa sebagai kerangka pikir pembelajaran (developmentally appropriate

practice). Sebagaimana dijelaskan bahwa pendidikan keimanan (religiositas) menyangkut

upaya mental untuk menciptakan, memelihara, dan mentransformasikan arti, sehingga

iman berkembang secara bertahap dan mengarah pada terbentuknya iman yang otonom.

Page 31: BAB I - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/621/1/Laporan_Hasil_Penelitian_(PELAKSANAAN... · adalah kekhawatiran terjadinya perpecahan bangsa akibat dari pertikaian antar umat beragama

29

Menurut Piaget, umur 7/8–11/12 tahun (usia SD) berada pada tahap operasional

konkrit. Ciri-ciri usia ini, anak sudah mulai menggunakan aturan-aturan yang jelas dan

logis, ditandai adanya reversible dan kekekalan. Ia memiliki kecakapan berpikir logis,

tetapi hanya dengan benda-benda konkrit. Mereka kurang mampu menelaah persoalan

karena masih memiliki permasalahan berpikir abstrak. Dalam proses pembelajaran anak

anak masih sangat membutuhkan benda-benda konkrit.

Melalui penelitian ini akan diperoleh informasi tentang, sudahkah para guru di dalam

melaksanakan pembelajaran pendidikan Agama di SD mendasarkan pendekatan kognitif-

struktural agar terbentuk iman anak yang otonom? Sudahkah para guru di dalam

melaksanakan pembelajaran pendidikan Agama di SD menggunakan media dan sumber-

sumber belajar?

Sedangkan secara praktis, hasil penelitian ini bermanfaat bagi para guru dan pihak-

pihak terkait dengan pelaksanaan pendidikan Agama di SD, untuk menjadikan hasil

penelitian ini sebagai bahan pertimbangan dalam mencapai misi dan tujuan pendidikan

agama. Bagi para penyusun dan pengembang kurikulum serta silabus pendidikan Agama

SD dapat mengetahui kekuatan dan kelemahan pembelajaran pendidikan Agama di kelas,

sehingga ada upaya meningkatkan kualitasnya dalam rangka mencapai misi dan tujuan

pendidikan agama SD.

Page 32: BAB I - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/621/1/Laporan_Hasil_Penelitian_(PELAKSANAAN... · adalah kekhawatiran terjadinya perpecahan bangsa akibat dari pertikaian antar umat beragama

30

BAB IV

MEODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Masalah utama penelitian ini adalah, (1) Bagaimana ketersediaan sumber–sumber

belajar di SD untuk menunjang pelaksanaan pendidikan agama, serta sumber-sumber

belajar mana yang dipergunakan guru dalam pembelajaran? Apa hambatan-hambatan

dalam menggunakan media atau sumber-sumber belajar untuk menunjang pelaksanaan

pendidikan agama di SD? (2) Bagaimana gambaran proses pembelajaran pendidikan

agama di SD-SD Negeri di wilayah kota Yogyakarta ditinjau dari sistematika atau

skenario pembelajaran, obyektifitas dan pendekatannya, serta bagaimana pemahaman

guru terhadap penerapan pendekatan konstruktivistik dalam pembelajaran? 3) Apakah

ada hubungan antara kemampuan mengajar guru (sebagai kriteria) dengan gaya kognitif,

latar belakang pendidikan dan pengalaman kerjanya (sebagai prediktor)? Penelitian ini

dilakukan dengan menggunakan jenis penelitian deskriptif-korelasional.

Hubungan antara prediktor (ketiga aspek karakteristik guru) tersebut dengan kriterium

dapat digambarkan dalam diagram berikut:

Prediktor ( X)

Kriteria ( Y)

Diagram: Hubungan antara Variabel Bebas (Prediktor) dengan Variabel Terikat

(Kriteria)

B. Subyek Penelitian

Populasi penelitian ini adalah para guru agama (Islam, Kristen, Katolik) di SD-SD

Negeri di wilayah Kota Yogyakarta. Penelitian ini hanya dilakukan terhadap kelompok

sampel. Besarnya sampel ditentukan menggunakan teknik quota-area random sampling.

Sampel diambil secara rambang untuk menentukan sampel sekolah dan sampel guru yang

Gaya kognitif

Latar belakang pendidikan

Pengalaman mengajar

Kemampuan mengajar

Page 33: BAB I - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/621/1/Laporan_Hasil_Penelitian_(PELAKSANAAN... · adalah kekhawatiran terjadinya perpecahan bangsa akibat dari pertikaian antar umat beragama

31

berada di wilayah Yogya Utara, Yogya Selatan, Yogya Timur dan Yogya Barat, dengan

menggunakan strata berdasarkan kualitas/peringkat sekolah (sekolah yang baik, sedang,

dan kurang) dilihat dari perolehan NEM. SD-SD yang diambil adalah SD-SD yang

menyelenggarakan pendidikan agama Islam, Kristen dan Katolik yang berjumlah 36.

C. Instrumen Pengumpulan Data

Instrumen penelitian yang digunakan untuk menjaring tiga kelompok data penelitian

yaitu; (1) data tentang ketersediaan, pemanfaatan dan hambatan penggunaan media/

sumber belajar, (2) data kemampuan guru melaksanakan proses pembelajaran agama di

sekolah dasar dan pemahaman guru terhadap penerapan pendekatan konstruktivistik

dalam pembelajaran, (3) data karakteristk guru dilihat dari gaya kognitif, latar belakang

pendidikan, dan pengalaman mengajarnya.

Data tentang ketersediaan, pemanfaatan dan hambatan penggunaan media/sumber

belajar digali melalui pengamatan, dokumentasi dan wawancara. Data tentang kemam-

puan pelaksanaan pembelajaran dan pemahaman guru pendidikan agama di SD digali

menggunakan teknik pengamatan dan Tes. Data gaya kognitif digali menggunakan

instrumen Group Embedded Figure Test (GEFT) yang dikembangkan oleh Witkin dan

telah diadaptasi oleh Diptoadi (1993). Sedangkan latar belakang pendidikan dan

pengalaman mengajar guru digali menggunakan instrumen identitas responden, dimana

responden diminta mengisi atau memilih salah satu alternatif jawaban yang telah

disediakan sesuai dengan keadaan responden.

