dari hama sampai jimat: sebuah catatan perjalanan...
TRANSCRIPT
1Edisi 17 Tahun IX Desember 2011
Edisi 17 Tahun IX Desember 2011
Diterbitkan olehPPPPTK Bahasa
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Naskah Keagamaan Arab-Melayu di NusantaraYuk, Menulis dengan Gaya Populer dan MudahDari Hama Sampai Jimat: Sebuah Catatan PerjalananMetodologi Pembelajaran Bahasa dan Pengetahuan Lintas Budaya
di Carl Duisberg Centren
2 3Edisi 17 Tahun IX Desember 2011 3Edisi 17 Tahun IX Desember 2011
MEDIA Komunikasi dan Informasi Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Bahasa ini merupakan salah satu media informasi dan komunikasi antar-unit di lingkungan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, terutama antara PPPPTK Bahasa dengan PPPPTK lain, LPMP, Direktorat-Direktorat yang relevan, pendidik, dan tenaga kependidikan bahasa.
Media Informasi dan Komunikasi ini memuat informasi tentang kebahasaan dan pengajarannya serta kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan dan pelatihan guru bahasa. Kami mengundang para pembaca untuk berperan serta menyum-bangkan buah pikiran yang sesuai dengan misi media ini, berupa pendapat atau tanggapan tentang bahasa, pengajarannya, dan ulasan tulisan pada media ini serta tulisan di bidang non-pendidikan bahasa.
Kami akan memperbaiki redaksional tulisan atau meringkas naskah yang akan terbit tanpa mengubah materi pokok tulisan. Bagi penulis yang artikel atau tulisan beritanya dimuat akan diberi honorarium yang pantas. e
Kandungan makna kata
hanya dan saja tidak sama atau
berbeda. Oleh karena itu, kedua
kata tersebut, yaitu hanya dan saja,
tidak dapat saling menggantikan
posisi dan makna yang sama di
dalam sebuah kalimat.
Fungsi kata itu masing-
masing di dalam kalimat berbeda.
Kata hanya menerangkan
kata atau kelompok kata yang
mengiringinya, sedangkan
kata saja menerangkan kata
atau kelompok kata yang
mendahuluinya.
Contoh:
Mereka berlibur di Bali 1. hanya lima hari.Mereka berlibur di Bali lima hari 2. saja.Mereka berlibur 3. hanya di Bali saja.Saya 4. hanya memiliki dua orang anak saja.Orang itu 5. hanya memikirkan diri sendiri saja.
Penggunaan kata hanya dan saja secara bersama-sama
untuk menerangkan kata atau
kelompok kata yang sama seperti
pada contoh kalimat nomor 3,
4, dan 5 bersifat mubazir. Untuk
kasus semacam itu, di dalam
bahasa Indonesia ragam
baku penggunaannya tidak
tepat. Di dalam hal itu, pilih
salah satu, hanya atau saja,
yang menurut kaidah bahasa
Indonesia paling tepat untuk
kalimat tersebut.
Misalnya:
Saya 1. hanya memiliki dua orang anak.Saya memiliki dua orang 2. anak saja.Orang itu 3. hanya memikirkan diri sendiri.Orang itu memikirkan diri 4. sendiri saja.
***
Komunikasi dalam
bidang ekonomi
atau perbankan
tidak jarang menggunakan
istilah debet, misalnya pada
lajur debet dan lajur kredit.
Frekuensi penggunaan istilah
lajur debet cukup tinggi, tetapi
bentuk istilah yang benar
adalah lajur debit.
Kata debit diserap secara
utuh dari kata Inggris debit.
Bentuk istilah itu merupakan
gabungan dua kata, yaitu lajur
dan debit yang membentuk
istilah baru lajur debit. Dari
bentuk istilah debit dapat
dibentuk paradigma istilah yang
bersistem debitor. Hal itu serupa
dengan bentuk istilah bersistem
lainnya seperti apotek dan
apoteker, praktik dan praktikum,
juga provinsi dan provinsialisme.
Istilah debit juga digunakan
dengan pengertian ‘jumlah air yang
dipindahkan dalam suatu satuan
waktu tertentu pada titik tertentu
di sungai, terusan, atau saluran air’
(seperti dalam debit air).
Kenyataan adanya bentuk
polisemi—bentuk kata yang
memiliki makna lebih dari
satu—tidak dapat dijadikan
alasan mengganti istilah debit
menjadi debet. Dalam bidang
ekonoi dan perbankan pun debit
memiliki makna lebih dari satu:
(1) ‘uang yang harus ditagih dari
orang lain; piutang’, (2) ‘catatan
pada pos pembukuan yang
menambah nilai aktiva atau
mengurangi jumlah kewajiban;
jumlah yang mengurangi
deposito pemegang rekening
pada banknya’. e
senaraibahasaHanya dan Saja, Debet atau Debit
Ditulis ulang oleh Yusup Nurhidayat dari buku Buku Praktis Bahasa Indonesia 2 Dendy Sugono (ed.) (Jakarta. Pusat Bahasa. 2009)
3Edisi 17 Tahun IX Desember 2011 3Edisi 17 Tahun IX Desember 2011
Pada edisi kali ini, Ekspresi me-
nyuguhkan tulisan utama me-
nge nai pengalaman penulis yang ditugaskan ke
negara bagian Sabah, Malaysia. Penulis ditugas-
kan untuk menjadi pengajar di sekolah Indonesia
di sana.
Dalam tulisan tersebut mengungkapkan peng-
alamannya mengejar bahasa Indonesia bagi anak-
anak Indonesia yang ternyata sudah terbiasa meng-
gunakan bahasa Melayu.
Selain mengajarkan bahasa Indonesia di seko-
lah Indonesia, penulis pun berkesempatan meng-
ajarkan bahasa Indonesia bagi penutur asing
seperti Turki, Turkmenistan, dan Tajikistan. Para
penutur asing itu memiliki antusiasme yang tinggi
mempelajari bahasa Indonesia.
Menurut para penutur asing itu, bahasa Indo-
nesia itu memang mudah dipelajari. Selain itu,
dibandingkan dengan bahasa Inggris, bahasa Indo-
nesia lebih luwes dan tidak kaku. Bahkan di ling-
kungan ASEAN, bahasa Indonesia sudah diakui se-
bagai bahasa yang memiliki keindahan tersendiri.
Artikel lain menyuguhkan kepada Anda be-
ragam tulisan mengenai bahasa secara umum dan
pembelajaran bahasa. Semua hal tersebut bisa
Anda baca lewat Ekspresi edisi kali ini. Semoga
bermanfaat. e
Senarai Bahasa
Salam Redaksi
Laporan Utama
Bangga Berbahasa Indonesia [4]
Bahasa dan Sastra
Naskah Keagamaan Arab-Melayu di
Nusantara [11]
Yuk, Menulis dengan Gaya Populer
dan Mudah [22]
Dari Hama Sampai Jimat: Sebuah
Catatan Perjalanan [26]
Metodologi Pembelajaran Bahasa
dan Pengetahuan Lintas Budaya
di Carl Duisberg Centren [33]
Lintas Bahasa Budaya
Serambi Foto
Pembina Kepala PPPPTK Bahasa Teriska R. Setiawan Penanggung Jawab Kabag Umum Abdul Rozak Pemimpin Redaksi Kasatgas Protokol dan Dokumentasi Iri Agus Sudirdjo Redaktur Pelaksana Yusup Nurhidayat Redaktur Ririk Ratnasari, Winda Scorfi, Joko Subroto Desain Sampul dan Tataletak Yusup Nurhidayat Pencetakan dan Distribusi Naidi, Djudju, Komariah Alamat Redaksi Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Bahasa Jalan Gardu, Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan
12640 Kotak Pos 7706 JKS LA Telp. (021) 7271034 Faks. (021) 7271032 Website: www.pppptkbahasa.net Email: [email protected]
daftarisi
salamredaksi
4 5Edisi 17 Tahun IX Desember 2011 5Edisi 17 Tahun IX Desember 2011
BANGGA BERBAHASA INDONESIA
Bahasa IndonesIa BegItu kaya, Indah
dan sangat tInggI nIlaI kesastraannya. karya-
karya yang lahIr dengan medIa Bahasa IndonesIa,
BaIk artIkel, cerpen, novel sangat relevan
dengan zamannya.
5Edisi 17 Tahun IX Desember 2011 5Edisi 17 Tahun IX Desember 2011
BANGGA BERBAHASA INDONESIA
laporanutama
Tinggi nilai sastranya bisa
dirasakan melalui novel
Azab dan Sengsara karya
Merari Siregar dan Siti Nur-
baya karya Marah Rusli pada
zaman penjajahan Belanda
tahun 1920-an, hingga za-
man sekarang tahun 2000-
an dengan terbitnya novel
Laskar Pelangi karya Andrea
Hirata, yang sudah diterje-
mahkan ke dalam lima ba-
hasa di dunia. Begitu juga
dengan peribahasa atau
proverbs yang berjumlah
lebih dari seribu entri seba-
gaimana terlihat dalam Buku
dan CD Kamus Peribahasa In-
donesia, karya penulis yang
dikumpulkan dan diolah
dari berbagai sumber.
Kayanya bahasa Indonesia
terlihat bukan berasal dari
bahasa Melayu saja, tetapi
berasal juga dari bahasa
Jawa dan bahasa Asing yang
bersinggungan seperti baha-
sa Belanda. Kare nanya baha-
sa Indonesia berbeda
dari bahasa Melayu di
Malaysia. Bahasa In-
donesia memiliki lebih
banyak perkataan dari
bahasa Jawa dan Be-
landa meski didasarkan
dan didominasi oleh
bahasa Melayu Riau,
contohnya pejabat pos
di Malaysia dikenal de-
ngan sebutan kantor
pos di Indonesia. Kata
kantor ini berasal dari
kata Belanda kantoor
untuk pejabat.
Studi bahasa Indone-
sia ternyata dipelajari
juga di Adam Mickie-
wicz University (UAM)
Polandia, Universite
Degli Studi di Napoli
l’Orientale (UNO) Ita-
lia, Institute of Oriental
Studies di Uzbekistan. Ke-
tertarikan mahasiswa bela-
jar bahasa Indonesia ka rena
kekayaan budaya dan wisata
di Indonesia, ter utama Bali.
Sementarra itu Menteri Pen-
didikan dan Kebudayaan
M. Nuh mengungkapkan
bahwa China tertarik un-
tuk mengembangkan studi
6 7Edisi 17 Tahun IX Desember 2011 7Edisi 17 Tahun IX Desember 2011
laporanutama
bahasa Indonesia di pergu-
ruan tinggi ternama. Juga
di nege ri Kanguru Australia,
menjadikan bahasa Indone-
sia bahasa kedua. Bahkan,
ada sebuah radio di sana
yang menggunakan bahasa
Indonesia dalam siarannya.
Di negara-negara maju,
seper ti Jepang dan Korea,
telah menjadikan bahasa In-
donesia sebagai mata kuliah
di kampus-kampus ternama.
Hal yang sama terjadi di be-
nua Amerika, seperti AS dan
Kanada, mahasiswa-maha-
siswa di sana sangat antusias
belajar Bahasa Indonesia,
karena menjadi mata kuliah
penting.
