pendapat 1-26 februari 2015

55
TG SENIN, 01 FEBRUARI 2016 Jika ada satu ikon yang menengarai zaman ini, itu adalah ponsel. Bahasa Indonesia menerjemahkannya dengan tepat sekali: "telepon genggam". Saya singkat: TG. Ia bisa kita genggam kapan saja di mana saja, ia juga bisa menggenggam kita kapan saja dan di mana saja. Hampir tiap kali seseorang duduk sendirian di sebuah pojok, atau dengan temannya bertemu di sebuah kafe, atau berjejal di bus atau hadir di rapat desa, akan segera HP, eh, TG dikeluarkan dari saku, pesan di layar sempit itu dibaca diam-diam, dan perhatian berpindah sejenak. Tak jarang percakapan terhenti. Kini benda pertama yang ditengok ketika bangun pagi--sebelum lampu dinyalakan--bukan koran, bukan radio, bukan TV. Tapi TG: si BlackBerry, si Samsung, si Nokia, si Motorola. Kita memasuki senjakala media cetak, seseorang berkata seperti penujum. Mungkin yang lebih tepat: kita memasuki dunia yang justru tak mengacuhkan nujuman dan senjakala. Dunia sedang dibentuk kapitalisme digital. Produksi, pemasaran, persaingan, dan meluasnya konsumen kini seperti medium digital itu sendiri: meringkus, atau mengabaikan, ruang dan waktu. Dua abad yang lalu, "Membaca koran pagi adalah doa pagi seorang realis," kata Hegel di Eropa. Dengan doa dan koran arah pandang seseorang dibentuk oleh Tuhan (dalam doa) atau oleh "dunia sebagaimana adanya" (melalui berita-berita). Kedua-duanya, kata Hegel, memberikan rasa aman: orang tahu di mana ia berdiri. Saya tak yakin, tapi bisa mengerti: di zaman Hegel, berlangganan koran adalah salah satu cara merawat stabilitas; koran yang dipilih seseorang adalah surat kabar yang sesuai dengan seleranya selama ini. Ia tahu "di mana ia berdiri".

Upload: ekho109

Post on 13-Apr-2016

227 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

dari situs tempo.co

TRANSCRIPT

Page 1: Pendapat 1-26 Februari 2015

TGSENIN, 01 FEBRUARI 2016

Jika ada satu ikon yang menengarai zaman ini, itu adalah ponsel. Bahasa Indonesia menerjemahkannya dengan tepat sekali: "telepon genggam". Saya singkat: TG. Ia bisa kita genggam kapan saja di mana saja, ia juga bisa menggenggam kita kapan saja dan di mana saja. Hampir tiap kali seseorang duduk sendirian di sebuah pojok, atau dengan temannya bertemu di sebuah kafe, atau berjejal di bus atau hadir di rapat desa, akan segera HP, eh, TG dikeluarkan dari saku, pesan di layar sempit itu dibaca diam-diam, dan perhatian berpindah sejenak. Tak jarang percakapan terhenti.

Kini benda pertama yang ditengok ketika bangun pagi--sebelum lampu dinyalakan--bukan koran, bukan radio, bukan TV. Tapi TG: si BlackBerry, si Samsung, si Nokia, si Motorola.

Kita memasuki senjakala media cetak, seseorang berkata seperti penujum. Mungkin yang lebih tepat: kita memasuki dunia yang justru tak mengacuhkan nujuman dan senjakala. Dunia sedang dibentuk kapitalisme digital. Produksi, pemasaran, persaingan, dan meluasnya konsumen kini seperti medium digital itu sendiri: meringkus, atau mengabaikan, ruang dan waktu.

Dua abad yang lalu, "Membaca koran pagi adalah doa pagi seorang realis," kata Hegel di Eropa. Dengan doa dan koran arah pandang seseorang dibentuk oleh Tuhan (dalam doa) atau oleh "dunia sebagaimana adanya" (melalui berita-berita). Kedua-duanya, kata Hegel, memberikan rasa aman: orang tahu di mana ia berdiri.

Saya tak yakin, tapi bisa mengerti: di zaman Hegel, berlangganan koran adalah salah satu cara merawat stabilitas; koran yang dipilih seseorang adalah surat kabar yang sesuai dengan seleranya selama ini. Ia tahu "di mana ia berdiri".

Tak mengherankan bila dalam Imagined Communities Benedict Anderson mengutip Hegel. Tapi ia menambahkan. Seperti doa pagi, membaca koran berlangsung dalam ruang privat yang hening, dalam lapis dalam kepala kita. Tapi pada saat yang sama, masing-masing kita sadar bahwa ratusan ribu orang lain yang tak kita ketahui identitasnya melakukan hal yang sama--tiap hari, sepanjang tahun. 

Sebuah "komunitas" pun terbangun dalam imajinasi kita. Kita tak hanya sadar di mana kita berdiri. Kita sadar dengan siapa kita berdiri. Kesadaran akan satu bangsa--diperkuat lagi oleh satu bahasa dan satu jenis aksara--tumbuh dari "kapitalisme cetak" ini, menurut thesis Anderson.

Tapi kini kita tak lagi hidup di zaman Mas Marco bahkan tak di zaman Jakob Oetama. Apa jadinya jika yang tercetak digantikan dengan yang digital? 

Page 2: Pendapat 1-26 Februari 2015

Kita tatap layar kecil TG kita. Informasi berdatangan, rapat, cepat. Pesan lalu-lalang. Di Twitter berita 29 orang terbunuh di Burkina Faso disusul cerita seseorang yang kucingnya hamil. Praktis tiap tiga detik, sepanjang 24 jam. Balas-membalas, dari pelbagai pojok bumi. 

Sementara halaman surat kabar ditata sang editor dengan hierarki antara yang penting dan yang kurang penting, dalam TG tak ada organisasi itu. Tiap informasi sama posisinya. Dialog (pesan "interaktif") berlangsung tanpa moderator, tanpa otoritas. Siapa saja, dari orang yang paling tahu sampai dengan yang paling tolol, hadir di satu arena yang riuh.

Huruf bersilang selisih dengan foto, bunyi-bunyian, dan film. Indra penglihatan, yang dalam medium cetak praktis mendominasi pencerapan manusia tentang dunia--meskipun berlangsung sebidang demi sebidang--kini lebur bersama indra pendengaran. Kecuali indra penghidu dan peraba, tubuh kita bergelut secara simultan dengan manusia dan peristiwa di mana pun. Sementara koran harian akan jadi basi dalam 24 jam, informasi digital akan hambar pada detik berikutnya. 

Jarak jadi tipis. Kini kita tak membayangkan lagi sebuah kantor, di bagian komunitas nasional kita, tempat koran yang kita baca diproduksi. Pesan berlangsung dalam "deteritorialisasi". 

Mungkin sebab itu komunitas yang dalam dua abad terakhir terbentuk berkat pengaruh "kapitalisme cetak" akan berubah. "Bangsa" mungkin akan tak terkait dengan sebuah wilayah dan kenangan yang sama. Kita sudah banyak dengar tentang globalisasi, perpindahan modal dan tenaga dari satu negeri ke negeri lain. Mungkin kini pudar pengertian "tanah tumpah-darah". 

Tapi saya ragu bahwa akhirnya akan terjadi apa yang dimimpikan lagu “Imagine”. Kini memang menonjol, atau timbul lagi, "perkauman" yang tak berpaut pada "bangsa" dan "teritori". Malah ada penolakan kepada konsep "bangsa". Tapi Michael Billig menulis satu buku yang serius tapi kocak, Banal Nationalism: nasionalisme hadir tiap hari, tak selalu mengejutkan: ada waktu nasional, ada iklim nasional, ada makanan nasional. Kosmopolitanisme pun hanya dalam fantasi.

"Saya belum pernah bertemu dengan banyak orang kosmopolitan dalam hidup saya," kata Ben Anderson. "Mungkin tak lebih dari lima orang."

Selebihnya, bahkan dengan TG, tetap seperti dulu.

Goenawan Mohamad

Page 3: Pendapat 1-26 Februari 2015

GafatarSABTU, 30 JANUARI 2016

Putu Setia, @mpujayaprema

Mumpung Romo Imam lagi santai, saya bertanya dengan serius, apakah ada beda antara agama dan kepercayaan, dikaitkan dengan "bacaan" yang ada di konstitusi. "Apa contohnya?" tanya Romo. Wah, saya pun semangat. "Pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Dasar yang berbunyi: Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Karena Romo belum bereaksi, saya lanjutkan: "Kalau sama, mestinya kalimat itu disebut: memeluk agamanya dan kepercayaannya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu." Romo tertawa sejenak. "Sampeyan ada-ada saja. Kalau kalimat sampeyan dipakai, kebanyakan kata 'dan', bahasanya kurang enak. Tentu dijamin memeluk agamanya dan kepercayaannya dan dijamin pula beribadat sesuai agama dan kepercayaannya," kata Romo.

Saya kurang puas. "Jadi agama dan kepercayaan itu sama kan? Memeluk kepercayaan juga dijamin konstitusi seperti halnya memeluk agama, begitu? Ini juga terkait dengan amandemen UUD yang kedua, ada Pasal 28E ayat 2, bunyinya: Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya." Romo menatap saya: "Apa sih yang sampeyan mau persoalkan, langsung saja."

"Oke, Romo," saya mengalah. "Saya langsung saja. Soal Gafatar, Gerakan Fajar Nusantara, yang lagi ramai. Mereka diboyong dari Kalimantan ke Jawa. Rumahnya di Kalimantan dibakar. Tuduhannya, organisasi ini sesat dan menyimpang dari ajaran Islam. Padahal bekas ketua umumnya, Mahful M. Tumanurung, jelas menyebutkan, Gafatar itu bukan Islam, ada di luar Islam. Bagaimana bisa sebuah majelis agama yang terhormat menyebutkan kelompok lain yang di luar agama itu sebagai kepercayaan sesat? Berarti ibadat cara Gafatar ini tidak dijamin, dong. Sepanjang ibadatnya tak mengganggu ketenteraman, kan mestinya dilindungi. Malah mereka diusir keluar Kalimantan."

Saya merasa terlalu emosional. Untung Romo tenang: "Mungkin Mahful berbohong dengan menyebut kelompoknya di luar Islam." Saya menanggapi: "Kalau dia berbohong kan harus dibuktikan dulu. Ajak dia berdialog baik-baik. Saya setuju pendapat Ketua Muhammadiyah Jawa Tengah, Tafsir, yang menyebutkan Gafatar berprinsip sosialis humanis, kegiatan mereka lebih mengutamakan etika universal sebagai landasan moral, orientasinya ekonomi, sosial, pemberdayaan pertanian. Sayangnya, Tafsir berkata begitu setelah menemui mantan anggota Gafatar di Asrama Haji Donohudan Boyolali, Jawa Tengah, bukan sebelum kampung mereka dibakar di Kalimantan."

"Kalau begitu, eks Gafatar harus dilindungi. Keyakinan mereka tak boleh direcoki oleh majelis agama apa pun yang ada di negeri ini. Kita tak boleh menghakimi kepercayaan orang

Page 4: Pendapat 1-26 Februari 2015

sepanjang mereka tak melakukan tindak pidana," kata Romo. Saya langsung bilang setuju. "Mereka itu tekun bertani, tak mencuri, tak berzina, malah merokok saja tidak. Ini kata Ketua Muhammadiyah Semarang. Apa kelompok seperti itu masih kita berikan ceramah soal nasionalisme atau ceramah agama yang sudah mereka lepaskan? Mari hormati keyakinan mereka."

Saya minum, sedikit lebih tenang. "Kesalahan Gafatar adalah banyak orang yang dinyatakan hilang karena ikut kelompok itu," kata saya. Romo menyela: "Itu pun belum tentu salah. Mungkin terpaksa menghilangkan diri. Kalau sebuah keluarga hanya satu orang saja yang berkukuh pindah agama, biasanya dia dikucilkan, lalu menghilangkan diri. Tapi keyakinan baru itu harus tetap dihormati." Saya mengangguk.

