pemfigus vulgaris
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1. Anatomi Kulit
Kulit adalah organ yang terletak paling luar dan membatasinya dari
lingkungan hidup manusia. Luas kulit orang dewasa 2 m2 dengan berat kira-kira
16% berat badan. Kulit juga sangat kompleks, elastis dan sensitive, bervariasi
pada keadaan iklim, umur, jenis kelamin, ras, dan juga bergantung pada lokasi
tubuh. Kulit mempunyai berbagai fungsi seperti sebagai perlindung, pengantar
raba, penyerap, indera perasa, dan lain-lain.
Warna kulit berbeda-beda, dari kulit yang berwarna terang, pirang dan
hitam, warna merah muda pada telapak kaki dan tangan bayi, serta warna hitam
kecoklatan pada genitalia orang dewasa. Demikian pula kulit bervariasi mengenai
lembut, tipis dan tebalnya; kulit yang elastis dan longgar terdapat pada palpebra,
bibir dan preputium, kulit yang tebal dan tegang terdapat di telapak kaki dan
tangan dewasa. Kulit yang tipis terdapat pada muka, yang berambut kasar
terdapat pada kepala.
Pembagian kulit secara garis besar tersusun atas tiga lapisan utama yaitu
lapisan epidermis atau kutikel, lapisan dermis, dan lapisan subkutis. Tidak ada
garis tegas yang memisahkan dermis dan subkutis, subkutis ditandai dengan
adanya jaringan ikat longgar dan adanya sel dan jaringan lemak.
1.1.1.Lapisan Epidermis
Lapisan epidermis terdiri atas stratum korneum, stratum lusidum, stratum
granulosum, stratum spinosum, dan stratum basale. Stratum korneum adalah
lapisan kulit yang paling luar dan terdiri atas beberapa lapisan sel-sel gepeng yang
mati, tidak berinti, dan protoplasmanya telah berubah menjadi keratin (zat
2
tanduk). Stratum lusidum terdapat langsung di bawah lapisan korneum,
merupakan lapisan sel-sel gepeng tanpa inti dengan protoplasma yang berubah
menjadi protein yang disebut eleidin. Lapisan tersebut tampak lebih jelas di
telapak tangan dan kaki. Stratum granulosum merupakan 2 atau 3 lapis sel-sel
gepeng dengan sitoplasma berbutir kasar dan terdapat inti di antaranya. Butir-
butir kasar ini terdiri atas keratohialin. Stratum spinosum terdiri atas beberapa
lapis sel yang berbentuk poligonal yang besarnya berbeda-beda karena adanya
proses mitosis. Protoplasmanya jernih karena banyak mengandung glikogen, dan
inti terletak ditengah-tengah. Sel-sel ini makin dekat ke permukaan makin gepeng
bentuknya. Di antara sel-sel stratum spinosun terdapat jembatan-jembatan antar
sel yang terdiri atas protoplasma dan tonofibril atau keratin. Pelekatan antar
jembatan-jembatan ini membentuk penebalan bulat kecil yang disebut nodulus
Bizzozero. Di antara sel-sel spinosum terdapat pula sel Langerhans. Sel-sel
stratum spinosum mengandung banyak glikogen.
Stratum germinativum terdiri atas sel-sel berbentuk kubus yang tersusun
vertical pada perbatasan dermo-epidermal berbasis seperti pagar (palisade).
Lapisan ini merupakan lapisan epidermis yang paling bawah. Sel-sel basal ini
mrngalami mitosis dan berfungsi reproduktif. Lapisan ini terdiri atas dua jenis sel
yaitu sel-sel yang berbentuk kolumnar dengan protoplasma basofilik inti lonjong
dan besar, dihubungkan satu dengan lain oleh jembatang antar sel, dan sel
pembentuk melanin atau clear cell yang merupakan sel-sel berwarna muda,
dengan sitoplasma basofilik dan inti gelap, dan mengandung butir pigmen
(melanosomes).
1.1.2.Lapisan Dermis
Lapisan yang terletak dibawah lapisan epidermis adalah lapisan dermis
yang jauh lebih tebal daripada epidermis. Lapisan ini terdiri atas lapisan elastis
dan fibrosa padat dengan elemen-elemen selular dan folikel rambut. Secara garis
besar dibagi menjadi 2 bagian yakni pars papilare yaitu bagian yang menonjol ke
epidermis, berisi ujung serabut saraf dan pembuluh darah, dan pars retikulare
3
yaitu bagian bawahnya yang menonjol kea rah subkutan, bagian ini terdiri atas
serabut-serabut penunjang misalnya serabut kolagen, elastin dan retikulin.
Dasar lapisan ini terdiri atas cairan kental asam hialuronat dan kondroitin
sulfat, di bagian ini terdapat pula fibroblast, membentuk ikatan yang mengandung
hidrksiprolin dan hidroksisilin. Kolagen muda bersifat lentur dengan bertambah
umur menjadi kurang larut sehingga makin stabil. Retikulin mirip kolagen muda.
Serabut elastin biasanya bergelombang, berbentuk amorf dan mudah
mengembang serta lebih elastis.
1.1.3.Lapisan Subkutis
Lapisan subkutis adalah kelanjutan dermis yang terdiri atas jaringan ikat
longgar berisi sel-sel lemak di dalamnya. Sel-sel lemak merupakan sel bulat,
besar, dengan inti terdesak ke pinggir sitoplasma lemak yang bertambah. Sel-sel
ini membentuk kelompok yang dipisahkan satu dengan yang lain oleh trabekula
yang fibrosa. Lapisan sel-sel lemak disebut panikulus adipose, berfungsi sebagai
cadangan makanan. Di lapisan ini terdapat ujung-ujung saraf tepi, pembuluh
darah, dan getah bening. Tebal tipisnya jaringan lemak tidak sama bergantung
pada lokasinya. Di abdomen dapat mencapai ketebalan 3 cm, di daerah kelopak
mata dan penis sangat sedikit. Lapisan lemak ini juga merupakan bantalan.
Vaskularisasi di kulit diatur oleh 2 pleksus, yaitu pleksus yang terletak di
bagian atas dermis (pleksus superficial) dan yang terletak di subkutis (pleksus
profunda). Pleksus yang di dermis bagian atas mengadakan anastomosis di papil
dermis, pleksus yang di subkutis dan di pars retikulare juga mengadakan
anastomosis, di bagian ini pembuluh darah berukuran lebih besar. Bergandengan
dengan pembuluh darah teedapat saluran getah bening.
1.1.4.Adnexa Kulit
Adneksa kulit terdiri atas kelenjar-kelenjar kulit, rambut dan kuku.
Kelenjar kulit terdapat di lapisan dermis, terdiri atas kelenjar keringat dan kelenjar
4
palit. Ada 2 macam kelenjar keringat, yaitu kelenjar ekrin yang kecil-kecil,
terletak dangkal di dermis dengan sekret yang encer, dan kelenjar apokrin yang
lebih besar, terletak lebih dalam dan sekretnya lebih kental.
