pendahuluan

30
PENDAHULUAN Latar Belakang Paradigma pembangunan kehutanan yang selama ini lebih menekankan aspek ekonomi dalam rangka mendukung pertumbuhan perekonomian nasional, ternyata telah menyebabkan kerusasakan sumberdaya hutan yang sangat parah. Dengan dalih mendukung pertumbuhan perekonomian nasional, berbagai pihak seakan berlomba, baik secara legal maupun secara illegal, untuk meningkatkan upaya-upaya eksploitasi sumberdaya alam tanpa mengindahkan kaidah-kaidah yang berkaitan dengan keberlanjutan atau kelestarian sumberdaya alam itu sendiri. Sejalan dengan itu, warga masyarakat di sekitar hutan juga melakukan tindakan perladangan dan perambahan kawasan hutan untuk kepentingan usaha-usaha komoditas yang berotasi atau berjangka usaha pendek dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan pangan yang dalam banyak kasus telah menimbulkan semakin luasnya lahan kritis dan atau lahan-lahan yang tidak produktif. Dengan berakhirnya masa pemerintahan orde baru yang diikuti dengan bergulirnya era reformasi, paradigma tersebut di atas telah mengalami pergeseran dengan lebih memberi penekanan pada aspek pelestarian lingkungan dan aspek sosial. Khusus untuk Propinsi Sulawesi Selatan, Pemerintah Daerah melalui Propeda 2001-2005, telah mencanangkan penataan pola pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan sebagai salah satu program utama pembangunan daerah yang sekaligus juga diharapkan dapat mendukung peningkatan ekonomi wilayah secara berkesinambungan. Hutan Rakyat di Sulawesi Selatan, termasuk di Kabupaten Tana Toraja, telah dibangun dalam skala yang besar sejak tahun 1

Upload: achas

Post on 16-Jun-2015

724 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pendahuluan

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Paradigma pembangunan kehutanan yang selama ini lebih menekankan

aspek ekonomi dalam rangka mendukung pertumbuhan perekonomian nasional,

ternyata telah menyebabkan kerusasakan sumberdaya hutan yang sangat parah.

Dengan dalih mendukung pertumbuhan perekonomian nasional, berbagai pihak

seakan berlomba, baik secara legal maupun secara illegal, untuk meningkatkan

upaya-upaya eksploitasi sumberdaya alam tanpa mengindahkan kaidah-kaidah

yang berkaitan dengan keberlanjutan atau kelestarian sumberdaya alam itu sendiri.

Sejalan dengan itu, warga masyarakat di sekitar hutan juga melakukan tindakan

perladangan dan perambahan kawasan hutan untuk kepentingan usaha-usaha

komoditas yang berotasi atau berjangka usaha pendek dalam rangka memenuhi

kebutuhan bahan pangan yang dalam banyak kasus telah menimbulkan semakin

luasnya lahan kritis dan atau lahan-lahan yang tidak produktif.

Dengan berakhirnya masa pemerintahan orde baru yang diikuti dengan

bergulirnya era reformasi, paradigma tersebut di atas telah mengalami pergeseran

dengan lebih memberi penekanan pada aspek pelestarian lingkungan dan aspek

sosial. Khusus untuk Propinsi Sulawesi Selatan, Pemerintah Daerah melalui

Propeda 2001-2005, telah mencanangkan penataan pola pengelolaan sumberdaya

alam dan lingkungan sebagai salah satu program utama pembangunan daerah

yang sekaligus juga diharapkan dapat mendukung peningkatan ekonomi wilayah

secara berkesinambungan.

Hutan Rakyat di Sulawesi Selatan, termasuk di Kabupaten Tana Toraja,

telah dibangun dalam skala yang besar sejak tahun 1976 baik melalui swadaya

masyarakat maupun melalui Program Bantuan Penghijauan. Produksi hutan rakyat

tersebut selama ini telah berperan secara nyata dalam pemenuhan berbagai

kebutuhan kayu; mulai dari kayu bakar, bahan untuk kelengkapan sarana upacara-

upacara keagamaan / adat, bahan bangunan. Produksi kayu dari hutan rakyat ini

semakin menjadi andalan dalam upaya pemenuhan kebutuhan kayu masyarakat,

sejalan dengan semakin menurunnya produksi kayu rimba dari hutan alam.

Khusus di Kabupaten Tana Toraja, berdasarkan catatan Dinas Kehutanan

Kabupaten Tana Toraja, terdapat areal hutan rakyat seluas 77.154,22 Ha, yang

terdiri atas hutan bambu murni dan hutan bambu campuran masing-masing seluas

5.897,15 Ha dan 10.890,40, Hutan Kebun campuran seluas 47.154,22 Ha dan

1

Page 2: Pendahuluan

Hutan Pinus murni seluas 12.510,40 Ha. Pembangunan hutan-hutan bambu dan

hutan kebun campuran telah dilakukan oleh masyarakat Tana Toraja jauh sebelum

Program Penghijauan dicanangkan oleh Pemerintah, dan malahan keberadaannya

tidak bisa dipisahkan dari sejarah keberadaan masyarakat Toraja. Hutan-hutan ini

telah menjadi pemasok berbagai kebutuhan kayu setempat, termasuk untuk

memenuhi kebutuhan pembangunan Rumah Adat, yang bahannya 100% terdiri dari

kayu dan bambu. Dari data dinas kehutanan tersebut diatas dapat diketahui bahwa

selain hutan kebun campuran hutan pinus memiliki areal yang sangat luas untuk

jenis yang homogen dibanding dengan jenis lainnya.

Menyangkut hutan pinus, yang merupakan hasil Program Penghijauan

tahun 1976, pemanfaatannya baru mulai dicanangkan beberapa tahun terakhir, oleh

masyarakat dan Pemerintah Kabupaten Tana Toraja. Selama puluhan tahun

tanaman ini selain dianggap bernilai ekonomi rendah, juga peruntukannya bagi

kepentingan hidro-orologis yang harus tetap dipertahankan karena tanaman

tersebut tumbuh dan berada pada lahan-lahan yang tergolong kedalam kawasan

lindung dan kawasan penyangga.

Pemanfaatan tanaman pinus di Tana Toraja yang dimaksudkan di atas

antara lain didorong oleh dua hal sebagai berikut :

1. Semakin terbatasnya bahan baku kayu dari hutan alam pada satu pihak, dan

adanya kemajuan di bidang teknologi kayu yang dapat meningkatkan nilai

ekonomi dan nilai guna dari kayu-kayu lunak (termasuk pinus), pada pihak lain.

