pendahuluan
TRANSCRIPT
PENDAHULUAN
HADITS MAUDHU’
Hadits adalah salah satu sumber hukum Islam ke dua setelah al-Qur’an.
Sehingga kedudukannya pun sangat penting dalam ajaran Islam. Oleh sebab itu,
legitimasi hadits selalu disertakan untuk menguatkan sebuah argumentasi hukum,
dalam berbagai kalangan ulama telah banyak mengkaji hadits terutama sekali
dalam pengamalan hadits. Hadits tidak semua bisa dijadikan sebagai pegagangan
(hujjah) atau pun diamalkan karena hadits yang diamalkan tersebut belum tentu
shahih, baik dilihat dari kualias dan kuantisnya. meskipun hadist-hadits tersebut
telah dinisbahkan kepada Rasulullah SAW. Klasifikasi hadits ada yang dikatakan
dengan kuantitas yaitu mutawatir, ahad dan da’if. Pembagian-pembagian hadits
ini telah menjadi perselisihan di kalangan sahabat dalam mengambil hujjah
(pegangan) dalam pengamalannya. Namun seperti dicatat dalam sejarah, bahwa
ternyata penulisan dan pengkodifikasi hadits secara resmi baru dimulai pada masa
khalifah Umar bin Abdul Aziz. Kesenjangan waktu antar hidup Rasulullah SAW
dengan pembuatan hadist merupakan kesempatan bagi orang-orang atau
kelompok-kelompok tertentu melakukan pemalsuan hadits, baik untuk tujuan
yang menurut mereka bersifat positif, maypun bersifat negatif.1
A. Pengertian Hadits Maudhu’ dan Faktor-Faktor Timbulnya Hadits
Maudhu’.
Al-Maudhu’ adalah isim maf’ul dari wa-adha-‘a, ya-dha-‘u, wadh-an, yang
mempunyai arti al-isqath (meletakkan atau menyimpan); wa al-ihktilaq (mengada
ada atau membuat-buat); dan al-tarku (ditinggal).2 Sedangkan menurut istilah
hadits maudhu’ adalah :
1 Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadits, (Bandung : Citapustaka Media, 2002), hlm. 157.
2 Suparta Munzier, Ilmu Hadits, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2008), hlm. 176.
1
اختالقا وسلم عليه الله صلى الله رسولى الى نسب ما
هو بغضهم وقال يقره او يفعله او يقله لم مما وكذبا
المصنوع المختلق
Artinya : “ Hadits yang disandarkan kepada Rasulullah SAW. Secara dibuat-buat
dan dusta, padahal beliau tidak mengatakan, berbuat ataupun
menetapkannya.
Dalam definisi lain juga disebutkan oleh al-Thahhan hadits maudhu’ sebagai
berikut :
صلى الله رسول إلى المنسوب المصنوع المختلت الكذب هو
وسلم عليه .الله
Artinya : “Kebohongan yang diciptakan dan diperbuat serta disandarkan kepada
Rasulullah SAW”.3
Dari difinisi di atas dapat dikatakan bahwa, hadits maudhu’ adalah al-
Mukhlaqu al-Masnu’gh yaitu hadits yang diciptakan dan dibuat-buat atas nama
Rasulullah SAW. Oleh karena itu, status hadits maudhu’ yang terdapat di antara
hadits da’if adalah hadits yang paling buruk. Oleh sebab itu, tidak di benarkan
dan bahkan haram hukumnya untuk meriwayatkannya dengan alasan apa pun
kecuali disertai dengan penjelasan tentang ke maudhu’an nya.
Faktor-faktor Timbulnya hadits maudhu’;
Di antara faktor munculnya hadits maudhu’ (palsu) disebabkan oleh fakot
internal dan eksternal. Secara eksternal disebabkan karena ada keinginan dari
orang non muslim untuk melemahkan Islam dari ajaran sumbernya, yaitu hadits
Nabi. Sedangkan faktor secara internal adanya golongan orang munafiq untuk
kepentingan politik tertentu, seperti mendukung aliran-aliran dalam ushul ad-Din;
adanya golongan sufi yang berkeinginan mendekatkan diri kepada Allah SWT
dengan cara berlebihan, serta menjilat penguasa semata-mata untuk memuaskan
3 Nawir Yuslem, Ulumul Hadits, (Jakarta: PT Mutiara Sumber Widya, 2010), hlm. 298.
2
nafsu dan kesenangan pribadi belaka dan untuk memikat agar orang lain tertarik
dengan nasihat-nasihatnya.4
B. Hukum Memalsukan Hadits dan Meriwayatkannya
Masukkan haidts yang melarang tentang pemalsuan hadits
…………………………????
