pembelajaran bahasa inggris bagi siswa belia speaking...

48
Edisi 14 Tahun VIII Juni 2010 Diterbitkan oleh PPPPTK Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional Pembelajaran Bahasa Inggris bagi Siswa Belia Speaking English in Classroom Activities John Keats: The British Romantic Poet with the Tone of Melancholy Lernstationen: Kesempatan Belajar Mandiri Pembelajaran Kosakata dan Daya Ingat Perencanaan Bahasa Terjemah Teks Bahasa Arab dan Metodenya

Upload: others

Post on 04-Oct-2019

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Edisi 14 Tahun VIII Juni 2010

Diterbitkan olehPPPPTK Bahasa

Kementerian Pendidikan Nasional

Pembelajaran Bahasa Inggris bagi Siswa BeliaSpeaking English in Classroom ActivitiesJohn Keats: The British Romantic Poet with the Tone of MelancholyLernstationen: Kesempatan Belajar MandiriPembelajaran Kosakata dan Daya IngatPerencanaan BahasaTerjemah Teks Bahasa Arab dan Metodenya

MEDIA Komunikasi dan Informasi Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Bahasa ini meru-pakan salah satu media informasi dan komunikasi antar-unit di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional, terutama antara

PPPPTK Bahasa dengan PPPPTK lain, LPMP, Direktorat-Direktorat yang relevan, pendidik, dan tenaga kependidikan bahasa.Media Informasi dan Komunikasi ini memuat informasi tentang kebahasaan dan pengajarannya serta kegiatan yang berkaitan

dengan pendidikan dan pelatihan guru bahasa. Kami mengundang para pembaca untuk berperan serta menyumbangkan buah pikiran yang sesuai dengan misi media ini, berupa pendapat atau tanggapan tentang bahasa, pengajarannya, dan ulasan tulisan pada media ini serta tulisan di bidang non-pendidikan bahasa.

Kami akan memperbaiki redaksional tulisan atau meringkas naskah yang akan terbit tanpa mengubah materi pokok tulisan. Bagi penulis yang artikel atau tulisan beritanya dimuat akan diberi honorarium yang pantas. e

Gejala

apa ini

gerangan,

ketika menyebut

beberapa

nama barang

atau aktivitas

tertentu, kita

senang sekali memakai emblem

pelengkap nama-nama kota atau

negeri luar. Coba saja perhatikan:

air belanda, anggur perenggi

(bahasa lama untuk Portugis),

kunci inggris, garam inggris,

sawo manila, bebek manila, es

sanghai, ayam saigon, lemon cina,

kucing anggora (sebutan nama

untuk Ankara, kota di Turki),

martabak melabar, akar parsi

(Persia), perkutut bangkok, anjing

peking (nama lama Beijing),

boneka india, gitar spanyol, baju

hawaii, parisnya jawa (Bandung),

kembang jepun (bahasa lama

untuk Jepang), akal keling,

mabuk keling, sport arab, dan

seterusnya.

Boleh jadi gejala itu tumbuh

karena kita kurang yakin pada

milik sendiri di sekitar visi

9 dari 10 Kata Bahasa Indonesia adalah Asing

kepribadian, tetapi bisa juga

karena kita mewarisi kebiasaan-

kebiasaan lama para pitarah yang

cenderung mengekspresikan diri

dengan ikatan-ikatan nostalgia

ke negeri asal. Dalam kalimat

ini samar-samar kita digiring

untuk menerima kesimpulan yang

sebetulnya bukan baru, bahwa

pitarah bangsa Indonesia adalah

pendatang dari banyak negeri,

dan oleh sebab itu, dalam mencari

jawaban akan kebudayaannya—

yang bisa diperiksa melalui

bahasanya—akhirnya layak

dikatakan sebagai kebudayaan

imigran.

Untuk menguji itu baik

diselisik sekian jumlah kata

bahasa Indonesia. Bukan

bergurau, walau mungkin

berlebihan, jika dikatakan 9

dari 10 kata bahasa Indonesia

adalah asing. Asing di sini

disempitkan bukan saja bahasa-

bahasa Eropa (Belanda, Portugis,

Inggris, Prancis, Spanyol, Yunani,

Italia), atau bahasa-bahasa Asia

(Sanskerta, Arab, Tionghoa,

Tamil, Persia, Ibrani), tetapi juga

bahasa-bahasa daerah Indonesia

sendiri (Jawa, Minangkabau,

Betawi, Sunda, Bugis-Makassar,

Batak, dan lain-lain).

Sekarang, coba kita baca

‘cerita’ ini: “Meski hari gerimis,

setelah sembahyang lohor, para

santri mengayuh roda sepedanya ke

pasar, disuruh paderi membeli koran

dan majalah, tetapi ternyata kiosnya

disegel sebab bangkrut, jadi mampirlah

semuanya di toko buku yang uniknya

malah menyediakan perabotan khusus

keluarga yang ditaburkan di meja

baca, antara lain teko porselen, peniti

emas, lap, setrika listrik, serta kalender

berfoto artis idola.” Mari kita simak

satu per satu kata-kata dalam

cerita ini:

Meski (Portugis: masque), hari

(Sanskerta: gelar dewa pengatur

surya), setelah (Kawi: telas),

sembahyang (Sanskerta: Sembah

hyang), lohor (Arab: dzuhur),

para (Kawi: para), santri (Tamil:

santri), mengayuh (Minangkabau:

kayuh), roda (Portugis: roda),

sepeda (Prancis: velocipede),

pasar (Persia: bazar), disuruh

senaraibahasa

bersambung ke halaman 43

Ditulis ulang oleh Yusup Nurhidayat dari buku 9 dari 10 Kata Bahasa Indonesia adalah Asing karya Alif Danya Munsyi (Jakarta. KPG (Kepustakaan Populer Gramedia). 2003)

Pada edisi kali ini, Ekspresi me-

nyuguhkan tulisan utamanya

me nge nai hasil nilai mata pelajaran bahasa Indo-

nesia pada ujian nasional (UN) 2010. Data menun-

jukkan kalau nilai bahasa Indonesia pada UN

2010 ternyata amat mengkhawatirkan. Bagaimana

tidak, se tiap tahunnya nilai bahasa Indonesia pada

UN mengalami penurunan. Dan tahun 2010 ini

adalah yang paling rendah daripada tahun-tahun

sebelum nya.

Data Kompas 1/11/2008 memperlihatkan un-

tuk SMP, nilai rata-rata UN bahasa Indonesia tahun

2006 adalah 7,46; 2007 menjadi 7,39; dan 2008

menjadi 7,00. Untuk tingkat SMA Jurusan Bahasa,

nilai rata-rata Bahasa Indonesia tahun 2006 ada-

lah 7,40; 2007 turun 7,08; dan 2008 menjadi 6,56.

Hal yang sama terjadi untuk SMA Jurusan IPA dan

IPS.

Untuk itu dalam menanggapi kegagalan UN

bahasa Indonesia diperlukan sikap yang objektif

de ngan melihat pada ketiga komponen tersebut.

Artinya, tidak bisa hanya menjatuhkan kesalah-

an pada pihak siswa, atau guru saja, namun juga

perlu dikaji pada kurikulum dan pembuatan soal

UN. (baca di laporan utama)

Artikel lain menyuguhkan kepada Anda be-

ragam tulisan mengenai bahasa secara umum dan

pembelajaran bahasa. Bahkan, pembelajaran baha-

sa untuk pembelajar belia bisa Anda baca pula.

Semua hal tersebut bisa Anda baca lewat

Ekspresi edisi kali ini. Semoga bermanfaat. e

Senarai Bahasa

Salam Redaksi

Laporan Utama

Bukan Salah Bunda Mengandung [4]

Bahasa dan Sastra

Pembelajaran Bahasa Inggris bagi

Siswa Belia [7]

Speaking English in Classroom

Activities [12]

John Keats: The British Romantic

Poet with the Tone of

Melancholy [17]

Lernstationen: Kesempatan Belajar

Mandiri [23]

Pembelajaran Kosakata dan Daya

Ingat [27]

Perencanaan Bahasa [31]

Terjemah Teks Bahasa Arab dan

Metodenya [35]

Laporan Kegiatan

Serambi Foto

Pembina Kepala PPPPTK Bahasa Muhammad Hatta Penanggung Jawab Kabag Umum Abdul Rozak, Kasubbag Tatausaha dan Rumah Tangga Azokhigo Daeli Pemimpin Redaksi Kabid Program dan Informasi Haslinda Erlina, Kabid Fasilitasi Peningkatan Kompetensi Evarinayanti, Iri Agus Sudirdjo Redaktur Pelaksana Kasi Data dan Informasi Nurlaila Salim, Gunawan Widiyanto Redaktur Ririk Ratnasari, Puspita Dara Pratiwi, Neneng Tsani, Joko Subroto Desain Sampul dan Tataletak Yusup Nurhidayat Pencetakan dan Distribusi Naidi, Djudju, Komariah Alamat Redaksi Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Bahasa Jalan Gardu, Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan 12640 Kotak Pos 7706 JKS LA Telp. (021) 7271034 Faks. (021)

7271032 Website: www.pppptkbahasa.net Email: [email protected]

daftarisi

salamredaksi

4 Edisi 14 Tahun VIII Juni 2010

laporanutama

Bahasa indonesia adalah ba-hasa sehari-hari kita kare na bahasa Indonesia

adalah bahasa nasional negara, Indonesia. Kita memang tidak harus menggunakan bahasa In-donesia yang baku jika berkomu-nikasi di kehidupan sehari-hari. Namun, walau kita tidak menggu-nakan bahasa yang baku, alang-kah baik nya jika kita mengetahui bahasa kita sendiri, agar kita bisa menunjukkan jati diri kita seperti

kata pepatah; Bahasa menunjuk-kan bangsa.

Namun, apa yang terjadi? Be-gitu banyak orang bahkan anak sekolah yang menganggap bahasa Indonesia tidak penting untuk dipelajari. Setiap kali mata pela-jaran bahasa Indonesia dimu-lai di kelas, para siswa langsung menganggap remeh. Mereka tidak mendengarkan dengan saksama. Padahal jika ujian selesai digelar, nilai bahasa Indonesia pasti lebih rendah dari nilai bahasa asing lainnya.

Lihat saja data yang ditampil-kan Kompas 1/11/2008 untuk SMP, nilai rata-rata UN bahasa In-donesia tahun 2006 adalah 7,46, tahun 2007 menjadi 7,39, dan tahun 2008 menjadi 7,00. Untuk tingkat SMA Jurusan Bahasa, nilai rata-rata Bahasa Indonesia tahun 2006 adalah 7,40, kemudian 2007 turun 7,08, dan tahun 2008 men-jadi 6,56. Hal yang sama terjadi untuk SMA Jurusan IPA dan IPS. Dan, data terakhir yang paling mengejutkan adalah UN 2010 ada 110 siswa tidak lulus karena nilai

Bahasa Indonesia mereka rendah. Angka ini hampir separuh dari to-tal 230 siswa SMA/MA Surabaya yang gagal UN (Kompas, 29 April 2010). Jumlah tersebut baru yang terjadi Surabaya belum lagi dae-rah lain yang mensinyalir gejala yang sama.

Untuk itu, perlu dilihat de-ngan saksama pelaksanaan pem-belajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah perlu sehingga apa yang dialami oleh peserta

didik kita di tahun 2010 tidak terulang lagi di tahun-tahun beri-kutnya. Di dalam pembelajaran ada komponen-kompenen utama yang menjadi nafas bagi berlang-sungnya proses belajar, antara lain siswa, guru, dan kurikulum. Apabila tidak terjadi sinergi yang baik antara ketiganya bukan hal yang tidak mungkin kegagalanlah justru ditemui.

Untuk itu dalam menanggapi penurunan nilai rata-rata UN ba-hasa Indonesia diperlukan sikap yang objektif dengan melihat pada ketiga komponen tersebut. Artinya, tidak bisa hanya men-jatuhkan kesalah an pada pihak siswa saja, atau guru saja, namun juga perlu dikaji pada kurikulum dan pembuatan soal UN.

***

Guru, merupakan motor peng-gerak dalam pelaksanaan

pembelajaran. Ditinjau dari aspek guru perlu dilihat bagaimana guru menyampaikan pelajaran apa-kah dengan teknik-teknik yang

Bukan Salah Bunda MengandungTinjauan atas Nilai Bahasa Indonesia pada UN 2010

BANYAK DARI SISWA, BAHKAN MASYARAKAT

UMUM, YANG MENGANGGAP REMEH BAHASA INDONESIA, BAIK SEBAGAI MATA

PELAJARAN MAUPUN SEBAGAI BAHASA

SEHARI-HARI. AKIBATNYA, SETIAP

TAHUN NILAI UJIAN NASIONAL BAHASA INDONESIA SELALU

SAJA MENGALAMI PENURUNAN.

Ririk Ratnasari

5

LaporanutamAdapat memicu semangat siswa untuk cinta dan belajar bahasa Indonesia. Guru yang hebat ada-lah yang tidak hanya mengajar, tetapi mampu membangkitkan kecintaan siswa terhadap Bahasa Indonesia. Apabila guru tidak cer-das dan krea tif dalam mencipta-kan metode-metode pembelajaran yang menyenangkan, tidak akan mampu mendorong dan membang-kitkan kembali motivasi anak be-lajar Bahasa Indonesia dan Bahasa Indonesia kemudian menjadi pela-jaran yang menjemukan karena guru yang mengajar tidak meng-gunakan metode yang menarik.

Guru juga harus mengubah orientasi dalam memberikan pela-jaran, bukan hanya agar siswa lu-lus UN, manakala hal seperti ini yang dijadikan orientasi maka fungsi pendidikan akan hilang. Pelajaran bahasa bukan hanya teori, tetapi juga memerlukan pe-mahaman. Belajar Bahasa Indone-sia itu harus dengan rasa, logika, dan nalar bukan sekadar membaca dan menghafal.

Akan halnya soal-soal yang menjadi nyawa dalam pelaksanaan UN juga perlu dikritisi. Banyak siswa mengeluhkan kesulitan men-jawab soal UN. Untuk memecahkan masalah ini bisa diawali dengan

membedah soal UN guna mengeta-hui kelemahan pokok bahasan pada mata pelajaran bahasa Indonesia dan tingkat kesulitan butir soal yang diberikan kepada siswa.

Selain itu, perlu juga men-cocokkan antara soal UN, model soal dengan materi, mungkin saja terjadi siswa telah menguasai ma-teri namun ketika soal disajikan dengan model berbeda membuat siswa menemui kesulitan. Stan-darisasi soal juga perlu dikontrol, apakah soal-soal UN yang disaji-kan dalam setiap tahunnya telah sama, sebab bisa jadi tingkat ke-sulitan soal yang tinggi pada UN

tahun 2010 memberi kontribusi dalam turunnya nilai UN Bahasa Indonesia, sebab kegagalan UN Bahasa Indonesia ini terjadi ham-pir di seluruh Indonesia.

Beberapa pengamat melihat bahwa soal UN tahun 2010 mem-punyai tingkat kesulitan yang lebih tinggi sehingga dinilai tidak sesuai standar seperti tahun-tahun sebelumnya. Karena itu, perlu analisis soal secara menda-lam guna mengetahui mengapa 73 persen ketidaklulusan UN tingkat SMA/SMK/MA karena terganjal mata pelajaran Bahasa Indonesia.

***

Indikasi lain kegagalan UN Ba-hasa Indonesia dapat dilihat

dari paradigma sistem pendidikan Indonesia yang kurang menekan-kan pada kemampuan logika dan pemahaman. Paradigma tersebut dinilai sebagai salah satu pe-nyebab mengapa nilai mata pela-jaran Bahasa Indonesia pada ujian nasional (UN) tahun ini anjlok.

Kegagalan pada mata pelajar-an Bahasa Indonesia karena nalar siswa dalam menjawab pertanyaan masih sangat rendah. Namun, hal ini bukan karena kesalahan siswa semata. Pada sebagian besar soal UN menampilkan lebih banyak

wacana yang harus dijawab de-ngan nalar dan logika dan kele-mahan bernalar dari siswa terlihat manakala mereka mengerjakan soal wacana yang memerlukan pemaknaan. Dalam hal seperti ini teori bahasa memang diperlukan, tetapi guru juga harus sudah me-nyiapkan siswa dengan paradigma bernalar dan berwacana.

Selain itu, kebiasan men-drill siswa dengan soal menjelang UN ternyata juga melahirkan masalah baru. Siswa menjadi terbiasa de-ngan bentuk soal atau cerita yang dilatihkan sehingga ketika model cerita atau bentuk soal diubah siswa menjadi kebingungan. Se-

6 Edisi 14 Tahun VIII Juni 20106 Edisi 13 Tahun VII Desember 2009

lain itu, adanya kecenderungan di kalangan siswa yang menganggap soal dengan pertanya-an panjang pasti sulit. Pe-nyebab lain jatuhnya nilai UN b a h a s a Indone-sia dapat disinyalir dari minimnya kebia-saan membaca di kalangan siswa sehingga ketika dihadapkan pada soal wacana mereka sudah enggan membaca.

Selain soal-soal yang berkaitan dengan wacana seringkali siswa juga mengalami kesulitan dalam mengerjakan soal yang berkaitan dengan sastra, khususnya dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berupa apresiasi atau me-maknai cerita pendek, novel atau puisi. Permasalahan lain yang dialami siswa dalam menjawab soal-soal UN adalah siswa mene-mui kesulitan dalam menalar atau melogika serta memahami jawab-an karena pengecoh dalam UN dibuat sebaik mungkin sehingga dapat membingungkan siswa. Di-lihat dari jumlah soal yang terda-pat di UN soal lebih banyak disa-jikan dalam bentuk wacana yang harus dijawab dengan nalar dan logika siswa. Dengan kata lain, akar permasalahan siswa adalah nalar dan logika.

***

Kegagalan yang dialami oleh anak didik kita tersebut

tidak dapat dipandang sebelah mata karena hal ini berkaitan erat

dengan rasa kepemilikan dan ke-cintaan terhadap bahasa

sendi ri. Untuk itu, kegagalan demi

k e g a g a l a n yang di ala-mi siswa da lam se-tiap UN untuk ma-

ta pelajaran Bahasa Indonesia harus segera di-akhiri. Untuk itu diperlukan sikap kritis dan bijaksana dalam meng-atasi permasalahan tersebut. De-ngan kata lain, masih perlu ada-nya pengkajian lebih lanjut untuk menelusuri sebab rendahnya nilai UN bahasa Indonesia yang nota-bene adalah bahasa kita sendiri.

Kemungkinan-kemungkinan yang bisa dilihat secara objektif antara lain dari segi siswa, ter-lebih dahulu mengubah padangan siswa tentang pembelajaran baha-sa Indonesia dan menumbuhkan kecintaan terhadap bahasa Indo-nesia. Penanaman pandangan ini harus dilakukan sedini mungkin agar anak negeri ini menghargai dan mencintai bahasanya sendiri.

Kecintaan terhadap bahasa I n d o n e s i a h a r u s l a h d i b a r e n g i dengan peng-gunaan ba-hasa yang baik dan be-nar. Hal ini d i p e r l ukan karena disi-nyalir bahwa penguasaan bahasa Indo-nesia siswa

lebih kepada aspek pengetahuan bukan pada aspek keterampilan berbahasa. Oleh karena itu, ketika aspek pengetahuan itu diaplikasi-kan dalam praktik siswa cende-rung gagap dalam berbahasa.

Di antara berbagai permasalah-an yang membelit UN tersebut di atas masih perlu analisis dan buk-ti yang sahih untuk memutuskan apa dan siapa yang memberi kon-tribusi terbesar dalam hal turun-nya nilai Bahasa Indonesia. Yang jelas penurunan nilai UN bahasa Indonesia tahun ini bukanlah ke-salahan bunda mengandung, bu-kan salah bahasa Indonesia yang sebagian besar dikeluhkan oleh bangsa sendiri sebagai bahasa yang sulit.