Page 5: Pendapat 1-26 Februari 2015

Urgensi Transparansi Perizinan TelevisiSELASA, 02 FEBRUARI 2016

Ade Armando, Mantan Anggota Komisi Penyiaran Indonesia 

Kegaduhan terjadi dalam dunia penyiaran Indonesia. Pemimpin Komisi I (bidang penyiaran) Dewan Perwakilan Rakyat dan Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) menuduh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) telah bertindak melampaui wewenangnya, melanggar Undang-Undang Penyiaran, dan mengancam keberadaan stasiun televisi swasta.

Tuduhan itu dilontarkan oleh Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq, Wakil Ketua Komisi I Tantowi Yahya, dan Ketua ATVSI Ishadi SK. Mereka mempersoalkan langkah KPI mengundang masukan dan catatan dari masyarakat yang akan digunakan untuk evaluasi 10 stasiun televisi terbesar di Indonesia yang harus memperpanjang izin siarannya pada Oktober 2016. Menurut mereka, tindakan mengundang masukan masyarakat tersebut tidak ada dalam UU Penyiaran dan karena itu harus dilihat sebagai tindakan ilegal dan bertentangan dengan hukum. Mereka bahkan menyebutkan soal perizinan adalah urusan pemerintah, bukan KPI.

Tuduhan itu sama sekali tidak bisa dipertanggungjawabkan. Mengacu pada UU Penyiaran, KPI berhak sepenuhnya menerima masukan dari masyarakat (Pasal 8) dan memang pihak yang harus terlibat dalam proses pemberian izin penyiaran (Pasal 33).

Kita mulai dengan logika perizinan lembaga penyiaran. Stasiun televisi beroperasi dengan menggunakan frekuensi siaran, yang merupakan sumber daya alam yang tersedia bebas namun jumlahnya terbatas. Pemiliknya, dalam perspektif masyarakat demokratis, adalah rakyat. Karena itu, pemanfaatannya memang harus selalu mempertimbangkan kepentingan rakyat dalam prioritas tertinggi. 

Masalahnya, karena jumlahnya terbatas, tidak semua pihak bisa menggunakannya. Dalam sistem penyiaran analog, jumlah pihak yang bisa menggunakan frekuensi siaran untuk televisi dalam sebuah wilayah hanya maksimal sekitar 14-15. 

Karena itu, harus ada pihak yang menentukan alokasi frekuensi. Dengan bahasa lebih sederhana, harus ada lembaga yang memiliki otoritas untuk menentukan lembaga penyiaran mana yang memperoleh frekuensi dan mana yang tidak. Dalam konteks itulah, di Indonesia dikenal Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) yang harus dikeluarkan lembaga otoritas penyiaran.

Page 6: Pendapat 1-26 Februari 2015

IPP ini pun tidak bersifat permanen. Di Indonesia, bagi stasiun televisi, IPP berlaku selama 10 tahun dan untuk radio lima tahun. Bila ternyata lembaga penyiaran menyalahgunakan kepercayaan yang diperolehnya, IPP stasiun tersebut bisa saja tak diperpanjang, atau bahkan dicabut di tengah jalan. 

Cara menata penyiaran semacam ini berlaku di seluruh negara yang demokratis. Di Amerika serikat, lembaga yang memberikan IPP adalah Federal Communications Commission (FCC). Di Indonesia, kewenangan pemberian IPP dipegang dua lembaga: Kementerian Komunikasi dan Informatika serta KPI.

Sebelum lahirnya UU Penyiaran pada 2002, izin penyiaran diberikan dengan cara tertutup. Lima stasiun televisi pertama (RCTI, TPI, SCTV, Indosiar, dan ANTV) memperoleh izin karena restu Presiden Soeharto. Pemberian izin berikutnya melibatkan lebih banyak pihak. Metro TV, Trans, TV7, Global TV, dan Lativi memperoleh izin dari sebuah tim bentukan pemerintah, yang di dalamnya ada wakil masyarakat. Bagaimana pun, proses pemberian izin ketika itu tetap tak transparan dan berjarak dari pemantauan masyarakat.

Sejak UU Nomor 31 Tahun 2002 diberlakukan, proses itu berubah menjadi lebih demokratis. Menurut UU, untuk memperoleh IPP baru atau memperpanjang IPP lama, stasiun televisi radio dan televisi harus mengurusnya dari "bawah". Jadi, mula-mula, stasiun mengajukan permohonan kepada KPI, yang kemudian akan mempelajarinya dan mengadakan evaluasi dengar pendapat. 

Hasil evaluasi KPI akan diwujudkan dalam bentuk rekomendasi (menolak atau menerima) yang dibawa untuk dibicarakan dalam forum rapat bersama (FRB) dengan Kementerian Komunikasi. Hasil forum rapat bersatu itulah yang akan menentukan apakah permohonan stasiun televisi atau radio diterima atau tidak. Proses ini diharapkan akan meredam praktek-praktek suap, kolusi, dan nepotisme yang mewarnai pemberian izin pada masa lalu.

Pada Oktober 2016, IPP sepuluh stasiun televisi terbesar tersebut sudah habis. Mereka dulu memperoleh IPP tersebut dari Menteri Komunikasi dan Informatika Sofyan Jalil yang memang tidak menerapkan pemberian IPP melalui proses yang diamanatkan UU Penyiaran dengan alasan yang tak bisa dipahami. Sofyan memberi IPP "penyesuaian"--begitu istilah yang digunakan--pada 2006. 

Menteri Komunikasi saat ini, Rudiantara, patuh kepada UU. Dia menyatakan perpanjangan IPP harus dimulai dari KPI. Rudiantara berulang kali mengatakan rekomendasi KPI akan sangat menentukan nasib sepuluh stasiun televisi tersebut.

Dalam konteks itulah, KPI kini mulai mengevaluasi IPP sepuluh stasiun televisi tersebut. KPI tentu saja bisa memanfaatkan otoritasnya, misalnya, berunding dengan stasiun-stasiun tersebut di belakang ruang tertutup. Namun KPI ternyata tidak "serendah" itu. KPI kini justru mengundang masyarakat untuk memberikan masukan dan catatan tentang kualitas lembaga-lembaga penyiaran tersebut. 

Page 7: Pendapat 1-26 Februari 2015

Jadi jelas, KPI justru sedang berusaha bersikap seterbuka mungkin dan berusaha melibatkan masyarakat yang memang merupakan pemilik sah frekuensi siaran. Sangat mengherankan bila ini dituduh sebagai ilegal. Saya gagal memahami logika para pemimpin Komisi I DPR dan ATVSI tersebut. 

Page 8: Pendapat 1-26 Februari 2015

Politik Clique di Balik ImlekJUM'AT, 05 FEBRUARI 2016

Seno Gumira Ajidarma, panajournal.com  

Tahun baru Cina, Imlek, adalah konstruksi dua perkara: (1) persilangan sejarah negeri dengan riwayat pribadi; dan (2) persilangan sejarah itu sendiri dengan mitos. Sejarah negerinya adalah periode Negara-negara Berperang (475-221 SM) dan pribadi yang diriwayatkan adalah penyair Qu Yuan (340/339-278 SM), yang bahkan disebut sebagai dewa puisi. Namun, dalam konteks Imlek, Qu Yuan adalah politikus, tepatnya politikus jujur, yang dasar riwayatnya disebut semi-historis dan dengan senang hati dimaknai khalayak Tiongkok lebih jauh sebagai mitos [Burkhardt, 1967 (1954): 27].

Periode Negara-negara Berperang semasa Tiongkok Kuno merupakan laboratorium terbaik bagi seni perang maupun seni politik. Sun Bin, cicit generasi ketiga dari Sun Wu (alias Sun Ji, penulis Seni Perang yang termasyhur sebagai Sun Tzu), hidup pada masa ini sebagai ahli strategi kenamaan Kerajaan Qi. Kitab Seni Perang Sun Bin yang ditulisnya, meski tidak semasyhur buku nenek moyangnya, sebetulnya adalah penyempurnaan buku Sun Tzu.

Pada masa itu, Tiongkok terbagi menjadi tujuh kerajaan, yakni Qin, Chu, Qi, Yan, Zhao, Han, dan Wei. Di antara mereka, Qin adalah yang terkuat, serta Qi dan Chu adalah yang terkuat kedua dan ketiga. Ketujuh kerajaan ini saling berperang, saling berebut kota dan wilayah nyaris tanpa henti.

Dalam situasi itu, Qu Yuan adalah Menteri Kiri atau Menteri Pengawasan pada Kerajaan Chu, yang berhasil mendapat kepercayaan Raja Huai karena strategi jitu: selama enam negara bersekutu, Qin tidak akan gegabah menghadapi enam negara sekaligus. Kepercayaan berlanjut dengan tugas baru, yang merupakan usulan Qu Yuan sendiri, yakni membuat rancangan undang-undang untuk perubahan politik dalam negeri.

Para bangsawan dan pejabat tinggi yang merasa kepentingannya terancam, yang dikepalai Pangeran Zhi Lan, mengutus Menteri Jin Shang membaca isi rancangan, tetapi Qu Yuan menolak. Intrik dan clique politik ini diketahui mata-mata Kerajaan Qin, yang segera melaporkannya. Qin pun melakukan manuver untuk memanfaatkan perpecahan, dengan mengirim Perdana Menteri Zhang Ji agar mengusulkan persekutuan Kerajaan Chu dan Kerajaan Qin.

Tokoh pertama yang didatangi Zhang Ji adalah Qu Yuan, yang langsung menyatakan

Page 9: Pendapat 1-26 Februari 2015

persekutuan enam negara tidak akan berubah. Dari sini Zhang Ji menemui Jin Shang, yang memperkenalkannya kepada Zhi Lan. Menurut Zhi Lan, dasar kepercayaan Raja Huai kepada Qu Yuan adalah berhasilnya persekutuan enam negara. Hancurnya persekutuan akan menghancurkan juga kepercayaan itu.

Zhang Ji tentu menangkapnya sebagai pesan bahwa persekutuan Chu dan Qin hanya mungkin dengan menyingkirkan Qu Yuan. Zhi Lan lantas mengajak Permaisuri Zheng Xiu masuk ke dalam clique, yang ternyata segera memberikan usulan-usulan taktis: Zhang Ji agar memfitnah Qu Yuan menerima suap di depan raja. Dia sendiri akan menggarap Raja Huai supaya mempercayai fitnah itu. Kepada mereka, Zhang Ji membagikan barang-barang berharga.

Fitnah ditelan Raja Huai dan dampaknya fatal: Qu Yuan diasingkan, persekutuan dengan Qin membubarkan persekutuan enam kerajaan, imbalan tanah hanya 6 li persegi dari janji 600 li persegi wilayah Shangyu sehingga persekutuan batal, dan ketika Chu menyerang Qin, justru Qin sudah bersekutu dengan Qi. Kerajaan Chu berada di ambang kehancuran, tetapi Qu Yuan berhasil membujuk Raja Xuan dari Qi agar menarik pasukannya.

Namun, clique Zhi Lan, Zheng Xiu, dan Jin Shang berhasil membuat Raja Huai menugasi Qu Yuan yang berjasa itu di luar Ying, ibu kota Chu. Untuk seterusnya Qu Yuan menjadi saksi segala kemunduran Chu maupun persekutuan enam negara: terdesak oleh Qin, Raja Huai ditawan ketika datang ke Qin untuk berunding, dan mati di Xian Zhang, ibu kota Qin. Raja Qing Xiang, yang menggantikannya sejak tertawan, menolak usulan Qu Yuan untuk mempersatukan enam negara melawan Qin.

Setelah Jenderal Bai Qi membawa pasukan Qin membumihanguskan Ying pada 271 SM, Qu Yuan yang sudah tua mengembara dan sampai ke tepi Sungai Milo di wilayah Hunan pada 278 SM. Tepat tanggal 5 bulan 5, ia mengikat dirinya pada batu besar, lalu terjun ke sungai (Tung & Liu, 1958). Itulah bunuh diri ritual sebagai bentuk protes melawan jiwa korup pada masanya. Juga merupakan konsekuensi kedukaan terdalam atas jatuhnya tempat kelahiran maupun penderitaan bangsanya--yang hanya mungkin terjadi karena clique politik.

