pemilihankepaladaerah.pdf

152
PEMILIHAN KEPALA DAERAH BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI JAKARTA, 2011

Upload: maksar-muhuruna-ardhat-laode

Post on 09-Jul-2016

38 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

PEMILIHAN KEPALA DAERAH

BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONALKEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI

JAKARTA, 2011

Page 2: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf
Page 3: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

PENGKAJIAN HUKUMTENTANG

PEMILIHAN KEPALA DAERAH

Page 4: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

Pengkajian Hukum Tentang Pemilihan Kepala Daerah

Dikerjakan Oleh Tim PengkajianDi bawah PimpinanNoor M. Aziz, S.H., M.H., M.M.

EditorTheodrik Simorangkir, S.H., M.H.

Terbit Tahun 2011

Diterbitkan OlehBadan Pembinaan Hukum NasionalKementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RIJalan Mayjen Sutoyo – CililitanTelepon (021) 8091908, 8002192Faksimile (021) 80871742Jakarta Timur 13640

Page 5: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

KATA PENGANTAR

Dalam era reformasi, struktur ketatanegaraan Indonesia sudah mengalamiperubahan secara mendasar. Selain perubahan struktur ketatanegaraan jugaperubahan mekanisme dan prosedur pengisian jabatan dalam strukturketatanegaraan serta instrumen politik yang digunakan. Dua instrumenpolitik dalam era reformasi adalah pemilihan umum yang demokratis dandesentralisasi. Salah satu langkah fundamental dalam desentralisasi adalahpemilihan kepala daerah untuk mengisi jabatan secara demokratis.

Sejak pemilihan kepala daerah (Pilkada) pertama diselenggarakanJuni 2005 sampai dengan saat ini, sudah banyak buku, artikel ataupunjurnal yang mengulas pelaksanaan Pilkada di Indonesia. Berkenaan denganhal ini BPHN menganggap perlu melakukan kajian hukum tentang PemilihanKepala Daerah, untuk mengetahui: 1) perkembangan demokrasi dalampemilihan kepala daerah di Indonesia; 2) dasar yuridis Pilkada saat ini;3) pelaksanaan Pilkada yang sedang berlangsung; 4) dampak yuridissosiologis dan kultural dari Pilkada yang sedang berlangsung.

Penerbitan hasil kegiatan ini dimaksudkan untuk menambah khazanahinformasi hukum tentang Pilkada yang jumlahnya masih relatif sedikit.Di samping itu agar dapat disebarluaskan kepada Anggota JaringanDokumentasi dan Informasi Hukum (JDIH) yang tersebar di seluruhnusantara. Dengan demikian semua warga negara dapat dengan mudahmencari dan menemukannya, untuk digunakan, ditanggapi dan dikembangkanlebih lanjut.

Akhirnya kami ucapkan terima kasih kepada tim yang dipimpin olehSdr. Noor M. Aziz, S.H., M.H., M.M., yang dengan penuh tanggungjawab memberikan tenaga dan pikirannya membuat kajian ini dan kepadasemua pihak yang berperan aktif sehingga buku ini dapat diterbitkan.

Jakarta, Juli 2011

Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional

Dr. Wicipto Setiadi, S.H., M.H.

v

Page 6: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

vi

Page 7: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

KATA PENGANTAR ................................................................

DAFTAR ISI ..............................................................................

BAB I PENDAHULUAN........................................................

A. Latar Belakang .....................................................

B. Identifikasi Masalah .............................................

C. Tujuan dan Kegunaan ..........................................

D. Kerangka Konsep .................................................

E. Metode ..................................................................

F. Sistematika Penulisan ...........................................

BAB II PERKEMBANGAN DEMOKRASI DAN PEMILIHANKEPALA DAERAH ....................................................

A. Perkembangan Demokrasi ....................................

A.1. Pemerintahan “Orde Lama” .......................

A.2 Pemerintahan “Orde Baru” .........................

A.3. Pemerintahan “Orde Reformasi” ................

B. Pemilihan Kepala Daerah dan Otonomi Daerah

B.1. KDH yang dipilih oleh DPRD...................

B.2 KDH yang dipilih oleh Masyarakat SecaraLangsung......................................................

B.3. Segi Positif dan Negatif Pilkada Langsung

C. Organisasi Pemerintah Daerah ............................

D. Masa Jabatan Bupati Dalam Sistem KetatanegaraanDi Indonesia .........................................................

D.1. Masa Jabatan Pejabat di Masa Lampau ...

DAFTAR ISIHalaman

vii

v

vii

1

1

10

10

11

12

13

15

15

28

29

29

30

32

34

35

36

41

42

Page 8: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

D.2 Masa Jabatan Bupati dalam SistemKetatanegaraan Pasca Amandemen UUD 1945

BAB III DASAR YURIDIS PEMILIHAN KEPALA DAERAH

A. Dasar Yuridis Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah

B. Syarat-syarat Calon Kepala Daerah dan WakilKepala Daerah ......................................................

C. Pengusulan Calon Kepala Daerah dan Wakil KepalaDaerah ...................................................................

D. Masa Pemerintahan dan Tahap Pelaksanaan .....

E. Penetapan Pemilih ................................................

F. Kampanye .............................................................

G. Larangan Kampanye ............................................

H. Dana Kampanye ...................................................

I. Pemungutan Suara ...............................................

J. Penetapan Calon Terpilih dan Pelantikan ...........

K. Pemantauan PemilihaN Kepala Daerah dan WakilKepala Daerah ......................................................

BAB IV PELAKSANAAN PEMILIHAN KEPALA DAERAH

A. Pergeseran Konsep Pemilihan Umum di Daerah

B. Potensi Konflik dan Penyimpangan Pemilihan KepalaDaerah ................................................................

C. Penguatan KPUD dalam Pelaksanaan Pilkada ..

C.1. Peran dan Kapasitas KPUD (menurut UUNo. 32 Tahun 2004 tentang PemerintahanDaerah) dalam Penyelenggaraan Pilkada danmasalahnya ..................................................

C.2 Kapasitas KPUD Selaku Penyelenggara ...

C.3. Penguatan KPUD dalam PenyelenggaraanPilkada .........................................................

viii

44

49

49

52

53

58

58

59

61

63

64

64

66

69

72

76

85

86

97

100

Page 9: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

BAB V ANALISIS KOMPREHENSIF BERBAGAI ASPEK

A. Analisa Yuridis .....................................................

A.1. Instrumen Hukum Implementasi Pilkada ...

A.2 Disharmoni Hukum .....................................

A.3. Tawaran Solusi ............................................

B. Analisis Sosial ......................................................

B.1. Dampak Sosial Penyelenggaraan Pilkada ..

B.2 Tawaran Solusi ............................................

C. Analisis Budaya ...................................................

C.1. Dampak Kultural Pelaksanaan Pilkada .....

C.2 Tawaran Solusi ............................................

BAB VI PENUTUP....................................................................

A. Kesimpulan ...........................................................

B. Rekomandasi .........................................................

DAFTAR PUSTAKA ................................................................

ix

103

103

104

108

113

117

117

120

122

122

125

129

129

131

133

Page 10: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

x

Page 11: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Demokrasi yang sedang berjalan saat ini mengalami lompatanyang luar biasa. Hal tersebut dapat terlihat dari pengalaman beberapamasa pemerintahan setelah runtuhnya Orde Baru mulai darikepemimpinan BJ. Habibie, Abdurrahman Wahid, MegawatiSoekarnoputri hingga kepemimpinan Presiden Susilo BambangYudhoyono saat ini membuktikan keseriusan negara dalam upayamewujudkan sebuah negara yang demokratis.

Meski demikian, usaha yang dilakukan ke arah terbentuknyasistem yang lebih demokratis bukanlah pekerjaan yang mudah. Transisidari sebuah rezim otoritarian menuju sebuah rezim yang lebih demokratisdi mana-mana tidak pernah mudah. Terdapat beberapa alasan yangsering kali disebut untuk menjelaskan ikhwal itu.1

Pertama, ketika berkuasa rezim otoritarian secara sistemik membangunsebuah sistem politik yang di satu pihak mengukuhkan sebuah sistemkekuasaan yang amat terpusat dan di pihak lain mengeliminasikankontrol yang berasal dari luar sistem. Bahkan, dalam beberapa halterdapat kecenderungan sistem politik yang demikian itu jugamenghasilkan institusi-institusi sosial, ekonomi dan budaya yangmelayani kebutuhan akan terpeliharanya dominasi kekuasaan sebuahrezim otoritarian. Karena itu, semakin lama sebuah rezim otoritarianberkuasa, semakin kompleks dan canggih kekuasaan yang berhasildibangunnya. Akibatnya, rezim transisi kerap harus berhadapan denganberbagai paradoks yang tidak mudah didamaikan.

1 Daniel Sparinga, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi: Penyelesaian atas Warisan Rezim Otoritariandan Penyelematan Masa Depan di Indonesia, Disampaikan dalam seminar dan lokakarya “PembangunanHukum Nasional VIII”, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, DepartemenKehakiman dan Hak Asasi Manusia, Denpasar, 14-18 Juli 2003.

1

Page 12: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

Kedua, walaupun pada awalnya rezim otoritarian cenderungmenekankan pada penggunaan kekerasan untuk melumpuhkan oposisi,dalam perkembangannya rezim semacam ini juga menggunakan dasar-dasar moral dan intelektual untuk memenangkan dukungan publikyang lebih luas. Jadi, tidak hanya dominasi tetapi juga hegemoni.Apabila dominasi membuat individu patuh karena takut pada risikoakan berbagai bentuk represi yang dilakukan oleh aparatur negara(baik yang amat subtle seperti penahanan yang dicari-cari alasannyamaupun yang amat kasar seperti penculikan), hegemoni membuatindividu patuh karena kepercayaannya bahwa gagasan yang ditawarkanrezim itu (termasuk di antaranya adalah berbagai cara untuk mencapaitujuan kolektif) sebagai masuk akal. Melalui hegemoni lah dukunganmoral dan intelektual terhadap rezim otoritarian digalang. Akibatnya,rezim transisi sering harus berjuang untuk mengubah orientasi,paradigma dan berbagai bentuk kepercayaan tentang, misalnya,bagaimana kekuasaan seharusnya dikelola, bagaimana individuseharusnya memposisikan dirinya terhadap kekuasaan. Berbagaigagasan tentang demokrasi dan peran partisipatoris individual tidakselalu mudah dibangkitkan karena hidupnya kepercayaan-kepercayaanyang bertentangan, sekurang-kurangnya, menghambat, ikhwal itu.

Ketiga, rezim otoritarian memelihara kekuasaannya dengan menciptakanhubungan yang tak setara dan amat hierarkhis di antara negara (state)dan masyarakat (civil society). Ketika rezim otoritarian berusahamenempatkan negara dalam posisinya sebagai sumber “kebenarandan pencerahan”, berbagai infrastruktur sosial, politik, ekonomi danbudaya yang terdapat dalam masyarakat secara sitematik diperlemah,bahkan dalam berbagai keadaan dihancurkan untuk memperkecil potensitumbuhnya kekuatan-kekuatan otonom alternatif. Akibatnya sangatjelas walaupun ganjil: menyusul jatuhnya rezim otoritarian, terdapatsejumlah perkara yang rumit untuk menghadirkan kualitas yangdiperlukan bagi sebuah transisi damai. Perasaan-perasaan teralienasiterhadap perubahan dan struktur yang memfasilitasi perubahan sebagaiakibat langkanya infrastruktur yang memadai itu pada kenyataannyahanya menghasilkan sikap dan perilaku yang tak produktif bagi sebuahperubahan yang konstruktif. Kerumitan ini akan bertambah dengansendirinya apabila selama berkuasa rezim transisi secara sistemik

2

Page 13: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

juga mengoperasikan sentimen-sentimen agama, kesukuan atau rasuntuk mencegah tumbuhnya sebuah masyarakat yang memungkinkanberkembangnya asosiasi-asosiasi sukarela yang mampu melampauibatas-batas kultural semacam itu.

Keempat, rezim transisi selalu dihadapkan pada dua posisi waktuyang sering bertolak belakang dalam gagasan dasarnya: masa depanyang lebih baik dan masa lalu yang penuh keburukan. Sementaraterdapat kebutuhan untuk melakukan konsolidasi kelembagaan yangdiperlukan bagi hadirnya sebuah pengelolalan kekuasaan yangdemokratis, terdapat desakan untuk menemukan cara tentang bagaimanawarisan rezim otoritarian itu hendak diselesaikan.

Berdasarkan konstelasi di atas, maka kebutuhan untuk melakukankonsolidasi kelembagaan yang diperlukan bagi hadirnya sebuahpengelolalan kekuasaan yang demokratis ini salah satunya adalahdengan melaksanakan Pemilu, termasuk di dalamnya adalah Pilkada.

Menentukan pemimpin secara demokratis melalui pemilihan umumtampaknya telah menjadi model negara-negara demokratis. Kearahnegara-negara demokratis itulah kecenderungan yang terjadi bukansaja di negara-negara barat yang telah maju tetapi juga telah menjangkaunegara-negara yang sedang membangun.

Paling tidak, pada tahun 1977, India negeri demokrasi terpentingdi dunia ketiga yang selama satu setengah tahun berada di bawahpemerintahan darurat kembali ke jalan demokrasi.2 Pada akhir dasawarsa1980, gelombang demokratisasi melanda dunia komunis. Pada tahun1988 Hongaria memulai transisi menuju sistem multi partai.3 Indonesiasetelah lepas dari pemerintahan Orde Baru pada tahun 1998, memasukiera reformasi telah merubah paradigma dari pemerintahan otoritermenjadi demokratis, dan sejak Pemilihan Umum tahun 1999 Indone-sia memasuki sistem multi partai.

2 Ramly Hutabarat Politik Hukum Pemerintahan Soeharto tentang Demokrasi Politik di Indonesia(1971-1997), Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia,2005, hlm. 100.

3 Samuel P.Huntington, Gelombang Demokratisasi Ketiga, penterjemah: Asri Marjohan, Jakarta:Pustaka Utama Grafiti,1995, hlm. 29.

3

Page 14: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

Penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada adalah salah satu indikatorkeberhasilan demokrasi dari sebuah negara transisi. Berbagai produkhukum, seperti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden, sertaUndang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 tentangPemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, DewanPerwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dalamrangka memuluskan pelaksanaan Pemilu 2009 juga telah dibuat PerpuNo. 1 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang RepublikIndonesia Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum AnggotaDewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan DewanPerwakilan Rakyat Daerah. Hal ini dimaksudkan agar pelaksanaanPemilu yang demokratis nantinya tetap berada pada rel hukum yangtelah disepakati sehingga benar-benar terwujud Indonesia sebagainegara hukum yang demokratis.

Demokrasi yang kini sedang berlangsung seharusnya menumbuhkankematangan dan keadaban demokrasi. Keadaan yang koheren denganmutu publik politik yang tak mudah terkena hasutan dan provokasi(Kompas, 17/4/2009). Pada titik ini ada pertanyaan penting. Bagaimanakita sebaiknya meletakkan “ajakan suci” ini di tengah kisruh pemilulegislatif yang baru saja dilaksanakan? Wajah pemilu legislatif yanglalu tidak seindah kampanye dan iklan politik para calon anggotalegislatif.

Meski upaya untuk mewujudkan sebuah sistem yang demokratissekaligus berjalan pada rel hukum tidaklah mudah, tetapi hal itutetaplah perlu diperjuangkan dengan sebuah sikap optimis. Salahsatu strategi untuk memuluskan jalan menjadi sebuah negara yangdemokratis adalah dengan membangun sistem hukum nasional yanglebih demokratis. Dengan demikian maka nantinya diharapkan akantercipta sebuah “negara hukum yang demokratis”.

Perubahan politik Indonesia pasca pemerintahan Soeharto antaralain juga ditandai dengan reformasi konstitusi yang mengatur sistemketatanegaraan Indonesia. Konstitusi Indonesia, yakni Undang-UndangDasar (UUD) Negara Republik Indonesia 1945 yang ditetapkan pada18 Agustus 1945 telah diubah sebanyak empat kali; yakni Perubahan

4

Page 15: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

ke-1 disahkan tanggal 19 Oktober 1999; Perubahan ke-2 tanggal 18Agustus 2000; Perubahan ke-3 tanggal 10 November 2001; danPerubahan ke-4 tanggal 10 Agustus 2002.

Selain perubahan atas struktur ketatanegaraan Indonesia, reformasijuga menyangkut dua perubahan penting lainnya, yakni mekanismedan prosedur pengisian jabatan dalam struktur ketatanegaraan; sertainstrumen politik yang digunakan.

Dua instrumen politik penting yang menjadi kebijakan yaknipemilihan umum yang demokratis serta kebijakan otonomi daerahatau desentralisasi (decentralisation).4 Dan salah satu langkahfundamental dalam kebijakan desentralisasi yakni pelaksanaan pemilihanumum lokal dalam memilih kepala daerah (Pilkada). Kebijakan inimerupakan hal yang sangat fundamental sebagai kelanjutan dari arusperubahan yang sangat kuat terutama sejak tahun 1996. Henk SchulteNordholt menyebutnya sebagai ‘the consolidation of electoraldemocracy’, karena berlangsungnya pemilu yang secara luar biasadi tingkat kabupaten/kota (regional/districlevel), provinsi dan nasionalyang berlangsung sejak tahun 1999, 2004 dan 2005.5

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) langsung dengan demikianmerupakan proses politik yang tidak saja merupakan mekanisme politikuntuk mengisi jabatan demokratis (melalui pemilu); tetapi juga sebuahimplementasi pelaksanaan otonomi daerah atau desentralisasi politikyang sesungguhnya. Keduanya merupakan reaksi atas model

4 Kebijakan desentralisasi di tanah Indonesia sesungguhnya bukanlah sesuatu yang baru, sejarahmenunjukkan bawah kebijakan ini secara terbatas telah dimulai zaman kekuasaan Hindia Belanda,termasuk pada era Orde Baru. Sampai saat ini, kebijakan tersebut telah mengalami pasang surut.Pengertian mutakhir tentang desentralisasi dikemukakan oleh sebuah badan PBB, UNDP (1998:1)yang mendefiniskan desentralisasi sebagai: “The transfer of responsibility for planning, manage-ment, and resources raising and allocation from the central government and its agencies; (a)field units of central government ministries or agencies; (b) subordinate units or levels ofgovernment; semi autonomous public authorities or corporations; (d) area wide, regional orfunctional authorities; or (e) non-governmental, private, or voluntary organization.” Lihat: M.Mas’ud Said, Arah Baru Otonomi Daerah di Indonesia. (Malang: UMM Press, 2005: 74-75).

Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 32Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, desentralisasi diartikan sebagai penyerahan wewenangpemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusanpemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

5 Lihat Henk Schulte Nordholt, (ed.) & Ireen Hoogenboom (ast.ed.), Indonesian in Transition.(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006: 1)

5

Page 16: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

penyelenggaraan pemilu Rezim Orde Baru yang tidak demokratisdan kekuasaan yang sentralistik.6

Sejak Pilkada pertama dilaksanakan Juni 2005, telah banyakbuku, artikel maupun jurnal yang menulis mengenai pelaksanaanPilkada di Indonesia.7 Saat ini Pilkada telah dilaksanakan oleh lebihdari 300 daerah baik provinsi, kabupaten maupun kota yang telahmelaksanakan Pilkada. Penulisan-penulisan tersebut mulai dari deskripsipelaksanaan Pilkada maupun analisis yang kritis, baik dari aspekhukum, politik maupun sosiologis.

6 Kebijakan desentralisasi di bidang politik ditandai dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 22Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Perubahannya, yakni Undang-Undang Nomor 32Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah untuk mengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun1974 tentang Pemerintahan Daerah yang sentralistik. Selain di bidang Politik, kebijakan desentralisasijuga dilakukan di bidang ekonomi yang diatur melalui Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999yang kemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2005 tentang PerimbanganKeuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

7 Di antaranya (1) Leo Agustino, Politik dan Otonomi Daerah. Serang: Untirta Press, 2005; (2)Amirudin dan A. Zaini Bisri, PILKADA Langsung, Problem dan Prospek: Sketsa Singkat PerjalananPilkada 2005. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005: (3) CSIS, “Chalenges to The New Government”in The Indonesian Quarterly, Vil.32, Nomor3, 2004.; (4) Mulyana W. Kusumah dan Pipit R.Kartawidjaya, Pemilihan Kepala Daerah Seacar langsung: Kasus Indonesia dan Studi Perbandingan.Jakarta: INSIDE-7SS-Watch Indonesia, 2005.; (5) Fathoni Mahar M., (ed.), Agenda PILKADALangsung dan Kesiapan Masyarakat Daerah. Boyolali: LSP3RA, 2004.; (6) A.A. Oka Mahendra,PILKADA di Tengah Konflik Horisontal: Nurmahmudi Ismail Unggul di KPUD, Badrul Kamalmenang di Pengadilan Tinggi. Jakarta: Millenium Publisher, 2005; (7) Ahmad Nadir, PILKADALangsung dan Masa Depan Demokrasi di Indonesia. Malang: Averoes Press, 2005.; (8) MochNurhasyim (ed.), Konflik Antar Elit Politik Lokal dalam Pemilihan Kepala Daerah. Jakarta-Yogyakarta: Pustaka Pelajar-LIPI, 2005.; (9) Ari Pradanawati (penyunting), PILKADA langsung:Tradisi Baru Politik Lokal. Surakarta: KOMPIP, 2005.; (10) Joko J Prihatmoko, Pemilihan KepalaDaerah Langsung: Filosofi, Sistem dan Problema Penerapan di Indonesia. Yogyakarta: PustakaPelajar – Semarang: LP3M, 2005.; (11) Sarundajang, S.H., PILKADA Langsung: Problema danProspek. Jakarta: Kata Hasta Pustaka, 2005.; (12) Sumarno, Drama Politik Pilkada Depok:Badrul Kamal Menggugat, Nurmahmudi Menjawab. Bandung, HARAKATUNA, 2006.; (13) Tempo,“Pemilihan Kepala Daerah Langsung: Berebut Kursi Panas” dalam Tempo, Edisi 9-15 Januari2006.; (13) Titik Triwulan Tutik, Pemilihan Kepala Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor32 Tahun 2004 dalam Sistem Pemilu menurut UUD 1945. Jakarta: Prestasi Pustaka, 2006; (14)Bodhi Wedyanto FN dan Seprini (penyunting), PILKADA dan Demokrasi Arus Bawah: DokumentasiPolitik Terpilihnya Zul AS-Sunaryo pada PILKADA Kota Dumai 2005-2010. Pekanbaru: ISDP,2006.; (15) Muryanto Amin, “Sistem Pemilihan Kepala Daerah Langsung: Beberapa Masalah,Implikasi Politik dan Solusinya”, dalam POLITEIA: JURNAL ILMU POLITIK. Vol.I, Nomor 1Juni 2005.; (16) Cecep Effendi, “Evaluasi Kritis Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah SecaraLangsung”. Tidak diterbitkan, Tanpa Tahun; (17) Laode Ida, “Pemilihan Langsung Kepala Daerah”dalam JURNAL PSPK. Edisi 5, 2003; (18) Ramses, Andy, “Pemilihan Kepala Daerah SecaraLangsung dan Perlunya Revisi Terbatas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999”. JURNAL ILMUPEMERINTAHAN, Edisi 19 Tahun 2003. Dan masih banyak lagi, baik dalam bentuk buku, jurnal,ulasan redaksi maupun artikel koran.

6

Page 17: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

Sebagaimana telah dipaparkan, bahwa semangat pelaksanaanPilkada langsung di Indonesia dipengaruhi oleh:

Pertama, pemilu Presiden dan wakil presiden secara langsung padaPemilu 2004 memberikan pengalaman yang sangat penting dalamkehidupan politik Indonesia. Oleh karena itu, pemilihan kepala daerahdan wakilnya yang selama ini dilaksanakan oleh Dewan PerwakilanRakyat Daerah (DPRD) diubah menjadi pemilihan langsung, yaknirakyat langsung menggunakan hak pilihnya dengan memilih calonkepala daerahnya.

Kedua, apa yang oleh Laode Ida8 disebut sebagai upaya “mengisiyang ‘bolong di tengah’”. Menurutnya, pemilihan presiden dipilihlangsung, pemilihan kepala desa juga dipilih secara langsung; mengapapemilihan kepala daerah tidak. Oleh karena itu menurutnya, pemerintahdan elit politik harus “membayar utang kepada rakyat” atas janjipolitik reformasi dengan cara mengubah mekanisme Pilkada: dariDPRD kepada rakyat langsung.

Ketiga, Pilkada langsung diyakini sebagai jalan demokratis dalammemilih kepala daerah setelah sekian lama dalam kungkungan RezimOrde Baru yang tidak memberikan kesempatan rakyat menentukansendiri pemimpinnya.9

Keempat, adanya desakan untuk merevisi secara terbatas, dalam halini mengenai PILKADA dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun1999.

Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, atau lebih populerdisingkat menjadi PILKADA, adalah pemilihan umum untuk memilihKepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung di Indo-nesia oleh penduduk daerah setempat yang memenuhi ketentuanperaturan perundang-undangan. Kepala Daerah dan Wakil KepalaDaerah terdiri dari Gubernur dan Wakil Gubernur untuk provinsi,Bupati dan Wakil Bupati untuk kabupaten, Walikota dan Wakil Walikotauntuk kota.

8 Laode Ida, “Pemilihan Langsung Kepala Daerah” dalam JURNAL PSPK. Edisi 5, 2003.9 Lihat juga Andy Ramses, “Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung dan Perlunya Revisi Terbatas

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999". JURNAL ILMU PEMERINTAHAN, Edisi 19 Tahun2003

7

Page 18: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

Untuk menyelenggarakan Pemilihan Umum, termasuk Pilkada, telahdisahkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang PenyelenggaraPemilihan Umum. Beberapa peraturan terkait adalah Peraturanpelaksanaan pemilihan kepala daerah langsung juga telah dikeluarkanmelalui Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005. Untukmenyempurnakan pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsungpemerintah juga telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah PenggantiUndang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang kemudian ditetapkan denganUU No. 8 Tahun 2005 sebagai Undang-Undang, dan UU No. 12Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor32 Tahun 2004, serta Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2005tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005.

Hampir semua Daerah di Indonesia sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kinitelah mengadakan proses pemilihan kepala daerah baik di provinsi,maupun di kabupaten/kota sesuai amanat undang-undang tersebut.Diaturnya pemilihan kepala daerah adalah merupakan pertanda bahwahal tersebut telah menjadi konsensus nasional.

Namun, konsensus tersebut bukan tidak memiliki perdebatanakademik. Perdebatan berkisar pada kata ’demokratis’ dalam Pasal18 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945, yang membuka multi-tafsir,selanjutnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentangPemerintahan Daerah Pasal 56 menyebutkan bahwa Kepala Daerahdan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yangdilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umumbebas, rahasia, jujur dan adil.

Menurut Jimly Asshiddiqie perkataan “dipilih secara demokratis”ini bersifat luwes, sehingga mencakup pengertian pemilihan langsungoleh rakyat ataupun oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)seperti yang pada umumnya sekarang dipraktikkan di daerah-daerahberdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.10

10 Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 setelah perubahan keempat, Depok: Pusat StudiHukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002, hlm. 22.

8

Page 19: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

Di dalam implementasinya pemahaman seperti ini ternyata dilaksanakandalam pemilihan Kepala Daerah Nangroe Aceh Darussalam denganUU yang mengatur hal itu. Demikian pula menurut Peraturan PemerintahRepublik Indonesia Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan PengesahanPengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil KepalaDaerah, dalam Pasal 139 ayat (1)nya menegaskan pemilihan secaralangsung itu sebagai berikut “Pemilih Gurbenur dan Wakil Gurbernurdi Papua dilakukan melalui Dewan Perwakilan Daerah Provinsi Papuaoleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperolehsekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DewanPerwakilan Rakyat Daerah Provinsi Papua atau 15% (lima belaspersen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam Pemilihan Umumanggota DPRD. Dalam pelaksanaannya di Papua, Kepala Daerahdipilih langsung oleh rakyat.

Pemilihan Kepala Daerah secara langsung telah menjadiperkembangan baru dalam memahami “dipilih secara demokratis”sebagaimana ditentukan dalam Pasal 18 ayat (4) UUD RI tahun1945. oleh karena itu jika UU No 32 Tahun 2004 memberikan ruangyang luas terhadap pemilihan Kepala Daerah secara langsung olehrakyat. Hal ini memang merujuk ke Pasal 18 ayat (4) UUD RI tahun1945 itu. Dalam perspektif sosiologis ada desakan sosial yang bergeloradan bergejolak ketika era reformasi yang menuntut adanya demokratisasidan transparansi dalam pemerintahan baik pusat maupun daerah.Salah satu wujud dari demokratisasi itu adalah dilaksanakannyapemilihan Kepala Daerah secara langsung. Dengan demikian diharapkanKepala Daerah yang terpilih benar-benar representatif. Aspirasi rakyatlebih terakomodasi dengan pemilihan Kepala Daerah secara langsungitu. Tetapi sistem yang demikian memang masih menimbulkan masalahyakni ketika calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah harusmelalui partai politik. Pasal 59 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2004menyebutkan “Peserta Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil KepalaDaerah adalah pasangan calon yang diusulkan secara berpasanganoleh partai politik atau gabungan partai politik”.

Hal lain yang masih agak mengganjal pelaksanaan PILKADAsecara langsung ini adalah jika dikaitkan dengan sila ke-4 Pancasilayang berbunyi, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan

9

Page 20: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

dalam permusyawaratan/Perwakilan”, yang essensinya mengandungmakna bahwa demokrasi yang dianut oleh bangsa Indonesia adalahdemokrasi perwakilan.

Beranjak dari paparan tersebut, Tim Pengkajian Hukum tentangPemilihan Kepala Daerah berupaya menelusuri berbagai aspek yangterkait dengan pemilihan kepala daerah di Indonesia.

B. Identifikasi Masalah

1. Bagaimana perkembangan demokrasi dan pemilihan kepala daerahdi Indonesia?

2. Bagaimana dasar yuridis pemilihan kepala daerah di Indonesiasaat ini?

3. Bagaimana pelaksanaan pemilihan kepala daerah di Indonesiayang telah berlangsung?

4. Bagaimana dampak yuridis, sosiologis dan kultural pemilihankepala daerah di Indonesia yang telah berlangsung?

C. Tujuan dan Kegunaan

Tujuan Pengkajian ini adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan demokrasi danpemilihan kepala daerah di Indonesia.

2. Untuk mengetahui bagaimana dasar yuridis pemilihan kepaladaerah di Indonesia saat ini.

3. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan pemilihan kepala daerahdi Indonesia yang telah berlangsung.

4. Untuk mengetahui bagaimana dampak yuridis, sosiologis dankultural pemilihan kepala daerah di Indonesia yang telahberlangsung.

Sedangkan kegunaan penyusunan pengkajian ini, di antaranya adalahsebagai salah satu bahan akademik tentang pemilihan kepala daerahdi Indonesia, serta untuk mendapatkan pemikiran dari teoritisi danpraktisi berkaitan dengan upaya menginventarisasi permasalahan (issues)

10

Page 21: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

untuk dijadikan bahan awal dalam mendukung pembentukan (Peraturanperundang-undangan pusat dan daerah) dan pengembangan hukum.

D. Kerangka Konsep

1. Pemilihan Umum

Pemilihan Umum, selanjutnya disebut Pemilu, berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 tentangPemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, DewanPerwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalahsarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secaralangsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam NegaraKesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Pemilihan Kepala Daerah

Menurut UU No. 22 Tahun 2007, Pemilu Kepala Daerah danWakil Kepala Daerah adalah Pemilu untuk memilih kepala daerahdan wakil kepala daerah secara langsung dalam Negara KesatuanRepublik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-UndangDasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Sedangkan menurut PP No. 6 Tahun 2005, Pemilihan KepalaDaerah dan Wakil Kepala Daerah adalah sarana pelaksanaankedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan/atau kabupaten/kotaberdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara RepublikIndonesia Tahun 1945 untuk memilih Kepala Daerah dan WakilKepala Daerah.

Sebelumnya, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipiliholeh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dasar hukumpenyelenggaraan Pilkada adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam undang-undang ini,Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah)belum dimasukkan dalam rezim Pemilihan Umum (Pemilu). Tetapisejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentangPenyelenggara Pemilihan Umum, Pilkada dimasukkan dalam rezimPemilu, sehingga secara resmi bernama Pemilihan Umum KepalaDaerah dan Wakil Kepala Daerah.

11

Page 22: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

3. Kepala Daerah

Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah: Gubernur danWakil Gubernur untuk provinsi, Bupati dan Wakil Bupati untukkabupaten, Walikota dan Wakil Walikota untuk kota

E. Metode

Penyusunan pengkajian dilakukan secara deskriptis analitis melaluikegiatan pertemuan tim dan pembahasan, sedangkan pengumpulandata berupa penelusuran referensi tentang pemilihan kepala daerahdilakukan dengan cara melakukan penelusuran data kepustakaan secaramanual maupun electrical dengan menggunakan electronical dataresources baik mengenai sumber hukum primer berupa peraturanperundang-undangan terkait, sumber hukum sekunder berupa putusanlembaga peradilan terkait, maupun hasil-hasil pertemuan ilmiah dansumber lain yang terkait dengan pemilihan kepala daerah. Di sampingitu digunakan juga metode perbandingan pemilihan kepala daerah dibeberapa negara lain secara singkat. Guna melengkapi data sekundertim dilengkapi dengan data primer berupa temuan di lapangan mengenaipelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah.

Metode analisis yang digunakan adalah ROCCIPI (rule, opportunity,capacity, competency, interest, process, and ideology) dari RobertB. Seidman.11 Dengan metode ini maka kajian ini akan menganalisisbeberapa hal berikut:

a. Rule, suatu perundang-undangan yang akan dibentuk harusmemperhatikan perundang-undangan lain baik vertikal maupunhorizontal. Konsisten; sinkron dan harmonis;

b. Opportunity, faktor lingkungan (eksternal) dari pihak-pihak yangakan dituju agar perundang-undangan yang dibuat efektifpelaksanaannya, diterima dan tidak resistensi;

c. Capacity, faktor yang terkait dengan ciri-ciri pelaku (internal)yang mungkin menyebabkan mereka tidak mentaati aturan/perundang-undangan yang dibuat;

11 Ann Seidman And Robert B. Seidman, ILTAM: Drafting Evidence-Based Legislation For Demo-cratic Social Change, dikses dari http://www.bu.edu/law/

12

Page 23: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

d. Competency, faktor peran yang berwenang untukmengkomunikasikan perundang-undangan kepada pihak yang dituju/sasaran;

e. Interest, faktor yang berkaitan dengan pandangan tentang manfaatbagi pelaku, baik pembuat maupun sasaran perundang-undangan;

f. Process, prosedur bagi pelaku peran untuk memutuskan apakahmenyetujui berlakunya sebuah peraturan atau tidak;

g. Ideology, faktor yang terkait dengan nilai-nilai, sikap, selerabahkan mitos-mitos dan asumsi-asumsi tentang dunia, agama,kepercayaan, politik, sosial, dan ekonomi.

F. Sistematika Penulisan

Pengkajian ini dibuat dengan sistematika sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan

Dalam Bab I ini akan diuraikan mengenai latar belakang, identifikasimasalah, tujuan dan kegunaan, kerangka konsep, metode, sistematikapenulisan.

Bab II Perkembangan Demokrasi dan Pemilihan Kepala Daerah

Dalam Bab II ini akan dibahas mengenai perkembangan demokrasi,baik pada pemerintahan “orde lama”, pemerintahan “orde baru” danpemerintahan “orde reformasi”. Dilanjutkan dengan uraian gambaranteoritik mengenai pemilihan kepala daerah dan otonomi daerah baikyang oleh DPRD maupun yang dipilih oleh masyarakat secara langsung,segi positif dan negatif pilkada langsung, organisasi pemerintah daerah,serta masa jabatan bupati dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia.

Bab III Dasar Yuridis Pemilihan Kepala Daerah

Dalam Bab III ini akan membahas mengenai dasar yuridis pelaksanaanpemilihan kepala daerah, syarat-syarat calon kepala daerah dan wakilkepala daerah, pengusulan calon kepala daerah dan wakil kepaladaerah, masa persiapan dan tahap pelaksanaan, penetapan pemilih,kampanye, larangan kampanye, dana kampanye, pemungutan suara,penetapan calon terpilih dan pelantikan dan pemantauan pemilihankepala daerah dan wakil kepala daerah.

13

Page 24: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

Bab IV Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah

Dalam Bab IV ini akan dibahas mengenai pergeseran konsep pemilihanumum di daerah, potensi konflik dan penyimpangan pemilihan kepaladaerah, penguatan KPUD dalam pelaksanaan pilkada, yang terkaitperan dan kapasitas KPUD (menurut UU No. 32 Tahun 2004 tentangPemerintahan Daerah) dalam penyelenggaraan pilkada dan masalahnya,kapasitas KPUD selaku penyelenggara serta penguatan KPUD dalampenyelenggaraan pilkada.

