sekularisasi dalam pemikir indonesia 3

23

Click here to load reader

Upload: zane-adrian-abadi

Post on 01-Jul-2015

90 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

By : Adnin Armas, M.A.

TRANSCRIPT

Page 1: Sekularisasi Dalam Pemikir Indonesia 3

PENGARUH PANDANGAN HIDUP BARAT DALAM LIBERALISASI

PEMIKIRAN ISLAM

Adnin Armas, M.A.

Terpengaruh dengan pandangan hidup Barat, para pemikir Liberal telah

merumuskan gagasan-gagasan sekular-liberal yang bertentangan dengan pandangan-

hidup Islam. Mereka menyamakan kebenaran agama pada tingkat esoterisme, menggugat

Mushaf Utsmani dan Syariah, menafikan wujudnya kebenaran yang tunggal, menolak

monopoli otoritas kebenaran dan membenarkan relatifitas penafsiran dan “menuhankan”

Manusia dan “memanusiakan” Tuhan.

1. Membenarkan Semua Agama

Budhy Munawar Rachman, seorang manajer program studi Islam di Yayasan

Paramadina, menolak eksklusifitas kebenaran Islam dan meyakini teologi Pluralis. Ia

meyakini pendapat para sarjana seperti Wilfred Cantwell Smith, John Harwood Hicks,

Paul Knitter, John B. Cobb Jr., Raimundo Panikkar, Frithjof Schuon, Seyeed Hossein

Nasr dan lain lain. Budhy misalnya mengutip pendapat Paul Knitter yang menyatakan All

religions are relative- that is, limited, partial, incomplete, one way looking at thing. To

hold that any religion is intrinsically better than another is felt to be somehow wrong,

offensif, narrowminded…”; Deep down, all religions are the same-different paths leading

to the same goal.”. ; Other religions are equally valid ways to the same truth (John

Hicks); Other religions speak of different but equally valid truths (John B. Cobb Jr.);

Each religion expresses an important part of the truth (Raimundo Panikkar).1

Pemikir lain, seperti Sukidi, kandidat doktor di Universitas Harvard Amerika

Serikat menyatakan: ”…semua agama pada hakikatnya benar, hanya cara mendekati

kebenaran itu sahaja yang menggunakan sekian banyak jalan.” Ia juga memeluk Islam

kerana alasan sosiologis bukan kerana Islam pasti yang paling benar, tapi kerana Islam

juga menyediakan sumber jalan yang sama untuk menuju Tuhan. Jadi, Islam menjadi

sumber yang equal dengan agama-agama lain dalam menunjukkan jalan kepada Tuhan.

1 Budhy Munawar-Rachman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaran Kaum Beriman (Jakarta: Penerbit Paramadina, 2001), xiii.

1

Page 2: Sekularisasi Dalam Pemikir Indonesia 3

Dengan premis itu, proses pencarian kebenaran dari berbagai tradisi agama lain bias

dihargai.2

Pendapat para pemikir liberal dengan mudah dapat ditelusuri dari pemikiran para

sarjana Barat atau para sarjana didikan Barat seperti Rene Guenon, Frithjof Schuon,

Wilfred Cantwell Smith, John Hick dan lain-lain. Salah seorang tokoh Transendentalis,

Frithjof Schuon menegaskan semua agama mengajarkan kepada kebenaran dan kebaikan.

Oleh sebab itu semua agama sama pada tataran esoteris. Sekalipun dogma, hukum, moral,

ritual agama adalah berbeza, namun nun jauh di kedalaman masing-masing agama, ada ‘a

common ground’. Inilah Agama Abadi (Religio Perennis), menurut Frithjof Schuon.3

Pemikiran tentang titik-temu antar agama yang ingin membenarkan semua agama

tidaklah tepat. Sebabnya, tidak semua agama benar. Selain Islam, agama lain tidak

benar. Kesalahan yang ada pada agama selain Islam, bukan hanya diketahui dari ajaran

Islam, namun dapat diketahui juga dari historisitas berbagai agama tersebut. Eksoterisme

dan Esoterisme agama Yahudi-Kristen misalnya, telah dikritik oleh para sarjana Yahudi-

Kristen sendiri.4 Padahal, kitab “suci” agama Yahudi-Kristen sebenarnya memuat

sejumlah permasalahan yang sangat mendasar. Ini sesuai dengan firman Allah SWT:

“Mereka merubah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka melupakan

sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya”.5

Selain itu, titik-temu antar agama juga tidak terjadi pada level esoteris kerana

masing-masing agama memiliki konsep Tuhan yang ekslusif atau berbeza antara satu

sama lain. Pemikiran mengenai titik-temu agama-agama mungkin merupakan

2 http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=8463 Lihat lebih detil pembahasan mengenai konsep kesatuan transendent agama-agama dan teologi pluralis dalam majalah pemikiran dan peradaban Islam, ISLAMIA 1(2004), no. 3 dan 1 (2005), no. 4. 4 Lihat Robert R. Wilson, Sociological Approaches to the Old Testament (Philadelphia: Fortress Press, 1984). Lihat pembahasan Muhammad Mustafa al-Azami mengenai pendapat para sarjana Yahudi-Kristen mengenai Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dalam The History of the Quranic Text from Revelation to Compilation: A Comparative Study with the Old and New Testaments (Leicester: UK Islamic Academy, 2003), muka surat 211-99. Untuk melihat masalah lebih detil dan mendalam mengenai sejumlah permasalahan mendasar dalam Perjanjian Baru, lihat karya Bruce M. Metzger, seorang pakar New Testament dalam The Text of the New Testament; Its Transmission, Corruption and Restoration (Oxford: Oxford University Press, 1968, edisi kedua). Begitu juga karyanya yang lain seperti A Textual Commentary on the Greek New Testament (Stuttgart: United Bible Societies, 1971) dan The Canon of the New Testament: Its Origin, Development and Significance (Oxford: Oxford University Press, 1987). Selain karya-karya tersebut, masih banyak karya lain yang mengkiritisi otentisitas Bibel sebagaimana ditunjukkan oleh pendekatan kritis-historis. Lihat juga misalnya karya Edgard Krentz, The Historical-Critical Method (Philadelphia: Fortress Press, 1975).5 Al-Qur’an surah Al-Maidah (5: 13). Lihat juga surah yang lain seperti: Al-Baqarah (2: 75); Al-Nisa (4: 46); dan al-Maidah (5: 41).

