pembahasan uji analgetika

Upload: fera-elya

Post on 04-Jun-2018

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 8/13/2019 Pembahasan Uji Analgetika

    1/3

    PEMBAHASAN UJI ANALGETIKA

    Analgetika atau obat penghalang nyeri adalah zat-zat yang mengurangi atau

    menghalau rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. Rasa nyeri tersebut terjadi akibat

    terlepasnya mediator-mediator nyeri seperti brandikinin dan prostaglandin dari jaringan yang

    rusak yang kemudian merangsang reseptor nyeri di ujung saraf perifer ataupun ditempat lain.

    Obat berkhasiat analgetika yang digunakan dalam percobaan ini yaitu Asam

    mefenamat, Paracetamol, dan Codein. Asam mefenamat bekerja dengan mengeblok aktivitas

    dari suatu enzim dalam tubuh yang dinamakan siklooksigenase (COX). Siklooksigenase

    adalah enzim yang berperan pada beberapa proses produksi substansi kimia dalam tubuh,

    salah satunya adalah prostaglandin, yang diperoleh dari konversi asam arakidonat sehingga

    membentuk prostaglandin. Prostaglandin diproduksi dalam merespons kerusakan atau adanya

    luka atau penyakit lain yang mengakibatkan rasa nyeri, pembengkakan dan peradangan.

    Prostaglandin (PG) sebenarnya bukan sebagai mediator radang, lebih tepat dikatakan sebagai

    modulator dari reaksi radang. Asam mefenamat mengeblok COX1 dan COX2 sekaligus,

    dimana COX2 berfungsi untuk melindungi mukosa lambung. Apabila sekresi COX2 di

    lambung dihambat maka dapat menyebabkan iritasi lambung. Walaupun begitu, aksi

    analgetika asam mefenamat lebih baik dibandingkan paracetamol. Dalam percobaan ini dosis

    asam mefenamat yang diberikan kepada mencit yaitu sebesar 30 mg/KG BB dan diberikan

    secara peroral 15 menit sebelum disuntik dengan asam asetat secara peritonial.

    Paracetamol juga berperan sebagai analgetika yang memiliki mekanisme aksi

    menghambat enzim siklooksigenase. Tetapi berbeda dengan asam mefenamat, paracetamol

    cenderung mengeblok COX2 sehingga tidak menyebabkan iritasi lambung. Dalam percobaan

    ini dosis paracetamol yang diberikan kepada mencit yaitu sebesar 30 mg/KG BB dan

    diberikan secara peroral 15 menit sebelum disuntik dengan asam asetat secara peritonial.

    Berikutnya adalah analgetik golongan narkotika yaitu Codein, mekanisme aksi

    sebagai agonis opioid. Efek kodein terjadi apabila kodein berikatan secara agonis dengan

    reseptor opioid di berbagai tempat di susunan saraf pusat. Efek analgesik kodein tergantung

    afinitas kodein terhadap reseptor opioid tersebut.Kodein dapat meningkatkan ambang rasa

    nyeri dan mengubah reaksi yang timbul di korteks serebri pada waktu persepsi nyeri diterima

    dari thalamus. Pemberian Codein kepada mencit yaitu dengan dosis 13 mg/KG BB dan

    diberikan secara peroral 15 menit sebelum disuntik dengan asam asetat secara peritonial.

  • 8/13/2019 Pembahasan Uji Analgetika

    2/3

    Sebagai perlakuan kontrol negatif, mencit diberi larutan CMC-Na 0,5% melalui

    peroral dengan takaran yang sama yaitu 25 mg/ KG BB. Tujuan pemberian larutan ini adalah

    untuk mengetahui, apakah CMC-Na juga memiliki efek analgetika, dimana CMC-Na

    digunakan sebagai suspending agent pada obat-obatan dalam percobaan ini. Dan juga untuk

    menciptakan keadaan psikologis yang sama (sama tingkat kesetresannya karena perlakuan

    per-oral) pada tiap-tiap hewan percobaan. Data yang diperoleh dari perlakuan kontrol negatif,

    digunakan sebagai pembagi (K) jumlah geliat kumulatif pada mencit yang diberi obat

    analgetika (P) lalu dikalikan 100%. Sehingga dari pengolahan data dapat diperoleh persentase

    analgetika.

