penanganan demam pada pasien rawat intensif dengan infeksi

21
Penanganan Demam pada Pasien Rawat Intensif dengan Infeksi Paul J Young1, Manoj Saxena Perkenalan ‘Kemanusian memiliki tiga musuh besar : demam, kelaparan, dan perang, Sejauh ini yang terbesar dan yang paling mengerikan adalah demam’ Demam adalah tanda kardinal dari infeksi, hampir 120 tahun setelah pernyataan William Osler dalam pertemuan tahunan ke 47 American Medical Association 1 , penyakit infeksi masih menjadi faktor utama morbiditas dan mortalitas. Masih belum jelas apakah demam adalah musuh atau kenyataannya respon demam menjadi mekanisme penting dalam tubu untuk melawan infeksi. Selanjutnya juga masih belum jelas apakah pemberian anti piretik atau mendinginkan tubuh keada pasien yang demam dan infeksi bermanfaat atau berbahaya. 2,3 Pada tulisan ini, kita mengulas faktor biologi dari demam, respon demam signifikan pada hewan dan manusia, dan bukti ilmiah terkini tentang kegunaan penanganan demam pada pasien rawat intensif dengan penyakit infeksi. Biologi demam Regulasi suhu normal tubuh Termoregulasi adalah mekanisme homeostatik yang fundamnetal untuk mempertahankan suhu tubuh dalam batas normal. Kemampuan untuk mengatur suhu dalam tubuh dikenal sebagai endotermi dan ini ciri dari mamalia dan burung. Sistem

Upload: lusyalwi

Post on 16-Jan-2016

20 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

demam pada pasien infeksi dengan perawatan di icu

TRANSCRIPT

Page 1: Penanganan Demam Pada Pasien Rawat Intensif Dengan Infeksi

Penanganan Demam pada Pasien Rawat Intensif dengan Infeksi

Paul J Young1, Manoj Saxena

Perkenalan

‘Kemanusian memiliki tiga musuh besar : demam, kelaparan, dan perang, Sejauh ini yang

terbesar dan yang paling mengerikan adalah demam’

Demam adalah tanda kardinal dari infeksi, hampir 120 tahun setelah pernyataan

William Osler dalam pertemuan tahunan ke 47 American Medical Association1, penyakit

infeksi masih menjadi faktor utama morbiditas dan mortalitas. Masih belum jelas apakah

demam adalah musuh atau kenyataannya respon demam menjadi mekanisme penting dalam

tubu untuk melawan infeksi. Selanjutnya juga masih belum jelas apakah pemberian anti

piretik atau mendinginkan tubuh keada pasien yang demam dan infeksi bermanfaat atau

berbahaya.2,3 Pada tulisan ini, kita mengulas faktor biologi dari demam, respon demam

signifikan pada hewan dan manusia, dan bukti ilmiah terkini tentang kegunaan penanganan

demam pada pasien rawat intensif dengan penyakit infeksi.

Biologi demam

Regulasi suhu normal tubuh

Termoregulasi adalah mekanisme homeostatik yang fundamnetal untuk

mempertahankan suhu tubuh dalam batas normal. Kemampuan untuk mengatur suhu dalam

tubuh dikenal sebagai endotermi dan ini ciri dari mamalia dan burung. Sistem termoregulasi

terdiri dari jaras sensor eferen, pada manusia, proses termoregulasi pusat terjadi di

hipotalamus. Termoreseptor panas dan dingin keduanya terlibat dalam jaras aferen, stimulasi

pada reseptor dingin mengaktifasi respon eferen ke hipotalamus untuk mengurangi pelepasan

panas dan meningkatkan produksi panas. Respon ini termasuk mengurangi aliran darah

perifer dan meningkatkan produksi panas. Stimulasi respon sensitif panas meningkatkan

pelepasan panas melalui vasodilatasi perifer dan evaporasi yang menyebabkan keringat.

Respon demam secara Seluler dan Molekuler

Termoregulasi hipotalamus pada saat demam adalah secara tipikal merupakan bagian

dari sindrom respon inflamasi yang termediasi oleh sitokin yang dapat dipicu dari berbagai

Page 2: Penanganan Demam Pada Pasien Rawat Intensif Dengan Infeksi

etiologi infeksi seperti bakteri, virus, parasit dan etiologi non infeksi seperti pankreatitis berat

dan pembedahan.

