i pendahuluan
DESCRIPTION
referat trauma okuliTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Walaupun mata mempunyai sistem pelindung yang cukup baik, mata masih
sering mendapat trauma dari dunia luar. Trauma pada mata akan mengakibatkan
kerusakan mata serta menyebabkan timbulnya penyulit yang dapat menyebabkan
menurunnya fungsi penglihatan. Trauma pada mata dapat disebabkan oleh
beberapa hal, diantaranya trauma tumpul, trauma tembus bola mata, trauma kimia
serta trauma radiasi. (Ilyas, 2011)
Sebagai seorang dokter umum, diperlukan kemampuan untuk mengevaluasi
trauma mata yang sering terjadi dan kemampuan untuk menentukan apakah
trauma yang dialami pasien perlu dikonsultasikan ke dokter spesialis mata atau
tidak. Pada keadaan gawat darurat mata yang sesungguhnya seperti trauma kimia,
seorang dokter umum yang bekerja di pelayanan primer harus dapat melakukan
penatalaksanaan awal karena beberapa menit pertama setelah terjadinya trauma
adalah masa-masa paling krusial yang akan menentukan prognosis pasien.
1
BAB II
PEMBAHASAN UMUM
2.1. Anatomi dan Fisiologi
Rongga Orbita
Bola mata terdapat dalam suatu rongga yang dinamakan dengan rongga
orbita, yang terdiri dari 7 tulang yang membentuk ruang orbita. Dinding orbita
(Orbita Walls) dibentuk oleh 4 buah tulang, yaitu : os. lakrimal, os. ethmoidal,
os. sphenoid, dan os frontal. Sedangkan dasar orbita (Orbital Apex) dibentuk oleh
3 buah tulang, yaitu: os maxilla, os. platina, dan os zygomaticus.
Rongga orbita yang berbentuk piramid ini terletak pada kedua sisi ronggga
hidung. Dinding lateral orbita membentuk sudut 450 dengan dinding medialnya.
Foramen optik terletak pada apeks rongga orbita, dilalui oleh nervus optik, arteri,
vena, dan saraf simpatik yang berasal dari pleksus karotid. Fissura orbita superior
terletak di sudut orbita atas temporal dilalui oleh nervus lakrimal, nervus frontal,
nervus trochlear, nervus okulomotor, nervus nasosiliar, nervus abducens, dan
arteri vena opthalmica. Arteri opthalmica inilah yang merupakan penyuplai darah
utama bagi cavum orbital. (Ilyas, 2011)
Gambar 1 The Orbita Cavity
2
Otot, Saraf, Pembuluh Darah, dan Aliran Limfe Bola Mata
Beberapa otot bekerja sama menggerakkan mata. Setiap otot dirangsang
oleh saraf kranial tertentu. Otot penggerak bola mata terdiri enam otot yaitu:
(Ilyas, 2011)
1. Musculus oblique inferior mempunyai origo pada fossa lakrimal os lakrimalis
dan berinsersi pada sklera posterior 2mm dari kedudukan makula. Dipersarafi
oleh nervus okulomotorius (N. III). Otot ini memiliki aksi primer eksotorsi
dalam abduksi, dan memiliki aksi sekunder elevasi dalam adduksi, abduksi
dalam elevasi.
2. Musculus oblique superior berorigo pada anulus Zinn dan ala parva os
sphenoid di atas foramen optik dan berinsersi pada sklera bagian temporal
belakang bola mata. Dipersarafi oleh nervus trochlearis (N. 1V). Otot ini
memiliki aksi primer intorsi dalam aduksi, dan aksi sekunder berupa depresi
dalam aduksi, dan abduksi dalam depresi.
3. Musculus rectus inferior berorigo pada anulus Zinn, diikat oleh ligamen
Lockwood. Dipersarafi oleh nervus okulomotorius (N. III). Otot ini memiliki
aksi primer berupa gerakan depresi pada abduksi, dan memiliki aksi sekunder
berupa gerakan ekstorsi pada abduksi, dan aduksi dalam depresi.
4. Musculus rectus lateral berorigo pada anulus Zinn di atas dan di bawah
foramen optik. Dipersarafi oleh nervus abducens (N. VI) dan memiliki aksi
gerakan abduksi.
5. Musculus rectus medius berorigo pada anulus Zinn dan pembungkus dura
nervus opticus yang sering memberikan rasa sakit bila menggerakan bola mata
pada keadaan neuritis retrobulbar. Dipersarafi oleh nervus okulomotorius (N.
III) dan memiliki aksi gerakan adduksi.
6. Musculus rectus superior berorigo pada anulus Zinn dekat fissura orbita
superior beserta dura saraf optik. Dipersarafi oleh nervus okulomotorius (N.
III) dan memiliki aksi primer yaitu elevasi dalam abduksi dan aksi sekunder
berupa intorsi dalam aduksi serta aduksi dalam elevasi.
3
Cavum orbita yang melindungi mata juga mengandung berbagai saraf
lainnya:
Saraf optikus membawa gelombang saraf yang dihasilkan di dalam retina
ke otak
Saraf lakrimalis merangsang pembentukan air mata oleh kelenjar air mata
Saraf lainnya menghantarkan sensasi ke bagian mata yang lain dan
merangsang otot pada tulang orbita.
Arteri oftalmika dan arteri retinalis menyalurkan darah ke mata kiri dan
mata kanan, sedangkan darah dari mata dibawa oleh vena opthtalmika dan vena
retinalis. Pembuluh darah ini masuk dan keluar melalui foramen opticus di apeks
cavum orbita.
Sistem limfatik pada mata terletak pada konjungtiva. Sistem limfatik ini
kaya akan anastomose. Sistem limfatik pada konjungtiva berperan dalam reaksi
imunologis yang terjadi pada penyakit okular dan pasca pembedahan. Aliran
limfatik yang berasal dari lateral akan mengarah ke kelenjar limfe preaurikuler,
sementara aliran limfatik yang berasal dari medial akan mengarah ke kelenjar
limfe submandibular. (Pepperl JE et al, 2003)
Pembuluh limfe konjungtiva dibentuk oleh 2 pleksus, yaitu:
Pleksus Superfisial
Pleksus ini terdiri atas pembuluh-pembuluh kecil yang terletak di bawah
kapiler pembuluh darah. Ia menerima aliran limfatik dari area limbus.
Pleksus Profunda
Pleksus ini terdiri dari pembuluh-pembuluh yang lebih besar yang
terletak di substansia propria.
Komponen Bola Mata (Standring, 2009)
Bola mata terdiri dari tiga komponen utama, yaitu:
1. Tunika, yang terdiri dari tiga lapisan yang membentuk dinding bola
mata.
2. Komponen optik atau media refraksi, yang menerima dan
memfokuskan cahaya.
3. Komponen saraf, yang terdiri dari retina dan saraf optik.
4
Lapisan Dinding Bola Mata
Lapisan yang membentuk dinding bola mata terdiri dari tiga lapisan yaitu:
Tunica fibrosa, terdiri dari sklera dan kornea
Sklera
Sklera adalah bagian putih mata, mencakup 5/6 permukaan mata,
dan menyediakan insersi untuk otot eksternal mata. Sklera merupakan
dinding bola mata yang paling keras dengan jaringan pengikat yang
tebal, yang tersusun oleh serat kolagen, jaringan fibrosa dan
proteoglikan dengan berbagai ukuran.
Ketebalan sklera bervariasi namun dapat terlihat bagian posterior
lebih tebal daripada bagian anterior. Pada bagian posterior yaitu di
sekitar papil nervus optik, ketebalannya mencapai 1 mm. Bagian
anterior dari sklera dilapisi dengan membran yang dinamakan
konjungtiva bulbi.
Sklera dimulai dari limbus, dimana berlanjut dengan kornea dan
berakhir pada kanalis optikus yang berlanjut dengan dura. Sklera
ditembus oleh banyak saraf dan pembuluh darah yang melewati
foramen skleralis posterior. Pada cakram optikus, 2/3 bagian sklera
berlanjut menjadi sarung dural, sedangkan 1/3 lainnya berlanjut
dengan beberapa jaringan koroidalis yang membentuk suatu
penampang yakni lamina kribrosa yang melewati nervus optikus yang
keluar melalui serat optikus atau fasikulus.
Kornea (Ilyas, 2011)
Kornea (Latin cornum=seperti tanduk) adalah selaput bening mata,
bagian selaput mata yang tembus cahaya. Kornea merupakan lapisan
jaringan yang menutupi bola mata sebelah depan dan terdiri atas 5
lapis, yaitu:
1. Epitel
Tebalnya 50 μm, terdiri atas 5 lapis selepitel tidak
bertanduk yang saling tumpang tindih; satu lapis sel basal,
sel poligonal dan sel gepeng.
5
Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini
terdorong ke depan menjadi lapis sel sayap dan semakin
maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat
berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel
poligonal di depannya melalui desmosom dan makula
okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air, eliktrolit,
dan glukosa yang merupakan barrier.
Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat
kepadanya. Bila terjadi gangguan akan mengakibatkan erosi
rekuren.
Epitel berasal dari ektoderm permukaan.
2. Membran Bowman
Terletak di bawah membran basal epitel kornea yang
merupakan kolagen yang tersusun tidak teratur seperti
stroma dan berasal dari bagian depan stroma.
Lapisan ini tidak mempunyai daya regenerasi.
3. Stroma
Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang
sejajar satu dengan lainnya, pada permukaan terlihat anyaman
yang teratur sadangkan dibagian perifer serat kolagen ini
bercabang; terbentuknya kembali serat kolagen memakan
waktu lama yang kadang-kadang sampai 15 bulan. Keratosit
merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblas
terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit
membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam
perkembangan embrio atau sesudah trauma.
4. Membran Descement
Merupakan membran aselular dan merupakan batas
belakang stroma kornea dihasilkan sel endotel dan
merupakan membran basalnya.
Bersifat sangat elastis dan berkembang terus seumur hidup,
mempunyai tebal 40 μm.
6
5. Endotel
Berasal dari mesotelium, berlapis satu,bentuk heksagonal, besar
20-40 μm. Endotel melekat pada membran descement melalui
hemi desmosom dan zonula okluden
Tunica vasculosa, yang juga disebut dengan uvea. Bagian ini adalah
lapisan vaskular tengah mata dan dilindungi oleh kornea dan sklera.
lapisan ini mensuplai darah ke retina. Uvea dibagi menjadi tiga bagian,
yaitu iris di bagian anterior, corpus siliaris di tengah, dan koroid di
posterior.
o Iris
Berbentuk tipis melingkar, tergantung di aqueous humor antara
kornea dan lensa, dan dan memiliki celah di tengahnya yang disebut
pupil. Bagian perifernya bersambung pada ciliary body, dan juga
terhubung dengan lamina elastis posterior kornea melalui ligamentum
pectinate. Bagian anteriornya adalah kornea dan berbatas posterior
terhadap yang processus ciliaris dan lensa.
o Corpus Siliaris
Corpus siliaris berbentuk segitiga pada potongan melintang
membentang ke depan dari ujung anterior koroid ke pangkal iris.
Berfungsi sebagai pembentuk aqueous humor. Terdiri dari dua bagian
yaitu: sebelah anterior adalah pars plicata dan sebelah posterior adalah
pars plana.
Pada corpus siliaris terdapat otot siliaris yang yang terdiri dari 3
bagian pars longitudinal, obliq dan sirkular yang mengatur akomodasi
dengan mengatur ketegangan dari zonular dan outflow cairan
aqueuous dengan mengatur tegangan antara trabekula dan skleral spur
o Koroid
Koroid merupakan bagian posterior dari uvea yang terletak antara
retina dan sklera. Terdapat tiga lapisan vaskuler koroid, yaitu vaskuler
besar, sedang, dan kecil. Pada bagian interna koroid dibatasi oleh
membran Bruch, sedangkan di bagian luar terdapat suprakoroidal
7
Tunica interna, merupakan komponen neural yang terdiri atas retina dan
nervus opticus.
