pemikiran soekarno tentang marhaenisme

49
PEMIKIRAN SOEKARNO TENTANG MARHAENISME DI SUSUN OLEH AGUS SUPRIADI NIM : 201033200778 JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1428/2007

Upload: others

Post on 18-Nov-2021

8 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pemikiran Soekarno Tentang Marhaenisme

PEMIKIRAN SOEKARNO TENTANG MARHAENISME

DI SUSUN OLEH

AGUS SUPRIADI

NIM : 201033200778

JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1428/2007

Page 2: Pemikiran Soekarno Tentang Marhaenisme

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim, segala puja, puji, serta syukur saya panjatkan

ke hadirat Allah SWT “ For the great inspiration of love “, karena-Nya lah setiap

manusia mempunyai rasa cinta di dalam hatinya, dan atas cinta itulah eksistensi

manusia akan sangat jelas terlihat karena cinta adalah sebuah rasa kemanusiaan.

Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada baginda Nabi

besar Muhammad SAW, manusia utama yang telah memberikan jalan kepada

umat manusia bagaimana cara untuk bereksistensi, yaitu dengan jalan

menunjukkan bagaimana cara manusia agar bisa menuju kepada Tuhannya.

Terima kasih yang tulus dari lubuk hati, penulis haturkan kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, MA selaku Dekan Fakultas Ushuluddin Dan

Filsafat.

2. Bapak Dr. H. Shobahussurur, MA dan Nawiruddin, MA selaku pembimbing

yang memberikan pengarahan dan bimbingan kepada penulis.

3. Bapak Drs. Harun Rasyid, MA selaku Direktur Program Ekstensi Fakultas

Ushuluddin Dan Filsafat, beserta stafnya.

4. Bapak, Ibu, dan staf dosen Fakultas Ushuluddin Dan Filsafat yang telah

mengajarkan ilmunya kepada penulis sampai dapat menyelesaikan studi.

5. Kedua orang tua, H. Saliri dan Hj. Warkonah yang mulia dan sangat saya

hormati yang telah menyokong doa dan sabar mendengarkan keluhan

anaknya. Beserta kakak- kakak dan adik- adik tercinta.

6. Teman- teman di Fakultas Ushuluddin Dan Filsafat program Ekstensi 2001,

khususnya “Team Hojel” (Dul Pintu, Ayung S.Fil.I, Lee Chuen, Iyat adik

kelas, Daman Gambus, Nursalim Tronika S.Fil.I).

Page 3: Pemikiran Soekarno Tentang Marhaenisme

7. Untuk Selvy dan wanita lainnya yang tidak bosannya mendukung penulis

dalam menyusun skripsi.

Penulis tidak bisa membalas jasa kalian semua, namun hanya Allah lah

yang akan membalasnya. Amin.

Jakarta, 25 April 2006

Penulis

Page 4: Pemikiran Soekarno Tentang Marhaenisme

BAB II

SEJARAH DAN RIWAYAT HIDUP SOEKARNO

A. Kajian Pustaka

Sebelum penulis mengkaji tulisan ini, ada beberapa tulisan yang

membahas tentang Marhaenisme. Salah satunya adalah karya ilmiah (skripsi)

Farid Muttaqin, dengan judul “Sosialisme Religius dalam Marhaenisme

Soekarno”. Namun skripsi tersebut, penulis tidak dapat menemukannya.

Sedangkan tulisan lainnya adalah tulisan-tulisan yang telah tercetak dalam

bentuk buku, di antaranya “Renungan Bung Karno Bapak Marhaenisme

Indonesia” oleh O. P. Simorangkir. Dalam tulisan tersebut, penulis melihat hanya

membahas secara umum tentang Marhaenisme dan menghubungkannya dengan

ekonomi di Indonesia.

Yulianto Sigit Wibowo dengan bukunya yang berjudul “Marhaenisme

Ideologi Perjuangan Soekarno”. Dalam buku ini, Yulianto membahas bagaimana

Sukarno yang terinspirasi dari pemikiran Marxisme menggabungkannya dengan

pemikirannya sendiri dalam perjuangannya melawan kolonialisme dan

imperialisme. Namun tulisan tersebut bukanlah karya ilmiah dari akademik

(skripsi) melainkan sebagai tulisan lepas.

Pada buku lain yang membahas tentang Marhaenisme adalah

“Marhaenisme Adjaran Bung Karno” karya Asmara Hadi membahas tentang

Marxisme, dan tentang penyesuaian yang dilakukan Soekarno sehingga dapat

digunakan di dalam kondisi masyarakat Indonesia. Asmara Hadi dalam bukunya

yang lain yang membahas tentang Marhaenisme adalah “Sembilan Tesis

Page 5: Pemikiran Soekarno Tentang Marhaenisme

Marhaenisme dan Pendjelasan Singkatnya”. Pada buku ini membahas tentang

sembilan tesis yang dideklarasikan dalam konferensi Partindo di Jogjakarta pada

bulan Agustus 1933 dan memberi penjelasan tiap-tiap tesisnya.

Ali Sastroamidjojo dalam bukunya “Dasar-Dasar Pokok Marhaenisme”

membahas tentang kapitalisme dan imperialisme dan awal masuknya ke

Indonesia. Juga membahas tentang keadaan masyarakat Indonesia yang pada saat

itu berhadapan dengan kapitalisme Belanda hingga terjadi pergerakan

kemerdekaan yang dilakukan oleh rakyat Indonesia. Ali Sastroamidjojo

menerangkan tentang dasar dari Marhaenisme dan menghubungkan Marhaenisme

dengan Pancasila dan manifesto politik.

Oleh sebab itu penulis merasa persoalan tersebut penting sekali untuk

dikaji ke dalam sebuah karya ilmiah, agar kita dapat memahami secara mendalam

dan menyeluruh bagaimana ideologi Marhaenisme yang dipaparkan oleh

Soekarno pada 4 Juli 1927 yang lalu.

B. Latar Belakang Keluarga

Soekarno dilahirkan di Surabaya pada tanggal 6 Juni 1901 dari pasangan

Sukemi Sosrodihardjo yang berasal dari Blitar dan Ida Ayu Nyoman Rai yang

berasal dari Bali. Ayah Soekarno, Raden Sukemi Sostrodihardjo1 termasuk

golongan bangsawan rendahan Jawa, sebagaimana ditunjukkan oleh gelar

“Raden” yang disandangnya dan dengan demikian bisa masuk sekolah pendidikan

guru (Kweekschool) yang dibuka sekitar tahun 1870 di Probolinggo, Jawa Timur.2

1 Lahir tahun 1869 dan meninggal pada 8 Mei 1945, pada usia 76 tahun. 2 Bernhard Dahm, Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan, penerjemah; Hasan Basari

(Jakarta: LP3ES, 1987), h. 27.

Page 6: Pemikiran Soekarno Tentang Marhaenisme

Setelah lulus, Sukemi dipekerjakan pada sebuah sekolah pendidikan

pegawai negeri bumiputra yang baru dibuka di Singaraja, Bali. Di samping tugas

sebagai pengajar, ia menambah penghasilannya dengan bekerja sebagai asisten

peneliti DR. Van der Tuuk, seorang ahli bahasa Batak yang pada waktu itu sedang

sibuk mempelajari bahasa dan adat-istiadat Bali. Sedangkan ibunya Ida Ayu

Nyoman Rai, yang menurut Soekarno adalah putri dari salah satu keluarga Bali

dari kelas Brahmana, dan setelah upacara perkawinan menurut agama Islam

dikeluarkan dari kasta Brahmananya.3

Sukemi dan istrinya tetap tinggal di Singaraja sampai lahir anak tertua

mereka, seorang putri bernama Sukarmini. Dalam masa dua tahun setelah

kelahiran putrinya tersebut, Sukemi mengajukan permohonan dan diizinkan

pindah ke Surabaya. Setelah enam tahun lahirnya Soekarno, keluarganya pindah

dari Surabaya ke Sidoarjo dan kemudian ke Mojokerto, di mana Sukemi

dinaikkan pangkatnya menjadi manteri guru di sekolah Ongkoloro untuk kaum

Bumiputra.4

Kusno Sosro Soekarno,5 melewatkan bagian terbesar dari masa kecilnya di

Tulungagung, Kediri. Bersama kakeknya, Soekarno dididik untuk selalu bersikap

jujur dan adil, juga membiarkannya menuruti kehendak hatinya sendiri. Seperti

pada saat masih kecil Soekarno sudah diperbolehkan menonton pertunjukkan

wayang, yang berlangsung mulai senja hingga dini hari. Bahkan sebelum

3 O. P. Simorangkir, Renungan Bapak Marhaen Indonesia; Bung Karno (Jakarta: Univ.

Krisnadwipayana, 2002), h. v. 1. Pernikahan yang mereka lakukan merupakan pernikahan yang jarang terjadi pada masanya, yakni pernikahan antar-suku, antar-agama.

4 Simorangkir, Renungan Bapak Marhaen Indonesia, h. 1-2. 5 Nama kecil Soekarno yang dikemudian hari kedua nama depannya dibuang sesuai dengan

kebiasaan Jawa.

Page 7: Pemikiran Soekarno Tentang Marhaenisme

pergerakan nasionalis dimulai, Soekarno kecil duduk malam demi malam di muka

layar, hasrat akan kemerdekaan dihidupkan terus oleh dalang.6

Selain dengan kakeknya, Soekarno juga dekat dengan pembantu

keluarganya yaitu Sarinah, yang dikemudian hari dipujanya sebagai lambang

wanita Indonesia. Soekarno mengakui, bahwa Sarinah besar pengaruhnya dalam

hidupnya. Melalui dialah ia belajar mencintai rakyat jelata. Di Tulungagung, ia

hanya menjalani masa yang singkat. Ketika usianya sekitar enam tahun,

keluarganya pindah ke Sidoarjo dan kemudian pindah ke Mojokerto. Di

Mojokerto, ayahnya diangkat menjadi guru di Ongkoloro dan Soekarno masuk ke

sekolah tempat ayahnya mengajar. Pada masa kecilnya Soekarno telah memiliki

kelebihan, yakni dengan cepat menguasai kawan bermainnya. Ia senang dengan

reputasinya sebagai jagoan muda, yang lebih berani dari pada teman-temannya,

suka memimpin dan mengatur kegiatan bermain membuat dirinya menjadi pusat

dari suatu geng kecil.7

C. Latar Belakang Pendidikan

Sekolah di masa Soekarno dipengaruhi politik etis atau hutang budi di

bidang pendidikan. Kaum kolonial Belanda di bawah pengaruh J.H. Abendanon

menginginkan pendidikan gaya Eropa dengan bahasa Belanda sebagai bahasa

pengantarnya bagi kaum elit Indonesia yang terpengaruh Barat. Dengan model ini

diharapkan dapat mengambil alih pekerjaan yang ditangani oleh pegawai yang

berkebangsaan Belanda, dan dengan ini membuat pribumi berterima kasih dan

mau bekerja sama dengan pemerintah kolonial. Pada tahun 1908 didirikannya

6 Dahm, Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan, h. 27-29. 7 John D. Legge, Sukarno; Sebuah Biografi Politik, penterjemah; tim PSH (Jakarta: Sinar

Agape Press, 1985), h. 29.

