penatalaksanaan fisioterapi pada kasus bell’s palsy …eprints.ums.ac.id/74837/12/naskah...
TRANSCRIPT
PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KASUS BELL’S
PALSY SINISTRA DI RSJD Dr. RM. SOEDJARWADI
JAWA TENGAH
Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Diploma III
pada Jurusan Fisioterapi Fakultas Ilmu Kesehatan
Oleh:
SEIKLY CHANDRA AYU TISNAWATI SAPUTRI
J100 160 034
PROGRAM STUDI DIPLOMA III FISIOTERAPI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2019
i
ii
iii
1
PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KASUS BELL’S
PALSY SINISTRA DI RSJD Dr. RM SOEDJARWADI JAWA
TENGAH
Abstrak
Bell’s Palsy adalah paralisis pada lower motor neuron di saraf fasialis yang
disebabkan oleh adanya virus dan kondisi iskemik saraf fasialis yang
mengakibatkan nyeri di belakang telinga dan kelemahan otot-otot wajah.
Gangguan yang dapat menjadi ciri khas dari Bell’s Palsy antara lain penderita
tidak mampu menggerakkan sisi wajahnya yang lesi, mulut terkulai, senyum
asimetris, dan gangguan mengunyah. Pada fungsi viseralnya terdapat gangguan
produksi kelenjar lakrimal dan saliva. Berkurangnya produksi kelenjar lakrimal
menyebabkan mata kering. Sedangkan untuk kelenjar saliva sulit dikontrol karena
mulut terkulai. Tujuan dari penatalaksanaan ini adalah untuk mengetahui
pelaksanaan fisioterapi dalam mengurangi nyeri di belakang telinga dan
meningkatkan kekuatan otot-otot wajah dengan modalitas infra red, electrical
stimulation, massage, dan mirror exercise. Setelah dilakukan terapi selama 4 kali
didapatkan hasil penilaian nyeri diam T1: 2,2 menjadi T4: 0 dan penilaian
kekuatan otot-otot wajah T1: 30% menjadi T4: 84%. Infra red, electrical
stimulation, massage, dan mirror exercise dapat mengatasi gangguan yang ada
pada kasus Bell’s Palsy.
Kata Kunci: Bell’s Palsy, infra red, electrical stimulation, massage, dan mirror
exercise.
Abstract
Bell's Palsy is the paralysis of the lower motor neurons in the facial nerve caused
by the presence of a virus and the condition of the facial nerve ischemia which
results in pain behind the ear and weakness of the facial muscles. Disorders that
can be characteristic of Bell's Palsy include sufferers unable to move the side of
their lesions, drooping mouth, asymmetrical smile, and chewing disorders. In its
visual function there are disorders of the production of the lacrimal gland and
saliva. Reduced production of the lacrimal gland causes dry eyes. As for the
salivary glands it is difficult to control because the mouth droops. The purpose of
this management is to find out the physiotherapy in reducing pain behind the ear
and increasing the strength of facial muscles with infrared modalities, electrical
2
stimulation, massage, and mirror exercise. After 4 times the therapy was obtained,
the results of silent pain assessment T1: 2.2 to T4: 0 and the assessment of the
strength of facial muscles T1: 30% to T4: 84%. Infra red, electrical stimulation,
massage, and mirror exercise can overcome the disorders that occur in the case of
Bell's Palsy.
Keywords: Bell’s Palsy, Infra Red, Electrical Stimulation, Massage, and Mirror
Exercise.
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Bell’s Palsy adalah paralisis pada saraf fasialis (N.VII) yang bersifat akut dan
ipsilateral. Paralisis ini mengakibatkan terjadinya kelemahan otot-otot wajah dan
platisma. Kelemahan otot wajah maksimal akan terlihat jelas dalam jangka waktu
2 hari (Zandian et al., 2014). Dari seluruh gangguan neuropati menerangkan
bahwa frekuensi Bell’s Palsy sebesar 19,55%. Data tersebut dikumpulkan dari 4
buah rumah sakit yang ada di Indonesia (Mujadiddah, 2017).