2

Page 3: Sekularisasi Dalam Pemikir Indonesia 3

pengalaman individu-individu tertentu tentang agama-agama. Namun, pengalaman itu

bukanlah agama itu sendiri kerana pengalaman seperti itu tidak dapat diturunkan kepada

masyarakat dan seluruh manusia, namun hanya diraih oleh golongan tertentu. Jadi,

kesatuan transendent (transcendent unity) seperti itu tidak dapat disebut sebagai ‘agama’,

namun hanya merupakan pengalaman keagamaan (religious experience).6

Oleh sebab itu, gagasan tentang titik temu agama-agama pada level esoteris

adalah melampaui tingkatan pengalaman keagamaan masyarakat umum. Ini jelas bukan

maksud agama yang diturunkan untuk ummat. Agama Islam adalah bukan untuk

golongan tertentu, namun untuk ummat. Bahkan bukan sahaja untuk ummat Islam,

namun untuk seluruh umat manusia di muka bumi ini.

2. Menggugat Mushaf Utsmani

Pemikir liberal juga menggugat Mushaf Utsmani. Taufik Adnan Amal, misalnya,

seorang dosen ‘Ulumul Qur’an di Universitas Islam Negeri Alauddin, Makasar menulis

sebuah artikel, berjudul Edisi Kritis al-Qur’an. Dalam artikel tersebut tersebut, ia

menyatakan: “Uraian dalam paragraph-paragraf berikut mencoba mengungkapkan secara

ringkas proses pemantapan teks dan bacaan Alqur’an, sembari menegaskan bahawa

proses tersebut masih meninggalkan sejumlah masalah mendasar, baik dalam ortografi

teks mahupun pemilihan bacaanya, yang kita warisi dalam mushaf tercetak dewasa ini.

Kerana itu, tulisan ini juga akan memberikan solusi untuk menyelesaikan permasalahan

itu lewat suatu upaya penyuntingan edisi kritis al-Qur’an.7 Taufik Adnan Amal

menegaskan: “Edisi kritis Alquran ini tentunya diarahkan sedemikian

rupa untuk menghasilkan bentuk teks yang lebih memadai dan mudah

dibaca.”8

Pemikir lain yang menggugat Mushaf Utsmani adalah Luthfi

Assyaukanie, editor buku Wajah Liberal Islam di Indonesia. Ia

menyatakan: “Sebagian besar kaum Muslim meyakini bahawa al-

Qur’an dari halaman pertama hingga terakhir merupakan kata-kata

6 Syed Muhammad Naquib al-al-Attas, Prolegomena, muka surat 8.7 Taufik Adnan Amal, “Edisi Kritis Alquran,” dalam Wajah Liberal Islam Indonesia, penyunting Luthfi Assyaukanie (Jakarta, JIL, Utan Kayu, 2002), 78-101, selanjutnya diringkas Edisi Kritis Alquran.8 Ibid., 87.

3

Page 4: Sekularisasi Dalam Pemikir Indonesia 3

Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara verbatim, baik

kata-katanya (lafdhan) mahupun maknanya (ma‘nan). Kaum Muslim

juga meyakini bahawa al-Qur’an yang mereka lihat dan baca hari ini

adalah persis seperti yang ada pada masa Nabi lebih dari seribu empat

ratus tahun silam. Keyakinan semacam itu sesungguhnya lebih

merupakan formulasi dan angan-angan teologis (al-khayal al-dini) yang

dibuat oleh para ulama sebagai bagian dari formalisasi doktrin-doktrin

Islam. Hakikat dan sejarah penulisan al-Qur’an sendiri sesungguhnya

penuh dengan berbagai nuansa yang delicate (rumit), dan tidak sunyi

dari perdebatan, pertentangan, intrik dan rekayasa.”9

Sebenarnya, pernyataan-pernyataan tersebut di atas sekedar

menggemakan kembali pendapat para orientalis. Salah seorang

orientalis yang pernah berambisi ingin merevisi Mushaf Utsmani

adalah Arthur Jeffery (m. 1959), berasal dari Australia. Menurut Jeffery,

sejarah al-Qur’an, sebagaimana kitab suci agama lain, sebenarnya

telah melalui berbagai masalah. Masyarakat yang selanjutnya

menjadikannya teks standart dan menanggapnya suci.10 Berambisi

untuk merevisi Mushaf Utsmani, al-Qur’an, Jeffery berencana

menyusun sebuah al-Qur’an dengan bentuk yang baru yang

disebutnya sebagai al-Qur’an edisi kritis (a critical edition of the

Qur’an).11

Pada umumnya para orientalis seperti Leone Caentani (m. 1935),

Friedrich Schwally (m. 1919), Arthur Jeffery,12 Richard Bell dan

Montogmery Watt,13Régis Blachère14 dan lain-lain15berpendapat bahawa Mushaf

9 http://www.islamlib.com/id/page.php?page=article&id=44710 Arthur Jeffery, “The Qur’an as Scripture,” The Muslim World 40 (1950), 41-43.11 Arthur Jeffery, “Progress in the Study of the Qur’an Text,” The Muslim World 25 (1935), 4-5.12 Arthur Jeffery, The Qur’an as Scripture (New York: Russell F. Moore Company, 1952), 94, selanjutnya disingkat Scripture.13 W. M. Watt & R. Bell, Introduction to the Quran (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1970), 40-42, selanjutnya diringkas Introduction. 14 Dikutip dari ‘Abdu Sabur Shahin, Tarikh al-Qur’an (Kairo: Dar al-Qalam, 1966), 108-09.15 Lihat kritikan saya terhadap pendapat para orientalis mengenai Mushaf Abu Bakr dalam Metodologi Bibel dalam Studi al-Qur’an: Kajian Kritis (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), 93-95, selanjutnya

4

Page 5: Sekularisasi Dalam Pemikir Indonesia 3

Abu Bakr adalah mushaf pribadi dan riwayat yang menyatakan materi al-Qur’an pada

zaman khalifah pertama itu telah dihimpun berdasarkan kepada informasi yang tidak

tepat.