Tes pemahaman diberikan kepada guru untuk mengetahui tingkat pemahaman guru

terhadap penerapan pendekatan konstruktivistik dalam kegiatan pembelajaran agama di

SD. Lembar pengamatan digunakan untuk mendapatkan data berkaitan dengan

penggunaan pendekatan dan metode pembelajaran yang digunakan guru dalam proses

pembelajaran, apakah sudah sesuai dengan logika pikir dan konteks lingkungan anak,

apakah guru telah mengembangkan potensi mental pada diri anak dalam menciptakan,

memelihara, dan mentransformasikan arti melalui pendekatan kognitif-struktural yang

mampu mengarah pada perkembangan iman secara bertahap menuju pada terbentuknya

iman otonom.

Page 34: BAB I - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/621/1/Laporan_Hasil_Penelitian_(PELAKSANAAN... · adalah kekhawatiran terjadinya perpecahan bangsa akibat dari pertikaian antar umat beragama

32

Kurikulum formal dijabarkan ke dalam kurikulum instruksional berupa seperangkat

skenario pembelajaran pada jam-jam pertemuan sebagai bentuk implementasi kurikulum.

Interaksi pembelajaran yang tergelar dalam sesi-sesi pembelajaran sebagai kurikulum

eksperiensial berkaitan dengan apa yang dikerjakan guru, apa yang dikerjakan siswa, dan

bagaimana interaksi keduanya. Pengalaman belajar yang diharapkan lebih ditekankan

pada proses keterbentukan pegetahuan, kemampuan, sikap dan nilai yang sesuai dengan

perspektif perkembangan siswa sebagai kerangka pikir pembelajaran (developmentally

appropriate practice), dengan menggunakan pendekatan induktif-konstruktivistik.

Item-item tes dikembangkan ke dalam item-item obyektif yang terdiri dari 20 item

dengan 4 alternatif jawaban pada setiap itemnya. Sedangkan lembar pengamatan kegiatan

pembelajaran terdiri dari 4 aspek yang dijabarkan ke dalam 21 item meliput: 1) aspek

guru meliputi item-item; a) penguasaan materi, b) teknik menjelaskan, c) cara melibatkan

siswa dalam pembelajaran, d) memberikan balikan e) memberikan penguatan, f) cara

menanggapi pertanyaan/komentar siswa, g) memberi bantuan secara individual. 2) Aspek

siswa meliputi item-item; a) kehadiran siswa, b) keterlibatan siswa dalam pembelajaran,

c) jenis kegiatan yang dilakukan siswa, d) kualitas respon/pertanyaan yang disampaikan,

e) antusiasme siswa dalam pembelajaran, f) rasa ingin tahu siswa. 3) aspek iklim

pembelajaran meliputi item-item; a) cara pengorganisasian kegiatan, b) komunikasi guru

dan siswa, c) suasana saling mempercayai dan menghormati, d) kehangatan suasana, e)

iklim belajar yang membetahkan. 4) Kaitannya dengan kehidupan nyata meliputi item-

item; a) pemodelan materi pembelajaran dalam kehidupan, b) penggunaan contoh-contoh

yang diambil dari kehidupan siswa, c) refleksi (keterlibatan siswa dalam refleksi).

Setiap item dinilai ke dalam 4 skala yaitu skala 1 sampai dengan 4. Skala 1

menunjukkan bahwa kegiatan pembelajaran guru kurang relevan, skala 2 menunjukkan

kegiatan relevan namun kurang tepat, skala 3 menunjukkan kegiatan adalah relevan dan

tepat, sedangkan skala 4 menunjukkan bahwa kegiatan relevan dan sangat tepat. Dengan

menggunakan skala 1 sampai dengan 4 maka dapat diketahui tingkat kemampuan

pembelajaran guru.

Data gaya kognitif digali dengan instrumen Group Embedded Figure Test (GEFT)

yang dikembangkan oleh Witkin dan telah diadaptasi oleh Diptoadi (1994). Instrumen

GEFT digunakan untuk mengukur dimensi gaya kognitif Field dependence (FD) dan

Page 35: BAB I - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/621/1/Laporan_Hasil_Penelitian_(PELAKSANAAN... · adalah kekhawatiran terjadinya perpecahan bangsa akibat dari pertikaian antar umat beragama

33

Field independence (FI). Instrumen terdiri dari 47 butir soal yang dikelompokkan ke

dalam lima macam dimensi gaya kognitif. Semua dimensi gaya kognitif ini mengacu

pada kebiasaan seseorang dalam memproses informasi. Lima dimensi tersebut adalah:

a. Dimensi gaya kognitif mendiskriminasi, menggambarkan kecenderungan seseorang

dalam memfokuskan perhatian terhadap suatu bagian informasi dari suatu obyek

informasi yang lebih kompleks.

b. Dimensi gaya kognitif mengkategorisasi, berhubungan dengan kecenderungan

seseorang dalam suatu bagian informasi yang dipakai sebagai patokan dalam memilah

informasi yang lebih kompleks.

c. Dimensi gaya kognitif menganalisis, berhubungan dengan kecenderungan dalam

menetapkan dan menggunakan bagian informasi guna memahami suatu informasi

yang lebih kompleks.

d. Dimensi gaya kognitif meruangkan, berhubungan dengan kebiasaan seseorang dalam

membentuk imaginasi secara ruang dalam pikiran.

e. Dimensi gaya kognitif mengingat, berhubungan dengan kebiasaan cara mengingat

informasi yang disajikan secara berulang.

Masing-masing item memiliki rentang skor nol dan satu. Kecenderungan respon oleh

responden dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok, yaitu kolompok skor tinggi

adalah mereka yang memiliki gaya kognitif FI, dan kelompok skor rendah adalah mereka

yang memiliki gaya kognitif FD. Kelompok FD pada umumnya kurang mampu

menstruktur informasi (materi pembelajaran) secara efktif dalam pembelajaran.

Prosedur pengembangan instrumen meliputi 2 tahapan utama, yaitu penyusunan dan

uji-coba instrumen. Penyusunan instrumen meliputi kegiatan rekonstruksi untuk

instrumen yang disusun sendiri, dan adaptasi untuk instrumen yang disusun orang lain.

Adaptasi artinya, peneliti perlu menyesuaikan persoalan-persoalan yang terkandung

dalam tes-tes tersebut yang kurang sesuai dengan kondisi responden untuk disesuaikan

dengan persoalan-persoalan yang sering terjadi atau dialami oleh responden. Adaptasi tes

dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a) Peneliti menyimak terlebih dahulu masing-masing butir tes pada setiap jenis tes.

