pendahuluan

14
PENDAHULUAN HADITS MAUDHU’ Hadits adalah salah satu sumber hukum Islam ke dua setelah al-Qur’an. Sehingga kedudukannya pun sangat penting dalam ajaran Islam. Oleh sebab itu, legitimasi hadits selalu disertakan untuk menguatkan sebuah argumentasi hukum, dalam berbagai kalangan ulama telah banyak mengkaji hadits terutama sekali dalam pengamalan hadits. Hadits tidak semua bisa dijadikan sebagai pegagangan (hujjah) atau pun diamalkan karena hadits yang diamalkan tersebut belum tentu shahih, baik dilihat dari kualias dan kuantisnya. meskipun hadist- hadits tersebut telah dinisbahkan kepada Rasulullah SAW. Klasifikasi hadits ada yang dikatakan dengan kuantitas yaitu mutawatir, ahad dan da’if. Pembagian- pembagian hadits ini telah menjadi perselisihan di kalangan sahabat dalam mengambil hujjah (pegangan) dalam pengamalannya. Namun seperti dicatat dalam sejarah, bahwa ternyata penulisan dan pengkodifikasi hadits secara resmi baru dimulai pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz. Kesenjangan waktu antar hidup Rasulullah SAW dengan pembuatan hadist merupakan kesempatan bagi orang-orang atau kelompok-kelompok tertentu melakukan pemalsuan hadits, baik untuk tujuan 1

Upload: darussalam-win

Post on 24-May-2015

208 views

Category:

Education


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pendahuluan

PENDAHULUAN

HADITS MAUDHU’

Hadits adalah salah satu sumber hukum Islam ke dua setelah al-Qur’an.

Sehingga kedudukannya pun sangat penting dalam ajaran Islam. Oleh sebab itu,

legitimasi hadits selalu disertakan untuk menguatkan sebuah argumentasi hukum,

dalam berbagai kalangan ulama telah banyak mengkaji hadits terutama sekali

dalam pengamalan hadits. Hadits tidak semua bisa dijadikan sebagai pegagangan

(hujjah) atau pun diamalkan karena hadits yang diamalkan tersebut belum tentu

shahih, baik dilihat dari kualias dan kuantisnya. meskipun hadist-hadits tersebut

telah dinisbahkan kepada Rasulullah SAW. Klasifikasi hadits ada yang dikatakan

dengan kuantitas yaitu mutawatir, ahad dan da’if. Pembagian-pembagian hadits

ini telah menjadi perselisihan di kalangan sahabat dalam mengambil hujjah

(pegangan) dalam pengamalannya. Namun seperti dicatat dalam sejarah, bahwa

ternyata penulisan dan pengkodifikasi hadits secara resmi baru dimulai pada masa

khalifah Umar bin Abdul Aziz. Kesenjangan waktu antar hidup Rasulullah SAW

dengan pembuatan hadist merupakan kesempatan bagi orang-orang atau

kelompok-kelompok tertentu melakukan pemalsuan hadits, baik untuk tujuan

yang menurut mereka bersifat positif, maypun bersifat negatif.1

A. Pengertian Hadits Maudhu’ dan Faktor-Faktor Timbulnya Hadits

Maudhu’.

Al-Maudhu’ adalah isim maf’ul dari wa-adha-‘a, ya-dha-‘u, wadh-an, yang

mempunyai arti al-isqath (meletakkan atau menyimpan); wa al-ihktilaq (mengada

ada atau membuat-buat); dan al-tarku (ditinggal).2 Sedangkan menurut istilah

hadits maudhu’ adalah :

1 Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadits, (Bandung : Citapustaka Media, 2002), hlm. 157.

2 Suparta Munzier, Ilmu Hadits, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2008), hlm. 176.

1

Page 2: Pendahuluan

اختالقا وسلم عليه الله صلى الله رسولى الى نسب ما

هو بغضهم وقال يقره او يفعله او يقله لم مما وكذبا

المصنوع المختلق

Artinya : “ Hadits yang disandarkan kepada Rasulullah SAW. Secara dibuat-buat

dan dusta, padahal beliau tidak mengatakan, berbuat ataupun

menetapkannya.

