pembangunan perikanan indonesia pasca reformasi

42
MAKALAH PEMBANGUNAN PERIKANAN PEMBANGUNAN PERIKANAN INDONESIA PADA “ REFORMASI “ (1998–2005–2006) Disusun oleh : Kelompok 3 Muhammad Ali Adya Dwi Cahya Wahyu Puji Lestari Beni Permadi Afri Herlambang Zen Arif Faisal Igan Hasuna Andhika Rahmanda Rahajeng Cahya Martha Nuzul P Sitty Ainsyah JURUSAN PERIKANAN

Upload: igan-alfiandra

Post on 17-Nov-2015

51 views

Category:

Documents


20 download

DESCRIPTION

Pembangunan perikanan, reformasi

TRANSCRIPT

MAKALAH PEMBANGUNAN PERIKANAN

PEMBANGUNAN PERIKANAN INDONESIA PADA REFORMASI (199820052006)

Disusun oleh :

Kelompok 3

Muhammad Ali

Adya Dwi Cahya

Wahyu Puji Lestari

Beni Permadi

Afri Herlambang

Zen Arif Faisal

Igan Hasuna

Andhika Rahmanda

Rahajeng Cahya

Martha Nuzul P

Sitty Ainsyah

JURUSAN PERIKANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2013

Sejarah Singkat

Sejak era reformasi bergulir di tengah percaturan politik Indonesia, sejak itu pula perubahan kehidupan mendasar berkembang di hampir seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara. Seperti merebaknya beragam krisis yang melanda Negara Kesatuan Republik Indonesia. Salah satunya adalah berkaitan dengan Orientasi Pembangunan. Di masa Orde Baru, orientasi pembangunan masih terkonsentrasi pada wilayah daratan.

Sektor kelautan dapat dikatakan hampir tak tersentuh, meski kenyataannya sumber daya kelautan dan perikanan yang dimiliki oleh Indonesia sangat beragam, baik jenis dan potensinya. Potensi sumber daya tersebut terdiri dari sumber daya yang dapat diperbaharui, seperti sumber daya perikanan, baik perikanan tangkap maupun budidaya laut dan pantai, energi non konvensional dan energi serta sumber daya yang tidak dapat diperbaharui seperti sumber daya minyak dan gas bumi dan berbagai jenis mineral. Selain dua jenis sumber daya tersebut, juga terdapat berbagai macam jasa lingkungan lautan yang dapat dikembangkan untuk pembangunan kelautan dan perikanan seperti pariwisata bahari, industri maritim, jasa angkutan dan sebagainya. Tentunya inilah yang mendasari PresidenAbdurrahman Wahiddengan Keputusan Presiden No.355/M Tahun 1999 tanggal 26 Oktober 1999 dalam Kabinet Periode 1999-2004 mengangkatIr. Sarwono Kusumaatmajasebagai Menteri Eksplorasi Laut.

Selanjutnya pengangkatan tersebut diikuti dengan pembentukan Departemen Eksplorasi Laut (DEL) beserta rincian tugas dan fungsinya melalui Keputusan Presiden Nomor 136 Tahun 1999 tanggal 10 November 1999 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Departemen. Ternyata penggunaan nomenklatur DEL tidak berlangsung lama karena berdasarkan usulan DPR dan berbagai pihak, telah dilakukan perubahan penyebutan dari Menteri Eksplorasi Laut menjadi Menteri Eksplorasi Laut dan Perikanan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 145 Tahun 1999 tanggal 1 Desember 1999. Perubahan ini ditindaklanjuti dengan penggantian nomenklatur DEL menjadi Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan (DELP) melalui Keputusan Presiden Nomor 147 Tahun 1999 tanggal 1 Desember 1999.

Dalam perkembangan selanjutnya, telah terjadi perombakan susunan kabinet setelah Sidang Tahunan MPR tahun 2000, dan terjadi perubahan nomenklatur DELP menjadi Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) sesuai Keputusan Presiden Nomor 165 Tahun 2000 tanggal 23 November 2000 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Wewenang, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Departemen.Kemudian berubah menjadi Kementerian Kelautan dan Perikanan sesuai dengan Peraturan Presiden No. 47 tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara, maka Nomenklatur Departemen Kelautan dan Perikanan menjadi Kementerian Kelautan dan Perikanan, sedangkan struktur organisasi pada Kementerian Kelautan dan Perikanan tidak mengalami perubahan.Rencana Strategis Pembangunan Kelautan dan Perikanan Tahun 2001 -2004Dalam memasuki millenium ke-3, bangsa Indonesia dihadapkan pada tantangan sekaligus peluang untuk menjadi bangsa yang maju, makmur, dan berkeadilan. Sementara itu dalam jangka pendek harus mampu keluar dari krisis ekonomi yang melilit bangsa Indonesia sejak pertengahan tahun 1997, yang terjadi akibat adanya penerapan kebijakan ekonomi makro yang kurang tepat, yakni kebijakan yang lebih mengembangkan sektor industri dengan teknologi tinggi dan mempunyai ketergantungan terhadap bahan baku impor. Untuk menghadapi hal tersebut, melalui Kepmen Kelautan dan Perikanan No 18 Th 2002 pemerintah melakukan re-orientasi kebijakan ekonomi makro yang lebih memberikan perhatian untuk mengembangkan industri yang berbasis pada sumber daya, yang memang merupakan keunggulan yang dimiliki Indonesia.Reorientasi tersebut didasarkan pada fakta fisik, bahwa dua per tiga dari wilayah Indonesia berupa laut dengan garis pantai sepanjang 81.000 km yang terdiri dari sekitar 17.508 pulau. Dengan gambaran potensi tersebut, salah satuentry-point untuk memulai dan melangsungkan pembangunannya adalah dengan pengembangan investasi di sektor perikanan dan kelautan, yang diyakini dapat menjadi industri yang kuat dan terintegrasi secara vertikal maupun horizontal. Terdapat5 (lima) kelompok industri kelautanyakni (1) industri mineral dan energi laut, (2) industri maritim termasuk industri galangan kapal, (3) industri pelayaran, (4) industri pariwisata, dan (5) industri perikanan. Berdasarkan pendekatan konsep pemasaran, 5 (lima) kelompok industri kelautan tersebut memiliki saling keterkaitan satu dengan lainnya, yakni (1) sebagian dari konsumen industri mineral/energi dan industri maritim adalah industri perikanan, pelayaran dan pariwisata, (2) sebagian dari konsumen industri pelayaran adalah industri perikanan dan pariwisata, dan (3) sebagian dari konsumen industri perikanan adalah industri pariwisata.Berdasarkan pendekatan sistem pasar tersebut, industri perikanan dapat diproyeksikan sebagai salah satu lokomotif pembangunan yang dapat menarik pertumbuhan ke-empat ke-empat industri kelautan lainnya. Oleh karenanya, untuk membangun industri kelautan yang tangguh diperlukan industri perikanan yang kuat. Dengan pandangan tersebut, sudah sewajarnya apabila pembangunan perikanan menjadi prime mover dalam sektor ini. Lebih-lebih dalam situasi krisis ekonomi, usaha perikanan mampu bertahan, bahkan dapat menyumbangkan penerimaan devisa negara, utamanya usaha perikanan yang menghasilkan komoditas ekspor. Dalam tahun 2000, devisa negara yang disumbangkan melalui usaha perikanan diperkirakan mencapai US$ 1,74 milyar atau naik sekitar 8,38% bila dibandingkan tahun 1999.Keberadaan sumber daya kelautan dan perikanan yang demikian besarnya merupakan peluang bagi sumber pertumbuhan ekonomi nasional dan wahana untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun demikian, permasalahan dan kendala yang dihadapi cukup besar dan tidak mudah untuk diatasi. Permasalahan utama yang dihadapi antara lain adalahpencemaran laut dan pembuangan limbah secara ilegal oleh negara lain, pencurian ikan, gejala penangkapan berlebih (over fishing), degradasi habitat pesisir (mangrove, terumbu karang, padang lamun, estuaria), konflik penggunaan ruang dan sumberdaya, belum tersedianya teknologi kelautan dan perikanan secara memadai, terbatasnya sumber permodalan yang dapat digunakan untuk investasi, dan kemiskinan yang masih melilit sebagian besar penduduk di wilayah pesisir, khususnya petani ikan dan nelayan skala kecil.

