penanganan demam pada pasien rawat intensif dengan infeksi
DESCRIPTION
demam pada pasien infeksi dengan perawatan di icuTRANSCRIPT
Penanganan Demam pada Pasien Rawat Intensif dengan Infeksi
Paul J Young1, Manoj Saxena
Perkenalan
‘Kemanusian memiliki tiga musuh besar : demam, kelaparan, dan perang, Sejauh ini yang
terbesar dan yang paling mengerikan adalah demam’
Demam adalah tanda kardinal dari infeksi, hampir 120 tahun setelah pernyataan
William Osler dalam pertemuan tahunan ke 47 American Medical Association1, penyakit
infeksi masih menjadi faktor utama morbiditas dan mortalitas. Masih belum jelas apakah
demam adalah musuh atau kenyataannya respon demam menjadi mekanisme penting dalam
tubu untuk melawan infeksi. Selanjutnya juga masih belum jelas apakah pemberian anti
piretik atau mendinginkan tubuh keada pasien yang demam dan infeksi bermanfaat atau
berbahaya.2,3 Pada tulisan ini, kita mengulas faktor biologi dari demam, respon demam
signifikan pada hewan dan manusia, dan bukti ilmiah terkini tentang kegunaan penanganan
demam pada pasien rawat intensif dengan penyakit infeksi.
Biologi demam
Regulasi suhu normal tubuh
Termoregulasi adalah mekanisme homeostatik yang fundamnetal untuk
mempertahankan suhu tubuh dalam batas normal. Kemampuan untuk mengatur suhu dalam
tubuh dikenal sebagai endotermi dan ini ciri dari mamalia dan burung. Sistem termoregulasi
terdiri dari jaras sensor eferen, pada manusia, proses termoregulasi pusat terjadi di
hipotalamus. Termoreseptor panas dan dingin keduanya terlibat dalam jaras aferen, stimulasi
pada reseptor dingin mengaktifasi respon eferen ke hipotalamus untuk mengurangi pelepasan
panas dan meningkatkan produksi panas. Respon ini termasuk mengurangi aliran darah
perifer dan meningkatkan produksi panas. Stimulasi respon sensitif panas meningkatkan
pelepasan panas melalui vasodilatasi perifer dan evaporasi yang menyebabkan keringat.
Respon demam secara Seluler dan Molekuler
Termoregulasi hipotalamus pada saat demam adalah secara tipikal merupakan bagian
dari sindrom respon inflamasi yang termediasi oleh sitokin yang dapat dipicu dari berbagai
etiologi infeksi seperti bakteri, virus, parasit dan etiologi non infeksi seperti pankreatitis berat
dan pembedahan.
Pada pasien sepsis, respon febris melibatkan aktivasi sistem imun innate melalui Toll-
like receptor 4 (TLR-4). Aktivasi ini menyebabkan produksi sitokin pirogenik seperti
interleukin (IL)-1B, IL-6, dan Tumor necrosis factor (TNF)-α. Sitokin pirogenik ini bekerja
pada area otak yang dikenal sebagai organum vaskulosum lamina teminalis (OVLT) yang
menyebabkan pelepasan prostaglandin E2 (PGE2) melalui aktivasi enzim cyclo-oxygenase-2
(COX-2), PGE2 mengikat reseptor di hipotalamus dan menyebabkan peningkatan produksi
panas dan penurunan pelepasan panas hingga temperatur pada hipotalamus mencapai new set
point. Ketika new set point tercapai, hipotalamus mempertahankan homeostasis dengan
mekanisme yang sama untuk mengatur suhu tubuh yang normal. Namun, sebagai tambahan,
ada beberapa sistem umpan balik negatif dalam mencegah elevasi suhu tubuh yang berlebih.
Sistem glukokortikoid, yang bekerja melalui nuclear factor-kappa B (NF-kB) dan activator
protein-1 (AP-1), kedua mediator ini memiliki anti inflamasi dan regulasi untuk menurunkan
produksi sitokin pirogenik, seperti IL-1B, IL-6 dan TNF-α. Respon demam lebih jauh
dimodulasi oleh sitokin antipiretik spesifik seperti antagonis reseptor IL-1 (IL-1RA), IL-10,
dan TNF-α binding protein.