Pada pasien sepsis, respon febris melibatkan aktivasi sistem imun innate melalui Toll-

like receptor 4 (TLR-4). Aktivasi ini menyebabkan produksi sitokin pirogenik seperti

interleukin (IL)-1B, IL-6, dan Tumor necrosis factor (TNF)-α. Sitokin pirogenik ini bekerja

pada area otak yang dikenal sebagai organum vaskulosum lamina teminalis (OVLT) yang

menyebabkan pelepasan prostaglandin E2 (PGE2) melalui aktivasi enzim cyclo-oxygenase-2

(COX-2), PGE2 mengikat reseptor di hipotalamus dan menyebabkan peningkatan produksi

panas dan penurunan pelepasan panas hingga temperatur pada hipotalamus mencapai new set

point. Ketika new set point tercapai, hipotalamus mempertahankan homeostasis dengan

mekanisme yang sama untuk mengatur suhu tubuh yang normal. Namun, sebagai tambahan,

ada beberapa sistem umpan balik negatif dalam mencegah elevasi suhu tubuh yang berlebih.

Sistem glukokortikoid, yang bekerja melalui nuclear factor-kappa B (NF-kB) dan activator

protein-1 (AP-1), kedua mediator ini memiliki anti inflamasi dan regulasi untuk menurunkan

produksi sitokin pirogenik, seperti IL-1B, IL-6 dan TNF-α. Respon demam lebih jauh

dimodulasi oleh sitokin antipiretik spesifik seperti antagonis reseptor IL-1 (IL-1RA), IL-10,

dan TNF-α binding protein.

Protein heat shock dan respon demam

Sistem umpan balik negatif bukan satu-satunya mekanisme yang ada untuk

melindungi sel dari kerusakan dalam respon demam. Tambahannya, heat shock protein

(HSPs) menyediakan tahanan intrinsik terhadap kerusakan akibat suhu. Kemungkinan

pengkodean genetik dari HSPs berevolusi pertama kali sejak 2.5 juta tahun yang lalu.

Mewakili sistem penting untuk proteksi sel, tidak hanya untuk melawan suhu ekstrem tetapi

juga untuk melawan stres berpotensi letal seperti toksikasi kimiawi dan kerusakan akibat

radiasi. Selama stres panas, transkripsi dan tranlasi dari HSPs ditingkatkan. HSPs dapat

kemudian memicu pembungkusan kembali protein heat damage dan melindunginya hingga

stres panas berakhir atau jika perlu dapat mengantarkan protein yang mati ke organel untuk

degradasi intraseluler. HSPs merupakan regulator penting pada respon febris. Contohnya,

HSP 70 mencegah produksi sitokin pirogenik melalui NF-kB, HSPs juga menghambat

kematian sel yang disebabkan invasi dari patogen.

Page 3: Penanganan Demam Pada Pasien Rawat Intensif Dengan Infeksi

Konsekuensi fisiologi pada demam

Respon demam menyebabkan peningkatan laju metabolisme. Pada manusia,

pemerataan demam melalui proses menggigil meningkatkan laju metabolisme diatas level

basal sekitar 6 kali lipat4. Pada kondisi sakit kritis dengan demam, proses pendinginan

mengurangi konsumsi oksigen sekitar 10% per derajat celcius penurunan suhu basal dan

secara signifikan menurunkan cardiac output dan ventilasi per menit.5 Beberapa potensi

keuntngan dari respon febris perlu untuk dipertimbangkan untuk melawan substansi

metabolik ini.

Konsekuensi imuologis pada demam

Suhu pada febris fisiologis merangsang pematangan sel dendritik murine. Hal ini

sangat penting karena sel dendritik berperan sebagai key antigen presenting cell pada sistem

imun. Pergerakan sel netrofil dan fagositosis meningkat pada saat suhu febris, dan

pertumbuhan bakteri intraseluler pada makrofag in vitro berkurang pada saat suhu febris

dibandingkan dengan suhu normal. Makrofag murine menunjukkan peningkatan fungsi pada

saat suhu febris. Efek ini termasuk meningkatnya ekspresi reseptor Fc yang terlibat pada

respon antiboti, dan peningkatan fagositosis. Suhu pada febris fisiologis meningkatkan

pengikatan limfosit ke endotel vaskular. Pengikatan yang dimediasi L-selectin adalah penting

untuk migrasi limfosit ke tempat atau jaringan inflamasi atau infeksi. Pada tikus,

penghancuran sel yang terinfeksi virus oleh limfosit T meningkat pada saat suhu febris dan

respon sel antibodi T helper juga meningkat. Sel sistem imun lainnya , aktivitas sitotoksik

dari sel natural killer berkurang pada suhu febris dibanding suhu normal. Meskipun fungsina

ditingkatkan pada saat suhu febris (38-40o C), netrofil dan makrofag secara substansial

fungsinya menurun pada suhu ≥ 41o C.