Retina
Retina merupakan suatu struktur sangat kompleks yang terbagi
menjadi 10 bagian, terdiri dari fotoreseptor ( sel batang dan kerucut)
dan neuron, beberapa diantaranya (sel ganglion) bersatu membentuk
serabut saraf optik. Bertanggung jawab untukmengubah cahaya
menjadi sinyal listrik. Retina akan meneruskan rangsangan yang
diterimanya berupa bayangan benda sebagai rangsangan elektrik ke
otak sebagai bayangan yang dikenal. Pada Retina terdapat sel batang
sebagai sel pengenal sinar dan sel kerucut yang mengenal fekuensi
sinar. Sel kerucut bertanggung jawab untuk penglihatan siang hari.
Nervus Opticus
Saraf penglihatan yang meneruskan rangsangan listrik dari mata ke
korteks visual untuk dikenali bayangannya. Kelainan refraksi dapat
terjadi karena adanya kelainan pada kelengkungan kornea dan lensa,
Indeks bias yang berkurang dan adanya kelainan pada sumbu mata.
Media Refraksi
Hasil pembiasan sinar pada mata ditentukan oleh media penglihatan yang
terdiri atas kornea, aqueous humor (cairan mata), lensa, vitreous body (badan
kaca), dan panjangnya bola mata. Pada orang normal susunan pembiasan oleh
media penglihatan dan panjang bola mata sedemikian seimbang sehingga
bayangan benda setelah melalui media penglihatan dibiaskan tepat di daerah
makula lutea. Mata yang normal disebut sebagai mata emetropia dan akan
menempatkan bayangan benda tepat di retinanya pada keadaan mata tidak
melakukan akomodasi atau istirahat melihat jauh. (Ilyas, 2011)
Kornea (Ilyas, 2011)
Kornea merupakan media refraksi mayor pada mata. dipersarafi oleh
banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar longus, saraf nasosiliar,
saraf V. saraf siliar longus berjalan suprakoroid, masuk ke dalam stroma
kornea, menembus membran Bowman melepaskan selubung Schwannya.
Seluruh lapis epitel dipersarafi samapai kepada kedua lapis terdepan tanpa ada
8
akhir saraf. Bulbus Krause untuk sensasi dingin ditemukan di daerah limbus.
Daya regenerasi saraf sesudah dipotong di daerah limbus terjadi dalam waktu 3
bulan.
Trauma atau panyakkit yang merusak endotel akan mengakibatkan sistem
pompa endotel terganggu sehingga dekompresi endotel dan terjadi edema
kornea. Endotel tidak mempunya daya regenerasi.
Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup bola mata
di sebelah depan. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 40
dioptri dari 50 dioptri pembiasan sinar masuk kornea dilakukan oleh kornea.
Aqueous Humor
Aqueous humor adalah cairan jernih yang dibentuk oleh korpus siliaris dan
mengisi bilik mata anterior dan posterior. Aqueous humor mengalir dari corpus
siliaris melewati bilik mata posterior dan anterior menuju sudut kamera okuli
anterior. Aqueous humor diekskresikan oleh trabecular meshwork (Simmons et
al, 2008).
Prosesus siliaris, terletak pada pars plicata adalah struktur utama korpus
siliaris yang membentuk aqueous humor (Solomon, 2002). Prosesus siliaris
memiliki dua lapis epitelium, yaitu lapisan berpigmen dan tidak berpigmen.
Lapisan dalam epitel yang tidak berpigmen diduga berfungsi sebagai tempat
produksi aqueous humor.
Sudut kamera okuli anterior, yang dibentuk oleh pertautan antara kornea
perifer dan pangkal iris, merupakan komponen penting dalam proses
pengaliran aqueous humor. Struktur ini terdiri dari Schwalbe’s line, trabecular
meshwork dan scleral spur (Riordan-Eva, 2009).
Lensa
Jaringan ini berasal dari ektoderm permukaan yang berbentuk lensa di
dalam bola mata dan bersifat bening. Lensa di dalam bola mata terletak di
belakang iris dan terdiri dari zat tembus cahaya (transparan) berbentuk seperti
cakram yang dapat menebal dan menipis pada saat terjadinya akomodasi.
(Ilyas, 2011)
Lensa berbentuk lempeng cakram bikonveks dan terletak di dalam bilik
mata belakang. Lensa akan dibentuk oleh sel epitel lensa yang membentuk
9
serat lensa di dalam kapsul lensa. Epitel lensa akan membentuk serat lensa
terus-menerus sehingga mengakibatkan memadatnya serat lensa di bagian
sentral lensa sehingga membentuk nukleus lensa. Bagian sentral lensa
merupakan serat lensa yang paling dahulu dibentuk atau serat lensa yang tertua
di dalam kapsul lensa. Di dalam lensa dapat dibedakan nukleus embrional, fetal
dan dewasa. Di bagian luar nukleus ini terdapat serat lensa yang lebih muda
dan disebut sebagai korteks lensa. Korteks yang terletak di sebelah depan
nukleus lensa disebut sebagai korteks anterior, sedangkan dibelakangnya
korteks posterior. Nukleus lensa mempunyai konsistensi lebih keras dibanding
korteks lensa yang lebih muda. Di bagian perifer kapsul lensa terdapat zonula
Zinn yang menggantungkan lensa di seluruh ekuatornya pada corpus siliaris.
Secara fisiologis lensa mempunyai sifat tertentu, yaitu: (Ilyas, 2011)
• Kenyal atau lentur karena memegang peranan terpenting dalam
akomodasi untuk menjadi cembung
• Jernih atau transparan karena diperlukan sebagai media penglihatan,
• Terletak ditempatnya, yaitu berada antara posterior chamber dan vitreous
body dan berada di sumbu mata.
Vitreous Body
Vitreous body menempati daerah mata di balakang lensa. Struktur ini
merupakan gel transparan yang terdiri atas air (lebih kurang 99%), sedikit
kolagen, dan molekul asam hialuronat yang sangat terhidrasi. Vitreous body
mengandung sangat sedikit sel yang menyintesis kolagen dan asam hyaluronat
(Luiz Carlos Junqueira, 2003). Peranannya mengisi ruang untuk meneruskan
sinar dari lensa ke retina. Kebeningan vitreous body disebabkan tidak
terdapatnya pembuluh darah dan sel. Pada pemeriksaan tidak terdapatnya
kekeruhan vitreous body akan memudahkan melihat bagian retina pada
pemeriksaan oftalmoskopi. (Ilyas, 2011).
Vitreous humor penting untuk mempertahankan bentuk bola mata yang
sferis (Lauralee Sherwood, 1996).
Panjangnya Bola Mata
Panjang bola mata menentukan keseimbangan dalam pembiasan. Panjang
bola mata seseorang dapat berbeda-beda. Bila terdapat kelainan pembiasan
10
sinar oleh karena kornea (mendatar atau cembung) atau adanya perubahan
panjang (lebih panjang atau lebih pendek) bola mata, maka sinar normal tidak
dapat terfokus pada mekula. Keadaan ini disebut sebagai ametropia yang dapat
berupa miopia, hipermetropia, atau astigmatisma. (Ilyas, 2011)
Komponen Saraf
Retina
Sepuluh lapisan berturut-turut dari luar ke dalam yang dimiliki retina,
yaitu epitel pigmen, lapisan sel batang dan kerucut (lapisan fotoreseptor),
membran limitan eksterna, lapisan inti luar, lapisan pleksiform luar, lapisan inti
dalam, lapisan pleksiform dalam, lapisan ganglionar, lapisan serat nervus
optikus, dan membran limitan interna.
Retina melapisi dinding mata bagian dalam seperti kertas dinding melapisi
dinding rumah. Retina berfungsi seperti lapisan film pada kamera foto, yaitu
cahaya yang melalui lensa akan difokuskan ke retina. Sel-sel retina yang peka
terhadap cahaya inilah yang menangkap “gambar” dan menyalurkannya ke
otak melalui saraf optik. (Ilyas 2011)
Bagian koroid yang memegang peranan penting dalam metabolisme retina
adalah membran Bruch dan sel epitel pigmen. Retina bagian dalam mendapat
metabolisme dari arteri retina sentral. Dari luar ke dalam secara histologik,
retina dibagi dalam 10 lapisan, yaitu:
a. Lapisan epitel pigmen, yang merupakan bagian koroid
b. Lapisan sel batang dan
kerucut (sel fotoreseptor)
c. Lapisan membran
pembatas luar
d. Lapisan inti luar
e. Lapisan pleksiform luar
f. Lapisan inti dalam
g. Lapisan pleksiform dalam
h. Lapisan sel ganglionik
i. Lapisan serabut sel saraf
11
j. Lapisan membran pembatas dalam
Macula lutea
Hal ini untuk memudahkan sinar dari luar mencapai sel kerucut dan sel
batang. Bagian ini disebut makula lutea atau bintik kuning. Daerah ini
merupakan penglihatan sentral dimana ketajaman penglihatan maksimal.
Makula lutea pada pemeriksaan funduskopi akan terlihat lebih jelas karena
ketipisannya dan karena adanya refleks fovea yang merupakan sinar yang
dipantulkan kembali. Pada saat ini akan terasa silau sekali. Fovea sentral
merupakan bagian retina yang sangat sensitif dan yang akan menghasilkan
ketajaman penglihatan maksimal atau 6/6. Bila terjadi kerusakan pada fovea
sentral ini maka ketajaman penglihatan akan sangat menurun karena pasien
akan melihat dengan bagian perifer makula lutea.
Neural Retina
Sel fotoreseptor terdiri atas sel kerucut yang mempunyai 6 juta sel pada
setiap mata, berperan dalam penglihatan warna (pigmen warna). Sedangkan
sel batang mempunyai 12 juta sel pada setiap mata, mempunyai peran dalam
penglihatan dalam gelap (rodopsin). Sel kerucut 500 kali lebih sensitif
terhadap cahaya dibanding sel batang.
Pupil
Pangkal iris melekat pada corpus siliaris yang akan berperan dalam proses
akomodasi. Iris mempunyai celah di bagian tengahnya dan disebut pupil.
Pupil ini akan mengatur jumlah cahaya yang masuk yang dibutuhkan oleh
mata dan kemudian membiaskannya pada lensa.
Struktur Pelindung
Struktur di sekitar mata melindungi dan memungkinkan mata bergerak
secara bebas ke segala arah. Struktur tersebut melindungi mata terhadap debu,
angin, bakteri, virus, jamur dan bahan-bahan berbahaya lainnya, tetapi juga
memungkinkan mata tetap terbuka sehingga cahaya masih bisa masuk.
a. Orbita adalah rongga bertulang yang mengandung bola mata, otot-otot,
saraf, pembuluh darah, lemak dan struktur yang menghasilkan dan
mengalirkan air mata.
12
b. Kelopak mata merupakan lipatan kulit tipis yang melindungi mata.
Kelopak mata secara refleks segera menutup untuk melindungi mata
dari benda asing, angin, debu dan cahaya yang sangat terang.
Ketika berkedip, kelopak mata membantu menyebarkan cairan ke
seluruh permukaan mata dan ketika tertutup, kelopak mata
mempertahankan kelembaban permukaan mata. Tanpa kelembaban
tersebut, kornea bisa menjadi kering, terluka dan tidak tembus cahaya.
