peminatan kesehatan lingkungan fakultas … · 2015. 2. 4. · universitas islam negeri (uin)...
TRANSCRIPT
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN GEJALA
INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA BALITA
DI 5 POSYANDU DESA TAMANSARI KECAMATAN PANGKALAN
KARAWANG TAHUN 2013
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat
(SKM)
Oleh :
RUDIANTO
NIM : 109101000075
PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1434 H / 2013 M
i
ii
iii
iv
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN
Skripsi, 25 Juli 2013
RUDIANTO, NIM : 109101000075
Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Gejala Infeksi Saluran Pernapasan
Akut (ISPA) pada Balita di 5 Posyandu Desa Tamansari Kecamatan
Pangkalan Karawang Tahun 2013
(xv + 107 halaman, 25 tabel, 2 bagan, 6 lampiran)
ABSTRAK
ISPA Infeksi Saluran Pernapasan Akut merupakan salah satu penyakit
yang sering terjadi pada balita. Di wilayah Puskesmas Pangkalan yang berada di
sekitar industri batu kapur, ISPA masih berada diurutan pertama dari 10 penyakit
lainnya. Debu yang berasal dari pembakaran batu kapur merupakan pencemar
terhadap lingkungan yang perlu diwaspadai karena dapat mengganggu kesehatan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara status gizi,
status imunisasi, PM10, suhu, kelembaban, racun nyamuk, kebiasaan merokok,
bahan bakar memasak, luas ventilasi dan kepadatan hunian dengan gejala ISPA
pada balita di desa tamansari dan dilaksanakan April-Juni 2013. Jenis penelitian
yang digunakan adalah observasional dengan desain cross sectional. Populasi dan
sampel penelitian ini adalah balita yang berusia 1-59 bulan di 5 posyandu desa
tamansari tahun 2013 yaitu 68 balita. Analisis data dilakukan dengan CI=95%
secara univariat dan bivariat serta menggunakan uji chi square dan man whitney
dengan α=0,05.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa proporsi balita ISPA sebesar
57,4%, status gizi kurang sebesar 10,3%, status imunisasi tidak lengkap sebesar
11,8%, rata-rata PM10 sebesar 162,50 µg/m3, rata-rata suhu 28,66
0C, rata-rata
kelembaban 86,12%, racun nyamuk bakar sebesar 89,7%, kebiasaan anggota
keluarga yang merokok didalam rumah sebesar 79,4%, yang menggunakan yang
memakai kayu bakar sebesar 14,7%, luas ventilasi, kepadatan hunian, yang tidak
memenuhi syarat sebesar 64,7%, 80,9%.
Faktor yang berhubungan dengan gejala ISPA pada balita pada penelitian
ini adalah kepadatan hunia (p=0,032). Sedangkan status gizi, status imunisasi,
PM10, suhu, kelembaban, racun nyamuk, kebiasaan merokok, bahan bakar
memasak dan luas ventilasi : tidak berhubungan secara bermakna dengan gejala
ISPA pada balita. Disarankan kepada puskesmas agar memberikan penyuluhan
kepada masyarakat tentang pentingan kesehatan rumah serta masyarakat perlu
memperbaiki kondisi fisik rumah yang tidak memenuhi syarat.
Kata Kunci : ISPA, status gizi, status imunisasi, PM10, suhu, kelembaban,
racun nyamuk, kebiasaan merokok, bahan bakar masak, luas ventilasi dan
kepadatan hunian.
v
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE
PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM
Undergraduate thesis, 25 July 2013
RUDIANTO, NIM: 109101000075
FACTORS ASSOCIATED WITH SYMPTOMS OF RESPIRATORY
INFECTIONS (ARI) IN TODDLERS AT THE CASTLE VILLAGE 5 SUB
BASE TAMANSARI KARAWANG IN 2013
(xv + 107 Pages, 25 Table, 2 Charts, 6 Attachments)
ABSTRACT
ARI Acute Respiratory Infection is a disease that often occurs in infants.
Base health centers in areas that are around the limestone industry, ISPA still
comes out the first of 10 other diseases. The soot from burning limestone is a
pollutant to the environment that needs to watch out because it can be detrimental
to health.
This study aims to determine the relationship between nutritional status,
immunization status, PM10, temperature, humidity, mosquitoes toxins, smoking,
cooking fuel, extensive ventilation and occupancy density with symptoms of
respiratory infection in infants in the Castle and village conducted from April to
June 2013. This type of research is an observational cross-sectional design.
Population and sample of this study is that infants aged 1-59 months in 5 villages
posyandu the Castle in 2013 that 68 toddlers. Data analysis was performed with
95% CI = univariate and bivariate and using chi square test and man whitney with
α = 0.05.
These results indicate that the proportion of 57.4% toddlers ARI,
malnutrition status of 10.3%, incomplete immunization status of 11.8%, an
average of 162.50 μg/m3 of PM10, the average temperature is 28 , 66 0C, the
average moisture 86.12%, mosquito poison by 89.7%, the smoking habits of
family members in the home by 79.4%, which use the firewood of 14.7%,
extensive venting, density residential, which does not qualify for 64.7%, 80.9%.
Factors associated with symptoms of respiratory infection in infants in this
study were hunia density (p = 0.032). While nutritional status, immunization
status, PM10, temperature, humidity, mosquitoes toxins, smoking, cooking fuel
and extensive ventilation: not significantly associated with respiratory symptoms
in toddlers. Recommended to the clinic in order to educate the public about the
health interests of the community need to improve the physical condition of the
home that do not qualify.
Keywords: respiratory infections, nutritional status, immunization status, PM10, temperature, humidity, mosquitoes toxins, smoking, cooking fuel, extensive ventilation and occupancy density.
vi
DATA RIWAYAT HIDUP PENULIS
Nama
TTL
Jenis kelamin
Alamat asal
Agama
Status pernikahan
Nomor Handphone
: Rudianto
: Lampung, 14 Desember 1989
: Laki-laki
: Jln. Merdeka Rt/Rw 007/002 Desa
Pangkalan Panji Kab : Banyuasin
30753 Palembang
: Islam
: Akan Menikah
: 087885918582
RIWAYAT PENDIDIKAN
2009 - Sekarang
S1 - Kesehatan Masyarakat Peminatan Kesehatan
Lingkungan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
2006 - 2009 MAN 1 Pangkalan Balai Banyuasin
2003 - 2006 SMP Negeri 3 Banyuasin III Pulau Harapan
1997 - 2003 SD Negeri PP Langkan
PENGALAMAN MAGANG
Maret – April 2013 Dinas Kesehatan Kabupaten Karawang Bidang Penyehatan
Lingkungan
2010 – 2013 Pemberdayaan Masyarakat Melalui Usaha Ternak Bebek
Kalung Magelang Jawa Tengah
vii
PENGALAMAN KUNJUNGAN LAPANGAN
05-12-2011 PT. Chevron Company Oil and Gas Balikpapa Kalimantan
Timur
07-12-2011 PT. PERTAMINA Unit 5 Balikpapa Kalimantan Timur
21-04-2012 PT. JOB Pertamina Petrochina Tuba Jawa timur
07-05-2012 PT. Chevron Gheothermal Indonesia Garut Jawa Barat
28-06-2012 PT. Suralaya Pembangkit Listrik Cilegon Banten
PENGALAMAN ORGANISASI
2004 – 2005 Anggota Pramuka SMP Negeri 3 Pulau Harapan
2006 – 2008 Anggota Paskibra MAN Pangkalan Balai
2006 - 2008 Staff Departemen Kewarga Negaraan OSIS MAN PABA
2010 - 2011 Staff Departemen Kemahasiswaan BEM FKIK UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
2010 - 2011 Ketua Pengalaman Belajar Lapangan (PBL) 1 Kecamatan
Ciputat, Kabupaten Tangerang
2009 - Sekarang Anggota Envihsa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2009 - Sekarang Ketua Angkatan 2009 Mahasiswa Beasiswa Santri Jadi Dokter
Sumatera Selatan
2013 - Sekarang Ketua Komunitas Generasi Peduli Banyuasin
viii
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Puji syukur Kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat serta
nikmat-Nya kepada seluruh umatnya. Shalawat serta salam semoga tercurahkan
kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membimbing umatnya menuju
jalan yang terang penuh Cahaya Illahi.
Alhamdulillah pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi
“Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Gejala Infeksi Saluran
Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita di 5 Posyandu Desa Tamansari
Kecamatan Pangkalan Karawang Tahun 2013” dengan baik dan penuh
perjuangan.
Skripsi ini disusun dan disajikan sebagai persyaratan memperoleh gelar
Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) Program Studi Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Teriringi doa, dengan segala kerendahan hati dan rasa syukur penulis
memberikan ucapan terimakasih atas terselesaikannya skripsi ini kepada:
1. Skripsi ini aku persembahkan untuk kedua orang tuaku tercinta yang telah
memberikan semangat, bimbingan dan doa yang tiada henti untuk lulus
tepat waktu.
2. Kakak kandung (Suwarni Ningsih, Heri Susanto, Ida susanti, dan
Septiarini) yang telah memberikan dukungan, bantuan dan semangat agar
bisa lulus tepat waktu.
ix
3. Adik-adik kandungku (Fera Yuliana dan Tomi julianto) yang selalu
memberikan semangat agar bisa lulus cepat.
4. Dini Asmiar, Am. Keb yang selalu memberikan dukungan, semangat dan
doa agar bisa lulus cepat.
5. Dinas Pendidikan Sumatera Selatan yang telah memberikan beasiswa
kuliah di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Ibu Febrianti, SP. Msi. Selaku kepala Program Studi Kesehatan
Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
7. Ibu Ela Laelasari, SKM, M.Kes selaku pembimbing I yang telah
memberikan tuntunan dan bimbingan ilmu pengetahuan dalam
penyusunan skripsi ini.
8. Ibu Dewi Utami Iriani, SKM, M.Kes, Ph.D selaku pembimbing II yang
telah memberikan tutunan dan bimbingan ilmu pengetahuan dalam
penyusunan skripsi ini.
9. Bapak Dr. H. Arif Sumantri, SKM, M.Kes selaku pembina peminatan
kesehatan lingkungan Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
10. Nenek, Uwak dan Anisa yang telah banyak membantu dan memberikan
izin untuk tinggal dalam pelaksanaan skripsi.
11. Temen-temen dan sahabatku mahasiswa beasiswa sumsel khususnya
angkatan 2009 (Midun, Aan, Rifki, Desly, Zil, Putra, Kiki, Tika, Rafita,
x
Etika, Vita, Nurul, Rani, Susi, Maya, Ira, Seil, Fitri, Maharani, Ani, Inti,
semangat dan sukses buat kita, Aamiin.
12. Teman-teman mahasiswa Kesehatan Lingkungan 2009 semangat dan
sukses untuk kita semua, Aamiin.
13. Serta segenap pihak yang telah membantu dalam penyusun dalam
menyelesaikan skripsi ini.
Hanya do’a yang dapat penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, semoga
amal baiknya mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT. Amin.
Penulis sadar atas segala kekurangan dan keterbatasan yang ada. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran untuk skripsi ini demi
kemajuan dimasa yang akan datang.
Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat
bagi penulis dan pembaca pada umumnya.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Jakarta, 25 Juli 2013
Rudianto
xi
DAFTAR ISI
ABSTRAK.................................................................................................... i
ABSTACT.................................................................................................... ii
RIWAYAT HIDUP...................................................................................... iii
KATA PENGANTAR.................................................................................. v
DAFTAR ISI................................................................................................ viii
DAFTAR TABEL........................................................................................ xiii
DAFTAR BAGAN....................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................
xv
1
A. Latar Belakang.................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah.............................................................................
C. Pertanyaan Penelitian.......................................................................
D. Tujuan Penelitian..............................................................................
1. Tujuan Umum.............................................................................
2. Tujuan Khusus............................................................................
E. Manfaat Penelitian............................................................................
1. Manfaat Bagi Puskesmas............................................................
2. Manfaat Bagi Peneliti.................................................................
3. Manfaat Bagi Institusi Pendidikan.............................................
F. Ruang Lingkup Penelitian................................................................
5
6
7
7
7
8
8
9
9
9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................
A. Pengertian ISPA...............................................................................
B. Penyebab ISPA................................................................................
C. Klasifikasi ISPA pada Balita............................................................
D. Mekanismes Terjadinya ISPA..........................................................
E. Tanda dan Gejala ISPA....................................................................
F. Masalah ISPA di Indonesia..............................................................
G. Faktor Risiko ISPA...........................................................................
11
11
12
15
17
17
19
22
xii
H. Karakteristik Balita...........................................................................
1. Usia.............................................................................................
2. Status Gizi...................................................................................
3. Status Imunisasi..........................................................................
I. Faktor Pendidikan Ibu......................................................................
J. Sumber Polutan dalam Rumah.........................................................
1. Racun Nyamuk Bakar.................................................................
2. Aspa Rokok................................................................................
3. Bahan Bakar Masak....................................................................
4. PM10..........................................................................................
24
24
25
26
27
28
29
29
31
32
K. Sumber PM10...................................................................................
L. Nilai Ambang Batas PM10...............................................................
M. Hubungan antara PM10 dengan ISPA..............................................
N. Suhu dan Kelembaban......................................................................
O. Kondisi Lingkungan Rumah.............................................................
1. Luas Ventilasi............................................................................
2. Kepadatan Hunian......................................................................
32
32
34
35
36
36
38
P. Kerangka Teori................................................................................. 38
BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL....
A. Kerangka Konsep.............................................................................
B. Defenisi Operasional........................................................................
C. Hipotesis...........................................................................................
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN.................................................
A. Desain Penelitian..............................................................................
B. Lokasi dan Waktu.............................................................................
C. Populasi dan Sampel Penelitian........................................................
1. Populasi......................................................................................
2. Sampel.......................................................................................
D. Teknik pengambilan sampel.............................................................
E. Instrumen Penelitian.........................................................................
F. Metode dan Alat Pengumpulan Data................................................
40
40
42
47
48
48
48
48
48
49
50
51
51
xiii
1. Pengukuran PM10......................................................................
2. Termohygrometer.......................................................................
G. Pengumpulan Data............................................................................
1. Data Primer.................................................................................
2. Data Sekunder.............................................................................
H. Pengolahan Data...............................................................................
1. Editing........................................................................................
2. Coding........................................................................................
3. Entry Data...................................................................................
4. Cleaning......................................................................................
I. Analisis Data.....................................................................................
1. Univariat.....................................................................................
2. Bivariat.......................................................................................
51
52
52
52
52
53
53
53
53
54
54
54
54
BAB V HASIL PENELITIAN...................................................................
A. Gambaran Desa Tamansari...............................................................
B. Hasil Analisis Univariat....................................................................
1. Gambaran Kejadian ISPA..........................................................
C. Gambaran Faktor Risiko Kejadian ISPA..........................................
1. Gambaran Usia...........................................................................
2. Gambaran Jenis kelamin.............................................................
3. Gambaran Status gizi..................................................................
4. Gambaran Status imunisasi........................................................
5. Gambaran Pendidikan Ibu..........................................................
6. Gambaran PM10.........................................................................
7. Gambaran Suhu..........................................................................
8. Gambaran Kelembaban..............................................................
9. Gambaran Racun nyamuk..........................................................
10. Gambaran Kebiasaan merokok...................................................
11. Gambaran Bahan bakar memasak..............................................
12. Gambaran Luas ventilasi............................................................
13. Gambaran Kepadatan hunian......................................................
56
56
57
57
58
58
58
59
59
60
61
61
62
62
63
63
64
65
xiv
D. Hasil Analisi Bivariat.......................................................................
1. Hubungan Status gizi dengan kejadian ISPA.............................
2. Hubungan Status imunisasi dengan kejadian ISPA....................
3. Hubungan PM10 dengan kejadian ISPA....................................
4. Hubungan Suhu dengan kejadian ISPA......................................
5. Hubungan Kelembaban dengan Kejadian ISPA.........................
6. Hubungan Racun nyamuk dengan kejadian ISPA......................
7. Hubungan Kebiasaan merokok dengan kejadian ISPA..............
8. Hubungan Bahan bakar memasak dengan kejadian ISPA..........
9. Hubungan Luas ventilasi dengan kejadian ISPA.......................
10. Hubungan Kepadatan hunian dengan kejadian ISPA.................
BAB VI PEMBAHASAN...........................................................................
A. Keterbatasan Penelitian....................................................................
B. Analisis Univariat.............................................................................
1. Gambaran Kejadian ISPA pada Balita.......................................
C. Analisis Bivariat...............................................................................
1. Analisis Hubungan Status Gizi dengan Kejadian ISPA.............
2. Analisis Hubungan Hubungan Status Imunisasi dengan
Kejadian ISPA............................................................................
3. Analisis Hubungan Hubungan PM10 dengan Kejadian ISPA...
4. Analisis Hubungan Hubungan Suhu dengan Kejadian ISPA.....
5. Analisis Hubungan Hubungan Kelembaban dengan Kejadian
ISPA............................................................................................
6. Analisis Hubungan Hubungan Racun Nyamuk dengan
Kejadian ISPA............................................................................
7. Analisis Hubungan Hubungan Kebiasaan Merokok dengan
Kejadian ISPA............................................................................
8. Analisis Hubungan Hubungan Bakar Bahan Memasak dengan
Kejadian ISPA............................................................................
9. Analisis Hubungan Hubungan Luas Ventilasi dengan Kejadian
ISPA............................................................................................
65
66
67
68
69
70
71
72
73
74
75
77
77
77
77
79
79
81
84
86
88
90
92
95
98
xv
10. Analisis Hubungan Hubungan Kepadatan Hunian dengan
Kejadian ISPA............................................................................
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN........................................................
A. Simpulan...........................................................................................
B. Saran.................................................................................................
1. Bagi Responden..........................................................................
2. Bagi Puskesmas..........................................................................
3. Bagi Peneliti Lain.......................................................................
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
100
104
104
106
106
106
107
xvi
DAFTAR TABEL
No. Tabel Judul Tabel Hal
Tabel 3.1 Definisi Operasional............................................................ 42
Tabel 5.1 Distribusi Kejadian ISPA.................................................... 57
Tabel 5.2 Distribusi Usia Balita.......................................................... 58
Tabel 5.3 Distribusi Jenis Kelamin Balita........................................... 58
Tabel 5.4 Distribusi Status Gizi Balita................................................ 59
Tabel 5.5 Distribusi Status Imunisasi Balita....................................... 59
Tabel 5.6 Distribusi Pendidikan Ibu Balita......................................... 60
Tabel 5.7 Distribusi Rata-rata PM10 dalam Kamar Balita................. 61
Tabel 5.8 Distribusi Rata-rata Suhu dalam Kamar Balita................... 61
Tabel 5.9 Distribusi Rata-rata Kelembaban dalam Kamar Balita....... 62
Tabel 5.10 Distribusi Pemakaian Racun Nyamuk Bakar...................... 62
Tabel 5.11 Distribusi Kebiasaan Merokok didalam Rumah................. 63
Tabel 5.12 Distribusi Bahan Bakar Memasak....................................... 63
Tabel 5.13 Distribusi Luas Ventilasi Kamar Balita.............................. 64
Tabel 5.14 Distribusi Kepadatan Hunian Kamar Balita........................ 65
Tabel 5.15 Hubungan Status Gizi dengan Kejadian ISPA.................... 66
Tabel 5.16 Hubungan Status Imunisasi dengan Kejadian ISPA........... 67
Tabel 5.17 Hubungan PM10 dengan Kejadian ISPA............................ 68
Tabel 5.18 Hubungan Suhu dengan Kejadian ISPA............................. 69
Tabel 5.19 Hubungan Kelembaban denagn Kejadian ISPA................. 70
Tabel 5.20 Hubungan Racun Nyamuk Bakar dengan Kejadian ISPA.. 71
Tabel 5.21 Hubungan Kebiasaan Merokok dengan Kejadian ISPA..... 72
Tabel 5.22 Hubungan Bahan Bakar Memasak dengan Kejadian ISPA. 73
Tabel 5.23 Hubungan Luas Ventilasi dengan Kejadian ISPA.............. 74
Tabel 5.24 Hubungan Kepadatan Hunia dengan Kejadian ISPA.......... 75
xvii
DAFTAR BAGAN
No. Bagan Judul Bagan Hal
Bagan 2.1
Bagan 2.2
Kerangka teori
Kerangka Konsep
39
41
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Lampiran 2
Lampiran 3
Lampiran 4
Lampiran 5
Lampiran 6
Kuisoner
Hasil Analisis Statistik
Foto-foto Dokumentasi
Data Kesakitan Puskesmas Pangkalan tahun 2012
Surat Izin Penelitian
Surat keterangan
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyebab utama
morbiditas dan mortalitas penyakit menular di dunia. Hampir empat juta
orang meninggal setiap tahun. Tingkat mortalitas sangat tinggi pada bayi,
anak-anak dan orang lanjut usia, terutama di negara dengan pendapatan per
kapita rendah dan menengah. Begitu pula, ISPA merupakan salah satu
penyebab utama rawat jalan dan rawat inap di fasilitas pelayanan kesehatan
terutama pada bagian perawatan anak (WHO, 2008).
World Health Organization (WHO) memperkirakan insidens Infeksi
Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di negara berkembang dengan angka
kematian balita di atas 40 per 1000 kelahiran hidup adalah 15%-20%
pertahun pada golongan usia balita. Menurut WHO ± 13 juta anak balita di
dunia meninggal setiap tahun dan sebagian besar kematian tersebut terdapat
di negara berkembang, dimana ISPA merupakan salah satu penyebab utama
kematian dengan membunuh ± 4 juta anak balita setiap tahun (Depkes RI,
2001).
Proporsi kematian balita akibat Infeksi Saluran Pernafasan Akut
(ISPA) berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKTR) 2007
sebesar 15 %. Sebagai kelompok penyakit, ISPA juga merupakan salah satu
penyebab utama kunjungan pasien di sarana kesehatan, sebanyak 40% - 60%
2
kunjungan berobat di Puskesmas dan 15% - 30% kunjungan berobat di bagian
rawat jalan dan rawat inap rumah sakit disebabkan oleh ISPA (Depkes RI,
2006).
Di Indonesia, ISPA selalu menempati urutan pertama penyebab
kematian pada kelompok bayi dan balita. Selain itu ISPA juga sering berada
pada daftar 10 besar penyakit terbanyak di rumah sakit. Survei mortalitas
yang dilakukan oleh subdit ISPA tahun 2005 menempatkan ISPA atau
Pneumonia sebagai penyebab kematian bayi terbesar di Indonesia dengan
presentase 22,30% dari seluruh kematian balita (Rima, 2008).
Ada banyak faktor yang mempengaruhi kejadian ISPA baik secara
langsung maupun tidak langsung. Hasil penelitian yang dilakukan Charles
(2005) menyebutkan bahwa asap rokok dari orang yang merokok dalam
rumah serta pemakaian racun nyamuk bakar merupakan risiko yang bermakna
dengan kejadian ISPA pada balita. Sedangkan Depkes (2002) menyebutkan
bahwa faktor penyebab ISPA pada balita adalah berat badan bayi rendah
(BBLR), status gizi buruk, status imunisasi yang tidak lengkap, kepadatan
tempat tinggal dan lingkungan fisik.
Sedangkan menurut Hendrik L. Blum dalam Notoatmodjo (1996),
faktor-faktor yang mempengaruhi penyakit ISPA antara lain faktor
lingkungan seperti kondisi fisik rumah (ventilasi udara, jenis lantai, jenis
dinding, letak dapur, suhu, pencahayaan, kelembaban dan kepadatan hunian).
