iv. hasil dan pembahasan - repository.ipb.ac.id · iv. hasil dan pembahasan 4.1 uji kelarutan...

15
25 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 UJI KELARUTAN PROTEIN DALAM LARUTAN BASA Uji kelarutan protein dalam larutan basa mengikuti metode uji KOH Protein Solubility (KOH PS). Kelarutan protein dalam larutan 0,2% KOH telah terbukti sebagai indikator kualitas protein in vivo yang baik untuk mengamati overprocessing pada kedelai menurut Araba dan Dale (1990). KOH PS tidak bersifat linier terhadap waktu pemanasan. Caprita et al. (2010) menjelaskan bahwa KOH PS merupakan indeks yang baik untuk menentukan overprocessing pada kedelai, tetapi bukan merupakan indeks yang sensitif untuk mengamati underprocessing. Metode KOH PS pada penelitian ini mengacu pada Araba dan Dale (1990). Hasil uji kelarutan protein dalam larutan basa menggunakan metode KOH PS dapat dilihat pada Tabel 9. Data ini merupakan hasil rata-rata dari dua kali ulangan dan duplo pada setiap ulangannya. Data dari masing-masing ulangan secara keseluruhan dapat dilihat pada Lampiran 5. Tabel 9. Hasil uji KOH Protein Solubility (dalam persen) pada berbagai kombinasi tekanan alat steam blasting dan lama pemanasan (nilai rata-rata ± standar deviasi) Waktu (menit) Tekanan (bar) 1 c 2 ab 3 a 4 d 5 bc 5 73,02 ± 5,38 64,00 ± 10,61 46,64 ± 4,47 82,02 ± 53,74 68,26 ± 8,69 10 72,34 ± 4,02 53,75 ± 5,98 50,86 ± 4,13 97,88 ± 29,06 64,43 ± 6,29 15 70,68 ± 5,14 51,61 ± 8,13 46,08 ± 6,84 81,32 ± 3,82 63,17 ± 5,62 20 58,52 ± 1,31 43,59 ± 1,03 33,52 ± 25,63 83,26 ± 3,11 59,27 ± 4,71 25 54,01 ± 1,02 43,20 ± 3,72 54,13 ± 5,21 72,26 ± 5,66 55,17 ± 2,67 Keterangan: huruf berbeda menunjukkan perbedaan nyata pada taraf α=0.05 berdasarkan uji lanjut Duncan RAL Nilai KOH PS diperoleh dari perbandingan konsentrasi protein sampel dengan perlakuan panas dan tekanan dibandingkan konsentrasi protein kedelai tanpa perlakuan. Menurut The National Oilseed Processor Association (NOPA) dari Amerika, spesifikasi kualitas kedelai yang dianjurkan yaitu kedelai dengan nilai kelarutan protein dalam 0,2% KOH sebesar 73-85% atau lebih jika nilai indeks ureasenya berada dalam spesifikasi (0,02 sampai 0,3 unit pH). Sementara menurut Araba dan Dale (1990), nilai KOH PS yang dianjurkan berkisar antara 70-85%. Pada perlakuan tekanan 1 bar, nilai KOH PS tetap tinggi sampai perlakuan lama pemanasan menit ke-15, kemudian menurun drastis pada pemanasan menit ke-20 sekitar 12%. Dari perlakuan lama pemanasan menit ke-20 sampai terakhir sudah tidak terjadi penurunan yang drastis. Sementara pada perlakuan tekanan 2 bar terjadi penurunan cukup besar pada pemanasan menit ke-10. Setelah itu masih terjadi penurunan namun tidak sebesar pada pemanasan menit ke-10. Perlakuan 3 bar dan 4 bar menunjukkan hasil yang tidak konsisten. Pada perlakuan tekanan 3 bar, terjadi kenaikan nilai KOH PS yaitu pada perlakuan lama

Upload: vonhi

Post on 08-Mar-2019

240 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: IV. HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 UJI KELARUTAN PROTEIN DALAM LARUTAN BASA Uji kelarutan protein dalam larutan basa mengikuti metode

25

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 UJI KELARUTAN PROTEIN DALAM LARUTAN BASA Uji kelarutan protein dalam larutan basa mengikuti metode uji KOH Protein Solubility

(KOH PS). Kelarutan protein dalam larutan 0,2% KOH telah terbukti sebagai indikator kualitas protein in vivo yang baik untuk mengamati overprocessing pada kedelai menurut Araba dan Dale (1990). KOH PS tidak bersifat linier terhadap waktu pemanasan. Caprita et al. (2010) menjelaskan bahwa KOH PS merupakan indeks yang baik untuk menentukan overprocessing pada kedelai, tetapi bukan merupakan indeks yang sensitif untuk mengamati underprocessing.

Metode KOH PS pada penelitian ini mengacu pada Araba dan Dale (1990). Hasil uji kelarutan protein dalam larutan basa menggunakan metode KOH PS dapat dilihat pada Tabel 9. Data ini merupakan hasil rata-rata dari dua kali ulangan dan duplo pada setiap ulangannya. Data dari masing-masing ulangan secara keseluruhan dapat dilihat pada Lampiran 5.

