pendahuluan
TRANSCRIPT
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Paradigma pembangunan kehutanan yang selama ini lebih menekankan
aspek ekonomi dalam rangka mendukung pertumbuhan perekonomian nasional,
ternyata telah menyebabkan kerusasakan sumberdaya hutan yang sangat parah.
Dengan dalih mendukung pertumbuhan perekonomian nasional, berbagai pihak
seakan berlomba, baik secara legal maupun secara illegal, untuk meningkatkan
upaya-upaya eksploitasi sumberdaya alam tanpa mengindahkan kaidah-kaidah
yang berkaitan dengan keberlanjutan atau kelestarian sumberdaya alam itu sendiri.
Sejalan dengan itu, warga masyarakat di sekitar hutan juga melakukan tindakan
perladangan dan perambahan kawasan hutan untuk kepentingan usaha-usaha
komoditas yang berotasi atau berjangka usaha pendek dalam rangka memenuhi
kebutuhan bahan pangan yang dalam banyak kasus telah menimbulkan semakin
luasnya lahan kritis dan atau lahan-lahan yang tidak produktif.
Dengan berakhirnya masa pemerintahan orde baru yang diikuti dengan
bergulirnya era reformasi, paradigma tersebut di atas telah mengalami pergeseran
dengan lebih memberi penekanan pada aspek pelestarian lingkungan dan aspek
sosial. Khusus untuk Propinsi Sulawesi Selatan, Pemerintah Daerah melalui
Propeda 2001-2005, telah mencanangkan penataan pola pengelolaan sumberdaya
alam dan lingkungan sebagai salah satu program utama pembangunan daerah
yang sekaligus juga diharapkan dapat mendukung peningkatan ekonomi wilayah
secara berkesinambungan.
Hutan Rakyat di Sulawesi Selatan, termasuk di Kabupaten Tana Toraja,
telah dibangun dalam skala yang besar sejak tahun 1976 baik melalui swadaya
masyarakat maupun melalui Program Bantuan Penghijauan. Produksi hutan rakyat
tersebut selama ini telah berperan secara nyata dalam pemenuhan berbagai
kebutuhan kayu; mulai dari kayu bakar, bahan untuk kelengkapan sarana upacara-
upacara keagamaan / adat, bahan bangunan. Produksi kayu dari hutan rakyat ini
semakin menjadi andalan dalam upaya pemenuhan kebutuhan kayu masyarakat,
sejalan dengan semakin menurunnya produksi kayu rimba dari hutan alam.
Khusus di Kabupaten Tana Toraja, berdasarkan catatan Dinas Kehutanan
Kabupaten Tana Toraja, terdapat areal hutan rakyat seluas 77.154,22 Ha, yang
terdiri atas hutan bambu murni dan hutan bambu campuran masing-masing seluas
5.897,15 Ha dan 10.890,40, Hutan Kebun campuran seluas 47.154,22 Ha dan
1
Hutan Pinus murni seluas 12.510,40 Ha. Pembangunan hutan-hutan bambu dan
hutan kebun campuran telah dilakukan oleh masyarakat Tana Toraja jauh sebelum
Program Penghijauan dicanangkan oleh Pemerintah, dan malahan keberadaannya
tidak bisa dipisahkan dari sejarah keberadaan masyarakat Toraja. Hutan-hutan ini
telah menjadi pemasok berbagai kebutuhan kayu setempat, termasuk untuk
memenuhi kebutuhan pembangunan Rumah Adat, yang bahannya 100% terdiri dari
kayu dan bambu. Dari data dinas kehutanan tersebut diatas dapat diketahui bahwa
selain hutan kebun campuran hutan pinus memiliki areal yang sangat luas untuk
jenis yang homogen dibanding dengan jenis lainnya.
Menyangkut hutan pinus, yang merupakan hasil Program Penghijauan
tahun 1976, pemanfaatannya baru mulai dicanangkan beberapa tahun terakhir, oleh
masyarakat dan Pemerintah Kabupaten Tana Toraja. Selama puluhan tahun
tanaman ini selain dianggap bernilai ekonomi rendah, juga peruntukannya bagi
kepentingan hidro-orologis yang harus tetap dipertahankan karena tanaman
tersebut tumbuh dan berada pada lahan-lahan yang tergolong kedalam kawasan
lindung dan kawasan penyangga.
Pemanfaatan tanaman pinus di Tana Toraja yang dimaksudkan di atas
antara lain didorong oleh dua hal sebagai berikut :
1. Semakin terbatasnya bahan baku kayu dari hutan alam pada satu pihak, dan
adanya kemajuan di bidang teknologi kayu yang dapat meningkatkan nilai
ekonomi dan nilai guna dari kayu-kayu lunak (termasuk pinus), pada pihak lain.
Hal ini telah menyebabkan para pengelola indusri perkayuan melirik kayu-kayu
dari hutan tanaman, termasuk tanaman pinus yang ada di Tana Toraja, untuk
memenuhi kebutuhan bahan baku industrinya.
2. Hal yang dimaksudkan di atas merupakan peluang bagi masyarakat pemilik
hutan rakyat, khususnya hutan pinus. Hutan pinus yang selama ini dianggap
tidak dapat memberikan manfaat ekonomi yang cukup bermakna kepada
pemiliknya, berubah menjadi sebuah asset sumber dana untuk memenuhi
berbagai kepentingan.
Perubahan nilai dan pemahaman tentang tanaman pinus tersebut di atas,
jika tidak dikelola dengan baik, potensil akan menyebabkan ludesnya tanaman
pinus dalam waktu yang tidak terlalu lama. Para pemilik dan juga pihak-pihak yang
terkait dengan pemanfaatan tanaman pinus cenderung akan mengejar kepentingan
jangka pendek. Mereka cenderung tidak lagi mau memikirkan bahwa kondisi hutan
tanaman pinus yang ada saat ini tercipta melalui proses ekologis selama puluhan
tahun.