1. Secara mutlaq, meriwayatkan hadits palsu itu hukumnya haram bagi
mereka yang sudah jelas mengetahui bahwa hadits itu palsu.
2. Bagi mereka yang meriwayatkannya dengan tujuan untuk memberi tahu
pada orang bahwa hadist ini adalah palsu, (menerangkan kepada mereka
sesudah meriwayatkan atau membacakannya) maka tidak ada dosa
atasnya.
3. Mereka yang tidak tahu sama sekali kemudian meriwayatkannya atau
mereka mengamalkan ma’na hadits tersebut karena tidak tahu, maka tidak
ada dosa baginya. Akan tetapi, sesudah mendapat penjelasan oleh para ahli
hadits bahwa riwayat atau hadits yang diriwayatkan atau mengamalkan itu
adalah hadits yang palsu, maka hendaklah segera ditinggalkan. Bila tetap
saja mengamalkan sedang dari jalan atau sanad lain tidak ada sama sekali,
maka hukumnya haram (berdosa).5
C. Upaya dan kesungguhan ulama untuk mengantisipasi timbulnya dan
beredarnya hadits maudhu’ (palsu);
Usaha-usaha para ulama serta kesungguhanya dalam memberantas
timbulnya pemalsuan hadits.
1. Mengisnadkan hadits
Para sahabat di awal-awal Islam, yakni sejak dari masa Rasulullah
SAW. Masih hidup samapai dengan timbulnya fitnah pembunuhan
khalifah ‘Usman bin Affan r.a. saling mempercayai satu sama lain.
Para tabi’in tidak ragu-ragu dalam menerima berita dari sahabat
4 Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadits, (Bandung : Citapustaka Media, 2005), hlm. 238.
5 A. Yazid Qosim Koho, Himpunan-Himpunan Hadist-Hadist Lemah dan Palsu, Cet. II,(Surabaya: PT Bina Ilmu, 2003), hlm. 10-11.
3
tentang Rasulullah SAW. Akan tetapi setelah terjadi fitnah dan kaum
muslimin sudah mulai berpecah belah dalam beberapa partai dan
golongan dan mulai bertabarakan pemalsuan hadits-hadits Rasulullah,
maka para sahabat dan tabi’in berhati-hati sekali dalam menerima
hadits dari para rawinya. Sehingga mulailah para sahabat meminta
sanad kepada mereka yang menyampaikan hadits dan akhirnya mereka
menetapkan sanad. Karena sanad pada hadits bagaikan nasab bagi
seseoranga.
Dalam sebuah riwayat menceritak bahwa, Muhammad bin Siri
(seorang tabi’iy yang lahir tahun 33 H dan meninggal tahun 110 H)
menceritakan ;”bahwa para sahabat mulanya tidak pernah
mempertayakan mengenai sanad. Akan tetapi setelah terjadinya fitnah
barulah mereka meminta sanad, dan diteliti tentang ke hujjahan hadits
yang disampaikan.
2. Meningkatkan perlawatan mencari hadits
Perrlawatan mencari hadits dari dari kota ke kota menemui para
sahabat yang meriwayatkan hadits. Sebab para penuntut hadits, mereka
hanya mendengarkan apa yang disampaikan sahabat yang lain. Apabila
mereka mendapatkan hadits selain sahabat, maka mereka segera
mencari dan menemui sabahat Rasulullah SAW untuk memperkuat.