Bab V Analisis Komprehensif Berbagai Aspek

Analisis yang dipakai dalam Bab V ini adalah analisis pada aspekyuridis, sosial, dan budaya. Analisis yuridis akan meliputi instrumenhukum implementasi pilkada, disharmoni hukum, dan tawaran solusi.Analisis sosial meliputi dampak sosial penyelenggaraan pilkadadan tawaran solusi. Sedangkan analisis budaya meliputi dampakkultural pelaksanaan pilkada serta solusi yang ditawarkan.

Bab VI Penutup

Bab ini terdiri dari kesimpulan dan rekomendasi.

14

Page 25: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

BAB IIPERKEMBANGAN DEMOKRASI

DAN PEMILIHAN KEPALA DAERAH

A. Perkembangan Demokrasi

Bentuk pemerintahan yang sudah dikenal sejak lama dalam sejarahketatanegaraan adalah bentuk pemerintahan monarki dan bentukpemerintahan demokrasi. Bentuk pemerintahan monarki adalah bentukpemerintahan yang pemegang kekuasaan (archy) terpusat pada satuorang penguasa tunggal, biasanya seorang raja, sedangkan yangdimaksud dengan pemerintahan demokrasi adalah bentuk pemerintahanyang menyertakan rakyat dari sejak perencanaan, pelaksanaan, danpengawasan sistem pemerintahan.

Dalam hal memahami bentuk pemerintahan, kami sependapatdengan Hans Kelsen, bahwa suatu pemerintahan apakah monarkiataukah demokrasi tercermin dari tertib hukum yang mengatur negara(legal order state) dari negara bersangkutan. Untuk negara denganbentuk pemerintahan demokrasi tentunya aturan-aturan hukumnyamendukung terwujudnya penyertaan rakyat dari sejak perencanaan,pelaksanaan, dan pengawasan sistem pemerintahan, yaitu di dalamKonstitusi.

Jabatan publik secara teoritik dipengaruhi oleh beberapa variabel,antara lain jenis kedaulatan, bentuk pemerintahan dan bentuk negara,sistem pemerintahan, sistem pembagian kekuasaan, serta sistempertanggungjawaban, yang pada umumnya diatur dalam konstitusi.Dalam konstitusi dapat ditemukan cara pandang suatu bangsa tentanglandasan filosofis, serta cita-cita yang hendak dicapai terkait dengankehidupan ketatanegaraan yang dihimpun dalam sebuah konstitusinegara terkait. Oleh karena itu, dapat dipahami jika pengertian konstitusiyang dimaksud dalam tulisan ini mengacu pada pengertian konstitusidalam arti luas.

15

Page 26: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

Konstitusi dalam arti luas, tidak hanya berisi tentang dokumenhukum saja melainkan juga tersusun berbagai pandangan filosofis,cita-cita suatu bangsa yang menjadi dasar pemberlakuan konstitusiitu sendiri dalam masyarakatnya. Dengan demikian dapat dipahami,jika kompedium pemilihan kepala daerah diawali dengan pengertiandemokrasi.

Negara sebagai organisasi kekuasaan memiliki wewenang untukmemaksakan kehendaknya pada warga negaranya. Dalam konteksini perlu diperhatikan kata “wewenang” yang membedakan negaradengan organisasi lainnya seperti kelompok mafia yang juga dapatmemaksakan kehendaknya. Yang membedakan negara dengan mafiayakni wewenang negara untuk memaksakan ketaatan terhadap aturan-aturannya dengan menggunakan kekerasan fisik yang seperlunya,diakui sebagai sah oleh masyarakat yang bersangkutan, sedangkanperintah mafia dipatuhi karena masyarakat takut terhadap kekejamanmafia. Jadi, kekuasaan mafia berdasarkan penindasan, sedangkannegara berkuasa karena diakui keabsahannya.

Dalam literatur dinyatakan, bahwa salah satu unsur mutlakkeberadaan suatu negara adalah kedaulatan. Unsur lain yang jugamutlak dimiliki adalah wilayah, rakyat atau penduduk, dan adanyapemerintahan, sedangkan pengakuan negara lain baik “pengakuanyuridis” (de iure) maupun “pengakuan secara nyata” (de facto) dikaitkandengan kemampuan menjalin hubungan diplomatik merupakan unsurrelatif bagi keberadaan suatu negara.12

Secara etimologi, kedaulatan berasal dari bahasa Latin supreanusyang berarti “yang tertinggi”.13 Pemahaman kedaulatan sebagaikekuasaan yang tertinggi dalam suatu negara juga tersirat pada istilahsumma potestas atau plenitudo potestatis yang berarti “wewenangtertinggi dari suatu kekuatan politik”.

Dengan demikian, kedaulatan adalah hak kekuasaan yang mutlakdan tertinggi sebagaimana dipahami Jean Bodin (1530-1596) dalambukunya yang berjudul Six Livres de la République, bahwa “kedaulatan

12 F. Iswara, Pengantar Ilmu Politik (Cet-7. Bandung: Binacipta,1980), hlm., 107.13 Ibid, 108.

16

Page 27: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

adalah kekuasaan mutlak dan abadi dari negara” (…la puissanceabsolute et perpetuelle d’une République).14

Pada tataran teori, konsep Jean Bodin tersebut dikaitkan dengankedaulatan internal yang juga dikenal dengan “Konsep KedaulatanTradisional” atau Teori Monistis. Teori ini mengajukan opini, bahwakedaulatan memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1. Tidak dapat dipisah-pisahkan, bahwa dalam sebuah negarakedaulatan bersifat utuh dan mutlak;

2. Asli, tidak ada kekuasaan lain yang memberikannya;

3. Sempurna, tidak ada yang dapat membatasinya.

Intisari teori Monistis tersebut, bahwa kekuasaan negaramerupakan kekuasaan tertinggi dan mutlak yang dapat memaksakanperintah-perintahnya. Negara menuntut ketaatan mutlak warganya,bahwa kekuasaan negara secara mutlak ini selanjutnya diwujudkandalam bentuk perundang-undangan, sehingga dapat dipahami dalampengertian ini negara dianggap sebagai pembentuk tertinggi dari semuaundang-undang yang berlaku.

Konsep kedaulatan tradisional atau teori monistis tersebut ditentangoleh aliran pluralis yang menyangkal, bahwa kekuasaan tertinggidan tak terbatas terdapat pada negara. Pluralisme menolak pahamlegalistik-sepihak dari kaum monistis, bahwa negara diasumsikansebagai “bentuk khusus” (species) dari “bentuk umum” (genus) yaitumasyarakat. Konsep pluralis dapat ditemukan pada ajaran kedaulatanberdasarkan perspektif Hukum Internasional, bahwa kedaulatan nasionalsenantiasa dibatasi oleh hukum internasional berkaitan dengankedaulatan eksternal.

Pemahaman teori kedaulatan rakyat (demokrasi) harus dikaitkandengan sejarah perumusannya sebagai reaksi terhadap kedaulatanmutlak atau absolutisme, sehingga absolutisme perlu dikaji secarasingkat demi konsistensi paparan teori kedaulatan rakyat. Dalamliteratur Ilmu Negara,15 Jean Bodin termasuk salah seorang pemikir

14 Ibid15 Sjachran Basah, Ilmu Negara, Pengantar, Metode dan Sejarah Perkembangan (Cet-3. Bandung:

Alumni, 1987), hlm. 153. Jika dikaitkan dengan masa pemikiran humanisme pada ranah kajian

17

Page 28: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

“Abad Pencerahan” (Renaissance) yakni masa penggalian kembalikeunggulan rasio manusia (humanisme) dan beralihnya pusat pemikiranmanusia dari yang bersifat ketuhanan (teosentris) menjadi kemanusiaan(antroposentris). Hal tersebut nampak pada legitimasi penguasa yangtidak lagi didasarkan pada kekuasaan Tuhan seperti konsep “NegaraTuhan” (civitas Dei) dan “Negara Duniawi” (civitas terrena) sepertidiajukan oleh Aurelius Agustinus (354-430), namun didasarkan pada“kodrat manusia” (ius naturale) sebagai “makhluk sosial” (animalsociale). Pemahaman ini berpengaruh pada pengertian tentangkeberadaan suatu negara sebagai salah satu bentuk partisipasi aturanhukum alam dalam ciptaan rasional sebagaimana diajukan oleh ThomasAquinas (1225-1275).

Opini Thomas Aquinas tersebut ditentang oleh Thomas Hobbes(1588-1679) yang menyangkal, bahwa negara bukan suatu ciptaanrasional manusia dalam kerangka sosial melainkan kekuasaan mutlakyang melegitimasikan diri karena ditakuti kekejamannya. Bagi Tho-mas Hobbes, keberadaan suatu negara diawali dengan kebutuhanmanusia individu yang sangat mementingkan diri sendiri, sehinggauntuk itu telah terjadi perebutan kepentingan dan untuk melindungidirinyalah, manusia kemudian bersikap seperti “serigala terhadapsesamanya” (homo homini lupus) yang pada tingkat ekstrimmengakibatkan “perang semua lawan semua” (bellum omnium con-tra omnes).

Kondisi tersebut yang terjadi pada kehidupan Thomas Hobbesmenuntut individu mengadakan perjanjian untuk menciptakan sebuahlembaga dengan wewenang mutlak menertibkan kepentingan individu,sehingga negara harus kuat dan kepala negaranya harus memilikikedaulatan mutlak untuk menegakkan ketertiban. Sebelum ThomasHobbes, terdapat beberapa orang filsuf yang juga menganut absolutismeseperti Robert Filmer (1588-1653) yang mengajukan analogi kekuasaanraja sebagai warisan dari Tuhan, yang diberikan kepada Nabi Adamdan diteruskan kepada para raja. Dalam tradisi Katolik, konsep demikian

etika dan filsafat hukum serta filsafat kenegaraan, lebih tepat jika Jean Bodin diajukan sebagaisalah satu pemikir pra-renaisanse atau “era Pelopor-pelopor Zaman Baru” menurut Theo Huijbers,Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah (Cet.3 Yogyakarta: Kanisius, 1986), hlm. 57.

18

Page 29: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

dikenal dengan istilah “kekuasaan pada pemimpin” auctoritas paternayang identik dengan konsep Kalifatullah dalam tradisi agama Islam.Robert Filmer merupakan salah seorang yang mendukung konsepkekuasaan absolut di Inggris dengan tesisnya yang menyatakan, bahwatiap kekuasaan penguasa atau seorang raja haruslah bersifat absolut.16

Tesis Robert Filmer dibantah oleh John Locke (1632-1704) yangmenyatakan, bahwa Tuhan yang memberikan kekuasaan kepada rajatetapi warga negaralah yang menyerahkan hak-haknya dalam sebuahperjanjian. Motivasi para warga negara untuk mendirikan negaraguna menjamin hak-hak asasinya, terutama hak milik individu. Tujuannegara menjalankan kekuasaan yang didelegasikan warga negara harusdibatasi dalam sebuah konstitusi yang membagi kekuasaan negaramenjadi tiga bagian, yakni legislatif, eksekutif, dan federatif.Berdasarkan opininya tersebut, John Locke dikenal sebagai pencetuskonsep negara Monarki-Konstitusional.

Semangat anti kekuasaan monarki-absolut juga terwujud dalamgagasan Jean Jaques Rousseau (1712-1778) yang menolak segalawewenang di atas rakyat, serta menuntut agar segala kekuasaanyang ada harus sesuai dengan kehendak rakyat. Bersama-sama denganfilsuf Perancis lainnya seperti Diderot, d’Alembert, serta Voltaire,Jean Jaques Rousseau dianggap sebagai inspirator Revolusi Perancis(1789-1799).

Melalui gagasan Jean Jaques Rousseau, rakyat memperoleh tempattertinggi dalam kehidupan ketatanegaraan sehingga kekuasaan pararaja dan kaum bangsawan kelak ditumbangkan dan kedaulatan rakyatditegakkan.17

16 F. Isjwara, Pengantar….,Op.cit., hlm., 109 menganggap Thomas Hobbes sebagai pendukung konsepMonarki-Absolut. Terhadap pandangannya tersebut dapat diajukan keberatan antara lain, bahwadalam karyanya yang berjudul Leviathan Thomas Hobbes tidak menyebut bentuk pemerintahankerajaan sebagai model yang sesuai dengan konsep pemikirannya. Bahkan Thomas Hobbes justrumemiliki hubungan khusus dengan Sir Oliver Cromwell yang kemudian mendirikan satu-satunyabentuk pemerintahan Republik yang pernah ada di bumi Inggris.

17 Gagasan utama Jean Jacques Rousseau ini diwujudkan kemudian oleh pengagumnya yang fanatikseperti Maximillian Robespierre salah seorang konseptor Revolusi Perancis. Bersama-sama denganMarot dan Danron, Robespierre menggulingkan kekuasaan Raja Louis XVI yang menolak kehendakumum menjadikan Perancis sebagai negara monarki-konstitusional.

19

Page 30: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

Kedaulatan rakyat diwujudkan dalam kehendak umum yaitukehendak bersama semua individu sebagai satu bangsa yang mengarahpada kepentingan bersama atau kepentingan umum, sehingga undang-undang harus mencerminkan kepentingan umum yang ditetapkan secaralangsung oleh rakyat dalam sebuah pertemuan (demokrasi langsung).

Pengertian demokrasi secara implisit kurang tepat, karenapemerintahan secara langsung oleh rakyat tidaklah dimungkinkan,sebagaimana diakui sendiri oleh Jean Jaques Rousseau, bahwa:

Jikalau kita menggunakan kata demokrasi dalam artian yangtepat, mungkin tidak ada dan tidak mungkin ada yang menghendakieksistensi pemerintah seperti itu. Karena hal itu, bertentangan dengannorma alami yang wajar, maka jumlah yang besar akan memerintahdan yang lebih sedikit diperintah. Tidak dapat dibayangkan bahwabagian terpenting dari rakyat harus dikumpulkan untuk pelaksanaansegala urusan umum….18

Jean Jaques Rousseau tetap mengasumsikan, bahwa kedaulatanrakyat bersifat mutlak, abadi, utuh, serta asli berasal dari rakyat itusendiri sehingga tidak dapat diwakilkan. Demokrasi langsung secaraideal harus diterapkan dengan syarat-syarat, antara lain: jumlah warganegara yang sedikit, kemakmuran yang relatif merata, peranan negaradibatasi pada kehendak rakyat.19

Terhadap teori Jean Jaques Rousseau tentang “kehendak umum”(volonté générale) perlu dipertimbangkan, pertama dengan teorinyatersebut Jean Jaques Rousseau telah menafikan keberadaan kaumminoritas, dan kedua cara perumusan kehendak umum dapatmengakibatkan faham demokrasi menjadi totaliter tanpa pembatasanhukum.

Menurut Jean Jaques Rousseau, kehendak umum merupakankehendak mayoritas sehingga setiap kehendak minoritas dapat dipaksa

18 Jean Jacques Rousseau, Kontrak Sosial [The Social Contract] alih bahasa oleh Soenardjo, (Jakarta:Erlangga , 1987), hlm., 22-82.

19 Demokrasi langsung dianggap ideal karena menurut Jean Jacques Rousseau segala bentuk perwakilanrakyat dapat mengasingkan manusia. Konsep kontemporer tentang keterasingan manusia dibahasapik oleh Jürgen Habermas, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi sebagai Ideologi (Technik undWissensschäft als Ideologi) diterjemahkan oleh Hassan Basari (Jakarta: LP3ES, 1990).

20

Page 31: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

taat atau jika perlu disingkirkan, karena kehendak minoritas tetapdianggap sebagai kehendak kelompok pembangkang. Dengan demikian,demokrasi menjadi totaliter tanpa jaminan konstitusional bagi kelompokminoritas yang justru bertentangan dengan gagasan demokrasi itusendiri.

Dalam gagasan demokrasi terkandung ajaran, bahwa semua orangberdasarkan hakikatnya sebagai manusia memiliki kesamaan derajat,sehingga tidak ada orang atau kelompok orang yang lebih tinggiderajatnya terhadap sesama. Dalam konteks ketatanegaraan, gagasantersebut dipahami sebagai suatu kondisi saat rakyat berdaulat atasdirinya dan penguasa harus mendapat persetujuan rakyat. Bahwakekuasaan negara menjadi sah didasarkan pada penugasan dan batas-batas wewenang yang telah diberikan oleh rakyat.

Di samping demokrasi langsung, dikenal konsep “demokrasiperwakilan” (representatives democracy) suatu konsep yangdikembangkan menyempurnakan konsep demokrasi langsung. Berbedadengan demokrasi langsung yang mengidamkan semua urusan rakyatdikendalikan langsung oleh rakyat, demokrasi perwakilan justrumengajukan pelaksanaan urusan rakyat dilakukan oleh sekelompokorang yang telah dikuasakan oleh rakyat untuk mengendalikanpelaksanaan urusan umum demi kepentingan rakyat.

Salah satu contoh sebagaimana diajukan dalam Pasal 1 ayat (2)Undang-Undang Dasar 1945, bahwa: “Kedaulatan adalah di tanganrakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis PermusyawaratanRakyat”; bahwa MPR dianggap sebagai penjelmaan seluruh rakyatIndonesia yang memiliki kekuasaan tertinggi untuk menetapkan undang-undang dasar, menetapkan garis-garis besar daripada haluan negara,serta mengangkat Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana dimuatdalam Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 tentang SistemPemerintahan Negara Angka III, sebagai berikut:

Kekuasaan Negara yang tertinggi berada di tangan MajelisPermusyawaratan Rakyat (Die gesamte Staatsgewalt liegt alleinbei der Majelis).

Kedaulatan Rakyat yang dipegang oleh suatu badan, bernamaMajelis Permusyawaratan Rakyat sebagai penjelmaan seluruh

21

Page 32: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

rakyat Indonesia (Vertretung des Willens des Staatsvolkes). Majelisini menetapkan Undang-Undang Dasar dan Garis-Garis BesarHaluan Negara. Majelis ini mengangkat Kepala Negara (Presiden)dan Wakil Kepala Negara (Wakil Presiden).

Dalam Perubahan Ketiga Undang-Udang Dasar 1945, ketentuan-ketentuan tersebut diganti antara lain: Pasal 1 ayat (2) PerubahanKetiga Undang-Undang Dasar 1945, bahwa: “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”,Pasal 3 ayat (1) Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945,bahwa: “Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah danmenetapkan Undang-Undang Dasar,” sedangkan MPR dalam PerubahanKetiga Undang-Undang Dasar 1945 tidak lagi berwenang memilihPresiden dan Wakil Presiden, karena berdasarkan Pasal 6A ayat (1)Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945, bahwa: “Presidendan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsungoleh rakyat”, sehingga MPR hanya melantik Presiden dan/atau WakilPresiden, sebagaimana diatur Pasal 3 ayat (3) Perubahan KetigaUndang-Undang Dasar 1945, bahwa: “Majelis Permusyawaratan Rakyatmelantik Presiden dan/atau Wakil Presiden”.

Berdasarkan Pasal 3 ayat (4) Perubahan Ketiga Undang-UndangDasar 1945, MPR masih memiliki kewenangan untuk memberhentikanPresiden dan/atau Wakil Presiden, bahwa: “Majelis PermusyawaratanRakyat hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presidendalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar”.

Pada ketentuan tersebut, tidak ditegaskan argumentasi wewenangpemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden tetap dilaksanakanoleh MPR, sedangkan pemilihan Presiden dan/atau Wakil Presidendilakukan secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Halini tentu mengundang ketidakpastian, serta tidak mustahil kelakmenimbulkan kontroversi antara rakyat yang memilih Presiden dan/atau Wakil Presiden dengan MPR yang menilai pertanggungjawabanPresiden dan/atau Wakil Presiden.

Bagi sebagian orang terjadinya perubahan-perubahan terhadapUndang-Undang Dasar 1945 telah menyimpang dari ideologi negara:Pancasila yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar

22

Page 33: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

1945, bahkan perubahan-perubahan tersebut dianggap menyimpangdari demokrasi Pancasila yang selama ini dijadikan pedoman kehidupanketatanegaraan di Indonesia. Terhadap pendapat tersebut perlu diajukanuraian tentang demokrasi Pancasila. Berdasarkan literatur, demokrasiPancasila merupakan konsekuensi penggolongan demokrasi dalamarti material, bahwa sumber pembentukannya didasarkan pada ideologisuatu bangsa. Pernyataan tersebut sesuai dengan opini Sri Soemantrisebagai berikut:

Pertama-tama, demokrasi dapat dilihat dari dua segi, yaitudemokrasi dalam arti material dan demokrasi dalam arti formal.Demokrasi dalam arti yang pertama adalah demokrasi yangdiwarnai oleh falsafah atau ideologi yang dianut oleh suatu bangsaatau negara. Perbedaan dalam demokrasi yang dianut oleh masing-masing negara menunjukkan adanya perbedaan yang mendasardalam demokrasi ini. Oleh karena itu, dikenal adanya DemokrasiPancasila, Demokrasi Terpimpin, Demokrasi Liberal, DemokrasiSosialis, Demokrasi Rakyat dan Demokrasi Sentralisme.20

Pengertian Demokrasi Pancasila pertama kali dijabarkan dalamSeminar Angkatan Darat II pada bulan Agustus 1966 sebagai berikut:

Demokrasi Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945, yang berarti menegakkan kembali asas-asas negara-negara hukum di mana kepastian hukum dirasakanoleh segenap warga negara, di mana hak-hak asasi manusia baikdalam aspek kolektif, maupun dalam aspek perseorangan dijamin,dan di mana penyalahgunaan kekuasaan, dapat dihindarkan secarainstitusionil…21

Dengan demikian demokrasi Pancasila pada dasarnya memenuhisecara material syarat-syarat negara demokratis, sedangkan secaraformal Kotan Y. Stefanus mengajukan syarat-syarat terwujudnya citanegara Pancasila sebagai berikut:

20 Sri Soemantri Martosoewignjo, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia (Bandung: Alumni,1992), hlm. 9-10.

21 Sebagaimana dikutip Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik. (Cet.2. Jakarta: Gramedia,1990), hlm. 74.

23

Page 34: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

Dari hal-hal tersebut lahir pandangan bahwa negara RepublikIndonesia berusaha menciptakan keseimbangan, keselarasan, dankeserasian antara kepentingan individual dengan kepentingan umum.Di samping itu, terdapat hubungan fungsional yang proporsionalantara kekuasaan-kekuasaan negara, kekeluargaan atau persatuansebagai sukma dari kehidupan kenegaraan, serta semangat gotong-royong22 (kursif dari penulis).

Adanya hubungan fungsional yang proporsional tersebut merupakanciri khas bangsa Indonesia dalam pembagian kekuasaan antar lembaga-negara yang diatur secara konstitusional dalam Undang-Undang Dasar1945. Dengan demikian, dapat dipahami dalam struktur ketatanegaraanRepublik Indonesia juga dianut asas demokrasi-konstitusional,sebagaimana pendapat Miriam Budiardjo, bahwa:

Ciri khas dari demokrasi konstitusionil ialah gagasan bahwapemerintah yang demokratis adalah pemerintah yang terbataskekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenangterhadap warga negaranya. Pembatasan-pembatasan atas kekuasaanpemerintah tercantum dalam konstitusi; maka dari itu seringdisebut “pemerintah berdasarkan konstitusi” (constitutionalgovernment). Jadi, constitutional government sama dengan limitedgovernment atau restrained government.23

Pengertian Demokrasi Pancasila menurut Abdul Kadir Besardapat didefinisikan secara substansial dan secara prosedural, sebagaiberikut:

Yang dimaksud dengan substansi dari demokrasi ialah nilai-nilaiintrinsik yang terungkap dari pandangan filsafat mengenai alamsemesta dan mengenai manusia. Pandangan Filsafat Pancasilamengenai alam semesta ialah bahwa alam semesta ini ada danterpelihara ada berkat adanya Mantikan Eksistensi Alam Semestaciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Nilai intrinsik yang terungkapdari Mantikan Eksistensi Alam Semesta tersebut ialah: integrasi.24

22 Kotan Y. Stefanus, Kajian Kritis terhadap Teori Integralistik di Indonesia (Yogyakarta: UniversitasAtmajaya, 1998), hlm. 84-85.

23 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar…, Op.cit .hlm. 52.24 Abdul Kadir Besar, Demokrasi Pancasila dan Pengaturan Penyelenggaraan Demokrasi Politik

yang terkandung di dalamnya (Jakarta: Pusat Studi Pancasila-Universitas Pancasila, 2002), hlm:52.

24

Page 35: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

Dalam pada itu, menurut pandangan Filsafat Pancasila manusiasebagai mahluk individu sekaligus mahluk sosial yang pada hakikatnyaantar manusia terdapat relasi saling tergantung. Selanjutnya AbdulKadir Besar menyatakan, bahwa:

Oleh karena itu untuk mempertahankan eksistensinya, ditempuhcara alami, yaitu terus menerus melakukan antaraksi salingmemberi. Dalam konteks saling ketergantungan ini, yang diartikandengan “memberi” ialah demi kepentingan yang diberi, yaitu:demi terpeliharanya kemampuan memberi kepada orang yanglain lagi.25

Pada paparan tersebut nampak dominasi filsafat mengenai hakikateksistensi manusia, lebih lanjut Abdul Kadir Besar menyatakan, bahwa:

Menyadari bahwa hakikat dirinya adalah saling tergantung, bahwahak yang ia miliki adalah hasil pelaksanaan kewajiban oranglain yang bertautan, bahwa kebebasannya adalah hasil antaraksidari segenap fenomena yang membentuk situasi di mana ia berada,maka hasrat alami yang ada dalam diri manusia ialah: terwujudnyakebersamaan hidup. Tanpa kebersamaan, manusia tidak dapathidup, sekurang-kurangnya tidak dapat hidup layak. Denganungkapan lain: kebersamaan adalah nilai intrinsik yang terungkapdari hakikat manusia: mahluk individu sekaligus mahluk sosial.26

Dengan demikian makna kebersamaan hidup manusia sebagaihakikat keberadaan manusia sebagai mahluk individu sekaligus mahluksosial mempengaruhi makna demokrasi Pancasila, sebagaimana diajukanAbdul Kadir Besar, bahwa:

Dalam kaitannya dengan demokrasi, nilai kebersamaan inilahyang mendasarinya; nilai kebersamaan inilah yang merupakansubstansi dari demokrasi, dan demokrasi yang demikian adalahdemokrasi yang berjatidiri Pancasila, yang kemudian kita istilahkan:Demokrasi Pancasila.27

25 Ibid, hlm. 53.26 Ibid27 Abdul Kadir Besar, Demokrasi Pancasila dan … Op.cit. hlm 53.

25

Page 36: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

Mengenai definisi prosedural atas pengertian demokrasi Pancasilaterwujud pada prosedur pengambilan putusan; prosedur rekrutmenanggota lembaga pemegang kedaulatan; prosedur mengidentifikasikehendak rakyat; prosedur penetapan kebijaksanaan yang mengikatseluruh rakyat, serta prosedur penunaian tanggung jawab. Segenapputusan yang diambil mengacu pada terwujudnya nilai kebersamaanmelalui prosedur musyawarah untuk mufakat.28

Terkait dengan paparan tersebut, dapat dipahami kontroversipada sebagian masyarakat tentang legitimasi konstitusionalpenyelenggaraan pemilihan kepala daerah secara langsung terkaitdengan landasan filosofis, sistematika pemilihan kepala daerah yangmasih termasuk dalam rezim pemerintahan, bukan rezim pemilihanumum, sehingga penyelenggaraan pemilihan kepala daerah merupakanterkait dengan pergeseran konsep otonomi daerah.

Bagi Bangsa Indonesia, bentuk pemerintahan demokrasi adalahhal baru, karena sebelum terbentuknya NKRI (Negara KesatuanRepublik Indonesia), di ‘Nusantara’ ini terdiri dari banyak kerajaandengan bentuk pemerintahan monarki yang dipimpin seorang raja.Perjalanan sejarah yang panjang yang diwarnai dengan pengalamanberganti-gantinya pemegang kedaulatan di ‘Nusantara’ menjadikansemakin dewasa dan dalam kedewasaan bernegara maka bangsaIndonesia menjadikan pemerintahan demokrasi sebagai pilihan tepatuntuk bentuk pemerintahan di Indonesia. Walaupun demokrasi ituberasal dari barat tapi tentunya telah mengalami akulturasi denganbudaya bangsa Indonesia, dan nyatanya sampai sekarangpun sepertinyaIndonesia masih mencari bentuk pemerintahan demokrasi yang tepatatau sesuai dengan karakteristik bangsa.

Bangsa Indonesia memilih bentuk pemerintahan demokrasi untukditerapkan pada sistem pemerintahan di Indonesia terutamadilatarbelakangi oleh pengalaman di masa penjajahan yaitu zamanpemerintahan Hindia Belanda juga Jepang, yang dengan sistempemerintahan monarkinya sangat kejam terhadap kaum pribumi yangsaat itu menjadi rakyat jajahannya dan tentunya bikin kapok danmerupakan kenangan buruk bagi bangsa Indonesia.

28 Ibid. hlm. 53-86.

26

Page 37: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

Dalam rangka menemukan sistem demokrasi yang sesuai dengankarakter bangsa bukanlah suatu hal yang mudah, perlu proses sesuaidinamika perkembangan masyarakat Indonesia, dan proses ini masihterus berlangsung hingga saat ini.

Pada saat kelahirannya RI, sistem pemerintahan demokrasi belumterbentuk yang ada saat itu adalah bentuk pemerintahan monarkikarena segala kekuasaan dijalankan oleh Presiden dengan bantuanKNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat). Walaupun demikian sistempemerintahan semakin kuat dikarenakan sifat dari para pemimpinnegara saat itu yang sangat kekeluargaan (college cal). Dalam rangkamenuju negara demokrasi KNIP mengambil inisiatif perubahan danpada tanggal 7 Oktober 1945 diadakan referendum. Saat itu 50orang anggota KNIP mendesak Presiden untuk membentuk MPRdan sebelum terbentuk maka KNIP dianggap MPR.

Pada sidang KNIP tanggal 16 Oktober 1945 dihasilkan MaklumatNomor X yang memberi kekuasaan pada KNIP dan dasar untukmendirikan Badan Pekerja. Dengan maklumat dikeluarkannya Presidenpada 14 Nopember 1945 maka berakhirlah pemerintahan monarkidan berganti dengan sistem pemerintahan demokrasi. Pimpinan kabinetsaat itu adalah Perdana Menteri Syahrir.

Pemerintahan Indonesia yang demokratis tersebut dalamperjalanannya menghadapi kendala yang sangat berat terutama daripihak belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia, bahkan padatanggal 19 Desember 1948 RI nyaris hilang dari “Bumi Pertiwi”,untunglah berkat kekuatan, keuletan, rakyat dan bantuan duniainternasional maka pada 6 Juli 1949 pimpinan RI kembali ke Yogyakartadan memerintah dengan Konstitusi RIS sejak tanggal 29 Oktober1949.

Pemerintahan RIS dalam negara hukum demokratis berbentukfederal dengan meliputi 7 (tujuh) negara berstatus negara bagian dan10 (sepuluh) negara berdiri sendiri.

Sistem pemerintahan federal hanyalah untuk peralihan saja, sebabsistem pemerintahan yang dikehendaki oleh konstitusi adalah negarakesatuan yang Unitarian. Karena Konstitusi RIS sendiri melalui Pasal

27

Page 38: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

43 dan 44 nya memberi jalan untuk penggabungan negara-negarabagian menjadi negara kesatuan.

Melalui piagam-piagam persetujuan antar negara bagian satupersatu menyatu dengan RI dan yang terakhir, yaitu tepatnya padatanggal 19 Mei 1950 Negara Indonesia Timur dan Sumatera Timurmenyatu dengan RI, dan karenanya RI menjadi NKRI kembali. DenganKonstitusi UUD Sementara.

Untuk jalannya demokrasi NKRI mengadakan pemilu pertamakali yaitu pada tanggal 1 April 1954, dan anggota Konstituante(DPR) disumpah pada tanggal 23 Maret 1956. Sayangnya karenaKonstituante tidak dapat bekerja untuk merumuskan UUD sesuaiharapan rakyat, maka konstituante dibubarkan dengan Dekrit Presidenpada tanggal 5 Juli 1959. Sejak dekrit ini UUD Sementara tidakberlaku lagi dan kembali ke UUD 1945.

A.1.Pemerintahan “Orde Lama”

Walaupun UUD 1945 menganut pemerintahan demokrasitapi nyatanya pemerintahan “Orde Lama” ini adalah “monarki”karena kekuasaan terfokus pada satu orang yaitu Presiden Soekarnosebagai ‘Bapak Pemimpin Besar Refolusi’. Dilihat dari aspekpolitik saat itu Indonesia sangat dihargai di forum-foruminternasional, tetapi sayangnya terjadi konfrontasi dengan Malaysiadan terjadinya pemberontakan PKI.

Perekonomian saat itu memburuk dengan ditandai meluasnyakemiskinan yang menyengsarakan rakyat. Akibatnya timbulkeresahan masyarakat dan timbulah kekacauan yang menjadilatar belakang keluarnya “Surat Perintah Presiden pada tanggal11 Maret 1966” yang ditujukan pada Letjen Soeharto. Berdasarkan“Super Semar” maka Jenderal Soeharto menyelenggarakan SidangUmum ke IV, dan keluarlah Tap MPRS No. XIII/1966 yangmembentuk Kabinet Ampera dengan pemimpin Presiden Soekarnodan dibantu oleh Jenderal Soeharto. Kemudian dengan Tap MPRSNo. XLI/1968 ditetapkan Kabinet Pembangunan dengan pimpinanPresiden Letjen Soeharto.

28

Page 39: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

A.2.Pemerintahan “Orde Baru”

Walaupun dalam “Panca Krida” yang menjadi programKabinet Pembangunan digariskan bahwa pemerintah harusmenindak setiap penyelewengan terhadap Pancasila dan UUD1945 yang jelas-jelas menganut sistem demokrasi, tetapi nyatanyajuga monarki, karena kekuasaan terfokus pada satu orang yaituPresiden Soeharto sebagai “Bapak Pembangunan”. Saat itukekuatan sosial politik difokuskan pada Partai Golkar sebagaipilar kekuatan politik pemerintah yang tak tertandingi oleh partaimanapun pada saat itu.

Pada zaman “Orde Baru” orientasi ekonomi terlalumempercayakan pada beberapa gelintir pemodal besar(konglomerat), dan ekonomi kerakyatan kurang mendapat perhatian.Nyatanya saat terjadi guncangan ekonomi dunia ternyatakonglomerat tidak mampu bertahan, banyak yang hengkang keluar negeri dan banyak yang mengalami kebangkrutan. Akibatnyapemerintahan “Orde Baru” mengalami keterpurukan multi demensidan berpuncak tahun 1998, dan timbullah kekacauan danberakhirlah pemerintahan “Orde Baru”.

A.3.Pemerintahan “Orde Reformasi”

Dengan jatuhnya Presiden Soeharto pada tahun 1998 semangatkolektif masyarakat Indonesia mempunyai visi yang ideal, yaituuntuk mengubah tatanan politik “Orde Baru” kearah demokrasiyang berakar dan bersumber pada rakyat dan bukan “Pseudedemokrasi” atau “demokrasi bikin-bikinan”. Visi dimaksudkanadalah sebagai koreksi pada demokrasi yang diterapkan padaSistem Pemerintahan Orde Baru”. Sebagai imbasnya maka terjadipula perubahan besar dalam sistem pemerintahan terutama dalamhal hubungan antara pemerintahan Pusat dan Daerah yang ditandaidengan penggantian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 olehUndang-Undang Nomor 32 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah,serta Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang PerimbanganKeuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Yang kemudiandiubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 danUndang-Undang Nomor 33 Tahun 2004.

29

Page 40: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

Selain itu reformasi juga mengadakan perubahan yang sangatfundamental, yaitu melakukan amandemen Undang-Undang Dasar1945 sampai empat kali (1999,2000,2001, 2002). Denganamandemen, maka Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945mengalami perubahan dan penambahan ayat baru, yang padaintinya adalah memperjelas, memperinci sistem pemerintahandaerah yang isinya adalah: Bahwa “Pemerintah Daerah menjalankanekonomi seluas-luasnya, kecuali urusan-urusan pemerintahan yangoleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat(Ayat 5). Bahwa “Pemerintah Daerah berhak menetapkan peraturandaerah dan peraturan lainnya untuk melaksanakan ekonomi dantugas pembantuan” (Ayat 6). Bahwa “Pemerintah Daerah Provinsi,Daerah Kabupaten, dan Kota memiliki Dewan Perwakilan RakyatDaerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum”(Ayat 3).