Hal ini telah menyebabkan para pengelola indusri perkayuan melirik kayu-kayu

dari hutan tanaman, termasuk tanaman pinus yang ada di Tana Toraja, untuk

memenuhi kebutuhan bahan baku industrinya.

2. Hal yang dimaksudkan di atas merupakan peluang bagi masyarakat pemilik

hutan rakyat, khususnya hutan pinus. Hutan pinus yang selama ini dianggap

tidak dapat memberikan manfaat ekonomi yang cukup bermakna kepada

pemiliknya, berubah menjadi sebuah asset sumber dana untuk memenuhi

berbagai kepentingan.

Perubahan nilai dan pemahaman tentang tanaman pinus tersebut di atas,

jika tidak dikelola dengan baik, potensil akan menyebabkan ludesnya tanaman

pinus dalam waktu yang tidak terlalu lama. Para pemilik dan juga pihak-pihak yang

terkait dengan pemanfaatan tanaman pinus cenderung akan mengejar kepentingan

jangka pendek. Mereka cenderung tidak lagi mau memikirkan bahwa kondisi hutan

tanaman pinus yang ada saat ini tercipta melalui proses ekologis selama puluhan

tahun.

2

Page 3: Pendahuluan

Dalam rangka pengelolaan hutan rakyat dan pemanfaatan kayu pinus hasil

tanaman rakyat di Tana Toraja, Pemerintah Kabupaten telah memberi izin kepada

beberapa perusahaan dengan sejumlah pembatasan dan persyaratan. Namun

sejumlah pihak, khususnya Lembaga Swadaya Masyarakat dan Pemerhati

Lingkungan, menyangsikan kesanggupan dan kesungguhan perusahaan pemegang

izin untuk memenuhi pembatasan dan persyaratan tersebut. Mereka menyatakan

keyakinannya bahwa pengelolaan dan pemanfaatan tanaman pinus tersebut akan

menimbulkan dampak negatif yang nilainya mungkin lebih besar dari manfaat

finansil yang diperoleh dari usaha pemanfaatan termaksud, sehingga mereka

menuntut agar usaha pemanfaatan tersebut dihentikan. Bertolak dari tuntutan ini

pulalah maka Pemerintah Kabupaten telah menghentikan kegiatan penebangan

tanaman pinus selama beberapa bulan terakhir.

Penghentian kegiatan penebangan tersebut di atas untuk jangka waktu

lama bermakna memperlakukan hutan tanaman pinus di Tana Toraja sebagai asset

yang tidak dapat memberikan manfaat ekonomi bagi pemiliknya dan bagi

pemerintah kabupaten. Hal ini mengindikasikan suatu ketidakadilan, oleh karena

tanaman pinus yang telah dipelihara selama puluhan tahun justru tidak dapat

dimanfaatkan oleh pihak yang memeliharanya. Hal yang semestinya diberlakukan

adalah memberi kemungkinan kepada pihak pemilik dan pemerintah kabupaten

untuk memanfaatkan tanaman tersebut, berdasarkan prinsip kelestarian hasil dan

manfaat. Upaya pemanfaatan termaksud mempersyaratkan suatu perencanaan

jangka panjang dan jangka menengah yang didasarkan atas data yang akurat dan

komprehensif.

Perumusan Masalah

Dalam rangka menyongsong pemberlakuan otonomi daerah, Pemerintah

Kabupaten Tana Toraja beserta segenap lapisan masyarakatnya telah bertekad

untuk menumbuhkembangkan kemandirian lokal yang secara bertahap diharapkan

dapat dapat mengantarkan Kabupaten Tana Toraja untuk dapat semakin bertumpu

pada potensi yang dimilikinya dalam menapaki kemajuan demi kemajuan guna

mewujudkan kehidupan masyarakat yang sejahtera, damai dan berkeadilan.

Sehubungan dengan itu maka salah satu hal yang harus dilakukan adalah

melakukan identifikasi segenap potensi yang dimiliki, yang diikuti dengan

perumusan langkah-langkah dan kebijakan yang harus diambil untuk menjamin

optimalisasi pendayagunaan dari setiap potensi yang dimiliki.

3

Page 4: Pendahuluan

Salah satu potensi yang dimiliki Kabupaten Tana Toraja yang sampai saat ini

belum dimanfaatkan secara optimal adalah tanaman Pinus. Tanaman tersebut

adalah hasil penanaman kegiatan reboisasi dan tanaman rakyat yang

dikembangkan dalam skala yang relatif besar sejak awal tahun tujuhpuluhan

sampai pertengahan delapanpuluhan. Namun pemanfaatan tanaman pinus ini harus

direncanakan dan dilaksanakan sebaik mungkin mengingat Kabupaten Tana Toraja

berada pada wilayah Hulu DAS Saddang yang notabenenya adalah kawasan

lindung dan apabila dilakukan penebangan dengan sembarangan maka akan dapat

mengakibatkan bahaya yang sangat besar bagi wilayah hilir dalam wilayah DAS

tersebut

Untuk mengatasi hal ini diperlukan suatu strategi yang memungkinkan

semua pihak terkait dapat berperanserta secara aktif dan positif, untuk menyusun

strategi tersebut diperlukan informasi yang baik mengenai perkembangan

pembangunan dan potensi hutan rakyat pinus di Kabupaten Tana Toraja. Dengan

informasi ini diharapkan bahwa “potensi hutan rakyat dan potensi merusak

sumberdaya hutan” dari sebagaian warga masyarakat dapat diubah menjadi

kekuatan yang mendukung pembangunan hutan secara berkelanjutan.

Maksud dan Tujuan

Tulisan ini dibuat dengan maksud untuk mengkaji pemanfaatan hutan

rakyat yang telah dilakukan selama ini yang dapat digunakan sebagai salah satu

acuan untuk menyusun rencana pemanfaatan yang dapat menjamin manfaat

perlindungan kawasan disamping manfaat ekonomi, baik bagi para pemilik hutan

rakyat maupun bagi daerah. Adapun tujuan dari tulisan ini adalah untuk :

1. Memberikan data / informasi tentang kondisi dan perkembangan pengelolaan

hutan rakyat di Kabupaten Tana Toraja, yang dilakukan selama ini

2. Memberikan data dan informasi tentang potensi hutan rakyat, dan metode

pengelolaan yang mungkin gai tanaman pinus rakyat yang ada di Kabupaten

Tana Toraja

3. Menyusun acuan rencana pemanfaatan hutan rakyat, khususnya tanaman

pinus, yang dapat menjamin kelestarian hutan rakyat yang bersangkutan

beserta kesinambungan manfaat bagi perlindungan ekosistem wilayah.