Page 8: Pemikiran Soekarno Tentang Marhaenisme

sekolah Ongkoloro (sekolah untuk kaum Bumiputra), dan pada tahun 1915

didirikan Inlandsche Vervolgsholen dengan tujuan untuk membawa para murid

Ongkoloro melanjutkan jenjang pendidikannya ke yang lebih tinggi.8

Pendidikan dasar ditempuhnya di Tulungagung, ia tinggal bersama

kakeknya. Di sinilah masa pembentukan kepribadiannya sesuai nilai-nilai dan

tradisi Jawa, yang berdasarkan karakter cerita pewayangan. Ia di Tulungagung

sampai kelas empat, kemudian pindah ke sekolah Eropa di Mojokerto pada tahun

1908. Ayahnya memasukkannya ke sekolah ELS ( Europese Lagere School)9 agar

ia bisa diterima sebagai murid sekolah menengah Eropa, dan pada tahun 1915 ia

lulus.10

Setelah tamat sekolah dasar, Soekarno berkesempatan melanjutkan

pendidikannya di Surabaya. Melalui jasa teman baik ayahnya, yakni Oemar Said

Tjokroaminoto, ayahnya mendaftarkannya ke HBS (Hogere Burger School), dan

menitipkannya di rumah Tjokroaminoto. Di HBS, Soekarno belajar selama lima

tahun. Pada tanggal 10 Juni 1921 ia lulus dari HBS11 dan bermaksud

melanjutkannya ke Belanda, namun ibunya tidak mengizinkannya. Ibunya

menginginkan agar Soekarno melanjutkannya di dalam negeri saja. Akhirnya

Soekarno mendaftarkan diri di Sekolah Tinggi Teknik (Technische Hogeschool)

di Bandung.12

8 Simorangkir, Renungan Bapak Marhaen Indonesia, h. 4-5. 9 ELS merupakan sekolah lanjutan Belanda, pada masanya sekolah lanjutan Belanda lebih

mudah didapat daripada sekolah bumiputera. 10 Rosihan Anwar, In Memoriam; Mengenang Yang Wafat (Jakarta: Kompas, 2002), h. 12.

Kelulusan Soekarno banyak perbedaan, pada buku John D. Legge, Soekarno; Sebuah Biografi Politik, kelulusan Soekarno pada tahun 1916.

11 dari 67 pelajar, yang lulus hanya 52 orang. Soekarno termasuk satu dari lima orang pribumi dan Tionghoa yang lulus ujian.

12 Simorangkir, Renungan Bapak Marhaen Indonesia, h. 9.

Page 9: Pemikiran Soekarno Tentang Marhaenisme

Untuk menyelesaikan studinya ia memerlukan waktu satu tahun lebih lama

daripada yang telah ditetapkan secara resmi, yaitu empat tahun. Hal tersebut

disebabkan karena tak lama setelah menjadi mahasiswa ia terpaksa meninggalkan

Bandung untuk beberapa lama, sebab Tjokroaminoto ditangkap, dan Soekarno

harus mengambil alih urusan rumah tangganya. Ia menyelesaikannya dengan

sebuah skripsi tentang rencana pelabuhan dan dinyatakan lulus pada tahun 1926

sebagai seorang insinyur.

D. Aktifitas Politik Sukarno

Kehidupan politik yang dialami Soekarno tak lepas dari persoalan politik

bagaimana menuju Indonesia merdeka. Bergaul dengan masyarakat Surabaya

semasa menjadi murid HBS yang dipimpin oleh Tjokroaminoto, seorang

pemimpin kharismatik dari Sarekat Islam (SI). Banyak tamu yang datang ke

rumah Tjokroaminoto. Orang-orang yang aktif dalam pergerakan rakyat, seperti

Haji Agus Salim, Ki Hajar Dewantara, Tan Malaka, Semaoen, Alimin, juga

politisi sosialis Belanda Sneevliet dan Baars. Soekarno sering diajak berdiskusi

bersama mereka.13

1. Masa Penjajahan

Saat masih mahasiswa STT Soekarno menjadi ketua Jong Java cabang

Bandung, namun pada masa itu kegiatan politiknya dinomorduakan karena

mendapat peringatan dari Profesor Klopper, jika ia ingin meneruskan studinya di

STT ia harus memenuhi kewajibannya sebagai seorang mahasiswa dengan tidak

13 Anwar, In Memoriam, h. 16.

Page 10: Pemikiran Soekarno Tentang Marhaenisme

ikut campur dalam gerakan politik. Soekarno mendapat peringatan tersebut

setelah ia berpidato dengan semangat dalam rapat raksasa yang diselenggarakan

Konsentrasi Radikal (Radicale Concentratie)14 tahun 1923, dan ia pun berjanji

untuk menjauhi diri dari berpidato di rapat-rapat umum politik.15

Kehidupan politik yang dialami Soekarno selama kemahasiswaannya

sebagian terdiri dari pertemuan-pertemuan dan rapat-rapat yang diselenggarakan

oleh Konsentrasi Radikal (Radicale Concentratie), sebagian lagi dari hubungan

dengan berbagai organisasi Sarekat Islam dan Jong Java yang diketuainya.

Batu loncatannya untuk masuk ke dalam kepemimpinan nasional adalah

Algemeene Studie Club ( Kelompok Studi Umum) yang turut didirikannya pada

awal tahun 1926. Berbeda dengan Studie Club di kota lain, Studie Club di

Bandung bercorak radikal dan non-kooperatif terhadap pemerintah kolonial.

Karena sikap radikal dan non-kooperatif tersebut, Soekarno setelah lulus menolak

bekerja pada Dinas Pekerjaan Umum maupun karier akademik lainnya.

Sebaliknya, ia memilih terlibat penuh dalam perjuangan politik untuk

kemerdekaan Indonesia.16

Gagasan dari Studie Club merupakan bagian dari gejolak dalam pemikiran

anggotanya yang radikal. Kelompok ini lebih banyak ditujukan pada upaya

mencapai kemerdekaan dan menolak pandangan bahwa kemerdekaan dapat diraih

secara perlahan dengan bekerja sama dengan Belanda. Kelompok ini lebih

menekankan pada perjuangan.

14 Radicale Concentratie adalah suatu koalisi dari semua partai – termasuk partai-partai

orang Eropa – yang pertama kali dibentuk pada tahun 1918 dengan tujuan untuk bekerja ke arah otonomi atau kemerdekaan dan pada tahun 1922 dihidupkan lagi oleh NIP (National Indische Partij) yang merupakan pengganti IP (Indische Partij).

15 Simorangkir, Renungan Bapak Marhaen Indonesia, h. 9. 16 Ayub Ranoh, Kepemimpinan Kharismatis; Tinjauan Teologis-Etis atas Kepemimpinan

Kharismatis Soekarno (Jakarta: Gunung Mulia, 2000), h. 23.

Page 11: Pemikiran Soekarno Tentang Marhaenisme

Pada tahun 1927 Soekarno bersama Iskaq Tjokrohadisurjo, Dr. Tjipto

Mangunkusumo, Budiarto, dan Sunario mendirikan Perserikatan Nasional

Indonesia yang pada bulan Mei 1928 namanya berubah menjadi Partai Nasional

Indonesia (PNI) yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.17 Pemerintahan

kolonial Belanda mengawasi dengan ketat perkembangan PNI, karena propaganda

yang dilakukan oleh Soekarno mendapat dukungan masyarakat. Pada akhir tahun

1929 tersiar kabar yang bersifat provokatif bahwa PNI diduga akan melakukan

pemberontakan pada awal tahun 1930, berdasarkan berita tersebut maka pada

tanggal 24 Desember 1929 Soekarno, Soepriadinata, Gatot Mangkupraja dan

Maskun ditangkap oleh pemerintah kolonial Belanda.18 Hukuman terhadap

pemimpin PNI ini membuat anggota yang aktif dalam keadaan bahaya, atas

pertimbangan tersebut maka PNI memutuskan pembubaran dan memecahkan

kelompok menjadi dua kubu yang saling bersaing.

Bebasnya Soekarno dari penjara Sukamiskin gagal memulihkan keretakan

yang terjadi dalam partai. Moh. Hatta dan Sjahrir yang kembali dari Belanda tidak

setuju dengan pandangan Soekarno, dan mereka mendirikan partai baru yakni

Pendidikan Nasional Indonesia atau biasa disebut dengan PNI-Baru. Untuk

membenarkan sikap mereka, Sjahrir menuduh Soekarno menumbuhkan prinsip

non-kooperasi seakan-akan sebagai agama dan Moh. Hatta menganggap Soekarno

memanfaatkan non-kooperasi untuk melakukan provokatif besar-besaran daripada

berangsur-angsur.19

17 Yulianto Sigit Wibowo, Marhaenisme; Ideologi Perjuangan Soekarno (Yogyakarta:

Buana Pustaka, 2005), h. 27-28. 18 Suhartono, Sejarah Pergerakan Nasional : Dari Budi Utomo Sampai Proklamasi (1908-

1945) (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), h. 71. 19 Isak (ed), 100 Tahun Bung Karno; Sebuah Liber Amicorum (Jakarta: Hasta Mitra, 2001),

h. 61.

Page 12: Pemikiran Soekarno Tentang Marhaenisme

Perbedaan sikap politik Soekarno yang radikal dan revolusioner membuat

PNI kemudian pecah menjadi dua, Sartono mendirikan Partai Indonesia (Partindo)

yang dipimpin oleh Soekarno dan Sjahrir mendirikan PNI-Baru yang dipimpin

oleh Moh. Hatta. Bagi Soekarno Partindo sangat sesuai dengan keinginannya,

karena Partindo memberikan kebebasan dalam kegiatan politiknya sehingga

Soekarno memilih masuk Partindo. Pada masa Partindo inilah istilah

Marhaenisme mulai mendapatkan tempat yang luas.20

Soekarno berhasil menampung anggota sebanyak 20.000 bagi Partindo,

namun untuk kedua kalinya Soekarno ditahan dengan paksa oleh pemerintah

Belanda dan diasingkan di luar pulau Jawa. Semua ini disebabkan karena

pemerintah Belanda merasa terusik oleh keberhasilan Soekarno yang terus-

menerus membangkitkan kaum marhaen. Soekarno pada saat di penjara

Sukamiskin pernah mengajukan soerat minta ampoen21 pada pemerintah Belanda

namun tidak digubris.22

Moh. Hatta pun menulis tentang Soekarno, yang berkaitan dengan surat

tersebut:

“Tidak lain daripada Soekarno sendiri yang mendorong Partindo (Gabungan nama ini dari dia juga) kepada agitasi dan demonstrasi terus-terusan, sehingga seluruh pergerakan kiri sekarang menderita kesusahan.... Belum lagi sepuluh bulan berselang ia menampar dada dan menyebutkan tuan sambil berkata, bahwa “non-cooperation menolak pekerjaan bersama dengan kaum pertuanan di atas semua lapangan dan menuntut adanya perjuangan yang tak kenal damai, satu overbiddljike strijd dengan kaum pertuanan itu.” Sekarang ia sendiri yang pertama menempuh jalan damai dan

20 Wibowo, Marhaenisme; Ideologi Perjuangan Soekarno, h. 20-21. 21 Soerat minta ampoen ini sempat ramai dibicarakan kebenarannya dalam pers Indonesia,

Ibu Inggit, Mahbub Djunaedi, Moh. Roem, dan Pramoedya Ananta Toer merupakan kelompok yang menganggap surat tersebut adalah palsu atau perbuatan intel Belanda. Karena kebenaran harus ditemukan dengan cara mengkaji sosok Soekarno yang totalitas dalam perjuangannya.

22 Isak (ed), 100 Tahun Bung Karno, h. 63.

Page 13: Pemikiran Soekarno Tentang Marhaenisme

tunduk. Satu tragedi-Soekarno, yang belum ada contohnya dalam riwayat dunia.”23

“Pernyataan tobat” dari Soekarno ini dengan segera dilaporkan dalam

sebuah nota kepada Gubernur Jendral, dan Soekarno membenarkan pernyataannya

itu dengan mengumumkan keputusannya untuk keluar dari Partindo, dengan

alasan bahwa ia tidak lagi menyetujui prinsip-prinsip, arah dan kegiatan

pergerakan itu, dan meminta agar ia dibebaskan dari kedudukannya sebagai ketua

partai.24

Soekarno, buangan politis Belanda, ternyata orang yang dicari Jepang.

Soekarno dibebaskan oleh Jepang pada awal 1942. Soekarno pun kembali ke Jawa

untuk bergabung dengan bekas lawan politiknya – Moh. Hatta dan Sjahrir – untuk

menyusun rencana tentang cara menuju Indonesia Merdeka. Dalam pertemuan

pertama - disebut “pertemuan taktis” – Soekarno, Moh. Hatta, dan Sjahrir

membicarakan kemungkinan kerja sama dengan Jepang, namun tetap

menghidupkan gerakan rakyat bagi kemerdekaan.25

Pada masa penjajahan Jepang, Soekarno aktif dalam organisasi yang

dibuat oleh Jepang seperti Pusat Tenaga Rakyat (Putera) organisasi yang

direncanakan sebagai jembatan mencapai pemerintahan sendiri bersama Moh.