Tabel 9. Hasil uji KOH Protein Solubility (dalam persen) pada berbagai kombinasi tekanan alat

steam blasting dan lama pemanasan (nilai rata-rata ± standar deviasi)

Waktu (menit) Tekanan (bar)

1c 2ab 3a 4d 5bc

5 73,02 ±

5,38

64,00 ±

10,61

46,64 ±

4,47

82,02 ±

53,74

68,26 ±

8,69

10 72,34 ±

4,02

53,75 ±

5,98

50,86 ±

4,13

97,88 ±

29,06

64,43 ±

6,29

15 70,68 ±

5,14

51,61 ±

8,13

46,08 ±

6,84

81,32 ±

3,82

63,17 ±

5,62

20 58,52 ±

1,31

43,59 ±

1,03

33,52 ±

25,63

83,26 ±

3,11

59,27 ±

4,71

25 54,01 ±

1,02

43,20 ±

3,72

54,13 ±

5,21

72,26 ±

5,66

55,17 ±

2,67

Keterangan: huruf berbeda menunjukkan perbedaan nyata pada taraf α=0.05 berdasarkan uji lanjut Duncan RAL

Nilai KOH PS diperoleh dari perbandingan konsentrasi protein sampel dengan perlakuan

panas dan tekanan dibandingkan konsentrasi protein kedelai tanpa perlakuan. Menurut The National Oilseed Processor Association (NOPA) dari Amerika, spesifikasi kualitas kedelai yang dianjurkan yaitu kedelai dengan nilai kelarutan protein dalam 0,2% KOH sebesar 73-85% atau lebih jika nilai indeks ureasenya berada dalam spesifikasi (0,02 sampai 0,3 unit pH). Sementara menurut Araba dan Dale (1990), nilai KOH PS yang dianjurkan berkisar antara 70-85%. Pada perlakuan tekanan 1 bar, nilai KOH PS tetap tinggi sampai perlakuan lama pemanasan menit ke-15, kemudian menurun drastis pada pemanasan menit ke-20 sekitar 12%. Dari perlakuan lama pemanasan menit ke-20 sampai terakhir sudah tidak terjadi penurunan yang drastis. Sementara pada perlakuan tekanan 2 bar terjadi penurunan cukup besar pada pemanasan menit ke-10. Setelah itu masih terjadi penurunan namun tidak sebesar pada pemanasan menit ke-10. Perlakuan 3 bar dan 4 bar menunjukkan hasil yang tidak konsisten. Pada perlakuan tekanan 3 bar, terjadi kenaikan nilai KOH PS yaitu pada perlakuan lama

Page 2: IV. HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 UJI KELARUTAN PROTEIN DALAM LARUTAN BASA Uji kelarutan protein dalam larutan basa mengikuti metode

26

pemanasan menit ke-10 dan 25. Hal yang serupa terjadi pada perlakuan tekanan 4 bar, yaitu saat pemanasan menit ke-10 dan 20. Sementara pada perlakuan tekanan 5 bar tidak terjadi penurunan drastis sampai perlakuan lama pemanasan menit terakhir.

Nilai KOH PS dari berbagai kombinasi perlakuan sangat bervariasi. Berdasarkan standar kualitas soybean meal yang dianjurkan oleh NOPA, hanya perlakuan tekanan 1 bar menit ke-5 dan perlakuan tekanan 4 bar sampai pemanasan menit ke-20 (kecuali menit ke-10) yang memenuhi standar tersebut. Dilihat berdasarkan Araba dan Dale (1990), perlakuan panas dan tekanan yang memenuhi standar yaitu perlakuan tekanan 1 bar dengan lama pemanasan sampai menit ke-15 dan perlakuan tekanan 4 bar pada berbagai perlakuan lama pemanasan kecuali menit ke-10. Telah dijelaskan dalam Batal et al. (2000) bahwa kelarutan protein dalam larutan KOH tidak konsisten terhadap lama pemanasan. KOH PS biasanya tetap tinggi pada awal pemanasan dan tidak mengalami penurunan drastis pada waktu pemanasan yang lebih singkat. Hal ini juga terjadi dalam penelitian ini, seperti pada perlakuan tekanan 1 dan 2 bar. Namun, secara umum nilai KOH PS semakin menurun dengan meningkatnya pemanasan. Hal ini disebabkan terjadinya denaturasi protein karena terpapar oleh panas yang tinggi. Protein yang terdenaturasi akan berkurang kelarutannya. Lapisan molekul bagian dalam yang bersifat hidrofobik berbalik ke luar sedangkan lapisan luar yang bersifat hidrofilik terlipat ke dalam (Winarno 2008). Analisis statistik RAL yang dilakukan menunjukkan bahwa tekanan memiliki pengaruh signifikan (p<0,05) terhadap nilai KOH PS, sedangkan lama pemanasan serta interaksi tekanan dan lama pemanasan tidak berpengaruh signifikan (p>0,05) terhadap nilai KOH PS (Lampiran 20). Uji lanjut Duncan memperlihatkan bahwa perlakuan tekanan berada pada subset yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan tekanan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai KOH PS pada taraf α=0,05. Berbeda halnya dengan lama pemanasan serta interaksi tekanan dan lama pemanasan yang berada pada satu subset sehingga tidak memberikan pengaruh nyata terhadap nilai KOH PS. Perlakuan tekanan sebesar 4 bar berbeda nyata dengan perlakuan tekanan lainnya (Lampiran 21). Analisis statistik dilanjutkan dengan uji Faktorial. Dari uji tersebut, diperoleh bahwa terdapat perbedaan nyata (p<0,05) antara berbagai kombinasi perlakuan tekanan dan lama pemanasan alat steam blasting terhadap nilai KOH PS (Lampiran 22). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perlakuan tekanan 1 bar selama 5 menit tidak berbeda nyata dengan perlakuan tekanan 1 bar (lama pemanasan 10 dan 15 menit), 2 bar (lama pemanasan 5 menit), 4 bar (lama pemanasan 5, 10, 15, 20, dan 25 menit) dan 5 bar (lama pemanasan 5 dan 10 menit) terhadap nilai KOH PS, serta memiliki nilai KOH PS yang cukup tinggi dan berada dalam rentang nilai KOH PS yang dianjurkan (Lampiran 23). Dengan demikian perlakuan tekanan 1 bar selama 5 menit merupakan kombinasi perlakuan paling efisien dan tidak memberikan perbedaan nyata dibandingkan perlakuan tekanan yang lebih tinggi.