Permasalahan tersebut muncul antara lain sebagai akibat dari paradigma pembangunan masa Orde Baru yang lebih berorientasi ke darat (terresterial)yang menyebabkan pengalokasian segenap sumberdaya pembangunan lebih diprioritaskan pada sektor-sektor daratan.Apabila peluang dan prospek yang terbuka dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya, dan permasalahan yang masih dihadapi dapat diatasi secara bertahap, maka bukan suatu pilihan yang salah jika sektor kelautan dan perikanan dijadikan andalan pertumbuhan ekonomi nasional di masa depan. Apalagi sektor kelautan dan perikanan dalamjangka pendekdiketahui sebagai sektor yang mampu memberikan dampak terhadap kegiatan produksi dari sektor lain(Output Multiplier)dan peningkatan pendapatan masyarakat(Income Multiplier). Disamping itu, dalam jangka panjangsektor ini juga mempunyaiketerkaitan ke belakang (Backward Linkage)danketerkaitan ke depan (Forward Linkage)yang cukup besar terhadap kegiatan produksi sektor lain.Memperhatikan hal tersebut, pemerintahan memberikan perhatian yang cukup besar terhadap sektor ini, antara lain diwujudkan dengan dibentuknyaDepartemen Eksplorasi Laut dan Perikanan (DELP) yang selanjutnya berubah menjadi Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP).Perubahan nomenklatur tersebut memberikan arti yang cukup penting, karena dengan perubahan tersebut, DKP diharapkan mampu mendayagunakan seluruh potensi pembangunan kelautan dan perikanan secara optimal.Berkaitan dengan hal itu, DKP sebagai suatu organisasi dalam pelaksanaannya merumuskanstrategi pembangunan agar tujuan organisasi sebagaimana yang diharapkan dapat tercapai. Beberapa aspek yang menjadi pertimbangan dalam penyusunan strategi pembangunan kelautan dan perikanan yang merupakan bagian dari prosesPerencanaan Strategis (RENSTRA) sebagaimana tertuang dalam Kepmen Kelautan dan Perikanan No 18 Th 2002,yaknimodal dasar (yang antara lain meliputi potensi sumberdaya alam, SDM, IPTEK, dan peraturan perundangan), tantangan dan masalah yang masih dihadapi hingga saat ini, instrumental input (antara lain GBHN, PROPENAS), dan lingkungan strategis (baik global maupun regional). Semua aspek tersebut selain digunakan sebagai dasar pertimbangan untuk menetapkan strategi, juga untuk menetapkan visi, dan misi serta kebijakan operasional pembangunan kelautan dan perikanan.A. Kebijakan dan Strategi

Pembangunan kelautan dan perikanan ke depan, selain diharapkan dapat mengatasi permasalahan yang ada di sektor kelautan dan perikanan, juga dapat meningkatkan kontribusi terhadap pembangunan ekonomi nasional yang antara lain meliputi peningkatan pendapatan nelayan dan petani ikan, serta masyarakat pesisir lainnya, penyerapan tenaga kerja, kesempatan berusaha, dan memperkuat ketahanan pangan nasional, serta penerimaan devisa negara melalui pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan termasuk jasa-jasa kelautan. Di sisi lain pembangunan kelautan dan perikanan dituntut untuk menjaga kelestarian sumber dayanya.Memperhatikan hal tersebut diatas, makakebijakan umum pembangunan kelautan dan perikananadalah sebagai berikut:a. Berorientasi pada kepentingan nasional;b. Constraint-based development. Setiap kegiatan pembangunan di wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, dan lautan harus memenuhi kriteria pembangunan berkelanjutan (sustainable development);c. Pendekatan pembangunan berdasarkan pendekatan wilayah terpadu(integrated regional approach);d. Berorientasi pada pemberdayaan kelembagaan dan masyarakat (seluruhstake holderkelautan dan perikanan);e. Semaksimal mungkin meminimkan beban anggaran negara.Dengan kebijakan seperti itu, makastrategipembangunan kelautan dan perikananyang akan ditempuh adalahsebagai berikut:a. Memanfaatkan sumber daya dan jasa kelautan dan perikanan secara optimal, efisien, dan berkelanjutan;b. Memberdayakan sosial-ekonomi masyarakat kelautan dan perikanan;c. Menerapkan penggunaan IPTEK yang ramah lingkungan dan manajemen profesional pada setiap mata rantai usaha bidang kelautan dan perikanan;d. Mengembangkan dan memperkuat jaringan ekonomie. Mengembangkan dan memperkuat sistem informasi kelautan dan perikanan;f. Membangun dukungan kebijakan fiskal dan moneter yang kondusif;g. Meningkatkan pengawasan dan pengendalian sumber daya kelautan dan perikanan;h. Merehabilitasi ekosistem habitat pesisir dan laut;i. Mengembangkan sistem dan mekanisme hukum serta kelembagaan nasional dan internasional;j. Menanamkan wawasan kelautan kepada seluruh masyarakat.Kebijakan dan strategi pembangunan tersebut diatas, merupakan acuan bagi setiap bidang pembangunan kelautan dan perikanan, sebagai berikut :