Memercayai pendapat para orientalis tersebut, Taufik Adnan juga

menyatakan mushaf yang telah dihimpun pada zaman Abu Bakr

bukanlah mushaf resmi, tetapi mushaf pribadi. Menurut Taufik Adnan,

motivasi yang mendorong dihimpunnya mushaf tersebut bukanlah

disebabkan banyaknya para Qurra’ yang meninggal dalam perang

Yamamah.16

Luthfi Assyaukanie juga menyatakan:

“Ibnu Mas‘ud bukanlah seorang diri yang tidak menyertakan al-Fatihah sebagai bagian dari al-Qur’an. Sahabat lain yang menganggap surah “penting” itu bukan bagian dari al-Qur’an adalah Ali bin Abi Talib yang juga tidak memasukkan surah 13, 34, 66, dan 96. Hal ini memancing perdebatan di kalangan para ulama apakah al-Fatihah merupakan bagian dari al-Qur’an atau ia hanya merupakan “kata pengantar” sahaja yang esensinya bukanlah bagian dari kitab suci. Salah seorang ulama besar yang menganggap al-Fatihah bukan sebagai bagian dari al-Qur’an adalah Abu Bakr al-Asamm (w. 313 H). Dia dan ulama lainnya yang mendukung pandangan ini berargumen bahawa al-Fatihah hanyalah “ungkapan liturgis” untuk memulai bacaan al-Qur’an. Ini merupakan tradisi popular masyarakat Mediterania pada masa awal-awal Islam. Sebuah hadis Nabi mendukung fakta ini: “Siapa sahaja yang tidak memulai sesuatu dengan bacaan alhamdulillah [dalam hadis lain bismillah] maka pekerjaannya menjadi sia-sia.”17

Pendapat yang menyatakan al-Fatihah bukanlah bagian daripada

al-Qur’an sudah dikemukakan oleh Arthur Jeffery. Menurut Jeffery, al-

Fatihah adalah do’a yang diletakkan di depan dan dibaca sebelum

membaca al-Qur’an, sebagaimana kitab-kitab suci yang lain. Jeffery

diringkas Metodologi Bibel.16 Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an (Yogyakarta: Forum kajian Budaya dan Agama, 2001), 141-51.17 http://www.islamlib.com/id/page.php?page=article&id=447.

5

Page 6: Sekularisasi Dalam Pemikir Indonesia 3

mengatakan: “Tentu sahaja terdapat kemungkinan al-Fatihah sebagai

sebuah doa dikonstruksi oleh Nabi sendiri, tetapi penggunaannya dan

posisinya di dalam al-Qur’an kita saat ini disebabkan para

penyusunnya, yang menempatkannya, mungkin di halaman awal

Mushaf Standar.”18

Untuk menguatkan argumentasinya, Jeffery berpendapat bukan

hanya dari kalangan para sarjana Barat sahaja yang menyatakan al-

Fatihah bukan bagian dari al-Qur’an. Dari kalangan Muslim juga ada

yang berpendapat demikian, seperti Abu Bakr al-Asamm (m. 313),

sebagaimana yang disebutkan oleh Fakhr al-Din al-Razi.19

Pendapat Jeffery yang mengutip informasi dari al-Razi tidaklah

tepat. Sebabnya, al-Razi sendiri mengakui bahawa al-Fatihah adalah

bagian dari al-Qur’an. Bahkan al-Razi menyebut al-Asas sebagai nama

lain dari al-Fatihah. Salah satu alasannya, al-Fatihah merupakan surat

pertama dari al-Qur’an (annaha awwal surah min al-Qur’an).20 Bahkan

al-Razi sendiri menolak pendapat yang mengatakan bahawa ‘Abdullah

bin Mas‘ud mengingkari al-Fatihah sebagai bagian dari al-Qur’an.21

Selain itu, al-Fatihah adalah surah di dalam al-Qur’an yang paling

sering dibaca dan bagian yang integral dari setiap rakaah shalat. Di

dalam sholat yang dapat didengar, al-Fatihah dibaca 6 kali dalam satu

hari dan 8 kali pada hari Jum’at. Oleh sebab itu, al-Baqillani

menyimpulkan Ibnu Mas‘ud tidak pernah menyangkal bahawa al-

Fatihah dan surah al-mu‘awwidhatain adalah bagian dari al-Qur’an

18 Lihat Arthur Jeffery, “A Variant Text of the Fatiha,” The Moslem World 29 (1939), 158.19 Ibid.20 Fakhr al-Din al-Razi, al-Tafsir al-Kabir, 11 jilid (Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Arabiyy, cetakan ketiga 1999), 1:158. 21 Ibid.,1: 190.

6

Page 7: Sekularisasi Dalam Pemikir Indonesia 3

atau orang lain yang salah dengan mengatas namakan pendapat

‘Abdullah bin Mas‘ud.22

Luthfi Assyaukanie menyatakan: “Bahkan menurut Ibnu Nadim

(w. 380 H), pengarang kitab al-Fihrist, mushaf Ibnu Mas‘ud tidak

menyertakan surah 113 dan 114.”23

Pendapat Luthfi sekedar mengikuti pendapat Arthur Jeffery j(m.

1959) yang juga menggunakan informasi yang ada dalam karya Ibnu

Nadim. Sekalipun Ibnu Nadim memang menyebutkan mushaf

ÑAbdullah bin Mas‘ud tidak memasukkan surah al-Nas dan al-Falaq di

dalam mushafnya, namun ini tidak seharusnya bermakna Ibnu MasÑud

menganggap kedua surah tersebut bukan bagian dari al-Qur’an.