Dengan perubahan-perubahan terhadap materi Pasal 18Undang-Undang Dasar tersebut jelas untuk proses pembentukansistem pemerintahan demokrasi yang sesuai dengan karakteristikBangsa Indonesia. Di mana Pemerintah daerah dan kepala daerahselaku pimpinan tertinggi pemerintahan di daerah lebih dioptimalkantugas dan fungsinya untuk kepentingan rakyatnya.

B. Pemilihan Kepala Daerah dan Otonomi Daerah

Pada tahun 2004 bangsa Indonesia berhasil menyelenggarakanpemilu legislatif dan pemilu presiden secara langsung oleh rakyatyang pelaksanaannya berlangsung relatif tertib dan demokratis. Dengankeberhasilan tersebut telah menjadikan dorongan atau modal semangatdiselenggarakannya pilkada langsung oleh rakyat. Rakyat menuntutagar Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah pun dipilih secara langsungoleh rakyat daerahnya. Oleh karenanya pemerintah meresponnya dengancara merevisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentangPemerintah Daerah.

Hampir tidak dapat dipisahkan antara konsep pilkada dan otonomidaerah. Artinya, ada korelasi yang signifikan analisis pemilihan kepaladaerah dengan pergeseran konsep otonomi daerah, bahwa otonomi

30

Page 41: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

daerah merupakan konteks bahkan prasyarat dari adanya pemilihankepala daerah. Otonomi daerah, seperti diketahui muncul karena adanyainstrumen desentralisasi (Hoessein: 1993, Cheema dan Rondinelli:1983, Smith: 1985). Instrumen ini hadir karena mustahilnya kehidupanbernegara diselenggarakan secara sentralistik belaka. Yang harusdiperhatikan bahwa baik dalam praktik maupun wacana akademik,instrumen ini memiliki serangkaian nilai yang ingin diraih. Nilai-nilai tersebut sangat penting dalam kehidupan bernegara yang beradab,selanjutnya desentralisasi sendiri menjadi sepadan dengan nilai-nilaitersebut (Hossein: 1993). Nilai-nilai yang dimaksud antara lain: Nation-building, Demokratisasi, Lokal-autonomy, Efisiensi, dan Pembangunansosial-ekonomi.

Otonomi daerah itu dimiliki masyarakat (Smith: 1985). Otonomitidak mungkin diterima oleh pihak lain dalam satu negara bangsayang menyelenggarakan desentralisasi kecuali masyarakat (lokal) yangada. Sehingga otonomi ditujukan untuk kepentingan masyarakat (lokal).Otonomi harus mencerminkan problem-problem yang berkembang ditengah-tengah masyarakat (lokal), otonomi pun harus menjadi wahanapencarian solusi problem lokal tadi. Bahkan para pakar hukummengatakan, otonomi harus mampu menjadi tempat mengakomodasikearifan lokal.

Dalam hal demikian, masyarakat (lokal) yang menerima otonomiharus diberdayakan dan harus mampu bertindak demi kepentingantersebut. Masyarakat harus memahami betul teknik berpemerintahandi era modern sesuai konsep negara bangsa walaupun konseppemerintahan tradisional dan bahkan masih terpelihara dalam kehidupandi tingkat Desa, tetapi konteks pemerintahan negara bangsa yangmodernpun harus dikenal masyarakat, sehingga tidak terlindas oleharus globalisasi dan tuntutan zaman yang semakin menuju peradabanuniversal.

Masyarakat lokal yang menerima otonomi dalam satu yurisdiksiwilayah tertentu tersebut dikenal sebagai daerah otonom. Pertama-tama tentu harus ada demokrasi perwakilan dan kemudian disusuloleh lembaga eksekutif yang akan menjadi pengendali pemerintahan.Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

31

Page 42: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

Daerah, dikenal tiga jenis daerah otonom di Indonesia: Provinsi,Kabupaten dan Kota. Demokrasi perwakilan yang dimaksud diwujudkanmelalui lembaga DPRD di tiga daerah otonom tersebut dan lembagaeksekutifnya adalah Pemerintah Daerah masing-masing yakni KDHbeserta perangkatnya yang memiliki sebutannya masing-masing.

Lahirnya eksekutif dan birokrasi (lokal) di samping lembaga-lembaga politik tadi sudah ada sejak negara bangsa ini ada karenakebijakan desentralisasi yang sudah ada sejak dulu. Dengan demikianseringkali otonomi daerah yang dimiliki masyarakat dikalahkan olehkepentingan birokrasi yang sudah memiliki informasi yang lebih banyakperihal pemerintahan tersebut. Dalam derajat tertentu, kondisi tersebutperlu mendapat imbangan kemampuan masyarakat menjadi pengawaskerja birokrasi lokal dalam rel-rel demokrasi demi kepentingan bersama.

Pengawasan yang dilakukan masyarakat salah satunya yaknipada saat pengisian jabatan politis, anggota DPRD dan kepala eksekutifdi masing-masing Daerah. Sekarang ini, kepala eksekutif dipilih langsungoleh masyarakat. Ini pun merupakan alat pengawasan yang palingtinggi dari masyarakat kepada kinerja pemerintah daerah.

Otonomi daerah sebagai akibat dari desentralisasi tidak lainmerupakan satu ‘value’ yang hendak dicapai dalam pemerintahansebuah negara bangsa. Nilai tersebut sejalan dengan nilai demokrasiyang perwujudannya dilalui dengan ditampungnya aspirasi masyarakatyang luas dalam pelaksanaan pemerintahan daerah. Adanya organpolitik dalam pelaksanaan otonomi daerah membawa perlunya aksesmasyarakat terhadap mekanisme pengisian jabatannya. Memang selamaini dapat dilalui dengan demokrasi perwakilan.

B.1.KDH Yang Dipilih oleh DPRD

Humes IV (1991) memetakan pola-pola pemerintahan daerahmenurut dimensi pengawasan dari DPRD dan Wakil pemerintahpusat di daerah menjadi empat macam tipe.

Pertama, functional regulation, seperti di Inggris bahwa DPRDberperan penuh mengawasi jalannya pemerintahan daerah tidakada wakil pemerintah di daerah, bahwa pejabat pemerintah pusatsektoral di daerah yang mengawasi bidangnya masing-masing.

32

Page 43: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

Kedua, dual supervision, seperti di Perancis. DPRD berperanlemah terhadap pengawasan pemerintah daerah karena pengawasanyang kuat justru dari wakil pemerintah pusat (WPP) di daerahditambah adanya pejabat pemerintah pusat sektoral yang mengawasipula bidang-bidangnya. Bahkan DPRD sendiri diawasi pula olehlembaga WPP ini.

Ketiga, dual subsidiary, seperti di Jerman yang hampir miripdengan Inggris bahwa DPRD punya peran kuat mengawasipemerintah daerah tetapi didukung pengawasan oleh WPP. Peranpejabat pemerintah di daerah sektoral dikurangi.

Keempat, dual subordination, seperti di mantan Uni-Soviet dimana pengawasan DPRD sangat dikurangi. Pengawasan lembagaini diwujudkan melalui pengawasan partai tunggal dipemerintahannya. Praktis, yang mengawasi jalannya pemerintahdaerah adalah pemerintah pusat melalui aparaturnya di daerahdan ditambah partai tunggal yang berkuasa.

Dipilihnya KDH baik oleh DPRD maupun masyarakat secaralangsung membawa kedudukan KDH dalam pandangan Khandan Muthallib (1981) bersifat politis. Dipilih oleh DPRD, membawaposisi KDH lemah karena KDH harus akuntabel terhadap DPRD.Namun, kelemahan tersebut menjadi berkurang jika birokrasidaerah ada di tangan KDH murni. Kedudukannya akan berkurangjika terdapat campur tangan DPRD, dan semakin lemah jikamemang DPRD mengambil posisi penuh menentukan birokrasidaerah pula.

Dalam hal ini perlu dilihat KDH berkedudukan sebagaiWPP pula (dual function) atau tidak. Jika tidak sebagai WPPapakah terdapat WPP di sana? Jika tidak ada WPP bagaimanadengan pejabat pemerintah pusat sektoral yang ditempatkan didaerah? Bagaimana pula sistem pembagian kewenangan yangditerapkan secara makro, apakah ‘ultra vires’ ataukah ‘generalcompetence’.

Terlepas dari hal-hal tersebut, dipilihnya KDH oleh DPRDmemiliki keuntungan dan kelebihan relatif menurut beberapa

33

Page 44: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

kriteria. Pemilihan KDH dapat dilihat berdasarkan kriteria: (1)kualitas KDH terpilih; (2) akuntabilitas publik dan responsive-ness; (3) efisiensi pemilihan; (4) jaminan transparansi dan fair-ness. Dipilihnya oleh DPRD, KDH yang terpilih relatif lebihberkualitas karena dikenal oleh elite-elite politik yang berkecimpungdi dalam pemerintahan daerah dan jaminan telah mengenaldaerahnya dengan baik lebih teruji. Namun akuntabilitas publikdan responsivenessnya relatif kurang karena dipilih oleh lembagaelite lokal (DPRD).

Dari sisi efisiensi sampai terpilihnya seorang KDH, prosesseperti ini cenderung tinggi walaupun fairness dan transparansinyaberkurang.

B.2.KDH Yang Dipilih oleh Masyarakat Secara Langsung

Kepala daerah yang dipilih langsung oleh masyarakat sudahdipastikan berkedudukan kuat, politis dan cenderung tunggal.Kemudian kedudukan yang kuat ini harus dibandingkan puladengan KDH yang dipilih oleh DPRD, baik KDH berkedudukansebagai Wakil Pemerintah Pusat pula (dual function) atau tidak.Jika tidak sebagai WPP apakah terdapat WPP di sana? Jikatidak ada WPP bagaimana dengan pejabat pemerintah pusat sektoralyang ditempatkan di daerah? Bagaimana pula sistem pembagiankewenangan yang diterapkan secara makro, apakah ‘ultra vires’ataukah ‘general competence’.

Kedudukan kuat seperti ini dimiliki oleh pola ‘strong ma-jor’ di Amerika Serikat. Bagaimana hubungannya dengan DPRD,apakah DPRD memiliki rangkaian pengawasan yang variatifpula? Apakah sampai pada hak ‘impeachment’? peran sepertiapa yang diambil oleh Pemerintah pusat terhadap kedua lembagatersebut. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut dapatsepenuhnya membawa pola ke strong major Amerika Serikat,atau ke arah variasi-variasi yang bisa dilakukan oleh sebuahsistem pemerintahan daerah.

Dipilihnya oleh DPRD, KDH yang terpilih relatif lebih kurangberkualitas karena dikenal terbuka ke seluruh lapisan masyarakat

34

Page 45: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

dan terbuka bagi ‘new comers’. Namun, akuntabilitas publikdan responsivenessnya relatif tinggi karena dipilih langsung olehkonstituen. Dari sisi efisiensi sampai terpilihnya seorang KDH,proses seperti ini cenderung rendah walaupun fairness dantransparansinya bisa jadi lebih tinggi.

Menggabungkan keunggulan kedua proses pengisian jabatanKDH, terdapat variasi di berbagai praktik pemerintahan daerahbahwa KDH dapat saja dipilih melalui proses gabungan yaknidua tahapan. Pertama, dilakukan penjaringan dan pencalonanserta pemilihan di tingkat DPRD; kemudian, Kedua, dilakukanpemilihan langsung oleh Masyarakat.

B.3.Segi Positif dan Negatif Pilkada Langsung

Dari berbagai pandangan dapat ditarik hipotesa bahwaPILKADA mempunyai sisi positif dan negatif. Segi Positiftersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Melalui pilkada langsung diharapkan masyarakat pemilihdapat menentukan sendiri kepala daerahnya masing-masing,tanpa campur tangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah(DPRD).

2. Melalui pilkada langsung diharapkan bisa memotongkecenderungan menguatnya oligarhi partai-partai dalampenentuan kepala daerah.

3. Melalui pilkada langsung diharapkan mengurangi fenomenapolitik uang (money politics) yang begitu marak dalam pilkadatidak langsung oleh para wakil rakyat di parlemen lokal.

4. Melalui pilkada langsung diharapkan dapat menciptakanstabilitas politik dan efektivitas pemerintah di tingkat lokal.

5. Melalui pilkada langsung diharapkan akan memperkuat danmeningkatkan kualitas seleksi kepemimpinan nasional, karenadengan pilkada langsung makin terbuka peluang munculnyapemimpin-pemimpin nasional yang berasal dari bawah dan/atau daerah.

Selain sisi positif Pilkada juga memiliki segi negatif yangperlu dicari jalan keluarnya. Dalam Pilkada, gelanggang kompetitif

35

Page 46: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

dari dalam Parlemen pindah keluar parlemen. Sehingga perlusistem pengendalian ekstra ketat agar tidak menimbulkan konflikkeras di tengah-tengah masyarakat (konflik horizontal) yang padagilirannya dapat mengganggu keamanan lingkungan dan dapatmembawa korban jiwa maupun harta benda.

Pada gelombang pertama penyenggaraan pilkada langsungtidak kurang dari 181 kabupaten, kota dan provinsimenyelenggarakan pilkada langsung, dan nyatanya banyak terjadikasus keributan yang membawa korban jiwa dan harta tidaksedikit.

C. Organisasi Pemerintah Daerah

Mulai ada daerah otonom di “Nusantara” adalah sejak zamanHindia Belanda, yaitu pada tahun 1920, yaitu sejak dikeluarkannyaRegeling Reglemen yang isinya membagi wilayah “Nusantara” atasdaerah-daerah yang berhak mengurus rumah tangga sendiri. Sekarangini sistem pemerintahan yang ditandai dengan otonomi luas dandemokratis lebih dominan daripada dekonsentrasi.

Pasal 1 ayat (2)-(5) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004menentukan bahwa, Pemerintah Daerah adalah penyelenggara urusanpemerintah oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas otonomidan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalamsistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pemerintahan Daerah adalah Gubernur, Bupati atau Wali Kota,dan perangkat daerah sebagai unsur rakyat daerah yang selanjutnyadisebut DPRD, adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagaiunsur penyelenggara pemerintah daerah. Pemerintahan daerah adalahmeliputi hak, kewenangan, dan kewajiban daerah otonom untukmengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentinganmasyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undanganyang berlaku. Pemerintah daerah adalah substansi dari sistempemerintahan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), karenanyadalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan ada salingketerkaitan antara legislasi pusat dan legislasi daerah.

36

Page 47: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

Dalam literatur asing, peristilahan untuk perwakilan di tingkatlokal digunakan council. Keberadaan DPRD ini bersifat mendasardalam pemerintahan daerah karena menyangkut nilai-nilai demokrasiseperti dikatakan oleh Khan dan Muthallib (1981). Terdapat beberapavariabel penting yang mempengaruhi kinerja DPRD ini.

Khan dan Muthallib (1981) mensinyalir bahwa bentuk alamiahdewan lokal sekarang ini di dunia hanya berupa satu kamar (onechamber). Kamar ini diisi melalui pemilu. Leemans (1970) sampaipada akhir 60-an, melihat bahwa di negara-negara berkembang pengisiankeanggotaan dewan lokal bervariasi dalam tiga kelompok pengisian:(1) pegawai pemerintah pusat di daerah umumnya merangkap sebagaianggota; (2) Pemerintah atau wakilnya di daerah menunjuk ataumenetapkan beberapa waga masyarakat daerah menjadi anggota dewan(baik diadakan pemilihan maupun tidak); dan (3) pemilihan langsungoleh warga masyarakat.

Di antara variabel-variabel yang dikemukakan oleh Khan danMuthallib (1981), bentuk formal council (DPRD) merupakan variabelyang secara jelas berdekatan dengan penjelasan mengenai hubunganantara Council dengan eksekutif lokal (KDH). Sebagaimana diungkapdi bab I, Khan dan Muthallib (1981) menuliskan adanya dua kelompokbentuk formal DPRD. Secara ringkas, kelompok pertama menempatkanDPRD sebagai sumber otoritas birokrasi lokal bisa bersama KDHatau tanpa KDH seperti di Inggris, sedangkan kelompok kedua tidakberperan sebagai sumber otoritas birokrasi karena dipegang olehKDH (eksekutif).

Kedua bentuk formil tersebut mempengaruhi hubungan antaraDPRD dan KDH, hak dan wewenang DPRD dan kewajibannya dalampemerintahan. Oleh karena itu mengurai kelembagaan DPRD tentutidak bisa dilepaskan dengan pembahasan kelembagaan KDH (eksekutiflokal). Khan dan Muthallib (1981) kembali mengatakan bahwa:

“The lokal executives may be classified on threefold basis:number, nature, and position. On the basis of number, one mayidentify two forms: mono-executive and plural-executive… Bynature, there can be political and non-political executive, whileon the basis of legal powers and position lokal executives canbe divided into two board: strong and weak….”

37

Page 48: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

Pendapat tersebut membawa kepada kemungkinan adanya delapanbentuk eksekutif lokal. Kedelapan bentuk tersebut, semuanya dalamhubungannya dengan DPRD (council) berpola pada dua kategoritersebut. Jika dibuat bahwa menurut jumlahnya dapat diberi labelkatakanlah: mono (1) dan plural (2), dan dari ‘nature-nya adalah:politis (3) dan non-politis (4); kemudian dari posisisnya adalah kuat(5) dan lemah (6), maka kedelapan pola tersebut adalah sebagaiberikut:

Pada saat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, Indonesiamenganut 100% mono eksekutif. Menurut Undang-Undang Nomor22 Tahun 1999, KDH dipilih bersama Wakil KDH dan tugas-tugasnyaseringkali dalam praktik dibawa bersama-sama, Indonesia tidak lagi100% mono eksekutif. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 puntidak jauh berbeda dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999hanya saja mulai dilakukan pemilihan kepala daerah secara langsung.Ketiga undang-undang tersebut menganut ekskutif yang bersifat politis(dipilih oleh DPRD/tidak langsung oleh masyarakat) dan berkedudukankuat (membentuk birokrasi daerah).

Tabel 1Pola Kemungkinan Eksekutif

Pola Eksekutif

A

B

C

D

E

F

G

H

Kombinasi

1-3-5

1-3-6

1-4-5

1-4-6

2-3-5

2-3-6

2-4-5

2-4-6

Keterangan

Mono-politis-kuat

Mono-politis-

lemah

Dst.

Sumber: Khan dan Muthallib (1981)

38

Page 49: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

Untuk mengawali bangunan teoretik hubungan DPRD (council)dan KDH (lokal executive), berikut dipaparkan hubungan legislatifdan eksekutif daerah yang dikembangkan di Amerika Serikat karenaterdapat variasi yang cukup kompleks. Di Amerika Serikat terdapatempat sistem berikut (Pinch: 1985):

1. ‘commissioners system’; komisioner hasil pemilihan langsungmasyarakat, menentukan dan mengelola dinas-dinas/lembagabirokrasi daerah;

2. ‘council-manager system’; manajer hasil pilihan dewan bersamamajornya menentukan dan mengelola dinas-dinas/lembaga birokrasidaerah;

3. Pola ‘weak major’; jika dinas/lembaga birokrasi daerah diisimelalui pemilihan langsung dari warga, sedangkan KDH-nyaoleh DPRD yang terpilih;

4. ‘strong major’; KDH dipilih langsung oleh publik, kemudianmenentukan dan mengelola dinas/lembaga birokrasi daerahnya;sedangkan di Inggris di tangan Dewan dan tanpa mayor/KDH(mirip commissioner system).

Masing-masing pola memiliki karakter hubungan tersendiri. Padasaat ini, Indonesia berada di antara pola strong-major dan council-manager. Dikatakan strong major, karena Kepala Daerah (KDH)mengembangkan birokrasinya sendiri. Dikatakan council-manager,karena KDH hasil pilkada langsung mengangkat seorang SekretarisDaerah yang berperan besar dalam pemerintahan daerah atas persetujuanDPRD (council) meskipun usul mengenai jabatan Sekda Kabupaten/Kota dimintai pula persetujuannya ke Gubernur. Dewasa ini, SekretarisDaerah di Indonesia seolah-olah manager di daerah, dengan perananyang besar dalam manajemen sehari-hari pemerintahan daerah danmodel tersebut menghendaki tidak dipilihnya secara politis seorangmanager.

Dengan demikian, Indonesia tidak mencontoh salah satu punbentuk dari Amerika, apalagi Inggris yang memang mirip ‘commisionersystem’ di Amerika. Sesungguhnya pun pada masa lalu saat KDHditentukan melalui proses pemilihan dari DPRD bahkan terdapatintervensi Pemerintah Pusat untuk menentukan calon terpilih tanpa

39

Page 50: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

berdasarkan suara. Baik Inggris maupun Amerika rekruitmen KDHtidak melalui proses yang demikian. Dalam hal ini Indonesia banyakmencontoh Perancis, walaupun kini sistem Pemerintahan daerah diPerancis pun mengalami perubahan dalam pemilihan KDH-nya (HumesIV: 1991). Sistem pemilihan KDH ini selanjutnya akan mempengaruhibentuk hubungan antara KDH dan DPRD.

Humes dan Martin (1969: 126) mengatakan:

“Just as the representative and staff aspects of focal represen-tative governing process are so closely interwoven that it isimpossible to segregate the two, so are the representative andstaff aspects of the role of the chief executive difficult to dis-tinguish clearly. Each is dependent upon the other. The leadingrole of the chief executive in the representative process en-hances his ability to get things done as the top official direct-ing the staff. On the other hand, his role as the overall directorof the staff puts him in a stronger position not only to formu-late and initiate the ideas which are presented to the council,but also to influence the decisions which it makes”.

Oleh karena itu, Humes dan martin (1969: 127) mengatakanbahwa untuk menganalisis pengaruh dari KDH atas pembuatankeputusan dalam DPRD perlu dibedakan bentuk-bentuk atau polaKDH baik dia sebagai ‘chairman’ dalam DPRD itu sendiri ataukahmemang jabatan strategis karena dipilih langsung dari masyarakat.

KDH bukan sebagai ‘chairman’ atau ‘board chairman’ dariDPRD, seorang KDH dapat berupa single chief executive atau plu-ral. Dalam hal KDH memiliki posisi strategis, pengaruhnya terhadapproses pengambilan keputusan melalui empat tahapan: (1) KDH dapatmenyiapkan ide-ide untuk dijadikan proposal kebijakan; (2) KDHmenyampaikan proposal kebijakan kepada DPRD; (3) DPRD menilaiapakah disetujui, modifikasi, atau ditolak; dan (4) implementasikebijakan.

KDH yang bertindak sebagai ‘chairman’ atau ‘board chairman’tidak sampai memasuki tahapan keempat karena terdapatnya kepalaeksekutif operasional bahkan bisa di berbagai bidang tergantung keadaandi daerahnya masing-masing. Tahapan awal dalam pola ini juga bisa

40

Page 51: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

berangkat di dalam tubuh DPRD sendiri di antara komisi-komisi didalam tubuh DPRD mulai digodok ide-ide kebijakan daerah.

Keadaan KDH bukanlah sebagai ‘chairman’ dari DPRD, semakinkompleks jika intervensi Pemerintah Pusat memiliki andil terutamadalam proses pemilihan KDH-nya. Negara-negara yang menganutini antara lain: Perancis, Belanda, Sudan, Indonesia (Undang-UndangNomor 5 Tahun 1974), dan negara-negara bekas jajahan Inggris diAfrika, Spanyol, dan jajahan Belanda.

D. Masa Jabatan Bupati Dalam Sistem Ketatanegaraan di Indonesia

Penentuan masa jabatan lembaga-lembaga negara baik pada tingkatpusat maupun tingkat daerah merupakan suatu kemestian. Hal inipenting untuk mengingat tenggang waktu yang lama bagi seseorangyang menjabat. Jika makin lama seseorang menjabat maka ada duahal yang mungkin akan terjadi, yaitu: Pertama, Proses regenerasitidak berjalan sehat; Kedua, Kemungkinan disalahgunakannyakekuasaan lebih terbuka.

Oleh karena itu masa jabatan harus ditentukan dan dibatasi.Pembatasan masa jabatan berarti menciptakan proses penyegarankarena telah terjadi regenerasi akibat adanya penggantian jabatanyang dilakukan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku. Pembatasanmasa jabatan pun akan menghindarkan penyalahgunaan jabatan karenaterlalu lama menjabat.

Biasanya penentuan masa jabatan dianut oleh negara-negara yangdemokratis. Tetapi di era modern sekarang ini, dalam negara monarkipun pembatasan masa jabatan sudah dianggap penting. Hampir semuanegara telah menentukan masa jabatan pejabat negara. Ada negarayang berlangsung menentukan masa jabatan dalam konstitusi, adajuga yang mengaturnya dalam ketentuan hukum yang berada di bawahkonstitusi. Pembatasan masa jabatan bukan saja pada kekuasaaneksekutif tetapi mencakup pula pada lembaga legislatif dan judikatif.Umpamanya di Jepang, masa jabatan anggota Dewan PerwakilanRakyat (DPR) dibatasi. Menurut Pasal 45 ayat (1) Konstitusi Jepangmenyebutkan: “Jangka waktu jabatan anggota Dewan PerwakilanRakyat empat tahun”. Dalam kerajaan Swedia, kekuasaan raja bisa

41

Page 52: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

dibatasi bahkan kalau kekuasaan raja berakhir otomatis digantikanraja baru, tetapi untuk sementara menugaskan bupati untuk memangkujabatan. Dalam Pasal 4 Konstitusi Swedia menyebutkan: “Bilamanakekuasaan kerajaan berakhir, Parlemen akan menugaskan Bupati untukmemangku jabatan sementara Kepala Negara sampai ada keputusanlembih lanjut. Parlemen pada waktu yang sama menunjuk WakilBupati”. Memang aneh jika dibandingkan dengan Indonesia. Di SwediaBupati bisa menggantikan sementara jabatan Kepala Negara sampaiParlemen menentukan kepala negara yang baru.

Di Amerika Serikat sebagai negara demokratis, menentukan masajabatan Presiden empat tahun. Dalam Pasal 1 ayat (1) KonstitusiAmerika Serikat menentukan: “Kedudukan eksekutif terletak padaPresiden Amerika Serikat. Ia akan menduduki jabatannya untuk jangkawaktu empat tahun dan bersama-sama dengan Wakil Presiden terpilihuntuk jangka waktu yang sama...”. Di Amerika Serikat masa jabataneksekutif bisa dua kali masa jabatan pada jabatan yang sama secaraberturut-turut. Di Singapura, masa jabatan Presiden ditentukan empattahun (Pasal 17 ayat (3) Konstitusi Singapura). Singapura adalahnegara Republik, tetapi dalam sistem ketatanegaraannya memilikiPerdana Menteri. Presiden mengangkat seorang anggota parlemensebagai Perdana menteri. Di Uni Soviet masa kerja jabatan-jabatanPusat dan Pejabat lokal ditentukan berbeda-beda. Menurut Pasal 90Konstitusi Uni Soviet menyebutkan: “Masa kerja Soviet setinggiURSS, Soviet-Soviet tertinggi Republik Otonom adalah lima tahun”.Masa kerja dari Soviet-Soviet perwakilan rakyat lokal adalah duasetengah tahun.

Masa-masa jabatan dalam lembaga-lembaga negara di berbagainegara sebagaimana dikemukakan di sini menunjukkan bahwa jabatanapapun yang diamanatkan kepada seseorang selalu ada restriksi ataupembatasan. Dengan demikian sebenarnya penentuan pembatasan masajabatan di era sekarang ini baik dalam negara monarki maupun republiksudah merupakan yang lumrah.

D.1.Masa Jabatan Pejabat di Masa Lampau

Masa jabatan pejabat tinggi negara di Indonesia pada umumnyamemang ditentukan oleh Konstitusi (UUD 1945) selama masa

42

Page 53: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

lima tahun. Pasal 7 UUD 1945 misalnya menyatakan: “Presidendan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dansesudahnya dapat dipilih kembali”. Masalahnya berapa kali seorangpresiden menjabat tidak ditentukan oleh konstitusi. Akibatnyasering kali masa jabatan ini menjadi ranah politik. Siapa yangberkuasa maka masa jabatan itu bisa saja ditentukan tanpa batas.Di masa pemerintahan Orde Lama, Majelis PermusyawaratanRakyat Sementara (MPRS) pernah menetapkan Ir. Soekarnosebagai Presiden seumur hidup. Ketetapan MPRS Nomor III/1963 telah mengangkat Ir. Soekarno sebagai Presiden seumurhidup, padahal konstitusi tidak menentukan demikian.

Pada masa pemerintahan Orde Baru versinya berbeda. Tidakada ketetapan MPR yang menetapkan Soeharto sebagai presidenseumur hidup. Namun setiap kali Pemilihan Umum (Pemilu)Soeharto selalu dipilih oleh MPR sebagai Presiden, sehinggaPresiden Orde Baru ini berkuasa selama 32 tahun. Hal ini tidakdapat dipersalahkan, karena pasal 7 UUD 1945 tidak menentukanperiodesasi masa jabatan Presiden. Periodesasi masa jabatanPresiden dan turunannya ke bawah yakni masa jabatan gubernur,bupati, walikota dan sabagainya paling lama dua periode. Bahkanjabatan rektor dan dekanpun paling lama hanya boleh dua kalimasa jabatan pada jabatan yang sama.

Setelah UUD 1945 diamandemen, masa jabatan Presidendibatasi hanya boleh dua kali masa jabatan berturut-turut. Pasal7 UUD RI 1945 menyebutkan: “Presiden dan Wakil Presidenmemegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapatdipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kalimasa jabatan”.

Dengan demikian tidak akan terjadi lagi penentuan masajabatan Presiden seperti yang terjadi di masa lampau, yaitu ketikaIr. Soekarno dan Soeharto menjadi Presiden. Kini telah ditegaskanbahwa seorang Presiden menjabat lima tahun dan dapat dipilihkembali pada jabatan yang sama untuk lima tahun lagi.

Dalam pemilihan kepala daerah pada masa pemerintahanorde lama dan orde baru, seorang kepala daerah dipilih oleh

43

Page 54: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) baik tingkat provinsimaupun tingkat kabupaten. Selama DPRD masih memilih in-cumbent, maka sangat dimungkinkan masa jabatannya berlanjut.Tidak mengherankan seorang gubernur atau bupati bisa sajamenjabat berkali-kali asalkan DPRD masih memilih yangbersangkutan. Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun1974 menyebutkan: “Kepala daerah diangkat untuk masa jabatan5 (lima) tahun terhitung mulai tanggal pelantikannya dan dapatdiangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya”.Berdasarkan ketentuan ini seorang kepala daerah setelah menjabatselama 5 (lima) tahun pertama dapat diangkat kembali untuk 1(satu) kali masa jabatan berikutnya. Dalam hal ini tidak ditegaskanseorang gubernur dan bupati hanya boleh menjabat 2 (dua) periodemasa jabatan berturut-turut. Dengan demikian selama DPRDmemilih dan mengangkat dengan kekuatan suara di DPRD makamasih bisa diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatanberikutnya. Meskipun pada umumnya seorang kepala daerahmenjabat hanya dua periodesasi saja tetapi tidak menutupkemungkinan dipilih kembali. Keadaan seperti inilah yang dianutdalam sistem ketatanegaraan kita di masa lampau. Keadaannyasangat berbeda di era reformasi dimana semua pengisian jabatan-jabatan di lembaga-lembaga negara hanya boleh dijabat selama2 (dua) kali masa jabatan secara berturut-turut.

D.2.Masa Jabatan Bupati Dalam Sistem Ketatanegaraan PascaAmandemen UUD 1945

Masa jabatan Bupati sebagai kepala daerah haruslahberbanding lurus ke atas. Artinya kalau jabatan presiden, menteridan gubernur hanya dibatas 2 (dua) kali masa jabatan secaraberturut-turut, maka masa jabatan bupati pun harus seperti itu.Penentuan bupati sebagai unsur pemerintah daerah kabupatendipilih melalui pemilihan umum dan bukan oleh DPRD.

Pasal 18 ayat (3) UUD RI Tahun 1945 menyebutkan:“Pemerintah daerah provinsi, daerah, kabupaten dan kota memilikiDewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilihmelalui pemilihan umum”. Kemudian ditegaskan pula pada ayat

44

Page 55: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

(4) bahwa: “Gubernur, bupati dan walikota masing-masing sebagaikepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilihsecara demokratis”. Berarti semua unsur pemerintahan daerahditentukan berdasarkan pemilihan umum di mana setiap orangdapat menentukan pilihannya tentang calon kepala daerah yangakan dipilihnya. Mekanisme penentuannya dilakukan secarademokratis. Dalam hal ini seorang kepala daerah tidak bolehlagi ditentukan secara sentralistik dari pusat seperti masa lampauyang meskipun telah dipilih oleh DPRD harus pula diseleksi danditentukan oleh pusat. Kepala daerah terpilih hanya boleh menjabatsecara terbatas. Keterbatasan itu telah jelas diatur oleh hukumpositif yang berlaku. Mulai dari atas sampai ke bawah masajabatan telah dibatasi secara jelas dan tegas. Pasal 7 UUD RItahun 1945 misalnya membatasi periodesasi masa jabatan Presiden.Pasal 7 ini menyebutkan: “Presiden dan Wakil Presiden memegangjabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembalidalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”.Di sini ditegaskan masa jabatan Presiden dan Wakil Presidenhanya lima tahun dan dapat dipilih kembali dalam jabatan yangsama dalam “satu masa” yakni hanya untuk satu kali masajabatan. Masa jabatan 2 (dua) kali putaran seperti ini berlakupula pada jabatan-jabatan lain. Dalam masa jabatan kepala daerahbaik gubernur, bupati dan walikota pun dibatasi maksimal hanyadua (2) periode masa jabatan. Ketentuan yang mengatur hal initelah dimulai sejak Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentangpemerintah Daerah, dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Pasal 110 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menyebutkan: “Kepala Daerahdan Wakil Kepala Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)memegang jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak pelantikandan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang samahanya untuk satu kali masa jabatan”.

Dalam ketentuan Pasal 110 ayat (3) ini sebenarnya telahjelas sekali menyebutkan bahwa masa jabatan bupati dan wakilbupati sebagai kepala daerah kabupaten hanya boleh dipegangselama 5 (lima) tahun terhitung sejak pelantikan dan sesudahnya

45

Page 56: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama. Mungkin yangmenjadi pertanyaan di sini adalah apa yang dimaksud dengan“hanya untuk satu kali masa jabatan”. Kalimat ini tidak bisadipisahkan dari rangkaian kalimat sebelumnya yang menentukanmasa jabatan kepala daerah hanya boleh dipilih kembali dalamjabatan yang sama. Berarti hanya boleh menjabat 2 (dua) periodemasa jabatan. Pasal 110 ayat (3) ini tentu harus dikaitkan puladengan pasal 58 huruf O yang menyebutkan: “Belum pernahmenjabat sebagai kepala daerah atau kepala daerah selama 2(dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama; dan…”,kemudian dalam huruf P menegaskan: “tidak dalam status sebagaipejabat kepala daerah”. Ketentuan pasal 58 huruf O dan P inimerupakan bagian dari syarat yang harus dipenuhi calon kepaladaerah dan wakil kepala daerah. Dengan kata lain: “…hanyauntuk satu kali masa jabatan” dapat diartikan sebagai “suatumasa” rentang waktu masa jabatan berturut-turut 2 (dua)periodesasi.

Rumusan pasal 110 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32Tahun 2004 ini merujuk kepada ketentuan yang lebih tinggi.Kalimat “…hanya untuk satu kali masa jabatan” mengadopsikalimat yang terdapat dalam Pasal 7 Undang-Undang DasarRepublik Indonesia Tahun 1945. Pasal 7 ini menyebutkan kalimat:“…untuk satu kali masa jabatan” yang berarti sama denganpasal 110 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Pasal7 UUD RI tahun 1945 mengatur masa jabatan Presiden danWakil Presiden. Pasal 110 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32Tahun 2004 mengatur masa jabatan kepala daerah. Makna:“…hanya untuk satu kali masa jabatan” hanyalah menegaskanperiodesasi masa jabatan yang boleh dipegang terbatas pada 2(dua) masa jabatan atau 2 (dua) periode masa jabatan. Dengandemikian siapapun yang menjadi bupati dan wakil bupati tanpakecuali hanya boleh menjabat sebagaimana ditentukan dalamundang-undang secara berturut-turut hanya boleh menjabat duaperiode saja.