Efek demam pada kelangsungan hidup patogen mikrobial

Dalam kondisi fisiologis, suhu febris dapat menghambat secara langsung beberapa

virus dan bakteri seperti virus influenza6, Streptococcus pneumonia 7,8, dan Neisseria

meningitides 9 yang dapat menyebabkan penyakit yang mengancam nyawa. Untuk influenza,

derajat sensitifitas panas tampak sebagai determinan virulensi, pada strain itu dengan

temperatur ≤ 38o C menyebabkan gejala ringan, sementara strain dengan suhu ≥ 39o

menyebabkan gejala berat6. Rentannya patogen untuk membuat panas mungkin secara

Page 4: Penanganan Demam Pada Pasien Rawat Intensif Dengan Infeksi

signifikan tergantung pada patogenitasnya pada host. Contohnya, Campylobacter jejuni tidak

patogenik pada burung (suhu tubuh 42o C) tapi patogenik pada manusia( suhu tubuh 37 oC)

dan kemampuan untuk beertumbuh dan kemotaksis dari C. jejuni in vitro adalah lebih besar

pada 37 oC dibanding 42o C10.

Makna demam pada hewan dengan infeksi

Respon febris terhadap infeksi terlihat pada spesies hewan termasuk tidak hanya

endoterm seperti mamalia dan burung, juga ektoterm seperti reptil, amfibi, dan ikan. Respon

febris dapat diblok dengan menghambat COX pada spesies campuran seperti iguana11 dan

bluegil sunfish12, terjadi sama pada hewan dan manusia. Sebagai katalis COX, generasi

prostaglandin dari asam archidonic, diduga peran utama dari PGE2 pada regulasi set point

termostatik dapat melindungi spesies ini sama dengan hewan tingkat tinggi. Mekanisme

biokimia untuk regulasi demam melewati grup hewan yang berbeda meningkatkan

kemungkinan bahwa respon febris dapat berubah seiring perkembangan saat ini. Jika dalam

kasus ini, kemudian demam muncul sebagai respon yang berevolusi sejak 350 juta tahun

lalu13. Karena respon febris ada pada angka metabolik yang signifikan4,5. Secara persisten hal

ini melintasi spektrum luas dari spesies yang menyediakan bukti berkesinambungan yang

kuat dan respon itu telah berubah jadi bermanfaat. Selanjutnya, diberikan bahwa respon

tampak dimana saja, adalah logik untuk menelusuri komponen imun yang akan berubah

fungsi optimal secara fisiologis pada saat febris.

Dalam sebuah model percobaan pada mamalia, respon febris tampak menawarkan

keuntungan untuk bertahan hidup pada saat terinfeksi virus. Tikus yang baru lahir terinfeksi

oleh coxsackie virus, yang diizinkan untuk meningkatkan demam lebih rendah angka

kematiannya dibanding tikus yang dicegah dari demam14. Dalam keadaan yang sama, suhu

lingkungan yang ditingkatkan dari 23-26oC menjadi 38o meningkatkan suhu basal anak tikus

yang terinfeksi Herpes simplex sekitar 2o C dan meningkatkan angka ketahanan hidup dari

0% hingga 85%15. Studi meta analisis tentang efek medikasi antipiretik dalam mortalitas

hewan yang terinfeksi influenza menunjukkan bahwa terapi antipiretik terkait dengan

peningkatan faktor resiko mortalitas [ OR 1.34 (95% CI 1.04-1.73]16.

Studi pada mamalia yang terinfeksi bakteri mneunjukkan hasil yang sama. Pada

kelinci yang terinfeksi Pasteurella multocida, adanya demam ringan hingga peningkatan

2.25oC diatas normal terkait dengan kesempatan terbesar untuk bertahan hidup dibandingkan

dengan normotermia atau demam > 2.25oC diatas normal17. Meskipun tikus dominan

Page 5: Penanganan Demam Pada Pasien Rawat Intensif Dengan Infeksi

endotermi, mereka tampak membutuhkan sumber panas dari luar untuk menghasilkan panas.

Jika tikus diizinkan untuk menempatkan diri di kandang dengan gradien suhu, mereka

meningkatkan suhu lingkungan mereka dan kemudian meningkatkan suhu basal tubuh 1,1oC

setelah mendapat lipopoliskarida. Tikus pada rumah dengan suhu 35.5oC dibanding 23oC

meningkatkan suhu basal tubuhnya sekitar 2.5oC, perubahan ekspresi sitokin, dan

meingkatkan ketahanan hidup terhadap peritonitis Klebsiella pneumoniae19. Dalam model

ini,elevasi suhu tubuh yang terlihat dengan peningkatan suhu lingkingan dikaitkan dengan

penurunan resiko masuknya bakteri intraperitoneal 100.000 kali19. Sebuah publikasi ulasan

sistematik dan meta analisis terbaru tentang efek medikasi antipiretik dengan mortalitas pada

infeksi S.pneumoniae yang diidentifikasi pada empat studi hewan dibandingkan dengan

aspirin atau plasebo dan didimonstrasikan bahwa pemberian aspirin terkait dengan

peningkatan resiko kematian [OR 1.97 (95% CI 1.22-3.19]20.