Kelenjar enkrin telah dibentuk sempurna pada 28 minggu kehamilan dan
berfungsi 40 minggu setelah kehamilan. Saluran kelenjar ini berbentuk spiral dan
bermuara langsung di permukaan kulit. Terdapat di seluruh permukaan kulit dan
terbanyak di telapak tangan dan kaki, dahi, dan aksila. Sekresi bergantung pada
beberapa faktor dan dipengaruhi oleh saraf kolinergik, faktor panas, dan
emosional.
Kelenjar apokrin dipengaruhi oleh saraf adrenergik, terdapat di aksila,
areola mamme, pubis, labia minora, dan saluran telinga luar. Fungsi apokrin pada
manusia belum jelas, pada waktu lahir kecil, tetapi pada pubertas mulai besar dan
mengeluarkan sekret. Keringat mengandung air, elektrolit, asam laktat,
dan glukosa, biasanya pH sekitar 4-6,8.
Kelenjar palit terletak di selruh permukaan kulit manusia kecuali di
telapak tangan dan kaki. Kelenjar palit disebut juga kelenjar holokrin karena tidak
berlumen dan sekret kelenjar ini berasala dari dekomposisi sel-sel kelenjar.
Kelenjar palit biasanya terdapat di samping akar rambut dan muaranya terdapat
pada lumen akar rambut (folikel rambut). Sebum mengandungi trigliserida, asam
lemak bebas, skualen, wax ester, dan kolesterol. Sekresi dipengaruhi hormone
androgen, pada anak-anak jumlah kelenjar palit sedikit, pada pubertas menjadi
lebih besar dan banyak serta mulai berfungsi secara aktif.
Kuku, adalah bagian terminal stratum korneum yang menebal. Bagian
kuku yang terbenam dalam kulit jari disebut akar kuku, bagian yang terbuka di
atas dasar jaringan lunak kulit pada ujung jari dikenali sebagai badan kuku, dan
yang paling ujung adalah bagian kuku yang bebas. Kuku tumbuh dari akar kuku
keluar dengan kecepatan tumbuh kira-kira 1 mm per minggu. Sisi kuku agak
mencekung membentuk alur kuku. Kulit tipis yang yang menutupi kuku di bagian
proksimal disebut eponikium sedang kulit yang ditutupki bagian kuku bebas
disebut hiponikium.
5
Rambut, terdiri atas bagian yang terbenam dalam kulit dan bagian yang
berada di luar kulit. Ada 2 macam tipe rambut, yaitu lanugo yang merupakan
rambut halus, tidak mrngandung pigmen dan terdapat pada sbayi, dan rambut
terminal yaitu rambut yang lebih kasar dengan banyak pigmen, mempunyai
medula, dan terdapat pada orang dewasa. Pada orang dewasa selain rambut di
kepala, juga terdapat bulu mata, rambut ketiak, rambut kemaluan, kumis, dan
janggut yang pertumbuhannya dipengaruhi hormone androgen. Rambut halus di
dahi dan badan lain disebut rambut velus. Rambut tumbuh secara siklik, fase
anagen berlangsung 2-6 tahun dengan kecepatan tumbuh kira-kira 0.35 mm per
hari. Fase telogen berlangsung beberapa bulan. Di antara kedua fase tersebut
terdapat fase katagen. Komposisi rambut terdiri atas karbon 50,60%, hydrogen
6,36%,, nitrogen 17,14%, sulfur 5% dan oksigen 20,80%.
Gambar 2.1 Anatomi Kulit
1.2. Fisiologi Kulit
Fungsi epidermis adalah sebagai proteksi barrier, organisasi sel, sintesis
vitamin D dan sitokin, pembelahan dan mobilisasi sel, pigmentasi (melanosit) dan
pengenalan alergen (sel Langerhans). Setiap kulit yang mati akan terganti tiap 3-4
minggu. Dalam epidermis terdapat 2 sel, yaitu Sel Merkel yang fungsinya belum
6
dipahami dengan jelas tapi diyakini berperan dalam pembentukan kalis dan klavus
pada tangan dan kaki ; Sel Langerhans yang berperan dalam respon-respon
antigen kutaneus. Epidermis akan bertambah tebal jika bagian tersebut sering
digunakan. Persambungan antara epidermis dan dermis disebut rete bridge yang
berfungsi sebagai tempat pertukaran nutrisi yang essensial, dan terdapat kerutan
yang disebut finger prints.
Rambut terdapat di seluruh kulit kecuali telapak tangan kaki dan bagian
dorsal dari phalanx distal jari tangan, kaki, penis, labia minor, dan bibir. Terdapat
2 jenis rambut, yaitu rambut terminal (dapat panjang dan pendek) dan rambut
velus (pendek, halus, dan lembut). Fungsi kulit secara umum adalah :
Fungsi Proteksi
Kulit menjaga bagian dalam tubuh terhadap gangguan fisis atau
mekanis, gangguan kimiawi, gangguan yang bersifat panas, gangguan
infeksi luar, terutama kuman/bakteri maupun jamur.
Fungsi Absorbsi
Kulit yang sehat tidak mudah menyerap air, larutan, benda padat,
tetapi cairan yang mudah menguap lebih mudah diserap, begitupun
yang larut lemak.
Fungsi Ekskresi
Kelenjar-kelenjar kulit mengeluarkan zat-zat yang tidak berguna lagi
atau sisa metabolisme dalam tubuh berupa NaCl, urea, asam urat, dan
ammonia.
Fungsi Persepsi
Kulit mengandung ujung-ujung saraf sensorik di dermis dan subkutis.
Terhadap rangsang panas (badan Ruffini di dermis dan subkutis),
dingin (Krause di dermis), rabaan (taktil Meissner di papilla dermis,
dan Merkel Ranvier di epidermis), dan tekanan (badan Paccini di
epidermis).
Fungsi Pengaturan Suhu Tubuh (Termoregulasi)
Kulit melakukan peranan ini dengan cara mengeluarkan keringan dan
mengerutkan (otot berkontraksi) pembuluh darah kulit.
7
Fungsi Pembentukan Pigmen
Sel pembentuk pigmen (melanosit) terletak di lapisan basal dan sel ini
berasal dari rigi saraf. Perbandingan jumlah sel basal : melanosit
adalah 10 : 1. Jumlah melanosit serta besarnya butiran pigmen
(melanosomes) menentukan warna kulit ras atau individu.
Fungsi Keratinisasi
Lapisan epidermis dewasa mempunyai 3 jenis sel utama, yaitu
keratinosit, sel Langerhans, dan melanosit. Keratinosit dimulai dari sel
basal mengadakan pembelahan dan menjadi sel sponosum, sel
granulosumm makin lama inti menghilang dan keratinosit ini menjadi
sel tanduk yang amorf.
Fungsi Pembentukan Vitamin D
Dimungkinkan dengan mungubah 7-dihidroksi kolesterol dengan
pertolongan sinar matahari.
