pemilu1

20
PEMILU INDONESIA FAKTA DAN OPTIMISME TERHADAP IDEALITA M. Misbahul Mujib, M.Hum Makalah untuk syarat Calon Anggota KPU Bantul (20 Agustus 2008) PENDAHULUAN Salah satu perwujudan keterlibatan rakyat dalam proses politik adalah pemilihan umum. Pemilu merupakan sarana bagi rakyat untuk ikut menentukan figure dan arah kepemimpinan negara dalam periode waktu tertentu. Ide demokrasi yang menyebutkan bahwa dasar penyelenggaraan negara adalah kehendak rakyat merupakan dasar bagi penyelenggaraan pemilu. Maka ketika demokrasi mendapatkan perhatian yang luas dari masyarakat dunia, penyelenggaraan pemilu yang demokratis menjadi syarat penting dalam pembentukan kepemimpinan sebuah negara. Pemilu memiliki fungsi utama dalam hal sirkulasi elit yang teratur dan berkesinambungan. Sebuah kepemimpinan yang lama tanpa dibatasi periode tertentu, dapat menjurus pada pada kepemimpinan yang korup dan 1

Upload: putra-data

Post on 12-Nov-2015

213 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

pemilu 1955

TRANSCRIPT

Lengsernya soeharto dari kursi kepresidenan pada 21 Mei 1998 menjadi catatan sejarah penting dalam perjalanan Indonesia

PEMILU INDONESIA

FAKTA DAN OPTIMISME TERHADAP IDEALITAM. Misbahul Mujib, M.HumMakalah untuk syarat Calon Anggota KPU Bantul (20 Agustus 2008)PENDAHULUANSalah satu perwujudan keterlibatan rakyat dalam proses politik adalah pemilihan umum. Pemilu merupakan sarana bagi rakyat untuk ikut menentukan figure dan arah kepemimpinan negara dalam periode waktu tertentu. Ide demokrasi yang menyebutkan bahwa dasar penyelenggaraan negara adalah kehendak rakyat merupakan dasar bagi penyelenggaraan pemilu. Maka ketika demokrasi mendapatkan perhatian yang luas dari masyarakat dunia, penyelenggaraan pemilu yang demokratis menjadi syarat penting dalam pembentukan kepemimpinan sebuah negara.Pemilu memiliki fungsi utama dalam hal sirkulasi elit yang teratur dan berkesinambungan. Sebuah kepemimpinan yang lama tanpa dibatasi periode tertentu, dapat menjurus pada pada kepemimpinan yang korup dan sewenang wenang. Banyak contoh dalam sejarah dunia yang memperlihatkan betapa kekuasaan yang absolut, tanpa pergantian elit yang teratur dan berkesinambungan, mengakibatkan daya kontrol melemah dan kekuasaan menjadi korup dan sewenang-wenang.

Tetapi pemilu yang teratur dan berkesinambungan saja tidak cukup untuk menghasilkan kepemimpinan yang benar-benar mendekati kehendak rakyat. Pemilu merupakan sarana legitimasi bagi sebuah kekuasaan. Setiap penguasa, betapapun otoriternya pasti membutuhkan dukungan rakyat secara formal untuk melegitimasi kekuasaannya. Maka pemilu sering kali dijadikan alat untuk pelegitimasian kekuasaan semata. Cara termudah yang dilakukan adalah mengatur sedemikian rupa teknis penyelenggaraan pemilu agar hasil dari pemilu memberi kemenangan mutlak bagi sang penguasa dan partai politiknya. Pemilu merupakan icon demokrasi yang dapat dengan mudah diselewengkan oleh penguasa otoriter untuk kepentingan melanggengkan kekuasaannya. Maka selain teratur dan berkesinambungan, masalah system atau mekanisme dalam penyelenggaraan pemilu adalah hal penting yang harus diperhatikan.Sebuah pemilu yang demokratis memiliki beberapa persyaratan. Pertama, pemilu harus bersifat kompetitif, artinya peserta pemilu baik partai politik maupun calon perseorangan harus bebas dan otonom. Baik partai politik yang sedang berkuasa, maupun partai-partai oposisi memperoleh hak hak politik yang sama dan dijamin oleh undang undang (UU), seperti kebebasan berbicara, mengeluarkan pendapat, berkumpul dan berserikat.