Protein heat shock dan respon demam
Sistem umpan balik negatif bukan satu-satunya mekanisme yang ada untuk
melindungi sel dari kerusakan dalam respon demam. Tambahannya, heat shock protein
(HSPs) menyediakan tahanan intrinsik terhadap kerusakan akibat suhu. Kemungkinan
pengkodean genetik dari HSPs berevolusi pertama kali sejak 2.5 juta tahun yang lalu.
Mewakili sistem penting untuk proteksi sel, tidak hanya untuk melawan suhu ekstrem tetapi
juga untuk melawan stres berpotensi letal seperti toksikasi kimiawi dan kerusakan akibat
radiasi. Selama stres panas, transkripsi dan tranlasi dari HSPs ditingkatkan. HSPs dapat
kemudian memicu pembungkusan kembali protein heat damage dan melindunginya hingga
stres panas berakhir atau jika perlu dapat mengantarkan protein yang mati ke organel untuk
degradasi intraseluler. HSPs merupakan regulator penting pada respon febris. Contohnya,
HSP 70 mencegah produksi sitokin pirogenik melalui NF-kB, HSPs juga menghambat
kematian sel yang disebabkan invasi dari patogen.
Konsekuensi fisiologi pada demam
Respon demam menyebabkan peningkatan laju metabolisme. Pada manusia,
pemerataan demam melalui proses menggigil meningkatkan laju metabolisme diatas level
basal sekitar 6 kali lipat4. Pada kondisi sakit kritis dengan demam, proses pendinginan
mengurangi konsumsi oksigen sekitar 10% per derajat celcius penurunan suhu basal dan
secara signifikan menurunkan cardiac output dan ventilasi per menit.5 Beberapa potensi
keuntngan dari respon febris perlu untuk dipertimbangkan untuk melawan substansi
metabolik ini.
Konsekuensi imuologis pada demam
Suhu pada febris fisiologis merangsang pematangan sel dendritik murine. Hal ini
sangat penting karena sel dendritik berperan sebagai key antigen presenting cell pada sistem
imun. Pergerakan sel netrofil dan fagositosis meningkat pada saat suhu febris, dan
pertumbuhan bakteri intraseluler pada makrofag in vitro berkurang pada saat suhu febris
dibandingkan dengan suhu normal. Makrofag murine menunjukkan peningkatan fungsi pada
saat suhu febris. Efek ini termasuk meningkatnya ekspresi reseptor Fc yang terlibat pada
respon antiboti, dan peningkatan fagositosis. Suhu pada febris fisiologis meningkatkan
pengikatan limfosit ke endotel vaskular. Pengikatan yang dimediasi L-selectin adalah penting
untuk migrasi limfosit ke tempat atau jaringan inflamasi atau infeksi. Pada tikus,
penghancuran sel yang terinfeksi virus oleh limfosit T meningkat pada saat suhu febris dan
respon sel antibodi T helper juga meningkat. Sel sistem imun lainnya , aktivitas sitotoksik
dari sel natural killer berkurang pada suhu febris dibanding suhu normal. Meskipun fungsina
ditingkatkan pada saat suhu febris (38-40o C), netrofil dan makrofag secara substansial
fungsinya menurun pada suhu ≥ 41o C.
Efek demam pada kelangsungan hidup patogen mikrobial
Dalam kondisi fisiologis, suhu febris dapat menghambat secara langsung beberapa
virus dan bakteri seperti virus influenza6, Streptococcus pneumonia 7,8, dan Neisseria
meningitides 9 yang dapat menyebabkan penyakit yang mengancam nyawa. Untuk influenza,
derajat sensitifitas panas tampak sebagai determinan virulensi, pada strain itu dengan
temperatur ≤ 38o C menyebabkan gejala ringan, sementara strain dengan suhu ≥ 39o
menyebabkan gejala berat6. Rentannya patogen untuk membuat panas mungkin secara
signifikan tergantung pada patogenitasnya pada host. Contohnya, Campylobacter jejuni tidak
patogenik pada burung (suhu tubuh 42o C) tapi patogenik pada manusia( suhu tubuh 37 oC)
dan kemampuan untuk beertumbuh dan kemotaksis dari C. jejuni in vitro adalah lebih besar
pada 37 oC dibanding 42o C10.