Bagian dalam kelopak mata adalah selaput tipis (konjungtiva) yang
juga membungkus permukaan mata
c. Bulu mata merupakan rambut pendek yang tumbuh di ujung kelopak
mata dan berfungsi membantu melindungi mata dengan bertindak
sebagai barrier (penghalang). Kelenjar kecil di ujung kelopak mata
menghasilkan bahan berminyak yang mencegah penguapan air mata.
d. Kelenjar lakrimalis terletak di puncak tepi luar dari mata kiri dan
kanan dan menghasilkan air mata yang encer. Air mata mengalir dari
mata ke dalam hidung melalui 2 duktus lakrimalis; setiap duktus
memiliki lubang di ujung kelopak mata atas dan bawah, di dekat
hidung. Air mata berfungsi menjaga kelembaban dan kesehatan mata,
juga menjerat dan membuang partikel-partikel kecil yang masuk ke
mata. Selain itu, air mata kaya akan antibodi yang membantu
mencegah terjadinya infeksi.
2.2. Pemeriksaan Mata pada Trauma Okuli
Anamnesis
Pada anamnesis, ditanyakan :
Kapan terjadinya trauma
Proses terjadinya trauma
Benda apa yang mengenai mata
Bagaimana arah datangnya benda yang mengenai mata (depan,samping
atas, samping bawah, atau dari arah lain)
Kecepatan
Besar benda yang mengenai mata
13
Bahan benda (kayu, besi, atau bahan lainnya)
Bila terjadi pengurangan penglihatan, perlu ditanyakan apakah terjadinya
sebelum / setelah kecelakaan.
Apakah disertai dengan keluarnya darah dan rasa sakit
Apakah sudah mendapatkan pertolongan sebelumnya
Pekerjaan Pasien
Pemeriksaan Subjektif
Periksa tajam penglihatan, karena berkaitan dengan pembuatan Visum et
Repertum.
Pada penderita dengan visus menurun, dilakukan pemeriksaan refraksi,
untuk mengetahui apakah penurunan visus terjadi sebelum atau sesudah
trauma.
Pemeriksaan Objektif
Pemeriksaan mata perlu dilakukan secara sistematik dan cermat. Yang
diperiksa pada kasus trauma okuli adalah :
Orbita dan kelopak mata
Pemeriksan segmen anterior dilakukan dengan sentrolop, loupe, slit lamp
Pemeriksaan segmen posterior dilakukan dengan oftalmoskop.
Tekanan bola mata
Gerakan bola mata
Kelainan yang dapat dinilai dari pemeriksaan objektif antara lain:
a. Kelainan Orbita
Apabila terjadi kelainan orbita, maka gejala yang mudah tampak
ialah adanya eksoftalmos dan gangguan gerakan bola mata akibat
perdarahan di dalam rongga orbita. Kadang-kadang juga terjadi hematom
kolapak mata dan perdarahan subkonjungtiva.
Fraktur rima orbita dapat diperkirakan pada perabaan yang terasa
sebagai tepi orbita yang tidak rata.
Fraktur di bagian dalam orbita, akan menyebabkan emfisema atau
terjadi enoftalmos bahkan mungkin disertai kerusakan pada foramen optik
dan mengenai saraf optik dengan akibat kebutaan. Untuk memastikan
adanya keretakan tulang obita dilakukan pemeriksaan radiologi orbita.
14
b. Kelainan Kelopak Mata
Longgarnya jaringan ikat subkutan, maka adanya hematom dan
edema kelopak mata kadang-kadang menunjukkan gejala yang berlebihan
dan menakutkan, sehingga mendorong penderita untuk segera minta
pertolongan dokter.
Pada fraktur dasar tengkorak, perdarahan yang terjadi akan
merembes sepanjang dasar orbita yang selanjutnya tampak sebagai
hematom di kelopak mata atau perdarahan subkonjungtiva satu atau dua
hari setelah terjadinya trauma.
Pada setiap trauma kelopak mata perlu dilakukan pemeriksaan
yang teliti mengenai luas dan dalamnya lesi (luka), sebab lesi yang
tampaknya kecil di kelopak mata kemungkinan disertai suatu lesi yang
luas di dalam rongga orbita bahkan sampai ke dalam bola mata.
c. Kelainan Konjungtiva
Konjungtiva mengalami edema yang tidak menimbulkan gangguan
penglihatan. Jika terjadi perdarahan subkonjungtiva, maka konjungtiva
akan tampak merah dengan batas tegas, yang pada penekanan tidak
menghilang atau menipis. Hal ini penting untuk membedakannya dengan
hiperemi atau hemangioma konjungtiva. Lama kelamaan perdarahan ini
mengalami perubahan warna menjadi membiru, menipis dan umumnya
diserap dalam waktu 2-4 minggu.
Epitel konjungtiva mudah mengalami regenerasi sehingga luka
pada konjungtiva penyembuhannya cepat. Robekan konjungtiva sebaiknya
dijahit untuk mempercepat penyembuhannya.
d. Kelainan Kornea
Trauma tumpul kornea dapat menimbulkan kelainan kornea mulai
dari erosi kornea sampai laserasi kornea. Bilamana lesi terletak di bagian
sentral, lebih-lebih mengakibatkan kekeruhan kornea yang luas, dapat
mengakibatkan pengurangan tajam penglihatan.
Pada umumnya bilamana lesi kornea itu tidak sampai merusak
membran Bowman atau stromanya, maka kornea akan cepat sembuh
tanpa meninggalkan sikatriks pada kornea.
15
Pada lesi yang lebih dalam pada lapisan kornea, umumnya akan
meninggalkan sikatriks berupa nebula, makula atau pun leukoma kornea.
e. Kelainan Bilik Mata Depan
Hifema atau adanya darah di bilik mata depan dapat terjadi akibat
trauma tumpul pada mata. Darah ini berasal dari iris atau korpus siliaris
yang robek. Perdarahan sekunder dapat terjadi sesudah hari ketiga
terjadinya trauma.
Hifema biasanya akan mengalami penyerapan spontan. Bilamana
hifema penuh, dan penyerapannya sukar, dapat terjadi hemosiderosis
kornea (penimbunan pigmen darah dalam kornea), atau glaukoma
sekunder. Apabila hifema tidak berkurang dalam 5 hari dan tekanan bola
mata meninggi, dilakukan tindakan pembedahan mengeluarkan darah dari
bilik mata depan (parasentesis)
f. Kelainan Pupil dan Iris
Bilamana terkena trauma ringan, pupil akan menyempit, karena
kontraksi m. sfingter pupil. Pada trauma berat, maka pupil akan melebar
dan reaksi terhadap cahaya akan menjadi lambat atau hilang. Hal ini
karena kelumpuhan m. sfingter pupil dan disebut sebagai oftalmoplegia
interna.
Iridodialisis ialah keadaan dimana iris terlepas dari pangkalnya,
sehingga bentuk pupil tidak bulat, dan pada pangkal iris terdapat lubang.
Hal demikian mudah terjadi karena bagian iris yang berdekatan dengan
badan siliar mudah robek.
Lubang pupil yang baru di pangkal iris itu dapat terjadi di setiap
bagian pangkal iris dan merupakan lubang permanen, sebab iris tidak
mempunyai kemampuan untuk regenerasi.
Baik perubahan bentuk pupil maupun perubahan ukuran pupil
akibat trauma tumpul tidak banyak mengganggu tajam penglihatan
penderita.
g. Kelainan lensa
Trauma dapat menyebabkan subluksasi lensa atau luksasi lensa
(lensa mengalami perpindahan tempat). Zonula Zinn dan badan kaca
16
dapat menonjol ke dalam bilik mata depan sebagai hernia. Pada umumnya
lensa yang mengalami dislokasi itu beberapa tahun kemudian akan
mengalami katarak.
Bila trauma tumpul menimbulkan ruptur yang tidak langsung pada
kapsul lensa maka akan terjadi katarak. Baik subluksasi maupun luksasi
lensa dapat menimbulkan glaukoma sekunder atau iritasi mata.
Dislokasi lensa ataupun katarak trauma tumpul dapat
menyebabkan pengurangan tajam penglihatan sampai kebutaan, perlu
penanganan dokter spesialis untuk dilakukan tindakan pembedahan
katarak.
h. Kelainan Fundus
Trauma tumpul yang mengenai mata dapat mengakibatkan
kelainan pada retina, koroid, dan saraf optik. Perubahan yang terjadi dapat
berupa edema retina, ablasi retina, maupun atrofi saraf optik.
Bila dijumpai seorang penderita dengan trauma tumpul pada mata
dan tajam penglihatannya menurun, padahal pengurangan tajam
penglihatan tersebut tidak dapat diperbaiki dengan pemberian kaca mata,
sedangkan keadaan media mata jernih, maka kasus demikian dapat
diperkirakan adanya kelainan di fundus atau di belakang bola mata.
Edema retina yang letaknya di daerah makula seringkali dapat
sembuh dalam waktu singkat, sehingga tajam penglihatan pulih kembali.
Pemeriksaan oftalmoskop menunjukkan retina yang berwarna abu-abu,
terutama daerah makula. Kadang-kadang ditemukan juga adanya
perdarahan.
Ablasio retina harus segera dirujuk ke dokter spesialis.
Pemeriksaan oftalmologis menunjukkan adanya retina yang abu-abu dan
pembuluh darah yang tampak terangkat, berkelok-kelok, kadang-kadang
pembuluh darah itu memberikan kesan terputus.
Bilamana terjadi atrofi saraf optik, maka tajam penglihatan akan
sangat menurun bahkan sampai buta. Pada umumnya kelainan yang
menyebabkan atrofi saraf optik ini, letaknya di belakang bola mata seperti
17
adanya perdarahan retrobulbar, fraktur dinding orbita atau fraktur dasar
tengkorak.
i. Kelainan Tekanan Bola Mata
Trauma mata dapat menyebabkan perubahan tekanan bola mata
baik penurunan maupun peninggian tekanan bola mata. Bila tekanan
menjadi rendah, yang pada perabaan dengan jari terasa lunak sekali,
menandakan adanya kerusakan dinding bola mata, yaitu terjadinya ruptur
bola mata.
Pada umumnya letak ruptur itu di tempat yang lemah di bagian
sklera yang agak menipis seperti di daerah badan siliar atau di kutub
posterior bola mata. Bila tekanan bola mata naik, dapat terjadi glaukoma
sekunder.
Glaukoma sekunder dapat timbul segera, yaitu beberapa saat
setelah kejadian trauma disebabkan oleh banyaknya darah dalam bola mata
atau hifema, dimana sel-sel darah itu menyumbat jaringan trabekel dan
saluran keluarnya.
j. Kelainan Gerakan Mata
Pada trauma tumpul mata, ada kemungkinan terjadi gangguan
gerakan kelopak mata, ada kemungkinan mata itu tidak dapat menutup
atau tidak dapat membuka dengan sempurna.
Kelopak mata yang tidak dapat menutup sempurna dinamakan
lagoftalmos, disebabkan kelumpuhan N VII. Kelopak mata yang tidak
dapat membuka dengan sempurna disebut ptosis, hal ini disebabkan oleh
adanya edema atau hematoma kelopak superior.
Pada trauma tumpul mata dapat terjadi gangguan gerakan bola
mata yang disebabkan kerusakan rongga orbita atau kerusakan otot-otot
mata luar.
BAB III
PEMBAHASAN KHUSUS
3.1. Definisi dan Terminologi
18
Trauma okuli yaitu trauma yang mengenai jaringan mata, yang terdiri dari
kelopak, konjungtiva, kornea, uvea, lensa, retina, papil saraf optik, dan orbita.
(Ilyas, 2011)
Diagnosa yang sering digunakan pada praktik klinis: (Khun et al, 2002)
Terminologi:
Dinding mata : terdiri atas kornea dan sklera. Meskipun mata memiliki 3
lapisan, untuk tujuan klinis dan praktis mendiagnosa cedera pada
dinding mata, hanya struktur terluar yang dimasukkan dalam
definisi.
Cedera mata terbuka : luka dengan ketebalan penuh pada dinding mata.
Cedera mata tertutup : luka dengan ketebalan parsial pada dinding mata.