Page 36: BAB I - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/621/1/Laporan_Hasil_Penelitian_(PELAKSANAAN... · adalah kekhawatiran terjadinya perpecahan bangsa akibat dari pertikaian antar umat beragama

34

b) Dengan tetap memperhatikan pola, alur cerita dan komponen-komponen yang ada

dalam tes tersebut peneliti menyesuaikannya dengan hal-hal yang sering dialami oleh

responden.

c) Peneliti juga berusaha menyesuaikan atribut atau tanda-tanda yang ada dalam tes

untuk disesuaikan dengan atribut atau tanda-tanda yang sering digunakan oleh

responden.

Friedenberg (1995) dalam bukunya yang berjudul Psychological Testing: Design,

Analysis, and Use (halaman 11–15) mengatakan bahwa karakteristik tes yang baik harus

memenuhi syarat design properties dan psychometric properties. Empat syarat dasar

dalam design properties adalah bahwa tes yang baik mem-punyai: (1) a clearly defined

purpose, (2) a specific and standard content, (3) a standardized administration

procedure, dan (4) a set of scoring rules. Sedangkan tiga hal penting yang termasuk

dalam psychometric properties adalah: (1) reliability, (2) validity, dan (3) item analysis.

Untuk memenuhi persyaratan di atas, tes-tes yang telah disusun/diadaptasi kemudian

diseminarkan dan meminta pertimbangan kepada orang-orang yang kompeten, yang

karena latar belakang pendidikan serta karya-karyanya dipandang memahami aspek-

aspek yang diukur dalam tes-tes tersebut. Pertimbangan yang dimaksud dalam rangka

content validation, yaitu memberikan rational judgment atau professional judgment

tentang kesesuaian pernyataan-pernyataan/item-item tes dengan kawasan isi obyek yang

hendak diukur, atau sejauh mana isi tes mencerminkan ciri atribut yang hendak diukur

(Azwar, 1997). Selain harus mencakup kawasan isi obyek yang hendak diukur, tes harus

juga memuat hanya isi yang relevan dan tidak keluar dari batasan tujuan pengukuran.

Orang-orang judges (termasuk peneliti sendiri) bekerja secara independen, kemudian skor

/skala ditentukan berdasarkan highest agreement di antara judges tersebut.

Dalam pelaksanaannya, uji coba instrumen dilakukan dalam dua tahap, yaitu tahap pra-

ujicoba dan tahap ujicoba. Pra-ujicoba dilakukan untuk memperbaiki unsur-unsur

redaksional instrumen dan kesesuaiannya dengan kondisi responden. Dalam pra-ujicoba

kegiatan diarahkan untuk menjawab: (a) apakah responden dapat mengerti tes yang

disusun/diadaptasi oleh peneliti, (b) apakah responden dapat membuat keputusan atau

pilihan terhadap jawaban tes, (c) apakah responden dapat memberikan alasan-alasan atau

pertimbangan-pertimbangan atas keputusan yang mereka buat. Kegiatan ini dimaksudkan

Page 37: BAB I - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/621/1/Laporan_Hasil_Penelitian_(PELAKSANAAN... · adalah kekhawatiran terjadinya perpecahan bangsa akibat dari pertikaian antar umat beragama

35

untuk memperoleh/memilih item-item tes yang memiliki konsistensi jawaban tinggi.

Untuk itu penilaian terhadap jawaban setiap responden dilakukan oleh beberapa orang

penilai (antar rater). Di samping kegiatan ini digunakan sebagai dasar untuk memilih

item-item tes yang memiliki konsistensi jawaban tinggi, juga sebagai dasar penyusunan

tes dari tes yang berbentuk uraian ke dalam tes skala dengan item-item obyektif. Tes

dikembangkan dalam bentuk tes skala dengan item-item obyektif dengan pertimbangan

agar penelitian mampu menjangkau sejumlah besar subyek penelitian.

Uji-coba empiris terutama bertujuan untuk menguji reliabilitas instrumen dan mencari

bukti tambahan tentang fungsi butir berdasarkan statistik butir tertentu. Statistik butir ini

juga berhubungan dengan reliabilitas. Statistik butir yang dipilih adalah r-it. Dalam kaitan

dengan validasi instrumen, statistik ini menunjukkan sejauh mana fungsi/kinerja butir

sejalan dengan fungsi/kinerja instrumennya, khususnya dalam membedakan subyek yang

tinggi dan rendah dalam hal atribut yang diukur (konsistensi internal). Tetapi r-it

sesungguhnya tidak boleh terlalu mendekati 1.00, sebab justru membuat instrumen terlalu

homogen, sehingga merugikan validitas instrumennya. Hasil pengujian ini digunakan

sebagai dasar untuk mempertimbangkan keberadaan butir-butir tes, yaitu digugurkan,

dipertahankan, atau dipertahankan dengan beberapa perubahan.

Dalam kaitan dengan uji reliabilitas instrumen statistik butir tersebut berguna untuk

memilih butir-butir yang secara agregat (sebagai instrumen) akan memberikan hasil

pengukuran dengan reliabilitas tertinggi, yakni butir-butir yang memiliki fungsi/kinerja

yang sejalan dengan instrumennya secara ideal (r-it ideal).

Uji-coba dilakukan untuk mengetahui internal validity, dengan cara mengkorelasikan

nilai setiap butir tes dengan nilai totalnya pada masing-masing tes. Dengan menggunakan

analisis butir diasumsikan bahwa sebuah tes/instrumen memiliki validitas empirik yang

tinggi apabila butir-butir yang membentuk instrumen tersebut tidak menyimpang dari

fungsi instrumennya. Untuk mengetahui menyimpang tidaknya butir-butir tes ini dari

fungsinya, dicari kesejajaran skor butir-butir tes tersebut dengan skor totalnya, dengan

menggunakan rumus Pearson Correlation. Prosedur penghitungannya dilakukan melalui

komputer dengan menggunakan program SPS/PC+9.8. dengan prosedur: (1) menghitung

matriks korelasi semua variabel, (2) menjumlahkan data butir, (3) mengkorelasikan

masing-masing butir dengan total-nya, (4) mencari butir-butir yang valid.

Page 38: BAB I - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/621/1/Laporan_Hasil_Penelitian_(PELAKSANAAN... · adalah kekhawatiran terjadinya perpecahan bangsa akibat dari pertikaian antar umat beragama

36

Selanjutnya uji-coba dilakukan kembali untuk mengetahui reliabilitas tes. Teknik yang

dipergunakan adalah teknik ulang (test-retest). Hasil pengujian pertama dan kedua

dicatat, kemudian dikorelasikan dengan menggunakan rumus korelasi product-moment.

Rumus ini digunakan dengan alasan teknik ini paling stabil karena memiliki kesalahan

baku paling kecil.