Makna demam pada hewan dengan infeksi
Respon febris terhadap infeksi terlihat pada spesies hewan termasuk tidak hanya
endoterm seperti mamalia dan burung, juga ektoterm seperti reptil, amfibi, dan ikan. Respon
febris dapat diblok dengan menghambat COX pada spesies campuran seperti iguana11 dan
bluegil sunfish12, terjadi sama pada hewan dan manusia. Sebagai katalis COX, generasi
prostaglandin dari asam archidonic, diduga peran utama dari PGE2 pada regulasi set point
termostatik dapat melindungi spesies ini sama dengan hewan tingkat tinggi. Mekanisme
biokimia untuk regulasi demam melewati grup hewan yang berbeda meningkatkan
kemungkinan bahwa respon febris dapat berubah seiring perkembangan saat ini. Jika dalam
kasus ini, kemudian demam muncul sebagai respon yang berevolusi sejak 350 juta tahun
lalu13. Karena respon febris ada pada angka metabolik yang signifikan4,5. Secara persisten hal
ini melintasi spektrum luas dari spesies yang menyediakan bukti berkesinambungan yang
kuat dan respon itu telah berubah jadi bermanfaat. Selanjutnya, diberikan bahwa respon
tampak dimana saja, adalah logik untuk menelusuri komponen imun yang akan berubah
fungsi optimal secara fisiologis pada saat febris.
Dalam sebuah model percobaan pada mamalia, respon febris tampak menawarkan
keuntungan untuk bertahan hidup pada saat terinfeksi virus. Tikus yang baru lahir terinfeksi
oleh coxsackie virus, yang diizinkan untuk meningkatkan demam lebih rendah angka
kematiannya dibanding tikus yang dicegah dari demam14. Dalam keadaan yang sama, suhu
lingkungan yang ditingkatkan dari 23-26oC menjadi 38o meningkatkan suhu basal anak tikus
yang terinfeksi Herpes simplex sekitar 2o C dan meningkatkan angka ketahanan hidup dari
0% hingga 85%15. Studi meta analisis tentang efek medikasi antipiretik dalam mortalitas
hewan yang terinfeksi influenza menunjukkan bahwa terapi antipiretik terkait dengan
peningkatan faktor resiko mortalitas [ OR 1.34 (95% CI 1.04-1.73]16.
Studi pada mamalia yang terinfeksi bakteri mneunjukkan hasil yang sama. Pada
kelinci yang terinfeksi Pasteurella multocida, adanya demam ringan hingga peningkatan
2.25oC diatas normal terkait dengan kesempatan terbesar untuk bertahan hidup dibandingkan
dengan normotermia atau demam > 2.25oC diatas normal17. Meskipun tikus dominan
endotermi, mereka tampak membutuhkan sumber panas dari luar untuk menghasilkan panas.
Jika tikus diizinkan untuk menempatkan diri di kandang dengan gradien suhu, mereka
meningkatkan suhu lingkungan mereka dan kemudian meningkatkan suhu basal tubuh 1,1oC
setelah mendapat lipopoliskarida. Tikus pada rumah dengan suhu 35.5oC dibanding 23oC
meningkatkan suhu basal tubuhnya sekitar 2.5oC, perubahan ekspresi sitokin, dan
meingkatkan ketahanan hidup terhadap peritonitis Klebsiella pneumoniae19. Dalam model
ini,elevasi suhu tubuh yang terlihat dengan peningkatan suhu lingkingan dikaitkan dengan
penurunan resiko masuknya bakteri intraperitoneal 100.000 kali19. Sebuah publikasi ulasan
sistematik dan meta analisis terbaru tentang efek medikasi antipiretik dengan mortalitas pada
infeksi S.pneumoniae yang diidentifikasi pada empat studi hewan dibandingkan dengan
aspirin atau plasebo dan didimonstrasikan bahwa pemberian aspirin terkait dengan
peningkatan resiko kematian [OR 1.97 (95% CI 1.22-3.19]20.
Makna Demam Pada Manusia dengan Infeksi
Demam, hipertermia, dan antipiretik pada non-ICU pasien dengan infeksi
Infeksi virus
Dua studi double blind teracak dengan plasebo kontrol trial pada 45 voluntir
disuntikkan dengan rhinovirus tipe 21 (studi 1) atau rhinovirus tipe 25 (studi 2) menunjukkan
bahwa pemberian aspirin tidak merubah proporsi dari pasien dengan sakit yang memberat
atau secara signifikan merubah frekuensi atau beratnya gejala21. Meskipun pemberian aspirin
secara signifikan mematikan rhinovirus pada percobaan ini, hanya satu dari 45 yang demam
jadi peningkatan ini mungkin tidak dapat dianggap sebagai efek antipiretik dari aspirin21.