Syarat kompetitif juga menyangkut perlakuan yang sama dalam menggunakan sarana dan prasarana publik, dalam melakukan kampanye, yang diatur dalam UU. Misalnya stasiun televisi milik negara harus memberikan kesempatan yang besar pada partai politik yang berkuasa, sementara kesempatan yang sama tidak diberikan pada partai-partai peserta pemilu lainnya

Kedua, pemilu harus diselenggarakan secara berkala. Artinya pemilihan harus diselenggarakan secara teratur dengan jarak waktu yang jelas. Misalnya setiap empat, lima, atau tujuh tahun sekali. Pemilihan berkala merupakan mekanisme sirkulasi elit, dimana pejabat yang terpilih bertanggung jawab pada pemilihnya dan memperbaharui mandat yang diterimanya pada pemilu sebelumnya. Pemilih dapat kembali memilih pejabat yang bersangkutan jika merasa puas dengan kerja selama masa jabatannya. Tetapi dapat pula menggantinya dengan kandidat lain yang dianggap lebih mampu, lebih bertanggung jawab, lebih mewakili kepemimpinan, suara atau aspirasi dari pemilih bersangkutan. Selain itu dengan pemilihan berkala maka kandidat perseorangan atau kelompok yang kalah dapat memperbaiki dan mempersiapkan diri lagi untuk bersaing dalam pemilu berikut. Ketiga, pemilu haruslah inklusif. Artinya semua kelompok masyarakat baik kelompok ras, suku, jenis kelamin, penyandang cacat, lokalisasi, aliran ideologis, pengungsi dan sebagainya harus memiliki peluang yang sama untuk berpartisipasi dalam pemilu. Tidak ada satu kelompok pun yang didiskriminasi oleh proses maupun hasil pemilu. Hal ini diharapkan akan tercermin dalam hasil pemilu yang menggambarkan keanekaragaman dan perbedaan perbedaan di masyarakat.

Keempat, pemilih harus diberi keleluasaan untuk mempertimbangkan dan mendiskusikan alternatif pilihannya dalam suasana yang bebas, tidak dibawah tekanan, dan akses memperoleh informasi yang luas. Keterbatasan memperoleh informasi membuat pemilih tidak memiliki dasar pertimbangan yang cukup dalam menetukan pilihannya. Suara pemilih adalah kontrak yang (minimal) berusia sekali dalam periode pemilu (bisa empat, lima, atau tujuh tahun). Sekali memilih, pemilih akan teken kontrak dengan partai atau orang yang dipilihnya dalam satuperiode tersebut. Maka agar suara pemilih dapat diberikan secara baik, keleluasaan memperoleh informasi harus benar-benar dijamin.