1.3. Pemfigus
1.3.1.Definisi
Pemfigus ialah kumpulan penyakit kulit autoimun berbula kronik yang
menyerang kulit dan membran mukosa yang secara histologik ditandai dengan
bula intraepidermal akibat proses akantolisis dan secara imunopatologik
ditemukan antibodi terhadap komponen desmosom pada permukaan keratinosit
jenis IgG, baik terikat maupun beredar dalam sirkulasi darah.
Gambar 2.2 Bula Intraepidermal
8
1.3.2.Epidemiologi
Pada penelitian retrospektif yang dilakukan terhadap pasien pemfigus
vulgaris, pemfigus foliaseus atau keduanya menunjukkan bahwa epidemiologi
dari pemfigus tergantung pada wilayah di dunia yang diteliti dan juga populasi
etnis pada wilayah tersebut. Prevalensi pemfigus pada pria dan wanita untuk
kedua tipe ini hampir sama di semua wilayah. Pengecualian khusus yaitu
seringnya wanita menjadi fokus penyebaran pemfigus vulgaris di Tunisia dan
seringnya pria menjadi fokus penyebaran pemfigus vulgaris di Kolombia. Usia
rata-rata timbulnya penyakit ini berkisar antara 40-60 tahun. Namun, batas usia ini
dapat melebar dimana pernah ditemukan beberapa kasus pada anak maupun pada
usia lanjut. Walaupun semua etnik dapat terkena, namun pemfigus lebih sering
dijumpai pada orang Timur Tengah atau keturunan Yahudi. Di sebagian besar
negara, pemfigus vulgaris lebih sering ditemukan daripada pemfigus foliaseus,
kecuali di Finlandia, Tunisia, dan Brazil.
1.3.3.Klasifikasi
Terdapat 4 bentuk pemfigus, yaitu pemfigus vulgaris, pemfigus
eritematosus, pemfigus foliaseus, dan pemfigus vegetans. Selain itu, masih ada
beberapa bentuk yang tidak dibicarakan karena langka, ialah pemfigus
herpetiformis, pemfigus IgA, dan pemfigus paraneoplastik. Susunan tersebut
sesuai dengan insidensinya. Dari bentuk-bentuk pemfigus, bentuk yang paling
berbahaya adalah pemfigus paraneoplastik karena sering ditemukan pada pasien
yang telah didiagnosis mengalami keganasan (kanker). Namun, pemfigus
paraneoplastik merupakan bentuk yang paling jarang ditemukan.
Menurut Fitzpatrick’s pemfigus secara umum dibagi menjadi 4 tipe
utama, dua tipe yang tersering yaitu pemfigus vulgaris (PV), dengan akantolisis
suprabasal yang menyebabkan pemisahan sel-sel basal dari keratinosit stratum
spinosum, dan jenis yang kedua adalah pemfigus foliaseus (PF), dengan
akantolisis pada lapisan epidermis yang lebih dangkal yaitu pada stratum
9
granulosum. Selain itu bentuk pemfigus yang lebih jarang ialah pemfigus
paraneoplastik dan pemfigus IgA.
Gambar 2.3 Klasifikasi Pemfigus
Sumber : Fitzpatrick’s Dermatology
Menurut letak celah, pemfigus dibagi menjadi dua, yaitu di suprabasal
ialah pemfigus vulgaris dan variannya pemfigus vegetans, dan di stratum
granulosum adalah pemfigus foliasesus dan variannya pemfigus eritematosus.
Semua penyakit tersebut memberi gejala yang khas, yaitu pembentukan
bula yang kendur pada kulit yang umunya terlihat normal dan mudah pecah, pada
saat penekanan bula tersebut meluas (Nikolski +), akantolisis selalu +, dan
adanya antibodi tipe IgG terhadap antigen intraseluler di epidermis yang dapat
ditemukan di dalam serum maupun terikat di epidermis.
1.3.4.Etiologi dan Faktor Risiko
Para peneliti belum mengetahui secara pasti faktor risiko terjadinya
pemfigus, namun diduga kuat bahwa penyakit ini merupakan penyakit autoimun.
Pada keadaan normal, sistem imun tubuh menyerang virus, bakteri, dan substansi
berbahaya lainnya. Namun pada pasien pemfigus, sistem imun menyerang protein
normal yang disebut desmoglein pada kulit dan membran mukosa. Protein ini
10
mengikat sel bersama-sama, dan ketika protein ini rusak, epidermis akan terpisah
sehingga terbentuk lepuh.
Pasien dengan kanker sering mengalami pemfigus, terutama pada non-
Hodgkin limfoma dan leukemia limfositik kronik. Adanya kelainan autoimun
lainnya juga meningkatkan risiko terjadinya pemfigus, antara lain pada miastenia
gravis (penyakit autoimun kronik yang ditandai oleh adanya kelemahan otot) dan
timoma.
Pada beberapa kasus yang jarang terjadi, pemfigus dapat timbul akibat
mengkonsumsi obat-obatan seperti ACE inhibitor.
1.3.5.Patogenesis
Etiologi
Lepuh superfisial pada pemfigus foliaseus ini adalah hasil reaksi
yang diinduksi oleh IgG terutamanya IgG4, suatu autoantibodi yang
ditujukan langsung pada lapisan adhesi desmoglein 1(160kd) yang
terutamanya ditemukan pada stratum granulosum di epidermis. Antibodi
ini merupakan autoantibodi karena bereaksi terhadap sel pasien itusendiri,
sehingga antibodi ini dapat menyebabkan hilangnya adhesi antar
keratinosit dan menimbulkan lepuh-lepuh. Ketika IgG dari pasien
pemfigus vulgaris atau pemfigus foliaseus diinjeksikan ke mencit baru
lahir, maka IgG ini akan berikatan dengan permukaan keratinosit
epidermal dan menyebabkan lepuh yang memiliki gambaran histologi
yang sama pada pemfigus vulgaris atau pemfigus foliaseus.Mekanisme
yang terjadi melibatkan proses fosforilisasi protein intra selular yang
berhubungan dengan desmosome dan bukan disebabkan oleh mekanisme
komplemen. Hasil reaksi ini akan menyebabkan terjadinya proses
akantolisis.
Desmoglein
Gangguan adhesi keratinosit terjadi pada pasien pemfigus
foliaseus dan juga pada pemfigus vulgaris, maka dimungkinkan
11
autoantibodi pada pasien-pasien ini berikatan dengan molekul-molekul
dan mengganggu adhesi nya di desmosom. Desmosom adalah struktur
adhesi sel yang terutama dominan pada epidermis dan membran
mukosa. Molekul-molekul transmembran yang terdapat pada desmosom
ada dua golongan kelompok protein yaitu desmoglein dan desmokolin.
Kedua golongan protein ini berhubungan dengan Kaderin, yaitu suatu
molekul yang bertugas dalam pengaturan adhesi sel-sel. Oleh karena
itu, desmoglein dan desmokolin disebut kaderin desmosom yaitu yang
bertugas mengatur adhesi sel-sel di desmosom. Pada pasien pemfigus
foliaceus terdapat autoantibodi yang merusak desmoglein 1, sedangkan
pada pasien pemfigus vulgaris terdapat autoantibodi yang merusak
desmoglein 3.