Studi yang sama pada 60 voluntir yang disuntikkan rhinovirus dan teracak diberi aspirin,
paracetamol, ibuprofen, atau placebo menunjukkan bahwa baik penggunaan aspirin maupun
paracetamolterkait dengan respon supresi serum antibodi peningkatan monosit dalam
sirkulasi22. Tidak ada perbedaan signifikan dalam penghapusanvirus dalam empat grup
tersebut. Namun, subjek yang diterapi dengan aspirin atau parasetamol memiliki peningkatan
signifikan gejala pada hidung dibanding dengan grup plasebo. Pada voluntir yang terinfeksi
dengan rhinovirus yang diterapi dengan pseudoefedrin, tambahan dari ibuprofen tidak
memiliki efek pada gejala atau pada penghapusan virus atau titer virus23. Dan lagi, hanya dua
dari 58 subjek yang demam. Percobaan random acak pada anak usia 6 bulan hingga usia 6
tahun yang dikira infeksi non bakteri dan demam ≥38oC menunjukkan bahwa pemberian
parasetamol meningkatkan aktivitas anak tapi tidak pada mood anak, nyaman atau nafsu
makan.24
Infeksi bakteri
Tidak ada data percobaan acak terkontrol pada manajemen demam pasien non-ICU
dengan infeksi bakteri. Namun, ada riwayat contoh respon dramatik pada terapi hipertermia
pada beberapa penyakit infeksi. Telah diketahui sejak zaman hipocrates bahwa paralisis
progresif karena neurosifilis kadang membaik setelah sakit dengan demam tinggi. Observasi
ini yang diajukan led julius Wagner-Jauregg pada tahun 1987, bahwa inokulasi malaria dapat
menjadi terapi untuk pasien dengan progresif paralisis. Rasionalnya, seseorang dapat
melakukan substitusi kondisi yang tidak dapat ditangani dengan yang bisa ditangani, malaria
dapat diterapi dengan quinine. Pada tahun 1917, dia menguji hipotesisnya pada sembilan
pasien dengan paralisis karena sifilis dengan injeksi darah pasien yang terkena malaria. Tiga
dari pasien mengalami remisi pada paralisisnya. Hal ini mengarahkan untuk eksperimen dan
observasi klinik lebih lanjut pada lebih dari ribuan pasien dengan remisi yang terjadi pada
30% pasien dengan neurosifilis terkait paralisis progresif yang diterapi dengan induksi
demam oleh malaria dibandingkan dengan angka remisi spontan hanya 1%. Atas kerjanya,
led julius Wagner-Jauregg diberi penghargaan nobel dalam fisiologi dan pengobatan pada
tahun 192725. Terapi demam telah menunjukkan efektivitas dalam terapi gonore, induksi
hipertermia 41,7oC selama 6 jam dalam “kettering hyperterm chamber” dapat mengobati pada
81% kasus.26
Jumlah studi observasi telah diuji hubungannya antara suhu tubuh dan hasil pada
pasien dengan berbagai infeksi bakteri, termasuk pneumonia27, peritonitis bakterial
spontan28,dan bakterimia gram negatif.29 Studi ini menunjukkan bahwa tidak adanya demam
adalah tanda dari prognosis yang buruk pada pasien dengan infeksi bakteri. Secara
keseluruhan, rancangan studi ini tidak mengizinkan seseorang untuk membedakan antara
tidak adanya demam sebagai penanda beratnya penyakit atau ketidakseimbangan host dengan
adanya demam sebagai respon protektif.
Demam pada pasien di ICU dengan infeksi
Studi observasi demam dan manajemen demam pada pasien ICU
Epidemiologi demam pada pasien ICU dan frekuensi dan kegunaan antipiretik pada pasien
ICU telah dievaluasi dalam sejumah studi observasi. Hal yang paling penting dari studi
diringkas dalam tabel 1.