Dan, kegagalan ini hendaknya dapat memberi hikmah untuk per-baikan pembelajaran pada bahasa Indonesia pada khususnya dan pembelajaran lain pada umumnya. Berangkat dari kegagalan ini kita bersama-sama dapat menumbuh-kan kecintaan dan kebanggaan pada bahasa nasional kita, bahasa Indonesia. e

UMUMNYA SISWA MENGALAMI KESULITAN DALAM MENENGERJAKAN SOAL YANG BERKAITAN

DENGAN SASTRA BERUPA APRESIASI TERHADAP

CERITA PENDEK, NOVEL, ATAU PUISI.

7

PendahuluanTulisan ini menegaskan bahwa kita perlu galian pengetahuan dan tindakan yang lebih khusus

dalam menyelenggarakan proses belajar-mengajar yang berkaitan dengan siswa Sekolah Dasar (SD) yang masuk dalam kategori siswa belia (young learners). Pengetahuan mengenai pengajaran bahasa Inggris se-cara umum saja belum cukup untuk mengajar bahasa Inggris kepada siswa belia. Oleh karena itu, guru perlu memahami cara menangani siswa SD. Apabila seorang guru yang terbiasa mengajar siswa dewasa dan tiba-ti-ba diminta untuk mengajar siswa belia, ia akan cende-rung mengeluhkan tingkah laku mere ka yang, misal-nya, tidak dapat berkonsentrasi atau duduk diam. Se-baliknya, seorang guru yang telah berpengalaman me-nangani siswa belia juga harus memiliki pengetahuan

PeMBelaJaRan BahaSa InggRISBagI SISWa BelIa

Belajar Bahasa InggrIs BagI sIswa BelIa merupakan sesuatu yang amat krusIal karena pengajaran untuk sIswa BelIa BerBeda darI sIswa dewasa juga karena umur muda adalah masa

emas Belajar Bahasa.

Fathur RohimWidyaiswara Bahasa Inggris PPPPTK Bahasa

8 Edisi 14 Tahun VIII Juni 2010

bahasa Inggris yang cukup.

Belajar ba-hasa Inggris bagi siswa be-lia merupakan se suatu yang amat krusial untuk dipahami dengan baik. Kondisi krusial itu bukan ha-nya karena sifat pengajaran un-tuk siswa belia

yang memang berbeda dari siswa dewasa (adult learners) melain-kan juga karena umur yang masih muda itu merupakan masa emas untuk belajar bahasa. Kesadaran tentang kedua hal ini menjadi sangat penting dan relevan un-tuk dimengerti sebaik mungkin ketika menjalankan pembelajaran bahasa Inggris. Beberapa peneli-tian dari pakar bahasa ternama menunjukkan sebuah harapan besar terhadap Anda yang se-dang mengajar siswa SD. Krashen, Long, dan Scarcella (1982) mene-gaskan bahwa anak-anak yang belajar bahasa Inggris sewaktu masih muda melalui pajanan yang natural akan memiliki capaian atau kemahiran (proficiency) yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang mulai belajar ketika sudah dewasa. Namun, proses pengajar-an bahasa Inggris untuk siswa belia bukanlah hal yang mudah. Banyak tantangan yang harus di-hadapi dengan penuh kesabaran dan ketelatenan yang tinggi. Isu yang sering muncul dalam peng-ajaran di SD adalah rendahnya rasa percaya diri (self-confidence) siswa karena mereka masih mera-sa ada “jarak” dengan bahasa Ing-gris; sehingga bila diminta untuk

membaca materi yang autentik atau semiautentik, dengan mudah mereka berpikir dan mengatakan ‘saya tidak bisa bahasa Inggris’ atau ‘saya tidak tahu artinya’.

Tulisan ini juga mengulas se-cara singkat bagaimana mema-hami perilaku siswa dalam bela-jar bahasa Inggris, bahasa yang perlu digunakan di ruang kelas (scaffold ing talk), pengelolaan kelas (classroom management), proses penyajian materi yang me-liputi empat keterampilan berba-hasa, dan evaluasi pembelajaran-nya. Hal ini untuk mendorong segala praktik pembelajaran yang bisa memacu keberanian dan rasa percaya diri siswa untuk attack text sekaligus memberikan ting-kat dari yang mudah menuju yang lebih sulit sehingga lebih bisa ter-capai (achievable), serta menitik-beratkan pengajaran (teaching) dan bukan pengetesan (testing). Selain itu, tulisan ini menegas-kan pentingnya suasana belajar dalam kondisi yang alami, bukan “mencurigai”. Pengetesan memang penting untuk sebuah akuntabili-tas, tetapi harus dijalankan secara alamiah sehingga selaras dengan pembelajaran yang ada.

Cara Siswa Belajar Bahasa InggrisSiswa belia usia SD sedang ber-ada dalam perkembangan mental maupun fisik. Pada awal perkem-bangannya siswa seusia itu pada umumnya lebih mudah memahami hal-hal yang konkrit dan sedikit demi sedikit dapat mengerti konsep-konsep yang lebih ab-strak. Oleh sebab itu, dalam mem-perkenalkan bahasa Inggris kita sebaik nya menggunakan metode yang diawali dengan hal-hal yang konkrit dan berangsur-angsur menuju ke hal-hal yang abstrak,

SISWa Sd leBIh Mudah MeMahaMI hal-hal yang konkRIt dan SedIkIt deMI SedIkIt daPat MengeRtI konSeP-konSeP yang leBIh

aBStRak.

9

kegiatan seharusnya diganti setiap 10-15 menit. Selain itu guru juga harus berpikir tentang jenis materi yang disajikan. Permainan yang sifatnya mengajak siswa berkom-petisi biasanya menyenangkan baginya. Mereka biasanya menyu-kai materi yang berhubungan den-gan kehidupan mereka dan sekelil-ingnya. Memajang pekerjaan siswa di kelas juga dapat membantu siswa untuk mengingat kosa kata yang telah dipelajarinya. Dengan kegiatan semacam itu siswa akan secara tidak langsung meng ingat kata-kata yang dipelajari dan merasa lebih percaya diri dengan bahasa Inggris. Siswa akan merasa bangga bila hasil pekerjaannya di-pajang dan motivasinya naik da-lam belajar bahasa Inggris. Akan tetapi, guru juga harus berhati-

hati jangan sampai menurunkan

misalnya dengan menggu-nakan gambar, realia, atau benda yang dapat membantu siswa untuk melakukan kon-septualisasi.

Pada umumnya mereka memiliki sikap egosentris. Mereka cenderung meng-hubungkan apa yang di-lakukannya dengan dirinya sendiri. Mereka juga belum memahami secara benar pentingnya belajar bahasa Ing-gris. Oleh karenanya, bahan ajar sebaiknya didesain semenarik mungkin. Guru juga harus bisa meyakinkan bahwa bahasa Inggris itu tidak sulit dan mereka dapat menggunakannya untuk berko-munikasi. Guru dapat mengguna-kan apa yang ada di lingkungan sekitar sebagai jembatan antara bahasa Inggris dan bahasa Indo-nesia. Mereka akan tertarik pada topik-topik yang menggunakan kata atau frasa ‘My.....’, ‘My Fami-ly’, ‘My Pet’ karena sifat egosen-trisnya. Tambahan pula, mereka cenderung imajinatif dan aktif secara fisik. Untuk tujuan pembe-lajaran di dalam kelas, guru dapat memanfaatkan ciri-ciri sikap anak tersebut. Guru dapat mengguna-kan permainan (game), cerita, dan lagu untuk mem-buat susana kelas menjadi lebih interaktif dan menarik bagi siswa. Melalui jenis-jenis aktiv-i tas semacam ini siswa akan lebih ter-motivasi untuk belajar bahasa Inggris secara tidak langsung.

Ciri lain siswa belia adalah mudah bosan. Oleh karena itu, setiap

semangat siswa yang kurang berprestasi.

Secara garis besar mengajar bahasa Inggris kepada siswa belia sebaiknya (a) recycle and enrich the language, (b) be interesting and relevant to children’s life, (c) be based on the children’s know ledge and understanding, (d) be based on the real use of language, (e) be fun, (f) be interactive, (g) in-

volve various activities, (h) change the activities every 10/15 minutes, dan (i) involve the four skills.

Bahasa Komunikasi di Dalam Kelas (Scaffolding Talk)Karena guru tidak perlu banyak menggunakan bahasa Inggris yang dijelaskan di kelas, sebaik nya guru berusaha menggunakan bahasa Inggris sebagai alat komunikasi dalam kelas (scaffolding talk). Hal ini untuk menunjukkan pada siswa bahwa bahasa Inggris adalah bahasa yang dipakai dan untuk memberikan pajanan penggunaan bahasa Inggris secara cukup. Da-lam hal ini tingkat kemahiran yang tinggi tidaklah terlalu diperlukan. Guru hanya memerlukan ungkap-an yang relevan de ngan kegiatan yang dilakukan di kelas.

Berikut adalah beberapa con-toh yang dapat dimodi-

fikasi se suai dengan keperluan. Ungkap-an dalam memulai pelajaran menca kupi

Good morning, Hello children/boys and girls, How are you?, Fine,

thank you/not too bad, What’s the matter

with you Ari? Are you tired?, An-swer when I call your name, Sit

10 Edisi 14 Tahun VIII Juni 2010

down , Close the door, Open the window, Now listen everybody, Do you remember the last lesson?, dan Now the new lesson is about.

Ungkapan untuk melakukan kegiatan meliputi Listen to me, Look at the board, Put up your hand, Take out your exercise book, Write the date, Get the books from the cupboard, Open your book at page 3, Look at the pictures and lis-ten, Look at the picture and colour the dog, Write the words under the picture, Work on your own word, Work in pairs, Work in groups, Say this sentence/word with me, Lis-ten to the tape, Look at the picture and listen again, dan We are going to (listen to a tape, do a survey, play a game, ask each other ques-tion, read a story, listen to a story, make up a dialogue).

Contoh ungkapan untuk meng-akhiri pekerjaan adalah Have you all finished?, Stop writing/read-ing/drawing, Is everything clear?, Is there any question?, Hurry up, Vera, will you please collect the work?, When is our next les-son?, dan Good bye everyone. See you on. Contoh ungkapan untuk mengakhiri pelajaran adalah Well, that’s enaough for today, It’s time to finish, Time’s up, Close your books; it’s time to clear up, dan For your homeworks, do the excer-

cise on page 2. Contoh

ungkapan untuk mem-berikan sema ngat ada-

lah Excellent, very good, good, Will you try again, dan Good, but you have to change the.

Mengelola Siswa di dalam Kelas Beberapa hal yang berkaitan de-ngan pengelolaan kelas adalah kerja kelompok atau berpasang-an, pengaturan tempat duduk, dan pengoreksian kesalahan. Berikut ini penjelasannya secara lebih detail.

Kerja Kelompok dan BerpasanganDalam kegiatan ini siswa menda-pat kesempatan untuk memprak-tikkan bahasa yang dipelajari da-lam konteks yang nyata. Mereka juga merasa lebih aman diban-dingkan kerja individu karena mereka dapat saling membantu dan mengoreksi. Cara ini juga dapat membantu siswa pemalu yang hampir tidak pernah meng-ucapkan sepatah kata pun dalam kelas. Cara ini juga dapat menun-jang kerjasama mereka sekaligus mengasah kemahiran interper-sonal (interpersonal skill) mereka.Waktu paling tepat untuk bekerja kelompok dan berpasangan ini adalah pada tahap praktik dan produksi karena pada tahap terse-but siswa telah mengerti item bahasa yang dipelajari dan tahu bagaimana menggunakannya da-

lam konteks yang tepat.Tahapan umum dalam kegiatan ini adalah (a) menulis model kalimat di pa-pan tulis, (b) guru mengucapkan kalimat tersebut sebagai model dalam suatu konteks yang tepat, bila perlu melakukan dril bersa-ma siswa, (c) aturlah siswa da-lam kelompok atau berpasangan,

(d) sebelum siswa melakukan kegiatan, cobalah satu atau dua pasangan atau kelompok untuk mencoba mempraktikkan kegiat-an yang akan dilakukan, dan (e) umpan balik, dalam arti bahwa selama kegiatan berlangsung guru seharusnya mengontrol siswa un-tuk mengetahui bagaimana siswa melakukan kegiatan tersebut. Ke-tika kegiatan selesai guru dapat memberikan perbaikan terhadap kesalahan dan pujian ketika ham-pir semua siswa dapat melakukan-nya dengan baik.

Beberapa hal yang harus diperhatikan sebelum melakukan kerja kelompok dan berpasangan adalah sebagai berikut. Pertama, suasana kelas akan menjadi ga-duh karena siswa mempraktikkan item bahasa yang baru dipelajari dan mungkin mereka berbicara dengan suara yang keras. Kedua, siswa cenderung membuat kesa-lahan karena kontrol dari guru relatif sedikit. Pada tahap ini tu-juan utamanya adalah kelancaran siswa dalam menggunakan bahasa bukan akurasinya. Ketiga, siswa yang tidak saling menyukai se-baiknya tidak ditempatkan dalam satu kelompok atau pasangan.

Pengaturan Tempat DudukHampir semua pengaturan tempat duduk di sekolah tersusun secara konvensional, yaitu berbentuk klasikal. Meskipun memindah bangku selama berlangsungnya

11

pelajaran cukup gaduh dan makan waktu, pengaturan tempat duduk untuk menyesuaikannya dengan kegiatan dalam sebuah kelas ba-hasa tetap dimungkin kan. Dalam kegiatan berpasangan, siswa da-pat berhadapan dengan teman sebangkunya atau teman yang duduk di depan atau belakang-nya. Sementara itu, untuk kerja kelompok, guru dapat meminta siswa untuk bekerja berempat dengan meminta siswa berbalik ke belakang. Agar pengaturan ini berjalan cepat, guru dapat meng-acungkan dua jari sebagai tanda bahwa siswa tidak boleh bercakap dan hanya bergerak menemui pasangan atau kelompoknya ha-nya dalam dua menit.

Koreksi terhadap KesalahanTerkadang guru menganggap kesa lahan sebagai bagian yang tidak menyenangkan di dalam kelas. Mereka merasa senang apa-bila semua siswa dapat menger-jakan tugas dengan sempurna

tanpa kesalahan. Namun tampak-nya keadaan semacam itu hampir tak mungkin dapat dicapai karena beberapa hal, misalnya, pengaruh dari bahasa ibu siswa, generalisasi terhadap kaidah bahasa Inggris, atau latar belakang pengetahuan bahasa siswa. Seringkali kesalah-an adalah bukti bahwa siswa te-lah melewati fase produktif. Guru harus melihat kesalahan sebagai bagian dari belajar, karenanya ke-tika mengkoreksi jangan sampai menurunkan semangat siswa.

Pengoreksian kesalahan da-pat dilakukan melalui (a) koreksi antarteman sebaya (peer correct-ion), (b) penggunaan jari, (c) tepu-kan tangan dan pantomim, dan (d) mendengar, membuat catatan, dan mengulangi frasa atau kata. Beber-apa prinsip dasar dalam mengore-ksi pekerjaan siswa secara positif adalah sebagai berikut. Pertama, perhatikan apa yang dikerjakan atau dikatakan oleh siswa dan bu-kan kesalahan yang mereka buat. Kedua, usahakan untuk selalu

memberikan pu-jian atas apa yang dilakukan dengan benar oleh siswa, dan jika mere ka membuat kesa-lahan sebaiknya tidak ditunjukkan secara berlebihan. Ketiga, usahakan untuk tidak mem-buat siswa merasa bersalah karena mereka juga bela-jar dari kesalah-an yang dibuat. Keempat, berikan koreksi secara singkat dan jelas karena terlalu memperhatikan

kesalahan siswa dapat membuat mereka tidak bersemangat dan mereka akan merasa terlalu ba-nyak hal yang harus diingat.

PenutupKesadaran tentang pembelajaran untuk siswa belia menjadi sangat penting dan relevan untuk di-mengerti sebaik mungkin ketika menjalankan pembelajaran bahasa Inggris di SD. Secara keseluruhan, hal yang perlu diusahakan adalah bagaimana ruang kelas tetap da-lam situasi belajar yang kondusif; menyenangkan, mendidik, dan mencerdaskan. e

RujukanBrown, H. Douglas (1994).

Teaching By Principles: An Interactive Approach to Language Pedagogy. New Jersey: Prentice Hall.

Curtain, Helena Anderson & Carol Ann Pesola (1988). Languages and Children Making the Match: Foreign Language Instruction in The Elementary School. Massachusetts: Addison-Wesley.

Doff, Adrian (1988). Teach English: A Training Course for Teachers. London: Cambridge University Press.

Krashen, S.D., Long, M., & Scarcella, R. (1982). “Age, rate, and eventual attainment in second language acquisition”. dalam S.D. Krashen, R. Scarcella & M. Long (Eds.), Child-adult differences in second language acquisition (hal. 175-201). Rowley, MA:Newbury House.

Paltridge, Brian (2004). Genre and the Language Learning Classroom. Michigan: The University of Michigan Press.

12 Edisi 14 Tahun VIII Juni 2010

IntroductionIssues on English language learning almost always

become teachers’ attention. When we talk about English, what we have in mind usually is English as a knowledge and English as a skill. In English skills, which cover listening, reading, writing and speaking in integrated way; speaking frequently becomes more problematic than other skills, especially for our students in vocational school (SMK). This is because we, as teachers of English, devote higher proportion of time to English knowledge than English skill to teach. As a result, our students can not use their English. In this context, therefore, the teacher should be well prepared both intellectually and psychologically to tackle any problem that might occur at any time, especially in speaking. Thus effective teaching and professional development require the knowledge about methodology, the understanding of educational practices and the awareness of the situation where the practices are carried out.

In my teach-ing experience, some of the students kept silent all the time in class. They don’t want to speak English. Even when they know the answer to a simple question, they will also hesitate to “open their mouths”. They are indifferent to talking in English, although some of them even know clearly that they should know English well so as to qualify themselves for the current competitive society that they will face in the near future. Is it really a hard job for me to arouse the students’ interest in speaking. And the same problem occurs in my colleagues’ classes. Through this paper, I want to look at this problem and find out some solutions to the issue and share them with you.

Gunawan WidiyantoPendidik di Sekolah Indonesia

Kota Kinabalu (SIKK)Sabah, Malaysia

13

ProblemsThe problem I identified in my former teaching experience is that most of my students are not active enough during the class. The reasons why this problem arose have been justified through the investigation in preliminary research and are listed as follows. Firstly, the students’ language levels are different. Some are good at English, but some are not. Their attitudes toward learning English are different as well. Some work hard, but some are just opposite. Some of them even show indifference about English. In their opinion, it is no use learning a foreign language like English because only a few of them will have a chance to communicate with native speakers. They begin to wonder why they should spend so much time studying the language. The more discouraged they get, the less they study and the worse their English becomes. Secondly, some students are introvert and they are afraid of making mistakes. In spite of the fact that some of the students want to improve their spoken English, they are too shy to speak English in class. They always keep silent during the classroom activities, which really makes me disappointed. Sometimes I’m puzzled. What can I do to get them to voice their opinions? It is really a demanding and challenging task.

Thirdly, some of the students lack such oral practice, as they come from different

junior high schools (SMP). They usually focused their attention on the language points, not speaking when they were at SMP. Fourthly, most students don’t have much time to review what they have learned orally. They pay much more attention to written work. Some students even think practicing spoken English in class is a waste of time. Fifthly, there are too many students in one class, usually from 40 till 50 students. So it is inconvenient for the teacher to organize all kinds of classroom activities. Sixthly, sometimes the teacher’s instructions are not detailed or clear enough. And the teacher’s methods in handling exercises perhaps lack variety.

The Purpose of Oral Productive SkillsAs we all know, practice makes perfect. Only by practicing a lot, can the students learn English well. So we have to devote a high proportion of class time to developing oral productive skills. There are several purposes in oral practice. Firstly, the students can learn to grasp the main ideas

and important points of the text through oral practice. Secondly, they will understand the text better including some new words and expressions. Thirdly, it is also a good chance for them to review the words and expressions that they have learned before. Fourthly, they can learn how to describe events or express their own ideas logically and clearly. Therefore, in oral English, the emphasis should shift from general to detail and from accuracy to fluency.