Terganggunya fungsi motorik di area mulut terjadi karena adanya
kelemahan otot orbikularis oris. Sama halnya dengan gangguan di area mata
terjadi karena kelemahan otot orbikularis okuli. Sedangkan untuk fungsi viseral
yang berperan adalah intensitas produksi kelenjar saliva dan lakrimal. Ketika otot
orbikularis oris lemah maka air liur sulit untuk dikontrol. Produksi kelenjar
lakrimal yang berkurang menyebabkan kondisi mata kering (Davis & Gilhooley,
2016). Ciri khas lainnya yaitu adanya nyeri di belakang telinga, tidak mampu
menggerakkan sisi wajahnya yang lesi, mulut terkulai, senyum asimetris, dan
gangguan mengunyah.
Permasalahan yang telah dipaparkan di atas dapat ditarik sebuah
permasalahan fisioterapi yaitu adanya kelemahan otot-otot wajah.
Penatalaksanaan fisioterapi yang dapat dirumuskan yaitu dengan pemberian
modalitas infra red, electrical stimulation, massage, dan mirror exercise untuk
megurangi nyeri dan meningkatkan kekuatan otot-otot wajah. Infra red akan
memberikan efek sedatif dengan penyinaran yang cukup lama. Kedua, electrical
stimulation akan menyebabkan kontraksi otot dan merangsang regenerasi saraf
3
fasialis. Ketiga, massage diaplikasikan untuk mencegah kontraktur. Sedangkan
mirror exercise dapat meningkatkan kekuatan otot-otot wajah.
1.2 Tujuan Penelitian
Tujuan yang diajukan dari permasalahan yang timbul adalah sebagai berikut:
1.2.1 Tujuan dari naskah publikasi ilmiah ini adalah untuk mengetahui
keefektifan pemberian infra red, electrical stimulation, massage, dan
mirror exercise untuk menurunkan nyeri pada kondisi Bell’s Palsy.
1.2.2 Tujuan dari naskah publikasi ilmiah ini adalah untuk mengetahui
keefektifan pemberian infra red, electrical stimulation, massage, dan
mirror exercise untuk meningkatkan kekuatan otot-otot wajah pasien pada
kondisi Bell’s Palsy.
2. METODE
Penatalaksanaan fisioterapi dilakukan sebanyak 4 kali terapi di RSJD Dr. RM.
Soedjarwadi Jawa Tengah pada pasien Tn. Sukarmin, usia 67 tahun, dengan
diagnosa medis Bell’s Palsy Sinistra. Penatalaksanaan fisioterapi menggunakan
metode infra red, electrical stimulation, massage, dan mirror exercise. Metode
tersebut digunakan untuk memberikan efek nyaman untuk mengurangi nyeri di
belakang telinga pasien dan meningkatkan kekuatan otot-otot wajah sisi kiri
pasien yang mengalami lesi. Selain itu, pasien diberikan edukasi seperti
mengompres wajah menggunakan air hangat, tidak menggunakan kipas angin saat
tidur, menggunakan helm saat berkendara motor, dan mengurangi intensitas untuk
keluar di malam hari.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil
3.1.1 Nyeri
Alat ukur nyeri yang digunakan adalah Visual Analogue Scale (VAS). Berikut ini
adalah grafik yang disajikan sebagai hasil pengukuran intensitas nyeri di belakang
telinga pasien.
4
Grafik 1. Penilaian Nyeri dengan VAS
Berkurangnya derajat nyeri diam di belakang telinga kiri pasien dari T1 dengan
hasil 2,2 cm atau bisa diinterpretasikan sebagai nyeri ringan menjadi T4 dengan
hasil 0 cm yaitu tidak nyeri. Sedangkan untuk nyeri tekan dan nyeri gerak tidak
terjadi perubahan dan tetap pada angka 0 yaitu tidak nyeri.