D. Teknik Pengumpulan Data

Dalam mengumpulkan data, peneliti dibantu oleh 6 orang tenaga pengumpul data

yang sudah dipersiapkan, dan telah berpengalaman dalam pengumpulan data. Namun

demikian peneliti masih tetap memberikan orientasi singkat kepada para personil

tersebut, khususnya yang berkaitan dengan cara pengisian tes dan pengamatan di kelas.

Selama pengumpulan data juga dibantu oleh kepala sekolah tempat penelitian

berlangsung. Subyek penelitian yang sudah ditentukan melalui teknik sampling

dikumpulkan untuk diamati, diberi tes, dan dilakukan wawancara. Kegiatan berikutnya

adalah skoring terhadap tes yang sudah dikerjakan. Langkah-langkahnya adalah:

1. Mengidentifikasi jawaban-jawaban yang telah dipilih oleh responden, kemudian

memberikan skor pada setiap jawaban untuk masing-masing tes dengan merujuk

pada rambu-rambu jawaban yang telah disediakan. Karena besarnya skor menunjuk-

kan peningkatan kualitas, maka peningkatan itu perlu dinyatakan dengan bilangan/

skor yang semakin besar. Pensekoran untuk masing-masing item tes ditetapkan

secara rasional-apriori sebagai berikut:

a. Ketersediaan media/sumber–sumber belajar di SD untuk menunjang pelaksanaan

pendidikan agama, serta media/sumber-sumber belajar yang dipergunakan guru

dalam pembelajaran. Hambatan-hambatan dalam menggunakan media/sumber-

sumber belajar untuk menunjang pelaksanaan pendidikan agama di SD.

b. Pengamatan terhadap kemampuan guru melaksanakan proses pembelajaran agama

di SD. Ada empat alternatif jawaban yang ditunjukkan pada skala 1 sampai

dengan 4. Skala 1 = skor 1; menunjukkan bahwa kegiatan pemblajaran guru

kurang relevan, skala 2 = skor 2; menunjukkan kegiatan relevan namun kurang

tepat, skala 3 = skor 3; menunjukkan kegiatan adalah relevan dan tepat,

sedangkan skala 4 = skor 4; menunjukkan bahwa kegiatan relevan dan sangat

Page 39: BAB I - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/621/1/Laporan_Hasil_Penelitian_(PELAKSANAAN... · adalah kekhawatiran terjadinya perpecahan bangsa akibat dari pertikaian antar umat beragama

37

tepat. Skor tertinggi 84 sedangkan skor terrendah 21. Dengan menggunakan skor

1 sampai dengan 4 maka dapat diketahui tingkat kemampuan pembelajaran guru.

c. Tes pemahaman diberikan kepada guru untuk mengetahui tingkat pengetahuan

guru terhadap pendekatan konstruktivistik yang dilaksanakan dalam kegiatan

pembelajaran agama di SD guna mencapai misi pendidikan agama. Kriteria

penilaian akhir data kuantitatif diperoleh dengan menghitung skor penilaian

terhadap setiap alternatif jawaban, dimana ada 20 item setiap item disediakan 4

alternatif jawaban sehingga skor tertinggi adalah 20 sedangkan skor terrendah 0.

Baik untuk data pengamatan maupun data tes pemahaman, konversi skor yang

diperoleh responden dianalisis berdasarkan pedoman penilaian yang dikemukakan

di dalam buku panduan penilaian kemampuan (hasil belajar) mahasiswa yang

dikeluarkan oleh FIP UNY yang dimodifikasi oleh peneliti (2009). Lebih jelas

dapat dilihat pada tabel berikuti ini:

Tabel Konversi skor ke nilai pada 4 skala

Rentang (%) Kategori80-100 Sangat baik71-79 Baik61-70 Cukup21-60 Kurang

d. Instrumen GEFT digunakan untuk mengukur dimensi gaya kognitif Field

dependence (FD) dan Field independence (FI). Instrumen terdiri dari 47 butir soal

yang dikelompokkan ke dalam lima macam dimensi gaya kognitif. Skor jawaban

item dikelompokkan ke dalam dua kategori dengan skor 0 dan skor 1 sehingga

kecenderungan responden dapat dikelompokkan ke dalam kolompok skor tinggi

adalah mereka yang memiliki gaya kognitif FI dan kelompok skor rendah adalah

mereka yang memiliki gaya kognitif FD.

e. Latar belakang pendidikan dan pengalaman mengajar. Untuk menganalisis variabel

latar belakang pendidikan yang bersifat kategori, diubah menjadi data dummy

dengan teknik dummy coding. Penentuan jumlah variabel dummy ditetapkan dengan

rumus g-1, di mana g adalah jumlah kategori (Cohen & Cohen, 1983).

Page 40: BAB I - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/621/1/Laporan_Hasil_Penelitian_(PELAKSANAAN... · adalah kekhawatiran terjadinya perpecahan bangsa akibat dari pertikaian antar umat beragama

38

2. Menetapkan kedudukan setiap responden pada tingkat kemampuannya. Tingkat

inilah yang dijadikan skor bagi responden.

E. Teknik Analisis Data

Berdasarkan masalah dan tujuan penelitian ini, tehnik analisis data yang digunakan

adalah sebagai berikut :

a. Analisis kecenderungan dan rerata, untuk melihat informasi tentang ketersediaan,

pemanfaatan dan hambatan penggunaan media/sumber belajar.

b. Analisis rerata, untuk mendeskripsikan nilai rata-rata skor tes kemampuan guru-guru

dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran agama di SD.

c. Analisis persentase, untuk mendeskripsikan persentase skor tes pemahaman guru-guru

terhadap pendekatan konstruktivistik dalam melaksanakan pembelajaran, serta untuk

memperoleh gambaran mengenai kecenderungan gaya kognitif guru.

d. Analisis Pearson-Correlation untuk melihat hubungan antara kemampuan mengajar

guru dengan gaya kognitif, latar belakang pendidikan dan pengalaman kerjanya.

Semua perhitungan analisis data meliputi analisis rerata, analisis persentase, analisis

korelasi dilakukan dengan menggunakan program komputer SPS/PC+9.8. Dengan

demikian, seluruh data yang diperoleh dapat diketahui hasilnya.

Page 41: BAB I - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/621/1/Laporan_Hasil_Penelitian_(PELAKSANAAN... · adalah kekhawatiran terjadinya perpecahan bangsa akibat dari pertikaian antar umat beragama

39

BAB V

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Subyek, Waktu, dan Tempat Penelitian

Subyek penelitian adalah apa yang diamati dan dicatat sebagai data penelitian.