Kontusio : tidak terdapat luka (dengan ketebalan penuh). Kontuso
disebabkan oleh penyampaian energi langsung dari obyek
(contoh: ruptur koroid), atau akibat perubahan bentuk bola mata
(contoh: resesi sudut).
Laserasi lamelar : luka ketebalan parsial pada dinding mata.
Ruptur : luka ketebalan penuh pada dinding mata, disebabkan oleh obyek
tumpul. Karena mata dipenuhi oleh cairan yang tidak dapat
ditekan (incompressible), dampak dari trauma tumpul ialah
19
peningkatan sementara tekanan intraokular (TIO). Dinding mata
mengalami perlemahan pada titik lemahnya (lokasi impaksi atau
lokasi lain seperti luka katarak lama). Luka sebenarnya
dihasilkan oleh mekanisme ke dalam-ke luar (inside-out
mechanism).
Laserasi : luka ketebalan penuh pada dinding mata, disebabkan oleh obyek
tajam. Luka terjadi pada tempat impaksi akibat mekanisme dari
luar-ke dalam (outside-in).
Cedera
penetratif/tembus
: luka masuk. Jika terdapat lebih dari satu luka, masing-masing
pasti diakibatkan oleh agen yang berbeda.
Benda asing tertahan : secara teknis merupakan cedara penetrasi, namun
dikelompokkan terpisah karena dampak klinis yang berbeda.
Cedera perforatif : luka masuk dan keluar. Kedua luka disebabkan oleh agen yang
sama.
Beberapa cedera tetap sulit diklasifikasikan. Sebagai contoh, pellet BB
intravitreal secara teknis merupakan cedera benda asing intraokular. Akan tetapi,
karena obyek ini merupakan benda tumpul yang memerlukan gaya impaksi yang
besar untuk masuk ke dalam, tidak hanya mengkontusi, mata, terdapat elemen
cedera ruptur yang terlibat. Pada situasi seperti ini, oftalmologis harus
medeskripsikan cedera sebagai “cedera campuran” (ruptur dengan benda asing
intraokular) atau memilih tipe mekanisme yang paling serius.
3.2. Klasifikasi
Klasifikasi Trauma Okuli berdasarkan MekanismeTrauma
a. Trauma Mekanik
i. Trauma Tumpul
ii. Trauma Tajam/trauma tembus
b. Trauma Kimia
c. Trauma karena agen Fisis
i. Api
ii. Radiasi
20
iii. Ultraviolet
3.3. Trauma Mekanik pada Mata (Ilyas, 2011)
Trauma tumpul pada mata dapat diakibatkan benda yang keras atau benda
yang tidak keras, dimana benda tersebut dapat mengenai mata dengan keras
(kencang) ataupun lambat. Trauma tersebut dapat memberi kerusakan pada mata
akibat kompresi mendadak dan indentasi bola mata. Dampak dari trauma tumpul
dapat merusakkan struktur yang dekat dengan permukaan mata (kelopak mata,
konjungtiva, sklera, kornea, iris, dan lensa) dan struktur di belakang mata (retina
dan nervus optik). Dampaknya juga dapat mumbuat tulang sekeliling mata fraktur.
Selain itu trauma ini juga dapat berujung pada laserasi jaringan mata.
3.3.1. Hematoma Kelopak
Hematoma palpebra yang merupakan pembengkakan atau penimbunan
darah di bawah kulit kelopak akibat pecahnya pembuluh darah palpebra.
Hematoma kelopak merupakan kelainan yang sering terlihat pada trauma
tumpul kelopak. Trauma dapat akibat pukulan tinju atau benda-benda keras
lainnya. Keadaan ini memberikan bentuk yang menakutkan pada pasien, dapat
tidak berbahaya ataupun sangat berbahaya karena mungkin ada kelainan lain di
belakangnya.
Bila pendarahan terletak lebih dalam dan mengenai kedua kelopak dan
berbentuk kaca mata hitam yangsrdang dipakai, maka keadaan ini disebut
sebagai hematoma kaca mata. Hematoma kaca mata merupakan keadaan yang
sangat gawat. Hematoma kaca mata terjadi akibat pecahnya arteri oftalmika
yang merupakan tanda fraktur basis kranii. Pada pecahnya arteri oftalmika maka
darah masuk ke dalam kedua rongga orbita melalui fisura orbita. Akibatnya
darah tidak dapat menjalar lanjut karena dibatasi septum orbita kelopak mata.
Kelopak mata akan berbentuk gambaran pada kelopak seperti seseorang yang
memakai kaca mata.
Pada hematoma kelopak yang dini dapat diberikan kompres dingin untuk
menghentikan perdarahan dan menghilangkan rasa sakit. Bila telah lama, untuk
memudahkan absorpsi darah dapat dilakukan kompres hangat pada kelopak
mata.
21
3.3.2. Trauma Tumpul Konjungtiva
Edema Konjungtiva
Jaringan konjungtiva yang bersifat selaput lendir dapat menjadi kemotik
pada setiap kelainannya, demikian pula akibat trauma tumpul. Bila kelopak
terpajan ke dunia luar dan konjungtiva secara langsung kena angin tanpa dapat
mengedip, maka keadaan ini telah dapat mengakibatkan edema pada
konjungtiva.
Kemotik Konjungtiva yang berat dapat mengakibatkan palpetra tidak
menutup sehingga bertambah rangsangan terhadap konjungtiva. Pada edema
konjungtiva dapat diberikan dekongestan untuk mencegah pembendungan cairan
di dalam selaput lendir konjungtiva.Pada kemotik konjungtiva berat dapat
dilakukan disisi sehingga cairan konjungtiva kemotik keluar melalui insisi
tersebut.
Hematoma Subkonjungtiva
Hematoma subkonjungtiva terjadi akibat pecahnya pembuluh darah yang
terdapat pada atau di bawah konjungtiva, seperti arteri konjungtiva dan arteri
episklera. Pecahnya pembuluh darah ini akibat batuk rejan, trauma tumpul basis
kranii (hematoma kaca mata), atau pada keadaan pembuluh darah yang rentan
dan mudah pecah. Pembuluh darah akan rentan dan mudah pecah pada usia
lanjut, hipertensi, arteriosklerosis, konjungtiva meradang (konjungtivitis),
anemia, dan obat-obat tertentu.
Bila pendarahan ini terjadi akibat trauma tumpul maka perlu dipastikan
bahwa tidak terdapat robekan di bawah jaringan konjungtiva atau sklera.
Kadang-kadang hematoma subkonjungtiva menutupi keadaan mata yang lebih
buruk seperti perforasi bola mata. Pemeriksaan fundoskopi adalah perlu pada
setiap penderita dengan pendarahan subkonjungtiva akibat trauma. Bila tekanan
bola mata rendah dengan pupil lonjong disertai dengan penurunan ketajaman
penglihatan dan hematoma subkonjungtiva, maka sebaiknya dilakukan
eksplorasi bola mata untuk mencari adanya kemungkinan bolbus olkuli.
Pengobatan dini pada hematoma subkonjungtiva adalah dengan kompres
hangat. Pendarahan subkonjungtiva akan hilang atau diabsorpsi dalam 1 – 2
minggu tanpa diobati.
22
3.3.3. Trauma Tumpul pada Kornea
Edema Kornea
Trauma tumpul yang keras atau cepat mengenai mata dapat
mengakibatkan edema kornea malahan ruptur membran Descernet. Edema
kornea akan memberikan keluhan penglihatan kabur dan terlihatnya pelangi di
sekitar bola lampu atau sumber cahaya yang dilihat. Kornea akan terlihat keruh,
dengan uji plasido yang positif.
Edema kornea yang berat dapat mengakibatkan msuknya serbukan sel
radang dan neovaskularisasi ke dalam jaringan stroma kornea.
Pengobatan yang diberikan adalah larutan hipertonik seperti NaCl 5%
atau larutan garam hipertonik 2 – 8%, glukose 40%, dan larutan albimin.
Bila terdapat peninggian tekanan bola mata maka diberikan
asetazolamida. Pengobatan untuk menghilangkan rasa sakit dan memperbaiki
ketajaman penglihatan dengan lensa kontak lembek dan mungkin akibat
kerjanya menekan kornea terjadi pengurangan edema pada kornea.
Penyulit trauma kornea yang berat berupa terjadinya kerusakan M.
Descemet yang lama sehingga mengakibatkan keratopati bulosa yang akan
memberikan keluhan rasa sakit dan menurunkan ketajaman penglihatan akibat
astigmatisme iregular.
Erosi Kornea
Erosi kornea merupakan keadaan terkelupasnya epitel kornea yang dapat
diakibatkan oleh gesekan keras pada epitel kornea. Erosi dapat terjadi tanpa
cedera pada membran basal. Dalam waktu yang pendek epitel sekitarnya dapat
bermigrasi dengan cepat dan menutupi defek epitel tersebut.
Pada erosi pasian akan merasa sakit sekali karena erosi merusak kornea
yang mempunyai serat sensibel yang banyak, mata berair, dengan
blefarospasme, lakrimasi, fotofobia, dan penglihatan akan terganggu oleh media
kornea yang keruh. Pada kornea akan terlihat suatu defek epitel kornea yang bila
diberi pewarnaan fluoresein akan berwarna hijau. Pada erosi kornea perlu
diperhatikan adanya infeksi yang timbul kemudian.
Anestesi topikal dapat diberikan untuk memeriksa ketajaman penglihatan
dan menghilangkan rasa sakit yang hebat. Hati-hati bila memakai obat anestetik
23
topikal untuk menhilangkan rasa sakit pada pemeriksaan karean dapat
menambah kerusakan epitel.
Epitel yang terkelupas atau terlipat sebaiknya dilepas atau dikupas.
Untuk mencegah infeksi bakteri diberikan antibiotik seperti antibiotik spektrum
luas seperti neosporin, chloramfenikol, dan sulfasetamik tetes mata. Aibat
rangsangan yang mengakibatkan spasme siliar maka diberikan sikloplegik aksi
pendek seperti tropikamida. Pasien akan merasa lebih tertutup bila dibebatkan
selama 24 jam. Erosi yang kecil biasanya akan tertutup kembali setelah 48 jam.
Erosi Kornea Rekuren
Erosi rekuren biasanya terjadi akibat cedera yang merusak membran
basal, atau tukak metaherpetik. Epitel yang menutup kornea akan mudah lepas
kembali di waktu bangun pagi. Terjadinya erosi kornea berulang disebabkan
epitel tidak dapat bertahan pada defek epitel kornea. Sukarnya epitel menutupi
kornea diakibatkan oleh terjadinya pelepasan membran basal epitel kornea,
tempat duduknya epitel basal kornea. Biasanya membran basal yang rusak akan
kembali normal setelah 6 minggu.
Pengobatan terutama bertujuan melumaskan permukaan kornea
sehingga regenerasi epitel tidak cepat terlepas untuk membentuk membran basal
kornea. Pengobatan biasanya dengan memberikan siklopledik untuk
menghilangkan rasa asakit ataupun untuk mengurangkan gejala radang uvea
yang mungkin timbul . Antibiotik diberikan dalam bentuk tetes dan mata ditutup
untuk mempercepat tumbuhnya epitel baru dan tumbuhnya infeksi sekunder.
Biasanya bila tidak terjadi infeksi sekunder kornea yang mengenai seluruh
permukaan, maka kornea akan sembuh dalam tiga hari. Pada erosi kornea tidak
diberikan antibiotik dengan kombinasi steroid.
Pemakaian lensa kontak lunak pada pasien dengan erosi rekuren sangat
bermanfaat, karena dapat mempertahankan epitel berada pada mata dan tidak
dipengaruhi oleh kedipan kelopak mata.
3.3.4. Trauma Tumpul Uvea
Iridoplegia
24
Trauma tumpul pada uvea dapat mengakibatkan kelumpuhan otot
sfingter pupil atau iridoplegia sehingga pupil menjadi lebar atau midriasis.