4

Page 5: Pendahuluan

TINJAUAN PUSTAKA

Hutan Rakyat

Tekanan terhadap sumberdaya hutan yang disebabkan oleh eksploitasi

yang berlebihan mengakibatkan sumberdaya hutan tidak mampu lagi memberikan

manfaat yang optimal bahkan sebaliknya menyebabakan kerusakan dan

menurunnya produktivitas sumberdaya hutan tersebut. Alternatif pemecahan dari

masalah ini salah satunya adalah memanfaatkan dan membangun hutan rakyat.

Praktek pengelolaan hutan adat menurut Suhendang (2004) sudah ada dalam

sistem kearifan lokal yang berkembang dalam berbagai masyarakat adat yang ada

di Indonesia.

UU Kehutanan No. 41 Tahun 1999 menyebutkan bahwa hutan rakyat

adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik. Menurut

Hardjosudiro dalam Hendarto (2003) hutan rakyat (farm forest) adalah hutan yang

tidak berada pada lahan yang dikuasai pemerintah , jadi hutan rakyat merupakan

hutan yang dimiliki oleh rakyat. Lebih lanjut Harjanto (2000) mengemukan bahwa

hutan rakyat merupakan hutan yang dimiliki oleh masyarakat yang dinyatakan oleh

kepemilikan lahan, karenanya hutan rakyat juga disebut hutan milik. Hutan rakyat ini

di Indonesia hanya merupakan bagian kecil dari total luas hutan tetapi tetap penting

karena selain fungsinya untuk perlindungan tata air pada lahan-lahan masyarakat,

juga penting bagi pemiliknya sebagai sumber penghasil kayu maupun sumber

pendapatan rumahtangga, disamping hasil-hasil lain seperti buah-buahan, daun,

kulit kayu, biji dan sebagainya. Hutan Rakyat diharapkan mampu mengembalikan

relasi harmonis antara manusia dan alam, ekologi dan ekonomi dan juga

mengintegrasikan unsur-unsur kehidupan yang lain seperti masyarakat sipil,

demokrasi, moralitas, kebudayaan dan spiritualitas. Menurut Sumarna (2001)

penanaman pepohonan di tanah milik masyarakat oleh pemiliknya, yang

tanamannya sekarang dikenal sebagai hutan rakyat, merupakan salah satu butir

kearifan masyarakat agraris dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhan rumah

tangganya. Dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk berikut kebutuhannya,

serta semakin terbatasnya kepemilikan tanah, peran hutan rakyat bagi

kesejahteraan masyarakat semakin penting. Pengetahuan tentang kondisi tanah

dan faktor-faktor lingkungannya untuk dipadukan dengan pengetahuan mengenai

jenis-jenis pohon yang akan ditanam untuk mendapatkan hasil yang diharapkan

5

Page 6: Pendahuluan

oleh pemilik lahan, merupakan faktor yang menentukan keberhasilan pembangunan

hutan rakyat

Masyarakat Adat dan Hutan Rakyat

Masyarakat adat, yang diperkirakan paling sedikit 30 juta jiwa di antaranya

berada di dalam di sekitar hutan, adalah salah satu kelompok utama penduduk

negeri ini yang menjadi korban politik pembangunan Rejim Orde Baru. Penindasan

terhadap masyarakat adat ini terjadi baik di bidang ekonomi, politik, hukum, maupun

di bidang sosial dan budaya lainnya. Kondisi ini menjadi demikian ironis karena

pada kenyataannya masyarakat adat merupakan elemen terbesar dalam struktur

negara–bangsa (nation-state) Indonesia. Namun dalam hampir semua keputusan

politik nasional, eksistensi komunitas-komunitas adat ini belum terakomodasikan,

atau bahkan secara sistematis disingkirkan dari proses-proses dan agenda politik

nasional. Perlakuan tidak adil ini bisa dilihat dengan sangat gamblang dari

pengkategorian dan pendefinisian sepihak terhadap masyarakat adat sebagai

"masyarakat terasing", "peladang berpindah", "masyarakat rentan", "masyarakat

primitif' dan sebagainya, yang mengakibatkan percepatan penghancuran sistem dan

pola kehidupan mereka, secara ekonomi, politik, hukum maupun secara sosial dan

kultural (Nababan 2003).

Menurut Pemerintah Kabupaten Tana Toraja (2005) yang dikenal sebagai

hutan rakyat di Tana Toraja pada umumnya adalah hutan yang diwariskan secara

turun temurun yang merupakan milik Tongkonan (Rumah Adat Toraja) yang

diberikan/diwariskan kepada keluarga yang merupakan turunan dari tongkonan

tersebut untuk dikelola secara bersama-sama dengan anggota keluarga lainnya dari

tongkonan yang sama. Jadi Hutan Rakyat yang ada di Toraja bukan milik individu

tetapi merupakan milik bersama.

Otonomi Daerah

Otonomi daerah pada dasarnya diharapkan dapat menjadi jalan keluar atau

jawaban terhadap berbagai krisis multidimensi yang selama ini mendera

masyarakat dan bangsa Indonesia sebagai akibat dari sistem pemerintahan

sentralistik, yang pelaksanaannya sarat dengan ketidakadilan meskipun kandungan

keadilan dalam konsepsinya dapat terbaca dalam hampir setiap rumusan

kebijaksanaannya. Melalui kebijaksanaan pemerintah daerah, persoalan-persoalan

terrsebut diharapkan dapat diatasi dengan baik.

6

Page 7: Pendahuluan

Pada bidang pembangunan kehutanan, karasteristik kebijakan kehutanan

akan bersifat khas setempat (local specifik) dengan mengakomodasikan aspirasi

arus bawah (bottom-up). Kompleksitas persoalan kehutanan klasik yang selama ini

tidak mampu ditangani oleh pemerintah pusat (seperti konflik kawasan hutan,

penebangan liar, penyelundupan kayu, perambahan hutan, kebakaran hutan dan

lain-lain) diyakini akan dapat diselesaikan melalui kebijakan otonomi daerah. Selain

itu, otonomi pengelolaan sumberdaya hutan juga diyakini akan mewujudkan suatu

bentuk keadilan ekonomi hutan, khususnya melalui restribusi hasil hutan.

Pemerintah daerah dan masyarakatnya diproyeksikan memperoleh berbagai

manfaat sumberdaya hutan secara lebih proporsional dan signifikan (Sutradjad,

2002).