Menurut Ir. H. Nizar Dahlan, M.Si., anggota DewanPerwakilan Rakyat (DPR) RI yang turut terlibat dalam membidani

46

Page 57: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahanDaerah mengemukakan bahwa Pasal 110 ayat (3) yang di dalamnyaterdapat kalimat: “…hanya untuk satu kali masa jabatan” iniberpedoman kepada amandemen UUD 1945 yang mengatakanPresiden dan Wakil Presiden hanya dapat 2 (dua) kali masajabatan. Adapun maksud Pasal 110 ayat (3) Undang-UndangNomor 32 Tahun 2004 menurut Nizar Dahlan: “hanya untuksatu kali masa jabatan yang sama”. Maksudnya adalah “untukmenegaskan bahwa jabatan tersebut dapat diemban hanya selama2 (dua) periode jabatan”.29 Jadi sebenarnya kalimat “…hanyauntuk satu kali masa jabatan” dalam pasal 110 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 hanya bersifat “At Ta’kid atauAt Taukid” (penguatan atau penekanan) terhadap ketentuan masajabatan kepala daerah hanya 2 (dua) periode saja.

Jadi jelaslah dalam sistem ketatanegaraan Indonesia jabatan-jabatan dalam pemerintahan baik menurut konstitusi maupunperundang-undangan lainnya menentukan dalam semua tingkatanjabatan hanya boleh dipegang 2 (dua) periode masa jabatan.Penentuan jabatan yang memegang jabatan itu ditentukan melaluipemilihan umum yang dilakukan secara demokratis dan bukandengan cara sentralistis dan otoritarian.

Masalahnya adalah, apakah seorang Bupati yang menjabatantar waktu dapat dipandang telah menjabat satu periode masajabatan. Hemat saya belum dapat dipandang menjabat satu periode,karena satu periode itu haruslah menjalani masa jabatan 5 (lima)tahun. Dalam konteks ini agaknya sangatlah diperlukan payunghukum agar lembaga-lembaga terkait seperti KPUD (KomisiPemilihan Umum Daerah) memiliki landasan untuk mengatasipermasalahan yang muncul baik berkaitan dengan pencalonanPAW (pergantian antar waktu).

Payung hukum itu untuk jangka waktu tertentu ke depansebaiknya diatur melalui undang-undang dan untuk mengantisipasiwaktu mendesak berkaitan dengan Pilkada-pilkada yang segera

29 Wawancara terhadap Nizar Dahlan Anggota DPR-RI, pada hari Senin tanggal 22 Juni 2009 diJakarta

47

Page 58: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

akan berlangsung perlu diantisipasi dengan Peraturan PemerintahPengganti Undang-Undang (Perpu) atau Fatwa Mahkamah Agungatau Surat Edaran KPU (Komisi Pemilihan Umum) Pusat. Halyang terakhir ini hanya bersifat sementara, karena yang lebihideal diatur melalui undang-undang. Sekurang-kurangnya melaluiamandemen terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004tentang Pemerintahan Daerah.

48

Page 59: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

BAB IIIDASAR YURIDIS PEMILIHAN

KEPALA DAERAH

A. Dasar Yuridis Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah

Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, pada dasarnyamerupakan konsekuensi pergeseran konsep otonomi daerah, berikutdiajukan tinjauan hukum tentang pemilihan kepala daerah menurutperaturan perundang-undangan, baik menurut undang-undang maupunaturan pelaksananya. Berdasarkan Pasal 56 Undang-Undang Nomor32 Tahun 2004 disebutkan bahwa Kepala daerah dan wakil kepaladaerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secarademokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur,dan adil.

Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 menyebutkanbahwa yang dimaksud dengan:

1. Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yangselanjutnya disebut pemilihan adalah sarana pelaksanaan kedaulatanrakyat di wilayah provinsi dan/atau kabupaten/kota berdasarkanPancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indone-sia Tahun 1945 untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil KepalaDaerah.

2. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Gubernur danWakil Gubernur untuk Provinsi, Bupati dan Wakil Bupati untukKabupaten, serta Walikota dan Wakil Walikota.

Sebelumnya, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipiliholeh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dasar hukumpenyelenggaraan Pilkada adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam undang-undang ini, Pilkada(Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah) belum dimasukkandalam rezim Pemilihan Umum (Pemilu). Pilkada pertama kali

49

Page 60: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

diselenggarakan pada bulan Juni 2005. Peraturan lain yang terkaitdengan Pilkada adalah:

1. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun2004 tentang Pemerintahan Daerah;

2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan PeraturanPemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004tentang Pemerintahan Daerah menjadi Undang-Undang;

3. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang PenyelenggaraPemilihan Umum;

4. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan,Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerahdan Wakil Kepala Daerah;

5. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2005 tentang Perubahanatas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan,Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerahdan Wakil Kepala Daerah.

Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentangPenyelenggara Pemilihan Umum, Pilkada dimasukkan dalam rezimPemilu, sehingga secara resmi bernama Pemilihan Umum KepalaDaerah dan Wakil Kepala Daerah. Pilkada pertama yangdiselenggarakan berdasarkan undang-undang ini adalah Pilkada DKIJakarta 2007.

Pilkada diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU)Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dengan diawasi oleh PanitiaPengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) Provinsi dan PanwasluKabupaten/Kota. Khusus di Nanggroe Aceh Darussalam, Pilkadadiselenggarakan oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP) dengandiawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan Aceh (Panwaslih Aceh).

Selanjutnya berdasarkan Pasal 57 Undang-Undang No. 32/2004,Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah diselenggarakanoleh Komisi Pemilih Umum Daerah KPUD yang bertanggung jawabkepada DPRD. Pasal ini telah berubah karena adanya Putusan

50

Page 61: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-III/2005 yaitu Pemilihan kepaladaerah dan wakil kepala daerah diselenggarakan oleh KPUD. Katayang bertanggung jawab kepada DPRD, dinyatakan bertentangandengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

Hal penyelenggara Pilkada menjadi bagian dari kontroversi. KPUDdipandang mudah dikemudikan oleh DPRD. Selain itu, persyaratanpartai politik mengajukan calon (partai dengan 15% kursi di DPRD)juga dipandang problematik. Judicial review yang diajukan olehbeberapa LSM diluluskan oleh Mahkamah Konstitusi bahwa KPUDtidak bertanggung jawab kepada DPRD.

Berdasarkan Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun2005 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun2005 tentang Pemilihan, Pengesahan dan Pemberhentian Kepala Daerahdan Wakil Kepala Daerah menyebutkan bahwa Pemilihandiselenggarakan oleh KPUD. Dalam menyelenggarakan pemilihanGubernur dan Wakil Gubernur, KPUD Provinsi menetapkan KPUDkabupaten/kota sebagai bagian pelaksana tahapan penyelenggaraanpemilihan. Pemilihan dilaksanakan secara demokratis berdasarkanasas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

Pasal 6 menyebutkan bahwa KPUD sebagai penyelenggarapemilihan berkewajiban:

a. memperlakukan pasangan calon secara adil dan setara;

b. menetapkan standardisasi serta kebutuhan barang dan jasa yangberkaitan dengan penyelenggaraan pemilihan berdasarkan peraturanperundang-undangan;

c. menyampaikan laporan kepada DPRD untuk setiap tahappelaksanaan pemilihan dan menyampaikan informasi kegiatannyakepada masyarakat;

d. memelihara arsip dan dokumen pemilihan serta mengelola baranginventaris milik berdasarkan peraturan perundang-undangan;

e. mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran; dan

f. melaksanakan semua tahapan pemilihan tepat waktu.

Dalam melaksanakan tugasnya, KPUD menyampaikan laporanpenyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah

51

Page 62: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

kepada DPRD. Dalam mengawasi penyelenggaraan pemilihan kepaladaerah dan wakil kepala daerah, dibentuk panitia pengawas pemilihankepala daerah dan wakil kepala daerah yang keanggotaannya terdiriatas unsur kepolisian, kejaksaan, perguruan tinggi, pers, dan tokohmasyarakat. Anggota panitia pengawas berjumlah lima orang untukprovinsi, lima orang untuk kabupaten/kota dan tiga orang untukkecamatan.

Panitia pengawas kecamatan diusulkan oleh panitia pengawaskabupaten/kota untuk ditetapkan oleh DPRD. Dalam hal tidakdidapatkan unsur kepolisian, kejaksaan, perguruan tinggi, pers, dantokoh masyarakat, panitia pengawas kabupaten/kota/kecamatan dapatdiisi oleh unsur yang lainnya. Panitia pengawas pemilihan kepaladaerah dan wakil kepala daerah dibentuk oleh dan bertanggungjawabkepada DPRD dan berkewajiban menyampaikan laporannya.

B. Syarat-Syarat Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

Sesuai dengan ketentuan yang termaktub dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Pasal 38 Peraturan PemerintahNomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatandan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah CalonKepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah warga negara RepublikIndonesia yang memenuhi syarat:

a. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

b. setia kepada Pancasila sebagai Dasar Negara, Undang-UndangDasar Negara Republik lndonesia Tahun 1945, cita-cita Proklamasi17 Agustus 1945, dan kepada Negara Kesatuan Republik Indo-nesia serta Pemerintah;

c. berpendidikan sekurang-kurangnya sekolah lanjutan tingkat atasdan/atau sederajat;

d. berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun;

e. sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatanmenyeluruh dari tim dokter;

f. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusanpengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena

52

Page 63: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjarapaling lama 5 (lima) tahun atau lebih;

g. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilanyang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

h. mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di daerahnya;

i. menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan bersedia untukdiumumkan;

j. tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangandan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggungjawabnyayang merugikan keuangan negara;

k. tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilanyang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

l. tidak pernah melakukan perbuatan tercela;

m. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau bagi yangbelum mempunyai NPWP wajib mempunyai bukti pembayaranpajak;

n. menyerahkan daftar riwayat hidup lengkap yang memuat antaralain riwayat pendidikan dan pekerjaan serta keluarga kandung,suami atau istri;

o. belum pernah menjabat sebagai kepala daerah atau wakil kepaladaerah selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yangsama; dan

p. tidak dalam status sebagai penjabat kepala daerah.

C. Pengusulan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

Berdasarkan Pasal 59 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004,Peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalahpasangan yang diusulkan secara berpasangan oleh partai politik ataugabungan partai politik. Partai politik atau gabungan partai politikdapat mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi persyaratanperolehan sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlahkursi DPRD atau 15% (lima belas persen) dari akumulasi perolehansuara sah dalam Pemilihan Umum anggota DPRD di daerah yangbersangkutan.

53

Page 64: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

Oleh karena itu peserta Pilkada adalah pasangan calon yangdiusulkan secara berpasangan oleh partai politik atau gabungan partaipolitik. Khusus di Nanggroe Aceh Darussalam, peserta Pilkada dapatberasal dari calon independen dan partai politik lokal. Pemilihankepala daerah memasuki era baru saat Mahkamah Konstitusimemutuskan bahwa calon perseorangan bisa ikut serta. Adanyaketentuan peserta Pilkada hanya bisa dicalonkan oleh partai politikatau gabungan partai politik dianggap bertentangan dengan UUD1945. Lalu Ranggalawe, anggota DPRD Kabupaten Lombok Tengah,mengajukan Uji Materiil atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.Pada tanggal 23 Juli 2007, Mahkamah Konstitusi dengan PutusannyaNo. 5/PUU-V/2007 menyatakan sebagian pasal dalam Undang-UndangNomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang hanyamemberi kesempatan kepada partai politik atau gabungan partai politikdan menutup hak konstitusional calon perseorangan (independen)dalam Pilkada bertentangan dengan UUD 1945. Putusan itulah yangmembuka kesempatan bagi calon independen untuk maju dalam kontesPilkada walaupun dapat dikatakan menyisakan beberapa persoalanhukum yang sangat penting untuk segera diselesaikan. Salah satupersoalan adalah bagaimana pelaksanaannya sedangkan ketentuanpelaksanaannya belum diatur secara rinci.

Kesempatan majunya calon perseorangan dibuka untukmemaksa semua sistem bergerak ke jalur yang benar, termasukpelaksanaan fungsi parpol. Sejauh ini, parpol terasa menjauh darifungsinya untuk mengartikulasikan kepentingan rakyat, pendidikanpolitik rakyat, serta alat agregasi berbagai kepentingan yang berasaldari aneka kepentingan dan tujuan.

Dalam hal Partai politik atau gabungan partai politik yangmengusulkan, maka wajib membuka kesempatan yang seluas-luasnyabagi bakal calon perseorangan yang memenuhi syarat sebagai CalonKepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, dan selanjutnya memprosesbakal calon dimaksud melalui mekanisme yang demokratis dantransparan.

Mengingat Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah,dalam proses penetapan pasangan calon partai politik atau gabunganpartai politik memperhatikan pendapat dan tanggapan masyarakat.

54

Page 65: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

Pengusul Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah padasaat mendaftarkan wajib menyerahkan:

a. surat pencalonan yang. ditandatangani oleh pimpinan partai politik

atau pimpinan partai politik yang bergabung;

b. kesepakatan tertulis antar partai politik yang bergabung untukmencalonkan pasangan calon;

c. surat pernyataan tidak akan menarik pencalonan atas pasanganyang dicalonkan yang ditandatangani oleh pimpinan partai politikatau para pimpinan partai politik yang bergabung;

d. surat pernyataan kesediaan yang bersangkutan sebagai calonkepala daerah dan wakil kepala daerah secara berpasangan;

e. surat pernyataan tidak akan mengundurkan diri sebagai pasangancalon;

f. surat pernyataan kesanggupan mengundurkan diri dari jabatanapabila terpilih menjadi kepala daerah atau wakil kepala daerahsesuai dengan peraturan perundang-undangan;

g. surat pernyataan mengundurkan diri dari jabatan negeri bagicalon yang berasal dari pegawai negeri sipil, anggota TentaraNasional Indonesia, dan anggota Kepolisian Negara RepublikIndonesia;

h. surat pernyataan tidak aktif dari jabatannya bagi pimpinan DPRDtempat yang bersangkutan menjadi calon di daerah yang menjadiwilayah kerjanya;

i. surat pemberitahuan kepada pimpinan bagi anggota DPR, DPD,dan DPRD yang mencalonkan diri sebagai calon kepala daerahdan wakil kepala daerah;

j. kelengkapan persyaratan calon kepala daerah dan wakil kepaladaerah;

k. naskah visi, misi, dan program dari pasangan calon secara tertulis.

Pengusul Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah hanyadapat mengusulkan satu pasangan calon dan pasangan calon tersebuttidak dapat diusulkan lagi oleh partai politik atau gabungan partaipolitik lainnya.Tenggang waktu pendaftaran adalah paling lama tujuhhari terhitung sejak pengumuman pendaftaran pasangan calon.

55

Page 66: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

Sesuai ketentuan Pasal 60 Undang-Undang Nomor 32 Tahun2004 pasangan calon diteliti persyaratan administrasinya denganmelakukan klarifikasi kepada instansi pemerintah yang berwenangdan menerima masukan dari masyarakat terhadap persyaratan pasangancalon. Hasil penelitian diberitahukan secara tertulis kepada pimpinanpartai politik atau gabungan partai politik yang mengusulkan, palinglambat 7 (tujuh) hari terhitung, sejak tanggal penutupan pendaftaran.

Terhadap pasangan calon belum memenuhi syarat atau ditolakkarena tidak memenuhi syarat, partai politik atau gabungan partaipolitik yang mengajukan calon diberi kesempatan untuk melengkapidan/atau memperbaiki surat pencalonan beserta persyaratan pasangancalon atau mengajukan calon baru paling lambat tujuh hari sejaksaat pemberitahuan hasil penelitian persyaratan oleh KPUD.

KPUD melakukan penelitian ulang kelengkapan dan atauperbaikan persyaratan pasangan calon dan sekaligus memberitahukanhasil penelitian tersebut paling lambat tujuh hari kepada pimpinanpartai politik atau gabungan partai politik yang mengusulkan. Apabilahasil penelitian berkas pasangan calon tidak memenuhi syarat danditolak oleh KPUD, partai politik dan atau gabungan partai politik,tidak dapat lagi mengajukan pasangan calon.

Berdasarkan hasil penelitian, KPUD menetapkan pasangan calonpaling kurang dua pasangan calon yang dituangkan dalam BeritaAcara Penetapan pasangan calon dan diumumkan secara luas palinglambat tujuh hari sejak selesainya penelitian. Terhadap pasangancalon yang telah ditetapkan dan diumumkan selanjutnya dilakukanundian secara terbuka untuk menetapkan nomor urut pasangan calon.Penetapan dan pengumuman pasangan calon bersifat final dan mengikat.

Partai politik atau gabungan partai politik dilarang menarikcalonnya dan/atau pasangan calonnya, dan pasangan calon atau salahseorang dari pasangan calon dilarang mengundurkan diri terhitungsejak ditetapkan sebagai pasangan calon oleh KPUD. Apabila menarikcalonnya dari/atau pasangan calon dan/atau salah seorang dari pasangancalon mengundurkan diri pengusul yang mencalonkan tidak dapatmengusulkan calon pengganti.

56

Page 67: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

Dalam hal salah satu calon atau pasangan calon berhalangantetap sejak penetapan calon sampai pada saat dimulainya hari kampanye,pengusul calon yang pasangan calonnya berhalangan tetap dapatmengusulkan pasangan calon pengganti paling lambat tiga hari sejakpasangan calon berhalangan tetap dan KPUD melakukan penelitianpersyaratan administrasi dan menetapkan pasangan calon penggantipaling lambat empat hari sejak pasangan calon pengganti didaftarkan.

Dalam hal salah satu calon atau pasangan calon berhalangantetap pada saat dimulainya kampanye sampai hari pemungutan suaradan masih terdapat dua pasangan calon atau lebih, tahapan pelaksanaanpemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dilanjutkan danpasangan calon yang berhalangan tetap tidak dapat diganti sertadinyatakan gugur.

Dalam hal salah satu calon atau pasangan calon berhalangantetap pada saat dimulainya kampanye sampai hari pemungutan suarasehingga jumlah pasangan calon kurang dari dua pasangan, tahapanpelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah ditundapaling lambat 30 hari dan partai politik atau gabungan partai politikyang pasangan calonnya berhalangan tetap mengusulkan pasangancalon pengganti paling lambat tiga hari sejak pasangan calonberhalangan tetap dan KPUD melakukan penelitian persyaratanadministrasi dan menetapkan pasangan calon pengganti paling lambatempat hari sejak pasangan calon pengganti didaftarkan.

Dalam hal salah satu calon atau pasangan calon berhalangantetap setelah pemungutan. suara putaran pertama sampai dimulainyahari pemungutan suara putaran kedua, tahapan pelaksanaan pemilihankepala daerah dan wakil kepala daerah ditunda paling lambat tigapuluh hari. Partai politik atau gabungan partai politik yang pasangancalonnya berhalangan tetap mengusulkan pasangan calon penggantipaling lambat tiga hari sejak pasangan calon berhalangan tetapsebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan KPUD melakukan penelitianpersyaratan administrasi dan menetapkan pasangan calon penggantipaling lambat empat hari sejak pasangan calon pengganti didaftarkan.

57

Page 68: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

D. Masa Persiapan dan Tahap Pelaksanaan

Sebagaimana diatur dalam Pasal 65 Undang-Undang Nomor 32Tahun 2004 Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerahdilaksanakan melalui masa persiapan, dan tahap pelaksanaan.

Masa persiapan meliputi:

a. Pemberitahuan DPRD kepada kepala daerah mengenai berakhirnyamasa jabatan;

b. Pemberitahuan DPRD kepada KPUD mengenai berakhirnya masajabatan kepala daerah;

c. Perencanaan penyelenggaraan, meliputi penetapan tata cara danjadwal tahapan pelaksanaan pemilihan kepala daerah;

d. Pembentukan Panitia Pengawas, PPK, PPS dan KPPS;

e. Pemberitahuan dan pendaftaran pemantau.

Tahap pelaksanaan meliputi:

a. Penetapan daftar pemilih;

b. Pendaftaran dan Penetapan calon kepala daerah/wakil kepaladaerah;

c. Kampanye;

d. Pemungutan suara;

e. Penghitungan suara; dan

f. Penetapan pasangan calon kepala daerah/wakil kepala daerahterpilih, pengesahan, dan pelantikan.

Tata cara pelaksanaan masa persiapan dan tahap pelaksanaandiatur KPUD dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah.

E. Penetapan Pemilih

Warga Negara Republik Indonesia yang mempunyai hak memilihadalah yang pada hari pemungutan suara pemilihan kepala daerahdan wakil kepala daerah sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atausudah/pernah kawin. dapat menggunakan hak memilih, warga negaraRepublik Indonesia harus terdaftar sebagai pemilih, sedangkan untukdapat didaftar sebagai pemilih, harus memenuhi syarat:

58

Page 69: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

a. nyata-nyata tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya;

b. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilanyang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Orang yang telah terdaftar dalam daftar pemilih ternyata tidaklagi memenuhi syarat tidak dapat menggunakan hak memilihnya. Daftarpemilih pada saat pelaksanaan pemilihan umum terakhir di daerahdigunakan sebagai daftar pemilih untuk pemilihan kepala daerah danwakil kepala daerah ditambah dengan daftar pemilih tambahan yangtelah memenuhi persyaratan sebagai pemilih ditetapkan sebagai daftarpemilih sementara dan diberi tanda bukti pendaftaran untuk ditukarkandengan kartu pemilih untuk setiap pemungutan suara.

Seorang pemilih hanya didaftar satu kali dalam daftar pemilih.Apabila mempunyai lebih dari satu tempat tinggal, pemilih tersebutharus menentukan satu di antaranya untuk ditetapkan sebagai tempattinggal yang dicantumkan dalam daftar pemilih.

Pemilih yang berpindah tempat tinggal atau karena inginmenggunakan hak pilihnya di tempat lain, harus melapor kepadaPanitia Pemungutan Suara (PPS) setempat untuk dicatat danmemberikan surat keterangan pindah tempat memilih. Selanjutnyamelaporkan kepindahannya kepada PPS di tempat pemilihan yangbaru. Jika seorang Pemilih terdaftar yang karena sesuatu hal terpaksatidak dapat menggunakan hak pilihnya di TPS yang sudah ditetapkan,dapat menggunakan hak pilihnya di tempat lain dengan menunjukkankartu pemilih.

Berdasarkan daftar pemilih PPS menyusun dan menetapkan daftarpemilih sementara yang diumumkan oleh PPS untuk mendapat tanggapanmasyarakat. Pemilih yang belum terdaftar dalam daftar pemilihsementara dapat mendaftarkan diri ke PPS dan dicatat dalam daftarpemilih tambahan yang kemudian ditetapkan sebagai daftar pemilihtetap.

F. Kampanye

Kampanye merupakan bagian dari penyelenggaraan pemilihankepala daerah dan wakil kepala daerah yang dilaksanakan oleh tim

59

Page 70: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

kampanye pasangan calon selama 14 (empat belas) hari dan berakhirtiga hari sebelum hari pemungutan suara secara bersama-sama atausecara terpisah. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam kampanyeadalah sebagai berikut.

1. Tim kampanye didaftarkan ke KPUD bersamaan denganpendaftaran pasangan calon.

2. Penanggung jawab kampanye, adalah pasangan calon yangpelaksanaannya dipertanggungjawabkan oleh tim kampanye.

3. Tim kampanye dapat dibentuk secara berjenjang di provinsi,kabupaten/kota bagi pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernurdan kabupaten/kota dan kecamatan bagi pasangan calon Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota.

4. Dalam kampanye, rakyat mempunyai kebebasan menghadirikampanye.

5. Jadwal pelaksanaan kampanye ditetapkan oleh KPUD dengan,memperhatikan usul dari pasangan calon.

6. Kampanye dapat dilaksanakan melalui:

a. pertemuan terbatas;

b. tatap muka dan dialog;

c. penyebaran melalui media cetak dan media elektronik;

d. penyiaran media radio dan/atau televisi;

e. penyebaran bahan kampanye kepada umum;

f. pemasangan alat peraba di tempat umum;

g. rapat umum;

h. debat publik/debat terbuka antar calon; dan/atau

i. kegiatan lain yang tidak melanggar peraturan perundang-undangan.

7. Pasangan calon wajib menyampaikan visi, misi, dan programsecara lisan maupun tertulis kepada masyarakat.

8. Calon kepala daerah dan wakil kepala daerah berhak untukmendapatkan informasi atau data dari pemerintah daerah sesuaidengan ketentuan perundang-undangan.

60

Page 71: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

9. Penyampaian materi kampanye dilakukan dengan cara yang sopan,tertib, dan bersifat edukatif.

10. Penyelenggaraan kampanye dilakukan di seluruh wilayah provinsiuntuk pemilihan gubernur dan wakil gubernur dan diseluruhwilayah kabupaten/kota untuk pemilihah bupati dan wakil bupatidan walikota dan wakil walikota.

11. Media cetak dan media elektronik memberikan kesempatan yangsama kepada pasangan calon, untuk menyampaikan tema danmateri kampanye.

12. Media elektronik dan media cetak wajib memberikan kesempatanyang sama kepada pasangan calon untuk memasang iklan pemilihankepala daerah dan wakil kepala daerah dalam rangka kampanye.

13. Pemerintah daerah memberikan kesempatan yang sama kepadapasangan calon untuk menggunakan fasilitas umum.

14. Semua yang hadir dalam pertemuan terbatas atau rapat umumyang diadakan oleh pasangan calon hanya dibenarkan membawaatau menggunakan tanda gambar dan/atau atribut pasangan calonyang bersangkutan.

15. KPUD berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk menetapkanlokasi pemasangan alat peraga untuk keperluan kampanye.

16. Pemasangan alat peraga kampanye oleh pasangan calondilaksanakan dengan memper-timbangkan etika; estetika,kebersihan,dan keindahan kota atau kawasan setempat sesuaidengan peraturan perundang-undangan.

17. Pemasangan alat peraga kampanye pada tempat yang menjadimilik perseorangan atau badan swasta harus seizin pemilik tempattersebut.

18. Alat peraga kampanye harus sudah dibersihkah paling lambattiga hari sebelum hari pemungutan suara.

G. Larangan Kampanye

Dalam kampanye dilarang:

a. mempersoalkan dasar negara Pancasila dan PembukaanUndang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

61

Page 72: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

b. menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon kepaladaerah/wakil kepala daerah dan/atau partai politik;

c. menghasut atau mengadu domba partai politik, perseorangan,dan/atau kelompok masyarakat;

d. menggunakan kekerasan, ancaman kekerasan atau menganjurkanpenggunaan kekerasan kepada perseorangan, kelompok masyarakatdan/atau partai politik;

e. mengganggu keamanan, ketenteraman, dan ketertiban umum;

f. mengancam dan menganjurkan penggunaan kekerasan untukmengambil alih kekuasaan dari pemerintahan yang sah;

g. merusak dan/atau menghilangkan alat peraga kampanye pasangancalon lain;

h. menggunakan fasilitas dan anggaran pemerintah dan pemerintahdaerah;

i. menggunakan tempat ibadah dan tempat pendidikan; dan

j. melakukan pawai atau arak-arakan yang dilakukan dengan berjalankaki dan/atau dengan kendaraan di jalan raya.

Dalam kampanye, dilarang melibatkan:

a. hakim pada semua peradilan;.

b. pejabat BUMN/BUMD;

c. pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negara;

d. kepala desa.

Larangan tersebut tidak berlaku apabila pejabat yang bersangkutanmenjadi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Pejabat negarayang menjadi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dalammelaksanakan kampanye harus memenuhi ketentuan:

1) tidak menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya;

2) menjalani cuti di luar tanggungan negara; dan

3) pengaturan lama cuti dan jadwal cuti dengan memperhatikankeberlangsungan tugas penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Pasangan calon dilarang melibatkan pegawai negeri sipil, anggotaTentara Nasional Indonesia, dan anggota Kepolisian Negara Republik

62

Page 73: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

Indonesia sebagai peserta kampanye dan juru kampanye dalam pemilihankepala daerah dan wakil kepala daerah. Pejabat negara, pejabatstruktural dan fungsional dalam jabatan negeri dan kepala desa dilarangmembuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan ataumerugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye.

Pelanggaran atas ketentuan larangan pelaksanaan kampanyemerupakan tindak pidana dan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuanperaturan perundang-undangan.

Pelanggaran atas ketentuan larangan pelaksanaan kampanye yangmerupakan pelanggaran tata cara kampanye dikenai sanksi.

1. peringatan tertulis apabila penyelenggara kampanye melanggarlarangan walaupun belum terjadi gangguan;

2. penghentian kegiatan kampanye di tempat terjadinya pelanggaranatau di seluruh daerah pemilihan yang bersangkutan apabilaterjadi gangguan terhadap keamanan yang berpotensi menyebarke daerah pemilihan lain.

H. Dana Kampanye

Dana kampanye dapat diperoleh dari:

a. pasangan calon;

b. partai politik dan/atau gabungan partai politik yang mengusulkan;

c. sumbangan pihak-pihak lain yang tidak mengikat yang meliputisumbangan perseorangan dan/atau badan hukum swasta.

Dana kampanye digunakan oleh pasangan calon, yang teknispelaksanaannya dilakukan oleh tim kampanye. Dana kampanye tersebutwajib dilaporkan oleh pasangan calon kepada KPUD paling lambattiga hari setelah hari pemungutan suara. KPUD wajib menyerahkanlaporan dana kampanye kepada kantor akuntan publik paling lambatdua hari setelah KPUD menerima laporan dana kampanye dari pasangancalon.

Kantor akuntan publik wajib menyelesaikan audit paling lambat15 hari setelah diterimanya laporan dana kampanye dari KPUD.

63

Page 74: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

Hasil audit diumumkan oleh KPUD paling lambat tiga hari setelahKPUD menerima laporan hasil audit dari kantor akuntan publik.Laporan dana kampanye yang diterima KPUD wajib dipelihara danterbuka untuk umum.

I. Pemungutan Suara

Pemungutan suara, pemilihan pasangan calon kepala daerah danwakil kepala daerah diselenggarakan paling lambat satu bulan sebelummasa jabatan kepala daerah berakhir yang dilakukan dengan memberikansuara melalui surat suara yang berisi nomor, foto, dan nama pasangancalon pada hari libur atau hari yang diliburkan.

Pemberian suara untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepaladaerah dilakukan dengan mencoblos salah satu pasangan calon dalamsurat suara.

J. Penetapan Calon Terpilih dan Pelantikan

Pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yangmemperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah suarasah ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih. Apabila ketentuantersebut tidak terpenuhi, pasangan calon kepala daerah dan wakilkepala daerah yang memperoleh suara lebih dari 25% (dua puluhlima persen) dari jumlah suara sah, pasangan calon yang perolehansuaranya terbesar dinyatakan sebagai pasangan calon terpilih.

Dalam hal pasangan calon yang perolehan suara terbesar terdapatlebih dari satu pasangan calon yang perolehan suaranya sama, penentuanpasangan calon terpilih dilakukan berdasarkan wilayah perolehansuara yang lebih luas.

1) Apabila ketentuan tersebut tidak terpenuhi, atau tidak ada yangmencapai 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah suara sah,dilakukan pemilihan putaran kedua yang diikuti oleh pemenangpertama dan pemenang kedua.

2) Apabila pemenang pertama diperoleh dua pasangan calon, keduapasangan calon tersebut berhak mengikuti pemilihan putarankedua.

64

Page 75: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

3) Apabila pemenang pertama diperoleh oleh tiga pasangan calonatau lebih, penentuan peringkat pertama dan kedua dilakukanberdasarkan wilayah perolehan suara yang lebih luas.

4) Apabila pemenang kedua diperoleh oleh lebih dari satu pasangancalon, penentuannya dilakukan berdasarkan wilayah perolehansuara yang lebih luas.

5) Pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yangmemperoleh suara terbanyak pada putaran kedua dinyatakansebagai pasangan calon terpilih.

Dalam hal calon wakil kepala daerah terpilih berhalangan tetap,calon kepala daerah terpilih dilantik menjadi kepala daerah, kemudianmengusulkan dua calon wakil kepala daerah kepada DPRD untukdipilih. Apabila calon kepala daerah terpilih berhalangan tetap, calonwakil kepala daerah terpilih dilantik menjadi kepala daerah, kemudianmengusulkan dua calon wakil kepala daerah kepada DPRD untukdipilih.

Selanjutnya apabila pasangan calon terpilih berhalangan tetap,partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calonnyameraih suara terbanyak pertama dan kedua mengusulkan pasangancalon kepada DPRD untuk dipilih menjadi kepala daerah dan wakilkepala daerah selambat-lambatnya dalam waktu 60 hari. Untuk memilihwakil kepala daerah pemilihannya dilakukan selambat-lambatnya dalamwaktu 60 hari.

Pengesahan pengangkatan pasangan calon Gubernur dan wakilGubernur terpilih dilakukan oleh Presiden selambat-lambatnya dalamwaktu 30 hari. Sedangkan Pengesahan pengangkatan pasangan calonbupati dan wakil bupati atau walikota dan wakil walikota terpilihdilakukan oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden selambat-lambatnya dalam waktu 30 hari.

Pasangan calon Gubernur dan wakil Gubernur terpilih diusulkanoleh DPRD provinsi, selambat-lambatnya dalam waktu tiga hari,kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri berdasarkan beritaacara penetapan pasangan calon terpilih dari KPU provinsi untukmendapatkan pengesahan pengangkatan.

65

Page 76: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

Pasangan calon bupati dan wakil bupati atau walikota dan wakilwalikota diusulkan oleh DPRD kabupaten/kota, selambat--lambatnyadalam waktu tiga hari, kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernurberdasarkan berita acara penetapan pasangan calon tarpilih dari KPUkabupaten/kota untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan.

Kepala daerah dan wakil kepala daerah sebelum memangkujabatannya dilantik dengan mengucapkan sumpah/janji yang dipanduoleh pejabat yang melantik. Sumpah/janji kepala daerah dan wakilkepala daerah adalah sebagai berikut.

“Demi Allah (Tuhan), saya bersumpah/berjanji akan memenuhikewajiban saya sebagai kepala daerah/wakil kepala daerah dengansebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 danmenjalankan segala undang-undang dan peraturannya denganselurus-lurusnya serta berbakti kepada masyarakat, nusa danbangsa”.

Kepala daerah dan wakil kepala daerah memegang jabatan selamalima tahun terhitung sejak pelantikan dan sesudahnya dapat dipilihkembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.

Gubernur dan wakil Gubernur dilantik oleh Menteri Dalam Negeriatas nama Presiden. Bupati dan wakil bupati atau walikota danwakil walikota dilantik oleh Gubernur atas nama Presiden. Pelantikantersebut dilaksanakan dalam Rapat Paripurna DPRD.

K. Pemantauan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

Pemantauan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerahdapat dilakukan oleh pemantau pemilihan yang meliputi lembagaswadaya masyarakat, dan badan hukum dalam negeri yang harusmendaftarkan, dan memperoleh akreditasi dari KPUD, tetapi harusmemenuhi persyaratan yang meliputi:

a. bersifat independen; dan

b. mempunyai sumber dana yang jelas.

Selain itu, pemantau pemilihan wajib menyampaikan laporan

66

Page 77: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

hasil pemantauannya kepada KPUD paling lambat tujuh hari setelahpelantikan kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih. Pemantaupemilihan wajib mematuhi segala peraturan perundang-undangan.Pemantau pemilihan yang tidak memenuhi kewajiban dan/atau tidaklagi memenuhi persyaratan dicabut haknya sebagai pemantau pemilihandan/atau dikenai sanksi sesuai peraturan perundang-undangan.

67

Page 78: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

68

Page 79: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

BAB IVPELAKSANAAN PEMILIHAN KEPALA

DAERAH

Gagasan pemilihan Kepala Daerah secara langsung lahir dari keinginanagar Kepala Daerah yang terpilih benar-benar representatif. Artinya seorangGubernur atau Bupati misalnya, terpilih atau dipilih bukan hasil rekayasapolitik atau produk “kongkalikong” anggota Dewan Perwakilan RakyatDaerah (DPRD) yang pada akhirnya Kepala Daerah bukanlah hasil keinginanrakyat yang sebenarnya. Di masa pemerintahan Orde Baru pemilihankepala daerah selalu dilakukan melalui DPRD. Di bawah UU Nomor 5Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah dipilih melaluiDPRD. Biasanya yang selalu menang adalah calon Golkar (GolonganKarya), karena bisa dikatakan seluruh DPRD di Indonesia anggotanyamayoritas berasal dari Golkar, hal ini menimbulkan persaingan calon-calon Kepala Daerah diantara orang Golkar sendiri yang sebenarnyapada akhirnya ditentukan oleh pusat. Meskipun Kepala Daerah dipiliholeh DPRD tetapi calon-calon terpilih diajukan dulu ke pusat dan pusatlahyang menentukan siapa yang terpilih sebagai Kepala Daerah. Denganmekanisme seperti ini sebenarnya yang dianut oleh Indonesia dimasalampau adalah “Desentralisasi yang sentralistis”. Peranan pemerintahanpusatlah yang lebih menentukan keinginan daerah. Gerak penyelenggaraanpemerintahan daerah yang telah ditata secara seimbang antara kekuasaanpusat dan daerah pada awal pelaksanaannya berjalan dengan baik, namunlambat laun mengalami deviasi dan distorsi akibat paradigma dan carapandang rezim Orde Baru yang menjadikan kebijakan otonomi daerahsebagai instrumen sentralisasi, eksploitasi dan penyeragaman bagi daerahyang sangat beragam.30

Sentralisasi mengakibatkan daerah sangat tergantung kepada pusat.Ketergantungan ini mengakibatkan kreasi dan dinamika daerah menjadilamban. Hal ini bukan karena sumber daya manusia di daerah tidak ada

30 J. Kaloh, mencari bentuk otonomi daerah, Jakarta: PT Bhinika Cipta, 2007, hlm. 138

69

Page 80: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

tetapi justru orang-orang pusat yang ditempatkan di daerah tidak memahamiaspirasi daerah.