Keindahan bahasa Indone-
sia diakui pula oleh negara-
negara ASEAN dalam konfe-
rensinya dengan menjadikan
bahasa Indonesia sebagai
bahasa pengantar kedua
sete lah bahasa Inggris.
Bahasa Indonesia bagi Calon Mahasiswa AsingBahkan penulis sendiri mera-
sakan saat mengajar Bahasa
Indonesia bagi Penutur Asing
(BIPA). Bagaimana antusi-
asme belajar yang luar biasa
dari calon mahasiswa dari
tiga negara; Turki, Turkmen-
istan, dan Tajikistan. Mereka
begitu dalam menggali atau
mengeksplorasi bahasa In-
donesia. Proses pembelajar-
an berjalan sangat aktif dan
menyenangkan. Mereka pun
rela bersusah payah setiap
hari belajar dan belajar agar
bisa dikatakan bisa berba-
hasa Indonesia dengan baik
dan nantinya merela layak
diterima belajar di kampus-
kampus ternama negeri ini.
Menurut mereka, bahasa
Indonesia memang mudah
dipelajari, hanya sedikit
masalah penulisan bunyi
atau fonem yang pelambang-
annya sama sehingga mem-
bingungkan bagaimana ha-
rus melafalkannya. Misal nya
lambang atau huruf [e] yang
memiliki dua bunyi, [e] ta-
ling pada kata elang dan [ə] pepet pada kata emas.
Pada kata bebek, memiliki
dua pelafalan, bebek yang
berarti itik sebagai unggas
dan bebek sebagai menum-
buk buah atau sesuatu men-
jadi halus. Contoh lain juga
berlaku pada kata yang ber-
homograf, seperti kata apel
yang memiliki tiga makna
menurut KBBI. Makna per-
tama sebagai pohon yang
buahnya bundar, berda ging
tebal dan mengandung air
“menurut mereka, Bahasa IndonesIa memang mudah
dIpelajarI.”
7Edisi 17 Tahun IX Desember 2011 7Edisi 17 Tahun IX Desember 2011
serta berkulit lunak yang
warnanya merah (kemerah-
merahan) atau kuning
(kekuning-kuningan), jika
matang rasanya manis ke-
masam-masaman; Pyrus
malus, atau buah apel.
Kedua apel sebagai wajib
hadir dulu suatu upacara
resmi (bersifat kemiliter-
an) untuk diketahui hadir
tidaknya atau untuk men-
dengar amanat. Ketiga apel
sebagai kepala kampung (di
bawah kepala desa).
Mereka juga mendapatkan
pengertian berupa penekan-
an bahwa kalimat-kalimat
dalam bahasa Indonesia
tidak mengharusnya meng-
gunakan kata kerja atau
verba seperti bahasa Ing-
gris. Bahasa Indonesia lebih
mempermudah dalam pe-
nyusunan kalimat-kalimat
tanpa kata kerja atau verba.
Misalnya untuk mengatakan
Rumah itu indah tidak perlu
Rumah itu adalah indah,
seperti bahasa Inggris That
house is beautiful. Di sini ba-
hasa Indonesia mampu “me-
nyihir” atau menghilangkan
verba yang sebenarnya tidak
diperlukan. Oleh karena itu,
bahasa Indonesia dalam pola
kalimatnya intinya berupa
Subjek + Predikat (bisa verba
bisa selain verba).
Berbeda dengan bahasa Ing-
gris yang mengharuskan
kalimat-kalimatnya meng-
gunakan verba dengan pola
kalimat intinya Subject +
Verb, bahasa Indonesia le bih
luwes atau tidak kaku. Misal-
nya untuk mengatakan Saya
seorang pelajar yang berpola
Subjek + Predikat dalam ba-
hasa Indonesia tidak meng-
8 9Edisi 17 Tahun IX Desember 2011 9Edisi 17 Tahun IX Desember 2011
haruskan predikatnya verba menjadi I am
a student dalam bahasa Inggris. Di sini
tampak bahwa bahasa Inggris mengharus-
kan menggunakan verba yang sebenarnya
verbanya tidak kentara, namun digantikan
dengan to be (pengganti Verba).
Waktu pun terus berjalan hingga mere-
ka diuji memasuki kampus yang mereka
ingin kan. Suatu ketika alangkah terke-
jut dan senangnya saat berjumpa kembali
dengan mereka yang sudah diterima di
kampus-kampus negeri ini dan tersebar
ke beberapa daerah, misalnya ada yang
di Universitas Indonesia (UI), Universitas
Diponegoro (Undip), dan Universitas Padja-
djaran (Unpad).
Rupanya mereka sudah pandai berbahasa
Indonesia dengan baik dengan bergaul
dengan para mahasiswa dan sudah bisa
mengikuti dosen-dosen yang mengajar
dengan bahasa Indonesia di kampus, meski
ada kendala bila dosennya berbicara cepat.
Sepanjang ini mereka menikmati kuliah
dan penuh semangat belajar
karena mereka sudah diprio-
ritaskan menjadi guru-guru
di sekolah-sekolah interna-
sional di negaranya maupun
di Indonesia.
Pembelajaran Bahasa In-donesia bagi Anak Indone-sia di SabahPembelajaran bahasa In-
donesia bagi anak Indone-
sia di Sabah lebih mudah
bila dibandingkan dengan
pembelajaran bahasa Indo-
nesia bagi orang asing. Hal
ini dikarenakan anak-anak
Indonesia di Sabah sudah
memiliki bekal bahasa Me-
layu Malaysia, yang memi-
liki beberapa kesamaan kosa
kata dengan bahasa Indone-
sia. Mereka pun masih ada
yang sempat ikut orang-
tuanya pulang kampung—
laporanutama
9Edisi 17 Tahun IX Desember 2011 9Edisi 17 Tahun IX Desember 2011
kembali ke daerah asalnya
Sulawesi—pada waktu cuti
kerja.
Awal berinteraksi dengan
anak-anak Indonesia di Sa-
bah, penulis dikejutkan
de ngan sebuah kata yang
sudah bergeser jauh makna-
nya, yaitu kita. Kata kita
digunakan oleh mereka un-
tuk kata sapaan Anda yang
sopan. Ternyata ini merupa-
kan budaya bahasa Bugis di
Sulawesi yang ikut terbawa
ke Sabah. Adapun makna
sebenarnya kita adalah pro-
nomina persona pertama ja-
mak, yang berbicara bersama
dengan orang lain termasuk
yang diajak bicara.
Bahasa Indonesia menjadi
pelajaran tambahan yang
sepekannya bobotnya hanya empat jam pela-
jaran. Sebelumnya bila yang mengajar bukan
guru dari Indonesia, maka pelajaran ini pun
ditiadakan. Ini sangat memprihatinkan me-
mang. Jadi, mereka sangat minim bekal ber-
bahasa Indonesianya. Ketika mengenalkan
nama hari dalam bahasa Indonesia, ternyata
mereka telah mengenal lebih dulu bahasa
Melayunya. Mereka tersenyum-senyum se-
olah menyalahkan Senin menjadi Isnin, Kamis
menjadi Khamis, Minggu menjadi Ahad. Juga
untuk nama-nama bulan ada beberapa perbe-
daan untuk Maret menjadi Mac, Juni menjadi
Jun, dan Agustus menjadi Ogos.
Pembelajaran di kelas—ketika masuk pada
pelajaran kata ganti atau pronominal—men-
jadi sedikit masalah. Karena penulis harus
menekankan kembali bahwa kita bermakna
bukan kamu atau Anda, melainkan kata ganti
orang pertama jamak sebagai mana dijelaskan
di atas. Kemudian kata kami sering diguna-
kan untuk menggantikan saya. Dua hal ini
yang perlu diluruskan dan ditekankan.
10 11Edisi 17 Tahun IX Desember 2011 11Edisi 17 Tahun IX Desember 2011
Sementara kata sapaan un-
tuk bapak dan ibu, diguna-
kan kata encik, menjadi pak-
cik dan makcik. Kata cikgu
yang bermakna ‘guru’ sen diri
lahir dari kata encik guru
yang disingkat cikgu. Kata
sapaan lain untuk kakek
dan nenek disini mengenal
kata ato’ dan opa.
Berbeda dengan orang In-
donesia kota yang biasa
memanggil orang tuanya de-
ngan mama dan papa, akan
memanggil kakek neneknya
dengan opa dan oma. Terli-
hat ada perbedaan makna
yang sangat jauh antara opa
yang bermakna ‘kakek’ dan
opa yang bermakna ‘nenek’.
Kata benda yang berada di
kelas dan di luar kelas ba-
laporanutama
nyak menunjukkan perbe-
daan. Kata penghapus dipa-
dankan dengan pemadam.
Ini akan menjadi bahan ter-
tawaan bila kita katakan, to-
long ambil pemadam! Orang
Indonesia memahami bahwa
pemadam adalah alat untuk
memadamkan api bukannya
penghapus. Benda lain seper-
ti mobil mereka sudah ter-
biasa dengan menyebut kere-
ta. Penulis pun sedikit ter-
tawa ketika melihat tulisan
“Terima cuci kereta”, karena
membayangkan kereta yang
dimaksud adalah kereta api.
Betapa bakal susah payah
orang mencucinya. e
Sumber PustakaMahayana S, Maman. Artikel
Kompas, 2005. “Sihir
Bahasa Indonesia.”
Jakarta.
Pusat Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI),
Software offline. Jakarta.
Hasan dan Sadeli, Kamus
Bahasa Inggris-Indonesia
dan bahasa Indonesia-
Inggris. Jakarta:
Gramedia.
http://www.id.wikipedia.org
www.goodnewsfromindonesia.
org.
Wawancara: 1. Siswa BIPA
(Bahasa Indonesia bagi
Penutur Asing) dari
Negara Turmenistan dan
Tajikistan; 2. Penutur
bahasa Melayu di
Semenanjung dan Sabah,
Malaysia.
11Edisi 17 Tahun IX Desember 2011 11Edisi 17 Tahun IX Desember 2011
Naskah keagamaaN arab-melayu di NusaNtara
Ahmad GhoziWidyaiswara Bahasa Arab
PPPPTK Bahasa
PENDAHuluAN
Studi filologi di Indonesia adalah suatu studi yang berupaya mengungkapkan nilai-nilai dan budaya yang terkandung pada masyarakat masa lalu melalui karya-karyanya. Di dalam karya masa lalu terdapat wajah masa lalu yang menjadi wajah kita saat ini. Banyak sekali peningggalan masa lalu berupa candi, artefak, istana, masjid, dan bangunan lain-nya. Namun ada lagi peninggalan lain yang sering diabaikan, di antaranya naskah-naskah atau buku kuno, baik yang sudah tersimpan dalam perpustakaan maupun yang belum ditemukan.
Menurut Pierce Butler dalam bukunya berjudul An Introduction to Library Science (1961),
buku adalah suatu bentuk mekanisme sosial dalam melestarikan memori umat manusia, dan perpustakaan adalah suatu perangkat sosial untuk mengalih-kan/transfer memori itu ke dalam kesa-daran setiap pribadi. Dengan demikian, perpustakaan pada dasarnya merupa-kan akumulasi dari memori umat ma-nusia, sekaligus mencerminkan tingkat perkembangan peradaban yang dicapai umat manusia sebagai kelompok atau komunitas. Jika dikaitkan de ngan ke-lompok atau komunitas tertentu, mi-salnya dalam konteks bangsa atau ne-gara, maka perpustakaan di komunitas bangsa itu juga mencermin kan jati diri bangsa. Di dalamnya terkandung kehor-matan, martabat, dan kekayaan baik
12 13Edisi 17 Tahun IX Desember 2011 13Edisi 17 Tahun IX Desember 2011
intelektual, spiritual, maupun sosial-budaya yang seyogya-nya menjadi kebanggaan bagi setiap warga bangsa itu. (Dep-dikbud: 15).