Pasien akan sukar melihat dekat karena gangguan akomodasi, silau akibat
gangguan pengaturan masuknya sinar pada pupil. Pupil terlihat tidak sama besar
atau anisokoria dan bentuk pupil dapat menjadi ireguler. Pupil ini tidak bereaksi
terhadap sinar. Iridoplegi juga dapat muncul tanpa gangguan akomodasi.
Keadaan ini dapat menyebuh dengan bertahap.
Iridoplegia akibat trauma akan berlangsung beberapa hari sampai
beberapa minggu.Pada pasien dengan iridoplegia sebaiknya diberi istirahat untuk
mencegah terjadinya kelelahan sfingter dan pemberian roboransia.
Iridodialisis
Trauma tumpul dapat mengakibatkan robekan pada pangkal iris sehingga
bentuk pupil dapat berubah. Pasien akan memiliki penglihatan ganda dengan
satu mata. Pada iridodialisis akan terlihat pupil lonjong. Biasanya iridodialisis
terjadi bersama-sama dengan terbentuknya hifema.
Bila keluhan demikian, maka sebaiknya dilakukan pembedahan pada
pasien dengan melakukan reposisi pangkal iris yang terlepas.
3.3.5. Hifema
Hifema atau darah di dalam bilik mata depan dpaat terjadi akibat trauma
tumpul yang merobek pembuluh darah iris atau badan siliar. Pasien akan
mengeluh sakit, disertai dengan epifora, dan blefarospasme. Penglihatan pasien
akan sangat menurun. Bila pasien duduk, hifema kan terlihat terkumpul di
bagian bawah bilik mata depan, dan hifema dapat memenuhi seluruh ruang bilik
mata depan. Kadang-kadang terlihat iridoplegia dan iridodialisis.
Pengobatan dengan merawat pasien dengan tidur di tempat tidur yang
ditinggikan 30 derajat pada kepala, diberi koagulasi, dan mata ditutup. Pada
anak yang gelisah dapat diberikan obat penenang. Asetazolamida diberikan bila
terjadi penyulit, yaitu glaukoma.
Biasanya hifema akan hilang sempurna. Bila perjalanan penyakit tidak
berjalan demikian, maka sebaiknya penderita dirujuk.
Parasentesis atau mengeluarkan darah dari bilik mata depan dilakukan
pada pasien dengan hifema bila terlihat tanda-tanda imbibisi kornea, glaukoma
25
sekunder, hifema penuh dan berwarna hita, atau bila setelah 5 hari tidak terlihat
tanda-tanda hifema akan berkurang.
Kadang-kadang sesudah hifema hilang atau 7 hari setelah trauma dapat
terjadi pendarahan atau hifema baru yang disebut hifema sekunder yang
pengaruhnya akan lebih hebat karena pendarahan akan lebih sukar hilang.
Glaukoma sekunder dapat pula terjadi akibat kontusi badan siliar yang
mengakibatkan suatu reses sudut bilik mata sehingga terjadi gangguan
pengaliran cairan mata.
Zat besi di dalam bola mata dapat menimbulkan siderosis bulbi yang bila
didiamkan akan menimbulkan ftisis bulbi dan kebutaan. Hifema spontan pada
anak sebaiknya dipikirkan kemungkinan leukemia dan retinoblastoma.
Bedah Pada Hifema
Parasentesis
Parasentesis merupakan tindakan pembedahan dengan mengeluarkan
darah ataunanah dari bilik mata depan, dengan teknik sebagai berikut: dibuat
insisi kornea dari limbus ke arah kornea yang sejajar dengan permukaan iris.
Biasanya bila dilakukan penekanan pada bibir luka maka koagulum dari bilik
mata depan. Bila darah tidak keluar seluruhnya maka bilik mata depan dibilas
dengan garam fisiologis. Biasanya luka insisi kornea pada parasentesis tidak
perlu terjadi.
Ir idosiklitis
Pada trauma tumpul dapat terjadi reaksi jaringan uvea sehingga
menimbulkan iridosiklitis atau radang uvea anterior.
Pada mata akan terlihat mata merah, akibat adanya darah di dalam bilik
mata depan maka akan terdapat suar dan pupil yang mengecil dengan ketajaman
penglihatan yang menurun.
Pada uveitis anterior diberikan tetes mata midriatik dan steroid topikal.
Bila terlihat tanda radang berat maka dapat diberikan steroid sistemik. Sebaiknya
pada mata ini diukur tekanan bola mata untuk persiapan memeriksa fundus
dengan midriatika.
3.3.6. Trauma Tumpul pada Lensa
26
Dislokasi Lensa
Trauma tumpul lensa dapat menyebabkan dislokasi lensa. Dislokasi lensa
terjadi pada putusnya zonula Zinn yang akan mengakibatkan kedudukan lensa
terganggu.
Subluksasi Lensa
Subluksasi lensa terjadi akibat putusnya sebagian zonula Zinn sehingga
lensa berpindah tempat. Subluksasi lensa dapat juga terjadi spontan akibat
pasien menderita kelainan pada zonola Zinn yang rapuh (sindrom marfan).
Pasien pasca trauma akan mengeluh penglihatan berkurang. Subluksasi
lensa akan memberikan gambaran pada iris berupa iridodonesis.
Akibat pegangan pada zonula tidak ada maka lensa yang elastis akan
menjadi cembung dan mata akan menjadi lebih myobi. Lensa yang menjadi
sangat cembung mendorong iris ke depan sehingga sudut bilik mata tertutup.
Bila sudut bilik mata menjadi sempit, pada mata ini mudah terjadi glaukoma
sekunder.
Subluksasi dapat mengakibatkan glaukoma sekunder dimana terjadi
penutupan sudut bilik mata oleh lensa yang mencembung.
Bila terjadi penyulit subluksasi lensa, seperti glaukoma atau uveitis maka
tidak dilakukan pengeluaran lensa dan diberi kaca mata koreksi yang sesuai.
Luksasi Lensa Anterior
Bila seluruh zonula Zinn di sekitar ekuator putus akibat trauma maka
lensa dapat masuk ke dalam bilik mata depan. Akibat lensa terletak di dalam
bilik mata depan, maka akan terjadi gangguan pengaliran keluar cairan bilik
mata sehingga akan timbul glaukoma kongestif akut dengan gejala-gejalanya.
Pasien akan mengeluh penglihatan turunmendadak disertai rasa sakit
yang hebat, muntah, mata merah dengan blefarospasme.
Terdapat injeksi siliar yang berat, edema kornea, lensa di dalam bilik
mata depan. Iris terdorong ke belakang dengan pupil yang lebar. Tekanan bola
mata sangat tinggi.
Pada luksasi lensa anterior sebaiknya pasien dikirim pada dokter mata
untuk dikeluarkan lensanya dengan terlebih dahulu diberikan asetazolamida
untuk menurunkan tekanan bola matanya.
27
Luksasi Lensa Posterior
Pada trauma tumpul yang keras pada mata dapat terkjadi luksasi lensa
posterior akibat putusnya zonula Zinn di seluruh lingkaran ekuator lensa
sehingga lensa terjatuh ke dalam badan kaca dan tenggelam di dataran bawah
polus posterior fundus okuli.
Pasien akan mengeluh adanya skotoma pada lapang pandangnya akibat
lensa mengganggu kampus. Mata ini akan menunjukkan gejala mata tanpa lensa
atau afakia. Pasien akan melihat normal dengan lensa +12.0 dioptri untuk jauh,
bilik mata depan dalam dan iris tremulans.
Lensa yang terlalu lama pada polus posterior dapat menimbulkan
penyulit akibat degenerasi lensa, berupa glaukoma fakolitik ataupun uveitis
fakotoksik.
Bila luksasi lensa telah menimbulkan penyulit sebaiknya secepatnya
dilakukan ekstraksi lensa.
Katarak Trauma
Katarak akibat cedera pada mata dapat akibat trauma perforasi atau pun
tumpul yang terlihat sesudah beberapa hari ataupun beberapa tahun. Pada trauma
tumpul akan terlihat katarak subkapsular anterior ataupun posterior. Kontusio
lensa menimbulkan katrak seperti bintang, dan dapat pula dalam bentuk katarak
tercetak (imprinting) yang disebut cincin Vossius.
Trauma tembus akan menimbulkan katarak yang lebih cepat, perforasi
kecil akan menutup dengan cepat akibat proliferasi epitel sehingga bentuk
kekeruhan terbatas kecil. Trauma tembus besar pada lensa akan mengakibatkan
terbentuknya katarak dengan cepat disertai dengan terdapatnya masa lensa di
dalam bilik mata depan.
Pada keadaan ini akan terlihat secara histopatologik masa lensa yang
bercampur makrofag dengan cepatnya, yang dapat memberikan bentuk
endoftalmitis fakoanafilaktik. Lensa dengan kapsul anterior saja yang pecah
akan menjerat korteks lensa sehingga akan mengakibatkan ap yang disebut
sebagai cincn Soemering atau bila epitel lensa berproliferasi aktif akan terlihat
mutiara Elsching.
28
Pengobatan katarak traumatik tergantung pada sat terjadinya. Bila terjadi
pada anak, sebaiknya dipertimbangkan akan kemungkinan terjadinya ambliopia.
Untuk mencegah ambliopia pada anak dapat dipasang lensa intra okular primer
aau sekunder.
Pada katarak trauma ila tidak terdapat penyulit, maka dapat ditunggu
sampai mata menjadi tenang. Bila terjadi penyulit seperti glaukoma, uveitis dan
lain sebagainya maka segera dilakukan ekstraksi lensa. Penyulit uveitis dan
glaukoma sering dijumpai pada orang usia tua. Pada beberapa pasien dapat
terbentuk cincin Soemmering pada pupil sehingga dapat mengurangi tajam
penglihatan. Keadaan ini dapat disertai perdarahan, ablasi retina, uveitis atau
salah letak lensa.
Cincin Vossius
Pada trauma lensa dapat terlihat apa yang disebut sebagai cincin Vossius
yang merupakan cincin berpigmen yang terletak tepat di belkang pupil yang
dapat terjadi segera setelah trauma, yang merupakan deposit pigmen iris pada
dataran depan lensa sesudah sesuatu trauma, seperti suatu stempel jari. Cincin
hanya menunjukkan tanda bahwa mata tersebut telah mengalami suatu trauma
tumpul.
3.3.7. Trauma Tumpul Retina dan Koroid
Edema Retina dan Koroid
Trauma tumpul pada retina dapat mengakibatkan edema retina,
penglihatan akan sangat menurun. Edema retina akan memberikan warna retina
yang lebih abu-abu akibat sukarnya melihat jaringan koroid melali retina yang
sembab. Berbeda dengan oklusi arteri rtina sentral dimana terdapat edema retina
kecuali daerah makula, sehingga pada kedaan ini akan terlihat cherry red spot
yang berwarna merah. Edema retina akibat trauma tumpul juga mengakibatkan
edema makula, namun tidak terdapat cherry red spot.
Pada trauma tumpul yang paling ditakutkan adalah terjadi edema makula
atau edema Berlin. Pada keadaan ini akan terjadi edema yang luas sehingga
fundus okuli berwarna abu-abu.
29
Umumnya penglihatan akan normal kembali setelah beberapa waktu,
akan tetapi penglihatan dapat berkurang akibat tertimbunnya daerah makula oleh
sel pigmen epitel.
Ablasi Retina
Trauma diduga merupakan pencetus untuk terlepasnya retina dari koroid
pada penderita ablasi retina. Biasanya pasien telah mempunyai bakat untuk
terjadinya ablasi retina ini, seperti retina tips akibat retinitis semata, miopia, dan
proses degenerasi retina lainnya.