Faktor perilaku seperti kebiasaan merokok anggota keluarga dalam rumah,
3
penggunaan obat nyamuk, jenis bahan bakar memasak, faktor pelayanan
kesehatan seperti status imunisasi dan status gizi.
Lingkungan yang berpengaruh dalam proses terjadinya ISPA adalah
lingkungan perumahan, dimana kualitas rumah berdampak terhadap
kesehatan anggotanya. Kualitas rumah dapat dilihat dari jenis atap, jenis
lantai, jenis dinding, kepadatan hunia dan jenis bahan bakar memasak yang
diapaki. Faktor-faktor diatas diduga sebagai penyeba terjadinya ISPA
(Depkes RI, 2003).
Industri batu kapur yang berada di desa Tamansari merupakan industri
informal yang dikelola oleh masyarakat dan dalam pengolahannya masih
bersifat tradisional, sehingga jenis polutan PM10 yang ada di udara berisiko
terhadap kesehatan manusia. Efek terhadap kesehatan manusia dipengaruhi
oleh intensitas dan lamanya keterpajanan, selain itu juga dipengaruhi oleh
status kesehatan penduduk terpajan. Hal ini dapat dijelaskan bahwa keadaan
lingkungan udara yang kurang menguntungkan akan memperburuk kondisi
kesehatan seseorang diperburuk lagi (Kusnoputran, 2000).
Penelitian Abdullah (2003) membuktikan bahwa status gizi,
pemberian ASI, berat badan lahir (BBL), pendidikan ibu, kepadatan hunian,
asap pembakaran, asap rokok, keadaan ventilasi dan letak dapur terhadap
kejadian ISPA. Hasil penelitian Risa (2005) membuktikan bahwa kebiasaan
membuka jendela rumah, jumlah anggota keluarga dan letak ternak kandang
berhubungan dengan kejadian ISPA di Kecamatan Parung-Jawa Barat.
4
Kejadian ISPA di Propinsi Jawa Barat masih menjadi urutan pertama
dibandingkan dengan penyakit lainnya yakni sebesar 33,44%, menurut Profil
Kesehatan Jawa Barat tahun 2006, jumlah anak balita penderita ISPA di
Jawa Barat mencapai 199.287 anak, dengan jumlah kematian akibat
pneumonia pada bayi mencapai 63 orang dan pada anak balita mencapai 19
orang. Data Dinas Kabupaten Karawang menunjukkan bahwa jumlah
penderita ISPA di Kabupaten Karawang pada Tahun 2009 adalah 6.476 kasus.
Berdasarkan data Puskesmas Pangkalan Kecamatan Pangkalan menunjukkan
bahwa ISPA merupakan penyakit infeksi yang paling sering diderita oleh
masyarakat khususnya kelompok bayi dan anak-anak. ISPA menempati
urutan pertama dalam daftar sepuluh penyakit tertinggi pada kelompok umur
1-4 tahun di wilayah kerja puskesmas pangkalan dengan presentase sebesar
54,50% (Laporan Tahunan Puskesmas Pangkalan 2012).
Berdasarkan uraian di atas, penyakit ISPA merupakan salah satu
penyakit dengan angka kesakitan dan angka kematian yang cukup tinggi,
sehingga dalam penanganannya diperlukan kesadaran yang tinggi baik dari
masyarakat maupun petugas kesehatan, terutama tentang kondisi pencemaran
udara di dalam rumah balita yang mempengaruhi kejadian ISPA yang
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan rumah dan karakteristik balita.
Dari data laporan puskesmas tahun 2012 maka penulis tertarik untuk
melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan
gejala ISPA pada balita di 5 Posyandu Desa Tamansari, Kecamatan
Pangkalan, Kabupaten Karawang, tahun 2013.
5
B. Rumusan Masalah
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan salah satu
masalah kesehatan yang ada di Indonesia. Hal ini disebabkan karena masih
tingginya angka kesakitan dan angka kematian karena ISPA pada bayi dan
balita. Kejadian ISPA dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain yaitu sosial-
ekonomi (pendapatan orang tua, pendidikan orang tua), status gizi, status
imunisasi, tingkat pengetahuan ibu, kepadatan hunian, luas ventilasi,
pemakaian racun nyamuk, kebiasaan merokok, bahan bakar memasak, suhu
dan kelembapan.
Berdasarkan data laporan Puskesmas Pangkalan tahun 2012,
menunjukkan bahwa penyakit ISPA merupakan penyakit infeksi yang paling
sering diderita oleh masyarakat khususnya kelompok bayi dan balita ISPA
menempati urutan pertama dalam daftar sepuluh penyakit tertinggi pada
kelompok umur 1-4 tahun di wilayah kerja Puskesmas Pangkalan dengan
presentase sebesar 54.50%.
Berdasarkan data inilah maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
dengan judul faktor-faktor yang berhubungan dengan gejala ISPA pada balita
di Desa Tamansari, Kecamatan Pangkalan, Kabupaten Karawang tahun 2013.
6
C. Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimanakah gambaran gejala ISPA pada balita di 5 posyandu Desa
Tamansari, Kecamatan Pangkalan, Kabupaten Karawang, tahun 2013?
2. Bagaimanakah gambaran karakteristik balita (usia, jenis kelamin, status
gizi, status imunisasi) di Desa Tamansari, Kecamatan Pangkalan,
Kabupaten Karawang tahun 2013?
3. Bagaimanakah gambaran pendidikan ibu di Desa Tamansari, Kecamatan
Pangkalan, Kabupaten Karawang tahun 2013?
4. Bagaimanakah gambaran kadar PM10 dalam rumah balita di Desa
Tamansari, Kecamatan Pangkalan, Kabupaten Karawang tahun 2013?
5. Bagaimanakah gambaran lingkungan fisik rumah (suhu, kelembaban,
pemakaian racun nyamuk, kebiasaan merokok, pemakaian bahan bakar
memasak, luas ventilasi dan kepadatan penghuni) di Desa Tamansari,
Kecamatan Pangkalan, Kabupaten Karawang tahun 2013?
6. Apakah ada hubungan karakteristik balita (status gizi dan status
imunisasi) dengan gejala ISPA pada balita di 5 posyandu Desa
Tamansari, Kecamatan Pangkalan, Kabupaten Karawang tahun 2013?
7. Apakah ada hubungan antara kadar PM10 dalam kamar dengan gejala
ISPA pada balita di 5 posyandu, Desa Tamansari, Kecamatan Pangkalan,
Kabupaten Karawang tahun 2013?
8. Ada hubungan antara lingkungan fisik rumah (suhu, kelembaban,
pemakaian racun nyamuk, kebiasaan merokok, pemakaian bahan bakar
memasak, luas ventilasi dan kepadatan hunian) dengan gejala ISPA pada
7
balita di 5 posyandu Desa Tamansari, Kecamatan Pangkalan, Kabupaten
Karawang tahun 2013?
D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Diketahuinya faktor-faktor yang berhubungan dengan gejala ISPA
pada balita di 5 posyandu, Desa Tamansari, Kecamatan Pangkalan,
Kabupaten Karawang tahun 2013.
2. Tujuan Khusus
1. Diketahuinya gambaran gejala ISPA pada balita di 5 posyandu Desa
Tamansari, Kecamatan Pangkalan, Kabupaten Karawang tahun 2013.
2. Diketahuinya gambaran karakteristik balita (usia, jenis kelamin, status
gizi dan status imunisasi) di 5 posyandu Desa Tamansari, Kecamatan
Pangkalan, Kabupaten Karawang tahun 2013.
3. Diketahuinya gambaran pendidikan ibu balita di Desa Tamansari,
Kecamatan Pangkalan, Kabupaten Karawang tahun 2013.
4. Diketahuinya kadar PM10 dalam kamar balita di 5 posyandu Desa
Tamansari, Kecamatan Pangkalan, Kabupaten Karawang tahun 2013.
5. Diketahuinya gambaran lingkungan fisik rumah (suhu, kelembaban,
kebiasaan merokok, pemakaian racun nyamuk, pemakaian bahan
bakar memasak, luas ventilasi dan kepadatan penghuni) di 5 posyandu
8
Desa Tamansari, Kecamatan Pangkalan, Kabupaten Karawang tahun
2013.
6. Dikethuinya hubungan antara karakteristik balita (status gizi, status
imunisasi) dengan kejadian ISPA pada balita di 5 posyandu Desa
Tamansari, Kecamatan Pangkalan, Kabupaten Karawang tahun 2013.
7. Diketahuinya hubungan antara kadar PM10 dalam kamar balita
dengan gejala ISPA di 5 posyandu Desa Tamansari, Kecamatan
Pangkalan, Kabupaten Karawang tahun 2013.
8. Diketahuinya hubungan antara lingkungan fisik rumah (suhu,
kelembaban, pemakaian racun nyamuk, kebiasaan merokok,
pemakaian bahan bakar memasak, luas ventilasi dan kepadatan
penghuni) dengan gejala ISPA pada balita di 5 posyandu Desa
Tamansari, Kecamatan Pangkalan, Kabupaten Karawang tahun 2013.
E. Manfaat Penelitian
1. Puskesmas
Hasil penelitian ini digunakan sebagai masukan untuk menyusun
perencanaan program program P2 ISPA dalam upaya pencegahan di
Kecamatan Pangkalan khususnya dan daerah lain yang mempunyai
masalah yang sama pada umumnya, sehingga angka kesakitan ISPA dapat
dikurangi.
9
2. Manfaat Bagi Peneliti
Dapat meningkatkan pengetahuan dan mendapatkan kesempatan
untuk mengaplikasikan teori yang telah didapatkan dalam operasional
kesehatan lingkungan, serta sebagai bahan referensi yang dapat dijadikan
bahan bacaan oleh peneliti selanjutnya.
3. Manfaat Bagi Institusi Pendidikan
Dapat dijadikan referensi mengenai bahaya paparan debu batu
kapur terhadapat kesehatan manusia yang berada dikawasan sekitar
industri batu kapur, khususnya untuk mahasiswa peminatan kesehatan
lingkungan.
F. Ruang Lingkup
Penelitian ini mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan gejala
ISPA pada balita di 5 posyandu desa tamansari, kecamatan pangkalan,
kabupaten karawang tahun 2013, dilakukan oleh mahasiswa peminatan
Kesehatan Lingkungan Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Kegiatan penelitain ini dilaksanakan pada bulan April-Juni 2013 di
desa tamansari. Populasi penelitian ini adalah seluruh balita yang berusia 1-
59 bulan di 5 posyandu desa Tamansari, sedangkan sampel adalah balita yang
dipilih secara random dengan menggunakan metode.
10
Penelitian ini menggunakan desain studi cross sectional. Jenis data
yang digunakan adalah data sekunder, data primer dari instrument kuisioner,
serta untuk mengetahui kosentrasi debu di udara dilakukan pengukuran
dengan alat Environmental particulate monitor (EPAM) HOC 12 merek SKC,
INC EPAM-5000, untuk mengetahui suhu dan kelembaban menggunakan alat
Thermohygrometer.
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)
Infeksi saluran pernapasan akut sering disalahartikan sebagai infeksi
saluran pernapasan atas, yang benar adalah ISPA merupakan singkatan dari
Infeksi Saluran Pernapasan Akut. Infeksi Saluran Pernapasan Akut meliputi
saluran pernapasan bagian atas dan saluran pernapasan bagian bawah. Infeksi
saluran pernapasan akut adalah infeksi saluran pernapasan yang berlangsung
sampai 14 hari, yang dimaksud dengan saluran pernapasan adalah organ
mulai dari hidung sampai gelembung paru, beserta organ-organ disekitarnya
seperti sinus, ruang telinga tengah dan selaput paru (Depkes RI, 2006).
Penyakit ISPA masih merupakan penyakit utama penyebab kesakitan
dan kematian bayi dan balita. Keadaan ini berkaitan erat dengan berbagai
kondisi yang melatarbelakanginya seperti malnutrisi juga kondisi lingkungan
baik polusi di dalam rumah berupa asap maupun debu dan sebagainya
(Depkes RI, 2006).
Infeksi saluran pernapasan akut yang diadaptasi dari istilah dalam
Bahasa Inggris yaitu : Acute Respiratory Infection (ARI) mempunyai
pengertian sebagai berikut (Depkes RI, 2005):
1) Infeksi adalah masuknya kuman atau pathogen ke dalam tubuh manusia
dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit.
12
2) Saluran pernafasan adalah organ mulai dari hidung alveoli beserta organ
adneksa seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura. Infeksi Saluran
Pernapasan akut secara anatomis mencakup saluran pernafasan bagian atas,
saluran pernapasan bagian bawah (termasuk jaringan paru-paru) dan organ
adneksa saluran pernapasan (repiratory tract).
3) Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas
14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa
penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA proses ini dapat berlangsung
lebih dari 14 hari.
Sebagian besar dari infeksi saluran pernapasan hanya bersifat ringan
seperti batuk pilek, demam dan tidak memerlukan pengobatan dengan
antibiotic, namun demikian anak akan menderita pneumonia bila infeksi paru
ini tidak diobati dengan antibiotic dan dapat mengakibatkan kematian
(Depkes RI, 2003).
Program Pemberantasan Penyakit (P2) ISPA membagi penyakit ISPA
dalam 2 golongan yaitu pneumonia dan yang bukan pneumonia. Pneumonia
dibagi atas derajat beratnya penyakit yaitu pneumonia berat dan pneumonia
tidak berat. Penyakit batuk pilek seperti rhinitis, faringitis, tonsillitis dan
penyakit jalan napas bagian atas lainnya digolongkan sebagai bukan
pneumonia. Etiologi dari sebagian besar penyakit jalan napas bagian atas ini
ialah virus dan tidak dibutuhkan terapi antibiotik. Faringitis oleh kuman
Streptococcus jarang ditemukan pada balita. Bila ditemukan harus diobati
dengan antibiotic penisilin, semua radang telinga akut harus mendapat
13
antibiotic. Infeksi Saluran Pernapasan Akut dapat ditularkan melalui air ludah,
darah, bersin, udara pernapasan yang mengandung kuman yang terhirup oleh
orang sehat ke saluran pernapasannya (Depkes RI, 2003).
Penyebab ISPA dapat berupa bakteri maupun virus. Di Indonesia,
sebagian besar kematian pada balita dipicu karena adanya ISPA bagian
bawah atau pneumonia. Infeksi saluran pernapasan akut menyerang jaringan
paru-paru dan penderita cepat meninggal akibat pneumonia yang terlalu berat.
Pada umumnya ISPA dibagi menjadi dua bagian yaitu ISPA bagian atas dan
ISPA bagian bawah. Klasifikasi ISPA dapat diklasifikasikan menjadi:
1) Bukan pneumonia yang mencakup kelompok penderita balita dengan
gejala batuk pilek (common cold) yang tidak diikuti oleh gejala
peningkatan frekuensi napas dan tidak menunjukkan adanya tarikan
dinding dada bagian bawah ke dalam.
2) Pneumonia berat dengan gejala batuk pilek pada balita disertai oleh
peningkatan nafas cepat atau kesukaran bernafas (Depkes RI, 2000).
B. Penyebab ISPA
ISPA dapat disebabkan oleh banyak hal antara lain :
1) Menurut Nelson (2002), Virus penyebab ISPA meliputi virus
parainfluenza, adenovirus, rhinovirus, koronavirus, koksakavirus A dan B,
Streptokokus dan lain-lain.
2) Perilaku individu, seperti sanitasi fisik rumah, kurangnya ketersediaan air
bersih (Depkes RI, 2005).
14
Untuk pencegahan ISPA dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu :
a) Imunisasi
b) Penyehatan Lingkungan Pemukiman (PLP) polusi di dalam maupun di
luar rumah
c) Mengatasi demam
d) Perbaikan makanan pendamping ASI
e) Penggunaan air bersih untuk kebersihan dan untuk minum
Menurut (Depkes RI, 2006) Penyebab ISPA terdiri dari lebih 300 jenis
bakteri, virus dan riketsia. Bakteri penyebab ISPA antara lain dari genus
Streptococcus, Stafilococcus, Pneumococcus, Haemophilus, Bordetella dan
Corynebakterium. Virus penyebab ISPA antara lain adalah golongan
Miksovirus, Adenovirus, Coronavirus, Picornavirus, Mikoplasma,
Herpesvirus. Berdasarkan penelitian di Pulau Lombok tahun 1997-2003 serta
penelitian di berbagai negara yang dipublikasikan WHO, penyebab ISPA
yang paling umum dan paling sering ditemukan pada balita adalah bakteri
Streptococcus pneumoniae dan Haemophyllus influenzae.
Grup B Streptokokus dan gram negative bakteri Enteric merupakan
penyebab yang paling umum pada neonatus dan merupakan transmisi vertikal
dari ibu sewaktu persalinan. Penumonia pada neonatus berumur 3 minggu
sampai 3 bulan yang paling sering adalah bakteri, biasanya bakteri
Streptokokus Pneumoniae. Pada balita usia 4 bulan sampai 5 tahun, virus
merupakan penyebab tersering dari pneumonia, yaitu Respiratory Synctyial
15
virus. Pada usia 5 tahun sampai dewasa pada umumnya penyebab pneumonia
adalah bakteri (Depkes RI, 2003).
Menurut publikasi WHO penelitian yang dilakukan di berbagai negara
berkembang juga menunjukkan bahwa Streptococcus Pneumoniae dan
Haemophylus Influenzae merupakan bakteri yang selalu ditemukan dua
pertiga dari hasil isolasi (73,9% aspirat paru dan 69,1% hasil isolasi dari
spesimen darah). Sedangkan di negara maju, dewasa ini pneumonia pada
anak umumnya disebabkan oleh virus. Di Indonesia, penelitian di Lombok
1997–2003 memperlihatkan usap tenggorok pada usia <2 tahun ditemukan
Streptococcus Pneumoniae (48%) dan Haemophylus Influenzae B (8%)
(Depkes RI, 2006).
C. Klasifikasi ISPA Pada Balita
Klasifikasi merupakan suatu kategori untuk menentukan tindakan
yang akan diambil oleh tenaga kesehatan dan bukan sebagai diagnosis
spesifik penyakit. Klasifikasi ini memungkinkan seseorang dengan cepat
menentukan apakah kasus yang dihadapi adalah suatu penyakit serius atau
bukan, apakah perlu dirujuk segera atau tidak. Klasifikasi sederhana berupa
tanda dan gejala ISPA yang mudah dikenal untuk mengetahui tindakan
selanjutnya apakah harus diberi antibiotika, dapat dirawat di rumah atau harus
dirujuk ke Rumah Sakit. Dalam penentuan klasifikasi penyakit dibedakan atas
kelompok untuk umur 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun dan kelompok
umur di bawah 2 bulan. Kriteria atau entry Pedoman Pengendalian Penyakit
16
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (P2 ISPA) yang dilaksanakan Departemen
Kesehatan untuk tenaga kesehatan (dokter, perawat, bidan pengelola P2 ISPA)
dalam tatalaksana anak dengan batuk dan atau kesukaran bernapas (Depkes
RI, 2007).
Adapun klasifikasi penyakit ISPA adalah sebagai berikut :
1) Untuk kelompok umur 2 bulan sampai < 5 tahun klasifikasi dibagi atas:
pneumonia berat, pneumonia dan bukan pneumonia.
2) Untuk kelompok umur < 2 bulan klasifikasi dibagi atas: pneumonia berat
dan bukan pneumonia. Dalam pendekatan Manajemen Terpadu Balita
Sakit (MTBS) klasifikasi pneumonia berat pada kelompok umur < 2 bulan
adalah gangguan napas dan mungkin infeksi bakteri sistemik.
Klasifikasi pneumonia berat berdasarkan pada adanya batuk atau
kesukaran bernapas disertai napas sesak atau tarikan dinding dada bagian
bawah (chest indrawing) pada anak usia 2 tahun sampai < 5 tahun.
Klasifikasi bukan pneumonia mencakup kelompok penderita balita
dengan batuk yang tidak menunjukkan gejala peningkatan frekuensi napas
dan tidak menunjukkan adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam.
Dengan demikian klasifikasi bukan pneumonia mencakup penyakit ISPA lain
di luar pneumonia seperti batuk pilek bukan pneumonia (common cold,
pharingitis, tonsillitis, otitis) (Depkes RI, 2004).
17
D. Mekanisme Terjadinya ISPA
Menurut Lindawaty (2010) Saluran pernafasan dari hidung sampai
bronkhus dilapisi oleh membran mukosa bersilia, udara yang masuk melalui
rongga hidung disaring, dihangatkan dan dilembutkan. Partikel debu yang
kasar dapat disaring oleh rambut yang terdapat dalam hidung, sedangkan
partikel debu yang halus akan terjerat dalam membran mukosa. Gerakan silia
mendorong membran mukosa ke posterior ke rongga hidung dan ke arah
superior menuju faring.
Secara umum efek pencemaran udara terhadap pernafasan dapat
menyebabkan pergerakan silia hidung menjadi lambat dan kaku bahkan dapat
berhenti sehingga tidak dapat membersihkan saluran pernafasan akibat iritasi
oleh bahan pencemar. Produksi lendir akan meningkat sehingga
menyebabkan penyempitan saluran pernafasan dan makrofage di saluran
pernafasan. Akibat dari dua hal tersebut akan menyebabkan kesulitan
bernafas sehingga benda asing tertarik dan bakteri tidak dapat dikeluarkan
dari saluran pernafasan, hal ini akan memudahkan terjadinya infeksi saluran
pernafasan (Mukono, 2008).
E. Tanda dan Gejala Klinis ISPA
Penyakit ISPA pada balita dapat menimbulkan bermacam-macam
tanda dan gejala seperti batuk, kesulitan bernafas, sakit tenggorokan, pilek,
sakit telinga dan demam. Berikut gejala ISPA dibagi menjadi 3 antara lain
sebagai berikut :
1) Gejala dari ISPA ringan
18
Seseorang balita dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan satu
atau lebih gejala-gejala sebagai beriku :
a) Batuk
b) Serak, yaitu anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara (pada
waktu berbicara atau menangis)
c) Pilek, yaitu mengeluarkan lendir atau ingus dari hidung
d) Panas atau demam, suhu badan lebih dari 37°C.
2) Gejala dari ISPA sedang
Seseorang balita dinyatakan menderita ISPA sedang jika dijumpai gejala
dari ISPA ringan disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut :
a) Pernapasan cepat (fast breathing) sesuai umur yaitu : untuk kelompok
umur kurang dari 2 bulan frekuensi nafas 60 kali per menit atau lebih
untuk umur 2-<12 bulan dan 40 kali per menit atau lebih pada umur 12
bulan - < 5 tahun.
b) Suhu tubuh lebih dari 39°C
c) Tenggorokan berwarna merah
d) Timbul bercak-bercak merah pada kulit menyerupai bercak campak
e) Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga
f) Pernapasan berbunyi seperti mengorok (mendengkur)
3) Gejala dari ISPA Berat
Seseorang balita dinyatakan menderita ISPA berat jika dijumpai gejala-
gejala ISPA ringan atau ISPA sedang disertai satu atau lebih gejala-gejala
sebagai berikut :
19
a) Bibir atau kulit membiru
b) Anak tidak sadar atau kesadaran menurun
c) Pernapasan berbunyi seperti mengorok dan anak tampak gelisah
d) Sela iga tetarik ke dalam pada waktu bernafas
e) Nadi cepat lebih dari 160 kali per menit atau tidak teraba
f) Tenggorokan berwarna merah
ISPA pada umumnya adalah infeksi bakteri pada berbagai area dalam
saluran pernafasan, termasuk hidung, telinga tengah, pharynx, larynx, trachea,
bronchi dan paru. Gejalanya dapat bervariasi, antara lain meliputi (WHO,
2009).