3.1.2 Kekuatan Otot Wajah dengan Ugo Fisch Scale
Grafik 2. Hasil Pemeriksaan Unsur-Unsur Ugo Fisch
Terapi sebanyak 4 kali didapatkan hasil pengukuran Ugo Fisch Scale saat istirahat
T1: 6% menjadi T4: 14%, mengerutkan dahi T1: 3% menjadi T4: 7%, menutup
mata T1: 9% menjadi T4: 21%, tersenyum T1: 9% menjadi T4: 21%, dan bersiul
T1: 3% menjadi T4: 21%.
2.2
0 0 00 0 0 00 0 0 00
1
2
3
T1 T2 T3 T4
VAS
Nyeri diam
Nyeri tekan
Nyeri gerak
6% 6%
14% 14%
3% 3%
7% 7%
9%
21% 21% 21%
9% 9%
21% 21%
3% 3% 3%
21%
0%
5%
10%
15%
20%
25%
T1 T2 T3 T4
Skala Ugo Fisch
Saat istirahat
Mengerutkan dahi
Menutup mata
Tersenyum
Bersiul
5
Grafik 3. Hasil Akhir Pengukuran Ugo Fisch Scale
Pada grafik 3.3 terlihat hasil pengukuran menggunakan skala ugo fisch yaitu
kekuatan otot menggunakan skala ugo fisch pada T1 didapatkan jumlah skor 30%,
kekuatan otot menggunakan skala ugo fisch pada T2 didapatkan jumlah skor 36%,
kekuatan otot menggunakan skala ugo fisch pada T3 didapatkan jumlah skor 54%,
kekuatan otot menggunakan skala ugo fisch pada T4 didapatkan jumlah skor 84%.
3.2 Pembahasan
3.2.1 Nyeri
Pada pasien ini didapatkan hasil pemeriksaan nyeri diam pada T1 sebesar 2,2.
Sedangkan untuk pemeriksaan nyeri tekan dan nyeri gerak tidak ditemukan
adanya nyeri. Pada T1 dan T2 nyeri diam sudah terjadi perubahan yang signifikan
menjadi 0. Pasien sudah tidak merasakan adanya nyeri di belakang telinga.
Penggunaan infra red akan meningkatkan suhu yang akan meningkatkan sirkulasi
darah di permukaan kulit. Hipotalamus akan secara refleks mentransfer aliran
darah ke jaringan yang ada di bawahnya. Efek fisiologis dari panas itu sendiri
adalah untuk memberikan rasa nyaman pada daerah yang lokal yang menyerap
energi infra red dalam jangka waktu yang cukup lama (Bell & Prentice, 2002).
Electrical stimulation memilikki peran dalam proses penurunan nyeri.
Stimulasi listrik yang diberikan akan diterima oleh ujung-ujung saraf sensoris dan
meneruskan ke hipotalamus untuk memproduksi hormon pereda nyeri yaitu
endorfin. Menurut teori kontrol pintu gerbang/ Gate Control Theory menyebabkan
rangsangan terhadap serabut nosiseptor (A delta dan C) menyebabkan substansia
gelati-nosa rolandi (SG) tidak aktif sehingga gerbang terbuka dan ini
30%36%
54%
84%
0%
20%
40%
60%
80%
100%
T1 T2 T3 T4
Jumlah Ugo Fisch
Jumlah Ugo Fisch
6
memungkinkan impuls noksius diteruskan ke sentral sehingga sensasi nyeri akan
dirasakan. Bila terjadi aktivitas pada serabut aferen yang berdiameter besar (A
beta) maka akan mengaktivasi sel-sel interneuron di SG dengan kata lain SG
menjadi aktif sehingga terjadi peningkatan kontrol pre-sinapsis sehingga gerbang
akan menutup yang berujung terinhibisinya transmisi impuls nyeri ke sistem
sentral sehingga kualitas nyeri akan menurun (Parjoto, 2006).