Proses steam blasting yang optimum ditentukan berdasarkan proses pemanasan dengan waktu lebih singkat dan perlakuan tekanan lebih kecil. Perlakuan tekanan 1 bar dengan lama pemanasan 5 menit dan perlakuan tekanan 4 bar pada semua perlakuan lama pemanasan memenuhi spesifikasi nilai KOH PS yang dianjurkan. Kualitas tepung kedelai yang baik diperoleh minimal dengan perlakuan tekanan 1 bar dan lama pemanasan 5 menit berdasarkan uji KOH PS. Namun, nilai KOH PS tidak linier terhadap lama pemanasan sehingga sulit ditentukan kombinasi perlakuan yang optimum berdasarkan uji KOH PS. Uji statistik juga menunjukkan perlakuan tekanan 1 bar selama 5 menit tidak berbeda nyata dengan perlakuan tekanan yang lebih tinggi yang dapat menyebabkan protein semakin terdenaturasi.

Page 3: IV. HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 UJI KELARUTAN PROTEIN DALAM LARUTAN BASA Uji kelarutan protein dalam larutan basa mengikuti metode

27

Berdasarkan uji statistik diperoleh bahwa tekanan merupakan parameter yang memiliki pengaruh signifikan terhadap nilai KOH PS. Uji lanjut Duncan RAL menunjukkan suatu pola nilai KOH PS dimana nilainya semakin menurun dengan semakin meningkatnya tekanan. Namun pada titik perlakuan tekanan 4 bar, nilai KOH PS mencapai nilai tertinggi dan kemudian menurun kembali pada tekanan 5 bar. Kelarutan protein semakin menurun karena terdenaturasinya protein. Denaturasi protein menyebabkan terbukanya gugus hidrofobik yang awalnya terdapat di lipatan dalam dari molekul protein. Gugus-gugus hidrofobik tersebut berinteraksi membentuk agregat protein berbobot molekul besar. Semakin tinggi suhu dan tekanan maka agregat tersebut dapat terdenaturasi lebih lanjut menjadi fraksi-fraksi protein berbobot molekul lebih rendah sehingga kelarutannya dapat mengalami peningkatan walaupun sudah mengalami denaturasi. Namun, pada akhirnya fraksi-fraksi protein tersebut dapat terdenaturasi kembali oleh suhu dan tekanan yang lebih tinggi (Raikos 2010).

4.2 UJI KELARUTAN PROTEIN DALAM LARUTAN NETRAL Uji kelarutan protein kedelai dalam larutan netral mengikuti metode Protein

Dispersibility Index (PDI). PDI merupakan indikator yang sensitif dan lebih konsisten dalam mengamati overheating dan underheating pada proses pengolahan kedelai. Kombinasi uji PDI dan indeks urease berguna mengamati kualitas kedelai dengan lebih baik (Batal et al. 2000). PDI mengukur kelarutan protein dalam air dengan kecepatan pengadukan yang tinggi. PDI umumnya mengalami penurunan yang besar dan konsisten pada kedelai yang mengalami pemanasan dalam selang waktu yang cukup lama. Selain lebih konsisten, PDI juga dapat diprediksi dan bersifat linear pada aplikasi proses pemanasan kedelai, serta merupakan metode pengukuran kualitas kedelai yang paling sederhana. PDI juga lebih bermanfaat dalam mengidentifikasi kedelai yang baru saja mengalami proses pemanasan (ASA 2010).

Metode PDI dalam penelitian ini mengacu pada American Oil Chemists Society (AOCS) 1980. Hasil uji kelarutan protein dalam air menggunakan metode PDI dapat dilihat pada Tabel 10. Data ini merupakan hasil rata-rata dari dua kali ulangan dan duplo pada setiap ulangannya.