The Role of the StudentsOur students should come to realize that learning English does not mean just listening to the teacher and taking notes. The learners have to be taught to listen as well as to speak. If they want to learn a language better, they must use it. Therefore, in class they should be participators. In class it is not enough for them just to listen to the teacher and take some notes. They should be very active and do a lot of works by themselves if they want to learn more from the text. I want to help my students to become more accomplished

and integrated in the future society. Students therefore should be encouraged and helped to work cooperatively so that they could have opportunities to progress not only in their personal development but also in achieving their academic objectives. I hope my students can become better l e a r n e r s — m o r e efficient at their task

14 Edisi 14 Tahun VIII Juni 2010

and able to participate in learning activities. When engaged in oral productive activities the students are also helpers to each other. Only when in this situation can they share ideas and structures with each other. This will lead them to a more successful class activity.

The Role of the TeachersAs a teacher, I would like my students to know that a teacher has to play many different roles at different times. In class a teacher may be a facilitator, a guide, a helper or an assessor in different situations. Sometimes a teacher takes a major instructional role in class but sometimes he/she takes only a minor helping role. So the students should be used to being responsible for their own learning and they should not depend on the teacher all the time.

Preparations The first thing I want to do is to change some of my students’ attitude. I had a friendly talk with them. I explained the importance of learning English to them patiently and made an effort to persuade them. What’s the use of English? Obviously, English has become an international language. People from different countries often find they have only one common language—English. One would have to use English in order to communicate with them. Even if one did not end up with a job that required English, one would wish one day to travel in other countries. One’s travel would be more enjoyable if one could speak and understand English.

As for those who are inactive in class, I try to analyze the

reasons why they are afraid of speaking English. Clearly, they are worried about their poor English. They are afraid of making mistakes and being laughed at by others. So what I should do is to build up their confidence in themselves. I try to provide the students with help. Above all, I usually choose suitable and interesting topics for them so that everyone will be interested in it and have something to say. Then I give them lots of useful words and phrases to help those “shy” students express their ideas bravely. When they are speaking, I will give them an encouraging smile and positive comments like “well-done”, “good”, “excellent”, “wonderful.”

MethodsHowever, the most important thing I should do is to arouse the students’ interest in practicing speaking English by using various teaching methods.

Self-introductionOne technique I am interested in is what we did on the first day we met. That is “Tell your partner something interesting about your yourself”. And then ask some pairs to perform in front of the other students. In this way the students are encouraged to reveal more about themselves and find out more about their classmates. This helps to break the ice between the new members, especially when they first meet at the beginning of the new term.

The mosT imporTanT is to arouse the

students’ interest in practicing speaking

English by using various teaching

methods.

15

Daily ReportDaily reports, if organized and guided, can be very helpful in developing the students’ speaking ability because they are not reciting a text or a dialogue, but are expressing their thoughts. As they do so continuously, they gain confidence and experience. So we should take it as an effective technique to train the students rather than a routine formality. Usually, the following contents may be included in daily reports: dates, weather, absentees,

reasons for absent, the day’s schedule, personal experience, films, stories, TV programs, sports, news and important events, etc. Sometimes a list of questions, hints and necessary words and expressions should be provided beforehand for what is to be reported. In order to motivate everybody to listen to the report attentively, sometimes we may ask one or two students to retell what they have learned from the daily report.

Using TopicAnother technique I have tried is using topics. First, I give them a topic, for instance, “Sports”, and then the members in the group all brainstorm and discuss it in order to name as many sports as they know. Certainly there are many interesting topics, such as music, fashion, traveling, hobbies. These topics are popular with students. When we discuss these topics in the English classes, the students are really excited. In doing this, I first ask the

students to think about what to say at the beginning, during the discussion and at the end of the discussion. Then I ask them to do some pair work. By working with the partners, the students will be brave enough to offer their ideas. They will not be afraid of making mistakes. When they were discussing, I walked around the classroom to see whether I could help them. Sometimes some were arguing in bahasa Indonesia or local language. I came up to them immediately and helped them to continue their conversation in English. While having discussion, they are also encouraged to offer their suggestions. Then they will appoint a group leader. The group leader then report the decision and suggestions they have agreed on to the whole class. Sometimes I was really satisfied with my students’ reports. Their suggestions were reasonable and interesting. Taking the topic “music” for example, they suggested they should have more pop music during the lunch hour because it helped them relax. They hoped there would be a singing contest in our school every year so that they would have their own super stars. In addition, they also hoped to have more art lessons in our school because they wanted to enjoy all kinds of music and learn how to play some musical instruments.

Dialogue LearningDialogues are helpful in language learning. A dialogue, which involves two or more speakers listening and responding to each other, is especially well suited for practicing language in realistic communication. Students enjoy

a dialogue is especially well suited

for practicing language

in realistic communication.

16 Edisi 14 Tahun VIII Juni 2010

working with dialogues for the simple reason that it makes the language come alive. So we should encourage the students to practice the dialogues a lot in order to speak English fluently. Students can be led to relate the dialogue to another situation. It’s best to relate it to their own situation. They can be given guided questions such as: If you were the speaker, what would you say? Or what would you respond? They may be asked to extend the dialogue by adding their own ideas. They can be asked to create a dialogue according to the model. They can also be guided to start a free conversation among themselves.

Linking Speaking with ReadingOne more technique I have tried is linking speaking with reading. As we know, the reading passages in our textbooks are very interesting. We can make full use of the passages. A good teacher should have the ability to design different activities according to different contents. The advantage of a passage for oral practice is that its strength lies in the fact that it offers a ready-made context for practice. Indeed it would be strange if the teacher did not make further use of it after he had worked so hard to make the students understand it at the presentation stage. After learning the text “Body Language”, I asked the students to offer more gestures and tell the classmates the meanings of the different gestures. After they read about “At The Tailor’s Shop”, I asked them to act it out. All the students seemed to take an active part in the classroom activity. The

activity helps to consolidate what they have learned in the text and arouses the interest in speaking English as well.

Different Ways of TeachingIn order to teach effectively, teachers should create different ways of teaching. Sometimes we moved the students’ desks and chairs out of the classroom, and the students formed small groups. I think it was quite good, because the students could communicate with each other more freely, and practice

their dialogues or simulations more easily. There were facial expressions, body language and all sorts of expressing methods. The atmosphere was quite heated and friendly. The students were high-spirited. Furthermore the teachers could move around, offer their help, and they controlled the class more efficiently.

Conclusion To sum up, I have discovered that it is possible to use different teaching methods to encourage the students to speak English. We need a good environment, so group processes are very important. It is we, teachers who should plan our lessons sufficiently and fully motivate the students to take part in the activities and to contribute to the whole class. The various activities not only arouse the students’ interest in speaking English but also help to develop the students’ ability of speaking, listening, reading and writing.

I am also convinced that a successful group dynamic is a vital element in the teaching and learning process. In present-day classrooms, where pair work and group work have become the norm, the relationship within the group becomes more important. It is fundamental to the success of the activities. In addition, it gives support and co-operation from the group and a harmonious relationship between its members. Where students act as a pool of resources for each other, refusal to co-operate means that a vital element of the learning process is missing. A group whose members are not on speaking terms will not learn much in a student-centered classroom. e

a successful

group dynamIc

Is a vItal element In

the teachIng and

learnIng process.

17

John Keats (1795—1821) is one of

the greatest British poet in the Romantic period. He lived at the same period as Lord Byron and Percy Bysshe Shelley. He was the youngest poet of the Romantic period but unfortunately his life was the shortest. As a Romantic poet, Keats created his poems mainly based on imagination, emotion, feeling and experience. The tone of melancholy which is one of the result of his views to the objects in his surrounding emerges inevitably as he attempted to express the sadness and suffering in human life. It is mainly connected to the topics of death and destiny. This article will discuss that the melancholic tone that occurs in his poem is related to the concept of melancholy itself.

The relationship between them shows that the development of the concept influences Keats’ style of writing and the tone in which he

wrote. The discussion will involve Keats’ background and point of view on Literature, especially poetry; the characteristics of Keats’ poems; and how the concepts of “melancholy” in Keats’ poems change and develop. This article will contend that the analysis of the changes that occurs in his poems shows that the tone of melancholy developed from the begining to the last period of Keats’ career as a poet, that is from 1816 until 1819 and that the influence of his concept of melancholy to the tone of melancholy in his poem can be seen from the negative and the positive side of melancholy. The two sides then determine whether the tone in his poem is to refuse or to accept the melancholy.

Keats’ Background and Point of ViewsKeats did not have such formal education for literature, even his own formal education was very

limited. His beginning career has nothing to do with literature. It was his own reading on the literary works of some famous figures in poetry which had shaped his knowledge in creating his own style of writing his poems.

Allot (1981, p. 211) divides Keats’ career in poetry into four period. The first period is from1816 to 1817. In this period he wrote most of his thirty three poems which then were published into his first book titled POEMS. Unfortunately, this period was ended by the fact that his first book got no success. His second period is 1817 which is marked with his starting to write Endymion: A Poetic Romance which he calls as “a trial of my power of imagination and chiefly of my invention which is a rare thing indeed” (Hilton, 1971, p.40). The writing of this poem is Keats’ attempt to forget his disappointment on his previous unsuccessful book. In addition, this poem also shows his beginning interest to Greek mythology. Through this poem Keats was trying to show that he had the ability to write a long narrative poem just like most of famous poets usually did in their career.

Four seasons fill the measure of the year;There are four season in the mind of man:He has his lusty Spring, when fancy clearTakes in all beauty with an easy span:He has his Summer, when luxuriously

Spring’s honied cud of youthful thought he lovesTo ruminate, and by such dreaming nigh

His nearest unto heaven: quiet covesHis soul has in its Autumn, when his wings

He furleth close; contented so to lookOn mists in idleness – to let fair thingsPass by unheeded as a threshold brook

He has his Winter too of pale misfeatureOr else he would forget his mortal nature.

John Keats, March 1818

John keatSthe BRItISh RoMantIC Poet WIth the tone oF

MelanCholy

18 Edisi 14 Tahun VIII Juni 2010

The next period is 1818. In this year Keats got some unforgettable and impressive experiences which deeply influenced his imagination in writing more narrative poems. His talent on narrative poems in this year can be seen from two of his poems called Isabella, or, The Pot of Basil and Hyperion. His friendships with the other Romantic poets in this period also have encouraged him to improve his skills in writing poems. This period also has noted his interest in studying Shakespeare’s works which finally influence his style in writing sonnet. The last period was 1819 . It is the period of Keats’ writing his famous poems which have brought him into the position as one of the greatest poets in British Romantic period. Those famous poems are Keats’ seven odes as well as another narrative poems called The Eve of St.Agnes, Lamia, and The Fall of Hyperion.

Hough (1960, p.169) describes that Keats’ poems are such a recreating of sensuous beauty. The first creation is that the poems become the source of happiness for the sake of the poems themselves, while in the next creation they are considered as the symbol for the existence of emotions and ideas. In doing so, Keats shows his disagreement when a writer is trying to force

the world and the readers to his/her own conclusion: (see poet 1)

Through that opinion, Keats states that the importance of a poem is in the fact that it describes something as it is, not to change it into other shapes just like society can see people as they are. Keats sees such quality in Shakespeare. This point of views is the result of his seriousness and curiosity in deeply reading William Hazlitt’s critiques towards Shakespeare’s works. His point of views then is called as the theory of Negative Capability in which he states: (see poet 2)

His view is not only about his understanding to the quality of Shakespeare as a great poet, but also his impressive idea in equating the poetic and human personality. In his opinion, the ability of the poets are not only in their writing the poem, but more than that also in their personality in which they show

their own emotional attachment to the poem.

The Characteristics of Keats’ PoemsIn his short career as a poet as well as his life, Keats seems to show how much he really wants to improve his writing skills. Hough (1960, p. 157) describes that “Keats’ work is always changing and developing”. In his developing skills, we can see

that he also has his own different taste compared to the other poets in his period, for example Byron and Shelley. For the object of his poem, Keats mostly wrote about his own feeling and experience and the nature around him. His poems show the real contribution of his imagination. In this style, comparing his work to Byron, Keats states that “he describe what he sees, I describe what I imagine” (Bayley, 1986, p.189). Byron created many satires in his poems to describe what he had seen in the world around him. While comparing his work to Shelley, Keats feels that Shelley has “a far wider range of ideas” (Hilton, 1971, p.35). In his poems, Shelley emphasizes his own ideas more that the real condition in his surroundings.

Furthermore, while talking about nature, Keats also has different reaction to his predecessors. MacNeice (1960, p.

353 -354), as comparing Keats to Wordsworth, finds out: (see poet

3)

Wordsworth considers nature as the place where he can get freedom and escape from the problem of Industrial Revolution (Caudwell, 1972, p.207). Wordsworth worships nature very much which he claims as “a source of mental cleanliness and spiritual understanding” and that “ it was a

19

teacher, it was the stepping stone between Man and God” (Barnard, 1984, p.83). Nature for him is part of his spiritual life.

In the mean time, Keats views nature and the objects in it as “a springboard for philosophical, social or personal meditation” (Barnard, 1984, p.82). Keats believes that through nature human learn about himself/ herself and the society around as well as how to live with them. Therefore, when Keats was talking about the objects in nature, he described mostly about his real feeling towards the objects. In this matter, Bull(1955, p. 123) calls him as “one of the most sensitive lovers of nature among our English poets”. That Keats tends to use words which can arouse the emotional attachment of his readers has made an extraordinary characteristic of his position as a poet.

The Concept in the Tone of “Melancholy”In communication, expression or emotion emerges as one’s attitude or response towards others when they involve in a particular topic. If it is in spoken form, then we can easily recognize it as there will be a change in the tone of the speaker. Richards (1992, p.827), an English critic, explains how tone determine the condition of a process in

communication: (see poet 4)

In written communication, just like what is happening between the poet and the readers, the emotion of the poet can be recognized from the context of the poem. It is how the words in the poem are used or arrange to create a particular situation or background. In another words, we can say that the tone of a poem is the attitude of the poet towards a subject matter, the readers or public as well as the theme in a poem. Tone becomes one of the important part of the meaning in a poem since it is considered as “the emotional coloring, or the emotional meaning, of the work” (Perrine, 1962, p.162).

Furthermore, the tone in a poem can be recognized from the point of view used by the poet. It can be represented by a character or a voice in expressing the ideas or feeling in the poem. For that matter, Davis, Broughton

and Wood (1977, p. 564) have illustrated that “the point of view of a poem, represented by either a character or a voice within the work, usually expresses the presumed attitude of the poet towards his subject, theme and audience”. The character or the voice can be the poet himself. However, sometimes the poet also creates a particular character as the speaker of his poem.

One of the characteristics of Keats’ poem is the domination of the word “Melancholy”. However, “Melancholy” in Keats’ poems is not only about tone but also it emerges as Keats develops his opinion towards the negative or the positive side of that words as long as his career in poetry. This opinion then shapes the tone of Melancholy in his poems.

In the first period (1816), the concept of melancholy involves the negative side of melancholy. The tone in this period takes the form of refusal. In his lyrics, the first-person point of view put the poet as both the speaker and character whose feeling and experiences are being expressed. The speaker shows his attitude towards the subject matter dealt with by expressing opposition between the negative and positive things are presented as the ones which dominate and create sadness in life. The tendency of using the

tone of Melancholy in this period can be seen in the way of Keats describing problems related to death and bad luck. In On Death, which is one of his early works, Keats shows his view on looking on the contradiction of death and life through the use of metaphor and simile: (see poet 5)

In the metaphor, as questioning the relationship between death and life, Keats

20 Edisi 14 Tahun VIII Juni 201020

compares death to sleep and life to dream. The metaphor then gives two assumptions that death is sleep and life is a dream. The first assumption comes into view from the similarity of death and sleep that they are at rest or idle. Then, in the second assumption, we can interpret that dream is usually related to the expected condition and, sometimes, the uncertainties. The condition revealed by the metaphor then is supported with the similes that scenes of bliss pass as a phantom by and the transient pleasures as a vision seem. The question form using to connect the metaphor and similes shapes Keats’ attitude not only of rejecting the existence of death but also worrying the uncertainties of life.

Furthermore, the depression of experiencing bad luck in life also appears in another poems in this first period. In To Hope, Keats has described how someone

is mentally getting worse because of losing hope: (see poet 6)

The condition described by solitary hearth, hateful though, soul in gloom, no fair dream, and the bare heath reveals Keats’ negative side of the existence of Melancholy in human life. Thus, in the example of the contexts as well as the relationship of the elements in the poems of this period, Keats obviously revealed

his concept of melancholy in which he describes that death is afflicted and appalling.

In the second period, 1817, the important development of the tone occurs in Keats’ narrative poems. The concept does not change that it is still on the negative side of melancholy. Keats, by using the third-person point of view, talks about sadness that is caused by the limited capability of ordinary human to achieve what people usually call as the ideal. This condition is beautifully described through his narrative poem called Endymion: The Poetic Romance. Hilton (1971, p. 42) calls this poem as “a romance into which we may read allegorical intention”. The allegory of this poem is used to draw the differences between the ideal and the actual love which is presented through the figure of Diana (the moon goddess) and the Indian maid. As love becomes the topic

in this poem, Allot (1981, p. 217) states that “since love appears in this poem as the supreme good, its frustration is the type of all pain” and it is Endymion, the main character in the story of this poem, whose frustration has brought him into ‘a melancholy obsession’. Diana is represented the ideal love that Endymion is longing for. However, as she is a goddess, she is unreachable. Keats

has described the fact that as an ordinary human it is impossible for Endymion to achieve his ideal through the following description: (see poet 7)

Keats uses the metaphor to compare flesh and bone as a prison for a spirit to say that incapability of a human being sometimes might bring them into the despair of life. For Keats, love does not always bring happiness, but also misery to human life if it is too perfect and difficult to reach.

The third period, 1818, is usually related to the influence of Shakespeare’s works. Keats’ theory of Negative Capability gives the emphasis to the tone of melancholy. For Keats this tone exist in the tragic mysteries and the uncertainties of life. This concept has brought him into the improvement of his narrative poem which becomes “more natural to his genius as a poet

whose function was not to preach but to communicate an ever fuller and deeper vision of the tragic mystery and beauty of life, the path of Shakespeare”(Grierson & Smith, 1983, p. 381). That improvement can be seen for example from his poem called ‘Isabella’ to which Keats gives “an amusing sober sadness” (Hough, 1960, p.166). Isabella as the protagonist in the story of the

21

poem is the center of the topic of the poem. The way the narrator of the poem describes her character is mainly focused on the sadness of her life: (see poet 8)

The narrator compares Isabella and her sadness to the condition of Winter during which there are no beauty among the plants. In similar way the sadness has made Isabella’s beauty disappear.

Another tone of melancholy in Isabella is drawn through how the ghost of Lorenzo is complaining about his bad luck and death. Lorenzo is Isabella’s lover and servant who is killed by her brothers. (see poet 9)

The use of the word “alas” emphasizes Lorenzo’s sadness to his bad destiny which has brought him into the death. His complaints show that death is a galling loneliness.

The development of Keats’s work in his third period also appears in his Shakespearean-

style sonnet. The topic of his fears to the coming of the death also colors his sonnets, as described by the sonnet called When I have fears: (see poet 10)

Keats seems that he has predicted his short life. The magic hand of chance seems to be a connotation related to his hope to have more chances to write more poem before death comes to him. Thus, in addition to Keats’

implementation of Negative Capability, death still become the source of sadness in his poems for this period.