1. Perikanan

Perikanan sebagai prime mover pembangunan sektor kelautan dan perikanan, memiliki potensi besar terutama dalam :a. Peningkatan penerimaan devisamelalui perluasan ekspor hasil perikanan;b. Peningkatan penerimaan negara dan daerahmelalui pemanfaatan sumber daya ikan dan peningkatan pelayan publik;c. Perbaikan gizi masyarakatmelalui peningkatan konsumsi ikan;d. Peningkatan pendapatan nelayan dan petani ikanmelalui pemberdayaan sosial ekonomi masyarakat;e. Peningkatan kesempatan kerjamelalui pengembangan industri perikanan.Untuk mewujudkan hal tersebut, maka kebijakan pembangunan perikanan ke depan lebih ditekankan padapengendalian perikanan tangkap, pengembangan budidaya perikanan dan peningkatan nilai tambah melalui perbaikan mutu dan pengembangan produkyang mengarah pada pengembangan industri kelautan dan perikanan yang terpadu berbasis masyarakat.Strategi yang ditempuh adalah peningkatan daya saing komoditas perikanan yang di dukung dengan peningkatan sumber daya manusia serta pemberian akses dan kesempatan yang sama pada seluruh pelaku usaha di bidang perikanan,sehingga mampu menghadapi persaingan global di tengah peningkatan tuntutan dan kebutuhan masyarakat dengan berbagai dimensinya.Kebijakan pengendalian perikanan tangkap pada wilayah perairan yang sudah padat tangkap(over fishing),pengembangannya ke depan akan makin dilakukan dengan prinsip kehati-hatian dengan membatasi penambahan upaya(effort)penangkapan sekaligus mendorong nelayan dapat beralih ke kegiatan pembudidayaan ikan atau usaha pengolahan khususnya melalui pengembangan mutu produk.Pada daerah padat tangkap peningkatan mutu akan lebih di dorong guna memberikan penghasilan lebih besar bagi para nelayan/pengusaha ikan. Sedang pada wilayah perairan yang masih potensial, seperti pada perairan KTI dan ZEEI, peningkatan produksi akan dilakukan secara selektif sesuai denganJumlah Tangkapan Yang Dipernolehkan (JTB)dan memperhitungkan prinsip - prinsip kelestarian sumber daya ikan.Upaya pengembangan perikanan tangkap pada kedua wilayah tersebut, sekaligus dikaitkan dengan upaya pemberdayaan nelayan/pengolah ikan skala kecil yang ditujukan untuk meningkatkan pendapatannya melaluipeningkatan produktivitas usaha penangkapan, perbaikan mutu dan pemasaran hasil produksinya. Upaya tersebut akan dilakukan komprehensif sesuai kebutuhan mereka, dengan tetap memperhatikan nilai-nilai budaya yang sudah melekat pada komunitas nelayan serta menjunjung tinggi kemartabatannya. Dalam kaitan ini,kelompok sasaran (Target Group)yang ingin dicapai adalah para Nelayan Pemilikyang mengusahakan kapal/perahu berukuran < 10 GT,Nelayan BuruhdanPengolah Ikan Skala Kecil.Pemberdayaan nelayan pemilikakan difokuskan pada upaya (1) perbaikan harga ikan melalui pembinaan pelelangan dan inisiasi penetapan harga dasar, (2) peningkatan produktivitas usaha melalui peningkatan efisiensi, penggunaan alat tangkap dan alat bantu penangkapan yang lebih efektif, (3) peningkatan nilai tambah melalui palkanisasi, penggunaan cool box dan es, perbaikan wadah untuk penjualan dan pengangkutan ikan, penyediaan air bersih, perbaikan penanganan ikan sejak di tangkap di pelabuhan perikanan dan pemsaran. Sedangpemberdayaan nelayan buruhakan diarahkan pada upaya (1) perbaikan sistim bagi hasil, (2) penatapan upah minimal, dan (3) pemberian alternatif usaha, misalnya pembuatan alat tangkap dan alat bantu penangkapan, usaha budidaya ikan, pengolahan atau usaha penangkapan dengan membentuk kelompok usaha bersama (KUB). Adapunpemberdyaan pengolah ikan skala kecilakan diarahkan pada upaya perbaikan mutu, melalui peningkatan sanitasi unit pengolahan dan penerpan teknologi tepat guna.Pola pemberdayaan yang menyentuh langsung pada pengembangan usaha nelayan tersebut di atas akan diterapkan melalui pemberian bantuan kredit bergulir, yang disertai dengan bimbingan dan pelatihan. Bantuan tersebut akan disalurkan melalui bank pelaksana yang bertindak sebagai Chanellin kepada kelompok sasaran secara selektif dengan sistim berkelompok (KUB). Sedangkan pengembaliannya akan disesuaikan dengan kemampuan penerima kredit yang didasarkan atas hasil musyawarah bersama antara seluruh anggota KUB dan pembina.Di samping penangkapan ikan di laut, kegiatan penangkapan ikan di perairan umum juga akan tetap di perhatikan, karena mempunyai potensi yang cukup besar jika dikelola dengan baik. Selain itu, untuk menunjang kerjasama bilateral dan multilateral di bidang perikanan, maka dalam rangka pengelolaan sumber daya perikanan, akan diupayakan keanggotaan Indonesia dalam organisasi regional/internasional.Kebijakan dan strategi pengembangan perikanan tangkap sebagaiman diuraikan diatas, dilakukan melalui pendekatan ke wilayahan(Integrated Regional Approach). Oleh karena itu, untuk memudahkan dalam pengelolaan dan pengembangan perikanan tangkap perlu disusun rencana tata ruang yang menggabungkan wilayah daratan (khususnya pesisir) dan lautan dengan memperhatikan keterpaduan antar sektor dalam bentukWilayah Pengembangan dan Pengelolaan Perikanan dan Kelautan (WAPPEL).WAPPEL merupakan suatu wilayah homogen yang dibatasi berdasarkan keseragaman internal oleh satu atau lebih kriteria tertentu dan memperhatikan koherensi atau kesatuan keputusan-keputusan sosial, ekonomi, budaya, fisik dan pertahanan keamanan.WAPPEL dibagi berdasarkan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, ekonomi wilayah, sarana dan prasarana yang tersedia, hingga sosio kultural dan sistem kelembagaan masyarakat lokal. Dari setiap WAPPEL dapat ditentukan kawasan prioritas yang dapat merupakan kawasan unggulan, kawasan kritis, kawasan tertinggal maupun kawasan perbatasan. Dalam kaitan ini, kelembagaanForum Koordinasi Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumber daya Ikan (FKPPS)yang ada dapat dikembangkan, disertai dengan pengembangan sistem informasi antar daerah yang memadai sebagai wahana pengendalian dan pengelolaannya.Kebijakan pembudidayaan perikanan ke depan merupakan prioritasyang harus dikembangkan. Untuk mewujudkan hal tersebut perlu didukung dengan adanyakepastian tata ruang wilayah dan peruntukan lahan, jaminan kondisi perairan dan lingkungan yang cukup baik, sehingga layak untuk pengembangan usaha budidaya.Usaha lain yang perlu dilakukan adalah menangani masalah perbenihan sehingga dapat tersedia benih dalam jumlah, mutu dan harga yang memadai dan tersedia setiap saat diperlukan, melalui pengembanganSistem Perbenihan Nasionalbeserta sistem pengendalian dan pengawasan mutu benih.Berkaitan dengan hal tersebut diatas, langkah-langkah yang ditempuh dalam pengembangan pembudidayaan ikan antara lain adalah (1) peningkatan produksi dan produktivitas lahan budidaya melalui kegiatan intensifikasi, ekstensifikasi, diversifikasi dan rehabilitasi, yang disertai dengan peningkatan prasarana budidaya berupa saluran irigasi tambak, (2) pengembangan teknologi dan kualitas sumber daya manusia, (3) peningkatan kapasitas kelembagaan antara lain melalui penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundangan budidaya perikanan, pembangunan dan rehabilitasi UPT, peningkatan eselon Balai/Loka Budidaya, pembangunan Balai Induk Ikan(Broadstock Center)di tingkat Pusat, serta pengalihan tugas dan fungsi Balai Benih Ikan Sentraldi Propinsi menjadi Balai Induk Ikan Daerah, dan (4) pengendalian dan pengawasan pembangunan perikanan budidaya antara lain melalui zoning lahan, pengaturan pemberian ijin usaha, pengaturan ekspor dan impor benih/induk dan sarana produksi, pengendalian sumber daya induk alam, pengembangan sistem sertifikasi benih, sertifikasi sarana produksi lainnya, operasional pengawas benih, pengawas budidaya dan pengendali hama dan penyakit ikan serta menerapkan Good Fish Farming Management Practise danGood Legal and Institutional Arrangements.Upaya-upaya tersebut dilakukan dengan pendekatan pembangunan kawasan budidaya yang bermuara pada penciptaan kesisteman usaha budidaya yang efisien, berkelanjutan dan berkeadilan.Kebijakan di bidang perikanan tangkap maupun budidaya diikuti dengan kebijakan di bidang pasca panen dan pemasaran dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan mutu ikan. Dalam kaitan iniakan dilanjutkan penerapan sistemProgram Manajemen Mutu Terpadu(PMMT)yang merupakan mekanisme pengawasan mutu dengan metodaHazard Analysis Critical Control Point (HACCP). Upaya ini akan diikuti dengan pengembangan dan diversifikasi produk.Sejalan dengan upaya peningkatan mutu hasil perikanan, akan ditingkatkan kapasitas dan kapabilitas sarana laboratorium yang meliputiBalai Bimbingan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (BBPMHP)sebagai laboratorium acuan serta 37Laboratorium Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (LPPMHP)yang tersebar di 26 Propinsi dalam rangka akreditasi. Upaya lain yang akan dilakukan dalam rangka peningkatan mutu hasil perikanan antara lain kampanye bulan mutu untuk meningkatkansense of quality, penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI), pengembangan sistem rantai dingin, diseminasi teknologi, sosialisasi peraturan perundangan di bidang pembinaan dan pengawasan mutu.2. Pengawasan dan Pengendalian Sumber DayaKebijakan pengendalian penangkapan dalam rangka mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan disertai dengan upaya peningkatan pengawasan dan pengendalian sumber daya kelautan dan perikanan melalui penerapansistem Monitoring, Controlling,danSurveillance (MCS),yang merupakan bagian integral dari rencana pengelolaan perikanan(fisheries management plan).