2
Dalam rangka pengelolaan hutan rakyat dan pemanfaatan kayu pinus hasil
tanaman rakyat di Tana Toraja, Pemerintah Kabupaten telah memberi izin kepada
beberapa perusahaan dengan sejumlah pembatasan dan persyaratan. Namun
sejumlah pihak, khususnya Lembaga Swadaya Masyarakat dan Pemerhati
Lingkungan, menyangsikan kesanggupan dan kesungguhan perusahaan pemegang
izin untuk memenuhi pembatasan dan persyaratan tersebut. Mereka menyatakan
keyakinannya bahwa pengelolaan dan pemanfaatan tanaman pinus tersebut akan
menimbulkan dampak negatif yang nilainya mungkin lebih besar dari manfaat
finansil yang diperoleh dari usaha pemanfaatan termaksud, sehingga mereka
menuntut agar usaha pemanfaatan tersebut dihentikan. Bertolak dari tuntutan ini
pulalah maka Pemerintah Kabupaten telah menghentikan kegiatan penebangan
tanaman pinus selama beberapa bulan terakhir.
Penghentian kegiatan penebangan tersebut di atas untuk jangka waktu
lama bermakna memperlakukan hutan tanaman pinus di Tana Toraja sebagai asset
yang tidak dapat memberikan manfaat ekonomi bagi pemiliknya dan bagi
pemerintah kabupaten. Hal ini mengindikasikan suatu ketidakadilan, oleh karena
tanaman pinus yang telah dipelihara selama puluhan tahun justru tidak dapat
dimanfaatkan oleh pihak yang memeliharanya. Hal yang semestinya diberlakukan
adalah memberi kemungkinan kepada pihak pemilik dan pemerintah kabupaten
untuk memanfaatkan tanaman tersebut, berdasarkan prinsip kelestarian hasil dan
manfaat. Upaya pemanfaatan termaksud mempersyaratkan suatu perencanaan
jangka panjang dan jangka menengah yang didasarkan atas data yang akurat dan
komprehensif.
Perumusan Masalah
Dalam rangka menyongsong pemberlakuan otonomi daerah, Pemerintah
Kabupaten Tana Toraja beserta segenap lapisan masyarakatnya telah bertekad
untuk menumbuhkembangkan kemandirian lokal yang secara bertahap diharapkan
dapat dapat mengantarkan Kabupaten Tana Toraja untuk dapat semakin bertumpu
pada potensi yang dimilikinya dalam menapaki kemajuan demi kemajuan guna
mewujudkan kehidupan masyarakat yang sejahtera, damai dan berkeadilan.
Sehubungan dengan itu maka salah satu hal yang harus dilakukan adalah
melakukan identifikasi segenap potensi yang dimiliki, yang diikuti dengan
perumusan langkah-langkah dan kebijakan yang harus diambil untuk menjamin
optimalisasi pendayagunaan dari setiap potensi yang dimiliki.
3
Salah satu potensi yang dimiliki Kabupaten Tana Toraja yang sampai saat ini
belum dimanfaatkan secara optimal adalah tanaman Pinus. Tanaman tersebut
adalah hasil penanaman kegiatan reboisasi dan tanaman rakyat yang
dikembangkan dalam skala yang relatif besar sejak awal tahun tujuhpuluhan
sampai pertengahan delapanpuluhan. Namun pemanfaatan tanaman pinus ini harus
direncanakan dan dilaksanakan sebaik mungkin mengingat Kabupaten Tana Toraja
berada pada wilayah Hulu DAS Saddang yang notabenenya adalah kawasan
lindung dan apabila dilakukan penebangan dengan sembarangan maka akan dapat
mengakibatkan bahaya yang sangat besar bagi wilayah hilir dalam wilayah DAS
tersebut
Untuk mengatasi hal ini diperlukan suatu strategi yang memungkinkan
semua pihak terkait dapat berperanserta secara aktif dan positif, untuk menyusun
strategi tersebut diperlukan informasi yang baik mengenai perkembangan
pembangunan dan potensi hutan rakyat pinus di Kabupaten Tana Toraja. Dengan
informasi ini diharapkan bahwa “potensi hutan rakyat dan potensi merusak
sumberdaya hutan” dari sebagaian warga masyarakat dapat diubah menjadi
kekuatan yang mendukung pembangunan hutan secara berkelanjutan.
Maksud dan Tujuan
Tulisan ini dibuat dengan maksud untuk mengkaji pemanfaatan hutan
rakyat yang telah dilakukan selama ini yang dapat digunakan sebagai salah satu
acuan untuk menyusun rencana pemanfaatan yang dapat menjamin manfaat
perlindungan kawasan disamping manfaat ekonomi, baik bagi para pemilik hutan
rakyat maupun bagi daerah. Adapun tujuan dari tulisan ini adalah untuk :
1. Memberikan data / informasi tentang kondisi dan perkembangan pengelolaan
hutan rakyat di Kabupaten Tana Toraja, yang dilakukan selama ini
2. Memberikan data dan informasi tentang potensi hutan rakyat, dan metode
pengelolaan yang mungkin gai tanaman pinus rakyat yang ada di Kabupaten
Tana Toraja
3. Menyusun acuan rencana pemanfaatan hutan rakyat, khususnya tanaman
pinus, yang dapat menjamin kelestarian hutan rakyat yang bersangkutan
beserta kesinambungan manfaat bagi perlindungan ekosistem wilayah.
4
TINJAUAN PUSTAKA
Hutan Rakyat
Tekanan terhadap sumberdaya hutan yang disebabkan oleh eksploitasi
yang berlebihan mengakibatkan sumberdaya hutan tidak mampu lagi memberikan
manfaat yang optimal bahkan sebaliknya menyebabakan kerusakan dan
menurunnya produktivitas sumberdaya hutan tersebut. Alternatif pemecahan dari
masalah ini salah satunya adalah memanfaatkan dan membangun hutan rakyat.
Praktek pengelolaan hutan adat menurut Suhendang (2004) sudah ada dalam
sistem kearifan lokal yang berkembang dalam berbagai masyarakat adat yang ada
di Indonesia.