Until the middle of the fourth period, the concept of melancholy is still centered on the negative side. His poem still shows his rejecting the coming of death and misery. In his narrative poem, Keats still emphasized his Negative Capability to which Ward (1993, p.18-19), as he commentates the character of Knight at arms in La Belle Dame sans Merci, describes that “in horrible and ironic sense, he is a victim of Negative Capability; he is compelled to rest in mystery and uncertain, and has no fact or reason for which to reach, irritably or otherwise”. Further to that , in his exploring the topic related to love, death, and life, Allot (1981, p.219) describes Keats’ development from Endymion to the narrative of this period as follows:

…in contrast with Keats’ earlier narratives, where love is a kind of dream that

quickens and delights every sense and is constantly threatened by the hard realities

of the ordinary world, the enchantment is now itself a threat, and from the

beginning carries the seed of its own destruction.

Thus, it can be concluded that in his narrative poems, when Keats was talking about love, death was involved, in which means that the tone of melancholy also occurred

Change and development occurs in the middle of the period through Keats’ writing of his famous odes. Through his odes, Keats explored deeply about the things beyond human’s misery, so that he finally found out “a paradoxical Romantic belief that pain can be essential part of pleasure”(Monaghan & Lyle, 1988, p. 1741). Ode to Nightingale describes this condition as the speaker in this poem decides to join the bird though “the viewless wings of poesy”. The word poesy is used as the personification

which will change his rejecting the melancholy as part of misery into his welcoming it as the way to his imaginative world. Through this decision, Keats realized that he should accept Death as part of the journey of human life.

Darkling I listen; and for many a timeI have been half in love with easeful Death

Call’d him soft names in many a mused rhyme

To take into the air my quiet breath

22 Edisi 14 Tahun VIII Juni 2010

Death is personified as his friend. This is obviously different to his poems in the previous periods.

In Ode on Melancholy, Keats seems to view the existence of Melancholy as part of Beauty. Hough (1960, p, 178) reveals that through this poem, Keats realizes that “sadness is the inevitable complement of the moment of intense sensuous happiness that so far have been the peaks of his experience”. This condition is described through a relationship between Melancholy and Pleasure: (see poet 11)

Melancholy in the previous period is used related to Death and negative imagery, but through the writing of odes in 1819, it is related to Life. The simile “like a weeping cloud, that foster the droop-headed flowers all “ shows how Keats had changed his attitude into welcoming Melancholy. It is now at the same position as Beauty, Joy and pleasure and they take turn to influence human life. In similar way, Hough (1960, p. 178) emphasizes this changing condition by stating that “melancholy spring from the transcience of joy is part of its nature”. Therefore, in another words, we can say that the elements of the poems which shape the tone in this period revealed that Keats fatefully had accepted the existence of Melancholy.

ConclusionIn conclusion, this paper has highlighted that the change of Keats’ attitude towards the presence of melancholy can be seen

as a development of the concept of melancholy which come from his attempts to understand its positive and negative sides in human life. In order to see the development of how the tone of Melancholy is used in the poem, this article has described Keats’s writing style from period to period of his career as a poet. Keats has showed in his poems that he tries to view the existence of Melancholy from his way of thinking both as an ordinary person and as a poet. His ability in exploring and revealing the mystery of Melancholy in human’s life has brought some of his poems to be the groups of famous literary works in English literature. e

ReferencesAllot, M.(1981).’John Keats’ in I. Scott &

Kilvert (Eds), British Writers. Volume IV. New York: Charles Scribner’s Son.

Barnard, R.(1984). A Short History of English Literature. Oxford: Basil Blackwell

Bayley, J. (1988). ‘Keats and Reality’ in British Academy Chatterton Lecturers (Eds), English Poets. Oxford: Clarendon Press.

Bull, C.R. (1955). Regency Poets. Melbourne: Melbourne University Press.

Caudwell, C.(1972). ‘English Poet at the Time of the Industrial Revolution’ in D. Lodge (Ed), 20th Century Literary Criticism. London: Longman.

Cook, E.(1990). John Keats. Oxford: Oxford University Press.

Davis, J.K, Broughton, P.R and Wood, M. (1977).Literature. Glenview, Illinois: Scott, Foresman and Company.

Eagleton,T. (1983).Literary Theory, An Introduction. Oxford: Basil Blackwell.

Everett, B. (1986). Poets in Their Time, Essay on English Poetry From Donne to Larkin. London: Faber and Faber Limited.

Fowler, A. (1987). A History of English Literature. Oxford: Basil Blackwell.

Fuller, J.(1972). The Sonnet. London: Methuen &Co Ltd.

Furst, L.R (1969). Romanticism. London: Methuen & Co Ltd.

Grierson, H.J.C and Smith, J.C.(1983). A Critical History of English Poetry. New Jersey: Humanities Press.

Hilton, T. (1971). Keats and His World. London: Thames and Hudson.

Hough, G. (1960).The Romantic Poets. London: Hutchinson &Co. Ltd.

Hulme, T.E. (1972). ‘Romanticism and Classicism’. in D. Lodge (Ed), 20th Century Literary Criticism. London: Longman.

Jump, J.D. (1974). The Ode. London: Methuen &Co. Ltd.

Keats, J.(1969).’On Death’. In G. Parker (Ed), Poems of John Keats. Essex: Geoffrey Parker.

MacNeice, L. (1960). ‘John Keats’. In Oxford University (Ed), Fifteen Poets. London: Oxford University Press.

Monaghan, A.K and Lyle, A.W. (1988). ‘Ode on Melancholy’ in D.L Kirkpatrick (Ed), Reference Guide to English Literature. Volume 3. 2nd edition. London: St. James Press.

Murfin, R and Ray, S.M. (1977). The Bedford Glossary of Critical and Literary Terms. New York: Bedford Books.

Perrine, L. (1969). Sound and Sense. New York: Harcourt, Brace & World Inc.

Richards, I.A. (1992).’Practical Criticism’. in H. Adams (Ed), Critical Literary Theory Since Plato. New York: Harcourt Brace Jovanovich College Publisher.Shelley, P.B. (1992). ‘ A Defense of Poetry’, in H. Adams (Ed), Critical Literary Theory Since Plato. New York: Harcourt Brace Jovanovich College Publisher.Ward, G. (1994). Romantic Literature. London: Bloomsbury Publishing Ltd.Wordsworth, W. (1992). ‘Preface to Second Edition of Lyrical Ballads’. in H. Adams (Ed), Critical Literary Theory Since Plato. New York: Harcourt Brace Jovanovich College Publisher

But when the Melancholy fit shall fallSudden from heaven like a weeping couldThat fosters the droop-headed flowers all.

She dwells with Beauty – Beauty that must die;

And Joy, whose hand is ever at his lips,Bidding adieu; and aching Pleasure nigh,

Turning to Poison while the bee- mouth sips:

POET 11

23

Apa yang kita pahami dari kata ”belajar mandiri”? Menu-

rut kamus besar bahasa Jerman (Langenscheidts Groβwörterbuch), mandiri berarti dengan bantuan dari kemampuan pribadi dan tanpa bantuan dari yang lain. Hal ini berarti, bahwa jika siswa kita mandiri merekapun bisa be-lajar tanpa bantuan dari yang lain termasuk guru. Minimal mereka tidak tergantung dari gurunya. Johnson juga mengemukakan salah satu strategi CTL antara lain untuk memberdayakan siswa bela-jar sendiri, karena pada dasarnya manusia adalah pembelajar aktif sepanjang hayat. Dimana pen-didikan formal merupakan kawah candradimuka bagi siswa untuk menguasai cara belajar untuk bela-jar mandiri di kemudian hari. Jadi sudah seha rusnya siswa dilatih ber-pikir kritis dan kre-atif dalam mencari dan menganalisis informasi dengan sedikit bantuan atau bah-kan secara mandiri.

Bagaimana guru mencip-takan kebiasaan agar siswa akan belajar mandiri. Dalam pelajaran bahasa Jerman khususnya, hal yang dituntut dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah mengembangkan keempat aspek Keterampilan Berbahasa secara terpadu. Untuk itulah ke-mampuan guru mengembangkan model pembelajaran menjadi tun-tutan utama. Apa yang harus di-lakukan guru untuk menciptakan hal tersebut?

Kita renungkan sejenak pepa-

tah Cina kuno yang bagi kita sebenarnya tidak asing, antara lain yang berarti: Jika anda mem-berikan seseorang ikan, berarti anda hanya memberi dia makan satu hari, tetapi jika anda meng-ajarinya mencari ikan, berarti anda memberikannya kehidupan yang panjang untuk dapat men-cari makan.

Dari hal tersebut dapat kita ambil kesimpulan betapa strategi belajar itu penting bahkan men-jadi lebih penting, jika diband-ingkan dengan materi itu sendiri. Bagaimana siswa mempunyai ber-bagai cara mendapatkan materi tersebut? Pertanyaan inilah yang perlu dikembangkan. Apakah anda juga berpendapat bahwa materi pelajaran tidak penting? Tentu saja penting, tetapi siswa dapat memperolehnya dimana saja tidak saja terbatas hanya dari

Anda gurunya karena guru bukan lagi sumber utama.

Dalam tuntutan kurikulum sekarang ini kompetensi men-jadi kata kunci. Jadi berikanlah siswa anda kunci sehingga ia dapat membuka semua pintu ke-hidupannya. Mari kita renungi apa yang kita lakukan dalam mengajar. Apakah hanya sekadar mentransfer materi? Seharusnya tentu tidak. Proses merupakan kata penting dalam hal ini, di-mana siswa mengalami proses be-lajar yang harus dialaminya, dan mendapatkan pengalamannya da-lam belajar.

Kuncinya dalam mengajar tentu mempermudah siswa untuk memahami sesuatu yang kita ber-

ikan. De ngan berbagai ca-ra, persiapan, media semua diramu de-ngan kompe-

tensi yang anda punya. Salah satu ramuan yang dapat kita sajikan adalah melalui Mini Projekt Lernstationen—pro-

yek kecil melalui stasiun stasiun belajar. Melalui ke-giatan ini siswa ditawarkan

tidak hanya kemandirian, tetapi juga rasa percaya diri bahwa mere ka mampu. Hal inilah yang akan menambah motivasi mereka dalam belajar. Kesadaran mencari apa yang mereka perlukan, bukan beban yang harus mereka laku-kan. Jadi peran kita guru sebagai motivatorpun sudah terlaksana melalui kegiatan ini.

Hal ini juga ditegaskan oleh Matt Jarvis bahwa siswa akan belajar paling baik dengan mene-mukan (discovery). Karena itulah

“Wenn du einem Menschen einen Fisch gibst, dann gibst du ihm

für einen Tag zu essen,Wenn du einem Menschen das

Fischen beibringst, dann gibst du ihm sein Leben lang zu essen”

Altchinesische Weisheit—Lernautonomie und

Lernstrategien—Peter Bimmelund Ute Rampilon

24 Edisi 14 Tahun VIII Juni 2010

peran guru adalah merancang sebuah kegiatan belajar yang didalam-nya siswa dapat menyelesaikan m a s a l a h nya sendiri. Tetapi d i h a r a p k a n guru tidak mening-galkan mereka sendiri, melainkan membimbing mereka menemukan dan menyelesaikan masalah mere-ka sendiri (jika diperlukan). Un-tuk merealisasikan hal ini, teknik Lernstationen merupakan salah satu alternatif.

Lernstationen juga merupakan solusi untuk pengajaran dalam kelas besar. Mengapa demikian? Karena Lernstationen menawar-kan kerja mandiri (tidak selalu tergantung guru) tetapi juga ma-teri yang bervariatif dapat diberi-kan sekaligus melalui berbagai station dan cara. Kerja kelompok akan berfungsi diantara para ang-gota kelompoknya.

Lernertypen und Eingangskanale—Tipe Pembelajar dan Perolehan In-formasiBelajar adalah proses, dimana tipe tipe pembelajar tentu mempe-ngaruhi hasil belajar. Tidak da-pat dipungkiri bahwa terdapat ba nyak siswa dengan berbagai tipe pembelajar di da-lam sebuah ke-lompok belajar/kelas, antara lain: auditiver-, kinästhet i scher - , atau visueller Lern-typ?

Konsekuensi dari keberagam an tipe pembelajar tersebut

adalah terhadap apa yang akan guru

sajikan di dalam kelas dan ba-gaimana me-

nyajikannya. Untuk tipe pembelajar

auditif tentu akan lebih mu-

dah mendengarkan ceramah dari-pada kegiatan yang lain. Tapi un-tuk tipe visual media akan sangat membantu dalam pemahaman dan juga apabila dia mempunyai kes-empatan menuliskannya. Tetapi bagi yang bertipe kinestetik hal itu belum cukup, dia membutuh-kan sebuah latihan yang dapat dilakukannya seperti misalnya bermain peran, dsb.

Hal inipun sesuai dengan hasil sebuah penelitian, bahwa untuk mendapatkan hasil pembelajaran yang optimal, guru perlu meng-gunakan berbagai cara untuk melibatkan siswa dalam berbagai kegiatan. Hasil penelitian terse-but menyatakan bahwa secara auditif (mendengar), siswa ha nya dapat menyerap materi ±20% dari materi yang disampaikan, secara visual (melihat/mambaca) siswa m e n a n g k a p ±35%, secara au-ditif dan vi-sual siswa d a p a t

m e -

nyerap materi ±50%, secara auditif+visual +reproduktif+media siswa dapat menangkap ±75% serta secara audi tiv+visual+repro-duktif+media+partisipasi dalam pe laksanan siswa dapat menang-kap ±95% dari bahan ajar yang diberikan oleh guru.

Dari hal tersebut di atas kita mendapatkan informasi, bahwa apabila siswa hanya men de ngar saja maksimal informasi yang dise rapnya hanya 20%. Jika hanya melihat saja 35%. Apabila melihat dan mendengar hanya dapat me-nyerap maksimal 50% informasi yang dilihat dan didengarnya. Jika kita menggunakan media mak-simal hanya 75% informasi yang dapat diserapnya. Tetapi apabila kita memberikan mereka kesem-patan untuk mempraktekkan apa yang dipelajarinya dimana mereka mampu mereproduksinya hasilnya kurang lebih 95%.

Seperti juga dijelaskan oleh Bimmel dan Rampilon dalam Lernerautonomie und Lernstrate-gien bahwa belajar adalah sebuah proses aktif, yang dikerjakan sendiri oleh siswa dimana mere-ka bertanggung jawab untuk itu. Karena itulah proses menjadi le-

bih penting dibanding hasil belajar itu sendiri. Dan akan

lebih baik

25

lagi apabila siswa belajar dengan mengaktifkan kelima inderanya. Apakah anda setuju,bahwa bela-jar dengan menggunakan segala indra kita akan berhasil jauh le-bih lebih baik.

Bagaimana Realisasinya di KelasKeuntungan kita menerapkan Lernstationen dalam kelas antara lain siswa kita akan mendapatkan kesempatan lebih untuk belajar mandiri dan mengalami proses belajar. Lernstationen adalah sebuah bentuk dari kerja kelom-pok. Siswa akan belajar di dalam grup bersama sama mengerjakan berbagai bentuk latihan yang su-dah disusun oleh guru. Jadi peran guru hanya sebagai sutradara, motivator dan konsultan belajar. Mereka akan menyelesaikan prob-lem masing masing dalam kelom-poknya melalui koreksi mandiri atau mendiskusikannya dengan guru bila diperlukan. Di sinilah siswa mempunyai banyak kesem-patan untuk mengajar dan bela-

jar satu sama lain. Seperti sebuah pepatah mengatakan Beim Lehren lernt man—dengan mengajar orang belajar.

Apakah Lernstationen?Melalui tehnik Lernstationen disediakan stasiun stasiun bela-jar pada sebuah ruangan, dimana tersedia latihan yang berbeda beda yang harus dikerjakan oleh peserta secara berkelompok. Tu-gas tugas tersebut masih dalam kaitannya dalam satu tema.

Apa yang Menarik dari Lernsta-tionen?Terdapat pilihan materi belajar, penawaran bantuan bila dibutuh-kan, kesempatan diskusi, waktu yang tidak mengikat, jumlah dan kualitas belajar yang dapat diten-tukan sendiri oleh kelompoknya.

Bagaimana Prosesnya?Dalam setiap stasiun terdapat latih an yang tidak sama de ngan stasiun yang lain. Jika guru

menyi apkan 4 jenis latihan maka akan ada 5 stasiun belajar. Untuk apa satu sta-siun lagi? Di stasiun tersebut terdapat permainan, apabila mereka menunggu untuk berpindah ke stasiun berikutnya, tetapi kelompok sebelumnya masih bekerja di stasiun tersebut. Pasti hal ini akan terjadi, kare na waktu yang diperlukan ma sing masing grup tidak sama untuk me-nyelesaikan latihan yang tersedia, seh-ingga mereka tidak

menunggu saja melainkan ber-main sambil belajar.

Contoh: Grup 1 dapat mulai dengan stasiun ke-1, grup 2 de-ngan stasiun ke-2, dst. Jika su-dah selesai mereka akan berpin-dah ke stasiun berikutnya dengan tugas yang berbeda, dan jika stasiun berikutnya penuh, mere-ka menunggu di stasiun tunggu (Warte-Station) sambil bermain misal quiz, puzzle, atau teka teki. Hal terpenting: masing masing grup akan mengerjakan semua latihan yang ada di stasiun sta-siun yang disediakan dan mengo-reksinya sendiri hasil pekerjaan mereka. Kunci jawaban (dalam amplop) ada di masing masing stasiun, tetapi mereka akan men-cocokannya setelah pekerjaan se-lesai dan mendiskusikan kesalah-an yang mereka buat.

Apa Prinsip dalam Lernstationen?Antara lain adalah : (1) Urutan latihan di semua stasiun, petun-

26 Edisi 14 Tahun VIII Juni 2010

juk mengerjakan, batas waktu mengerjakan akan ditentukan sendiri oleh siswa dalam kelompok; (2) Setelah selesai tugasnya mere-ka akan membuka kunci jawaban dalam amplop dan mengo reksinya sendiri serta mendiskusikan kesa-lahan yang mereka buat bersama. Proses ini adalah proses penting dalam belajar. Fuad menegaskan bahwa seorang guru harus bisa menjadikan anak muridnya dapat membuka sendiri kesalahannya (introspeksi), seperti ketika guru mengembalikan tugas muridnya tanpa menilainya (tetapi hanya memberi tanda di mana terdapat kesalahan), selanjutnya mereka bisa mengoreksinya sendiri.

Apa yang siswa dapatkan?Dalam kegiatan ini mereka akan memutuskan bagaimana cara mengerjakan, mencari jawaban-nya sesuai dengan kebutuhan mereka. Di satu kelompok mung-kin akan sangat panjang diskusi-nya. Apabila mereka rasa sulit mereka akan menentukan latihan mana yang akan dikerjakan le-bih dulu. Semua itu terjadi tanpa mereka sadari mereka juga bela-jar berdemokrasi, mendengar dan menghargai pendapat lain. e

Daftar PustakaBimmel, Peter und Rampilon, Ute, Lerner-

autonomie und Lernstrategien, Fernstudieneinheit 23, Langenscheidt,

Goethe Institut münchen, 2000Fuad bin Abdul Azis AL-Syalhub, Quantum

Teaching – 38 Langkah Belajar

Contoh Materi untuk Diklat Guru— Guter Unterricht: Trainingsmodule für die Lehreraus- und–Fortbildung, S. 53Stationarbeit: Exkursionen vorbereiten

a. Bereiten Sie sechs Stationen vor: An jeder Station gibt es groβe leere Plakate zum Beschreiben und Filzstifte. Jeder Teilnehemer geht von Station zu Station und ergänzt die Vorschläge und Ideen seiner Vorgänger.