Subyek penelitian ini adalah pelaksanaan pembelajaran agama dan penggunaan media

atau sumber-sumber belajar oleh guru-guru pendidikan agama Islam, Kristen dan Katolik,

kelas satu hingga kelas enam di SD-SD Negeri wilayah kota Yogyakarta. Sebagai sampel

penelitian adalah 36 orang guru terdiri dari, 1) 3 orang guru agama Islam, 3 orang guru

agama Kristen, dan 3 orang guru agama Katolik dari wilayah Yogya Utara, 2) 3 orang

guru agama Islam, 3 orang guru agama Kristen, dan 3 orang guru agama Katolik dari

wilayah Yogya Selatan, 3) 3 orang guru agama Islam, 3 orang guru agama Kristen, dan 3

orang guru agama Katolik dari wilayah Yogya Timur, dan 4) 3 orang guru agama Islam,

3 orang guru agama Kristen, dan 3 orang guru agama Katolik dari wilayah Yogya Barat,

sehingga jumlahnya ada 36 orang guru. Kegiatan penelitian dilaksanakan pada tanggal 22

Juni 2010 hingga 13 Oktober 2010.

Sesuai permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian ini yaitu;

1. Media atau sumber-sumber belajar apa saja yang tersedia di sekolah guna menunjang

pelaksanaan pendidikan agama di SD?

2. Dari yang tersedia, media atau sumber-sumber belajar apa yang cenderung digunakan

guru dalam kegiatan pembelajaran dan yang paling banyak digunakan?

3. Hambatan-hambatan apa yang dijumpai guru dalam menggunakan media atau sumber-

sumber belajar untuk menunjang pelaksanaan pendidikan agama?

4. Bagaimana penggunaan media dan sumber-sumber belajar pendidikan agama di SD

dalam proses pembelajaran?

5. Kemampuan guru dalam melaksanakan proses pembelajaran agama di SD apakah

sesuai dengan pola pikir peserta didik dan konteksnya, melalui langkah-langkah

sistematis, obyektif, serta menggunakan pendekatan induktif-konstruktivistik?

6. Bagaimana pemahaman guru-guru agama SD terhadap pendekatan konstruktivisme

dalam pelaksanaan pembelajaran?

7. Adakah hubungan antara kemampuan mengajar guru dengan gaya kognitifnya?

Page 42: BAB I - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/621/1/Laporan_Hasil_Penelitian_(PELAKSANAAN... · adalah kekhawatiran terjadinya perpecahan bangsa akibat dari pertikaian antar umat beragama

40

8. Adakah hubungan antara kemampuan mengajar guru dengan latar belakang pendidik-

annya?

9. Adakah hubungan antara kemampuan mengajar guru dengan pengalaman kerjanya?

Untuk mengumpulkan data guna menjawab permasalahan penelitian di atas, peneliti

dibantu oleh 6 orang tenaga pengumpul data yang sudah dipersiapkan dan telah

berpengalaman dalam pengumpulan data. Namun demikian peneliti masih tetap

memberikan orientasi singkat kepada para personil pengumpul data, khususnya yang

berkaitan dengan cara pengisian tes dan pengamatan di kelas. Selama mengumpulkan

data juga dibantu oleh kepala sekolah dan guru kelas tempat penelitian berlangsung.

Subyek penelitian yang sudah ditentukan melalui teknik sampling dikumpulkan untuk

diamati, diberi tes, dan dilakukan wawancara.

B. Sajian Hasil Penelitian

Sajian hasil pengumpulan data diurutkan sebagai berikut;

Dari hasil pencermatan terhadap Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang

disusun oleh para guru dapat dilaporkan sbb:

1. Ada kecenderungan dalam mengembangkan RPP masih dijumpai kekurang konsis-

tenan antara komponen-komponen yang tertuang di dalam RPP. Misalnya, kurang

konsisten antara SK, KD, Indikator, media/alat yang digunakan dalam pembelajaran,

kegiatan pembelajaran dan evaluasi hasil belajar.

2. Penyusunan RPP masih bersifat global/umum, setiap pertemuan kurang terrinci dalam

mencantumkan langkah-langkah atau skenario pembelajaran. Misalnya, bagaimana

cara guru membentuk kelompok, bagaimana langkah-langkah yang harus dilakukan

anak didik untuk mengerjakan tugas selama pembelajaran, dan sebagainya, belum

tampak operasional.

3. Rumusan kalimat-kalimatnya di dalam RPP masih menampakkan peranan guru yang

lebih dominan (sebagai subyek), sedangkan peserta didik lebih ditempatkan sebagai

obyek pembelajaran.

Page 43: BAB I - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/621/1/Laporan_Hasil_Penelitian_(PELAKSANAAN... · adalah kekhawatiran terjadinya perpecahan bangsa akibat dari pertikaian antar umat beragama

41

Hasil analisis data sesuai rumusan masalah-masalah penelitian di atas disajikan sbb:

1. Media atau sumber-sumber belajar apa saja yang tersedia di sekolah guna menunjang

pelaksanaan pendidikan agama di SD?

Kecenderungan media atau sumber-sumber belajar yang tersedia di sekolah guna

menunjang pelaksanaan pendidikan agama di SD meliputi: buku-buku pendidikan

agama (untuk semua agama) 100%, juz’amma (untuk agama Islam) 92%, Iqro (untuk

agama Islam) 89%, poster (untuk semua agama) 72%, gambar-gambar (untuk semua

agama) 70%.

2. Dari yang tersedia, media atau sumber-sumber belajar apa yang cenderung digunakan

guru dalam kegiatan pembelajaran dan yang paling banyak digunakan?

Kecenderungan media atau sumber-sumber belajar yang dipergunakan guru di dalam

kegiatan pembelajaran meliputi: buku-buku pendidikan agama (untuk semua agama)

100%, juz’amma (untuk agama Islam) 80%, Iqro (untuk agama Islam) 76%, poster

(untuk semua agama) 62%, dan gambar-gambar (untuk semua agama) 60%.

Sedangkan media atau sumber-sumber belajar lain kurang dimanfaatkan.

3. Hambatan-hambatan apa yang dijumpai guru dalam menggunakan media atau sumber-

sumber belajar untuk menunjang pelaksanaan pendidikan agama?