Tabel 1. Ringkasan dari kunci studi observasi demam dan manajemen demam pada pasien ICU
Desain,Setting,Partisipan Kunci TemuanLaupland et al. 2008 [30] Studi kohort retrospektif pada
pasien yang masuk ke empat ICU di Calgary antara 2000 dan 2006; n = 24.204 pasien ICU
- Demam ≥ 38.3 meningkat 44% masuk di ICU dan demam tinggi ≥39.3 selama 8% masuk ICU
- Demam tidak berhubungan dengan peningkatan mortalitas ICU tapi demam tinggi berhubungan dengan angka kematian yang signifikan
Young et al. 2011 [31] Insepsi studi kohort dalam tiga ICU tersier di australia dan new zealand diatas 6 minggu 2010 mengidentifikasi pasein dengan demam ≥ 38 C dan diketahui atau suspek infeksi; n = 565
- 9% pasien masuk ICU telah atau berkembang demam dan diketahui atau suspek infeksi
- Paracetamol diberikan sekitar 2/3 pasien dengan demam dan diketahui atau suspek infeksi pada setiap hari pemberian
Selladurai et al. 2011 [32] Studi kohort retrospektif pada pasien yang masuk ke ICU tersier tunggal di australia dengan sepsis antara desember 2009 dan agustus 2010; n =106
- 69% pasien sepsis menerima paracetamol sedikitnya 1 kali selama 7 hari dalam ICU
- 88% pasien sepsis dengan demam > 38 C menerima paracetamol selama 7 hari pertama di ICU
- Pasien sepsis dengan demam > 38 C adalah 68 kali (95% CI 1.9-24.7) lebih cenderung menerima paracetamol daripada pasien sepsis dengan tidak febris
Lee et al. 2012 [33] Insepsi studi kohort dari pasien berturut-turut yang masuk di ICU di jepang dan korea lebih daru 48 jam selama 3 bulan tahun 2009; n = 1.425
- Penggunaan NSAIDs secara independen berkaitan dengan peningkatan kematian 28 hari pada pasien denga sepsis ( OR 2.61; 95% CI 1.11-6.11; p =0.03) tapi dengan tujuan
penurunan mortalitas 28 hari pada pasien tanpa sepsis (OR 0.22; 95% CI 0.03-1.74; p =0.15)
- Penggunaan paracetamol secara independen terkait dengan peningkatan mortalitas 28 hari pada pasien sepsis (OR 2.05; 95% CI 1.19-3.35; p =0.01) tapi dengan tujuan menurunkan mortalitas 28 hari pada pasien tanpa sepsis (OR 0.58; 95% CI 0.06-5.26; p =0.63)
Laupland et al. 2012 [34] Insepsi studi kohort pasien yang masuk ICU di francis berkontribusi ke database Outcomerea antara april 2000 dan november 2010; n = 10.962
- 25.7% pasien dengan ≥ 38.3 C di ICU
- Demam tidak disertai dengan peningkatan mortalitas tapi hipotermi jadi prediktor independen kematian pada pasien
Young et al. 2012 [35] Studi retrospektif kohort dari 636.051 pasien di Australia, New Zealand dan UK yang masuk ICU antara 2005 sampai 2009
- Peningkatan suhu tubuh dalam 24 jam pertamadi ICU disertai dengan peningkatan resiko mortalitas pada pasien tanpa infeksi dan penurunan resiko mortalita pasien dengan infeksi
Niven et al. 2012 [36] Waktu analisis yang terputus pada insidensi kumulatif demam di ICU di Calgary dari 2004-2009
- Insidensi kumulatif demam ≥ 38.3 selama di ICU menurun dari 50.1% sampai 255% selama 5.5 tahun studi
Insidensi demam dapat dikaitkan dengan infeksi dalam studi observasi pada berbagai
situasi pelayanan kritis beragam dari 8% hingga 37%31,34,36-41. Studi ini menggunakan beragam
definisi demam dan beberapa metode untuk mengukur suhu, membuat perbandingan antara
studi adalah sulit. Dalam studi ini, adanya demam terkait dengan apakah adanya peningkatan
resiko kematian30,39-41 atau tidak ada perbedaan dalam resiko mortalitas dibandingkan dengan
suhu normal.34 Hanya dua studi yang telah mengevaluasi resiko mortalitas pasien dengan
sepsis secara terpisah dari pasien tanpa sepsis.33,35 Dalam studi awal, demam dihubungkan
dengan peningkatan resiko mortalitas 28 hari pada pasien tanpa sepsis tapi tidak pada pasien
sepsis33 mengangkat kemungkinan adanya infeksi pada pasien dapat menjadi determinan
yang penting adanya respon febris pada pasien ICU. Dalam keadaan yang sama, studi
retrospektif cohort35 (n =636,051) menggunakan dua faktor independen, multicenter, secara
geografis dan database yang mewakili kami menemukan puncak suhu diatas 39.0oC dalam 24
jam pertama setelah dimasukkan dalam ICU secara umum berkaitan dengan penurunan resiko
mortalitas dalam rumah sakit dengan diagnosis infeksi saat masuk. Kebalikannya, puncak
suhu yang lebih tinggi berhubungan dengan peningkatan resiko mortalitas pasien dengan
diagnosis non infeksi.