(Siapkan 6 Stasiun Belajar: Pada masing masing stasiun disiapkan karton dan spidol warna. Masing masing peserta berjalan dari satu stasiun ke stasiun yang lain untuk melengkapi saran dan ide dari peserta sebelumnya)

Station 1Wo und wie finde ich Anregungen über geeignete Lernorte und gute

Informationen in der Region? (z.B Gelbe Seite, www.desutsches-

museeum.de, www.kindermuseum.de, museumpädagogische Dienste,

Empfehlungen der Ämter, regionale Publikationen)

(Dimana dan bagaimana saya mendapat ide untuk menemukan tempat yang cocok dan informasi

bagus di daerah saya)

Station 2Welche organisatorischen Aspekte

muss ich als Lehrer im Vorwege bedenken und klären? (z.B

Weg/Aufsichtspflicht/Kosten/Ansprechpartner)

(Aspek aspek apa saja yang harus saya lakukan (sebagai guru) dalam

mengorganisir pembelajaran sebelum merencanakaan dan menjelaskan)

Station 3Was wissen meine Schler? Was wollen sie wissen? Was sollen

sie lernen? Entwickeln Sie hier methodische Varianten zur Sondierung

der spezifischen Vorkentnisse, Interessen der Lerngruppe, (z.B

Fragebögen,Mindmaps, Ideensonnen, Fragesammlungen)

(Apa yang diketahui siswa saya? Apa yang ingin mereka ketahui? Apa

yang seharusnya mereka ketahui? Kembangkan variasi variasi metode

untuk mendapatkan informasi tentang pengetahuan awal dan minat mereka)

Station 4Welche Aufgaben und

Verantwortlichkeiten wollen und können Schüler benehmen?

Ständige Gruppenaktivitäten vor Ort, Kostenabwicklung...)

(Tugas tugas apa yang akan dan dapat siswa kembangkan)

Station 5Welche sind notwendige Agebote für

Exkursionen?Hinweg . in der Őffentlichkeit . speziell im Museum . Rückweg . wirkungsvolle

Konsequenzen bei Nichteinhaltung(Study tour apa yang anda

tawarkan?)

Station 6Was muss der Experte vor Ort über die

Lerngruppe wissen und wie kann ich diese Informationen am produktivsten

sammeln und übermitteln?(Apa yang harus anda ketahui lebih dulu tentang kelompok belajar dan

bagaimana mengumpulkan informasi dan menyampaikannya?)

b. Im Anschluss an die Stationsarbeit betrachten alle die ausgefüllten Plakate. (Akhir dari kegiatan semua peserta akan mendiskusikan tentang plakat yang sudah mereka buat)

Mengajar EQ Cara Nabi Muhammad SAW, Zikrul Hakim, Jakarta, 2005

Johnson, Elaine, B, Contextual Teaching & Learning, Mizan Learning Center,

Bandung, 2007Matt Jarvis, Teori teori Psikologi-Pendeka-

tan Modern untuk memahami perilaku, perasaan dan pikiran manusia, Nusamedia

dan Nuansa, Bandung, 2006Unruh, Thomas und Petersen, Susanne, Gut-

er Unterricht: Trainingsmodule für die Lehreraus- und –fortbildung, AOL Verlag,

Rheinmünster, GermanyWeidensfeld, S.Kristian, Lexikon der schön-

sten Sprichwörter und Zitate, Bassermann Verlag, München, 2004http ://www.hueber.de/s ixcms/ l i s t .

php?page=downloads_methodik_dafhttp://www.hueber.de/sixcms/media.

php/36/Lernstrategien.pdfhttp://www.hueber.de/sixcms/media.

php/36/Lernen.pdfhttp://www.lernstationen.de/index.php

27

Pendahuluan

Salah satu komponen untuk mendukung keterampilan berbahasa adalah pengua-

saan kosakata. Dalam bahasa yang bersifat reseptif maupun produktif juga tidak terlepas dari penguasaan dan penggunanaan kosakata. Seseorang yang akan melakukan tindak bahasa secara lisan maupun tulisan, kosakata merupakan salah satu aspek pendu-kung yang akan diguna-kan. Dengan demikian kosakata merupakan faktor yang sangat do-minan dalam tindak berbahasa.

Penguasaan kosakata merupakan faktor pen-ting yang diperlukan untuk dapat berkomunikasi baik secara lisan maupun tulisan. De-ngan penguasaan kosakata yang cukup atau memadai maka akan lebih mudah memahami dan atau menyampaikan suatu informasi. Dalam berkomunikasi secara lisan semua informasi, pikiran, dan ide diungkapkan melalui kosakata dan dilafalkan melalui simbol-simbol bunyi yang harus dipa-hami maknanya oleh komunikan. Sementara itu dalam berkomu-nikasi secara tulisan, kosakata juga merupakan salah satu aspek

kemampuan yang harus dipaha-mi dan kuasai oleh komunikator maupun komunikan.

Pada umumnya kosakata yang dimiliki seseorang dapat diperoleh dengan dua cara yakni secara ala-mi atau melalui proses belajar. Ko-sakata yang diperoleh secara ala-mi pada anak-anak biasa disebut pemerolehan. Proses pemerolehan

kosakata tersebut terjadi pada saat anak berkomunikasi dengan anggota masyarakat lain misalnya dengan orangtua, teman di ling-kungan sekitar.

Pemerolehan kosakata terse-but pada lazimnya terjadi pada pemerolehan bahasa pertama atau bahasa ibu. Pembelajaran kosakata terjadi pada situasi yang dikondisikan dan dirancang sebe-lumnya. Proses pembelajaran ko-sakata dimaksud terjadi misalnya pada proses belajar di sekolah.

Dengan demikian pada pembe-lajaran kosakata yang diprogram-kan minimal melibatkan pembela-jar dan pengajar. Oleh karena itu pembelajaran kosakata sebaiknya dirancang dengan sistematis dan memperhatikan aspek kemam-puan daya ingat yang dimiliki oleh seseorang.

Berapa Kosakata Anda?Ada beberapa pertanya-an yang sering muncul berkaitan dengan pem-belajaran bahasa asing khususnya bahasa Jer-man di sekolah. Perta-nya an yang kadang muncul sebagai berikut:1. Berapa jumlah kosa kata yang harus dikuasai untuk dapat

berkomunikasi dalam bahasa Jerman?

2. Kosakata apa yang harus dipelajari?

3. Bagaimana mengajarkan ko-sakata baru?

4. Mengapa kita cepat lupa de-ngan kosakata baru?

5. Bagaimana cara meningkat-kan kosakata?

6. Bagaimana kosakata diguna-kan pada keterampilan berba-hasa yang produktif?Dari beberapa pertanyaan

tersebut di atas dapat dirang-

28 Edisi 14 Tahun VIII Juni 2010

kum menjadi pertanyaan yang mendasar yakni ”bagaimana” mempelajari kosakata dan sebera pa ”banyak” kosakata yang harus dimiliki sese-orang untuk dapat berkomu-nikasi dan bagaimana agar kosakata tersebut ”tidak cepat hilang” dari ingatan. Kata ”banyak” memang sa-ngat relatif dan sulit untuk mengatakan dengan angka yang pasti.

Jean Aitchison (1987):5 pada abad ke 19 di Inggris mengamati dan mencatat percakapan dua orang yang sedang mengumpul-kan apel. Percakapan antara 2 orang yang berlangsung selama hampir 2 jam itu ternyata mereka hanya menggunakan kosakata tidak lebih dari 100 kosakata. Di Perancis seorang penulis yang bernama Georges Simenon mengatakan bahwa hampir separuh lebih penduduk Perancis menggunakan kosakata tidak lebih dari 600 ko-sakata.

Dari dua contoh peris tiwa tersebut kata ”banyak”memang sangat relatif dan sulit membe-dakan apakah 100 dan 600 itu ”banyak”. Ternya-ta dengan pe nguasaan kosakata kurang dari 100 mereka dapat bercakap-cakap hampir 2 jam. Berdasarkan dua contoh tersebut di atas maka per-tanyaan ”berapa banyak kosakata yang harus kita kuasai untuk dapat berkomunikasi?” memang jawaban yang muncul akan sa-ngat bervariasi.

Daya Ingat Manusia Dalam kehidupan sehari-hari ma-

nusia tidak dapat terlepas dari ke-mampuan mengingat. Kemampuan

mengingat seseorang biasanya di kaitkan dengan daya ingat lemah atau tinggi. Berbagai hal yang berhubungan dengan pengalaman dan pengetahuan selalu berkaitan dengan daya ingat. Bahkan untuk mengungkapkan pikiran, perasa-an maupun pengalaman daya ingat sangat dibutuhkan. Dalam komunikasi yang menggunakan bahasa sebagai sarana, daya ingat

sa ngat diperlukan untuk meng i-ngat semua kata-kata dan tataba-hasa yang sesuai untuk digunakan dalam menyusun suatu kalimat, ujaran atau ungkapan.

Miller dalam Morgan menya-takan bahwa ”This capacity esti-mated to be about 7 items, plus or minus 2” Definisi ini memperjelas bahwa kapasitas daya ingat itu sangat terbatas dan hanya mam-

pu menyimpan sebanyak 7 butir hal lebih atau kurang dua (7 ± 2).

Berdasarkan hasil peneli-tian yang mengatakan bah-wa daya ingat seseorang itu sangat terbatas maka diper-lukan metode dan teknik pembelajaran kosakata.

Penggunaan teknik pem-belajaran kosakata yang se-suai akan menghasilkan

pem belajaran yang bermakna. Dengan demikian kosakata yang telah dipelajari akan lebih lama disimpam dan dingat sehingga ko-sakata tersebut akan lebih mudah dan cepat pula dipanggil sewaktu akan digunakan dalam berkomu-nikasi. Selain itu jumlah kosakata baru yang akan dipelajari juga se-baiknya tidak lebih dari 9 (sembi-lan) kosakata setiap hari.

Rohrer dalam Dietrich Müller me-ngatakan dalam psi-kologi daya ingat bahwa pusat informasi daya ingat me ngenali berbagai tipe hubung-an antara kosakata yang satu dengan yang lainnya. Pada dasarnya hubung an setiap kosakata mem-punyai lima cara yak-ni: (lihat tabel 1)

Berdasarkan tabel di atas dapat disim-

pulkan bahwa untuk mengingat dan menggunakan kosakata ter-tentu memerlukan suatu proses. Kosakata disimpan dalam otak minimal menggunakan lima tipe hubungan. Lima tipe hubung-an itu adalah 1) koordinasi; 2) kolokasi; 3) Subordinasi; 4) si-nonim; 5) antonim. Penggunaan tipe hubungan ini akan memper-mudah mengingat maupun me-

TABEL 1

1. Koordination Salz + Pfeffer + Senf2. Kollokationen Salz streuen3. Subordinationen Vogel

Spatz Ente Adler Eule4. Synonyme Berichtigen = korrigieren5. Antonyme gut böse

29

manggil kosakata tersebut jika akan digunakan. Proses meng-ingat dan memanggil kosakata yang sudah tersimpan dalam otak kita dapat digambarkan pada ske-ma di bawah ini. (lihat Skema 1)

Berdasarkan gambar di atas ternyata tanpa kita sadari proses pembelajaran kosakata itu begitu komplek dan rumit. Untuk dapat menyimpan sebuah kosakata pun terdapat beberapa tahapan dalam sistem kerja otak. Tahapan terse-but juga melibatkan organ tubuh yang lain sebagai sarana. Penye-rapan informasi yang salah satu-nya dapat berupa kosakata dapat dikategorikan menjadi 3 (tiga) tahapan yakni:1. Sensorischer Informations-

speicher/Alat Pancaindra Pada tahap ini semua informasi diterima melalui organ tubuh yang berupa pancaidra. Alat pancaindra ini dapat berupa penglihatan, pendengaran, pen ciuman, peraba, dan penge-cap. Informasi ini hanya akan disimpan dalam pancaindra selama ± 1 detik. Langkah berikutnya informasi akan dikirim ke bagian daya ingat jangka pendek. Infor-masi yang kurang bermakna tidak dikirim ke daya ingat jangka pendek atau dilupa-kan.

2. Kurzzeitgedächtnis/Daya Ingat Jangka PendekSemua informasi yang te-lah dikirim oleh pancaindra akan disimpan pada daya ingat jangka pendek selama ± 30 detik. Pada tahap ini semua informasi akan dikon-struksi dan diolah, misalnya jika yang dilihat adalah foto maka pertanyaan akan mun-

TABEL 2

TIGA TEKNIK MÜLLER

Wort/KataMenerangkan Kosakata

Bahasa Jerman

Alat Bantu Media Menerangkan Kosakata Baru

Klassensituation/ Situasi Kelas

Menerangkan Kosakata Baru

a. Wortableitung/kata turunan: die Arbeit menjadi arbeiten, der Arbeiter, die Arbeiterin, arbeitslos, Arbeitsloigkeit.

b. Synonyme/sinonim: besichtigen = besuchen; froh = gern.

c. Über-/Unterordnung: Getränke = Apfelsaft, Milch, Wasser, Bier.

d. Antonyme/antonim: gut bö; reich arm; rechts links.

a. Zeichnung/tanda atau simbol.

b. Bild/gambar.c. Anschauungsobjekt/alat

peraga.d. Authentische

Dokumentation/dokumentasi riil: foto, video.

e. Handlungan/perbuatan.f. Gestik/Mimik.

a. Bezug auf Teilnehmer/siswa.

b. Bezug auf Vorwissen von Teilnehmern/pengetahuan atau pengalaman siswa.

c. Bezug auf bekannte Lektion/tema yang sudah dikenal atau dipelajari pada tema sebelumnya.

d. Beschreibung einer neuen Situation/gambaran situasi baru.

e. Fremdwörter/kata asing: das Restaurant, Biologie, Chemie.f. Paraphrase/parafrase: Student = Er/Sie studiert an der Universität Indonesia. Er/Sie

studiert Biologie; Er/Sie ist Sudent/in.g. Definition/definisi: das Fahrrad = Es hat zwei Räder aber keinen Motor.h. Kollokation/kolokasi: die Blume blühen, der Hund bellen, die Sonne scheint.i. Übersetzung/terjemahan: Pferd = kuda.

cul: apakah foto seorang laki-laki atau perempuan, kira-kira berapa usianya, berapa tinggi badan dan pertanyaan akan muncul sesuai dengan sebera-pa jauh motivasi untuk menge-tahui foto tersebut. Langkah berikutnya adalah pengiriman informasi ke daya ingat jangka panjang jika informasi itu ber-makna. Informasi yang kurang bermakna akan dilupakan atau tidak diteruskan ke daya ingat jangka panjang.

3. Langzeitgedächtnis/Daya Ingat Jangka Panjang Pada tahap daya ingat jangka panjang informasi akan di-simpan secara sistematis. Cara penyimpanan yang sistematis akan mempengaruhi kelak pada waktu informasi itu digunakan. Jika informasi disimpan tanpa menggunakan sistem maka informasi dalam hal ini yang berupa kosakata tersebut sulit ditemukan atau istilah yang kita kenal adalah lupa. Jadi

penyimpanan kosakata analog dengan kita memberi nama file di komputer pada saat kita mengetik data. Dengan meng-ingat nama file maka kita akan dengan cepat membuka pada saat diperlukan.

Teknik Pembelajaran KosakataDalam proses belajar mengajar se-orang guru dapat menggunakan berbagai teknik untuk mengajar-kan kosakata. Pilihan teknik pem-belajaran kosakata yang sesuai bertujuan agar siswa dapat dengan mudah menghafal, menguasai dan menggunakan kosakata tersebut. Selain itu diharapkan kosakata yang telah dipelajari tidak cepat hilang atau lupa. Oleh karena itu diperlukan teknik pembelajar-an yang menarik agar kosakata tersebut bermakna dan tidak ce-pat hilang dalam ingatan.

Pada dasarnya menurut Dietrich Müller terdapat 3 (tiga) teknik yang digunakan untuk pembelajaran kosakata, yakni: (li-hat tabel 2)

30 Edisi 14 Tahun VIII Juni 2010

Model Pembelajaran KosakataBerikut adalah sebuah contoh model pembelajaran kosakata yang menggunakan salah satu teknik pembelajaran yakni de-ngan menggunakan tanda atau simbol. (lihat tabel 3) e

Daftar PustakaBernd – Dietrich Müller: Wortschatzarbeit

und Bedeutungsvermittlung; Fernstudieneinheit 8, Langenscheidt, 1984.

Clifford T. Morgan, Introduction to Psychology ( United State of America – Mcgraw – Hill. Inc, 1986)

Hilgard, Ernest, Rita L. Atkinson, Richard, Atkinson: Intoduction to psychology ( New York, San Diego, Harcourt Brace Javanovich, Inc 1979.

Irwanto, Psikologi Umum, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 19996.

Kaiser, W.U. : Materi Workshop und Seminar für indonesische Deutschlehrer, Jakarta 3 – 7 Oktober 2009.

Sujanto, Agus; Psikologi Umum, Bumi Aksara, Jakarta, 1991.

Vorderwülbecke, Anne, Vorderwülbecke; Klaus : Stufen International 1 Deutsch als Fremdsprache für Jugendliche und Erwachsene; Lehr und Arbeitsbuch. Ernst Klett International, Stuttgart, 1999.

Vorderwülbecke, Anne, Vorderwülbecke, Klaus; Stufen International 2 Deutsch als Fremdsprache für Jugendliche und Erwachsene; Lehr und Arbeitsbuch. Ernst Klett International, Stuttgart, 1999.

Vorderwülbecke, Anne; Stufen International 3 Deutsch als Fremdsprache für Jugendliche und Erwachsene; Lehr und Arbeitsbuch. Ernst Klett International, Stuttgart, 1999.

TABEL 3

MATERI9 (sembilan) kosakata dengan tema lingkungan sekitar antara lain kata: das Haus,

der Sohn, die Tochter, das Fahrrad, der Baum, die Sonne, der Ball, das Flugzeug, die Mutter.

KOMPETENSI DASARMenulis kata, frasa, dan kalimat dengan huruf, ejaan dan tanda baca yang tepat

INDIKATORMenulis kata dengan huruf yang benar.Membuat kalimat berdasarkan gambar.

Membuat paragraf dengan benar.

KETERAMPILANMenulis

MEDIAGambar

KEGIATAN AWALPada kegiatan ini guru mengajukan beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan gambar. Dengan menunjuk salah satu gambar, guru mengajukan pertanyaan ” Was

sehen Sie oben rechts”. Pertanyaan diajukan dalam bahasa Jerman. Kemungkinan besar siswa akan menjawab dengan bahasa Indonesia. Pada waktu siswa menjawab dengan menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa yang lain, maka guru menyebutkan ”

Baum”, gut das ist Baum, ein Baum. Siswa diminta untuk mengucapkan Baum secara bersamaan, kemudian untuk penguatan maka guru bisa menunjuk beberapa siswa

secara acak untuk mengucapkan kata Baum tersebut. Untuk kosakata yang lain dapat diperkenalkan dengan cara yang sama.

KEGIATAN INTIPada kegiatan inti guru dapat memberikan beberapa latihan sebagai penguatan agar siswa dapat mengingat dan menyimpan 9 (sembilan) kosakata tersebut. Salah satu

teknik adalah dengan menjodohkan gambar dan kosakata yang sesuai. Teknik yang lain adalah siswa diminta menempelkan potongan kosakata yang sesuai dibawah gambar. Hasil kerja siswa yang sudah benar ditempel agar mudah dilihat, dibaca dan dipahami

siswaKegiatan menulis yang telah dilakukan itu bertujuan agar siswa dapat menulis kosakata

dengan ejaan yang benar. Langkah berikut adalah penyajian gambar yang dapat dituliskan maupun diceritakan dengan bahasa lisan. Berdasarkan gambar di bawah, siswa diminta untuk membuat

kalimat dengan menggunakan kosakata yang telah dipelajari sebelumnya. Latihan ini dapat dilakukan dalam kelompok kecil. Setiap kelompok membuat 9 kalimat. Setiap

kalimat harus menggunakan salah satu kosakata dari Baum, Haus, Fahrrad, Flugzeug, Ball, Sonne, Mutter, Sohn, Tochter. Berdasarkan gambar siswa akan menghasilkan kalimat yang sangat bervariasi antara kelompok yang satu dngan yang lainnya.

Penampilan gambar berikut termuat makna secara konteks yang dapat diceritakan secara tertulis oleh siswa.