Makna Demam Pada Manusia dengan Infeksi

Demam, hipertermia, dan antipiretik pada non-ICU pasien dengan infeksi

Infeksi virus

Dua studi double blind teracak dengan plasebo kontrol trial pada 45 voluntir

disuntikkan dengan rhinovirus tipe 21 (studi 1) atau rhinovirus tipe 25 (studi 2) menunjukkan

bahwa pemberian aspirin tidak merubah proporsi dari pasien dengan sakit yang memberat

atau secara signifikan merubah frekuensi atau beratnya gejala21. Meskipun pemberian aspirin

secara signifikan mematikan rhinovirus pada percobaan ini, hanya satu dari 45 yang demam

jadi peningkatan ini mungkin tidak dapat dianggap sebagai efek antipiretik dari aspirin21.

Studi yang sama pada 60 voluntir yang disuntikkan rhinovirus dan teracak diberi aspirin,

paracetamol, ibuprofen, atau placebo menunjukkan bahwa baik penggunaan aspirin maupun

paracetamolterkait dengan respon supresi serum antibodi peningkatan monosit dalam

sirkulasi22. Tidak ada perbedaan signifikan dalam penghapusanvirus dalam empat grup

tersebut. Namun, subjek yang diterapi dengan aspirin atau parasetamol memiliki peningkatan

signifikan gejala pada hidung dibanding dengan grup plasebo. Pada voluntir yang terinfeksi

dengan rhinovirus yang diterapi dengan pseudoefedrin, tambahan dari ibuprofen tidak

memiliki efek pada gejala atau pada penghapusan virus atau titer virus23. Dan lagi, hanya dua

dari 58 subjek yang demam. Percobaan random acak pada anak usia 6 bulan hingga usia 6

tahun yang dikira infeksi non bakteri dan demam ≥38oC menunjukkan bahwa pemberian

Page 6: Penanganan Demam Pada Pasien Rawat Intensif Dengan Infeksi

parasetamol meningkatkan aktivitas anak tapi tidak pada mood anak, nyaman atau nafsu

makan.24

Infeksi bakteri

Tidak ada data percobaan acak terkontrol pada manajemen demam pasien non-ICU

dengan infeksi bakteri. Namun, ada riwayat contoh respon dramatik pada terapi hipertermia

pada beberapa penyakit infeksi. Telah diketahui sejak zaman hipocrates bahwa paralisis

progresif karena neurosifilis kadang membaik setelah sakit dengan demam tinggi. Observasi

ini yang diajukan led julius Wagner-Jauregg pada tahun 1987, bahwa inokulasi malaria dapat

menjadi terapi untuk pasien dengan progresif paralisis. Rasionalnya, seseorang dapat

melakukan substitusi kondisi yang tidak dapat ditangani dengan yang bisa ditangani, malaria

dapat diterapi dengan quinine. Pada tahun 1917, dia menguji hipotesisnya pada sembilan

pasien dengan paralisis karena sifilis dengan injeksi darah pasien yang terkena malaria. Tiga

dari pasien mengalami remisi pada paralisisnya. Hal ini mengarahkan untuk eksperimen dan

observasi klinik lebih lanjut pada lebih dari ribuan pasien dengan remisi yang terjadi pada

30% pasien dengan neurosifilis terkait paralisis progresif yang diterapi dengan induksi

demam oleh malaria dibandingkan dengan angka remisi spontan hanya 1%. Atas kerjanya,

led julius Wagner-Jauregg diberi penghargaan nobel dalam fisiologi dan pengobatan pada

tahun 192725. Terapi demam telah menunjukkan efektivitas dalam terapi gonore, induksi

hipertermia 41,7oC selama 6 jam dalam “kettering hyperterm chamber” dapat mengobati pada

81% kasus.26

Jumlah studi observasi telah diuji hubungannya antara suhu tubuh dan hasil pada

pasien dengan berbagai infeksi bakteri, termasuk pneumonia27, peritonitis bakterial

spontan28,dan bakterimia gram negatif.29 Studi ini menunjukkan bahwa tidak adanya demam

adalah tanda dari prognosis yang buruk pada pasien dengan infeksi bakteri. Secara

keseluruhan, rancangan studi ini tidak mengizinkan seseorang untuk membedakan antara

tidak adanya demam sebagai penanda beratnya penyakit atau ketidakseimbangan host dengan

adanya demam sebagai respon protektif.