Pemberlakuan otonomi daerah dalam kenyataannya telah membawa

perubahan pada pengelolaan hutan di Indonesia. Namun perubahan yang dimaksud

justru tidak sesuai dengan yang dikehendaki oleh Undang-Undang yang menjadi

landasan otonomi daerah (UU No. 22/1999 dan UU No.25/1999) serta tidak selaras

dengan Undang-Undang tentang Kehutanan (UU No. 41/1999). Laporan-laporan

dari berbagai pihak mengindikasikan bahwa laju kerusakan hutan di era otonomi

daerah ini semakin tinggi oleh karena aktivitas ekploitasi tidak diimbangi oleh

aktivitas pelestariannya (Sutradjad, 2002).

Selanjutnya, Sudradjad (2002) mengemukakan bahwa paling tidak

terdapat 21 isu strategis yang menjadi wacana “para pemain otonomi”. Ke-21 isu

tersebut dapat digolongkan kedalam tujuh aspek, yakni (a). aspek peraturan

perundang-undangan, (b). aspek kelembagaan, (c). Aspek SDM, (d). Aspek

komunikasi, (e). Aspek persepsi, (f). Aspek ekonomi, serta (g). Aspek politis dan

potensi komplik.

Pembangunan kehutanan dan khususnya pembangunan hutan rakyat

sebagai bagian integral dari pembangunan daerah dan bahkan pembangunan

nasional tentunya tidak bebas dari isu-isu tersebut. Hal ini bermakna bahwa

penyusunan strategi pembangunan hutan rakyat ke depan perlu memperhatikan

dan mempertimbangankan isu-isu dan ketujuh aspek termaksud.

7

Page 8: Pendahuluan

METODE ANALISIS

Cakupan Wilayah Penulisan

Penelitian ini pada dasarnya dimaksudkan untuk menjelaskan sejarah dan

kondisi pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Tana Toraja, khususnya hutan

rakyat pinus yang mempunyai potensi yang sangat besar.

Jenis data yang dikumpulkan

Data yang dikumpulkan, dilakukan melalui penelusuran laporan atau

dokumen lainnya, antara lain meliputi :

a. Sejarah perkembangan dan program-program pembangunan hutan rakyat

beserta tingkat keberhasilan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

b. Pihak-pihak yang terlibat, langsung ataupun tidak langsung, dalam pelaksanaan

program tersebut.

c. Kondisi budaya dan sosial ekonomi masyarakat beserta tingkat

ketergantungannya pada lahan hutan.

d. Bentuk, sifat dan cara keterlibatan warga masyarakat dalam aktivitas

pembangunan dan pengelolaan hutan rakyat.

Metode Analisis

Karena penulisan ini bersifat penelusuran dokumen-dokumen pustaka

maka metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini lebih bersifat deskriptif

kualitatif yang hanya menggambarkan perkembangan hutan rakyat di Kabupaten

Tana Toraja.

8

Page 9: Pendahuluan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sejarah Perkembangan Hutan Rakyat Di Kabupaten Tana Toraja

Kabupaten Tana Toraja adalah merupakan kabupaten yang terletak pada

bagian paling hulu dari DAS Saddang yang merupakan salah satu DAS terluas di

Propinsi Sulawesi Selatan. Konon, leluhur orang Toraja adalah manusia yang

berasal dari nirwana, mitos yang tetap melegenda turun temurun hingga kini secara

lisan dikalangan masyarakat Toraja ini menceritakan bahwa nenek moyang

masyarakat Toraja yang pertama menggunakan "tangga dari langit" untuk turun dari

nirwana, yang kemudian berfungsi sebagai media komunikasi dengan Puang Matua

(Tuhan Yang Maha Kuasa). Nama Toraja mulanya diberikan oleh suku Bugis

Sidendereng dan dari luwu. Orang Sidendreng menamakan penduduk daerah ini

dengan sebutan To Riaja yang mengandung arti "Orang yang berdiam di negeri

atas atau pegunungan", sedang orang Luwu menyebutnya To Riajang yang artinya

adalah "orang yang berdiam di sebelah barat". Ada juga versi lain bahwa kata

Toraya asal To = Tau (orang), Raya = dari kata Maraya (besar), artinya orang orang

besar, bangsawan. Lama-kelamaan penyebutan tersebut menjadi Toraja, dan kata

Tana berarti negeri, sehingga tempat pemukiman suku Toraja dikenal kemudian

dengan Tana Toraja. Konon manusia yang turun ke bumi, telah dibekali dengan

aturan keagamaan yang disebut aluk. Aluk merupakan aturan keagamaan yang

menjadi sumber dari budaya dan pandangan hidup leluhur suku Toraja yang

mengandung nilai-nilai religius yang mengarahkan pola-pola tingkah laku hidup dan

ritual suku Toraja untuk mengabdi kepada Puang Matua. Dalam penelitian pada

hakekatnya aluk merupakan budaya/aturan hidup yang dibawa kaum imigran dari

dataran Indo Cina pada sekitar 3000 tahun sampai 500 tahun sebelum masehi.

Dalam sejarah perkembangannya kabupaten ini merupakan salah satu

kabupaten yang masih tetap melestarikan budayanya yang merupakan salah satu

budaya tertua di Sulawesi bahkan di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari keunikan

budaya masyarakatnya yang sampai saat ini masih tetap dipelihara antara lain

upaca adat berupa upacara rambu tuka’ (upacara syukuran) dan rambu solo’

(upacara duka). Kedua upacara adat ini dilaksanakan pada rumah adat yang

disebut Tongkonan dimana tongkonan inilah yang merupakan salah satu simbol

Kabupaten Tana Toraja. Konon kata Tongkonan berasal dari istilah "tongkon" yang

berarti duduk, dahulu rumah ini merupakan pusat pemerintahan, kekuasaan adat

dan perkembangan kehidupan sosial budaya masyarakat Tana Toraja. Rumah ini

9

Page 10: Pendahuluan

tidak bisa dimiliki oleh perseorangan, melainkan dimiliki secara turun-temurun oleh

keluarga atau marga suku Tana Toraja. Dengan sifatnya yang demikian, tongkonan

mempunyai beberapa fungsi, antara lain: pusat budaya, pusat pembinaan keluarga,

pembinaan peraturan keluarga dan kegotongroyongan, pusat dinamisator, motivator

dan stabilisator sosial.