Dalam definisi lain juga disebutkan oleh al-Thahhan hadits maudhu’ sebagai

berikut :

صلى الله رسول إلى المنسوب المصنوع المختلت الكذب هو

وسلم عليه .الله

Artinya : “Kebohongan yang diciptakan dan diperbuat serta disandarkan kepada

Rasulullah SAW”.3

Dari difinisi di atas dapat dikatakan bahwa, hadits maudhu’ adalah al-

Mukhlaqu al-Masnu’gh yaitu hadits yang diciptakan dan dibuat-buat atas nama

Rasulullah SAW. Oleh karena itu, status hadits maudhu’ yang terdapat di antara

hadits da’if adalah hadits yang paling buruk. Oleh sebab itu, tidak di benarkan

dan bahkan haram hukumnya untuk meriwayatkannya dengan alasan apa pun

kecuali disertai dengan penjelasan tentang ke maudhu’an nya.

Faktor-faktor Timbulnya hadits maudhu’;

Di antara faktor munculnya hadits maudhu’ (palsu) disebabkan oleh fakot

internal dan eksternal. Secara eksternal disebabkan karena ada keinginan dari

orang non muslim untuk melemahkan Islam dari ajaran sumbernya, yaitu hadits

Nabi. Sedangkan faktor secara internal adanya golongan orang munafiq untuk

kepentingan politik tertentu, seperti mendukung aliran-aliran dalam ushul ad-Din;

adanya golongan sufi yang berkeinginan mendekatkan diri kepada Allah SWT

dengan cara berlebihan, serta menjilat penguasa semata-mata untuk memuaskan

3 Nawir Yuslem, Ulumul Hadits, (Jakarta: PT Mutiara Sumber Widya, 2010), hlm. 298.

2

Page 3: Pendahuluan

nafsu dan kesenangan pribadi belaka dan untuk memikat agar orang lain tertarik

dengan nasihat-nasihatnya.4

B. Hukum Memalsukan Hadits dan Meriwayatkannya

Masukkan haidts yang melarang tentang pemalsuan hadits

…………………………????

1. Secara mutlaq, meriwayatkan hadits palsu itu hukumnya haram bagi

mereka yang sudah jelas mengetahui bahwa hadits itu palsu.

2. Bagi mereka yang meriwayatkannya dengan tujuan untuk memberi tahu

pada orang bahwa hadist ini adalah palsu, (menerangkan kepada mereka

sesudah meriwayatkan atau membacakannya) maka tidak ada dosa

atasnya.

3. Mereka yang tidak tahu sama sekali kemudian meriwayatkannya atau

mereka mengamalkan ma’na hadits tersebut karena tidak tahu, maka tidak

ada dosa baginya. Akan tetapi, sesudah mendapat penjelasan oleh para ahli

hadits bahwa riwayat atau hadits yang diriwayatkan atau mengamalkan itu

adalah hadits yang palsu, maka hendaklah segera ditinggalkan. Bila tetap

saja mengamalkan sedang dari jalan atau sanad lain tidak ada sama sekali,

maka hukumnya haram (berdosa).5

C. Upaya dan kesungguhan ulama untuk mengantisipasi timbulnya dan

beredarnya hadits maudhu’ (palsu);

Usaha-usaha para ulama serta kesungguhanya dalam memberantas

timbulnya pemalsuan hadits.

1. Mengisnadkan hadits

Para sahabat di awal-awal Islam, yakni sejak dari masa Rasulullah

SAW. Masih hidup samapai dengan timbulnya fitnah pembunuhan

khalifah ‘Usman bin Affan r.a. saling mempercayai satu sama lain.

Para tabi’in tidak ragu-ragu dalam menerima berita dari sahabat

4 Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadits, (Bandung : Citapustaka Media, 2005), hlm. 238.

5 A. Yazid Qosim Koho, Himpunan-Himpunan Hadist-Hadist Lemah dan Palsu, Cet. II,(Surabaya: PT Bina Ilmu, 2003), hlm. 10-11.

3

Page 4: Pendahuluan

tentang Rasulullah SAW. Akan tetapi setelah terjadi fitnah dan kaum

muslimin sudah mulai berpecah belah dalam beberapa partai dan

golongan dan mulai bertabarakan pemalsuan hadits-hadits Rasulullah,

maka para sahabat dan tabi’in berhati-hati sekali dalam menerima

hadits dari para rawinya. Sehingga mulailah para sahabat meminta

sanad kepada mereka yang menyampaikan hadits dan akhirnya mereka

menetapkan sanad. Karena sanad pada hadits bagaikan nasab bagi

seseoranga.

Dalam sebuah riwayat menceritak bahwa, Muhammad bin Siri

(seorang tabi’iy yang lahir tahun 33 H dan meninggal tahun 110 H)

menceritakan ;”bahwa para sahabat mulanya tidak pernah

mempertayakan mengenai sanad. Akan tetapi setelah terjadinya fitnah

barulah mereka meminta sanad, dan diteliti tentang ke hujjahan hadits

yang disampaikan.