Kelima, penyelenggara pemilu yang tidak memihak dan independen. Penyelenggaraan pemilu sebagian besar adalah kerja teknis. Seperti penentuan peserta pemilu, Pembuatan kertas suara, kotak suara, pengiriman hasilpemungutan suara pada panitia nasional, penghitungan suara, pembagian cursi dan sebagainya. Kerja teknis tersebut dikoordinasi oleh sebuah panitia penyelenggara pemilu. Maka keberadaan panitia penyelenggara pemilu yang tidak memihak, independen, dan profesional Sangay menentukan jalannya proses pemilu yang demokratis. Jika penyelenggara merupakan bagian dari partai politik yang berkuasa, atau berasal dari partai politik peserta pemilu, maka azas ketidakberpihakan tidak terpenuhi. Otomatis nilai pemilu yang demokratis juga tidak terpenuhi.SEJARAH KELAM PEMILU INDONESIAPengalaman rakyat Indonesia dengan pemilu sudah berusia lebih setengah abad. Pemilu pertama di awal kemerdekaan pada tahun 1955 tercatat dalam sejarah sebagai pemilu multipartai yang demokratis. Peserta pemilu terdiri dari partai politik dan perseorangan, serta diikuti lebih dari 30 kontestan. Hasil pemilu 1955 memberikan cetak biru bagi konfigurasi pengelompokan politik masyarakat yang tercermin dalam konfiguarsi elit. Setelah pemilu 1955, pemilu berikutnya terjadi di era Orde Baru. Kelebihan pemilu-pemilu orde baru keberkalaannya. Penguasa orde baru berhasil menyelenggarakan pemilu secara teratur tiap lima tahun sekali. Tetapi kelemahan mendasarnya adalah pemilu-pemilu orde baru diselenggarakan dengan tidak memenuhi persyaratan sebuah pemilu yang demokratis. Dibuktikan rata-rata pemilu pemilu orde baru diikuti oleh lebih dari 80 % pemilih, bahkan nyaris mendekati 90 % pemilih. Sebuah tingkat partisipasi politik yang tidak dijumpai di negaran kampiun demokrasi seperti inggris dan Amerika Serikat. Namun aturan penyelenggaraan pemilu-pemilu tersebut memiliki cacat kronis.

Pertama, tidak ada kompetisi yang sehat dan adil diantara peserta pemilu. Hal itu dilihat dari adanya undang undang yang membatasi jumlah partai peserta pemilu, yaitu hanya diikuti oleh 3 partai politik (PPP, Golongan Karya, PDIP).

Kedua, tidak ada kebebasan dan keleluasaan bagi pemilih untuk mempertimbangkan dan menentukan pilihan-pilihannya. Secara sistematis, penguasa orde baru menggunakan jalur birokrasi untuk memenangkan pemilu. Bahkan pada pemilu 1971, Menteri Dalam Negeri ketika itu sempat membuat edaran agar pegawai negeri memiliki loyalitas tunggal hanya pada pemerintah, yang diterjemahkan sebagai loyal pada partai penguasa. Ketiga, penyelenggara pemilu adalah pemerintah, terutama Departemen Dalam Negeri. Azas ketidakberpihakan penyelenggara pemilu tidak terpenuhi karena pemerintah adalah bagian dari partai berkuasa dan menjadi salah satu peserta pemilu pula. Dengan demikian besar peluang untuk terjadinya kecurangan dalam mekanisme teknis pemilu, yang tentu saja merugikan peserta pemilu lainnya (selain partai berkuasa). Sehingga syarat kompetitif yang adil dan bebas tidak terpenuhi. Partai berkuasa memiliki kesempatan untuk bersaing lebih baik dari pada partai-partai oposisi.

FAKTA PEMILU INDONENSIA PASCA ORDE BARULengsernya soeharto dari kursi kepresidenan pada 21 Mei 1998 menjadi catatan sejarah penting dalam perjalanan Indonesia. Reformasi menjadi era baru setelah era orde baru. Peristiwa itu merupakan sebuah kesempatan besar dari sebuah kebebasan beroroganisasi termasuk mendirikan partai.Kenyataan ini paling tidak terlihat saat kebijakan multipartai dicanangkan menyambut pemilu 1999. Momen reformasi menjadikan partai Indonesia ibarat jamur di musim hujan. Diperkirakan ada 181 parpol baru yang sempat terbentuk. Dari sejumlah itu, hanya 48 parpol saja yang kemudian lolos kualifikasi dan berhak menjadi kontestan pemilu. Hingga akhirnya hanya 21 parpol saja yang berhasil meraih kursi di lembaga legislatifJika mengacu pada ketentuan UU no.4 tahun 1999 tentang pemilu, ada enam partai yang dikatakan berhasil melampaui dua persen kursi (electrocal threshold) di DPR. Keenam partai terebut adalah PDI Perjuangan (153 kursi), Golkar (120 kursi), PPP (58 kursi), PKB (51 kursi), PAN (34 kursi), dan PBB (13 kursi).