Selain itu dikembangkan pulaSistem Pengawasan Masyarakat(SISWASMAS)berikut sistem, prosedur, dan tata hubungan kerja antara kelompok masyarakat dengan aparat penegak hukum. Guna menjamin terlaksananya pengawasan secara efisien dan efektif, maka koordinasi, sinkronisasi dan kerjasama pengawasan dengan instansi terkait akan lebih ditingkatkan. Selain itu untuk lebih meningkatkan kinerja aparat pengawasan dan kepastian karier, jabatan fungsional pengawasan akan segera dioperasionalkan disertai dengan perangkat pendukung untuk operasionalnya.Beberapa kendala dalam upaya mengefektifkan pelaksanaan pengawasan adalah adanya keterbatasan kuantitas, kualitas dan kelembagaan pengawas sumber daya ikan serta keterbatasan landasan hukum bidang pengawasan. Oleh karenanya peningkatan kuantitas maupun kualitas aparat pengawas, baik di bidang teknis perikanan (termasuk kapal dan jenis alat tangkap), penataan kembali kelembagaan pengawas maupun pengembangan di bidang hukum (peraturan perundang-undangan) akan diprioritaskan. Selain itu, ruang kantor bagi aparat pengawas di lapangan (pelabuhan) sebagai prasarana yang menunjang kinerja pengawasan akan segera diwujudkan.Sarana pengawasan sepertiLog BookPerikanan, LLO, alat ukur mata jaring, detektor, alat komunikasi, kapal patroli (sarana apung) maupun peralatan lainnya akan mendapat perhatian dan diprioritaskan pengadaannya. Format dan isian log book perikanan akan lebih disempurnakan lagi dengan mempertimbangkan kemampuan nakhoda dalam pengisiannya. Oleh karenanya guna menjamin tertibnya pelaksanaan pengisian log book perikanan, akan dikaitkan dengan peraturan pemberian izin dan akan diberikan sangsi yang tegas terhadap pihak yang tidak mematuhi, termasuk terhadap pelanggaran peraturan perundangan lainnya yang telah ditetapkan.Dalam rangka lenih meningkatkan ketertiban, ketaatan dan tanggung jawab dalam pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan, maka perlu ditingkatkan penaatan dan penegakan hukum yang lebih tegas dan berwibawa. Selain itu pemantauan dengan sistem satelit akan dikaji lebih mendalam, utamanya berkenaan denganbenefit/cost-nya, dan apabila memungkinkan akan diterapkan dalam pelaksanaan pengawasan.3. Pengelolaan dan Pengembangan Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau KecilKawasan pesisir merupakan salah satu kawasan yang memiliki produktivitas hayati tertinggi. Oleh karena itu berbagai ekosistem paling produktif di dunia, seperti mangrove, padang lamun, dan terumbu karang, tumbuh dan berkembang di wilayah pesisir. Ekosistem-ekosistem tersebut menjadi tempat penijahan(spawning grounds)dan tempat asuhan(nursery grounds)bagi kebanyakan biota laut tropis, seperti ikan, udang, kepiting, dan moluska. Dengan demikian, untuk mendukung kelestarian(sustainability)dan produktivitas usaha perikanan, maka upaya yang perlu dilakukan adalah memelihara daya dukung dan kualitas lingkungan kawasan pesisir. Untuk itu dalam pengelolaan dan pengembangan wilayah pesisir, pulau-pulau kecil dan lautan agar hasilnya dapat optimal, perlu dilakukan secara terpadu melalui pendekatan kewilayahan.Kebijakan yang ditempuh dalam pengelolaan dan pengembangan wilayah pesisir, pulau-pulau kecil dan lautan diarahkan pada 5 (lima) hal pokok yakni (1) peningkatan efisiensi pemanfaatan ruang pesisir dan laut, (2) pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil secara terpadu dan berkelanjutan, (3) perlindungan dan pelestarian sumber daya alam, (4) peningkatan dan pengkayaan mutu sumber daya alam pesisir dan laut, dan (5) pemberdayaan masyarakat pesisir.Peningkatan efisiensi pemanfaatan ruang pesisir dan laut dilakukan melalui penataan ruang kawasan pesisir dan laut. Dalam kaitan ini antara lain akan dilakukan penyusunan peraturan perundangan penataan ruang pesisir, laut dan pulau-pulau kecil yang melibatkan masyarakat dan para pakar di bidangnya, yang akan diikuti dengan penyusunan sistem dan prosedur pemantauan dan evaluasinya. Untuk mendapatkan hasil yang optimal, sistem dan prosedur panataan ruang pesisir dan laut ini akan disosialisasikan kepada masyarakat.Pengelolaan pulau-pulau kecil secara terpadu dan berkelanjutan yang berbasis masyarakat diarahkan selain untuk memanfaatkan potensi sumber daya alam yang ada di sekitar pulau-pulau kecil tersebut juga untuk memberdayakan masyarakat sekitarnya. Berkaitan dengan hal tersebut, sebagailangkah awal dalam pengelolaan pulau-pulau kecil telah disusunPedoman Umum Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil yang Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat,yang diikuti dengan penyusunan juklak dan juknisnya.Kebijakan perlindungan dan pelestarian sumber daya alam hayati laut dan ekosistemnya diarahkan pada pengelolaan kawasan konservasi laut, suaka perikanan dan biota perairan langka.Khusus yang berkaitan dengan kawasan konservasi laut terutama diarahkan pada 6 taman nasional laut, taman wisata laut dan cagar alam laut. Upaya yang dilakukan melalui kebijakan ini antara lain adalah penyusunan peraturan pengalihan kewenangan pengelolaan kawasan konservasi laut, inventarisasi dan penilaian potensi calon kawasan konservasi laut, pengelolaan kawasan konservasi laut, pemantapan koordinasi pengelolaan kawasan konservasi hidupan liar biota laut/air tawar, pengembangan informasi dan promosi kawasan konservasi laut, serta pengembangan daerah penyangga kawasan konservasi laut.Peningkatan dan pengkayaan mutu sumber daya alam pesisir dan laut ditempuh melalui rehabilitasi ekosistem pesisir dan laut yang mengalami kerusakan serta pengkayaan sumber daya, karena rehabilitasi habitat dan ekosistem, pengendalian pencemaran laut akibat aktivitas di daratan, dan mitigasi bencana alam. Kebijakan ini dilakukan karena banyak di antara ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil yang telah mengalami kerusakan dan degradasi mutu akibat penggunaan yang salah, penerapan teknologi yang merusak, pemanfaatan berlebih, polusi dan pengotoran sampah.Penyelamatan ekosistem mencakup konservasi dan rehabilitasi. Sedang pengkayaan ekosistem mencakup antara lain transplantasi, reboisasi, pemasangan rumpon, pemasangan terumbu buatan(artificial reefs), padang lamun buatan(artificial seagrass),dan manipulasi lingkungan biotik dan fisik yang sesuai untuk kehidupan dan pertumbuhan jenis organisme tertentu. Pengendalian pencemaran laut ditujukan untuk menetralkan, mengurangi dan mengantisipasi dampak aktivitas di daratan terhadap tingkat pencemaran laut. Kegiatan yang akan dilakukan antara lain adalah mengidentifikasi aktivitas di daratan terhadap pencemaran laut, dan melaksanakan langkah-langkah koordinasi dan langkah nyata dalam upaya menetralkan dan mengurangi dampak aktivitas di daratan terhadap pencemaran di laut.Mitigasi bencana alam ditujukan untuk menetralkan, mengurangi dan mengantisipasi dampak bencana alam yang terjadi di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Kegiatan yang akan dilakukan antara lain membangun sistem peringatan dini(early warning system) terhadap kejadian-kejadian alam yang akan terjadi, pembuatan peta kawasan yang sensitif terhadap bencana, dan penanggulangan bencana yang terjadi di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil.Kebijakan pemberdayaan sosial ekonomi masyarakat pesisir dilakukan dalam rangka meningkatkan pendapatan dan kesejahteraannya yang memang masih tergolong miskin. Oleh karena itu, upaya yang dilakukan harus bersifat holistik yang mencakup berbagai aspek kehidupan dan kegiatan ekonomi penduduk. Pemberdayaan masyarakat miskin di daerah pesisir yang tidak memiliki agunan dan jaminan perbankan, akses pasar, akses terhadap sistem permodalan skala kecil dan prosedur formal akan dilakukan dengan pendekatan sistemGrameen Bank, di samping akan ditingkatkan kemampuan dan keterampilan usaha melalui penguasaan teknologi.4. Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan PemasaranPeningkatan kapasitas kelembagaan daerah dilakukan antara lain melalui penetapan batas wilayah laut daerah dan implementasi kewenangan daerah di laut yang masing-masing perlu dituangkan dalam Peraturan Pemerintah, serta memfasilitasi peningkatan pelayanan. Hal ini penting dilakukan mengingat dalam pelaksanaannya, daerah perlu mengembangkan pola kerjasama antar daerah dan antara daerah dengan pusat sebagai tindak lanjut dari UU No 22 Tahun 1999.Program kerjasama antar daerah di wilayah laut dimaksudkan untuk mengoptimalkan pengelolaan perairan, di samping menghindari terjadinya tumpang tindih kewenangan, benturan kepentingan, sengketa dan pelanggaran yang perlu diselesaikan melalui kerjasama antar daerah.Di samping program-program tersebut di atas, dalam rangka peningkatan kepasitas kelembagaan dilaksanakan pula program pemberdayaan sumber daya manusia, program pengendalian persaingan usaha, program pengembangan industri kelautan dan perikanan, program pengembangan kelembagaan perdagangan/ pemasaran, program pengembangan sistem ekonomi kelautan dan perikanan wilayah, program audit kapasitas pengusahaan sumber daya kelautan dan perikanan, dan program pengembangan sistem permodalan dan investasi usaha skala menengah dan besar, serta program kerjasama internasional.Berkaitan dengan penguatan kapasitas kelembagaan pemasaran dikembangkan program pengembangan jaringan pemasaran dan distribusi, baik nasional maupun internasional yang difokuskan pada pengembangan keunggulan daya saing yang berkelanjutan atausustainablecompetitive advantage.Program ini antara lain dilakukan melalui kegiatan identifikasi tata niaga dari beberapa produk perikanan, pangsa pasar, pesaing utama, serta posisi produk dan atau produsen di pasar nasional dan internasional; mengembangkanmarket demanddi dalam negeri dan memperkuat basis-basis produksi dan distribusi, mengembangkanmarket demanddan akses ke pasar internasional, meningkatkan promosi di dalam dan luar negeri dan kerjasama pemasaran, serta mengembangkanmarket intelligence,dan mengembangkan kebijakan pengaturan di bidang pemasaran nasional dan internasional atauregulatory policies, seperti pemberian insentif.5. Pengembangan Riset dan Teknologi Kelautan dan PerikananKebijakan dan strategi pengembangan riset dan teknologi kelautan dan perikanan dilakukan dalam rangka mendukung kebijakan pemanfaatan dan pengembangan potensi sumber daya kelautan dan perikanan, yang meliputi penyerasian riset dan teknologi, pelaksanaan dan pelayanan riset dan teknologi, penyediaan data dan informasi, serta peningkatan kemampuan sumber daya manusia kelautan dan perikanan. Berkaitan dengan hal itu, program yang dikembangkan terdiri dari riset perikanan tangkap, riset perikanan budidaya, riset teknologi kelautan, riset wilayah laut dan sumber daya non hayati, dan riset pengolahan produk dan sosek kelautan dan perikananyangdisesuaikan dengan karakteristik wilayah atau perairan tertentu.Riset perikanan tangkap di laut dan perairan umum meliputi pengkajian potensi dan sebaran sumber daya perikanan dan plasma nutfah ikan laut dan lingkungannya serta pengkajian dan pengembangan tata penangkapan. Riset perikanan budidaya dititik beratkan pada pengembangan lahan budidaya dan pendayagunaan sumber daya budidaya yang meliputi bio produksi, pakan, hama dan penyakit serta ekosistem budidaya.Riset teknologi kelautan diarahkan pada pengembangan model sistem pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya pesisir, kelautan dan perikanan serta pengawasan dan perlindungannya. Program riset wilayah laut dan sumber daya non hayati terutama diarahkan pada riset pengelolaan wilayah laut yang meliputi ZEEI, perairan nusantara di atas 12 mil, alur laut kepulauan, serta perairan internasional untuk kepentingan penataan pemanfaatan wilayah laut berikut sumber dayanya. Sedangkan riset sumber daya non hayati diarahkan pada riset pengembangan dan pemanfaatan sumber daya fisik laut (arus, suhu, gelombang, dan salinitas), selain itu pemahaman akan kondisi fisik laut sangat diperlukan dalam mendukung pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan yang berwawasan lingkungan.Riset pengolahan produk dan sosek kelautan dan perikanan diarahkan pada pemanfaatan hasil perikanan di bidang fisiologi lepas panen, rekayasa serta rancang bangun alat dan proses untuk keamanan produk, diversifikasi, peningkatan hasil nilai tambah serta peningkatan mutu produk. Sedang program riset sosek diarahkan pada bidang perikanan tangkap, budidaya, pengolahan produk, teknologi kelautan serta pemanfaatan sumber daya non hayati dan wilayah laut.6. Data dan InformasiDalam rangka menunjang perencanaan pembangunan kelautan dan perikanan, ketersediaan data yang akurat dan tidak kadaluarsa menjadi salah satu faktor penting. Statistik perikanan yang ada saat ini dirasakan masih belum menyajikan data perikanan yang cukup akurat, lengkap dan detail, terutama untuk budidaya. Oleh karena itu untuk memenuhi kebutuhan data perikanan akan dikaji penyempurnaan statistik perikanan dan pemisahan data perikanan tangkap dan budidaya, serta membangunSistem Informasi Kelautan dan Perikanan Terpadu (SIKPT)beserta jaringannya antara pusat dan daerah.7. Pengembangan Sumber Daya ManusiaPengembangan sumber daya manusia dicapai melalui peningkatan daya nalar dan produktivitas kerjanya. Dalam kaitan ini fokus utama diarahkan pada peningkatan penguasaan IPTEK kelautan dan perikanan, penguasaan kualitas keterampilan dan dukungan sarana prasarana diklat yang sesuai dengan standar internasional.Dalam strata pendidikan formal, pendidikan lebih diprioritaskan untuk mengembangkan pendidikan Sekolah Usaha Perikanan Menengah dan pendidikan tinggi non-gelar (diploma), yang lebih diarahkan untuk peningkatan profesi dan bisnis dengan mengembangkan kurikulum mengacu standar internasional, seperti STCW-F 1995.Pengembangan sumber daya manusia aparatur pemerintah dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan dengan tujuan (1) mengisi kecukupan dan kebutuhan pegawai dari semua unit kerja di pusat dan daerah, baik dalam jumlah maupun kualitasnya berdasarkan hasil analisis jabatan, (2) meningkatkan profesionalisme pegawai melalui pendidikan formal dalam rangka penjenjangan maupun latihan-latihan kejuruan untuk peningkatan keterampilan teknis dan manajerialnya, dan (3) meningkatkan motivasi, disiplin dan semangat kerja melalui perbaikan-perbaikan di bidang kepegawaian, seperti dalam bentuk penghargaan, perencanaan karier pegawai secara lebih baik.8. Karantina IkanKebijakan karantina ikan diarahkan dalam rangka (a) melindungi kelestarian sumberdaya alam hayati perikanan, (b) meningkatkan daya saing komoditas perikanan di pasar internasional dan pasar dalam negeri, (c) meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat, serta (d) mendorong partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan kegiatan karantina ikan.Untuk itu langkah operasional yang akan dilaksanakan antara lain adalah (a) mengupayakan pengembangan kelembagaan karantina ikan pada tingkat unit-unit pelaksana teknis (UPT), agar pelaksanaan tugas pokok dan fungsi karantina dapat berjalan lebih