2. Meningkatkan perlawatan mencari hadits

Perrlawatan mencari hadits dari dari kota ke kota menemui para

sahabat yang meriwayatkan hadits. Sebab para penuntut hadits, mereka

hanya mendengarkan apa yang disampaikan sahabat yang lain. Apabila

mereka mendapatkan hadits selain sahabat, maka mereka segera

mencari dan menemui sabahat Rasulullah SAW untuk memperkuat.

Abu ‘Aliyah mengatakan bahwa, ia tidak rela kalau mendengar hadits

dari sahabat Rasulullah SAW yang berada di Bashrah, sekiranya ia

tidak pergi ke Madinah untuk mendegarkan hadits tersebut dari para

sahabat yang berada di sana. Demikian juga sahabat mendengarkan

perlawatan mencari hadits dari kawannya sahabat yang berada di luar

daerah. Misalnya sahabat Ayyub menemui sahabat “Uqbah bin Amir

di Mesir dan sahabat Jabir menemui sahabat “Abdullah bin Anis untuk

mencari suatu hadits.

3. Mengambil tindakan kepada para pemalsu hadits

Untuk kehati-hatian menerima riwayat, sebagai mana sebagian dari

mereka, menumpas para pemalsu hadits, melarang mereka

4

Page 5: Pendahuluan

meriwayatkannya dan menyerahkannya kepada penguasa. Dalam

sebuah riawayat Amir As-Sya’by pernah bertemu dengan Abu Shalih,

seorang mufassir. Lalu ditarik telinga Abu Shalih dan dimarahinya.

Bentaknya: “celaka kamu! Kenapa kamu menafsirkan al-Qur’an

padahal kamu tidak baik membacanya?”.

4. Menjelaskan tingkah laku rawi-rawinya

Para sahabat, tabi’in dan tabi’ta bi’in mempelajari biografi para rawi,

tinkahlakunya, kelahirannya dan kematiannya, keadilannya, daya

ingatannya, dan kemampuan menghafalnya, untuk membedakan

hadits-hadits yang shahih dan yang palsu. Apabila terdapat sifat-sifat

tercela, maka mereka memberitahu kepada orang umum.

5. Membuat ketentuan-ketentuan umum tentang klasifikasi hadits

Mereka membuat ketentuan dan syarat-syarat bagi hadits shahih,

hasan, dan dha’if.

6. Membuat ketentuan-ketentuan untuk mengetahui ciri-ciri hadits

maudhu’

Ketentuan-ketentuan yang di maksud adalah mengenai tanda tanda-

tanda (ciri-ciri) hadits maudhu’ baik yang terdapat pada sanad maupun

pada matannya.6

D. Cara-cara mengetahui hadits maudhu’

1. Atas pengakuan orang yang memalsukannya.

Misalnya, Imam Bukhari pernah meriwayatkan dalam dalam kita Tariikhul

Ausath dari Umar Shub-hin ‘Imran At-Tamiimy sesunggunya dia pernah

berkata: “Artinya: aku telah palsukan khutbah rasulullah SAW.

Maisarah bin Abdir Rabbik Al-Faarisiy pernah mengakui bahwa dia

sendiri telah memalsukan hadits yang berhubungan dengan Fadlaa-ilul

Qur’an (keutamaa al-Qur’an) sebanyak ± 70 hadits.

6 Fatchur Rahma, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, (Yogyakarta: Sahabat Penuntun Umat, 1968), hlm. 181-183.

5

Page 6: Pendahuluan

2. Terdapat tanda-tanda(qarinah) lain yang dapat menunjukkan bahwa hadits

itu adalah palsu. Misalnya dengan melihat dan memperhatikan keadaan

dana sifat rawi yang meriwayatkan hadits itu.

3. Terdapat kekacauan atau terasa berat di dalam susunanya baik lafazh

ataupun ditinjau daris segi susunan bahasa, nahu (kaedah lukhnya) , dan

memperhatikan ma’nanya.

E. Tanda-tanda hadits madhu’

1. Dilihat dari segi sanad (perawi hadits)

- Perawinya dikenal sebagai perawi pendusta.

- Pengakuan dari pemalsu hadits,

- Fakta-fakta yang disamakan dengan pengakuan pemalsuan hadits

- Dorongan pribadi perawi yang mencurigakan.

2. Dilihat dari segi matan (isi hadits)

- Matan yang ditinjau dari segimakna dan lafadhnya;

Dari segi maknanya, maka makna hadits itu bertentangan dengan al-

Qur’an, dengan hadits mutawatir, dengan ijma’ dan dengan logika

yang sehat. Contoh hadits maudhu’ yang maknanya bertentangan

dengan al-Qur’an;

أبناء سبعة الى الحنه اليدخل الزنا ولد

Artinya : “anak zina itu, tidak dapat masuk surga, sampai tujuh

keturunan”.