Dengan demikian, masih mi-nimnya penelitian naskah-naskah kuno, khususnya naskah keagamaan mencer-minkan masih jauhnya keter-tarikan generasi masa kini un-tuk mempelajari budaya masa lalu. Hal ini tampak, khusus-nya untuk penelitian naskah-naskah Arab dan melayu yang dilakukan para akademisi. Di Universitas Indonesia, sebagai kampus pelopor kajian filologi di Indonesia pada abad ke-20, hanya terdapat beberapa pene-litian terhadap naskah-naskah Arab, di antaranya Tesis Fauzan Muslim (1996) berjudul Kunhu Ma La Budda Minhu Karya Ibnu Arabi, dan Oman Fathurrahman (1998) yang berjudul Tanbih al Masyi al Mansub Ila Thariq al Qusyayi (yang terbit seba-gai Fathurrahman 1999a), dan disertasi Purwadaksi (1992) berjudul Ratib Samman dan Hi-kayat Muhammad Samman. Di IAIN Jakarta, dipelopori oleh Nabilah Lubis dengan diser-tasinya (1992) yang berjudul
Zubdat al Asrar fi Tahqiq Ba’d Masyarib al Akhyar Karya Yusuf Al Taj, yang terbit sebagai Lubis 1996). (Lubis, 2007: 3).
Artikel ini secara singkat akan menguraikan hal-hal yang berkaitan dengan studi naskah keagamaan dan mela-yu di Indonesia, khususnya teks-teks bahasa Arab dan sastra yang paling banyak ber edar di nusantara.
PEmBAHASAN
Pengertian Naskah KunoNaskah kuno adalah benda budaya yang berupa hasil karang an dalam bentuk tu-lisan tangan atau ketikan yang mengandung ide-ide, ga-gasan, ajaran moral, persepsi budaya masayarakat setem-pat, filsafat, keagamaan, dan unsur-unsur lain yang mengandung nilai luhur (Mu-nawar, 1996: 42).
Jadi yang yang dimaksud naskah kuno keagamaan dan melayu dalam makalah ini adalah naskah-naskah yang berisi ide, gagasan, dan unsur-unsur nilai dan keagamaan dan ber corak melayu yang ditulis de ngan huruf Arab Me-
layu (Jawi/Pegon) karya para ulama atau penulis nusantara, baik yang telah tersimpan maupun yang masih tercecer.
Perkembangan Penelitian Naskah Kuno KeagamaanKajian filologi di Indonesia tak dapat dilepaskan dari proses keragaman Islam di Indonesia yang diapresiasi sebagai produk dari sebuah proses akulturasi budaya lokal di wilayah nusantara dengan nilai-nilai normatif agama, dalam hal ini Islam.
Tradisi penulisan berbagai do-kumen dan informasi dalam bentuk manuskrip tampaknya pernah terjadi secara besar-besaran di Indonesia pada masa lalu, terutama jika dili-hat dari melimpahnya jumlah naskah yang dijumpai seka-rang, baik yang ditulis dalam bahasa asing seperti Arab dan Belanda, atau dalam bahasa-bahasa daerah seperti Melayu, Jawa, Sunda, Aceh, Bali, Ma-dura, Batak, dll. Hal tersebut tampaknya mudah dipahami, ter utama jika dikaitkan de-ngan belum dikenalnya alat pencetakan secara luas hing-
“tradIsI penulIsan BerBagaI dokumen dan InformasI dalam Bentuk manuskrIp
tampaknya pernah terjadI secara Besar-Besaran dI IndonesIa.”
13Edisi 17 Tahun IX Desember 2011 13Edisi 17 Tahun IX Desember 2011
ga abad ke-19, khususnya di wilayah Melayu-Nusantara.
Oleh karenanya, tidak meng-herankan jika saat ini kita menjumpai bahwa khazanah naskah nusantara hampir tidak terhitung jumlahnya, baik yang berkaitan dengan bidang sastra, filsafat, adat istiadat, dan terutama bidang keagamaan (Islam). Bahkan Nurkholis Majid pernah meng-isyaratkan bahwa naskah-naskah nusantara terdapat dalam jumlah jutaan. (Lubis, 2007: 3)
Dalam hal naskah-naskah ke-agamaan, tampak bahwa jum-lah naskahnya terlihat lebih menonjol, terutama karena terkait dengan proses Islam-isasi di Indonesia yang ba-nyak melibatkan para ulama produktif di zamannya. Data-data yang dijumpai umumnya memberi penjelasan bahwa
naskah-naskah keagamaan tersebut ditulis oleh para ula-ma terutama dalam konteks transmisi keilmuan Islam, baik transmisi yang terjadi antara ulama Melayu-Nusantara, di mana Indonesia termasuk di dalamnya, dengan para ulama Timur Tengah, maupun antar-ulama Indonesia itu dengan murid-muridnya di berbagai wilayah.
Dalam konteks naskah ke-agamaan ini, dua pola trans-misi keilmuan yang terjadi di wilayah Indonesia tersebut pada gilirannya membentuk pula dua kelompok bahasa naskah: pertama naskah-naskah yang ditulis dalam bahasa Arab; dan yang kedua naskah-naskah yang ditulis dalam bahasa-bahasa daerah, terutama melayu.
Dalam perkembangannya, jumlah naskah tersebut ke-
mudian semakin membengkak de ngan adanya tradisi penya-linan naskah dari waktu ke waktu, baik yang dilakukan oleh murid-murid untuk ke-pentingan belajar, maupun yang dilakukan oleh “tukang-tukang salin” untuk kepen ti-ngan komersil.
Hanya saja, sejauh ini be-lum diidentifikasi adanya naskah-naskah Nusantara di negara-negara yang banyak menyim pan naskah-naskah karya anak-anak nusantara. Bahkan naskah-naskah di negeri- negeri Timur Tengah pun hingga kini belum ter-sosialisasikan keberadaannya secara maksimal ke negeri “pemiliknya”.
Kita mungkin tidak terlalu khawatir dengan kondisi naskah-naskah yang telah tersimpan di berbagai perpus-takaan, karena semuanya ber-
14 15Edisi 17 Tahun IX Desember 2011 15Edisi 17 Tahun IX Desember 2011
ada dalam “perawatan” yang standar di bawah supervisi pada filolog dan pustakawan yang mumpuni. Meskipun—khususnya untuk naskah-naskah di luar negeri—kita seringkali dihadap-kan pada kesulitan untuk mengakses naskah-naskah tersebut, se hingga hal ini turut memberikan kontribusi pada “malas-nya” sebagian sarjana kita untuk memanfaatkan naskah-naskah tersebut sebagai sumber primer kajiannya.
Masalah yang lebih serius dalam hal pernaskahan nusantara ini sebetulnya adalah kare na masih banyaknya naskah-naskah tersebut yang tersimpan di kalangan masyarakat sebagai mi-lik pribadi. Menjadi masalah karena umumnya naskah-naskah yang kebanyakan ditulis pada sekitar abad 17 dan 18 tersebut terbuat dari kertas yang secara fisik tidak akan tahan lama, sehingga kertasnya menjadi lapuk, robek, dan akhirnya hi-lang pula pengetahuan yang tersimpan di dalamnya. Kalau-pun terawat, umumnya hanya karena naskah-naskah tersebut dianggap sebagai “benda keramat” yang harus disimpan rapi, kendati isinya tidak pernah diketahui dan dimanfaatkan oleh khalayak umum.
Menurut Fathurrahman, kendati telah beberapa kali dilaku-kan upaya inventarisasi dan pelestarian atas naskah-naskah tersebut, nyatanya hingga kini—setidaknya berdasarkan peng alaman kunjungan ke beberapa daerah— naskah-naskah yang terdapat di masyarakat tersebut masih banyak yang belum teridentifikasi, dan apalagi terawat dengan baik. Me-narik dicatat bahwa wilayah nusantara yang sebagian besar masyarakatnya masih menyimpan naskah-naskah tersebut ternyata berada di wilayah Timur, antara lain di NTB, Buton, Ternate, dan sebagainya (Oman, 2007: 3).
Dalam konteks ini, Aceh tentu saja merupakan wilayah yang penting disebut. Menurut catat an sementara, di dayah Tanoh Abee, Seulimeum, Aceh misalnya, terdapat ribuan naskah
dalam bahasa Arab, Melayu, dan Aceh —ini belum ter-masuk naskah-naskah lainnya yang masih berada di ta ngan masyarakat.
Sejauh ini, upaya perawatan yang dilakukan atas naskah-naskah tersebut baru dilaku-kan secara tradisional, sehing-ga tidak menjamin akan tetap terpelihara kandungan isinya. Dalam konteks keagamaan (Islam), naskah-naskah di Tanoh Abee ini tampaknya sangat layak mendapat per-hatian khusus, selain karena semuanya bersifat agama, ia juga semakin penting kare-na mencerminkan dasar pendidik an agama di daerah Aceh pada abad ke-19.
Hubungan Naskah dan Bu-daya DaerahTak dapat dipungkiri bahwa berkembangnya naskah-nas-kah nusantara dipisahkan dari masuknya Islam yang sejak abad ke-7 sudah mulai merembes masuk ke wilayah Melayu-Nusantara. Menurut Taufik Abdullah dalam Badri
“upaya perawatan yang dIlakukan atas naskah-naskah terseBut Baru
dIlakukan secara tradIsIonal, sehIngga tIdak menjamIn akan tetap terpelIhara
kandungan IsInya.”
15Edisi 17 Tahun IX Desember 2011 15Edisi 17 Tahun IX Desember 2011
Yatim bahwa pelabuhan-pelabuhan penting di Sumate-ra dan Jawa antara abad ke-1 dan ke-7 sering disinggahi pedagang asing, seperti La-muri di Aceh, Barus di Palem-bang, Sunda Kelapa dan Gresik di Jawa. (Yatim, 2000: 191).
Melalui penetrasi budaya Islam nusantara ini, diyakini mem-bawa tradisi tulis di kalangan masyarakat Melayu-Nusantara, sehingga dalam perkembang-annya—seperti telah dikemu-kakan—tradisi Islam ini turut mendorong lahirnya sejum-lah besar naskah, khususnya naskah-naskah keagamaan.
Implikasi dari akukturtasi tradisi daerah dan Islam ini misalnya, masyarakat Melayu-Nusantara mulai memiliki kebiasaan untuk mencatat-kan berbagai pemikiran dan hal penting lainnya dengan menggunakan tulisan Jawi (bahasa Melayu de ngan ak-sara Arab) atau bahasa Pegon (bahasa Jawa dan Sunda de-ngan aksara Arab), di samping tentunya dengan bahasa Arab itu sendiri.