Abu ‘Aliyah mengatakan bahwa, ia tidak rela kalau mendengar hadits
dari sahabat Rasulullah SAW yang berada di Bashrah, sekiranya ia
tidak pergi ke Madinah untuk mendegarkan hadits tersebut dari para
sahabat yang berada di sana. Demikian juga sahabat mendengarkan
perlawatan mencari hadits dari kawannya sahabat yang berada di luar
daerah. Misalnya sahabat Ayyub menemui sahabat “Uqbah bin Amir
di Mesir dan sahabat Jabir menemui sahabat “Abdullah bin Anis untuk
mencari suatu hadits.
3. Mengambil tindakan kepada para pemalsu hadits
Untuk kehati-hatian menerima riwayat, sebagai mana sebagian dari
mereka, menumpas para pemalsu hadits, melarang mereka
4
meriwayatkannya dan menyerahkannya kepada penguasa. Dalam
sebuah riawayat Amir As-Sya’by pernah bertemu dengan Abu Shalih,
seorang mufassir. Lalu ditarik telinga Abu Shalih dan dimarahinya.
Bentaknya: “celaka kamu! Kenapa kamu menafsirkan al-Qur’an
padahal kamu tidak baik membacanya?”.
4. Menjelaskan tingkah laku rawi-rawinya
Para sahabat, tabi’in dan tabi’ta bi’in mempelajari biografi para rawi,
tinkahlakunya, kelahirannya dan kematiannya, keadilannya, daya
ingatannya, dan kemampuan menghafalnya, untuk membedakan
hadits-hadits yang shahih dan yang palsu. Apabila terdapat sifat-sifat
tercela, maka mereka memberitahu kepada orang umum.
5. Membuat ketentuan-ketentuan umum tentang klasifikasi hadits
Mereka membuat ketentuan dan syarat-syarat bagi hadits shahih,
hasan, dan dha’if.
6. Membuat ketentuan-ketentuan untuk mengetahui ciri-ciri hadits
maudhu’
Ketentuan-ketentuan yang di maksud adalah mengenai tanda tanda-
tanda (ciri-ciri) hadits maudhu’ baik yang terdapat pada sanad maupun
pada matannya.6
D. Cara-cara mengetahui hadits maudhu’
1. Atas pengakuan orang yang memalsukannya.
Misalnya, Imam Bukhari pernah meriwayatkan dalam dalam kita Tariikhul
Ausath dari Umar Shub-hin ‘Imran At-Tamiimy sesunggunya dia pernah
berkata: “Artinya: aku telah palsukan khutbah rasulullah SAW.
Maisarah bin Abdir Rabbik Al-Faarisiy pernah mengakui bahwa dia
sendiri telah memalsukan hadits yang berhubungan dengan Fadlaa-ilul
Qur’an (keutamaa al-Qur’an) sebanyak ± 70 hadits.
6 Fatchur Rahma, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, (Yogyakarta: Sahabat Penuntun Umat, 1968), hlm. 181-183.
5
2. Terdapat tanda-tanda(qarinah) lain yang dapat menunjukkan bahwa hadits
itu adalah palsu. Misalnya dengan melihat dan memperhatikan keadaan
dana sifat rawi yang meriwayatkan hadits itu.
3. Terdapat kekacauan atau terasa berat di dalam susunanya baik lafazh
ataupun ditinjau daris segi susunan bahasa, nahu (kaedah lukhnya) , dan
memperhatikan ma’nanya.
E. Tanda-tanda hadits madhu’
1. Dilihat dari segi sanad (perawi hadits)
- Perawinya dikenal sebagai perawi pendusta.
- Pengakuan dari pemalsu hadits,
- Fakta-fakta yang disamakan dengan pengakuan pemalsuan hadits
- Dorongan pribadi perawi yang mencurigakan.
2. Dilihat dari segi matan (isi hadits)
- Matan yang ditinjau dari segimakna dan lafadhnya;
Dari segi maknanya, maka makna hadits itu bertentangan dengan al-
Qur’an, dengan hadits mutawatir, dengan ijma’ dan dengan logika
yang sehat. Contoh hadits maudhu’ yang maknanya bertentangan
dengan al-Qur’an;
أبناء سبعة الى الحنه اليدخل الزنا ولد
Artinya : “anak zina itu, tidak dapat masuk surga, sampai tujuh
keturunan”.
Makna hadits di atas bertentangan dengan al-Qur’an yang terdapat
pada An’am ayat 164 yang berbunyi;
أخرى وزر وازرة تزر وال
Artinya : “dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang
lain”.