Secara keseluruhan, meskipun satu studi saat ini menyatakan bahwa insidensi demam
menurun sepanjang waktu36, data observasi yang ada menyatakan bahwa demam adalah tanda
abnormal pada pasien ICU. Sayangnya, karena potensi tidak terukurnya faktor kontradiktif,
ini mungkin untuk mempertahankan apakah terapi demam pasien di ICU dengan infeksi
adalah menguntungkan atau berbahaya pada basis studi observasi.
Studi intervensi pada manajemen demam pasien ICU
Dua publikasi studi meta analisis terbaru menemukan bahwa tidak ada bukti terapi
antipiretik bermanfaat atau berbahaya pada cedera pada pasien ICU non neurogikal.2,3 hampir
semua pasien yang masuk dalam meta analisis ini diketahui atau dicurigai sepsis dan satu
dari meta analisis hanya termasuk pasien dengan infeksi3, dalam kedua meta analisis, penulis
mencatat bahwa studi yang ada kurang data statistik yang kuat untuk mendeteksi perbedaan
klinik dan rekomendasi studi acak terkontrol yang lebih besar dibutuhkan. Rincian publikasi
studi strategi manajemen intervensi demam pada pasien di ICU diringkas dalam tabel 2.
Tabel 1. Ringkasan dari trial investigasi acak terkontrol manajemen demam pada orang dewasa yang sakit kritis
Desain,Setting,Partisipan Kunci TemuanBernard et al. 2008 [42] Trial double blind placebo
terkontrol ibuprofen pada pasien dengan sepsis berat; n=30
- Ibuporfen mengurangi suhu tubuh, heart rate, dan tekanan puncak airway secara signifikan
- Tidak ada perbedaan yang bermakna antara ibuprofen dan pasebo pada angka mortalitas di rumah sakit (18.8% grup terapi ibuprofen vs 42.9 grup terapi plasebo)
Bernard et al. 2008 [43] Trial double blind placebo terkontrol ibuprofen pada pasien dengan sepsis berat pada 7 center
- Ibuprofen secara signifikan menurunkan suhu, heart rate, konsumsi oksigen, dan
di Amerika utara n=455 asidosis laktat pada pasien sepsis berat
- Ibuprofen tidak merubah insiden atau durasi syok atau ARDS dan tidak efek signifikan pada 30 hari mortalitas (37% grup terapi ibuprofen vs 40% grup terapi plasebo)
Memis et al. 2004 [44] Trial double blind placebo terkontrol lornoxicam pada pasien dengan sepsis berat pada 1 center di Turki ;n=40
- Tidak ada perbedaan signifikan lornoxicam dan plasebo ditunjukkan pada parameter hemodinamik,biokimia,kadar sitokin, atau mortalitas ICU (35% grup lornoxicam vs 40% grup plasebo)
Morris et al. 2011 [45] Multicenter, trial acak membandingkan efek antipiretik dengan dosis tunggal plasebo, 100 mg,200 mg, atau 400 mg pada ibuprofen IV pada pasien di rumah sakit yang 90% infeksi; n=120 (53 sakit berat)
- Semua dosis ibuprofen yang diuji efektif dalam menurunkan suhu
- Tidak ada perbedaan signifikan dari grup terapi dengan kebutuhan ventilasi, panjangnya waktu tinggal atau mortalitas di RS (4% plasebo, 3% 100 mg ibuprofen, 7% 200 mg ibuprofen, 6% 400 mg ibuprofen)
Haupt et al. 1991 [46] Multicenter, trial plasebo terkontrol ibuprofen pada pasien dengan sepsis berat; n =29
- Ibuprofen secara signifikan menurunkan suhu tubuh
- Tidak ada perbedaan signifikan dari grup terapi pada mortalitas di RS (30.8% plasebo vs 56.3% ibuprofen)
Schulman et al. 2006 [47] Center tunggal, unblinded, trial acak manajemen demam agresif vs permisif pada pasien trauma di ICU; n=82
- Tidak ada perbedaan signifikan antara terapi lengan pada kondisi jumlah infeksi baru
- Mortalitas di RS 15.9% pada terapi agresif dan 26% pada terapi permisif (p=0.06)