1) Batuk.
2) Sesak nafas.
3) Tenggorokan kering.
4) Hidung Tersumbat.
F. Masalah ISPA di Indonesia
Menurut Lindawaty (2010) Penyakit ISPA dan gangguan saluran
pernafasan lain selalu menduduki peringkat pertama dari sepuluh penyakit
terbanyak yang dilaporkan oleh pusat pelayanan kesehatan masyarakat seperti
puskesmas, klinik dan rumah sakit. Diketahui bahwa penyebab terjadinya
ISPA dan penyakit gangguan saluran pernapasan lain adalah rendahnya
kualitas udara di dalam rumah dan atau di luar rumah baik secara biologis,
fisik, maupun kimia. Hampir semua penyebab penyakit dan kematian yang
20
terkait dengan pencemaran udara tersebut tercatat dan dilaporkan oleh
Departemen Kesehatan melalui rumah sakit, puskesmas, dinas kesehatan
propinsi dan kota/kabupaten.
Program Pemberantasan Penyakit (P2) ISPA di Indonesia mulai tahun
1984, bersamaan dengan dilancarkannya pemberantasan penyakit ISPA di
tingkat global oleh WHO. Pola tatalaksana ISPA tahun 1984
mengklasifikasikan penyakit ISPA dalam 3 tingkatan keparahan, yaitu: ISPA
ringan, ISPA sedang, dan ISPA berat. Klasifikasi ini menggabungkan
penyakit infeksi akut paru, infeksi akut ringan, dan infeksi tenggorokan pada
anak dalam satu kesatuan.
Pada lokakarya ISPA Nasional tahun 1988 dalam Lindawaty (2010),
disosialisasikan pola baru tatalaksana kasus ISPA. Tatalaksana pola baru ini
selain menggunakan cara klasifikasi gejala penyakit yang praktis dan
sederhana dengan tepat guna, juga memisahkan antara tatalaksana penyakit
pneumonia dan tatalaksana penderita penyakit infeksi akut telinga dan
tenggorokan.
Lokakarya Nasional ke 3 tahun 1990 di Cimacan telah menyepakati
untuk menerapkan pola baru tatalaksana kasus ISPA di Indonesia dengan
melakukan adaptasi sesuai dengan situasidan kondisi setempat. Dengan
menerapkan pola ini, sejak tahun 1990 Pengendalian Penyakit ISPA
menitikberatkan atau memfokuskan kegiatan penanggulangannya pada
pneumonia balita, karena penyakit pernapasan merupakan penyebab yang
21
tertinggi kematian pada usia di bawah 5 tahun, dimana sebagian besar
disebabkan karena pneumonia.
Pada tahun 1997 WHO mempublikasikan tatalaksana penderita balita
dengan menggunakan pendekatan Integrated Management Childhood Illness
(IMC) atau Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) yang sekaligus
merupakan model tatalaksana kasus untuk berbagai penyakit anak, yaitu
ISPA, diare, malaria, campak, gizi kurang dan kecacingan.
Review Nasional Pelaksana MTBS tahun 2003 menyepakati perlunya
MTBS dilaksanakan diseluruh Puskesmas di Indonesia. Namun dalam
penerapannya, untuk memperoleh jaminan pelayanan MTBS yang berkualitas
dan mencakup sasaran yang luas ternyata memerlukan dukungan sumber daya
yang sangat besar, baik untuk biaya pelatihan, proses pelaksanaannya di
puskesmas maupun untuk monitoring dan pembinaan yang berkualitas,
teratur dan berkelanjutan.
Belum meratanya ketersediaan sumber daya yang memadai
menyebabkan pelaksanaan MTBS di daerah tersendat-sendat dan mengalami
banyak hambatan. Bagi kabupaten/kota yang belum mampu melatih dan
melaksanakan MTBS di puskesmas dan tetap harus menyediakan pelayanan
kesehatan yang bermutu bagi balita ISPA maka dapat memilih menggunakan
prosedur Tatalaksana Standar Penyakit ISPA.
Prosedur lama ini, sejak awal dipublikasikan pada tahun 1988 tidak
sepenuhnya ditinggalkan karena memiliki kelebihan yaitu membutuhkan
biaya yang relative lebih murah dalam penyelengaraan pelatihan maupun
22
pelaksanaan sehari-hari dipuskesmas. Tetapi harus disadari bahwa prosedur
ini memiliki beberapa kekurangan dalam hal keterpaduan dengan penyakit
lain jika dibandingkan dengan MTBS.
Proporsi penyakit sistem pernapasan sebagai penyebab penyakit
kematian pada bayi dan balita berdasarkan hasil ekstrapolasi dari Survei
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2001 menunjukkan hasil bahwa angka
kematian balita akibat penyakit pernapasan adalah 4,9/1000 balita. Sekitar
80 – 90% dari kematian ini disebabkan oleh pneumonia. Sedangkan
berdasarkan hasil Surkenas 2001 proporsi kematian karena sistem pernapasan
pada bayi (usia<1 tahun) sebesar 23,9% di Jawa-bali, 15,8% di Sumatera
serta 42,6% di kawasan Timur Indonesia. Pada anak balita (usia 1 – 5 tahun)
sebesar 16,7% di Jawa-bali, 29,4% di Sumatera, 30,3% di kawasan Timur
Indonesia. Berdasarkan tempat tinggal, penyakit pernapasan lebih tinggi di
pedesaan yaitu 14,5% dibandingkan dengan perkotaan sebesar 9,0% (Depkes
RI, 2003).
Dari hasil Survey Mortalitas Subdit ISPA Departemen Kesehatan RI
tahun 2005 yang dilakukan di 10 propinsi menunjukkan bahwa pneumonia
masih merupakan penyebab kematian tertinggi pada balita (22,5%). Angka
cakupan penemuan penderita pneumonia balita dari tahun ke tahun tidak
menunjukkan adanya peningkatan yang berarti. Mulai tahun 2005, dalam
penentuan target Cakupan Penemuan Penderita Penumonia Balita, ditetapkan
angka 5% dari jumlah penduduk balita (target sebelumnya adalah 10%
jumlah penduduk balita). Hal ini berdasarkan hasil Survey Morbiditas Subdit
23
ISPA Departemen Kesehatan RI tahun 2004 bahwa angka insiden balita batuk
dengan napas cepat dalam dua minggu sebelum survey sebesar 5,12%
(Depkes RI, 2005).
G. Faktor Risiko ISPA
Bukti substansial menunjukkan bahwa faktor risiko yang
berkontribusi terhadap insiden ISPA adalah kurangnya pemberian ASI
eksklusif, kurang gizi, polusi udara dalam ruangan, berat lahir rendah,
kepadatan hunian dan kurangnya imunisasi campak. ISPA menyebabkan
sekitar 19% dari seluruh kematian pada anak-anak usia kurang dari 5 tahun,
dan lebih dari 70% terjadi di Sahara Afrika dan Asia Tenggara (WHO, 2008).
Berdasarkan hasil penelitian dari berbagai faktor termasuk Indonesia
dan berbagai publikasi ilmiah, dilaporkan faktor resiko penyebab ISPA baik
untuk meningkatkan insiden (morbiditas) maupun kematian (mortalitas)
akibat ISPA. Faktor risiko yang meningkatkan insiden ISPA adalah umur <2
bulan, laki-laki, gizi kurang, berat badan lahir rendah, tidak dapat ASI
memadai, polusi udara, kepadatan tempat tinggal, imunisasi yang tidak
memadai, membendung anak (menyelimuti berlebihan), defisiensi vitamin A,
pemberian makanan tambahan terlalu dini, ventilasi rumah kurang (Depkes
RI, 2004).
Faktor risiko yang meningkatkan angka kematian ISPA adalah umur
<2 bulan, tingkat sosial ekonomi rendah, kurang gizi, berat badan lahir rendah,
tingkat pendidikan ibu yang rendah, tingkat jangkauan pelayanan kesehatan
24
yang rendah, kepadatan tempat tinggal, imunisasi kurang memadai, menderita
penyakit kronis, aspek kepercayaan setempat dalam praktek pencarian
pengobatan yang salah (Depkes R.I, 2004).
H. Karakteistik Balita
1. Usia
Balita berumur 0-24 bulan merupakan kelompok umur yang sangat
rentan terhadap berbagai penyakit infeksi dan membutuhkan zat gizi yang
relative tinggi dibandingkan dengan kelompok umur lain. Umur sangat
berpengaruh terhadap kejadian ISPA, bayi lebih mudah terkena ISPA dan
lebih berisiko dibandingkan dengan anak balita. Hal ini disebabkan
imunitas yang belum sempurna. Dalam analisis gizi balita, data SUSENAS
1989-1999 disebutkan bahwa kelompok umur 6-17 bulan dan 6-23 bulan
merupakan saat pertumbuhan kritis, dimana kegagalan tumbuh (growth
failure) umumnya terjadi pada anak-anak di Negara berkembang karena
masalah gizi. Anak balita pada kelompok umur di bawah 2 tahun
menunjukkan prevalensi yang lebih tinggi pada tahun 1995 dan 1998
dibanding tahun 1989 dan 1992. Disebutkan pula bahwa proses
pertumbuhan yang sangat cepat terjadi hanya pada 2 tahun pertama
kehidupan manusia, sehingga pada proses pertumbuhan tersebut
dibutuhkan zat gizi yang optimal (Jahari dkk, 2000).
25
2. Status Gizi
Menurut Arisma (2004) Status gizi masyarakat biasanya
digambarkan dengan masalah gizi yang dialami oleh golongan masyarakat
rawan gizi. Kurang Energi Protein (KEP) merupakan salah satu masalah
gizi di Indonesia, disamping kurang vitamin A, anemia gizi dan gangguan
akibat kekurangan iodium. Status gizi balita dipengaruhi oleh pola asuh
anak yang tidak memadai karena kurangnya pengetahuan, ketrampilan ibu
mengenai gizi serta imunisasi dan pelayanan kesehatan dasar yang tidak
memadai. Balita dengan keadaan gizi buruk dan gizi kurang (malnutrisi)
lebih mudah terkena infeksi dibandingkan dengan balita dengan gizi baik,
hal ini disebabkan kurangnya daya tahan tubuh balita. Anak balita dengan
status gizi kurang mempunyai risiko menderita pneumonia 3,3 kali
dibandingkan dengan balita dengan status gizi baik (Sudirman, 2003).
Status gizi balita sampai dengan tingkat malnutrisi dapat diukur
menurut berbagai pendekatan, salah satunya adalah pendekatan
antropometri. Untuk bayi dan anak-anak dapat dipakai salah satu dari
empat macam indikator antropometri, yaitu berat badan menurut umur
(weight-for-age), tinggi badan menurut umur (height- for- age), berat
badan menurut tinggi badan (weight for height), dan lingkar lengan atas
(mid upper arm circumference). Masing-masing indikator itu memberikan
penjelasan tentang status gizi bayi dan anak-anak. Indikator protein energy
malnutrition (PEM) yang paling sering dipakai adalah berat badan
menurut umur. Nilai rendah angka indikator berat badan menurut umur
26
(WAZ) mencerminkan terjadinya adaptasi anak terhadap gangguan gizi
jangka panjang dan jangka pendek (Utomo, 1996).
Sedangkan standar baku yang digunakan dalam penentuan status
gizi anak balita pada KMS, berdasarkan hasil kesepakatan diskusi yang
diselenggarakan oleh Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI),
bekerjasama dengan UNICEF Indonesia dan LIPI, yaitu (Departemen
Kesehatan, 2000):
a. Gizi baik, bila ada kenaikan berat badan dengan bertambahnya umur
balita, angka/nilai berat badan dan umur balita di dalam kurva hijau
pada KMS.
b. Gizi buruk, bila tidak ada kenaikan berat badan dengan bertambahnya
umur balita, angka/nilai berat badan dan umur balita di luar kurva hijau
pada KMS.
3. Status Imunisasi
Sistem imun adalah suatu sistem dalam tubuh yang terdiri dari sel-
sel serta produk zat-zat yang dihasilkannya, yang bekerja sama secara
kolektif dan terkoordinir untuk melawan benda asing seperti kuman-
kuman penyakit atau racun yang masuk ke dalam tubuh. Kuman disebut
antigen. Pada saat pertama kali antigen masuk ke dalam tubuh, maka
sebagai reaksinya tubuh akan membuat zat anti yang disebut dengan
antibodi. Pada umumnya, reaksi pertama tubuh untuk membentuk antibody
tidak terlalu kuat, karena tubuh belum beradaptasi. Tetapi pada reaksi yang
27
ke-2, ke-3 dan seterusnya, tubuh sudah mempunyai memori untuk
mengenali antigen tersebut sehingga pembentukan antibody terjadi dalam
waktu yang lebih cepat dan dalam jumlah yang lebih banyak. Itulah
sebabnya, pada beberapa jenis penyakit yang dianggap berbahaya,
dilakukan tindakan imunisasi atau vaksinasi. Hal ini dimaksudkan sebagai
tindakan pencegahan agar tubuh tidak terjangkit penyakit tersebut, atau
seandainya terkena pun, tidak akan menimbulkan akibat yang fatal
(Lindawaty, 2010).
Imunisasi dasar meliputi DPT 3 kali, Polio 3 kali, BCG 1 kali dan
campak 1 kali diberikan kepada balita sebelum berumur 1 tahun. Balita
yang mendapatkan imunisasi dasar secara lengkap dan teratur akan
mengurangi angka kesakitan dan kematian bayi sebesar 80-90% (Purwana,
1999).
I. Faktor Pendidikan Ibu
Pendidikan ibu sangat berpengaruh terhadap ketepatan dan ketelitian
dalam pencegahan dan pengelolaan penyakit yang terjadi pada anak balitanya.
Tingkat pendidikan ibu, dalam hal ini lebih dikaitkan dengan kemampuan
seorang ibu yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi pada umumnya
memiliki pengetahuan yang lebih luas, sehingga dapat lebih mudah dalam
menyerap dan menerima informasi serta aktif berperan serta dalam mengatasi
masalah kesehatannya dan keluarganya. Saran dan pesan kesehatan yang
disampaikan oleh berbagai media atau petugas kesehatan akan mudah
28
dimengerti oleh ibu yang berpendidikan tinggi dibandingkan ibu dengan
tingkat pendidikan rendah (Depkes RI, 2000).
J. Sumber Polutan Dalam Rumah
Menurut Mukono (1997) dalam Lindawaty (2010) Kualitas udara
dipengaruhi oleh adanya bahan polutan di udara. Polutan di dalam rumah
kadarnya berbeda dengan bahan polutan di luar rumah. Peningkatan bahan
polutan di dalam ruangan dapat pula berasal dari sumber polutan di dalam
rumah seperti asap rokok, asap dapur dan pemakaian obat nyamuk.
Faktor lingkungan tingkat rumah tangga yang berkaitan dengan
pencemaran udara di rumah tangga seperti yang diungkapkan oleh Stephen &
Harpam, 1991 (dalam Handajani, 1996, Safwan, 2003) ialah: 1) Kepadatan
dalam rumah, 2) Merokok, 3) Jenis bahan bakar, 4) Ventilasi rumah, 5)
Kelembaban dalam rumah, 6) Debu rumah.
Kualitas udara pemukiman meliputi udara dalam rumah dan udara di
sekitar pemukiman. Di dalam rumah kualitas udara berkaitan dengan ventilasi
dan kegiatan penghuni di dalamnya. Dengan bertambahnya jumlah penduduk
di pemukiman perkotaan, menyebabkan tingginya kepadatan bangunan
sehingga sulit untuk membuat ventilasi oleh Ehlers, 1976 (dalam Safwan,
2003). Dapat dijelaskan dibawah ini:
29
1. Racun Nyamuk Bakar
Untuk pengendalian dan pemberantasan nyamuk dalam rumah
sebagian keluarga menggunakan bahan insektisida berupa obat nyamuk
semprot dan obat nyamuk bakar. Obat nyamuk bakar biasanya digunakan
untuk mengendalikan nyamuk dari dalam rumah tetapi disisi lain asap obat
nyamuk dapat menjadi sumber pencemaran udara dalam rumah, yang
sangat membahayakan kesehatan yaitu gangguan saluran pernapasan
karena obat nyamuk jika dibakar mengandung bahan SO2 (sebutan dari
bahan berbahaya (octachloroprophyl ether) dapat mengeluarkan
bischlorometyl ether atau BCME yang walaupun dalam kondisi rendah
dapat menyebabkan batuk, iritasi hidung, tenggorokan bengkak dan
perdarahan (Depkes R.I, 2002).
Beberapa studi yang dilakukan pada anak-anak di Malaysia
terdapat peningkatan prevalensi ISPA pada rumah yang menggunakan
obat nyamuk bakar. Hal ini sejalan dengan penelitian Wattimena (2004)
menyatakan kejadian ISPA pada balita sebesar 7,11 kali dibandingkan
dengan rumah yang tidak menggunakan obat nyamuk bakar.
2. Asap Rokok
Sumber asap rokok di dalam ruangan lebih membahayakan
daripada di luar ruangan karena sebagian besar orang menghabiskan 60%-
90% waktunya selama satu hari penuh (24 jam) di dalam ruangan. Asap
rokok yang dikeluarkan seorang perokok umumnya mengandung zat-zat
30
yang berbahaya antara lain tar yang mengandung bahan kimia beracun
dapat merusak sel paru- paru dan menyebabkan sakit kanker, karbon
monoksida (CO) sebagai gas beracun yang mengakibatkan berkurangnya
kemampuan darah membawa oksigen, nikotin merupakan zat kimia
perangsang yang dapat merusak jantung dan sirkulasi darah serta membuat
pemakai nikotin kecanduan (Kusnoputranto & Susanna, 2000).
Semua studi mengenai polusi udara dalam ruang oleh asap rokok
menunjukkan bahwa asap rokok merupakan bahaya utama terhadap
kesehatan. Campuran asap tersebut lebih dari 4000 jenis senyawa, banyak
diantaranya telah terbukti bersifat racun atau menimbulkan kanker pada
manusia dan sebagian besar adalah bahan iritan yang kuat.
Sebanyak 43 zat karsinogen telah diidentifikasi, termasuk
diantaranya: nitrosamines, benza pyrene, cadmium, nikel dan zinc. Karbon
monoksida, nitrogen oksida dan partikulat juga merupakan beberapa
diantara bahan-bahan beracun yang terkandung dalam rokok
(Kusnoputranto, 2000).
Laporan penelitian menunjukkan bahwa orang yang merokok dan
orang yang tinggal dengannya akan menerima pajanan yang lebih besar
dari ultrafine partikel dan komponen environment tobacco smokes lainnya
dibandingkan orang yang bukan perokok, oleh karena itu hal ini dapat
merupakan faktorresiko dari timbulnya gejala-gejala gangguan pernapasan
dan penyakit pernapasan pada anak-anak, terutama anak- anak kecil serta
orang tua perokok berhubungan dengan terjadinya penurunanfungsi paru-
31
paru pada anak-anak dan kerusakan paru-paru yang tidak dapat diobati
(Sneddon et al., 1990).
3. Jenis Bahan Bakar Memasak
Penggunaan bahan bakar dalam rumah tangga untuk beberapa
keperluan seperti memasak dan penerangan biasanya dapat memberi
pengaruh terhadap kualitas kesehatan lingkungan rumah. Pemakaian bahan
bakar tradisional seperti kayu bakar, arang dan lainnya serta bahan minyak
tanah, sering menghasilkan pembakaran kurang sempurna sehingga
banyak menimbulkan sisa pembakaran yang dapat mempengaruhi
kesehatan. Apabila penghawaan rumah tidak baik dan tidak ada lubang
asap di dapur untuk mengeluarkan asap dan partikel-partikel debu dari
dapur, maka asap akan memenuhi ruangan dan menyebabkan sirkulasi
udara di dalam ruangan tidak baik. Apalagi ibu-ibu sering masak sambil
menggendong anaknya, asap akan memperparah penderita sakit
pernapasan terutama pada balita dan lansia. Sedapat mungkin
menggunakan bahan bakar yangtidak menimbulkan pencemaran udara
indoor atau sisa pembakarannya dapat disalurkan ke luar rumah. Yang
terbaik jenis bahan bakar untuk memasak tentu saja listrik, tetapi terlalu
mahal (Soewasti, S.S., dkk 2000).
32
4. Partikulat PM 10
PM10 adalah partikulat padat dan cair yang melayang di udara
dengan nilai media ukuran diameter aerodinamik 10 mikron. Partikulat 10
mikron mempunyai beberapa nama lain, yaitu PM10 sebagai inhalable
particles, respirable particulate, respirable dust dan inhalable dust. PM10
memang merupakan kelompok partikulat yang dapat diinhalasi, tetapi
karena ukurannya, PM10 lebih spesifik merupakan partikulat yang
respirable dan prediktor kesehatan yang baik (Koren, 2003).
K. Sumber Partikulat (PM10)
Partikulat PM10 secara alami berasal dari tanah, bakteri, virus, jamur,
ragi, serbuk sari serta partikulat garam dan evaporasi air laut. Sedangkan dari
aktifitas manusia, partikulat dihasilkan dari penggunaan kendaraan bermotor,
hasil pembakaran, proses industri dan tenaga listrik. Partikulat PM10
dihasilkan secara langsung dari emisi mesin diesel, industri pertanian,
aktifitas di jalan, reaksi fotokimia yang melibatkan polutan (misalnya: hasil
pembakaran mesin kendaraan bermotor, pembangkit tenaga listrik dan ketel
uap industri).
Sumber partikulat sesuai dengan ukuran diameter selengkapnya
adalah sebagai berikut (US.EPA, 2004):
1) Partikulat sangat halus/ultrafine (diameter ≤0,1 µm), berasal dari hasil
pembakaran hasil transformasi SO2 dan campuran organik di atmosfir
serta hasil proses kimia pada temperature tinggi.
33
2) Partikulat mode akumulasi (diameter 0,1 µm s/d 3 µm), berasal dari
hasil pembakaran batubara, minyak, bensin, solar dan kayu bakar, hasil
transformasi NOx, SO2 dan campuran organic, serta hasil proses pada
temperature tinggi (peleburan logam, pabrik baja).
3) Partikulat kasar/coarse (>3 µm), berasal dari resuspensi partikulat
industri, jejak tanah di atas jalan raya, suspensi dari kegiatan yang
mempengaruhi tanah (pertanian, pertambangan dan jalan tak beraspal),
kegiatan konstruksi dan penghancuran, pembakaran minyak dan
batubara yang tidak terkendali,percikan air laut serta sumber biologi.
L. Nilai Ambang Batas Partikulat (PM10)
Nilai ambang batas PM10 yang dipersyaratkan oleh WHO saat ini
adalah sebesar 20 µg/m3 untuk rata-rata pajanan tahunan dan 50 µg/m
3 untuk
rata-rata pajanan harian selama 24 jam (WHO, 2005). Sedangkan baku mutu
udara ambient di DKI Jakarta berdasarkan Keputusan Gubernur DKI Jakarta
Nomor 551 tahun 2001 untuk PM10 adalah sebesar 150 µg/Nm3 dalam waktu
pengukuran selama 24 jam (Gubernur Provinsi DKI Jakarta, 2001).