Patriotisme, begitulah, tidak pernah kekurangan dimensi politik, meski maknanya diangkat ke tempat yang lebih tinggi, betapa patriotisme bukan tentang orang-orang dalam keterikatan negeri, melainkan kehendak demokratisnya [Riff, 1995 (1982): 195-6). Imlek boleh ditafsir menggarisbawahi kenyataan bahwa memang ada clique dalam politik.

Page 10: Pendapat 1-26 Februari 2015

NostalgiaSENIN, 08 FEBRUARI 2016

Ini tahun 2016. Pada umur 75, masa depan saya jauh makin sedikit ketimbang masa lalu saya. Pada umur ini orang lazimnya akan gugup dengan masa kini, karena di abad ke-21 masa kini kian didera masa depan. Teknologi yang mengelilingi kita dipasang bukan untuk sekarang: kereta api cepat, mobil dengan energi matahari, komunikasi hologram.... Hidup seperti bergerak tanpa mampir ke hari ini.

Tapi di celah-celah itu ada nostalgia.

Kadang-kadang kita duduk. Di depan kita, sebuah meja kayu mahogani. Meja "Victorian", sebuah katalog menyebutnya, tapi tak amat penting informasi ini. Meja antik itu tetap memikat, dari mana pun zamannya, sebab ia langka. Ia bukan seperti meja kebanyakan yang digelar di toko mebel. Sesuatu yang berbeda, yang tak terduga, memang memberi nilai tambah dalam kreasi manusia. Tapi ada hal lain: meja itu menarik karena ia bertaut dengan kesadaran waktu yang kini tak ada lagi.

Ia hasil craftsmanship, atau "kekriyaan", proses kerja yang dalam bahasa Jawa ditandai sikap "titis, telaten, taberi". Dengan kata lain, ia dibuat dengan gerak tangan yang seakan-akan menyatu dengan alat, bahan, dan rancangan. Semuanya berjalan dengan bebas, dengan intens, tak peduli waktu, hingga karya selesai.

Kini kita kehilangan intensitas kerja pra-industrial itu. Rasa kehilangan itu, nostalgia, bukan kehilangan sebuah milik. Svetlana Boym, dalam The Future of Nostalgia, dengan bagus menggambarkannya sebagai kehilangan "irama yang lebih perlahan dari mimpi-mimpi kita". 

Nostalgia, kata Boym, melawan gagasan modern tentang waktu. Di dunia modern waktu adalah mesin hitung dalam gerak sejarah, dan gerak sejarah adalah kemajuan.

Tapi nostalgia bukan sepenuhnya pembangkangan. Nostalgia bisa produktif. Ia membentuk utopianya sendiri, membangun sebuah imaji tentang masa lalu yang utuh, memukau, menimbulkan rindu. Tapi utopia itu sebenarnya tak menangkap masa lalu itu sebagaimana adanya. Masa lalu tak akan pernah kita ketahui kembali dengan persis. Sebab itu dalam nostalgia utopia itu tak mengarah ke sana, tapi "ke samping". Nostalgia, kata Boym, bukan anti-modern, melainkan "off-modern". 

Kata “off” itu menunjukkan keadaan terlepas, dan dalam hal ini terlepas dari modernitas. Nostalgia sebenarnya sebuah interupsi terhadap perjalanan yang lurus maju. Ia membawa kita berbelok dari narasi sejarah yang seakan-akan memastikan bahwa the idea of progress adalah kebenaran manusia.

Page 11: Pendapat 1-26 Februari 2015

Dalam nostalgia, kita diam-diam meninggalkan kegandrungan kita kepada "yang baru". Tapi tak berarti kita hendak membuat "yang lama" sebagai kuil tempat kita menutup diri. Nostalgia hanya mencegah kita jadi "malaikat sejarah" yang duduk dalam kokpit pesawat pancar gas, yang (berbeda dengan Angelus Novus dalam gambar Paul Klee) hanya menatap ke depan dengan gugup karena ia tak bisa lagi membedakan mana unggunan puing dari kerusakan akibat zaman yang bergerak dan mana awan yang menutupi konstelasi bintang petunjuk arah. Nostalgia tak menyukai malaikat ini.

Tapi terkadang tidak. Terkadang nostalgia membuahkan sesuatu yang juga menakutkan, ketika ia hanya berarti algia (kerinduan) dan nostos (kembali ke rumah). 

Boym dengan tepat melihat, ketika "kerinduan" jadi desakan "kembali ke rumah", dan menimbulkan energi yang berkecamuk di masyarakat, ia bisa jadi bagian ideologi-ideologi yang melahirkan monster.

Boym tampaknya ingin mengacu ke nostalgia ala Nazi. Naziisme merayakan Blut und Boden, pertalian "darah dan tanah". Ikatan primordial itu menolak mereka yang bukan "pribumi", dan dengan itu Hitler membasmi orang Yahudi, kaum tsigana yang mengembara, dan semua oknum yang bukan Jerman.

Pasca-Nazi, datang yang lain: orang-orang yang ingin kembali ke ajaran yang "asli-murni"--sebuah utopia yang kaku. Mereka tak mau tahu yang "asli-murni" niscaya berubah ketika dipandang dari posisi yang berubah. Asal-usul yang mereka kenang hari ini, dalam usia sekarang, sebenarnya adalah bagian fantasi dan utopia. 

Kemudian fantasi itu mereka anggap bukan fantasi dan utopia itu bukan utopia. Mereka mengubah nostalgia jadi doktrin--sebuah sindrom "fundamentalisme" yang menganggap masa lalu, manusia, dan teks bisa terbentuk di luar sejarah.

Untunglah, tak semua nostalgia melahirkan rabun itu. Memandang almari antik, di depan bangunan kota tua, di latar pastoral pedesaan, nostalgia adalah rasa sayu yang berkabung. Mungkin ini perkabungan manusia modern, yang sekaligus terasa sebagai sebuah pengalaman estetik: kita bersua dengan sesuatu yang tak disangka-sangka, mempesona, dan membuat kita terpekur. Kita merasakan hidup sedang memberi hormat kepada waktu.

Goenawan Mohamad

Page 12: Pendapat 1-26 Februari 2015

Staf AhliSABTU, 06 FEBRUARI 2016

Putu Setia, @mpujayaprema

Janganlah menduga saya mau membahas kasus Masinton Pasaribu versus Dina Aditia Ismawati. Saya bukan "pengamat sorot mata", juga bukan "pengamat kebijakan publik", apalagi "pengamat perilaku pejabat", jenis-jenis pengamat yang tak saya ketahui ujung-pangkalnya. Bagi saya, Masinton versus Dita diserahkan ke "pengamat sinetron", ibu-ibu rumah tangga pasti tertarik menonton kalau kisah ini disinetronkan. Ada lelaki dan perempuan, ada dua partai berbeda, ada batu akik, ada kafe, ada tuduhan orang mabuk, lalu ada tonjokan.

Maaf, masalah yang saya soroti lebih ilmiah, ibu-ibu rumah tangga tak akan tertarik. Soal staf ahli yang ada di mana-mana. Staf ahli, sesuai dengan namanya, seharusnya lebih ahli daripada staf yang biasa. Ternyata dalam praktek, staf ahli itu adalah jabatan yang tak disukai banyak orang. Karena tak jelas pekerjaannya. Seorang teman bercerita, bapaknya yang perwira menengah kepolisian, status jabatannya "sedang parkir". Lo, maksudnya apa? Dijadikan staf ahli.

Tentu tak semua lembaga pemerintah menjadikan staf ahli dalam status "sedang parkir". Di DPR, staf ahli itu bergengsi dan persyaratan pengangkatan pun berat. Karena itu, DPR tak mau menyebutnya staf ahli, melainkan tenaga ahli. Sementara persyaratan anggota DPR boleh cuma berijazah sekolah menengah atas--kalau nasib apes bisa memakai sertifikat Kelompok Belajar (Kejar) Paket C--tenaga ahli harus lulus Strata-2 dengan IPK minimum 3. Hal ini diatur dalam Peraturan DPR Nomor 3 Tahun 2014.

Jumlah tenaga ahli DPR terus bertambah. Pada periode 2004-2009, setiap anggota DPR didampingi satu tenaga ahli. Pada periode 2009-2014, jumlah tenaga ahli bertambah menjadi dua untuk setiap anggota DPR. Periode 2014-2019, jumlahnya paling sedikit lima orang untuk setiap anggota DPR. Begitu banyak tenaga ahli, maka perlu ada tenaga administrasi, yang jumlahnya dua orang untuk setiap anggota DPR. Jadi, satu anggota DPR minimum--boleh dibaca: paling sedikit--didampingi tujuh orang "tenaga tambahan". Beralasan kalau ruang kerja DPR semakin sumpek dan perlu diperluas, perlu membangun gedung.

Apa manfaat 5 tenaga ahli dan 2 tenaga administrasi untuk masing-masing anggota? Tergantung diamati dari mana: sorot mata, kebijakan, atau perilaku. Jika bicara positif, produk legislasi DPR menjadi sangat bermutu--sedikit-sedikit ada ahlinya. Sidang paripurna full terus karena setiap anggota mendapat masukan bahan dari tenaga ahlinya untuk berdebat. Perdebatan pun tajam tapi sopan karena tenaga ahlinya mengingatkan adanya etika dan sopan

Page 13: Pendapat 1-26 Februari 2015

santun. Jika ada wakil rakyat yang mengusulkan agar presiden memecat menteri tertentu, tenaga ahli segera menasihati, "Mbak soal menteri hak prerogatif presiden lo..." Siapa tahu wakil rakyat itu mantan pemain sinetron yang tak paham konstitusi.

Apa yang terlihat saat ini? Jauh panggang dari api. Dengan didampingi 7 orang tenaga, produk legislasi DPR justru keteteran. Mutu anggota DPR dibiarkan jadi menurun, baik karena rekrut di partai asal-asalan maupun karena membeli suara, toh ada banyak tenaga ahli. Celakanya, tenaga ahli yang diangkat itu serba tak jelas, apakah diseleksi sebelumnya, siapa yang menyeleksi. Seharusnya ada evaluasi tenaga ahli ini, apa tak kebanyakan?

Anggota DPR Masinton menjemput tenaga ahlinya, Dita, malam-malam di sebuah kafe. Tiba-tiba keduanya bertengkar dan ada yang main tonjok. Saya gagal paham apa hubungan anggota DPR dengan tenaga ahlinya malam-malam di kafe jika dikaitkan dengan nasib rakyat? Jangan-jangan mereka tak paham bahwa gaji mereka dibayar oleh pajak rakyat.

Page 14: Pendapat 1-26 Februari 2015

Menunggu Presiden Berantas Amplop WartawanSELASA, 09 FEBRUARI 2016

Sabam Leo Batubara, Mantan Wakil Ketua Dewan Pers 

Presiden Joko Widodo memastikan akan menghadiri acara puncak Hari Pers Nasional 2016 di Mataram, Nusa Tenggara Barat, 9 Februari 2016. Dalam acara itu, Jokowi akan diberi panggung untuk berinteraksi dengan kurang-lebih 600 wartawan nasional, petinggi negara, dan tokoh masyarakat. Supaya pertemuan itu bermakna, bantuan atau kebijakan strategis apa yang bisa Presiden keluarkan agar kehidupan pers Indonesia semakin sehat?

Jawabannya ada di buku Kepemimpinan Pro Rakyat yang diterbitkan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) persis menjelang Jokowi dilantik menjadi Presiden. Buku itu memuat tulisan 39 tokoh pers berisi masukan dan harapan masyarakat media terhadap Jokowi. Salah satunya adalah "Berantas Budaya Amplop" karya Pemimpin Redaksi Merdeka.com, Didik Supriyanto. Jika harapan pada tulisan itu dipenuhi oleh Presiden, hal itu akan berdampak positif bagi upaya menyehatkan pers.

Dalam tulisan itu, Didik mengharapkan, "Pemerintahan Jokowi dan seluruh jajarannya harus memulai tradisi tidak menggunakan uang negara untuk menyogok wartawan melalui kerja-kerja kehumasan yang selama ini berlangsung. Pemerintahan baru Jokowi-Jusuf Kalla harus mampu menyadarkan jajarannya, dari kementerian, instansi, hingga gubernur dan kepala daerah, bahwa kultur yang menyuburkan budaya penyuapan dan pemerasan tidak akan menghasilkan apa-apa. Bagi wartawan, lahan subur yang bertabur uang justru berujung pada pemerasan dan penipuan. Jika tidak ada pembinaan dari pemerintahan yang baru, lingkaran setan penipuan dan pemerasan tidak akan pernah bisa diputus."