Dalam hal ketiadaan sastra dari zaman sebelum Islam di nusantara, misalnya Sriwi-jaya, hal tersebut dikarena-kan tenggelamnya kerajaan tersebut beserta agama Budha yang diyakinilah sebagai pe-nyebab utama. Orang tidak lagi melihat pentingnya me-nyalin naskah-naskah itu, akan tetapi beralih kepada
kepercayaan baru. Kedatangan alairan atau agama baru dapat menyebabkan produk lama dapat musnah seperti yang terjadi pada peralihan agama Hindu kepada agama Islam, dalam tra-disi Jawa. (Ikram, 1997: 27).
Selanjutnya, karya tulis masyarakat Islam nuantara (kyai, ulama, cendikiawan) tersebut—terutama pada periode awal masuknya Islam—dituangkan bukan hanya di atas kertas, tetapi dalam berbagai media (alas naskah) seperti batu, daun lontar, bambu, kayu, tulang, tanduk, kulit hewan, dan se-bagainya. Dalam kenyataannya, pengaruh tulisan Arab yang kemudian menghasilkan tulisan Jawi dan Pegon tersebut tidak saja terlihat dalam naskah-naskah keagamaan, tetapi juga dalam naskah-naskah sastra yang secara substansi tidak berkaitan langsung dengan Islam.
Produksi naskah-naskah Islam di Nusantara semakin mening-kat pada abad ke-16 hingga abad ke-18, terutama ketika Aceh menjadi pusat kegiatan intelektual Islam, dan melahirkan ulama-ulama kenamaan seperti Hamzah Fansuri, Shamsud-din al-Sumatrani, Nuruddin al-Raniri, dan Abdurrauf Singkel, yang luar biasa produktif dalam menghasilkan naskah, baik untuk kepentingan belajar mengajar maupun untuk kepen-tingan lainnya.
Tradisi naskah di wilayah Aceh ini kemudian menyebar ke ber-bagai wilayah lainnya di Nusantara, tidak saja di wilayah Su-matra, melainkan juga ke wilayah lainnya di Pulau Jawa. Aki-batnya, di berbagai wilayah tersebut banyak dijumpai naskah-naskah lokal, yang secara spesifik menyim pan pengetahuan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan wilayahnya itu.
Dari beberapa telaah awal yang pernah dilakukan, diketahui misalnya adanya sejumlah besar naskah keagamaan di wilayah Buton yang belum terjamah oleh para peneliti, padahal bebe-rapa naskah, mi salnya, mengindikasikan ada nya keterkaitan dengan warna Islam di wilayah Sumatra. Demikian halnya di Lombok, Nusa Tenggara Barat, di mana kebanyakan naskah-nya masih secara tradisional di simpan oleh para Tuan Guru, dan belum bisa diakses oleh khalayak yang lebih luas.
Dalam konteks Islam lokal ini, peran naskah-naskah terse-but juga sangat signifikan, ter utama jika mempertimbangkan bahwa kajian atas wacana Islam lokal sejauh ini belum dilaku-kan secara maksimal.
16 17Edisi 17 Tahun IX Desember 2011 17Edisi 17 Tahun IX Desember 2011
Ragam Naskah Islam di In-donesiaMenurut Uka Tjandrasasmita bahwa yang dimaksud manuskrip adalah tulisan ta-ngan asli yang berumur mini-mal 50 tahun dan punya arti penting bagi peradaban, se-jarah, kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Di Indonesia ada tiga jenis manuskrip Islam. Pertama, manuskrip berbahasa dan tu-lisan Arab. Kedua, manuskrip Jawi yakni, naskah yang di-tulis dengan huruf Arab tapi berbahasa Melayu. Agar se-suai dengan aksen Melayu diberi beberapa tambahan fonem. Ketiga, manuskrip Pegon yakni, naskah yang ditulis de ngan huruf Arab tapi menggunakan bahasa daerah seperti, bahasa Jawa, Sunda, Bugis, Buton, Banjar,
Aceh dan lainnya. Umumnya ditemukan di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Tatar Pasundan. Karya tertua berhuruf Pegon mi-salnya, karya Sunan Bonang atau Syekh al Barri yang berjudul Wukuf Sunan Bonang. Karya yang ditulis pada abad ke-16 ini menggunakan bahasa Jawa pertengahan bercampur de ngan bahasa Arab. Manuskrip ini merupakan terjemahan sekaligus interpretasi dari Kitab Ihya Ulumuddin karya Imam al-Ghazali. Manuskrip ini ditemukan di Tuban, Jawa Timur. Dalam karya-nya, Sunan Bonang menulis:
“Naskah ini dulu digunakan oleh para Waliyullah dan para ulama, kemudian saya terjemahkan dan untuk para mitran (kawan-kawan) seper juangan dalam menyebarkan Islam di tanah Jawa”. (Wawancara
Uka Tjandasasmita dengan Sabili, 19 Juni 2008).
Karya ini merupakan contoh bahwa pada abad ke-16, sebagai masa pertumbuhan kerajaan Islam di Nusantara, dalam waktu yang sama juga berkembang karya para ulama yang berperan besar dalam penyebaran Islam di Nusantara.
Ini sebagai bukti bahwa penyebaran Islam di Nusantara dilaku-kan secara bertahap. Ada proses pentahapan yang sistematis sehingga tidak menimbulkan gejolak sosial. Para ulama tidak langsung menggunakan bahasa dan tulisan Arab yang belum dikenal masyarakat. Hamzah Fansuri menulis,
”Aku menerjemahkan kitab-kitab dari Bahasa Arab dan Persia ke da-lam bahasa Jawi, karena masyarakat tidak mengerti bahasa Arab dan
Persia”.
17Edisi 17 Tahun IX Desember 2011 17Edisi 17 Tahun IX Desember 2011
Manuskrip dan karya-karya tulis lainnya sampai abad ke-16 masih menggunakan tulisan Jawi atau Pegon dengan bahasa Melayu atau bahasa daerah setempat. Tapi setelah memasuki abad 17, mulai banyak karya ulama yang menggunakan baha-sa dan tulisan Arab, di samping bahasa Melayu. Pada Abad ini juga mulai banyak karya-karya terjemahan dari Timur Tengah. Ini memang strategi penyebaran Islam pada saat itu, sehingga karya para ulama ini bisa dibaca oleh masyarakat umum dan Islam pun cepat menyebar di seluruh Nusantara.
Pengaruh Naskah Islam Banyak sekali naskah-naskah yang berpengaruh di nusan-tara, misalnya Di Aceh, pada abad ke-16–17, ada Syekh Nu-ruddin ar-Raniri alias Syeikh Nuruddin Muhammad ibnu ‘Ali ibnu Hasanji ibnu Muhammad Hamid ar-Raniri al-Quraisyi. Ia dikenal sebagai ulama yang juga bertugas menjadi Qadhi al-Malik al-Adil dan Mufti Muaddam di Kesultanan Aceh pada kepemimpinan Sultan Iskandar Tsani abad 16. Salah satu karyanya yang terkenal berjudul Bustanul Salatin. Syeikh Ab-dul Rauf al-Singkili yang juga ditetapkan sebagai Mufti dan Qadhi Malik al-Adil di Kesultanan Aceh selama periode empat orang ratu, juga banyak menulis naskah-naskah keislaman.
Karya-karya mereka tidak hanya berkembang di Aceh, tapi juga berkembang seluruh Sumatera, Semenanjung Malaka sampai ke Thailand Selatan. Karya-karya mereka juga mem-pengaruhi pemikiran dan awal peradaban Islam di Pulau Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, kepulauan Maluku, Bu-ton hingga Papua. Sehingga di daerah itu juga terdapat pe-ninggalan karya ulama Aceh ini. Perkembangan selanjutnya, memunculkan karya keislaman di daerah lain seperti, Kitab Sabilal Muhtadin karya Syekh al Banjari di Banjarmasin. Di Palembang juga ada. Di Banten ada Syekh Nawawi al Bantani yang juga menulis banyak manuskrip. Semua manuskrip ini menjadi rujukan umat dan penguasa saat itu.
Adapun naskah Islam tertua di kepulauan Nusantara ditemu-kan di Terengganu, Malaysia. Manuskrip ini bernama Batu Bersurat yang dibuat tahun 1303 (abad 14). Tulisan ini me-nyatakan tentang penyebaran dan para pemeluk Islam pada saat itu. Manuskrip ini sudah diteliti oleh oleh ahli-ahli Seja-rah dan Arkeolog Islam di Malaysia seperti Prof. Naquib Ala-tas dan lainnya, semua menyimpulkan manuskrip ini sebagai yang tertua di Asia Tenggara. (Wawancara Uka dengan Sabili, 19 Juni 2008).
Sekilas Penelitian Naskah: Temuan Naskah Banten Jika berangkat dari pernyataan bahwa proses Islamisasi di ka-wasan Melayu dan nusantara telah mendorong munculnya tradisi penulisan naskah-naskah keagamaan, maka se-harusnya setiap daerah memi-liki khazanah naskah Islam sebagai bagian ajaran dan akulturasi budaya saat itu, di-antaranya Banten.
Salah satu keunikan Banten selain daerah-daerah lainnya, adalah Karena memiliki kha-zanah naskah keagamaan yang sangat banyak. Hal ini dikarenakan Banten telah terlibat dalam proses Islam-isasi di Nusantara sejak awal abad ke-17. Sejarah men-catat bahwa pada masa ini, seorang yang kemudian men-jadi ulama besar asal Sulawesi Selatan, yakni Shaikh Yusuf al-Makassari, telah singgah di Banten, dan bersahabat dengan putra mahkota yang kelak menjadi sultan Banten dengan gelar Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1692). Ke-hadiran Shaikh Yusuf di Ban-ten ini setidaknya semakin menumbuhkan atmosfer keil-muan di kalangan pe nguasa dan masyarakat Muslim Ban-ten, karena Shaikh Yusuf adalah seorang ulama besar yang sangat produktif dalam menulis berbagai risalah ke-agamaan. (Nabilah Lubis da-lam Oman, 2006, hal.1)
18 19Edisi 17 Tahun IX Desember 2011 19Edisi 17 Tahun IX Desember 2011
Pada perkembangannya, tra-disi keilmuan Islam Banten semakin menemukan ben-tuknya ketika pada abad ke-19 muncul seorang ulama besar Banten, yakni Shaikh Nawawi al-Bantani. Sejauh ini, al-Bantani diyakini sebagai salah seorang ulama Banten yang pa ling produktif dengan menulis setidaknya 100 buah karya dalam berbagai bidang ilmu keagamaan, seperti ta-sawuf, fikih, akhlaq, dan lain-lain. Karir keilmuan al-Bantani tidak dapat lepas dari pesan-tren, oleh karena nya, tidak menghe rankan kemudian jika pada umumnya, karangan-karangan al-Bantani menjadi kitab rujukan di berbagai pe-santren, baik di Jawa maupun di luar Jawa. Di antara karya-karyanya, yang termasuk monu mental adalah Tafsir al-Munir li Ma’alim al-Tanzil atau Tafsir Marah Labid.
Dalam hal ini, diyakini bahwa selain al-Bantani, pada masa-masa berikutnya muncul pula para ulama Banten yang mengikuti jejak al-Bantani dalam hal penulisan naskah-naskah keagamaan, baik se-bagai pengarang maupun penyalin naskah saja. Oleh karenanya, tidak mustahil jika masih banyak naskah-naskah ke agamaan Banten yang tercecer di kalangan masyarakat.