Hatta, Ki Hajar Dewantara dan KH. M. Mansur yang didirikan pada tanggal 3

Maret 1943, namun rencana tersebut cepat terungkap26. Dengan kemampuannya

melatih, mendidik dan melindungi rakyatnya, Soekarno pun diakui oleh Jepang

sebagai tokoh sentral bagi rakyat Indonesia.

23 Dahm, Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan, h. 206. Ini dibenarkan oleh Hatta dalam

suatu percakapan dengan penulis tanggal 13 September 1968 di New York. 24 Dahm, Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan, h. 207. 25 Ranoh, Kepemimpinan Kharismatis; Tinjauan Teologis-Etis, h. 29. 26 Wibowo, Marhaenisme; Ideologi Perjuangan Soekarno, h. 28.

Page 14: Pemikiran Soekarno Tentang Marhaenisme

2. Masa Kemerdekaan

Pada Agustus 1945, Soekarno menjadi ketua Panitia Persiapan

Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Bersama Moh. Hatta memproklamasikan

kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, yang selanjutnya

Soekarno dipilih sebagai presiden dan Moh. Hatta menjadi wakil presiden.

Pada bulan Desember 1948, Belanda melancarkan agresinya yang kedua.

Soekarno, Moh. Hatta dan beberapa pemimpin lainnya ditawan dan diasingkan ke

Prapat dan kemudian dipindahkan ke Bukit Menumbing, Bangka. Namun atas

tekanan Dewan Keamanan PBB, para pemimpin yang ditawan dibebaskan

kembali. Pada tanggal 16 Desember 1949, Soekarno dilantik menjadi presiden

Republik Indonesia serikat (RIS) di Jakarta dan delapan bulan kemudian tepatnya

pada tanggal 17 Agustus 1950, Soekarno kembali memproklamasikan Negara

Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).27

Pada tahun 1955 Indonesia menyelenggarakan pemilu yang pertama, dan

setahun kemudian Soekarno menghapus partai-partai politik dan memberlakukan

sistem Demokrasi Terpimpin. Pada tanggal 5 Juli 1959 Soekarno mengeluarkan

dekrit tentang pembubaran konstituante dan kembali pada UUD 1945, dan pada

bulan November 1959 mengumumkan Manipol yang kemudian pada awal

tahun1960 ditambah dengan USDEK28, dikenal dengan MANIPOL-USDEK29.

Pada peristiwa GESTOK (Gerakan Satu Oktober)30 Soekarno menunjuk

Mayjen Soeharto menjadi Panglima Pemulihan Keamanan. Tanggal 11 Maret

27 Wibowo, Marhaenisme; Ideologi Perjuangan Soekarno, h. 29. 28 Wibowo, Marhaenisme; Ideologi Perjuangan Soekarno, h. 30. 29 MANIPOL-USDEK adalah pernyataan politik terbuka Soekarno yang menginginkan

kembali pada UUD 1945, menuju Sosialisme Indonesia dengan Demokrasi Terpimpin dan Ekonomi Terpimpin yang merupakan kepribadian Indonesia.

30 Peristiwa penculikan dan pembunuhan beberapa perwira tinggi AD, dan peristiwa ini terjadi di atas jam 12 malam.

Page 15: Pemikiran Soekarno Tentang Marhaenisme

1966 Soekarno mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret (SUPERSEMAR) yang

ditujukan untuk Mayjen Soeharto, dan pada tanggal 20 Februari 1967 MPRS

mencopot Soekarno dari jabatan Presiden RI dan menyerahkan pada Soeharto.

MPRS menetapkan Soeharto menjadi presiden tepatnya pada tanggal 27 Maret

1967 hingga terpilihnya presiden hasil pemilu. Sesuai dengan Tap. MPRS. No.

XXXIII/MPRS/1967 Soekarno dijadikan sebagai tertuduh dalam kasus politik dan

diproses secara hukum. Sebelum kasusnya diproses Soekarno menghembuskan

nafas terakhirnya pada tanggal 21 Juni 1970 di Wisma Yaso.31 Atas

sumbangsihnya sampai akhir hayat, Soekarno banyak memperoleh gelar doctor

honoris causa dalam bidang hukum maupun politik dari berbagai universitas.

31 Wibowo, Marhaenisme; Ideologi Perjuangan Soekarno, h. 32.

Page 16: Pemikiran Soekarno Tentang Marhaenisme

BAB III

GAMBARAN UMUM TENTANG MARHAENISME

A. Keadaan Masyarakat Masa Penjajahan

Kesengsaraan yang terjadi pada rakyat Indonesia yang hidup di bawah

penjajahan kolonial Belanda merupakan obyek dari pemikiran Soekarno.

Soekarno berupaya keras untuk merumuskan persoalan nyata yang dihadapi

bangsa Indonesia.

Soekarno mempelajari sejarah Indonesia secara mendalam. Ia hidup di

dalamnya, melihat dan mengalami, bahwa kehidupan di Indonesia sangat

berlawanan antara minoritas kelompok yang kaya dengan kelompok yang miskin.

Bahkan kurang lebih 92% dari rakyat Indonesia pada masa kolonial hidup dalam

keadaan miskin akibat penjajahan dan kapitalisme. Dalam tatanan masyarakat

yang tidak adil itulah timbul keinginan untuk memberontak. Dengan terhapusnya

penjajahan di Indonesia maka akan merubah kehidupan rakyat Indonesia.32

Pada permulaan abad ke- 17, Belanda telah memperkuat dalam satu

persaingan dan memonopoli perdagangan Indonesia. Dengan mendirikan VOC

(Verenigde Oost Indische Compagnie) pada tahun 1602. Kekerasan, paksaan dan

tipu daya dijalankan oleh VOC agar hasil bumi hanya dijual kepadanya. V.O.C.

tidak hanya memonopoli membeli dengan harga murah tetapi ingin berkuasa

dengan menentukan harga sendiri.33

32 O. P. Simorangkir, Renungan Bapak Marhaen Indonesia; Bung Karno (Jakarta: Univ.

Krisnadwipayana, 2002), h. 17. 33 Ali Sastroamidjojo, Dasar-Dasar Pokok Marhaenisme (Jakarta: Partai Nasional

Indonesia, 1961), h. 11-12.

Page 17: Pemikiran Soekarno Tentang Marhaenisme

Seratus lima puluh tahunnya Belanda menjalankan kekejaman dan

kekerasan terhadap rakyat Indonesia. Untuk menjalankannya, Belanda

menggunakan kaum feodal Indonesia, dari yang paling tinggi sampai paling

rendah diikutsertakan sebagai kaki tangan Belanda untuk menindas dan memeras

rakyat. Oleh karena itulah, di Indonesia tidak tumbuh suatu kelas borjuis yang

berkuasa, kekuasaan feodal pun sudah lumpuh dan dijadikan kaki tangan

Belanda.34

Di masa penjajahan Belanda dan dari pemerasan yang sangat kejam maka

lahirlah suatu kelas yang pada awalnya tidak ada di Indonesia, yakni kelas proletar

yang berasal dari petani yang sama sekali tidak punya tanah. Kaum proletar, kaum

tani melarat dan golongan melarat yang lain itulah yang oleh Soekarno disebut

dengan satu nama kolektif marhaen, yakni kelas yang diperas pada masa Belanda,

oleh imperialisme dan kapitalisme.35Selama kaum penjajah bersama kaum feodal

berkuasa, kehidupan rakyat akan hidup dengan rasa takut dan menderita.

Sepanjang masa rakyat ditindas dari satu generasi ke generasi berikutnya tanpa

perubahan hidup.

B. Pengertian dan Konsep Dasar Marhaenisme

1. Asal Kata Marhaenisme

Asal kata Marhaenisme berawal pada saat Soekarno merasa perlu mencari

kata pemersatu rakyat. Karena dalam propaganda PKI istilah “orang kecil”

seringkali dipakai untuk mengacu kepada kaum proletar. Menurut Soekarno di

34 Sastroamidjojo, Dasar-Dasar Pokok Marhaenisme, h. 13. 35 Hadi (H.R.), Marhaenisme Adjaran Bung Karno (Jakarta: Partai Nasional Indonesia,

1961), h. 50-51.

Page 18: Pemikiran Soekarno Tentang Marhaenisme

Indonesia yang miskin bukan hanya golongan proletar tetapi hampir keseluruhan

rakyat Indonesia dalam kemiskinan akibat kapitalisme.

Soekarno mendapat istilah Marhaenisme berawal ketika pada suatu hari

saat sedang jalan-jalan di desa Kiduleun Cigereleng, Bandung.36 Ia berjumpa

dengan seorang petani yang sedang mengerjakan sawah kepunyaannya sendiri,

dengan menggunakan alatnya sendiri. Dalam benak Soekarno terbesit jelas bahwa

ia bukan proletar karena tidak menjual tenaganya, walau demikian petani tersebut

hidup dalam kemiskinan. Soekarno menanyakan namanya? Marhaen, jawab si

petani. Setelah peristiwa tersebut, Soekarno mendapatkan ilham untuk

menggunakan namanya untuk menggambarkan penderitaan rakyat Indonesia.37

Dari asal perkataan ini sudah jelas dan nyata bahwa Marhaen adalah kata

pemersatu. Karena di Indonesia yang miskin bukan hanya proletar -yang hanya

menjual tenaga atau jasanya- tetapi orang yang memiliki tempat pun termasuk.

Entah ia sebagai petani, buruh, nelayan, pegawai, sarjana, maupun dokter, selama

ia dalam keadaan miskin maka ia adalah marhaen. Dalam pembelaannya,

Soekarno memakai istilah Marhaenisme dengan makna yang lebih luas.

Marhaenisme disamakan dengan “massaisme” atau kekuatan massa, meski

mereka kecil dalam status dan kepemilikan, namun mereka besar dalam jumlah

yang bila disatukan bisa menjadi kekuatan besar melawan kolonialisme.

“Pergaulan hidup merk marhaen, - pergaulan hidup yang sebagian besar sekali adalah terdiri kaum tani kecil, kaum buruh kecil, kaum pedagang

36 Herbert Feith dan Lance Castles (ed), Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965 (Jakarta:

LP3ES, 1988), h. 143. Ada pula yang mengatakan percakapan ini tidak pernah terjadi. Lihat John D. Legge, Sukarno; Sebuah Biografi Politik, penterjemah; tim PSH (Jakarta: Sinar Agape Press, 1985), h. 90.

37 Bernhard Dahm, Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan, penerjemah; Hasan Basari (Jakarta: LP3ES, 1987), h.175.

Page 19: Pemikiran Soekarno Tentang Marhaenisme

kecil, kaum pelajar kecil, pendek kata : . . . . kaum kromo dan kaum marhaen yang apa-apanya semua kecil.”38

Kaum marhaen bukan hanya kaum buruh, melainkan juga petani kecil,

pedagang kecil dan pelajar kecil. Bahkan, dalam perkembangannya kaum

marhaen bukan hanya kaum kecil atau kaum melarat saja. Setelah Marhaenisme

dijadikan asas oleh Partindo, orang yang disebut marhaenis adalah tiap-tiap orang

bangsa Indonseia yang menjalankan Marhaenisme.

2. Konsep Dasar Marhaenisme

Ide yang mendasari Soekarno dalam merumuskan Marhaenisme diawali

dari penelusuran historis yang dialami pada saat itu, yaitu kolonialisme Belanda

yang menurut Soekarno menyebabkan kesengsaraan rakyat dan kemajemukkan

masyarakat Indonesia dalam suku, budaya, agama maupun aliran-aliran politik.39

Dari penelusuran historis tersebut membuat Soekarno mencari cara bagaimana

mempersatukan masyarakat Indonesia yang majemuk tersebut. Mengenai

banyaknya aliran politik yang terjadi pada saat itu, Soekarno menawarkan jalan

keluar yaitu dengan ide menyatukan aliran-aliran tersebut dengan ide NASAKOM

(Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme). Soekarno menawarkan ide tersebut

dikarenakan masing-masing aliran memiliki tujuan yang sama namun berjuang

sendiri-sendiri.