Mengapa Presiden harus turun tangan memberantas budaya amplop dengan, misalnya, menerbitkan kebijakan melarang kementerian, kepala daerah, dan unit kerja di bawah pemerintahannya mengalokasikan dana untuk "mengamplopi" pers?

Budaya amplop jelas merugikan negara dan pers paling tidak dalam empat hal. Pertama, mengamplopi wartawan berarti menyia-nyiakan anggaran negara. Pada pertengahan tahun lalu, beberapa media online Jakarta terlibat sengketa pers dengan 37 media lokal di Blitar, Jawa Timur. Tempo.co, misalnya, meminta pembatalan rencana Pemerintah Kabupaten Blitar agar 220 kepala desa mengalokasikan sekitar 5 persen, yakni Rp 3,5 miliar, dana desa untuk

Page 15: Pendapat 1-26 Februari 2015

pers lokal. Dalam upaya menyelesaikan perkara itu di Surabaya, Agustus tahun lalu, Dewan Pers menegaskan bahwa pengalokasian dana desa untuk pers adalah tindakan mubazir. Membiarkan program seperti itu berarti berpotensi menyia-nyiakan anggaran negara sekitar Rp 1,2 triliun per tahun, yakni 5 persen dari Rp 350 juta kali 74.053 desa.

Gambaran perkembangan media nasional tecermin dari informasi yang disampaikan DPRD Kota Padang ketika berkunjung ke Dewan Pers Jakarta pada awal Desember lalu. Salah satu anggota Dewan melaporkan 65 persen anggaran sejumlah media Kota Padang berasal dari APBD. Tanpa anggaran itu, media tidak mampu eksis.

Apa sikap Dewan Pers atas kenyataan banyak media bergantung pada "belas kasihan" pemerintah? Pertama, hanya instansi yang bersih yang berani meniadakan amplop untuk pers. Kedua, pengadaan dana publikasi itu bertujuan sekadar untuk mendukung perselingkuhan pemerintah dan pers. Ketiga, penggunaan dana itu tidak terbukti telah mendorong penyehatan pers secara kualitas dan kuantitas.

Dana publikasi triliunan rupiah tersebut semestinya segera dihentikan dan dialihkan ke program pemberdayaan pers sehat. Selama 70 tahun ini, untuk menghasilkan hakim, jaksa, camat, intel, perwira militer, dan polisi yang profesional, negara mendirikan sekolah tinggi untuk mereka. Mereka pada gilirannya dilatih di Sekolah Staf dan Pimpinan Administrasi (Sespa), Sekolah Staf dan Komandan (Sesko), serta Lembaga Ketahanan Nasional, yang semuanya dibiayai negara.

Semestinya, untuk tersedianya wartawan bersertifikat kompeten, negara juga harus adil dengan mendirikan dan mendanai sekolah tinggi jurnalistik di setiap provinsi dan menyediakan semacam "Sespa" untuk wartawan. Sekarang ini kira-kira terdapat 100 ribu wartawan di Indonesia, tapi hanya beberapa ribu orang yang berkualifikasi profesional dan mampu membuat medianya sehat isi dan sehat bisnis.

Kedua, mengamplopi wartawan berarti melemahkan fungsi kontrol sosialnya. Ketiga, wartawan amplop mencederai kemerdekaan pers. Dewan Pers berpendapat wartawan amplop adalah penumpang gelap kemerdekaan pers dan mencederai profesi wartawan profesional.

Keempat, membunuh entrepreneurship pers. Pasal 3 Undang-Undang Pers menyebutkan pers nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi. Pasal ini bermakna media profesional hanya bisa sehat bisnis jika prinsip-prinsip keekonomian pers dijalankan.

Membiarkan wartawan berkarya dengan menguber amplop, bukan hanya mematikan semangat menumbuhkembangkan pers sesuai dengan prinsip-prinsip keekonomian pers, tapi justru mengundang lebih banyak preman dan pengangguran untuk meramaikan pers abal-abal. 

Page 16: Pendapat 1-26 Februari 2015

Pelajaran Kebiri Kimiawi dari CaliforniaJUM'AT, 12 FEBRUARI 2016

Gita Putri Damayana, Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)

dan Studi S-2 University of Washington 

Langkah Presiden Joko Widodo menyiapkan draf Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) tentang pemberatan hukuman terdakwa pelaku kekerasan seksual terhadap anak dengan cara kebiri patut mendapat perhatian. Perhatian Presiden terhadap kekerasan seksual pada anak ini harus dihargai setinggi-tingginya. Anak, dengan segala keterbatasannya, adalah kelompok masyarakat yang paling rentan menjadi korban kekerasan.

Di Amerika Serikat, pengebirian secara kimiawi ini sudah dilakukan oleh beberapa negara bagian, seperti California, Florida, Montana, dan Louisiana. California adalah negara bagian pertama yang memberlakukan hukuman kebiri kimiawi pada 1996.

Dasar hukum kebiri bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak adalah Pasal 645 California Criminal Code. Menurut hukum California, terapi kebiri kimiawi dimulai sepekan sebelum pelaku dibebaskan dari penjara dan berlanjut terus sampai dinilai cukup oleh pemerintah.

Hormon kimia yang diberikan kepada terdakwa adalah medroxyprogesterone acetate atau sejenisnya, yang berfungsi menekan berahi pelaku. Hukuman kebiri kimiawi ini dijatuhkan oleh pengadilan bagi terdakwa yang melakukan kekerasan seksual terhadap anak di bawah usia 12 tahun dengan bukti tak terbantahkan (beyond reasonable doubt) untuk kedua kalinya. Artinya, bila seseorang baru pertama kali melakukan kekerasan seksual terhadap anak, pengadilan tidak serta-merta menjatuhkan hukuman tersebut. Pengadilan juga tidak memisahkan terdakwa yang mengidap paedofilia dengan mereka yang tidak memiliki kecenderungan paedofilia.

Setelah hampir 20 tahun berjalan, pemberlakuan kebiri kimiawi ini mendapat kritik keras dari berbagai kalangan. Pemberian hormon itu ternyata hanya efektif untuk menekan berahi pelaku laki-laki. Sedangkan untuk pelaku perempuan, fungsi hormonalnya berubah menjadi alat pengendali kelahiran (KB).

Pemerintah juga tak diwajibkan menyediakan terapi psikologis bagi pelaku. Hal ini juga mendapat kritik keras karena pembuat undang-undang mengabaikan pentingnya perlakuan yang berbeda bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak yang mengidap paedofilia atau yang tidak.

Page 17: Pendapat 1-26 Februari 2015

Pertimbangan utama pasal kebiri kimiawi di California adalah untuk mencegah pelaku mengulangi perbuatannya di kemudian hari. Artinya, target pencegahannya bukan untuk (calon) pelaku baru, melainkan untuk mencegah residivisme.

Pelaku kekerasan (bukan pelanggar yang berulang) bahkan bisa mengambil langkah yang lebih drastis, yaitu kebiri melalui operasi, sehingga tidak dihukum penjara. Kebiri kimiawi bisa menjadi pilihan untuk pelaku kekerasan seksual yang baru pertama kali melakukan kejahatannya sebagai alat tawar-menawar hukuman dengan pihak penuntut umum.

Hal ini mengingat biaya kebiri kimiawi hanya US$ 160 per bulan, sedangkan biaya hidup seorang narapidana di penjara California adalah US$ 47 ribu. Bila pelaku memilih dikebiri kimiawi, beban anggaran negara berkurang. 

Dari sisi pencegahan, pemerintah federal AS sejak 1996 sudah memberlakukan Megan's Law, yaitu kewajiban negara bagian untuk menginformasikan ke publik mengenai domisili pelaku kekerasan seksual. Megan's Law secara khusus mengatur kewajiban pelaku kekerasan seksual terhadap anak untuk memberitahukan perpindahan tempat tinggal atau tempat kerjanya ke aparat penegak hukum. Pemerintah federal AS menyediakan situs National Sex Offender Public Website, yang menjadi pangkalan data pelaku kekerasan seksual nasional.

Dalam konteks Indonesia, pemerintah bisa memasukkan soal pemberatan kejahatan kekerasan seksual dalam pembahasan revisi KUHP yang masih berlangsung di parlemen. Presiden tidak perlu mengeluarkan perpu karena tidak ada alasan kegentingan yang memaksa dan tak ada kekosongan hukum. Pasal 287 sampai 295 KUHP serta Pasal 81, 82, dan 88 Undang-Undang Perlindungan Anak telah mengatur hukuman untuk pelaku kekerasan seksual terhadap anak.

Pengalaman dari California menunjukkan bahwa kebijakan yang disusun melalui proses politik normal dengan mempertimbangkan aspek preventif saja masih penuh kritik dan tantangan.

Page 18: Pendapat 1-26 Februari 2015

BaduiSENIN, 15 FEBRUARI 2016

Ada sebuah cerita tentang seorang Badui yang hidup jauh dari Damaskus, jauh di pedalaman Suriah, yang kecewa ketika ia naik kereta api buat pertama kalinya. "Aku tak puas," ia mengeluh kepada temannya. "Karcisnya mahal, padahal perjalanan berakhir terlalu cepat."

Ia mungkin terdengar bodoh, seperti umumnya cerita orang kota yang mengolok-olok orang udik, tapi sebenarnya si Badui mengingatkan orang-orang modern satu hal: mencapai sesuatu dengan "cepat", yang bagi kebanyakan kita merupakan formula keberhasilan di zaman ini, bisa tak sepadan dengan nilai pengalaman. Kecepatan memang bisa menghasilkan, tapi pada saat yang sama menepis sesuatu yang lain. 

Mengutamakan "cepat" hanyalah cara memandang waktu secara tertentu: waktu sebagai terowongan. "Cepat" berarti terowongan itu pendek. Menganggap itu hal terpenting berarti tak menganggap ukuran yang lain perlu--bahkan tak melihat kemungkinan lain di luar terowongan itu.

Si Badui, misalnya. Ia tak memandang waktu sebagai sesuatu yang tertutup. Mungkin ia membayangkannya sama dengan gurun pasir yang utuh yang nyaris tanpa tepi. Berhari-hari ia biasa mengarunginya. Di atas untanya yang setia, ia menuju suatu titik, tapi ia praktis seperti seseorang yang menjelajah. Ia mengikuti jadwalnya sendiri yang tak dituliskan dengan tegas--dengan kemungkinan yang belum pasti. 

Contoh lain orang yang berada dalam waktu yang tak sebagai berada dalam terowongan adalah seorang penyair ketika menulis sebuah sajak. Ia bukan seorang wartawan yang menulis dengan deadline. Ia bisa mulai menulis kapan saja, dan di saat itu ia sama sekali tak tahu kapan ia merasa pas dengan kalimat yang akan ditulisnya dan apa pula yang akan diungkapnya sebagai kata akhir. Tak ada kepastian. Tapi prosesnya intens, dan pengalamannya kaya. Ia seakan-akan berada di antara yang kekal dan tak kekal. Seperti Amir Hamzah:

Lalu waktu bukan giliranku Mati hari bukan kawanku...

"Kadang-kadang bepergian sedikit lebih baik ketimbang tiba." Sometimes it's a little better to travel than to arrive.

Kalimat itu diucapkan sang narator dalam Zen and the Art of Motorcycle Maintenance. Dan dengan itu, sang narator, mungkin sang pengarang sendiri, Robert M. Pirsig, berangkat dari Minnesota ke Carolina Utara di atas sepeda motornya. Ia berdua dengan anaknya, Chris, yang baru berumur 12 tahun. 

Page 19: Pendapat 1-26 Februari 2015

Dari sinilah Pirsig menulis. Tapi seperti dikemukakannya, buku non-fiksi ini (yang kemudian laku terjual sebanyak lima juta eksemplar) bukan tentang Buddhisme Zen dan bukan pula tentang perawatan motor. 