Kelemahan pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1974 diawal era reformasitentu saja ditanggapi dengan merubahnya menjadi UU No. 22 Tahun1999 tentang Pemerintahan Daerah yang Telah merubah Sistem Pemerintahanyang sentralistis menjadi demokratis.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 lahir seiring dengan reformasidibidang hukum. Konsep otonomi daerah sangat mengemuka dengan undang-undang baru ini. Otonomi daerah seluas-luasnya memberi harapan kepadakemajuan daerah. Kebebasan kepada pemerintah daerah lebih terbukamengembangkan daerah dan memajukan kesejahteraan rakyat. Namuneksesnya tidak pernah diperkirakan, karena otonomi seluas-luasnya berakibatlahirnya raja-raja kecil di daerah, munculnya konflik baru antara kabupatendan desa bahkan semakin memunculkan konflik horizontal antar masyarakat.Dilain sisi pemerintah pusat tetap memberi pembatasan Kepala Daerahmeskipun otonomi daerah telah berjalan. Dalam hal-hal tertentu misalnyadi bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneterdan fiscal dan agama tetap merupakan domein pusat selain itu pemerintahdaerah diberi kewenangan memajukan daerah masing-masing.

Masih di era reformasi, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999yang dipandang telah reformis, ternyata masih diperbarui lagi. Pada tahun2004 lahirlah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang PemerintahanDaerah. Tampaknya, yang paling menonjol di sini adalah pemilihan KepalaDaerah dilakukan dengan pemilihan langsung oleh rakyat. Artinya rakyatlahyang secara langsung memilih siapa Kepala Daerah. Hal ini tentu sajamerupakan terobosan baru dalam menafsirkan demokrasi yang ditentukanoleh konstitusi.

Pasal 18 ayat (4) UUD Republik Indonesia tahun 1945 menyebutkan“Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai KepalaPemerintahan Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secarademokratis”. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menjabarkan “dipilihsecara demokratis” dalam Pasal 18 ayat (4) UUD RI tahun 1945 denganmenentukan pemilihan Kepala Daerah secara langsung oleh rakyat.

Menurut Jimly Asshiddiqie perkataan “dipilih secara demokratis” inibersifat luwes, sehingga mencakup pengertian pemilihan langsung oleh

70

Page 81: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

rakyat ataupun oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sepertiyang pada umumnya sekarang dipraktikkan di daerah-daerah berdasarkanketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.31 Di dalaminplementasinya pemahaman seperti ini ternyata dilaksanakan dalampemilihan Kepala Daerah Nangroe Aceh Darussalam dengan UU yangmengatur hal itu. Demikian pula menurut Peraturan Pemerintah RepublikIndonesia Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan Pengesahan Pengangkatandan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, dalamPasal 139 ayat (1)nya menegaskan pemilihan secara langsung itu sebagaiberikut “Pemilih Gurbenur dan Wakil Gurbernur di Papua dilakukanmelalui Dewan Perwakilan Daerah Provinsi Papua oleh partai politikatau gabungan partai politik yang memperoleh sekurang-kurangnya 15%(lima belas persen) dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat DaerahProvinsi Papua atau 15% (lima belas persen) dari akumulasi perolehansuara sah dalam Pemilihan Umum anggota DPRD. Dalam pelaksanaannyadi Papua, Kepala Daerah dipilih langsung oleh rakyat.

Pemilihan Kepala Daerah secara langsung telah menjadi perkembanganbaru dalam memahami “dipilih secara demokratis” sebagaimana ditentukandalam Pasal 18 ayat (4) UUD RI tahun 1945. oleh karena itu jika UUNo. 32 Tahun 2004 memberikan ruang yang luas terhadap pemilihanKepala Daerah secara langsung oleh rakyat. Hal ini memang merujuk kePasal 18 ayat (4) UUD RI tahun 1945 itu. Dalam perspektif sosiologisada desakan sosial yang bergelora dan bergejolak ketika era reformasiyang menuntut adanya demokratisasi dan transparansi dalam pemerintahanbaik pusat maupun daerah. Salah satu wujud dari demokratisasi itu adalahdilaksanakannya pemilihan Kepala Daerah secara langsung. Dengan demikianKepala Daerah yang terpilih benar-benar representative. Aspirasi rakyatlebih terakomodasi dengan pemilihan Kepala Daerah secara langsung itu.Tetapi sistem yang demikian memang masih menimbulkan masalah yakniketika calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah harus melaluipartai politik. Pasal 59 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2004 menyebutkan“Peserta Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalahpasangan calon yang diusulkan secara berpasangan oleh partai politikatau gabungan partai politik”.

31 Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 setelah perubahan keempat, Depok: Pusat StudiHukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002, hlm. 22.

71

Page 82: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

Ketentuan ini menimbulkan masalah, sehingga pada tahun 2007 yanglalu seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kabupatenLombok Tengah, Lalu Ranggalawe memohon pengujian UU Nomor 32Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terhadap UUD RI tahun 1945.Lalu Ranggalawe menginginkan agar calon independen untuk KepalaDaerah dan Wakil Kepala Daerah diperbolehkan secara yuridis. ArgumenLalu Ranggalawe bahwa munculnya calon independen yang hanyadiperbolehkan di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) berdasarkanketentuan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, dianggapmerupakan bentuk diskriminasi, karena demokrasi merupakan fahamkerakyatan yang tidak memperkenankan adanya diskriminasi dan intervensiyang bermuatan kekuasaan, jabatan maupun golongan tertentu. Terhadapargumen ini pemerintah tidak sependapat, karena sebenarnya masih dibukapeluang untuk calon perseorangan melalui Pasal 59 ayat (3) UU Nomor32 Tahun 2004. Pasal 59 ayat (3) ini mewajibkan kepala Partai Politikatau gabungan Partai Politik untuk membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi bakal calon perseorangan yang memenuhi syarat dan memprosesbakal calon dimaksud melalui mekanisme yang demokratis dan transparan.32

Dengan calon independen, hak-hak politik warga negara di daerahsemakin melebar. Artinya setiap orang boleh menjadi calon kepala daerahdengan tidak harus melalui partai politik atau gabungan partai politik.Namun, calon independen dalam penyelenggaraan demokrasi di daerahbelum mendapat dukungan yang kuat kecuali misalnya di Aceh, calonindependen kepala daerah dapat menang.

Perkembangan praktik ketatanegaraan dalam pemilihan kepala daerah(PILKADA) sekarang ini menunjukkan hukum positif dalam hal ini berubah.Dalam perspektif perubahan hukum nasional perubahan hukum ini menjadifenomena yang patut dicermati. Perubahan hukum tidak harus lahir darikeinginan penguasa, tetapi juga dari adanya perubahan itu sendiri yangpada hakikatnya bersumber dari arus bawah yaitu aspirasi rakyat

A. Pergeseran Konsep Pemilihan Umum di Daerah

32 Lihat: Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia nomor 5/UU-V/2007, Perihal PengujianUU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terhadap UUD RI tahun 1945, diputusSenin, 23 Juli 2007.

72

Page 83: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

Pemilihan langsung Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah olehrakyat di daerah bersangkutan secara formal tidak diatur oleh Undang-Undang Dasar 1945 pasca amandemen, karenanya untukpenyelenggaraan pemilihan langsung Kepala Daerah/Wakil KepalaDaerah oleh rakyat bersangkutan dengan cara lain asalkan demokratis.

Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentangPemerintahan Daerah, untuk lancarnya pilkada langsung oleh rakyatmaka di terbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentangPemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian KepalaDaerah.

Menarik untuk disimak dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun2004 bahwa Pilkada sendiri tidaklah murni ‘election’, melainkan‘selection’. Pasal 65 ayat (1) menyatakan: “Pemilihan kepala daerahdan wakil kepala daerah dilaksanakan melalui masa persiapan, dantahap pelaksanaan.” Ayat (2) pasal tersebut kemudian menyatakan:“Masa persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a.Pemberitahuan DPRD kepada kepala daerah mengenai berakhirnyamasa jabatan; b. Pemberitahuan DPRD kepada KPUD mengenaiberakhirnya masa jabatan kepala daerah; c. Perencanaanpenyelenggaraan, meliputi penetapan tata cara dan jadwal tahapanpelaksanaan pemilihan kepala daerah; d. Pembentukan panitia pengawas,PPK, PPS dan KPPS; e. Pemberitahuan dan pendaftaran pemantau.

Pasal tersebut memberi indikasi bahwa walaupun tidak lagi berperandalam proses pemilihan KDH, namun sesungguhnya kekuasaanpenentuan jabatan kepala daerah masih berada pada kendali DPRD.Bahkan Pasal 109 ayat (3) menyatakan, bahwa “Pasangan calonGubernur dan wakil Gubernur terpilih diusulkan oleh DPRD provinsi,selambat-lambatnya dalam waktu 3 (tiga) hari, kepada Presiden melaluiMenteri Dalam Negeri berdasarkan berita acara penetapan pasangancalon terpilih dari KPU provinsi untuk mendapatkan pengesahanpengangkatan”.

Kemudian Pasal 109 ayat (4) menyatakan, bahwa: “Pasangancalon bupati dan wakil bupati atau walikota dan wakil walikotadiusulkan oleh DPRD kabupaten/kota, selambat-lambatnya dalam

73

Page 84: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

waktu tiga hari, kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernurberdasarkan berita acara penetapan pasangan calon terpilih dari KPUKabupaten/Kota untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan”.

Dua pasal tersebut merupakan dasar pikir utama bahwa PemilihanKepala Daerah menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004bukanlah ‘election’ dalam arti sesungguhnya tetapi ‘selection’ yangdibumbui kuat ‘election’. Pada tataran praktis, konsepsi tersebutmemiliki implikasinya masing-masing oleh karena itu, tidaklah bijaksanajika memaksakan kehendak paradigma ‘election’ terhadap materiundang-undang tersebut.

Seleksi berbeda dari eleksi. Perbedaannya bahwa panitia pemilihanmemiliki otoritas atau tidak untuk secara langsung menyatakan bahwakedudukan tertentu secara sah diisi oleh pemenang Pemilu. Jika memilikiotoritas, itu termasuk ’election’. Adapun pejabat yang berwenangmengesahkan calon pemenang berfungsi sebatas untuk memperkuatotoritas tersebut. Sebaliknya jika tidak memiliki otoritas melainkanmasih harus diteruskan oleh adanya lembaga lain, proses pemilihantersebut sesungguhnya beralih fungsi menjadi ’selection’ yangdikerangkai oleh ’election’. Inti dasarnya masih tetap ’selection’.

Pada tingkatan yang paling rendah, seleksi tidak membutuhkan pemilihanterbuka melainkan dengan penunjukkan. Pada tahapan yang agakmoderat, seleksi dilakukan dengan fit and proper test.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mengalihkan tugas pemilihandari DPRD kepada KPUD yang masih di bawah lembaga perwakilanlokal tersebut. Proses seleksi yang menjadi pilihan undang-undangtersebut ditujukan bahwa upaya demokratisasi tidak perlu dilakukansecara drastis. Untuk itu, sangat logik jika pintu partai masih menjadisatu-satunya akses calon Kepala Daerah.

Sistem seleksi yang kuat ini dipatahkan berurutan oleh MahkamahKonstitusi dengan menggeser pertanggungjawaban KPUD bukan kepadaDPRD, dan terakhir adanya calon independen. Sesungguhnya selectionberubah menjadi sistem ’election’. Dari nilai demokrasi, pilihan seleksimemiliki kadar yang lebih rendah. Namun, seringkali diambil karenabeberapa pertimbangan. Pertimbangan utamanya, bahwa pancaran

74

Page 85: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

pengelolaan pemerintahan daerah dari pemegang kekuasaan eksekutifke daerah dilakukan oleh dua lembaga, yakni DPRD dan pemerintahdaerah. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tidak disertaiadanya anak kalimat perlunya keterlibatan pihak lain di daerah diluar kedua lembaga tersebut dalam mengemban pemerintahan daerah.

Paradigma seleksi jabatan kepala daerah merupakan pilihan logisbagi pengembangan pemerintahan daerah yang bersumber pada konsepnegara kesatuan. Eleksi murni hanya terjadi pada kepala pemerintahansebuah negara atau negara bagian yang memiliki kedaulatan.Pemerintahan Daerah seperti diketahui tidak memiliki kedaulatan,melainkan pancaran kekuasaan yang bersumber dari kekuasaan eksekutifdi tingkat nasional. Dengan demikian, dalam sebuah negara bagianpun pemerintahan daerah yang ada tidak dimungkinkan terjadinyaeleksi murni.

Adanya pintu di luar partai di beberapa pemerintahan daerahdalam sebuah negara bagian selalu dilakukan dengan model fit andproper test dan adanya konvensi dari berbagai partai lokal ataucabang dari partai nasional yang dikembangkan di negara bagiantersebut. Selain itu, kemungkinan calon independen terjadi bagi kepaladaerah dapat didorong oleh adanya sistem perwakilan lokal di negara-negara tersebut yang mengenal adanya calon independen. Oleh karenaitu, jika lembaga perwakilan lokal tidak mengenal adanya anggota diluar partai, sangat sulit calon Kepala Daerah pun datang dari luarpartai.

Pada umumnya perwakilan independen muncul pada sistempemerintahan lokal yang sudah mengenal partai lokal. Negara kitatidak mengenal partai lokal, sehingga sangat sulit dikembangkancalon independen di tingkat lokal sebagai anggota DPRD. Oleh karenaitu, calon kepala daerah dari unsur independen pun sangat sulitdikembangkan merunuti logika ’selection’. Tetapi karena aroma kuatnya’election’, putusan Mahkamah Konstitusi yang mengizinkan calonindependen. Arah akhir dari sistem ini, kelak menuju sistem parlementeratau federalisme.

Baik eleksi maupun seleksi misi utamanya yakni diperolehnyacalon terbaik. Namun juga, kedua instrumen tersebut ditentukan lagi

75

Page 86: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

oleh parameter utamanya yakni adanya pengembangan kriteria calonyang jelas, terarah dan terjaga. Pengembangan kriteria calon harusmampu mencerminkan kebutuhan daerah dan kualifikasi calon. Dengandemikian, peran panitia pemilihan menjadi strategis.

Pilihan terhadap proses seleksi menurut Undang-Undang Nomor32 Tahun 2004 membawa KPUD sebagai panitia pemilihan tersebutharus dikelola secara optimal. Nilai strategis KPUD membutuhkankeseriusan berbagai pihak yang berkepentingan terhadap kemajuandaerah. Pertanyaannya apakah jaminan calon terbaik di bawah seleksilebih tinggi daripada eleksi?

Adanya pintu partai menyebabkan dalam pengembangan kriteriacalon menuntut kemampuan Partai untuk konsisten mengikutinya.Jika sejak awal sudah terjadi proses yang berbau money politics,baik eleksi maupun seleksi sama-sama tidak bermanfaat. Kriteriatersebut juga menyangkut bagaimana proses pemilihan dilalui olehmasing-masing calon yang lolos seleksi administrasi oleh Panitia.

Adanya sanksi yang tegas serta cara sanksi itu dapat diwujudkanbagi pelanggar merupakan persoalan yang harus dicermati. Transparansidalam penyelenggaraan pemilihan dari awal hingga mendapatkancalon terbaik perlu dikembangkan juga karena money politics bukanhanya dapat terjadi antara calon vis a vis partai dan calon vis a vispanitia, tetapi juga mungkin saja terjadi antara calon vis a vis pemilih.

B. Potensi Konflik dan Penyimpangan Pemilihan Kepala Daerah

Perkembangan demokrasi di tanah air menunjukkan bahwa dimasyarakat, antusiasme berpolitik melalui partai politik cukup tinggimeskipun masih terlihat adanya ancaman terhadap kebebasan berekspresidan partisipasi serta meluasnya praktik politik uang, terutama dalampemilihan pimpinan elite politik. Sedangkan di pihak pemerintah nampakadanya konsensus yang cukup tinggi untuk terus membenahi danmemberdayakan lembaga-lembaga penting demokrasi pada semuatingkat meskipun tetap menghadapi hambatan berupa masih longgarnyanilai-nilai kepatuhan pada peraturan perundang-undangan serta lemahnyatradisi dalam berdemokrasi.

76

Page 87: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

Berkenaan dengan hubungan kelembagaan pusat dan daerah,masalah yang muncul adalah bahwa pelaksanaan otonomi daerahmenghadapi kendala yang diakibatkan oleh distorsi dan inkonsistensiperaturan perundangan serta masih belum dapat menghilangkan dampakburuk sentralisasi kekuasaan, padahal konsolidasi demokrasimensyaratkan pentingnya persatuan nasional. Stabilitas politik sangatdiperlukan untuk menjaga konsolidasi demokrasi. Persatuan nasionalperlu didasarkan pada aspek keanekaragaman, desentralisasi dankeadilan sosial. Akan tetapi perkembangan politik menunjukkan masihbanyak permasalahan politik yang berpotensi konflik dan mengganggupersatuan nasional seperti pelanggaran HAM dan kejahatan politikyang dilakukan dengan mengatasnamakan negara, yang pada gilirannyaberpotensi mengganggu stabilitas nasional yang sangat diperlukandalam menggalang kesatuan dan persatuan bangsa dalam melaksanakankonsolidasi demokrasi.

Pelaksanaan Pilkada diantisipasi akan berpotensi konflik,mengganggu stabilitas politik di daerah. Mobilisasi masa melaluipenggunaan politik uang (money politics) akan menjadi faktor pemicukonflik di dalam pelaksanaan Pilkada. Dalam konteks kesatuan danpersatuan, pelaksanaan Pilkada yang jujur, adil adalah sasaran utamayang akan dicapai dalam proses demokratisasi. Pada satu sisi Pilkadamemberikan warna demokrasi, akan tetapi pada sisi lain memunculkansejumlah ironi. Polarisasi antar kelompok masyarakat danmerenggangnya hubungan interaksi sosial menjadi salah satu dampaknyata dan tidak dapat dikesampingkan sebagai ekses Pilkada, misalnyakonflik yang muncul pada pemilihan Bupati Sampang, WalikotaSurabaya, pemilihan Gubernur Maluku Utara dan Gubernur KalimantanTengah.

Konflik-konflik di atas muncul dalam berbagai model, ada yangberbentuk konflik kepentingan antar elite yang berimbas pada konflikhorizontal di masyarakat, tarik menarik antara intervensi pusat danresistensi lokal, bahkan konflik antara eksekutif dan legislatif. Fenomenadi atas telah mencoreng proses demokrasi yang dengan susah payahdibangun. Kekisruhan Pilkada layaknya seperti wabah yang menggejaladi semua derah yang menyelenggarakan pesta demokrasi lokal. Keadaan

77

Page 88: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

di atas lebih diperparah lagi, seringkali konflik antar elite yangmelibatkan massa pendukungnya juga berujung pada anarki.Pemblokadean jalan-jalan vital yang berakibat terganggunya fasilitaspublik, bentrok dengan aparat dan bentuk-bentuk anarkis lainnyayang mengiringi proses Pilkada.

Salah satu penyebab munculnya berbagai konflik di atas adalahbelum bakunya infrastruktur pemilihan pejabat publik yang seringkalikontroversial antara partai dan aktor politik yang terkadang ditolakoleh masyarakat sehingga menimbulkan konflik ketika proses pemilihanberlangsung. Demikian pula lemahnya institusionalisasi demokrasidi tingkat lokal menjadi faktor dominan timbulnya konflik antar kekuatanpolitik. Akibatnya, aturan main berdemokrasi sering berubah dantidak ditaati karena bergantung pada persepsi pusat yang menentukanhasil akhir proses di tingkat lokal. Fakta yang paling mencolok dalampenyelenggaraan Pilkada adalah pragmatisme partai politik denganmenyampingkan idiologinya sehingga melakukan segala cara untukmerebut kemenangan, seolah bagai monster pemburu kekuasaan.

Pilkada dalam konteks di atas bukan lagi sebagai pesta rakyat,akan tetapi pesta parpol, sehingga Pilkada tidak lebih sebagai prosesipergantian aktor pejabat yang diwarnai dengan berbagai konflik,anarkis, kecurangan, penghalalan segala cara hingga intimidasi terhadapkandidat. Semua itu menjadi bukti bahwa seharusnya Pilkada menjadikatalisator konsolidasi demokrasi, berubah menjadi proses yangberpotensi penghambat akselerasi demokrasi. Pada tahap inilah Pilkadayang sebenarnya sangat dibutuhkan bagi tumbuhnya kultur demokrasi,ternyata gagal. Pilkada justru menjadi cermin gagalnya desentralisasidemokrasi. Atau dengan kata lain Pilkada hanya sebagai pembajakandemokrasi, bahkan pendangkalan demokrasi.

Sesungguhnya semangat yang terkandung dalam penyelenggaraanpemerintahan daerah secara otonom adalah, pertama, dalam upayamembebaskan pemerintah pusat dari beban-beban tugas dalammenangani urusan domestik (lokal), dan sekaligus daerah mendapatkankesempatan untuk mempelajari, memahami, merespon kecenderunganglobal serta mengambil faedah untuk kepentingan daerah. Kedua,dalam rangka pembagian tugas, pemerintah pusat berkonsentrasi pada

78

Page 89: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

kebijakan-kebijakan makro yang lebih strategis untuk kepentingannasional, sementara daerah dituntut lebih kreatif dalam melakukanproses pemberdayaan dan mengatasi masalah-masalah lokal. Ketiga,adanya nilai-nilai kepercayaan pemerintah pusat kepada pemerintahdaerah, terutama terhadap nilai-nilai lokal yang menjadi khazanahkekuatan lokal, baik dalam aspek ekonomi dan budaya (Rasyid;2002).

Dalam konteks inilah proses otonomisasi (demokrasi lokal) padaranah espektasi akan diarahkan pada upaya perubahan secara sistematis.Otonomisasi juga diarahkan untuk pendekatan pelayanan danperlindungan pemerintah pada rakyat secara tepat, terutama pemenuhanbasis kebutuhan ekonomi, sosial dan ini sangat tergantung pada kualitaskinerja masing-masing daerah. Yang terpenting dalam otonomisasiadalah memberi peluang bagi penguatan kapasitas publik di daerah(provinsi atau kabupaten/kota) sehingga partisipasi rakyat akan semakinluas dalam menentukan arah politik lokal dan terutama sekali dalamkaitannya dengan pelayanan dan perlindungan masyarakat.

Fakta yang dijumpai akhir-akhir ini merupakan risiko daripelaksanaan Pilkada yang sangat berpengaruh pada kehidupan sosialekonomi masyarakat, apalagi jika pelaksanaan Pilkada tidak dijalankansecara maksimal akan menimbulkan gesekan dan ekses negatif,menciptakan suasana tidak kondusif, mencekam dan akan menghambatdinamika ekonomi lokal. Apalagi jika kekalahan politik salah satucalon yang diusung akan membawa pengaruh pada emosionalpendukungnya yang merasa kecewa, sehingga menimbulkan amukanmassa yang ekspresif. Bahkan, penyakit-penyakit psikososial jugaakan menghinggap pada masyarakat, seperti beban psikologis danpsikotraumatik pasca konflik Pilkada. Demikian pula dalam konteksdinamika pembangunan ekonomi masyarakat, konflik pasca Pilkadadengan aksi anarkisme massa dapat menghambat denyut ekonomilokal yang mayoritas adalah masyarakat kecil yang tidak berdaya.

Sangat beralasan jika beberapa kalangan berpendapat bahwaterjadinya krisis pangan dan komoditi penting bagi masyarakat didaerah yang terjadi akhir-akhir ini secara tidak langsung berkorelasidengan daya konsentrasi pemerintah pusat maupun lokal yang lebihmemperhatikan persoalan politik sehingga persoalan kesejahteraan

79

Page 90: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

rakyat terabaikan. Ini pula yang menjadi kekhawatiran banyak pihakbahwa agenda politik nasional tidak memberikan kontribusi bagipembangunan kesejahteraan masyarakat, dan harus diakui bahwasaat ini pemerintah masih pada tataran konsolidasi penataan infrastrukturpolitik baik ditingkat pusat maupun daerah dan belum menunjukkanprestasi yang baik bagi penataan pembangunan ekonomi nasional.

Dalam tataran kelembagaan dan normatif, Pilkada langsungmerupakan perkembangan yang positif bagi pertumbuhan danpemantapan demokrasi di Indonesia. Namun sistem dan mekanismeini perlu terus disempurnakan dan dievaluasi karena masih banyaksisi kelemahan yang seringkali kontra produktif bagi prosesdemokratisasi. Kelemahan-kelemahan di atas seringkali menjadi pemicudan akar persoalan konflik sosial dan politik di masyarakat. Akantetapi sumber konflik ini sesungguhnya tidak hanya pada tatarannormatif yaitu perundang-undangan, tetapi juga dalam konteksimplementasinya yang seringkali tidak konsisten dan menyimpangdari tujuan dasarnya.

Beberapa distorsi dan penyimpangan dalam praktikpenyelenggaraan Pilkada yang masih menjadi ganjalan dan banyakdipertanyakan oleh masyarakat adalah masih banyaknya warga yangmempunyai hak pilih tetapi tidak tercatat sebagai pemilih tetap.Persoalan lain adalah terjadinya distorsi dan penyimpangan dalammemilih pemimpin terbaik. Melalui Pilkada yang terpilih disinyalirjustru bukan putra terbaik yang dimiliki daerah. Meskipun banyakmenghasilkan hal positif dan mampu menjaring kader daerah yangbaik dan kompeten, namun tidak sedikit yang meleset jauh dari harapanpemilih.

Secara terminologi sumber konflik dapat berasal dari perbedaanpendapat, persaingan dan permusuhan. Lazimnya konflik munculketika terjadi persaingan yang tajam di antara dua pihak yang berbedakepentingan dan tujuannya. Berbagai bentuk persaingan sangat erathubungannya dengan konflik, apabila dalam persaingan ada beberapapihak menginginkan hal yang sama tetapi hanya satu pihak yangmungkin mendapatkannya. Namun persaingan tidak sama dengankonflik, hanya saja lebih mudah dan berpotensi menuju konflik, terutama

80

Page 91: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

bila persaingan itu menggunakan cara-cara yang bertentangan denganaturan yang disepakati. Bahkan bentuk permusuhan itupun tidakotomatis berubah koflik karena orang yang terlibat konflik bisa sajatidak memiliki rasa permusuhan. Sebaliknya orang yang salingbermusuhan bisa juga tidak berada dalam keadaan konflik.

Robbins (1996) menjelaskan bahwa konflik adalah suatu prosesinteraksi yang terjadi akibat adanya ketidakpuasan antara dua pendapatatau sudut pandang yang sangat berpengaruh terhadap pihak-pihakyang terlibat, baik pengaruh positif maupun negatif. Dalam perspektifpsikologis, Luthan (1981) melihat konflik sebagai suatu kondisi yangditimbulkan oleh adanya kekuatan yang saling bertentangan. JamesAF Stoner (1998) paling tidak ada lima jenis konflik, yaitu (i) konflikintrapersonal, (ii) konflik interpersonal, (iii) konflik antar individuatau kelompok, (iv) konflik antar kelompok dan (v) konflik antarorganisasi.

Dalam konteks Pilkada, ternyata pesta demokrasi ini, yang notabenemerupakan kegiatan politik berpotensi menimbulkan konflik karenadi dalam prosesnya selalu nampak perbedaan pendapat dan kepentinganserta persaingan yang tajam dalam memperebutkan suatu jabatanpublik. Dari perspektif tertentu, Pilkada memiliki potensi lebih besardalam menyulut konflik dibandingkan dengan pemilihan Presiden.Dalam skala yang bersifat nasional, Pemilu Presiden melahirkanancaman politik yang intensitasnya lebih rendah dibandingkan Pilkadayang bersifat lokal. Akibatnya konflik dalam Pemilu Presiden tidakterlampau nampak di hadapan masyarakat, karena isu-isu yangditawarkan tidak bersinggungan langsung dengan kepentinganmasyarakat setempat. Namun, konflik dalam Pilkada sangat eratdengan isu dan persoalan yang dibicarakan masyarakat.

Kenyataan di beberapa wilayah yang telah menyelenggarakanPilkada tidak melahirkan legitimasi. Hasil yang ditetapkan tidak memilikiwibawa sebagai hasil yang sah sehingga memunculkan gelombangprotes dari berbagai pihak, terutama dari pendukung calon yangkalah. Faktor lain masih banyaknya orang yang tidak dapatberpartisipasi dalam Pilkada. Hal ini menyebabkan tingginya angkaGolput, bahkan di beberapa daerah “Golput” memenangkan Pilkada.

81

Page 92: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

Jika demikian artinya begitu kuatnya ketidakpercayaan warga kepadasistem penyelenggaraan Pilkada. Faktor selanjutnya masih adanyaketidakrahasiaan dalam pemilihan dan tersumbatnya hak-hak dasarwarga negara, misalnya warga memilih di bawah tekanan, baik dariorganisasi masa, preman politik dan lain-lain. Berbagai tekanan yangdirasakan menyebabkan warga tidak kritis, kehilangan hak memilihsesuai nurani. Jika semua itu terjadi maka performan di sebuahdaerah dengan sendirinya akan terpuruk dan berpotensi melahirkankonflik.

Jika dilihat dari proses penyelenggaraannya konflik Pilkadabiasanya muncul dari, pertama, tahapan pendaftaran calon atau tidaklulus verifikasi yang dilakukan oleh KPUD. Kedua, sengketa jugabanyak dipicu oleh tidak maksimalnya proses pendaftaran pemilihsehingga banyak warga yang tidak terdaftar, yang memunculkanketidakpuasan dan sangat memungkinkan menjadi determinan konflik.Ketiga, konflik dapat lahir dari ekses masa kampanye. Berbagaiupaya dilakukan untuk memasarkan politik untuk meraih simpatipublik, dalam praktiknya sekaligus juga dibarengi dengan tindakanmenyerang, black camping, pembunuhan karakter, dan momentumini dapat menjadi akselerator konflik dalam Pilkada. Keempat, padatahapan penetapan pemenang Pilkada yang biasanya muncul isupenggelembungan suara yang dilakukan oleh calon yang menang.

Di tengah harga mahal yang harus dibayar dalam proses Pilkada,proses politik di tingkat lokal telah memberi ruang baru bagi tumbuhnyademokratisasi di daerah, meskipun harus diwarnai dengan berbagaikonflik dan kekerasan yang tidak dapat dihindari. Terlepas dari hasilkualitas proses Pilkada, keberanian bangsa untuk melangsungkanPilkada patut dipuji. Namun proses Pilkada harus dikawal agar mampumenjadi lahan subur bagi persemaian kultur demokrasi, dan bukanmenjadi pendangkalan ataupun pembelokan makna demokrasi.

Seorang ahli politik dan ahli dari Desk Pilkada DepartemenDalam Negeri, Cecep Effendi33 mensyaratkan setidaknya secara

33 Cecep Effendi, “Evaluasi Kritis Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung”. Makalah,(tidak diterbitkan, tanpa tahun).

82

Page 93: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

“teoretik” ada empat komponen dalam pelaksanaan pilkada langsungakan berlangsung dengan sukses. Pertama, adalah apakah aturan-aturan kebijakan untuk mendukung Pilkada ini benar-benar dipersiapkandan dipahami oleh pelaksana-pelaksana pilkada di daerah. Termasukdalam konteks ini adalah kapasitas KPUD sebagai penyelenggara.

Kedua, apakah terjadi mekanisme demokratis yang dijalankan olehpartai politik dalam penjaringan atau rekrutmen calon-calon kepaladaerah. Ketiga, apakah badan pengawas pilkada mampu menjalankantugasnya dengan baik atau tidak, terutama untuk memastikan bahwapelaksanaan Pilkada dapat berlangsung dengan prinsip-prinsip langsung,umum, bebas dan rahasia. Dan keempat, sejauhmana warga yangmemiliki hak pilih telah benar-benar memahami proses pemilihan.Pemahaman tidak hanya sebatas pada proses pemilihan, tetapi jugakapasitas untuk memahami profil dan program calon pilihannya.

Dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah terdapat berbagaimacam aktor dan kepentingan. Terdapat banyak potensi-potensi dansumber-sumber yang akan menyedot perhatian para aktor yang bermaindan keinginan untuk merebutkannya. hal tersebut karena Pilkadadipengaruhi oleh struktur-struktur sosial dan politik yang beragamdan konstitutif, sehingga tidak saja akan menciptakan apa yang disebutsebagai konstruksi sosial yang konsensusual; tetapi juga konfliktual.

Pemilihan kepala daerah di Indonesia selalu dibayangi olehkonflik. Konflik ini bukan saja antara peserta dan para pendukungnya,tetapi juga antara peserta dengan penyelenggara, bahkan dengan institusi-institusi yang lain, seperti pemerintah lokal (daerah), aparat keamanandan dengan masyarakat. Sebagai praktisi, penulis menyadari bahwapotensi konflik dapat bersumber dari berbagai macam konstruksihukum, sosial dan politik.34

Kekhawatiran ini bersumber dari banyak sebab; mulai darikonstruksi hukum yang tidak memadai untuk mencegah danmenyelesaikan konflik, para pelaku politik di tanah air yang belumsepenuhnya menyadari bahwa kalah dan menang dalam politik

34 Juri Ardiantoro,”Potensi Konflik Pilkada dan Antisipasinya” dalam Makalah, Tak Diterbitkan,2006).

83

Page 94: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

merupakan hal yang biasa dan wajar, sentimen SARA, hinggapelanggaran-pelanggaran selama pilkada, termasuk posisi KPUD yangdianggap tidak profesional dan partisan.35

Faktanya, konflik dalam pilkada pada akhirnya dianggap sebagaihantu yang sangat mengerikan. Konflik dapat dengan tiba-tiba berubahmenjadi aksi-aksi kekerasan yang meminta banyak korban, baik materialmaupun non-material. Di sebagian besar daerah, Pilkada gagalmenyediakan arena yang memungkinkan para pelaku politik dapatberkompetisi secara fair, damai dan beradab. Pilkada justeru menjadiarena bagi pihak-pihak yang tidak puas untuk melampiaskan nafsupolitiknnya, tidak peduli bahwa tindakannya merugikan banyak pihak,termasuk pelaku sendiri.36

Dalam perspektif hukum, potensi konflik pilkada sebagaimanadijelaskan bersumber dari kesalahan menempatkan pilkada dalamrezim pemerintahan daerah, bukan pemilu. Padahal asas-asas, prinsipdan tahapan yang dilakukan oleh KPUD adalah prinsip-prinsip pemilu.Kesalahan ini bermula dari perdebatan panjang, apakah pilkada ituditempatkan dalam konstruksi Pasal 22E Undang-Undang Dasar 1945atau Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945? Itu yang pertama.

Kedua, pertanggungjawaban KPU(D) yang tidak jelas. Ketiga, baikUndang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri DalamNegeri dan berbagai Surat Edaran Menteri Dalam Negeri“mengacaukan” struktur kelembagaan KPUD dan berpotensi terjadikonflik hukum dan penyimpangan dalam Pilkada.

Keempat, secara kelembagaan konstruksi peraturan pilkada tidakkondusif untuk mencegah terjadinya konflik,37 yakni: (1) kewenanganKPU sebagai penyelenggara pemilu tidak berfungsi. (2) untukmenggantikan peran KPU, pemerintah membentuk desk pilkada. Untuktingkat daerah, koordinator desk pilkada dijabat oleh seorang SekretarisDaerah yang dalam struktur birokrasi daerah memiliki kewenanganuntuk memobilisasi jajaran birokrasi. (3) sebagai konsekuensi pilkada

35 A.A. Oka Mahendra, Pilkada di Tengah Konflik Horisontal: Nurmahmudi Ismail Unggul diKPUD, Badul Kamal Menang di Pengadilan Tinggi. (Jakarta: Millenium Publisher, 2005).