Dengan berbagai modifikasi, seperti kebijakan pilpres dan wapres RI secara langsung, pada pemilu 2004 pemerintah tetap melanjutkan kebijakan multipartai tersebut. Saat itu pun berbagai partai baru bermunculan. Selain partai yang sudah mapan seperti PDIP,Golkar,PPP,PKB,PAN, dan PBB ternyata ada dua partai baru yang mendapat porsi tersendiri di masyarakat, yaitu partai keadilan sejahtera (PKS) dan partai Demokrat.Di samping semakin beragamnya kehadiran partai, peran partai saat ini tidak hanya berada di lingkungan legislatif semata. Di dalam pemerintahan pun kiprah partai menjadi lebih dominan. Terbukti, dalam pembentukan kabinet, tokoh dari partai-partai yang mendapat suara besar di masyarakat dapat menduduki jabatan kementrian, bahkan hingga kedudukan presiden dan wakil presiden.

Menjelang pemilu multipartai yang kedua pada tahun 2004, lembaga penelitian, pendidikan dan penerangan ekonomi dan social (LP3ES) sempat mengadakan jajak pendapat terhadap hasil dari pemilu 1999. Dari jajak pendapat yang bersifat acak tersebut, ternyata masyarakat cenderung ragu bahwa partai-partai politik yang ada akan memenuhi komitmennya pada kepentingan masyarakat setelah pemilu usai. Mereka bercermin pada pemilu 1999 yang dinilai hasilnya tak memuaskan. Karena itu, menjelang pemilu legislatif yang digelar 5 April 2004 lalu, masih banyak masyarakat yang belum menentukan pilihannya (undecided voter). Jajak pendapat tersebut menemukan fakta bahwa angka undecided voter cukup tinggi, berkisar antara 35% hingga 60% dari seluruh partai berdasarkan perbandingan pemilu 1999. Jajak pendapat tersebut juga mencatat 60% responden menyatakan tidak puas dengan hasil pemilu 1999. 43% responden menyatakan tidak yakin, sedangkan 24% tak punya pendapat apa-apa. Hanya 33% yang berpikiran sebaliknya, bahwa pemilu 2004 akan membawa perubahan. Sebagian responden juga tak melirik partai-partai baru yang bermunculan pasca 1999. Sebanyak 74% responden yang rata-rata berusia 17 tahun atau sudah menikah itu ternyata tidak dapat menyebutkan partai-partai baru tersebut.Calon-calon pemilih pada pemilu 2004 juga ternyata belum bisa menentukan pilihannya pada pemilu legislatif. Meski begitu, mereka cenderung akan melirik calon anggota legislatif yang tidak korupsi. Untuk parpolnya, 59% responden menyatakan tak tahu saat ditanya partai mana yang akan dipilih, sisanya sebagian besar pilihan diraih partai golkar dengan 14%, disusul PDIP 9%, PAN dengan 4%, partai lain harus gigit jari dengan rata-rata 2%.Setelah dua kali bangsa ini melaksanakan pemilu multipartai, ternyata masyarakat tetap tidak puas terhadap kinerja partai yang ada. Hasil survey indo barometer yang dilakukan di 33 provinsi di seluruh Indonesia dalam kurun waktu 26 November hingga 7 Desember 2007, dengan menggunakan metode multistage random sampling, ternyata menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat menilai kinerja pada politik masih buruk dan tidak memuaskan publik. Jumlah sample diambil sebanyak 1200 responden, dengan margin of error sebesar kurang lebih 3,0% pada tingkat kepercayaan 95% menunjukkan bahwa tingkat kepuasan hanya sebesar 30,1%, tidak puas 54,6% dan yang tidak tahu atau tidak menjawab 15,3%. Buruknya penilaian masyarakat terhadap kinerja parpol bukan tanpa sebab. Meski bermunculan partai baru, masyarakat menganggap parpol, baik baru maupun yang sudah mapan, belum mampu memenuhi aspirasi masyarakat. Fakta di lapangan diakui atau tidak masih banyak yang masih melangengkan budaya money politik. Hal ini mengasumsikan bahwa pemilu hanya menjadi sarana untuk memperoleh kekuasaan saja. Hal tersebut tidak juga dibarengi pendidikan masyarakat yang matang tentang arti pentingnya pemilu, sehingga tidak sedikit masyarakatpun menjadikan pemilu sebagai ajang untuk memperoleh penghasilan tambahan.