Demam pada pasien di ICU dengan infeksi

Studi observasi demam dan manajemen demam pada pasien ICU

Page 7: Penanganan Demam Pada Pasien Rawat Intensif Dengan Infeksi

Epidemiologi demam pada pasien ICU dan frekuensi dan kegunaan antipiretik pada pasien

ICU telah dievaluasi dalam sejumah studi observasi. Hal yang paling penting dari studi

diringkas dalam tabel 1.

Tabel 1. Ringkasan dari kunci studi observasi demam dan manajemen demam pada pasien ICU

Desain,Setting,Partisipan Kunci TemuanLaupland et al. 2008 [30] Studi kohort retrospektif pada

pasien yang masuk ke empat ICU di Calgary antara 2000 dan 2006; n = 24.204 pasien ICU

- Demam ≥ 38.3 meningkat 44% masuk di ICU dan demam tinggi ≥39.3 selama 8% masuk ICU

- Demam tidak berhubungan dengan peningkatan mortalitas ICU tapi demam tinggi berhubungan dengan angka kematian yang signifikan

Young et al. 2011 [31] Insepsi studi kohort dalam tiga ICU tersier di australia dan new zealand diatas 6 minggu 2010 mengidentifikasi pasein dengan demam ≥ 38 C dan diketahui atau suspek infeksi; n = 565

- 9% pasien masuk ICU telah atau berkembang demam dan diketahui atau suspek infeksi

- Paracetamol diberikan sekitar 2/3 pasien dengan demam dan diketahui atau suspek infeksi pada setiap hari pemberian

Selladurai et al. 2011 [32] Studi kohort retrospektif pada pasien yang masuk ke ICU tersier tunggal di australia dengan sepsis antara desember 2009 dan agustus 2010; n =106

- 69% pasien sepsis menerima paracetamol sedikitnya 1 kali selama 7 hari dalam ICU

- 88% pasien sepsis dengan demam > 38 C menerima paracetamol selama 7 hari pertama di ICU

- Pasien sepsis dengan demam > 38 C adalah 68 kali (95% CI 1.9-24.7) lebih cenderung menerima paracetamol daripada pasien sepsis dengan tidak febris

Lee et al. 2012 [33] Insepsi studi kohort dari pasien berturut-turut yang masuk di ICU di jepang dan korea lebih daru 48 jam selama 3 bulan tahun 2009; n = 1.425

- Penggunaan NSAIDs secara independen berkaitan dengan peningkatan kematian 28 hari pada pasien denga sepsis ( OR 2.61; 95% CI 1.11-6.11; p =0.03) tapi dengan tujuan

Page 8: Penanganan Demam Pada Pasien Rawat Intensif Dengan Infeksi

penurunan mortalitas 28 hari pada pasien tanpa sepsis (OR 0.22; 95% CI 0.03-1.74; p =0.15)

- Penggunaan paracetamol secara independen terkait dengan peningkatan mortalitas 28 hari pada pasien sepsis (OR 2.05; 95% CI 1.19-3.35; p =0.01) tapi dengan tujuan menurunkan mortalitas 28 hari pada pasien tanpa sepsis (OR 0.58; 95% CI 0.06-5.26; p =0.63)

Laupland et al. 2012 [34] Insepsi studi kohort pasien yang masuk ICU di francis berkontribusi ke database Outcomerea antara april 2000 dan november 2010; n = 10.962

- 25.7% pasien dengan ≥ 38.3 C di ICU

- Demam tidak disertai dengan peningkatan mortalitas tapi hipotermi jadi prediktor independen kematian pada pasien

Young et al. 2012 [35] Studi retrospektif kohort dari 636.051 pasien di Australia, New Zealand dan UK yang masuk ICU antara 2005 sampai 2009

- Peningkatan suhu tubuh dalam 24 jam pertamadi ICU disertai dengan peningkatan resiko mortalitas pada pasien tanpa infeksi dan penurunan resiko mortalita pasien dengan infeksi

Niven et al. 2012 [36] Waktu analisis yang terputus pada insidensi kumulatif demam di ICU di Calgary dari 2004-2009

- Insidensi kumulatif demam ≥ 38.3 selama di ICU menurun dari 50.1% sampai 255% selama 5.5 tahun studi