efektif, (b) melaksanakan peraturan perundangan karantina ikan secara tepat dan tegas, dan mempersiapkan Peraturan Pemerintah serta peraturan-peraturan pelaksanaan UU Nomor 16 tahun 1992, (c) mengembangkan kualitas dan kuantitas SDM karantina ikan, (d) mengembangkan sarana dan prasarana karantina ikan melalui pendekatan dan kerjasama yang baik dengan instansi perencana, instansi pengelola anggaran dan pihak swasta yang berkepentingan dengan pelaksanaan tindak karantina, (e) meningkatkan kerjasama dalam dan luar negeri dengan instansi-instansi terkait lintas sub sektoral maupun lintas sektoral, dan hubungan dengan negara-negara lain secara bilateral, regional dan multilateral, (f) menerapkan sistem karantina ikan terpadu yang meliputi kegiatan pra karantina, karantina, pasca karantina dan kawasan karantina, di samping pengawasan terhadap plasma nutfah yang dilarang dikeluarkan dari dalam negeri.Impor komoditas perikanan dilakukan secara selektif dengan mempertimbangkan situasi hama dan penyakit ikan di negara asal, proses produksi dan proses tindak karantina yang dilakukan di negara asal. Sedangkan ekspor harus memperhatikan persyaratan yang berlaku di negara tujuan. Ekspor dilaksanakan dengan pola pendekatan mutu (quality assurance approach). Pemeriksaan kondisi kesehatan produk yang akan diekspor dimulai dari tahap produksi sampai dengan produk tersebut siap dipasarkan sehingga hasilnya lebih dapat dipertanggungjawabkan. Untuk kegiatan karantina ikan antar area/domestik dilaksanakan dengan mempertimbangkan tingkat resiko jenis hama & penyakit ikan yang terdapat pada suatu area. Pada daerah-daerah yang beresiko rendah, tindak karantina dilaksanakan di daerah asal, sedangkan di daerah penerima tidak diperlukan tindak karantina. Sedangkan untuk daerah-daerah beresiko tinggi, tindak karantina dilakukan baik di daerah asal maupun di daerah penerima.9. Pengawasan PembangunanKebijakan pengawasan pembangunan DKP terutama diarahkan untuk mencapai sasaran audit yang meliputi kegiatan yang strategis (policy audit), masalah-masalah nasional, bidang-bidang yang rawan terhadap kebocoran dan penyimpangan, serta prioritas yang menjadi perhatian Menteri.B. Telaah Permasalahan Mikro - Teknis1. Tingkat kemiskinan nelayan yang tinggiMasalah utama dalam bidang kelautan dan perikanan adalah tingkat kemiskinan nelayan, khususnya perikanan tangkap,dan masyarakat pada umumnya yang sangat tinggi apabila dibandingkan dengan profesi lainnya di bidang pertanian.Hal ini terlihat dari kondisi wilayah pesisir yang identik dengan kekumuhan dan ketertinggalan. Kemiskinan struktural masyarakat pesisir yang terjadi, merupakan resultante dari berbagai masalah-masalah lainnya yang akan diuraikan sebagai berikut.2. Rendahnya produktivitasDalam perikanan tangkap, rendahnya produktivitas nelayan disebabkan karena tiga faktor utama, yakni (1) sebagian besar nelayan masih merupakan nelayan tradisional dengan teknologi penangkapan yang tradisional pula, sehingga kapasitas tangkapnya rendah, (2) adanya ketimpangan tingkat pemanfaatan stok ikan antara satu kawasan dengan kawasan perairan laut lainnya.Di satu pihak, terdapat kawasan-kawasan perairan yang stok ikannya sudah mengalami kondisioverfishing, dan sebaliknya masih cukup banyak kawasan yang tingkat pemanfaatan sumberdaya ikannya belum optimal, dan (3) telah terjadinya kerusakan lingkungan ekosistem laut, seperti kerusakan hutan mangrove, terumbu karang, dan padang lamun, yang merupakan habitat ikan dan organisme laut lainnya, berpijah, mencari makan, atau membesarkan diri (nursery ground). Kerusakan lingkungan laut ini juga disebabkan oleh pencemaran, baik yang berasal dari kegiatan manusia di darat maupun di laut.Sementara itu dalam usaha budidaya perikanan, faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya produktivitas, yakni (1) kemampuan teknologi budidaya sebagian besar petani ikan masih rendah, (2) kompetisi penggunaan ruang (lahan perairan) antara usaha budidaya perikanan dengan kegiatan pembangunan lainnya (pemukiman, industri, pertambangan, dan lainnya) pada umumnya merugikan usaha budidaya perikanan, dan (3) semakin memburuknya kualitas air sumber untuk budidaya perikanan, khususnya di kawasan padat penduduk atau tinggi intensitas pembangunannya.3. Gejala tangkap lebih dan masalah kapal asingBerkaitan dengan gejalaoverfishingdi beberapa kawasan, jenis stok sumberdaya perikanan yang telah mengalamioverfishingadalah udang (hampir mengalamioverfishingdi seluruh perairan Indonesia, kecuali Laut Seram sampai Teluk Tomini, Laut Sulawesi, Samudera Pasifik, dan Samudera Hindia),ikan karang (mengalamioverfishingdi perairan Laut Jawa, Selat Makasar dan Laut Flores, Laut Banda, Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik serta Samudera Hindia);ikan demersal (mengalamioverfishingdi perairan Selat Malaka, Selat Makasar dan Laut Flores, Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik serta Laut Arafura); ikan pelagis kecil (mengalamioverfishingdi perairan Selat Malaka dan Laut Jawa);ikan pelagis besar (mengalamioverfishingdi perairan Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik); lobster (mengalami overfishingdi perairan Selat Makasar dan Laut Flores);Cumi-cumi (mengalamioverfishingdi perairan Selat Malaka, Laut Jawa, Selat Makasar, Laut Flores dan Laut Arafura).Kondisi tersebut menjadi permasalahan tersendiri bagi pengelolaan sumberdaya perikanan Indonesia. Mengingat kemampuan nelayan-nelayan kita masih sangat terbatas sehingga sulit melakukan ekspansi penangkapan pada perairan ZEEI.Masalah lain yang terkait dengan produksi perikanan tangkap adalah tentangpencurian ikanoleh nelayan dan kapal asing. Sebenarnya kalau ditelusuri lebih jauh ternyata terjadinya surplus hasil penangkapan ikan ke pihak asing tidak lepas dariperan berbagai pihak, baik pengusaha maupun aparat, melalui beberapa mekanisme sebagai berikut: (1) pihak asing seolah-olah memiliki hutang kepada mitra bisnisnya di Indonesia, melalui putusan pengadilan, pihak asing tersebut diharuskan membayar hutangnya dengan menggunakan kapal ikan ekscharteryang izinnya telah habis, (2) kapal ikan ekscharteratau kapal yang baru dimasukkan dari luar negeri dikamuflase seolah-olah kapal produksi dalam negeri, (3) pengusaha Indonesia melakukan impor kapal melalui prosedur sesuai ketentuan, namun transaksi impor tersebut tidak benar-benar terjadi karena tidak melakukan pembayaran, dan (4) pengusaha Indonesia melakukan impor kapal melalui prosedur sesuai ketentuan, namun dengan harga yang dibuat semurah-murahnya. Hal tersebut juga telah menyebabkan kerugian negara sebesar US$ 1,362 milyar per tahun.Kondisi tersebut diatas, antara lain disebabkan masih belum optimalnya pengendalian pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan, yang antara lain disebabkan (1) kurangnya sarana dan alat penegakan hukum di laut yang menyebabkan intensitas dan efektifitas monitoring serta pengawasan menjadi berkurang; (2) pengendalian pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan ditangani oleh berbagai instansi, sehingga memerlukan koordinasi; (3) belum diberdayakannya Petugas Pengawas Sumberdaya Ikan (WASDI) dan Pengawas Kapal Ikan (WASKI) secara optimal.4. Masalah kawasan pesisir dan pulau-pulau kecilKendala dan permasalahan yang terjadi di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil antara lain sebagai berikut :1) Kerusakan fisik habitat ekosistem wilayah pesisirKerusakan fisik habitat ekosistem wilayah pesisir di Indonesia umumnya terjadi pada ekosistem mangrove, terumbu karang dan rumput laut. Terumbu karang Indonesiadengan luas total sekitar 82.000 km2, yang masih berada dalam kondisi sangat baik hanya 6,20%, dalam kondisi rusak (41,78%), kondisi sedang (28,30%), dan kondisi baik (23,72%). Hal yang sama juga terjadi pada ekosistem hutan mangrove. Selama periode 1982 - 1993 telah terjadi penurunan luas hutan mangrove dari 5,21 juta Ha menjadi 2,5 juta Ha. Hilangnya mangrove dan rusaknya sebagian terumbu karang telah mengakibatkan terjadinya erosi pantai. Beberapa kegiatan yang diduga menyebabkan terjadinya erosi pantai antara lain, pengambilan pasir untuk reklamasi pantai, pembangunan bandara (lapangan udara), hotel dan kegiatan-kegiatan lain yang bertujuan untuk menutup pantai dan perairannya.2) Pencemaran di beberapa kawasan pesisir dan lautanTingkat pencemaran di beberapa kawasan pesisir dan lautan Indonesia pada saat ini berada pada kondisi yang memprihatinkan. Sumber utama pencemaran pesisir dan lautan berasal dari darat (land-based pollution sources), yaitu kegiatan industri, kegiatan rumah tangga, dan kegiatan pertanian. Sumber pencemaran juga berasal dari berbagai kegiatan di laut (marine-based pollution sources), terutama dari kegiatan perhubungan laut dan kapal pengangkut minyak (oil tanker), dan kegiatan pertambangan.3) Konflikpenggunaan ruang di kawasan pesisirKonflik penggunaan ruang di kawasan pesisir dan lautan sering terjadi karena belum adanya aturan jelas tentang penataan ruang sebagai acuan sektor berkepentingan.4) Terhambatnya koordinasi antara unsur terkaitPersoalan lain yang dihadapi dalam pengelolaan sumberdaya pesisir adalah kurangnya koordinasi dan kerjasama antar pelaku pembangunan dan sekaligus pengelola di kawasan tersebut, baik antara pemerintah, swasta dan masyarakat. Kurangnya koordinasi antar pelaku pengelola terlihat dalam berbagai kegiatan pembangunan di kawasan pesisir yang dilakukan secara sektoral oleh masing-masing pihak.5) Minimnya perhatian pembangunan di kawasan pulau-pulau kecilSelama+30 tahun, pulau-pulau kecil kurang atau tidak tersentuh oleh kegiatan-kegiatan pembangunan. Akibatnya, pulau-pulau kecil sebagian besar dihuni oleh SDM produktivitasrendah, seperti orang-orang tua, anak-anak dan perempuan. Angkatan kerja produktif pindah ke kota-kota besar atau ibu kota propinsi dan kabupaten yang memiliki prasarana dan sarana yang lebih baik. Meski di beberapa tempat terdapat kegiatan pembangunan di pulau-pulau kecil, kegiatan tersebut cenderung merusak lingkungan dan memarjinalkan penduduk lokal.5. Rendahnya kemampuan penanganan dan pengolahan hasil perikananDiakui bahwa kemampuan teknologi pasca panen (penanganan dan pengolahan) produk perikanan sesuai dengan selera konsumen dan standardisasi mutu produk secara internasional (seperti HACCP, persyaratan sanitasi, dan lainnya) masih lemah.Sebagai contoh, Thailand yang volume produksi ikan tunanya di bawah Indonesia, ternyata nilai ekspor produk ikan tuna olahannya jauh melampaui nilai ekspor Indonesia, karena Thailand sangat inovatif dan kreatif dalam mencari nilai tambah melalui berbagai teknologi pengolahan ikan tuna, yang antara lain meliputi: (1) Sashimi, sushi (fresh); (2)Frozen; (3) Loin; (4)Fish Cake; (5) Surimi; (6)Canning; (7)Fish Oil; (8)Salted Fish; (9)Fish Meal; (10)Fish Ball; (11)Tuna Sausage; (12)Tuna Hamdan (13)Fish Crackers.6. Lemahnya kemampuan pemasaran produk perikananPemasaran komoditas perikanan Indonesia di pasar dalam negeri maupun ekspor, sebagian besar masih ditentukan oleh para pembeli/konsumen (buyer market).Hal ini mengakibatkan harga jual produk perikanan seringkali kurang menguntungkan pihak produsen (nelayan atau petani ikan).Ada dua faktor utama yang membuat pemasaran produk perikanan Indonesia masih lemah.Pertama, lemahnyamarket intelligenceyang meliputi penguasaan informasi tentang pesaing, segmen pasar, dan selera (preference) para konsumen.Kedua, belum memadainya prasarana dan sarana sistem transportasi dan komunikasi untuk mendukung distribusi atau penyampaian (delivery) produk perikanan dari produsen ke konsumen secara tepat waktu.7. Tidak stabilnya harga-harga faktor produksiPanjangnya rantai pemasaran dalam proses pembelian faktor-faktor produksi berakibat pada besarnya beban harga yang harus dibayar nelayan. Selain itu, krisis moneter juga telah meningkatkan harga-harga kebutuhan nelayan. Bagi nelayan penangkap ikan yang produksinya tidak berorientasi ekspor, keadaan demikian telah menurunkan tingkat hidup dan kesejahteraannya.Akibat melonjaknya dollar, harga mesin dan alat tangkap perikanan yang merupakan barang impor, membumbung tinggi. Harga jaring udang berukuran 1,5 inchi meningkat dari Rp 27.500 per piece menjadi Rp 75.000-80.000, mesin Yanmar 10,5 PK misalnya naik dari Rp 2,5 juta menjadi Rp 5 juta.8. Pengembangan teknologi, data dan informasiKeterbatasan teknologi informasi menyebabkan sumber daya yang tersedia tidak dapat teridentifikasi secara memadai. Data dan informasi tentang kelautan dan perikanan masih tersebar dan belum tertata dengan baik dalam suatu sistem jaringan, sehingga sulit mengaksesnya untuk menetapkan suatu kebijakan. Selain itu tingkat akurasi dan validasinya juga masih diragukan.C. Telaah Permasalahan Makro Struktural1. Ekonomi makro yang belum kondusif bagi kemajuan perikananSebagai suatu sistem aquabisnis, keberhasilan perikanan tidak hanya ditentukan oleh tiga sub-sistem utamanya, yakni: (1) produksi, (2) pasca panen (penanganan dan pengolahan), dan (3) pemasaran; tetapi juga oleh sub-sistem penunjangnya yang meliputi; a) prasarana dan sarana, b) finansial (keuangan), c) sumberdaya manusia dan IPTEK, dan d) hukum dan kelembagaan. Kebijakan pemerintah di ketujuh sub-sistem (bidang) aqubisnis perikanan dinilai secara umum belum mendukung kemajuan pembangunan perikanan.Berikut ini diuraikan beberapa contoh kelemahan kebijakan perikanan yang mendasar.Pertama, belum ada tata ruang yang mengakomodir lahan usaha budidaya perikanan sebagai kawasan khusus/tertentu yang mendapat perlindungan dari konversi dan bahaya pencemaran, serta pengaturan penjarangan (spacing) usaha budidaya perikanan di suatu kawasan.Kedua, belum ada kebijakan tentang kredit murah dan lunak, misalnya bunga sekitar 10% seperti untuk KUT, untuk mendukung usaha perikanan tangkap, budidaya, ataupun industri pengolahan.Ketiga, tidak terpenuhinya investasi yang seharusnya dibutuhkan di sektor perikanan dan sulitnya melakukan investasi.2. Sistem hukum dan kelembagaan perikanan yang masih lemahUntuk dapat menerapkan kebijakan pembangunan perikanan diperlukan instrumen hukum dan kelembagaan yang memadai.Kesepakatan pakar dan pengamat pembangunan perikanan dari dalam maupun luar negeri, bahwa implementasi dan penegakkan hukum (law enforcement) bidang perikanan di Indonesia dinilai masih lemah. Sanksi hukum bagi perusak lingkungan masih terlalu ringan, seperti bagi pengguna bahan-bahan peledak, bahan beracun (cyanida), dan juga aktivitas penangkapan ikan secara ilegal, penambangan karang untuk bahan bangunan, reklamasi pantai, kegiatan pariwisata yang kurang bertanggungjawab, dan seterusnya. Di sisi lain, terjadi juga tumpang tindih (over lapping)kebijakan yang seringkali menimbulkan konflik kewenangan. Tidak dapat dipungkiri bahwa pengelolaan wilayah-wilayah tersebut ditangani lebih dari satu departemen yang tentu saja memiliki kepentingan yang berbeda. Padahal hubungan ekologis-biologis dan ekonomi daerah pesisir, pantai, laut, sungai maupun danau saling terkait satu dengan lainnya.3. Permasalahan yuridiksi