Sebabnya, murid-murid Ibnu Mas‘ud seperti ‘Alqama, al-Aswad,

Masruq, al-Sulami, Abu Wa’il, al-Shaibani, al-HamadanÊ dan Zirr

meriwayatkan al-Qur’an dari Ibnu Mas‘ud secara keseluruhan 114

surat. Hanya seorang murid ‘Asim, yang meriwayatkannya berbeza.24

Selain itu, seandainya Surah al-Nas dan al-Falaq bukan bagian

dari al-Qur’an, niscaya banyak riwayat akan muncul yang

membenarkan fakta tersebut. Namun riwayat tersebut tidak ada. Oleh

sebab itu, maka Mushaf Ibnu Mas‘ud tidak bisa dijadikan tolak ukur

untuk menolak kesahihan Mushaf ‘Utsman.

Disebabkan sikap Ibnu MasÑud kepada Mushaf Utsmani sering

dijadikan argumentasi untuk menggugat otentisitas Mushaf Utsmani,

maka perlu kiranya mengeksplorasi sikap sebenarnya Ibnu MasÑud

kepada Mushaf Utsmani. Memang pada awalnya Ibnu Mas‘ud menolak

menyerahkan mushafnya ketika ‘Utsman ra. mengirim teks standart ke

22 Muhammad Mustafa al-A‘zami, The History of the Qur’anic Text, from Revelation to Compilation: A Comparative Study with the Old and New Testaments (Leicester: UK Islamic Academy, 2003), 199-00, selanjutnya disingkat The History of the Qur’anic Text.23 http://www.islamlib.com/id/page.php?page=article&id=447.24 Muhammad Mustafa al-A‘zami, The History of the Qur’anic Text, 200-01.

7

Page 8: Sekularisasi Dalam Pemikir Indonesia 3

Kufah dan memerintahkan supaya teks-teks yang lain dibakar. Ibnu

Mas‘ud marah kerana teks standart tersebut diprioritaskan. Padahal

teks tersebut disusun oleh Zayd bin Thabit yang jauh lebih muda.

Ketika Ibnu Mas‘ud sudah menjadi Muslim, Zayd masih berada dalam

pelukan orang-orang kafir. Bagaimanapun, Ibnu Mas‘ud menimbang

kembali pendapatnya yang awal dan akhirnya kembali lagi kepada

pendapat ‘Utsman dan para Sahabat lainnya. Ibnu Mas‘ud menyesali

dan malu dengan apa yang telah dikatakannya.25

Kritikan kepada Mushaf Utsmani juga dilakukan oleh Ahmad

Baso, direktur Yayasan Desantara. Menurut Ahmad Baso, Mushaf

Utsmani adalah konstruk Quraisy terhadap al-Qur’an dengan

mengabaikan sumber-sumber mushaf lainnya. Misalnya, Mushaf

Abdullah bin Mas‘ud yang sempat diabaikan oleh Utsman,

menyebutkan bacaan, “Inna al-dina ‘inda Allah al-hanifiyyah,” bukan

“al-Islam.” Versi ini disingkirkan oleh Utsman dalam mushafnya kerana

Ibnu Mas‘ud tidak merepresentasikan kekuasaan Quraisy. Abdullah bin

Mas‘ud berasal dari kalangan suku marjinal Hudzail. Dan yang perlu

diketahui, kekuasaaan Utsman adalah representasi dari kekuasaan

hegemoni Quraisy yang memonopoli segenap produk-produk cultural

dan keagamaan dalam sejarah awal… mana yang mewakili kalamullah,

Mushaf Utsmani atau Mushaf Abdullah bin Mas‘ud?26

Pendapat Ahmad Baso yang mengkaitkan tindakan pembakaran

mushaf disebabkan motivasi politis sudah dikemukakan juga

sebelumnya oleh Arthur Jeffery. Menurut Jeffery, sebenarnya terdapat

25Kitab al-Mabani, yang diedit oleh Jeffery pada tahun 1954 menyebutkan Ibn Mas‘ud menyesali sikapnya dan menyetujui Mushaf ‘Uthmani. Lihat Muqaddimatani fi ‘Ulum al-Qur’an wa Huma Muqaddimah Kitab al-Mabani wa Muqaddimah Ibn ‘Atiyyah, editor Arthur Jeffery (Kairo: Maktabah al-Khanji, 1954), 95, selanjutnya disingkat Kitab al-Mabani. Bandingkan juga dengan Bandingkan juga dengan karya Abu Bakr ‘Abdullah bin Abi Daud Sulayman Ibn al-Ash’ath al-Sijistani, Kitab al-Masahif, editor Muhibbuddin ‘Abd Subhan Wa‘iz, 2 jilid (Beirut: Dar al-Basha’ir al-Islamiyyah, cetakan kedua, 2002), 1: 193-195, selanjutnya diringkas sebagai Kitab al-Masahif. 26 Lihat buku penulis, Pengaruh Kristen-Orientalis, 85.

8

Page 9: Sekularisasi Dalam Pemikir Indonesia 3

beragam Mushaf yang beredar di berbagai wilayah kekuasaan Islam

dan berbeza dengan Mushaf ‘Utsman. Bagaimanapun, ketika Mushaf

‘Utsmani dijadikan satu teks standart yang resmi dan digunakan di

seluruh wilayah kekuasaan Islam, maka kanonisasi tersebut tidak

terlepas dari alasan-alasan politis (political reasons).27

Selain itu, Ahmad Baso juga tidak tepat ketika menyatakan Ibnu

Mas‘ud dengan sengaja disingkirkan dari dari tim penyusun al-Qur’an

kerana bukan berasal dari suku Quraisy. Jawaban yang tepat

sebenarnya kerana pada saat pembentukan tim kodifikasi, Ibnu Mas‘ud

berada di Kufah. Padahal, ketika itu ‘Utsman ra. sangat terdesak untuk

membentuk tim kodifikasi di Medinah.28 Isu perkauman juga bukan

persoalan pokok dalam penyusunan al-Qur’an kerana Zayd bin Thabit

sendiri, sebagai sebuah ketua tim kodifikasi Mushaf Utsmani adalah

seorang Ansar dan bukan berasal dari suku Quraisy.