Nilai batas konsentrasi PM10 di udara untuk melindungi kesehatan
masyarakat yaitu 70 µg/m3 (WHO, 1987 dalam Purwana, 1999). Hal ini
sesuai hasil penelitian yang menunjukkan tinggi konsentrasi PM10 paling
sensitif dan spesifik untuk menduga terjadinya gangguan pernapasan adalah
70 µg/m3 (Purwana, 2005).
34
M. Hubungan Antara PM10 Dengan ISPA
PM10 dapat digunakan sebagai indikator perubahan nilai PEFR yang
lebih baik dibandingkan PM 2,5, hal ini karena deposisi partikel yang lebih
besar (PM10) terjadi pada saluran pernafasan bagian atas, yang kemudian
mengaktifasi sekresi mucus dan menimbulkan konstruksi saluran pernafasan
serta pada akhirnyamenurunkan nilai PEFR (Katiyar, et al., 2004).
Berbagai studi epidemiologi yang mempelajari hubungan antara
pajanan PM10 terhadap gangguan saluran pernafasan telah banyak dilakukan,
beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:
Berdasarkan Penelitian Farieda (2009) yang menyatakan bahwa
terdapat hubungan antara kadar PM10 dalam rumah dengan kejadian ISPA (p
<0,05) pada balita yang dipengaruhi oleh ventilasi dalam rumah, kepadatan
hunian dan lubang asap dapur.
Penelitian Situmorang, (2003) di Kelurahan Cakung Timur, Jakarta
Timur menyatakan bahwa kejadian ISPA pada balita yang tinggal di dalam
rumah yang konsentrasi PM10 lebih dari 70 µg/m3 adalah 6,1 kali dibanding
balita yang tinggal di rumah yang konsentrasi PM10 kurang atau sama
dengan 70 µg/m3. Dengan mengontrol faktor ventilasi rumah dan status gizi
balita maka angka risiko tersebut akan berkurang menjadi 4,25 kali.
35
N. Suhu dan Kelembaban
Udara segar berguna untuk menjaga temperature dan kelembaban
dalam kamar. Umumnya temperature kamar 22ºC-30ºC. Suhu udara dalam
ruangan berhubungan dengan faktor kenyamanan dalam ruangan. Suhu udara
yang tinggi menyebabkan tubuh akan kehilangan garam dan air sehingga
akan terjadi kejang dan atau kram dan akan mengalami metabolisme dan
sirkulasi darah.
Pada lingkungan yang ada di dalam ruangan, sekitar 25% dari panas
tubuh diemisikan oleh transpirasi. Sebagai temperatur udara ambient dan
meningkatnya aktifitas metabolisme, transpirasi ditandai dengan tingginya
kelembaban relative, sehingga menghasilkan panas yang tidak nyaman.
Dengan kata lain udara kering pada temperature rendah sampai dengan
normal membuat kehilangan transpirasi dan mengakibatkan dehidrasi
(Pudjiastuti, dkk,1998).
Pengaturan kelembaban sangat penting dalam ruangan.Kelembaban
yang tinggi dan debu dapat menyebabkan berkembangbiaknya organisme
pathogen maupun organisme yang bersifat allergen serta pelepasan
formaldehid dari material bangunan. Sedangkan tingkat kelembaban yang
terlalu rendah dapat menyebabkan kekeringan/iritasi pada membrane mukosa,
iritasi mata dan gangguan sinus. Rumah hendaknya menjadi tempat untuk
menyimpan udara yang segar dengan suhu udara yang nyaman berkisar antara
18ºC-30ºC, sedangkan kelembaban berkisar antara 40ºC-70ºC (Depkes RI,
1999).
36
O. Kondisi Lingkungan Rumah
1. Luas Ventilasi
Untuk memungkinkan pergantian udara secara lancar diperlukan
minimum luas lubang ventilasi tetap 5% luas lantai, dan jika ditambah
dengan luas lubang yang dapat memasukkan udara lainnya (celah
pintu/jendela, lubang anyaman bambu dan sebagainya) menjadi berjumlah
10% luas lantai. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan proses sirkulasi
udara dalam rumah berjalan tidak normal serta udara dalam rumah terasa
panas, diperberat lagi apabila rumah padat penghuni akan menyebabkan
kurangnya O2 (oksigen) dalam rumah sehingga kadar CO2 yang bersifat
racun bagi penghuni rumah menjadi meningkat. Sirkulasi udara rumah
yang baik akan mengurangi kadar partikulat, sebaliknya apabila ventilasi
tidak memenuhi syarat menyebabkan peningkatan kadar partikulat di
dalam ruangan. Selain itu ventilasi yang baik dapat membebaskan udara
ruangan dari bakteri-bakteri terutama bakteri pathogen karena melalui
ventilasi selalu terjadi pertukaran aliran udara yang terus-menerus. Bakteri
yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir. Fungsi lainnya adalah
untuk menjaga agar ruangan rumah selalu tetap pada kelembaban
(humidity) yang optimum. Udara yang masuk sebaiknya udara yang bersih
dan bukan udara yang mengandung debu atau bau (Soewasti, S.S., dkk,
2000).
Disamping itu tidak cukupnya luas ventilasi akan menyebabkan
kelembaban udara di dalam ruangan naik karena terjadi proses penguapan
37
cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban akan merupakan media
yang baik untuk bakteri. Ventilasi dalam ruangan harus memenuhi
persyaratan antara lain (Sanropie, 1991):
1) Luas lubang ventilasi yang tetap atau permanent dan lubang ventilasi
insidentil, berjumlah 10% dari luas lantai.
2) Udara yang masuk harus udara bersih, tidak dicemari oleh asap dari
pembakaran sampah, asap pabrik, asap knalpot kendaraan, debu dan
lain-lain.
3) Aliran udara jangan menyebabkan orang masuk angin.
4) Penempatan ventilasi diusahakan berhadapan antara dua dinding
ruangan.
5) Kelembaban udara jangan terlalu tinggi dan jangan terlalu rendah.
Ventilasi dapat digolongkan dalam dua sistem antara lain ventilasi alamiah
ialah ventilasi yang terjadi secara alamiah ialah ventilasi yang terjadi
secaraalamiah dimana udara masuk ke dalam ruangan melalui jendela,
pintu ataupun lubang angin yang sengaja dibuat untuk itu. Ventilasi buatan
ialah ventilasi yang dibuat dari alat khusus untuk pengaliran udara
misalnya mesin penghisap udara (exhaust ventilation) dan penyejuk
ruangan (air conditioning). Ventilasi yang baik dengan ukuran 10-20%
dari luas lantai dapat mempertahankan suhu optimum 22- 24ºC dan
kelembaban 60% (Kusnoputranto dan Susana, 2000).
38
2. Kepadatan Hunian
Berkembangnya industri-industri di suatu daerah akan
menyebabkan urbanisasi penduduk, sehingga penduduk di daerah industri
tersebut akan semakin padat. Hal ini akan mengakibatkan keadaan
perumahan yang padat dan kondisi bangunan yang tidak memadai.
Kondisi demikian sangat mempengaruhi kesehatan penghuni rumah di
daerah tersebut. Persyaratan kepadatan hunian dinyatakan dalam m2 per
orang. Rumah dikatakan padat penghuninya apabila perbandingan luas
lantai seluruh ruangan rumah dengan jumlah penghuni kecil lebih dari 10
m2/orang, sedangkan ukuran yang dipakai untuk luas lantai ruang tidur
minimal 3 m2 per orang dan untuk mencegah penularan penyakit
(misalnya penyakit pernapasan) jarak antara tepi tempat tidur yang satu
dengan yang lain minimum 90 cm (Depkes RI, 2002).
Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni lebih dari 2 orang, kecuali
untuk suami, istri, serta balita dibawah umur 2 tahun yang biasanya masih
membutuhkan kehadiran orang tuanya. Apabila ada salah satuanggota
keluarga yang terkena penyakit terutama penyakit saluran pernapasan
sebaiknya jangan tidur sekamar dengan anggota keluarga yang lain.
P. KerangkaTeori
Berdasarkan beberapa teori dan hasil-hasil penelitian terdahulu.
Adapun kerangka penelitian dapat dilihat pada bagan:
39
Bagan 2.1.Kerangka Teori
Sumber : Stephen dan Harpan (1991) dalam Handajani (1996) dan Safwan
(2003), Hendrik L. Blum dalam Notoatmodjo (1996), Mukono (1997), Situmorang
(2003), Depkes, RI (2004), WHO (2008).
Status Sosial
-Pendidikan ibu
-Pendapatan keluarga
Kondisi Lingkungan
Rumah
-Luas Ventilasi
-Kepadatan Penghuni
-Suhu
-kelembaban
Karakteristik Balita
-Umur
-Jenis Kelamin
-Status Gizi
-Status Imunisasi
ISPA
Sumber Polutan
-PM 10
-Kebiasaan Merokok
-Pemakaian Racun
Nyamuk
-Bahan bakar Memasak
40
BAB III
KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL
A. Kerangka Konsep
Berdasarkan kerangka teori diatas, maka kerangka konsep yang dibuat
peneliti dalam penelitian ini dimana variabel dependen dalam penelitian ini
yaitu gejala ISPA, sedangkan variabel independen dalam penelitian ini adalah
status gizi, status imunisasi, PM10, suhu, kelembaban, racun nyamuk bakar,
kebiasaan merokok, bahan bakar memasak, luas ventilasi dan kepadatan
hunian. Sedangkan variabel yang tidak diteliti pada penelitian ini yaitu :
1. Usia
Pada penelitian ini usia tidak diteliti karena dari beberapa referensi dan
penelitian lain tidak bibahas mengenai usia.
2. Jenis Kelamin
Pada penelitian ini jenis kelamin tidak diteliti karena berdasarkan
penelitian dan teori tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dan
kejadian ISPA semua memiliki risiko yang sama antara laki-laki dan
perempuan.
3. Pendapatan keluarga
Dalam penelitian ini pendapatan keluarga tidak diteliti karena keterbatasan
peneliti.
41
Berdasarkan kerangka teori yang ada dan keterbatasan maka kerangka konsep
yang digunakan dalam penelitain ini dapat dilihat pada bagan 3.1. berikut ini:
Bagan 3.1 Kerangka Konsep
Gejala ISPA
Status gizi
Kelembaban
Status Imunisasi
Suhu
Racun Nyamuk Bakar
Kebiasaan Merokok
Bahan Bakar Masak
PM 10
Luas Ventilasi
Kepadatan Hunian
42
B. Definisi Operasional
Tabel 3.1. Definisi Operasional
No Veriabel Definisi Cara Ukur Alat ukur Skala
Ukur
Hasil Ukur
1 Gejala ISPA Anak balita umur 1-59 bulan yang
menderita gangguan saluran pernafasan
yang berhubungan dengan gejala ISPA
dalam kurun waktu 2 minggu terakhir
meliputi batuk, pilek, sakit telinga dengan
atau tanpa demam/panas (Depkes, 2007).
Wawancara Kuisioner Nominal 0. Iya
1. Tidak
2 Status Gizi Keadaan gizi balita yang diukur
secaraantropometri berdasarkan indeks
BB/U (Berat badan (Kg) per Umur (Bulan)
sesuai standar baku WHO-NCHS
Pengukuran
dan melihat
kartu KMS
Panjang Badan
(baby length
board), alat
ukur tinggi
badan/vertical
measures
(microtoise)
Ordinal 0. Gizi Kurang (< - 2,0
SD s/d – 3 SD)
1. Gizi baik ( > -2,0 SD
s/d +2 SD)
43
No Veriabel Definisi Cara Ukur Alat ukur Skala
Ukur
Hasil Ukur
3 Status
Imunisasi
Riwayat imunisasi BCG, DPT, Polio,
Hepatitis dan campak yang diperoleh oleh
balita dapat dilihat pada KMS atau catatan
status kunjungan ke puskesmas atau
fasilitas kesehatan lainnya.
Wawancara KMS Nominal 0. Tidak lengkap
(Imunisasi kurang dari
salah satu sesuai
dengan umur balita)
1. Lengkap (Imunisasi
sesuai dengan Umur
balita saat penelitian).
4 Partikulat
Debu (PM 10)
dalam rumah
Ukuran sewaktu konsentrasi partikulat
berukuran maksimum 10 mikron dalam
satuan µm/m3 diruangan balita sering tidur.
Hasil ukur dibandingkan dengan kadar
debu total (TSP) sebesar 150 µg/m3.
Dengan perkiraan kadar PM10 = 40%
TSP. Maka kadar PM 10 maksimal dalam
rumah adalah 70 µg/m3 (Kepmenkes,
1999)
Pengukuran
langsung
EPAM-5000 Rasio µg/m3
44
No Variabel Defenisi Cara Ukur Alat ukur Skala
Ukur
Hasil Ukur
5 Suhu Temperatur udara dalam ruanga dengan
tingkat kenyamanan berkisar antara 180-
300
C (Kepmenkes,1999)
Pengukuran Termometer Rasio 0
C
6 Kelembaban Jumlah uap air di udara dalam rumah dan
dinyatakan dalam persen berkisar antara
40%-70% (Kepmenkes 1999)
Pengukuran Hygrometer Rasio %
7 Racun
Nyamuk Bakar
Jenis obat nyamuk yang dipakai di dalam
rumah yang mengandung senyawa kimia
dan partikulat yang dilepaskan ke udara
ketika digunakan termasuk obat nyamuk
bakar (Depkes, RI, 2002)
Wawancara
dan observasi
Kuisioner Nominal 0. Ada (memakai racun
nyamuk bakar)
1. Tidak ada (tidak
memakai racun
nyamuk bakar)
8 Kebiasaan
Merokok
Penghuni tetap yang mempunyai kebiasaan
merokok didalam rumah, yang tinggal
serumah dengan balita (Depkes, 2005)
Wawancara Kuisioner Nominal 0. Ada
1. Tidak Ada
45
No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Skala
Ukur
Hasil ukur
9 Bahan Bakar
Memasak
Jenis Bahan bakar yang dipergunakan
untuk keperluan rumah tangga sehari-hari
(memasak, penerangan dan sebagainya).
Jenis bahan bakar dibedakan menjadi kayu
bakar, minyak tanah, dan gas. Pada waktu
anggota keluarga menggunakan minyak
tanah saat memasak dianggap ada asap
pencemaran dalam rumah dan pada waktu
anggota keluarga menggunakan kompor
gas saat memasak dianggap tidak ada asap
dalam rumah (Soewati,S.S, dkk,2000).
Wawancara
dan observasi
Kuisioner Ordinal 0. Tidak Memenuhi
Syarat (TMS)(Ada asap
pencemar/kayu bakar
dan minyak tanah).
1. Memenuhi Syarat
(MS)(Tidak ada asap
pencemar/gas).
10 Luas Ventilasi
Rumah
Perbandingan luas lantai kamar dengan
luas jendela dan lubang angin kamar balita
sering tidur untuk aliran udara dari dalam
kamar keluar kamar atau sebaliknya.
Sesuai dengan Kepmenkes (1999) yaitu
minimum 10 % dari luar lantai kamar.
Wawancara,
observasi dan
pengukuran
Meteran dan
kuisioner
Ordinal 0. Tidak memenuhi syarat
(< 10% luas lantai)
1. Memenuhi syarat (>
10% dari luas lantai)
46
No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Skala
Ukur
Hasil Ukur
11 Kepadatan
hunian
Perbandingan luas lantai rumah (m2)
dengan jumlah orang penghuni
rumah>minimal yang dianjurkan 10 m2/
orang (Kepmenkes, 1999)
Pengukuran
dan
wawancara
Kuisioner dan
meteran
Ordinal 0. Tidak memenuhi syarat
(<10 m2/orang).
1. Memenuhi syarat (> 10
m2/ orang)
47
C. Hipotesis
1. Ada hubungan antara (status gizi, status imunisasi) dengan gejala ISPA
pada balita di 5 posyandu Desa Tamansari, Kecamatan Pangkalan,
Kabupaten Karawang tahun 2013.
2. Ada hubungan antara kadar PM10 dengan gejala ISPA pada balita di 5
posyandu Desa Tamansari, Kecamatan Pangkalan, Kabupaten Karawang
tahun 2013.
3. Ada hubungan antara (suhu, kelembaban, racun nyamuk bakar, kebiasaan
merokok, bahan bakar memasak, luas ventilasi dan kepadatan hunian)
dengan gejala ISPA pada balita di 5 psyandu Desa Tamansari, Kecamatan
Pangkalan, Kabupaten Karawang tahun 2013.
48
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Jenis Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
dengan metode analitik observasional dengan desain studi cross sectional
yaitu penelitian untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan
gejala ISPA pada balita. Dalam penelitian ini variabel sebab atau risiko dan
akibat atau kasus yang terjadi pada objek penelitian diukur atau disebut juga
variabel dependent dan independent akan dikumpulakn dalam waktu
bersamaan dan secara langsung (Notoatmodjo, S, 2010).
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini bertempat di 5 posyandu Desa Tamansari Kecamatan
Pangkalan Kabupaten Karawang Jawa Barat. Penelitian ini dilaksanakan pada
bulan April - Juni 2013.
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan dari unit di dalam pengamatan yang akan
peneliti lakukan. Populasi dalam penelitian ini adalah semua jumlah balita
yang berada di 5 posyandu Desa Tamansari Kecamatan Pangkalan Kabupaten
Karawang.
49
2. Sampel
Besar sampel penelitian ditentukan menggunakan uji hipotesis beda 2
proporsi dengan rumus sebagai berikut (Ariawan, 1998) :
√ ( ) √ ( ) ( )
( )
Keterangan :
n = Jumlah sampel yang diteliti
Zα = Tingkat kemaknaan α (untuk α = 0,05 adalah 1,96)
Zβ = Kekuatan Uji = 80 %
P = Rata- rata pada populasi
P1 = proporsi status gizi kurang dengan gejala ISPA = 74,5% = 0.745
P2= proporsi status gizi baik dengan gejala ISPA = 54,3%= 0.54,3
Berdasarkan hasil perhitungan diatas maka sampel yang dibutuhkan
sebanyak 68 responden.
50
D. Teknik Pengambilan Sampel
Dalam penelitian ini digunakan teknik pengambilan sampel secara
tidak acak (non probability sampling) dengan metode purposive sampling
yaitu suatu metode pengambilan sampel ditentukan oleh orang yang telah
mengenal betul populasi yang akan diteliti (Notoatmojo, 2010).
Puskesmas Pangkalan memiliki wilayah kerja sebanyak 5 posyandu.
Pengambilan sampel secara purposive sampling adalah dengan mengambil
sampel di seluruh posyandu yang berada di Desa Tamansari dan akan dipilih
secara tidak acak. Kemudian anak balita yang datang di 5 posyandu yang
terkena sampel tersebut adalah anak balita yang akan diteliti.
Dalam penelitian ini responden harus memenuhi kriteria yang telah
ditetapkan oleh peneliti. Adapun kriteria sampel sebagai berikut :
1. Responden dalam penelitian ini adalah ibu yang memiliki balita berumur
1-59 bulan atau yang mengasuh balita tersebut.
2. Bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas Pangkalan, Kecamatan
Pangkalan Kabupaten Karawang, Wilayah yang dimaksud merupakan
posyandu yang berada di Desa Tamansari.
3. Memiliki (KMS) Kartu Menuju Sehat.
51
E. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat yang digunakan untuk mengumpulkan
data dalam penelitian Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Environmental Particulate Monitor EPAM (HOC 12 merek SKC, INC
EPAM-5000, alat yang digunakan untuk pengetahui kosentrasi PM10.
2. Kuisioner
Berupa pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh data atau
informasi tentang karakteristik balita dan status kesehatan balita serta
kondisi rumah balita.
3. Termohygrometer digunakan untuk mengetahui tingkat kelembaban dan
suhu kamar balita.
F. Metode dan Alat Pengumpulan Data
1. Pengukuran PM10
Alat yang digunakan untuk mengukur kadar PM10 adalah EPAM-
5000, langkah-langkah mengoperasikan EPAM-5000:
a. Nyalakan mesin dengan menekan tombol ON
b. Masukkan Regen PM 10
c. Pilih sampel size (PM10)
d. Pilih calibration (90 detik)
e. Tempatkan alat dikamar balita
52
2. Termohygrometer
Alat yang digunakan untuk mengukur suhu dan kelembaban ruang
kamar balita, langkah-langkah
a. Nyalakan alat
b. Tempatkan alat pada kamar balita selama 15 menit
G. Pengumpulan Data
Jenis data dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah berupa data primer dan data sekunder:
a. Data Primer
Data primer dalam penelitian ini yakni berupa data yang diperoleh
secara langsung dari orang tua balita mengenai faktor-faktor yang
berhubungan dengan gejala ISPA seperti status gizi, status imunisasi,
racun nyamuk bakar, kebiasaan merokok, bahan bakar masak, kepadatan
hunian dilakukan dengan pengisian kuisioner, sedangkan PM10, suhu dan
kelembaban menggunakan dengan melakukan pengukuran menggunakan
alat EPAM-5000, dan alat Termohygrometer.
b. Data Sekunder
Data sekunder yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung oleh
peneliti atau dari penelusuran dokumen kesakitan di Puskesmas Pangkalan,
53
catatan, dan laporan dari Dinas Kesehatan Karawang, serta data dari
Kelurahan Tamansari.
H. Pengolahan Data
a. Editing
Editing sebelum data diolah, data tersebut perlu diedit terlebih
dahulu dengan tujuan untuk mengkoreksi data yang meliputi kelengkapan
pengisian kuisioner, konsistensi atas jawaban dan kesalahan jawaban pada
kuisioner. Sehingga dapat diperbaiki jika dirasakan ada kesalahan atau
keraguan data.
b. Coding
Coding merupakan kegiatan memberikan kode pada jawaban
kuisioner yang ada untuk mempermudah proses pengolahan dalam
komputerisasi. Mengkode jawaban adalah merubah data berbentuk huruf
menjadi data berbentuk angka. Pada proses coding ini, variabel
independen, dependen akan diberi kode untuk memudahkan dalam
menganalisanya.
c. Entry data
Entry data adalah data yang telah dikode tersebut kemudian
dimasukkan dalam program komputer untuk selanjutnya akan dioleh.
54
d. Cleaning
Cleaning data adalah proses pengecekan kembali data yang sudah
dientry apakah ada kesalahan atau tidak. Tahapan cleaning data terdiri dari
mengetahui missing data, mengetahui variasi data dan mengetahui
konsistensi data.
I. Analisis
a. Univariat
Analisis ini dilakukan untuk mengetahui distribusi, frekuensi dan
presentase masing-masing variabel yang dianalisis dari tabel distribusi.
Variabel tersebut meliputi variabel gejala ISPA pada balita, status gizi,
status imunisasi, PM10, suhu, kelembaban, racun nyamuk bakar,
kebiasaan merokok, bahan bakar memasak, luas ventilasi dan kepadatan
hunian yang mempengaruhi gejala ISPA serta gambaran gejala ISPA pada
balita.
b. Bivariat
Analisis bivariat digunakan untuk mencari hubungan antara
variabel independen dengan variabel dependen. Untuk mencari hubungan
antara variabel status gizi, status imunisasi, racun nyamuk bakar,
kebiasaan merokok, bahan bakar memasak, luas ventilasi dan kepadatan
hunian yang mempengaruhi gejala ISPA menggunakan uji Chi-Square
55
(X2), nilai tingkat kemaknaan adalah 0,05 dengan pedoman pengambilan
keputusan berikut :
Apabila nilai p < 0,05 maka hasilnya bermakna secara statistik atau
terdapat hubungan antara variabel dependen dengan variabel independen.
sedangkan bila nilai p ≥ 0,05 maka hasilnya tidak bermakna secara statistik
atau tidak terdapat hubungan antara variabel dependen dengan variabel
independen.