Keterpaduan pembangunan untuk kepentingan satu kawasan sering kali macet akibat dari egoisme lokal terhadap kepentingan pembangunan wilayah lain. Konflik lingkungan atau sumberdaya alam yang kerap terjadi antar kabupaten adalah gambaran bagaimana otonomi hanya dipahami oleh kabupaten secara sempit dan primordial. Contoh konkretnya seperti desentralisasi pengaturan kewenangan daerah dalam pengelolaan laut melalui pasal 3 dan 10 UU No. 22/1999 malah justru membuka ruang pengkavlingan wilayah laut oleh daerah-daerah yang memiliki wilayah laut yang bahkan memicu timbulnya konflik nelayan.Menjelang pelaksanakan Pemilu 2004, Departemen Dalam Negeri (Depdagri) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melakukan revisi terhadap UU No. 22/1999. Tanggal 29 September 2004 bersamaan dengan berakhirnya masa jabatan anggota DPR periode 1999-2004, Sidang Paripurna DPR menyetujui rancangan perubahan (revisi) terhadap UU No. 22/1999 menjadi UU No. 32/2004. Tanggal 1 Oktober, anggota DPR baru hasil pemilu 2004 dilantik. Secara de facto DPR pemilu 1999 sudah kehilangan relevansinya untuk menyusun dan mengagendakan pembahasan kebijakan yang sangat krusial. Pemerintahan hasil pemilu 2004 telah terbentuk.Di antara polemik terhadap proses penyusunan serta perdebatan atas substansinya, keluarnya UU No. 32/2004 diyakini sebagai upaya mengatur kembali hubungan kekuasaan dan pembagian kewenangan serta kelembagaan Pemerintah Daerah sebagai hasil revisi Undang-Undang Otonomi Daerah sebelumnya. Substansi undang-undang ini pada hakikatnya menentukan 16 urusan wajib untuk provinsi dan kabupaten/ kota, dan selain itu provinsi maupun kabupaten/ kota mendapat kewenangan untuk menangani urusan yang bersifat pilihan, meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pengelolaan sumberdaya yang dimilikinya. Dalam konteks pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan, UU No. 32/2004 juga mengatur batas-batas kewenangan daerah dalam mengelola sumber daya di wilayah laut. UU No. 32/2004 menyatakan bahwa daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut. Daerah mendapatkan bagi hasil atas pengelolaan sumberdaya alam di bawah dasar dan/ atau di dasar laut sesuai dengan peraturan perundang-undangan.Kewenangan daerah untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada UU No. 32/2004 Pasal 18 ayat (1) meliputi: a) eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut; b) pengaturan administratif c) pengaturan tata ruang; d) penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah Pusat dan Provinsi; e) ikut serta dalam pemeliharaan keamanan; dan f) ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara. Kewenangan untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling jauh 12 mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/ atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota.