Efek terapuetik pada massage wajah antara lain adanya peningkatan aliran
darah lokal, aliran limfe, aktivitas otot, dan sistem saraf. Pijatan akan memberikan
efek rileksasi pada ketegangan otot dan meningkatkan aliran darah lokal. Dalam
proses penurunan nyeri, pemberian massage dapat menurunkan sensasi nyeri
dengan mengaktifkan gerbang kontrol bersamaan dengan pelepasan endogenus
opioid. Efek psikologis yang dapat dimunculkan antara lain mengurangi stres,
mengurangi tingkat kecemasan, dan meningkatkan suasana hati pasien (Miernik et
al., 2012).
3.2.2 Peningkatan Kekuatan Otot Wajah
Pada pasien ini, didapatkan hasil adanya peningkatan kekuatan otot-otot wajah
setelah dilakukan 4 kali terapi. Ketika pertama kali terapi diberikan nilai kekuatan
otot pasien menunjukkan pada angka 30%. Pada T1 dan T2 terjadi peningkatan
kekuatan otot wajah menjadi 36%. Peningkatan otot terjadi di area gerak mata
atau M. Orbiculari Oculi ditandai dengan pasien mampu menutup mata secara
bersamaan dan simetris. Selain itu, mata kemerahan pasien juga mulai berkurang.
Hal ini dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain pengaruh electrical stimulation,
penggunaan obat tetes mata yang sudah diresepkan oleh dokter, penggunaan
kacamata dan helm saat berkendara dan pasien melakukan latihan menutup mata
di depan cermin sebanyak 150 kali per hari.
Saat istirahat presentase menunjukkan kenaikan angka menjadi 14%
karena pasien sudah tidak pergi ke ladang sawah tebu lagi yang rentan terpapar
angin dan rutin melakukan kompres hangat ketika di rumah. Hanya saja pada
bagian mulut masih terlihat asimetris. Saat mengerutkan dahi, terdapat
peningkatan nilai kekuatan otot menjadi 7%. Hal ini terjadi karena pengaruh
electrical stimulation,dan pasien rutin latihan motorik di depan cermin dengan
7
frekuensi 150 kali gerakan per hari. Peningkatan nilai kekuatan otot ditandai
dengan adanya kontraksi M. Corugator Supercili dan M. Procerus sehingga
gerakan yang dihasilkan simetris.
Sedangkan presentase kekuatan otot saat tersenyum menjadi 21%. Hal ini
terjadi karena mulai menurunnya tingkat ketegangan M. Zygomaticum Mayor dan
Minor sisi dekstra sehingga mempengaruhi kerja otot sisi sinistra yag mampu
berkontraksi hingga menghasilkan gerakan yang simetris. Selain itu, pengaruh
dari penggunaan modalitas electrical stimulation dan efek dari latihan tersenyum
dan mecucu di depan cermin dengan 150 kali gerakan per hari.
Pada T3 dan T4 terjadi peningkatan yang signifikan pada pasien saat
bersiul. Presentase menunjukkan hasil pemeriksaan menjadi 21%. Sebelumnya,
pada T1 sampai T3 belum terdapat perubahan dan pasien belum mampu bersiul.
Maka dari itu, pada terapi ketiga terapis menambahkan jumlah kontraksi yang
dihasilkan electrical stimulation yang tadinya 50 kontraksi menjadi 150 kontraksi
di area M. Orbicularis Oris. Setelah itu, didapatkan hasil dengan perubahan yang
signifikan pada terapi keempat yaitu pasien sudah mampu bersiul hanya saja
struktur bibir belum mecucu sepenuhnya.