Insidensi demam dapat dikaitkan dengan infeksi dalam studi observasi pada berbagai

situasi pelayanan kritis beragam dari 8% hingga 37%31,34,36-41. Studi ini menggunakan beragam

definisi demam dan beberapa metode untuk mengukur suhu, membuat perbandingan antara

studi adalah sulit. Dalam studi ini, adanya demam terkait dengan apakah adanya peningkatan

resiko kematian30,39-41 atau tidak ada perbedaan dalam resiko mortalitas dibandingkan dengan

suhu normal.34 Hanya dua studi yang telah mengevaluasi resiko mortalitas pasien dengan

sepsis secara terpisah dari pasien tanpa sepsis.33,35 Dalam studi awal, demam dihubungkan

dengan peningkatan resiko mortalitas 28 hari pada pasien tanpa sepsis tapi tidak pada pasien

sepsis33 mengangkat kemungkinan adanya infeksi pada pasien dapat menjadi determinan

Page 9: Penanganan Demam Pada Pasien Rawat Intensif Dengan Infeksi

yang penting adanya respon febris pada pasien ICU. Dalam keadaan yang sama, studi

retrospektif cohort35 (n =636,051) menggunakan dua faktor independen, multicenter, secara

geografis dan database yang mewakili kami menemukan puncak suhu diatas 39.0oC dalam 24

jam pertama setelah dimasukkan dalam ICU secara umum berkaitan dengan penurunan resiko

mortalitas dalam rumah sakit dengan diagnosis infeksi saat masuk. Kebalikannya, puncak

suhu yang lebih tinggi berhubungan dengan peningkatan resiko mortalitas pasien dengan

diagnosis non infeksi.

Secara keseluruhan, meskipun satu studi saat ini menyatakan bahwa insidensi demam

menurun sepanjang waktu36, data observasi yang ada menyatakan bahwa demam adalah tanda

abnormal pada pasien ICU. Sayangnya, karena potensi tidak terukurnya faktor kontradiktif,

ini mungkin untuk mempertahankan apakah terapi demam pasien di ICU dengan infeksi

adalah menguntungkan atau berbahaya pada basis studi observasi.

Studi intervensi pada manajemen demam pasien ICU

Dua publikasi studi meta analisis terbaru menemukan bahwa tidak ada bukti terapi

antipiretik bermanfaat atau berbahaya pada cedera pada pasien ICU non neurogikal.2,3 hampir

semua pasien yang masuk dalam meta analisis ini diketahui atau dicurigai sepsis dan satu

dari meta analisis hanya termasuk pasien dengan infeksi3, dalam kedua meta analisis, penulis

mencatat bahwa studi yang ada kurang data statistik yang kuat untuk mendeteksi perbedaan

klinik dan rekomendasi studi acak terkontrol yang lebih besar dibutuhkan. Rincian publikasi

studi strategi manajemen intervensi demam pada pasien di ICU diringkas dalam tabel 2.

Tabel 1. Ringkasan dari trial investigasi acak terkontrol manajemen demam pada orang dewasa yang sakit kritis

Desain,Setting,Partisipan Kunci TemuanBernard et al. 2008 [42] Trial double blind placebo

terkontrol ibuprofen pada pasien dengan sepsis berat; n=30

- Ibuporfen mengurangi suhu tubuh, heart rate, dan tekanan puncak airway secara signifikan

- Tidak ada perbedaan yang bermakna antara ibuprofen dan pasebo pada angka mortalitas di rumah sakit (18.8% grup terapi ibuprofen vs 42.9 grup terapi plasebo)

Bernard et al. 2008 [43] Trial double blind placebo terkontrol ibuprofen pada pasien dengan sepsis berat pada 7 center

- Ibuprofen secara signifikan menurunkan suhu, heart rate, konsumsi oksigen, dan

Page 10: Penanganan Demam Pada Pasien Rawat Intensif Dengan Infeksi

di Amerika utara n=455 asidosis laktat pada pasien sepsis berat

- Ibuprofen tidak merubah insiden atau durasi syok atau ARDS dan tidak efek signifikan pada 30 hari mortalitas (37% grup terapi ibuprofen vs 40% grup terapi plasebo)

Memis et al. 2004 [44] Trial double blind placebo terkontrol lornoxicam pada pasien dengan sepsis berat pada 1 center di Turki ;n=40

- Tidak ada perbedaan signifikan lornoxicam dan plasebo ditunjukkan pada parameter hemodinamik,biokimia,kadar sitokin, atau mortalitas ICU (35% grup lornoxicam vs 40% grup plasebo)

Morris et al. 2011 [45] Multicenter, trial acak membandingkan efek antipiretik dengan dosis tunggal plasebo, 100 mg,200 mg, atau 400 mg pada ibuprofen IV pada pasien di rumah sakit yang 90% infeksi; n=120 (53 sakit berat)