Istilah kewenangan daerah untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut, bukan batas laut daerah mengacu pada kewenangan untuk hanya mengelola sumberdaya laut, bukan untuk menguasai secara penuh wilayah laut yang mana hal itu berbeda dari kekuasaan daerah atas wilayah darat. UU No. 32/2004 juga menegaskan secara eksplisit dalam batang tubuhnya tentang aktivitas penangkapan ikan oleh nelayan kecil/ tradisional. Dijelaskan disana bahwa aktivitas penangkapan ikan oleh nelayan kecil tidak dibatasi oleh adanya pengaturan wilayah kewenangan daerah di laut. Dengan kata lain, penangkapan ikan oleh nelayan kecil boleh melewati garis batas kewenangan daerah di laut.Hal yang cukup menarik pada UU No. 32/2004 yang membuat pengaturan tentang yurisdiksi laut provinsi (12 mil) dan kabupaten/ kota (empat mil) mengindikasikan bahwa produk hukum itu menganut konsep pengkavlingan laut. UU No. 32/2004 sebenarnya merupakan entry point penerapan territorial use right. Konsep pengkavlingan laut merupakan instrumen dari konsep regulasi akses terkontrol (controlled access regulation) dalam pola pembatasan input (territorial useright).

Regulasi akses terkontrol lebih dipertegas lagi dalam UU No. 31 /2004 tentang Perikanan yang terdiri dari 17 bab dan 111 pasal. Undang-undang tentang Perikanan ini mempunyai beberapa substansi pokok meliputi aspek pengelolaan perikanan, usaha perikanan serta penyerahan sebagian urusan dan tugas pembantuan sektor perikanan dari Pemerintah Pusat dan Provinsi kepada Pemerintah Kabupaten sekaligus penarikannya kembali yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Dalam undangundang ini, aspek pengelolaan perikanan mendapat penekanan cukup kuat yang diatur kurang lebih dalam 19 pasal.Apabila dikaji lebih dalam, pasal-pasal tersebut pada intinya mengatur sistem pengelolaan sumberdaya perikanan berdasar pendekatan hak-hak memanfaatkan sumberdaya perikanan (fishing right) yang implementasinya diwujudkan dalam regulasi akses terkontrol demi tercapainya manfaat yang optimal dan berkelanjutan serta terjaminnya kelestarian sumberdaya ikan termasuk aturan-aturan pembatasanpembatasan. Pasal 7 misalnya menjabarkan regulasi akses terkontrol yang dapat berupa (1) pembatasan input (input restriction), yakni membatasi jumlah pelaku, jumlah jenis kapal, dan jenis alat tangkap, (2) pembatasan output (output restriction), yakni membatasi berupa jumlah tangkapan bagi setiap pelaku berdasarkan kuota.