Niven et al. 2012 [48] Multicenter, unblinded, trial acak manajemen demam agresif vs permisif pada pasien trauma di ICU; n=26
- Suhu rata-rata harian lebih rendah pada pasien yang diterapi agresif
- Mortalitas di RS 21% pada terapi agresif dan 17% pada terapi permisif (p=1.0)
Schortgen et al. 2012 [49] Multicenter,trial acak terkontrol pendinginan eksternal pada pasien dengan demam dan syok sepsis yang menerima ventilasi mekanik di 7 center di francis; n=200
- Pendinginan eksternal signifikan turunkan suhu tubuh
- Pendinginan eksternal tidak merubah proporsi pasien yang menerima 50% reduksi pada dosis vasopresor setelah 48 jam
- Mortalitas 14 hari signifikan lebih rendah pada pasien yang diberi Pendinginan eksternal tapi tidak ada perbedaan signifikan antara grup terapi pada kondisi mortalitas pasien ICU atau rumah sakit
Percobaan acak terkontrol terbesar mengevaluasi penggunaan ibuprofen pada pasien
sakit kritis dengan sepsis43, pasien dengan sepsis berat secara acak menerima 10 mg/kg BB
ibuprofen atau plasebo setiap 6 jam untuk total 8 dosis. Meskipun penggunaan ibuprofen
secara signifikan menurunkan suhu tubuh, namun tidak merubah 30 hari mortalitas, yang
mana 37% dari grup yang diterapi ibuprofen dan 40% plasebo. Studi ini dirancang untuk
mengevaluasi penggunaan ibuprofen sebagai anti inflamasi daripada sebagai anti piretik dan,
selagi penggunaan ibuprofen menurunkan suhu dibandingkan dengan plasebo, studi
memasukkan pasien yang hipotermi sama dengan yang febris. Faktor berlawanan tambahan
adalah pasien dimasukkan dalam grup ibuprofen yang telah diterapi dengan paracetamol
lebih sering dari mereka yang masuk dalam grup kontrol. Berdasarkan hal ini 43 dan studi
kecil tentang non steroidal anti inflammatory drugs (NSAIDs) lainnya45,46 pada pasien yang
sakit kritis, jelas bahwa NSAIDs lebih efektif menurunkan suhu pada pasien febris di ICU.
Namun tidak ada tanda mortalitas yang tetap pada studi NSAIDs yang ada, beberapa studi
menunjukkan tren mengenai manfaat42-44 penggunaan NSAIDs dan penggunaan lain
berbahaya.45,46
Studi terbesar kedua dari manejemen suhu pasien febris di ICU mengevaluasi
penggunaan pendingin eksternal.49 Studi ini secara acak pada 200 pasien febris dengan syok
septik yang membutuhkan vasopresor, ventilasi mekanik, dan sedasi untuk pendingin
eksternal menjadi normotermia (36,5-37oC) selama 48 jam atau tanpa pendingin eksternal.
Tujuan akhir utama adalah proporsi pasien dengan penurunan 50% pada penggunaan
vasopresor setelah pengacakan. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara grup terapi untuk
tujuan primer, yang mencapai 72% pada pasien dengan pendingin eksternal dan 61% pada
pasien perawatan standar. Studi memiliki sejumlah tujuan akhir sekunder yang besar
termasuk suhu tubuh rata-rata, proporsi pasien yang mencapai 50% penurunan pada
vasopresor dalam 2 jam, 12 jam, 24 jam, 36 jam, dan hingga 14 hari, ICU, rumah sakit, dan
mortalitas. Tujuan sekunder lebih mengarah ke pendingin eksternal dan 14 hari mortalitas
telah dicatat secara signifkan lebih rendah pada grup pendingin eskternal ( 19% vs 34%; p =
0,0013). Perbedaan ini tidak nyata dengan waktu masuk di ICU atau keluar rumah sakit dan
perhatian seharusnya diberikan dalam interpretasi titik akhir jika memungkinkan bahwa
mereka terpengaruh oleh error tipe 1 karena kurangnya data statistik.
