pemikir arab sekular
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Pemikir Arab Sekular:Pemikir Arab Sekular:Kasus Konsep Wahyu Kasus Konsep Wahyu
Adnin Armas, M.A.Adnin Armas, M.A.
Mohammed Arkoun: Pendekatan historisitas, sekalipun berasal dari Barat, namun pendekatan
tersebut bukan hanya sesuai untuk warisan budaya Barat saja. Pendekatan tersebut dapat diterapkan
dalam semua sejarah umat manusia. Tidak ada jalan lain dalam menafsirkan wahyu kecuali
menghubungkannya dengan konteks historis.
Mohammed Arkoun
Mohammed Arkoun :
Pendekatan historisitas akan menantang
segala bentuk pensakralan dan
penafsiran transenden yang dibuat teolog
tradisional.
Pendekatan historisitas adalah baik karena membongkar lapisan-lapisan konsep al-
Qur’an yang sudah mengendap lama dalam pandangan geologis kaum Muslim
ortodoks yang membeku.
Mohammed Arkoun :
Konsep al-Qur’an merupakan hasil
rumusan tokoh-tokoh historis, yang
mengangkat statusnya menjadi kitab suci.
Mohammed Arkoun :
Masalah-masalah yang selama ini telah
ditekan, ditabukan, dibatasi, dilarang, dan
semua itu diklaim sebagai sebuah kebenaran, jika
didekonstruksi, maka semua diskursus tadi
akan menjadi diskursus terbuka .
Mohammed Arkoun :
Mohammed Arkoun :Mushaf Utsmani tidak lain hanyalah hasil sosial dan budaya masyarakat yang
dijadikan “tak terfikirkan”
disebabkan semata-mata kekuatan dan
pemaksaan penguasa resmi .
WAHYU
EDISI LANGIT EDISI DUNIA
1Proses Pewahyuan
2Periode penetapan Mushaf (Official Closed Corpus)
3Periode Ortodoks
Mohammed ArkounMohammed Arkoun
Mohammed Arkoun: Al-Qur’an adalah “sebuah korpus yang selesai dan
terbuka yang diungkapkan dalam bahasa Arab, dimana kita tidak dapat mengakses kecuali melalui
teks yang ditetapkan setelah abad ke 4H/10 M.”
Mohammed Arkoun
“ Al-Qur’an adalah ‘produk budaya’ (muntaj thaqafi).
Disebabkan realitas dan budaya tidak bisa dipisahkan dari bahasa manusia, maka al-Qur’an adalah
teks bahasa (nass lughawi). Realitas, budaya, dan bahasa,
merupakan fenomena historis dan mempunyai konteks
spesifikasinya sendiri. Oleh sebab itu, al-Quran adalah teks historis (nas tarikhi). Historisitas teks, realitas dan budaya sekaligus
bahasa, menunjukkan bahwa al-Qur’an adalah teks manusiawi
(nas insani)”.
Nasr Hamid Abu Zayd (l. 1943):
“Kalam Ilahi wujud dalam bahasa manusia, jika tidak,
maka Kalam Ilahi tidak akan dimengerti. Pemikiran Islam
menjadi stagnan karena penekanan yang terlalu
berlebihan kepada dimensi ilahi (divine dimension).
Padahal al-Qur’an adalah kata Muhammad yang
meriwayatkan apa yang beliau katakan adalah Kalam Ilahi”.
Nasr Hamid Abu Zayd (l. 1943):
“ Teks-teks agama
adalah teks-teks bahasa yang
bentuknya sama dengan teks-teks yang
lain di dalam budaya”.
Nasr Hamid Abu Zayd (l. 1943):
“Saya mengkaji al-Qur’an sebagai
sebuah teks berbahasa Arab agar dapat dikaji baik oleh
kaum Muslim, Kristen maupun
Ateis”.
Nasr Hamid Abu Zayd (l. 1943):
"Sesungguhnya, kepercayaan atas wujud
metafisik teks (al-Qur'an) akan
menghapuskan upaya pemahaman yang ilmiah
bagi fenomena teks”.
Nasr Hamid Abu Zayd (l. 1943):
“Bagaimanapun, Kalam Ilahi perlu mengadaptasi diri-dan menjadi manusiawi- karena Tuhan ingin
berkomunikasi kepada manusia. Jika Tuhan berbicara dengan bahasa Tuhan,
manusia sama sekali tidak akan mengerti.”
Nasr Hamid Abu Zayd (l. 1943):
“Teks sejak awal diturunkan -ketika teks diwahyukan dan
dibaca oleh Nabi-, ia berubah dari sebuah teks Ilahi menjadi sebuah
konsep atau teks manusiawi, karena ia berubah dari tanzil menjadi takwil. Pemahaman
Muhammad atas teks mempresentasikan tahap paling
awal dalam interaksi teks dengan akal manusia.”
Nasr Hamid Abu Zayd (l. 1943):