Tabel 10. Hasil uji PDI (dalam persen) pada berbagai kombinasi tekanan alat steam blasting

dan lama pemanasan (nilai rata-rata ± standar deviasi)

Waktu (menit) Tekanan (bar)

1a 2ab 3b 4d 5c

5 24,68 ±

0,21

35,39 ±

1,01

37,48 ±

0,81

25,06 ±

3,12

29,54 ±

1,79

10 26,22 ±

4,12

36,03 ±

1,15

39,50 ±

1,43

36,05 ±

2,73

41,54 ±

4,13

15 28,48 ±

8,21

38,05 ±

2,60

47,41 ±

4,18

41,13 ±

2,51

42,05 ±

4,12

20 31,09 ±

1,81

40,70 ±

5,25

47,76 ±

6,36

43,76 ±

1,53

44,92 ±

5,18

25 33,04 ±

3,12

40,74 ±

2,50

44,07 ±

2,75

47,45 ±

1,58

51,37 ±

1,76

Keterangan: huruf berbeda menunjukkan perbedaan nyata pada taraf α=0.05 berdasarkan uji lanjut Duncan RAL

Page 4: IV. HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 UJI KELARUTAN PROTEIN DALAM LARUTAN BASA Uji kelarutan protein dalam larutan basa mengikuti metode

28

Nilai PDI diperoleh dari perbandingan konsentrasi protein sampel setelah perlakuan panas

dan tekanan dibandingkan konsentrasi protein kedelai tanpa perlakuan. Dalam Batal et al. (2000), umumnya kedelai dengan nilai PDI sebesar 45% atau kurang mengindikasikan proses pemanasan yang cukup. Namun, nilai tersebut lebih tinggi dibandingkan rentang yang dianjurkan oleh the National Soybean Processor Association yaitu sebesar 15-30%. National Oilseed Processor Association (NOPA) di Amerika mengeluarkan standar kualitas dan menjelaskan berbagai proses pengolahan produk yang berasal dari kedelai. NOPA merekomendasikan nilai PDI dalam pengukuran kualitas produk berbasis kedelai yaitu sebesar 15-40%. Kombinasi PDI dan indeks urease sangat berguna dalam mengamati kualitas kedelai. Kedelai dengan nilai PDI yang tinggi (40-45%) dan indeks urease yang rendah (0,3 atau kurang) dapat mengindikasikan bahwa sampel tersebut memiliki kualitas yang tinggi karena proses pemanasan yang cukup, namun tidak overheating. Berbagai perbedaan rekomendasi nilai PDI ini mengacu pada metode pengukuran PDI yang sama yaitu AOCS (1980). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa berbagai nilai PDI yang direkomendasikan ini dapat digunakan sebagai acuan.

Nilai PDI pada berbagai perlakuan panas dan tekanan ini berkisar antara 20-50%. Jika diambil rentang nilai PDI yang terendah dan tertinggi dari berbagai nilai yang direkomendasikan, maka diperoleh rentang nilai PDI sebesar 15-45%. Sampel kedelai dengan perlakuan tekanan 1 dan 2 bar pada berbagai lama pemanasan, memenuhi rentang nilai PDI yang dianjurkan. Begitu pula pada perlakuan tekanan 3 dengan lama pemanasan 5, 10, dan 25 menit. Perlakuan tekanan 3 bar dengan lama pemanasan 15 dan 20 menit mengalami kenaikan drastis dan menurun kembali pada menit ke-25. Kemungkinan terjadi penyimpangan pada hasil tersebut. Perlakuan 4 bar dan 5 bar menunjukkan masih menunjukkan kualitas kedelai yang baik sampai lama pemanasan menit ke-20.

Analisis statistik RAL yang dilakukan menunjukkan bahwa tekanan memiliki pengaruh nyata (p<0,05) terhadap nilai PDI, sedangkan lama pemanasan serta interaksi tekanan dan lama pemanasan tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap nilai PDI (Lampiran 24). Uji lanjut Duncan memperlihatkan bahwa perlakuan tekanan berada pada subset yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan tekanan memberikan pengaruh nyata terhadap nilai PDI pada taraf α=0,05. Sementara, lama pemanasan serta interaksi tekanan dan lama pemanasan berada pada satu subset sehingga tidak memberikan pengaruh nyata terhadap nilai PDI. Perlakuan tekanan sebesar 4 bar berbeda nyata dengan perlakuan tekanan lainnya. Begitu pula dengan perlakuan tekanan 5 bar (Lampiran 25). Analisis statistik dilanjutkan dengan uji Faktorial dan diperoleh bahwa terdapat perbedaan nyata (p<0,05) antara berbagai kombinasi perlakuan tekanan dan lama pemanasan alat steam blasting terhadap nilai PDI (Lampiran 26). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perlakuan tekanan 1 bar selama 5 menit tidak berbeda nyata dengan perlakuan tekanan 1 bar (lama pemanasan 10, 15, 20, dan 25 menit), 2 bar (lama pemanasan 5, 10, 15, 20, dan 25 menit), 3 bar (lama pemanasan 5, 10, 15, 20, dan 25 menit), dan 5 bar (lama pemanasan 25 menit) terhadap nilai PDI, serta memiliki nilai PDI cukup tinggi dan berada dalam rentang nilai PDI yang dianjurkan (Lampiran 27). Dengan demikian perlakuan tekanan 1 bar selama 5 menit merupakan kombinasi perlakuan paling efisien dan tidak memberikan perbedaan signifikan dibandingkan perlakuan tekanan yang lebih tinggi.