Makna hadits di atas bertentangan dengan al-Qur’an yang terdapat

pada An’am ayat 164 yang berbunyi;

أخرى وزر وازرة تزر وال

Artinya : “dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang

lain”.

Kandungan ayat tersebut menjalaskan bahwa, dosa seseorang tidak

dapat dibebankan kepada orang lain, sampai seorang anak sekalipun

tidak dapat dibebani dosa orang tuanya.

6

Page 7: Pendahuluan

- Dari segi lafadhnya :

Yaitu bila susunan kalimatnya tidak baik serta tidak fasih.

Termasuk dalam hal adalah susunan kalimat yang sederhana, tetapi

isinya berlebih-lebihan. Umpamanya berisikan pahala yang besar

sekali bagi amal perbuatan yang sedikit (kecil). Misalnya hadits

maudhu’:

جامع الف من أفضل جائع بطن فى لقمة

Artinya: “sesuap makanan di perut si lapar, adalah lebih baik dari

pada dia membangun seribu mesjid jami’.7

- Isinya bertentangan dengan hukum-hukum akal yang pasti,

bertentangan dengan fakta yang dapat diindera manusia.

- Bertentangan dengan Al-Qur`an, As-Sunnah, atau Ijma’ yang pasti.

- Bertentangan dengan fakta sejarah yang pasti kebenarannya.

- Menyebutkan pahala yang terlalu besar untuk amal yang terlalu

ringan atau ancaman yang terlalu besar untuk perkara yang sepele.

7 Fatchur Rahma, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, (Yogyakarta: Sahabat Penuntun Umat, 1968), hlm. 1171-173.

7

Page 8: Pendahuluan

KESIMPULAN

Hadits maudhu’ secara bahasa adalah isim maf’ul dari wa-adha-‘a, ya-

dha-‘u, wadh-an, yang mempunyai arti al-isqath (meletakkan atau menyimpan);

wa al-ihktilaq (mengada ada atau membuat-buat); dan al-tarku (ditinggal).

Sedangkan menurut Hadist maudhu’ secara istilah adalah merupakan kedustaan

yang dibuat dan direka-reka yang disandarkan atas nama Rasulullah.

Faktor-faktor munculnya hadist maudhu’

- Fanatisme golongan.

- Usaha untuk mendiskreditkan Islam.

- Diskriminasi etnis dan fanatisme kabilah, negara dan imam.

- Tendensi duniawi berupa popularitas dan usaha menjilat penguasa.

- Pemahaman yang keliru dari madzhab al-karramiyah.

Usaha-usaha ulama dalam mengantisipasi meraknya hadits palsu

1. Keharusan mengisnadkan (menjelaskan sumber) hadits

2. Semaraknya aktivitas ilmiah dan pembuktian hadits

3. Memburu para pemalsu hadits

4. Menjelaskan perilaku para perawi

5. Membuat kaidah-kaidah untuk mengetahui hadits maudhu’

Cara-cara mengetahui hadits maudhu’

1. Pengakuan dari orang yang memalsukan hadits.

2. Pernyataan yang diposisikan sama dengan pengakuan.

3. Adanya indikasi perawi yang menunjukkan akan kepalsuannya.

4. Adanya indikasi pada isi hadits, bertentangan dengan akal sehat,

bertentangan dengan indra, berlawanan dengan ketetapan agama atau

susunan lafadz lemah dan kacau.

Tanda-tanda hadist madhu’

1. Dari segi sanad (perawi hadits)

2. Dilihat dari segi matan (isi dari pada hadits).

8

Page 9: Pendahuluan

DAFTAR PUSTAKA

Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadits, Bandung : Citapustaka Media,

2002.

Suparta Munzier, Ilmu Hadits, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2008.

Nawir Yuslem, Ulumul Hadits, Jakarta: PT Mutiara Sumber Widya, 2010.

Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadits, Bandung : Citapustaka Media,

2005.

Fatchur Rahma, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, Yogyakarta: Sahabat

Penuntun Umat, 1968.

Badri Khaeruman, Otentisitas Hadits, Bandung: Remaja Rosdakarya,

2004.

Abdul Rozak, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Cet-I Bandung: Pustaka Setia,

2001.

Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al- Fiqh, Kuwait:Dar al-Qalam, 1978.

Hasbi ash-Shiddieqy, T.M. Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits, Jilid I dan

II, Bandung: Bulang Bintang 1987.

9