UU Kehutanan No. 41 Tahun 1999 menyebutkan bahwa hutan rakyat
adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik. Menurut
Hardjosudiro dalam Hendarto (2003) hutan rakyat (farm forest) adalah hutan yang
tidak berada pada lahan yang dikuasai pemerintah , jadi hutan rakyat merupakan
hutan yang dimiliki oleh rakyat. Lebih lanjut Harjanto (2000) mengemukan bahwa
hutan rakyat merupakan hutan yang dimiliki oleh masyarakat yang dinyatakan oleh
kepemilikan lahan, karenanya hutan rakyat juga disebut hutan milik. Hutan rakyat ini
di Indonesia hanya merupakan bagian kecil dari total luas hutan tetapi tetap penting
karena selain fungsinya untuk perlindungan tata air pada lahan-lahan masyarakat,
juga penting bagi pemiliknya sebagai sumber penghasil kayu maupun sumber
pendapatan rumahtangga, disamping hasil-hasil lain seperti buah-buahan, daun,
kulit kayu, biji dan sebagainya. Hutan Rakyat diharapkan mampu mengembalikan
relasi harmonis antara manusia dan alam, ekologi dan ekonomi dan juga
mengintegrasikan unsur-unsur kehidupan yang lain seperti masyarakat sipil,
demokrasi, moralitas, kebudayaan dan spiritualitas. Menurut Sumarna (2001)
penanaman pepohonan di tanah milik masyarakat oleh pemiliknya, yang
tanamannya sekarang dikenal sebagai hutan rakyat, merupakan salah satu butir
kearifan masyarakat agraris dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhan rumah
tangganya. Dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk berikut kebutuhannya,
serta semakin terbatasnya kepemilikan tanah, peran hutan rakyat bagi
kesejahteraan masyarakat semakin penting. Pengetahuan tentang kondisi tanah
dan faktor-faktor lingkungannya untuk dipadukan dengan pengetahuan mengenai
jenis-jenis pohon yang akan ditanam untuk mendapatkan hasil yang diharapkan
5
oleh pemilik lahan, merupakan faktor yang menentukan keberhasilan pembangunan
hutan rakyat
Masyarakat Adat dan Hutan Rakyat
Masyarakat adat, yang diperkirakan paling sedikit 30 juta jiwa di antaranya
berada di dalam di sekitar hutan, adalah salah satu kelompok utama penduduk
negeri ini yang menjadi korban politik pembangunan Rejim Orde Baru. Penindasan
terhadap masyarakat adat ini terjadi baik di bidang ekonomi, politik, hukum, maupun
di bidang sosial dan budaya lainnya. Kondisi ini menjadi demikian ironis karena
pada kenyataannya masyarakat adat merupakan elemen terbesar dalam struktur
negara–bangsa (nation-state) Indonesia. Namun dalam hampir semua keputusan
politik nasional, eksistensi komunitas-komunitas adat ini belum terakomodasikan,
atau bahkan secara sistematis disingkirkan dari proses-proses dan agenda politik
nasional. Perlakuan tidak adil ini bisa dilihat dengan sangat gamblang dari
pengkategorian dan pendefinisian sepihak terhadap masyarakat adat sebagai
"masyarakat terasing", "peladang berpindah", "masyarakat rentan", "masyarakat
primitif' dan sebagainya, yang mengakibatkan percepatan penghancuran sistem dan
pola kehidupan mereka, secara ekonomi, politik, hukum maupun secara sosial dan
kultural (Nababan 2003).
Menurut Pemerintah Kabupaten Tana Toraja (2005) yang dikenal sebagai
hutan rakyat di Tana Toraja pada umumnya adalah hutan yang diwariskan secara
turun temurun yang merupakan milik Tongkonan (Rumah Adat Toraja) yang
diberikan/diwariskan kepada keluarga yang merupakan turunan dari tongkonan
tersebut untuk dikelola secara bersama-sama dengan anggota keluarga lainnya dari
tongkonan yang sama. Jadi Hutan Rakyat yang ada di Toraja bukan milik individu
tetapi merupakan milik bersama.
Otonomi Daerah
Otonomi daerah pada dasarnya diharapkan dapat menjadi jalan keluar atau
jawaban terhadap berbagai krisis multidimensi yang selama ini mendera
masyarakat dan bangsa Indonesia sebagai akibat dari sistem pemerintahan
sentralistik, yang pelaksanaannya sarat dengan ketidakadilan meskipun kandungan
keadilan dalam konsepsinya dapat terbaca dalam hampir setiap rumusan
kebijaksanaannya. Melalui kebijaksanaan pemerintah daerah, persoalan-persoalan
terrsebut diharapkan dapat diatasi dengan baik.
6
Pada bidang pembangunan kehutanan, karasteristik kebijakan kehutanan
akan bersifat khas setempat (local specifik) dengan mengakomodasikan aspirasi
arus bawah (bottom-up). Kompleksitas persoalan kehutanan klasik yang selama ini
tidak mampu ditangani oleh pemerintah pusat (seperti konflik kawasan hutan,
penebangan liar, penyelundupan kayu, perambahan hutan, kebakaran hutan dan
lain-lain) diyakini akan dapat diselesaikan melalui kebijakan otonomi daerah. Selain
itu, otonomi pengelolaan sumberdaya hutan juga diyakini akan mewujudkan suatu
bentuk keadilan ekonomi hutan, khususnya melalui restribusi hasil hutan.
Pemerintah daerah dan masyarakatnya diproyeksikan memperoleh berbagai
manfaat sumberdaya hutan secara lebih proporsional dan signifikan (Sutradjad,
2002).
Pemberlakuan otonomi daerah dalam kenyataannya telah membawa
perubahan pada pengelolaan hutan di Indonesia. Namun perubahan yang dimaksud
justru tidak sesuai dengan yang dikehendaki oleh Undang-Undang yang menjadi
landasan otonomi daerah (UU No. 22/1999 dan UU No.25/1999) serta tidak selaras
dengan Undang-Undang tentang Kehutanan (UU No. 41/1999). Laporan-laporan
dari berbagai pihak mengindikasikan bahwa laju kerusakan hutan di era otonomi
daerah ini semakin tinggi oleh karena aktivitas ekploitasi tidak diimbangi oleh
aktivitas pelestariannya (Sutradjad, 2002).
Selanjutnya, Sudradjad (2002) mengemukakan bahwa paling tidak
terdapat 21 isu strategis yang menjadi wacana “para pemain otonomi”. Ke-21 isu
tersebut dapat digolongkan kedalam tujuh aspek, yakni (a). aspek peraturan
perundang-undangan, (b). aspek kelembagaan, (c). Aspek SDM, (d). Aspek
komunikasi, (e). Aspek persepsi, (f). Aspek ekonomi, serta (g). Aspek politis dan
potensi komplik.