Mengenai qira‘ah yang ada di dalam mushaf Abdullah ibn

MasÑud tidak seharusnya itu adalah al-Qur’an. Ini sebabnya sebuah

qira‘ah itu memiliki beberapa syarat yang harus dipenuhi sebagaimana

kesepakatan para ulama. Mushaf ‘Utsmani disebarkan ke berbagai

kota sekaligus diiringi dengan para Qurra’. Mereka mengajarkan

qira‘ah berdasarkan kepada otoritas yang relevan. Ini yang

menetapkan apakah teks tersebut adalah al-Qur’an atau bukan, bukan

berdasarkan kepada manuskrip yang illegal dan tidak dapat

disahkan.29

Para penggugat Mushaf Uthmani juga mengabaikan bahawa

perbuatan ‘Utsman ra. melakukan standartisasi teks kerana justru

ingin menghindari berbagai kesalahan yang akan terjadi pada al-

27 Arthur Jeffery, Materials, 7-8.28Dikutip dari Ahmad ‘Ali Imam, Variant Readings of the Qur’an: A Critical Study of Their Historical and Linguistic Origins (Virginia: International Institute of Islamic Thought, 1998), 29. 29 Ibid.

9

Page 10: Sekularisasi Dalam Pemikir Indonesia 3

Qur’an, sebagaimana telah terjadi kepada sejarah kitab suci agama

Yahudi dan Kristen.30 Hal tersebut memang perlu dilakukan. Oleh

sebab itu, para sahabat menerima dengan senang hati keputusan

‘Utsman ra. untuk melakukan standardisasi. Menurut Mus‘ab bin Sa‘d,

tak seorangpun dari Muhajirin, Ansar dan orang-orang yang berilmu

mengingkari perbuatan ‘Utsman ra. (adrakat al-nas hina fa‘ala

‘Utsman ma fa‘ala, fama raitu ahadan ankara dhalika, ya‘ni min al-

muhajirin wa al-ansar wa ahl al-‘ilm).31 Mengomentari tindakan

‘Utsman yang membakar mushaf-mushaf, ‘Ali ra. mengatakan:

“Seandainya Ia belum melakukannya, maka aku yang membakarnya

(law lam yasna’hu ‘Utsman lasana‘tuhu).32 ‘Ali ra. juga mengatakan:

“Seandainya aku yang berkuasa, niscaya aku akan berbuat mengenai

Mushaf sebagaimana yang ‘Utsman buat (law waiÊtu, lafa‘altu fÊ al-

Masahif alladhi fa‘ala ‘Utsman).33 Thabit bin ‘imarah al-Hanafi

mengatakan: Aku telah mendengar Ghanim bin Qis al-Mazni

mengatakan: “Seandainya ‘Utsman belum menulis mushaf, maka

manusia akan mulai membaca puisi.” (law lam yaktub ‘Utsman al-

mushaf, latafiqa al-nas yaqra’una al-shi‘r).34 Abu Majlaz mengatakan:

“Seandainya ‘Utsman tidak menulis al-Qur’an, maka manusia akan

terbiasa membaca puisi.”(law la anna ‘Utsman kataba al-Qur’an

laulfiyat al-nas yaqra’una al-shi‘r).35

Kritik kepada Mushaf Utsmani masih terus berlanjut. Mushaf

Utsmani dianggap mengalami pembekuan dan pembakuan disebabkan

30 Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari bi sharh Sahih al-Bukhari, editor ÑAbd Azis bin Abdullah ibn Baz dan Muhammad Fuad Abd al-Baqi, 14 Jilid (Kairo: Dar al-Hadits, 1998), 9: 20-21.31 Abu‘Ubayd al-Qasim bin Sallam, Fada’il al-Qur’an, editor Wahbi Sulayman Ghawaji (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1991), 194; 157, selanjutnya disingkat Fada’il al-Qur’an. Bandingkan juga dengan Ibnu Abi Daud Sulayman Ibn al-Ash’ath al-Sijistani, Kitab al-Masahif, editor Muhibbudin ÑAbd Subhan WaÑiz, 2 jilid (Beirut: Dar al-Basha´ir al-Islamiyyah, edisi kedua, 2002) I: 178, selanjutnya disingkat Kitab al-Masahif.32 Ibnu Abi Da’ud al-Sijistani, Kitab al-Masahif, 1:177. 33 Abu ‘Ubayd, Fada’il al-Qur’an, 157.34 Lebih detilnya lihat Ibnu Abi Daud al-Sijistani, Kitab al-Masahif, 1: 178. 35 Ibid., 1: 179.

10

Page 11: Sekularisasi Dalam Pemikir Indonesia 3

pembatasan ikhtiyar Ibnu Mujahid (245-324 H/859-936). Taufik Adnan

Amal mengkritik tindakan Ibnu Mujahid yang membatasi ikhtiyar.

Menurut Taufik Adnan, ortokdosi Islam menyepakati qiraah tujuh, yang

dihimpun Ibnu Mujahid, sebagai bacaan-bacaan otentik bagi textus

receptus disebabkan otoritas politik Abasiyah-dimotori para wazirnya,

Ibnu Muqla dan Ibnu Isa. Dalam pandangannya, ortodoksi Islam telah

melakukan berbagai cara menyeragamkan teks bacaan Alqur’an.