Berdasarkan dari penelusuran historis tersebut, Soekarno berupaya untuk

menggalang rasa sentimen kebangsaan rakyat Indonesia yang pada saat itu

tercerai berai. Dimulai dengan menawarkan ide tentang nasionalisme serta

38 Soekarno, Indonesia Mengugat (Jakarta: S.K. Seno, 1956), h. 137. 39 Ayub Ranoh, Kepemimpinan Kharismatis; Tinjauan Teologis-Etis atas Kepemimpinan

Kharismatis Soekarno (Jakarta: Gunung Mulia, 2000), h. 41.

Page 20: Pemikiran Soekarno Tentang Marhaenisme

merumuskan model nasionalisme yang sesuai dengan kondisi Indonesia. Konsep

nasionalisme Soekarno sangat dipengaruhi oleh pemikiran Ernest Renan (1882)

dengan pendapatnya tentang bangsa. Menurut Renan bangsa adalah ada suatu

nyawa, suatu azas-akal, yang terjadi dari dua hal:

1. Rakyat itu dari awal harus bersama-sama menjalani suatu riwayat.

2. Rakyat itu sekarang harus mempunyai kemauan, keinginan hidup menjadi

satu. Bukan sekedar jenis ras, bahasa, agama, persamaan kebutuhan dan

batas-batas negeri yang menjadi bangsa.40

Nasionalisme Soekarno berawal dari suatu bangsa, yaitu rakyat.

Pengertian rakyat dalam konsep bangsa di atas adalah sekumpulan manusia yang

secara historis mempunyai kesamaan riwayat, kemauan dan keinginan untuk

menjadi satu.

Penekanan dalam konsep nasionalisme Soekarno, yaitu tentang kesadaran

akan nasib. Apa yang diinginkan oleh Soekarno adalah adanya perubahan nasib

dari bangsa yang tertindas dan terjajah menjadi bangsa yang merdeka dan

memiliki harga diri.41

“Nasionalisme adalah suatu itikad, suatu keinsyafan rakyat, bahwa rakyat itu adalah satu golongan, satu bangsa.... Rasa nasionalistis itu akan menimbulkan suatu rasa percaya akan dirinya sendiri, rasa yang mana adalah perlu sekali untuk mempertahankan diri di dalam perjuangan menempuh keadaan-keadaan yang mau mengalahkan kita.”42

40 Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi (Panitya Penerbit Di Bawah Bendera Revolusi,

1963), h. 3. 41 Yulianto Sigit Wibowo, Marhaenisme; Ideologi Perjuangan Soekarno (Yogyakarta:

Buana Pustaka, 2005), h. 37. 42 Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, h. 3.

Page 21: Pemikiran Soekarno Tentang Marhaenisme

Di atas disebutkan bahwa nasionalisme adalah keinsyafan (kesadaran)

rakyat. Untuk menyadarkan dan membangkitkan rakyat, Soekarno menyebutkan

ada tiga cara yaitu:

1. Menunjukkan kepada rakyat, bahwa mereka punya masa lalu

adalah masa lalu yang indah.

2. Membangkitkan kesadaran rakyat, bahwa mereka punya masa kini

adalah masa kini yang gelap.

3. Memperlihatkan kepada rakyat sinarnya masa depan yang berseri-

seri dan terang, serta cara mendatangkan masa depan yang penuh

dengan janji-janji itu.43

Dari pengertian nasionalisme di atas, Ruslan Abdulgani merumuskan tiga

aspek nasionalisme Indonesia. Pertama, aspek politik, bersifat menumbangkan

dominasi politik bangsa asing untuk menggantikannya dengan suatu sistem

pemerintahan yang demokratis. Kedua, aspek sosial-politik, bersifat

menghentikan eksploitasi ekonomi asing, dan membangun masyarakat baru yang

bebas dari kemelaratan dan kesengsaraan. Ketiga, aspek kultural, bersifat

menghidupkan kembali kepribadian bangsa Indonesia yang disesuaikan dengan

perkembangan jaman.44 Dari konsep nasionalisme tersebut, Soekarno merasa

perlu adanya ideologi yang mampu menjembatani antara ide tentang negara yang

diinginkan oleh rakyat Indonesia dengan realitas masyarakat Indonesia. 45

Nasionalisme Soekarno yang disebut sebagai sosio-nasionalisme. Sosio-

nasionalisme diambil dari kata sosio yang berarti masyarakat dan nasionalisme

yang berarti perasaan yang mengikat atas dasar kesamaan asal-usul, rasa memiliki

43 Soekarno, Indonesia Mengugat, h. 118. 44 Ruslan Abdulgani, Negara dan Dasar Negara (Jakarta: Penerbit Endang, 1957), h. 40. 45 Wibowo, Marhaenisme; Ideologi Perjuangan Soekarno, h. 41.

Page 22: Pemikiran Soekarno Tentang Marhaenisme

hubungan yang erat. Jadi sosio-nasionalisme adalah nasionalisme masyarakat,

nasionalisme yang mencari keselamatan seluruh masyarakat dan bertindak sesuai

dengan keadaan masyarakat tersebut. Nasionalisme Soekarno adalah nasionalisme

yang sadar akan keadaan masyarakat yang menderita karena penindasan

imperialisme dan sadar akan keharusan menentang dan meruntuhkannya agar

dapat mendirikan suatu masyarakat baru yang adil dan makmur tanpa penderitaan,

serta bersandarkan atas azas perikemanusiaan.46

Sosio-nasionalisme ini merupakan prinsip awal Marhaenisme. Konsep ini

digunakan pada masa perjuangan dan prinsip kedua adalah sosio-demokrasi di

mana konsep ini digunakan setelah Indonesia merdeka, sosio-demokrasi bukan

hanya demokrasi politik yang menitikberatkan pada kekuasaan kelembagaan

melainkan juga mencakup bidang ekonomi yang menekankan bahwa setiap warga

negara memiliki hak, kewajiban dan perlakuan yang sama dalam bidang ekonomi.

Kedua prinsip tersebut tidak dapat dipisahkan dan saling berhubungan. Konsep

sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi kemudian dalam kongres Partindo 1933

dijadikan sinonim dari istilah Marhaenisme.

Soekarno memberi penegasan terhadap konsep sosio-nasionalisme dan

sosio-demokrasi, yakni membebaskan seluruh rakyat Indonesia dari belenggu

kemiskinan dan kesengsaraan.

“Sosio-nasionalisme adalah nasionalisme marhaen, dan menolak tiap tindak borjuisme yang menjadi sebabnya kepincangan masyarakat itu. Jadi: sosio-nasionalisme adalah nasionalisme politik dan ekonomi – suatu nasionalisme yang bermaksud mencari keberesan politik dan keberesan ekonomi, keberesan negeri dan rezeki..... Sosio-demokrasi adalah timbul karena sosio-nasionalisme.”47

46 Sastroamidjojo, Dasar-Dasar Pokok Marhaenisme, h. 26. 47 Soekarno, Indonesia Mengugat, h. 175

Page 23: Pemikiran Soekarno Tentang Marhaenisme

Konsep Marhaenisme yang merupakan sinonim dari konsep sosio-

nasionalisme dan sosio-demokrasi merupakan dasar sendi sistem pemerintahan

yang bukan hanya memiliki ciri demokrasi dalam bidang politik saja, melainkan

juga mencakup sendi demokrasi ekonomi. Konsep ini membedakan sistem

demokrasi Barat yang hanya mencakup sendi politik saja dengan sistem

demokrasi yang diinginkan oleh Marhaenisme Soekarno.

Ide sentral dari Marhaenisme yang mencakup aspek demokrasi politik dan

ekonomi, sama halnya dengan ide sentral yang terkandung dalam tema demokrasi,

yaitu partisipasi rakyat. Dalam demokrasi politik dituntut tersedianya ruang bagi

rakyat untuk terlibat dan berpartisipasi dalam sistem politik, sama halnya dengan

demokrasi ekonomi, Soekarno mensyaratkan dilibatkannya partisipasi rakyat

dalam sistem ekonomi. Partisipasi rakyat yang terangkan dalam demokrasi sendiri

telah memberikan arti pada pemanfaatan secara optimal segenap potensi rakyat

dalam segi politik maupun segi ekonomi. Pengelolaan potensi ekonomi yang

bertujuan untuk menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia ini

dikelola dengan sistem padat karya. 48

C. Sejarah Kelahiran dan Perkembangan Marhaenisme

Pada tahun 1920-an kehidupan ekonomi di Indonesia masih bergantung

pada pertanian dan pekebunan. Belum banyak industri berdiri dan belum banyak

kaum buruh miskin. Untuk menggerakkan revolusi di Indonesia tidak mungkin

mengandalkan kaum buruh yang jumlahnya hanya sedikit. Soekarno menemukan

cara untuk menggerakkan revolusi setelah menemukan seorang petani yang

48 Wibowo, Marhaenisme; Ideologi Perjuangan Soekarno, h. 66.

Page 24: Pemikiran Soekarno Tentang Marhaenisme

bernama Marhaen. Petani tersebut memiliki lahan, memiliki alat dan bekerja

untuk dirinya sendiri, namun kehidupannya masih miskin. Banyak rakyat miskin

yang ditemui Soekarno adalah orang-orang yang berkehidupan miskin seperti pak

Marhaen. Soekarno menamakan kelompok ini sebagai kelompok Marhaen. Dan

Soekarno berpendapat bahwa perubahan akan berhasil jika Marhaen bersatu.49

Marhaenisme lahir sebagai suatu ajaran tentang azas dan cara perjuangan

rakyat Indonesia dari masyarakat kolonial. Lahirnya Marhaenisme ketika

pergerakan kemerdekaan nasional seolah-olah dilumpuhkan oleh imperialisme

Belanda. Pergerakan kemerdekaan nasional seluruhnya terkena tindakan keras

Belanda, setiap pemimpin baik itu nasionalis maupun Islam dicurigai, dipersempit

langkahnya dan ditangkapi.

Dengan menggunakan teori dialektika Marxisme, Soekarno menemukan

bahwa adanya pertentangan antara dua kekuatan, yaitu pertentangan antara yang

terjajah dengan yang menjajah. Pertumbuhan dan perkembangan imperialisme di

Indonesia yang menyebabkan penderitaan rakyat. Soekarno berpendapat bahwa

rakyat Indonesia dapat menghentikan penderitaan tersebut dengan melakukan

perlawanan dengan membentuk kekuatan dalam suatu organisasi dan ruh dari

pembentukan kekuatan rakyat itu adalah nasionalisme.50

Rakyat Indonesia yang pada waktu itu sudah bergerak belum dapat

memformulasikan secara tegas makna dan tujuan dari nasionalisme Indonesia

tersebut. Pada pertengahan tahun 1927 tepatnya pada tanggal 4 Juli 1927 akhirnya

ketegasan itu tercapai. Ketegasan formulasi tentang azas dan cara perjuangan

49 Darmawan, Soekarno Bapak Bangsa Indonesia (Bandung: Hikayat Dunia, 2005), h.

119. 50 Sastroamidjojo, Dasar-Dasar Pokok Marhaenisme, h. 25.