Berdasarkan uji statistik diperoleh bahwa tekanan merupakan parameter yang memiliki pengaruh signifikan terhadap nilai PDI. Uji lanjut Duncan RAL menunjukkan suatu pola nilai PDI dimana nilainya semakin meningkat dengan semakin meningkatnya tekanan. Pada titik

Page 5: IV. HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 UJI KELARUTAN PROTEIN DALAM LARUTAN BASA Uji kelarutan protein dalam larutan basa mengikuti metode

29

perlakuan tekanan 4 bar, nilai PDI mencapai nilai tertinggi dan kemudian menurun kembali pada tekanan 5 bar. Kelarutan protein semakin meningkat karena terdenaturasinya protein. Menurut Zayas (1997), kelarutan protein kedelai dalam air meningkat dengan meningkatnya pH dari 6 ke 8 dan suhu dari 10 oC sampai 70 oC. Ketika suhu meningkat, struktur protein terbuka (unfold) menjadi rantai lurus sehingga memungkinkan terjadinya peningkatan interaksi antara protein dan air, kelarutan protein kedelai pun ikut meningkat. Namun, pemanasan yang berlebihan dapat menyebabkan protein terdenaturasi. Panas memutuskan ikatan hidrogen dalam molekul protein. Hal ini menyebabkan kelarutan protein berkurang karena rusaknya struktur sekunder, tersier, dan kuartener dari molekul protein (Winarno 2008). Denaturasi protein juga menyebabkan terbukanya gugus hidrofobik yang awalnya terdapat di lipatan dalam dari molekul protein. Gugus-gugus hidrofobik tersebut berinteraksi membentuk agregat protein berbobot molekul besar sehingga kelarutannya berkurang (Raikos 2010).

Proses steam blasting yang optimum ditunjukkan dengan kelarutan protein yang baik dalam air, yaitu memenuhi nilai PDI yang direkomendasikan. Selain itu, perlakuan panas dan tekanan yang minimum juga menjadi parameter proses steam blasting yang optimal. Berdasarkan uji kelarutan dalam air menggunakan metode PDI, perlakuan tekanan 1 dan 2 bar dengan berbagai lama pemanasan mengalami proses pemanasan yang cukup, tidak overheating maupun underheating. Begitu pula pada perlakuan tekanan 3 bar dengan lama pemanasan selama 5, 10, dan 25 menit; serta perlakuan tekanan 4 dan 5 bar sampai lama pemanasan menit ke-20. Oleh karena itu, berdasarkan uji PDI kedelai yang memiliki kualitas baik dan proses pemanasan yang cukup, minimal mendapatkan perlakuan tekanan sebesar 1 bar dengan lama pemanasan 5 menit. Uji statistik juga menunjukkan perlakuan tekanan 1 bar selama 5 menit tidak berbeda nyata dengan perlakuan tekanan yang lebih tinggi yang dapat menyebabkan protein semakin terdenaturasi.

4.3 UJI INDEKS UREASE Uji indeks urease merupakan metode penentuan kualitas kedelai yang paling banyak

digunakan (Caprita et al. 2010). Indeks urease merupakan indikator keberadaan faktor antinutrisi, seperti inhibitor tripsin yang terdapat pada kedelai yang mengalami underprocessed. Indeks urease berguna untuk mendeteksi underheating atau underprocessing pada kedelai, namun memiliki keterbatasan dalam mendeteksi overheating atau overprocessing. Indeks urease tidak bersifat linier terhadap peningkatan proses pemanasan. Indeks urease menurun drastis sebesar 2 unit pH hingga mendekati nol jika pemanasan meningkat dengan cepat (ASA 2010).

Uji indeks urease pada penelitian ini mengikuti metode yang dijelaskan dalam American Oil Chemists Society (AOCS) 1980. Sampel yang dianalisis berbentuk tepung. Sampel hasil proses steam blasting dikeringkan menggunakan freeze dryer, kemudian dihaluskan menggunakan grinder. Sampel terdiri dari 25 perlakuan yang merupakan kombinasi dari tekanan dan lama pemanasan alat steam blasting. Hasil pengukuran menggunakan uji indeks urease dapat dilihat pada Tabel 11. di bawah ini. Sementara data dan perhitungan dicantumkan dalam Lampiran 9.

Page 6: IV. HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 UJI KELARUTAN PROTEIN DALAM LARUTAN BASA Uji kelarutan protein dalam larutan basa mengikuti metode

30

Tabel 11. Hasil uji indeks urease (satuan unit pH) pada berbagai kombinasi tekanan dan lama pemanasan alat steam blasting (nilai rata-rata)

Waktu (menit) Tekanan (bar)

1c 2b 3a 4a 5a

0 2,14 2,14 2,14 2,14 2,14

5 0,075 0,03 0,02 0,0175 0,0075

10 0,06 0,015 0 0 0

15 0,055 0,015 0 0 0

20 0,04 0,015 0 0 0

25 0,04 0,01 0 0 0

Keterangan: huruf berbeda menunjukkan perbedaan nyata pada taraf α=0.05 berdasarkan uji lanjut Duncan RAL

Nilai indeks urease pada kedelai tanpa perlakuan panas dan tekanan mencapai 2,14 unit pH. Kemudian pada pemanasan menit ke-5 terjadi penurunan indeks urease secara drastis. Hal ini terjadi pada semua perlakuan tekanan. Pada perlakuan tekanan 1 bar, penurunan indeks urease yang terjadi setelah pemanasan menit ke-5 tidak terlalu berbeda jauh. Setelah pemanasan menit ke-15, indeks urease tetap konstan pada angka 0,04 unit pH. Begitu pula pada perlakuan tekanan 2 bar, setelah pemanasan menit ke-5 indeks urease tetap konstan sampai pemanasan menit ke-20 dan menunjukkan sedikit penurunan pada pemanasan menit ke-25. Sementara pada perlakuan tekanan 3, 4, dan 5 bar, indeks urease sudah mencapai nilai nol di menit ke-10 waktu pemanasan. Semakin besar panas dan tekanan yang diberikan, penurunan indeks urease semakin tinggi.