Percobaan lain membandingkan strategi kontrol suhu pada trauma tersier di ICU dan secara
acak pasien dilakukan kontrol suhu secara agresif atau permisif.47 Pasien yang diberi terapi
agresif diberikan paracetamol sekali pada saat suhu lebih dari 38.5oC dan pendingin fisik
ditambahkan ketika suhu lebih dari 39.5 oC. Pasien yang diberi terapi permisif menerima
paracetamol dan pendigin ketika suhu mencapai 40 oC. percobaan ini asli bertujuan untuk 672
pasien; namun, dihentikan oleh monitoring keamanan data pada 82 pasien karena mengarah
ke mortalitas pada grup yang diterapi agresif. Sementar semua kematian dihubungkan karena
sepsis, aturan pemberhentian konvensional tidak digunakan dan adanya peluang untuk
perbedaan antara studi terapi dapat terjadi. Studi ini tidak memiliki pembatas mayor termasuk
kurangnya blinding atau kontrol plasebo, dan potensi ketidaksesuaian dari penggunaan tak
terkontrol dari antipiretik lainnya dan penggunan pendingin eksternal. Penilitian label terbuka
secara acak yang sama dilakukan pada 26 pasien ICU yang febris dan mereka diberi terapi
permisif.48 Dalam studi ini, grup yang dikontrol demam secara agresif menerima paracetamol
650 mg secara enteral tiap 6 jam ketika suhu ≥ 38.3 oC dan menerima pendingin fisik untuk
suhu ≥ 39.5 oC. Grup permisif tidak menerima parasetamol hingga suhu ≥ 40 oC dan tidak
menerima pendingin fisik hingga suhu ≥ 40.5 oC. Semua pasien yang diberi manajemen suhu
agresif memiliki etiologi infeksi dari demamnya dan 75% pasien yang mendapat terapi
permisif memiliki infeksi dalam baseline. Penyebab 28 hari mortalitas tidak signifikan
berbeda pada kedua grup.
Keamanan dan efek penggunaan parasetamol untuk terapi demam pada pasien ICU dengan
infeksi telah dievaluasi pada 700 pasien fase Iib, multicenter, acak, trial plasebo terkontrol
(HEAT trial), yang selesai pada november 2014.50
Kesimpulan
Terdapat data yang signifikan pada hewan yang menunjukkan bahwa demam adalah
komponen penting pada host sebagai respon infeksi dan memberikan ketahanan hidup pada
sejumlah spesies hewan. Konservasi respon metabolik melewati sejumlah besar spesies
hewan yang diduga bahwa respon tersebut memiliki keuntungan dalam evolusi. Terdapat
riwayat yang menarik pada hipertermia yang diberikan untuk terapi penyakit infeksi. Namun,
di era modern, relevansi dari contoh tersebut dipertanyakan. Selain itu, argumen yang
didasarkan pada pentingnya evolusi dari respon terhadap demam tidak selalu berlaku untuk
pasien yang sakit kritis,didukung di luar batas homeostasis fisiologis normal. manusia tidak
beradaptasi dengan penyakit kritis. Dengan tidak adanya obat-obatan dan perawatan intensif
modern, pasien yang sakit kritis dengan demam dan infeksi mungkin akan mati. Di antara
pasien yang sakit kritis, secara biologis masuk akal bahwa ada keseimbangan yang harus
dicapai antara potensi keuntungan mengurangi tingkat metabolisme yang datang dengan
kontrol demam dan potensi risiko dari merusak mekanisme efek pertahanan dari host.
Hebatnya, saat ini, kita tidak tahu apa efek dalam mengobati demam pada pasien sakit kritis
dengan infeksi yang berpusat pada hasil pasien. Perawatan termasuk intervensi yang umum
digunakan seperti parasetamol dan pendinginan fisik. Area penelitian adalah prioritas tinggi
diberikan epidemiologi global demam pasien sakit kritis dan generalisasi dari rencana
intervensi.