Pada pasien akan terdapat keluhan seperti adanya selaput yang seperti
tabir mengganggu lapang pandanganya. Bila terkena atau tertutup daerah makula
maka tajam penglihatan akan menurun.
Pada pemeriksaan funduskopi akan terlihat retina yang brwarna abu-abu
dengan pembuluh darah yang terlihat terangkat dan berkelok-kelok. Kadang-
kadang terlihat pembuluh darah seperti yang terputus-putus. Pada pasien dengan
ablasi retina maka secepatnya dirawat untuk dilakukan pembedahan oleh dokter
mata.
Ruptur Koroid
Pada trauma keras dapat terjadi perdarahan subretina yang dapat
merupakan akibat ruptur koroid. Ruptur ini biasanya terletak di polus posterior
bola mata dan melingkar konsentris di sekitar papil saraf optik.
Bila ruptur koroid ini terletak atau mengenai daerah makula lutea, maka
tajam penglihatan akan sangat menurun. Ruptur ini bila tertutup oleh perdarahan
subretina agak sukar dilihat kan tetapi bila darah tersebut telah diabsorpsi maka
akan terlihat bagian ruptur berwarna putih karena sklera dapat dilihat langsung
tanpa tertutup koroid.
3.3.8. Trauma Tumpul Saraf Optik
Avulsi Papil Saraf Optik
Pada trauma tumpu dapat terjadi saraf optik terlepas dari
pangkalnya di dalam bola ata yang disebut sebagai avulsi papil saraf optik.
Keadaan ini akan mengakibatkan turunnya tajam penglihatan yang berat dan
30
sering berakhir dengan kebutaan. Penderita ini perlu dirujuk untuk menilai
kelainan fungsi retina dan saraf optiknya.
Optik Neuropati Traumatik
Trauma tumpul dapat mengakibatkan kmpresi pada saraf optik, demikian
pula pendarahan dan edema sekitar saraf optik.
Penglihatan akan berkurang setelah cedera mata. Terdapat reaksi defek
aferen pupil tanpa adanya kelainan nyata pada retina. Tanda lain yang dapat
ditemukan adalah gangguan penglihatan warna dan lapangan pandang. Papil
saraf optik dapat normal beberapa minggu sebelum menjadi pucat.
Diagnosis banding penglihatan turun setelah sebuah cedera mata adalah
trauma retina, perdarahan badan kaca, trauma yang mengakibatkan kerusakan
pada kiasma optik.
Pengobatan adalah dengan merawat pasien pada waktu akut dengan
memberi steroid. Bila penglihatan memburuk setelah steroid aka perlu
dipertimbangkan tindakan pembedahan.
3.4. Trauma Tembus Bola Mata
Trauma tembus terjadi jika mata ditembus oleh benda tajam atau benda
berukuran kecil dengan kecepatan tinggi. Perbedaannya terletak pada luas jejas
yang ditimbulkan oleh agen trauma. Benda tajam seperti pisau akan menyebabkan
laserasi berbatas tegas pada bola mata, sedangkan benda kecil yang bergerak
dengan kecepatan tinggi akan menyebabkan derajat kerusakan dan zona jejas.
Trauma akibat benda berukuran kecil dengan kecepatan tinggi (small
high-velocity particles), misalnya yang ditimbulkan dari proses penggilingan atau
hammering dapat memberikan manifestasi berupa nyeri ringan dan penurunan
visus. Kemosis hemoragik, laserasi konjungtiva, bilik mata depan dangkal dengan
atau tanpa pupil eksentrik, hifema, atau perdarahan vitreous juga dapat terjadi.
Tekanan intraokular dapat rendah, normal, atau sedikit meningkat.
Ablasio retina akibat traksi yang mengikuti trauma tembus merupakan
hasil dari penahanan vitreous dalam luka dan adanya darah dalam vitreous yang
menjadi stimulus terjadinya proliferasi fibroplastik pada bidang yang menahan
vitreous. Kontraksi yang terjadi menyebabkan membran memendek dan berlanjut
31
pada retina bagian perifer di dasar vitreous sehingga akhirnya terjadi ablasio retina
akibat traksi.
Anamnesis
Mekanisme trauma harus ditanyakan dengan rinci dan lengkap
o Bentuk dan ukuran benda penyebab trauma.
o Asal dari objek penyebab trauma.
o Kemungkinan adanya benda asing pada bola mata dan atau pada
orbita.
o Kemungkinan terjadinya trauma pada lokasi pembangunan atau
pengolah metal harus ditanyakan untuk mengarah kepada benda
intraokular metal.
o Benda asing organik yang dapat menimbulkan infeksi.
Keadaan saat terjadinya trauma
o Waktu pasti terjadinya trauma.
o Lokasi terjadinya trauma.
o Penggunaan kacamata koreksi atau pelindung.
o Aksesoris mata yang dapat melindungi atau berkontribusi pada
trauma akut.
o Keadaan miopia berat menyebabkan mata lebih rentan terhadap
trauna kompresi anterior-posterior.
Riwayat Opthalmologi
o Operasi mata sebelumnya, dapat membuat jaringan lebih mudah
ruptur.
o Penglihatan sebelum terjadinya trauma pada kedua mata.
o Penyakit mata yang ada.
o Medikasi yang sedang dijalani termasuk obat tetes mata dan
alergi.
o Status tetanus
o Gejala:
o Nyeri dapat tersamar bila pasien memiliki trauma lain.
32
o Nyeri dapat tidak langsung berat pada trauma tajam, baik
dengan atau tanpa benda asing.
o Penglihatan secara umum berkurang jauh
o Diplopia
Dapat terjadi akibat terjepitnya atau disfungsi otot ekstraokular akibat
trauma pada tulang orbita.
o Akibat truma saraf kranial pada cedera kepala.
o Monokular diplopia akibat dari dislokasi atau subluksasi lensa.
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan segmen posterior mungkin sulit dilakukan karena trauma
yang terjadi dapat menghalangi pemeriksaan segmen posterior. Pemeriksaan harus
dilakukan dengan sistematis dengan tujuan mengidentifikasi dan melindungi
mata.
Hindari kerusakan lebih lanjut dan minimalisasi kemungkinan ekstrusi
intraokular.Ketajaman penglihatan dan gerakan bola mata, sangat penting untuk
dinilai. Tentukan ketajaman penglihatan seakurat mungkin pada masing-masing
mata.Periksa pergerakan bola mata, bila terganggu harus dievaluasi apakah terjadi
fraktur pada lantai orbita.
Periksa adanya deformitas tulang, benda asing, dan dislokasi bola mata.
Benda asing pada mata yang tertanam atau bila terjadi perforasi harus dibiarkan
hingga dilakukan pembedahan.
Palpebra
Pelpebra dan trauma kelenjar lakrimal dapat menunjukan adanya trauma
yang dalam pada mata.
Meskipun hanya terdapat laserasi kecil pada palpebra, masih mungkin
terdapat perforasi bola mata.
Perbaikan palpebra ditunda hingga trauma bola mata ditentukan
penyebabnya.
Konjungtiva
Laserasi konjungtiva dapat terjadi pada kerusakan sklera yang serius.Perdarahan
konjungtiva yang berat dapat mengindikasikan ruptur bola mata.
Kornea dan sklera
33
Laserasi kornea penuh atau yang melibatkan sklera merupakan bagian
dari ruptur bola mata dan harus diperbaiki di kamar operasi. Dapat terjadi prolaps
iris pada laserasi kornea penuh. Tekanan bola mata umumnya rendah, namun
pengukuran merupakan kontraindikasi untuk menghindari penekanan pada bola
mata.
Pupil
Periksa bentuk, ukuran, refleks cahaya, dan afferent pupillary defect
(APD).
Bentuk lancip, tetesan air, atau ireguler bisa terjadi pada ruptur bola mata.
Segmen anterior
Pada pemeriksaan dengan lampu slit, bisa ditemukan defek pada iris,
laserasi kornea, prolaps iris, hifema, dan kerusakan lensa.
Bilik mata depan dangkal dapat menjadi tanda ruptur bola mata dengan
prognosis yang buruk.
Pada ruptur posterior dapat ditemukan bilik mata depan dalam pada
ekstrusi vitreous pada segmen posterior.
Temuan lain
Perdarahan viteous setelah trauma menunjukan adanya robekan retina atau
koroid, avulsi saraf optikus, atau adanya benda asing.
Robekan etina, edema, ablasio, dan hemoragi dapat terjadi pada ruptur
bola mata.
Pemeriksaan penunjang
Foto polos orbita dapat berguna untuk mengevaluasi tulang orbita, sinus
paranasal dan mengidentifikasi benda asing radioopak. Proyeksi waters
menampilkan gambaran yang paling baik dari dasar orbita dan mendeteksi air-
fluid level pada sinus maksila. Proyeksi anteroposterior untuk melihat dinding
medial orbita, dan proyeksi lateral untuk visualisasi atap orbita, sinus maksila dan
frontal, zygoma dan sella tursika.
CT Scan untuk evaluasi struktur intraokuler dan periorbita, deteksi adanya
benda asing intraokuler metalik dan menentukan terdapatnya atau derajat
kerusakan periokuler, keikutsertaan trauma intrakranial misalnya perdarahan
subdural.
34
MRI sangat baik untuk menilai jaringan lunak dan membantu dalam
melokalisasi benda asing non metalik seperti kayu, yang pada CT Scan tampak
sama dengan jaringan lunak atau udara, tetapi pemeriksaan ini kontraindikasi pada
trauma akibat benda asing yang terbuat dari metal.
USG orbita pada keadaan media refraksi keruh untuk mendapatkan
informasi tentang status dari struktur intraokuler, lokalisasi dari benda asing
intraokuler, deteksi benda asing non metalik, deteksi perdarahan koroid, ruptur
sklera posterior, ablasio retina, dan perdarahan sub retina.
Tatalaksana trauma tembus
Langkah awal yang perlu dlakukan adalah menerapkan prinsip umum
bantuan hidup lanjut pada kasus trauma.
Selanjutnya dapat dilakukan sistem skoring untuk menilai trauma mata dan
orbita dan membantu mengidentifikasi setiap pasien yang membutuhkan diagnosis
dan tatalaksana segera. Hal ini sekaligus bertindak sebagai triage dalam upaya
penanganan kasus trauma mata dan orbita.
Salah satu sistem skoring yang sering digunakan adalah Madigan Eye and
Orbit Trauma Scale (MEOTS) yang memiliki beberapa parameter, antara lain:
1. Tajam penglihatan
2. Struktur bola mata
3. Proptosis
4. Pupil dan reaksi pupil terhadap cahaya
5. Motillitas okular
Adapun fungsi dilakukannya penilaian awal dengan sistem skoring
adalah:
- Dapat mendeskripsikan beratnya trauma / luka
- Memberikan pelayanan triage yang efektif
- Membantu dalam hal kesiapan operasi
- Memprediksikan prognosis penglihatan
Prinsip-prinsip perbaikan awal (primary repair)
Teknik yang digunakan tergantung dari beratnya luka dan adanya
komplikasi seperti inkarserasi iris, COA yang datar, dan kerusakan intraokular.
1. Laserasi kornea kecil
35
Tidak membutuhkan penjahitan karena bisa menyembuh sempurna
atau dengan bantuan lensa kontak yang seperti perban lembut.
2. Laserasi kornea ukuran medium
Biasanya membutuhkan jahitan terutama jika COA datar. COA yang
datar dapat kembali berubah semula secara spontan jika kornea telah
dijahit, jika tidak, harus dikembalikan dengan solusio garam seimbang.
Bandage contanct lens post operatif juga berguna selama beberapa hari
untuk meyakinkan bahwa COA tetap dalam.