Page 25: Pemikiran Soekarno Tentang Marhaenisme

tersebut tercapai dengan lahirnya Marhaenisme dan Partai Nasional Indonesia

(PNI).51

Tuntutan perbaikan nasib rakyat menggerakkan hatinya. Dalam

karangannya yang berjudul Mencapai Indonesia Merdeka, Soekarno berkata:

“Kita bergerak karena kesengsaraan kita, kita bergerak karena ingin hidup yang lebih layak dan sempurna. Kita bergerak tidak karena “ideal” saja, kita bergerak karena ingin cukup makanan,ingin cukup perumahan, ingin cukup pendidikan, ingin cukup minimum seni dan kultur, -pendek kata kita bergerak karena ingin perbaikan nasib di dalam segala bagian-bagian dan cabang-cabangnya.”52

1. Marhaenisme dan Pancasila

Formulasi tentang Marhaenisme selanjutnya mendapat penjelasan secara

detail dan luas dalam konsep ideologi yang kemudian dinamakan oleh Soekarno

sebagai Pancasila. Dalam pidatonya di hadapan BPUPKI tanggal 1 Juni 1945,

Soekarno menawarkan gagasan ideologi yang berisi lima prinsip dasar yaitu:

1. Kebangsaan Indonesia

2. Internasionalisme (Peri kemanusiaan)

3. Mufakat (Demokrasi)

4. Kesejahteraan Sosial

5. Menyusun Indonesia merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan

Yang Maha Esa53

Dalam perumusan Pancasila, Soekarno dipengaruhi oleh banyak tokoh dan

diantaranya adalah A. Baars, seorang sosialis yang ditemui Soekarno pada saat

51 Sastroamidjojo, Dasar-Dasar Pokok Marhaenisme, h. 24. 52 Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, h. 280. 53 Soekarno, “Lahirnya Pancasila” dalam Pancasila dan Perdamaian Dunia (Jakarta:

Idayu Press, 1985), h. 19.

Page 26: Pemikiran Soekarno Tentang Marhaenisme

masih sekolah HBS di Surabaya. Baars menyarankan agar tidak berpaham

kebangsaan, tetapi berpaham rasa kemanusiaan sedunia. Pertemuan itu terjadi

pada tahun 1917. Namun pada tahun 1918, Soekarno terpengaruh –diperingatkan-

oleh Dr. Sun Yat Sen dalam tulisannya “San Min Chu I” atau “The Three

People’s Principles”, yang membongkar saran dari A. Baars mengenai untuk

tidak berpaham kebangsaan.54

Pada sila Kebangsaan Indonesia berarti suatu kebangsaan yang luas, bukan

kebangsaan yang chauvinisme, melainkan kebangsaan yang menuju persatuan

dunia dan persaudaraan dunia. Peri kemanusiaan dalam sila kedua mengandung

arti bahwa bangsa Indonesia hendak hidup berdampingan dengan seluruh bangsa

di dunia atau internasionalisme. Internasionalisme ini akan hidup jika

bersandarkan nasionalisme yang luas dan berdasarkan peri kemanusiaan. 55

Pada sila ketiga yaitu demokrasi berarti demokrasi dalam segala bidang

kehidupan rakyat dan tidak berdasarkan keputusan mayoritas melainkan

musyawarah untuk mufakat. mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan.

Bangsa Indonesia bukan negara untuk satu golongan. Dengan cara mufakat, kita

memperbaiki segala hal, juga kselamatan agama, yaitu dengan jalan pembicaraan

atau permusyawaratan di dalam badan perwakilan rakyat.56 Prinsip ketiga,

permufakatan, perwakilan, di situlah kita mempropagandakan ide kita masing-

masing dengan cara yang tidak onverdraagzaam, yaitu cara yang berkebudayaan.

Sila keempat merupakan tujuan dari sila ketiga yaitu untuk kesejahteraan

sosial. prinsip tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka. Untuk

54 Soekarno, Pancasila dan Pedamaian Dunia, h. 14. 55 Sastroamidjojo, Dasar-Dasar Pokok Marhaenisme, h. 40. 56 Soekarno, Pancasila dan Pedamaian Dunia, h. 15.

Page 27: Pemikiran Soekarno Tentang Marhaenisme

menuju kesejahteraan perlu adanya dewan pewakilan. Di Eropa ada demokrasi

parlementer. Menurut Jean Jaures; di dalam Parlementaire Democratie, tiap-tiap

orang mempunyai hak yang sama. Hak politik yang sama, tiap orang dapat

memilih, dan dapat masuk dalam parlemen. Tetapi tidak ada Sociale

Rechtvaardigheid –kesejahteraan sosial-. Jika kita mencari demokrasi, jangan

demokrasi barat. Tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politiek-

ekonomische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial.57 Dan

yang terakhir sila ketuhanan menghendaki tiap-tiap warga menyembah Tuhan-nya

dengan leluasa dan tidak ada paksaan. hendaknya menyusun Indonesia Merdeka

dengan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Negara yang tiap-tiap orangnya

dapat menyembah Tuhannya dengan leluasa. Prinsip yang kelima ialah ketuhanan

yang berkebudayaan –ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, ketuhanan

yang menghormati satu sama lain-.58

Kelima prinsip di atas kemudian dinamakan sebagai Pancasila. Namun

dalam kesempatan tersebut, Soekarno tidak menawarkan permanen. Konsep ini

masih terbuka untuk dirubah, dan untuk perubahan tersebut Soekarno

menawarkan konsep Trisila yang secara substansial merupakan kristalisasi dari

konsep Pancasila, yakni sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan ketuhanan.59

Menurut Soekarno, prinsip kebangsaan Indonesia dan internasionalisme

bisa disatukan menjadi konsep sosio-nasionalisme, prinsip mufakat dan

kesejahteraan bisa disatukan menjadi konsep sosio-demokrasi, sedangkan prinsip

Ketuhanan Yang Maha Esa berdiri sendiri. Konsep trisila ini sama dengan konsep

Marhaenisme – sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi - yang ditambah dengan

57 Soekarno, Pancasila dan Pedamaian Dunia, h. 17-18. 58 Soekarno, Pancasila dan Pedamaian Dunia, h. 19. 59 Soekarno, Pancasila dan Pedamaian Dunia, h. 21.

Page 28: Pemikiran Soekarno Tentang Marhaenisme

Ketuhanan Yang Maha Esa.60 Konsep ini diungkapkan oleh Soekarno dalam

pernyataannya:

“atau barangkali ada saudara-saudara yang tidak suka akan bilangan lima itu? Saya boleh peras sehingga tinggal tiga saja..... Dua dasar yang pertama, kebangsaan dan internasionalisme, kebangsaan dan peri kemanusiaan, saya peras menjadi satu: itulah yang dahulu saya namakan sosio-nasionalisme..... Demokrasi dengan kesejahteraan, saya peraskan pula menjadi satu. Inilah yang dahulu saya namakan sosio-demokrasi...... Tinggal lagi ketuhanan yang menghormati satu sama lain. Jadi yang asalnya lima itu telah menjadi tiga: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi dan ketuhanan.”61

Tawaran Soekarno tersebut selanjutnya dibahas oleh ‘Panitia Sembilan’

yang terdiri dari Soekarno, Moh. Hatta, AA Maramis, Abikusno Tjokrosujoso,

Abdul Kahar Muzzakir, Haji Agus Salim, Ahmad Subardjo, Wahid Hasyim, dan

Muh. Yamin. Hasil pembahasan ini kemudian dikenal dengan sebutan Piagam

Jakarta yang diselesaikan pada tanggal 22 Juni 1945. dalam dokumen ini

ditetapkan sebagai berikut:

1. Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi

pemeluk-pemeluknya

2. (Menurut dasar)kemanusiaan yang adil dan beradab

3. Persatuan Indonesia

4. (Dan) kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

permusyawaratan perwakilan

5. (Serta dengan mewujudkan suatu) keadilan sosial bagi seluruh

rakyat Indonesia62

Dalam perkembangannya rumusan Piagam Jakarta tersebut mengalami

perubahan dan disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)

60 Wibowo, Marhaenisme; Ideologi Perjuangan Soekarno, h. 67. 61 Sastroamidjojo, Dasar-Dasar Pokok Marhaenisme, h. 41. 62 Wibowo, Marhaenisme; Ideologi Perjuangan Soekarno, h. 68.

Page 29: Pemikiran Soekarno Tentang Marhaenisme

pada tanggal 18 Agusus 2006 sebagai dasar negara Republik Indonesia yang

diproklamasikan kemerdekaannya oleh Soekarno dan Moh. Hatta. Rumusan

tersebut yang tetap bernama Pancasila itu adalah:

1. Ketuhanan Yang Maha Esa

2. Kemanusiaan yang adil dan beradab

3. Persatuan Indonesia

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

permusyawaratan/perwakilan

5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Setelah melalui pergulatan pemikiran yang panjang dan lama dari sejak

lahirnya Marhaenisme pada 4 Juli 1927, serta didiskusikan secara panjang dan

lebar, jelaslah bahwa gagasan tentang pokok-pokok dasar Pancasila sudah ada.

Page 30: Pemikiran Soekarno Tentang Marhaenisme

BAB IV

PEMIKIRAN SOEKARNO TENTANG MARHAENISME

D. Sembilan Tesis Marhaenisme

Dalam menjelaskan Marhaen dan Marhaenisme, Sukarno membuat tesis-

tesis yang kemudian dalam konferensi Partindo di Jogjakarta pada awal tahun

1933 menetapkan dan mendeklarasikannya. Tesis-tesis yang ditetapkan dan

dideklarasikan antara lain sebagai berikut: 63

1. Marhaenisme, yaitu sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi.

Dalam kalimat tesis pertama dapat dijelaskan bahwa Marhaenisme terjadi

dari dua bagian tersebut, yaitu sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Kedua

bagian tersebut dapat dibeda-bedakan, tetapi tidak dapat dipisah-pisahkan. Kedua

bagian tersebut menunjukkan bahwa untuk melaksanakan Marhaenisme harus

melalui dua fase, yaitu fase sosio-nasionalisme, yang berlaku dalam zaman

penjajahan. Sedangkan fase sosio-demokrasi, adalah teori perjuangan yang harus

dilaksanakan setelah zaman penjajahan berakhir, dan kaum Marhaen telah berada

dalam keadaan merdeka, untuk membangun masyarakat yang bebas dari

kesengsaraan lahir dan bathin.64 Sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi, seperti

yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya merupakan konsep dasar dari

Marhaenisme.

Sosio-nasionalisme adalah nasionalisme kaum Marhaen yang tujuannya

tidak hanya mencapai Indonesia Merdeka, tetapi juga agar di dalam Indonesia

63 Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi (Panitya Penerbit Di Bawah Bendera Revolusi, 1963), h. 253.

64 Asmara Hadi (H.R.), Sembilan Tesis Marhaenisme dan Penjelasan Singkatnya (Jakarta: P.B. Partindo, 1958), h. 4.

Page 31: Pemikiran Soekarno Tentang Marhaenisme

Merdeka itu disusun masyarakat sosialis. Sosio-demokrasi dibuat untuk

membedakan dengan demokrasi borjuis atau demokrasi liberal yang hanya

berlaku di dalam politik tetapi tidak berlaku di dalam ekonomi. Sosio-demokrasi

menghendaki demokrasi politik dan demokrasi ekonomi, yakni saat kaum

Marhaen berkuasa tidak hanya mengatur undang-undang pemerintahan melainkan

juga harus berkuasa mengatur ekonomi, produksi dan distribusi.

Sosio-demokrasi menginginkan tiap-tiap pergaulan hidup itu harus tumbuh

menurut keadaannya. Tiap-tiap orang — menurut kaum sosial-demokrat — yang

hidup di dalam suatu masyarakat itu adalah jadi anggota masyarakat itu dan oleh

karena itu ia berhak mengeluarkan pikirannya, kemauannya dan cita-citanya

tentang cara-cara masyarakat itu diatur.65

2. Marhaen yaitu kaum proletar Indonesia, kaum tani Indonesia yang

melarat dan kaum melarat Indonesia yang lain-lain.