Antidesmoglein
Adanya antibodi antidesmoglein menyebabkan terbentuknya
lepuh. Tikus-tikus yang diinjeksikan autoantibodi terhadap desmoglein
1 atau desmoglein 3 mengalami timbulnya lepuh-lepuh. Selain itu,
gambaran histologis dari pemfigus foliaseus dan pemfigus vulgaris juga
muncul pada lesi tersebut. Desmoglein 1 atau desmoglein 3 dapat
menyerap antibodi patogen dari serum penderita pemfigus. Titer dari
IgG autoantibodi anti-desmoglein 1 dan anti-desmoglein 3 berhubungan
dengan aktivitas penyakit. Serum pemfigus bisa juga berikatan dengan
antigen selain desmoglein 1 dan desmoglein 3, namun gambaran klinis
dari antibodi lain ini belum dapat dijelaskan seluruhnya. Misalnya,
autoantibodi IgG antidesmoglein 1 bereaksi silang dengan desmoglein
4, namun antibodi ini tidak memiliki efek patogen. Antibodi pada
serum penderita pemfigus dapat berikatan dengan antigen lain, seperti
reseptor asetilkolin, tapi antigen-antigen ini tidak tidak menyebabkan
terbentuknya lepuh.
12
Kompensasi Desmoglein
Pasien pemfigus yang memiliki perbedaan secara klinis
mempunyai sifat antibodi antidesmoglein. Pola autoantibodi ini, dan
distribusi dari isoform desmoglein pada epidermis dan membran
mukosa, menunjukkan kompensasi desmoglein dapat menjelaskan
lokalisasi lepuh pada pasien pemfigus vulgaris dan pemfigus foliaseus.
Teori kompensasi desmoglein berdasarkan dua pengamatan: yaitu
autoantibodi anti–desmoglein 1 atau anti–desmoglein 3 menginaktivasi
hanya desmoglein yang cocok, dan desmoglein 1 atau desmoglein 3
fungsional sendiri biasanya cukup untuk adhesi sel-sel.
Kompensasi desmoglein telah divalidasi secara penelitian pada
model pemfigus tikus baru lahir. Penyuntikan autoantibodi anti-
desmoglein 1 ke dalam tikus yang gen desmoglein 3 nya telah dihapus
menyebabkan lepuh pada daerah yang dilindungi oleh desmoglein 3
pada tikus normal. Sebalikanya, tikus transgenik yang direkayasa gen
desmoglein 3 pada lokasi jaringan yang secara normal hanya
mengekspresikan gen desmoglein 1, maka jaringannya terlindungi dari
terbentuknya lepuh akibat antibodi anti-desmoglein 1. Ekspresi
transgenik dari desmoglein 1 pada daerah yang secara normal hanya
mengekspresikan desmoglein 3 dapat mengkoreksi adhesi sel-sel oleh
karena hilangnya gen pada tikus yang telah mati. Oleh karena distribusi
desmoglein pada kulit bayi baru lahir mirip dengan distribusi
desmoglein pada membran mukosa, kompensasi desmoglein
menjelaskan mengapa lepuh biasanya tidak terbentuk pada bayi baru
lahir yang ibunya menderita pemfigus foliaseus, walaupun autoantibodi
dapat melintasi sawar plasenta dan berikatan dengan epidermis janin.
13
Gambar 2.4 Kompensasi desmoglein (Dsg). Gambar segitiga menunjukkan distribusi dari Dsg 1
dan 3 pada kulit dan membran mukosa. Antibodi anti-Dsg 1 pada pemfigus foliaseus
menyebabkan akantolisis hanya di permukaan epidermis dari kulit. Pada epidermis dan membran
mukosa bagian dalam, Dsg 3 mengadakan kompensasi terhadap adanya antibodi yang mengurangi
fungsi Dsg 1. Pada pemfigus vulgaris dini, terdapat antibodi yang hanya menyerang Dsg 3, yang
menyebabkan timbulnya lepuh hanya pada bagian dalam membran mukosa dimana Dsg 3
berlokasi tanpa adanya kompensasi dari Dsg 1. Namun, pada pemfigus mukokutan terdapat
antibodi yang menyerang Dsg 1 dan Dsg 3, dan lepuh terbentuk baik pada kulit maupun membran
mukosa. Lepuh terletak di dalam karena antibodi berdifusi dari dermis dan mengganggu fungsi
desmosom pada bagian basal epidermis.
Autoantibodi pemfigus dan hilangnya adhesi keratinosit
o Inaktivasi Desmoglein
Beberapa peneliti mengatakan bahwa antibodi pemfigus bekerja
dengan memulai cascade proteolitik yang memotong molekul sel
permukaan secara nonspesifik. Pada penelitian selanjutnya
hipotesis ini tidak disetujui. Terbukti bahwa antibodi anti-
desmoglein 3 dan anti-desmoglein 1 menginaktivasi desmoglein
secara spesifik. Lesi yang disebabkan oleh antibodi ini sangatlah
mirip dengan lesi yang disebabkan oleh inaktivasi desmoglein 3
atau desmoglein 1. Sebagai contoh, gambaran patologis dari kulit
14
tikus yang telah mati dengan inaktivasi gen Dsg3 mirip dengan
pasien yang menderita pemfigus vulgaris dan dengan tikus-tikus
yang telah diinjeksikan dengan antibodi anti-desmoglein 3. Begitu
juga pada tikus-tikus dan manusia, toksin eksfoliatif yang
memecah desmoglein 1 secara spesifik menyebabkan lepuh yang
identik dengan lepuh yang disebabkan oleh antibodi anti-
desmoglein 1 pada kasus pemfigus foliaseus. Berdasarkan temuan
ini bersama dengan teori kompensasi desmoglein mengarah
kepada bahwa antibodi pemfigus hanya menginaktivasi
desmoglein targetnya secara spesifik dan tidak menyebabkan
hilangnya fungsi generalisata dari adhesi molekul permukaan sel.
o Efek langsung dan tidak langsung dari antibodi pemfigus
Masih belum jelas apakah autoantibodi bekerja secara langsung
atau tidak langsung. Terdapat bukti bahwa autoantibodi pemfigus
memblok adhesi sel dengan mengganggu transinteraksi
desmoglein secara langsung (misalnya, interaksi desmoglein dari
satu sel dengan sel itu sendiri atau dengan desmocollin pada sel
sebelahnya). Penelitian telah menunjukkan bahwa fragmen
autoantibodi pemfigus yang berisi domain antigen-binding saja
dan kekurangan regio efektor dari antibodi dapat menstimulasi
timbulnya lepuh pada tikus percobaan. Selain itu juga, oleh
karena kekurangan kemampuan dari molekul permukaan sel
untuk bereaksi silang mungkin yang menyebabkan gangguan
adhesi sel. Selanjutnya, sebuah antibodi IgG anti-desmoglein 3
monoklonal tikus percobaan yang berikatan dengan permukaan
N-terminal adhesif menginduksi lesi pemfigus vulgaris pada tikus
percobaan, dimana antibodi monoklonal yang lain bereaksi
dengan bagian yang kurang penting dari desmoglein 3 secara
fungsional tidak menyebabkan lesi pada tikus percobaan.