Dalam American Soybean Association (2010), meskipun indeks urease yang biasa dijadikan rekomendasi yaitu 0,05 sampai 0,20 unit pH, namun dari beberapa penelitian secara jelas menunjukkan bahwa nilai indeks urease yang melebihi batas tersebut cukup diterima kualitasnya. Data pada Tabel di atas menunjukkan bahwa indeks urease pada perlakuan tekanan 1 bar masih dapat diterima sampai pemanasan menit ke-15. Sementara dalam Batal et al. (2010), indeks urease yang berkisar antara 0,02 sampai 0,30 unit pH menunjukkan bahwa produk tersebut memiliki kualitas baik, mengalami proses pemanasan yang cukup, dan tidak overheating. Indeks urease kurang dari 0,02 unit pH mengindikasikan overheating, sedangkan indeks urease lebih dari 0,3 unit pH menunjukkan underheating. Semua waktu pemanasan pada perlakuan tekanan 1 bar masih memenuhi kriteria kualitas kedelai yang baik dan pemanasan yang cukup. Sementara pada perlakuan tekanan 2 bar dan 3 bar, hanya lama pemanasan selama 5 menit yang memiliki kualitas yang baik dan tidak underheating. Perlakuan tekanan 4 bar dan 5 bar pada berbagai lama pemanasan tidak ada yang menunjukkan kualitas kedelai yang baik dengan proses pemanasan yang cukup. Penambahan waktu pemanasan setelah menit ke-5 pada tekanan 3, 4, dan 5 bar tidak memberikan efek terhadap nilai indeks urease. Oleh karena itu, indeks urease berguna untuk menentukan kecukupan panas maupun underheating dalam mengurangi faktor antinutrisi, tetapi tidak sensitif untuk mendeteksi overheating atau overprocessed.

Analisis statistik RAL yang dilakukan menunjukkan bahwa tekanan dan lama pemanasan memiliki pengaruh nyata (p<0,05) terhadap nilai indeks urease, sedangkan interaksi tekanan dan lama pemanasan tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap nilai indeks urease (Lampiran 28). Uji lanjut Duncan memperlihatkan bahwa perlakuan tekanan berada pada subset yang

Page 7: IV. HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 UJI KELARUTAN PROTEIN DALAM LARUTAN BASA Uji kelarutan protein dalam larutan basa mengikuti metode

31

berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan tekanan memberikan pengaruh nyata terhadap nilai indeks urease pada taraf α=0,05. Begitu pula dengan perlakuan lama pemanasan berada pada subset yang berbeda. Sementara, interaksi tekanan dan lama pemanasan berada pada satu subset sehingga tidak memberikan pengaruh nyata terhadap nilai indeks urease. Perlakuan tekanan sebesar 1 bar berbeda nyata dengan perlakuan tekanan lainnya. Begitu pula dengan perlakuan tekanan 2 bar. Perlakuan lama pemanasan selama 5 menit juga berbeda nyata dengan perlakuan lama pemanasan lainnya (Lampiran 29). Analisis statistik dilanjutkan dengan uji Faktorial dan diperoleh bahwa terdapat perbedaan nyata (p<0,05) antara berbagai kombinasi perlakuan tekanan dan lama pemanasan alat steam blasting terhadap nilai indeks urease (Lampiran 30). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perlakuan tekanan 1 bar selama 5 menit berbeda nyata dengan perlakuan tekanan lainnya, memiliki nilai indeks urease tertinggi dibandingkan kombinasi perlakuan lainnya dan nilai tersebut berada dalam rentang nilai indeks urease yang dianjurkan. Sementara, perlakuan tekanan 4 bar selama 10 menit tidak berbeda nyata dengan perlakuan tekanan 2 bar (lama pemanasan 10, 15, 20, dan 25 menit), 3 bar (lama pemanasan 10, 15, 20, dan 25 menit), 4 bar (lama pemanasan 15, 20, dan 25 menit) dan 5 bar (lama pemanasan 5, 10, 15, 20, dan 25 menit) terhadap nilai indeks urease dan mencapai nilai indeks urease yang hampir mendekati nol (Lampiran 31). Nilai indeks urease yang semakin mendekati nol dengan semakin meningkatnya pemanasan, mengindikasikan terjadinya overheating pada peorses pengolahan kedelai. Semakin tinggi suhu dan tekanan yang diberikan, maka nilai indeks urease tidak menunjukkan nilai yang sebenarnya (Caprita et al. 2010).