Dari kalimat tesis kedua dapat kita ketahui bahwa Marhaen adalah nama

kolektif yang diberikan oleh Sukarno untuk menyatukan rakyat yang sengsara

akibat kapitalisme. Dan dari kalimat di atas dapat dijelaskan bahwa Marhaen itu

terdiri dari tiga elemen, yaitu:

a. Kaum proletar atau biasa disebut kaum buruh, yaitu orang yang tidak

memiliki alat produksi atau alat lainnya untuk bekerja. Mereka hanya

menjual tenaganya untuk mendapatkan upah.

b. Kaum tani melarat, mereka adalah petani-petani Indonesia yang

mempunyai sedikit tanah, memiliki alat produksi dan bekerja pada

65 Soekarno, “Tulisan Soekarno: Perbedaan Asas Sosio-Demokrat dan Komunis” artikel

diakses tanggal 7 Februari 2007 dari Http://id.wikisource.org/wiki/Tulisan Soekarno: Perbedaan Asas Sosio-Demokrat dan Komunis

Page 32: Pemikiran Soekarno Tentang Marhaenisme

tanahnya sendiri, namun hasil dari pertanian tersebut tidak dapat

mencukupi keperluannya. Posisi kaum tani melarat ini adalah semi

proletar.

c. Kaum melarat yang lain, mereka adalah orang yang tidak menjadi buruh

dan tidak pula memiliki tanah untuk dikerjakan. Mereka adalah para

nelayan, pedagang, dan sebagainya.66

Pada awalnya kaum proletar yang dibutuhkan oleh imperialisme dan

kapitalisme di Indonesia adalah kaum proletar kasar yang hanya mengandalkan

otot atau tenaga saja. Kemudian setelah kapitalisme internasional memerlukan

tenaga yang bekerja dengan otak, maka timbullah kaum proletar baru, yaitu

proletar intelek yang bekerja dengan pena, dan kertas. Kaum ini berasal dari

golongan feodal dan borjuis, karena hanya kedua golongan tersebut saja yang

sanggup menyekolahkan anak-anaknya sampai sekolah tinggi.67

3. Partindo memakai perkataan Marhaen, dan tidak proletar, oleh

karena perkataan proletar sudah termaktub di dalam perkataan Marhaen, dan oleh

karena perkataan proletar itu bisa juga diartikan bahwa kaum tani dan lain-lain

kaum yang melarat tidak termaktub di dalamnya.

4. Karena Partindo berkeyakinan bahwa di dalam perjuangan, kaum

melarat Indonesia lain-lain itu yang harus menjadi elemen-elemennya (bagian-

bagiannya), maka Partindo memakai perkataan Marhaen itu.

Dalam kalimat dalam tesis ketiga dan keempat menjelaskan bahwa

Partindo sebagai partai yang menjadikan Marhaenisme sebagai asasnya.

66 Hadi (H.R.), Sembilan Tesis Marhaenisme, h. 10-11. 67 Hadi (H.R.), Sembilan Tesis Marhaenisme, h. 13.

Page 33: Pemikiran Soekarno Tentang Marhaenisme

5. Di dalam pejuangan Marhaen itu maka Partindo berkeyakinan,

bahwa kaum proletar mengambil bagian yang besar sekali.

Tentang kalimat pada tesis kelima Sukarno menjelaskan sebagai berikut:

“Kalimat ini saja sudahlah membuktikan, bahwa cara perjuangan yang dimaksud adalah cara perjuangan yang tidak ngalamun, cara perjuangan yang rasional, cara pejuangan yang ‘menurut kenyataan’, cara perjuangan yang modern. Sebab apa yang dikatakan disitu? Yang dikatakan disitu ialah, bahwa di dalam perjuangan Marhaen, kaum proletar mengambil bagian yang besar sekali”68

Kata kaum proletar mengambil bagian yang besar sekali inilah yang

menunjukkan kemodernan dan kerasionalan tesis kelima, karena kaum proletarlah

yang lebih hidup dalam ideologi modern, kaum proletar adalah kelas yang lahir

dari kapitalisme. Mereka lebih jelas pikirannya dan nilai perlawanannya terhadap

kapitalisme dan imperialisme lebih besar daripada perlawanan dari golongan-

golongan yang lain. Oleh karena berdasarkan kuantitas kaum tani lebih besar

jumlahnya, namun pada umumnya sebagian dari diri kaum tani masih berada pada

ideologi feodalisme, kaum tani kita masih mengagung-agungkan ningratisme,

masih mengandalkan kekuatan gaib. Sedangkan untuk menjatuhkan imperialisme

dan kapitalisme ideologi modern sangat dibutuhkan.69 Dari tesis ini dapat

dikatakan bahwa kaum proletar sebagai pelopor revolusioner atau pemimpin

sedangkan kaum yang lain sebagai grassroot.

6. Marhaenisme adalah azas yang menghendaki susunan masyarakat

dan susunan negeri yang di dalam segala halnya menyelamatkan Marhaen.

Dari tesis keenam dapat dijelaskan bahwa Marhaenisme adalah azas untuk

menyusun masyarakat dan negara. Azas atau prinsip adalah pegangan yang terus

68 Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, h. 254. 69 Hadi (H.R.), Sembilan Tesis Marhaenisme, h. 14-15.

Page 34: Pemikiran Soekarno Tentang Marhaenisme

menentukan sikap dan perbuatan. Azas tidak boleh dilepas, azas tidak boleh

dilepas walau telah sampai pada Indonesia Merdeka. Justru pada saat di dalam

Indonesia Merdeka itulah azas harus dilaksanakan, karena azaslah yang akan

menjawab setiap pertanyaan bagaimana seharusnya pemerintahan, susunan

ekonomi di dalam Indonesia Merdeka.70 Azas Marhaenisme tersebut adalah apa

yang telah disebutkan dalam tesis pertama yaitu sosio-nasionalisme dan sosio-

demokrasi.

7. Marhaenisme adalah pula cara perjuangan untuk mencapai susunan

masyarakat dan susunan negeri yang demikian itu, yang oleh karenanya, harus

dengan cara perjuangan revolusioner.

Dari tesis ketujuh mengandung pengertian bahwa Marhaenisme bukan

hanya azas untuk menyusun tatanan masyarakat dan negara, melainkan juga

sebagai azas perjuangan.

Untuk menjatuhkan imperialisme internasional yang menguasai Indonesia

diperlukannya azas perjuangan, dan azas perjuangan yang ditetapkan adalah:

pertama, nonkooperasi, yakni tidak ikut serta dalam segala aktifitas yang

membantu pemerintahan Belanda. Kedua, penyusunan kekuasaan, penyusunan

kekuasaan atau kekuatan untuk dihadapkan kepada kekuatan imperialisme. Dan

ketiga, massa aksi, perlunya massa aksi untuk meruntuhkan imperialisme.71

Setelah imperialisme dan kapitalisme internasional runtuh dan telah

mencapai Indonesia Merdeka, maka sebagian azas perjuangan tidak diperlukan

lagi yaitu nonkooperasi. Tetapi kedua azas lainnya tetap harus dilaksanakan,

karena dengan kedua azas perjuangan tersebut yaitu penyusunan kekuasaan dan

70 Hadi (H.R.), Sembilan Tesis Marhaenisme, h. 18. 71 Hadi (H.R.), Sembilan Tesis Marhaenisme, h. 19.

Page 35: Pemikiran Soekarno Tentang Marhaenisme

massa aksi digunakan untuk mencegah tumbuhnya sistem kapitalisme di dalam

Indonesia Merdeka.72

8. Jadi Marhaenisme adalah; cara perjuangan dan azas yang

menghendaki hilangnya tiap-tiap kapitalisme dan imperialisme.

Pada tesis kedelapan dijelaskan bahwa Marhaenisme menghendaki

runtuhnya tiap-tiap kapitalisme dan imperialisme. Jadi Marhaenisme

menghendaki segala bentuk kapitalisme, baik itu kapitalisme internasional

maupun kapitalisme bangsa sendiri.

9. Marhaenis adalah tiap-tiap orang bangsa Indonesia yang

menjalankan Marhaenisme.

Tesis yang terakhir adalah tentang marhaenis, dijelaskan bahwa marhaenis

adalah tiap orang warga Indonesia yang menjalankan Marhaenisme. Jadi bukan

keadaan atau situasi yang membuat seorang dianggap sebagai marhaenis.

Banyak kaum marhaen yang bukan marhaenis, karena tidak menjalankan

Marhaenisme. Dan sebaliknya ada pula dari kelas borjuis yang meninggalkan

kelasnya dan masuk ke dalam kelas marhaenis. Mereka yang menjadi marhaenis

dilihat dari faktor karakter dan moral, sebab tanpa karakter dan moral orang dapat

dengan mudah menyimpang dari jalan dan cita-cita yang tadi dijunjung tinggi.73

Faktor karakter membuat seorang setia kepada cita-cita idealnya walau

dihadapkan dengan segala situasi. Dan faktor moral yang merupakan kekuatan

bathin yang membuat kita bersatu dengan anggota masyarakat dan mendorong

kita melakukan perbuatan demi kepentingan umum.

72 Hadi (H.R.), Sembilan Tesis Marhaenisme, h. 22. 73 Hadi (H.R.), Sembilan Tesis Marhaenisme, h. 30.

Page 36: Pemikiran Soekarno Tentang Marhaenisme

E. Marhaenisme Sebagai Kategori Kelas

Istilah kelas memiliki pengertian secara politis seperti saat ini, berawal

dari pokok analisa Marx tentang struktur masyarakat, yang berhasil melakukan

suatu analisis tentang hubungan kelas dan peranan kelas-kelas tertentu dalam

periode sejarah yang silih berganti.

Setiap periode menampilkan suatu kelas progresif dengan kepentingan dan

tindakannya yang tersendiri, yang akan memajukan perkembangan sosial,

sedangkan kelas yang lain yang reaksioner melancarkan perlawanannya terhadap

perkembangan tersebut. Dalam kapitalisme yang menjadi kelas progresif adalah

kaum proletar, sedangkan kelas reaksioner adalah kaum borjuis. Kelas progresif

ini selalu melakukan perlawanan terhadap kelas reaksioner yang merupakan

kelompok hasil gabungan dari kaum feodal, birokrat, militer, agama, dan pemodal

.74

Sama halnya yang terjadi di Indonesia pada masa imperialisme Belanda.

Pemerintah Belanda yang reaksioner tak henti-hentinya menahan dan melawan

setiap langkah-langkah progresif yang dilakukan oleh bangsa Indonesia. Namun

kelas progresif di Indonesia yang melakukan perlawanan terhadap imperialisme

Belanda bukan hanya kelas proletar saja, tetapi juga termasuk kaum tani, kaum

pelajar, dan tokoh-tokoh agama terutama Islam. Melihat fenomena ini, Soekarno

kemudian merumuskan istilah Marhaen yang merupakan kelas progresif

Indonesia.

Kelas progresif dalam Marxisme terjadi karena kontradiksi pada proses

produksi yang kapitalistik, sedangkan kelas progresif di Indonesia dikarenakan

74 Yulianto Sigit Wibowo, Marhaenisme; Ideologi Perjuangan Soekarno (Yogyakarta:

Buana Pustaka, 2005), h. 54.

Page 37: Pemikiran Soekarno Tentang Marhaenisme

kekuatan produksi dan hubungan produksi. Kekuatan produksi rakyat Indonesia

yang melimpah dijalin dalam suatu hubungan produksi yang eksploitatif dan

monopolistik yang mengakibatkan rakyat Indonesia menjadi semakin dirugikan

dan semakin melarat.75 Keberpihakan Marhaenisme pada kaum melarat ini sama

dengan keberpihakan Marxisme.

Kaum marhaen ini terdiri dari tiga unsur, pertama kaum proletar (buruh)

Indonesia, kedua kaum tani Indonesia, dan ketiga kaum melarat Indonesia.

Sedangkan kaum marhaenis adalah setiap pejuang yang mengorganisir kaum

marhaen dengan massa aksi tersebut untuk menghancurkan sistem kapitalisme,

imperialisme, dan kolonialisme, serta bersama-sama membangun negara dan

masyarakat yang kuat, adil dan makmur.76 Istilah melarat menunjukkan bahwa

posisi kaum marhaen berada di level bawah dalam stratifikasi masyarakat.

Dalam wacana politik modern, kelas progresif merupakan sasaran bagi

kelas reaksioner untuk memecah-belah kelas progresif dan kemudian dihancurkan.