Di Banten, tampaknya Sul-tan yang berkuasa saat itu, yakni Sultan Abû al-Mafâkhir ‘Abd al-Qâdir al-Jâwî al-Shâfi’î (berkuasa 1037-1063H/1626-1651M), sudah memiliki per-hatian yang cukup besar ter-hadap pengembangan wacana dan tradisi keilmuan Islam. Selain itu, ada indikasi kuat bahwa pada masa ini, Ban-ten telah menjalin kontak intelektual dengan komunitas
ulama di Makkah dan Madi-nah, mengingat munculnya sejumlah naskah keagamaan yang ditulis dalam konteks tersebut.
Di antara naskah yang meng-indikasikan hal ini adalah sebuah naskah berjudul al-Mawâhib al-Rabbâniyyah ‘an al-As’ilah al-Jâwiyyah, karang an Muhammad ibn ‘Alî ibn ‘Allân al-Siddîqî al-Ash’arî al-Shâfi’î (996-1057H/1588-1647M), yang ditulis dalam bahasa Arab dengan terjemah-an bahasa Jawa tulisan pegon. Naskah yang berukuran 31 x 19,5 cm dengan teks berukur-an 24 x 21 cm ini tergolong sangat pen ting dalam wacana religio-intelektualisme Islam Indonesia mengingat isinya merupakan tanya jawab antara Sultan Abû al-Mafâkhir, seba-gai penguasa Kesultanan Ban-ten dengan pengarangnya, Ibn `Allan yang merupakan
19Edisi 17 Tahun IX Desember 2011 19Edisi 17 Tahun IX Desember 2011
salah seorang ulama terkemu-ka di Haramayn. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan sang Sultan menyangkut ber-bagai persoalan fiqh siyasah yang terdapat di dalam kitab Nasîhat al-Mulûk karangan Imâm al-Ghazâlî, ditambah dengan beberapa pertanyaan tentang persoalan-persoalan yang menjadi concern Sultan. (Azra, 1994)
Jika diamati secara saksa-ma, dapat dipastikan bahwa naskah yang dalam setiap halamannya terdapat sembi-lan baris ini bukan merupa-kan naskah asli tulisan pe-ngarangnya yang ulama Arab, melainkan berupa salinan yang ditulis oleh seorang Me-layu-Indonesia. Beberapa hal dapat menjelaskan asumsi ini, antara lain: adanya terjemah-an antarbaris dalam bahasa Jawa yang tersusun rapi, dan dengan jarak yang konsisten dalam setiap halamannya.
Hal ini juga memberikan pe-tunjuk tentang kemungkinan metode penulisannya, yakni teks Arab, yang menggunakan jenis tulisan naskhi berharakat lengkap dan berukuran besar,
ditulis terlebih dahulu hingga selesai, baru kemudian me-nyusul teks Jawanya, dengan menggunakan jenis tulisan farisi, tanpa harakat, dan berukuran jauh lebih kecil. Seperti umumnya naskah-naskah lain, jenis tinta yang digunakan dalam keseluruhan teks berwarna hitam, kecuali beberapa kata tertentu meng-gunakan tinta merah.
Dari beberapa karakter huruf yang digunakan, baik dalam teks Arab maupun teks Jawa, patut diduga bahwa penulis teks Arab dan teks Jawanya adalah satu orang yang sama. Tentu saja, ini tidak mungkin dilakukan seorang Arab asli, melainkan oleh orang yang paham betul bahasa Jawa, di samping juga paham bahasa Arab. Meskipun demikian, jika diperhatikan dengan cer-mat, ada beberapa kekeliruan dalam hal pemberian harakat. Ini mengindikasikan bahwa tingkat pemaham an sang penyalin terhadap kaidah-kaidah bahasa Arab (nahwu sharaf) masih belum paripur-na. Karena itu, sa ngat mung-kin, penyalin adalah seorang murid yang berasal dari ling-
kungan bahasa Jawa, yang sedang mempelajari isi teks tersebut dan sekaligus ber-usaha menerjemahkannya.
Hal menarik lainnya dari naskah ini adalah adanya be-berapa karakter huruf Arab yang benar-benar khas Mela-yu-Indonesia. Misalnya setiap huruf hamzah yang terletak di tengah kata dan dibaca kasrah, selalu ditulis dengan titik dua di bawahnya, se-perti kata su’ilû, al-as’ilah, al-sâ’ilîn, li qâ’ilihâ, dsb. Karak-ter huruf seperti ini tentu saja hanya dijumpai dalam ak-sara Jawi atau pegon, untuk menandai bacaan kasrah, dan tidak dijumpai dalam aksara Arab yang “asli”. Lagi-lagi, ini menunjukkan adanya pe-nyesuaian-penyesuaian yang dilakukan untuk kepentingan Muslim setempat, yang pada gilirannya menjadi sebuah kekayaan khazanah keilmuan Islam lokal.
Mempertimbangkan substansi naskah al-Mawâhib seperti di singgung di atas, sesung-guhnya kita dapat memba-ngun sebuah asumsi bahwa pada masa itu, di Banten te-
tIga jenIs manuskrIp Islam dI IndonesIa: pertama, manuskrIp araB.
kedua, manuskrIp jawI. ketIga, manuskrIp pegon.
20 21Edisi 17 Tahun IX Desember 2011 21Edisi 17 Tahun IX Desember 2011
lah terbangun sebuah tradisi fatwa, di mana Sultan Abû al-Mafâkhir bertindak seba-gai mustafti (yang meminta fatwa), dan ibn ‘Allân sebagai muftinya.
Hanya saja, penelitian atas naskah-naskah Banten ini tampaknya belum secara maksimal dilakukan, sehing-ga khazanah naskahnya be-lum teridentifikasi dengan baik. Dalam buku Khazanah Naskah Karya Chambert-Loir & Fathurahman tahun 1999, yang memang di susun hanya berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dan terutama diterbitkan, catatan mengenai khazanah Naskah Banten ini hampir tidak ditemukan sama sekali. Konon, pada awal tahun 1990an Prof. Dr. Edi S. Ekadjati (alm) telah melakukan upaya inventari-sasi naskah-naskah Banten ini dalam rangka inventarisasi naskah-naskah Jawa Barat, bagian pertama hasil inven-tarisasi proyek tersebut yang menca kup naskah-naskah di wilayah Priangan telah diter-bitkan pada 1999 (Ekadjati, 1999 dalam Oman), namun bagian kedua yang seharus-nya mencakup naskah-naskah Banten, hingga Ekadjati wafat pada awal tahun 2006 lalu, belum juga dapat diterbitkan.
Isi Naskah Diantara bahasa-bahasa yang digunakan di Nusantara ada-
lah bahasa melayu. Pengaruh bahasa asing sudah dialami pada taraf yang amat dini. Pada perkembangan selan-jutnya, selain bahasa Sanse-kerta, juga bahasa Arab. De-ngan nama Jawi atau Pegon yang digunakan untuk ba-hasa melayu, Aceh, Minang, Jawa, Sunda, dan sebagainya sehing ga sebagian dikenal dengan tulisan bahasa Arab-Mela yu. Adapun isi yang tersurat dari naskah-naskah nusantara tersebut sangat beragam, mi salnya dongeng, hikayat, cerita rakyat, babad, silsilah sejarah, surat-surat, perjanjian, upacara, hukum, adat istiadat, dan sebagainya.
Teks melayu tertua yang ber-asal dari abad ke 16 yang te-patnya belum diketahui. Syed Naquib Al Attas menerbitkan buku The Oldest known Malay Manuscript: A 16th Century Translation of The Aqaid of Al Nasafi. Sebelumnya, pada tahun 1955, G.W.J. Drewes menerbitkan Een 16de eewse Maluse vertaling van de Burda van Al-Bu’siri. Keduanya meru-pakan terjemahan dari bahasa Arab ke dalam bahasa melayu dan termasuk sastra bernafas-kan Islam. (Ikram, 1997: 37)
Contoh:Ketakuti segala bahaya yang dari-
pada lapardan kenyang kejadiannya, karena
beberapa ver-Lapar terkeji dari makanan yang
tiadaCerna dalam sariranya (Burda bait
22).
Naskah lain misalnya naskah asal Raja-raja Sambas (aksara Arab dan Latin, bahasa Mela-yu, bahan kertas), yang ber-bentuk prosa tentang kisah sejarah Raja Sapudak yang memerintah di kota lama se-cara turun-temurun. Raja Fangah dari Brunei dikisah-kan pindah ke Sambas. Dia berput ra lima orang dan ma-sing-masing menjadi raja. (Susatio, 2006: 3) .
Kronik Maluku (aksara Arab, bahasa Melayu, bahan kertas), juga berbentuk prosa. Diawali dengan cerita keajaiban raja-raja Turki, China, Belanda, dan negeri-negeri lain, baru kemudian berisi kronik kepu-lauan Maluku.
Babad Lombok (aksara Jawa, bahasa Jawa, bahan kertas), naskah ini berbentuk macapat dan berisi sejarah Lombok yang dimulai dengan cerita nabi-na-bi, sampai kekalahan Lombok oleh kerajaan Karang asem.
Hikayat Aceh (aksara Arab, bahasa Arab dan Aceh, bahan kertas), naskah ini berbentuk prosa, berisi antara lain syair-syair pujian yang ditujukan kepada Nabi Muhammad. Se-lain itu juga berisi doa-doa.
Sureq Baweng atau Surat Nuri (aksara Bugis, bahasa Bugis, bahan lontar), naskah ini berbentuk prosa, berisi per-jalanan Sawerigading sewaktu mencari calon istri yang baik, dilengkapi cerita burung Nuri yang mengandung nasihat,
21Edisi 17 Tahun IX Desember 2011 21Edisi 17 Tahun IX Desember 2011
tata cara meminang seorang perempuan.
Naskah Carita Parahyangan (aksara Sunda Kuno, bahasa Sunda Kuno, bahan lontar), prosa terdiri atas 45 lempir dan tiap lempir terdiri atas empat baris tulisan. Cerita dimulai dari kisah Sang Resi Guru turun-temurun sampai raja-raja di Jawa Barat.
Sajarah Banten (aksara Arab, bahasa Jawa, bahan kertas) berbentuk macapat. Isinya tentang silsilah Nabi Muham-mad serta keturunannya. Riwayat Sunan Gunung Jati yang menurunkan sultan-sul-tan Banten juga diceritakan.
Pustaha Laklak (aksara Batak, bahasa Batak, bahan kulit kayu) berbentuk prosa, ter-diri atas 38 halaman. Berisi kisah Tuan Saribu Raja yang mempunyai banyak anak dan cucu. Diuraikan juga cara membuat benteng kekuatan diri, ramalan baik dan buruk, dan sesajen yang perlu dibuat setiap hari.
Naskah Japar Sidik (aksara Arab, bahasa Sunda, bahan kertas) berbentuk prosa. Isinya kata-kata mutiara ber-dasarkan ajaran agama Is-lam dan alam pikiran orang Sunda, seperti manfaat ber-musyawarah, hari yang baik untuk berburu dan bepergian, perdagangan, keturunan, dan sifat-sifat terpuji.
Tergambar bahwa naskah memiliki beragam jenis baha-
sa, isi, dan bentuk. Betapapun perlu upaya untuk memahami naskah-naskah kuno itu agar segala informasi tentang masa lampau sampai kepada gene-rasi masa kini dan masa men-datang.