Bahkan ortodoksi Islam juga secara sistematis telah memeras keluar

gagasan-gagasan yang mengganggu kemapanan teks dan bacaan al-

Qur’an, seperti bacaan Ibnu Shannabudz dan Ibnu Miqsam.36

Pendapat Taufik Adnan kembali mengulangi pendapat Arthur

Jeffery. Dalam pandangan Jeffery, keragaman qira’ah lambat laun

mengalami pembatasan kerana tekanan politis. Jeffery mengecam

pembatasan ikhtiyar yang dilakukan oleh sultan Ibnu Muqla (m. 940 M)

dan sultan Ibnu ‘Isa (m. 946 M) pada tahun 322 H. Menurut Jeffery,

para penguasa tersebut bertindak atas desakan dan rekayasa Ibnu

Mujahid (m. 324/936 M). Padahal, dalam pandangan Jeffery, pada

periode awal Islam, keragaman qirÉ’ah itu beragam dan tumbuh subur

sebagaimana terungkap dalam berbagai Mushaf.37

Melanjutkan kritikannya terhadap pembatasan ikhtiyar, yang

menandai babak baru dalam sejarah teks al-Qur’an, Jeffery

berpendapat sebenarnya Ibnu Shannabudz di Baghdad (m. 328/939)

dan Ibnu Miqsam (m. 362 H) menentang pembatasan tersebut.

Namun, akhirnya nasib mereka ditindas dan dipaksa untuk bertobat

kerana qira’ah nya berbeza dengan Mushaf ‘Utsmani.38

36 Taufik Adnan Amal, “Edisi Kritis al-Qur’an,” 85; bandingkan juga 90-91.37Arthur Jeffery, Scripture, 99.38 Arthur Jeffery, Materials, 8-9. Lihat kritikan Jeffery yang lebih mendetil terhadap Ibn Mujahid dalam buku penulis, Metodologi Bibel, 116-19.

11

Page 12: Sekularisasi Dalam Pemikir Indonesia 3

Pendapat Taufik Adnan yang mengikuti Jeffery dengan

menyalahkan tindakan Ibnu Mujahid kerana membatasi periode

ikhtiyar tidaklah tepat. Qira’ah bukanlah berarti membaca al-Qur’an

dengan bebas. Keragaman qira’ah bukanlah hasil dari ikhtiyar, namun

dari Rasulullah saw. Syarat yang paling utama qira’ah harus memiliki

sanad yang bersambung kepada Rasulullah saw. Qira’ah itu harus

mengikuti qira’ah yang telah ditentukan oleh Rasulullah saw yang dan

diajarkan kepada para sahabat.39 Al-‘Abbas bin Muhammad bin Hatim

al-Duri mengatakan bahawa Abu Yahya al-Himmani mengatakan

kepada kami: al-A‘mash dari Habib dari ‘Abdurrahman al-Sulami dari

Abdullah bin Mas‘ud menyatakan: “Ikutilah dan jangan kamu

mengada-ada maka cukup bagimu.” (Ittabi‘u wa la tabtadi‘u faqad

kufÊtum). ‘Ali bin Abi Talib menyatakan: “Sesungguhnya Rasulullah

saw menyuruhmu supaya membaca al-Qur’an sebagaimana kamu

diajarkan.” (Inna Rasulallah sallallah ‘alayhi wa sallam ya’murukum an

taqrau’ al-Qur’an kama ‘ullimtum) Abu ‘Amru bin al-‘Ala menyatakan:

“Seandainya bukan kerananya aku tidak akan membaca melainkan

dengan apa yang telah dibaca aku membaca huruf seperti ini dan itu

dan begini dan begitu.”(Law la annahu laysa li an aqra’a illa bima qad

quri’a bihi laqaraqtu harf kadha kadha wa harf kadha kadha) Paman

‘Abdurrahman berkata: Aku bertanya kepada ‘Amru bin al-‘Ala (wa

barakna ‘alayh ) dalam satu tempat dan (wa tarakna ‘alayh) pada satu

tempat bagaimana ini diketahui? Maka Ia menjawab: “Ini hanya dapat

diketahui dengan mendengar dari para shaykh terdahulu.” Zayd bin

Thabit dari ayahnya berkata: “al-Qira’ah sunnah.” Zayd bin Thabit dari

ayahnya menyatakan: “Qira’ah adalah sunnah, maka bacalah

sebagaimana kamu menemukannya.” (al-Qira’ah sunnah, faqra’uhu

kama tajidunahu). Muhammad bin al-Munkadir berkata: “Qira’ah

adalah sunnah yang orang lain mempelajarinya dari orang-orang yang

39 Ibnu Mujahid menyebutkan secara utuh sanad-sanad tersebut. Lihat Ahmad bin Musa bin Mujahid, Kitab al-Sab‘ah fi al-Qira’at, editor Shawqi Dif (Kairo: Dar al-Ma‘arif, edisi ketiga, tt), 46-52.

12

Page 13: Sekularisasi Dalam Pemikir Indonesia 3

awal.” (al-Qira’ah sunnah ya’khudhuha al-akhar ‘an al-awwal) ‘Amir al-

Sha‘bi menyatakan: “Qira’ah adalah sunnah, maka bacalah

sebagaimana orang-orang terdahulu telah membacanya.” (al-Qira’ah

sunnah, faqra’u kama qara’a awwalukum) ‘Urwah bin al-Zubayr

berkata: “Sesungguhnya Qira’ah al-Qur’an termasuk dari sunnah,

maka bacalah sebagaimana kamu diajarkan.”(Innama qira’at al-Qur’an

sunnah min al-sunan, faqra’u kama ‘ullimtumuh).40

Selain itu, sikap Ibnu Mujahid terhadap Ibnu Shannabudz dan

Ibnu Miqsam didukung oleh para ulama lain. Membiarkan

berkembangnya bacaannya Ibnu Shannabudz dan Ibnu Miqsam akan

mengacaukan al-Qur’an. Jadi, Ibnu Mujahid menolak qira’ah Ibnu

Shannabudz dan Ibnu Miqsam kerana Ibnu Shannabudz menyepelekan

ortografi Mushaf ‘Utsmani dan Ibn Miqsam menyepelekan sanad.