Sedangkan untuk mencari hubungan antara variabel PM10, suhu
dan kelembaban yang mempengaruhi gejala ISPA terlebih dahulu
dilakukan uji normalitas karena data-data tersebut bersifat data numerik.
Bila hasil tes normalitas data distribusi normal, maka akan dilanjutkan
dengan uji t-independent untuk menghubungkan antara variabel numerik
dan kategorik. Akan tetapi apabila data tersebut tidak memenuhi asumsi
normalitas data, maka data selanjutnya akan dilakukan uji dengan
menggunakan uji Man Whitney.
56
BAB V
HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum Desa Tamansari
Desa Tamansari merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan
Pangkalan Kabupaten Karawang. Luas wilayah Desa Tamansari kurang lebih
5.320 m2
dengan kondisi geografis sebagian besar memiliki sumber daya
alam yang sangat berpotensi secara ekonomis dan sosial yaitu persawahan,
sungai dan bukit batu kapur. Adapun batas wilayah Desa Tamansari adalah
sebagai berikut :
Sebelah Utara : Desa Taman Mekar
Sebelah Selatan : Desa Ciptasari
Sebelah Timur : Hutan Negara
Sebelah Barat : Kabupaten Bekasi
Jumlah penduduk Desa Tamansari adalah 6.203 jiwa. Tingkat
pendidikan penduduk sebagian besar lulus sekolah dasar sampai sekolah
menengah pertama. Mata pencarian sebagian besar adalah sebagai petani dan
buruh penambang batu kapur yang ada diwilayah Desa Tamansari yang telah
ada sejak puluhan tahun yang lalu.
57
B. Hasil Analisis Univariat
Analisis unuvariat dilakukan untuk mengetahui distribusi frekuensi
dari setiap variabel independen maupun dependen pada balita di 5 posyandu
Desa Tamansari karawang tahun 2013 dapat dilihat sebagai berikut:
1. Gambaran Gejala Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada
Balita
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan hasil bahwa prevalensi
gejala ISPA pada balita di 5 posyandu Desa Tamansari tahun 2013 adalah
sebesar 57,4 % untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 5.1. berikut
ini :
Tabel 5.1.
Distribusi Gejala ISPA pada Balita di Desa Tamansari
Tahun 2013
Gejala ISPA Frekuensi Presentase
Iya 39 57,4%
Tidak 29 42,6%
Jumlah 68 100%
Sumber : Data Primer Tahun 2013
Berdasarkan tabel 5.1. diatas dapat diketahui bahwa dari 68 balita,
39 balita (57.4%) mengalami gejala ISPA dan 29 balita (42.6%) tidak
mengalami ISPA.
58
C. Gambaran Faktor Risiko Gejala ISPA
1. Gambaran Usia
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, didapatkan sebaran data
usia balita di Desa Tamansari sebagai berikut:
Tabel 5.2.
Distribusi usia pada Balita di Desa Tamansari Tahun 2013
Variabel Mean SD Min-Max
Usia (Bulan) 21.23 14.245 1-59
Sumber: Data Primer Tahun 2013
Berdasarkan tabel 5.2. diketahui bahwa rata-rata usia balita 21,23
bulan dengan standar deviasi 14,245. Usia terendah 1 bulan dan tertinggi
59 bulan.
2. Gambaran Jenis Kelamin
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, didapatkan sebaran data
jenis kelamin balita di Desa Tamansari sebagai berikut:
Tabel 5.3.
Distribusi jenis kelamin pada Balita di Desa Tamansari
Tahun 2013
Variabel Kategori Frekuensi Presentase
Jenis kelamin Laki-laki
Perempuan
36
32
52.9 %
47.1 %
Total 68 100 %
Sumber: Data primer Tahun 2013
59
Berdasarkan tabel 5.3. diketahui bahwa dari 68 balita, 36 balita
(52,9%) berjenis kelamin laki-laki dan 32 balita (47,1%) berjenis kelamin
perempuan.
3. Gambaran Status Gizi
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, didapatkan sebaran data
status gizi balita di 5 posyandu Desa Tamansari sebagai berikut:
Tabel 5.4.
Distribusi status gizi pada Balita di Desa Tamansari Tahun 2013
Variabel Kategori Frekuensi Presentase
Status gizi Kurang
Baik
7
61
10,3 %
89,7 %
Total 68 100 %
Sumber : Data Primer Tahun 2013
Berdasarkan tabel 5.4. diketahui bahwa dari 68 balita, 7 balita
(10,3%) gizi kurang atau nilai SD -2,1 dan 61 balita (89,7%) gizi baik atau
nilai SD 2.
4. Gambaran Status Imunisasi
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, didapatkan sebaran data
status gizi balita di Desa Tamansari sebagai berikut:
60
Tabel 5.5.
Distribusi status imunisasi pada Balita di Desa Tamansari
Tahun 2013
Variabel Kategori Frekuensi Presentase
Status imunisasi Tidak lengkap
Lengkap
8
60
11,8 %
88,2 %
Total 68 100 %
Sumber: Data Primer Tahun 2013
Berdasarkan tabel 5.5. diketahui bahwa dari 68 balita, 8 balita
(11,8%) imunisasi tidak lengkap dan 60 balita (82,8%) imunisasi lengkap.
5. Gambaran Pendidikan Ibu
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, didapatkan sebaran data
pendidikan ibu balita di Desa Tamansari sebagai berikut:
Tabel 5.6.
Distribusi pendidikan ibu Balita di Desa Tamansari Tahun 2013
Variabel Kategori Frekuensi Presentase
Pendidikan
ibu
Rendah
Tinggi
59
9
86,8 %
13,2 %
Total 68 100 %
Sumber : Data Primer Tahun 2013
Berdasarkan tabel 5.6. diketahui bahwa dari 68 responden, 59 ibu
(86,8%) berpendidikan rendah dan 9 ibu (13,2%) bependidikan tinggi.
61
6. Gambaran PM10
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, didapatkan sebaran data
PM10 pada kamar balita di Desa Tamansari sebagai berikut:
Tabel 5.7.
Distribusi PM10 dalam kamar balita di Desa Tamanasri
Tahun 2013
Variabel Mean Median SD Min-Max
PM10 (µg/m3) 162,50 117,00 134,20 41-628
Sumber: Data Primer Tahun 2013
Berdasarkan tabel 5.7. diketahui bahwa kadar PM10 dalam rumah
balita rata-rata 162,50 µg/m3 dengan standar deviasi 134,20. Kadar PM10
terendah 41 µg/m3 dan tertinggi 628 µg/m
3.
7. Gambaran Suhu
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, didapatkan sebaran data
suhu pada kamar balita di Desa Tamansari sebagai berikut:
Tabel 5.8.
Distribusi Suhu kamar Balita di Desa Tamanasri Tahun 2013
Variabel Mean Median SD Min-Max
Suhu (0C) 28,66 28,45 1,84 24,7-32,9
Sumber : Data Primer Tahun 2013
Berdasarkan tabel 5.8. diketahui bahwa suhu dalam kamar balita
rata-rata 28,660
C dengan standar deviasi 1,84. Suhu terendah 24,70
C dan
tertinggi 32,90
C.
62
8. Gambaran Kelembaban
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, didapatkan sebaran data
kelembaban pada kamar balita di Desa Tamansari sebagai berikut:
Tabel 5.9.
Distribusi Kelembaban kamar Balita di Desa Tamanasri
Tahun 2013
Variabel Mean Median SD Min-Max
Kelembaban (%) 86,12 11,23 11,23 58-99
Sumber : Data Primer Tahun 2013
Berdasarkan tabel 5.9. diketahui bahwa kelembaban kamar balita
rata-rata 86,12% dengan standar deviasi 11,23. Kelembaban terendah 58%
dan tertinggi 99%.
9. Gambaran Racun Nyamuk Bakar
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, didapatkan sebaran data
yang menggunakan racun nyamuk bakar di Desa Tamansari sebagai
berikut:
Tabel 5.10.
Distribusi racun nyamuk bakar di Desa Tamansari Tahun 2013
Variabel Frekuensi Presentase
Racun nyamuk bakar
Iya
Tidak
61
7
89,7 %
10,3 %
Total 68 100 %
Sumber : Data Primer Tahun 2013
63
Berdasarkan tabel 5.10. diketahui bahwa dari 68 responden, 61
rumah (89,7%) menggunakan racun nyamuk bakar dan 7 rumah (10,3%)
tidak menggunakan racun nyamuk.
10. Gambaran Kebiasaan Merokok
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, didapatkan sebaran data
yang terbiasaan merokok didalam rumah di Desa Tamansari sebagai
berikut:
Tabel 5.11.
Distribusi kebiasaan merokok dalam rumah di Desa
Tamansari Tahun 2013
Variabel Frekuensi Presentase
Kebiasaan merokok
Ada
Tidak ada
54
14
79,4 %
20,6%
Total 68 100%
Sumber : Data Primer Tahun 2013
Berdasarkan tebel 5.11. diketahui bahwa dari 68 responden
terdapat 54 anggota keluarga (79,4%) yang terbiasa merokok di dalam
rumah dan 14 anggota keluarga (20,6%) tidak merokok.
11. Gambaran Bahan Bakar Memasak
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, didapatkan sebaran data
yang menggunakan kayu bakar di Desa Tamansari sebagai berikut:
64
Tabel 5.12.
Distribusi bahan bakar masak yang menggunakan kayu bakar
di Desa Tamansari Tahun 2013
Variabel Frekuensi Presentase
Bahan bakar masak
Ada
Tidak ada
10
58
14.7 %
85.3 %
Total 68 100%
Sumber : Data Primer Tahun 2013
Berdasarkan tabel 5.12. diketahui bahwa dari 68 responden
terdapat 10 keluarga (14,7%) yang menggunakan kayu bakar dan 58
keluarga (85,3%) yang menggunakan gas.
12. Gambaran Luas Ventilasi
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, didapatkan sebaran data
luas ventilasi kamar balita di Desa Tamansari sebagai berikut:
Tabel 5.13.
Distribusi luas ventilasi pada Balita di Desa Tamansari
Tahun 2013
Variabel Kategori Frekuensi Presentase
Luas ventilasi TMS
MS
44
24
64,7 %
35,3 %
Total 68 100%
Sumber : Data Primer Tahun 2013
65
Berdasarkan tabel 5.13. diketahui bahwa dari 68 responden
terdapat 44 luas ventilasi (64,7%) tidak memenuhi syarat, 24 luas ventilasi
(35,3%) memenuhi syarat yang telah ditentukan.
13. Gambaran Kepadatan Hunian
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, didapatkan sebaran data
kepadatan hunian kamar balita di Desa Tamansari sebagai berikut:
Tabel 5.14.
Distribusi kepadatan hunian kamar Balita di Desa
Tamansari Tahun 2013
Variabel Kategori Frekuensi Presentase
Kepadatan
hunian
TMS
MS
55
13
80,9 %
19,1 %
Total 68 100 %
Sumber : Data Primer Tahun 2013
.Berdasarkan tabel 5.14. didalam tabel dihasilkan bahwa dari 68
kelurga terdapat 55 keluarga (80,9%) yang tidur dalam satu kamar lebih
dari 2 orang dan 13 keluarga (19,1%) keluarga yang tidur tidak lebih dari 2
orang.
D. Hasil Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antara
variabel independen (status Imunisasi, status gizi, racun nyamuk bakar,
kebiasaan merokok, bahan bakar masak, luas ventilasi dan kepadatan hunian)
66
dan variabel dependen dengan menggunakan uji chi square. Sedangkan untuk
mngetahui hubungan antara variabel independen (PM10, suhu dan
kelambaban) dan variabel dependen menggunakan uji uji non parametrik
yaitu man-whitney dIkarenakan tidak berdistribusi normal. Hubungan antara
variabel independen dan variabel dependen pada penelitian ini dapat dilihat
sebagai berikut:
1. Hubungan Status Gizi dengan Gejala ISPA pada Balita
Hasil analisi hubungan antara status gizi dengan gejala ISPA pada
balita di Desa Tamansari tahun 2013 dapat dilihat pada tabel 5.15.
Tabel 5.15.
Analisis Hubungan antara Status Gizi dengan Gejala ISPA pada
Balita di Desa Tamansari Tahun 2013
Status Gizi
Gejala ISPA
Total
Pvalue Iya Tidak
N % N % N %
Kurang
Baik
5
34
71,4%
55,7%
2
27
28,6%
44,3%
7
61
100%
100%
0,690
Jumlah 39 57,4% 29 42,6% 68 100%
Sumber : Data Primer Tahun 2013
Berdasarkan tabel 5.15. diketahui balita yang status gizi kurang
dan menderita ISPA adalah 71,4% serta balita dengan status gizi kurang
tidak mengalami ISPA adalah 28,6%. sedangkan balita yang status gizi
baik dan menderita ISPA adalah 55,7% serta balita dengan status gizi baik
67
tidak mengalami ISPA 44,3%. Berdasarkan hasil uji chi square didapatkan
nilai pvalue 0,690 (pvalue > 0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa
tidak ada hubungan yang signifikan antara status gizi dengan gejala ISPA
pada balita di Desa Tamansari tahun 2013.
2. Hubungan Status Imunisasi dengan gejala ISPA pda Balita
Hasil analisi hubungan antara status Imunisasi dengan gejala ISPA
pada balita di Desa Tamansari tahun 2013 dapat dilihat pada tabel 5.16.
Tabel 5.16.
Hubungan antara Status Imunisasi dengan Gejala ISPA pada
Balita di Desa Tamansari Tahun 2013
Status
Imunisasi
Gejala ISPA
Total
Pvalue Iya Tidak
N % N % N %
Tidak lengkap
Lengkap
6
33
75,0%
55,0%
2
27
25,0%
45,0%
8
60
100%
100%
0,451
Jumlah 39 57,4% 29 42,6% 68 100%
Sumber : Data Primer Tahun 2013
Berdasarkan tabel 5.16. diketahui balita yang status imunisai tidak
lengkap dan menderita ISPA sebanyak 75,0% serta balita dengan status
imunisasi tidak lengkap dan tidak mengalami ISPA sebesar 25,0%,
sedangkan balita yang imunisasi lengkap dan menderita ISPA adalah
55,0% serta balita dengan status imunisasi lengkap dan tidak mengalami
ISPA sebanyak 45,0%. Berdasarkan hasil uji chi square didapatkan nilai
68
pvalue 0,451 (pvalue > 0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak
ada hubungan yang signifikan antara status imunisasi dengan gejala ISPA
pada balita di Desa Tamansari tahun 2013.
3. Hubungan antara PM10 dengan Kejadian ISPA pada Balita
Hasil analisis hubungan antara PM10 dengan gejala ISPA pada
balita di Desa Tamansari tahun 2013 diperoleh dengan menggunakan uji
non parametrik yaitu man-whitney hal tersebut dikarenakan data variabel
PM10 merupakan data yang berdistribusi tidak normal. Adapun hasil uji
yang diperoleh dapat dilihat pada tabel 5.17.
Tabel 5.17.
Hubungan antara PM10 dengan Gejala ISPA pada Balita di Desa
Tamansari Tahun 2013
PM10 (µg/m3) N Rata-rata pvalue
Gejala ISPA
Iya
Tidak
39
29
35,49
33,17
0,633
Sumber : Data Primer Tahun 2013
Berdasarkan tabel 5.17. diketahui nilai rata-rata PM10 yang
mengalami gejala ISPA adalah 35,49 µg/m3 dan nilai rata-rata PM10 yang
tidak mengalami ISPA adalah 33,17 µg/m3. Berdasarkan hasil uji man
whitney didapatkan nilai pvalue 0,633 (pvalue > 0,05). Sehingga dapat
disimpulakn bahwa pada alpha 5% tidak terdapat perbedaan yang
69
signifikan rata-rata PM10 antara balita yang mengalami ISPA dengan
yang tidak mengalami ISPA di Desa Tamansari tahun 2013.
4. Hubungan antara Suhu dengan Gejala ISPA pada Balita
Hasil analisis hubungan antara suhu dengan gejala ISPA pada
balita di Desa Tamansari tahun 2013 diperoleh dengan menggunakan uji
non parametrik yaitu man-whitney hal tersebut dikarenakan data variabel
suhu merupakan data yang berdistribusi tidak normal. Adapun hasil uji
yang diperoleh dapat dilihat pada tabel tabel 5.18.
Tabel 5.18.
Hubungan antara suhu dengan Gejala ISPA pada Balita di
Desa Tamansari Tahun 2013
Suhu (0C) N Rata-rata Pvalue
Gejala ISPA
Iya
Tidak
39
29
35,00
33,83
0,809
Sumber : Data Primer Tahun 2013
Berdasarkan tabel 5.18. diketahui nilai rata-rata suhu yang
mengalami ISPA adalah 35,00 0C dan nilai rata-rata suhu yang tidak
mengalami ISPA adalah 33,83 0C. Berdasarkan hasil uji man whitney
didapatkan nilai pvalue 0,809 (pvalue > 0,05). Sehingga dapat disimpulakn
bahwa pada alpha 5% tidak terdapat perbedaan yang signifikan rata-rata
suhu antara balita yang mengalami ISPA dengan yang tidak mengalami
ISPA di Desa Tamansari tahun 2013.
70
5. Hubungan antara Kelembaban dengan Gejala ISPA pada Balita
Hasil analisis hubungan antara kelembaban dengan gejala ISPA
pada balita di Desa Tamansari tahun 2013 diperoleh dengan menggunakan
uji non parametrik yaitu man-whitney hal tersebut dikarenakan data
variabel kelembaban merupakan data yang berdistribusi tidak normal.
Adapun hasil uji yang diperoleh dapat dilihat pada tabel tabel tabel 5.19.
Tabel 5.19.
Hubungan antara Kelembaban dengan Gejala ISPA pada
Balita di Desa Tamansari Tahun 2013
Kelembaban (%) N Rata-rata Pvalue
Gejala ISPA
Iya
Tidak
39
29
34,26
34,83
0,906
Sumber : Data Primer Tahun 2013
Berdasarkan tabel 5.19. diketahui nilai rata-rata kelembaban yang
mengalami ISPA adalah 34,26% dan nilai rata-rata kelembaban yang tidak
mengalami ISPA adalah 34,83%. Berdasarkan hasil uji man whitney
didapatkan nilai pvalue 0,906 (pvalue > 0,05). Sehingga dapat disimpulakn
bahwa pada alpha 5% tidak terdapat perbedaan yang signifikan rata-rata
kelembaban antara balita yang mengalami ISPA dengan yang tidak
mengalami ISPA di Desa Tamansari tahun 2013.
71
6. Hubungan antara Racun Nyamuk Bakar dengan Gejala ISPA pada
Balita
Hasil analisis hubungan antara racun nyamuk bakar dengan gejala
ISPA pada balita di Desa Tamansari tahun 2013 dapat dilihat pada tabel
5.20.
Tabel 5.20.
Hubungan antara racun nymuk bakar dengan kejadian ISPA pada
Balita di Desa Tamansari Tahun 2013
Racun Nymuk
Bakar
Gejala ISPA
Total
pvalue Iya Tidak
N % N % N %
Iya
Tidak
35
4
57,4%
57,1%
26
3
42,6%
42,9%
61
7
100%
100%
1,000
Jumlah 39 57,4% 29 42,6% 68 100%
Sumber : Data Primer Tahun 2013
Berdasarkan tabel 5.20. diketahui responden yang menggunakan
racun nyamuk bakar dan mengalami ISPA adalah (57,4%) serta responden
yang menggunakan racun nyamuk bakar dan tidak mengalami ISPA
sebanyak 42,6%. Sedangkan responden yang tidak menggunakan racun
nyamuk bakar dan mengalami ISPA sebanyak 57,1% serta responden yang
tidak menggunakan racun nyamuk bakar dan tidak mengalami ISPA
42,9%. Berdasarkan hasil uji chi square didapatkan nilai pvalue 1,000
(pvalue > 0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan
72
yang signifikan antara racun nyamuk bakar dengan gejala ISPA pada balita
di Desa Tamansari tahun 2013.
7. Hubungan antara Kebiasaan Merokok dengan Gejala ISPA pada
Balita
Hasil analisis hubungan antara kebiasaan merokok dengan gejala
ISPA pada balita di Desa Tamansari tahun 2013 dapat dilihat pada tabel
5.21.
Tabel 5.21.
Hubungan antara Kebiasaan Merokok dengan Gejala ISPA pada
Balita di Desa Tamansari Tahun 2013
Kebiasaan
Merokok
Gejala ISPA
Total
pvalue Iya Tidak
N % N % N %
Ada
Tidak
32
7
59,3%
50,0%
22
7
40,7%
50,0%
54
14
100%
100%
0.559
Jumlah 39 57.4% 29 42,6% 68 100%
Sumber: Data Primer Tahun 2013
Berdasarkan tabel 5.21. diketahui balita yang anggota keluarganya
merokok dan menderita ISPA adalah 59,3% serta balita yang anggota
keluarganya merokok dan tidak mengalami ISPA adalah 40,7%.
Sedangkan balita yang anggota keluarganya tidak merokok dan mengalami
ISPA sebanyak 50,0% serta balita yang anggota keluarganya tidak
merokok dan tidak mengalami ISPA sebanyak 50,0%. Berdasarkan hasil
uji chi square didapatkan nilai pvalue 0,559 (pvalue > 0,05). Sehingga
73
dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara
kebiasaan merokok anggota keluarga balita dengan gejala ISPA pada
balita di Desa Tamansari tahun 2013.
8. Hubungan Bahan Bakar Masak dengan Gejala ISPA pada Balita
Hasil analisis hubungan antara bahan bakar masak dengan gejala
ISPA pada balita di Desa Tamansari tahun 2013 dapat dilihat pada tabel
5.22.
Tabel 5.22.
Hubungan antara Bahan Bakar Masak dengan Gejala ISPA pada
Balita di Desa Tamansari Tahun 2013
Bahan Bakar
Masak
Gejala ISPA
Total
pvalue Iya Tidak
N % N % N %
Kayu, minyak
Gas
6
33
60,0%
56,9%
4
25
40,0%
43,1%
10
58
100%
100%
1,000
Jumlah 39 57,4% 29 42,6% 68 100%
Sumber: Data Primer Tahun 2013
Berdasarkan tabel 5.22. diketahui responden yang memakai bahan
bakar memasak menggunakan kayu atau minyak dan mengalami ISPA
sebanyak 60,0% serta responden yang memakai bahan bakar memasak
menggunakan kayu atau minyak dan tidak mengalami ISPA sebanyak
40,0% sedangkan responden yang memakai bahan bakar memasak
menggunakan gas dan mengalami ISPA sebanyak 56,9% serta responden
yang memakai bahan bakar memasak menggunakan gas dan tidak
74
mengalami ISPA sebanyak 43,1%. Berdasarkan hasil uji chi square
didapatkan nilai pvalue 1,000 (pvalue > 0,05). Sehingga dapat disimpulkan
bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara bahan bakar masak
dengan gejala ISPA pada balita di Desa Tamansari tahun 2013.
9. Hubungan Luas Ventilasi dengan Gejala ISPA pada Balita
Hasil analisis hubungan antara luas ventilasi dengan gejala ISPA
pada balita di Desa Tamansari tahun 2013 dapat dilihat pada tabel 5.23.
Tabel 5.23.