Pada akhirnya, jika dalam pe-nyalinan terdapat kesalahan terjemahan atau pengalihan bahasa, maka itu terjadi kare-na ketidaktahuan kita ter-hadap kesalahan-kesalahan itu, hal tersebut yang men-jadikan perbedaan dalam me-mahami kondisi masyarakat dahulu (Robson,1994:31).
PENutuP
Penelitian tentang naskah-naskah Islam dan Melayu nusantara sangat berkaitan dengan proses Islamisasi. Para ulama pembawa mengarang naskah-naskah kegamaan dengan sarana yang masih sederhana namun mengemban isi yang sangat kaya. Keka-yaan itu ditunjukkan dengan kandungan naskah yang berisi tentang akidah, pujian kepada nabi, tasawuf, hubungan antar manusia, dan sebagainya da-lam bentuk hikayat, dongeng, macapat, dan sebagainya.
Perkembangan penelusuran naskah kuno hingga hari masih dilakukan, yang me-merlukan semangat, dana dan kekuatan akademis agar naskah-naskah kegamaan nu-santara dapat diselamatkan dari kepunahan. Semoga. e
DAftAR PuStAkA
Azra, Azyumardi, 1994. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Bandung: Mizan,
Departemen Pendidikan Na-sional, RUU Perpustakaan, Bab II.
Ikram, Akhadiati, 1997. Filo-logia Nusantara, Jakarta: Pustaka Jaya, Cet.1.
Munawar, Titi, dan Nindya Nugraha, 1996.Khazanah Naskah Nusantara (Maka-lah), Jakarta: Masyarakat Pernaskahan Nusantara,
Lubis, Nabilah, 2007. Naskah, Teks, dan Metode Pene-litian Filologi. Jakarta: Media Alo Indonesia, Cet. ke-3.
Oman Fathurrahman, 2006. Khazanah Naskah Banten. http//:www.naskahkuno.wordpress.com/2006.
Oman Fathurrahman, 2007. Khazanah Naskah Islam Nusantara. http//:www.naskahkuno.wordpress.com/2007
Robson, S.O. 1994. Prinsip-prinsip Filologi Indonesia, Jakarta: RUL
Susantio, Julianto, 2006. Naskah-naskah Kuno In-donesia di Manca Negara, Sinar Harapan
Sabili, Wawancara. Juni 2008.Yatim, Badri. 2000. Sejarah
Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Ce-takan ke-2.
22 23Edisi 17 Tahun IX Desember 2011 23Edisi 17 Tahun IX Desember 2011
Endah Ariani MadusariWidyaiswara Bahasa Indonesia
PPPPTK Bahasa
dengan Gaya Populer dan Mudah
23Edisi 17 Tahun IX Desember 2011 23Edisi 17 Tahun IX Desember 2011
Populer? Siapa yang tidak suka?
Hampir sebagian besar orang
pasti kenal dengan istilah ini.
Ya, populer artinya dikenal banyak
orang, mudah diingat karena ada ciri
khasnya. Dalam kepenulisan, popular
bisa juga berarti sangat mudah untuk
dipahami karena sesuai dengan kondisi
pengetahuan kebanyakan orang yang
membacanya. Tulisan yang menggunakan
gaya bahasa populer adalah tulisan
yang mengedepankan data-data, istilah,
dan bahasa yang biasa digunakan
kebanyakan orang pada umumnya.
Siapapun orangnya, ketika membaca
tulisan jenis populer akan lebih mudah
memahami maksud penulisannya.
Dengan kata lain, tulisan populer
memunyai jangkauan pembaca yang
sangat luas, bahkan bisa dikatakan tidak
terbatas. Itu sebabnya, tulisan dengan
gaya bahasa populer dan mudah lebih
banyak peminatnya dari pada tulisan
ilmiah.
Tulisan populer dan mudah sering
dijumpai pada bacaan harian umum
atau majalah umum. Di sana akan
banyak ditemukan jenis tulisan populer
yang biasanya akan terasa enak bila
dibaca. Sebab, selain menggunakan
pendekatan terhadap masalah yang
sedang banyak dibicarakan masyarakat,
juga menggunakan gaya bahasa yang
mudah dipahami semua orang. Silakan
baca tulisan di rubrik “opini” pada harian
umum dan majalah. Di sana akan banyak
pembaca temukan contoh-contoh tulisan
populer yang akan dapat memberi inspirasi
dalam tulisan kita.
Mungkin di antara pembaca ada yang
bertanya, “Bagaimana membuat tulisan
populer?” Sebelumnya saya yakinkan
kepada pembaca bahwa setiap orang
memiliki peluang untuk bisa menulis jenis
tulisan apapun. Semua itu bergantung pada
pendalaman seseorang terhadap masalah
yang dihadapinya. Juga kelihaian dalam
menuangkan rangkaian kata-kata tersebut
dalam sebuah tulisan.
Jadi, pastikan tulisan bergaya populer
yang kita tulis itu enak dibaca oleh
kelompok yang menjadi target sasaran kita.
Jangan menganggap tingkat pemahaman
kebanyakan pembaca sama dengan kita.
Artinya, jangan sampai tulisan yang kita
buat tidak dapat dipahami dengan taraf
berpikir calon pembaca utama kita. Hal ini
sebaiknya kita sadari.
Ada beberapa hal yang diperlukan dalam
menulis bergaya populer dan mudah.
Pertama, gunakan kosa kata dan istilah
yang lazim dipakai oleh kebanyakan
orang. Kedua, masalah yang dibahas
dalam tulisan kita usahakan yang sedang
menjadi pembicaraan hangat banyak
orang. Atau, boleh juga masalah yang
dibahas tidak harus ngetren, tetapi masih
diperlukan oleh banyak orang. Misalnya,
tentang tingginya tingkat kejahatan, jatuh-
bangun partai politik Islam, menurunnya
perhatian masyarakat terhadap pendidikan
dan sebagainya. Ketiga, gaya bahasa
24 25Edisi 17 Tahun IX Desember 2011 25Edisi 17 Tahun IX Desember 2011
yang digunakan mudah dipahami dan
disesuaikan dengan sasaran pembacanya.
Jadi, jika kita akan menulis di sebuah
harian umum nasional yang mayoritas
pembacanya kalangan intelektual, maka
gunakan bahasa populer dan mudah yang
cocok untuk kalangan tersebut. Begitu
pun jika sasaran tulisan itu untuk remaja,
gunakan gaya bahasa ‘kaumnya’.
Untuk menulis artikel populer, ada
beberapa tips dan saran sebagai berikut :
• Buatlahtulisanyangterstruktur;
Tulisan yang terstruktur yang
dimaksud memiliki kriteria sebagai
berikut:
a. Gunakan paragraf sederhana.
b. Gunakan kalimat baku maksimal
15 kata per kalimat dengan struktur
SPOK.
• Berempatilahpadapembaca;
Maksudnya, kita harus tahu betul
siapa pembaca tulisan kita. Oleh
karena itu, buat tulisan yang mudah
dipahami dan tidak menyiksa
pembaca. Pahami juga bahwa
pembaca tulisan kita itu beragam.
• Hindariistilahasing;
Gunakan istilah populer yang reliabel
dan rasional. Bandingkan antara
istilah unduh dan download atau
sangkil dan efektif. Istilah unduh dan
sangkil kurang populer dan mungkin
masih banyak yang belum mengerti
definisi istilah tersebut. Jika kita
menggunakan istilah download dan
efektif untuk menggantikan istilah
unduh dan sangkil pasti pembaca
25Edisi 17 Tahun IX Desember 2011 25Edisi 17 Tahun IX Desember 2011
akan lebih mengerti dan tidak
bingung.
• Buatlahtulisanyangbersifatkonkret
dan spesifik.
• Jelaskansecaradetaildanrelevan.
Sebuah tulisan memang dapat
mencerminkan “siapa” dan “bagaimana”
penulisnya. Karena menulis merupakan
keseluruhan rangkaian kegiatan
seseorang mengungkapkan gagasan/ide
melalui bahasa tulis kepada pembaca.
Kegiatan tersebut menuntut proses
pemikiran yang harus disertai suatu
kesadaran atau rasa ketertiban. Dengan
demikian,aktivitasmenulismemberikan
sumbangan besar terhadap kedisiplinan
dan kecerdasan. Apalagi karangan yang
baik biasanya ditulis disempurnakan
berulang-kaliataudirevisisebelum
dipublikasikan.
Jadi, dapatlah dikatakan bahwa kegiatan
menulis sangat dekat dan erat dengan
dunia pendidikan dan intelektualitas.
Bahkan karena sebuah tulisanlah suatu
kaum/daerah/bangsa/negara menjadi
terpandang atau tidak. Ini berarti
kegiatan menulis juga berkaitan dengan
perkembangan dan kemajuan peradaban
manusia.
Tulisan yang menarik adalah tulisan
yang mudah dipahami, dapat memberi
informasi, meyakinkan, sekaligus
menghibur pembacanya. Semoga apa
yang saya tulis di sini bermanfaat bagi
kita semua. Jika pembaca memiliki
ide, mulailah menulis sekarang, Selamat
menulis! e
Pustaka
Gie, The Liang. Terampil Mengarang .
Yogyakarta: Andi. 2003.
Semi, M. Atar. Menulis Efektif. Padang:
Angkasa Raya. 1990.
Wibowo, Wahyu. Enam Langkah Jitu agar
Tulisan Anda Makin Hidup dan Enak
Dibaca . Jakarta : PT Gramedia Pustaka
Utama. 2005.
26 27Edisi 17 Tahun IX Desember 2011 27Edisi 17 Tahun IX Desember 2011
Ah, Malaysia, bahasa Melayu! Pikiran itulah
yang pertama terlintas di benak setiap orang ketika mereka mengetahui penulis bertugas di Sabah, Malaysia. Tidak sepenuhnya benar ternyata. Walaupun Sabah termasuk salah satu dari sembilan negara bagian Malaysia, ia memiliki karakteristik bahasa Melayu tertentu (seperti dialek, kosakata, intonasi) yang agak jauh berbeda dengan bahasa Melayu 'populer' di negara-negara bagian lainnya di semenanjung. Banyak juga kosakata bahasa Melayu 'murni' yang tidak umum digunakan oleh penduduk Sabah
Ah, Malaysia, bahasa Melayu!
Pikiran itulah yang pertama
terlintas di benak setiap orang
ketika mereka mengetahui penulis
bertugas di Sabah, Malaysia. Tidak
sepenuhnya benar ternyata. Walaupun
Sabah termasuk salah satu dari
sembilan negara bagian Malaysia, ia
memiliki karakteristik bahasa Melayu
tertentu (seperti dialek, kosakata,
intonasi) yang agak jauh berbeda
dengan bahasa Melayu 'populer'
di negara-negara bagian lainnya di
semenanjung. Banyak juga kosakata
bahasa Melayu 'murni' yang tidak
umum digunakan oleh penduduk
darI hama sampaI jImat
Sebuah Catatan Perjalanan
Agus PurnomoStaf PPPPTK Bahasa
27Edisi 17 Tahun IX Desember 2011 27Edisi 17 Tahun IX Desember 2011
Sabah ketika berkomunikasi dalam
kehidupan sehari-hari, seperti kata-kata
'awak', 'I' dan 'You' sama sekali tidak
pernah terdengar terucap dari tindak tutur
mereka (paling tidak begitulah pengamatan
penulis), walau tentu saja bahasa “Sabah”
tersebut sebenarnya masih bahasa Melayu,
yang banyak dipengaruhi oleh bahasa
Bugis, dan (mungkin) bahasa-bahasa lokal
akibat pengaruh akulturasi yang besar dari
berbagai budaya luar, terutama dari suku
Bugis.