Kemungkinan ini kemudian diantisipasi dengan muncul istilah kelas menengah

sebagai identifikasi baru bagi kelas progresif. Kelas progresif ini merupakan

kombinasi dari kelas bawah dan kelas menengah seperti kelompok intelektual

progresf, kelompok agama progresif, dan lain sebagainya.77 Dari penjelasan ini

maka Marhaenisme secara substansial sebenarnya kelas menengah progresif

Indonesia yang berjuang untuk menghapus segala kesengsaraan dan penderitaan

yang diakibatkan oleh sistem kapitalisme.

75 Wibowo, Marhaenisme; Ideologi Perjuangan Soekarno, h. 84. 76 Ruslan Abdulgani, Sosialisme Indonesia (Jakarta: Yayasan Prapantja, 1961), 33. 77 Wibowo, Marhaenisme; Ideologi Perjuangan Soekarno, h. 56.

Page 38: Pemikiran Soekarno Tentang Marhaenisme

F. Marhaenisme Sebagai Ideologi Perjuangan

Secara etimologi (sejarah kata), ideologi berasal dari kata idea yang berarti

pikiran, dan logos yang berarti ilmu. Jadi secara tertulis, ideologi berarti studi

tentang gagasan, pengetahuan kolektif, pemahaman-pemahaman, pendapat-

pendapat, nilai-nilai, prakonsepsi-prakonsepsi, pengalaman-pengalaman, dan atau

ingatan tentang informasi sebuah kebudayaan dan juga rakyat individual.78

Ideologi-ideologi dapat dipandang sebagai artikulasi konseptual dan sikap

pro dan kontra terhadap perubahan dalam proses modernisasi tersebut. Istilah

ideologi pertama kali diperkenalkan oleh Destutt de Tracy (1754-1836) yang

mendefinisikan ideologi sebagai ilmu tentang idea. Ilmu pengetahuan ini memiliki

garapan pada upaya penetapan asal mulanya ide-ide, dalam hal ini ilmu

pengetahuan tersebut harus mengesampingkan prasangka-prasangka metafisika

dan agama. Kemajuan ilmiah hanya dapat dicapai jika ide-ide palsu dapat

dihindarkan. Aliran ideologues dari de Tracy mengikuti tradisi pencerahan Prancis

dalam kepercayaannya bahwa akal adalah alat kebahagiaan yang utama. Di sini

asal mula ideologi mempunyai konotasi positif, yaitu ilmu pengetahuan yang tepat

mengenai, yang mengatasi prasangka-prasangka agama dan metafisika, yang

dapat berguna sebagai basis baru pendidikan rakyat.79

Penilaian negatif terhadap ideologi diluncurkan oleh Vilfredo Pareto

(1848-1923), mengkritik tentang apa yang dimaksud dengan cita-cita luhur atau

78 Admin, “Tentang Ideologi” artikel diakses tanggal 7 Februari 2007 dari

Http://www.marhaenis.org/article.php?story=20060719094154537&query=stratifikasi%2Bmasyarakat

79 Wibowo, Marhaenisme; Ideologi Perjuangan Soekarno, h. 57.

Page 39: Pemikiran Soekarno Tentang Marhaenisme

ideologi adalah sekedar alat perjuangan politik dan sosial yang dalam

kenyataannya tidak lebih dari rasionalisasi pengakuan-pengakuan kekuasaan.

Namun tidak hanya penilaian negatif saja yang melekat pada ideologi, Karl

Mannheim (1893-1947) berpendapat positif, menurutnya wajar jika pemikiran

mengenai realitas sosial bergantung dari kontek sosial dan ditentukan oleh

harapan, kepentingan, dan cita-cita masing-masing kelompok sosial.80

Mannheim menyatakan, jika terjadi krisis dalam masyarakat, maka muncul

dua kekuatan saling bertentangan, yaitu kelompok yang memerintah dan

kelompok yang tertindas. Masing-masing kelompok mempunyai ideologi yang

berbeda, seperti kelompok penguasa mencoba mengurangi konflik dengan

memelihara status quo, perkembangan pemikiran yang selalu sesuai dengan segala

zaman dan selalu sesuai dengan interest unsur yang berkuasa. Sedangkan

kelompok yang tertindas bersifat utopia, di mana selalu tak puas dengan keadaan,

mencari ide baru. Pemikiran selalu terikat kepada orang-orang tertindas.81

Marhaenisme digunakan sebagai azas atau ideologi perjuangan

dipengaruhi oleh marxisme dengan tema perjuangan kelas sebagai aspeknya.

Marxisme dalam perjuangan kelasnya hanya dalam ruang lingkup tertentu saja,

yaitu perjuangan kelas antara kelas proletar dengan kelas kapitalis, sedangkan

dalam Marhaenisme perjuangan kelasnya dalam lingkup yang luas yaitu

perjuangan bangsa, perjuangan terjadi antara bangsa yang terjajah dengan bangsa

yang menjajah. Menurut Soekarno perjuangan kelas yang terjadi di negara yang

terjajah tetap ada namun perjuangan kelas tersebut tertutup dengan perjuangan

80 Frans Magnis Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis (Yogyakarta: Kanisius, 1992), h.

229. 81 Syahrial Syarbaini, M.A., dkk, Sosiologi dan Politik (Jakarta; Ghalia Indonesia, 2002),

h. 106.

Page 40: Pemikiran Soekarno Tentang Marhaenisme

nasional yang lebih penting dan lebih besar.82 Dalam artikelnya “Kapitalis Bangsa

Sendiri” Soekarno menjelaskan bahwa perjuangan yang dilakukan perjuangan

yang mengutamakan perjuangan nasional, perjuangan bangsa.83

Marhaenisme sebagai sebuah dasar gerakan politik yang memuat konsep

masyarakat telah memenuhi syarat untuk disamakan dengan sebuah ideologi.

Sebagai sebuah ideologi, Marhaenisme tak lepas dari kecenderungan yang dialami

oleh setiap ideologi, bahwa suatu saat Marhaenisme akan menghasilkan suatu

kesadaran palsu dan hal itu tidak dapat dihindari. Marhaenisme sebagai ideologi

progresif merupakan suatu ideologi perlawanan terhadap ideologi reaksioner yang

direpresentasikan oleh imperialisme Belanda di Indonesia.

Marhaenisme sebagai sebuah ideologi memuat semangat pembebasan

segala proses dehumanisasi dalam sejarah kemanusiaan dan penindasan dalam

struktur sosial kemasyarakatan. Selain itu, Marhaenisme telah memiliki

seperangkat tatanan lain yang disyaratkan bagi keabsahan sebuah ideologi, yaitu

ajaran dan cara-cara pencapaian.

Cita-cita Marhaenisme bukan hanya sekedar untuk mengusir penjajah

Belanda, tetapi juga menghilangkan ideologi kapitalisme secara keseluruhan baik

itu kapitalisme asing maupun kapitalisme bangsa sendiri. Dalam Marhaenisme,

kapitalisme adalah penyebar kesengsaraan, kemiskinan, peperangan, dan rusaknya

susunan dunia.84 Penolakan terhadap ideologi kapitalisme merupakan hal yang

wajar untuk hampir keseluruhan negara baru. Menurut Lyman Tower Sargent

(1986) alasan penolakan disebabkan pada identifikasi dengan kolonialisme dan

82 Hadi (H.R.), Sembilan Tesis Marhaenisme, h. 6. 83 Asmara Hadi (H.R.), Marhaenisme Adjaran Bung Karno (Jakarta: Partai Nasional

Indonesia, 1961), h. 53. 84 Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, h. 181.

Page 41: Pemikiran Soekarno Tentang Marhaenisme

neokolonialisme. Identifikasi seperti ini mengakibatkan ketakutan yang mendalam

dan negara baru dan negara berkembang cenderung menerima sosialisme.85

Dari pernyataan Sargent bahwa negara baru lebih memilih ideologi

sosialisme dikarenakan banyak negera-negara baru terlahir dari perlawanan

terhadap kolonialisme dan imperialisme yang merupakan turunan dari

kapitalisme. Sosialisme dalam hal ini dianggap sebagai ideologi pembebas dari

belenggu kapitalisme, maka wajar jika Marhaenisme lebih condong ke ideologi

sosialisme.

Marhaenisme sebagai ideologi sosialis diharapkan menjadi pembebas dari

segala kesengsaraan rakyat Indonesia yang diakibatkan oleh imperialisme Belanda

dan Marhaenisme harus mampu menjembatani kesenjangan sosial yang terjadi

serta menjelaskan kondisi sosial masyarakat agar tidak menjadi suatu kesadaran

palsu.86

G. Pola Perjuangan Marhaenisme

Marhaenisme mempunyai tujuan menghapus segala bentuk sistem

kapitalisme, baik itu kapitalisme asing maupun kapitalisme bangsa sendiri. Selain

itu Marhaenisme juga berusaha menghilangkan sifat-sifat sektarianisme yang

lebih mementingkan kepentingan kelas. Hal ini Soekarno memberi penjelasan.

“.... Kita harus anti segala kapitalisme, walaupun kapitalisme bangsa sendiri. Tetapi di situ saya janjikan pula untuk menerangkan, bahwa kita di dalam perjuangan kita mengejar Indonesia Merdeka itu tidak pertama-tama mengutamakan perjuangan kelas, tetapi harus mengutamakan perjuangan nasional.”87

85 Wibowo, Marhaenisme; Ideologi Perjuangan Soekarno, h. 60. 86 Wibowo, Marhaenisme; Ideologi Perjuangan Soekarno, h. 61. 87 Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, h. 183.

Page 42: Pemikiran Soekarno Tentang Marhaenisme

Sebagai kekuatan politik, Marhaenisme memiliki pola perjuangan yang

bersifat non-kooperatif, yakni tidak mau bekerja sama dengan pihak imperialisme

Belanda. Non-kooperatif adalah salah satu azas perjuangan Marhaenisme untuk

mencapai Indonesia Merdeka. Di dalam perjuangan mencapai Indonesia Merdeka

Soekarno mengingatkan, bahwa adanya pertentangan kebutuhan antara kaum yang

dijajah dan kaum yang menjajah. Non-kooperatif merupakan prinsip Soekarno

dalam setiap gerakan politiknya. Gerakan non-kooperatif yang pertama kali

dilakukan Soekarno ialah tidak menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa

pengantar dalam berpidato.

“Non-kooperasi kita adalah satu azas perjuangan kita untuk mencapai Indonesia Merdeka. Di dalam perjuangan mengejar Indonesia Merdeka kita harus senantiasa ingat, bahwa adalah pertentangan antara sana dan sisni, antara kaum penjajah dan kaum yang dijajah. Memang pertentangan kebutuhan inilah yang memberi keyakinan kepada kita, bahwa Indonesia Merdeka tidaklah bisa tercapai, jikalau kita tidak menjalankan politik non-cooperation. Memang pertentangan kebutuhan inilah yang buat sebagian besar menetapkan kita punya azas-azas perjuangan yang lain-lain, misalnya machtsvorming, massa aksi dan lain-lain.”88

Non-kooperatif bukan hanya azas perjuangan saja melainkan juga suatu

prinsip yang hidup, yang tidak mau bekerja sama di segala lapangan politik

dengan pihak penjajah. Sedangkan konsep massa aksi ditegaskan sebagai

pergerakan rakyat yang bersifat masif –berjumlah banyak/massal-, dan harus

bersifat radikal.89 Massa aksi berbeda dengan aksi massal, yang membedakannya

adalah sifat radikal revolusioner. Soekarno juga menjelaskan bahwa non-

kooperatif adalah berisi aktifitas dan radikalisme -radikalisme pikiran, semangat,

dan radikalisme dalam segala sikap baik lahir maupun batin yang berdasarkan

88 Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, h. 189. 89 Wibowo, Marhaenisme; Ideologi Perjuangan Soekarno, h. 62-63.

Page 43: Pemikiran Soekarno Tentang Marhaenisme

keyakinan dan kenyataan bahwa pertentangan kebutuhan tidak dapat ditutupi.