- Semua dosis ibuprofen yang diuji efektif dalam menurunkan suhu

- Tidak ada perbedaan signifikan dari grup terapi dengan kebutuhan ventilasi, panjangnya waktu tinggal atau mortalitas di RS (4% plasebo, 3% 100 mg ibuprofen, 7% 200 mg ibuprofen, 6% 400 mg ibuprofen)

Haupt et al. 1991 [46] Multicenter, trial plasebo terkontrol ibuprofen pada pasien dengan sepsis berat; n =29

- Ibuprofen secara signifikan menurunkan suhu tubuh

- Tidak ada perbedaan signifikan dari grup terapi pada mortalitas di RS (30.8% plasebo vs 56.3% ibuprofen)

Schulman et al. 2006 [47] Center tunggal, unblinded, trial acak manajemen demam agresif vs permisif pada pasien trauma di ICU; n=82

- Tidak ada perbedaan signifikan antara terapi lengan pada kondisi jumlah infeksi baru

- Mortalitas di RS 15.9% pada terapi agresif dan 26% pada terapi permisif (p=0.06)

Niven et al. 2012 [48] Multicenter, unblinded, trial acak manajemen demam agresif vs permisif pada pasien trauma di ICU; n=26

- Suhu rata-rata harian lebih rendah pada pasien yang diterapi agresif

- Mortalitas di RS 21% pada terapi agresif dan 17% pada terapi permisif (p=1.0)

Page 11: Penanganan Demam Pada Pasien Rawat Intensif Dengan Infeksi

Schortgen et al. 2012 [49] Multicenter,trial acak terkontrol pendinginan eksternal pada pasien dengan demam dan syok sepsis yang menerima ventilasi mekanik di 7 center di francis; n=200

- Pendinginan eksternal signifikan turunkan suhu tubuh

- Pendinginan eksternal tidak merubah proporsi pasien yang menerima 50% reduksi pada dosis vasopresor setelah 48 jam

- Mortalitas 14 hari signifikan lebih rendah pada pasien yang diberi Pendinginan eksternal tapi tidak ada perbedaan signifikan antara grup terapi pada kondisi mortalitas pasien ICU atau rumah sakit

Percobaan acak terkontrol terbesar mengevaluasi penggunaan ibuprofen pada pasien

sakit kritis dengan sepsis43, pasien dengan sepsis berat secara acak menerima 10 mg/kg BB

ibuprofen atau plasebo setiap 6 jam untuk total 8 dosis. Meskipun penggunaan ibuprofen

secara signifikan menurunkan suhu tubuh, namun tidak merubah 30 hari mortalitas, yang

mana 37% dari grup yang diterapi ibuprofen dan 40% plasebo. Studi ini dirancang untuk

mengevaluasi penggunaan ibuprofen sebagai anti inflamasi daripada sebagai anti piretik dan,

selagi penggunaan ibuprofen menurunkan suhu dibandingkan dengan plasebo, studi

memasukkan pasien yang hipotermi sama dengan yang febris. Faktor berlawanan tambahan

adalah pasien dimasukkan dalam grup ibuprofen yang telah diterapi dengan paracetamol

lebih sering dari mereka yang masuk dalam grup kontrol. Berdasarkan hal ini 43 dan studi

kecil tentang non steroidal anti inflammatory drugs (NSAIDs) lainnya45,46 pada pasien yang

sakit kritis, jelas bahwa NSAIDs lebih efektif menurunkan suhu pada pasien febris di ICU.

Namun tidak ada tanda mortalitas yang tetap pada studi NSAIDs yang ada, beberapa studi

menunjukkan tren mengenai manfaat42-44 penggunaan NSAIDs dan penggunaan lain

berbahaya.45,46

Studi terbesar kedua dari manejemen suhu pasien febris di ICU mengevaluasi

penggunaan pendingin eksternal.49 Studi ini secara acak pada 200 pasien febris dengan syok

septik yang membutuhkan vasopresor, ventilasi mekanik, dan sedasi untuk pendingin

eksternal menjadi normotermia (36,5-37oC) selama 48 jam atau tanpa pendingin eksternal.