Dalam konteks bahasa Melayu yang
dipakai di perkebunan kelapa sawit,
pengaruh bahasa Bugis ini kental terasa
dalam penggunaan bahasa Melayu sehari-
hari. Bahkan orang Melayu lokal sendiri
pun (staf baru di perkebunan) sering
mendengar kata-kata Bugis yang asing bagi
pendengaran telinga mereka. Bagi penulis,
ketika baru mendengar kata-kata yang aneh
atau asing terdengar di telinga, seringkali
penulis tidak bisa membedakan secara jelas
kata-kata manakah yang merupakan kata-
kata Bugis dan manakah yang memang
bahasa Melayu.
Sementara bahasa Melayu (bahasa Malaysia)
sendiri, adalah persis seperti yang sering
diekspresikan oleh penyanyi tenar Siti
Nurhaliza atau orang-orang Malaysia
lainnya yang tak jarang tampil dalam
tayangan infotainment stasiuntelevisi
Indonesia. Contohnya, seperti dalam
ungkapan Budak-Budak Buas-nya Siti
Nurhalizaketikadiwawancaraiditelevisi.
Setelahbanyaktereksposolehmediavisual,
audio-visual,danjugainteraksidengan
penduduk “asli” Sabah, penulis menemukan
beberapa hal yang menarik dalam bahasa
Melayu secara umum dan bahasa Melayu di
Sabah, di antaranya adalah:
1. Penggunaan partikel bah dalam
tindak tutur penduduk Sabah (yang
28 29Edisi 17 Tahun IX Desember 2011 29Edisi 17 Tahun IX Desember 2011
penggunaannya tidak ditemukan dalam
bahasa Melayu murni di semenanjung).
Ia merupakan salah satu karakteristik
unik bahasa Melayu Sabah seperti dalam
kalimat Pinjamlah bah, atau Iyalah bah.
Partikel bah sendiri tidak memiliki arti
yang definitif tetapi lebih pada sifatnya
yang fungsional. Penggunaanya demikian
umum dan kerap sehingga penulis pun
terbawa menggunakannya dalam interaksi
dengan murid-murid di kelas.
“Haloo anak-anak jangan berisik baah.. kepala cikgu pening baah...”
2. Pengaruh bahasa Inggris terhadap bahasa
Melayu. Bahasa Melayu mengadopsi
kosakata bahasa Inggris dengan
berdasarkan pada sistem pelafalan dan
bukan ejaan. Contohnya, pada kata-
kata seperti tayar (tyre), wayar (wire),
“Bahasa melayu mengadopsI kosakata
Bahasa InggrIs dengan Berdasarkan
pada sIstem pelafalan dan
Bukan ejaan.”
29Edisi 17 Tahun IX Desember 2011 29Edisi 17 Tahun IX Desember 2011
karan (current), atau kompeni
(company). Masalahnya bagi penulis
adalah seringkali kata-kata tersebut
diucapkan dengan pengucapan yang
aneh terdengar di telinga sehingga
bahkan bagi orang yang cukup
mengenal bahasa Inggris sekalipun
tidak bisa langsung menangkap
dan memahami makna kata yang
dimaksud walaupun konteksnya
kadang cukup jelas.
“Tolong ambilkan hama, cikgu," seorang pekerja yang sedang membuat pintu kelas sekolah meminta tolong sang cikgu yang berdiri memperhatikan tak jauh dari tas alat-alat pertukangan. Sang pekerja berdiri di atas tangga.
“Apa?”
“Hama.”
“Hama? Apa itu hama?” tanya cikgu setengah tak percaya dengan penangkapan indera pendengarannya.
“Oh, palu cikgu, bahasa Indonesianya palu,” si pekerja mengoreksi kata-katanya setelah sadar dengan siapa ia bercakap-cakap.
Ternyata hama(r) itu palu. Diadopsi dari
bahasa Inggris hammer (palu). Pada
situasi lainnya ketika dua cikgu sedang
membicarakan rencana peringatan Hari
Guru di sekolah, cikgu asli Melayu
berkata,
“Tapi itu harus di-konpom dulu dengan Tuan Haris."
“Betul itu,” sang cikgu Indonesia menanggapi sambil manggut-manggut tanda setuju, tapi otaknya berputar-putar. Tak yakin dengan arti kata konpom.
Konpom? Apa ya? Dilihat dari konteksnya
kemungkinan besar arti konpom adalah
konfirmasi. Tak salah lagi, konpom =
konfirmasi = confirm (bahasa Inggris).
3. Perbedaan ungkapan bahasa Melayu
dan bahasa Indonesia yang terkadang
aneh tapi masih terkait erat secara nalar.
Ada sejumlah ungkapan bahasa Melayu
yang terdengar aneh setidaknya bagi
penulis ketika ia dipasangkan dengan
padanannya dalam bahasa Indonesia
(dan mungkin juga terdengar aneh
bagi orang Malaysia bila ia mendengar
padanannya dalam bahasa Indonesia).
Konteks sekali lagi memegang peranan
yang penting dalam memahami
maksudnya. Ungkapan-ungkapan
tersebut di antaranya adalah:
“Tambang bas lebih jimat daripada teksi.” (ongkos;bus;hemat)
“Teknologi yang mesra alam.” (ramah lingkungan)
“Jaringan itu berlaku pada masa kecedaraan.” (gol; injury time—dalam sepak bola)
“Banyak pemimpin parti pembangkang yang tak sedar diri.” (partai oposisi) “Dapatkan pekej pelangsingan badan percuma.” (paket; gratis)
“Mangsa kemalangan itu dibawa ke hospital.” (korban kecelakaan)
alam semulajadi = alam asri
kitar semula = daur ulang
“Padam papancikgu?”;“Bunuh keset cikgu?” (hapus;matikan)
“Pasukan Harimau Malaya tewas dalam perlawanan di Stadium Bukit Jalil semalam.” (kalah)
hari satu bulan = tanggal satu bulan (ini)
Pusat membeli belah = toko grosir/pasar swalayan
30 31Edisi 17 Tahun IX Desember 2011 31Edisi 17 Tahun IX Desember 2011
Jadi, jangan merasa jengah dulu (atau
bahkan geer) ketika di sebuah rumah sakit
seorang perawat mungkin akan berkata
kepada Anda, “Jangan khawatir Pakcik,
kami akan melayan dengan mesra.” (ramah)
“Berlindung, Cikgu...”
Sang cikgu pun berhenti menulis di papan tulis dan berbalik ke arah murid-muridnya, “Dari apa? Dari godaan setan yang terkutuk?”
“Bukan cikgu, tulisan di papan terhalang badan cikgu.”
“Ohh...”
Suatu ketika cikgu hendak memesan
tiket on-line di
sebuah kedai travel
agent. Setelah
melihat kalendar
dan menyatakan
tanggal-tanggal
yang hendak
dipesan tiketnya,
cikgu pun hendak
membayar tiket
tersebut. Petugas
travel, seorang
perempuan muda
yang ber-make-
up tebal dengan
wajahnya yang
cantik tapi tanpa
ekspresi itu bermaksud memastikan kembali
tanggal booking sang cikgu.
“Jadi Pakcik pesan lima hari bulan lima?”
Sang cikgu bengong sekejap dua kejap, tak tahu bagaimana hendak merespon pertanyaan yang ia sendiri masih bingung maksudnya.
“Ya betul, lima hari bulan lima.”
Sang cikgu pun akhirnya bisa meng-konpom
tanggal tersebut setelah sebelumnya
bertanya-tanya (dalam bahasa Indonesia
dengan kata-kata tentang tanggal) kepada
petugas itu, yang juga bengong tak kalah
bingungnya dengan si
cikgu.
Ternyata maksudnya
tanggal lima, bulan
Mei (lima hari bulan
lima);merekalebih
suka menyebut urutan
angka bulan daripada
menyebut nama
bulannya sendiri.
4. Penggunaan kata
Indon di kalangan
penduduk ladang.
Penulis datang ke
Malaysia dengan
asumsi di kepala
bahwa banyak
“Bahasa melayu mengadopsI Banyak kosakata Bahasa InggrIs dengan
Berdasarkan pada sIstem pelafalan, Bukan ejaan.”
31Edisi 17 Tahun IX Desember 2011 31Edisi 17 Tahun IX Desember 2011
orang Melayu memakai kata
Indon dengan konotasi yang
menghina dan merendahkan
warga negara Indonesia.
Setelah memperhatikan dengan
cermat selama beberapa
waktu, dapat disimpulkan
bahwa para penduduk ladang,
baik orang-orang Indonesia
maupun orang Melayu,
menggunakan kata Indon murni
karena alasan kepraktisan
(penyingkatan) kata, yaitu kata
Indonesia menjadi Indon,
tanpa berusaha menyiratkan konotasi
makna tertentu. Kata Indon yang
dipakai bisa dimaksudkan sebagai
negara Indonesia,segala sesuatu yang
bersifat keindonesiaan, ataupun orang
Indonesia. Contohnya seperti berikut:
“Itu handset cikgu beli di Indon 'kan?”
“Petang ini ada wayang Indon di TV1.”
“Kita orang Indon 'kah?”
Entah bagaimana dengan penggunaan
kata Indon di negara-negara bagian
Malaysia di semenanjung, yang jelas
sejauh pengamatan penulis (yang bisa jadi
subyektif) tidak ada konotasi negatif yang
melekat pada penggunaan kata Indon di
Sabah ini. Mungkin memang demikian
salahsatukarakteristikbahasa;iabagaikan
pisau tajam bermata dua yang fungsinya
bergantung pada pemakainya.
32 33Edisi 17 Tahun IX Desember 2011 33Edisi 17 Tahun IX Desember 2011
5. Kemiripan bahasa Melayu
dengan bahasa Indonesia.
Terlepas dari adanya
perbedaan-perbedaan
nyata antara bahasa
Melayu dan bahasa
Indonesia dalam hal
kosakata tertentu, dialek,
imbuhan, intonasi, pada
dasarnya kedua bahasa
tersebut memiliki tingkat
kemiripan yang tinggi jika
tidak bisa dibilang sama.
Hal ini bisa dirasakan
ketika penulis menyimak
program berita lokal
ditelevisi.Semuaisi
beritanya bisa dipahami
oleh penulis (padahal saat
itu penulis belum lama
tiba di Sabah). Walaupun
muncul juga kata-kata
aneh yang tidak familiar,
juga dialeknya yang
asing, secara keseluruhan
hal itu tidak mengganggu
pemahaman penulis
terhadap isi berita yang
disampaikan program
televisitersebut.
Media cetak berbahasa
Melayu seperti buku dan
majalah pun tak ketinggalan
“dilahap” penulis tanpa
menemui kendala yang
berarti dalam memahami
isinya karena begitu
mirip dengan bahasa
Indonesia. Justru menarik
untuk menemukan dan
membandingkan gaya-gaya
bahasa yang berbeda di
antara kedua bahasa tersebut
dalam media tulis.