Dari 9 kosakata tersebut dapat dibuat sebuah rangkaian alur cerita. Masing-masing kelompok dapat menggunakan kosakata tersebut dengan versi pemikiran kelompok masing-masing. Berikut adalah kalimat yang mungkin dihasilkan oleh kelompok.

1. Die Mutter steht vor dem Haus.2. Die Mutter steht vor der Tür. 3. Die Tochter fährt mit dem Fahrrad.4. Die Tochter hat blonde Haare.5. Der Sohn spielt Fußball im Garten.6. Der Sohn trägt einen blauen T-Shirt7. Der Baum steht neben dem Haus.8. Der Baum hat viele Blätter.9. Die Sonne scheint am Tag.10. Die Sonne scheint sehr stark.11. Das Flugzeug fliegt von Jakarta nach Berlin.12. Das Flugzeug fliegt im Himmel.13. Das Haus ist sehr schön.14. Das Haus liegt auf dem Dorf.15. Das Fahrrad ist neu.16. Das Fahrrad kostet teuer.17. Der Ball ist rund.18. Der Ball gehört dem Sohn.

Masih menggunakan media gambar yang sama, masing-masing siswa diminta untuk membuat sebuah teks yang terdiri dari 3 (tiga) paragraf.

KEGIATAN PENUTUPPada kegiatan penutup membahas hasil kerja siswa/kelompok dengan memperhatikan tulisan yang benar seperti semua awal kata benda harus ditulis dengan huruf kapital/

besar. Di akhir kalimat selalu membubuhkan tanda baca titik.

3 TAHAP PENYERAPAN INFORMASI

1. Sensorischer Informations speicher/Alat Pancaindra.

2. Kurzzeitgedächtnis/Daya Ingat Jangka Pendek.

3. Langzeitgedächtnis/Daya Ingat Jangka Panjang.

31

Setiap bangsa m e m i l i k i k e b i j a k a n

bahasa (language policy) yang meng-atur tentang peng-gunaan bahasa. Ke bijakan ini pada seluruhan bangsa dinyatakan secara eksplisit, bahkan undang-undang dasar sementara menyebutkan be-berapa bahasa beserta peranannya masing-masing. Kebijakan ini di antaranya berlaku di Indonesia, India, Irlandia, Kanada. Bangsa lain menetapkan bidang bahasa dalam hukum tertentu, seperti diberlakukan oleh Perancis.

Bangsa lain seperti Amerika Serikat, sebagian besar kebijakan bahasa dinyatakan secara implisit. Ketiadaan hukum, misalnya, men-egaskan keputusan parlemen AS yang boleh diterbitkan dalam bahasa Inggris, tetapi peru-musan kebijakan ini melalui tahapan panjang lebih dari 200 tahun sepan jang berdi-rinya negara tersebut.

Kebijakan bahasa dapat dike lom pokkan dalam tiga pendekat an: monolingualisme, persamaan multilingualisme, sistem bahasa regional. Perancis mengikuti pen dekatan pertama sejak abad ketujuh belas, Belgia mengadopsi pendekatan kedua pada abad kedua puluh, sedang-kan India menggunakan pendeka-tan ketiga sejak kemerdekaan. Dalam ketiga pendekatan terse-but, hanya pendekatan pertama yang dinya takan secara implisit, sedang kan kedua pendekatan lainnya dirumus kan dalam perun-dang-undangan.

Pengelompokkan salah satu dari ketiga skema tersebut tidak selalu mudah. Kebijakan bahasa Spanyol, sebagai contohnya, secara resmi menganggap bahwa konteks bahasa nasional lebih menyerupai skema persamaan bilingual, sam-pai pada hubungan antara Spanyol dan Catalan. Konstitusi Paraguay memel i-

h a r a p e r s a -

maan antara Spanyol dan Gurani, meskipun dalam ke-nyataan, fungsi bangsa serupa dengan bahasa Spanyol yang berperan sebagai bahasa tunggal nasional.

Tahun 1928, selama penja-jahan Belanda, Kongres Pemuda Nasional di Indonesia berpe-gang teguh dengan slogan satu bangsa, satu bahasa, satu tanah

air (Indonesia)—one people, one language, one fatherland. Satu ba-hasa yang dipilihkan dari bahasa Malaysia, diganti dengan Indone-sia. Bahasa perdangangan (trade language) terutama digunakan se cara luas dalam archipelago te-tapi bahasa asli digunakan oleh sebagian penduduk Indonesia.

Pergerakan nasionalis bangsa Indonesia secara sadar tidak me-

mutuskan bahasa nasional se-bagai sesuatu yang terbesar atau pa ling berpengaruh bagi kelompok etnis asli, tetapi sebagai sesuatu yang netral di antara sekelompok etnis dari suatu negara. Selama PD

II, bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa pemerintahan

oleh para pejabat pemerintahan Jepang. Keharusan terhadap per-cepatan modernisasi bahasa, ber-langsung saat Jepang menyokong kelompok tertentu untuk meng-hasilkan kosa kata baru (needed vocabulary) dan memulai proses standarisasi.

Pada akhir masa peperangan, Bahasa Indonesia dianggap se-bagai bahasa nasional pemerin-tahan. Pada masa kemerdekaan, setelah PD II, Bahasa Indonesia sesungguhnya sudah dijadikan se-bagai bahasa nasional. Penga ruh kebijakan ini adalah mengangkat

http:/

/3.bp

.blogsp

ot.com/_CSdrsjK

gxpo/SwGdExdMv1I/AAAAAAAAAKw/m29nKzk5gzQ/s320/iq-bowl-44300.jpg

Vera Aulia Lesmana ChaniagoWidyaiswara Bahasa Arab PPPPTK Bahasa

32 Edisi 14 Tahun VIII Juni 2010

bahasa sebagai bagian politik, ke-cuali direncanakan oleh peserta konferensi, sebagai instrumen persatuan nasional. Pengetahuan bahasa Indonesia berkembang luas dan meningkat menjadi ba-hasa pertama bagi sebagian be-sar penduduk I n d o n e s i a . Perkembang-an ini menjadi faktor positif dalam menin-gkatkan ke-susas te raan suatu bangsa. Tahun 1945, pada akhir pemerintahan Jepang, ting-kat kesusasteraan mencapai 20.7 persen. Tahun 1986, tingkat kesu-sasteraan mencapai 72 persen.

Salah satu faktor negatifnya ditunjukkan dalam kesuksesan terbesar kebijakan bahasa, Bahasa Indonesia mengancam keberadaan berbagai bahasa daerah (bahasa minoritas) suatu bangsa. Selain itu, bahasa Indonesia memper-lemah kedudukan bahasa Jawa, sebagai bahasa yang diperkirakan dipergunakan oleh 60 juta penduduk asli.

Konteks serupa bah-kan ekstrem berlangsung di Israel. Ketika bahasa Yahudi yang dirumuskan oleh kelompok pergera-kan nasional diharapkan menjadi bahasa nasional untuk penyataan ke-merdekaan, ternyata tidak diakui sebagai bahasa per-tama. Bahasa pertama dari seluruh mayoritas bangsa Yahudi yang terlahir di Israel sejak masa kemerdekaan, menjadi berlimpah-an. Bahasa pertama umum seperti

dialek bahasa Yiddi dan Yahudi dari bahasa Arab menjadi lenyap secara pelan-pelan, meskipun tidak ditandai adanya pengu-rangan penggunaan bahasa Arab di antara penduduk non-Yahudi yang berbahasa Arab.

Pengalaman di Indonesia da-pat dibandingkan dengan India. Seperti Indonesia, India memiliki keanekaragaman linguistik de-ngan ribuan bahasa ujaran dalam suatu bangsa. Tidak seperti Indo-nesia, pergerakan kemerdekaan bangsa India memutuskan untuk mengadopsikan mayoritas bahasa asli sebagai bahasa nasional. Pi-lihan ini ditetapkan sama halnya dalam penetapan bahasa Hindi.

Hindi merupakan bahasa pertama dari lebih separuh penduduk In-donesia, tetapi sedikitnya dua pertiga penduduk India, secara

demografis tersusun menyerupai bahasa Jawa di Indonesia.

Keputusan tersebut secara nyata tampak sedikit berhasil dibandingkan pengadopsian ba-hasa Indonesia. Pembicara dari mayoritas bahasa lain di India, bahasa yang dipakai oleh jutaan pembicara dalam tradisi kesu-sasteraan selama berabad-abad, memperlihatkan penggunaan ba-hasa Hindi sebagai bahasa nasio-nal, sebagai bagian penilaian dari kepentingan pembicara Hindi, sekaligus sebagai pencelaan ter-hadap bahasanya. Kebijakan ba-hasa mengandung elemen pusat dan terpecah belah dalam politik India. Kekerasan terjadi sebagai usaha untuk mengimplementa-sikan ketentuan konstitusional dan pemetaan politik India yang diubah dengan menggambarkan kembali garis perbatasan (pem-bagian) dalam merefleksikan ke-setiaan linguistik.

Persetujuan sekarang meng-izinkan bangsa India untuk me-nentukan bahasanya sendiri se-bagai bagian dari tujuan, yang mene gaskan Hindi sebagai ba-hasa nasional. Bahasa Hindi yang

dipakai oleh bangsa India ini diperkira-kan berhubun-gan de ngan k e b a ng s a a n , dan menem-pati kedudukan khusus dalam bahasa Inggris, bahasa penjajah pendahulu, di bidang pendidi-

kan dan komunikasi antarkelom-pok.

Perbandingan Indonesia dan India menyarankan adanya gene-

33

ra lisasi yang menarik: seperti pada bangsa-bangsa di AS, Swe-dia, dan Portugal sehingga men-dukung keberhasilan kebijakan bahasa. Perbandingan ini menya-takan bahwa negara secara resmi atau monolingual de facto dalam bahasa pertuturan dianggap seba-gai bahasa pertama oleh sekelom-pok mayoritas (dapat dikatakan melebihi 80 persen) dari keselu-ruhan penduduk.

Negara seperti Indonesia, dan berbagai negara di Subsahara Af-rika berhasil menjadikan monolin-gual sebagai bahasa pertama yang dipergunakan oleh sedikit sekali warga negaranya. Keuntung an utama secara jelas disampaikan oleh pembicara asli dari bahasa nasional: bahasa membantu da-lam ujian sekolah dan ujian pe-gawai negeri. Manfaat tersebut dimakna untuk meningkatkan tingkat pendidikan dan karir.

Sebuah bahasa ditetapkan sebagai bahasa nasional dinyata-kan secara alamiah oleh sejumlah mayoritas penduduk suatu bang-sa, pembicara bahasa lain menye-tujui sebagai pilihan yang tepat. Pemilihan bahasa sebagai bahasa nasional secara alamiah dinya-takan oleh sebagian kecil pen-duduk sebuah negara. Keseluruh-an kelompok linguistik memiliki kesamaan hambatan dan tidak satupun kelompok berkeinginan untuk menindaklanjuti kegagalan (kejahatan) dalam diskriminasi linguistik.

Pilihan pendekatan dalam sebuah bahasa tunggal resmi meru pakan sekelompok kecil ba-hasa resmi yang berlandaskan dasar persamaan konstitusional. Dalam kebijakan bahasa AS, ter-dapat tiga negara yang secara resmi dinyatakan bilingual yakni

Belgia, Sri Lanka, dan Kanada yang ditunjukkan sebagai con-toh mengerikan dan berbahaya dari kebijakan multilingual. Se-luruh kebijakan tersebut secara resmi dinyatakan sebagai bili-ngual. Pengujian kebijakan ba-hasa suatu negara, menyatakan ketepatan pemikiran (pelajaran) lawan seper ti digambarkan dalam bahasa Inggris AS, dan kemirip-an kelompok menganjurkan ke-bijakan ketidaktoleransian pada bahasa lain dibandingkan bahasa Inggris AS.

Belgia sebagai suatu negara yang merdeka tahun 1831, konsti-tusinya menyatakan bahwa bahasa Perancis dijadikan sebagai bahasa perundang-undangan, hukum, pen didikan menengah dan tinggi, serta angkatan bersenjata. Setiap individu memperoleh perlindung-an hak dalam menggunakan ba-hasa pilihannya, secara jelas pem-bicara asli bahasa Fleming perlu mempelajari bahasa Perancis sama dalam pendidikan atau dalam ke-hidupan nasional. Setelah 1840

monolingualisme diperkuat men-jadi objek permo honan, ditanda-tangani oleh 10.000 pembicara bahasa Fle mings yang menjalan-kan bisnis di Flanders, berkaitan dengan pengadilan dan pemerin-tahan pada tingkatan provinsi di Flanders.

Permohonan ini bukan meru-pakan pertimbangan yang diang-gap serius. Pada abad berikutnya dan perempat ditandai dengan usaha secara terus-menerus dari pembicara bahasa Flemings untuk mengembangkan kesamaan baha-sa Flemings dan bahasa Perancis di Belgia. Tuntutan kaum nasionalis linguistik kepada para pembicara bahasa Perancis mendorong per-tahanan di dalam negara tersebut semakin ditingkatkan.

Masalah ini terselesaikan ta-hun 1960-an ditandai adanya gambaran tentang garis pembe-daan linguistik, yang memisah-kan negara berbahasa Flemings dan daerah berbahasa Perancis. Reformasi konstitusional memba-gi secara signifikan setiap wilayah

34 Edisi 14 Tahun VIII Juni 2010

dengan pemerintahan sendiri. Kebijakan ini tampak menjadi a modus vivendi di bawah kekuasaan Belgia yang dapat berlanjut menjadi unit tunggal.

Kesimpulan sementara digambarkan dari sejarah Sri Lanka yang mencapai kemerdekaan tahun 1947. Penduduk Sri Lanka terdiri dari dua kelompok etnis, biasa nya diidentifikasikan berdasarkan masing-masing bahasa, pembicara Sinhala dan pembicara Tamil, dengan mantan tuan tanah yang diperkirakan lebih setengah-nya memberikan keuntungan. Dalam kententuan negara Inggris, bahasa pendidikan dan pemerin-tahan menggunakan bahasa Inggris.

Pada masa kemerdekaan, sebagian penduduk Sinhala mentransformasi kejayaan ekonomi dan budaya dalam jumlah besar. Hukum dalam lima

tahun ke depan, menjelaskan bahwa bahasa Sinhalese digunakan dalam ujian penerimaan pegawai negeri sipil, pendidikan dan pemer-intahan di provinsi kekuasaan Tamil sebelah Utara dan Timur. Ketentuan hukum ini men-etapkan bahasa Sinhalese dipakai oleh wilayah kekuasaan bangsa Tamil. Reaksi kekerasan dari para pembicara bangsa Tamil dimaksudkan un-tuk menyakinkan kelompok mayoritas untuk merumuskan hukum baru tahun 1966, dengan memberikan status perlindungan bahasa Tamil di wilayah kekuasaan Tamil, dilengkapi dengan bahaya yang telah terlihat (dan tidak sama sekali diperbaiki). Usaha dalam mene tapkan bahasa sebuah kelom pok etnis pada kelompok lain merupakan salah satu penyebab perang sipil di wilayah tersebut.

Usaha untuk mengakhiri perselisihan umum berdasarkan persaingan linguistik, dirumuskan pemerintah dalam draft konsti-tusi. Draft konstitusi ini menya-takan bahwa bahasa kebangsaan secara resmi diakui oleh bangsa Sinhala dan Tamil dengan bahasa nasional yang terdiri dari bahasa Sinhala, Tamil dan Inggris. Setiap warga negara berhak untuk ber-transaksi bisnis bersama pemerin-tah dengan menggunakan bahasa nasional.

Setiap warga negara juga ber-hak dalam memperoleh pendidi-kan di Sinhala dan Tamil, yang disahkan dalam bahasa Inggris. Sri Lanka menunjukkan contoh kekuasaan yang terpecah belah dari penetapan monolinguisme dan toleransi, serta dorongan hak berbahasa yang diperlihatkan oleh pemerintah sebagai kontri-busi untuk meningkatkan perda-maian, dan persatuan bangsa.

Contoh ketiga terjadi di Ka-nada. Tahun 1763, dalam Pakta Paris (Treaty of Paris), Perancis menyerahkan hak kekuasaan

wilayahnya atas Kanada kepada Inggris. Pernyataan dalam pakta ini melindungi hak budaya dan linguistik warga Perancis yang menyerahkan wilayahnya. Un-dang-undang persatuan (The Act of Union) diumumkan secara res-mi oleh Inggris tahun 1867, yang mengakui status dominant Kanada untuk mempertahankan haknya, serta menjadi bagian dalam 'kon-stitusi tak tertulis' Kanada sampai akhirnya Kanada mengadopsikan-nya dalam konstitusi tertulis. Undang-undang ini juga menca-kup hak linguistik bagi penduduk Perancis (Francophone). Sejak tahun 1960-an, pergerakan ak-tif masyarakat Quebec ditujukan untuk mendukung kemerdekaan provinsi, dan tahun 1995 refe-rendum kemerdekaan dikalahkan hanya sebagian kecil pendapat. Kanada merupakan salah satu ka-sus yang menggambarkan secara jelas tentang bahaya dari persatu-an toleransi nasional dari minori-tas linguistik.

Situasi di atas tampak berbeda jika dibandingkan dengan situasi

Kanada yang berada di Kepulauan Britania (British Isles). Secara khusus, perbandingan tersebut meninjau pada pendekatan peme-rintahan Kanada dalam mengatur minoritas linguistik dan budaya, dibandingkan dengan pendekat-an pemerintahan Inggris dalam meng atur minoritas linguistik dan budaya pada bangsa Irlandia (Irish). Pada masa pemerintahan Cromwell, pemerintah Inggris memberlakukan bahasa Inggris di Irlandia dan tidak mengabai-kan atau bermusuhan dengan ba-hasa Gael (Gaelic), sebagai bahasa mayoritas penduduk Irlandia pada permulaan periode tersebut. Akhir abad kesembilan belas, bangsa Ir-landia secara besar-besaran men-jadi pembicara bahasa Inggris pertama; tahun 1922 sedikitnya 5 persen penduduk kepulauan Bri-tania menggunakan bahasa Gael (Gaelic). e

RujukanAronoff, Mark dan Janie Rees-Miller.

The Handbook of Linguistics. 2001. Blackwell Publishers Ltd, Massachucettes, USA

35

Latar Belakang Pelestarian dan pengembang-

an budaya bangsa dalam hal ini bangsa Arab telah dilakukan se-jak zaman dulu. Hasil-hasil ke-budayaan bangsa Arab dan dari bangsa lainnya telah ditulis de-ngan menggunakan bahasa mere-ka, disebarluaskan melalui ber-bagai sarana diantaranya melalui penerjemahan.

Hal ini dapat kita lihat dari catatan sejarah yang menegas-kan bahwa peradaban Islam per-tama-tama berkembang melalui penerjemahan karya-karya lama Yunani, Persia, India, dan Mesir dalam bidang Ilmu eksakta dan kedokteran (Majid, 1997: 98-99 dalam Syihabuddin, 2001: 1).

Kegiatan penerjemahan, ter-utama teks keagamaan, sebagai transfer budaya dan ilmu pengeta-huan juga dilakukan oleh bangsa Indonesia sejak masa pemerintah-an Sultan Iskandar Muda (1607-1636) di Aceh. Hal ini ditandai dengan dijumpainya karya-karya terjemahan ulama Indonesia ter-dahulu (Yunus, 1989: 4). Kete-rampilan menerjemahkan meru-pakan keterampilan berbahasa yang menuntut penguasaan dua bahasa, yaitu penguasaan bahasa sumber dan bahasa sasaran.

Dalam penerjemahan kata-kata dan ungkapan-ungkapan ber-bahasa Arab banyak permasalah-

maksudnya adalah “mengalihkan ide dan pernyataan dari satu ba-hasa ke dalam bahasa lain dengan memelihara makna teks bahasa sumber”.

Adapun secara terminologi, Muhammad Daidawi (1992:15) menyatakan bahwa terjemah adalah “menyampaikan suatu pe-mikiran (pesan) dari suatu bahasa ke dalam bahasa lain, dengan merubah metode penyampaian-nya sesuai dengan padanan kata tersebut dalam bahasa lain, baik secara lisan maupun tulisan”.