Tujuan akhir utama adalah proporsi pasien dengan penurunan 50% pada penggunaan

Page 12: Penanganan Demam Pada Pasien Rawat Intensif Dengan Infeksi

vasopresor setelah pengacakan. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara grup terapi untuk

tujuan primer, yang mencapai 72% pada pasien dengan pendingin eksternal dan 61% pada

pasien perawatan standar. Studi memiliki sejumlah tujuan akhir sekunder yang besar

termasuk suhu tubuh rata-rata, proporsi pasien yang mencapai 50% penurunan pada

vasopresor dalam 2 jam, 12 jam, 24 jam, 36 jam, dan hingga 14 hari, ICU, rumah sakit, dan

mortalitas. Tujuan sekunder lebih mengarah ke pendingin eksternal dan 14 hari mortalitas

telah dicatat secara signifkan lebih rendah pada grup pendingin eskternal ( 19% vs 34%; p =

0,0013). Perbedaan ini tidak nyata dengan waktu masuk di ICU atau keluar rumah sakit dan

perhatian seharusnya diberikan dalam interpretasi titik akhir jika memungkinkan bahwa

mereka terpengaruh oleh error tipe 1 karena kurangnya data statistik.

Percobaan lain membandingkan strategi kontrol suhu pada trauma tersier di ICU dan secara

acak pasien dilakukan kontrol suhu secara agresif atau permisif.47 Pasien yang diberi terapi

agresif diberikan paracetamol sekali pada saat suhu lebih dari 38.5oC dan pendingin fisik

ditambahkan ketika suhu lebih dari 39.5 oC. Pasien yang diberi terapi permisif menerima

paracetamol dan pendigin ketika suhu mencapai 40 oC. percobaan ini asli bertujuan untuk 672

pasien; namun, dihentikan oleh monitoring keamanan data pada 82 pasien karena mengarah

ke mortalitas pada grup yang diterapi agresif. Sementar semua kematian dihubungkan karena

sepsis, aturan pemberhentian konvensional tidak digunakan dan adanya peluang untuk

perbedaan antara studi terapi dapat terjadi. Studi ini tidak memiliki pembatas mayor termasuk

kurangnya blinding atau kontrol plasebo, dan potensi ketidaksesuaian dari penggunaan tak

terkontrol dari antipiretik lainnya dan penggunan pendingin eksternal. Penilitian label terbuka

secara acak yang sama dilakukan pada 26 pasien ICU yang febris dan mereka diberi terapi

permisif.48 Dalam studi ini, grup yang dikontrol demam secara agresif menerima paracetamol

650 mg secara enteral tiap 6 jam ketika suhu ≥ 38.3 oC dan menerima pendingin fisik untuk

suhu ≥ 39.5 oC. Grup permisif tidak menerima parasetamol hingga suhu ≥ 40 oC dan tidak

menerima pendingin fisik hingga suhu ≥ 40.5 oC. Semua pasien yang diberi manajemen suhu

agresif memiliki etiologi infeksi dari demamnya dan 75% pasien yang mendapat terapi

permisif memiliki infeksi dalam baseline. Penyebab 28 hari mortalitas tidak signifikan

berbeda pada kedua grup.

Keamanan dan efek penggunaan parasetamol untuk terapi demam pada pasien ICU dengan

infeksi telah dievaluasi pada 700 pasien fase Iib, multicenter, acak, trial plasebo terkontrol

(HEAT trial), yang selesai pada november 2014.50

Page 13: Penanganan Demam Pada Pasien Rawat Intensif Dengan Infeksi

Kesimpulan

Terdapat data yang signifikan pada hewan yang menunjukkan bahwa demam adalah

komponen penting pada host sebagai respon infeksi dan memberikan ketahanan hidup pada

sejumlah spesies hewan. Konservasi respon metabolik melewati sejumlah besar spesies

hewan yang diduga bahwa respon tersebut memiliki keuntungan dalam evolusi. Terdapat

riwayat yang menarik pada hipertermia yang diberikan untuk terapi penyakit infeksi. Namun,

di era modern, relevansi dari contoh tersebut dipertanyakan. Selain itu, argumen yang

didasarkan pada pentingnya evolusi dari respon terhadap demam tidak selalu berlaku untuk

pasien yang sakit kritis,didukung di luar batas homeostasis fisiologis normal. manusia tidak

beradaptasi dengan penyakit kritis. Dengan tidak adanya obat-obatan dan perawatan intensif

modern, pasien yang sakit kritis dengan demam dan infeksi mungkin akan mati. Di antara

pasien yang sakit kritis, secara biologis masuk akal bahwa ada keseimbangan yang harus

dicapai antara potensi keuntungan mengurangi tingkat metabolisme yang datang dengan

kontrol demam dan potensi risiko dari merusak mekanisme efek pertahanan dari host.

Hebatnya, saat ini, kita tidak tahu apa efek dalam mengobati demam pada pasien sakit kritis

dengan infeksi yang berpusat pada hasil pasien. Perawatan termasuk intervensi yang umum

digunakan seperti parasetamol dan pendinginan fisik. Area penelitian adalah prioritas tinggi

diberikan epidemiologi global demam pasien sakit kritis dan generalisasi dari rencana

intervensi.