Sebaliknya, hasil dari penelitian terbaru yang menggunakan
15
pengukuran daya atom satu molekul, sebuah metode biomekanik
yang mengukur derajat dari ikatan protein, menunjukkan bahwa
antibodi anti-desmoglein 1 IgG pada serum penderita pemfigus
foliaseus tidak mengganggu secara langsung dengan
transinteraksi desmoglein 1 adhesif. Pada sistem ekstraselular ini,
ikatan dari desmoglein 1 kepada sel itu sendiri tidak dihambat
oleh antibodi anti-desmoglein 1 yang patogen. Penelitian lain
menunjukkan bahwa inaktifasi fungsional langsung dari
desmoglein tidak cukup untuk menyebabkan timbulnya lepuh dan
bahwa autoantibodi pemfigus dapat bekerja melalui mekanisme
sinyal yang lebih rumit. Penambahan IgG dari serum penderita
pemfigus vulgaris ke keratinosit yang dibiakkan menginduksi
beberapa sinyal, temasuk peningkatan kalsium dan inositol 1,4,5-
trifosfat intraselular, aktivasi dari protein kinase C, dan fosforilasi
dari desmoglein 3, yang kemudian menyebabkan terjadinya
internalisasi dari desmoglein 3 di permukaan sel, dengan deplesi
resultante desmoglein 3 pada desmosom. IgG pemfigus vulgaris
juga dilaporkan dapat menginduksi aktivasi jalur sinyal yang
menyebabkan terjadinya reorganisasi dari sitoskeleton, apoptosis
keratinosit, atau keduanya. Penelitian lebih lanjut masih
diperlukan untuk mengklarifikasi apakah mekanisme sinyal
seperti disebutkan di atas terlibat dalam pembentukkan lepuh in
vivo, karena kebanyakan dari penelitian pada transduksi sinyal
dilakukan secara in vitro dengan memakai keratinosit biakan.
1.3.5.1. Pemfigus Vulgaris
1.3.5.1.1. Epidemiologi
Pemfigus vulgaris (P.V.) merupakan bentuk yang tersering dijumpai
(80% semua kasus). Penyakit ini tersebar di seluruh dunia dan dapat mengenai
16
semua bangsa dan ras. Frekuensinya pada kedua jenis kelamin sama. Umumnya
mengenai umur pertengahan (dekade ke-4 dan ke-5), tetapi dapat juga mengenai
semua umur, termasuk anak.
1.3.5.1.2. Gejala Klinis
Keadaan umum penderita biasanya buruk. Penyakit dapat mulai sebagai
lesi di kulit kepala yang berambut atau di rongga mulut kira-kira pada 60% kasus,
berupa erosi yang disertai pembentukan krusta, sehingga sering salah didiagnosis
sebagai pioderma pada kulit kepala yang berambut atau dermatitis dengan infeksi
sekunder. Lesi di tempat tersebut dapat berlangsung berbulan-bulan sebelum
timbul bula generalisata.
Semua selaput lendir dengan epitel skuamosa dapat diserangm yakni
selaput lendir konjungtiva, hidung, farings, larings, esofagus, uretra, vulva, dan
serviks. Kebanyakan penderita menderita stomatitis aftosa sebelum diagnosis pasti
ditegakkaan. Lesi di mulut ini muncul dalam 60% kasus. Bula akan dengan
mudah pecah dan mengakibatkan erosi mukosa yang terasa nyeri. Lesi ini akan
meluas ke bibir dan membentuk krusta. Keterlibatan tenggorok akan
mengakibatkan timbulnya suara serak dan kesulitan menelan. Esofagus dapat
terlibat, dan telah dilaporkan suatu esophagitis dissecans superficialis sebagai
akibatnya.
Pemfigus vulgaris ditandai oleh adanya bula berdinding tipis, relatif
flaksid, dan mudah pecah yang timbul baik pada kulit atau membran mukosa
normal maupun di atas dasar eritematous. Tanda Nikolski positif disebabkan oleh
karena hilangnya kohesi antar sel di epidermis sehingga lapisan atas dapat dengan
mudah digeser ke lateral dengan tekanan ringan. Cara mengetahui tanda tersebut
ada dua, pertama dengan menekan dan menggeser kulit diantara dua bula dan kulit
tersebut akan terkelupas. Cara kedua dengan menekan bula, maka bula akan
meluas karena cairan yang didalamnya mengalami tekanan. Cairan bula pada
awalnya jernih tetapi kemudian dapat menjadi hemoragik bahkan seropurulen.
Bula-bula ini mudah pecah, dan secara cepat akan ruptur sehingga terbentuk erosi.
17
Erosi ini sering berukuran besar dan dapat menjadi generalisata. Kemudian erosi
akan tertutup krusta yang hanya sedikit atau bahkan tidak memiliki
kecenderungan untuk sembuh. Tetapi bila lesi ini sembuh sering berupa
hiperpigmentasi tanpa pembentukan jaringan parut.
Pruritus tidak umum ditemukan pada pemfigus, tetapi penderita sering
mengeluh nyeri pada kulit yang terkelupas.
Gambar 2.5 Pemfigus Vulgaris : A. Bula Flaksid, B. Lesi Oral C. Erosi Luas
1.3.5.1.3. Diagnosis Banding
Pemfigus vulgaris dibedakan dengan dermatitis herpetiformis dan
pemfigoid bulosa. Dermatitis herpetiformis dapat mengenai anak dan dewasa,
18
keadaan umumnya baik, keluhannya sangat gatal, ruam polimorf, dinding
vesikel/bula tegang dan berkelompok, dan mempunyai tempat predileksi.
Sebaliknya pemfigus terutama terdapat pada orang dewasa, keadaan umumnya
buruk, tidak gatal, bula berdinding kendur, dan biasanya generalisata.
Pada gambaran histopatologik dermatitis herpetiformis, letak vesikel/bula
di subepidermal, sedangkan pada pemfigus vulgaris terletak di intraepidermal dan
terdapat akantolisis. Pemeriksaan imunofluoresensi pada pemfigus menunjukkan
IgG yang terletak intraepidermal, sedangkan pada dermatitis herpetiformis
terdapat IgA berbentuk granular infiltrat.
Pemfigoid bulosa berbeda dengan pemfivulgaris karena keadaan
umumnya baik, dinding bula tegang, letaknya disubepidermal, dan terdapat lgG
linear.
1.3.5.1.4. Pengobatan
Obat utama ialah kortikosteroid karena bersifat imunosupresif.
Kortikosteroid yang paling banyak digunakan ialah prednison dan deksametason.
Dosis prednison bervariasi bergantung pada berat ringannya penyakit, yakni 60-
150 mg sehari. Ada pula yang menggunakan 3 mg/kgBB sehari bagi pemfigus
yang berat.