Dengan demikian, dapat di-simpulkan bahwa menerjemah berarti kegiatan mengungkapkan makna atau pesan tuturan suatu bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran dengan memenuhi selu-ruh makna dan maksud tuturan tersebut, dan hasilnya haruslah dapat menggantikan teks bahasa sumber serta harus dapat mem-beri manfaat dan pengaruh yang sama dengan teks bahasa sumber.

Proses PenerjemahanPada hakikatnya penerjemahan berarti pengungkapana makna dan maksud yang terdapat dalam bahasa sumber dengan padanan yang paling benar, jelas, dan wa-jar di dalam bahasa penerima. Batasan ini menunjukkan bahwa

Ahmad GhoziWidyaiswara Bahasa Arab PPPPTK Bahasa

an yang sering timbul di kalang-an penerjemah. Di antaranya, ungkapan bahasa Indonesia sedia payung sebelum hujan, dalam ba-hasa Arab, karena di sana jarang terjadi hujan, dikatakan dengan

artinya sebe-lum memanah, isi dahulu tempat anak panah. Ung kapan sepandai-pandai tupai melompat pasti akan jatuh juga, orang Arab mengata-kan . Artinya setiap kuda yang bagus bisa jatuh juga. Memang begitulah ungkap an mer-eka, karena budaya mereka selalu membicarakan kuda.

Konsep TerjemahAdapun menurut asal katanya, istilah terjemah dipungut dari ba-hasa Arab, tarjamah. Bahasa Arab sendiri memungut istilah tarjamah ini dari bahasa Armenia, yakni

(turjuman). Kata turjuman sebentuk dengan tarjaman yang berarti orang yang mengalih kan tuturan dari satu bahasa ke ba-hasa lain. (Syihabuddin, 2001: 6)

Terjemah sendiri, dalam peng-ungkapannya berasal dari kata

tarjamatun yang meng-ikuti wazan fa’lala yang fiil madi-nya “tarjama” yang berbentuk fi’il ruba’i mujarrad sahih.

Makna terjemah secara etimo-logis diuraikan oleh Munsyi (1994: 11), yaitu:

36 Edisi 14 Tahun VIII Juni 2010

penerjemahan merupakan kegiat-an komunikasi yang kompleks dengan melibatkan:

1. penulis yang menyampaikan gagasannya dalam bahasa sumber;

2. penerjemah yang mereproduksi gagasan tersebut di dalam bahasa penerima;

3. pembaca yang memahami gagasan melalui hasil penerjemahan; dan

4. amanat atau gagasan yang menjadi fokus perhatian ketiga pihak tersebut.

Katharine Barnwell dalam Dar-ma (2003: 370) mengungkap dua tahap penerjemahan:

1. analisis makna bahasa sumber, yang disebut eksegesis.

2. mengungkap kembali makna setepat mungkin dalam bentuk bahasa sasaran yang wajar dan alamiah yang disebut restrukturisasi.

Kedua tahapan ini bersifat umum yang memerlukan pen-jelasan lebih rinci, adapun proses penejemahan dengan mengguna-kan tahapan ini dapat dilihat me-laui bagan berikut ini:

Dari bagan tersebut, dapat kita lihat bahwa, proses pener-jemahan menuntut bukan hanya menguasai dua bahasa, kedwiba-hasaan juga merupakan salah satu prasyarat. Penerjemah meng-gunakan pengetahuan bahasanya untuk membantu pembaca dan penulis agar dapat berkomunikasi dengan bahasa tulis. Penerjemah tidak bebas mengemukakan ga-gasannya.

Kelayakan seseorang dalam menerjemah, menurut Chatibul Umam dalam Ghozi (2004: 4) dirumuskan sebagai berikut:

1. mengenal bahasa sumber (BSu) dengan baik. Bukan sekadar mengetahui makna kata, tetapi juga seluk-beluk penggunaan dan kekhususan bahasanya, baik bidang sintaksis, semantik, maupun stilistik;

2. mengenal bahasa sasaran dengan baik;

3. memahami dengan betul apa yang diungkapkan dalam teks yang dihadapinya;

4. yakin bahwa kegiatan menerjemah yang dilakukannya bukan sekadar seni belaka, tetapi berdasarkan pada teori-

teori yang menjelaskan proses penerjemahan.

Dalam pe-nguasaan li-nguis tik pener-jemah, Moeliono (1989: 195) m e n j e l a s k a n beberapa unsur linguistik yang perlu diekuiva-

lensikan dengan bahasa penerima, di antaranya:

1. Masalah ejaan dan tanda baca. Masalah ini berkaitan dengan transliterasi dan transkripsi kata-kata yang dipungut dari bahasa sumber.

2. Morfologi. Di sini penerjemah diharapkan di antaranya, pada dua masalah: perbedaan kelas kata dan perbedaan kategori gramatis.

3. Tata kalimat. Pada tataran ini penerjemah berhadapan dengan masalah urutan kata dan frase, hubungan koorditeksi dan suborditeksi, dan aposisi.

4. Leksikon. Di antara masalah yang dihadapi penerjemah pada aspek ini adalah pemadanan istilah-istilah khusus, bukan kata-kata yang bersifat umum.

Karakteristik Bahasa Arab dan Ba-hasa Indoensia Utsman Amin dalam Syihabuddin (2001: 32) memaparkan sejumlah karakteristik utama bahasa Arab secara filosofis atas bahasa-baha-sa lain di dunia, yaitu:

1. Hubungan mentalistik subjek-predikat

Bahasa Arab senantiasa memi-liki asumsi bahwa keberadaan gagasan didalam benak lebih penting dan lebih benar daripada kehadiran dunia nyata. Struktur dan bentuk kalimat bahasa Arab menetapkan bahwa hakikat ses-uatu itu mendahului keberadaan-nya. Yang dimaksud dengan men-dahului di sini adalah lebih da-hulu dari segi urutan, bukan dari segi waktu atau keberadaannya di suatu tempat.

37

Pemakaian kata-kata semata-mata untuk mengungkapkan mak-na yang terkandung dalam benak manusia, bukan untuk mengung-kapkan hal-hal yang maujud di dunia nyata. Sebagai contoh, jika seseorang melihat sosok dari jauh, lalu dia mengira bahwa sosok itu berupa batu, maka dia akan me-namainya “batu”. Tatkala sesuatu itu semakin jelas keberadaannya sebagai burung, bukan batu, maka dia menamainya dengan “burung”. Jika sosok itu semakin jelas lagi sebagai manusia, maka dia me-namainya “manusia”. De ngan de-mikian kata-kata (nama-nama) itu akan berubah-ubah sesuai dengan perubahan pemikiran manusia.

Itulah salah satu keistime-waan bahasa Arab yang sekaligus menim bulkan kerumitan dalam memahaminya, sebab pada um-umnya antara subjek dan predikat itu diselingi dengan keterangan yang cukup panjang yang ter-diri atas beberapa klausa. Untuk meng hadapi masalah demikian, penerjemah dituntut utuk ber-pikir analitis di samping melaku-kan analisis struktural untuk “membedah” kalimat yang kon-pleks tersebut.

Sementara itu bahasa lain, misalnya bahasa Inggris, memer-lukan kehadiran kata tersebut yang disebut dengan kopula yang salah satunya, adalah to be. Da-lam bahasa Indonesia terdapat juga kopula, seperti adalah un-tuk menghubungklan subjek dan predikat meskipun pemakaiannya sangat terbatas.

2. Retorika paralelParalelisme bahasa Arab tam-

pak dalam pemakaian kata peng-hubung antarkata, antarfrase, antarkalimat, dan antarparagraf.

Penerjemah sering mengalami kesulitan dalam menerjemahkan teksh berbahasa Arab, karena teks nya “menumpuk” dan berte-mali, sehingga sulit menetukan akhir kalimat. Gejala ini sangat nyata pada buku-buku klasik yang juga dikenal dengan “kitab kuning”.

Dalam menghadapi masalah tersebut, penerjemahan huruf waw sebagai kata sarana peng-hubung dapat dilakukan dengan memakai tanda koma [,], bukan dengan memakai kata sarana dan kecuali pada rincian yang ter-akhir. Dengan demikian, pemada-nan tidak selalu dilakukan de-ngan simbol tertulis, tetapi dapat pula dengan tanda baca.

3. Keutamaan maknaBahasa Arab sangatlah mengu-

tamakan makna, maka implikas-inya ialah banyaknya bentuk, struktur, dan pola untuk menun-jukkan makna, sifat, dan keadaan. Bentuk fa’alan, misalnya, meng-indikasikan pada gerakan dan kekacauan seperti tercermin pada kata haijan [gejolak]. Keberadaan sifat, kualitas, dan kuantitasnya itu tidak memerlukan kehadi ran kata sarana yang eksplisit, tetapi cukup dengan perubahan struk-tural secara intern.

Kata qaththa’a misalnya menun-jukkan pada perulangan yang in-tensif. Dalam bahasa Indonesia, makna ini hanya dapat diungkap-kan, di antaranya, dengan pemaka-ian kata ulang, sehingga padanan-nya adalah memotong-motong.

4. Keberadaan i’rabSecara etimologis, i’rab berarti

menerangkan dan menjelaskan. Tatkala bahasa Arab merupakan bahasa yang jelas dan terang, maka kehadiran i’rab menunjang kejelasan tersebut. I’rab inilah yang menjelaskan hubungan antarkata pada suatu kalimat dan susunan kalimat dalam kondisi yang variatif.

Bahasa yang tidak mengenal, i’rab hanya mengandalkan pada isyarat-isyarat linguistik dan gabungan kata atau hubungan antara frase dan klausa.

5. Kekayaan kosa kataBahasa Arab dikenal kaya

akan makna, terutama pada konsep-konsep yang berkenaan dengan kebudayaan dan kehidu-pan mere ka sehari-hari. Kekayaan makna bahasa Arab ini tidak ter-batas pada kata, tetapi juga pada huruf.

Contohnya dapat kita li-hat pada konsep haus yang erat kaitannya dengan kondisi alam mereka. Kata ini memiliki sejum-lah kosa kata yang menggambar-kan derajat kehausan seseorang. Jika seseorang ingin minum, maka keinginannya itu cukup diungkapkan dengan al-‘athasy menguatkan, maka diungkapkan dengan azh-zhama’.

Jika azh-zhama’ menguat lagi, maka diungkapkan dengan ash-shada. Jika ash-shada lebih kuat lagi, maka diungkapkan dengan al-awaam. Dan jika al-awaam lebih dahsyat lagi, maka diungkapkan dengan al-hiyam. Kata yang tera-khir ini menggambarkan rasa haus yang luar biasa sehingga identik dengan datangnya kematian.

Dalam bahasa Indonesia, khususnya derajat kualitas

38 Edisi 14 Tahun VIII Juni 2010

semacam itu biasanya diungkap-kan kata sarana yang menunjuk-kan perbandingan, misalnya kata lebih dan sangat, bukan dengan satu kata seperti dalam bahasa Arab.

Metode TerjemahMetode penerjemahan berarti cara penerjemahan yang digunakan oleh penerjemah dalam mengung-kapkan makna teks sumber se-cara keseluruhan di dalam bahasa penerima. Objek dari pada metode penerjemahan ini adalah teks yang akan diterjemahkan secara keseluruhan.

Karena masalah penerjema-han itu sangat variatif, maka cara atau metode penyelesaiannya pun bervariasi pula. Dalam khasanah penerjemahan di dunia Arab, Menurut Kholus (2000:22) metode terjemahan terbagi:

1. Metode harfiah; cara mener-jemahkan yang memper-hatikan peniruan terhadap susunan dan urutan teks sumber. Cara penerjemahan-nya disebut dengan metode lafzhiyyah atau musawiyah. Metode ini dipraktikkan de-ngan pertama-tama seorang penerjemah memahami teks, lalu menggantinya dengan bahasa lain pada posisi dan tempat kata bahasa sumber

itu atau melakukan transli-terasi.

2. Metode ma’nawiyah ialah suatu cara penerjemahan yang tidak memperhatikan peniruan susunan dan uru-tan teks sumber. Yang di-pentingkan oleh metode ini ialah penggambaran makna dan maksud bahasa sumber dengan baik dan utuh. Yang menjadi sasaranya adalah makna yang ditujukan oleh struktur bahasa sumber. Dalam praktek penerapan-nya, pertama-tama dipahami makna bahasa sumber, ke-mudian menuangkannya ke dalam struktur bahasa lain sesuai dengan tujuan penu-lis teksh sumber. Penerjemah tidak perlu memaksakan diri untuk memahami setiap kata.

3. Metode eklektik (harfiyah-maknawiyah). Metode ini juga dikemukakan oleh se-orang tokoh penerjemah Arab modern, Ahmad Hasan az-Zayyat, dimana metode ini memadukan kebaikan metode harfiah dan tafsir-iah. Langkah-langkah yang dilakukan dalam metode pener jemahan ini adalah:a. menerjemahkan teks sum-

ber secara harfiah dengan mengikuti struktur dan urutan teks sumber;

b. mengalihkan terjemahan harfiah ke dalam struk-tur bahasa penerima yang pokok;

c. mengulangi proses penerje-mahan dengan menyelami perasaan dan spirit penulis melalui penggunaan meta-fora yang rele van.

PenutupPesan suatu penerjemahan sering kali terhalang oleh ketidaktepat-an penggunaan makna yang dis-ebabkan minimnya pengetahuan tentang karakteristik dan kaidah penggunaan masing-masing ba-hasa sumber (BSu) dan bahasa sasaran (BSa). Ketepatan dalam mengalihkan pesan teks tertulis bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran akan berpengaruh pada pemahaman yang tepat bagi pem-baca.

Untuk itulah, seorang pener-jemah selain dipersyaratkan harus memahami bahasa sumber dan ba-hasa sasaran, ia juga harus mema-hami tentang obyek yang terdapat dalam teks termasuk budaya dari kedua bahasa tersebut sehingga hasil terjemahan menjadi enak dibaca dan mudah dipahami. e

Daftar PustakaDaidawi, Muhammad,. 1992, Ilmu al

Tarjamah Bain al Nazhariyah wa al Tathbiq, Beirut: Darul Maarif

Darma,Y.A. 2003. Proses Pemahaman dalam Pembelajaran Penerjemahan. Bandung: Jurnal Bahasa dan Sastra, FPBS Universitas Pendidikan Indonesia.

Ghozi, Ahmad., 2004. Upaya Meminimalisir Kesalahan dalam Menerjemah, Majalah Ekspresi. Jakarta: PPPG Bahasa, Depdikteks

Hanafi, Nurachman,. 1986, Teori dan Seni Menerjemahkan, Flores: Nusa Indah

Kholus, Shofa. 2000. Fann al Tarjamah. Mesir: Al Hay’at al Misriyyah al Ammah

Munsyi, Abdul Alim Sayyid, dan Abdullah Abdul Razaq Ibrahim. 1994. Al Tarjamah: Ushuluha wa Mabadiuha wa Tatbiqatiha. Mesir: Al Wafa-Al Manshuroh

Syihabuddin. 2001. Teori dan Praktik Penerjemahan Arab-Indonesia. Bandung: FPBS Universitas Pendidikan Indonesia.

39

Workshop Pengembangan Bahan Ajar Berbasis Educa­tional for Sustainable Development (EFSD) ini meru­

pakan program Kementerian Pendidikan Nasional yang telah dilaksanakan oleh PPPPTK Bahasa Jakarta dari tanggal 15 sampai dengan 18 April 2010. Ke giatan ini diikuti oleh 30 peserta terdiri dari 7 orang Widyaiswara bahasa Indone­sia, 8 orang Widyaiswara bahasa Inggris, 10 orang guru ba­hasa Indonesia, dan 5 orang guru bahasa Inggris. Program ini bertempat di PPPPTK Bahasa, Jalan Gardu Srengseng Sawah Jagakarsa Jakarta Selatan 12640.

Tujuan workshop ini adalah untuk menyusun panduan pengembangan bahan ajar diklat dan bahan ajar mata pelajaran bahasa Indonesia dan bahasa Inggris berbasis EFSD dengan tema utama “Perubahan Iklim/Climate Change”. Ke giatan ini merupakan bagian dari tindak lanjut berbagai pertemuan international belum lama ini, antara lain KTT World Summit on Sustainable Development (WSSD) di Johannesburg tahun 2002 yang membahas dan mengatasi kemerosotan lingkungan hidup saat ini dan pada pertemuan United National Intergouvermental Panel on Climate Change (IPCC) di Valencia dan Bali Summit di Den­pasar.

Secara resmi workshop ini dibuka oleh Kepala PPPPTK Bahasa diwakili oleh Kepala Bidang Fasilitasi Peningkat an Kompetensi, Dra. Hj. Evarinayanti, M.Ed. dan ditutup oleh Kepala Bagian Umum PPPPTK Bahasa, Drs. Abd. Rozak, M.Pd., sedangkan nara sumber diberikan dari ahli­nya. Adapun materi yang disampaikan dalam kegiatan ini

sangat bervariasi, antara lain Konsep EFSD, Jejak Ekologi (Ecologial Footprint), Integrasi EFSD dalam Mata Pelajaran, Pengembangan Bahan Ajar Berbasis EFSD, Penyusunan Pedoman dan Bahan Ajar Berbasis EFSD, dan materi Kebi­jakan PPPPTK Bahasa.

Berikut hasil dari kegiatan ini:1. Panduan Pengembangan Bahan Ajar Bahasa Indonesia

dan Bahasa Inggris Berbasis EFSD, 1 eksemplar;2. Bahan Ajar Bahasa Indonesia Berbasis EFSD Kelas

Tinggi (4, 5, 6) masing­masing untuk 2 semester, 6 eksemplar;

3. Bahan Ajar Bahasa Indonesia Berbasis EFSD Kelas Rendah (1, 2, 3) masing- masing untuk 2 semester, 3 eksemplar.

4. Bahan Ajar Bahasa Inggris Berbasis EFSD, 3 eksemplar; dan

5. Pemetaan Materi EFSD dalam Pembelajaran Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia, masing­masing 1 ek­semplar.

Melalui penerapan konsep pengembangan pendidikan berbasis EFSD ini, baik dalam pendidikan formal maupun informal, diharapkan menjadi satu cara efektif untuk meng-ubah cara pandang manusia untuk lebih berwawasan dan beretika lingkungan dalam kehidupan sehari-hari dengan memberikan informasi interaktif, penyadaran, dan pembe­lajaran secara berkelanjutan. e [mudini]

Workshop Pengembangan Bahan Ajar Diklat Berbasis Efsd

Diklat Tingkat Dasar Guru Bahasa Prancis SMA

Populasi guru Bahasa Prancis SMA di provinsi Sumate-ra Utara yang cukup tinggi ternyata tidak diimbangi

dengan peningkatan kualitas guru melalui pendidikan dan pelatihan. Hal inilah yang mendasari diselenggarakannya Diklat Tingkat Dasar Guru Bahasa Prancis SMA pada tang­gal 16 s.d 29 Mei 2010 oleh Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Bahasa Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga

Kependidikan Kementerian Pendidikan Nasional. Diklat ini mengambil tempat di Lembaga Penjaminan Mutu Pendidik­an (LPMP) Sumatera Utara, Jl Bunga Raya No. 96, Asem Kumbang, Pos Sunggal, Medan.