Pembangunan kehutanan dan khususnya pembangunan hutan rakyat
sebagai bagian integral dari pembangunan daerah dan bahkan pembangunan
nasional tentunya tidak bebas dari isu-isu tersebut. Hal ini bermakna bahwa
penyusunan strategi pembangunan hutan rakyat ke depan perlu memperhatikan
dan mempertimbangankan isu-isu dan ketujuh aspek termaksud.
7
METODE ANALISIS
Cakupan Wilayah Penulisan
Penelitian ini pada dasarnya dimaksudkan untuk menjelaskan sejarah dan
kondisi pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Tana Toraja, khususnya hutan
rakyat pinus yang mempunyai potensi yang sangat besar.
Jenis data yang dikumpulkan
Data yang dikumpulkan, dilakukan melalui penelusuran laporan atau
dokumen lainnya, antara lain meliputi :
a. Sejarah perkembangan dan program-program pembangunan hutan rakyat
beserta tingkat keberhasilan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
b. Pihak-pihak yang terlibat, langsung ataupun tidak langsung, dalam pelaksanaan
program tersebut.
c. Kondisi budaya dan sosial ekonomi masyarakat beserta tingkat
ketergantungannya pada lahan hutan.
d. Bentuk, sifat dan cara keterlibatan warga masyarakat dalam aktivitas
pembangunan dan pengelolaan hutan rakyat.
Metode Analisis
Karena penulisan ini bersifat penelusuran dokumen-dokumen pustaka
maka metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini lebih bersifat deskriptif
kualitatif yang hanya menggambarkan perkembangan hutan rakyat di Kabupaten
Tana Toraja.
8
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sejarah Perkembangan Hutan Rakyat Di Kabupaten Tana Toraja
Kabupaten Tana Toraja adalah merupakan kabupaten yang terletak pada
bagian paling hulu dari DAS Saddang yang merupakan salah satu DAS terluas di
Propinsi Sulawesi Selatan. Konon, leluhur orang Toraja adalah manusia yang
berasal dari nirwana, mitos yang tetap melegenda turun temurun hingga kini secara
lisan dikalangan masyarakat Toraja ini menceritakan bahwa nenek moyang
masyarakat Toraja yang pertama menggunakan "tangga dari langit" untuk turun dari
nirwana, yang kemudian berfungsi sebagai media komunikasi dengan Puang Matua
(Tuhan Yang Maha Kuasa). Nama Toraja mulanya diberikan oleh suku Bugis
Sidendereng dan dari luwu. Orang Sidendreng menamakan penduduk daerah ini
dengan sebutan To Riaja yang mengandung arti "Orang yang berdiam di negeri
atas atau pegunungan", sedang orang Luwu menyebutnya To Riajang yang artinya
adalah "orang yang berdiam di sebelah barat". Ada juga versi lain bahwa kata
Toraya asal To = Tau (orang), Raya = dari kata Maraya (besar), artinya orang orang
besar, bangsawan. Lama-kelamaan penyebutan tersebut menjadi Toraja, dan kata
Tana berarti negeri, sehingga tempat pemukiman suku Toraja dikenal kemudian
dengan Tana Toraja. Konon manusia yang turun ke bumi, telah dibekali dengan
aturan keagamaan yang disebut aluk. Aluk merupakan aturan keagamaan yang
menjadi sumber dari budaya dan pandangan hidup leluhur suku Toraja yang
mengandung nilai-nilai religius yang mengarahkan pola-pola tingkah laku hidup dan
ritual suku Toraja untuk mengabdi kepada Puang Matua. Dalam penelitian pada
hakekatnya aluk merupakan budaya/aturan hidup yang dibawa kaum imigran dari
dataran Indo Cina pada sekitar 3000 tahun sampai 500 tahun sebelum masehi.
Dalam sejarah perkembangannya kabupaten ini merupakan salah satu
kabupaten yang masih tetap melestarikan budayanya yang merupakan salah satu
budaya tertua di Sulawesi bahkan di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari keunikan
budaya masyarakatnya yang sampai saat ini masih tetap dipelihara antara lain
upaca adat berupa upacara rambu tuka’ (upacara syukuran) dan rambu solo’
(upacara duka). Kedua upacara adat ini dilaksanakan pada rumah adat yang
disebut Tongkonan dimana tongkonan inilah yang merupakan salah satu simbol
Kabupaten Tana Toraja. Konon kata Tongkonan berasal dari istilah "tongkon" yang
berarti duduk, dahulu rumah ini merupakan pusat pemerintahan, kekuasaan adat
dan perkembangan kehidupan sosial budaya masyarakat Tana Toraja. Rumah ini
9
tidak bisa dimiliki oleh perseorangan, melainkan dimiliki secara turun-temurun oleh
keluarga atau marga suku Tana Toraja. Dengan sifatnya yang demikian, tongkonan
mempunyai beberapa fungsi, antara lain: pusat budaya, pusat pembinaan keluarga,
pembinaan peraturan keluarga dan kegotongroyongan, pusat dinamisator, motivator
dan stabilisator sosial.