Proses steam blasting yang optimum yaitu proses pemanasan dengan waktu lebih singkat dan perlakuan tekanan lebih kecil. Berdasarkan uji indeks urease, perlakuan tekanan 1 bar dengan berbagai lama pemanasan, serta perlakuan tekanan 2 dan 3 bar dengan lama pemanasan 5 menit menunjukkan kriteria kualitas kedelai yang baik. Perlakuan tekanan sebesar 1 bar dengan lama pemanasan 5 menit merupakan proses yang paling optimum karena memerlukan tekanan yang lebih kecil dan waktu yang lebih singkat. Uji statistik menunjukkan perlakuan tekanan 1 bar selama 5 menit berbeda nyata dengan perlakuan tekanan yang lebih tinggi yang dapat menyebabkan protein semakin terdenaturasi. Nilai PDI pada perlakuan tekanan 1 bar selama 5 menit juga mengindikasikan bahwa kedelai tidak mengalami underheating.

Uji indeks urease berkaitan dengan faktor antinutrisi yang terdapat dalam kedelai. Pada kedelai terdapat enzim urease yang menghidrolisis urea menjadi karbon dioksida dan amonium. Produksi amonium menyebabkan pH larutan meningkat. Pemanasan dalam proses pengolahan kedelai mengakibatkan enzim urease rusak dan pH kedelai menurun karena urea tidak bisa diubah menjadi amonium. Kerusakan enzim urease berkorelasi sangat tinggi dengan kerusakan inhibitor tripsin dan faktor antinutrisi lainnya. Indeks urease yang berada dalam rentang yang dianjurkan, menunjukkan penurunan faktor antinutrisi sehingga kedelai memiliki daya cerna yang lebih baik.

4.4 UJI SDS-PAGE SDS-PAGE (Sodium Dodecyl Sulfate Polyacrylamide Gel Electrophoresis) merupakan

detergen anionik yang bersama dengan β-merkaptoetanol serta pemanasan merusak struktur tiga dimensi protein. Kerusakan struktur tiga dimensi disebabkan pecahnya ikatan disulfida yang selanjutnya tereduksi menjadi gugus sulfidril. Mula-mula SDS merusak struktur sekunder, tersier, dan kuartener protein menghasilkan rantai polipeptida acak.

Page 8: IV. HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 UJI KELARUTAN PROTEIN DALAM LARUTAN BASA Uji kelarutan protein dalam larutan basa mengikuti metode

32

β-merkaptoetanol memecah semua ikatan disulfida yang ada. Kedua reaksi tersebut menyebabkan protein terdenaturasi (Boyer 1993).

Teknik SDS-PAGE pada penelitian ini dilakukan dengan tujuan mengkarakterisasi protein kedelai setelah proses steam blasting. Pita protein hasil elektroforesis SDS-PAGE menunjukkan karakteristik dari polipeptida penyusun protein kedelai tersebut. Kelebihan dari metode SDS-PAGE yaitu mekanismenya dalam mengklasifikasi suatu protein berdasarkan berat molekul dari bahan yang digunakan. Mekanisme penentuan berat molekul ini diawali dengan memasukkan sampel kedelai ke dalam sumur gel yang terdapat bagian paling atas gel. Gel tersebut adalah buffer gel pengumpul dengan pori yang lebih besar. Gel ini akan mengumpulkan protein dari sampel kedelai, selanjutnya protein akan bermigrasi. Protein yang memiliki berat molekul paling tinggi akan berada pada lapisan paling atas dari gel pemisah (Wilson dan Walker 2000).

Penelitian ini menggunakan gel poliakrilamida sebesar 12,5% sehingga mobilitas protein yang diperoleh besar dan protein dengan berat molekul yang tinggi dapat dipisahkan. Hal ini sesuai dengan Hames dan Rickwood (1981), yaitu semakin tinggi konsentrasi gel poliakrilamida yang digunakan maka semakin kecil ukuran molekul yang dipisahkan dan semakin besar mobilitas molekul tersebut. Keberhasilan pemisahan suatu senyawa dipengaruhi pula oleh banyak faktor antara lain, buffer, suhu, waktu, dan besarnya arus listrik yang digunakan (Hames dan Rickwood 1981). Suhu dapat mempengaruhi kekentalan media dan jari-jari ion, sehingga mobilitas akan berpengaruh. Waktu dan arus listrik yang optimum akan menghasilkan pola pemisahan molekul yang optimum (Wilson dan Walker 2000).

Hasil pemisahan protein kedelai hasil steam blasting ditunjukkan pada Gambar 9. Protein kedelai hasil steam blasting terbagi menjadi 14 pita pada perlakuan tekanan 1 bar, 12 pita pada perlakuan tekanan 2 bar, 2 pita pada perlakuan tekanan 3 bar, serta 1 pita pada perlakuan tekanan 4 dan 5 bar. Protein standar yang digunakan terdiri dari 14 pita protein. Dari hasil pemisahan, semua pita protein standar dapat terlihat meskipun ada yang tidak terpisah secara sempurna. Pita protein yang muncul pada perlakuan tekanan 1 dan 2 bar menunjukkan pola yang relatif serupa, begitu pula pada pita protein blanko (tidak mengalami perlakuan panas dan tekanan). Namun, pita protein yang muncul pada perlakuan tekanan 3, 4, dan 5 bar menunjukkan pita protein yang cukup berbeda dari perlakuan 1 dan 2 bar. Pita protein hasil perlakuan 1 dan 2 bar diduga terdiri dari α, α’, β yang merupakan subunit 7S (β-konglisinin) dan pita golongan asam dan basa yang merupakan subunit 11S (glisinin).