Pirsig sibuk dengan yang lain. Sepanjang perjalanan 17 hari itu pikirannya penuh dengan dialog, kenangan, cerita tentang Phaedrus, si filosof yang tak diakui yang sebenarnya dirinya sendiri di masa lalu, yang ingin membahas satu nilai kehidupan yang disebut "Quality".

Demikianlah ia berjalan. Tak penting agaknya ke mana dan kapan ia akan tiba. Seperti sang Badui, ia memilih berada dalam waktu sebagai ruang terbuka. Seperti halnya ia memilih sepeda motor, bukan mobil.

Dalam mobil kita selalu dalam sebuah kompartemen, dan karena kita sudah terbiasa dengan itu kita tak menyadari bahwa melalui jendela mobil semua yang kita lihat hanya ibarat TV. Kita jadi pengamat yang pasif dan semua bergerak di depanmu dengan membosankan di dalam satu bingkai.

Di atas sepeda motor, bingkai itu lenyap. Kita sepenuhnya dalam kontak dengan semua, tak cuma mengamati....

Dalam kontak dengan semua itu, "cepat" tak merupakan soal yang penting. Yang penting liyan, orang lain, dunia tempat kita ada: anak, sahabat, lanskap musim panas, itik-itik liar, burung hitam, pegunungan, badai, mimpi.... Bahkan juga benda yang selama ini hanya alat, seperti sepeda motor Pirsig itu, misalnya, yang ia rawat dengan telaten dan mesra. 

Ada sesuatu yang seperti si Badui di tengah padang pasir yang membuat kita, juga Pirsig, bisa merasa betah dengan itu semua. 

Kita tak menaklukkan gunung dengan yang disebut Pirsig sebagai ego-climbing. Orang yang membawa egonya akan sampai di puncak namun tetap tak berbahagia. Ia merasa tak menemukan sesuatu yang ajaib. Ia tak menemukan sesuatu yang ajaib karena keajaiban itu, yang berada di sekitarnya sejak awal, dalam benda-benda sehari-hari, tubuh dan perasaan hatinya sendiri, tak pernah ditengoknya, dan tak pernah mempesonanya. Ia seperti rabun dalam terowongan waktu.

Kita lebih kagum kepada sang Badui, yang melepaskan diri dari terowongan itu. Di padang pasir yang tak terukur ia memungut segenggam pasir. Segenggam pasir itu--dan berjuta-juta isi dan bentuknya yang beraneka tak tepermanai--baginya sebuah dunia. Antara kekal dan tak kekal. 

Goenawan Mohamad

Page 20: Pendapat 1-26 Februari 2015

KoalisiSABTU, 13 FEBRUARI 2016

Putu Setia, @mpujayaprema

Romo Imam menepuk jidatnya begitu membaca "teks berjalan" di layar televisi yang mengabarkan ada 25 orang meninggal dunia di Sleman, Yogyakarta, karena minum minuman oplosan. "Media sangat aneh, pantas Presiden Jokowi pun memberikan kritiknya. Ada 25 nyawa melayang karena minuman oplosan tapi beritanya hanya sekilas, sementara satu orang mati minum kopi beritanya menggegerkan Nusantara," katanya.

Saya menanggapi dengan santai. "Kita mudah tergiring dengan opini yang dibentuk media massa. Makanya Romo, mari kita membicarakan hal-hal yang mulai dilupakan orang," kata saya. "Misalnya, kita bicara soal reshuffle kabinet."

Romo tampaknya terpancing. "Reshuffle kabinet itu kan berangkat dari isu partai oposisi yang membelot mendukung pemerintah. Koalisi Merah Putih katanya mulai ditinggalkan beberapa partai, lalu muncul dugaan Jokowi akan memberikan hadiah menteri kepada partai yang baru mendukung. Padahal Jokowi belum tentu memberikan jatah itu. Lagi pula partai yang hengkang dari koalisi itu kan cuma dagelan."

Ah, saya terkesiap. Romo melanjutkan, "Koalisi Merah Putih dibentuk untuk membendung partai-partai yang mendukung Jokowi. Karena calon presiden mereka kalah dan tak mungkin dapat jabatan di eksekutif, koalisi bergerilya menguasai pimpinan parlemen. Secepat kilat membuat undang-undang baru untuk merebut jabatan penting di parlemen. PDI Perjuangan sebagai pemenang pemilu yang secara etika politik mestinya menjadi pimpinan DPR, tak berdaya. Kini, setelah pimpinan parlemen mereka pegang, incaran selanjutnya jabatan eksekutif, berebut jatah menteri. Jalan satu-satunya adalah seolah-olah mendukung pemerintah."

"Seolah-olah, Romo?" saya kaget. "Ya, seolah-olah. Kalau mereka betul mendukung Jokowi dengan ikhlas, semestinya mereka rela pimpinan parlemen dikocok ulang dan diberikan kepada partai pemenang pemilu. Anggap sebagai imbalan agar Jokowi dan partai pengusung semakin mesra. Tapi itu tak terjadi. Lagi pula, kalau mereka serius mendukung Jokowi, kebijakan Jokowi pun harus didukung. Ini kan tidak," kata Romo.

Saya menyela, "Kebijakan apa yang tak didukung?" Romo menjawab, "Satu contoh saja, revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Sembilan fraksi di DPR menyetujui isi draf revisi itu dalam rapat di Badan Legislasi DPR pada Rabu lalu. Yang menolak hanya Partai Gerindra. Sehari setelah itu, Partai Demokrat berbalik mendukung Gerindra. Padahal Gerindra merasa ditinggalkan sendiri di Koalisi Merah Putih dan Demokrat bukan partai koalisi pendukung Jokowi."

Page 21: Pendapat 1-26 Februari 2015

Romo melanjutkan, "Malah pengusul draf itu Ichsan Soebagyo dari PDI Perjuangan. Yang direvisi terkait jabatan komisioner KPK, Dewan Pengawas, wewenang SP3 oleh KPK, penunjukan penyidik dan penyelidik independen oleh KPK, serta wewenang menyadap. Ini semua memperlemah KPK dan yang ditentang Jokowi."

"Wah, kalau begitu, koalisi tak ada artinya," saya memotong. "Persis begitu," jawab Romo cepat. "Koalisi itu hanya mengincar jabatan, bukan mendukung kebijakan. Ada koalisi atau tidak, koalisi gendut atau kurus, sama saja selama partai-partai bertujuan mengumpulkan duit untuk pemilu mendatang. Apalagi Pemilu 2019 berbeda, presiden dan DPR dipilih serentak dan setiap partai peserta pemilu berhak mencalonkan presiden dan wakil presiden. Tak perlu kuota suara, yang diperlukan duit. Maka jadi aneh tabiat partai sekarang, menyebut pendukung pemerintah tetapi menelikung. Yang berada di luar pemerintah justru mendukung Jokowi."

Saya nyeletuk, "Terbalik-balik dan memang lucu."

Page 22: Pendapat 1-26 Februari 2015

Patung dan Islam yang MematungRABU, 17 FEBRUARI 2016

Akhmad Sahal, Wakil Ketua Pengurus Cabang Istimewa NU Amerika

Pembakaran patung Arjuna di Purwakarta tak ayal memunculkan lagi pertanyaan: betulkah Islam mengharamkan patung? Apakah patung niscaya identik dengan syirik? Sebetulnya ini pertanyaan lama yang pernah dibahas oleh dua tokoh gerakan pembaruan Islam, Muhammad Abduh (1849-1905) dan Rasyid Ridha (1865-1935).

Dalam kitabnya, Fatawa, Ridha membahas hukum lukisan dan patung dengan memeriksa sejumlah hadis yang bernada keras terhadap pembuat patung dan pembuat gambar. Misal, hadis yang bunyinya: "Sesungguhnya orang yang paling besar siksanya di hari kiamat adalah para penggambar/pematung." Di Hari Akhir, penggambar/pematung akan ditantang oleh Allah untuk memberi roh kepada karya-karyanya karena mereka telah menyaingi Tuhan. Ridha juga menelaah pandangan para ulama klasik yang mengharamkan lukisan dan patung.

Ridha lalu menyimpulkan, patung diharamkan karena diperlakukan sebagai berhala yang disembah. Selain itu, patung diharamkan agar orang-orang di kemudian hari tidak menjadikan patung sebagai sesembahan. Dasarnya adalah sadd al-dzari'ah, yakni melarang sesuatu karena dianggap bisa menjadi perantara bagi perbuatan haram.

Tapi, Ridha juga menegaskan bahwa hukum berdasar sad al-dzari'ah sifatnya tidak permanen. Sesuatu bisa dianggap sebagai perantara keharaman pada zaman dan tempat tertentu, tapi pada tempat/zaman lain tidak. 

Dengan kerangka semacam itulah Ridha berpendapat bahwa keharaman patung di masa lalu tak bisa serta-merta diterapkan pada era modern. Bagi Ridha, pada masa modern, lukisan dan patung justru bisa bermanfaat untuk publik, misalnya dalam kedokteran, ilmu pengetahuan, kemiliteran, kesenian, dan sejarah. Patung tak bisa serta-merta dihukumi haram, melainkan mubah, karena tak terdapat tujuan penyembahan di situ. Bahkan tak jarang, patung dan lukisan diperlukan demi kemanfaatan publik, seperti pendidikan dan estetika.

Fatwa Ridha di atas sejalan dengan pandangan gurunya, Syaikh Muhammad Abduh, yang menulis tentang lukisan dan patung sehabis lawatannya ke Sisilia, Italia. Abduh takjub dengan orang-orang Sisilia (Al-Shiqliyyun) yang memiliki kepedulian kuat terhadap seni, khususnya patung dan lukisan. Kepedulian mereka untuk merawat patung dan lukisan mirip dengan yang dilakukan kaum muslim pada awal sejarah Islam yang menghafalkan puisi-puisi pra-Islam.

Kalau lukisan dan patung adalah "puisi yang terlihat, tapi tak terdengar," maka puisi adalah "lukisan yang terdengar, tapi tak terlihat," demikian perkataan Abduh. Sebagaimana puisi,

Page 23: Pendapat 1-26 Februari 2015

lukisan dan patung berfungsi sebagai semacam lumbung bagi ragam ekspresi kehidupan individu dan komunitasnya. Seperti sastra, lukisan dan patung adalah diwanul hai'at wal ahwal al-basyariyyah, buku yang menampung ragam situasi dan hal ihwal manusia sekaligus menggambarkan manusia dalam berbagai situasi kejiwaan, emosi, dan kepribadiannya.

Menurut Abduh, patung dan lukisan dulu diharamkan karena dianggap menyebabkan orang lupa Tuhan (lahwun) dan menjadi obyek penyembahan. Itu terkait erat dengan tradisi paganisme masyarakat Arab pada masa itu. Patung dan lukisan saat itu menjadi sarana bagi perbuatan syirik. Implikasi logisnya, ketika alasan yang mengarah pada syirik tersebut tidak lagi ditemukan saat ini, otomatis status hukumnya berubah. Tidak lagi haram, melainkan mubah.

Tapi, bagaimana jika patung dan lukisan yang ada sekarang kembali jadi sarana/obyek sesembahan di masa depan? Untuk menghindari kemungkinan munculnya syirik di masa depan, apa tidak lebih baik lukisan dan patung dilarang saja? Menepis pertanyaan ini, Abduh pun menyitir analogi yang sarkastis: lidah punya kemungkinan untuk berbohong. Apakah karena itu lantas perlu diikat, biar tidak bisa bicara sama sekali?

Walhasil, baik Abduh maupun Ridha sama-sama mempertimbangkan perubahan ruang dan waktu dalam melihat hukum patung. Pengharaman patung di masa lalu terkait dengan tujuan pembuatannya, yakni untuk disembah. Apabila tak ada tujuan itu, otomatis keharamannya tidak berlaku. 

Tentu Ridla dan Abduh menyadari adanya hadis yang mengecam patung dan lukisan. Tapi mereka berdua juga sadar, putusan hukum syar'i tidak bisa hanya berpatokan pada satu-dua hadis saja, melainkan harus juga mempertimbangkan alasan atau illah yang mendasari hukum tersebut. Ini sejalan dengan kaidah fikih Al hukmu yaduru ma'al 'illah wujudan wa 'adaman, berlaku tidaknya suatu hukum bergantung pada ada-tidaknya alasan yang mendasari hukum tersebut.