Kandungan ayat tersebut menjalaskan bahwa, dosa seseorang tidak
dapat dibebankan kepada orang lain, sampai seorang anak sekalipun
tidak dapat dibebani dosa orang tuanya.
6
- Dari segi lafadhnya :
Yaitu bila susunan kalimatnya tidak baik serta tidak fasih.
Termasuk dalam hal adalah susunan kalimat yang sederhana, tetapi
isinya berlebih-lebihan. Umpamanya berisikan pahala yang besar
sekali bagi amal perbuatan yang sedikit (kecil). Misalnya hadits
maudhu’:
جامع الف من أفضل جائع بطن فى لقمة
Artinya: “sesuap makanan di perut si lapar, adalah lebih baik dari
pada dia membangun seribu mesjid jami’.7
- Isinya bertentangan dengan hukum-hukum akal yang pasti,
bertentangan dengan fakta yang dapat diindera manusia.
- Bertentangan dengan Al-Qur`an, As-Sunnah, atau Ijma’ yang pasti.
- Bertentangan dengan fakta sejarah yang pasti kebenarannya.
- Menyebutkan pahala yang terlalu besar untuk amal yang terlalu
ringan atau ancaman yang terlalu besar untuk perkara yang sepele.
7 Fatchur Rahma, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, (Yogyakarta: Sahabat Penuntun Umat, 1968), hlm. 1171-173.
7
KESIMPULAN
Hadits maudhu’ secara bahasa adalah isim maf’ul dari wa-adha-‘a, ya-
dha-‘u, wadh-an, yang mempunyai arti al-isqath (meletakkan atau menyimpan);
wa al-ihktilaq (mengada ada atau membuat-buat); dan al-tarku (ditinggal).
Sedangkan menurut Hadist maudhu’ secara istilah adalah merupakan kedustaan
yang dibuat dan direka-reka yang disandarkan atas nama Rasulullah.
Faktor-faktor munculnya hadist maudhu’
- Fanatisme golongan.
- Usaha untuk mendiskreditkan Islam.
- Diskriminasi etnis dan fanatisme kabilah, negara dan imam.
- Tendensi duniawi berupa popularitas dan usaha menjilat penguasa.
- Pemahaman yang keliru dari madzhab al-karramiyah.
Usaha-usaha ulama dalam mengantisipasi meraknya hadits palsu
1. Keharusan mengisnadkan (menjelaskan sumber) hadits
2. Semaraknya aktivitas ilmiah dan pembuktian hadits
3. Memburu para pemalsu hadits
4. Menjelaskan perilaku para perawi
5. Membuat kaidah-kaidah untuk mengetahui hadits maudhu’
Cara-cara mengetahui hadits maudhu’
1. Pengakuan dari orang yang memalsukan hadits.
2. Pernyataan yang diposisikan sama dengan pengakuan.
3. Adanya indikasi perawi yang menunjukkan akan kepalsuannya.
4. Adanya indikasi pada isi hadits, bertentangan dengan akal sehat,
bertentangan dengan indra, berlawanan dengan ketetapan agama atau
susunan lafadz lemah dan kacau.
Tanda-tanda hadist madhu’
1. Dari segi sanad (perawi hadits)
2. Dilihat dari segi matan (isi dari pada hadits).
8
DAFTAR PUSTAKA
Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadits, Bandung : Citapustaka Media,
2002.
Suparta Munzier, Ilmu Hadits, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2008.
Nawir Yuslem, Ulumul Hadits, Jakarta: PT Mutiara Sumber Widya, 2010.
Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadits, Bandung : Citapustaka Media,
2005.
Fatchur Rahma, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, Yogyakarta: Sahabat
Penuntun Umat, 1968.
Badri Khaeruman, Otentisitas Hadits, Bandung: Remaja Rosdakarya,
2004.
Abdul Rozak, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Cet-I Bandung: Pustaka Setia,
2001.
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al- Fiqh, Kuwait:Dar al-Qalam, 1978.
Hasbi ash-Shiddieqy, T.M. Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits, Jilid I dan
II, Bandung: Bulang Bintang 1987.
9