Pada T1 nilai ugo fisch scale adalah sekitar 30%. Pada T2 kondisi pasien
menunjukkan nilai ugo fisch scale adalah 36%. Sehingga sampai dengan terapi
terakhir hasil pengukuran ugo fisch adalah 84%. Hal ini menunjukkan bahwa
pemberian stimulasi listrik dan mirror exercise dapat meningkatkan kekuatan
otot-otot wajah pada kondisi bell’s palsy. Manfaat stimulasi listrik adalah untuk
merangsang kontraksi otot wajah yang mengalami lesi. Kontraksi otot yang
dihasilkan akan meningkatkan nilai kekuatan otot wajah secara bertahap (Ramos,
2015). Selain itu, stimulasi listrik mampu merangsang regenerasi aksonal pada
lesi saraf fasialis dengan meningkatkan neurotropin-4 mRNA otot (Shafshak,
2006).
Manfaat massage dan mirror exercise adalah untuk menstimulus otot-otot
wajah. Stimulus yang diberikan akan melatih otot siap bergerak dan mencegah
adanya kontraktur maupun spasme. Selain itu, pemberian terapi ini dapat
8
memproduksi jaringan kolagen dan jaringan ikat pada otot-otot wajah untuk
mengembalikan kemampuan fungsional (Gopi et al., 2013).
4. PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Pasien atas nama Tn. Sukarmin dengan usia 67 tahun dengan diagnosa fisioterapi
Bell’s Palsy sinistra dan problematika adanya nyeri di belakang telinga dan
penurunan kekuatan otot-otot wajah sinistra. Setalah dilakukan terapi sebanyak 4
kali didapatkan hasil yaitu adanya manfaat pada pemberian intervensi infra red,
electrical stimulation, massage, dan mirror exercise dapat menurunkan intensitas
nyeri di belakang telinga sinistra pasien. Adanya manfaat pada pemberian
intervensi infra red, electrical stimulation, massage, dan mirror exercise dapat
meningkatkan kekuatan otot-otot wajah pasien.
4.2 Saran
Saran yang diberikan kepada pasien adalah melakukan home program di depan
cermin dengan gerakan wajah seperti mengangkat alis, mengerutkan dahi,
tersenyum, dan bersiul sebanyak 50 kali setiap sesinya. Latihan ini dilakukan
sebanyak 3 sesi dalam sehari. Selain itu, pasien disarankan untuk menggunakan
masker saat mengendarai motor dan selalu mengenakan helm.
DAFTAR PUSTAKA
Bell, G. W., & Prentice, W. E. (2002). Therapeutic Modalities.
Davis, A.,& Gilhooley, M. J. (2016). Bell’s palsy, 93–98.
https://doi.org/10.1177/1755738015620443.
Gopi, M., Megha, S., & Neeta, V. (2013). Comparison of The Effect of Mime
Therapy Versus Conventional Therapy on The Sunnyrook Facial Grading
System in Patients with Acute Bell’s Palsy. International Journal of Medical
Research & Health Sciences, 3(1), 133–136.
Miernik, M., Paradowska-stolarz, A., & Wieckiewicz, M. (2012). Massage
Therapy in Myofascial TMD Pain Management, 21(5), 681–685.
Mujaddidah, N. (2017). Tinjauan Anatomi Klinik dan Manajemen Bell’s Palsy,
1(2), 1–11.
9
Parjoto, Sl. (2006). Terapi Listrik untuk Modulasi Nyeri. Semarang.
Ramos, A. (2015). Effectiveness of Electro-stimulation as a Treatment for Bell ’ s
Palsy: An Update Review. Journal of Novel Physiotherapies, 5(2), 1–4.
https://doi.org/10.4172/2165-7025.1000260.
Shafshak, T. S. (2006). The Treatment of Facial Palsy from The Point of View of
Physical, 42(1), 41–47.
Zandian, A., Osiro, S., Hudson, R., Ali, I., Matusz, P., Tubbs, S. R., & Loukas, M.
(2014). The neurologist’s dilemma : A comprehensive clinical review of
Bell’s palsy, with emphasis on current management trends, 20, 83–90.
https://doi.org/10.12659/MSM.889876.