Hambatan-hambatan yang dijumpai guru dalam menggunakan media atau sumber-

sumber belajar untuk menunjang pelaksanaan pendidikan agama meliputi: Guru

kurang mampu mengoperasikan media berbasis TI (86%), tidak ada tenaga pembantu

dalam menggunakan media (82%), tidak ada ruangan khusus guna menyimpan dan

menggunakan media (74%), tidak ada media yang representatif dengan pesan yang

diajarkan (72%), karena kesibukan lain yang harus dilakukan oleh guru (72%).

4. Bagaimana penggunaan media dan sumber-sumber belajar pendidikan agama di SD

dalam proses pembelajaran?

Hasil analisis terhadap penggunaan media dan sumber-sumber belajar oleh guru dalam

melaksanakan proses pembelajaran agama di SD ditunjukkan dengan skor rata-rata

77,89 (dari skor maksimal 128), median 76,17, dan mode 77,50. Dengan

menggunakan kriteria penilaian yang sudah ditetapkan maka dapat dikatakan bahwa

penggunaan media dan sumber-sumber belajar oleh guru dalam melaksanakan proses

pembelajaran agama di SD adalah pada kategori cukup (60,8%). Artinya, dalam

Page 44: BAB I - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/621/1/Laporan_Hasil_Penelitian_(PELAKSANAAN... · adalah kekhawatiran terjadinya perpecahan bangsa akibat dari pertikaian antar umat beragama

42

melaksanakan proses pembelajaran agama di SD para guru telah cukup menggunakan

media dan sumber-sumber belajar, namun masih perlu ditingkatkan dan perlu lebih

bervariasi dalam penggunaannya.

5. Kemampuan guru dalam melaksanakan proses pembelajaran agama di SD apakah

sesuai dengan pola pikir peserta didik dan konteksnya, melalui langkah-langkah

sistematis, obyektif, serta menggunakan pendekatan induktif-konstruktivistik?

Hasil analisis terhadap kemampuan guru dalam melaksanakan proses pembelajaran

agama di SD ditunjukkan dengan skor rata-rata 62,50 (dari skor maksimal 84), median

64,00, dan mode 64,50. Dengan menggunakan dasar penilaian yang sudah ditetapkan

maka dapat dikatakan bahwa kemampuan guru dalam melaksanakan proses

pembelajaran agama di SD dengan kategori baik (74,4%). Artinya, sudah sesuai

dengan pola pikir peserta didik dan konteksnya, melalui langkah-langkah sistematis,

obyektif, serta menggunakan pendekatan induktif-konstruktivistik.

6. Bagaimana pemahaman guru-guru agama SD terhadap pendekatan konstruktivisme

dalam pelaksanaan pembelajaran?

Hasil analisis terhadap pemahaman guru-guru secara konseptual tentang pendekatan

konstruktivistik dalam proses pembelajaran ditunjukkan dengan skor rata-rata 8,33

(dari skor maksimal 20) dan median 8,30. Dengan menggunakan dasar penilaian yang

sudah ditetapkan maka dapat dikatakan bahwa pemahaman guru secara konseptual

tentang pendekatan konstruktivistik dalam proses pembelajaran pada kategori kurang

(41,5%). Artinya, para guru belum memiliki pemahaman yang memadai tentang

pendekatan konstruktivistik dalam kegiatan pembelajaran.

7. Adakah hubungan antara kemampuan mengajar guru dengan gaya kognitifnya?

Hasil analisis terhadap kemampuan guru dalam melaksanakan proses pembelajaran

agama di SD dilihat dari gaya kognitifnya menunjukkan skor rata-rata guru dengan

gaya kognitif Field-dependent 63,8 sedangkan guru dengan gaya kognitif Field-

independent skor rata-ratanya 60,4. Tidak ada hubungan antara kemampuan mengajar

guru dengan gaya kognitifnya. Hal ini ditunjukkan dengan nilai F = 0,460 (p = 0,511).

7. Adakah hubungan antara kemampuan mengajar guru dengan pengalaman kerjanya?

Hasil analisis terhadap kemampuan guru dalam melaksanakan proses pembelajaran

agama di SD dilihat dari pengalaman mengajarnya menunjukkan skor rata-rata guru

Page 45: BAB I - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/621/1/Laporan_Hasil_Penelitian_(PELAKSANAAN... · adalah kekhawatiran terjadinya perpecahan bangsa akibat dari pertikaian antar umat beragama

43

dengan pengalaman mengajar lama 61,65 sedangkan guru dengan pengalaman

mengajar sedikit skor rata-ratanya 64,7. Tidak ada hubungan antara kemampuan

mengajar guru dengan pengalaman mengajarnya. Hal ini ditunjukkan dengan nilai F =

0,426 (p = 0,663).

8. Adakah hubungan antara kemampuan mengajar guru dengan latar belakang pendidik-

annya?

Hasil analisis terhadap kemampuan guru dalam melaksanakan proses pembelajaran

agama di SD dilihat dari jenjang pendidikan guru menunjukkan skor rata-rata guru

dengan jenjang pendidikan SLTA 63,5. Guru dengan jenjang pendidikan diploma

61,3. Guru dengan jenjang pendidikan sarjana S1 skor rata-ratanya 63. Tidak ada

hubungan antara kemampuan mengajar guru dengan jenjang pendidikanya. Hal ini

ditunjukkan dengan nilai F = 0,110 (p = 0,896).

C. Pembahasan

Dari hasil analisis data dapat dijelaskan bahwa:

1. Kecenderungan media atau sumber-sumber belajar yang tersedia di sekolah guna

menunjang pelaksanaan pendidikan agama di SD, kecenderungan media atau sumber-

sumber belajar yang dipergunakan guru di dalam kegiatan pembelajaran, serta hambatan-

hambatan yang dijumpai guru dalam menggunakan media atau sumber-sumber belajar

untuk menunjang pelaksanaan pendidikan agama meliputi; guru kurang mampu

mengoperasikan media berbasis TI, tidak ada tenaga pembantu, tidak ada ruang khusus

dalam menggunakan media, tidak ada media yang representatif dengan pesan yang

diajarkan, karena kesibukan guru lainnya. Kondisi demikian perlu diperhatikan oleh para

pimpinan di jajaran Kementrian Pendidikan pusat maupun daerah guna mengatasinya.

Penggunaan media dan sumber-sumber belajar oleh guru dalam melaksanakan proses

pembelajaran agama di SD amat diperukan karena anak usia SD belum mampu berpikir

abstrak. Temuan yang menunjukkan bahwa penggunaan media dan sumber-sumber

belajar oleh guru dalam melaksanakan proses pembelajaran agama di SD dengan kategori

cukup, artinya penggunaan media dan sumber-sumber belajar untk pelajaran pendidikan

Agama di SD masih perlu ditingkatkan baik frekuensi maupun intensitasnya .