Tongkonan merupakan peninggalan yang harus dan selalu dilestarikan,

hampir seluruh Tongkonan di Tana Toraja sangat menarik untuk dikunjungi

sehingga bisa mengetahui sejauh mana adat istiadat masyarakat Toraja, serta

banyak sudah Tongkonan yang menjadi objek wisata. tongkonan ini seluruh

bagiannya terbuat dari kayu dengan ukiran yang sangat unik dan memiliki nilai seni

yang tinggi, uniknya lagi bangunan ini tidak menggunakan paku atau sejenisnya

untuk melekatkan kayu/balok yang dipasang/disambung. Karena semua bahannya

terbuat dari kayu maka masyarakat selalu berusaha untuk menanam dan

memelihara pohon yang digunakan untuk membangun rumah. Jenis kayu yang

mutlak ada pada tongkonan antara lain adalah jenis uru/cempaka, bambu dan

buangin (Casuarina). Lokasi di sekitar tongkonan selalu ditumbuhi oleh ketiga jenis

ini dan yang paling mendominasi adalah bambu karena jenis ini selain digunakan

sebagai atap pada tongkonan juga digunakan untuk membuat lantang/podokan

dalam pelaksanaan upacara adat (Pemda Tana Toraja, 2005)

Dari hasil wawancara yang pernah dilakukan penulis dengan masyarakat

setempat dapat diketahui bahwa untuk satu orang dari tongkonan biasanya dengan

kesadaran sendiri selalu menanam paling sedikit 1 jenis pohon yang tersebut diatas

dan pohon ini akan selalu dipelihara apabila masih dalam ukuran kecil (belum dapat

tumbuh dengan sendirinya) sampai umur sekitar 1,5 tahun. Lahan yang ada di

sekitar tongkonan yang ditumbuhi oleh pohon dari berbagai jenis yang ditanam

masyarakat untuk tongkonan merupakan milik tongkonan yang selanjutnya biasa

dikenal dengan istilah hutan adat dan kemudian berkembang dan di Toraja dikenal

dengan istilah hutan rakyat

Perkembangan Hutan Rakyat Pinus Di Kabupaten Tana Toraja

Menurut Dinas Kehutanan Kabuapten tana Toraja tahun 2005 hutan rakyat

pinus yang ada di Kabupaten Tana Toraja merupakan hasil Program Penghijauan

tahun 1976, pinus ini ditanam pada lahan milik tongkonan yang yang pada saat itu

tergolong tidak subur. Sejak ditanam pinus ini mengalami perkembangan yang

sangat pesat bahkan mampu menggeser tumbuhan/pohon lain yang tumbuh di

tanah milik rakyat, namun pemanfaatannya tidak pernah dilakukan dalam skala

10

Page 11: Pendahuluan

yang besar tetapi hanya digunakan oleh masyarakat untuk membangun rumah dan

rantingnya untuk kayu bakar. Hal ini terjadi karena masih kuatnya adat masyarakat

Toraja dimana pohon hanya ditebang apabila akan digunakan untuk membangun

rumah atau dimanfaatkan langsung untuk keperluan rumahtangga, juga

peruntukannya bagi kepentingan hidro-orologis yang harus tetap dipertahankan

karena tanaman tersebut tumbuh dan berada pada lahan-lahan yang tergolong

kedalam kawasan lindung dan kawasan penyangga. Dengan adanya pemberlakuan

otonomi daerah dan krisis ekonomi yang semakin menekan rakyat maka mulai

dicanangkan pemanfaatan hutan pinus pada beberapa tahun terakhir, oleh

masyarakat dan Pemerintah Kabupaten Tana Toraja.

Menurut Malamassam (2005) potensi hutan rakyat di Kabupaten Tana

Toraja secara luasan cukup besar yaitu mencapai 223.428 Ha atau sedikit lebih luas

dari hutan produksi biasa yang hanya 200.673 Ha. Namun demikian, pemanfaatan

hutan rakyat inipun potensil untuk menimbulkan masalah oleh karena 67,21% atau

tepatnya 150.156 Ha dari areal hutan rakyat ini berada dalam kawasan yang

diharapkan dapat berfungsi lindung. Dari luasan hutan rakyat ini pinus menempati

urutan tebesar dengan luasan sekitar 12.510,40 Ha.

Perkembangan Pengelolaan / Pemanfaatan Hutan Rakyat Pinus di Kabupaten Tana Toraja

Sampai pada saat ini, Pemerintah Kabupaten Tana Toraja, telah

mengeluarkan izin pengelolaan hutan pinus rakyat kepada tiga perusahaan dan

atau pemilik industri perkayuan untuk bersama-sama dengan para pemiliknya

mengelola pemanfaatan hutan rakyat, khususnya di Kecamatan Mengkendek,

Kecamatan Sangalla, Kecamatan Buntao’ Rantebua dan Kecamatan Rantetayo.

Perincian luas dan volume tebangan yang diizinkan lokasinya dapat dilihat pada

Tabel 1.

Tabel 1. memperlihatkan bahwa total penebangan yang diizinkan

berdasarkan SK Bupati adalah sebanyak 69.235 m3 untuk periode waktu tiga tahun.

Menurut Malamassam (2005) jumlah ini sebetulnya masih relatif kecil bila

dibandingkan dengan total potensi yang ada, yaitu sebanyak 1.347.582,42 m3.

Berdasarkan nilai total potensi ini, jumlah tebangan yang dapat diperkenankan bila

diberlakukan daur 20 tahun adalah 67.379,12 m3

11

Page 12: Pendahuluan

Tabel 1. Perkembangan Pemanfaatan Hutan Pinus Rakyat di Kabupaten Tana Toraja

Perusahaan Pengelola

Izin Pengelolaan

Luas (Ha)

Volume (m3)

Lokasi

Kecamatan Lembang

PT. N e l l y Jaya Pratama

SK Bupati : No.481/IV/2002 250,0 17.425 Mengkendek Patengko

PT. I r m a Sulindo

SK Bupati : No.1526/XI/2002 83,4 7.214 Mengkendek Simbuang Tando-

Tando

PT. N e l l y Jaya Pratama

SK Bupati :No. 466/IV/2004 135,2 14.534 Mengkendek

Salubarani Mangasi Tampo MarindingBuntu Limbong

PT. Global Forestindo

SK Bupati : No.436/ IV/2003 265,0 30.062

Rantetayo Tapparan

Sangalla Batualu Rinding Daun Induk

Buntao’ Rantebua

Buntao Misa’ Babana Patang Penanian

Mengkendek

Tampo Simbuang Burisan Rinding MangasiSillanan Tangti Rante Kalua

Jumlah 733,6 69.235Catatan : Taksiran Total Potensi Hutan Pinus Rakyat di Wilayah ini adalah 1.347.582,42 m3