Tongkonan merupakan peninggalan yang harus dan selalu dilestarikan,
hampir seluruh Tongkonan di Tana Toraja sangat menarik untuk dikunjungi
sehingga bisa mengetahui sejauh mana adat istiadat masyarakat Toraja, serta
banyak sudah Tongkonan yang menjadi objek wisata. tongkonan ini seluruh
bagiannya terbuat dari kayu dengan ukiran yang sangat unik dan memiliki nilai seni
yang tinggi, uniknya lagi bangunan ini tidak menggunakan paku atau sejenisnya
untuk melekatkan kayu/balok yang dipasang/disambung. Karena semua bahannya
terbuat dari kayu maka masyarakat selalu berusaha untuk menanam dan
memelihara pohon yang digunakan untuk membangun rumah. Jenis kayu yang
mutlak ada pada tongkonan antara lain adalah jenis uru/cempaka, bambu dan
buangin (Casuarina). Lokasi di sekitar tongkonan selalu ditumbuhi oleh ketiga jenis
ini dan yang paling mendominasi adalah bambu karena jenis ini selain digunakan
sebagai atap pada tongkonan juga digunakan untuk membuat lantang/podokan
dalam pelaksanaan upacara adat (Pemda Tana Toraja, 2005)
Dari hasil wawancara yang pernah dilakukan penulis dengan masyarakat
setempat dapat diketahui bahwa untuk satu orang dari tongkonan biasanya dengan
kesadaran sendiri selalu menanam paling sedikit 1 jenis pohon yang tersebut diatas
dan pohon ini akan selalu dipelihara apabila masih dalam ukuran kecil (belum dapat
tumbuh dengan sendirinya) sampai umur sekitar 1,5 tahun. Lahan yang ada di
sekitar tongkonan yang ditumbuhi oleh pohon dari berbagai jenis yang ditanam
masyarakat untuk tongkonan merupakan milik tongkonan yang selanjutnya biasa
dikenal dengan istilah hutan adat dan kemudian berkembang dan di Toraja dikenal
dengan istilah hutan rakyat
Perkembangan Hutan Rakyat Pinus Di Kabupaten Tana Toraja
Menurut Dinas Kehutanan Kabuapten tana Toraja tahun 2005 hutan rakyat
pinus yang ada di Kabupaten Tana Toraja merupakan hasil Program Penghijauan
tahun 1976, pinus ini ditanam pada lahan milik tongkonan yang yang pada saat itu
tergolong tidak subur. Sejak ditanam pinus ini mengalami perkembangan yang
sangat pesat bahkan mampu menggeser tumbuhan/pohon lain yang tumbuh di
tanah milik rakyat, namun pemanfaatannya tidak pernah dilakukan dalam skala
10
yang besar tetapi hanya digunakan oleh masyarakat untuk membangun rumah dan
rantingnya untuk kayu bakar. Hal ini terjadi karena masih kuatnya adat masyarakat
Toraja dimana pohon hanya ditebang apabila akan digunakan untuk membangun
rumah atau dimanfaatkan langsung untuk keperluan rumahtangga, juga
peruntukannya bagi kepentingan hidro-orologis yang harus tetap dipertahankan
karena tanaman tersebut tumbuh dan berada pada lahan-lahan yang tergolong
kedalam kawasan lindung dan kawasan penyangga. Dengan adanya pemberlakuan
otonomi daerah dan krisis ekonomi yang semakin menekan rakyat maka mulai
dicanangkan pemanfaatan hutan pinus pada beberapa tahun terakhir, oleh
masyarakat dan Pemerintah Kabupaten Tana Toraja.
Menurut Malamassam (2005) potensi hutan rakyat di Kabupaten Tana
Toraja secara luasan cukup besar yaitu mencapai 223.428 Ha atau sedikit lebih luas
dari hutan produksi biasa yang hanya 200.673 Ha. Namun demikian, pemanfaatan
hutan rakyat inipun potensil untuk menimbulkan masalah oleh karena 67,21% atau
tepatnya 150.156 Ha dari areal hutan rakyat ini berada dalam kawasan yang
diharapkan dapat berfungsi lindung. Dari luasan hutan rakyat ini pinus menempati
urutan tebesar dengan luasan sekitar 12.510,40 Ha.
Perkembangan Pengelolaan / Pemanfaatan Hutan Rakyat Pinus di Kabupaten Tana Toraja
Sampai pada saat ini, Pemerintah Kabupaten Tana Toraja, telah
mengeluarkan izin pengelolaan hutan pinus rakyat kepada tiga perusahaan dan
atau pemilik industri perkayuan untuk bersama-sama dengan para pemiliknya
mengelola pemanfaatan hutan rakyat, khususnya di Kecamatan Mengkendek,
Kecamatan Sangalla, Kecamatan Buntao’ Rantebua dan Kecamatan Rantetayo.
Perincian luas dan volume tebangan yang diizinkan lokasinya dapat dilihat pada
Tabel 1.
Tabel 1. memperlihatkan bahwa total penebangan yang diizinkan
berdasarkan SK Bupati adalah sebanyak 69.235 m3 untuk periode waktu tiga tahun.
Menurut Malamassam (2005) jumlah ini sebetulnya masih relatif kecil bila
dibandingkan dengan total potensi yang ada, yaitu sebanyak 1.347.582,42 m3.
Berdasarkan nilai total potensi ini, jumlah tebangan yang dapat diperkenankan bila
diberlakukan daur 20 tahun adalah 67.379,12 m3
11
Tabel 1. Perkembangan Pemanfaatan Hutan Pinus Rakyat di Kabupaten Tana Toraja
Perusahaan Pengelola
Izin Pengelolaan
Luas (Ha)
Volume (m3)
Lokasi
Kecamatan Lembang
PT. N e l l y Jaya Pratama
SK Bupati : No.481/IV/2002 250,0 17.425 Mengkendek Patengko
PT. I r m a Sulindo
SK Bupati : No.1526/XI/2002 83,4 7.214 Mengkendek Simbuang Tando-
Tando
PT. N e l l y Jaya Pratama
SK Bupati :No. 466/IV/2004 135,2 14.534 Mengkendek
Salubarani Mangasi Tampo MarindingBuntu Limbong
PT. Global Forestindo
SK Bupati : No.436/ IV/2003 265,0 30.062
Rantetayo Tapparan
Sangalla Batualu Rinding Daun Induk
Buntao’ Rantebua
Buntao Misa’ Babana Patang Penanian
Mengkendek
Tampo Simbuang Burisan Rinding MangasiSillanan Tangti Rante Kalua
Jumlah 733,6 69.235Catatan : Taksiran Total Potensi Hutan Pinus Rakyat di Wilayah ini adalah 1.347.582,42 m3
Sumber : SK Bupati Kabupaten Tana Toraja
Dengan demikian untuk periode 3 tahun, jumlah tebangan yang
dimungkinkan dari wilayah ini sebenarnya dapat mencapai tiga kali lipat dari jumlah
tersebut, yaitu tepatnya sebanyak 202.137,36 m3, namun dengan catatan bahwa
penebangan di luar yang dizinkan tidak terjadi. Dengan kata lain, diperlukan
pengawasan yang ketat untuk menghindari terjadinya penebangan di luar yang
diizinkan. Sehubungan dengan itu pula, diperlukan perencanaan detail yang selain
mencantumkan pemilik hutan rakyat yang akan ditebang beserta jumlah volume
tebangan, juga harus memuat peta penyebaran lokasi penebangan dan juga
dilengkapi dengan peta pohon yang akan ditebang. Hal yang tidak kurang
pentingnya untuk dilakukan adalah kegiatan pembinaan dan pemberdayaan para
pemilik hutan rakyat agar lebih memahami dan menghayati prinsip-prinsip
12
pelestarian hutan, untuk seterusnya diterapkan secara konsisten dalam upaya
pemanfaatan hutan milik mereka.