Page 46: BAB I - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/621/1/Laporan_Hasil_Penelitian_(PELAKSANAAN... · adalah kekhawatiran terjadinya perpecahan bangsa akibat dari pertikaian antar umat beragama

44

2. Kemampuan guru dalam melaksanakan proses pembelajaran agama di SD sudah sesuai

dengan pola pikir peserta didik dan konteksnya, melalui langkah-langkah sistematis,

obyektif, serta menggunakan pendekatan induktif-konstruktivistik. Di sisi lain,

pemahaman guru secara konseptual terhadap pendekatan konstruktivistik dalam proses

pembelajaran belum memadai. Temuan ini menunjukkan bahwa; 1) kurang adanya

konsistensi antara penguasaan teori dengan praktik pembelajaran, 2) dalam melak-

sanakan kegiatan pembelajaran Agama di SD guru tidak boleh menyimpang, merubah

atau memodifikasi apa yang sudah tertuang di dalam silabus.

Dalam kegiatan pembelajaran guru harus taat pada petunjuk-petunjuk dan langkah-

langkah yang tertuang di dalam silabus yang telah disusun dari pusat. Kondisi

demikian kurang memberikan ruang gerak kreatifitas bagi guru dalam melaksanakan

pembelajaran. Guru dapat melakukan petunjuk-petunjuk dalam silabus dan GBPP

sehingga proses pembelajaran yang dilakukannya dengan baik, tetapi guru kurang

paham dasar konseptualnya. Pemahaman guru secara konseptual terhadap pendekatan

pembelajaran yang dilakukannya amat dibutuhkan agar guru dalam melaksanakan

tugasnya lebih percaya diri, kreatif, dan dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah.

3. Tidak ada hubungan antara kemampuan mengajar guru agama di SD dengan gaya

kognitifnya. Tidak ada hubungan antara kemampuan mengajar guru agama di SD

dengan pengalaman mengajarnya. Tidak ada hubungan antara kemampuan mengajar

guru agama di SD dengan jenjang pendidikannya. Temuan ini diduga karena sumber-

sumber belajar seperti buku-buku teks, media, dan pendekatan atau metode

pembelajaran termasuk isi pesan pembelajaran telah dikemas di dalam kurikulum,

silabus dan GBPP sedemikian rupa sehingga kurang memberikan peluang bagi guru

untuk mengembangkan sendiri (berkreasi). Hal ini dapat dipahami, diduga ada suatu

kekuatiran dari pihak-pihak tertentu (atasan) jika guru diberi kebebasan untuk

mengembangkan sendiri strategi pembelajaran sesuai dengan kreativitasnya, maka

misi dan tujuan pendidikan agama (yang sifatnya dogmatis) tidak dapat dicapai.

Page 47: BAB I - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/621/1/Laporan_Hasil_Penelitian_(PELAKSANAAN... · adalah kekhawatiran terjadinya perpecahan bangsa akibat dari pertikaian antar umat beragama

45

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Hasil analisis data untuk menjawab rumusan masalah-masalah penelitian dapat

disimpulkan sbb:

1. Kecenderungan media atau sumber-sumber belajar yang tersedia di sekolah guna

menunjang pelaksanaan pendidikan agama di SD adalah buku-buku pendidikan

agama, juz’amma, Iqro, poster dan gambar-gambar.

2. Kecenderungan media atau sumber-sumber belajar yang dipergunakan guru di dalam

kegiatan pembelajaran adalah buku-buku teks pendidikan agama, juz’amma, Iqro,

poster dan gambar-gambar.

3. Hambatan-hambatan yang dijumpai guru dalam menggunakan media atau sumber-

sumber belajar untuk menunjang pelaksanaan pendidikan agama meliputi: guru kurang

mampu mengoperasikan media berbasis TI, tidak ada tenaga pembantu, tidak ada

ruang khusus dalam menggunakan media, tidak ada media yang representatif dengan

pesan yang diajarkan, karena kesibukan guru lainnya.

4. Penggunaan media dan sumber-sumber belajar oleh guru-guru dalam melaksanakan

proses pembelajaran agama di SD dalam kategori cukup, namun frekuensi dan

intensitasnya masih perlu ditingkatkan.

5. Pelaksanaan proses pembelajaran pendidikan Agama di SD sudah sesuai dengan pola

pikir peserta didik dan konteksnya, melalui langkah-langkah sistematis, obyektif, serta

menggunakan pendekatan induktif-konstruktivistik.

6. Pemahaman guru secara konseptual terhadap pendekatan konstruktivistik dalam proses

pembelajaran belum memadai.

7. Tidak ada hubungan antara kemampuan mengajar guru Agama di SD dengan gaya

kognitifnya.

8. Tidak ada hubungan antara kemampuan mengajar guru Agama di SD dengan

pengalaman mengajarnya.

9. Tidak ada hubungan antara kemampuan mengajar guru Agama di SD dengan jenjang

pendidikannya.

Page 48: BAB I - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/621/1/Laporan_Hasil_Penelitian_(PELAKSANAAN... · adalah kekhawatiran terjadinya perpecahan bangsa akibat dari pertikaian antar umat beragama

46

B. Saran

1. Perlu perhatian dari berbagai pihak terkait dengan temuan penelitian ini, agar guru

ditingkatkan pemahamannya secara konseptual terhadap pendekatan dalam melaksa-

nakan proses pembelajaran agama di SD agar guru memiliki dasar ilmiah dalam

pembelajaran yang sesuai dengan pola pikir peserta didik dan konteksnya, melalui

langkah-langkah sistematis, obyektif, serta menggunakan pendekatan induktif-

konstruktivistik.

2. Replikasi penelitian sebaiknya menjangkau sekolah-sekolah lain seperti SMP, SMA

atau SMK, tidak hanya di SD. Termasuk sekolah-sekolah dengan latar belakang yang

lebih spesifik. Bila upaya ini dijalankan, maka bukti lain akan dapat ditemukan.

Perbedaan kondisi sekolah dan karakteristik peserta didik mungkin akan memberikan

pengaruh yang cukup berarti dalam upaya meningkatkan kualitas pembelajaran

Agama.

3. Penelitian dengan menggunakan desain eksperimental mungkin sangat baik dilakukan

untuk memperoleh bukti yang lebih akurat tentang penggunaan model-model

pembelajaran.