Cara pemberian kortikosteroid yang lain dengan terapi denyut. Caranya
bermacam-macam yang lazim digunakan ialah dengan metil prenidosolon sodium
succinate (solumedrol), i.v. selama 2-3 jam, diberikan jam 8 pagi untuk lima hari.
Dosis sehari 250-1000 mg (10-20 mg per kgBB), kemudian dilanjutkan dengan
kortikoisteroid per os dengan dosis sedang atau rendah. Efek samping yang berat
pada terapi denyut tersebut di antaranya ialah, hipertensi, elektrolit sangat
terganggu, infark miokard, aritmia jantung sehingga dapat menyebabkan kematian
mendadak, dan pankreatitis.
Untuk mengurangi efek samping dari penggunaan kortikosteroid
dikombinasikan dengan sitostatik sebagai tambahan pada pengobatan pemfigus
meskipun cara pemberiannya masih terdapat dua pendapat :
19
1. Sejak mula diberikan bersama-sama dengan kortikosteroid sistemik.
Maksudnya agar dosis kortikosteroid tidak terlampau tinggi sehingga efek
sampingnya lebih sedikit.
2. Sitostatik diberikan, bila :
a. Kortikosteroid sistemik dosis tinggi kurang memberi respons.
b. Terdapat kontraindikasi, misalnya ulkus peptikum, diabetes
melitus, katarak, dan osteoporosis.
c. Penurunan dosis pada saat telah terjadi perbaikan tidak seperti yang
diharapkan.
Pemberian siklofosfamid (1,5 – 2,5 mg/kg/hari) atau azathioprine (1,5 –
2,5 mg/kg/hari) bisa bersamaan dengan kortikosteroid ataupun setelah pengobatan
dengan kortikosteroid. Terapi tambahan yang lain yang dapat diberikan adalah
anti inflamasi seperti dapson.
1.3.5.1.5. Prognosis
Sebelum kortikosteroid digunakan, maka kematian terjadi pada 50%
penderita dalam tahun pertama. Sebab kematian ialah sepsis, kakeksia, dan
ketidakseimbangan elektrolit. Pengobatan dengan kortikosteroid membuat
prognosisnya lebih baik.
20
1.3.5.2. Pemfigus Foliaseus
1.3.5.2.1. Epidemiologi
Pemfigus memiliki prevalensi di seluruh dunia dan kejadian tahunan
mencapai sekitar 0,1-0,5 per 100.000 populasi. Kejadian pemfigus pada pasien
dari keturunan Yahudi lebih tinggi, dengan sekitar 1,6-3,2 kasus per 100.000
penduduk Yahudi setiap tahun. Penyakit ini memiliki kejadian tertinggi antara
usia 40 – 60 tahun.
Selain itu prevalensi pemfigus foliaseus ini pada laki-laki dan perempuan
hampir sama di semua tempat kecuali di Tunisia, dimana prevalensi pemfigus
foliaseus ini lebih didominasi oleh perempuan ketimbang laki-laki. Kenyataan ini
sebaliknya di Colombia dimana laki-laki lebih dominan. Ini menunjukkan
epidemologi pemfigus ini mungkin dipengaruhi faktor lingkungan dan etnik.
1.3.5.2.2. Klasifikasi
Pemfigus Foliaseus selanjutnya dibagi menjadi 2 subtipe yaitu :
a) Pemfigus Eritematosus atau Sindroma Senear-Usher
Yaitu bentuk lokal dari pemfigus foliaseus yang hanya terbatas pada daerah
wajah dan seborhoik yang sering dikelirukan dengan lupus eritematosus.
Keadaan umum penderita baik. Lesi mula-mula sedikit dan dapat berlangsung
berbulan-bulan, sering disertai remisi. Lesi kadang-kadang terdapat di mukosa.
Kelainan kulit berupa bercak-bercak eritema berbatas tegas dengan skuama dan
krusta di muka menyerupai kupu-kupu sehingga mirip lupus eritematosus dan
dermatitis seboroika. Hubungannya dengan lupus eritematosus juga terlihat
pada pemeriksaan imunofluoresensi langsung. Pada tes tersebut didapati
antibodi di interselular dan juga di membrana basalis. Lesi juga didapatkan di
tempat lain selain di muka yang ditandai dengan adanya bula yang kendur.
21
b) Pemfigus Endemik
Pemfigus Foliaseus Endemik (terutama ditemukan di lembah-lembah sungai
pedesaan Brasil). Juga dikenal sebagai fogo selvagem yang bearti Api Liar
(Wildfire).
1.3.5.2.3. Gejala Klinis
Gejalanya tidak seberat pemfigus vulgaris. Perjalanan penyakit kronik,
remisi terjadi temporer. Penyakit mulai dengan timbulnya vesikel/bula, skuama
dan krusta dan sedikit eksudatif, kemudian memecah dan meninggalkan erosi.
Mula-mula dapat mengenai kepala yang berambut, muka, dan dada bagian atas
sehingga mirip dermatitis seboroik. Kemudian menjalar simetrik dan mengenai
seluruh tubuh setelah beberapa bulan. Yang khas ialah terdapatnya eritema yang
menyeluruh disertai banyak skuama yang kasar, sedangkan bula yang berdinding
kendur hanya sedikit, agak berbau. Penyakit ini dapat menetap secara lokal untuk
beberapa tahun, atau dapat secara cepat menjadi generalisata sehingga terjadi
eritroderma eksfoliatif. Lesi di mulut jarang terdapat.
Paparan sinar matahari, panas, atau keduanya dapat menyebabkan
eksaserbasi dari penyakit ini. Pasien dengan pemfigus foliaseus sering mengeluh
nyeri dan rasa seperti terbakar pada lesi di kulitnya. Berbeda dengan pemfigus
vulgaris, pemfigus foliaseus jarang melibatkan membran mukosa.
Gambar 2.6 Pemfigus foliaseus. A. Lesi berkrusta dan berskuama pada punggung atas.
B. Eritroderma eksfoliatif akibat lesi yang konfluen
22
1.3.5.2.4. Diagnosis Banding
Karena terdapat eritema yang menyeluruh, penyakit ini mirip
eritroderma. Perbedaannya dengan eritroderma karena sebab lain, pada pemfigus
foliaseus terdapat bula dan tanda Nikolski positif. Kecuali itu pemeriksaan
histopatologik juga berbeda. Selain eritroderma, penyakit ini mirip dengan
impetigo bulosa, dermatosis pustural subkorneal, dermatosis bulosa IgA linear,
dan dermatitis seboroik.
1.3.5.2.5. Pengobatan
Pengobatannya dengan kortikosteroid, kortikosteroid yang paling banyak
digunakan ialah prednison dan deksametason. Dosis prednison bervariasi
bergantung pada berat ringannya penyakit, Dosis patokan prednison 60 mg sehari.
Bila pemfigus foliaseus aktif dan luas, pengobatan secara umum sama
seperti pemfigus vulgaris. Pada beberapa pasien, pemfigus foliaseus dapat
menetap secara lokal selama bertahun-tahun sehingga tidak memerlukan terapi
sistemik, dan penggunaan kortikosteroid topikal superpoten dapat bermanfaat
untuk mengontrol penyakit ini.