Keadaan Industri Pengelolaan Hutan Terkait
Pemanfaatan Hutan Pinus Rakyat sudah dilakukan oleh tiga perusahaan
industri kayu yaitu : PT. Irmasulindo, PT. Nelly Jaya Pratama (NJP) dan PT. Global
Forestindo (GF). PT. Irmasulindo melakukan penjarangan tegakan pinus di
Kecamatan Mengkendek sedangkan PT.NJP dan PT.GF mendapatkan kayu pinus
dari hutan rakyat dengan diameter minimum 20 cm. Selain ketiga perusahaan di
atas sebagian kayu yang diperoleh dari tegakan pinus juga dimanfaatkan oleh
masyarakat sebagai bahan bangunan.
Tabel 2. Harga Jual Pinus di Kabupaten Tana Toraja.
No.
Bentuk Kayu Pinus
Harga (m3/Rp) berdasarkan Lokasi PenjualanPT. Nelly Jaya Pratama PT. Global Forestindo
Petani Pengumpul Industri Petani Pengumpul Industri
1. Log 60.000 170.000 200.000 48.000 150.000 175.000
2. Papan 400.000 450.000 500.000 400.000 450.000 500.000
Sumber : Dinas Kehutanan Kabupaten Tana Toraja Tahun 2005
PT.NJP dan PT.GF mengusahakan hutan pinus rakyat di Kecamatan
Mengkendek untuk kebutuhan Veener (ply wood) dan Kayu pengrajin yang
kemudian dipasarkan ke Jawa dan Luwu. Selain dari Kecamatan Mengkendek
sebagian bahan bakunya juga berasal dari Kabupaten Enrekang, adapun harga jual
pinus terhadap kedua perusahaan ini disajikan pada Tabel 2. Kegiatan kedua
perusahaan ini di Kabupaten Tana Toraja untuk sementara ditutup akibat adanya
keluhan dan berbagai lapisan masyarakat yang menganggap kedua perusahaan ini
akan merusak lingkungan hidup khususnya hutan pinus di Kabupaten Tana Toraja
apabila akan terus beroperasi.
13
Pengelolaan Hutan Rakyat Berbasis Asas Kelestarian Hasil
Menurut Bruenig dalam Suhendang (2004) konsep kelestarian hasil dalam
pengelolaan hutan yang berkembang di Eropa berlandaskan kepada beberapa
prinsip dasar pemikiran mengenai hutan dan manfaatnya. Prinsip itu adalah :
a. Prinsip etika yang mengamanatkan bahwa hutan, sebagai bagian dari hasil
proses dan warisan alam harus menjadi tanggungjawab umat manusia untuk
mengelola dan melestarikannya
b. Keseimbangan yang adil dan proporsional antara pemenuhan kebutuhan umat
manusia dengan upaya perlindungan dan pelestarian sifat-sifat dasar ekologis
dari suatu ekosistem (Hartig, 1820; Hundeshagen, 1828 dalam Suhendang
2004)
c. Pandangan yang menyatakan bahwa hutan dan kehutanan merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari warisan budaya nasional yang bersifat alami,
lingkungan hidup, Ekonomi, Seni dan Sumber Pengetahuan (Von Carlowitz
dalam Suhendang 2004).
d. Prinsip etika yang menuntut adanya keadilan antar generasi yang secara moral
mengharuskan adanya pembatasan dalam memenuhi berbagai macam
kebutuhan.
Berdasarkan prinsip ini maka dapat diketahui bahwa hutan dan
pemanfaatannya harus diperuntukkan bagi umat manusia dari generasi-ke generasi
dalam artian harus tetap dijaga kelestarian manfaatnya. Menurut Malamassam 2005
untuk mencapai kelestarian hasil maka pengelolaan hutan pinus milik rakyat di
Kabupaten Tana Toraja dilakukan dengan membentuk Satuan Pengelolaan Hutan
Rakyat. Satuan pengelolan hutan rakyat ini untuk lebih jelasnya lokasinya dapat
dilihat pada Gambar Peta 1.
Pembagian SHPR ini selain mempertimbangkan kemudahan dari segi fisik
teknis juga didasarkan pada kesamaan budaya/adat pada setiap SHPR, dimana
wilayah adat di Tana Toraja dapat dibagi atas 5 bagian berdasarkan kesamaan
dalam penentuan tingkatan sosial. Satuan Pengelolaan Hutan Rakyat yang
dimaksud masing-masing sebagai berikut :
SPHR - I meliputi Kecamatan Mengekendek dan Sangalla
SPHR - II meliputi Kecamatan Buntao’ Rantebua dan Tondon
Nanggala
14
SPHR - III meliputi Kecamatan Rantetayo, Saluputti dan Bittuang
SPHR - IV meliputi Kecamatan Rindingallo, Sesean dan Sa’dan
Balusu
SPHR - V meliputi Kecamatan Bonggakaradeng dan Simbuang
SHPR I dikenal dengan istilah wilayah tallu lembangna yang teridiri dari kecamatan
Makale, Mengekndek dan Sangalla (Makale tidak memiliki hutan pinus) dimana
pimpinan masyarakat dalam wilayah tersebut dikenal dengan nama puang. Untuk
SHPR II pimpinan masyarakat adatnya biasanya dikenal dengan nama sindok,
untuk SHPR III dan V dikenal dengan nama ma’dika dan SHPR IV dikenal dengan
nama toparenge dan puang. Untuk SHPR III dan SHPR V dipisakan karena dari
segi letak cukup berjauhan. Syarat untuk menjadi pemanku adat ini adalah kaya,
pintar, bijaksana dan berwibawa dalam suatu kombongan (musyawarah adat
kampung). Tugas pemangku adat ini adalah bertanggungjawab atas kesejahteraan
masyarakat, memelihara semua aturan yang telah ditetapkan yang berkaitan
dengan aluk dan adat istiadat (Matandung, 2003)
Pembagian pengelolaan ke dalam sistem SHPR ini dilakukan dengan
maksud untuk lebih mempermudah sistem pengelolaan karena berbasis pada adat
dan kebiasaan yang sama, ini dapat terjadi karena pada setiap wilayah adat
masyarakat sangat patuh terhadap aturan adat dan tokoh atau pimpinan adat di
wilayah masing-masing.