Hubungan antara Luas Ventilasi dengan Gejala ISPA pada Balita
di Desa Tamansari Tahun 2013
Luas Ventilasi
Gejala ISPA
Total
pvalue Iya Tidak
N % N % N %
TMS
MS
26
13
59,1%
54,2%
18
11
40,9%
45,8%
44
24
100%
100%
0,799
Jumlah 39 57,4% 29 42,6% 68 100%
Sumber: Data Primer Tahun 2013
Berdasarkan tabel 5.23. diketahui balita yang luas ventilasi kamar
tidak memenuhi syarat dan mengalami ISPA adalah 59,1% serta luas
ventilasi kamar tidak memenuhi syarat dan tidak mengalami ISPA
sebanyak 40,9% sedangkan luas ventilasi kamar yang memenuhi syarat
dan mengalami ISPA sebanyak 54,2% serta luas ventiasi kamar yang
memenuhi syarat dan tidak mengalami ISPA sebanyak 45,8%.
75
Berdasarkan hasil uji chi square didapatkan nilai pvalue 0,799 (pvalue >
0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang
signifikan antara luas ventilasi dengan gejala ISPA pada balita di Desa
Tamansari tahun 2013.
10. Hubungan Kepadatan hunian dengan Gejala ISPA pada Balita
Hasil analisis hubungan antara kepadatan hunian dengan gejala
ISPA pada balita di Desa Tamansari tahun 2013 dapat dilihat pada tabel
5.24.
Tabel 5.24.
Hubungan antara Kepadatan Hunian dengan Gejala ISPA pada
Balita di Desa Tamansari Tahun 2013
Kepadatan
hunian
Gejala ISPA
Total
pvalue Iya Tidak
N % N % N %
TMS
Ms
28
11
50,9%
84,6%
27
2
49,1%
15,4%
55
13
100%
100%
0,032
Jumlah 39 57,4% 29 42,6% 68 100%
Sumber: Data Primer Tahun 2013
Berdasarkan tabel 5.24. diketahui kepadatan hunian balita yang
lebih dari 2 orang dan mengalami ISPA adalah 50,9% serta kepadatan
hunian yang lebih dari 2 orang dan tidak mengalami ISPA sebanyak 49,1%.
Sedangkan kepadatan hunian yang tidak lebih dari 2 orang dan mengalami
ISPA sebanyka 84,6% serta kepadatan hunian yang tidak lebih dari 2
76
orang dan tidak mengalami ISPA sebanyak 15,4%. Berdasarkan hasil uji
chi square didapatkan nilai pvalue 0,032 (pvalue < 0,05). Sehingga dapat
disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kepadatan
hunian dengan gejala ISPA pada balita di Desa Tamansari tahun 2013.
77
BAB VI
PEMBAHASAN
A. Keterbatasan Penelitian
Dalam pelaksanaan penelitian ini terdapat beberapa keterbatasan
peneliti yaitu :
1. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional. Desain ini tidak
dapat menjelaskan hubungan sebab akibat, hanya menjelaskan
hubungan keterkaitan. Meskipun demikian, desain ini dipilih karena
paling sesuai dengan tujuan penelitian, serta efektif dari segi waktu.
2. Pemeriksaan gejala ISPA langsung ditanyakan ke ibu balita, tanpa
mengunakan pemeriksaan dokter untuk memperkuat hasil. Sehingga
mempengaruhi proporsi gejala ISPA.
B. Analisis Univariat
1. Gambaran Gejala ISPA pada Balita di Desa Tamansari
Pada penelitian ini untuk gejala ISPA yaitu dengan
menanyakan pada ibu balita yang pernah dialami balita selama kurun
waktu dua minggu baik itu batuk, pilek, demam dan panas. Pengertian
ISPA sendiri merupakan singkatan dari Infeksi Saluran Pernapasan
Akut, istilah ini diadaptasi dari istilah dalam bahasa inggris Acute
Respiratory Infections (ARI). Penyakit Infeksi akut yang menyerang
salah satu bagian dan atau lebih dari saluran nafas mulai dari hidung
78
(saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan
adneksanya seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura (WHO,
2003).
Dari hasil wawancara, pada tabel 5.1 bahwa balita yang
mengalami gejala ISPA sebanyak 57,4% dan yang tidak mengalami
gejala ISPA sebanyak 42,6%. Dari hasil laporan puskesmas tahun
2012 bahwa Kejadian ISPA diwilayah puskesmas pangkalan
merupakan penyakit infeksi yang paling sering diderita oleh
masyarakat khususnya kelompok bayi dan anak-anak. Kejadian ISPA
menempati urutan pertama dalam daftar sepuluh penyakit tertinggi
pada kelompok umur 1-4 tahun di wilayah kerja puskesmas pangkalan
dengan presentase 54,50% (Laporan Puskesmas, 2012).
Diperkuat dengan data yang didapat dari dinas kesehatan
kabupaten karawang bahwa kejadian ISPA di Provinsi Jawa Barat
diurutan petama dibandingkan dengan penyakit lain yakni sebesar
33,44% (Dinkes Karawang, 2009).
Gejala ISPA yang terjadi pada balita di 5 posyandu Desa
Tamansari dan hanya ditanyakan kepada ibu balita dalam kategori
mengalami ISPA dan tidak mengalami ISPA hanya sebatas gejala
subjektif yang diperhatikan oleh seorang ibu, harus diperhatikan
secara serius. Walaupun hanya gejala ISPA yang terjadi pada balita
namun ini menjadi indikasi bahwa telah terjadi kejadian ISPA
sebenarnya.
79
Gejala ISPA tak lepas dari faktor-faktor yang dapat
memicunya. Kadar debu dalam rumah merupakan faktor penting
sebagai pencetus terjadinya gejala ISPA. Kadar debu dalam penelitian
ini dipengaruhi oleh faktor lainya. Berdasarkan hasil pengukuran
PM10 didalam kamar balita, didapatkan kadar PM10 yang melebihi
nilai ambang batas menurut standar WHO yaitu sebesar 70µg/m3. Hal
ini lah yang menjadi asumsi peneliti bahwa balita yang tinggal
disekitar industri batu kapur mengalami ISPA, dimana PM10 sebagai
pemicu terjadinya ISPA pada balita tetapi juga dipengaruhi dengan
faktor risiko lainnya.
C. Analisis Bivariat
1. Analisis Hubungan Status Gizi dengan Gejala ISPA pada Balita
Status gizi anak balita dalam penelitian ini ditetapkan
berdasarkan perbandingan berat badan menurut umur (BB/U)
berdasarkan standar HAZ, WHO-NCHS. Adapun hasil yang diperoleh
yaitu balita yang status gizi nya kurang berjumlah 10,3% sedangkan
balita dengan status gizi baik sebanyak 89,7%.
Berdasarkan tabel 5.15. diketahui balita yang status gizi kurang
dan menderita ISPA adalah 71,4% serta balita dengan status gizi kurang
tidak mengalami ISPA adalah 28,6%. sedangkan balita yang status gizi
baik dan menderita ISPA adalah 55,7% serta balita dengan status gizi
baik tidak mengalami ISPA 44,3%. Berdasarkan hasil uji chi square
80
didapatkan nilai pvalue 0,690 (pvalue > 0,05). Sehingga dapat
disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara status
gizi dengan gejala ISPA pada balita di 5 posyandu desa tamansari
tahun 2013.
Menurut Almatsler (2003), timbulnya gizi kurang tidak hanya
dikarenakan karena asupan makanan yang kurang, tetapi juga penyakit.
Anak yang mendapatkan cukup makanan tetapi sering menderita sakit,
pada akhirnya dapat menderita gizi kurang. Demikian pula pada anak
yang tidak memperoleh cukup makanan, maka daya tahan tubuhnya
akan melemah sehingga mudah terserang penyakit.
Status gizi merupakan faktor risiko terhadap kejadian ISPA.
Berdasarkan Nuryanto (2012) menyatakan bahwa status gizi kurang
maka akan bersiko untuk terjadinya ISPA. Balita dikatakan status
gizinya baik jika nilai perbandingan antara BB dan umur adalah dengan
SD 2 dan apabila nilai SD -2 maka dikatakan status gizi kurang.
Hasil perhitungan analisis bivariat diperoleh bahwa tidak
terdapat hubungan yang signifikan antara status gizi dengan gejala
ISPA pada balita. Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang
dilakukan Nuryanto (2012) yang menyatakan bahwa status gizi kurang
pada balita berisiko mengalami kejadian penyakit ISPA 8,40 kali
dibandingkan balita dengan status gizi baik.
Tidak adanya hubungan antara status gizi dengan gejala ISPA
pada balita, hal ini diduga jika dilihat proporsi antara status gizi baik
81
dan status gizi kurang lebih besar (>) status gizi baik yaitu sebesar
89,7% dan ini tidak sebanding dengan status gizi kurang yaitu sebesar
10,3%. Sehingga tidak terjadi hubungan yang signifikan jika
dibandingkan juga dengan distribusi gejala ISPA.
Walaupun pada penelitian ini tidak terdapat hubungan antara
status gizi dengan gejala ISPA, petugas posyandu sebaiknya tetap
melakukan posyandu secara rutin sesuai dengan jadwal yang telah
ditentukan dan menghimbau kepada ibu balita agar tetap menjaga
asupan makanan yang diberikan oleh anak, selain itu petugas posyandu
juga dapat memberikan makanan pendamping asi kepada balita seperti
susu, biskuit dan bubur kacang hijau agar dapat mengurangi status gizi
kurang.
2. Analisis Hubungan Status Imunisasi dengan Gejala ISPA pada
Balita
Pada penelitian ini, variabel status imunisasi merupakan
imunisasi yang diteriama oleh balita sesuai dengan umurnya. Adapaun
hasil yang diperoleh yaitu balita dengan status imunisasi tidak lengkap
yaitu sebesar 11,8% sedangkan balita dengan status imunisasi lengkap
sebanyak 88,2%.
Berdasarkan tabel 5.16. diketahui balita yang status imunisai
tidak lengkap dan menderita ISPA sebanyak 75,0% serta balita dengan
status imunisasi tidak lengkap dan tidak mengalami ISPA sebesar
82
25,0%, sedangkan balita yang imunisasi lengkap dan menderita ISPA
adalah 55,0% serta balita dengan status imunisasi lengkap dan tidak
mengalami ISPA sebanyak 45,0%. Berdasarkan hasil uji chi square
didapatkan nilai pvalue 0,451 (pvalue > 0,05). Sehingga dapat
disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara status
imunisasi dengan gejala ISPA pada balita di 5 posyandu desa tamansari
tahun 2013.
Menurut Purnomo (2006) imunisasi sangat penting diberikan
pada anak untuk memperoleh kekebalan terhadap penyakit tertentu.
Cakupan imunisasi yang lengkap, meliputi imunisasi BCG (anti
tuberkulosis), DPT (anti difteri, pertusis dan tetanus), polio (anti
poliomilitis) dan campak (anti campak). Imunisasi menjadi salah satu
faktor sangat penting bagi para ibu untuk menjaga agar bayi dan
balitanya tetap dalam kondisi sehat dan terlindungi dari berbagai
penyakit.
Imunisasi BCG diberikan pada bayi umur kurang dari tiga bulan,
imunisasi polio pada bayi baru lahir, dan tiga dosis berikutnya diberikan
dengan jarak paling cepat empat minggu, imunisasi DPT/HB pada bayi
umur dua, tiga, empat bulan dengan interval minimal empat minggu,
dan imunisasi campak paling dini umur sembilan bulan (Depkes RI,
2008).
Imunisasi merupakan salah satu bentuk intervensi yang sangat
efektif menurunkan angka kematian dan kesakitan bayi serta balita dari
83
berbagai jenis penyakit. Makin lengkap status imunisasi, semakin kecil
risiko terkena penyakit yang dapat dicegah. Sebaliknya risiko terkena
penyakit infeksi juga akan lebih besar, bila imunisasi pada anak tidak
lengkap.
Status imunisasi merupakan faktor yang menjadi risiko
mengalami kejadian ISPA, Pemberian imunisasi pada balita sangat
bermanfaat, sejalan dengan penyakit ISPA sebagai penyebab utama
kematian balita dapat dicegah dengan imunisasi. Meskipun dari hasil
statistik tidak terdapat hubungan yang bermakna namun status
imunisasi tidak lengkap berisiko dengan kejadian ISPA dibandingkan
dengan balita dengan imunisasi lengkap.
Balita dikatakan baik jika balita mendapatkan imunisasi sesuai
dengan umur, sehingga diharapkan kepada ibu balita agar membawa
anaknya untuk diberikan imunisasi sesuai dengan umur agar kesehatan
balita tetap terjaga.
Hasil perhitungan analisis bivariat diperoleh bahwa tidak
terdapat hubungan yang signifikan antara status imunisasi dengan gejala
ISPA pada balita. Penelitian ini tidak sejala dengan penelitian Sugiharto
(2012) yang menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara
status imunisasi dengan terjadinya ISPA pada balita.
Tidak adanya hubungan antara status imunisasi dengan gejala
ISPA pada balita, hal ini diduga jika dilihat proporsi antara status
imunisasi lengkap dengan status imunisasi tidak lengkap lebih besar (>)
84
status imunisasi lengkap yaitu sebanyak 60 balita dan 8 balita tidak
dengan imunisasi lengkap dengan begitu balita mempunyai daya tahan
tubuh yang kuat sehingga tidak terjadi gejala ISPA.
Walaupun pada penelitian ini tidak terdapat hubungan antara
status imunisasi dengan gejala ISPA, petugas posyandu tetap
melaksanakan imunisasi kepada balita yang masih membutuhkan sesuai
dengan umurnya dan menghimbau kepada ibu balita agar membawa
balitanya dalam pelaksanaan imunisasi dan diberikan imunisasi kepada
anaknya, selain itu petugas posyandu diharapkan melaksanakan
imunisasi dengan menarik agar ibu-ibu tertarik untuk hadir mengikuti
posyandu agar balita dapat mendapatkan imunisasi dengan lengkap
sehingga kejadian ISPA dapat berkurang.
3. Analisis Hubungan PM10 dengan Gejala ISPA pada Balita
Pada penelitian ini, data mengenai parameter PM10 dalam
rumah diukur langsung pada setiap rumah yang diteliti dengan titik
sampling di ruangan balita sering tidur. Kadar PM10 hanya diukur 1
kali dengan metode sewaktu (spot sampling) yang digunakan untuk
memeriksa secara acak keadaan sewaktu zat pencemar udara pada
tempat-tempat pemeriksaan, sehingga diperoleh gambaran kadar PM10
dalam setiap rumah balita.
Berdasarkan tabel 5.17. diketahui nilai rata-rata PM10 yang
mengalami gejala ISPA adalah 35,49 µg/m3 dan nilai rata-rata PM10
85
yang tidak mengalami ISPA adalah 33,17 µg/m3. Berdasarkan hasil uji
man whitney didapatkan nilai pvalue 0,633 (pvalue > 0,05). Sehingga
dapat disimpulakn bahwa pada alpha 5% tidak terdapat perbedaan yang
signifikan rata-rata PM10 antara balita yang mengalami ISPA dengan
yang tidak mengalami ISPA di 5 posyandu desa tamansari tahun 2013.
Menurut Gertrudist (2010) PM10 mempunyai peran yang lebih
penting daripada sekedar iritan dan merupakan kelompok risiko
kesehatan terbesar diantara berbagai ukuran partikulat. PM10
merupakan indikator yang paling cocok untuk pengukuran pencemaran
partikulat yang dikaitkan dengan efek terhadap gangguan saluran
pernapasan sehingga kadarnya di dalam rumah tetap harus dijaga
jangan sampai melebihi 70 µg/m3.
Pada beberapa penelitian menyebutkan bahwa PM10 yang
melebihi nilai ambang batas yang telah ditentukan dengan kejadian
ISPA. Semakin lama seorang balita terpajan PM10 maka akan berisiko
terhadap kejadian ISPA, karena persyaratan PM10 dalam ruangan yaitu
sebesar 70 µg/m3 sedangkan rata-rata PM10 hasil pengukuran yaitu
sebesar 162,50 µg/m3.
Hasil perhitungan analisis bivariat diperoleh bahwa tidak
terdapat hubungan yang signifikan antara kadar PM10 dalam kamar
balita dengan gejala ISPA pada balita. Hal ini tidak sejalan dengan
penelitian Farieda (2009) yang mengatakan ada hubungan yang
bermakna antara PM10 dengan kejadian ISPA pada balita, PM10 yang
86
tidak memenuhi syarat mempunyai risiko 56,5 kali untuk terjadi ISPA
dibandingkan PM10 yang memenuhi syarat.
Melihat data diatas dengan adanya perbedaan dengan teori, hal
ini dapat dimungkinkan karena jarak antara wawancara gejala ISPA
dengan saat dilakukan pengukuran terlalu lama yaitu satu minggu, bisa
saja tidak terjadinya hubungan saat dilakukan wawancara balita dalam
kondisi sehat dan mempunyai daya tahan tubuh yang baik sehingga
PM10 tidak menyebabkan gejala ISPA.
Meskipun tidak terdapat hubungan namun dengan demikian
tetap perlu dilakukan upaya-upaya untuk mengurangi pencemaran
PM10 didalam kamar balita, karena PM10 berisiko terhadap kesehatan
manusia khususnya pada anak-anak. Untuk itu perlu memberikan
penyuluhan dan pengetahuan kepada masyarakat tentang cara
mengurangi pencemaran PM10 dalam kamar balita seperti ventilasi
menggunakan kawat penyaring debu, menanam pohon di depan rumah
yang fungsi pohon tersebut sebagai penghambat agar PM10 tidak
masuk kedalam kamar, selalu membersihkan kamar balita secara rutin.
4. Analisis Hubungan Suhu dengan Gejala ISPA pada Balita
Pada penelitian ini variabel suhu merupakan data numerik hasil
dari pengukuran menggunakan alat Thermometer. Berdasarkan tabel
5.18. diketahui nilai rata-rata suhu yang mengalami ISPA adalah 35,00
0C dan nilai rata-rata suhu yang tidak mengalami ISPA adalah 33,83
0C.
87
Berdasarkan hasil uji man whitney didapatkan nilai pvalue 0,809
(pvalue > 0,05). Sehingga dapat disimpulakn bahwa pada alpha 5%
tidak terdapat perbedaan yang signifikan rata-rata suhu antara balita
yang mengalami ISPA dengan yang tidak mengalami ISPA di 5
posyandu desa tamansari tahun 2013.
Suhu udara memiliki peranan sangat penting, suhu akan
berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung terhadap kehidupan
manusia. Suhu ruangan, harus dijaga agar tetap memenuhi syarat
dengan cara membuka jendela atau pintu kamar. Suhu berbanding
terbalik dengan kelembapan apabila suhu tinggi maka kelembapan
rendah dan sebaliknya. Suhu adalah kandungan uap air yang terdapat di
dalam ruang yang besar diukur dengan menggunakan thermometer
dengan satuan pengukuran derajat celcius (ºC). Suhu ruangan yang
ideal adalah berkisar antara 18-30ºC (Keputusan Menteri
No.829/Menkes/SiuVII/1999) tentang persyaratan kesehatan
perumahan.
Hasil perhitungan analisis bivariat diperoleh bahwa tidak
terdapat hubungan yang signifikan antara suhu dengan gejala ISPA
pada balita. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Heru (2012)
menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara suhu dengan
kejadian ISPA pada balita.
Melihat data diatas dengan adanya perbedaan dengan teori, hal
ini dapat dimungkinkan saat melakukan pengukuran suhu ruangan
88
kamar balita dipengaruhi dengan intensitas hujan, karena saat dilakukan
pengukuran suhu terjadi hujan, dilihat dari proporsi suhu bahwa rata-
rata suhu memenuhi syarat kesehatan rumah yaitu 28,66 0
C. Namun
suhu juga sebagai pemicu kejadian ISPA, untuk itu perlu dilakukan
upaya agar suhu didalam kamar balita tetap memenuhi syarat yang telah
ditentukan seperti membuka jendela dan pintu setiap pagi, sehingga
terjadi sirkulasi udara dan suhu tetap stabil.
5. Analisis Hubungan Kelembaban dengan Gejala ISPA pada Balita
Hasil penelitian terkait variabel kelembaban didapatkan dengan
melakukan pengukuran menggunakan alat Hygrometer. Berdasarkan
tabel 5.19. diketahui nilai rata-rata kelembaban yang mengalami gejala
ISPA adalah 34,26% dan nilai rata-rata kelembaban yang tidak
mengalami ISPA adalah 34,83%. Berdasarkan hasil uji man whitney
didapatkan nilai pvalue 0,906 (pvalue > 0,05). Sehingga dapat
disimpulakn bahwa pada alpha 5% tidak terdapat perbedaan yang
signifikan rata-rata kelembaban antara balita yang mengalami gejala
ISPA dengan yang tidak mengalami ISPA di desa tamansari tahun 2013.
Menurut Listyowati (2013) Faktor etiologi ini dapat tumbuh
dengan baik jika kondisi yang optimum. Virus, bakteri dan jamur
penyebab ISPA untuk pertumbuhan dan perkembangbiakannya
membutuhkan suhu dan kelembapan optimal. Pada suhu dan
kelembaban tertentu memungkinkan pertumbuhannya terhambat
89
bahkan tidak tumbuh dan mati. Tapi pada suhu dan kelembaban tertentu
dapat tumbuh dan berkembangbiak dengan sangat cepat. Hal inilah
yang membahayakan karena semakin sering anak berada dalam ruangan
dengan kondisi tersebut dan dalam jangka waktu yang lama maka anak
terpapar risiko tersebut. Akibatnya makin besar peluang anak untuk
terjangkit ISPA.
Hasil perhitungan analisis bivariat diperoleh bahwa tidak
terdapat hubungan yang signifikan antara kelembaban dengan gejala
ISPA. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Heru (2012) yang
menyatakan bahwa terdapat hubungan secara signifikan antara
kelembapan dengan kejadian ISPA pada balita.
Melihat data diatas dengan adanya perbedaan dengan teori, hal
ini dapat dimungkinkan karena saat melakukan pengukuran kelembaban
berbarengan dengan hujan sehingga kelembaban dipengaruhi dengan
suhu hujan saat dilakukan pengukuran yang semestinya kelembaban
memenuhi syarat karena terjadi hujan maka kelembaban menjadi tinggi.
Namun Kelembaban di dalam ruangan merupakan faktor yang
berpengaruh tehadap kejadian ISPA karena kelembaban sangan erat
kaitannya dengan pertumbuhan dan perkembangbiakan faktor etiologi
ISPA yang berupa virus, bakteri dan jamur.
Walaupun tidak terdapat hubungan, tetapi kondisi kelembaban
yang tidak memenuhi syarat dapat mempengaruhi kejadian ISPA
sehubungan dengan hal tersebut maka perlu dilakukan upaya-upaya:
90
a. Masyarakat perlu diberikan pengetahuan tentang upaya-upaya yang
dapat dilakukan untuk mengatur kelembapan dalam rumah sehingga
memenuhi syarat kesehatan seperti memperbaiki ventilasi, membuka
jendela agar sinar matahari dapat masuk ke dalam rumah, memasang
genteng kaca atau fiberglasa.
b. Puskesmas diharapakan melakukan pengawasan dan pembinaan
terhadap masyarakat tentang syarat-syarat rumah sehat.
6. Analisis Hubungan Racun Nyamuk Bakar dengan Gejala ISPA
pada Balita
Pada penelitian ini, variabel racun nyamuk bakar merupakan
bahan pestisida yang digunakan responden untuk mengilangkan
nyamuk dan di letakkan dibawah tempat tidur. Adapaun hasil yang
diperoleh yaitu responden yang menggunkan racun nyamuk bakar
sebagai pembasmi nyamuk sebesar 89,7% sedangkan responden yang
tidak menggunakan racun nyamuk bakar sebanyak 10,3%.