1.3.5.2.6. Prognosis
Hasil pengobatan dengan kortikosteroid tidak sebaik seperti pada tipe
pemfigus yang lain. Penyakit akan berlangsung kronik.
23
1.3.5.3. Pemfigus Vegetans
1.3.5.3.1. Definisi
Pemfigus vegetans ialah varian jinak pemfigus vulgaris dan sangat jarang
ditemukan.
1.3.5.3.2. Klasifikasi
Pemfigus vegetans mempunyai 2 tipe, yang pertama adalah tipe
Neumann dan yang kedua adalah tipe Hallopeau (pyodermite vegetante).
1.3.5.3.3. Gejala Klinis
Gejala klinis pada tipe Neumann biasanya menyerupai pemfigus vulgaris,
kecuali timbulnya pada usia lebih muda. Tempat predileksi di muka, aksila,
genitalia eksterna, dan daerah Intertrigo yang lain. Yang khas pada penyakit ini
ialah terdapatnya bula-bula yang kendur, menjadi erosi dan kemudian menjadi
vegetatif dan proliferatif papilomatosa terutama di daerah intertrigo. Lesi oral
hampir selalu ditemukan. Perjalanan penyakitnya lebih lama daripada pemfigus
vulgaris, dapat terjadi lebih akut, dengan gambaran pemfigus vulgaris lebih
dominan dan dapat fatal.
Gejala klinis pada tipe Hallopeau pada umumnya berjalan secara kronik,
tetapi dapat seperti pemfigus vulgaris dan fatal. Lesi primer ialah pustul-pustul
yang bersatu, meluas ke perifer, menjadi vegetatif dan menutupi daerah yang luas
di aksila dan perineum. Di dalam mulut, dalam terlihat gambaran yang khas ialah
granulomatosis seperti beledu.
24
1.3.5.3.4. Histopatologi
Gambaran histopatologi tipe Neumann berupa lesi dini sama seperti pada
pemfigus vulgaris, tetapi kemudian timbul proliferasi papil-papil ke atas,
pertumbuhan ke bawah epidermis, dan terdapat abses-abses intraepidermal yang
hampir seluruhnya berisi eosinofil.
Gambaran histopatologi tipe Hallopeau berupa lesi permulaan sama
dengan tipe Neumann, terdapat akantolisis suprabasal, mengandung banyak
eosinofil, dan terdapat hiperplasi epidermis dengan abses eosinofilik pada lesi
yang vegetatif. Pada keadaan lebih lanjut akan tampak papilomatosis dan
hiperkeratosis tanpa abses.
1.3.5.3.5. Pengobatan
Obat utama ialah kortikosteroid karena bersifat imunosupresif.
Kortikosteroid yang paling banyak digunakan ialah prednison dan deksametason.
Dosis prednison bervariasi bergantung pada berat ringannya penyakit, yakni 60-
150 mg sehari.
1.3.5.3.6. Prognosis
Tipe hallopeau, prognosisnya lebih baik karena berkecenderungan
sembuh.
25
1.3.5.4. Pemfigus Paraneoplastik
1.3.5.4.1. Definisi
Pemfigus paraneoplastik adalah pemfigus yang ditemukan pada pasien
yang telah didiagnosis mengalami keganasan (kanker). Pemfigus paraneoplastik
merupakan bentuk yang paling jarang ditemukan.
1.3.5.4.2. Epidemiologi
Bentuk ini sering dikaitkan dengan adanya neoplasma, baik jinak
maupun ganas. Neoplasma yang paling sering dihubungkan dengan penyakit ini
antara lain limfoma non-Hodgkin (40%), leukemia limfositik kronik (30%),
Castleman’s disease (10%), timoma jinak dan ganas (6%), sarkoma (6%), dan
Waldenstorm’s macroglobulinemia (6%).
Gambar 2.7 Tumor yang sering dikaitkan dengan pemfigus paraneoplastik
1.3.5.4.3. Gejala Klinis
Gambaran klinis yang paling sering dijumpai adalah adanya stomatitis
yang sukar semubuh. Stomatitis berat biasanya merupakan tanda yang paling
26
awal, dan setelah mendapat pengobatan, stomatitis ini tetap ada dan resisten
terhadap pengobatan. Stomatitis ini terdiri dari erosi dan ulserasi yang menyerang
seluruh permukaan orofaring dan mengadakan penyebaran pada bibir. Sebagian
besar pasien juga mengalami konjungtivitis pseudomembran yang berat, yang
dapat berkembang menjadi parut dan terjadi obliterasi pada forniks konjungtiva.
Lesi mukosa pada esofagus, nasofaring, vagina, labia, dan penis dapat juga
ditemukan.
Lesi di kulit bentuknya bervariasi, antara lain dapat berupa makula
eritematous, lepuh flaksid dan erosi yang menyerupai pemfigoid bulosa, lesi
seperti eritema multiforme, dan liken. Adanya lepuh dan lesi seperti eritema
multiforme pada telapak tangan dan kaki sering digunakan sebagai ciri untuk
membedakan pemfigus paraneoplastik dari pemfigus vulgaris.
Gambar 2.8 A. Erosi luas pada bibir pasien dengan pemfigus paraneoplastik dan limfoma.
Stomatitis berat yang khas disertai dengan lesi kutan polimorfik. B. Ulserasi yang nyeri pada
bagian lateral lidah. C. Lesi di trunkus pada pasien yang sama dalam gambar A. Makula dan
papula eritematous yang menjadi erosi pada bagian atas dada. D. Lesi di lengan bawah pada pasien
yang sama.
27
1.3.5.4.4. Diagnosis Banding
Diagnosis banding bentuk ini adalah pemfigus vulgaris, pemfigoid
sikatrisial, eritema multiforme atau sindrom Stevens Johnson, liken planus, infeksi
HSV persisten, dan infeksi virus lain.
1.3.5.4.5. Pengobatan
Pasien dengan tumor jinak seperti timoma atau Castleman tumor,
sebaiknya dilakukan pembedahan pada tumor tersebut. Sebagian besar pasien
akan mengalami perbaikan setelah dilakukan bedah eksisi pada tumor-tumor yang
mendasari terjadinya pemfigus paraneoplastik, bahkan sebagian mencapai remisi
lengkap. Remisi dari penyakit autoimun dapat berlangsung selama 1-2 tahun
setelah pembedahan sehingga penggunaan imunosupresan selama periode tersebut
sangat dianjurkan. Pengobatan umum pada bentuk ini biasanya adalah kombinasi
prednison dan rituximab. Pada kasus anak dengan penyakit saluran nafas,
autoimun yang menetap setelah pembedahan dapat menyebabkan kerusakan paru
sehingga diperlukan transplantasi paru untuk keselamatan jangka panjang.
Pada pasien dengan tumor ganas, belum ada terapi standar yang efektif.