Sumber : SK Bupati Kabupaten Tana Toraja

Dengan demikian untuk periode 3 tahun, jumlah tebangan yang

dimungkinkan dari wilayah ini sebenarnya dapat mencapai tiga kali lipat dari jumlah

tersebut, yaitu tepatnya sebanyak 202.137,36 m3, namun dengan catatan bahwa

penebangan di luar yang dizinkan tidak terjadi. Dengan kata lain, diperlukan

pengawasan yang ketat untuk menghindari terjadinya penebangan di luar yang

diizinkan. Sehubungan dengan itu pula, diperlukan perencanaan detail yang selain

mencantumkan pemilik hutan rakyat yang akan ditebang beserta jumlah volume

tebangan, juga harus memuat peta penyebaran lokasi penebangan dan juga

dilengkapi dengan peta pohon yang akan ditebang. Hal yang tidak kurang

pentingnya untuk dilakukan adalah kegiatan pembinaan dan pemberdayaan para

pemilik hutan rakyat agar lebih memahami dan menghayati prinsip-prinsip

12

Page 13: Pendahuluan

pelestarian hutan, untuk seterusnya diterapkan secara konsisten dalam upaya

pemanfaatan hutan milik mereka.

Keadaan Industri Pengelolaan Hutan Terkait

Pemanfaatan Hutan Pinus Rakyat sudah dilakukan oleh tiga perusahaan

industri kayu yaitu : PT. Irmasulindo, PT. Nelly Jaya Pratama (NJP) dan PT. Global

Forestindo (GF). PT. Irmasulindo melakukan penjarangan tegakan pinus di

Kecamatan Mengkendek sedangkan PT.NJP dan PT.GF mendapatkan kayu pinus

dari hutan rakyat dengan diameter minimum 20 cm. Selain ketiga perusahaan di

atas sebagian kayu yang diperoleh dari tegakan pinus juga dimanfaatkan oleh

masyarakat sebagai bahan bangunan.

Tabel 2. Harga Jual Pinus di Kabupaten Tana Toraja.

No.

Bentuk Kayu Pinus

Harga (m3/Rp) berdasarkan Lokasi PenjualanPT. Nelly Jaya Pratama PT. Global Forestindo

Petani Pengumpul Industri Petani Pengumpul Industri

1. Log 60.000 170.000 200.000 48.000 150.000 175.000

2. Papan 400.000 450.000 500.000 400.000 450.000 500.000

Sumber : Dinas Kehutanan Kabupaten Tana Toraja Tahun 2005

PT.NJP dan PT.GF mengusahakan hutan pinus rakyat di Kecamatan

Mengkendek untuk kebutuhan Veener (ply wood) dan Kayu pengrajin yang

kemudian dipasarkan ke Jawa dan Luwu. Selain dari Kecamatan Mengkendek

sebagian bahan bakunya juga berasal dari Kabupaten Enrekang, adapun harga jual

pinus terhadap kedua perusahaan ini disajikan pada Tabel 2. Kegiatan kedua

perusahaan ini di Kabupaten Tana Toraja untuk sementara ditutup akibat adanya

keluhan dan berbagai lapisan masyarakat yang menganggap kedua perusahaan ini

akan merusak lingkungan hidup khususnya hutan pinus di Kabupaten Tana Toraja

apabila akan terus beroperasi.

13

Page 14: Pendahuluan

Pengelolaan Hutan Rakyat Berbasis Asas Kelestarian Hasil

Menurut Bruenig dalam Suhendang (2004) konsep kelestarian hasil dalam

pengelolaan hutan yang berkembang di Eropa berlandaskan kepada beberapa

prinsip dasar pemikiran mengenai hutan dan manfaatnya. Prinsip itu adalah :

a. Prinsip etika yang mengamanatkan bahwa hutan, sebagai bagian dari hasil

proses dan warisan alam harus menjadi tanggungjawab umat manusia untuk

mengelola dan melestarikannya

b. Keseimbangan yang adil dan proporsional antara pemenuhan kebutuhan umat

manusia dengan upaya perlindungan dan pelestarian sifat-sifat dasar ekologis

dari suatu ekosistem (Hartig, 1820; Hundeshagen, 1828 dalam Suhendang

2004)

c. Pandangan yang menyatakan bahwa hutan dan kehutanan merupakan bagian

yang tidak terpisahkan dari warisan budaya nasional yang bersifat alami,

lingkungan hidup, Ekonomi, Seni dan Sumber Pengetahuan (Von Carlowitz

dalam Suhendang 2004).

d. Prinsip etika yang menuntut adanya keadilan antar generasi yang secara moral

mengharuskan adanya pembatasan dalam memenuhi berbagai macam

kebutuhan.

Berdasarkan prinsip ini maka dapat diketahui bahwa hutan dan

pemanfaatannya harus diperuntukkan bagi umat manusia dari generasi-ke generasi

dalam artian harus tetap dijaga kelestarian manfaatnya. Menurut Malamassam 2005

untuk mencapai kelestarian hasil maka pengelolaan hutan pinus milik rakyat di

Kabupaten Tana Toraja dilakukan dengan membentuk Satuan Pengelolaan Hutan

Rakyat. Satuan pengelolan hutan rakyat ini untuk lebih jelasnya lokasinya dapat

dilihat pada Gambar Peta 1.

Pembagian SHPR ini selain mempertimbangkan kemudahan dari segi fisik

teknis juga didasarkan pada kesamaan budaya/adat pada setiap SHPR, dimana

wilayah adat di Tana Toraja dapat dibagi atas 5 bagian berdasarkan kesamaan

dalam penentuan tingkatan sosial. Satuan Pengelolaan Hutan Rakyat yang

dimaksud masing-masing sebagai berikut :

SPHR - I meliputi Kecamatan Mengekendek dan Sangalla

SPHR - II meliputi Kecamatan Buntao’ Rantebua dan Tondon

Nanggala

14

Page 15: Pendahuluan

SPHR - III meliputi Kecamatan Rantetayo, Saluputti dan Bittuang

SPHR - IV meliputi Kecamatan Rindingallo, Sesean dan Sa’dan

Balusu

SPHR - V meliputi Kecamatan Bonggakaradeng dan Simbuang

SHPR I dikenal dengan istilah wilayah tallu lembangna yang teridiri dari kecamatan