Dalam pandangan Ibnu Mujahid, sebuah qira’ah itu memiliki syarat-

syarat. Tanpa memenuhi syarat-syarat tersebut, maka qira’ah tersebut

adalah salah dan tidak dapat diterima.41

Pemikiran liberal hanyalah mengikuti dan mengulangi pendapat para orientalis.

Padahal kajian para orientalis yang mengkritik al-Qur’an tidaklah tepat untuk diikuti.

Sebabnya, pemikiran orientalis terpengaruh dengan problematika yang dihadapi Bibiel.

Al-Qur’an adalah Kalam Ilahi yang berbeda dengan teks Bibel, yang merupakan

perkataan manusia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya: “Seandainya dia

(Muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya Kami pegang

dia pada tangan kanannya, kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya”.42

Allah juga berfirman yang artinya: “Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur’Én)

menurut kemahuan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang

diwahyukan (kepadanya).43

40 Ibid., 46-52. 41 Lihat kritikan penulis kepada Arthur Jeffery dalam masalah qiraah Ibn Miqsam dan Ibn Shannabudz dalam Metodologi Bibe, 116-26.42 Surah al-Haqqah (69: 44-46).43 Surah al-Najm (53: 3-4). Lihat juga firman Allah dalam surah-surah yang lain, seperti: Surah Fussilat (41: 42); al-Shu‘ara’ (26: 192); al-Sajdah (32: 2); al-Zumar (39: 1); al-Mu’min (40: 2); Fussilat (41: 2); al-

13

Page 14: Sekularisasi Dalam Pemikir Indonesia 3

Selain itu, para orientalis mengabaikan faktor keimanan ketika mengkaji al-

Qur’an. Padahal Abu Hurayrah, Ibn ÑAbbas, Zayd ibn Aslam, Ibn Sirin, al-Hasan al-

Basri, al-Dahhak, Ibrahim al-Nakhai pernah menyatakan: “Sesungguhnya ilmu ini adalah

din (agama). Oleh sebab itu, perhatikanlah dari siapa kamu mengambil agamamu.” (inna

hadza al-Ñilm din fanzuru Ñamman ta´khuzuna dinakum).44 Selain itu, al-Tabari

(w. 310/923) menegaskan bahwa syarat utama seseorang yang menafsirkan al-Qur’an

adalah memiliki akidah yang benar dan komitmen mengikut sunnah. Orang yang

akidahnya cacat tidak bisa dipercayai untuk mengemban amanah yang berkaitan dengan

urusan keduniawian apalagi urusan keagamaan!45

3. Menggugat Syariah

Syariat Islam tidak luput dari kritikan para aktifis Islam Liberal. Luthfi

Assyaukanie, misalnya menyatakan: “Saya pribadi menganggap bahawa konsep “syariat

Islam” tidak ada. Itu adalah karangan orang-orang yang datang belakangan yang

memiliki idealisasi yang berlebihan terhadap Islam (sama seperti “negara Islam,”

“ekonomi Islam,” bank Islam,” matematika Islam,“ etc).46 Ia bahkan menyatakan:

“Ibadah haji sahaja warisan jahiliah, zakat warisan Romawi yang direvisi, shalat warisan

Dawud (dalam tradisi Judaic) yang dimodifikasi, dan dalam system ekonomi, Rasulullah

menyetujui semua praktik ekonomi orang-orang Romawi yang saat itu mendominasi

hamper semua urusan adminsitrasi dan tata negara, kecuali riba (orang-orang Romawi

atau siapa pun sesungguhnya akan berkeberatan jika riba yang dimaksud adalah transaksi

merugikan orang lain).47

Pendapat syariat Islam itu tidak ada juga sudah lama dikemukakan oleh para

orientalis. W. St. Clair-Tisdall, misalnya, seorang misionaris Inggris

untuk Isfahan, menyimpulkan Islam itu bukan bersumber dari ‘langit’, tapi

dari ragam agama dan budaya. Menurut Tisdall, konsep Islam tentang Tuhan, haji, cium

hajar aswad, menghormati kabah, semuanya diambil dari budaya jahiliyah. Shalat 5

Jathiyah (45: 2); al-Ahqaf (46: 20) al-Waqi‘ah (56: 80); al-Haqqah (69: 43).44 Imam Abu Hatim Muhammad ibn Hibban, Kitab al-Majruhin min al-Muhaddithin wa al-DhuÑafa wa al-Matrukin (editor Mahmud Ibrahim Zayed (Halb/Aleppo: Dar al-WaÑy, 1396 H), 1: 21-23.45 Dikutip dari Jalal al-Din al-Suyuti, al-Itqan fi Ñulum al-Qur’an (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabiy, 2003), 854.46 Adnin Armas, Pengaruh Kristen-Orientalis, 33. 47 Ibid., 33-34.

14

Page 15: Sekularisasi Dalam Pemikir Indonesia 3

waktu dari tradisi Sabian. Kisah Nabi Ibrahim, Sulaiman, Ratu Balqis, Harut

Marut, Habil Qabil dari Yahudi. Ashabul Kahfi dan Maryam dari Kristen.

Tidak ketinggalan dari Hindu dan Zoroaster, iaitu Isra' Mi'raj dan

jembatan (shirath) di hari kiamat.48

Pendapat para orientalis di atas tidaklah tepat. Sekalipun terdapat

persamaan dengan Yahudi-Kristen, Islam adalah agama yang

membawa ajaran baru. Islam meluruskan, mengislamkan ajaran yang

salah dari Jahiliyah, Yahudi dan Kristen. Islam bersumber dari wahyu

Allah yang otentik dan sempurna.