Di sini Abduh dan Ridha menawarkan suatu kontekstualisasi hukum Islam, terutama dalam urusan di luar domain ritual (ibadah murni). Bagi mereka, pemahaman kita tentang hukum Islam harus selalu diperbarui sesuai dengan tuntutan zaman dan tempat, dengan menjadikan kemaslahatan sebagai patokan utamanya. Dengan cara itulah Abduh dan Ridha memaknai klaim Islam sebagai shalihun li kulli zaman wa makan, relevan untuk segala waktu dan tempat.

Tanpa kontekstualisasi, Islam justru akan terpenjara oleh masa lalunya sendiri, menjadi agama yang mematung. Itulah keislaman sementara kaum muslim yang, dalam istilah Bung Karno, gagal mengambil "api dan saripati Islam" dan hanya berkutat pada abu dan ampasnya. Dan, itu ditunjukkan oleh mereka yang di hare gene getol menghancurkan patung. 

Page 24: Pendapat 1-26 Februari 2015

Mengapa Kasus Novel Baswedan Harus DihentikanJUM'AT, 19 FEBRUARI 2016

Bivitri Susanti, Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera 

Atas nama peraturan dan prosedur, esensi keadilan sering kali terpinggirkan. Ini terlihat misalnya dalam tulisan "Posisi Hukum Penarikan Berkas Novel Baswedan" di Koran Tempo, 15 Februari 2016. Opini tersebut harus ditanggapi agar pandangan publik pembaca tidak tersesat di belantara teks peraturan.

Kasus Novel Baswedan bukan kasus kriminal biasa. Ia adalah salah satu kasus penegakan hukum yang dilakukan bukan untuk tujuan penegakan hukum itu sendiri. Kita sering mengistilahkannya dengan "kriminalisasi", meski istilah ini kurang tepat dalam ilmu hukum. Dalam "kriminalisasi", wewenang penegakan hukum digunakan oleh lembaga yang berwenang seolah-olah untuk menegakkan hukum. Padahal tujuannya bukan menegakkan hukum, melainkan merugikan orang yang dikehendaki.

Kita semua setuju keadilan harus ditegakkan bagi semua orang. Tak terkecuali bagi para pencuri sarang burung walet yang mengisahkan penganiayaan oleh oknum polisi pada 2004. Namun, kita juga harus kritis dan mampu melihat peristiwa ini dalam kacamata "kewajaran" di penegakan hukum dan keadilan.

Banyak indikasi yang jelas menunjukkan keterkaitan antara kasus Novel dan kerja Komisi Pemberantasan Korupsi yang terkait dengan kepolisian. Harus diingat, kasus yang dituduhkan kepada Novel terjadi lebih dari satu dekade lalu. Sekelompok polisi di bawah pimpinan Novel dituduh menganiaya sekelompok pencuri sarang burung walet. Peristiwa itu terjadi saat Novel menjabat Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Bengkulu pada 2004. Setelah peristiwa itu, Novel sebagai pemimpin satuan menjalani pemeriksaan internal kepolisian dan mendapat sanksi teguran. Ia tetap menjabat sampai Oktober 2005, dan kasus dianggap selesai.

Tapi, kasus ini tiba-tiba menyeruak pada 2012. Saat itu, Novel selaku penyidik KPK tengah menyidik petinggi kepolisian, Djoko Susilo, dalam kasus korupsi simulator SIM. Kita masih ingat kehebohan yang timbul karena kepolisian menangkap Novel di gedung KPK. 

Atas perintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kasus ini tidak diteruskan, tapi tanpa kejelasan secara hukum. Sampai kemudian kasus ini mencuat lagi ketika KPK berseteru dengan kepolisian pada 2015 dalam kaitan dengan langkah KPK menjadikan Budi Gunawan

Page 25: Pendapat 1-26 Februari 2015

tersangka. Novel ditangkap seminggu setelah pengumuman penetapan tersangka tersebut.

Setelah mendapat desakan dari berbagai pihak, jaksa yang sudah melimpahkan kasus Novel ke Pengadilan Negeri (PN) Bengkulu menarik berkas kasus tersebut. Dasarnya adalah Pasal 144 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Pasal itu mengatakan penuntut dapat menarik surat dakwaan sebelum pengadilan menetapkan hari sidang. 

Opini di Koran Tempo pada 15 Februari lalu mengabarkan bahwa penarikan tidak dapat dilakukan karena hari sidang sudah ditentukan. Perlu dicatat, pada saat jaksa penuntut menarik dakwaan, penetapan hari sidang belum disampaikan oleh PN Bengkulu kepada jaksa maupun pihak Novel. Pengetahuan publik mengenai tanggal sidang diketahui dari media massa berdasarkan keterangan bagian hubungan masyarakat PN Bengkulu. Padahal, dalam praktek hukum, semua pihak harus mendasarkan tindakannya pada dokumen resmi, bukan pemberitaan.

Langkah selanjutnya yang perlu dilakukan oleh Kejaksaan adalah deponering. Deponering atau seponering adalah istilah untuk wewenang Jaksa Agung mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Hal ini diatur dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan.

Ada pendapat, deponering hanya dapat dilakukan sebelum pelimpahan perkara oleh jaksa. Benarkah demikian? Sebenarnya, selama sidang belum dimulai, Jaksa Agung dapat menggunakan wewenangnya. Dalam kasus Novel, berkas perkara sudah kembali ke tangan jaksa dan belum mencapai proses penuntutan di pengadilan. Dengan begitu, wewenang Jaksa Agung mengesampingkan perkara bisa diterapkan.

Dijelaskan dalam UU Kejaksaan, "kepentingan umum" dalam konteks pengesampingan perkara adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas. Kasus Novel mengandung kepentingan masyarakat dan negara karena kasus itu adalah bentuk paling nyata dari penegakan hukum yang dilakukan bukan untuk menegakkan hukum semata, melainkan juga untuk tujuan lain.

Kepentingan kasus Novel tidak bisa diukur dari statistik kerja atau jumlah pekerja KPK, tapi dampak politik yang bisa timbul karena kasus ini. Bila kasus tidak dikesampingkan, akan timbul persepsi yang salah bahwa wewenang atau kekuasaan bisa digunakan bila pemiliknya merasa terusik. Maka, "kriminalisasi" bisa dijadikan modus serangan balik. Bukan mustahil perkara serupa akan muncul dalam siklus setiap kali suatu lembaga merasa terusik.

Penarikan dakwaan yang dilakukan oleh jaksa penuntut pada 2 Februari lalu adalah upaya untuk membereskan kasus ini. Tapi, apakah ini "intervensi kasus"? Campur tangan Presiden dalam membereskan suatu penyimpangan haruslah dibedakan dengan intervensi berniat jahat. Bedanya memang tipis. Namun, dalam dunia hukum, niat atau motif selalu dijadikan salah satu dasar dalam menimbang suatu peristiwa. Dalam sebuah penalaran hukum (legal reasoning), hukum pada akhirnya tidak bisa ditimbang berdasarkan teks belaka. 

Page 26: Pendapat 1-26 Februari 2015

FayadhSENIN, 22 FEBRUARI 2016

Fayadh tak jadi dihukum mati. Kabar di awal Februari ini mengatakan: sebagai gantinya, ia dihukum delapan tahun penjara dan dicambuk 800 kali. 

Ashraf Fayadh penyair, umurnya 36 tahun, ia kurator seni, ia menerbitkan sebuah kumpulan sajak (saya terjemahkan dari judul Inggris) Instruksi di Dalam, dan ia ditangkap Polisi Syariat pada 2013. Oleh hakim Arab Saudi ia dianggap murtad. Hukumannya dipenggal atau digantung. 

Untung nasibnya diketahui dunia luar. Dari pelbagai penjuru protes dikemukakan, dan Kerajaan Saudi mundur--setengah tapak. Delapan tahun disekap dan didera cambuk 800 kali bukan hukuman yang enteng. Instruksi di Dalam tetap dianggap kejahatan serius.

Saya belum pernah membaca lengkap sajak-sajak seniman asal Palestina ini. Beberapa buah saya temukan di internet dalam terjemahan Inggris; salah satunya (dalam versi Indonesia saya) merupakan statemen yang lamat-lamat, mungkin tentang ketakbebasan, mungkin juga bukan:

ia tak berhak berjalan, bagaimana pun,bergoyang, bagaimana pun,menangis, bagaimana pun

ia tak berhak membuka jendelahati sendiri, buat melepas air mata, sampah,dan udara lagi

Sajak itu dilanjutkan dengan semacam pengingat, entah kepada siapa: kau cenderung lupa, kau adalah sepotong roti.

Aneh sekali puisi: beberapa puluh patah kata cukup membuat sebuah kekuasaan dengan senjata lengkap dan lembaga perkasa merasa harus membungkamnya. Hari ini Fayadh. Di masa lain, di Uni Soviet di bawah Stalin. Penyair Osip Mandelstam dihujat, ditangkap, disingkirkan, akhirnya dibuang dan mati nyaris tak diketahui di Siberia. Juga karena sejumlah sajak. Ia dianggap tak patuh kepada garis yang ditetapkan Partai untuk kesusastraan, dan akhirnya dianggap menyerang Stalin. 

Bagaimana para penguasa itu--hakim Saudi dan pembesar Partai Komunis--menganggap interpretasi mereka adalah tafsir yang benar, sementara mungkin makna itu bukan niat penyairnya? 

"Dalam karya sastra yang murni," kata penyair Prancis Stephane Mallarme di abad ke-19, dalam Crise de Vers, "sang penyair menghilang sebagai pembicara dan menyerahkan tugasnya kepada kata-kata." 

Page 27: Pendapat 1-26 Februari 2015

Kata-kata puisi lahir tanpa blueprint, dan hidup bak anak yatim. Begitu sebuah sajak kau tafsirkan, kata-katanya praktis kau adopsi. Ada satu anekdot tentang Picasso. Seorang opsir Jerman masuk ke apartemen pelukis terkenal itu dan melihat foto Guernica, mural besar Picasso yang mengungkapkan keganasan perang dan kepedihan penduduk Kota Guernica di Spanyol. Opsir Jerman itu bertanya: "Tuan yang membuat itu?" Jawab Picasso: "Bukan, Tuan yang membuatnya."

Picasso mungkin hendak menunjukkan kekejaman Nazi di mural itu, tapi mungkin juga ia hendak menunjukkan bahwa begitu sang opsir membuat tafsir atas karya itu ia pun mengadopsi maknanya--apa pun makna itu. Sang perupa tak ikut lagi.

Tapi Polisi Syariat Saudi, apparatchik Soviet, tak akan mudah mempercayai keterangan Mallarme dan tak akan menyadari bahwa mereka bertanggung jawab atas apa yang mereka baca dan tafsir. Orang-orang itu, yang pakaian dan isi kepalanya diseragamkan, terbiasa membuat asumsi bahwa kata-kata berjalan lurus dari otak ke kertas cetak, dan bahwa makna selalu transparan dan gampang disepakati secara serentak, bahwa kata tetap seperti semula padahal telah disentuh pelbagai emosi dan analisis. 

Bukankah dokumen dan perintah atasan yang mereka terima selalu seperti itu?

Dan di situlah soalnya. Aparat kekuasaan, apalagi yang punya niat mengatur hidup manusia sampai ke lubuk hati dan imajinasi, selalu punya khayal: kekuasaan yang menghadirkan mereka akan selalu sanggup mencakup dunia. Ironisnya, bagi mereka kekuasaan itu justru selalu genting. Tiap kata bisa mereka anggap peluru yang ditembakkan dengan peredam. 

Mungkin tak sepenuhnya salah. Kita hidup dalam masa Foucault. Kita makin menyadari bahwa kekuasaan, yang bersifat relasional, sebenarnya selalu terkait dengan "wacana" (discourse)--dengan persuasi, komunikasi, melalui penggunaan bahasa, pengukuhan simbol-simbol, perumusan hukum, pengelolaan ritual, juga penggunaan gertak, teror, dan kekerasan. Senantiasa untuk menegakkan legitimasi. 