36 Lihat Juri Ardiantoro, “Konflik Pilkada dan Netralitas KPUD” dalam Harian INDOPOS, 17 Mei2006.

84

Page 95: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

bukan bagian dari rezim pemilu, penggunaan-penggunaan instrumen-instrumen Pemilu 2004 tidak dapat digunakan lagi dalam pilkada.(4) karena bukan rezim pemilu, sengketa hasil pemilu tidak lagiditangani oleh Mahkamah Konstitusi.

C. Penguatan KPUD dalam Pelaksanaan Pilkada

Pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung (yangselanjutnya disebut dengan Pilkada), yang dimulai sejak tanggal 27Juni tahun 2005 telah menarik perhatian banyak pihak, karenamerupakan hal yang baru dalam perjalanan sejarah bangsa ini,mengingat banyaknya jumlah kota/kabupaten dan provinsi yang akanmelaksanakan Pilkada pada tahun tersebut. Yang menjadi pertanyaandalam benak kita kemudian adalah sejauhmana kesiapan daerah-daerah tersebut untuk menyelenggarakan Pilkada.

Beberapa komponen yang menjamin sukses tidaknya pelaksanaanpemilihan kepala daerah secara langsung di antaranya adalah kesiapandari pelaksana penyelenggaraan Pilkada, apakah para pelaksana tersebutmempersiapkan dan memahami aturan dan kebijakan yang mendukungpelaksanaan pilkada?

Di samping juga faktor lain seperti kemampuan panitia pengawasdalam mengawal proses Pilkada berlangsung serta partisipasi wargamasyarakat yang memiliki hak pilih dalam memahami proses Pilkada,di samping juga pemahaman atas program dan kapabilitas masing-masing calon, sehingga dalam menentukan calon yang dipilihnyatersebut adalah yang benar-benar memiliki program dan kapabilitassebagai kepala daerah.

Kesuksesan Pilkada langsung tidak hanya dilihat dari perspektifkemajuan pelaksanaan otonomi daerah, khususnya yang tertuang dalamUndang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,tetapi juga bagian inheren agenda reformasi politik, sebagaimanamenjadi tuntutan mahasiswa saat meruntuhkan rezim Orde Baru.

Pemilihan kepala daerah (Pilkada)secara langsung yang dimulaipertengahan tahun 2005 yang lalu telah dilalui dengan penuh dinamika

85

Page 96: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

dari yang berjalan secara sukses dalam arti demokratis38, aman, dandamai, sebagaimana Pemilihan Presiden 2004 sampai dengan yangdilalui dengan cukup alot, seperti kasus Pilkada Kota Depok.

C.1.Peran dan Kapasitas KPUD (menurut UU No. 32 Tahun 2004tentang Pemerintahan Daerah) dalam Penyelenggaraan Pilkadadan masalahnya

Salah satu tujuan reformasi adalah mewujudkan Indonesiayang lebih demokratis. Hal ini dapat dicapai dengan mengembalikankedaulatan ke tangan rakyat. Selama ini, baik di masa OrdeBaru maupun di Era Reformasi, kedaulatan sepenuhnya beradadi lembaga-lembaga eksekutif dan legislatif. Bahkan di EraReformasi, kedaulatan seolah-olah berada di tangan partai politik.Partai politik, melalui fraksi-fraksinya di MPR dan DPR, dapatmelakukan apa saja yang berkaitan dengan kepentingan bangsadan negara, bahkan dapat memberhentikan presiden sebelumberakhir masa jabatannya. Sedangkan di daerah-daerah, DPRDmelalui pemungutan suara dapat menjatuhkan kepala daerahsebelum berakhir masa jabatannya.39

Proses demokrasi di daerah mulai tampak dengan ditandaiadanya perubahan yang paling signifikan dalam Undang-UndangNomor 32 Tahun 200440 yaitu pengaturan mengenai sistem pilkadalangsung. Dari 240 pasal dalam Undang-Undang tersebut, 63pasal diantaranya mengatur tentang pemilihan kepala daerahlangsung.41

37 Majalah Fokus (Oktober, 2005),38 Ilmuwan politik Juan J Linz dan Alfred Stepan mengatakan, suatu negara dikatakan demokratis

bila memenuhi prasyarat antara lain memiliki kebebasan kepada masyarakat untuk merumuskanpreferensi-preferensi politik mereka melalui jalur-jalur perserikatan, informasi dan komunikasi;memberikan ruang berkompetisi yang sehat dan melalui cara-cara damai; serta tidak melarangsiapapun berkompetisi untuk jabatan politik.38 Dalam hal ini jelas, kompetisi politik yang damaimenjadi prasyarat penting bagi demokrasi. Oleh karena itu, salah satu agenda terpenting dalamkonteks Pilkada langsung adalah meminimalisasi potensi-potensi konflik. Lihat Israr Iskandar,Potensi Konflik dalam Pilkada Langsung, Suara Karya, Kamis, 10 Maret 2005.

39 Rozali Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 51.

40 Indonesia, Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 32, LN 125 Tahun 2004,TLN No. 4437.

41 Susie Berindra, Upaya Mencari Pemimpin Ideal”, <http:// kompas.com/kompas-cetak/0604/28/politikhukum/2630087.htm>, 06 Mei 2006, menyatakan bahwa ketika reformasi 1998, muncul

86

Page 97: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menganut sistempemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsungdengan memilih calon secara berpasangan.42 Calon diusulkanoleh partai politik atau gabungan partai politik. Sedangkan asasyang digunakan dalam pilkada sama dengan asas yang digunakandalam pemilu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor12 Tahun 200343 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003,44

yaitu asas langsung, umum, bebas dan rahasia (luber), sertajujur dan adil (jurdil).45

Penyelenggara pemilihan Kepala Daerah provinsi maupunkabupaten/kota diperlukan adanya suatu lembaga yang independendan Imparsial. Pembentukan lembaga ini dapat dilakukan melalui2 (dua) cara, yaitu (1) membentuk lembaga baru di setiap daerahpemilihan; atau (2) memanfaatkan keberadaan KPU Provinsi/Kabupaten/Kota yang telah berpengalaman dalammenyelenggarakan pemilihan umum anggota legislatif dan pemilihanumum presiden dan wakil presiden.46

Dengan alasan efisiensi biaya dan kelengkapan saranaprasarana serta kelayakan kemampuan yang telah dibuktikanoleh KPU dan KPU Provinsi/Kabupaten/Kota sebagaipenyelenggara pemilihan umum anggota legislatif dan pemilihanumum presiden dan wakil presiden, maka penyelenggaraanpemilihan kepala daerah dibebankan kepada lembaga KomisiPemilihan Umum Daerah (KPUD) yang organ-organnya merupakanKPU Provinsi/Kabupaten/Kota yang diberi wewenang khusus

tuntutan dari masyarakat supaya pemerintah menggelar pemilihan ulang beberapa gubernur. Alasannya,para gubernur yang dipilih melalui DPRD itu terlibat korupsi, kolusi dan nepotisme. Selain itu,para gubernur itu terpilih ketika rezim Soeharto berkuasa. Namun, Mendagri saat itu, SyarwanHamid, menolak keinginan masyarakat dengan tegas.

42 Republik Indonesia, op. cit., Pasal 56 ayat (1) dan ayat (2).43 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan

Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, UU No. 12, LN 37Tahun 2003, TLN No. 4277.

44 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden,UU No. 23, LN 93 Tahun 2003, TLN No. 4311.

45 Ibid., Pasal 2.46 Lihat Zain Badjeber, “Komentar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah” (Jakarta: Forum Indonesia Baru, 2005), hlm. 246-247.

87

Page 98: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

oleh Undang-Undang dalam menyelenggarakan pemilihan kepaladaerah.47

Penunjukan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) sebagaipenyelenggara Pilkada di masing-masing daerah48, dimana KPUDyang dimaksud dalam hal ini adalah KPU Provinsi, Kabupeten/Kota sebagaimana dimaksud oleh Undang-Undang Nomor 12Tahun 2003.

Undang-Undang Dasar 1945 tidak merumuskan lembagapenyelenggara pemilihan kepala daerah. Namun demikianpenyelenggara pemilihan kepala daerah disebutkan dalam Pasal57 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, yangmenyatakan: “Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerahdiselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD)yang bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah(DPRD)”. Namun berdasarkan Putusan Mahkamah KonstitusiNo. 072 dan 073/PUU/III/2005 tanggal 22 Maret 2005, anakkalimat “yang bertanggung jawab kepada DPRD” dinyatakantidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.49

Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut memiliki implikasi:(1) dalam pemilihan kepala daerah KPUD tidak bertanggungjawabkepada DPRD; (2) DPRD tidak berwenang memintapertanggungjawaban tugas KPUD; (3) KPUD tidak berkewajibanmempertanggungjawabkan penggunaan anggaran pemilihan kepaladaerah; dan (4) pembatalan calon kepala daerah yang terbuktimelakukan pelanggaran berdasarkan putusan pengadilan yang

47 Ibid.48 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 32, LN 125 Tahun

2004, TLN No. 4437, Pasal 57 menyatakan: “Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerahdiselenggarakan oleh KPUD”.

49 Konsiderans Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menyatakan: “Menimbang bahwa pembuatundang-undang telah menetapkan KPUD sebagai penyelenggara pemilihan kepala daerah langsung,yang mana Mahkamah berpendapat hal tersebut menjadi wewenang dari pembuat undang-undang.Walaupun demikian KPUD harus dijamin independensinya dalam menyelenggarakan pemilihankepala daerah, dan apabila independensi KPUD tidak dijamin, hal ini akan mengganggu pelaksanaanhak rakyat sebagai pemegang kedaulatan yang ditentukan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945,bertentangan dengan jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yangsama di hadapan hukum yang dimuat dalam Pasal 28D UUD 1945".

88

Page 99: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

telah mempunyai kekuataan hukum tetap tidak lagi dilakukanoleh DPRD.50

Ketentuan tersebut cukup logis dengan memandang bahwaamat sulit mencapai tujuan tersebut, apabila KPUD harusmempertanggungjawabkan kepada lembaga lain, seperti DPRD.Sebab DPRD merupakan unsur-unsur partai politik yang menjadipelaku dalam kompetisi pilkada.

Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwapilkada memang bukan pemilu dalam arti formal, melainkanhanya dalam arti materiil. Maksudnya acuan pilkada tetap Pasal18 ayat (4) UUD 1945, tetapi dalam melaksanakan pilkada KPUDharus juga mengacu kepada asas-asas pemilu yang tercantumdalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945, yaitu langsung, umum,bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber dan jurdil). Terlebih lagipemakaian asas-asas pemilu ini dinyatakan sendiri oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.

Dengan demikian, kewajiban KPUD adalah menyelenggarakanpilkada yang demokratis sesuai dengan pesan Pasal 18 ayat (4)UUD 1945 dan juga pilkada yang luber dan jurdil sesuai denganpesan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Dari perspektif publik,terlaksananya pilkada yang demokratis, luber, dan jurdil adalahhak konstitusional mereka. Pada tataran inilah KPUD harusbertanggungjawab kepada publik untuk melaksanakan pilkadademokratis, luber, dan jurdil tersebut.

Salah satu aspek untuk terlaksananya pilkada demokratis,luber, dan jurdil itu adalah transparansi dan akuntabilitaspenyelenggaraan pilkada, termasuk dalam hal penggunaankeuangan. Meskipun Mahkamah Konstitusi menyatakan secarafinansial KPUD tidak bertanggungjawab kepada DPRD, tidakberarti KPUD tidak bertanggung jawab sama sekali. KPUD tetapdapat dimintai pertanggungjawabannya menurut peraturanperundang-undangan yang ada. Bila ada anggota KPUD yangterindikasi korupsi misalnya, kepolisian, kejaksaan, atau Komisi

50 Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-III/2005, hlm. 112-113.

89

Page 100: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

Pemberantasan Korupsi (KPK) tetap dapat menjangkau anggotatersebut. Secara administratif, KPU dapat melakukan penggantianterhadap anggota tersebut. Namun penggantian tersebut bukanterhadap anggota KPUD, melainkan terhadap anggota KPUprovinsi, kabupaten/kota yang merupakan aparat bawahan KPUyang telah menjadi KPUD sebagai pelaksana Pilkada langsung.KPUD harus menciptakan suatu sistem yang memungkinkanmasyarakat dengan mudah mengakses segi-segi penyelenggaraanPilkada.

KPUD sebagai penyelenggara Pilkada, kemudian ditegaskanlagi dalam Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 6Tahun 2005, yang menyatakan:

(1) Pemilihan diselenggarakan oleh KPUD.

(2) Dalam menyelenggarakan pemilihan gubernur dan wakilgubernur, KPUD provinsi menetapkan KPUD kabupaten/kota sebagai bagian pelaksana tahapan penyelenggaraanpemilihan.51

Pemberian kewenangan mengatur semua tahapan pemilihankepala daerah kepada KPUD dengan berpedoman kepada PeraturanPemerintah menimbulkan 3 (tiga) persoalan hukum.52

Pertama, ketentuan seperti ini bertentangan dengan prinsipkemandirian yang melekat tidak hanya kepada KPU, tetapi jugakepada KPUD sebagai aparatnya di daerah karena menempatkanKPUD di bawah pengarahan pemerintah. KPU/KPUD yang mandiriberarti tidak berada di bawah golongan, partai politik, ataupunpemerintah, melainkan melaksanakan pemilihan umum sepenuhnyamenurut undang-undang. Dengan kewenangan KPUD menetapkanketentuan teknis semua tahapan Pilkada berdasarkan PeraturanPemerintah, maka KPUD menerima pengarahan dan supervisidari pemerintah atau setidak-tidaknya jika ada permasalahan

51 Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, danPemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, PP No. 6, LN No. 22 Tahun 2005, TLNNo. 4480, Pasal 4 ayat (1) dan (2).

52 Ramlan Surbakti, “Beberapa Pertanyaan tentang Sistem Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung”,dalam Jurnal Pamong Praja, Edisi 3-2005, hlm. 55-56.

90

Page 101: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

dalam penyelenggaraan pilkada harus bertanya dan berkonsultasi,menunggu pengarahan dari pemerintah tentang pengaturan tahapanpilkada.53

Kedua, ketentuan tersebut tidak taat asas dengan Undang-UndangNomor 12 Tahun 2003 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun2003 yang sama sekali tidak memberikan kewenangan kepadapemerintah untuk membuat peraturan pelaksanaan pemilihan umumdengan alasan untuk menghindari pembuatan peraturan pemilihanumum oleh peserta pemilu. Pembuat Undang-Undang Nomor 12Tahun 2003 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 dengansengaja tidak memerintahkan pemerintah (Presiden) membuatPP untuk menjalankan UU tersebut dengan maksud mencegahtindakan berpihak dari presiden/pemerintah kepada peserta pemilu.Itulah sebabnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 danUndang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 sudah mengatur secaralengkap ketentuan yang diperlukan untuk menyelenggarakanpemilihan umum, sedangkan penjabaran teknisnya diserahkankepada KPU yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.54

Ketiga, pemberian kewenangan pengaturan teknis tahap persiapandan pelaksanaan pilkada kepada KPUD bertentangan denganasas eksternalitas dan efisiensi yang diatur dalam Pasal 11 ayat(1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 itu sendiri. Urusanyang bersifat atau berlaku lintas daerah harus ditangani olehinstansi yang lebih tinggi (eksternalitas), dan suatu urusan akanlebih efisien ditangani oleh instansi yang berlingkup luas. Dikatakandemikian karena pengaturan teknis setiap tahapan tersebutmerupakan penjabaran asas-asas pemilihan umum yang demokratis,yaitu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber dan

53 Pendapat yang sama juga disampaikan oleh anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) saat itu,Hamid Awaludin, dan Direktur Eksekutif Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Ray Rangkuti.Dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah langsung mulai Juni 2005, dapat muncul persepsimengenai upaya pemerintah untuk mengintervensi proses tersebut. Hal ini merupakan salah satukelemahan dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang masih membutuhkan peraturanpemerintah. Sehingga dapat memunculkan anggapan bahwa pemilihan kepala daerah tidak otonom.Persepsi itu muncul akibat masih dipakainya peraturan pemerintah (PP) dalam pemilihan kepaladaerah langsung, sebagaimana dikutip dari <http://www.apkasi.or.id>, 24 Maret 2006.

54 Lihat juga, Cetro, “Urgensi Revisi Undang-Undang Nomor 32 Taun 2004 tentang PemerintahanDaerah Sebelum Penyelenggaraan Pilkada”, dikutip dari <http://www.cetro.or.id>, 23 Maret 2006.

91

Page 102: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

jurdil). Penjabaran asas-asas pemilihan umum ini berlaku diseluruh Indonesia, bahkan berlaku universal, sehingga tidak dapatdidesentralisasikan kepada KPUD. Disebut tidak efisien karenabila pilkada diselenggarakan di 226 daerah (provinsi dan kabupaten/kota), maka harus dibuat 226 SK untuk setiap tahapan pilkadayang isinya sama. Pengaturan teknis pilkada seharusnya diserahkankepada KPU, tetapi perencanaan dan penyelenggaraan pilkadadiserahkan sepenuhnya kepada KPUD.55

KPUD yang diberikan tugas sebagai penyelenggara pemilihankepala daerah, menurut Pasal 1 angka 21 Undang-Undang Nomor32 Tahun 2004 adalah “Komisi Pemilihan Umum Daerah yangselanjutnya disebut KPUD adalah KPU Provinsi, Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 12Tahun 2003 yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undangini untuk menyelenggarakan pemilihan kepala daerah dan wakilkepala daerah di setiap provinsi dan/atau kabupaten/kota”.

Sekarang yang menjadi permasalahan adalah samakah KPUDsebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun2004 dengan KPU berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun2003? Sebagaimana dikemukakan dimuka bahwa ketentuan yangmelahirkan Komisi Pemilihan Umum terdapat dalam Pasal 22EUndang-Undang Dasar 1945 dalam Bab VIIB Pemilihan Umum,yang merupakan hasil perubahan ketiga tahun 2001. Pasal 22Eayat (5) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan: “Pemilihanumum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yangbersifat nasional, tetap dan mandiri”. Frase “komisi pemilihanumum” ditulis dengan huruf kecil dan diawali dengan kata “suatu”,artinya hal yang belum tentu tentang nama dan jenis organisasinya.Menurut kaidah bahasa Indonesia, penulisan “komisi” dengan

55 Lihat Cetro, “Kesimpulan Pemohon Perkara Nomor 072/PUU-II/2004 Pengujian Undang-UndangNomor 32 Tahun 2004 terhadap Undang-Undang Dasar 1945”, menyatakan bahwa mengingatPemilu Presiden dan Wakil Presiden sebagai pemilu eksekutif secara langsung telah diselenggarakansecara sukses oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), maka seharusnya Pilkda sebagai pemilu eksekutiftingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota juga diselenggarakan oleh lembaga yang sama. Apabiladirasakan perlu adanya desentralisasi, maka KPU sebagai pemegang wewenang penyelenggarapemilu dapat melakukan delegasi kepada KPU Provinsi maupun KPU Kabupaten/Kota, dikutipdari <http://www.cetro.or.id>, 23 Maret 2006.

92

Page 103: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

huruf kecil, belum menunjukkan nama (nomenklatur). Pemberiannama terhadap institusi penyelenggara pemilihan umum, yaitu“Komisi Pemilihan Umum” baru lahir melalui Undang-UndangNomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR,DPD, dan DPRD.56

Dalam pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi atasPutusan Perkara Nomor 072-073/PUU-II/2004 tentang PengujianUndang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang PemerintahanDaerah terhadap Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan:

Maksud pembuat undang-undang menetapkan KPU provinsi/kabupaten/kota berfungsi sebagai pelaksana tugas KPUD.Apabila anak kalimat tersebut dinyatakan tidak mempunyaikekuatan hukum mengikat, maka bunyi Pasal 1 angka 21akan menjadi, “Komisi pemilihan umum daerah yangselanjutnya disebut KPUD adalah KPU provinsi/kabupaten/kota”, yang artinya dengan rumusan tersebut penyelenggarapilkada langsung adalah KPU provinsi/kabupaten/kota, sebagaibagian dari KPU yang dimaksudkan Pasal 22E UUD 1945.Dengan demikian dalam penyelenggaraan Pilkada, KPUmenjadi regulator dan pengawas pelaksanaan Pilkada yangdilaksanakan oleh KPU provinsi/kabupaten/kota, padahalpengertian yang demikian bukanlah yang dimaksudkan olehpembuat undang-undang. Walaupun demikian dalam halkewenangan yang berkait dengan masalah internal KPU danKPU provinsi/kabupaten/kota tetap ada secara hierarki,sehingga KPU tetap wajib melakukan tugas-tugas koordinasidan supervisi untuk lebih memberdayakan kinerja KPUProvinsi/Kabupaten/Kota.57

Menyikapi amar putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, disatu sisi Mahkamah Konstitusi ingin mengatakan bahwa secara

56 Titik Triwulan Tutik, Pemilihan Kepala Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun2004 Dalam Sistem Pemilu Menurut Undang-Undang Dasar 1945 (Jakarta: Prestasi PustakaPublisher, 2005), hlm. 72.

57 Putusan Mahkamah Konstitusi atas Perkara Nomor 072-073/PUU-II/2004 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Terhadap UUD 1945, hlm. 112.

93

Page 104: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

formal KPUD itu berbeda dengan KPU Provinsi/Kabupaten/Kota,sungguh pun memiliki organ yang sama. Pandangan ini dapatdipahami, jika dianalogikan dengan jabatan gubernur atau bupati.Sebagai gubernur, ia adalah aparat pusat yang ada di daerah. Disisi lain sebagai Kepala Daerah, ia adalah aparat daerah yangbersama-sama dengan DPRD melaksanakan pemerintahan didaerah. Jadi satu kaki jabatan gubernur berpijak kepada pemerintahdan kaki lainnya berpijak kepada daerah.58

Dengan konstruksi pemikiran ini, memberikan beberapaimplikasi. Pertama, secara substansi KPU Provinsi/Kabupaten/Kota berbeda dengan KPUD. Kedua, KPU masih mempunyaikewenangan pengawasan dan memberikan advis kepada KPUProvinsi/Kabupaten/Kota. Ketiga, pengaturan proses pencalonanseperti penjadwalan pemilihan, penetapan pasangan calon kepaladaerah menjadi kewenangan KPUD. Keempat, anggota KPUDsebagai aparat KPU di daerah, secara struktural tetap harusmemperhatikan kebijakan atasannya (KPU).

Keberadaan KPUD sebagai penyelenggara pemilihan kepaladaerah kembali ditegaskan dalam konsiderans penjelasan umumangka 4 penjelasan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentangPemerintahan Daerah, yang menjelaskan sebagai berikut:

“Melalui undang-undang ini Komisi Pemilihan Umum Daerah(KPUD) provinsi, kabupaten, dan kota diberikan kewenangansebagai penyelenggara pemilihan kepala daerah. KPUD yangdimaksud dalam Undang-Undang ini adalah KPUDsebagaimana dimaksud Undang-Undang No. 12 Tahun 2003tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat.Untuk itu, tidak perlu dibentuk dan ditetapkan KPUD dankeanggotaannya yang baru”.59

58 Taufiqurrahman Sahuri, “Anatomi Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia”, Makalah,Seminar Putusan Mahkamah Konstitusi Pengujian Undang-Undang Nomor 32 tentang PemerintahanDaerah, Kerjasama Puslitka MK, Hans Seidel Foundation, dan PS-HTN FH-UI, Jakarta, 28 Maret2005, hlm. 6.

59 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 32, LN 125 Tahun2004, TLN No. 4437, Penjelasan Umum angka 4.

94

Page 105: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka jelaslah bahwapenyelenggara pemilihan kepala daerah adalah Komisi PemilihanUmum Daerah (KPUD). KPUD dimaksud adalah KPU Provinsi,Kabupaten, dan Kota. KPU ini diberi wewenang sebagaipenyelenggara pemilihan kepala daerah. KPUD yang dimaksudkandalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah KPUsebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD.

Pertimbangan dipilihnya KPU provinsi, kabupaten, dan kotayang bernama KPUD sebagai penyelenggara pemilihan kepaladaerah dengan tidak membentuk lembaga baru dengan keanggotaanbaru adalah untuk efisiensi waktu, tenaga, dan biaya. Pertimbanganini didasari karena perangkat, sarana, dan prasarana KPU provinsi,kabupaten, dan kota sudah terbentuk di seluruh Indonesia.

Dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah, peran KPUdi sini hanya sebatas menjadi acuan bagi KPUD dalam membuatberbagai peraturan yang selama ini sudah ada. Dalam Pasal 29butir g dan Pasal 32 butir g Undang-Undang Nomor 12 Tahun2003 dinyatakan bahwa KPU provinsi maupun KPU kabupaten/kota melaksanakan kewajiban lain yang diatur dalam undang-undang. Dengan demikian ada kewenangan undang-undang untukmemberikan kewajiban lain kepada KPU provinsi, kabupaten,dan kota.

Ada 3 (tiga) kewajiban lain yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 kepada KPU provinsi, kabupaten,dan kota, yaitu: (1) penyelenggaraan pemilihan kepala daerah;(2) pertanggung jawaban pelaksanaan pemilihan kepala daerahkepada publik; dan (3) melaporkan pelaksanaan pemilihan kepaladaerah kepada DPRD.

Selanjutnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 memangtidak memberi kewajiban atau wewenang khusus kepada KPU,namun hal ini sesungguhnya tidak berarti KPU kehilangan peransama sekali. KPU tetap menjaga berfungsinya organisasi secarabaik dan benar di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

95

Page 106: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

Penempatan peran sentral kepada KPUD selaku penyelenggaraPilkada sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 32 Tahun 2004tentang Pemerintahan Daerah, di mana masing-masing KPUDadalah pelaksana penyelenggara Pilkada yang satu sama lainterpisah dan tidak terjalin hubungan yang bersifat struktural diantara KPUD kabupaten/kota dengan KPUD provinsi, demikianjuga hanya dalam hubungan di antara KPUD provinsi denganKPU di Jakarta. Masing-masing KPUD adalah penyelenggaraPilkada yang otonom dan menjadi penanggung jawab pelaksanaanPilkada di daerahnya masing-masing, sehingga dikhawatirkanbahwa proses pelaksanaan Pilkada akan sarat dengan masalah,memicu konflik vertikal di antara pendukung masing-masing calonmana kala masing-masing calon memakai simbol-simbol primodialdalam upaya menarik dukungan publik. Di samping jugadikhawatirkan KPUD tidak memiliki kemampuan untuk dapatmenjamin pelaksanaan Pilkada yang bebas, rahasia, jujur danadil mengingat beratnya tanggung jawab politik yang harus dihadapioleh setiap KPUD. Di samping itu juga, pemberian kewenangankepada masing-masing KPUD di setiap provinsi dan kabupaten/kota dikhawatirkan tidak mendorong pelaksanaan Pilkada denganstandar yang sama, sehingga akan sulit diperoleh standarpelaksanaan Pilkada yang baku, agar dapat dijadikan indikatorkeberhasilan pelaksanaannya.

Penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 yangdikeluarkan oleh Departemen Dalam Negeri juga mengundangpersoalan kewenangan untuk membuat peraturan teknispenyelenggaraan Pilkada yang dilakukan oleh Departemen DalamNegeri merupakan sebuah kemunduran di dalam pelaksanaandemokrasi dan menempatkan Departemen Dalam Negeri padaposisi yang sebenarnya menjadi wilayah kewenangan KPU.Masalah yang menjadi fundamental di dalam upaya membangunIndonesia yang lebih demokratis adalah bahwa demokrasimengharuskan adanya pemisahan tanggung jawab kelembagaanyang jelas di antara lembaga pemerintah dan Pilkada yangseharusnya dikelola oleh KPU selaku penyelenggara pemilihanumum yang bersifat nasional tetap dan mandiri.

96

Page 107: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

Menarik untuk melihat pengalaman di negara lain yang telahlama membangun sistem politik demokratis, India, misalnya,sekalipun menganut sistem pemerintahan federal, namun komisiPemilihan Umum India (India Election Commission) yangIndependen dan otonom tetap memiliki kewenangan untukmelakukan intervensi ke Komisi Pemilihan Umum di negara bagianmanakala Komisi Pemilihan Umum di negara bagian memerlukanbantuan. Intervensi oleh Komisi Pemilihan Umum atas permintaanKomisi Pemilihan Umum di negara ini dilakukan, baik untukpemilihan umum bagi anggota DPR DPRD maupun untukpemilihan umum yang diadakan di satu negara bagian saja. Halini kerap kali terjadi di daerah-daerah yang memiliki potensikonflik sebagai akibat masih maraknya gerakan-gerakan separatisseperti di Kashmir, Assan dan Nagaland. Intervensi ini semata-mata dilakukan untuk menjamin agar pemilihan umum dapatdiselenggarakan secara bebas, jujur, rahasia, dan adil.

C.2.Kapasitas KPUD Selaku Penyelenggara

Peran sentral yang diamanahkan oleh UU Nomor 32 Tahun2004 kepada KPUD menempatkan KPUD sebagai faktor penentuutama keberhasilan ataupun kegagalan penyelenggaraan Pilkadadi daerahnya masing-masing. Oleh karena itu, menjadi hal yangmenarik mencermati sejauh mana kesiapan KPUD di dalammelaksanakan Pilkada. Ada beberapa indikator yang dapat dijadikanalat untuk mengukur kinerja KPUD. Indikator tersebut adalahwaktu, biaya, dan administrasi yang dapat mendukung keberhasilankinerja KPUD selaku pelaksana Pilkada.

Penetapan UU Nomor 32 Tahun 2004 dilakukan oleh PresidenMegawati pada tanggal 15 Oktober 2004. Sementara penetapanPP No. 6 Tahun 2005 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyonodilakukan pada 11 Februari 2005. Rentang waktu semenjakditetapkan UU No. 32 Tahun 2004 dan penetapan PP No. 6Tahun 2005 berkisar kurang lebih 2 bulan apabila jadwalpelaksanaan Pilkada memerlukan waktu 180 hari untuk ketigatahapan pelaksanaannya yaitu tahap persiapan, pelaksanaan danpengesahan/pelantikan.

97

Page 108: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

Keterlambatan penerbitan PP pilkada turut menjadi faktorminimnya waktu yang tersedia bagi KPUD untuk melakukanpersiapan. Pelaksanaan pilkada di 8 provinsi dan 168 kabupaten/kota pada bulan juni 2005 yang dimulai pada tanggal 27 juni2005 hanya menyisakan waktu 135 hari bagi KPUD untukmempersiapkan pelaksanaan pilkada di daerahnya masing-masingsemenjak PP Nomor 6 Tahun 2005 ditetapkan oleh PresidenSusilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 11 Februari 2005.apabila hari libur nasional ataupun hari libur kerja turutdiperhitungkan, maka sisa waktu yang tersedia bagi KPUD untukmampu melaksanakan pilkada secara optimal. Dapat dimengertiapabila anggota KPUD mengeluhkan minimnya waktu yang tersediadalam mempersiapkan pilkada. Optimalisasi waktu yang tersediabagi KPUD untuk mempersiapkan pelaksanaan pilkada jugaterganggu oleh aksi-aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh pendukungcalon kepala daerah gagal memenuhi persyaratan yang telahditetapkan oleh UU Nomor 32 tahun 2004 dan PP Nomor 6Tahun 2005. hal ini terlihat pada kasus yang terjadi pada KPUDdi kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten Manggarai, KabupatenIndragiri Hulu, Kabupaten Seram Barat, dan Kabupaten Gowa.

Faktor penting lainnya yang memiliki dampak serius terhadappelaksanaan Pilkada adalah masalah pembiayaan. Sumberpembiayaan Pilkada berasal dari dana APBN dan APBD. Usulandana yang diajukan oleh Departemen Dalam Negeri kepada DPRRI berjumlah Rp 929,56 miliar. Dana tersebut terdiri dari Rp627.87 untuk anggaran Pilkada, Rp 1142,42 miliar untuk dukungandaerah pemekaran dan dana fasilitasi Pilkada sebesar Rp 185,30miliar. Dana tersebut masih ditambah dana cadangan untuk daerahyang menyelenggarakan Pilkada putaran kedua, yaitu Rp 37,2miliar sampai Rp 724 miliar (Kompas tanggal 1 April 2005).Sampai saat ini pembahasan yang dilakukan Departemen DalamNegeri dan DPR RI mengenai berapa besarnya biaya yangdisepakati untuk mendukung pelaksanaan Pilkada belum sampaikepada keputusan akhir. Sementara, itu dukungan dana yangdiberikan oleh APBD ditetapkan oleh Pemerintah Daerah bersama-

98

Page 109: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

sama dengan DPRD setelah mempertimbangkan pengajuan danapembiayaan Pilkada yang diajukan oleh KPUD.

Keterlambatan kesepakatan di antara Departemen DalamNegeri dan DPRD RI serta belum jelasnya alokasi anggaranyang ditetapkan oleh sejumlah Pemerintahan Daerah dan DPRDmenyebabkan banyak anggota KPUD yang belum menerima danaPenunjang Pelaksanaan Kegiatan Operasional (PPKO) dan danapengadaan logistik dalam rangka persiapan pelaksanaan KPUD.Bahkan anggota KPUD selama 4 (empat) bulan terakhir belummemperoleh gaji mereka. Apabila hal ini berlangsung untuk jangkawaktu yang relatif lama, maka dikhawatirkan hal ini berpengaruhterhadap kinerja KPUD selaku pelaksana penyelenggara pilkada.Perlu ditambahkan disini bahwa alokasi anggaran yang dibutuhkandi dalam pelaksanaan pilkada, juga diwajibkan Pemerintah Pusatdan Daerah untuk menganggarkan dana bagi petugas-petugasKepolisian guna membantu terjaminnya keamanan selama padapersiapan dan pelaksanaan pilkada (Kompas tanggal 1 April2005). Lambatnya anggaran dana yang dialokasikan bagipelaksanaan pilkada juga berdampak terhadap kinerja kepolisian.Hal ini terlihat ketika massa pendukung calon kepala daerahyang gagal pada proses pendaftaran di Indragiri Hulu membakargedung KPUD Kabupaten tersebut. Kantor KPUD KabupatenPesaman Barat juga sempat disegel oleh massa pendukung salahseorang calon kepala daerah yang kecewa, ketika calon merekagagal memperoleh pengesahan dari KPUD.

Hal terakhir yang perlu disinggung di sini adalah masalah-masalah administratif berkenaan dengan penyelenggaraan pilkada.Lahirnya kabupaten/kota pemekaran yang berkembang pesatsemenjak reformasi pada tahun 1998 sehingga dewasa ini jumlahkabupaten/kota mencapai 416 di seluruh indonesia turutmempersulit penyelenggaraan pilkada. Banyak daerah pemekaranyang sampai saat ini belum memiliki DPRD sehingga masihharus menginduk kepada DPRD yang lama. Demikian juga banyakdaerah pemekaran yang sampai saat ini belum mempunyai KPUDsehingga memerlukan pembentukan baru. Terjadi juga kebingungandi dalam proses pembuatan kartu pemilih oleh karena pada kartu

99

Page 110: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

tersebut tertera lambang dari daerah masing-masing padahal daerah-daerah pemekaran belum memiliki lambang resmi. Bahkan halyang lebih serius manakala terjadi persoalan lokasi ibu kotakabupaten pemekaran. Kecamatan satu dengan lainnya mengklaimbahwa daerah merekalah yang mestinya menjadi ibu kota kabupatenpemekaran tersebut. Hal ini misalnya, terjadi di kabupaten TojoUna-Una yang sebelumnya adalah bagian dari kabupaten Poso.Ini semua, tentu menjadi faktor yang mempengaruhi keberhasilanKPUD di dalam melaksanakan amanah UU Nomor 32 Tahun2004.60

C.3.Penguatan KPUD Dalam Penyelenggaraan Pilkada

Dengan disahkannya UU No. 22 Tahun 2007 tentang PemilihanUmum, arah pemikiran pembuat undang-undang rupanya telahmulai bergeser dan mencoba untuk merekonstruksi kembali segalamacam “Pemilu yang ada di Indonesia sebagai PEMILU. Dengandemikian dengan adanya undang-undang tersebut mengakibatkannomenklatur KPUD sudah tidak ada lagi, artinya bahwa pelaksanapenyelenggara pilkada sudah didudukkan kepada KPU Provinsi,kabupaten/kota.

Dan hal ini diikuti dengan disahkannya UU No. 12 Tahun2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, semakin jelassempurnanya bahwa Pilkada ditarik kepada rezim Pemilu, dimana sebelumnya di bawah rezim Pemda, sehingga permasalahansengketa tentang Pilkada juga ditangani oleh MahkamahKonstitusi61 dan bukan di Mahkamah Agung lagi. Hal ini membawadampak yang kuat ke arah penguatan kelembagaan bagipenyelenggara Pilkada. Namun demikian bukan secara otomatispermasalahan menjadi semua teratasi, menilik semua permasalahanyang terjadi pada waktu Pilkada secara langsung, sejak 1 Juni

60 Cecep Effendi, Evaluasi Kritis Pelaksanaan Pilkada secara langsung, Jurnal Legislasi Indonesia,Th. 2005, hlm. 15-19

61 Lihat Pasal 236 C UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang disahkan tanggal 28 April 2008 dan diundangkandalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59.