Begitu pula ketika penulis
berkomunikasi dengan
penduduk asli Melayu
Sabah, tidak terdapat
jurang perbedaan yang
begitu lebar di antara
kedua bahasa yang dapat
mengganggu kelancaran
kami berkomunikasi.
Kalaupun memang terjadi
adanya perbedaan dalam
interaksi lintas bahasa
(dan budaya) itu, dengan
sedikit perhatian ekstra dan
context clues dari kedua
belah pihak penutur, hal itu
masih bisa diatasi. Mungkin
inilah yang dimaksudkan
sebagai fenomena bahasa
serumpun: serupa tapi tak
sama (ataukah sama tapi tak
serupa?). e
33Edisi 17 Tahun IX Desember 2011 33Edisi 17 Tahun IX Desember 2011
Dalam rangka mengembangkan
dan meningkatan kompetensi
tenaga widyaiswara (WI)
dan calon widyaiswara (CWI), PPPPTK
Bahasa mengirim beberapa WI dan
CWI untuk melaksanakan pelatihan
di Carl Duisberg Centren, Cologne,
Jerman. Materi pelatihan adalah metodologi
pembelajaran bahasa dan pembelajaran lintas
budaya. Para peserta melaksanakan kunjungan
ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Jerman untuk mendapatkan penjelasan
tentang sistem pendidikan di Jerman.
Metodologi Pembelajaran Bahasa dan Pengetahuan Lintas Budaya
di Carl Duisberg Centren
34 35Edisi 17 Tahun IX Desember 2011 35Edisi 17 Tahun IX Desember 2011
Selain itu, peserta juga melaksanakan
kunjungan ke beberapa sekolah yang
ada di Jerman, di antaranya High School
“Hansa Gymnasium” dan Bilingual
Primary School “Bilingo”. Diharapkan
dengan bertambahnya pengetahuan
tentang metode pendidikan bahasa
dapat meningkatkan pengetahuan dan
rasa percaya diri WI dan CWI pada saat
memberikan
materi pada diklat
guru bahasa.
Pengetahuan
budaya sangat
penting di dalam
pembelajaran
bahasa sehingga
dapat menghayati
budaya suatu
negara dari
bahasa yang
dipelajari.
Dalam pelatihan
ini, PPPPTK
Bahasa bekerja
sama dengan
CDC, Cologne, Jerman. CDC juga terdapat
di Berlin, Munich, dan Radolfzell di Danau
Constance. CDC adalah perusahaan
layanan terkemuka di bidang pelatihan
dan kualifikasi internasional. CDC
menyediakan pelatihan tentang bahasa
asing dan kompetensi antarbudaya. CDC
telah berpengalaman melaksanakan
35Edisi 17 Tahun IX Desember 2011 35Edisi 17 Tahun IX Desember 2011
pelatihan di luar negeri dengan keahlian
internasional untuk seluruh dunia. Selain
itu, CDC juga mengelola proyek-proyek
lintas pendidikan.
Nama lembaga ini dinisbahkan pada
industrialis Jerman Carl Duisberg
(1861—1935), yang pada tahun 1920-
an, membuat kontribusi besar terhadap
kualifikasi internasional eksekutif bisnis
dan staf junior lembaga ini. Dengan cara
ini, ia menciptakan dasar untuk komitmen
CDC yang sekarang sudah berlangsung
beberapa dekade. CDC bersertifikat di
bawah DIN EN ISO 9001 untuk menjamin
standar produk unggul uuntuk menjamin
keberhasilan pendidikan.
Sistem kursus yang diadakan di CDC
didasarkan pada kerangka umum acuan
Eropa untuk bahasa. Dilaksanakan tes
penempatan sebelum mulai kursus untuk
menentukan tingkat bahasa sebelumnya.
Kemampuan bahasa enam tingkat dari
A1, A2, B1, B2, C1, dan C2 ditawarkan di
CDC.
Pengembangan pengetahuan dan iptek
yang cepat menyebabkan perubahan-
perubahan dalam perkembangan
pendidikan. Untuk mengantisipasi hal
tersebut sumber daya manusia yang
memadai menjadi kebutuhan yang
mendesak.
Materi pelatihan pada Metodologi
Pembelajaran Bahasa yang didapat adalah
Language Proficiency, Media in Language
Teaching, dan Student Centered Learning.
Materi pelatihan tentang Pengetahuan Lintas Budaya adalah Intercultural Training and
Cross Cultural Awareness Training. [endahariani]
36 37Edisi 17 Tahun IX Desember 2011 37Edisi 17 Tahun IX Desember 201136 Edisi 16 Tahun IX Juni 2011
Ditulis ulang oleh Yusup Nurhidayat dari buku Komunikasi Jenaka karya Dr. Deddy Mulyana, M.A. (Bandung. Remaja Rosdakarya. 2003)
Kontes KecantiKan
Kisah berikut ini terjadi pada seorang peneliti
dari Eropa yang sedang berkunjung ke salah satu negara di daerah Afrika tengah. Si peneliti telah berbulan-bulan hidup di pedalaman hutan di negara tersebut. Karena ingin beristirahat dari kesibukan dan rutinitas pekerjaannya yang melelahkan, si peneliti memutuskan untuk mencari suasana lain dengan berjalan-jalan di daerah perkotaan di negara tersebut.
Seperti halnya di negara-negara dunia ketiga, kehidupan di negara itu pun terkesan kumuh, kotor, dan masyarakatnya hidup pas-pasan. Namun, di salah satu sudut kota, peneliti tersebut melihat suatu poster pengumuman sebuah kontes pemilihan wanita tercantik di kota tersebut.
Karena merasa kontes kecantikan merupakan ironi di sebuah negara miskin seperti itu, si peneliti tertarik untuk menghadirinya, karena acara
tersebut ternyata terbuka untuk umum.
Pada hari H, si peneliti akhirnya berangkat ke acara tersebut dengan tujuan iseng dan sedikit tujuan “cuci mata” karena dipikirnya dalam kontes kecantikan tentu akan ditampilkan wanita-wanita cantik dan seksi berbadan tinggi langsing dengan pakaian seadanya. paling tidak dia dapat melihat pertunjukan wanita-wanita seksi karena dia tidak mengharapkan dapat melihat wanita berkulit putih dan cantik seperti seleranya dan selera pria-pria bule lainnya.
Sebelum acara dimulai pun si peneliti sudah merasa nyaman. Dia dapat melihat wanita-wanita berkulit hitam dan coklat berbadan tinggi langsing dengan pakaian pesta di antara tamu-tamu yang hadir. Mendapatii kenyataan bahwa di antara tamu-tamu lainnya ternyata banyak juga wanita
pribumi yang dianggapnya cantik, semangatnya makin bertambah untuk segera melihat kontestan-kontestan pemilihan wanita tercantik tersebut.
Namun, ternyata saat semua kontestan sudah ditampilkan, si peneliti mendapatkan kenyataan yang aneh menurutnya. Hampir semua kontestan yang ada ternyata memiliki tubuh yang besar atau tambun dengan kulit yang sangat gelap. Dan akhirnya pemenangnya pun adalah wanita bertubuh gemuk dengan kulit hitam yang walaupun terbukti cerdas, tetap saja terlihat tidak begitu menarik menurut si bule ini.
Begitulah, ternyata kriteria wanita “cantik” di negara yang dia datangi tersebut berbeda 180 derajat dengan kriteria
37
lintasbudayabahasa
37Edisi 17 Tahun IX Desember 2011 37Edisi 17 Tahun IX Desember 2011Edisi 16 Tahun IX Juni 2011 37
cantik di daerah asalnya, Eropa. Sementara sebagian besar daerah di permukaan bumi ini berpandangan slim is beautiful, di daerah itu dia mendapati pandangan yang berbeda, yaitu big is beautiful. Di sana wanita gemuk diyakini selain akan mampu melahirkan banyak anak, juga merupakan simbol kemakmuran. []
orang Belanda vs orang australia
Ini suatu kisah nyata. Seorang sejawat Belanda, Paul,
mengunjungi Australia untuk
waktu cukup lama dan bekerja dalam organisasi kami. Bahasa
Inggrisnya lancar dan sangat ramah, bersahabat dan luwes yang punya banyak andil. Ia pun sering presentasi, menghadiri pertemuan dan kegiatan sosial.
Ia sering menghadapi kesulitan karena seperti yang dikatakan sejawat-sejawat Australianya, ia mengatakan ‘tepat apa yang dipikirkannnya tanpa mempertimbangkan perasaan orang lain’. Maksudnya adalah bahwa bila ia tidak ingin melakukan sesuatu, ia hanya mengatakan tidak tanpa penjelasan atau permohonanmaaf;ketikaia mengkritik orang lain, ia memberitahukannya tepat apa yang ia pikir salah tanpa kualifikasi. Ia pikir ia penolong,
dan tidak berbasa-basi. Orang Australia menganggapnya kasar.
Ketika segala sesuatunya bertambah tegang, seorang anggota junior organisasi, Jane, menduga-duga apa yang salah—ia sadar bahwa di Belanda, ucapan langsung lebih disukai, sementara dalam bahasa Inggris Australia, komentar negatif diramu dalam banyak kualifikasi dan pelembutan. Maka ia berbicara kepada Paul.
Jane: “ Paul, Anda tahu bahwa orang Australia terkadang punya stereotip buruk tentang orang Belanda?”
Paul: “Sungguhkah? Mengapa begitu?”
“Well, orang Australia mengira orang Belanda kasar karena mereka selalu mengatakan tepat apa yang mereka pikirkan. Mereka tidak melembutkan segala sesuatu untuk mempertimbangkan perasaan orang lain. Anda tahu, seorang pekerja Belanda dalam suatu bangunan mungkin berkata, ‘You put that scaffolding up badly’, sedangkan kami berkata seperti, ‘Perhaps you could think about strengthening up the scaffolding a bit’. Menakjubkan betapa kasar dan tidak pedulinya orang Belanda menurut dugaan orang Australia.”
“Sangat menarik. Saya heran mengapa mereka berpikir demikian,” jawab Paul.
jane memelihara gaya sopan Australia dengan mengkritik Paul dengan cara tidak langsung dan umum. []
serambifoto
Pembukaan Diklat Ujian Profisiensi Bahasa Mandarin
Workshop Pengembangan Modul Jarak Jauh Berbasis IT Tahap II.
Workshop Pengembangan Modul Jarak Jauh Berbasis IT Tahap I.
Pembukaan Diklat Metodologi Penelitian di PPPPTK Bahasa.
Workshop Pengembangan Bahan Ajar BERMUTU Jarak jauh Berbasis IT.
Workshop Replikasi Program Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan (PAKEM)
Sekolah Dasar.
In-House Training Housekeeping di lingkungan PPPPTK Bahasa.
serambifoto
Upacara bendera memperingati Hari Kesaktian Pancasila.
Pemotongan hewan kurban pada hari raya Idul Adha 1432 H.
Diklat Bahasa Indonesia SMP Daerah Terpencil.Diklat Bahasa Inggris SMP Daerah Terpencil.
In-House Training Bahasa Inggris bagi pegawai PPPPTK Bahasa.
40 40Edisi 17 Tahun IX Desember 2011
Edisi 17 Tahun IX Desember 2011
Diterbitkan olehPPPPTK BahasaKementerian Pendidikan dan Kebudayaan
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
PUSAT PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN BAHASA