Namun setidaknya semua itu menjadi pembelajaran bagi masyarakat. Bagaimana tidak masyarakat yang berharap usai pemilu keadaan akan berubah harus kecewa berat. Janji-janji muluk yang dilontarkan semasa kampanye tinggallah janji. Usai pemilu partai cenderung meninggalkan konstitusinya dan menyibukkan diri dengan kepentingan partai atau bahkan kepentingan pribadi anggota partai ketimbang kepentingan masyarakat.

Pada sisi lain, kiprah parpol sebagai entitas politik lebih mencitrakan sebuah satuan politik untuk mencapai kekuasaan atau bentuk-bentuk keuntungan materi lainnya daripada saluran kehendak umum. Bahkan sering denga era pilkada, peran parpol yang asal mencari menang kian terlihat. Koalisi antar parpol yang bersebrangan ideologi atau beradu kepentingan di tingkat pusat, pudar di daerah menjadi kendaraan politik untuk memenangkan calon yang dimajukan.

Lebih menyedihkan lagi, peran parpol sejak tahap pengorganisasian internal, penyerapan dan pelaksanaan aspirasi masyarakat sampai dengan kemampuan mereka dalam mengambil jarak terhadap kebijakan pemerintah sebagai pengoreksi juga sangat rendah. Yang terjadi parpol malah menjadi pemberi stempel dengan melegitimasi kepentingan penguasa. Lebih parah lagi, beberapa parpol menjadi kaki tangan kepentingan asing dengan mengesahkan UU migas, UU Penanaman modal, UU SDA, dan UU parpol.

Surutnya kepercayaan masyarakat terhadap parpol juga terekam dari hasil jajak pendapat kompas. Sebagain besar (66,5% responde) menyatakan ketidakpuasannya terhadap kinerja wakil rakyat dari parpol yang mereka pilih dalam pemilu 2004. tak ada satu pun dari tujuh parpol besar pemilu 2004 yang bisa memuaskan masyarakat. Sebagian besar responden menyatakan kekecewaannya terhdapa kiprah para politisi dari parpol yang mereka pilih dalam pemilu, baik yang duduk di lembaga eksekutif maupun legislatifDalam wujud aspirasi politik, kekecewaan publik terhadap parpol tampaknya akan diwujudkan dengan mengubah pilihan artai dalam pemilu nanti. Sebanyak 41,7% responden menyatakan akan mengubah pilihan parpolnya seandainya ada pemilu saat ini. Hanya sekitar 28,2% yang tetap setia memilih parpol pilihan pada 2004.Pengamat politik lembaga ilmu pengetahuan Indonesia (LIPI) Lili Romli menilai, kinerja parpol yang buruk semakin meruntuhkan kepercayaan masayarakat terhadap parpol tersebut. Akibatnya, pada pemilu 2009 siperkirakan jumlah pemilih yang tidak menggunakan haknya (golput) semakin bertambah.

MEWUJUDKAN IDEALITA PEMILU INDONESIAPerbaikan Sistem dan Edukasi

Sejak berakhirnya kekuasaan Orde Baru secara formal, Indonesia memasuki periode peralihan dari situasi otoriter ke transisi demokrasi. Pengalaman banyak negara menunjukkan bahwa periode transisi demokrasi umumnya memakan waktu lama, sampai satu atau dua dekade tergantung dari intensitas transisi yang berakibat pada perubahan mendasar dalam sistem politik dan juga sistem ekonomi. Tak terkecuali bagi Indonesia.