Secara umum, diklat ini bertujuan meningkatkan kemam­puan guru Bahasa Prancis dalam berbahasa, mengajar, ber­interaksi dengan lingkungan serta kemampuan dalam men­

40 Edisi 14 Tahun VIII Juni 2010

ingkatkan kualitas kepribadian. Adapun secara khusus, diklat ini bertujuan meningkatkan kompetensi guru dalam hal:

1. Kompetensi Profesional: dalam hal kebahasaan dititik­beratkan pada peningkatan penguasaan empat kete­rampilan berbahasa sesuai standar DELF A2;

2. Kompetensi Pedagogik: kemampuan mengelola pem­belajaran melalui teknik yang komunikatif, evaluasi yang tepat, merumuskan masalah dalam PTK, serta mengembangkan silabus dan RPP;

3. Kompetensi Sosial: kemampuan berinteraksi dengan lingkungan sekolah dan masyarakat;

4. Kompetensi Kepribadian: kemampuan personal yang mencerminkan kepribadian yang mantap.

Diklat ini dilaksanakan selama 14 hari dengan mengguna­kan pola 140 jam @ 45menit. Materi diklat yang diberikan meliputi program umum selama 4 jam (2%) berisi kebijakan PPPPTK Bahasa, program pokok selama 128 jam (93%) berisi materi empat kompetensi (profesional, pedagogik, sosial dan kepribadian) serta program penunjang selama 8 jam (5%) yang berisi program ekstensif (lintas budaya Pran­cis dan pengantar EfSD).

Untuk mendapatan gambaran yang komprehensif ten­tang keberhasilan peserta setelah mengikuti proses pembelajar an maka diadakan evaluasi diklat yang menggabungkan beberapa unsur, yakni tes akademik: pretes dan tugas individu/kelompok, evaluasi proses (kehadiran dan keaktifan) serta tes akhir (simulasi DELF A2 dan postest).

Peserta diklat tingkat dasar ini berjumlah 30 guru Ba­hasa Prancis SMA yang terdiri dari 21 orang dari provinsi Sumatera Utara, 5 orang dari provinsi Kepulauan Riau dan 4 orang dari provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Peserta sangat antusias dalam berbagi keilmuan dan wa­wasan dari para narasumber yang berasal dari pejabat di lingkungan PPPPTK Bahasa, tim widyaiswara jurusan bahasa Prancis PPPPTK Bahasa, para dosen dan na­tive speaker dari Universitas Negeri Medan serta ketua MGMP Medan. Diklat dibuka secara resmi pada tanggal 17 Mei 2010 oleh Kepala PPPPTK Bahasa, Dr Muhammad Hatta, M.Ed, dan ditutup secara resmi pada tanggal 29 Mei 2010 oleh Kepala Bidang Program dan Informasi, Dra Haslinda Erlina. e [elvira]

Diklat Tingkat Dasar Guru Bahasa Mandarin SMA/SMK

Diklat Tingkat Lanjut Guru Bahasa Mandarin SMA/SMK dilaksanakan di LPMP Kalimantan Barat tanggal 1 s.d.

14 Juni 2010 lalu. Peserta diklat kali ini berjumlah 30 orang yang berasal dari 4 provinsi yang terdiri dari DKI Jakarta 8 orang, Banten 4 orang, Jawa Barat 1 orang, dan Kalimantan Barat 17 orang.

Penatar pada diklat kali ini terdiri dari Qin jing (秦静) yang merupakan sukarelawan dari Cina yang bekerja untuk Ba­dan Koordinator Pendidikan Bahasa Mandarin (BAKORPEN) Kalimantan Barat, Ibu Ina Ng (陈燕娜) Dosen Universitas Tanjungpura Kalimantan Barat, dan tim pengajar dari PP­PPTK Bahasa.

Diklat dibuka oleh Kepala PPPPTK Bahasa dan dihadiri pula oleh perwakilan BAKORPEN Kalbar. Para peserta sangat senang dapat diundang kembali pada diklat lanjut ini. Selain itu, mereka juga saling bertukar pengalaman dan

pengetahuan sehingga ilmu yang didapat bukan hanya dari penatar, tetapi juga dari sesama peserta.

Materi pada diklat lanjut ini merupakan lanjutan dari diklat dasar. Perbedaannya, pada diklat ini ada mata tataran Pen­gantar Penelitian dan Kunjungan Sekolah. Sekolah yang di­kunjungi adalah SMA dan SMK Santa Maria Pontianak yang berlokasi di Jl. KS Tubun Pontianak. Kegiatan kunjungan sekolah kali ini mengamati salah satu peserta yang diminta untuk mengajar selama 30 menit (micro-teaching).

Satu hal yang menarik pada diklat ini terdapat 2 peserta yang sudah sangat senior. Namun, usia tidak menghalangi mereka untuk tetap semangat mengikuti program diklat di antara peserta lain yang masih junior. Kedua peserta senior tersebut berasal dari Kabupaten Bengkayang, yakni Bapak Dulhadi dan Bapak Harry Young.

41

Hasil yang diperoleh dari diklat ini adalah dari 30 peserta diklat yang mendapatkan nilai Amat Baik yaitu Bapak Dul­hadi dan Bapak Harry Yong, 24 peserta mendapatkan nilai Baik, 1 peserta mendapatkan nilai Cukup, dan 3 peserta mendapatkan nilai Kurang. Peserta yang memiliki nilai di

bawah cukup disebabkan karena kehadiran yang kurang sehingga berpengaruh pada hasil nilai akhir. Secara keselu­ruhan diklat berjalan lancar. Hal ini berkat kerja sama yang sangat baik antara PPPPTK Bahasa, BAKORPEN, dan LPMP Kalimantan Barat. e [mulawarni]

Diklat Moodle dan Desain e-Learning

Berdasakan Surat Tugas No. 929/F6.1/KP/2010, PP­PPTK Bahasa mengadakan Diklat Moodle dan Desain

E-learning yang diselenggarkan mulai tanggal 2 hingga 7 Juli 2010. Diklat ini diikuti oleh semua widyaiswara sebagai penanggung jawab konten, serta sembilan belas orang staf struktural sebagai tim teknis moodle dan e-learning. Ber­tindak sebagai penanggung jawab teknis adalah Kasubbag Kepegawaian, Drs. Wardi dan Kasi Data dan Informasi Dra. Nurlaila Salim, M.Pd.

Lokasi diklat yaitu memanfaatkan fasilitas laboratorium komputer yang juga disebut laboratorium media, kare­na kegunaannya dalam membuat salah satu media ajar berbasis komputer. Materi ajar moodle disampaikan oleh Kasatgas SIM PPPPTK Bahasa, Neutron Afriansyah. Beliau kembali mengulas tentang definisi moodle dan mengapa menggunakan moodle dalam aplikasi e­learning ini.

Modular Object-Oriented Dynamic Learning Environment (Moodle) adalah sebuah Course Management System atau Learning Management System yang menyediakan fasilitas belajar mengajar secara virtual dengan gratis. Hal ini selain menjadi alasan pemilihan moodle sebagai LMS PPPPTK Bahasa tetapi juga karena fiturnya tidak terlalu rumit, se hingga diharapkan semua orang bisa memanfaatkan moodle ini dengan mudah.

Hadir melengkapi materi diklat adalah dua orang konsultan IT PPPPTK Bahasa yaitu Bapak Malikus dan Bapak Muham­mad Amin Bakri yang memperkenalkan kepada peserta diklat SKYPE sebagai sarana komunikasi antar pengelola e­learning.

Yang pokok dari semuanya bahwa e-learning terletak pada kata “learning”nya sendiri yaitu bagaimana kita membuat desain pengajaran yang baik sehingga dapat mencapai tujuan e­learning yaitu menjadikan pelajaran yang mudah dan terjadinya interaktif yang optimal. e [neneng]

PPPPTK Bahasa bekerja sama dengan Learning Assistance Program for Islamic Schools-English Language Training

for Islamic Schools (LAPIS­ELTIS) sukses menyelenggarakan lokakarya selama dua hari yang diadakan dari tanggal 8—9 Juni 2010 di PPPPTK Bahasa. LAPIS ELTIS sendiri adalah sebuah organisasi kerja sama Australia dengan Kemente­

rian Agama Republik Indonesia yang memiliki misi untuk mengembangkan kemampuan bahasa Inggris bagi para guru dan anak murid di sekolah madrasah, baik Madrasah Ibtidai­yah, Tsanawiyah, maupun Aliyah melalui training.

Adapun Training of the Trainer (TOT) kali ini bertujuan untuk melatih para tenaga widyaiswara (WI) dan calon widyaiswara (CWI) PPPPTK Bahasa agar dapat melatih para guru Madrasah. Dengan diikuti oleh 25 orang WI dan CWI, masing­masing diberikan sebuah resource pack dan training pack, kegiatan ini berlangsung lancar dan penuh semangat. Resource pack, diberikan oleh LAPIS ELTIS, terdiri dari ber­bagai macam buku suplemen pengajaran dan teaching aids untuk mengajar di kelas.

Kegiatan ini diisi oleh Ibu Agnes dan Ibu Ana, trainer dari LAPIS ELTIS, dengan diawali kegiatan perkenalan program LAPIS ELTIS, lalu dilanjutkan dengan teaching demo dan peer teaching. e [nelly]

Lokakarya Metodik Didaktika Bahasa Inggris untuk Sekolah Islam

42 Edisi 14 Tahun VIII Juni 2010

Workshop Pengembangan Bahan Ajar Diklat Bahasa Inggris SD Berbasis IT

Lokakarya ini telah berhasil dilaksanakan di PPPPTK Baha­sa dalam dua tahap. Tahap pertama dilaksanakan pada

tanggal 19 s.d. 22 April 2010 yang berfokus pada kajian perkembangan mutakhir tentang pengembangan penggu­naan IT dalam dunia pendidikan, penyamaan persepsi da­lam mereviu bahan ajar diklat jarak jauh untuk keperluan e-learning, dan pembuatan Learning Object Materials (LOM). Workshop kedua dilaksanakan pada tanggal 21 s.d. 24 Mei 2010 untuk melakukan finalisasi substansi materi e-learn-ing, lay out materi dalam format PDF, dan pengembangan Learning Management System (LMS) di www.pppptkbaha­sa.net. Secara keseluruhan workshop ini berhasil mengem­bangkan sebuah training berbasis web dengan nama “Web-based English Training for Primary School Teachers”.

Pengembangan e-learning di PPPPTK Bahasa ini untuk me­respon dua tantangan yang secara simultan dialami dunia pendidikan. Pertama, kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang begitu pesat yang menawarkan berbagai kemudahan dalam pembelajaran. Kemajuan teknologi ini

memungkinkan terjadinya pergeseran orientasi belajar dari outside-guided menjadi self-guided. Selain itu, teknologi juga memainkan peranan penting dalam memperbaharui konsepsi pembelajaran yang semula semata-mata fokus pada pembelajaran sebagai suatu penyajian berbagai pengetahuan menjadi pembelajaran sebagai suatu bimbing­an agar mampu melakukan eksplorasi sosial budaya yang kaya akan pengetahuan.

Kedua, sebagai kelanjutannya kemajuan teknologi informa­si dan komunikasi adalah berkembangnya paradigma bela­jar berbasis konstruktivisme secara luas. Pandangan kon­struktivisme menekankan pentingnya proses pembelajaran untuk meningkatkan dan mengembangkan keterampilan penalaran analitis dan kritis, pemecahan masalah, dan komunikasi, dan mencapai kebiasaan berpikir. Konstruktiv­isme dan teknologi, secara terpisah maupun bersama­sama telah menawarkan peluang­peluang baru dalam proses pembelajaran, baik di ruang kelas, belajar jarak jauh mau­pun belajar mandiri. e [fathur]

(Betawi: perabot), khusus (Arab:

khusus), keluarga (Sanskerta:

kula warga), ditaburkan (Ibrani:

tabbwur), meja (Portugis: meza),

baca (Sanskerta: waca), antara

(Sanskerta: antara), lain (Kawi:

liyan), teko (Tionghoa: te-ko),

perselen (Inggris: porcelain),

peniti (Portugis: alfinete), emas

(Sanskerta: amasha), lap (Belanda:

lap), setrika (Belanda: strijkezer),

listrik (Belnda: elektrisch), serta

(Sanskerta: saratha), kalender

(Belanda: kalender), berfoto

(Yunani: photos), artis (Inggris:

artist), idola (Yunani: eidolon).

Setelah itu, simak pula model

‘kontak’ di Kompas: “Gadis 33, Flores,

Katolik, sarjana, karyawati, humoris,

sabar, setia, jujur, anti merokok, anti

foya-foya, aktif di gereja. Mengidamkan

jejaka maks 46, min 38, penghasilan

lumayan, kebapakan, romantis, taat,

punya kharisma.” Coba kita simak

pula satu per satu kata-kata dalam

‘kontak’ ini:

Gadis (Minangkabau: tuan

gadis, panggilan perempuan

turunan raja), Flores (Portugis:

floresce), Katolik (Yunani:

katolikos), sarjana (Jawa: sarjana),

karyawati (Sanskerta: karyya),

humoris (Latin: humor + Belanda:

isch), sabar (Arab: shabran), setia

(Kawi: suruh, paderi (Spanyol:

padre), membeli (Campa: blei),

koran (Belanda: krant), majalah

(Arab: majalla), tetapi (Sanskerta:

tad-api), ternyata (Jawa: nyata),

kiosnya (Inggris: kiosk), disegel

(Belanda: zegel), sebab (Arab:

sababun), bangkrut (Italia:

bancarotto), jadi (Sanskerta:

jati), mampirlah (Jawa: mampir),

semuanya (Sanskerta: samuha),

toko (Tionghoa: to-ko), buku

(Belanda: boek), yang (Austronesia:

ia + ng), uniknya (Prancis: unique),

malah (Jawa: malah), menyediakan

(Sanskerta: sedhya), perabotan

sambungan dari halaman 2

IF HISTORY WERE TAUGHT IN THE

FORM OF STORIES IT WOULD NEVER BE FORGOTTEN

ANSWER

www.puzzlersparadise.com www.puzzles.com

Permission is granted for personal use only. This puzzle may not be duplicated for personal profit.

EDFHB EENIROFAF EHRNTOGTOGHEI EEITOTRLTOIMROF RENWTYSOUSWUTTI SRV

Teaching History by Shelly HazardIn this month's puzzle, Rudyard Kipling suggests a new way of learninghistory...and remembering it. Rudyard Kipling was a British author and poet bestknown for his works of fiction, including "The Jungle Book".

Copyright © 2004-2010 Shelly Hazard and ThinkFun Inc. All Rights Reserved.

April, 2010

(Sanskerta: satya), jujur (Jawa:

jujur), anti (Latin: anti), merokok

(Belanda: roken), foya-foya

(Manado: foya), aktif (Belanda:

actief), gereja (Portugis: igreja),

mengidamkan (Kawi: idam),

jejaka (Sunda: jajaka), maks

(Latin: maksimum), min (Latin:

minimum), penghasilan (Arab:

hatsil), lumayan (Jawa: lumayan),

kebapakan (Tionghoa: ba-pa),

romantis (Belanda: romantisch),

taat (Arab: thawa’iyat), punya

(Sanskerta: mpu + nya), kharisma

(Yunani: kharisma).

Terakhir, simak model iklan

oto di Pos Kota: “Mercy Tiger, coklat

metalik, V. Rac., Bodi mls., B. Rad., P.

Str., AC., R/T antik, B. Up., ex dr.”

Dan, coba periksa kata-

kata ini: Tiger (penginggrisan

pedagang mobil dari kata macan,

artinya ‘manis dan cantik’), coklat

(Inggris: chocolate), metalik

(Inggris: metalic), V (Belanda:

velg), Rac. (Inggris: racing),

Bodi (Inggris: body), mls (Jawa:

mulus), B (Belanda: band), Rad.

(Inggris: radial), P. Str. (Inggris:

power steering), AC (Inggris: air

condition), R/T (Belanda: radio,

Inggris: tape), antik (Prancis:

antique), B. Up (Inggris: build up),

ex (Latin: ex), dr (Belanda: dokter).

Semuanya, ‘cerita’, ‘kontak’,

dam ‘iklan’ di atas adalah bahasa

Indonesia. Dan, kalau kita mengira

bahasa Indonesia itu asli, kita

terkecoh. Bertolak dari sini, maka

anggapan seperti yang sering kita

dengar dalam jargon kebangsaan

bahwa kita memiliki kebudayaan

asli—sebagai sumber kebudayaan

nasional—terasa aneh dan

cenderung tak pedulikan sejarah.

Melihat kenyataan di atas,

apa tidak lebih baik kita bicara

‘kebudayaan nasional’ sebagai

kebudayaan Indonesia hari

esok? Gagasan ini sendiri tidak

baru. Sutan Takdir Alisjahbana

pada 1935 sudah membahasnya

menyilang Ki Hadjar Dewantara,

Poerbatjaraka, Adinegoro, Sanusi

Pane, Dr. Soetomo, dan lain-lain.

Yang belum mereka bincangkan

waktu itu adalah melihat apa

yang diacu di sini, bahwa bahasa

Indonesia adalah memang bahasa

Indo.

Supaya tidak kecele

menggali masalalu yang malah

menunjukkan ketidakaslian

kita, lebih baik kita berdiri pada

komitmen Sumpah Pemuda.

Rasanya ikrar persatuan di situ

tidak dibebani usaha menggali-

gali, tetapi justru melihat apa

yang harus dihasilkan untuk

masadatang. Berpikir budaya

bukan menyempit di kubu

tradisional, tetapi melayani

progresi untuk membangun

suatu kebudayaan bangsa yang

bermanfaat bagi kemanusiaan

am. e

Kepala PPPPTK Bahasa memberikan cenderamata kepada Duta Besar Arab Saudi usai membicarakan kerjasama antara PPPPTK Bahasa dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) di Kantor LIPIA Jakarta (24/05).

Kepala PPPPTK Bahasa Dr. Muhammad Hatta, M.Ed. dan Chief of Party USAID Decentralized Basic Education 2 (DBE2) Michael Calvano, Ph.D. berjabatan tangan dan bertukar berkas Memorandum of Understanding (MoU) antara kedua institusi (28/06).

Kepala PPPPTK Bahasa Dr. Muhammad Hatta, M.Ed. didampingi oleh Kabag Umum Drs. Abdul Rozak, M.Pd. dan Kabid FPK Dra. Evarinayanti, M.Ed. membuka Workshop Revisi Bahan Diklat Berbasis Kompetensi Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris (29/03).

serambifoto

serambifoto

Kepala PPPPTK Bahasa Dr. Muhammad Hatta, M.Ed. tengah membuka Diklat

Tingkat Dasar (B1) Guru Bahasa Jerman kerjasama antara Goethe Institut dengan PPPPTK Bahasa (05/07).

Para peserta Diklat Kepala Sekolah dan Pengawas Bahasa berfoto bersama dengan Kepala PPPPTK Bahasa usai

mengikuti acara pembukaan (24/05).

TOT Pembelajaran Bahasa Inggris yang Efektif bagi Widyaiswara Bahasa Inggris

kerjasama antara British Council dan PPPPTK Bahasa (04/03).

Tampak suasana acara pembukaan (04/06) Diklat Tingkat Dasar Guru Bahasa Jepang SMK di Ruang Sidang Widyaiswara PPPPTK Bahasa.

Peserta Diklat Pengelola Laboratorium Bahasa tengah dipandu instruktur memelajari peralatan laboratorium bahasa di PPPPTK Bahasa(12/04).

Diklat Metodologi Pembelajaran Bahasa Indonesia untuk MI, MTs, dan MA kerjasama antara Kementerian Agama dan PPPPTK Bahasa (26/04).

serambifoto

serambifoto

Diklat Metodologi Pembelajaran Bahasa Inggris untuk MTs, dan MA kerjasama

antara Kementerian Agama dan PPPPTK Bahasa (11/06).

Pengajar dari Universitas Negeri Medan (Unimed) Pierre Gaston (20/5) tengah

memberi materi pada peserta Diklat Tingkat Dasar Guru Bahasa Prancis SMA

bertempat di LPMP Sumatera Utara.

Tim olahraga PPPPTK Bahasa berfoto bersama (12/05) di tengah pelaksanaan kegiatan Porseni PPPPTK Ditjen PMPTK

di PPPPTK Penjas dan BK, Parung, Bogor.

Edisi 14 Tahun VIII Juni 2010

Diterbitkan olehPPPPTK BahasaKementerian Pendidikan Nasional

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONALPUSAT PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN PENDIDIK

DAN TENAGA KEPENDIDIKAN BAHASA