Salah satu formulasi dari pembatas input itu adalah territorial use right yang menekankan penggunaan fishing right dalam suatu wilayah tertentu dalam yurisdiksi yang jelas. Pola fishing right system ini menempatkan pemegang fishing right yang berhak melakukan kegiatan perikanan di suatu wilayah, sementara yang tidak memiliki fishing right tidak diizinkan beroperasi di wilayah itu. Selain diatur siapa yang berhak melakukan kegiatan perikanan, juga diatur kapan dan dengan alat apa kegiatan perikanan dilakukan. Sistem yang menjurus pada bentuk pengkavlingan laut ini menempatkan perlindungan kepentingan nelayan kecil yang beroperasi di wilayah pantai-pesisir serta kepentingan kelestarian fungsi sumberdaya sebagai fokus perhatian.

Lebih ambisius lagi, ketika kebijakan revolusi biru tidak hanya terjadi pada perikanan tangkap, tetapi juga sektor perikanan budidaya, khususnya pertambakan udang yang dimulai sejak tahun 1980-an, meskipun tidak berlangsung lama. Awal 1990-an, masa kejayaan pertambakan udang berangsur berakhir, khususnya di sepanjang Pantai Pulau Jawa.

Pembangunan Perikanan SBY-JK

Pemerintahan SBY-JK mengacu pada UU nomor 32 tahun 2004 setelah melakukan pergantian dari UU nomor 22 tahun 1999. Problematika pengelolaan perikanan yang timbul akibat penerapan UU 22/1999, yang sedianya diharapkan dapat memfasilitasi munculnya sebuah perbaikan terhadap sistem pengelolaan yang berlaku pada masa itu. Kemudian UU 32/2004 pada saat ini dapat dianggap sebagai sebuah harapan baru bagi upaya penyempurnaan sistem pengelolaan perikanan di Indonesia (Ma'ruf & Agus, 2005). Pokok-pokok pasal pengelolaan sumberdaya laut pada UU 32/2004 terlihat antara lain pada ketentuan-ketentuan tentang: batas pengelolaan laut propinsi selebar 12 mil dari pantai (pasal 3), lautkabupaten selebar 3 mil dari pantai (pasal 10:3), kewenangan eksplorasi, eksploitasi, konservasidan pengelolaan kekayaan di dalamnya (pasal 10:2), kewenangan yang juga menyangkut peraturan administratif dan tata ruang, kerjasama antar daerah (pasal 87:1 -4) dan penyelesaian perselisihan antar daerah (pasal 89).Kebijakan pembangunan perikanan meliputi, (1) pengelolaan sumberdaya perikananberkelanjutan; (2) pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan petani dan nelayan; (3) peningkatanpenyediaan bahan pangan sumber protein hewani dan bahan baku industri di dalam negeri dan ekspor;(4) penciptaan lapangan kerja dan kesempatan berusaha yang produktif; (5) peningkatan kualitassumberdaya manusia; (6) penciptaan iklim yang kondusif bagi peran masyarakat serta dunia usaha; dan(7) pemulihan dan perlindungan potensi sumberdaya perikanan dan lingkungannya. (Anggoro, 2005).Kebijakan pemerintah memiliki batasan waktu dan lingkungan serta dalam suatu bataskewenangan dari suatu aktor politik atau pemerintah dan merupakan suatu respon terhadap suatukondisi atau suatu permasalahan tertentu yang berusaha ditangani atau diselesaikan (Widodo, 2001).

Potensi kelautan yang ada tidak dapat dimanfaatkan oleh Pemerintah Indonesia di masa orde baru untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat perikanan (pembudidaya ikan dan nelayan) karena kebijakan orde baru yang tidak menitik beratkan pada pembangunan perikanan khususnya di perikanan tangkap yang menyebabkan turunnya hasil tangkapan nelayan dan produksi perikanan. Selaras dengan hal tersebut untuk mengatasi permasalahan di bidang perikanan tangkap dan menunjang keberhasilan Revitalisasi Perikanan yang dicanangkan oleh Presiden SBY (Kompas : 2005) maka Departemen Kelautan dan Perikanan mencoba menitikberatkan pada pembangunan perikanan budidaya melalui pelaksanakan program unggulan yaitu Propekan (Program Peningkatan Ekspor Perikanan), Proksimas (Program Peningkatan Konsumsi Ikan Masyarakat) dan Prolinda (Progam Perlindungan Sumberdaya Alam), di mana salah satu kebijakan pendukung yang dikeluarkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan melalui Direktorat Jendral (Ditejen) Perikanan Budidaya salah satunya adalah melalui Program Dana Penguatan Modal Melalui Mekanisme Pinjaman bagi Pembudidaya Ikan Skala Kecil. Program ini mulai dilaksanakan pada Tahun 2006 melalui anggaran dekon (APBN) di mana tata cara, persyaratan dan pengukuran keberhasilan program diatur dalam Juklak Keputusan Direktur Jenderal Perikanan Budidaya DKP RI. Program dana penguatan modal ini bertujuan agar pembudidaya ikan dapat meningkatkan produktivitasnya dan timbulnya kepercayaan lembaga keuangan dalam memberikan pinjaman permodalan, sehingga untuk masa yang akan datang Pembudidaya Ikan secara bertahap dapat tumbuh berkembang menjadi besar dan mandiri serta tidak bergantung dengan program Pemerintah terutama dalam masalah permodalan.

Aktor atau pelaku dalam pembangunan pemerintahan SBY-JK meliputi beberapa kepengurusan tertinggi seperti Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi menjabat dari tahun 2004 2009, Dirjen Budidaya Dr. Ir. Made L. Nurdjana, Dr. Ketut Sugama, M.Sc.APU, dan Dr. Ir. Slamet Soebjakto, M.Si.. Dirjen Tangkap Dr. Ir. Husni Mangga Barani, Dr. Ir. Dedy Heryadi S., M.S., dan Ir. Heriyanto Marwoto, M.S.

Permasalahan pembangunan perikanan pada pemerintahan SBY-JK khususnya perikanan tangkap belum dapat dikatakan berhasil karena masih terdapat permasalahan yang dihadapi. Permasalahan perikanan tangkap yang dihadapi Indonesia diantaranya adalah: (1) masih lemahnya sistem pengelolaan usaha perikanan tangkap dan penguasaan teknologi tepat guna yang berakibat pada rendahnya produksi; (2) kompetisi pada penggunaan lahan perairan antar daerah sebagai dampak dari semakin banyaknya penduduk di wilayah pesisir; (3) masih berlangsungnya overfishing di beberapa wilayah; (4) kenaikan dan kelangkaan BBM yang semakin membebani nelayan untuk melaut; (5) tingginya illegal fishing yang mengakibatkan kerugian negara dan semakin cepatnya penurunan sumberdaya perikanan dan kelautan; (6) kerusakan ekosistem perairan sebagai dampak dari eksploitasi berlebih dan bencana alam; (7) tumpang tindih kewenangan dalam pemberian ijin dan adanya peraturan yang tidak memberikan iklim kondusif bagi investasi perikanan; (8) rendahnya penggunaan teknologi dan kemampuan penanganan serta pengolahan perikanan yang berakibat sebagai rendahnya mutu, nilai tambah dan daya saing produk perikanan; (9) proses penangan dan pengolahan hasil yang kurang memperhatikan keamanan produk perikanan; dan (10) keterbatasan infrastruktur perikanan, permodalan, lemahnya koordinasi dan kelembagan perikanan (Monintja,1989 yang dikutip oleh Ismuryandi, 2006).

DAFTAR PUSTAKA

Anggoro S. 2005. Pengelolaan Potensi Keanekaragaman Sumberdaya Alam Hayati Perikanan Berwawasan Lingkungan. Makalah Semiloka "Konsep Pembangunan Perikanan dan Kelautan Propinsi Jawa Tengah dalam rangka Implementasi UU 32/2004. Semarang.

Ismuryandi F. 2006. Kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Situbondo dalam Kerangka Otonomi Daerah di Bidang Perikanan Tangkap. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor. Bogor.Ma'ruf, W.F. & Agus H.P. 2005. Kesempatan Untuk Memperbaiki Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut Melalui Penerapan UU 32/2004. Makalah Semiloka "Konsep Pembangunan Perikanan dan Kelautan Propinsi Jawa Tengah dalam rangka Implementasi UU 32/2004. Semarang: 25-27 Maret.

Widodo, J. (2001) Good Governance, Telaah dari Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Insan Cendekia. Surabaya.