Perubahan itu diawali dengan penyelenggaraan pemilu sebagai mekanisme demokratis untuk melakukan sirkulasi elit. Pejabat lama yang tidak dipercaya perlu diganti dengan pejabat baru yang dapat lebih dipercaya dan accountable melalui pemilu yang demokratis. Pemilu yang dilaksanakan pada masa transisi adalah pemilu yang strategis karena merupakan sarana untuk membersihkan elemen otoriterisme dalam kekuasaan secara evolutif. Pemilu masa transisi juga menjadi sarana bagi pemikiran pemikiran, gagasan gagasan atau kader kader baru yang segar dan tidak koruptif ke dalam lingkar kekuasaan. Jika pemilu masa transisi berhasil melembagakan proses sirkulasi elit secara demokratis, maka situasi transisi akan berubah menuju konsolidasi demokrasi. Sementara jika tidak berhasil, maka ada peluang besar bagi elemen otoriterisme untuk menkonsolidasi diri dan menunggu kesempatan untuk berkiprah kembali dalam pentas politik.

Oleh karena itu, mengingat arti penting pemilu pada masa transisi, terutama pemilu 2004 yang lalu, maka semua penggerak demokrasi serta warga yang peduli akan tercapainya konsolidasi demokrasi di Indonesia, perlu meneguhkan komitmen untuk menjaga Pemilu 2009 agar dapat menjadi batu loncatan ke arah pemilu selanjutnya yang diharapkan lebih demokratis. Walaupun diakui pula bahwa perangkat UU Pemilu, Partai Politik dan aturan pemilu lainnya yang dihasilkan DPR masih belum sempurna dan mengandung sejumlahpermasalahan. Sebaliknya, tanpa keberhasilan mengawal Pemilu 2009, maka sulit mengharapkan pemilu selanjutnya dapat memberikan hasil yang lebih baik bagi terjadinya sirkulasi elit dan pelembagaan demokrasi.

Berdasarkan realita pemilu yang terjadi di Indonesia, maka setidaknya ada dua agenda penting yang menurut hemat kami perlu dirumuskan. Karena bagaimanapun pemilu mempunyai arti penting terhadap tumbuh kembangnya kedaulatan rakyat Indonesia. Pertama pemberian pendidikan pemilu terhadap masyarakat. Kedua Perbaikan sistem dan perundang-undangan

Membangun kesadaran masyarakat dalam pengetahuannya mengenai pemilihan umum merupakan suatu keharusan. Masyarakat harus diberi education mengenai berbagai hal yang bersangkutan mengenai pemilu, tidak hanya mengenai teknis pelaksanaan pemilu namun juga mengenai bagaimana menentukan pilihan dalam pemilu, sehingga masyarakat mengetahui arti pentingnya diselenggarakannya pemilu. Hal ini sangat penting untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat dalam berpolitik. Masyarakat yang telah sadar untuk berpolitik adalah masyarakat yang berpolitik berdasarkan kesadaranya sendiri, tanpa pengaruh pihak luar ataupun money politik. Karena bagaimanapun arti benarnya demokrasi adalah partisipasi dan kedaulatan rakyat yang hakiki di mana masyarakat bebas menentukan partisipasinya.Pemberian education kepada masyarakat harus didukung dengan adanya perubahan sistem yang berlaku dalam parpol. Apabila tidak, masyarakat akan tetap kecewa dan akhirnya menimbulkan suatu masyarakat yang pragmatis dan apatis. Akhirnya pesta demokrasi hanya akan menjadi suatu rutinitas yang menghamburkan miliaran rupiah tanpa arti.*) Makalah untuk syarat calon anggota KPU Bantul 20 Agustus 2008

PAGE 1