100

Page 111: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

2005 sampai dengan 20 Juni 2008 telah dilaksanakan di 382daerah, yakni terdiri atas 24 provinsi, 292 kabupaten dan 66kota, tetap saja lembaga penyelenggara Pilkada ini masih tetapperlu penguatan-penguatan baik itu penguatan internal kelembagaanmaupun eksternal.

Untuk itu perlu melakukan penguatan kelembagaan baiksecara internal dengan melakukan konsolidasi dan evaluasi setiapkegiatan serta peningkatan pemahaman terhadap regulasi yangberkaitan dengan pilkada dan profesionalisme SDM dalam tubuhKPUD sehingga terhindar dari masalah-masalah korupsi, kolusidan nepotisme.

Di samping penguatan secara internal, sangat perlu jugapenguatan secara eksternal dengan melakukan koordinasi denganinstansi-instansi, seperti kepolisian dalam rangka pengamananselama proses pilkada berlangsung, juga dengan lembaga-lembagapemerintah, muspida lainnya serta media demi suksesnya Pilkada.

101

Page 112: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

102

Page 113: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

BAB VANALISIS KOMPREHENSIF BERBAGAI

ASPEK

A. Analisis Yuridis

Pilkada langsung kepala daerah telah menjadi konsensus politiknasional. Pasal 56 Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentangPemerintahan Daerah menyebutkan bahwa Kepala Daerah dan WakilKepala Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakansecara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia,jujur dan adil. Bahkan untuk mengusung pelaksanaan pilkada telahdikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005. Untukpenyempurnaan pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsungpemerintah juga telah mengeluarkan Perpu No. 3 Tahun 2005 tentangPerubahan Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 yang dikukuhkan menjadiUndang-Undang No. 8 Tahun 2005 dan Peraturan Pemerintah No.17 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 6Tahun 2005.

Sejatinya pilkada secara langsung sangat berkaitan dengan konsepotonomi daerah. Kebebasan yang dimiliki oleh daerah untuk membuatdan mengimplementasikan sendiri keputusannya adalah hakikat dariotonomi daerah. Dalam pengertian ini daerah memiliki kebebasanpolitik lokal untuk menentukan cara memilih wakil-wakilnya baik dilegislatif maupun di eksekutif. Tentu saja setiap daerah menikmatikebebasan yang berada dalam koridor kebijakan pemerintah pusat.Terlebih dalam negara kesatuan, otonomi yang dimiliki oleh daerahbukanlah suatu yang original, melainkan pemberian pemerintah pusat.

Esensi pemberian otonomi bukanlah sekedar memenuhi ruangadministratif, akan tetapi lebih dari itu otonomi daerah dalam pengertianini memiliki makna politik, khususnya dalam konteks politik lokal.Berbeda dengan politik nasional, politik di tingkat lokal adalah sesuatu

103

Page 114: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

yang khas oleh karena setiap daerah memiliki ciri-ciri dan karakterisktikyang berbeda-beda, dan juga kedekatan hubungan antara pemilih(constituen) dengan wakilnya (elected) yang lebih erat.

Dalam konteks otonomi daerah, pemilihan langsung Kepala Daerahdiharapkan dapat memperkuat kedudukan Kepala Daerah sekaligusmengurangi intervensi DPRD agar transaksi politik yang melahirkan“money politics” dapat diminimalisasi. Meskipun berkurangnya moneypolitics dan penguatan “local democracy” adalah dua hal yang berbeda.

Ada beberapa alasan yang seringkali diajukan sebagai argumentasidipraktikkannya pemilihan langsung Kepala Daerah. Di beberapanegara pasca kolonialisasi, kekuasaan negara dan pemerintahancenderung tersentralisasi. Kepentingan partai politik di tingkat nasionalsangat mendominasi perilaku elite politik di tingkat lokal. Tidak adakebebasan dan otonomi untuk mengatur dan mengurus kepentinganmasyarakat lokal. Pemilihan langsung Kepala Daerah dimaksudkanuntuk memutus mata rantai hubungan vertical antara partai politikdi tingkat nasional dan elite politik di tingkat lokal. Secara horizon-tal hal ini dimaksudkan untuk memutus oligarki elite politik lokaldalam pemilihan Kepala daerah. Termasuk dalam tujuan kedua adalahuntuk meningkatkan akuntabilitas Kepala Daerah yang terpilih.Masyarakat secara langsung memilih calon-calon yang akuntabel,profesional dan memiliki keberpihakan kepada masyarakat lokal.

Meskipun demikian haruslah dipahami bahwa pemilihan langsungKepala Daerah di negara kesatuan lahir karena adanya pemberianstatus otonomi kepada pemerintah daerah. Tanpa adanya pemberianotonomi, tidak mungkin dilaksanakan pemilihan Kepala Daerah. KepalaDaerah bersama-sama dengan “local council” adalah representasidari otonomi daerah, yaitu hak dan kewajiban yang diberikan olehpemerintah pusat kepada daerah untuk menyelenggarakan pemerintahandaerah.

A.1.Instrumen Hukum Implementasi Pilkada

Landasan hukum yang mengatur penyelenggaraan Pilkadaadalah Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang PemerintahanDaerah (selanjutnya disebut UU Nomor 32 Tahun 2004) dan

104

Page 115: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan,Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah(selanjutnya disebut PP No. 6 tahun 2005).

Menurut ketentuan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004,pemilihan Kepala Daerah tidak termasuk kategori pemilihan umum,sehingga rezim hukumnya tidak dikaitkan dengan ketentuan Pasal22E UUD 1945 yang mengatur mengenai pejabat yang dipilihmelalui pemilihan umum, melainkan semata-mata dikaitkan denganketentuan dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang mengaturtentang pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota.

Pelaksanaan Pilkada mulai menjadi wacana, ketika PresidenMegawati menandatangani pelaksanaan Undang-Undang No. 22Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MajelisPermusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, DewanPerwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah padatanggal 31 Juli 2003. Pada Pasal 62 (1) dan Pasal 78 (1) mengenaitugas dan wewenang DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota Undang-Undang No. 22 Tahun 2003 menyatakan bahwaDPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota tidak lagi memilikikewenangan untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah.Masalahnya, kemudian bagaimana proses pemilihan kepala daerahdan wakil kepala daerah akan diselenggarakan. Jawaban terperincimengenai pilkada dijabarkan oleh Undang-Undang No. 32 Tahun2004. Selanjutnya, penjelasan lebih teknis mengenai Pilkada diaturoleh Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005.

Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 memuat Pasal 57-Pasal67 yang mengatur mengenai proses Pemilihan Kepala Daerah,Pasal 68-Pasal 74 memuat yang berkenaan dengan PenetapanPemilih, Pasal 75-Pasal 85 memuat pasal berkenaan denganKampanye, Pasal 86-Pasal 106 berkenaan dengan PemungutanSuara, Pasal 107-Pasal 112 berkenaan dengan Penetapan CalonTerpilih dan Pelantikan. Pasal 113-Pasal 114 berkenaan denganPemantauan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah,dan Pasal 115 - Pasal 119 berkenaan dengan Ketentuan PidanaPemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Secara

105

Page 116: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

keseluruhan UU No. 32 Tahun 2004 memuat 63 pasal dari 240pasal yang termuat pada UU No. 32 Tahun 2004.

Semenjak Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 ditetapkanoleh Presiden Megawati pada bulan Oktober 2004, pasal-pasalyang berkaitan dengan pemilihan kepala daerah telah mengundangperdebatan publik, khususnya pasal-pasal yang memuat peranKomisi Pemilihan Umum (selanjutnya disebut KPU) dan KomisiPemilihan Umum Daerah (selanjutnya disebut KPUD) dan perananpartai politik sebagai lembaga yang memiliki hak untukmendaftarkan calon ke KPUD.

Berbeda dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD danUndang Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan UmumPresiden dan Wakil Presiden yang secara tegas menempatkanKPU pada posisi yang sentral selaku penyelenggara pemilihanumum dan KPUD yang dibentuk oleh KPU merupakan lembagapelaksana pemilihan umum di daerahnya masing-masing. KPUmemiliki kewenangan dan bertanggung jawab dalam memberikanpengendalian, bimbingan dan pengawasan terhadap KPUD.

Berbeda dengan pelaksanaan kedua pemilihan umum yangdisebutkan di atas, Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentangPemerintahan Daerah menempatkan KPUD selaku penyelenggarapemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Masing-masing KPUD adalah pelaksana penyelenggaraan pilkada yangsatu sama lain terpisah dan tidak terjalin hubungan yang bersifatstruktural di antara KPUD kabupaten/kota dengan KPUD provinsi.Demikian juga halnya dalam hubungan di antara KPUD provinsidengan KPU di Jakarta. Masing-masing KPUD adalahpenyelenggara pilkada yang otonom dan menjadi penanggungjawab pelaksanaan pilkada di daerahnya masing-masing.

Penempatan peran sentral kepada KPUD selaku penyelenggarapemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah mengundangpersoalan mengingat bahwa masing-masing KPUD menjadipenanggung jawab pelaksanaan Pilkada di daerah masing-masingsehingga di khawatirkan bahwa proses pelaksanaan pilkada akan

106

Page 117: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

sarat masalah. Pelaksanaan Pilkada dikhawatirkan dapat memacukonflik vertikal di antara pendukung masing-masing calon manakalamasing-masing calon memakai simbol-simbol primordial dalamupaya menarik dukungan publik. Dikhawatirkan bahwa KPUDtidak memiliki kemampuan untuk dapat menjamin pelaksanaanPilkada yang bebas, rahasia, jujur, dan adil mengingat beratnyatanggung jawab serta tekanan politik yang harus dihadapi olehsetiap KPUD.

Kekhawatiran ini cukup beralasan mengingat, bahwa di dalampelaksanaan pemilihan umum anggota DPR, DPD, DPRD danpemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden, KPUD hanyabertindak sebagai pelaksana teknis di daerahnya masing-masing.Kebijakan yang berkaitan dengan peraturan pelaksanaan pemilihanumum sepenuhnya menjadi tanggung jawab KPU. Di sampingitu, pemberian kewenangan kepada masing-masing KPUD disetiap provinsi dan kabupaten/kota dikhawatirkan tidak mendorongpelaksanaan pilkada dengan standar yang sama sehingga akansukar diperoleh standar pelaksanaan pilkada yang baku agardapat dijadikan indikator keberhasilan pelaksanaan pilkada.

Penerbitan Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 yangdikeluarkan oleh Departemen Dalam Negeri juga mengundangpersoalan. Kewenangan untuk membuat peraturan teknispenyelenggaraan pilkada yang dilakukan oleh Departemen DalamNegeri merupakan sebuah kemunduran di dalam pelaksanaandemokrasi dan menempatkan Departemen Dalam Negeri padaposisi yang sebenarnya menjadi wilayah kewenangan KPU.Masalah yang lebih fundamental di dalam upaya membangunIndonesia yang lebih demokratis adalah bahwa demokrasimengharuskan adanya pemisahan tanggung jawab kelembagaanyang jelas di antara lembaga pemerintah dan pilkada yangseharusnya dikelola oleh KPU selaku penyelenggara pemilihanumum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri.

Menarik untuk melihat pengalaman di negara lain yang telahlama membangun sistem politik demokratis. India, misalnya,sekalipun menganut sistem pemerintahan federal, namun Komisi

107

Page 118: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

Pemilihan Umum India (Indian Election Commission) yangindependen dan otonom tetap memiliki kewenangan untukmelakukan intervensi ke Komisi Pemilihan Umum di negaramanakala Komisi Pemilihan Umum di negara bagian memerlukanbantuan. Intervensi oleh Komisi Pemilihan Umum atas permintaanKomisi Pemilihan Umum di negara bagian ini dilakukan baikuntuk pemilihan umum bagi anggota DPR dan DPRD maupununtuk pemilihan umum yang diadakan di satu negara bagiansaja. Hal ini kerap kali terjadi di daerah-daerah yang memilikipotensi konflik sebagai akibat masih maraknya gerakan-gerakanseparatis. Intervensi ini semata-mata dilakukan untuk menjaminagar pemilihan umum dapat diselenggarakan secara bebas, jujur,rahasia, dan adil.

A.2.Disharmoni Hukum

Menjelang diselenggarakannya pilkada secara langsung,beberapa peraturan perundang-undangan yag terkait dengan pilkadamengalami beberapa perubahan, seperti Undang-undang Nomor32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang diubah denganPeraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 3 tahun2005; Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2004 tentangPemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian KepalaDaerah dan Wakil Kepala Daerah diubah dengan PeraturanPemerintahan Republik Indonesia No. 17 Tahun 2005; KeputusanPresiden No. 80 Tahun 2005 tentang pedoman PelaksanaanPengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang diubah dengan PeraturanPresiden No. 32 Tahun 2005.

Alasan untuk mengubah peraturan perundang-undangantersebut berbeda antara satu dengan lainnya. Namun, secaraumum dapat dikatakan bahwa perubahan-perubahan tersebutdilakukan dalam rangka antisipatif pelaksanaan pilkada dariberbagai kemungkinan.

Perubahan terhadap Undang-Undang No. 32 Tahun 2004dilandasi alasan untuk mengantisipasi keadaan genting yangdisebabkan oleh bencana alam, kerusuhan, gangguan keamanan,dan/atau gangguan lainnya di seluruh atau di sebagian wilayah

108

Page 119: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang berakibatpemilihan tidak dapat dilaksanakan sesuai jadwal. Di sampingitu, juga alasan untuk efisiensi dan efektivitas pemanfaatan dana,perlengkapan, dan personil.

Kondisi-kondisi tersebut belum diatur dalam Undang-UndangNo. 32 Tahun 2004 dan potensial terjadi karena akhir-akhir inibeberapa wilayah di Indonesia mengalami bencana alam dangangguan lainnya yang dapat mengancam pelaksanaan pilkada.Perubahan yang terjadi pada Undang-Undang No. 32 Tahun2004, misalnya, pada Pasal 90 ayat (1) yang berbunyi jumlahpemilih di setiap TPS sebanyak-banyaknya 300 (tiga ratus) orangdiubah menjadi paling banyak 600 (enam ratus) orang. Kemudian,ada penyisipan pasal baru, yaitu Pasal 236A dan Pasal 236B.Pasal 236A menyebutkan bahwa dalam hal di suatu daerahpemilihan terjadi bencana alam kerusuhan, gangguan keamanan,dan/atau gangguan lainnya diseluruh atau sebagian wilayahpemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang berakibatpemilihan tidak dapat dilaksanakan sesuai jadwal, pemilihan ditundayang ditetapkan lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.Selanjutnya, Pasal 236B mengatakan, untuk kelancaran pelaksanaanpemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, pemerintahdan pemerintah daerah dapat memberikan dukungan.

Sebagai tindak lanjut dari ketentuan Pasal 236B tersebut,pemerintah telah menyiapkan Instruksi Presiden tentang DukunganPemerintah dan Pemerintah Daerah untuk Kelancaran PelaksanaanPemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Isi pokokInstruksi Presiden tersebut adalah penugasan kepada MenteriPolitik, Hukum dan Keamanan, Menteri Dalam Negeri, MenteriKeuangan, Jaksa Agung, Panglima Tentara Nasional Indonesia,kepala Kepolisian Republik Indonesia, dan para Gubernur danBupati/Walikota untuk melakukan langkah-langkah demiterlaksananya Pilkada sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing.

Selanjutnya, alasan mengubah Peraturan Pemerintah No.17 Tahun 2005 adalah karena Peraturan Pemerintah tersebut

109

Page 120: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

dibuat berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004sebelumnya dinyatakan beberapa ketentuan pasalnya dinyatakantidak mempunyai kekuatan hukum lagi berdasarkan putusanMahkamah Konstitusi. Sebagaimana diketahui berdasarkan putusanMahkamah Konstitusi Nomor 072-073/PUU-II/2004 dan Nomor005/PUU-III/2005, beberapa pasal Undang-Undang No. 32 Tahun2004 dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasardan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Selain itu, jugakarena beberapa ketentuan dalam Undang-Undang No. 32 Tahun2004 telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 3 Tahun 2005. Perubahan juga dilakukan gunamengatur ketentuan penundaan Pilkada beserta mekanismepenundaannya.

Beberapa ketentuan baru dalam Peraturan Pemerintah No.17 Tahun 2005 yang perlu mendapat perhatian diantaranya adalahPasal 6 huruf e yang menyebutkan bahwa KPUD sebagaipenyelenggara pemilihan berkewajiban menyampaikan laporankepada DPRD untuk setiap tahap pelaksanaan pemilihan danmenyampaikan informasi kegiatannya kepada masyarakat.Sebelumnya, dinyatakan bahwa KPUD dalam menyelenggarakanpilkada bertanggung jawab kepada DPRD, sekarangpertanggungjawaban tersebut diberikan kepada publik. Oleh karenaitu, sebagai konsekuensinya KPUD hanya menyampaikan laporantentang pilkada kepada DPRD, dan memberikan informasi kepadamasyarakat. Kemudian, Pasal 64 ayat (2) yang menyebutkanpasangan calon dan/atau tim kampanye yang terbukti melakukanpelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berdasarkanputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetapdikenai sanksi pembatalan sebagai pasangan calon. Tadinyapembatalan pasangan calon tersebut dilakukan oleh DPRD, danmemang terasa aneh apabila DPRD yang melakukan pembatalankarena sudah otomatis dengan putusan pengadilan pasangan calondan tim kampanye batal demi hukum.

Sedangkan alasan mengubah keputusan Presiden No. 80Tahun 2003 dengan Peraturan Presiden No. 32 Tahun 2005adalah untuk melegalkan penunjukan langsung dalam pengadaan

110

Page 121: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

barang/jasa untuk pilkada yang akan diselenggarakan. Denganadanya penunjukan langsung tersebut maka diharapkan akanmempercepat pengadaan dan pendistribusian perlengkapan pilkada,seperti surat suara, kartu pemilih, dan perlengkapan lainnya.

Perubahan-perubahan terhadap beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Pilkada tidak hanya sekedarmenyesuaikan materi muatan peraturan perundang-undangantersebut dengan situasi dan kondisi saat ini, tetapi juga sekaligusmengharmonisasikan dengan peraturan perundang-undangan terkaitlainnya. Tujuannya tidak lain agar materi muatannya tidak salingbertentangan.

Tugas mengharmonisasikan peraturan perundang-undanganadalah merupakan tugas dari Direktorat Harmonisasi PeraturanPerundang-undangan Direktorat Jenderal Peraturan Perudang-undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RepublikIndonesia. Hal tersebut dengan jelas dinyatakan dalam Pasal181 Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi ManusiaRepublik Indonesia Nomor M.04-PR.07.10 Tahun 2004 tentangOrganisasi dan Tata Kerja Departemen Kehakiman dan HakAsasi Manusia, yang menyebutkan bahwa direktorat HarmonisasiPeraturan Perundang-undangan mempunyai tugas melaksanakansebagian tugas Direktorat Jenderal di bidang harmonisasi peraturanperundang-undangan berdasarkan kebijakan Direktur Jenderal.Dalam melaksanakan tugas tersebut, Direktorat HarmonisasiPeraturan Perundang-undangan menyelenggarakan fungsi:

1. Penyiapan bahan rancangan kebijakan teknis di bidangharmonisasi peraturan perundang-undangan;

2. Perumusan, pengharmonisasian, pembuatan dan pemantapankonsepsi izin prakarsa pembulatan rancangan peraturanperundang-undangan;

3. Evaluasi dan analisis pelaksanaan kebijakan harmonisasiperaturan perundang-undangan;

4. Pembinaan dan pengembangan tenaga perancang peraturanperundang-undangan;

111

Page 122: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

5. Koordinasi, pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapankonsep izin prakarsa dan rancangan peraturan perundang-undangan yang bersifat lintas bidang;

6. Pengelolaan urusan tata usaha dan rumah tangga Direktorat.

Demikian juga, dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-UndangNo. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perudang-undangan disebutkan bahwa pengharmonisasian, pembulatan, danpemantapan konsepsi rancangan undang-undang yang berasaldari Presiden diharmonisasikan oleh menteri yang tugas dantanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan.Dari bunyi pasal tersebut jelas yang dimaksud ataupun ditunjukuntuk melakukan pengharmonisasian peraturan perundang-undangan adalah Direktorat Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan.

Dengan melihat tugas dan fungsi direktorat HarmonisasiPeraturan Perundang-undangan, maka semakin jelas bahwaDirektorat Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan mempunyaiperanan yang sangat besar dalam menyusun perundang-undangan,termasuk pada waktu menyusun dan mengubah beberapa peraturanperundang-undangan yang terkait dengan Pilkada.

Walaupun sudah dilakukan pengharmonisasian dan perubahan,ternyata masih ada juga ketentuan yang terkait dengan pilkadayang kurang harmonis. Misalnya, Pasal 59 ayat (5) butir gUndang-Undang No. 32 Tahun 2004 dengan Pasal 39 Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indone-sia.

Sebagaimana diketahui Pasal 59 ayat (5) butir g Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menyebutkan bahwa partai politikatau gabungan partai politik pada saat mendaftarkan pasangancalon, wajib menyerahkan surat pernyataan pengunduran diridari jabatan negeri bagi calon yang berasal dari pegawai negerisipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, dan anggota KepolisianNegara Republik Indonesia. Sementara itu, Pasal 39 Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 mengatakan Prajurit dilarang terlibatdalam:

112

Page 123: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

1. Kegiatan menjadi anggota partai politik;

2. Kegiatan politik praktis;

3. Kegiatan bisnis; dan

4. Kegiatan untuk dipilih menjadi anggota legislatif dalampemilihan umum dan jabatan politis lainnya.

Jadi, menurut Undang-Undang tentang Tentara Nasional In-donesia disebutkan dengan jelas bahwa seorang anggota TentaraNasional Indonesia dilarang dipilih dalam jabatan politis, tentunyatermasuk jabatan kepala daerah. Dengan demikian, secara otomatisanggota Tentara Nasional Indonesia dilarang mencalonkan dirimenjadi kepala daerah dalam pilkada asalkan ada surat pernyataanpengunduran diri dari jabatan negeri Tentara Nasional Indone-sia. Jadi, yang diminta untuk mengundurkan diri dari seorangTentara Nasional Indonesia adalah jabatan negerinya, bukankeanggotaannya di Tentara Nasional Indonesia. Dengan demikian,pada sat ikut pilkada, ia masih tetap sebagai anggota TentaraNasional Indonesia. Dan hal ini terbukti ada beberapa anggotaTentara Nasional Indonesia yang ikut mencalonkan diri menjadikepala daerah dalam pilkada yang akan segera digelar. Adanyaperaturan perundang-undangan yang kurang harmonis tersebut,merupakan pekerjaan rumah bagi Direktorat Harmonisasi PeraturanPerundang-undangan segera melakukan langkah-langkahpengharmonisasian.

A.3.Tawaran Solusi

Tawaran solusi terhadap berbagai permasalahan yang munculdisekitar pilkada diarahkan pada kemungkinan-kemungkinanmekanisme pilkada yag lebih baik di masa yang akan datang.

Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 menentukan bahwa “Gubernur,Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala PemerintahDaerah provinsi, dan kota dipilih secara demokratis”. Ketentuanini diadopsi pada tahun 2000 melalui Perubahan Kedua UUD1945. Sedangkan ketentuan mengenai pemilihan umum danpemilihan Presiden baru dibahas dan disepakati dalam Perubahan

113

Page 124: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

Ketiga dan Keempat UUD 1945 tahun 2001 dan 2002. Ketkaketentuan Pasal 18 di bahas, ide untuk penyelenggaraan pemilihanPresiden secara langsung oleh rakyat belum dibahas, sehinggatidak dapat diantisipasi kaitannya dengan sistem pemilihan KepalaDaerah.

Ketentuan Bab VIIB UUD 1945 tentang Pemilihan Umumdiadopsi pada tahun 2001. Pasal 22E ayat (2) Bab VIIB tersebutmenentukan “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilihanggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan DPRD”.Secara harfiah tujuan yang hendak dicapai melaui pemilu ituadalah pengisian jabatan-jabatan Presiden dan wakil Presiden,anggota DPR, anggota DPD dan anggota DPRD. Sedangkanjabatan Gubernur, Bupati dan Walikota tidak ditentukan harusdiisi melalui pemilihan sebagaimana dimaksudkan oleh Pasal22E ayat (2) UUD 1945. Masalahnya, bagaimana cara mengisijabatan-jabatan di atas beserta wakil-wakilnya?

Pasal 18 ayat (4) hanya menyatakan “Gubernur, Bupatidan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerahprovinsi, dan kota dipilih secara demokratis”. Apakah pemilihandemokratis itu harus bersifat langsung oleh rakyat atau cukupdipilih secara langsung oleh DPRD, tidak ditentukan secara tegas.Akan tetapi ketentuan Pasal 18 ayat (4) tersebut dapat ditafsirkanbahwa mekanisme pemilihan yang dipraktikkan sebelumnya yaitupemilihan Kepala Daerah berdasarkan Undang-Undang di masaOrder Baru dianggap tidak demokratis, setelah pada masa reformasidiperbaiki dengan perumusan bahwa Kepala daerah itu harusdipilih secara demokratis.

Cara-cara yang tidak demokratis kemudian dirubah denganmekanisme yang lebih demokratis melalui Undang-undang No.22 Tahun 1999, yaitu DPRD memilih langsung satu nama untukselanjutnya ditetapkan dengan Keputusan Presiden yang hanyabersifat administratif. Dalam suasana demikian Pasal 18 ayat(4) UUD 1945 dirumuskan, yang tentunya bermaksud untukmengatur agar mekanisme pemilihan Kepala Daerah menjadilebih demokratis atau setidaknya mencerminkan semangat

114

Page 125: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

demokrasi yang telah diadopsi oleh Undang-Undang No. 22 Tahun1999.

Setelah pemilihan Presiden dilaksanakan secara langsung ditahun 2004, maka semangat untuk melakukan demokratisasi lebihlanjut mengenai mekanisme pemilihan Kepala Daerah menjadisuatu keharusan, sehingga lahirlah Undang-Undang No. 32 Tahun2004, di mana ketentuan mengenai pemilihan Kepala Daerahsecara langsung secara resmi diterima sebagai kebijakan politikresmi.

Akan tetapi, karena dasar konstitusionalnya mengacu kepadaketentuan Bab VI tentang Pemerintahan Daerah, yaitu Pasal 18ayat (4) UUD 1945, maka prosedur pemilihan Kepala Daerahdianggap sebagai bagian dari konsepsi pemerintahan daerah yangdiatur dalam Bab VI UUD 1945. Pemilihan Kepala Daerahdianggap tidak terkait dengan ketentuan Bab VIII tentang PemilihanUmum, karena sama sekali tidak disebut sebagai pejabat yangharus dipilih menurut ketentuan Pasal 22E ayat (2) UUD 1945.Dengan demikian Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 menciptakankonsep tersendiri yang disebut “Pemilihan Kepala Daerah SecaraLangsung oleh Rakyat” yang lebih dikenal dengan PilkadaLangsung.

Mengingat Pilkada dianggap bukan Pemilu, makapenyelenggaraannya juga bukan atau tidak harus dilakukan olehKomisi Pemilihan Umum (KPU) dan perselisihan hasilnya jugatidak perlu diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi. Karenanyapembentuk undang-undang menitipkan penyelenggaraan Pilkadakepada lembaga di luar tugas dan kewenangan KPU, akan tetapimenjadi tugas tambahan KPUD provinsi dan KPUD kabupaten/kota. Dan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa pilkadamenjadi kewenangan Mahkamah Agung untuk pemilihan Gubernurdan Pengadilan Tinggi untuk Bupati/Walikota.

Dari paparan di atas, ternyata menimbulkan beberapa masalah,yaitu Pertama, dari segi penyelenggaraannya, KPUD merupakanbagian yang terpisahkan dari KPU yang bersifat nasional, sehinggapemberian tambahan tugas dan wewenang menimbulkan masalah

115

Page 126: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

dalam hubungan antara KPU Pusat dan KPU Daerah. Kedua,dari segi lembaga pengadilan yang diberi wewenang untuk memutusperselisihan hasil pilkada. Perkara perselisihan hasil pilkadamembutuhkan proses pemeriksaan yang bersifat faktual, padahalPengadilan Tinggi ataupun Mahkamah Agung merupakan lembagapengadilan sebagai judex juris berlaka. Artinya, biasanya kedualembaga di atas hanya memeriksa berkas perkara, bukan sidangdengan memanggil para pihak yang berperkara. Ketiga, bebanpenumpukan perkara di Mahkamah Agung sangat banyak sehinggatidak tersedia cukup waktu untuk menyelesaikan tugas tambahan.

Hal yang perlu diperhatikan pula dalam pilkada adalah efisiensisehingga timbul pemikiran untuk menata ulang sistempenyelenggaraan pemilihan umum dan pilkada secara lebih tepat,antara lain (i) di adakannya pembagian antara penyelenggaraanpemilihan nasional dan pemilihan lokal, pembagian antara (ii)pembagian antara pemilihan anggota legislatif dan pilpres yangdiadakan serentak secara nasional, (iii) disatukannya pengertianpemilihan Kepala Daerah ke dalam pengertian pemilihan sebagaiperluasan pengertian terhadap Pasal 22E ayat (2) UUD 1945,(iv) KPU sebagai lembaga penyelenggara satu-satunya, (v)Mahkamah Konstitusi sebagai satu-satunya lembaga yangberwenang memutus perselisihan.

Hal-hal di atas dimungkinkan karena MK berpendapat bahwasekiranya pemilihan Kepala Daerah itu ditafsirkan secara tersendirisebagai pemilihan Kepala Daerah yang tidak termasuk kategoripemilu menurut Pasal 22E ayat (2) UUD 1945, hal itukonstitusional dan sah. Akan tetapi jika pembentuk undang-undangakan memperluas pengertian Pasal 22E ayat (2) UUD 1945.Sehingga pilkada juga dianggap pemilihan umum, hal itupundipandang sah dan konstitusional. Oleh karenanya, bahwa keduapilihan di atas diserahkan sepenuhnya kepada kebijakan pembuatundang-undang untuk menentukannya sepanjang pilihan ituditentukan secara konsisten dan taat asas.

Jika dianggap pemilihan umum, maka penyelenggaraannyaharus diserahkan kepada KPU dan lembaga pemutusnya adalah

116

Page 127: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

Mahkamah Konstitusi. Jika tidak dianggap sebagai pemilihanumum yang norma-norma pokoknya juga telah diatur dalamUUD 1945, penyelenggaranya adalah KPUD. Artinya, pilihankebijakan pilkada adalah pemilihan umum atau bukan mengandungkonsekuensi hukum bahwa implementasi dan operasionalisasinyadi lapangan dilakukan secara taat asas sehingga tidakmembingungkan dan berpotensi menimbulkan masalah hukumyang tidak perlu. Semua harus didasari pada kepentingan rakyat,bukan kepentingan golongan ataupun sektoral dari instansipemerintahan yang memang cenderung egosentris denganmemperebutkan kewenangan untuk kepentingan yang terbatas.

B. Analisis Sosial

Tensi politik pada wilayah yang menyelenggarakan Pilkadalazimnya memanas seiring dengan munculnya rivalitas antara berbagaikekuatan politik yang bertarung dalam pemilu. Politik seringkalidijadikan sarana atau upaya untuk mencapai kekuasaan, yang sejatinyamemang menarik minat banyak orang. Deliar Noer (1983), politikmerupakan aktivitas atau sikap yang berhubungan dengan kekuasaanyang bermaksud untuk mempengaruhi dengan jalan mengubah ataumempertahankan suatu bentuk susunan masyarakat. Kegiatan politikdalam konteks ini melahirkan partisipasi politik, yang menurut MiriamBudiarjo (1998), partisipasi politik merupakan kegiatan individu ataukelompok untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik denganjalan memilih pemimpin dan secara langsung atau tidak langsungmempengaruhi kebijakan pemerintah. Kegiatan ini mencakup tindakanseperti memberikan suara dalam pemilihan umum, menjadi anggotapartai politik dan sebagainya. Dengan demikian, banyak terjadi interaksisosial yang mengiringi penyelenggaraan Pilkada, baik dalam bentukinternal individu dalam suatu kelompok partai maupun secara lebihluas lagi interaksi eksternal antar individu dari kelompok partai yangberbeda.

B.1.Dampak Sosial Penyelenggaraan Pilkada

Peningkatan partisipasi publik dalam kehidupan berbangsadan bernegara disalurkan melalui pengaturan mekanisme yang

117

Page 128: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

semakin mencerminkan prinsip keterbukaan dan persamaan bagisegenap warga negara, yang salah satunya adalah melaluipenyelenggaraan Pilkada. Di antara beberapa mekanisme demokrasiyang telah dijalankan, Pilkada mendapat perhatian yang cukupserius dari berbagai kalangan, mengingat masih banyakmengandung masalah, apakah mekanisme Pilkada yang dijalankantelah sesuai dengan kondisi sosial dan kondisi bangsa saat ini?Keraguan berbagai pihak dalam penyelenggaraan Pilkada karenaberbagai masalah yang muncul yang menyertai penyelenggaraanPilkada yang bertolak belakang dari tujuan semula, baik dalamrangka meningkatkan kualitas demokrasi maupun untuk memperluaskeadilan dan kesejahteraan sosial, bahkan yang terjadi adalahsebaliknya, memunculkan friksi sosial. Belum lagi dengan biayayang sangat tinggi untuk penyelenggaraan Pilkada, sementarapemimpin yang dihasilkan tidak bekerja untuk kepentingan rakyat.Otonomi sebagai bentuk desentraliasi yang semula dianggap sebagaipematangan proses demokrasi tidak berkaitan apapun dengandemokrasi itu sediri, karena tidak disertai dengan perubahan“power relation” antara pemerintah dengan rakyat. Penguasapusat diganti dengan penguasa daerah yang sama-sama otoriter,menolak partisipasi rakyat sebatas pemilih, bukan penentukebijakan.

Dalam otonomi semacam ini yang terjadi adalah disintegrasisosial, karena masyarakat konflik, pimpinan agama retak, termasukkomunitas sosial juga melonggar. Padahal kerukunan sosial danintegrasi sosial merupakan kondisi yang sangat penting untukmelaksanakan pembangunan dan menciptakan berbagai agendakesejahteraan rakyat. Pilkada yang disemangati oleh nafsu berkuasatelah menyengsarakan rakyat dan menjerumuskan para pimpinandaerah itu sendiri, misalnya melakukan penyelewengan terhadapkeuangan daerah (korupsi). Euforia otonomi daerah nampaknyatelah kebablasan, sehingga terbuka kemungkinan daerah-daerahdipimpin oleh orang-orang yang notabene tidak berkualitas, yanghanya mengandalkan pengaruh uang, kekuatan dan kekuasaan.

Memang harus diakui, bahwa Pilkada merupakan alternatifdalam menjawab efek negatif dari pemilihan Kepala Daerah secara

118

Page 129: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

tidak langsung lewat DPRD. Sebagai alat untuk meningkatkanparticipatory democracy, Pilkada ditujukan untuk memperkuatlegitimasi demokrasi, yang diharapkan pula akan menjadi kebutuhanmendesak guna mengkoreksi kelemahan Pilkada masa lalu, danjuga diharapkan bermanfaat untuk memperdalam dan memperkuatdemokrasi lokal, baik di lingkungan pemerintahan (governance)maupun di lingkungan masyarakat (society).

Dalam pendekatan empirik, paling tidak ada lima hal yangdiharapkan dari pelaksanaan Pilkada yang menjadi dambaanpemerintahan yang sehat dan bersih, yaitu (i) mengurangi arogansilembaga DPRD yang seringkali mengklaim sebagai satu-satunyainstitusi pemegang mandat rakyat yang representatif, (ii) membatasikewenangan dan kekuasaan DPRD yang terlalu besar sepertimemegang fungsi memilih, meminta pertanggungjawaban danmenghentikan kepala daerah, (iii) melahirkan kepala daerah yanglebih berkualitas dan berpihak pada rakyat, (iv) melahirkanpemerintahan daerah yang lebih bersih dan stabil, dan (v) dapatmenghentikan praktik money politics.