Tapi wacana, sebagaimana juga kekuasaan, tak pernah berada di satu tempat. Ada yang menguasai, ada yang dikuasai, tapi selalu interaktif dan tak stabil. "Wacana menjadi wahana kekuasaan," kata Foucault, "juga memproduksi dan meneguhkannya, tapi dalam pada itu menggerogoti dan menelanjanginya, hingga membuat kekuasaan keropos dan bisa dirintangi."

Kekuasaan dengan demikian tak pernah stabil, di masa lalu, apalagi di masa "modernitas yang cair" ini.

Sajak-sajak Fayadh mungkin terasa menunjukkan ketakstabilan itu. Ia berbicara tentang "tuhan-tuhan yang telah kehilangan harga dirinya".

Goenawan Mohamad

Page 28: Pendapat 1-26 Februari 2015

KalijodoSABTU, 20 FEBRUARI 2016

Putu Setia, @mpujayaprema

Seperti halnya Kramat Tunggak, nama Kalijodo bakal segera hilang dari peredaran di Jakarta. Hilang sebagai lokalisasi prostitusi menyusul kawasan sejenis di kota yang berbeda, Gang Dolly di Surabaya. Tapi ini tidak serta-merta menghilangkan praktek pelacuran itu sendiri. Bahwa Menteri Sosial punya gagasan Indonesia bebas dari prostitusi pada tahun 2019, lebih baik hal itu dipahami sebagai berakhirnya era lokalisasi, resmi atau pun tidak. Bukan praktek prostitusi yang lenyap.

Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sejatinya bekerja biasa-biasa saja, tak ada yang istimewa. Kawasan Kalijodo itu tanah negara. Peruntukannya adalah ruang terbuka hijau. Bangunan yang ada di sana tergolong liar. Jikapun pada bangunan itu terpasang listrik dari PLN secara resmi, lalu ada warga yang membayar pajak bumi dan bangunan (PBB), ditambah pajak dari usaha kafe yang ada di sana, anggap saja itu sebuah "kesalahan massal" yang dilakukan berbagai instansi. Termasuk, misalnya, di tanah negara yang diserobot untuk permukiman, tiba-tiba ada rukun tetangga dan rukun warga yang diakui sah oleh lurah.

Kini Ahok hanya menjalankan undang-undang, mengembalikan Kalijodo untuk tujuan awal, hutan kota. Mengembalikan aset negara. Rencana itu sudah ada ketika Ahok menjadi wakil gubernur. Namun ia tak mau menggusur begitu saja warganya jika belum ada penampungan. Ahok, yang terkesan pemarah, ternyata punya hati juga. Kini rumah susun sudah ada dan Ahok pun siap membongkar Kalijodo. Kapolda Metro Jaya Irjen Tito Karnavian dan Pangdam Jaya Mayjen Teddy Lhaksmana mendukung Ahok dan siap mengerahkan anggotanya untuk pengamanan. Apalagi, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga mendukung "pembubaran'’ Kalijodo.

Jika Ahok berhasil menggusur Kalijodo dengan atau tanpa perlawanan yang keras, itu adalah tugas Ahok sebagai gubernur yang, sekali lagi harus dikatakan, biasa-biasa saja. Tak ada yang istimewa. Bahwa ada yang menyebut Ahok pemberani, tegas, dan tanpa kompromi, itu karena gubernur di daerah lain bekerja "tidak biasa", tak berani menjalankan undang-undang, pengecut menghadapi preman, dan tidak bisa mengawasi penyimpangan aparat di bawahnya. 

Ada sengketa yang timbul dari penyerobotan tanah negara dan kasusnya rumit karena sejak awal, ketika masalahnya kecil, tak ada penanganan yang baik. Satu-dua bangunan berdiri di tanah negara, tapi camat dan bupati diam saja. PLN mengalirkan listrik tanpa memeriksa status bangunan. Lama-kelamaan, banyak bangunan berdiri dan penghuni menghimpun diri, membentuk RT dan RW. Muncul preman pasang badan, preman yang kebanyakan dari keluarga pejabat juga. Setelah bertahun-tahun tanpa ada pengawasan, barulah pemerintah sadar ada penyerobot tanah negara. Pejabat saling menyalahkan terlebih dulu, baru kemudian

Page 29: Pendapat 1-26 Februari 2015

membongkar bangunan liar itu dengan penuh kehebohan dan juga keluar uang banyak. Termasuk "uang kompensasi" yang seharusnya tak perlu.

Kalijodo secara teori lebih mudah digusur karena banyak yang mendukung. Di sini ada maksiat, ada judi, juga ada narkoba, dunia yang sehitam-hitamnya. Lupakan rintihan para pelacur, yang mengaku datang dari kampung miskin, dianiaya suami, ditipu muncikari, terperangkap, dan seterusnya. Menteri Sosial boleh saja membantu mereka, ditampung di panti sosial, dilatih berwiraswasta, namun pelacuran tak pernah hilang. Yang jauh lebih penting adalah bagaimana agar kelak tak ada sengketa di permukiman yang tanahnya ternyata milik negara. Ahok berani menjalankan undang-undang, seharusnya begitulah pemimpin.

Page 30: Pendapat 1-26 Februari 2015

Perang Diplomasi Dagang di PasifikSENIN, 22 FEBRUARI 2016

Bayu Krisnamurthi, Mantan Wakil Menteri Perdagangan 

Dalam setiap kisah yang menceritakan peperangan, seperti pertempuran di Kurusetra dalam kisah Baratayudha atau pertempuran di Middle Earth karangan Tolkien, selalu digambarkan pertempuran itu adalah peperangan kebaikan melawan kejahatan. Dan, dalam semua kisah itu, kebaikan akhirnya selalu menang. Dalam dunia nyata, diplomasi perdagangan ternyata tidak demikian. 

Diplomasi dagang memang suatu "peperangan", karena setiap negara ingin dan harus memperjuangkan kepentingan masing-masing. Hanya, peperangan itu bukan antara yang baik dan jahat, melainkan antara yang baik dan yang baik yang dilihat dari kepentingan masing-masing. Akibatnya, "perang" diplomasi dagang menjadi jauh lebih kompleks karena pihak yang berperang tidak lagi hanya satu lawan satu atau bisa dibedakan siapa lawan dan siapa sekutu. Perang diplomasi sering tak berwujud dan beberapa pihak yang terlibat semua lebur dalam satu peperangan besar. Semua adalah lawan sekaligus kawan.

Itulah yang bisa dibayangkan dengan Trans Pacific Partnership (TPP), yang baru saja diteken pada 4 Februari 2016 di Auckland, Selandia Baru. Dua belas negara lebur dalam satu ajang perang diplomasi dagang yang kemudian mencapai kesepakatan, dan mereka menyebut kesepakatan itu sebagai kemenangan bersama. 

Keberadaan TPP jelas akan sangat mempengaruhi sistem perdagangan di kawasan, bahkan akan mempengaruhi perdagangan dunia. TPP dianggap sebagai kesepakatan dagang terbesar setelah General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) atau World Trade Organization (WTO). Indonesia dikabarkan tengah bersiap untuk bergabung dalam TPP. Apa yang akan dihadapi Indonesia ketika masuk dalam perang diplomasi dagang di Pasifik itu?

Pertama, Indonesia akan menjadi pendatang baru di tengah kesepakatan yang sudah ditandatangani. Artinya, Indonesia harus menerima kesepakatan tersebut sebagai awal landasan perundingan dengan negara-negara yang sudah terlebih dulu masuk TPP. Indonesia harus benar-benar mencermati 6.000 halaman lebih dokumen kesepakatan untuk melihat apakah kata-kata dan kalimat-kalimat yang digunakan masih memungkinkan Indonesia membawa kepentingan sendiri atau harus "nurut" kepada apa yang sudah tertulis (yang bisa saja memang sudah sesuai dengan keinginan Indonesia).

Kedua, Indonesia perlu mencermati bagaimana perimbangan kekuatan di antara negara-negara peserta TPP dan hubungan dagang yang sudah terjalin di antara negara-negara itu

Page 31: Pendapat 1-26 Februari 2015

dengan Indonesia. Ada Amerika Serikat, yang ekonominya jauh lebih besar dari anggota TPP lainnya, yang menjadi salah satu negara mitra dagang Indonesia terbesar. Vietnam, Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam sudah bersama Indonesia di ASEAN. Jepang, Australia, dan Selandia Baru sudah bersepakat dagang dengan Indonesia, baik secara langsung maupun lewat ASEAN. Ada Kanada, Meksiko, Cile, dan Peru yang masing-masing juga memiliki berbagai bentuk kerja sama dagang dengan Indonesia.

Ketiga, dalam proses perundingan dan dokumen TPP, sangat terlihat kepemimpinan AS. Hal itu dapat dimengerti. AS adalah ekonomi terbesar di TPP dan di dunia dengan PDB (produk domestik bruto) sekitar US$ 17,5 triliun. Jika ekonomi 11 negara TPP lainnya dijumlahkan pun, masih lebih kecil dibanding AS. Karena itu, banyak yang menyebutkan di TPP sangat "terasa" aroma AS.

Misalnya, sejak dulu AS selalu mendorong agar pengadaan pemerintah (government procurement) harus dilaksanakan dengan mekanisme pasar, tidak boleh ada keistimewaan bagi BUMN. Tapi, di sisi lain, AS selalu menolak jika subsidi pertanian dihapuskan, seperti yang terjadi pada kasus subsidi kapas. Kasus lain, AS juga selalu bertahan dengan hak paten obat-obatan, padahal di WTO diakui bahwa ramuan obat dapat dijadikan sebagai produk generik. Contoh-contoh itu terlihat jelas pada hasil kesepakatan TPP.

Kuatnya pengaruh AS di TPP tidak selalu berarti buruk, karena banyak posisi runding dan konsep yang diajukan AS cukup logis dan sesuai dengan prinsip-prinsip universal. Namun Indonesia harus sadar bahwa memperjuangkan kepentingan Indonesia di TPP artinya harus melalui proses meyakinkan, dan harus dengan persetujuan, AS.

Keempat, meski sudah ditandatangani di Selandia Baru, TPP baru akan berlaku jika telah diratifikasi melalui proses perundang-undangan di ke-12 negara anggotanya. Dan, hal ini masih penuh dengan ketidakpastian, termasuk di AS. Calon-calon Presiden AS, baik dari Partai Demokrat maupun Republik, mengisyaratkan penentangan yang kuat atas kebijakan Presiden Barack Obama dengan TPP. Belum lagi masalah di Kongres dan Senat AS serta tentangan publik AS sendiri.

Kelima, selain mulai berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN--dengan empat negara anggota ASEAN sudah masuk TPP--Indonesia juga tengah berunding dan menjadi koordinator dalam Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP). Ada tujuh negara TPP yang ikut berunding di RCEP. Lalu, ada perundingan APEC dan beberapa proses perundingan bilateral yang juga tengah diikuti Indonesia. Belum lagi kepemimpinan Indonesia di G-33 dan implikasi politiknya yang bisa mendukung kepentingan Indonesia di forum global. Semua itu harus dikelola sebaik-baiknya dengan kejelasan arah dan kepemimpinan yang konsisten agar sinkron satu sama lain. 

TPP merupakan front baru dalam peperangan besar itu. Ikut atau tidak ikut TPP akan membawa risiko yang tidak ringan bagi Indonesia, di samping juga membuka peluang dan manfaat. Tapi, dalam situasi perang diplomasi dagang seperti saat ini, yang paling berisiko

Page 32: Pendapat 1-26 Februari 2015

buruk dan hampir tak ada manfaat yang akan diperoleh adalah jika Indonesia tidak berbuat apa-apa. 

Page 33: Pendapat 1-26 Februari 2015

Hak Korban Terorisme yang TerlupakanSELASA, 23 FEBRUARI 2016

Edwin Partogi Pasaribu, Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban

(LPSK) 2013-2018 

Gotri masih bersarang pada tubuh Ni Made Arsini. Perempuan 47 tahun itu adalah korban bom Bali II, yang terjadi 12 tahun lalu. Selama bertahun-tahun, ia harus menjalani check-up dan terapi rutin.  Namun, ketika bantuan biaya pengobatan yang diberikan lembaga swadaya masyarakat asal Australia berhenti pada 2008, berat bagi Arsini untuk membiayai pengobatan lanjutan. 