Makale, Mengekndek dan Sangalla (Makale tidak memiliki hutan pinus) dimana

pimpinan masyarakat dalam wilayah tersebut dikenal dengan nama puang. Untuk

SHPR II pimpinan masyarakat adatnya biasanya dikenal dengan nama sindok,

untuk SHPR III dan V dikenal dengan nama ma’dika dan SHPR IV dikenal dengan

nama toparenge dan puang. Untuk SHPR III dan SHPR V dipisakan karena dari

segi letak cukup berjauhan. Syarat untuk menjadi pemanku adat ini adalah kaya,

pintar, bijaksana dan berwibawa dalam suatu kombongan (musyawarah adat

kampung). Tugas pemangku adat ini adalah bertanggungjawab atas kesejahteraan

masyarakat, memelihara semua aturan yang telah ditetapkan yang berkaitan

dengan aluk dan adat istiadat (Matandung, 2003)

Pembagian pengelolaan ke dalam sistem SHPR ini dilakukan dengan

maksud untuk lebih mempermudah sistem pengelolaan karena berbasis pada adat

dan kebiasaan yang sama, ini dapat terjadi karena pada setiap wilayah adat

masyarakat sangat patuh terhadap aturan adat dan tokoh atau pimpinan adat di

wilayah masing-masing.

Pengelolaan Hutan Rakyat Berbasis Asas Kelestarian Sumberdaya Hutan

Telah dikemukakan di muka bahwa hutan rakyat di Toraja memiliki

karakteristik tertentu karena kebanyakan dari hutan rakyat ini merupakan milik

bersama, selain itu luas kepemilikannya tidak merata, pola penyebarannya tidak

terkompleks. Karakteristik tersebut di atas menuntut suatu sistem pengelolaan yang

spesifik sesuai dengan kondisi masing-masing hutan rakyat. Untuk mendukung

sistem pengelolaan ini dibutuhkan suatu kelembagaan yang khusus pula.

Kelembagaan yang dimaksudkan harus melibatkan petani atau pemilik hutan rakyat,

pemerintah setempat dan industri pengguna hasil hutan rakyat. Lembaga ini

diharapkan dapat berperan sebagai pengawal dan fasilitator pengelolaan hutan

rakyat mulai dari perencanaan, eksploitasi dan pemasaran hasil serta penanaman

kembali dan pemeliharaan tanaman. Lembaga ini dapat diberi nama Lembaga

15

Page 16: Pendahuluan

Hutan Lestari (LHL), dimana keterkaitan antara anggota lembaga beserta

peranannya secara diagramatik disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Skema Lembaga Hutan Lestari dalam Pengelolaan Hutan Rakyat di Tana Toraja.

Ketiga komponen dari Lembaga Hutan Lestari ini (Petani, Pemerintah dan

Pengusaha) diharapkan dapat mengembangkan sistem pengelolaan hutan rakyat

yang dapat menjamin optimalisasi dan kelestarian manfaat / hasil hutan rakyat

tanpa harus mengorbankan kepentingan pelestarian lingkungan. Lembaga ini

diharapkan dapat menampung dan menyelesaikan semua permasalahan yang

dihadapi di dalam pengelolaan hutan rakyat, baik pada tingkat petani maupun pada

tingkat pengusaha dan pemerintah daerah.

Aktivitas pengelolaan hutan rakyat tingkat petani perlu diatur dan

difasilitasi sedemikian rupa sehingga aktivitas tersebut dapat berlangsung dengan

tetap memperhatikan dan menjamin keseimbangan antara kepentingan sosial

ekonomi dan kepentingan perlindungan lingkungan. Karakteristik hutan rakyat yang

spesifik, terutama dalam hal pola kepemilikannya, adapt istiadat setempat,

menuntut diperlukannya suatu organisasi pengelolaan yang dapat mendukung dan

memfasilitasi aktivitas pengelolaan yang menjamin keseimbangan kepentingan

yang dimaksudkan di atas. Pembuatan struktur organisasi pengelolaan hutan ini

harus memperhatikan kondisi adat setempat yang telah dibagi dalam setiap SHPR

agar pelaksanaannya di lapangan dapat terkoordinir dengan mudah karena

diketahui bahwa masyarakat toraja sangat menjunjunng tinggi budaya dan sangat

Petani Hutan Rakyat

Pemerintah

Industri /Pengusaha

LHL

1. Penetapan Jatah tebang dan kuota produksi tebangan

2. Penetapan harga jual kayu (tingkat petani, tingkat industri, besarnya retribusi)

3. Pemeliharaan / Pengawasan Hutan

16

Page 17: Pendahuluan

menghormati tokoh adat mereka. Adapun struktur organisasi yang dimaksud dapat

dilihat pada Gambar 2

.

Gambar 2. Struktur Organisasi Kelompok Tani Hutan Rakyat

Pengelolaan Hutan Rakyat Berbasis Asas Kelestarian Ekosistem

Menurut Overbay (1992) dalam Suhendang 2005 pengelolaan ekosistem

adalah suatu alat atau cara yang digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan yang

telah ditetapkan dalam program-ptogram dan rencana. Pengelolaan ekosistem

merupakan alat untuk mencapai suatu keadaan akhir, akan tetapi bukan merupakan

suatu keadaan akhirnya sendiri. Sedangkan menurut Thomas and Huke (1996)

dalam Suhendang 2005 pengelolaan ekosistem adalah suatu konsep pengelolaan

sumberdaya alam yang didalamnya dipertimbangkan (dicakup) kegiatan-kegiatan

pengelolaan hutan dengan memperhatikan interaksi antara faktor-faktor ekonomis,

ekologis, dan sosial di dalam suatu kesatua daerah atau wilayah tertentu, baik untuk

kepentingan jangka pendek maupun jangka panjang.