Melalui Pilkada harapan bertumpu pada adanya implikasiyang kuat terhadap penguatan kehidupan politik masyarakat lokal,atau paling tidak memajukan lembaga kemasyarakatan danmenyehatkan perilaku politik masyarakat daerah, terutama dalamhal (i) meningkatkan kesadaran politik masyarakat daerah dalampenyelenggaraan Pilkada, (ii) memacu aktivitas politik masyarakatyang memberikan kesempatan lebih besar kepada setiap individuuntuk berpartisipasi dan mengembangkan masyarakat yang dicita-citakan, (iii) memperluas akses masyarakat lokal untuk memberikankontribusi dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkutkepentingan masyarakat dan hajat hidup orang banyak, (iv) dapatmendorong dan memberikan motivasi pada media lokal agarlebih aktif menyuarakan proses Pilkada, (v) mendorongberkembangnya semangat (spirit) kemandirian dalam setiaporganisasi politik yang ada. Oleh karenanya, melalui Pilkadadiharapkan akan lahir pemimpin daerah yang bersih, berkualitasdan memiliki akseptabilitas politik yang tinggi serta tingkatlegitimasi yang kuat, karena mendapat mandat langsung dari

119

Page 130: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

rakyat yang akan menghasilkan pemerintahan daerah yang lebihefisien, efektif karena legitimasi eksekutif yang kuat tersebut.

Memang bukan tidak mungkin adanya intervensi, diskriminasi,kecurangan pada sebahagian penyelenggaraan Pilkada yangberakibat pada ketidakpuasan dan sejumlah protes yangberkepenjangan dari pihak yang merasa diperlakukan tidak adil,yang tidak mustahil pula berujung di pengadilan. Belum lagimunculnya kecurangan akibat data kependudukan yang tidakakurat dan minimnya kesiapan administrasi penyelenggaraan,kurang efektifnya pengawasan dan lemahnya penegakan hukumterhadap pelaku pelanggaran serta kooptasi kekuasaan denganmemanfaatkan akses birokrasi, terutama oleh calon incumbent.

Dari sederet permasalahan yang mewarnai Pilkada di atas,dapat dijadikan bahan utama untuk menganalisis dampak negatifPilkada, terutama dalam prikehidupan bersosial masyarakat daerah.Perbedaan karakter setiap masyarakat daerah dan perubahansosial yang terjadi saat penyelenggaraan Pilkada menjadi titiksentral dalam menilai sejauhmana dampak yang telah ditimbulkan,seperti disintegrasi sosial, kerawanan sosial dan semakin tersudutnyanilai-nilai kehidupan sosial yang sebelumnya dijunjung tinggioleh masyarakat daerah.

B.2.Tawaran Solusi

Pengaturan, perencanaan dan pelaksanaan proses Pilkadamenjadi titik sentral untuk hasil Pilkada yang lebih baik. Olehkarenanya pengawasan menjadi suatu keharusan dan pentinguntuk proses Pilkada di masa mendatang. Lembaga pengawasanyang terlambat dibetuk mengakibatkan sulitnya kontrol. Ke depan,Panwas harus lebih diarahkan dan lebih independen. Untukmenjamin kemandirian, Anggota KPU dan KPUD tidak bolehberafiliasi kepada partai politik. Demikian pula dengan prosesrekrutmen anggota KPU dan Panwas harus lebih transparan.Adanya keterpisahan pengaturan Pilkada di luar aturan Pemerintahdaerah merupakan ide yang perlu mendapat respon, sehinggadalam jangka panjang, pengaturannya harus disatukan denganpengaturan pemilihan umum lainnya.

120

Page 131: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

Solusi lain adalah memaknakan “demokrasi” secara lebihfleksibel. Artinya, pembuat undang-undang dapat menentukansistem Pilkada yang sesuai dengan kondisi sosial suatu daerah,apakah secara langsung ataukah melalui perwakilan di DPRD.Hal ini dimaksudkan sebagai jawaban konstitusi terhadapkeragaman adat istiadat dan budaya masyarakat antar daerahyang berbeda-beda, juga sesuai dengan ketentuan Pasal 18BUUD 1945 yang mengakui satuan pemerintahan daerah yangbersifat khusus dan istimewa. Sesuai dengan latar belakangperumusannya, frase “secara demokrasi” dalam Pasal 18 ayat(4) UUD 1945, pemilihan dapat dilakukan secara langsung olehrakyat dan dapat pula secara tidak langsung oleh DPRD.

Hal di atas diperkuat dengan putusan Mahkamah KonstitusiNo. 072-073/PUU-II/2004, bahwa merupakan wewenangpembentuk undang-undang untuk menentukan apakah Pilkadadilakukan secara langsung atau tidak. Bahkan sesuai denganlatar belakang pembahasan Pilkada dalam UUD 1945, pembuatundang-undang sesungguhnya juga dapat menentukan sistemPilkada berbeda-beda sesuai dengan karakter dan kondisi daerahmasing-masing.

Solusi berikutnya adalah pendataan peserta atau pemilihagar lebih ditingkatkan akurasinya, mengingat masalah inipuntelah banyak menimbulkan tindakan-tindakan yang membawakerugian secara sosial dalam menjunjung tinggi demokrasi.Munculnya kelompok Golput, yang merupakan pilihan utamadari ketidak akuratan pendataan pemilih jelas telah merugikansegala upaya yang telah dibangun dalam meningkatkan pemahamandemokrasi kepada masyarakat.

Pendidikan politik secara benar kepada masyarakat perludiberikan dan ditingkatkan, terutama dalam perspektif Pilkada,sehingga Pilkada bukan hanya sebatas euforia demokrasi yangberjalan dengan sejumlah penyimpangan-penyimpangan yang ada,akan tetapi harus diarahkan bahwa dengan proses Pilkadaterkandung tujuan yang lebih besar yaitu tujuan mensejahterakanmasyarakat melalui pemimpin-pemimpin daerah yang memiliki

121

Page 132: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

kepedulian dan keberpihakan pada masyarakat melalui program-program pemberdayaan di segala bidang.

C. Analisis Budaya

Selain dampak sosial yang ditimbulkan sebagai ekses negatifdalam penyelenggaraan Pilkada, aspek lain yang terkait adalah dampakbudaya dari masyarakat yang terlibat dalam proses Pilkada, yangmerupakan lanjutan dari dampak sosial yang telah dipaparkan diatas. Masyarakat (bangsa) Indonesia dengan budaya demokrasi yangkental dengan ciri-ciri kekeluargaan, musyawarah mufakat seharusnyamenjadi tolok ukur utama dalam penyelenggaraan Pilkada. Di tengah-tengah gencarnya tuntutan dan suara untuk membangun IndonesiaBaru yang lebih demokratis di bawah pemerintahan yang bersih,berwibawa, reformatif, dan legitimated, justru tidak sedikit politisiyang berkarakter oportunis, arogan, dan mau menang sendiri, yangsangat bertentangan secara diametral terhadap prinsip-prinsip demokrasiyang mengedepankan nilai kebebasan, kesamaan, persaudaraan,kejujuran, dan nilai-nilai keluhuran budaya bangsa.

C.1.Dampak Kultural Pelaksanaan Pilkada

Perilaku elite politik yang menyangsikan kejujuran demokrasitanpa bukti dan argumentasi yang jelas, bahkan bertingkah“inkonstitusional”, setidaknya memberikan gambaran bahwa kitamasih belum memiliki budaya demokrasi seperti yang diharapkan.Tampaknya, menerima kekalahan menjadi sebuah kenyataan yangbegitu pahit, sehingga muncul berbagai “manuver” yang merekalontarkan untuk membentuk opini publik bahwa mereka telahdicurangi, dipinggirkan, atau dimarjinalkan.

Pada satu sisi, kondisi semacam itu memang bisa menjadisinyal dinamika politik yang bertahun-tahun lamanya terpasungdalam belenggu rezim Orde Baru. Namun, pada sisi yang lain,hal itu bisa memberikan citra demokrasi yang tidak sehat bagirakyat, bahkan akan menjadi bumerang bagi elite politik itusendiri dalam membangun partai politiknya pada masa-masamendatang. Rakyat jadi kehilangan simpati dan kepercayaan.

122

Page 133: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

Agenda penting dan urgen yang harus segera digarap ialahmembangun budaya demokrasi yang sehat, sehingga memilikiapresiasi yang tinggi dan andal terhadap sikap fair, jujur, kesatria,elegan, dan lapang dada terhadap apa pun hasil yang telahdisepakati bersama lewat proses demokrasi.

Banyak pengamat memprediksi aura optimisme dalam tahapandemokrasi. Mereka melihat kuartal abad kedua puluh ini merupakanperiode demokrasi yang paling menjanjikan dalam sejarahperadaban modern. Aura optimisme ini tidak menyandarkan diripada argumen-argumen profetik, bahwa demokrasi adalah titik-titik akhir evolusi (perjalanan) ideologi manusia dan bentuk fi-nal pemerintah. Tapi aura optimisme itu lebih disandarkan padasatu kenyataan bahwa memasuki kuartal abad kedua puluh ini,banyak negara yang menjadi demokratis. Dalam kerangka sepertiinilah, isu pilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung, menjadimomentum untuk mempertegas aura optimisme dalam lajurpengembangan dan penumbuhan demokrasi. Pilkada secaralangsung, mau tak mau meletakkan aspirasi publik sebagai baganawal dalam pengembangan dan penumbuhan demokrasi, yanglahir dari realitas bawah. Realitas arus bawah sering kali dianggapsebagai bentuk pengejawantahan dari aspirasi publik riil, yangdianggap sebagai parameter dari pengembangan dan penumbuhandemokrasi.

Terlepas dari kenyataan bahwa demokrasi bisa dipandangsecara berbeda, sebenarnya ada unsur-unsur dasar atau familyresemblance yang membuat sebuah sistem dapat disebutdemokratis. Ada baiknya sebelum melihat realitas Pilkada secaralangsung, pikiran Robert A Dahl yang termaktub di bukunyayang berjudul Polyarchy: Participation and Opossition, dapatdijadikan pijakan awal dalam membaca peta demokrasi. Dahlmelihat bahwa sebuah rezim politik dapat dianggap sebagaidemokratis jika ia (1) menyelenggarakan pemilihan yang terbukadan bebas (2) mengembangkan pola kehidupan politik yangkompetitif; (3) dan memberi perlindungan terhadap kebebasanmasyarakat (civil liberties).

123

Page 134: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

Mengikuti cara berpikir yang dikembangkan Dahl, Juan Linzjuga mengajukan pengertian-pengertian demokrasi yang lebihketat. Menurutnya, sebuah sistem politik baru bisa dikatakandemokratis jika ia (1) memberi kebebasan bagi masyarakatnyauntuk merumuskan preferensi-preferensi politik mereka, melaluijalur-jalur perserikatan, informasi, dan komunikasi; (2) memberikankesempatan bagi warganya untuk bersaing secara teratur, melaluicara-cara damai, dan (3) tidak melarang siapa pun untukmemperebutkan jabatan-jabatan politik yang ada. Dari pikiranRobert A Dahl dan Juan Linz dapat diambil satu konklusi awal,bahwa demokrasi menghendaki adanya beberapa unsur dantuntutan, sebelum pemerintahan baru yang disebut demokratistercipta. Arus bawah Berkaitan dengan Pilkada secara langsung,perlu ditengok ulang bahwa pilkada langsung bisa menjadi arusbalik demokrasi, jika beberapa prasyarat standar tidak dipenuhi.Unsur-unsur dasar atau family resemblance demokrasi itudipengaruhi, dibentuk, diperkaya oleh kultur dan strukturmasyarakat yang ada.

Di negara mana pun, unsur-unsur demokrasi akan terbentukdan berkembang jika ia sejalan dengan realitas bangunan sosialbudaya masyarakat. Kerentanan akan munculnya konflik-konfliklokal di berbagai daerah dalam menghadapi arus demokrasilangsung tersebut, sulit untuk dihindari. Kemungkinan-kemungkinankonflik domestik dapat lahir ketika proses demokrasi akandibangun. Sebagaimana dikemukakan Sorensen (1993), konflikdomestik yang terjadi pada berbagai level dan segmen masyarakat,yang bersumber dari dan mengakibatkan kemerosotan otoritaskekuasaan, dan pada gilirannya diikuti dengan kekerasan dananarki, sama sekali tidak kondusif bagi penciptaan danpengembangan kebudayaan politik demokratis. Apalagi dalamterminologi Robert Hefner kebudayaan politik demokratis ituuntuk menumbuhkan keadaban demokratis. Pengembangankebudayaan politik untuk menumbuhkan keadaan demokratis diIndonesia ini dalam pikiran yang dikembangkan Sorensen, prosestransisi menuju Indonesia ke arah demokrasi yang lebih genuine,dan otentik jelas merupakan proses yang sangat kompleks dan

124

Page 135: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

panjang, apalagi dengan kecenderungan kian memburuknya situasipolitik dan ekonomi.

Dan tentu, komponen yang paling penting adalah keterlibatansecara aktif arus bawah. Keterlibatan aktif arus bawah akanjadi parameter, apakah sebuah pemilihan langsung bisa dijadikantolak ukur pertumbuhan dan perkembangan demokrasi? Atau iasekadar lipstik dari para penguasa bahwa negara telah menerapkanunsur-unsur demokratis. Dalam perspektif perkembangan praktikdemokrasi, sebenarnya tidak ada yang bisa dikatakan sebuahnegara telah menerapkan dan menjalankan demokrasi secarasempurna. Maka sangat wajar jika ilmuwan sosial seperti MichaelBurton, Richard Gunther, dan John Higley, memiliki pendapatbahwa banyak rezim yang menyelenggarakkan pemilihan umumsecara teratur, belum dapat disebut sebagai demokratis. Beberaparezim mengatur hak pilih (warganya) atas dasar kekayaan,sebagaimana yang pernah berkembang di negara-negara Baratpada abad kesembilan belas. Sementara di beberapa negara yanglain, seperti di Afrika Selatan dan Selatan Amerika, mengingkarihak pilih etnik tertentu. Para pemikir demokrasi itu melihat bahwamenilai konsep dan praktik demokrasi dengan ukuran prosedural,tidak akan membawa kita pada batasan yang jelas, antarapemerintahan demokratis dan bukan demokratis. Tapi yang pastiukuran standar dalam pemilihan langsung adalah, keterlibatanaktif dan peran serta berbagai komponen dalam pemilihan, adalahroh dari proses demokrasi.

C.2.Tawaran Solusi

Terlepas dari itu, transisi menuju demokrasi setidak-tidaknyamencakup reformasi dalam tiga bidang besar secara simultan.Pertama, reformasi sistem (constitutional reforms), yangmenyangkut perumusan kembali falsafah, kerangka dasar danperangkat legal sistem politik. Kedua, reformasi kelembagaanyang menyangkut pengembangan dan pemberdayaan (institutionalreforms and empowerment) lembaga-lembaga politik. Ketiga,pengembangan kultur atau budaya politik (political culture).Ketiga poin di atas, sangat tepat jika kita kaitkan dengan pilkada

125

Page 136: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

secara langsung yang akan digelar di berbagai daerah. Reformasisistem yang diajukan berkaitan erat dengan falsafah, kerangkadasar dan perangkat legal di daerah yang perlu dirumuskan ulangsebelum pilkada secara langsung digelar. Perumusan kembali inipenting agar pilkada tidak meninggalkan cacat historis bagi prosespengembangan demokrasi yang ada.

Perumusan ini juga menjadi penting jika dikaitkan denganpengembangan dan pemberdayaan lembaga-lembaga politik yangada di berbagai daerah. Sejauh mana lembaga-lembaga politikmampu memberi kontribusi positif bagi konstelasi kehidupanpublik di daerah? Mampukah komponen-komponen daerahmelakukan pembelajaran bagi arus publik di tingkat daerah,yang dianggap belum mempunyai perangkat-perangkat daerahsecara komprehensif. Arus bawah seperti kita ketahui bersamaterdiri dari berbagai strata ekonomi, pendidikan, sosial dan budayayang beraneka ragam. Keanekaragaman ini akan membawa dampakperilaku terhadap kultur politik di daerah. Tampaknya situasi initidak dibaca secara cermat oleh pengambil kebijakan untukmenentukan pilkada secara langsung. Jika tidak dicermati sejakawal, bisa jadi pilkada secara langsung, justru akan menjadiarus balik demokrasi, yakni terciptanya kembali otoriterianisme.

Untuk itu, pembentukan warga negara yang memiliki kesadaranberdemokrasi, adalah langkah awal dalam menuju lajur demokrasiyang benar. Sebagaimana disampaikan Murray Print (1999),pembentukan warga negara yang memiliki keadaban demokratisdan demokrasi keadaban paling mungkin dilakukan secara efektifhanya melalui pendidikan kewarganegaraan (civic education).Civic education dengan demikian, merupakan sarana pendidikanyang dibutuhkan oleh negara-negara demokrasi baru untukmelahirkan generasi muda yang mengetahui tentang pengetahuan,nilai-nilai dan keadilan yang diperlukan untuk mengaktualisasikan,memberdayakan, dan melestarikan demokrasi. Mengaktualisasikan,memberdayakan dan melestarikan demokrasi ini adalah infrastrukturpolitik, khususnya di daerah. Infrastruktur politik yang terdiri(political party) dari kelompok gerakan (movement group) dankelompok penekan (pressure group). Partai politik di daerah

126

Page 137: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

menjadi salah satu elemen penting yang ikut melakukanpemberdayaan publik dalam rangka pilkada secara langsung didaerah. Tanpa itu, semua jangan harap, pilkada secara langsungakan tercipta dengan baik. Maka sejak awal harus ada panduanyang jelas bagi arus bawah, bagaimana harus menjalankan pilkadasecara langsung dengan baik.

127

Page 138: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

128

Page 139: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

BAB VIPENUTUP

A. Kesimpulan

1. Perkembangan demokrasi di Indonesia cukup dinamis mulai dariketika Indonesia merdeka hingga orde reformasi. Dinamika tersebutsangat dipengaruhi oleh iklim politik yang sedang berkembangpada tiap masa. Pada dasarnya Pemilihan Kepala Daerah diIndonesia saat ini merupakan penggabungan dari sistem ‘elec-tion’, dan ‘selection’. Hal ini diindikasikan bahwa meski dilakukanpemilihan langsung, namun sesungguhnya kekuasaan penentuanjabatan kepala Daerah masih berada pada kendali DPRD. Halini terlihat dari Pasal 109 ayat (3) menyatakan, bahwa “Pasangancalon Gubernur dan wakil Gubernur terpilih diusulkan oleh DPRDprovinsi, selambat-lambatnya dalam waktu 3 (tiga) hari, kepadaPresiden melalui Menteri Dalam Negeri berdasarkan berita acarapenetapan pasangan calon terpilih dari KPU provinsi untukmendapatkan pengesahan pengangkatan”.

2. Dasar yuridis pemilihan kepala daerah di Indonesia adalah Pasal56 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan bahwaKepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangancalon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asaslangsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Hal ini kemudiandilaksanakan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005,di mana dalam pasal 1 menyebutkan bahwa yang dimaksuddengan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yangselanjutnya disebut pemilihan adalah sarana pelaksanaan kedaulatanrakyat di wilayah provinsi dan/atau kabupaten/kota berdasarkanPancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indone-sia Tahun 1945 untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil KepalaDaerah.

129

Page 140: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

Peraturan lain yang terkait dengan Pilkada adalah:

a. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;

b. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang PenetapanPeraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang;

c. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang PenyelenggaraPemilihan Umum;

d. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan,Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerahdan Wakil Kepala Daerah;

e. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2005 tentangPerubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan danPemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

3. Pelaksanaan pemilihan kepala daerah di Indonesia secara umumtelah berlangsung dengan baik, meski di beberapa tempat terdapatkonflik atau sengketa pilkada yang bahkan mengakibatkan konflikhorizontal berupa kerusuhan dan pelanggaran-pelanggaran yanglain. Jika dilihat dari proses penyelenggaraannya konflik Pilkadabiasanya muncul dari, pertama, tahapan pendaftaran calon atautidak lulus verifikasi yang dilakukan oleh KPUD. Kedua, sengketajuga banyak dipicu oleh tidak maksimalnya proses pendaftaranpemilih sehingga banyak warga yang tidak terdaftar, yangmemunculkan ketidakpuasan dan sangat memungkinkan menjadideterminan konflik. Ketiga, konflik dapat lahir dari ekses masakampanye. Berbagai upaya dilakukan untuk memasarkan politikuntuk meraih simpati public, dalam praktiknya sekaligus jugadibarengi dengan tindakan menyerang, black campign, pembunuhankarakter, dan momentum ini dapat menjadi akselerator konflikdalam Pilkada. Keempat, pada tahapan penetapan pemenang

130

Page 141: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

Pilkada yang biasanya muncul isu penggelembungan suara yangdilakukan oleh calon yang menang.

4. Meski pemilihan kepala daerah di Indonesia menimbulkan dampakyuridis, sosiologis dan kultural, proses politik di tingkat lokaltelah memberi ruang baru bagi tumbuhnya demokratisasi di daerah,meskipun harus diwarnai dengan berbagai konflik dan kekerasanyang tidak dapat dihindari. Terlepas dari hasil kualitas prosesPilkada, keberanian bangsa untuk melangsungkan Pilkada patutdipuji. Namun proses Pilkada harus dikawal agar mampu menjadilahan subur bagi persemaian kultur demokrasi, dan bukan menjadipendangkalan ataupun pembelokan makna demokrasi.

B. Rekomendasi

1. Perlu dilakukan kajian lebih mendalam mengenai berbagai pasalyang terkait Pemilihan Kepala Daerah, agar pasal-pasal yangberpotensi menimbulkan multiinterpretasi dapat dibenahi. Pasalyang perlu dikaji tersebut diantaranya adalah yang terkait Pasal18 ayat (4) UUD 1945 menentukan bahwa “Gubernur, Bupatidan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerahprovinsi, dan kota dipilih secara demokratis”. Pengertiandemokratis ini perlu diperjelas dalam UU Pemilihan Kepala Daerahpada masa mendatang. Pemaknaan “demokrasi” dapat dilakukansecara lebih fleksibel. Artinya, pembuat undang-undang dapatmenentukan sistem Pilkada yang sesuai dengan kondisi sosialsuatu daerah, apakah secara langsung ataukah melalui perwakilandi DPRD. Hal ini dimaksudkan sebagai jawaban konstitusi terhadapkeragaman adat istiadat dan budaya masyarakat antar daerahyang berbeda-beda, juga sesuai dengan ketentuan Pasal 18BUUD 1945 yang mengakui satuan pemerintahan daerah yangbersifat khusus dan istimewa. Sesuai dengan latar belakangperumusannya, frase “secara demokrasi” dalam Pasal 18 ayat(4) UUD 1945, pemilihan dapat dilakukan secara langsung olehrakyat dan dapat pula secara tidak langsung oleh DPRD.

131

Page 142: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

2. Pengaturan, perencanaan dan pelaksanaan proses Pilkada menjadititik sentral untuk hasil Pilkada yang lebih baik. Oleh karenanyapengawasan menjadi suatu keharusan dan penting untuk prosesPilkada di masa mendatang. Lembaga pengawasan yang terlambatdibentuk mengakibatkan sulitnya kontrol. Ke depan, Panwas haruslebih diarahkan dan lebih independen. Untuk menjamin kemandirian,anggota KPU dan KPUD tidak boleh berafiliasi kepada partaipolitik. Demikian pula dengan proses rekrutmen anggota KPUdan Panwas harus lebih transparan. Adanya keterpisahanpengaturan Pilkada di luar aturan Pemerintah daerah merupakanide yang perlu mendapat respon, sehingga dalam jangka panjang,pengaturannya harus disatukan dengan pengaturan pemilihan umumlainnya.

3. Perlu upaya kultural bagi pembentukan warga negara yang memilikikesadaran berdemokrasi. Hal ini adalah langkah awal dalammenuju lajur demokrasi yang benar. Pembentukan warga negarayang memiliki keadaban demokratis dan demokrasi keadabanpaling mungkin dilakukan secara efektif hanya melalui pendidikankewarganegaraan (civic education). Civic education dengandemikian, merupakan sarana pendidikan yang dibutuhkan olehnegara-negara demokrasi baru untuk melahirkan generasi mudayang mengetahui tentang pengetahuan, nilai-nilai dan keadilanyang diperlukan untuk mengaktualisasikan, memberdayakan, danmelestarikan demokrasi. Mengaktualisasikan, memberdayakan danmelestarikan demokrasi ini adalah infrastruktur politik, khususnyadi daerah. Infrastruktur politik yang terdiri (political party) darikelompok gerakan (movement group) dan kelompok penekan(pressure group). Partai politik di daerah menjadi salah satuelemen penting yang ikut melakukan pemberdayaan publik dalamrangka pilkada secara langsung di daerah. Tanpa itu, semuajangan harap, pilkada secara langsung akan tercipta dengan baik.Maka sejak awal harus ada panduan yang jelas bagi arus bawah,bagaimana harus menjalankan pilkada secara langsung denganbaik.

132

Page 143: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

DAFTAR PUSTAKA

A.A. Oka Mahendra, Pilkada di Tengah Konflik Horizontal: NurmahmudiIsmail Unggul di KPUD, Badrul Kamal menang di PengadilanTinggi. Jakarta: Millenium Publisher, 2005.

Abdul kadir besar, Demokrasi Pancasila dan Pengaturan PenyelenggaraanDemokrasi Politik yang terkandung di dalamnya. Jakarta: PusatStudi Pancasila-Universitas Pancasila, 2002.

Ahmad Nadir, Pilkada Langsung dan Masa Depan Demokrasi di Indo-nesia. Malang: Averoes Press, 2005.

Amirudin dan A. Zaini Bisri, Pilkada Langsung, Problem dan Prospek:Sketsa Singkat Perjalanan Pilkada 2005. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2005.

Andy Ramses, “Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung dan PerlunyaRevisi Terbatas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999”. JurnalIlmu Pemerintahan, Edisi 19 Tahun 2003.

Ari Pradanawati (penyunting), Pilkada Langsung: Tradisi Baru PolitikLokal. Surakarta: KOMPIP, 2005.

Bodhi Wedyanto FN dan Seprini (penyunting), Pilkada dan DemokrasiArus Bawah: Dokumentasi Politik Terpilihnya Zul AS-Sunaryo padaPilkada Kota Dumai 2005-2010. Pekanbaru: ISDP, 2006.; (15)Muryanto Amin, “Sistem Pemilihan Kepala Daerah Langsung: BeberapaMasalah, Implikasi Politik dan Solusinya”, dalam Politeia: JurnalIlmu Politik. Vol.I, Nomor 1 Juni 2005.

Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik. (Cet.2. Jakarta: Gramedia,1990).

Cecep Effendi, “Evaluasi Kritis Pelaksanaan Pemilihan Kepala DaerahSecara Langsung”. Tidak diterbitkan, Tanpa Tahun CSIS, “Chalengesto The New Government” in The Indonesian Quarterly, Vil.32, Nomor3, 2004.

133

Page 144: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

Collier, David (Ed.), The New Authoritarianism in Latin America. (NewJersey: Princeton University Press, 1979).

CSIS, “Chalenges to The New Government” in The Indonesian Quar-terly, Vil.32, Nomor3, 2004.

Daniel Sparinga, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi: Penyelesaian atasWarisan Rezim Otoritarian dan Penyelamatan Masa Depan di Indo-nesia, Disampaikan dalam seminar dan lokakarya “PembangunanHukum Nasional VIII”, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan HukumNasional, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Denpasar,14-18 Juli 2003.

Elcock, Howard, Lokal Government. Policy and Management in LokalAuthorities, 3rd Edition, London, New York, 1994.

Fathoni Mahar M., (ed.), Agenda Pilkada Langsung dan KesiapanMasyarakat Daerah. Boyolali: LSP3RA, 2004.

FN, Bodhi Wedyanto dan Seprini (penyunting), Pilkada dan DemokrasiArus Bawah: Dokumentasi Politik Terpilihnya Zul AS-Sunaryo padaPilkada Kota Dumai 2005-2010. Pekanbaru: ISDP, 2006.

Fokus, Majalah edisi Oktober, 2005.

Habermas, Jürgen, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi sebagai Ideologi(Technik und Wissensschäft als Ideologi) diterjemahkan oleh HassanBasari (Jakarta: LP3ES, 1990).

Haris, Syamsudin, “Pilkada Langsung dan Dilema Penguatan Demokrasidi Indonesia Pasca-Soeharto”, makalah disampaikan dalam Semi-nar Nasional XIX dan Kongres VI AIPI, Batam, 22-24 Maret 2005.

Henk Schulte Nordholt, (ed.) & Ireen Hoogenboom (ast.ed.), Indonesianin Transition. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006: 1).

Ida, Laode “Pemilihan Langsung Kepala Daerah” dalam Jurnal PSPK.Edisi 5, 2003.

Isjwara, F, Pengantar Ilmu Politik (Cet-7. Bandung: Binacipta,1980).

Jimly Asshiddiqie, Konsulidasi Naskah UUD 1945 setelah perubahankeempat, Depok: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas HukumUniversitas Indonesia, 2002

134

Page 145: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

Joko J Prihatmoko, Pemilihan Kepala Daerah Langsung: Filosofi, Sistemdan Problema Penerapan di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar– Semarang: LP3M, 2005.

Juri Ardiantoro, “Konflik Pilkada dan Netralitas KPUD” dalam HarianINDOPOS, 17 Mei 2006.

Laode Ida, “Pemilihan Langsung Kepala Daerah” dalam Jurnal PSPK.Edisi 5, 2003; Leo Agustino, Politik dan Otonomi Daerah. Serang:Untirta Press, 2005.

Leo Agustino, Politik dan Otonomi Daerah. Serang: Untirta Press, 2005.

M. Mas’ud Said, Arah Baru Otonomi Daerah di Indonesia. UMM Press,Malang 2005.

M., Fathoni Mahar (ed.), Agenda Pilkada Langsung dan KesiapanMasyarakat Daerah. Boyolali: LSP3RA, 2004.

Manor, James and Richard Crook, “Democratic Decentralization”, TheWorld Bank Operations Evaluation Departmen, OED Working PaperSeries, June 2000.

Markoff, John Gelombang Demokrasi Dunia: Gerakan Sosial danPerubahan Politik (terj.). (Yogyakarta: CCSS-Pustaka Pelajar, 2002:25).

Martosoewignjo, Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata NegaraIndonesia (Bandung: Alumni, 1992).

Mas’ud Said, M., Arah Baru Otonomi Daerah di Indonesia. (Malang:UMM Press 2005).

Mawhood, Philip, Lokal Government in The Third Wolrd. The experi-ence of tropical Africa, New York, Singapore, Brisbane, 1985.

Moch Nurhasyim (ed.), Konflik Antar Elit Politik Lokal dalam PemilihanKepala Daerah. Jakarta-Yogyakarta: Pustaka Pelajar-LIPI, 2005.

Mozaffar, Shahen and Andreas Schedler, The Comparative Study ofElectoral Governance – Introduction, in: International Political ScienceReview, Vol. 23, Number 1, January 2002.

135

Page 146: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

Mulyana W. Kusumah dan Pipit R. Kartawidjaya, Pemilihan KepalaDaerah Secara Langsung: Kasus Indonesia dan Studi Perbandingan.Jakarta: INSIDE-7SS-Watch Indonesia, 2005.

Muryanto Amin, “Sistem Pemilihan Kepala Daerah Langsung: BeberapaMasalah, Implikasi Politik dan Solusinya”, dalam Politeia: JurnalIlmu Politik. Vol.I, Nomor 1 Juni 2005.

Nordholt, Henk Schulte (ed.) & Ireen Hoogenboom (ast.ed.), Indonesianin Transition. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006).

Norton, Alan, International Handbook of Lokal and Regional Govern-ment. A Comparative Analysis of Advanced Democracies, Vermont,1993.

Nurhasyim, Mch (ed.), Konflik Antar Elit Politik Lokal dalam PemilihanKepala Daerah. Jakarta-Yogyakarta: Pustaka Pelajar-LIPI, 2005.

O’Donnell, Guillermo dan Philippe C. Schmitter, Transisi MenujuDemokrasi: Rangkaian Kemungkinan dan Ketidakpastian. (terj.),(Jakarta: LP3ES, 1993).

Oka Mahendra, A.A., Pilkada di Tengah Konflik Horisontal: NurmahmudiIsmail Unggul di KPUD, Badrul Kamal menang di PengadilanTinggi. Jakarta: Millenium Publisher, 2005.

Prihatmoko, Joko J, Pemilihan Kepala Daerah Langsung: Filosofi, Sistemdan Problema Penerapan di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar– Semarang: LP3M, 2005.

Ramly Hutabarat Politik Hukum Pemerintahan Soeharto tentang DemokrasiPolitik di Indonesia (1971-1997), Jakarta: Pusat Studi Hukum TataNegara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.

Ramses, Andy, “Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung dan PerlunyaRevisi Terbatas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999”. JurnalIlmu Pemerintahan, Edisi 19 Tahun 2003.

Refleksi Evaluasi Setahun SBY-JK: Golput, Pemenang Riil Pilkada, dalamSuara Karya Online, 20 Oktober 2005.

Rousseau, Jean Jacques, Kontrak Sosial [The Social Contract] alih bahasaoleh Soenardjo, (Jakarta: Erlangga , 1987).

136

Page 147: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

Samuel P. Huntington, Gelombang Demokratisasi Ketiga, penterjemah:Asri Marjohan, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti,1995.

Sarundajang, S.H., Pilkada Langsung: Problema dan Prospek. Jakarta:Kata Hasta Pustaka, 2005.

Sumarno, Drama Politik Pilkada Depok: Badrul Kamal Menggugat,Nurmahmudi Menjawab. Bandung, Harakatuna, 2006.

Sjachran Basah, Ilmu Negara, Pengantar, Metode dan SejarahPerkembangan (Cet-3. Bandung: Alumni, 1987).

Stefanus, Kotan Y. Kajian Kritis terhadap Teori Integralistik di Indone-sia (Yogyakarta: Universitas Atmajaya, 1998).

Steinberg, Sheldon S and David T. Austern, Pemerintahan, Etika danManajer [Government, Ethics, and Managers] terj. Jakarta, 1998.

Stoker, Gerry, The Politics of Lokal Government, 2nd Edition, London,1991.

Sumarno, Drama Politik Pilkada Depok: Badrul Kamal Menggugat,Nurmahmudi Menjawab. Bandung, Harakatuna, 2006.

Surbakti, Ramlan, “Sistem dan Proses Pemilihan Kepala Daerah SecaraLangsung”, makalah disampaikan dalam Seminar Nasional XIX danKongres VI AIPI, Batam, 22-24 Maret 2005.

Tempo, “Pemilihan Kepala Daerah Langsung: Berebut Kursi Panas” dalamTempo, Edisi 9-15 Januari 2006.

Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah (Cet.3 Yogyakarta:Kanisius, 1986).

Titik Triwulan Tutik, Pemilihan Kepala Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dalam Sistem Pemilu menurut UUD1945. Jakarta: Prestasi Pustaka, 2006.

PERATURAN

Perubahan Undang-Undang Dasar 1945.

137

Page 148: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 tentangPemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 tentangPemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, DewanPerwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Perpu Nomor 1 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-UndangRepublik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan UmumAnggota Dewan Perwakilan Rakyat.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara PemilihanUmum.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan PeraturanPemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentangPerubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaiUndang-Undang.

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2005 tentang Perimbangan Keuanganantara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum AnggotaDPR, DPD dan DPRD.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presidendan Wakil Presiden.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan kedudukanMPR, DPR, DPD dan DPRD.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2000 tentang Pemilihan Umum.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan KedudukanDPR/MPR.

138

Page 149: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah.

Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pemerintahan DaerahKhusus Ibukota Jakarta.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah.

Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 3 Tahun2005 tentang Pemerintahan Daerah.

Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan,Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil KepalaDaerah.

Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2005 tentang Perubahan atasPeraturan Pemerintah Nomor 06 Tahun 2005.

Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 07 Tahun 2005 tentangDukungan Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk KelancaranPelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2005 tentang Tata CaraPengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap Penetapan Hasil Pilkadadan Pilwakada dari KPUD Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2005 tentang PedomanPengelolaan dan Pertanggungjawaban Belanja Pilkada.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2005 tentang Perubahanatas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2005 tentangPedoman Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Belanja Pilkada.

Peraturan KPU Nomor 622 Tahun 2003.

139

Page 150: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

140

Page 151: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf

PERSONALIA TIM

Personalia Tim Pengkajian Hukum tentang Pemilihan Kepala Daerahyang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HakAsasi Manusia Republik Indonesia Nomor: PHN.01.LT.02.01 Tahun 2009tanggal 8 Januari 2009 tentang Pembentukan Pelaksana Tim PengkajianHukum yakni:

Ketua : Noor M. Aziz, S.H., M.H., M.M.

Sekretaris/Anggota : Arfan Faiz Muhlizi, S.H., M.H.

Anggota : 1. Prof. Dr. Ramli Hutabarat, S.H., M.Hum.

2. Chaeruddin, S.H., M.H.

3. Adnan Anwar

4. Suherman Toha, S.H., M.H., APU.

5. Heru Wahyono, S.H., M.H.

6. Wiwiek, S.Sos.

7 Karno

141

Page 152: PEMILIHANKEPALADAERAH.pdf