DAFTAR PUSTAKA

Agus Suwignyo, 2007. Keadilan social dalam praktek pendidikan. (Makalah Semnas “Kurikulum nasional dan visi Indonesia 2030”). Yogyakarta: DED.

Al Andang, 1998. Agama yang berpijak dan berpihak. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.Asri Budiningsih, dkk., (2001). Faktor-faktor yang berhubungan dengan tahap

penalaran moral remaja: analisis karakteristik siswa SLTP dan SMU di Jawa. DCRG, Proyek Penelitian Untuk Pengembangan Pascasarjana/URGE. Jakarta: Depdiknas Dirjen Dikti.

----------------------, (2001). Penalaran moral remaja dan beberapa faktor budaya yang berhubungan dengannya: analisis karakteristik siswa SLTP dan SMU di Yogyakarta. Disertasi (Tidak dipublikasikan). Malang:Universitas Negeri Malang.

----------------------, 2004. Pembelajaran Moral. Jakarta: Penerbit PT. Rineka Cipta.----------------------, 2005. Belajar dan pembelajaran. Jakarta: PT. Rineka Cipta----------------------, 2004.Karakteristik siswa:sebagai pijakan pembelajaran. Yogyakarta:

FIP UNY----------------------, 2004. Desain pesan pembelajaran. Yogyakarta: FIP UNY----------------------,2005. Pengembangan model pembelajaran berbasis masalah-masalah

komponen masukan instrumental untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Jakarta: Dikti Program SP4

Page 49: BAB I - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/621/1/Laporan_Hasil_Penelitian_(PELAKSANAAN... · adalah kekhawatiran terjadinya perpecahan bangsa akibat dari pertikaian antar umat beragama

47

Azyumardi Azra, 2007. Merawat kemajemukan merawat Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Belen, S., 2007. Pelayanan kehidupan beragama yang inklusif. Majalah Ilmiah “Kuwera-14”. Yogyakarta: DED

Brammer, L.M. (1985). The helping relationship: process and skills. Englewood Cliffs,New Jersey: Prentice-Hall, Inc.

Brooks, J.G., & Brooks, M., (1993). The case for constructivist classrooms. Association for supervision and curriculum development. Alexandria, Virginia.

Buchori, M 2002. Revitalisasi pendidikan moral dalam menghadapi tantangan jaman. Makalah Dies Natalis ke 47 FIP – UNY. Yogyakarta: FIP UNY

Corley,J. 2000. The need for character education. Dalam The urgent need for character education. Yogyakarta: International Seminar Procceding.

Dit P2TK-KPT 2005. Pendidikan Profesi. Jakarta: Dit P2TK-KPT Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi.

Duska, R. & Whelan, M. 1975. Moral development: a guide to Piaget and Kohlberg. New York: Paulist Press.

Fleming, M. & Levie, . 1993. Instructional Message design. Englewood Cliffs. NJ: Educational technology.

Fowler, J.W. 1988. Stages in Faith: The structural-developmental approach. Dalam T.C. Hennessy (ed). Values and moral development. New York: Paulist Press.

Gardner, Howard. 1995. The unschooled mind: how children think and how schools should teach.

Gay, L.R. 1985. Educational evaluation and measurement: component for analysis and application . Ohio: Charles E. Merril Publishing Company.

Gazda, G.M.; Asbury, F.R.; Balzer, F.J.; Childers, W.C.; Walters, R.P.1991.Human relations development: a manual for educators (4th ed.) Boston: Allyn & Bacon.

Hall, R.T. 1979. Moral education: a handbook for teachers. Minneapolis: Winston Press.Hardiman, B. 1987. Pendidikan moral sebagai pendidikan keadilan. Yogyakarta: Basis

“Andi Offset”.Imam Subkhan, 2007. Hiruk-pikuk wacana pluralisme di Yogya.Yogyakarta: KanisiusIsaac, S. Dan Michael, W.B. 1981. Handbook in research and evaluation. California:

Edits Publisher.Joyce Bruce; Weil Marsha. 1992. Models of teaching. London: Allyn and Bacon.Krippendorf, Klaus. 1980. Content analysis, an introduction to its methodology. London:

Sage publications.Kohlberg, L. 1980. Stages of Moral Development as a Basis of Moral Education. Dalam

Mursey, B. (ed.) Moral development, moral education, and Kohlberg. Brimingham, Alabama: Religious Education Press.

Lincoln, Y.S., Guba, E.G.L. 1985. Naturalistic inquiry. Bevrly Hill: Sage publications, inc.

Magnis-Suseno, F. 1987. Etika dasar masalah-masalah pokok filsafat moral. Pustaka Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.

_______________. 2008. Etika kebangsaan etika kemanusiaan. Yogyakarta: Kanisius.Marzano, R.J. 1992. A Different Kind of Classroom: Teaching with Dimensions of

Learning. Alexandria, VA: Association of Supervision and Curriculum Development.

Page 50: BAB I - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/621/1/Laporan_Hasil_Penelitian_(PELAKSANAAN... · adalah kekhawatiran terjadinya perpecahan bangsa akibat dari pertikaian antar umat beragama

48

Paul Suparno, dkk. (2002). Pendidikan budi pekerti di sekolah. Yogyakarta: Kanisius. Raka Joni,.2000. Rasional pembelajaran terpadu. Malang: PPs-UMRaka Joni, T. 2006. Program Hibah Kompetisi PGSD 2006 Revitalisasi Pendidikan

Profesional Guru Menuju Relevansi. Jakarta: Ditjen Dikti Depdiknas.-----------------, 2007. Prospek pendidikan profesinal guru di bawah naungan UU No 14

Tahun 2005. Malang: Universitas Negeri Malang. Reigeluth, C.M. 1983. Instructional design: what is it and why is it? Dalam C.M.

Reigeluth (ed) Instructional design theories and models: an overview of their current status. Hillsdale, N.J.: Lawrence Erlbaum Associates.

Soedijarto, 2007. Penyelenggaraan pendidikan nasional yang bermakna ”mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kebudayaan nasional Indonesia”. (Makalah Semnas “Kurikulum nasional dan visi Indonesia 2030”). Yogyakarta: DED

Sugeng Bayu Wahyono, 2004. Dinamika konflik dalam transisi demokrasi. Yogyakarta: LIN-RI & INPEDHAM

Sulton, 2002. Desain pesan buku teks IPS SD di wilayah kota Malang. (Disertasi, tidak dipublikasikan). Malang: PPs-UM

Tim PKP, 2004. Peningkatan kualitas pembelajaran. Jakarta: Ditjen Dikti P2TK & KPTUndang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional