uji analgetika
TRANSCRIPT
PERCOBAAN III
UJI ANALGETIKA
I. TUJUAN
Mahasiswa mengenal dan mempraktekkan pengujian daya analgesik
dengan menggunakan metode rangsang kimia.
II. DASAR TEORI
Analgetika atau obat penghalang nyeri adalah zat-zat yang mengurangi
atau menghalau rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. Nyeri adalah perasaan
sensoris dan emosional yang tidak nyaman, berkaitan dengan ancaman kerusakan
jaringan, keadaan psikis sangat mempengaruhi nyeri, misalnya emosi dapat
menimbulkan sakit kepala atau memperhebatnya, tetapi dapat pula menghilangkan
sensasi rangsangan nyeri. Nyeri merupakan suatu perasaan subjektif pribadi dan
ambang toleransi nyeri berbeda-beda bagi setiap orang. Batas nyeri untuk suhu
konstan adalah 44-450 C (Tjay, 2007).
Mekanisme terjadinya nyeri adalah sebagai berikut rangsangan (baik
mekanik, termal maupun kimia) diterima oleh reseptor nyeri yang ada di hampir
setiap jaringan tubuh, Rangsangan ini di ubah kedalam bentuk impuls yang di
hantarkan ke pusat nyeri di korteks otak. Setelah di proses di pusat nyeri, impuls
di kembalikan ke perifer dalam bentuk persepsi nyeri (rasa nyeri yang kita alami).
Rangsangan yang diterima oleh reseptor nyeri dapat berasal dari berbagai faktor
dan dikelompokkan menjadi beberapa bagian, yaitu:
1. Rangsangan Mekanik : Nyeri yang di sebabkan karena pengaruh mekanik
seperti tekanan, tusukan jarum, irisan pisau dan lain-lain.
2. Rangsangan Termal : Nyeri yang disebabkan karena pengaruh suhu, Rata-
rata manusia akan merasakan nyeri jika menerima panas diatas 45 C,
dimana mulai pada suhu tersebut jaringan akan mengalami kerusakan
3. Rangsangan Kimia : Jaringan yang mengalami kerusakan akan
membebaskan zat yang di sebut mediator yang dapat berikatan dengan
reseptor nyeri antaralain: bradikinin, serotonin, histamin, asetilkolin dan
prostaglandin. Bradikinin merupakan zat yang paling berperan dalam
menimbulkan nyeri karena kerusakan jaringan. Zat kimia lain yang
berperan dalam menimbulkan nyeri adalah asam, enzim proteolitik, Zat P
dan ion K+ (ion K positif ).
Reseptor nyeri dalam tubuh adalah ujung-ujung saraf telanjang yang
ditemukan hampir pada setiap jaringan tubuh. Impuls nyeri dihantarkan ke Sistem
Saraf Pusat (SSP) melalui dua sistem Serabut. Sistem pertama terdiri dari serabut
Aδ bermielin halus bergaris tengah 2-5 µm, dengan kecepatan hantaran 6-30
m/detik. Sistem kedua terdiri dari serabut C tak bermielin dengan diameter 0.4-1.2
µm, dengan kecepatan hantaran 0,5-2 m/detik. Serabut Aδ berperan dalam
menghantarkan "Nyeri cepat" dan menghasilkan persepsi nyeri yang jelas, tajam
dan terlokalisasi, sedangkan serabut C menghantarkan "nyeri Lambat" dan
menghasilkan persepsi samar-samar, rasa pegal dan perasaan tidak enak. Pusat
nyeri terletak di talamus, kedua jenis serabut nyeri berakhir pada neuron traktus
spinotalamus lateral dan impuls nyeri berjalan ke atas melalui traktus ini ke
nukleus posteromidal ventral dan posterolateral dari talamus. Dari sini impuls
diteruskan ke gyrus post sentral dari korteks otak (Adeyemi, 2001).
Analgetik Opioid (narkotik)
Analgetika narkotika bekerja di SSP, memiliki daya penghalang nyeri
yang hebat sekali. Dalam dosis besar dapat bersifat depresan umum (mengurangi
kesadaran), mempunyai efek samping menimbulkan rasa nyaman (euforia).
Hampir semua perasaan tidak nyaman dapat dihilangkan oleh analgesik narkotik
kecuali sensasi kulit. Harus hati-hati menggunakan analgesik ini karena
mempunyai risiko besar terhadap ketergantungan obat (adiksi) dan kecenderungan
penyalah gunaan obat. Obat ini hanya dibenarkan untuk penggunaan insidentil
pada nyeri hebat (trauma hebat, patah tulang, nyeri infark jantung, kolik batu
empedu/batu ginjal (Tjay, 2007).
Obat golongan ini hanya dibenarkan untuk penggunaan insidentil pada
nyeri hebat (trauma hebat, patah tulang, nyeri infark) kolik batu empedu, kolik
ginjal. Tanpa indikasi kuat, tidak dibenarkan penggunaannya secara kronik,
disamping untuk mengatasi nyeri hebat, penggunaan narkotik diindikasikan pada
kanker stadium lanjut karena dapat meringankan penderitaan. Fentanil dan
alfentanil umumnya digunakan sebagai premedikasi dalam pembedahan karena
dapat memperkuat anestesi umum sehingga mengurangi timbulnya kesadaran
selama anestesi. Penggolongan analgesik–narkotik adalah sebagai berikut:
1. Alkaloid alam: morfin, codein
2. Derivat semi sintesis: heroin
3. Derivat sintetik: metadon, fentanil
4. Antagonis morfin: nalorfin, nalokson dan pentazocin
(Katzung, 1986).
Analgesik non opioid (non narkotik)
Disebut juga analgesik perifer karena tidak mempengaruhi susunan syaraf
pusat. Semua analgesik perifer memiliki khasiat sebagai anti piretik yaitu
menurunkan suhu bada pada saat demam. Khasiatnya berdasarkan rangsangan
terhadap pusat pengatur kalor di hipotalamus, mengakibatkan vasodilatasi perifer
di kulit dengan bertambahnya pengeluaran kalor disertai keluarnya banyak
keringat. Misalnya parasetamol, asetosal, dll. Dan berkhasiat pula sebagai anti
inflamasi , anti radang atau anti flogistik (Tjay, 2007).
Anti radang sama kuat dengan analgesik, digunakan sebagai anti nyeri
atau rematik contohnya asetosal, asam mefenamat, ibuprofen. Anti radang yang
lebih kuat contohnya fenilbutazon. Sedangkan yang bekerja serentak sebagai anti
radang dan analgesik contohnya indometazin (Mutschler, 1991).
Penggolongan analgesik non opioid (non narkotik) berdasarkan rumus
kimianya analgesik perifer digolongkan menjadi:
1. Golongan salisilat.
Asam asetil salisilat yang lebih dikenal sebagai asetosal atau aspirin .Obat
ini diindikasikan untuk sakit kepala, nyeri otot, demam dan lain-lain. Saat
ini asetosal makin banyak dipakai karena sifat anti plateletnya. Sebagai
contoh aspirin dosis kecil digunakan untuk pencegahan trombosis koroner
dan cerebral. Asetosal adalah analgetik antipiretik dan anti inflamasi yang
sangat luas digunakan dan digolongkan dalam obat bebas. Masalah efek
samping yaitu perangsangan bahkan dapat menyebabkan iritasi lambung
dan saluran cerna dapat dikurangi dengan meminum obat setelah makan
atau membuat menjadi sediaan salut enterik (enteric-coated). Karena
salisilat bersifat hepatotoksik maka tidak dianjurkan diberikan pada
penderita penyakit hati yang kronis.
2. Golongan para aminofenol.
Terdiri dari fenasetin dan asetaminofen (parasetamol). Tahun–tahun
terakhir penggunaan asetaminofen yang di Indonesia lebih terkenal dengan
nama parasetamol meningkat dengan pesat. Efek analgesik golongan ini
serupa dengan salisilat yaitu menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan
sampai sedang, dan dapat menurunkan suhu tubuh dalam keadaan demam,
dengan mekanisme efek sentral. Fenasetin karena toksisitasnya terhadap
hati dan ginjal saat ini sudah dilarang penggunaannya. Efek samping
parasetamol dan kombinasinya pada penggunaan dosis besar atau jangka
lama dapat menyebabkan kerusakan hati.
3. Golongan pirazolon (dipiron).
Fenilbutazon dan turunannya saat ini yang digunakan adalah dipiron
sebagai analgesik antipiretik, karena efek inflamasinya lemah. Efek
samping semua derivat pirazolon dapat menyebabkan agranulositosis,
anemia aplastik dan trombositopenia. Dibeberapa negara penggunaannya
sangat dibatasi bahkan dilarang karena efek samping tersebut, tetapi di
Indonesia frekuensi pemakaian dipiron cukup tinggi meskipun sudah ada
laporan mengenai terjadinya agranulositosis. Fenilbutazon digunakan
untuk mengobati arthritis rheumatoid.
4. Golongan antranilat (asam mefenamat).
Digunakan sebagai analgesik karena sebagai anti inflamasi kurang efektif
dibanding dengan aspirin. Efek samping seperti gejala iritasi mukosa
lambung dan gangguan saluran cerna sering timbul
(Tjay, 2010).
AINS (Analgesik Anti Inflamasi Non Steroid)
AINS adalah obat-obat analgesik yang selain memiliki efek analgesik juga
memiliki efek anti inflamasi, sehingga obat-obat jenis ini digunakan dalam
pengobatan rheumatik dan gout. Contohnya ibuprofen, indometasin, diklofenak,
fenilbutazon dan piroxicam. Sebagian besar penyakit rheumatik membutuhkan
pengobatan simptomatis, untuk meredakan rasa nyeri penyakit sendi degeneratif
seperti osteoartritis, analgesik tunggal atau campuran masih bisa digunakan.
Tetapi bila nyeri dan kekakuan disebabkan penyakit rheumatik yang meradang
harus diberikan pengobatan dengan AINS.
1. Ibuprofen.
Adalah turunan asam propionat yang berkhasiat anti inflamasi, analgesik
dan anti piretik. Efek sampingnya kecil dibanding AINS yang lain, tetapi
efek anti inflamasinya juga agak lemah sehingga kurang sesuai untuk
peradangan sendi hebat seperti gout akut.
2. Diklofenak.
Derivat fenilasetat ini termasuk AINS yang terkuat anti radangnya dengan
efek samping yang kurang keras dibandingkan dengan obat lainnya seperti
piroxicam dan indometasin. Obat ini sering digunakan untuk segala
macam nyeri, juga pada migrain dan encok. Secara parenteral sangat
efektif untuk menanggulangi nyeri koli hebat (kandung kemih dan
kandung empedu).
3. Indometasin.
Daya analgetik dan anti radang sama kuat dengan asetosal, sering
digunakan pada serangan encok akut. Efek samping berupa gangguan
lambung usus, perdarahan tersembunyi (okult), pusing, tremor dan lain-
lain.
4. Fenilbutazon.
Derivat pirazolon ini memiliki khasiat antiflogistik yang lebih kuat
daripada kerja analgetiknya. Karena itu golongnan ini khususnya
digunakan sebagai obat rematik seperti halnya juga dengan
oksifenilbutazon. Fenilbutazon ada kalanya dimasukan dengan diam-diam
(tidak tertera pada etiket) dalam sediaan-sediaan dari pabrik-pabrik kecil
asing, dengan maksud untuk mengobati keadaan-keadaan lesu dan letih,
otot-otot lemah dan nyeri. Penyalahgunaannya dalam obat-obat penguat
dan tonikum (dengan ginseng) adalah sangat berbahaya berhubung efek
merusaknya terhadap sel-sel darah.
5. Piroksikam.
Bekerja sebagai anti radang, analgetik dan antipiretik yang kuat.
Digunakan untuk melawan encok. Efek samping berupa perdarahan dalam
lambung usus (Tjay, 2007).
Metode-metode pengujian aktivitas analgesik
Metode-metode pengujian aktivitas analgesik dilakukan dengan menilai
kemampuan zat uji untuk menekan atau menghilangkan ras nyeri yang diinduksi
pada hewan percobaan (mencit, tikus, marmot), yang meliputi induksi secara
maknik, termik, elekrik, dan secara kimia. Metode pengujian dengan induksi nyeri
secara mekanik atau termik lebih sesuai untuk mengevaluasi obat-obat analgetik
kuat. Pada umumnya daya kerja analgetika dinilai pada hewan dengan mengukut
besarnya peningkatan stimulus nyeri yang harus diberikan sampai ada respon
nyeri atau jangka waktu ketahanan hewan terhadap stimulasi nyeri atau juga
peranan frekuensi respon nyeri (Anonim, 1993).
1. Metode geliat
Obat uji dinilai kemampuannya dalam menekan atau menghilangkan rasa
nyeri yang diinduksi secara (pemberian asam asetat secara intraperitonial) pada
hewan percobaan mencit. Manifestasi nyeri akibat pemberian perangsang nyeri
asam asetat intraperitonium akan menimbulkan refleks respon geliat (writhing)
yang berupa tarikan kaki ke belakang, penarikan kembali abdomen (retraksi) dan
kejang tetani dengan membengkokkan kepala dan kaki belakang. Metode ini
dikenal sebagai Writhing Reflex Test atau Abdominal Constriction Test.
Frekuensi gerakan ini dalam waktu tertentu menyatakan derajat nyeri yang
dirasakannya. Metode ini tidak hanya sederhana dan dapat dipercaya tetapi juga
memberikan evaluasi yang cepat terhadap jenis analgesik perifer (Gupta, 2003).
2. Metode Listrik
Metode ini menggunakan aliran listrik sebagai penginduksi nyeri (Vohora
dan Dandiya, 1992).
Sebagai respon terhadap nyeri, hewan akan menunjukkan gerakan atau
cicitan. Arus listrik dapat ditingkatkan sesuai dengan kekuatan analgesik yang
diberikan. Metode ini dapat dilakukan terhadap kera, anjing, kucing, kelinci, tikus
dan mencit (Manihuruk, 2000).
3. Metode Panas
Tiga metode yang bisa digunakan untuk memberikan rangsangan panas:
1. Pencelupan ekor hewan percobaan dalam penangas air panas yang
dipertahankan pada suhu 60 ± 10 C (Gupta et al., 2003).
2. Penggunaan panas radiasi terhadap ekor hewan percobaan melalui kawat
Ni panas (5,5 ± 0,05 Amps) (Vohora dan Dandiya, 1992).
3. Metode hot plate.
Metode ini cocok untuk evaluasi analgesik sentral. Pada metode ini hewan
percaobaan diletakkan dalam beaker glass di atas plat panas (56 ± 10C)
sebagai stimulus nyeri. Hewan percobaan akan memberikan respon
terhadap nyeri dengan menggunakan atau menjilat kaki depan.
Peningkatan waktu reaksi yaitu waktu antara pemberian stimulus nyeri dan
terjadinya respon dapat dijadikan parameter untuk evaluasi aktivitas
analgesik (Adeyemi, 2001).
4. Metode Mekanik
Metode ini menggunakan tekanan sebagai penginduksi nyeri. Tekanan
diberikan pada ekor atau kaki hewan percobaan. Pengamatan dilakukan terhadap
jumlah tekanan yang diperlukan untuk menimbulkan nyeri sebelum dan sesudah
diberi obat. Metode ini dapat dilakukan terhadap anjing, tikus, dan mencit
(Manihuruk, 2000).
III. ALAT DAN BAHAN
Alat
1. Spuit injeksi 0,1 ml-1 ml 1 buah
2. Sonde 1 buah
3. Gelas beaker 1 buah
4. Timbangan 1 buah
5. Keranjang mencit 1 buah
6. Sarung tangan 1 buah
Bahan
1. Larutan CMC dalam air 1 % secukupnya
2. Stearil asam asetat 5 mL
3. CMC 1% secukupnya
4. Parasetamol 250 mg/100 mL
5. Hewan uji : mencit 3 ekor
IV. CARA KERJA
Dihitung untuk
Diinjeksikan
Diberi Diberi Diberi
Setelah 5 menit diinjeksi
Diamati
Dicatat
Dihitung
Konversi dosis
Mencit 1 Mencit 2
Suspensi parasetamol
Mencit 3
1 ml larutan CMC 1 %
1 ml suspensi parasetamol dalam
CMC 1 %
0,5 ml suspensi parasetamol dalam
CMC 1 %
Geliat mencit
Larutan SAA 1 % v/v Secara ip
% daya analgetik
Komulatif geliat mencit per 5 menit selama 30 menit
V. HASIL
Tabel 1. Hasil percobaan
MenitMencit
Mencit 1 Mencit 2 Mencit 35 18 49 -10 46 40 -15 41 37 1420 36 33 3025 47 28 3630 30 24 13
komulatif 218 211 93
VI. PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini bertujuan untuk mengenal dan mempraktekkan
pengujian daya analgesik dengan menggunakan metode rangsang kimia.
Percobaan ini dilakukan terhadap hewan percobaan, yaitu mencit (Mus
muscullus), Pada percobaan analgetika hewan uji yang digunakan mencit karena
lebih mudah perlakuannya, lebih ekonomis dan mudah didapat.
Metode rangsang kimia digunakan berdasarkan atas rangsang nyeri
yang ditimbulkan oleh zat-zat kimia yang digunakan sebagai induktor nyeri,
yang kemudian akan diinhibisi dengan penambahan suatu analgetika tertentu,
kemudian dilakukan penetapan daya analgetika melalui respon mencit terhadap
nyeri yang ditimbulkan saat diberikan mediator nyeri.
Steril Asam Asetat (SSA) 1% merupakan asam lemah yang tidak
terkonjugasi dalam tubuh. Pemberian SSA terhadap hewan percobaan akan
merangsang prostaglandin untuk menimbulkan rasa nyeri akibat adanya kerusakan
jaringan atau inflamasi, dan kemudian akan merangsang mediator inflamasi yang
lain seperti bradikinin yang dapat menimbulkan rasa nyeri yang nyata. Akibat rasa
nyeri inilah kemudian hewan uji akan menggeliatkan kakinya ke belakang. Pada
percobaan kali ini menggunakan larutan SSA 1% yang berfungsi sebagai induktor
nyeri .
Langkah pertama yang dilakukan adalah masing-masing mencit
ditimbang dan diberikan tanda. Dalam praktikum ini digunakan 3 ekor mencit.
Satu ekor mencit digunakan sebagai kontrol dan dua ekor mencit sebagai
perlakuan dengan pemberian paracetamol dengan volume pengambilan
paracetamol yang berbeda.
Pemerian Parasetamol adalah serbuk hablur putih, tidak berbau, rasa
sedikit pahit. Struktur parasetamol (n-asetil para-amino fenol) merupakan derivat
senyawa anilin dengan efek yang sama dengan asetosal yaitu sebagai analgetik-
antipiretik. Tetapi parasetamol tidajk mengiritasi lambung. Efek antipiretiknya
disebabkan oleh gugus amino-benzen. Parasetamol diabsorpsi cepat melalui
saluran cerna. Dosis parasetamol yang digunakan pada praktikum ini adalah 500
mg – 1000 mg. Pada praktikum tersedia parasetamol 250 mg / 100mL maka
dilakukan perhitungan volume pemberian parasetamol yang disesuaikan dengan
berat badan mencit yang digunakan.
Tiga ekor mencit ditimbang masing-masing beratnya. Setelah ditimbang
diketahui berat mencit masing-masing yaitu 25 10-3 kg, 22 10-3 kg dan 24,5 10-3
kg. Mencit 1 dengan berat 24.5 10-3 kg dijadikan kontrol dalam percobaan ini.
Tujuan digunakan mencit kontrol yaitu untuk mengontrol jumlah geliat mencit
yang diberikan CMC 1 % tanpa adanya pemberian paracetamol sebagai agen
analgetik, dan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh faktor larutan pengencer
obat, dalam hal ini adalah CMC 1% terhadap agen analgetik yang diberikan pada
hewan uji. Sedangkan mencit 2 dan 3 adalah mencit perlakuan. Pada mencit 2 dan
3 diberikan perlakuan dengan menggunakan paracetamol sebagai agen analgetik
yang berbeda volume pemberiannya. Volume pemberian dihitung dengan dosis
paracetamol dikonversikan terlebih dahulu dari dosis manusia ke mencit. Tujuan
digunakan mencit perlakuan adalah untuk mengetahui jumlah geliat mencit
dengan pemberian paracetamol sebagai agen analgetik.
Sebelum mencit perlakuan diberikan paracetamol terlebih dahulu mencit
kontrol diberikan CMC 1% secara per oral. Mencit dengan berat 25 10-3 kg
diberikan paracetamol dengan volume pemberian 0.5 ml sedangkan mencit
dengan berat 22 10-3kg diberikan paracetamol dengan volume pemberian 1 ml.
Perbedaan volume pemberian paracetamol adalah untuk mengetahui dosis efektif
dari paracetamol sebagai agent analgetik untuk mencit. Pemberian parasetamol
secara per oral karena proses absorpsi parasetamol lebih cepat di lambung,
sehingga efek analgetiknya mudah teramati. Paracetamol memiliki onset kerja
30-60 menit, durasinya 4-6 jam.
Setelah mencit 2 dan 3 mendapat perlakuan. Lima menit kemudian ketiga
ekor mencit diinjeksi secara intraperitoneal dengan larutan steril asam asetat 1%
v/v. Pemakaian Asam Asetat 1 % secara intraperitoneal bertujuan agar zat tersebut
segera diabsorpsi sehingga respon rasa nyeri segera terlihat dari jumlah geliatan
mencit yang dihasilkan, serta untuk mencegah penguraian steril asam asetat saat
melewati jaringan fisiologik pada organ tertentu. Dan laruran steril asam
asetat dikhawatirkan dapat merusak jaringan tubuh jika diberikan melalui rute
lain, misalnya per oral, karena sifat kerongkongan cenderung bersifat tidak tahan
terhadap pengaruh asam.. Timbulnya rasa nyeri tersebut dikarenakan sifat Asam
Asetat yang mudah mengiritasi membran mukosa sehingga dapat digunakan
dalam menguji obat analgetika.
Mencit pertama berlaku sebagai control yang diberikan larutan CMC 1%
secara per oral sebanyak 1 ml. Mencit kedua diberikan larutan parasetamol dalam
CMC 1% sebanyak 0.5 ml serta mencit ketiga diberikan larutan parasetamol
dalam CMC 1% sebanyak 1 ml. Setelah 5 menit masing-masing mencit (mencit
1 dan mencit 2) diinjeksi secara intraperitoneal dengan larutan induksi Steril
Asam Asetat 1 % sebanyak 1 ml.
Larutan steril asam asetat diberikan setelah 5 menit karena diketahui
bahwa obat yang telah diberikan sebelumnya sudah mengalami fase absorbsi
untuk meredakan rasa nyeri. Selama beberapa menit kemudian, setelah diberi
larutan steril asam asetat 1 % mencit akan menggeliat dengan ditandai dengan
kejang perut dan kaki ditarik ke belakang. Jumlah geliat mencit dihitung
setiap selang waktu 5 menit selama 30 menit. Pengamatan yang dilakukan
agak rumit karena praktikan sulit membedakan antara geliatan yang
diakibatkan oleh rasa nyeri dari obat atau karena mencit merasa kesakitan
akibat penyuntikan intraperitoneal pada perut mencit dan pada pemberian oral
parasetamol lebih baik digunakan, karena absorpsi lebih konstan dan lebih
memungkinkan untuk memberikan dosis sesuai dengan berat badan mencit.
Paracetamol memiliki daya analgetik dengan presentasi yang tidak terlalu tinggi
yaitu sebesar 15.28 %.
Dosis SAA yang diberikan untuk mencit tergantung dari berat badan
mencit perlakuan. Untuk mencit perlakuan dengan berat 25 10-3 kg diberikan SAA
sebanyak 0.75 ml sedangkan untuk mencit dengan berat 22 10-3 kg diberikan SAA
sebanyak 0.66 ml.
Beberapa menit kemudian mencit akan menggeliat (kejang perut dan kaki
ditarik kebelakang). Kemudian amati dan catat komulatif geliat mencit yang
timbul setiap selang waktu 5 menit selama 60 menit dan selanjutnya menghitung
persen daya analgetika.
Pada mencit kontrol dengan CMC 1% geliat yang di muculkan, pada menit
ke-5 sebanyak 18 geliat, menit ke-10 : 46 geliat, menit ke 15 : 41 geliat, menit ke
20 : 36 geliat, menit ke 25: 47 geliat, menit ke 30: 30 geliat. Total geliat sebanyak
218 geliat. Pada mencit dengan 0,5 ml parasetamol dalam CMC 1% adalah,pada
menit ke 5 : 49 geliat ,menit ke 10: 40 geliat,menit ke 15: 37 geliat, menit ke 20:
33 geliat,menit ke 25: 28 geliat, menit ke 30 : 24 geliat. Total geliat sebanyak 211
geliat. Pada menit dengan 1ml parasetamol dalam 1% CMC ,yakni pada menit ke
5: -(tidak ada geliat), menit ke 10 : - (tidak ada geliat), menit ke 15 : 40 geliat,
menit ke 20: 30 geliat, menit ke 25 : 36 geliat, menit ke 30: 13 geliat. Total geliat
sebanyak 93 geliat.
Melalui tabel hasil dan perhitungan, nampak bahwa jumlah obat dan
durasi pemberian analgetik mempengaruhi frekuensi kejang yang dialami mencit.
Nampak terjadi kenaikan maupun penurunan frekuensi kejang yang disebabkan
oleh pengaruh efek obat terhadap pengurangan rangsang sakit hasil paparan
senyawa kimia.
Larutan asam asetat diberikan setelah 5 menit karena diketahui bahwa obat
yang telah diberikan sebelumnya sudah mengalami fase absorbsi untuk meredakan
rasa nyeri. Selama beberapa menit kemudian, setelah diberi larutan asam asetat 1
% mencit menggeliat ditandai perut kejang dan kaki ditarik ke belakang. Jumlah
geliat mencit dihitung setiap 5 menit.
Melalui data dan perhitungan, nampak bahwa perbedaan konsentrasi
Parasetamol yang diberikan, menimbulkan perbedaan jumlah kumulatif geliat
mencit. Mencit perlakuan yang diberi 0,5 ml suspensi Parasetamol menghasilkan
211 geliat dan mencit perlakuan yang diberi 1,0 ml suspensi Parasetamol
menghasilkan 93 geliat. Pengamatan selama 60 menit menunjukan adanya
kenaikan jumlah geliat, namun pada menit tertentu, kemudian terjadi penurunan
jumlah geliat. Hal ini disebabkan karena efek Parasetamol yang dimungkinkan
belum optimal karena belum mencapai onset aksinya dan konsentrasi asam asetat
yang tinggi dalam perut mencit karena pemberian berefek segera melalui
intraperitonial. Hal ini memberikan efek rasa sakit yang meningkat pada waktu –
waktu awal perlakuan, namun menurun seiring berjalannya waktu. Hal ini
dikarenakan efek Parasetamol yang telah mencapai optimal serta kadar asam
asetat yang mulai berkurang seiring proses metabolisme (penguraian zat) oleh
tubuh mencit (Nugraha, 2011).
Pada hewan uji kontrol, tidak diberikan perlakuan analgetik karena
fungsinya ialah sebagai pembanding sehingga hanya diberikan suspensi CMC 1%
yang adalah cairan pembawa obat. Pengamatan selama 60 menit terhadap mencit
kontrol menunjukan geliat rasa sakit yang relatif terus muncul pada mencit
ditandai perut kejang dan kaki yang ditarik ke belakang. Perbedaan jumlah
kumulatif geliat mencit kontrol dengan mencit perlakuan ialah dikarenakan mencit
kontrol tidak diberikan analgetika untuk mengurangi rasa sakitnya pada
pemberian senyawa iritan (asam asetat). Oleh karena itu, frekuensi kumulatif
geliat mencit kontrol dijadikan pembagi pada perhitungan prosentase daya
analgetik.
Dari hasil ini dapat di simpulkan bahwa jumlah geliat yang paling banyak
adalah pada mencit kontrol dengan CMC 1%. Di karenakan pada tikus kontrol ini
tidak di berikan anti analgetika. Sehingga mencit lebih merasakan kesakitan.
Sedangkan geliat yang paling sedikit adalah mencit dengan 1 ml parasetamol
dalam CMC 1%, karena jumlah anti analgetika yang di berikan cukup banyak.
Sehingga mampu mengurangi rasa sakit pada mencit tersebut. Sehingga dapat
diketahui pula bahwa larutan pengencer obat tidak berpengaruh terhadap daya
analgetik obat
Semakin tinggi dosis analgetika yang diberikan memberikan efek daya
antianalgetika yang semakin besar, hal ini nampak pada tabel hasil maupun hasil
akhir perhitungan, yaitu 3,21 % untuk daya analgetika pada mencit yg diinjeksi
0,5 ml suspensi Parasetamol dan 57,33 % untuk daya analgetika pada mencit yg
diinjeksi 1,0 ml suspensi Parasetamol.
Adanya ketidakteraturan data pada mencit kontrol maupun perlakuan
dapat dikarenakan beberapa faktor antara lain karena praktikan sulit membedakan
antara geliatan yang diakibatkan oleh rasa nyeri dari obat atau karena mencit
merasa kesakitan akibat penyuntikan intraperitoneal pada perut mencit, selain itu
faktor penyuntikan yang salah atau kurang tepat sehingga volume obat yang
disuntikan tidak tepat atau dapat juga dikarenakan faktor fisiologis dari mencit
yang mungkin dalam keadaan stres saat diberi perlakuan, yang tentu saja
mempengaruhi data hasil dan perhitungan yang dibuat (Nugraha, 2011).
VII. KESIMPULAN
1. Analgetika merupakan obat yang dapat mengurangi rasa nyeri tanpa
menghilangkan kesadaran.
2. Uji Witkins merupakan salah satu metode yang dapat dilakukan untuk
menguji daya analgetik suatu obat terhadap hewan uji dengan
menggunakan rangsangan kimia yaitu asam asetat.
3. Mencit kontrol digunakan sebagai pembanding untuk mengetahui adanya
efek analgetika pada mencit yang diberi perlakuan (terapi i.p Parasetamol)
4. Semakin tinggi dosis analgetik yang diberikan, maka efek antianalgetika
semakin besar pula, yang nampak pada jumlah frekuensi kumulatif mencit
perlakuan 2 dan 3.
VIII. DAFTAR PUSTAKA
Adeyemi. 2001. “Analgesic and Anti-inflammatory Effects of The Aqueous
Extract of Leaves of Persea americana Mill. (Lauraceae)“. J.
Fitoterapia. Elsevier, Indena. 357-377
Anonim. 1993. Penapisan Farmakologi, Pengujian Fitokimia dan Pengujian
Klinis. Jakarta : Yayasan phytomedica
Gupta, M., U.K, Mazumder, R.S. Kumar, dan T.S. Kumar. 2003. “Studies on
Antiinflammatory, Analgesic and Antipyretic Properties of Methanol
Extract of Caesalpinia bonducella leaves in Experimental Animal Models,
Iranian”. J. Pharmacology & Therapeutics. Calcutta. India: Razi Institute
for Drug Research.
Katzung, B. 1986. Farmakologi dasar dan Klinik. Jakarta : Salemba Medika
Manihuruk, E. 2000. Skripsi: Aktivitas Analgesik Daun Dewa (Gynura
procumbens (Lour.) Merr. dan Gynura pseudochina (L.) DC.) pada
Mencit Dengan Metode Geliat. Jatinangor : Jurusan Farmasi,
FMIPA, Universitas Padjadjaran. hal. 18
Mutschler, E. 1991. Analgetika Dalam Dinamika Obat. Bandung : ITB
Nugraha, Linus Seta Adi. 2011. Uji Witkins Mencit (ANALGETIKA). Semarang :
Akademi Farmasi Theresiana Semarang
Tan Hoan, dan Kirana Rahardja. 2007. Obat-Obat Penting Edisi Kelima. Jakarta :
PT Elex Media Computindo
Tan Hoan, dan Kirana Rahardja. 2010. Obat-Obat Penting Edisi Keenam.
Jakarta : PT Elex Media Computindo
Vohora, S.B. dan P.C. Dandiya. 1992. “Herbal Analgesic Drugs”. J. Fitoterapia.
Elsevier Indena. 207
LAMPIRAN
Dosis SAA = 300 mg/kg BB mencit
Sediaan SAA 1% = 1 gram/100 ml = 10 mg/ml
Dosis mencit 1 = 300 mg x 25. 10-3
= 7,35 mg
Volume pengambilan untuk mencit = 7,35 mg
10 mg /ml
= 0,735 ml
Dosis mencit 2 = 300 mg x 22.10-3
= 6,6 mg
Volume pengambilan untuk mencit = 6,6 mg
10 mg /ml
= 0,66 ml
Dosis mencit 3 = 300 mg x 24,5 . 10-3
= 7,35 mg
Volume pengambilan untuk mencit = 7,35mg10 mg
= 0,735 ml
Dosis parasetamol manusia = 500 mg-1000 ml
Dosis parasetamol mencit = ( 500 mg – 1000 mg) x 0,026
=1,3 mg - 2,6 mg
Sediaan parasetamol = 250 mg /100 ml
Volume pengambilan = 1,3 mg250 mg
x 100 ml
= 0,5 ml
Volume pengambilan = 2,6 mg250 mg
x 100 ml
= 1,0 ml
% komulatif = 100 – ( 211218
x 100 )
Mencit 2 = 3,21 %
% komulatif = 100 – ( 93
218 x 100 )
Mencit 3 = 57,33 %
JAWAB PERTANYAAN
Pertanyaan :
1. Bagaimana pengaruh dosis analgetik terhadap mencit ?
2. Bagaimana mekanisme terjadi rasa nyeri dari tempat stimulus rangsang sampai
ke pusat saraf ? Bagaimana kerja dari analgetik ?
Jawaban :
Pengaruh dosis analgetik terhadap mencit adalah dimana dosis anlgetik
yang diberikan semakin besar maka % daya analgetik yang dialami mencit juga
semakin besar.Hal ini dapat dilihat dari jumlah kumulatif geliat yang dialami
mencit dimana dosis analgetik yang diberikan mencit semakin besar maka jumlah
kumulatif geliat yang dialami mencit semakin kecil.Disini jumlah kumulatif geliat
mencit yang digunakan sebagai parameter untuk mengetahui % daya analgetik
karena dengan geliat mencit ( kaki ditarik kebelakang ) menandakan seberapa
banyak mencit merasakan sakit atau nyeri setelah diberikan analgetik.
Mekanisme terjadinya rasa nyeri dari tempat stimulus rangsang sampai ke
pusat saraf pusat yaitu mediator nyeri mengakibatkan reaksi radang dan kejang
kejang yang mengaktivasi reseptor nyeri diujung ujung saraf bebas kulit , mukosa
dan jaringan lainnya.Nociseptor ini terdapat di seluruh jaringan dan organ tubuh ,
kecuali disistem saraf pusat,dari sini rangsangan disalurkan keotak melalui
jaringan yang hebat dari tajuk tajuk neuron dengan sinapsis yang sangat banyak
melalui sumsum tulang belakang,sumsum tulang lanjutan dan otak tengah.Dari
thalamus impuls diteruskan ke pusat nyeri di otak besar,dimana impuls dirasakan
sebagai nyeri.
Analgetik yang digunakan dalam praktikum adalah paracetamol.Kerja dari
analgetik tersebut adalah dengan cara apabila terjadi suatu luka maka membran sel
dengan bantuan enzim fosfolipase akan melepaskan asam arakhidonat, kemudian
oleh enzim cox siklooksigenase akan diubah menjadi PGG2.PGG2 dengan
bantuan enzim cox peroksidase akan diubah menjadi PGH2 dimana PGH2 oleh
berbagai enzim akan diubah menjadi berbagai tipe prostaglandin.Prostaglandin
merupakan salah satu mediator nyeri.Analgetik bekerja dengan menaikkan rasa
ambang nyeri menghambat biosintesis prostaglandin.Parasetamol merupakan
salah satu golongan AINS yang tidak selektif yaitu dengan menghambat cox 1 dan
cox 2.Cox 1 berperan dalam sekresi lambung sehingga efek samping yang
umumnya terjadi pada AINS yang tidak selektif adalah tukak lambung karena
apabila cox 1 dihambat maka tidak ada lagi yang mengatur sekresi asam
lambung .