Pengelolaan Hutan Rakyat Berbasis Asas Kelestarian Sumberdaya Hutan
Telah dikemukakan di muka bahwa hutan rakyat di Toraja memiliki
karakteristik tertentu karena kebanyakan dari hutan rakyat ini merupakan milik
bersama, selain itu luas kepemilikannya tidak merata, pola penyebarannya tidak
terkompleks. Karakteristik tersebut di atas menuntut suatu sistem pengelolaan yang
spesifik sesuai dengan kondisi masing-masing hutan rakyat. Untuk mendukung
sistem pengelolaan ini dibutuhkan suatu kelembagaan yang khusus pula.
Kelembagaan yang dimaksudkan harus melibatkan petani atau pemilik hutan rakyat,
pemerintah setempat dan industri pengguna hasil hutan rakyat. Lembaga ini
diharapkan dapat berperan sebagai pengawal dan fasilitator pengelolaan hutan
rakyat mulai dari perencanaan, eksploitasi dan pemasaran hasil serta penanaman
kembali dan pemeliharaan tanaman. Lembaga ini dapat diberi nama Lembaga
15
Hutan Lestari (LHL), dimana keterkaitan antara anggota lembaga beserta
peranannya secara diagramatik disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Skema Lembaga Hutan Lestari dalam Pengelolaan Hutan Rakyat di Tana Toraja.
Ketiga komponen dari Lembaga Hutan Lestari ini (Petani, Pemerintah dan
Pengusaha) diharapkan dapat mengembangkan sistem pengelolaan hutan rakyat
yang dapat menjamin optimalisasi dan kelestarian manfaat / hasil hutan rakyat
tanpa harus mengorbankan kepentingan pelestarian lingkungan. Lembaga ini
diharapkan dapat menampung dan menyelesaikan semua permasalahan yang
dihadapi di dalam pengelolaan hutan rakyat, baik pada tingkat petani maupun pada
tingkat pengusaha dan pemerintah daerah.
Aktivitas pengelolaan hutan rakyat tingkat petani perlu diatur dan
difasilitasi sedemikian rupa sehingga aktivitas tersebut dapat berlangsung dengan
tetap memperhatikan dan menjamin keseimbangan antara kepentingan sosial
ekonomi dan kepentingan perlindungan lingkungan. Karakteristik hutan rakyat yang
spesifik, terutama dalam hal pola kepemilikannya, adapt istiadat setempat,
menuntut diperlukannya suatu organisasi pengelolaan yang dapat mendukung dan
memfasilitasi aktivitas pengelolaan yang menjamin keseimbangan kepentingan
yang dimaksudkan di atas. Pembuatan struktur organisasi pengelolaan hutan ini
harus memperhatikan kondisi adat setempat yang telah dibagi dalam setiap SHPR
agar pelaksanaannya di lapangan dapat terkoordinir dengan mudah karena
diketahui bahwa masyarakat toraja sangat menjunjunng tinggi budaya dan sangat
Petani Hutan Rakyat
Pemerintah
Industri /Pengusaha
LHL
1. Penetapan Jatah tebang dan kuota produksi tebangan
2. Penetapan harga jual kayu (tingkat petani, tingkat industri, besarnya retribusi)
3. Pemeliharaan / Pengawasan Hutan
16
menghormati tokoh adat mereka. Adapun struktur organisasi yang dimaksud dapat
dilihat pada Gambar 2
.
Gambar 2. Struktur Organisasi Kelompok Tani Hutan Rakyat
Pengelolaan Hutan Rakyat Berbasis Asas Kelestarian Ekosistem
Menurut Overbay (1992) dalam Suhendang 2005 pengelolaan ekosistem
adalah suatu alat atau cara yang digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan yang
telah ditetapkan dalam program-ptogram dan rencana. Pengelolaan ekosistem
merupakan alat untuk mencapai suatu keadaan akhir, akan tetapi bukan merupakan
suatu keadaan akhirnya sendiri. Sedangkan menurut Thomas and Huke (1996)
dalam Suhendang 2005 pengelolaan ekosistem adalah suatu konsep pengelolaan
sumberdaya alam yang didalamnya dipertimbangkan (dicakup) kegiatan-kegiatan
pengelolaan hutan dengan memperhatikan interaksi antara faktor-faktor ekonomis,
ekologis, dan sosial di dalam suatu kesatua daerah atau wilayah tertentu, baik untuk
kepentingan jangka pendek maupun jangka panjang.