3. Laserasi kornea dengan inkarserasi iris
Manajemen tergantung dari durasi dan luasnya inkarserasi. Kebocoran
kecil dari inkarserasi yang baru terjadi dapat digantikan oleh konstriksi
pupil dengan intrakamera Miochol. Inkarserasi iris yang besar harus di
absisi terutama jika iris terlihat non-viabel.
4. Laserasi kornea dengan kerusakan lensa
Diterapi dengan menjahit laserasi dan memindahkan lensa
dengan phacoemulsification atau dengan vitreus cutter jika vitreus
terlibat.
Laserasi sklera anterior yang tidak melewati bagian posterior
terhadap insersi otot ekstraokular mempunyai prognosis yang lebih
baik dari pada lesi yang lebih posterior dan melibatkan retina. Luka
pada sklera anterior dapat berhubungan dengan komplikasi serius
seperti prolaps uvea dan inkarserasi vitreus. Inkarserasi vitreus
meskipun dengan manajemen yang tepat, dapat menimbulkan traksi
vitreoretina dan ablasio retina. Setiap usaha harus dikerjakan untuk
reposit jaringan uvea viabel yang terekspos dan memotong vitreus
yang prolaps.
5. Prinsip-prinsip perbaikan awal (primary repair)
36
Teknik yang digunakan tergantung dari beratnya luka dan adanya
komplikasi seperti inkarserasi iris, COA yang datar, dan kerusakan
intraokular.
6. Laserasi sklera posterior
Sering berhubungan dengan kerusakan retina meskipun laserasinya
sangat superfisial. Selama perbaikan, sangat penting tidak berusaha
dengan tekanan yang berlebihan dan traksi pada mata untuk mencegah
atau meminimalkan kehilangan isi dari mata. Juga berguna untuk
sebagai profilaksis terhadap robekan retina.
7. Laserasi sklera posterior
Sering berhubungan dengan kerusakan retina meskipun laserasinya
sangat superfisial. Selama perbaikan, sangat penting tidak berusaha dengan
tekanan yang berlebihan dan traksi pada mata untuk mencegah atau
meminimalkan kehilangan isi dari mata. Juga berguna untuk sebagai profilaksis
terhadap robekan retina.
Perbaikan skunder bagian posterior trauma jika mungkin dilakukan 10-14
hari setelah perbaikan awal. Hal ini akan memberikan waktu tidak hanya bagi
penyembuhan luka tetapi juga untuk perkembangan pemisahan vitreus posterior
dnegan fasilitas mikrosurgery intraokular tertutup. Tujuan utama perbaikan
skunder adalah:
• Untuk menjernihkan keopakan media seperti katarak dan perdarahan
vtreus untuk meningkatkan visus.
• Untuk menstabilkan interaksi vitreoretina yang abnormal dan mencegah
sekuele jangka panjang seperti ablasio retina traksional.
Komplikasi yang dapat terjadi setelah terjadinya trauma tembus adalah
endoftalmitis, panoftalmitis, ablasi retina, perdarahan intraokular, ptisis bulbi, dan
simpatetik oftalmika.
Endoftalmitis dapat terjadi dalam beberapa jam hingga dalam beberapa
minggu tergantung pada jenis mikroorganisme yang terlibat. Endoftalmitis dapat
berlanjut menjadi panoftalmitis.
Simpatetik oftalmika adalah inflamasi yang terjadi pada mata yang tidak
cedera dalam jangka waktu 5 hari sampai 60 tahun dan biasanya 90% terjadi
37
dalam 1 tahun.5 Diduga akibat respon autoimun akibat terekposnya uvea karena
cedera, keadaan ini menimbulkan nyeri, penurunan ketajaman penglihatan
mendadak, dan fotofobia yang dapat membaik dengan enukleasi mata yang
cedera.
1. Asam
Bila bahan asam mengenai mata maka akan segera terjadi pengendapan
ataupun penggumpalan bahan protein permukaan. Biasanya akan terjadi
kerusakan hanya pada bagian superfisial saja.
Pengobatan dilakukan dengan irigasi jaringan yang terkena secepatnya dan
selama mungkin untuk menghilangkan dan melarutkan bahan yang
mengakibatkan trauma.
2. Basa atau alkali
Menurut klasifikasi Thoft maka trauma basa dapat dibedakan dalam:
• Derajat 1 : hiperemi konjungtiva disertai dengan keratitis pungtata
• Derajat 2 : hiperemi konjungtiva disertai dengan hilangnya epitel
kornea
• Derajat 3 : hiperemi konjungtiva disertai dengan nekrosis konjungtiva
dan lepasnya epitel kornea
• Derajat 4 : konjungtiva perilimal nekrosis 50%
Pemeriksaan Oftalmologi , meliputi:
1. Tajam penglihatan
2. Pemeriksaan Lampu celah
3. Tekanan Bola Mata
Diagnosis dan gradasi klinis , ditentukan berdasarkan kerusakan Stemm
Cell Limbus (Hughes) , yaitu :
I. Iskemia Limbus yang minimal atau tidak ada
II. Iskemia kurang dari 2 kuadran limbus
III. Iskemia lebih dari 3 kuadran limbus
IV. Iskemia pada seluruh limbus , seluruh permukaan epitel
konjungtiva dan bilik mata depan.
Tindakan
38
Tindakan tergantung dari 4 fase peristiwa ,yaitu : (2)
1. Fase kejadian ( Immediate )
Tujuan dari tindakan ini adalah menghilangkan materi penyebab sebersih
mungkin , yaitu berupa :
Irigasi benda kimia , meliputi : Pembilasan yang dilakukan segera ,
dengan anestesi topikal terlebih dahulu. Pembilasan dengan larutan non – toxic
(Nacl 0,9 % , Ringer Lactat ) sampai pH air mata kembali normal (dinilai dengan
kertas lakmus). Benda asing yang melekat dan jaringan bola mata yang nekrosis
harus dibuang (pada anak – anak, jika perlu dilakukan pembiasan umum) . Bila
diduga telah terjadi penetrasi bahan kimia kedalam bilik mata dilakukan irigasi
BMD dengan larutan RL.
Fase Akut (sampai hari ke 7)
Tujuan tindakan adalah mencegah terjadinya penyulit dengan prinsip sebagai
berikut :
a. Mempercepat proses re-epitelisasi kornea
b. Mengontrol tingkat peradangan :
Mencegah infiltrasi sel – sel radang
Mencegah pembentukan enzim kolagenase
c. Mencegah Infeksi Sekunder
d. Mencegah peningkatan tekanan bola mata
e. Suplemen /anti oksidan
f. Tindakan Pembedahan
3. Fase Pemulihan Dini (early repair : hari ke 7 – 21 )
Tujuannya : Membatasi penyulit lanjut setelah fase 2
Penyulit :
Hambatan re-epitelisasi kornea ,gangguan fungsi kelopak mata ,
hilangnya sel goblet, ulserasi stroma yang dapat menjadi perforasi kornea.
Fase Pemulihan Akhir (late repair ; setelah hari
Tujuannya:
Rehabilitasi fungsi penglihatan dengan prinsip:
a. Optimalisasi fungsi jaringan mata untuk penglihatan
b. Pembedahan
39
Penyulit:
Disfungsi sel goblet, hambatan re-epitelisasi kornea ,ulserasi stroma
(gradasi III dan IV , katarak).
3.5. Trauma Kimia
Trauma Asam
Asam terdisosiasi menjadi ion-ion Hidrogen dan anion di kornea.
Molekul hidrogen merusak permukaan bola mata dengan merubah pH, sedangkan
anion menyebabkan denaturasi, presipitasi dan koagulasi protein pada epitel –
epitel kornea yang terpajan. Presipitasi dan koagulasi permukaan bola mata
disebut nekrosis koagulatif. Koagulasi protein mencegah terjadinya penetrasi
asam lebih dalam, sehingga bila konsentrasi tidak tinggi tidak akan bersifat
destruktif seperti trauma alkali. Umumnya kerusakan yang terjadi bersifat
nonprogresif dan hanya pada bagian superfisial saja.
Asam hidrofluorat adalah pengecualian dalam kasus trauma akibat asam.
Asam hidrofluorat adalah asam lemah yang dapat melewati membran sel dengan
cepat, dalam keadaan tetap tidak terionisasi, sementara ion fluoride berpenetrasi
lebih baik ke stroma dibanding asam lainnya sehingga menyebabkan kerusakan
yang lebih parah di segmen anterior. Karena itu asam hidrofluorat bekerja seperti
basa, menyebabkan nekrosis liquefactive.6 Ion fluoride yang dilepaskan ke dalam
sel dapat menginhibisi enzim glikolitik dan dapat bergabung dengan kalsium dan
magnesium, membentuk kompleks tidak larut. Nyeri lokal yang hebat diduga
sebagai akibat dari kegagalan imobilisasi kalsium, yang kemudian mendorong
stimulasi syaraf oleh perpindahan potassium.
Komplikasi paling serius dari trauma asam adalah jaringan parut
konjungtiva dan kornea, vaskularisasi kornea, glaukoma dan uveitis. Biasanya
trauma akibat asam akan normal kembali, sehingga tajam penglihatan tidak
banyak terganggu.
Trauma Basa
Basa terdisosiasi menjadi ion hidroksil dan kation di permukaan bola
mata. Ion hidroksil membuat reaksi saponifikasi pada membran sel asam lemak,
40
sedangkan kation berinteraksi dengan kolagen stroma dan glikosaminoglikan.
Jaringan yang rusak ini menstimulasi respon inflamasi, yang merangsang
pelepasan enzim proteolitik, sehingga memperberat kerusakan jaringan. Interaksi
ini menyebabkan penetrasi lebih dalam melalui kornea dan segmen anterior.
Hidrasi lanjut dari glikosaminoglikan menyebabkan kekeruhan kornea.
Kolagenase yang terbentuk akan menambah kerusakan kolagen kornea.
Berlanjutnya aktivitas kolagenase menyebabkan terjadinya perlunakan kornea.
Hidrasi kolagen menyebabkan distorsi dan pemendekan fibril sehingga
terjadi perubahan pada jalinan trabekulum yang selanjutnya dapat menyebabkan
peningkatan tekanan intraokular. Mediator inflamasi yang dikeluarkan pada
proses ini merangsang pelepasan prostaglandin yang juga dapat menyebabkan
peningkatan tekanan intraokular. Basa yang menembus dalam bola mata akan
dapat merusak retina sehingga akan berakhir dengan kebutaan penderita.
Trauma akibat bahan kimia basa akan memberikan akibat yang sangat
gawat pada mata. Basa akan menembus dengan cepat ke kornea, bilik mata depan
dan sampai pada jaringan retina. Proses yang terjadi disebut nekrosis liquefactive.
Bahan akustik soda dapat menembus ke dalam bilik mata depan dalam waktu 7
detik.
Penyulit yang dapat ditimbulkan oleh trauma basa adalah simblefaron,
kekeruhan kornea, edema dan neovaskularisasi kornea, katarak, disertai dengan
terjadi ftisis bola mata 1 Penyulit jangka panjang dari luka bakar kimia adalah
glaukoma sudut tertutup, pembentukan jaringan parut kornea, simblefaron,
entropion, dan keratitis sika.
Patogenesis
Bahan asam dan basa menyebabkan trauma dengan mekanisme yang
berbeda. Baik bahan asam (pH<4) dan alkali (pH>10) dapat menyebabkan
terjadinya trauma kimia. Kerusakan jaringan akibat trauma kimia ini secara primer
akibat proses denaturasi dan koagulasi protein selular, dan secara sekunder
melalui kerusakan iskemia vaskular. Bahan asam menyebabkan terjadinya
nekrosis koagulasi dengan denaturasi protein pada jaringan yang berkontak. Hal
ini disebabkan karena bahan asam cenderung berikatan dengan protein jaringan
dan menyebabkan koagulasi pada epitel permukaaan. Timbulnya lapisan
41
koagulasi ini nerupakan barier terjadinya penetrasi lebih dalam dari bahan asam
sehingga membatasi kerusakan lebih lanjut. Oleh karena itu trauma asam sering
terbatas pada jaringan superfisial.