Berdasarkan tabel 5.20. diketahui responden yang menggunakan
racun nyamuk bakar dan mengalami ISPA adalah (57,4%) serta
responden yang menggunakan racun nyamuk bakar dan tidak
mengalami ISPA sebanyak 42,6%. Sedangkan responden yang tidak
menggunakan racun nyamuk bakar dan mengalami ISPA sebanyak
57,1% serta responden yang tidak menggunakan racun nyamuk bakar
dan tidak mengalami ISPA 42,9%. Berdasarkan hasil uji chi square
91
didapatkan nilai pvalue 1,000 (pvalue > 0,05). Sehingga dapat
disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara racun
nyamuk bakar dengan gejala ISPA pada balita di desa tamansari tahun
2013.
Penggunaan racun nyamuk bakar dapat menyababkan iritan dan
gangguan saluran pernapasan karena Menurut Widodo (2007) racun
nyamuk bakar mengandung insektisida yang disebut d-aletrin 0,25%.
Apabila dibakar akan mengeluarkan asap yang mengandung d-aletrin
sebagai zat yang dapat mengusir nyamuk, tetapi jika ruangan tertutup
tanpa ventilasi maka orang di dalamnya akan keracunan d-aletrin.
Selain itu, yang dihasilkan dari pembakaran juga CO dan CO2 serta
partikulat-partikulat.
Dalam penelitian ini menunjukan bahwa penggunaan racun
nyamuk bakar untuk mengendalikan nyamuk dari dalam rumah, disisi
lain racun nyamuk dapat menjadi sumber pencemaran udara dalam
rumah, disebabkan racun nyamuk bakar mengandung bahan CO, SO2,
serta partikulat yang dapat menimbulkan batuk, iritasi hidung dan
tenggorokan.
Hasil perhitungan analisis bivariat diperoleh bahwa tidak
terdapat hubungan yang signifikan antara racun nyamuk bakar dengan
gejala ISPA pada balita. Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian
Lina (2012) yang menyatakan bahwa ada hubungan yang bemakna
antara racun nyamuk bakar dengan kejadian ISPA pada balita.
92
Tidak adanya hubungan antara racun nyamuk bakar dengan
gejala ISPA pada balita, hal ini diduga saat melakukan wawancara
hanya menanyakan apakah ibu menggunakan racun nyamuk bakar akan
tetapi penempatan racun nyamuk bakar tidak langsung kontak dengan
balita.
Meskipun dari uji statistik tidak terdapat hubungan secara
bermakna tetapi sesuai dengan teori dan penelitian-penelitian terdahulu
bahwa asap racun nyamuk bakar berisiko terhadap kesehatan manusia
khusunya pada balita yang daya tahan tubuhnya masih rendah.
Untuk itu perlu dilakukan penyuluhan dan memberikan
pengetahuan kepada masyarakat tentang bahaya penggunaan racun
nyamuk bakar sebagai pengendali nyamuk. Untuk itu masyarakat agar
dapat mengurangi pemakaian racun nyamuk bakar atau bahkan tidak
menggunakannya lagi dan dapat menggunakan kelambu sebagai
pelindung dari gigitan nyamuk serta membiasakan hidup bersih dan
sehat seperti melaksanakan 3M.
7. Analisis Hubungan Kebiasaan Merokok dengan Gejala ISPA pada
Balita
Pada penelitian ini terkait penelitian kebiasaan merokok anggota
keluarga ditanyakan kepada responden. Adapun hasil yang diperoleh
yaitu anggota keluarga yang terbiasa merokok sebanyak 79,4%
sedangkan yang anggota keluarga yang tidak merokok sebanyak 20,6%.
93
Berdasarkan tabel 5.21 diketahui balita yang anggota
keluarganya merokok dan menderita ISPA adalah 59,3% serta balita
yang anggota keluarganya merokok dan tidak mengalami ISPA adalah
40,7%. Sedangkan balita yang anggota keluarganya tidak merokok dan
mengalami ISPA sebanyak 50,0% serta balita yang anggota
keluarganya tidak merokok dan tidak mengalami ISPA sebanyak 50,0%.
Berdasarkan hasil uji chi square didapatkan nilai pvalue 0,559 (pvalue
> 0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang
signifikan antara kebiasaan merokok anggota keluarga balita dengan
gejala ISPA pada balita di 5 posyandu desa tamansari tahun 2013.
Menurut Kusnoputranto (2000) Asap rokok merupakan salah
satu bahan pencemar dalam ruang. Selain meningkatkan terjadinya
suatu penyakit, adanya asap rokok akan menambah adanya bahan
pencemar di dalam ruangan, serta menambah risiko kesakitan dari
bahan toksik lain.
Gangguan pernapasan ini lebih mudah terjadi pada balita yang
lebih rentan terhadap efek polutan. Selain itu keberadaan balita yang
lebih lama di dalam rumah juga menyebabkan dosis pencemar yang
diterima akan lebih tinggi (balita terpapar lebih lama). Bila balita
menghirup udara yang tercampur partikulat dari asap rokok maka
dimungkinkan terjadi iritasi pada saluran pernapasa, selanjutnya akan
mudah terinfeksi. Lingkungan dalam rumah dan tempat kerja adalah
94
tempat terbanyak terjadi pemaparan oleh rokok. Pemaparan asap rokok
akan meningkatkan penyakit jantung dan infeksi saluran pernafasan
pada anak (Sarwanto, 2004).
Hasil perhitungan analisis bivariat diperoleh bahwa tidak
terdapat hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok dengan
gejala ISPA pada balita. Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Winarni (2009) yang mengatakan bahwa adanya
perokok dalam rumah mengakibatkan risiko balita untuk mengalami
ISPA 3,60 kali dibandingkan dengan tidak adanya perokok dalam
rumah.
Tidak adanya hubungan anatara kebiasaan merokok dengan
gejala ISPA pada balita, hal ini diduga saat melakukan wawancara
hanya menanyakan merokok atau tidak sedangkan jumlah batang rokok
yang dihisap tidak ditanyakan ditambah lagi balita jarang kontak
dengan anggota keluarga yang merokok.
Meskipun berdasarkan uji statistik tidak terdapat hubungan yang
bermakna antara kebiasaan merokok dengan kejadian ISPA, namun
tetap dilakukan upaya-upaya untuk mengurangi pencemaran asap rokok
dalam rumah karena menurut teori dan penelitia-penelitian terhadulu
menjelaskan bahwa balita dengan anggota keluarga yang terbiasa
merokok dalam rumah berisiko terhadap kesehatan terutama bagi anak
balita maka perlu dihindari kontak antara perokok dengan balita.
95
Sehubungan dengan hal tersebut maka perlu dilakukan upaya-upaya
penyuluhan sebagai berikut:
a. Memberikan pengetahuan dan kesadaran masyarakat mengenai ISPA
dan penularannya, sehingga masyarakat mengetahui cara-cara
mencegah penularan ISPA seperti:
- Tidak merokok didalam rumah dan tidak berdekatan dengan
balita
- Membeikan pengetahuan kepada anggota keluarga tentang bahaya
merokok dan dianjurkan untuk berhenti merokok
- Mengurangi emisi doplet saat penderita ISPA batuk atau bersi,
seperti menutup mulut dan hidung dengan tangan atau tisu
- Mencuci tangan segera setelah kontak dengan sekresi pernafasan
- Penderita ISPA dalam rumah segera berobat agar tidak menjadi
sumber penular dalam rumah.
b. Puskesmas melakukan supervisi dan memberikan bimbingan tentang
ISPA pencegahan dan perawatannya kepada ibu-ibu khususnya yang
mempunyai balita.
8. Analisis Hubungan Bahan Bakar Masak dengan Gejala ISPA pada
Balita
Pada penelitian ini, variabel bahan bakar memasak
dikelompokkan menjadi dua yaitu pamakaian kayu atau minyak dan
pemakaian gas sebagai bahan bakar memasak. Adapaun hasil yang
96
diperoleh yaitu responden yang memakai kayu atau minyak sebagai
bahan bakar memasak sebanyak 14,7% sedangkan yang memakai gas
sebagai bahan bakar memasak sebanyak 85,3%.
Berdasarkan tabel 5.22. diketahui responden yang memakai
bahan bakar memasak menggunakan kayu atau minyak dan mengalami
ISPA sebanyak 60,0% serta responden yang memakai bahan bakar
memasak menggunakan kayu atau minyak dan tidak mengalami ISPA
sebanyak 40,0% sedangkan responden yang memakai bahan bakar
memasak menggunakan gas dan mengalami ISPA sebanyak 56,9%
serta responden yang memakai bahan bakar memasak menggunakan
gas dan tidak mengalami ISPA sebanyak 43,1%. Berdasarkan hasil uji
chi square didapatkan nilai pvalue 1,000 (pvalue > 0,05). Sehingga
dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara
bahan bakar masak dengan gejala ISPA pada balita di desa tamansari
tahun 2013.
Menurut Soemirat (2000) pembakaran minyak tanah dan kayu
bakar menghasilkan polutan dalam bentuk debu (partikel) juga
menghasilkan zat pencemar kimia berupa karbonoksida, oksidasulfur,
oksidaoksigen dan hidrokarbon. Semua zat kimia diatas memberikan
dampak pada gangguan saluran pernapasan.
Hasil perhitungan analisis bivariat diperoleh bahwa tidak
terdapat hubungan yang signifikan antara bahan bakar memasak dengan
gejala ISPA pada balita. Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian
97
Castanea (2012) yang menyatakan bahwa balita yang tinggal di dalam
rumah yang menggunakan bahan bakar minyak tanah atau kayu
berpeluang menderita ISPA sebanyak 2,235 kali lebih banyak
dibandingkan dengan balita yang tinggal dalam rumah yang
menggunakan bahan bakar gas untuk memasak.
Tidak adanya hubungan antara bahan bakar memasak dengan
gejala ISPA pada balita, hal ini diduga karena jumlah responden yang
menggunakan minyak tanah atau kayu bakar jumlahnya sedikit hal ini
disebabkan masyarakat sudah beralih menggunakan gas ukuran 3
kilogram yang disosialisasikan kepada masyarakat oleh pemerintah dan
semakin langkanya ketersediaan bahan bakar minyak tanah.
Meskipun dari uji statistik tidak terdapat hubungan bermakna
antara bahan bakar masak dengan kejadian ISPA pada balita, namun
teori membuktikan bahwa asap yang dikelaurkan dari pembakaran
mengandung banyak gas pencemar dan partikel-partikel yang berisiko
terhadap kesehatan manusia khususnya balita. Dengan demikian tetap
dilakukan upaya-upaya untuk mengurangi kadar partikulat di dalam
rumah dengan cara mengganti bahan bakar memasak dengan yang tidak
menimbulkan pencemaran udara dalam rumah atau sisa pembakarannya
dapat keluar dari dalam rumah melalui ventilasi ruangan sehingga
bahan pencemar dapur dapat lebih banyak keluar dan terdispersi dengan
udara luar (ambien).
98
9. Analisis Hubungan antara Luas Ventilasi dengan Gejala ISPA
pada Balita
Pada penelitian ini, variabel luas ventilasi merupakan ukuran
luas perbandingan antara kamar dengan ventilasi. Adapaun hasil yang
diperoleh yaitu luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat sebanyak
64,7% sedangkan luas ventilasi kamar yang memenuhi syarat sebanyak
35,3%.
Berdasarkan tabel 5.23. diketahui balita yang luas ventilasi
kamar tidak memenuhi syarat dan mengalami ISPA adalah 59,1% serta
luas ventilasi kamar tidak memenuhi syarat dan tidak mengalami ISPA
sebanyak 40,9% sedangkan luas ventilasi kamar yang memenuhi syarat
dan mengalami ISPA sebanyak 54,2% serta luas ventiasi kamar yang
memenuhi syarat dan tidak mengalami ISPA sebanyak 45,8%.
Berdasarkan hasil uji chi square didapatkan nilai pvalue 0,799 (pvalue
> 0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang
signifikan antara luas ventilasi dengan gejala ISPA pada balita di desa
tamansari tahun 2013.
Menurut Tulus (2008) pengaruh buruknya ventilasi adalah
kurangnya kadar O2 dan bertambahnya kadar CO2, adanya pengap, suhu
udara ruangan naik dan kelembapan udara ruangan bertambah. Efek
dari pencemaran udara ini dapat menyebabkan terjadinya kesulitan
bernafas, sehingga benda asing termasuk virus, bakteri dan
99
mikroorganisme lainya tidak dapat dikeluarkan dari saluran pernafasan.
Hal inilah yang akan memudahkan terjadinya penularan penyakit ISPA.
Luas ventilasi rumah yang tidak memenuhi syarat disebabkan
karena tipe rumah yang keci karena kepemilikan tanah yang sempit.
Ditambah lagi ada sebagian rumah yang tidak memiliki ventilasi
dikarenakan rumah responden berdekatan dengan pembakaran batu
kapur, sehingga masyarakat tidak membuat ventilasi karena debu akan
mudah masuk kedalam kamar. Ventilasi rumah lebih banyak hanya di
rumah bagian depan. Sementara pada bagian kamar tidak dibuatkan
ventilasi.
Hasil perhitungan analisis bivariat diperoleh bahwa tidak
terdapat hubungan yang signifikan antara luas ventilasi dengan gejala
ISPA pada balita. Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian
Nuryanto (2012) yang menyatakan ada hubungan yang bermakna antara
luas ventilasi dengan kejadian ISPA pada balita.
Walaupun pada penelitian ini tidak terdapat hubungan antara
luas ventilasi dengan gejala ISPA pada balita, namun dirasa penting
agar responden membuat ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan
yaitu 10% luas lantai kamar. Luas ventilasi rumah yang berfungsi untuk
mengatur udara, karena kondisi dinding rumah dapat memberikan
kontribusi terciptanya kelembaban dan temperatur yang memungkinkan
suatu bibit penyakit akan mati atau berkembangbiak. Luas ventilasi
rumah selain bermanfaat untuk sirkulasi udara tempat masuknya cahaya
100
juga mengurangi kelembaban dalam ruangan. Kelembaban tinggi dapat
disebabkan karena uap air dari keringat manusia maupun pernapasan.
Kelembaban dalam ruang tertutup dimana banyak terdapat manusia di
dalamnya lebih tinggi kelembaban dibanding diluar ruang. Hal ini
semakin membahayakan kesehatan manusia.
10. Analisis Hubungan antara Kepadatan Hunian dengan Gejala ISPA
pada Balita
Pada penelitian ini, variabel kepadatan hunian merupakan
perbandingan luas kamar dengan jumlah anggota keluarga yang tidur
dalam satu kamar. Adapun hasil yang diperoleh yaitu didapatkan
kepadatan hunian yang memenuhi syarat sebanyak 80,9 % sedangkan
kepadatan hunian tidak memenuhi syarat sebanyak 19,1%.
Berdasarkan tabel 5.24. diketahui kepadatan hunian balita yang
lebih dari 2 orang dan mengalami ISPA adalah 50,9% serta kepadatan
hunian yang lebih dari 2 orang dan tidak mengalami ISPA sebanyak
49,1%. Sedangkan kepadatan hunian yang tidak lebih dari 2 orang dan
mengalami ISPA sebanyka 84,6% serta kepadatan hunian yang tidak
lebih dari 2 orang dan tidak mengalami ISPA sebanyak 15,4%.
Berdasarkan hasil uji chi square didapatkan nilai pvalue 0,032 (pvalue
< 0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara kepadatan hunian dengan gejala ISPA pada balita di
desa tamansari tahun 2013.
101
Menurut Notoatmojo (2003) kondisi kepadatan hunian sangat
penting terutama menyangkut dengan penularan penyakit infeksi antar
individu. Gangguan pernapasan yang disebabkan oleh virus, biasanya
disebarkan antar penghuni dan dihantarkan melalui udara, dalam
kondisi dimana rumah dihuni oleh lebih dari batas hunian yang
dipersyaratkan maka disamping mengakibatkan kurangnya konsumsi
oksigen juga apabila salah satu anggota keluarga menderita penyakit
infeksi, akan mudah menularkan kepada anggota yang lain.
Jumlah kamar tidur dan pengaturannya disesuaikan dengan
umur dan jenis kelamin. Ukuran kamar tidur anak yang berumur lebih
kurang 5 tahun minimal 4,5 m2
dan yang lebih dari 5 tahun minimal 9
m2. Kepadatan hunia ditentukan dengan jumlah kamar tidur dibagi
jumlah penghuni.
Hasil perhitungan analisis bivariat diperboleh bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara kepadatan hunian dengan gejala ISPA
pada balita. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Nuryanto (2012)
yang mengatakan bahwa anak yang tinggal di rumah yang padat (<10
m2/orang) akan mendapatkan risiko mengalami ISPA sebesar 3,09 kali
dibandingkan dengan anak yang tinggal di rumah yang tidak padat
penghuninya. Namun hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian
Listyowati (2013) dan penelitian Angelina (2011) yang menyatakan
bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kepadatan hunian
rumah dengan kejadian ISPA atau Pneumonia pada balita.
102
Terdapatnya hubungan antara kepadatan hunian dengan gejala
ISPA karena 55 responden kepadatan hunian padat penghuni. Tingkat
kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat disebabkan karena luas
rumah yang tidak sebanding dengan jumlah keluarga yang menempati
rumah. Luas rumah yang sempit dengan jumlah anggota keluarga yang
banyak menyebabkan rasio penghuni dengan luas rumah tidak
seimbang. Kepadatan ini memungkinkan bakteri maupun virus dapat
menular melalui pernapasan dari penghuni rumah yang satu ke
penghuni yang lainnya.
Rumah yang padat penghuni akan menyebabkan sirkulasi udara
dalam ruangan rumah tidak sesuai dengan kata lain pergerakan udara
dalam ruangan tersebut akan terhambat mengakibatkan terjadinya
kepengapan, apalagi diperparah dengan ventilasi yang tidak memenuhi
syarat baik ukuran maupun letaknya akan semakin menyebabkan
terjadinya pencemaran udara di dalam ruang. Sehingga mempermudah
penularan penyakit berbasis lingkungan yang salah satunya adalah
ISPA yang ditularkan melalui transmisi udara.
Semakin padat maka perpindahan penyakit khususnya penyakit
melalui udara akan semakin mudah dan cepat, oleh karena itu
kepadatan hunian dalam tempat tinggal merupakan variabel yang
berperan dalam kejadian ISPA pada balita. Lingkungan fisik rumah
yang tidak memenuhi syarat kesehatan merupakan salah satu faktor
103
risiko terjadinya ISPA pada balita yang tinggal didalamnya, untuk itu
perlu dilakukan upaya pencegahan agar kejadian ISPA tidak tinggi.
104
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap 68 responden di 5
posyandu desa Tamansari, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Gambaran balita di Desa Tamansari yang mengalami gejala ISPA
ada 39 balita (57,4%), sedangkan balita yang tidak mengalami
gejala ISPA ada 29 balita (42,6%).
2. Rata-rata PM10 didalam kamar balita sebesar 162,50 µg/m3 dengan
standar deviasi 134,202, nilai minimum 41 µg/m3 dan nilai
maximum 628 µg/m3. Artinya rata-rata konsentrasi PM10 dalam
kamar balita melebihi nilai ambang batas yang ditentukan WHO
yaitu sebesar 70 µg/m3.
3. Rata-rata suhu didalam kamar balita sebesar 28,66 0C dengan
standar deviasi 1,841 dengan nilai minimum 25 0C dan nilai
maximum 33 0C. Artinya tingkat suhu kamar balita di Desa
Tamansari memenuhi persyaratan yang telah ditentukan Depkes RI.
4. Rata-rata kelembaban kamar balita sebesar 86,12% dengan standar
deviasi 11,230 dengan nilai minimum 58% dan nilai maximum
99%.
5. Frekuensi status gizi balita adalah 10,3% balita di Desa Tamansari
mengalami gizi kurang dan 89,7% balita mengalami gizi baik.
105
6. Frekuensi status imunisasi adalah 11,8% balita di Desa Tamansari
tidak mendapatkan imunisasi lengkap dan 88,2% balita
mendapatkan imunisasi lengkap.
7. Frekuensi memakai racun nyamuk bakar adalah 89,7% responden
di Desa Tamansari menggunakan racun nyamuk bakar sebagai
pembasmi nyamuk dan 10,3% tidak menggunakan racun nyamuk
bakar.
8. Frekuensi kebiasaan merokok adalah 79,4% anggota keluarga
balita di Desa Tamansari terbiasa merokok didalam rumah dan
20,6% anggota keluarga balita tidak merokok.
9. Frekuensi bahan bakar memasak adalah 14,7% keluarga balita di
Desa Tamansari menggunakan kayu bakar sebagai bahan bakar
memasak dan 85,3% menggunakan gas sebagai bahan bakar
memasak.
10. Frekuensi luas ventilasi adalah 64,7% luas ventilasi kamar balita di
desa tamansari tidak memenuhi syarat dan 35,3% luas ventilasi
kamar balita di Desa Tamansari memenuhi syarat yang telah
ditentukan.
11. Frekuensi kepadatan hunian adalah 80,9% kamar balita di Desa
Tamansari padat penghuni dan 19,1% kamar balita sesuai dengan
persyaratan.
12. Faktor yang berhubungan dengan gejala ISPA pada balita di 5
posyandu Desa Tamansari tahun 2013 adalah kepadatan hunian.
106
Adapun faktor-faktor yang tidak berhubungan dengan gejala ISPA
pada balita di 5 posyandu Desa Tamansari tahun 2013 adalah status
gizi, status imunisasi, PM10, suhu, kelembaban, racun nyamuk,
kebiasaan merokok, bahan bakar memasak, dan luas ventilasi.
B. Saran
Berdasarkan simpulan di atas, maka dalam penelitian ini peneliti
memberikan saran sebagai berikut :
1. Bagi (Responden) Ibu Balita
a. Diharapkan anggota keluarga tidak merokok didalam rumah,
membuat ventilasi sesuai dengan syarat dan ketentuan
kesehatan.
b. Diharapkan ibu pengasuh selalu memperhatikan kebersihan
balitanya dan selalu membawa balitanya ke posyandu.
c. Diharapkan kepada anggota keluarga saat tidur bersama balita
tidak lebih dari 2 orang saja yang berada di dalam kamar.
2. Bagi Puskesmas Desa Tamansari
a. Pihak puskesmas mengadakan posyandu sesuai dengan jadwal
yang telah ditentukan, selain itu pada setiap posyandu
diharapkan adanya pemberian makanan pendamping asi seperti
biskuit, bubur kacang hijau dan lain sebagainya. Agar ibu dan
balita menjadi semangat untuk mengikuti posyandu.
107
b. Pihak puskesmas diharapkan memberikan pelatihan dalam
upaya promosi kesehatan kepada masyarakat.
c. Meningkatkan kerjasama lintas sektor seperti kelurahan, tokoh
masyarakat, karang taruna, dalam upaya promosi kesehatan
kepada masyarakat untuk meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat setempat.
3. Bagi Peneliti Lain
a. Peneliti lain melakukan penelitian lebih lanjut mengenai ISPA
pada balita dapat dilakukan secara medis untuk memperoleh
data yang objektif.
b. Peneliti lain sebaiknya melakukan penelitian kualitatif untuk
menggali lebih dalam permasalahan yang menyebabkan ISPA
pada balita.
DAFTAR PUSTAKA
Ariawan, I. (1998). Besar Dan Metode Pada Sampel Peneilitan Kesehatan.