Pembangunan rumah tongkonan yang kesemuanya menggunakan kayu
dapat dijadikan dasar dalam pelestarian ekosistem pada pembangunan hutan
rakyat di Kabuapten Tana Toraja. Menurut Matandung (2003) hutan adat milik
tongkonan selain sebagai sumber kayu untuk bahan bangunan juga merupakan
sumber bahan obat-obatan bagi anggota tongkonan, tongkonan juga merupakan
sumber/pusat pemerintahan. Dengan demikian peran tongkonan dalam adat toraja
dapat dijadikan sebagi salah satu dasar dalam pelestarian sumberdaya hutan. Hal
Ketua
(Tokoh Adat)
Sekretaris Bendahara
Bagian Perencanaan dan
Pengaturan Produksi Kayu
Bagian Pengaturan Produksi dan Tata Usaha Kayu
Bagian Teknik Budidaya
Bagian Pemasaran
Pembina(Pemerint
ah)
Fasilitator(Perusahaa
n)
17
ini dapat dilakukan dengan menanam jenis obat-obatan dan jenis pohon yang
dipersayaratkan ada di bangunan tersebut seperti cempaka/uru dan buangin
(casuarina). Kedua jenis pohon ini sangat disukai oleh masyarakat Toraja dan akan
selalu dipelihara dengan baik. Kedua jenis ini dapat dijadikan jenis pengganti pinus
yang telah ditebang, disamping itu kedua jenis ini mempunyai nilai ekonomi yang
tinggi dibandingkan dengan pinus. Diinformasikan pula bahwa sampai sekarang
masyarakat toraja masih tetap memlihara tongkonan bahkan sudah mulai
bermunculan tongkonan baru sehingga diharapkan pertumbuhan tongkonan ini
akan dapat mejaga kelestarian ekosistem dengan ditanamnya jenis yang dimaksud
mengingat toraja berada pada bagian hulu DAS Saddang. Selain itu untuk tetap
menjaga kelestarian ekosistem dalam DAS Saddang maka diharapkan pengelolaan
hutan rakyat di Toraja harus memperhatikan kesatuan bentang alam menurut bata-
batas ekologis bukan batas administrasi. Diamana kabupaten di daerah hilir
diharpakan dapat memberikan insentif ke Kabupaten Tana Toraja untuk membantu
pembiayaan pembangunan hutan rakyatnya sehingga pengelolaannya dapat
terlaksana dengan baik, yang juga akan memberikan dampak positif bagi daerah
hilir.
18
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan data dan informasi yang telah dipaparkan pada bagian
terdahulu maka dapat dirumuskan beberapa kesimpulan pokok sebagai berikut :
1. Berdasarkan kondisi penyebaran, luas, kedekatan lokasi dan kedekatan
masyarakat adat dari pemiliknya, maka pengelolaan hutan rakyat di
Kabupaten Tana Toraja dapat dikelompokkan atas lima Satuan Pengelolaan
Hutan Rakyat (SPHR)
2. Dari segi potensi, tanaman rakyat pinus di Tana Toraja layak untuk
diusahakan melalui penerapan asas kelestarian hasil, kelestarian
sumberdaya hutan dan asas kelestarian ekosistem yang berlandaskan adat
istiadat dan tongkonan masyarakat toraja.
3. Kawasan hutan rakyat di Kabupaten Tana Toraja seyogyanya berfungsi
penyangga dan berfungsi lindung karena berada pada wilayah hulu DAS.
Dengan demikian, pengeolaan kawasan ini, selain harus memperhatikan
fungsi sosial ekonomi bagi para pemiliknya, juga harus memperhatikan
fungsi penyangga dan fungsi lindung dari kawasan yang bersangkutan dan
sistem pengelolaannya harus berdasarkan batas wilayah ekologi.
Saran
Berdasarkan simpulan di atas maka dapat dikemukakan beberapa saran
sebagai berikut :
1. Pengelolaan Hutan Rakyat di Tana Toraja harus diawali dengan penataan
areal dan pengaturan produksi yang diterjemahkan kedalam perencanaan
jangka panjang, jangka menengah dan tahunan. Perencanaan Jangka
Panjang dibuat untuk setiap Satuan Pemangkuan Hutan Rakyat, sedang
Perencanaan Jangka Menengah dan Jangka Tahunan dibuat untuk setiap
kelompok tani hutan rakyat
2. Untuk kepentingan jangka panjang, kegiatan penanaman hendaknya tidak
hanya dibatasi pada lokasi penebangan tetapi juga pada areal-areal kosong
yang memungkinkan untuk itu. Pada kegiatan penanaman kembali
dianjurkan untuk melakukan diversifikasi jenis, dengan memberi prioritas
19
pada jenis-jenis ungulan setempat, sambil tetap memperhatikan kebutuhan
industri perkayuan.
3. Dalam rangka mendukung optimalisasi pendayagunaan hutan rakyat ke
depan, diperlukan pengembangan kelembagaan, baik pada tingkat
kelompok tani maupun pada tingkat yang lebih luas seperti tingkat DAS
dengan melibatkan berbagai pihak dalam suatu wadah yang disebut
Lembaga Hutan Lestari, dimana dalam lembaga ini diharapkan keterlibatan
dari Kabupaten lain yang turut menikmati hutan toraja yang terletak pada
daerah hilir dengan memberikan bantuan berupa insentif untuk pengelolaan
hutan rakyat toraja.
20
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2005. http://www.toraja.go.id/. Webside Pemerintah Kabupaten Tana Toraja.
Hendarto K.A., 2003. Proyek Kehutanan Sosial dan Penganggaran Berwawasan Gender : Suatu Ulasan Teoritis. Jurna Hutan Rakyat Volume V No. 3. Pusat Kajian Hutan Rakyat Universitas Gadjahmada. Jogjakarta.
Malamssam D., 2005. Pengkajian Ulang Pemanfaatan dan Pengelolaan Hutan Rakyat Di Tana Toraja, P3DAS Universitas Hasanuddin. Makassar.
Malamassam D., 2005. Pergeseran Paradigma Pendayagunaan Sumberdaya Hutan dan Hubungannya dengan Pemberlakuan Otonomi Daerah. Pidato Penerimaan Jabatan Guru Besar Unhas. Makassar.
Matandung, 2003. Kelembagaan Adat dan Budaya dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam yang Berkelanjutan di Tana Toraja. Pemerintah Daerah Tana Toraja.
Nababan A dan Raden B., 2003., Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Adat : Antara Konsep dan Realitas. Makalah yang disajikan dalam Kongres Kehutanan Indonesia III, Senayan-Jakarta, 25-28 Oktober 2001.
Sudradjat A., 2002. 21 Isu Desentralisasi (Otonomi Kehutanan). Mencari Format Desentralisasi Kehutanan pada Masa Transisi, hal 1 s/d 18. Nectar Indonesia.
Suhendang E., 2004. Kemelut Dalam Pengurusan Hutan. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Suhendang E. et al., 2005. Ilmu Perencanaan Hutan. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Sumarna K., 2001. Deskripsi Empat Jenis Pohon untuk Pengembangan Hutan Rakyat. Buletin Kehutanan Vol. 2 No. 1. Departemen Kehutanan.
21