    Metode rangsang kimia dipilih sebagai metode untuk menciptakan rasa nyeri pada

    percobaan kali ini. Yaitu dengan menyuntikkan asam asetat 1% v/v secara peritonial (i.p)

    dengan dosis 100 mg/KG BB. Asam asetat yang diberikan secara peritonial menyebabkan

    suasana disekitar rongga perut menjadi asam karena ion H+, selanjutnya suasana asam

    tersebut menimbulkan kerusakan pada jaringan di sekitar rongga perut. Kerusakan jaringan

    tersebut memicu enzim COX untuk mengkonversi asam arakidonat menjadi prostaglandin,

    yang mana prostaglandin merupakan salah satu modulator timbulnya nyeri.

    Tujuan pemberian obat-obatan tersebut adalah untuk mengurangi nyeri yang

    ditimbulkan akibat penyuntikan asam asetat. Efek yang diamati adalah jumlah kumulatif

    geliat yang timbul pada masing-masing mencit percobaan yang dihitung setiap selang waktu

    5 menit. Secara teoritis, persentase daya analgetika dari yang tinggi hingga terendah yaitu

    codein, asam mefenamat, paracetamol dan perlakuan kontrol. Codein merupakan golongan

    narkotika sehingga aksinya dapat menembus ke sawar otak, dimana otak adalah pusat kontrol

    segala kegiatan tubuh, tidak terkecuali untuk mengontrol/mengurangi sekresi prostaglandin.

    Asam mefenamat bekerja menghambat COX1 dan COX2 sekaligus sehingga aksi analgetik

    lebih kuat dibanding paracetamol yang hanya menghambat COX1. Sedangkan CMC-Na

    hanya sebagai kontrol, tidak mengandung aktivitas analgetika sehingga geliat mencit paling

    banyak dan didapat persentase analgetika yang rendah.

    Persen analgetika yang diperoleh dari percobaan yaitu asam mefenamat (46,34%),

    codein (38,69%), paracetamol (20,59%). Jumlah geliat berbanding terbalik dengan persentase

    analgetika, semakin tinggi grafik yang tergambar, jumlah geliat semakin tinggi tetapi %analgetikanya semakin rendah. Dari percobaan tersebut, diperoleh efek analgetika codein

  • 8/13/2019 Pembahasan Uji Analgetika

    3/3

    lebih rendah dari asam mefenamat dan yang mempunyai efek analgetika paling rendah dari

    ketiga obat tersebut adalah paracetamol.

    Dari data tersebut, diperoleh hasil yang kurang sesui dengan teori ,dimana seharusnya

    efek analgetika paling tinggi adalah codein, disusul asam mefenamat, dan yang terakhir

    adalah paracetamol . ketidak sesuaian tersebut disebabkan karena beberapa faktor, misalnya

    jumlah codein yang diberikan pada mencit kurang yang menyebabkan konsentrasi obat belum

    mencapai MEC sehingga nilai geliat pada mencit tetap tinggi, faktor penyuntikan yang

    kurang tepat juga dapat mempengaruhi, atau bisa juga karena faktor genetika/fisiologis

    mencit, misalnya pada salah satu mencit memiliki reseptor opioid yang kurang sensitif

    terhadap codein, sehingga codein tidak mampu berikatan dengan reseptor secara optimal

    yang menyebabkan efek analgetik kurang maksimal.

    Uji statistika yang digunakan untuk mengolah data dalam percobaan ini yaitu dengan

    uji non-parametrik Kruskal-Wallis dengan taraf kepercayaan 95%. Dipilih jenis uji tersebut

    karena syarat-syarat uji anova tidak terpenuhi. Yaitu diperoleh data yang distribusinya tidak

    normal dan tidak homogen dengan nilai signifikansi < 0,05 sehingga data tidak dapat diolah

    dengan uji anova. Dari hasil uji non-parametrik Kruskal-Wallis menggunakan Ho : tidak ada

    perbedaan % analgetika pada semua kelompok perlakuan. Diperoleh nilai asymp.sig