Jurusan Biostatistik dan Kependudukan Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia.
Alsagaff, H, Abdul, M. (2008). Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya:
Airlangga University Press.
Depkes RI. (2000). Informasi tentang ISPA pada Anak Balita. Jakarta: Pusat
Penyuluhan Kesehatan Masyarakat.
Departemen Kesehatan RI, (2002). Pedoman Pemberantasan Penyakit Infeksi
Saluran Pernafasan Akut Untuk Penanggulangan Pneumonia
Pada Balita: Jakarta.
Dewi, AC. (2011). Hubungan Kondisi Lingkungan Fisik Rumah Dengan
Kejadian ISPA Pada Balita Diwilayah Kerja Puskesmas
Gayamsari Kota Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat. FKM
UNDIP. 2012.
Dewi, CC (2012). Hubungan Kondisi Fisik Lingkungan Rumah dan Perilaku
Orang Tua dengan Kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja
puskesmas Kedungmundu Kecamatan Tembalang Kota Semarang.
Jurnal Kesehatan Masyarakat. Volume 1, nomer 2, tahun 2012.
FKM UNDIP.
Ernawati dan Farich, A. (2012). Hubungan Faktor Lingkungan Rumah Dan
Faktor Anak Dengan Kejadian ISPA Pada Anak Balita Di Desa
Way Huwi Puskesmas Karang Anyar Kecamatan Lampung
Selatan Tahun 2012.
Fardiaz, S. Polusi air dan Udara. Yogyakarta : Kanisius edisi ke lima belas
2012.
Gertrudis, T. (2010). Hubungan Antara Kadar Partikulat PM 10 Udara
Dalam Rumah Tinggal Dengan Kejadian ISPA Disekitar Pabrik
Semen PT Indocement Citeurep. Tesis, FKM UI.
Handayani, Y. (2010). Gambaran Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang Penyakit
Ispa Pneumonia Pada Balita Di Puskesmas Bangetayu Kota
Semarang, Karya tulis ilmiah.
Isnaini, M. Dan Misrawati (2012). Pengaruh Kebiasaan Merokok Keluarga
Di Dalam Rumah Terhadap Kejadian ISPA Pada Balita. Jurnal.
Karim, L. (2012). Hubungan sanitasi rumah dengan kejadian ISPA pada
balita diwilayah kerja puskesmas Marisa kecamatan marisa
Kabupaten Pohuwatu tahun 2012.
Laporan Tahunan. (2012). Laporan tahunan Puskesmas Pangkalan,
Kabupaten karawang.
Lindawaty. (2010). Partikulat (Pm10) Udara Rumah Tinggal Yang
Mempengaruhi Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (Ispa)
Pada Balita (Penelitian Di Kecamatan Mampang Prapatan,
Jakarta Selatan Tahun 2009-2010.Tesis, FKM UI.
Listyowati. (2013). Hubungan Kondisi Lingkungan Fisik Rumah Dengan
Kejadian Pneumonia Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas
Tegal Barat Kota Tegal.Jurnal Kesehatan Masyarakat 2013,
Volume 2, Nomor 1, FKM UNDIP.
Mairuhu, V. (2011). Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian ISPA Pada
Balita Di Pulau Barrang Lompo Kecamatan Ujung Tanah Kota
Makkasar.
Nindya, T, S dan Lilis, S. (2005). Hubungan Sanitasi Rumah Dengan
Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (Ispa) Pada Anak
Balita. Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol.2, No.1, Juli: 43 – 52,
FKM, Universitas Airlangga.
Nur, H. (2004). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Infeksi
Saluran Pernafasan (ISPA) Pada Balita Dikelurahan Pasienan
Tigo Kecamatan Koko Tengah Kota Padang. Skripsi. FKM
UNSU.
Nuryanto (2012). Hubungan Status Gizi Terhadap Terjadinya Penyakit
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Pada Balita. Jurnal
pembangunan manusia. Vol 6. No 2.
Notoatmodjo, S. (2010). Metodologi penelitian Kesehatan. Jakarta : PT
Rineka Cipta. Edisi pertama Notoatmodjo, S. 2003. Ilmu
Kesehatan Masyarakat, Jakarta :PT. Rineka Cipta.
Oktavia, D, dkk. (2010). Hubungan Kondisi Fisik Rumah Dan Prilaku
Keluarga Terhadap Kejadian ISPA Pada Balita Di Kelurahan
Cambai Kota Prabumulih Tahun 2010. Jurnal
.
Padmonobo,H dkk. (2010). Hubungan Faktor-Faktor Lingkungan Fisik
Rumah Dengan Kejadian Pneumonia Pada Balita Di Wilayah
Kerja Puskesmas Jatibarang Kabupaten Brebes. Jurnal kesehatan
lingkungan tahun 2012.
Pangestika,YR dan Pawenang, ET. (2010). Hubungan Kondisi Lingkungan
Terhadap Kejadian ISPA Pada Balita Keluarga Pembuat Gula
Aren. Jurnal. Kesehatan lingkungan 2010.
Permatasari, C. (2009). Faktor risiko kejadian ISPA ringan pada balita
dikelurahan Rangkapan Jaya Baru kota Depok 2008. Tesis
universitas Diponegoro semarang 2008.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1077/Menkes/Per/V/2011. Tentang Pedoman Penyehatan Udara
Dalam Ruang Rumah.
Pramudiani, NA, dan Prameswari, GH. (2011). Hubungan Antara Sanitasi
Rumah Dan Prilaku Dengan Kejadian Pneumonia Pada Balita.
Jurnal kesehatan Masyarakat tahun 2011.
Putro, D. (2008). Hubungan Antara Pengetahuan Dan Sikap Orang Tua
Dengan Uapaya Pencegah Kekambuhan ISPA Pada Anak Di
Wilayah Kerja Puskesmas Purwantoro. Skripsi. Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Rerung, R (2012). Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian ISPA Pada
Balita Di Lembang Batu Sura Tahun 2012. Jurnal.
Sastroasmoro, S dan Ismail, S. (2010). Dasar-dasar metodologi penelitian
klinis. Jakarta : Sagung Seto. Edisi ke 3.
Safitri, A, D dan Soedjajadi, K. (2007). Hubungan Tingkat Kesehatan Rumah
Dengan Kejadian Ispa Pada Anak Balita Di Desa Labuhan
Kecamatan Labuhan Badas Kabupaten Sumbawa. Jurnal
Kesehatan Lingkungan, Vol.3, No.2, hl: 139 – 150.
Sugiharto dan Nurjazuli. (2012). Analisis faktor risiko kejadian Pneumonia
pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sidorejo Kota Pagar
Alam. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia.
Sukana, B dan Mardiana. (2011). Kejadian Ispa Dengan Curah Hujan Dan
Kualitas Udara (Pm 10) Dikabupaten Kapuas, Provinsi
Kalimantan Tengah. Jurnal ekologi kesehatan vol. 10 no 3, hl :
195-207.
Sukar, A, et all. (1996). Pengaruh Kualitas Lingkungan Dalam Ruang
(Indoor) Terhadap Penyakit Ispa-Pnemonia Di Indramayu, Jawa
Barat. Penelitian Puslit Ekologi kesehatan, Jurnal.
Sulistyoningsih, H dan Rustandi, R (2010). Faktor-Faktor Yang
Berhubungan Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Di Wilayah
Kerja Puskesmas Dtp Jamanis Kabupaten Tasikmalaya Tahun
2010. Jurnal, FKM UNSIL.
Sumargo, J. (1989). Faktor Risiko Yang Mempengaruhi Terjadinya ISPA
Pada Balita Di Kelurahan Kepala Dua Wetan Kecamatan Pasar
Rebo Jakarta Timur. Tesis. Universitas Indonesia.
Suyatno. (2010). Menghitung Besar Sampel Penelitian Kesehatan
Masyarakat.FKM UNDIP.
Yulaekah, S (2007). Paparan Debu Terhirup Dan Gangguan Fungsi Paru
Pada Pekerja Industri Batu Kapur (Studi Di Desa Mrisi
Kecamatan Tanggungharjo Kabupaten Grobogan). Tesis.
Yulianti, L dkk (2011). Faktor-faktor lingkungan fisik rumah yang
berhubungan dengan kejadian Pneumonia pada balita diwilayah
kerja puskesmas pangandaran kabupaten Ciamis. Jurnal
kesehatan lingkungan Indonesia tahun 2012.
Yusup, N A dan Sulistyorini (2004). Hubungan Sanitasi Rumah Secara Fisik
Dengan Kejadian ISPA Pada Balita Tahun 2004.
Yuwono, T. (2008). Faktor-Faktor Lingkungan Fisik Rumah Yang
Berhubungan Dengan Pneumonia Pada Anak Balita Di Wilayah
Kerja Puskesmas Kawungaten Kabupaten Cilacap Tahun 2008.
Tesis, Universitas Diponegoro Semarang 2008.
Wahyuni, R (2010). Hubungan Faktor Lingkungan Dan Faktor Perilaku
Keluarga Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Di Puskesmas
Ambacang Kecamatan Kuranji Padang. Penelitian keperawatan
komunitas.
Wahyu, R (2011). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian ISPA
Bagian Atas Pada Baduta Di Desa Ngrundul Kecamatan
Kebonarum Kabupaten Klaten. Jurnal Vol.4 no.1 juli 2011:101-
110.
Wardhani, E. (2010). Hubungan Faktor Lingkungan, Sosial-Ekonomi, Dan
Pengetahuan Ibu Dengan Kejadian Insfeksi Saluran Pernapasan
Akut (ISPA) Pada Balita Di Kelurahan Cicadas Kota Bandung.
Jurusan Teknik Lingkungan Institut Teknologi Nasional Bandung.
Winarni, dkk. (2009). Hubungan Antara Perilaku Merokok Orang Tua Dan
Anggota Keluarga Yang Tinggal Dalam Satu Rumah Dengan
Kejadian ISPA Pada Balita Diwilayah Kerja Puskesmas Sempor
II Kabupaten Kebumen Tahun 2009. Jurnal Ilmiah Kesehatan
Perawat, volume 6 no. 1, Febuari 2010.
KUISIONER PENELITIAN
Saya Rudianto, Mahasiswa Kesehatan Masyarakat, Peminatan Kesehatan
Lingkungan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, ingin
menyampaikan bahwa saya akan melaksanakan penelitian dengan judul “Faktor-
Faktor yang Berhubungan dengan Gejala ISPA Pada Balita di 5 Posyandu
Desa Tamansari, Kecamatan Pangkalan, Kabupaten Karawang Tahun 2013”,
yang merupakan tugas akhir untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan
Masyarakat. Semua jawaban ibu akan dijamin kerahasiaannya. Atas perhatian dan
kerjasama ibu, saya mengucapkan terima kasih.
Peneliti
Rudianto
Petunjuk pengisisan sebagai berikut :
1. Isilah titik-titik di bawah ini sesuai dengan jawaban atau kondisi responden.
2. Berilah silang ( X ) pada salah satu kolom di lajur kanan, pada pilihan “Ya”
atau “Tidak” sesuai keadaan anda.
LAMPIRAN 1
IDENTITAS RESPONDEN (IBU)
1. Nama :
2. Tanggal Lahir/Umur : :
3. Alamat :
4. Pendidikan :
5.Pekerjaan :
6. No Hp :
IDENTITAS BALITA
Pertanyaan Kode
1 Nama balita : .....................................
A1 ( )
2 Jenis Kelamin : L / P (dilingkari)
A2 ( )
3 Umur : .............................bulan
A3 ( )
4 Berat badan sekarang/tinggi badan saat
ini : .........Kg/.........cm
A4 ( )
5 Apakah berat badan lahir balita > 2500 gram ?
Iya/Tidak
Berat : .........gram
A5 ( )
6 Pernahkah balita ibu berada di bawah garis merah
KMS pada 1 tahun terakhir ?
a. Ya
b. Tidak
A6 ( )
SD/SMP/SMA/lainnya....................
No. Responden :
Tgl wawancara : 2013
FAKTOR LINGKUNGAN RUMAH
1 Apakah ibu terbiasa menggunakan racun nyamuk?
a. Ya
b. Tidak
B1( )
2 Jika ya, racun nyamuk jenis apa yang sering
digunakan?
a. Bakar
b. Semprot
c. Elektrik
B2 ( )
3 Ketika menggunakan racun nyamuk dimana sering
ditempatkan?
a. Kamar Tidur
b. Ruang Keluarga
B3 ( )
4 Jenis bahan bakar apa yang ibu gunakan untuk
memasak?
a. Kayu Bakar
b. Minyak Tanah
c. Gas Elpiji
B4 ( )
5 Apakah ibu sering menggendong anak saat memasak?
a. Iya
b. Tidak
B5 ( )
6 Apakah ada anggota ibu yang biasa merokok?
a. Iya
b. Tidak
B6 ( )
7 Jika iya, dimana sering dia merokok?
a. Di dalam rumah
b. Di luar rumah
B7 ( )
8 Apakah ibu sering membuka jendela setiap pagi?
a. Iya
b. Tidak
B8 ( )
9 Apakah kamar tidur dihuni lebih dari 2 orang ?
a. Ya
b. Tidak
B9 ( )
KEJADIAN PENYAKIT ISPA PADA BALITA
1 Apakah anak ibu pernah mengalami sakit batuk
pilek/demam pada kurun waktu 1 tahun terakhir?
a. Ya
b. Tidak
C 1 ( )
2 Apakah kejadian sakit batuk/pilek tersebut lebih dari
14 hari ?
a. Ya
b. Tidak
C2 ( )
3 Apakah dalam dua minggu terakhir ini anak ibu
mengalami tanda-tanda klinis seperti batuk-batuk atau
pilek, disertai demam?
a. Iya
b. Tidak
C3 ( )
4 Apakah ibu pernah berobat ke dokter?
a. Iya
b. Tidak
C 4 ( )
5 Apakah status imunisasi balita lengkap (BCG, DPT,
Polio, Campak, dan Hepatitis) ? Ya/Bila Tidak
(sebutkan imunisasi yang diberikan pada balita anda)
Tidak : ................................
C 5 ( )
6 Apakah balita Ibu mendapatkan ASI Eksklusif selama
6 bulan ?
a. Ya
b. Tidak
C6 ( )
PENGUKURAN SANITASI FISIK RUMAH (diisi oleh Peneliti)
No Komponen Hasil Pengukuran
1 PM 10 .............µg/m3
2 Ventilasi Panjang : cm
Lebar : cm
luas : cm2
3 Luas Kamar (m2)
4 Suhu (0C)
5 Kelembapan (%)
LEMBAR OBSERVASI
No Kriteria Cheklist
1 Ventilasi menggunakan kawat penyaring debu.
2 Dipekarangan rumah ada pepohonan.
3 Jarak rumah dipinggir jalan utama.
4 Jarak rumah dengan pembakaran batu kapur.
UNIVARIAT
1. Kejadian ISPA
statusISPA
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid iya 39 57.4 57.4 57.4
tidak 29 42.6 42.6 100.0
Total 68 100.0 100.0
2. Jenis Kelamin
kelaminbalita
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid laki-laki 36 52.9 52.9 52.9
perempuan 32 47.1 47.1 100.0
Total 68 100.0 100.0
3. Status Gizi
Statusgizi
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Kurang 7 10.3 10.3 10.3
Baik 61 89.7 89.7 100.0
Total 68 100.0 100.0
4. Status Imunisasi
statusimunisasi
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid tidak lengkap 8 11.8 11.8 11.8
lengkap 60 88.2 88.2 100.0
Total 68 100.0 100.0
LAMPIRAN 2
5. Pendidikan Ibu
pendidikanibu
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid rendah sd,smp 59 86.8 86.8 86.8
tinggi sma,d3,s1 9 13.2 13.2 100.0
Total 68 100.0 100.0
6. Numerik (Umur, PM10, Suhu dan Kelembaban)
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
Umurbalita 68 2 59 21.68 14.053
PM10 68 41 628 162.50 134.202
Suhu 68 25 33 28.66 1.841
Kelembapan 68 58 99 86.12 11.230
Valid N (listwise) 68
7. Racun Nyamuk
Racunnyamuk
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid iya 61 89.7 89.7 89.7
tidak 7 10.3 10.3 100.0
Total 68 100.0 100.0
8. Kebiasaan Merokok
Merokok
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Ada 54 79.4 79.4 79.4
tidak ada 14 20.6 20.6 100.0
Total 68 100.0 100.0
9. Bahan Bakar Masak
Bahanbakarmasak
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid kayu,minyak 10 14.7 14.7 14.7
Gas 58 85.3 85.3 100.0
Total 68 100.0 100.0
10. Luas Ventilasi
Ventilasi
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid tms 44 64.7 64.7 64.7
ms 24 35.3 35.3 100.0
Total 68 100.0 100.0
11. Kepadatan Hunian
Kepadatanhubian
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid tidak memenuhi syarat 55 80.9 80.9 80.9
memenuhi syarat 13 19.1 19.1 100.0
Total 68 100.0 100.0
UJI NORMALITAS
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
PM10 kelembapan suhu
N 68 68 68
Normal Parametersa Mean 162.50 86.12 28.66
Std. Deviation 134.202 11.230 1.841
Most Extreme Differences Absolute .263 .184 .148
Positive .263 .126 .148
Negative -.183 -.184 -.076
Kolmogorov-Smirnov Z 2.171 1.519 1.223
Asymp. Sig. (2-tailed) .000 .020 .100
a. Test distribution is Normal.
Mann-Whitney Test
Ranks
statusIS
PA N Mean Rank Sum of Ranks
PM10 iya 39 35.49 1384.00
tidak 29 33.17 962.00
Total 68
kelembapan iya 39 34.26 1336.00
tidak 29 34.83 1010.00
Total 68
Suhu iya 39 35.00 1365.00
tidak 29 33.83 981.00
Total 68
Test Statisticsa
PM10 kelembapan suhu
Mann-Whitney U 527.000 556.000 546.000
Wilcoxon W 962.000 1336.000 981.000
Z -.477 -.118 -.242
Asymp. Sig. (2-tailed) .633 .906 .809
a. Grouping Variable: statusISPA
BIVARIAT
1. Status Gizi dengan gejala ISPA
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
statusgizi * statusISPA 68 100.0% 0 .0% 68 100.0%
statusgizi * statusISPA Crosstabulation
statusISPA
Total iya tidak
statusgizi kurang Count 5 2 7
% within statusgizi 71.4% 28.6% 100.0%
baik Count 34 27 61
% within statusgizi 55.7% 44.3% 100.0%
Total Count 39 29 68
% within statusgizi 57.4% 42.6% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square .632a 1 .427
Continuity Correctionb .153 1 .695
Likelihood Ratio .657 1 .417
Fisher's Exact Test .690 .355
Linear-by-Linear Association .623 1 .430
N of Valid Casesb 68
a. 2 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2,99.
b. Computed only for a 2x2 table
2. Status Imunisasi dengan Kejadian ISPA
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
statusimunisasi * statusISPA 68 100.0% 0 .0% 68 100.0%
statusimunisasi * statusISPA Crosstabulation
statusISPA
Total iya tidak
statusimunisasi tidak lengkap Count 6 2 8
% within statusimunisasi 75.0% 25.0% 100.0%
Lengkap Count 33 27 60
% within statusimunisasi 55.0% 45.0% 100.0%
Total Count 39 29 68
% within statusimunisasi 57.4% 42.6% 100.0%
Chi-Square Tests
Value Df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 1.154a 1 .283
Continuity Correctionb .481 1 .488
Likelihood Ratio 1.218 1 .270
Fisher's Exact Test .451 .248
Linear-by-Linear Association 1.137 1 .286
N of Valid Casesb 68
a. 2 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3,41.
b. Computed only for a 2x2 table
3. Racun Nyamuk dengan Kejadian ISPA
Crosstab
statusISPA
Total iya tidak
racunnyamuk iya Count 35 26 61
% within racunnyamuk 57.4% 42.6% 100.0%
tidak Count 4 3 7
% within racunnyamuk 57.1% 42.9% 100.0%
Total Count 39 29 68
% within racunnyamuk 57.4% 42.6% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square .000a 1 .991
Continuity Correctionb .000 1 1.000
Likelihood Ratio .000 1 .991
Fisher's Exact Test 1.000 .645
Linear-by-Linear Association .000 1 .991
N of Valid Casesb 68
a. 2 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2,99.
b. Computed only for a 2x2 table
4. Kebiasaan Merokok dengan Kejadian ISPA
Crosstab
statusISPA
Total Iya tidak
merokok ada Count 32 22 54
% within merokok 59.3% 40.7% 100.0%
tidak ada Count 7 7 14
% within merokok 50.0% 50.0% 100.0%
Total Count 39 29 68
% within merokok 57.4% 42.6% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square .390a 1 .532
Continuity Correctionb .103 1 .748
Likelihood Ratio .387 1 .534
Fisher's Exact Test .559 .371
Linear-by-Linear Association .384 1 .535
N of Valid Casesb 68
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5,97.
b. Computed only for a 2x2 table
5. Bahan Bakar Masak dengan Kejadian ISPA
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
bahanbakarmasak *
statusISPA 68 100.0% 0 .0% 68 100.0%
bahanbakarmasak * statusISPA Crosstabulation
statusISPA
Total iya tidak
bahanbakarmasak kayu,minyak Count 6 4 10
% within bahanbakarmasak 60.0% 40.0% 100.0%
gas Count 33 25 58
% within bahanbakarmasak 56.9% 43.1% 100.0%
Total Count 39 29 68
% within bahanbakarmasak 57.4% 42.6% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square .034a 1 .855
Continuity Correctionb .000 1 1.000
Likelihood Ratio .034 1 .854
Fisher's Exact Test 1.000 .569
Linear-by-Linear Association .033 1 .856
N of Valid Casesb 68
a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4,26.
b. Computed only for a 2x2 table
6. Luas Ventilasi dengan Kejadian ISPA
Crosstab
statusISPA
Total iya tidak
ventilasi tms Count 26 18 44
% within ventilasi 59.1% 40.9% 100.0%
ms Count 13 11 24
% within ventilasi 54.2% 45.8% 100.0%
Total Count 39 29 68
% within ventilasi 57.4% 42.6% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square .154a 1 .695
Continuity Correctionb .018 1 .892
Likelihood Ratio .154 1 .695
Fisher's Exact Test .799 .445
Linear-by-Linear Association .152 1 .697
N of Valid Casesb 68
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 10,24.
b. Computed only for a 2x2 table
7. Kepadatan Hunian dengan Kejadian ISPA
Crosstab
statusISPA
Total iya tidak
kepadatanhubian tidak memenuhi syarat Count 28 27 55
% within kepadatanhubian 50.9% 49.1% 100.0%
memenuhi syarat Count 11 2 13
% within kepadatanhubian 84.6% 15.4% 100.0%
Total Count 39 29 68
% within kepadatanhubian 57.4% 42.6% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 4.884a 1 .027
Continuity Correctionb 3.603 1 .058
Likelihood Ratio 5.402 1 .020
Fisher's Exact Test .032 .026
Linear-by-Linear Association 4.812 1 .028
N of Valid Casesb 68
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5,54.
b. Computed only for a 2x2 table
DOKUMENTASI PENGUMPULAN DATA PRIMER
Foto Proses Wawancara Dan Pemilihan Sampel
Foto Penimbangan Dan Pengukuran Tinggi Badan Balita
LAMPIRAN 3
Foto Kondisi Rumah Responden
Foto Kondisi Ventilasi rumah
Foto Pengukuran PM10, suhu dan kelembapan