Pembangunan rumah tongkonan yang kesemuanya menggunakan kayu

dapat dijadikan dasar dalam pelestarian ekosistem pada pembangunan hutan

rakyat di Kabuapten Tana Toraja. Menurut Matandung (2003) hutan adat milik

tongkonan selain sebagai sumber kayu untuk bahan bangunan juga merupakan

sumber bahan obat-obatan bagi anggota tongkonan, tongkonan juga merupakan

sumber/pusat pemerintahan. Dengan demikian peran tongkonan dalam adat toraja

dapat dijadikan sebagi salah satu dasar dalam pelestarian sumberdaya hutan. Hal

Ketua

(Tokoh Adat)

Sekretaris Bendahara

Bagian Perencanaan dan

Pengaturan Produksi Kayu

Bagian Pengaturan Produksi dan Tata Usaha Kayu

Bagian Teknik Budidaya

Bagian Pemasaran

Pembina(Pemerint

ah)

Fasilitator(Perusahaa

n)

17

Page 18: Pendahuluan

ini dapat dilakukan dengan menanam jenis obat-obatan dan jenis pohon yang

dipersayaratkan ada di bangunan tersebut seperti cempaka/uru dan buangin

(casuarina). Kedua jenis pohon ini sangat disukai oleh masyarakat Toraja dan akan

selalu dipelihara dengan baik. Kedua jenis ini dapat dijadikan jenis pengganti pinus

yang telah ditebang, disamping itu kedua jenis ini mempunyai nilai ekonomi yang

tinggi dibandingkan dengan pinus. Diinformasikan pula bahwa sampai sekarang

masyarakat toraja masih tetap memlihara tongkonan bahkan sudah mulai

bermunculan tongkonan baru sehingga diharapkan pertumbuhan tongkonan ini

akan dapat mejaga kelestarian ekosistem dengan ditanamnya jenis yang dimaksud

mengingat toraja berada pada bagian hulu DAS Saddang. Selain itu untuk tetap

menjaga kelestarian ekosistem dalam DAS Saddang maka diharapkan pengelolaan

hutan rakyat di Toraja harus memperhatikan kesatuan bentang alam menurut bata-

batas ekologis bukan batas administrasi. Diamana kabupaten di daerah hilir

diharpakan dapat memberikan insentif ke Kabupaten Tana Toraja untuk membantu

pembiayaan pembangunan hutan rakyatnya sehingga pengelolaannya dapat

terlaksana dengan baik, yang juga akan memberikan dampak positif bagi daerah

hilir.

18

Page 19: Pendahuluan

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan data dan informasi yang telah dipaparkan pada bagian

terdahulu maka dapat dirumuskan beberapa kesimpulan pokok sebagai berikut :

1. Berdasarkan kondisi penyebaran, luas, kedekatan lokasi dan kedekatan

masyarakat adat dari pemiliknya, maka pengelolaan hutan rakyat di

Kabupaten Tana Toraja dapat dikelompokkan atas lima Satuan Pengelolaan

Hutan Rakyat (SPHR)

2. Dari segi potensi, tanaman rakyat pinus di Tana Toraja layak untuk

diusahakan melalui penerapan asas kelestarian hasil, kelestarian

sumberdaya hutan dan asas kelestarian ekosistem yang berlandaskan adat

istiadat dan tongkonan masyarakat toraja.

3. Kawasan hutan rakyat di Kabupaten Tana Toraja seyogyanya berfungsi

penyangga dan berfungsi lindung karena berada pada wilayah hulu DAS.

Dengan demikian, pengeolaan kawasan ini, selain harus memperhatikan

fungsi sosial ekonomi bagi para pemiliknya, juga harus memperhatikan

fungsi penyangga dan fungsi lindung dari kawasan yang bersangkutan dan

sistem pengelolaannya harus berdasarkan batas wilayah ekologi.

Saran

Berdasarkan simpulan di atas maka dapat dikemukakan beberapa saran

sebagai berikut :

1. Pengelolaan Hutan Rakyat di Tana Toraja harus diawali dengan penataan

areal dan pengaturan produksi yang diterjemahkan kedalam perencanaan

jangka panjang, jangka menengah dan tahunan. Perencanaan Jangka

Panjang dibuat untuk setiap Satuan Pemangkuan Hutan Rakyat, sedang

Perencanaan Jangka Menengah dan Jangka Tahunan dibuat untuk setiap

kelompok tani hutan rakyat

2. Untuk kepentingan jangka panjang, kegiatan penanaman hendaknya tidak

hanya dibatasi pada lokasi penebangan tetapi juga pada areal-areal kosong

yang memungkinkan untuk itu. Pada kegiatan penanaman kembali

dianjurkan untuk melakukan diversifikasi jenis, dengan memberi prioritas

19

Page 20: Pendahuluan

pada jenis-jenis ungulan setempat, sambil tetap memperhatikan kebutuhan

industri perkayuan.

3. Dalam rangka mendukung optimalisasi pendayagunaan hutan rakyat ke

depan, diperlukan pengembangan kelembagaan, baik pada tingkat

kelompok tani maupun pada tingkat yang lebih luas seperti tingkat DAS

dengan melibatkan berbagai pihak dalam suatu wadah yang disebut

Lembaga Hutan Lestari, dimana dalam lembaga ini diharapkan keterlibatan

dari Kabupaten lain yang turut menikmati hutan toraja yang terletak pada

daerah hilir dengan memberikan bantuan berupa insentif untuk pengelolaan

hutan rakyat toraja.

20

Page 21: Pendahuluan

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2005. http://www.toraja.go.id/. Webside Pemerintah Kabupaten Tana Toraja.

Hendarto K.A., 2003. Proyek Kehutanan Sosial dan Penganggaran Berwawasan Gender : Suatu Ulasan Teoritis. Jurna Hutan Rakyat Volume V No. 3. Pusat Kajian Hutan Rakyat Universitas Gadjahmada. Jogjakarta.

Malamssam D., 2005. Pengkajian Ulang Pemanfaatan dan Pengelolaan Hutan Rakyat Di Tana Toraja, P3DAS Universitas Hasanuddin. Makassar.

Malamassam D., 2005. Pergeseran Paradigma Pendayagunaan Sumberdaya Hutan dan Hubungannya dengan Pemberlakuan Otonomi Daerah. Pidato Penerimaan Jabatan Guru Besar Unhas. Makassar.

Matandung, 2003. Kelembagaan Adat dan Budaya dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam yang Berkelanjutan di Tana Toraja. Pemerintah Daerah Tana Toraja.

Nababan A dan Raden B., 2003., Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Adat : Antara Konsep dan Realitas. Makalah yang disajikan dalam Kongres Kehutanan Indonesia III, Senayan-Jakarta, 25-28 Oktober 2001.

Sudradjat A., 2002. 21 Isu Desentralisasi (Otonomi Kehutanan). Mencari Format Desentralisasi Kehutanan pada Masa Transisi, hal 1 s/d 18. Nectar Indonesia.

Suhendang E., 2004. Kemelut Dalam Pengurusan Hutan. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Suhendang E. et al., 2005. Ilmu Perencanaan Hutan. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Sumarna K., 2001. Deskripsi Empat Jenis Pohon untuk Pengembangan Hutan Rakyat. Buletin Kehutanan Vol. 2 No. 1. Departemen Kehutanan.

21