Hingga kini, Arsini masih trauma bila mendengar suara petasan. Ia tidak sendiri. Banyak korban bom lainnya, yakni bom Bali I, bom Kuningan, bom Hotel JW Marriott, hingga bom gereja di Solo, yang juga menderita dengan taraf hampir serupa. 

Para korban serangan teroris mengeluhkan perbedaan perlakuan pemerintah terhadap pelaku. Pemerintah dinilai lebih memperhatikan para pelaku dan keluarganya melalui program pemberdayaan ekonomi dalam konteks deradikalisasi. Publik kerap mengira ketika korban mendapat perawatan di rumah sakit, masalah telah selesai. Adapun perhatian publik dan negara lebih awet dalam mengingat jaringan pelaku.

Apakah pemulihan korban kini menjadi agenda prioritas pemerintah? Setelah serangan teroris di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat, pertengahan Januari lalu, Presiden Joko Widodo secara proaktif mengundang pimpinan DPR RI dan pimpinan lembaga negara untuk menyampaikan usul revisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Usul tersebut disambut positif dan menjadi agenda prioritas program legislasi nasional parlemen tahun ini.

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia menyatakan perubahan atas undang-undang tersebut rencananya meliputi masa penahanan terduga teroris; kewenangan penangkapan, penuntutan, dan pengusutan; serta pencabutan paspor bagi warga Indonesia yang mengikuti pelatihan militer di luar negeri. Pemerintah berfokus pada upaya melawan dan mencegah serangan terorisme. Di sisi lain, hal itu menunjukkan bahwa pemulihan dan pemenuhan hak korban belum menjadi prioritas. 

Perhatian terhadap korban sebenarnya telah tertuang dalam berbagai perundang-undangan. Setidaknya, soal itu terdapat dalam Undang-Undang 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme serta UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan

Page 34: Pendapat 1-26 Februari 2015

Korban. Apakah kedua undang-undang itu cukup untuk memfasilitasi pemenuhan hak korban? Mari kita tengok.

Dalam UU Nomor 15, diatur soal hak korban untuk memperoleh kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi. Namun, pada prakteknya, hal itu belum terealisasi. Kompensasi alias pembayaran untuk kerugian korban oleh negara hanya ada  dalam putusan atas terdakwa Masrizal alias Tohir dalam perkara pengemboman JW Marriott, September 2004, yang mencantumkan besaran kompensasi bagi korban, baik yang mati maupun terluka.

Namun putusan tersebut tak kunjung dieksekusi karena tidak mencantumkan identitas korban yang berhak mendapatkannya. Masih diperlukan upaya hukum lainnya, seperti penetapan dari pengadilan atas siapa yang dimaksudkan dengan "korban", untuk kemudian diajukan ke Menteri Keuangan. Sedangkan pengajuan rehabilitasi dan restitusi dilakukan melalui Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Sejauh ini, belum terdengar ada korban yang mengajukan permohonan rehabilitasi.

Pengaturan soal hak korban terorisme dalam UU 31 Tahun 2014 jauh lebih jelas. Dalam UU tersebut, saksi atau korban terorisme menjadi salah satu prioritas yang dilindungi oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Korban juga berhak mendapat bantuan medis, psikologis, dan psikososial. LPSK juga bisa memfasilitasi korban untuk mengajukan kompensasi atau restitusi. 

Sejak UU tersebut disahkan, LPSK menerima permohonan bantuan medis, psikologis, dan psikososial dari para korban bom di Bali dan Jakarta. Dalam memproses permohonan korban bom ini, LPSK membutuhkan keterangan yang menyatakan pemohon adalah korban terorisme. LPSK telah meminta Kepolisian Daerah Bali dan Metro Jaya menerbitkan surat keterangan korban. 

Meski sudah ada pedoman kerja pelaksanaan nota kesepahaman antara LPSK dan kepolisian sejak 2012, proses penerbitan surat keterangan tidak sepenuhnya mulus. Sebab, Polda Bali dan Metro Jaya ternyata tidak memiliki data korban bom tersebut. Polda selama ini hanya memiliki catatan korban yang diambil keterangannya sebagai saksi. Sedangkan korban yang tidak diambil keterangannya sebagai saksi tidak tercatat. 

Proses verifikasi ini cukup memakan waktu. Penanganan korban bom Thamrin juga menghadapi hal serupa, termasuk belum adanya surat jaminan dari pemerintah atas pembiayaan perawatan medis korban bom tersebut.

Karena itu, revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme perlu merumuskan aturan dan langkah konkret bagi pemenuhan hak-hak korban terorisme. Pertama, lembaga apa yang bertanggung jawab atas perawatan medis atau santunan kematian bagi korban terorisme. Perlu pula dipertegas penanggung jawab pemberian bantuan psikososial kepada korban.

Kedua, perlu diperjelas pengaturan kompensasi yang ada, yakni proses dan cara pemberian

Page 35: Pendapat 1-26 Februari 2015

yang lebih implementatif agar bisa dinikmati korban.  Pertanyaan yang patut dikaji adalah bagaimana bila pelaku tewas sehingga tidak ada proses hukum? Apakah korban masih mungkin mendapat kompensasi? Mungkinkah hal itu diputuskan melalui penetapan pengadilan? Hal penting didiskusikan karena pada hakikatnya hak korban tidak bergantung pada situasi dan nasib pelaku. 

Page 36: Pendapat 1-26 Februari 2015

Deradikalisasi Jalan di TempatJUM'AT, 26 FEBRUARI 2016

Ihsan Ali-Fauzi, Direktur Pusat Studi Agama dan Demokrasi (Pusad) Yayasan

Paramadina 

Setelah serangan terorisme terjadi lagi di Jakarta pada pertengahan Januari lalu, pemerintah, parlemen, dan publik kembali ramai membicarakan deradikalisasi. Tapi, kita tak melangkah cukup jauh. Seperti gasing, kita hanya berputar-putar sambil bergeser sedikit.

Pertama, hingga kini tak ada ukuran keberhasilan deradikalisasi. Jika terpidana terorisme bom Bali I, Ali Imron, sering disebut sebagai contoh keberhasilan, bukankah dia "tobat" lebih dulu sebelum dideradikalisasi? Sebelum ada program deradikalisasi, dia sudah sadar bahwa bom Bali pada 2002, yang ia turut orkestrasi, lebih merugikan daripada menguntungkan gerakannya (Jemaah Islamiyah/JI) karena lebih banyak dikecam dibanding dipuji.

Jangan-jangan mana sebab dan mana akibat terbalik di sini. Ali Imron mendukung deradikalisasi justru karena dia sudah tobat. Kasusnya bertentangan dengan kasus terpidana lain, Amrozi dan Imam Samudera, yang tak pernah menyesal atas bom Bali.

Kedua, para ekstremis (untuk tak menggunakan kata “teroris” yang maknanya lebih terbatas) hanya mau mendengar pendapat ekstremis lainnya. Karena itu, negara sering memanfaatkan jasa mantan teroris yang sudah tobat, seperti Ali Imron, dalam deradikalisasi narapidana teroris lain, bukan mantan Ketua Umum Muhammadiyah Syafii Maarif atau ahli tafsir Quraish Shihab.

Tapi, jika anggapan itu betul, bukankah legitimasi ekstremis pertama (yang diajak negara melakukan deradikalisasi) di mata ekstremis kedua akan segera hilang begitu kerja sama dengan negara berlangsung? Artinya, bahkan narasumber deradikalisasi sehebat mantan petinggi JI, Nasir Abbas, akan segera kehilangan legitimasinya di depan (mantan) rekan-rekannya begitu diketahui bahwa dia bekerja sama dengan negara (yang "thagut").

Ketiga, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sering berargumen bahwa banyak napi teroris yang tidak kooperatif mengikuti program deradikalisasi. Ya, tentu saja. Bukankah niat mereka memang menghancurkan Republik? Tapi, bukankah itu tantangannya? Atau, bukankah karena itu kita bisa berkesimpulan bahwa deradikalisasi adalah ilusi, didorong wishful thinking?

Penting diketahui, sudah cukup banyak riset, misalnya dari Institute for Policy Analysis of Conflict pimpinan Sidney Jones pada 2014, yang menunjukkan bahwa setidaknya sebagian

Page 37: Pendapat 1-26 Februari 2015

napi teroris bersedia ikut program deradikalisasi karena imbalan uang (atau lainnya) yang menyertai. Mereka secara fisik datang ke ruang-ruang deradikalisasi, tapi mereka sebenarnya tak cukup berlapang hati menerima (kemungkinan) kebenaran baru.

Pemerintah juga berjalan di tempat dalam soal kelemahan-kelemahan program deradikalisasi di lembaga pemasyarakatan. Semuanya sudah dipublikasi, terbuka, hingga kita tahu ada napi teroris yang menerjemahkan propaganda ISIS atau menyatakan dukungan kepada organisasi biadab itu dari dalam penjara. Tak ada lagi yang aneh dengan korupsi di penjara di republik ini. Tapi, tak ada langkah-langkah mematikan untuk mengatasinya.

Dilema lama antara mengumpulkan para napi teroris di satu tempat atau memisahkan mereka dan membiarkan mereka bergabung dengan para napi lain dengan segala kelebihan dan kekurangan masing-masing tak pernah diatasi dengan tegas. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dan BNPT sudah tahu sama tahu soal ini, tapi keduanya seperti kucing dan anjing yang sedang menghindari daging yang empuk tapi busuk.

Pemerintah juga tak pernah memikirkan sungguh-sungguh pilihan di luar deradikalisasi, misalnya disengagement (mengambil jarak, berhenti), yakni keputusan seorang anggota kelompok teroris atau ekstremis untuk berhenti ikut serta dalam aksi-aksi kekerasan. Fokusnya pada tindakan, bertentangan dengan deradikalisasi yang menunjuk pada penghancuran (delegitimasi) prinsip-prinsip ideologis yang mendasari tindakan itu (dalam pikiran). Keduanya bisa dan harus dibedakan, karena seseorang bisa berhenti melakukan kekerasan meskipun dia tidak mengalami deradikalisasi.

Dibanding deradikalisasi, disengagement lebih bisa didefinisikan dan diukur serta lebih konkret. Ada beberapa jenis tindakan nirkekerasan di sini: keluar sepenuhnya dari organisasi ekstremis, memilih peran-peran nirkekerasan dalam organisasi yang sama, atau sekadar menjadi pendukung pasif (misalnya menjadi "tentara keyboard" dengan memanfaatkan Facebook atau Twitter). Aksi-aksi ini jelas jauh lebih tak mematikan dibanding menjadi senjata bom bunuh diri.

Dalam satu riset dengan wawancara 23 mantan mujahidin menyangkut konflik Poso (Hwang, Panggabean, Ali-Fauzi, 2013), kami menemukan beberapa pola pokok saat seorang mantan teroris berhenti ikut serta dalam tindakan kekerasan. Pertama, terbangunnya hubungan-hubungan baru antara yang bersangkutan dan orang-orang di luar lingkaran organisasi ekstremisnya. Dengan hubungan baru ini, dia bisa menyiapkan masa depan hidupnya pasca-penjara.

Kedua, tekanan dari orang tua dan pasangan. Seorang napi teroris, misalnya, memutuskan berhenti mendukung kelompok teroris karena tahu bahwa itulah satu-satunya doa yang diucapkan ibunya setiap kali menunaikan salat.

Ketiga, pertimbangan untung dan rugi. Beberapa di antara mereka menyatakan berhenti karena merasa bahwa keadaan Poso sudah lebih baik dan kini polisi, khususnya Densus 88,

Page 38: Pendapat 1-26 Februari 2015

punya cukup kemampuan untuk mengendus dan menangkap mereka.

Semua proses disengagement ini bisa, dan sudah, dipelajari. Pelajaran-pelajaran terbaik harus dipetik darinya untuk dijadikan kebijakan bersama.