Terdapat pengecualian yaitu asam hidrofluorik yang dapat menyebabkan
nekrosis likuefaksi yang mirip pada alkali. Bahan asam hidrofluorik ini dapat
dengan cepat menembus kulit sampai ke pembuluh darah sehingga terjadi
diseminasi ion fluoride. Ion fluoride ini kemudian mempresipitasi kalsium
sehingga menyebabkan hipokalsemi dan metastasis kalsifikasi yang dapat
mengancam jiwa.
Bahan alkali dapat menyebabkan nekrosis likuefaksi yang potensial lebih
berbahaya dibandingkan bahan asam. Larutan alkali mencairkan jaringan dengan
jalan mendenaturasi protein dan saponifikasi jaringan lemak. Larutan alkali ini
dapat terus mempenetrasi lapisan kornea bahkan lama setelah trauma terjadi.
Kerusakan jangka panjang pada konjungtiva dan kornea meliputi defek
pada epitel kornea, simblefaron serta pembentukan jaringan sikatriks. Penetrasi
yang dalam dapat menyebabkan pemecahan dan presipitasi glikosaminoglikan dan
opasitas lapisan stroma kornea. Jika terjadi penetrasi pada bilik mata depan, dapat
terjadi kerusakan iris dan lensa. Kerusakan epitel silier dapat menggangu sekresi
asam askorbat yang diperlukan untuk produksi kolagen dan repair kornea. Selain
itu dapat terjadi hipotoni dan ptisis bulbi.
Proses penyembuhan dapat terjadi pada epitel kornea dan stroma melalui
proses migrasi sel epitel dari stem cells pada daerah limbus. Kolagen stroma yang
rusak akan difagositosis dan dibentuk kembali.
Klasifikasi derajat berat trauma kimia
Ada 2 jenis klasifikasi derajat trauma kimia yang sering digunakan pada praktek
sehari-hari.
Derajat beratnya trauma kimia (menurut Roper-Hall) dibagi atas : 3
Grade I : kornea jernih, tidak terdapat iskemia limbus (prognosis sangat baik)
Grade II : kornea hazy tetapi detail iris masih tampak, dengan iskemia
limbus < sepertiga (prognosis baik)
Grade III :detail iris tidak terlihat, iskemia limbus antara sepertiga sampai
setengah
42
Grade IV : kornea opak, dengan iskemia limbus lebih dari setengah (prognosis
sangat buruk)
Gradasi klinis berdasarkan kerusakan stem sel limbus (menurut kriteria Hughes),
yang digunakan di departemen mata RSCM yaitu :
I. Iskemia limbus yang minimal atau tidak ada
II. Iskemia kurang dari 2 kuadran limbus
III. Iskemia lebih dari 3 kuadran limbus
IV. Iskemia pada seluruh limbus, seluruh permukaan epitel konjungtiva dan
bilik mata depan
Selain pembagian tersebut diatas, khusus untuk trauma basa dapat diklasifikasikan
menurut Thoft menjadi :
o Derajat 1 : hiperemi konjungtiva disertai dengan keratitis pungtata
o Derajat 2 : hiperemi konjungtiva disertai dengan hilangnya epitel kornea
o Derajat 3 : hiperemi disertai dengan nekrosis konjungtiva dan lepasnya epitel
kornea
o Derajat 4 konjungtiva perilimal nekrosis sebanyak 50%
Gejala klinis
Diagnosis trauma kimia pada mata lebih sering didasarkan pada anamnesis
dibandingkan atas dasar tanda dan gejala. Pasien biasanya mengeluhkan nyeri
dengan derajat yang bervariasi, fotofobia, penurunan penglihatan serta adanya
halo di sekitar cahaya.
Umumnya pasien datang dengan keluhan adanya riwayat terpajan cairan atau gas
kimia pada mata. Keluhan pasien biasanya nyeri setelah terpajan, rasa mengganjal
di mata, pandangan kabur, fotofobia, mata merah dan rasa terbakar.
Jenis bahan sebaiknya digali, misalnya dengan menunjukkan botol bahan kimia,
hal ini dapat membantu menentukan jenis bahan kimia yang mengenai mata.
Waktu dan durasi dari pajanan, gejala yang timbul segera setelah pajanan, serta
penatalaksanaan yang telah diberikan di tempat kejadian juga merupakan
anamnesis yang dapat membantu dalam diagnosis.
Pemeriksaan Fisik
43
Pemeriksaan fisik yang cermat harus ditunda setelah dilakukan irigasi yang
banyak pada mata yang terkena dan PH mata telah netral. Setelah dilakukan
irigasi, dilakukan pemeriksaan dengan seksama terutama melihat kejernihan dan
integritas kornea, iskemia limbus dan tekanan intraokular. Pemeriksaan dapat
dilakukan dengan pemberian anestesi topikal.
Tanda-tanda yang dapat ditemui pada pemeriksaan fisik dan oftalmologi adalah :
Defek epitel kornea, dapat ringan berupa keratitis pungtata sampai
kerusakan seluruh epitel. Kerusakan semua epitel kornea dapat tidak
meng-up take fluoresin secepat abrasi kornea sehingga dapat tidak
teridentifikasi.
Kekeruhan kornea yang dapat bervariasi dari kornea jernih sampai
opasifikasi total sehingga menutupi gambaran bilik mata depan.
Perforasi kornea. Sangat jarang terjadi, biasa pada trauma berat yang
penyembuhannya tidak baik.
Reaksi inflamasi bilik mata depan, dalam bentuk flare dan cells. Temuan ini biasa
terjadi pada trauma basa dan berhubungan dengan penetrasi yang lebih dalam.
Peningkatan tekanan intraokular
Kerusakan / jaringan parut pada adneksa. Pada kelopak mata hal ini
menyebabkan kesulitan menutup mata sehingga meng-exspose
permukaan bola yang telah terkena trauma.
Inflamasi konjungtiva.
Iskemia perilimbus
Penurunan tajam penglihatan . Terjadi karena kerusakan epitel, kekeruhan
kornea, banyaknya air mata.
Pada trauma derajat ringan sampai sedang biasanya yang dapat ditemukan berupa
kemosis, edema pada kelopak mata, luka bakar derajat satu pada kulit sekitar,
serta adanya sel dan flare pada bilik mata depan. Pada kornea dapat ditemukan
keratitis punktata sampai erosi epitel kornea dengan kekeruhan pada stroma.
Sedangkan pada derajat berat mata tidak merah, melainkan putih karena terjadinya
iskemia pada pembuluh darah konjungtiva. Kemosis lebih jelas, dengan derajat
luka bakar yang lebih berat pada kulit sekitar mata, serta opasitas pada kornea.
44
3.6. Trauma karena Agen Fisis
Trauma radiasi yang sering ditemukan adalah :
a. Sinar Inframerah
Akan mengakibatkan keratitis superfisial , katarak kortikal antero –
posterior dan koagulasi pada koroid , bergantung pada beratnya lesi akan terdapat
skotoma sementara atau permanen. Tidak ada pengobatan terhadap akibat buruk
yang sudah terjadi kecuali mencegah terkenanya mata oleh sinar infra merah ini.
Pengobatannya diberikan steroid sistemik dan lokal untuk mencegah
terbentuknya jaringan parut pada makula atau untuk mengurangi gejala radang
yang timbul.
b. Sinar Ultraviolet
Pasien yang terkena sinat ultraviolet akan memberi keluhan 4 – 10 jam
setelah trauma , pasien akan merasa matanya sangat sakit , mata seperti kelilipan
atau kemasukan pasir , fotofobia ,blefarospasme dan konjungtiva kemotik. Kornea
akan menunjukkan adanya infiltrat pada permukaannya , yang kadang – kadang
disertai kornea yang keruh dan uji fluoresein positif , keratitis yang terjadi
terutama terdapat dalam fisura palpebra, pupil akan terlihat miosis dan tajam
penglihatan akan terganggu.
Keratitis ini dapat sembuh tanpa cacat , akan tetapi bila radiasi berjalan
lama kerusakan dapat permanen sehingga memberikan kekeruhan pada kornea.
Pengobatan yang diberikan adalah sikloplegik , antibiotika lokal , analgetik dan
mata ditutup selama 2 – 3 hari , biasanya sembuh selama 48 jam.
c. Sinar X dan sinar terionisasi
Dapat mengakibatkan katarak dan rusaknya retina.
3.7. Corpus Aileum
Pada keadaan diduga adanya benda asing magnetik intraokular perlu
diambil riwayat terjadinya trauma dengan baik. Benda asing intraokular yang
magnetik ataupun tidak, akan memberikan gangguan pada tajam penglihatan.
45
Akan terlihat kerusakan kornea, lensa, iris, ataupun sklera yang merupakan tempat
jalan masuknya benda asing ke dalam bola mata.
Bila pada pemeriksaan pertama lensa masih jernih maka untuk melihat
kedudukan benda asing dalam bola mata dilakukan pelebaran pupil dengan
midriatika. Pemeriksaan funduskopi sebaiknya segera dilakukan karena bila lensa
terkena maka lensa akan menjadi keruh secara perlahan-lahan sehingga
memberikan kesukaran untuk melihat jaringan belakang lensa.
Pemeriksaan radiologik akan memperlihatkan bentuk dan besar benda
asing yang terletak intraokular. Bila pada pemeriksaan radiologik dipakai cincin
Flieringa atau lensa kontak Comberg akan terlihat benda bergerak bersama
dengan pergerakan bola mata.
Untuk menentukan letak benda asing ini dapat dilakukan pemeriksaan
tambahan lain yaitu dengan metal locator. Pemeriksaan ultrasonografi digunakan
untuk pemeriksaan yang lebih menentukan letak dan gangguan terhadap jaringan
sekitar lainnya.
Terapi Benda Asing
Pengobatan pada benda asing intraokular ialah dengan mengeluarkannya
dan dilakukan dengan perencanaan pembedahan agar tidak memberikan
kerusakan yang lebih berat terhadap bola mata.
Benda asing pada kornea harus diangkat dengan jarum dengan pemberian
anestesi topikal, tetapi kadang masih tetap tersisa cincin korosi dan dapat
dihilangkan dengan bur kecil.
Objek subtarsal seringkali disapu dengan cotton bud dari kelopak mata
yang dieversi. Pasien kemudian diterapi seperti pada abrasi. Jika terdapat petunjuk
bahwa benda asing telah menembus bola mata, maka mata harus diperiksa secara
teliti dengan dilatasi pupil sehingga lensa dan retina dapat dilihat dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Asbury T, Sanitato JJ. Trauma. In : Vaughan DG, Asbury T, Eva PR, editors.
Oftalmologi Umum. Edisi ke 14. Jakarta, Penerbit Widya Medika.
1996.p.380-8.
46
Doshi, A.B., Liu, J.H.K., Weinreb, R.N., 2010. Glaucoma is a 24/7 Disease. In:
Schacknow, P.N., Samples, J.R., ed. The Glaucoma Book. USA: Springer,
55-58.
Ilyas, S. Yulianti, S.R. 2011. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 4. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.
Kanksi JJ. Glaucoma. In: Kanski JJ, editor. Clinical ophtalmology a systemic
approach. 4th edition. Oxford: Butterworth Heinemann; 2000. p. 206-9.
Simmons, S.T., et al, 2007. Introduction to Glaucoma: Terminology,
Epidemiology, and Heredity. In: Tanaka, S., ed. Glaucoma. Singapore:
American Academy of Ophthalmology, 3-15.
Vaughan D. and Riordan-Eva P. 2007. General ophtalmology. 17th edition. USA:
The McGraw-Hill Companies. Chapter 1: Anatomy and Embriology of
The Eye.
47