Sekalipun pernyataan Luthfi tidak memiliki asas yang kukuh, namun

pemikirannya mendapat pembelaan dari Mun’im A. Sirry, mahasiswa yang mendapat S1

dan S2 dari Universitas Islam Antar Bangsa Pakistan (1990-1996), penulis buku Sejarah

Fikih Islam: Sebuah Pengantar dan editor buku Fiqih Lintas Agama. Mun’im

menyatakan: “tidak ada itu hukum Islam.” Pertama, Rasulullah saw. sendiri tidak pernah

melakukan klasifikasi hukum seperti yang kita kenal, seperti wajib,haram, dan

seterusnya. Kedua, pemahaman tentang hukum itu sendiri sebenarnya paradoks bila

dikaitkan dengan Islam. Saya ambil contoh ayat yang mengandung arti ‘anti hukum’ iaitu

“tidak ada paksaan dalam agama.”… Ketiga, hukum Islam diawali dengan asumsi

bahawa orang atau masyarakat harus dibatasi untuk melakukan tindakan yang islami.

Persoalannya, siapa yang memiliki otoritas menentukan tindakan yang islami atau tidak

islami? Kaum konservatif akan cenderung mengatakan bhawa pendapat ulamalah ayang

otoritatif.49

Makna syariah Islam juga telah diberi makna dan nuansa baru oleh Dr. Siti

Musdah Mulia bersama tim dan kontributor Pengarusutamaan Gender Departemen

Agama. Mereka telah mengkritik metodologi para ulama yang berwibawa dan

mengusulkan metodologi baru seperti berikut: Pertama, mengungkapkan dan

merevitalisasi kaidah usul marginal yang tidak terliput secara memadai dalam sejumlah

kitab usul fikh.-, seperti alÑibrah bi khusus al-sabab la bi Ñumum al-lafaz; takhsis bi al-

48 Lihat artikel W.St. Clair-Tisdall, “The Sources of Islam,” dalam The Origins of the Koran, editor Ibn Warraq (New York: Prometheus Books, 1998), 227-292. 49 Adnin Armas, Pengaruh Kristen-Orientalis, 38.

15

Page 16: Sekularisasi Dalam Pemikir Indonesia 3

Ñaql wa takhsis bi al-Ñurf, al-amr iza zaqa ittasaÑa. Kedua, sekiranya usaha pertama

tidak lagi memadai untuk menangani dan menyelesaikan problem-problem kamanusiaan,

maka upaya selanjutnya adalah membongkar bangunan paradigma usul fikih lama: (1)

mengubah paradigma dari teosentrisme ke antroposentrisme, dari elitis ke populis; (2)

bergerak dari eisegese ke exegese. Dengan exegese, para penafsir berusaha semaksimal

mungkin untuk menempatkan nash sebagai “obyek” dan dirinya sebagai “subyek” dalam

suatu dialektika yang seimbang. (3) Mem-fikihkan syariÑat atau merelatifkan syariÑat.

SyariÑat harus diposisikan sebagai jalan (wasilah, hajiyat) yang berguna bagi

tercapainya prinsip-prinsip Islam (ghayat, daruriyat) berupa keadilan, persamaan,

kemaslahatan, penegakan HAM. Jadi, shalat, zakat, puasa, haji adalah wasilah dan bukan

ghayah-daruriyat. (4) Kemashlahatan sebagai rujukan dari seluruh kerja penafsiran. (5)

Mengubah gaya berfikir deduktif ke induktif (istiqra’iy). Disinilah letak pentingya KHI

menimba sebanyak-banyaknya dari kearifan-kearifan lokal (local wisdom, al-Ñurf).50

Dengan menggunakan metodologi sekular seperti yang telah disebutkan di atas,

Tim Pengarusutamaan Gender Departemen Agama Republik Indonesia (2004)

merumuskan beberapa kaidah usul fikih alternatif seperti al-ibrah bi al-maqasid la bi al-

alfaz, jawaz naskh al-nusus bi al-maslahah dan tanqih al-nusus bi al-aql al-mujtamaÑ.

Tim tersebut juga berpendapat yang menjadi visi dan landasan hukum Islam adalah

pluralisme (al-taÑddudiyyah), nasionalitas (muwatanah), penegakan HAM (iqamat al-

huquq al-insaniyyah), demokratis, kemaslahatan (al-maslahat) dan kesetaraan gender (al-

musawah al-jinsiyyah).51

Berikut ini hukum Islam mengenai kewanitaan versi tim Pengarusutamaan

Gender Departemen Agama Republik Indonesia (2004). Wanita boleh menikahkan

dirinya tanpa wali kerana wali nikah bukan termasuk rukun perkawinan; mahar wajib

diberikan bukan sahaja oleh calon suami, tetapi juga calon istri atau kedua-duanya;

perkawinan beda agama dibolehkan, poligami dilarang untuk dilakukan, perkawinan

diatur jangka waktunya (kawin kontrak); ‘iddah berlaku juga untuk suami; pembagian

50 Pembaharuan Hukum Islam: Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (Jakarta: Departemen Agama RI, 2004), 23-24. 51 Ibid., 24-30.

16

Page 17: Sekularisasi Dalam Pemikir Indonesia 3

waris bagi anak laki-laki dan perempuan adalah sama 1:1 atau 2:2, waris beda agama

dibolehkan, dan berbagai materi lainnya.52

4. Kesimpulan

Pemikir liberal telah menjadi penyebar sekularisasi-liberalisasi Islam. Mereka

menolak Islam dan menegaskan Islams (Islam warna-warni). Penafsiran mereka kepada

Islams, telah dipengaruhi oleh pandangan hidup Barat. Menghadapi masuknya pandangan

hidup Barat ke dalam pemikiran kaum Muslimin,53 maka para sarjana Muslim yang

berwibawa perlu terlibat kritis dengan peradaban Barat. Unsur-unsur asing yang telah

masuk ke dalam studi Islam perlu diseleksi, dimodifikasi, ataupun ditolak jika memang

tidak sesuai dengan ajaran Islam.

52 Ibid., 32-74.53 Syed Muhammad Naquib al-Attas mengidentifikasi konsep-konsep asing dalam pemikiran Muslim sebagai Deislamisasi (Deislamization). Lihat karyanya The Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education (Kuala Lumpur: ISTAC, 1999, terbit pertama kali tahun 1980), 45.

17