Soekarno dalam tulisannya “Non-Cooperation Tidak Bisa Mendatangkan Massa-

Aksi dan Matchsvorming” mengungkapkan sebagai berikut:

“Tjukupkah sekian sahadja keterangan tentang massa-aksi? Tjukupkah keterangan, bahwa massa-aksi ialah pergerakannya rakyat Marhaen yang berdjuta-djuta? Keterangan sekian itu sama sekali belum tjukup! Sebab keterangan kita itu melupakan satu hal lagi, jang sangat sekali penting didalam soal massa-aksi. Keterangan kita itu masih lupa menerangkan, bahwa massa-aksi haruslah bersemangat dan bersepak-terdjan radikal, bersemangat dan bersepak-terdjang revolusioner.” 90

Sikap radikal dan non-kooperatif dipilih oleh Soekarno disebabkan

kecenderungan kelas yang berkuasa tidak akan mau menyerahkan kekuasaannya

dengan suka rela. Untuk merebut suatu kekuasaan haruslah disertai dengan usaha

keras yang tidak mengenal kompromi, dan terus memaksa kelas berkuasa untuk

menyerahkan kekuasaannya dengan massa aksi. Agar massa aksi dapat terkontrol

maka dibutuhkannya machtvorming atau pembentukkan kuasa atau tenaga.

“ Machtvorming adalah berarti vormingnya macht, pembikinan tenaga, pembikinan kuasa. Machtvorming adalah jalan satu-satunya untuk memaksa kaum sana tunduk kepada kita. Paksaan itu adalah perlu oleh karena ‘sana mau ke sana, sini mau ke sini’.”91

Machtvorming atau pembikinan kekuasaan ini merupakan syarat utama

bagi perjuangan mencapai Indonesia merdeka, selain massa aksi dan radikal.

Soekarno berpendapat, bahwa selama rakyat Indonesia belum membuat kekuasaan

(macht) yang kuat, masih terpecah belah, dan masih belum bisa mendorong semua

keinginannya dengan kekuasaan yang teratur dan tersusun, maka selama itu pula

kaum imperialis memandang rendah rakyat Indonesia dan mengabaikan tuntutan-

90 Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, h. 197. 91 Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, h. 297.

Page 44: Pemikiran Soekarno Tentang Marhaenisme

tuntutannya.92 Langkah dalam pembikinan kekuasaan ini dimulai dengan

pembentukan Partai Nasional Indonesia (PNI) sebagai organisasi yang mengontrol

pergerakan.

“.... partai marhaen bermaksud menjadi partai pelopor massa aksi, haruslah mempunyai azas perjuangan yang 100% radikal; antitese, perlawanan zonder damai, kemarhaenan melenyapkan cara susunan masyarakat sekarang, mencapai susunan masyarakat baru.”93

Untuk mewujudkan tujuan politik Marhaenisme, Soekarno telah

menentukan prasyarat yang harus dilalui oleh rakyat Indonesia. Pertama, adanya

kesadaran kelas yang tertindas, dalam hal ini diwakili oleh kelas progresif

Indonesia yakni kaum marhaen. Kedua, kelas progresif tersebut harus bersifat

radikal. Ketiga, kelas progresif yang radikal tersebut harus membuat kekuatan

pemaksa (pressure power) untuk memaksa imperialisme Belanda menyerahkan

kekuasaannya. Dan keempat, kelas progresif radikal tersebut harus bersifat non-

koopertif. Sifat non-kooperatif ini bukan hanya sebagai pola perjuangan saja

melainkan sudah menjadi prinsip perjuangan yang tidak dapat diubah.94

92 Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, h. 297. 93 Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, h. 304. 94 Wibowo, Marhaenisme; Ideologi Perjuangan Soekarno, h. 65.

Page 45: Pemikiran Soekarno Tentang Marhaenisme

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari penjelasan pada bab-bab sebelumnya dapat disimpulkan bahwa:

pemikiran politik Soekarno didasari dari satu central point, yaitu kebenciannya

terhadap kapitalisme, imperialisme dan kolonialisme. Dari pengalaman terjajah

oleh kolonial Belanda memacu semangat perlawanan Soekarno untuk

membebaskan bangsa dan negaranya dari penjajahan sekaligus mengobarkan

semangat nasionalisme yang revolusioner, dan dari teori-teori Marx, Soekarno

mendapat langkah-langkah taktis dan strategis yang dapat dijadikan sebagai

pedoman perjuangan.

Dengan menggunakan metode dialektika Marxisme, Soekarno membuat

konsep untuk dijadikan dasar dan cara perjuangan untuk mencapai Indonesia

merdeka dan masyarakat yang adil dan makmur yaitu Marhaenisme. Marhaenisme

merupakan kajian terhadap fenomena masyarakat Indonesia yang agraris, melihat

pertentangan kelas secara garis besar. Soekarno menjelaskan keadaan masyarakat

Indonesia dan kenyataan yang terjadi bahwa di Indonesia ada penindasan dan

penghisapan oleh kapitalisme, imperialisme dan kolonialisme terhadap rakyat

Indonesia. Kenyataan tersebut menimbulkan pertentangan antara golongan rakyat

Indonesia sebagai keseluruhan dengan golongan imperialisme yaitu penjajah.

Sama halnya dengan Marxisme, Marhaenisme memiliki konsep kelas

progresif. Namun berbeda dengan Marxisme, dalam Marhaenisme kelas

progresifnya terletak pada struktur masyarakat agraris dan cenderung memilih

Page 46: Pemikiran Soekarno Tentang Marhaenisme

metode revolusi atau perubahan nasional daripada perubahan kelas. Revolusi

nasional adalah gerakan kemerdekaan, yaitu suatu tuntutan tegas dari hak rakyat

untuk memerintah sendiri.95

Marhaenisme seperti yang diungkapkan oleh Soekarno dalam Deklarasi

Marhaenisme pada rapat PNI di Makasar tahun 1933, menjelaskan tentang siapa

Marhaen, Marhaenis, dan apa Marhaenisme. Marhaen adalah setiap warga atau

orang-orang yang dimelaratkan oleh kaum imperialisme Belanda. Golongan

Marhaen terdiri dari kaum proletar, kaum tani melarat dan kaum melarat

Indonesia lain seperti nelayan, pedagang, atau bahkan kaum intelek seperti dokter,

mahasiswa dan sebagainya. Sedangkan Marhaenis adalah setiap warga negara

yang menjalankan Marhaenisme.

Dalam perjuangannya, Marhaenisme menggunakan azas atau cara

perjuangan seperti non-kooperatif, yaitu gerakan tidak bekerja sama dalam segala

hal dengan golongan imperialisme Belanda. Massa aksi, yaitu golongan Marhaen

melakukan aksi secara radikal. Hal tersebut dikarenakan imperialisme Belanda

tidak mungkin melepaskan kekuasaannya dengan sukarela. Dan machtvorving

atau pembentukkan kekuasaan merupakan cara perjuangan modern. dengan itu

dibentuknya sebuah partai politik dengan tujuan kemerdekaan Indonesia. Dalam

praktiknya, menurut penulis, Soekarno dalam menjalankan Marhaenisme tidak

sampai pada tujuannya yaitu menuju masyarakat sosial, hanya sampai pada

Indonesia merdeka .

Dalam perkembangannya, nilai-nilai atau prinsip-prinsip Marhaenisme

dijadikan sebagai dasar negara yang hingga saat ini berlaku, yaitu Pancasila.

95 Yulianto Sigit Wibowo, Marhaenisme; Ideologi Perjuangan Soekarno (Yogyakarta:

Buana Pustaka, 2005), h. 90.

Page 47: Pemikiran Soekarno Tentang Marhaenisme

Pokok-pokok dasar Pancasila merupakan gagasan konsep Marhaenisme, yaitu

sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi dengan ketuhanan. Pancasila merupakan

perjuangan Marhaenisme pasca kemerdekaan yang menitikberatkan pada dasar

negara.

B. Saran

Berdasarkan pembahasan yang telah lalu dan dalam kaitannya dengan

penelitian ini yang jauh dari sempurna, penulis mengajukan beberapa saran yang

diharapkan dapat memberi masukan khususnya bagi penulis dan umumnya bagi

yang memperhatikan dan yang ingin melanjutkan penelitian ini:

1. Mencoba mengkaji kembali pemikiran Soekarno tentang Marhaenisme

dalam faktor perkembangannya menjadi dasar negara, yaitu Pancasila.

Marhaenisme secara dialektis menunjukkan adanya hubungan historis

dengan Pancasila. Sebagai pemikiran orisinil dari Indonesia, kajian

terhadap Marhaenisme perlu ditingkatkan intensitasnya dan diharapkan

dapat menunjukkan perkembangan-perkembangan baru.

2. Dalam penelitian ini, penulis banyak mengalami kendala dalam

pencarian data yang hanya ditemukan di perpustakaan nasional.

Diharapkan adanya penambahan buku-buku yang mengkaji tentang

pemikiran Soekarno di perpustakaan Ushuluddin dan Filsafat.

DAFTAR PUSTAKA

Abdulgani, Ruslan. Negara dan Dasar Negara. Jakarta: Penerbit Endang, 1957.

Page 48: Pemikiran Soekarno Tentang Marhaenisme

----------------------. Sosialisme Indonesia. Jakarta: Yayasan Prapantja, 1961.

Anwar, Rosihan. In Memoriam; Mengenang Yang Wafat. Jakarta: Kompas, 2002.

Dahm, Bernhard. Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan, penerjemah; Hasan

Basari. Jakarta: LP3ES, 1987.

Darmawan. Soekarno Bapak Bangsa Indonesia. Bandung: Hikayat Dunia, 2005.

Feith, Herbert dan Castles, Lance, ed. Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965.

Jakarta: LP3ES, 1988.

Hadi (H.R.), Asmara. Marhaenisme Adjaran Bung Karno. Jakarta: Partai Nasional

Indonesia, 1961.

-------------------------. Sembilan Tesis Marhaenisme dan Penjelasan Singkatnya.

Jakarta: P.B. Partindo, 1958.

Isak, Joesoef, ed. 100 Tahun Bung Karno; Sebuah Liber Amicorum. Jakarta:

Hasta Mitra, 2001.

Legge, John D. Sukarno; Sebuah Biografi Politik, penterjemah; tim PSH. Jakarta:

Sinar Agape Press, 1985.

Ranoh, Ayub. Kepemimpinan Kharismatis; Tinjauan Teologis-Etis atas

Kepemimpinan Kharismatis Soekarno. Jakarta: Gunung Mulia, 2000.

Sastroamidjojo, Ali. Dasar-Dasar Pokok Marhaenisme. Jakarta: Partai Nasional

Indonesia, 1961.

Simorangkir, O. P. Renungan Bapak Marhaen Indonesia; Bung Karno. Jakarta:

Univ. Krisnadwipayana, 2002.

Soekarno. Di Bawah Bendera Revolusi. Panitya Penerbit Di Bawah Bendera

Revolusi, 1963.

------------. Indonesia Mengugat. Jakarta: S.K. Seno, 1956.

Page 49: Pemikiran Soekarno Tentang Marhaenisme

------------. Pancasila dan Perdamaian Dunia. Jakarta: Idayu Press, 1985.

Suhartono. Sejarah Pergerakan Nasional : Dari Budi Utomo Sampai Proklamasi

(1908-1945). Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994.

Suseno, Frans Magnis. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta: Kanisius, 1992.

Syarbaini, Syahrial, dkk. Sosiologi dan Politik. Jakarta; Ghalia Indonesia, 2002.

Wibowo, Yulianto Sigit. Marhaenisme; Ideologi Perjuangan Soekarno.

Yogyakarta: Buana Pustaka, 2005.

Admin. “Tentang Ideologi” artikel diakses tanggal 7 Februari 2007 dari

Http://www.marhaenis.org/article.php?story=20060719094154537&quer

y=stratifikasi%2Bmasyarakat

Soekarno. “Tulisan Soekarno: Perbedaan Asas Sosio-Demokrat dan Komunis”

artikel diakses tanggal 7 Februari 2007 dari

Http://id.wikisource.org/wiki/Tulisan Soekarno: Perbedaan Asas Sosio-

Demokrat dan Komunis