Penambahan kemoterapi spesifik tumor dapat menghasilkan resolusi lengkap dari
keganasan dan resolusi perlahan untuk lesi di kulit. Walaupun lesi kulit memiliki
respon yang lebih baik terhadap terapi, stomatitis biasanya tidak berespon
terhadap berbagai bentuk terapi.
Selain kortikosteroid, para peneliti telah mencoba memberikan obat-obat
lain pada kasus-kasus tersendiri, namun tidak terbukti efektif. Metode yang telah
dilakukan dan seringkali tidak berhasil antara lain pemberian imunosupresan
seperti siklofosfamid, mikofenolat mofetil atau azatioprin, emas, dapson,
plasmaferesis, dan fotoferesis. Hanya sedikit pasien yang memberikan respon
terhadap kombinasi pengobatan yang ditujukan pada autoimunitas humoral dan
yang dimediasi sel. Pasien-pasien ini menerima prednison oral, rituximab, dan
daclizumab, yang merupakan monoklonal antibodi terhadap CD25 dengan afinitas
28
tinggi terhadap reseptor IL-2. Metode ini merupakan metode yang kurang toksik
dalam meregulasi baik autoimunitas humoral maupun yang dimediasi sel, dengan
hasil segera yang menjanjikan.
1.3.5.4.6. Prognosis
Pada pemfigus paraneoplastik, prognosis tidak terlalu baik karena timbul
disertai dengan adanya suatu keganasan.
1.3.6.Diagnosis
Untuk dapat mendiagnosis suatu pemfigus diperlukan anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang lengkap. Lepuh dapat dijumpai pada berbagai penyakit
sehingga dapat mempersulit dalam penegakkan diagnosis. Perlu dilakukan
pemeriksaan manual dermatologi untuk membuktikan adanya Nikolsky’s sign
yang menunjukkan adanya pemfigus. Beberapa pemeriksaan penunjang lain yang
dapat dilakukan antara lain:
Biopsi kulit dan patologi anatomi. Pada pemeriksaan ini, diambil sampel
kecil dari kulit yang berlepuh dan diperiksa di bawah mikroskop. Gambaran
histopatologi utama adalah adanya akantolisis yaitu pemisahan keratinosit satu
dengan yang lain. Pada pemfigus vulgaris dapat dijumpai adanya akantolisis
suprabasiler, sedangkan pada pemfigus foliaseus akantolisis terjadi di bawah
stratum korneum dan pada stratum granulosum.
29
Gambar 2.9 Gambaran hitopatologi pemfigus. A. Pemfigus vulgaris. B. Pemfigus foliaseus.
C.Pemfigus paraneoplastik
Sumber : Fitzpatrick’s Dermatology
Imunofluoresensi. Pemeriksaan ini terdiri dari:
o Imunofluoresensi langsung. Sampel yang diambil dari biopsi diwarnai
dengan cairan fluoresens. Pemeriksaan ini dinamakan direct
immunofluorescence (DIF). Pemeriksaan DIF memerlukan mikroskop
khusus untuk dapat melihat antibodi pada sampel yang telah diwarnai
dengan cairan fluoresens dan didapatkan antibodi interseluler tipe IgG
dan C3.
o Imunofluoresensi tidak langsung. Antibodi terhadap keratinosit
dideteksi melalui serum pasien dan didapatkan antibodi tipe IgG.
o Tes pertama lebih dapat dipercaya dibandingkan tes yang kedua karena
telah dapat memberikan hasil yang positif pada awal perjalanan
30
A B
C
penyakit dan tetap positif dalam jangka waktu yang lama meskipun
gejala klinis penyakit telah membaik.
o Antibodi ini sangat spesifik untuk pemfigus karena kadar titernya
umumnya sejajar dengan beratnya penyakit dan akan menurun serta
menghilang.
Gambar 2.10 Imunofluoresensi pada pemfigus. A. Imunofluoresensi langsung.
B. Imunofluoresensi tidak langsung.
Tes darah. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengidentifikasi adanya antibodi
terhadap protein yang disebut desmoglein. Adanya antibodi tersebut
mengindikasikan terjadinya pemfigus.
1.3.7.Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi adalah infeksi kulit dan penyebaran
infeksi melalui aliran darah (sepsis). Infeksi sistemik dapat menyebabkan
kematian.
Komplikasi dari pemfigus paraneoplastik meliputi masalah pernapasan.
Angka kematian dari tipe ini diperkirakan 90%.
Komplikasi lainnya adalah kemungkinan efek samping dari pengobatan
yang digunakan terutama kortikosteroid.
31
BAB III
KESIMPULAN
Pemfigus merupakan sekelompok penyakit berlepuh autoimun pada kulit
dan membran mukosa yang ditandai oleh lepuh intraepidermal karena hilangnya
hubungan antar keratinosit secara histologi dan ditemukannya IgG autoantibodi
terikat dan bersirkulasi secara imunologis yang menyerang permukaan keratinosit.
Pemfigus terdiri dari 3 bentuk utama, yaitu pemfigus vulgaris, foliaseus,
dan paraneoplastik. Pemfigus vulgaris merupakan bentuk yang paling sering
ditemukan sedangkan pemfigus paraneoplastik merupakan bentuk yang paling
berbahaya. Gambaran klinis berupa adanya lepuh pada kulit dan membran
mukosa. Gambaran klinis dari ketiga bentuk pemfigus bervariasi tergantung dari
tipenya masing-masing.
Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan histopatologi, imunologi
(imunofluoresens), dan tes darah. Pemfigus dapat berakibat fatal karena dapat
menimbulkan berbagai komplikasi, namun komplikasi ini juga dapat timbul
sebagai akibat dari terapi.
Prinsip terapi adalah untuk mengurangi pembentukan autoantibodi, tidak
hanya menekan peradangan lokal sehingga digunakan kortikosteroid sistemik dan
obat-obat imunosupresif. Namun, efek samping dari obat tersebut harus
diwaspadai karena dapat mengakibatkan kematian.
Secara umum prognosis pemfigus foliaseus lebih baik dari pemfigus
vulgaris, sedangkan prognosis pada pemfigus paraneoplastik selalu buruk.
32
DAFTAR PUSTAKA
Amagai M. 2008. Pemfigus. In: Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP (eds).
Dermatology. Spain: Elsevier. p5: 417-29.
Hunter J, Savin J, Dahl M. 2002. Clinical Dermatology. 3rd ed. Victoria: Blackwell
Publishing. p9: 108-9.
Stanley JR. 2008. Pemfigus. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA,
Paller AS, Leffell DJ (eds). Fitzpatrick's dermatology in general medicine (two
vol. set). 7th ed. New York: McGraw-Hill. p459-74.
American Osteopathic College of Dermatology. 2009. Pemfigus. Available from:
URL: HYPERLINK http: http://www.aocd.org/skin/dermatologic_diseases/
pemfigus.html.
Mayo Clinic Staff. 2008. Pemfigus. Available from: URL: HYPERLINK http:
http://www.mayoclinic.com/health/pemfigus/DS00749.
Berger TG, Odom RB, James WD. 2000. Andrew’s disease of the skin. 9 th ed.
Philadelphia: WB Saunders Co. p21: 574-84.
33