Page 9: IV. HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 UJI KELARUTAN PROTEIN DALAM LARUTAN BASA Uji kelarutan protein dalam larutan basa mengikuti metode

33

Gambar 9. Profil protein kedelai hasil steam blasting selama 25 menit

Analisis selanjutnya yaitu penentuan berat molekul masing-masing pita protein. Dalam

penentuan berat molekul pita protein, nilai berat molekul standar ditampilkan sebagai nilai logaritmanya, sedangkan jarak migrasi pita protein pada media SDS gel diubah menjadi nilai Rf. Hubungan antara log BM (Y) dengan nilai Rf (X) bersifat linier yang dinyatakan dengan persamaan:

Y= A + BX Persamaan garis regresi dibuat dari nilai Rf protein standar terhadap nilai log BM

molekulnya dan menghasilkan kurva standar (Gambar 10) dengan persamaan regresi:

Y= 5,2872 –1,7536x

Gambar 10. Kurva standar nilai Rf terhadap nilai log BM

y = -1,7536x + 5,2872 R² = 0,9217

0123456

0,0000 0,2000 0,4000 0,6000 0,8000

Log

BM

Rf

Marker 5 bar 4 bar 3 bar 2 bar 1 bar kontrol

1 2 3 4 4 4 5 5 5

6 6 7 7 7 (α)

8 (β) 8 8

9 (Asam) 9 9

10 11

12 12 12

13 (Basa) 13 13

14 14 14

12 12 12

15 16 16

14

17 17 18

20

19

20

11S

7S

MW, kDaa

250 150 100 75

50

37

25

20

15

Page 10: IV. HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 UJI KELARUTAN PROTEIN DALAM LARUTAN BASA Uji kelarutan protein dalam larutan basa mengikuti metode

34

Kurva standar dibuat untuk menentukan berat molekul pita protein hasil pemisahan protein kedelai yang telah diberi perlakuan panas dan tekanan dari alat steam blasting, seperti ditunjukkan pada Tabel 12.

Tabel 72. Berat molekul protein kedelai setelah proses steam blasting

Pita

Berat molekul protein kedelai setelah proses steam blasting (dalam satuan kDa)

Tanpa

Perlakuan

(kontrol)

Tekanan 1

bar

Tekanan 2

bar

Tekanan 3

bar

Tekanan 4

bar

Tekanan 5

bar

1 - 136 - - - -

2 120 - - - - -

3 109 - - - - -

4 96 96 96 - - -

5 84 84 84 - - -

6 - 74 74 - - -

7 65 65 65 - - -

8 52 52 52 - - -

9 42 42 42 - - -

10 31 - - - - -

11 27 - - - - -

12 25 25 25 25 25 25 13 19 19 19 - - -

14 15 15 15 15 - -

15 - - 13 - - -

16 11 11 - - - -

17 - 10 10 - - -

18 9 - - - - -

19 - 8 - - - -

20 - 7 7 - - -

Pengaruh tekanan dan lama pemanasan terhadap profil protein berdasarkan SDS-PAGE

menunjukkan pita protein dengan pola yang relatif berbeda (Gambar 9). Penentuan berat molekul pita protein dihitung berdasarkan kurva standar (Gambar 10). Berdasarkan Liu (1997), subunit monomer glisinin (fraksi 11S) mempunyai struktur umum A-S-S-B, di mana A mewakili polipeptida asam berbobot molekul 34-44 kDa dan B mewakili polipeptida basa berbobot molekul sekitar 20 kDa. Dari perhitungan bobot molekul pita protein sampel, dapat dilihat bahwa subunit peptida asam terdapat pada kedelai tanpa perlakuan, sampel kedelai

Page 11: IV. HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 UJI KELARUTAN PROTEIN DALAM LARUTAN BASA Uji kelarutan protein dalam larutan basa mengikuti metode

35

dengan perlakuan tekanan 1 dan 2 bar sebesar 42 kDa, namun sudah tidak teridentifikasi pada perlakuan tekanan yang lebih tinggi. Hal yang sama terjadi pula pada subunit basa sebesar 19 kDa. Peptida asam lebih heterogen dalam hal berat molekul. Subunit A3 merupakan peptida asam yang paling besar dengan berat molekul 42-43 kDa. Beberapa jenis kedelai memiliki subunit A4 yang bermigrasi dengan sebagian besar peptida asam. Subunit A4 memiliki berat molekul sebesar 40 kDa. Salah satu peptida asam, subunit A5 lebih kecil dibandingkan peptida glisinin lain dengan berat molekul sebesar 10 kDa (Murphy 2008). Berdasarkan hasil dari SDS-PAGE, tidak teridentifikasi pita protein sampel yang persis berada pada rentang berat molekul dari subunit peptida asam A3 dan A4, namun terdapat subunit protein A5 dengan berat molekul sebesar 10 kDa (pita protein nomor 17).

Selain glisinin (fraksi 11S), protein cadangan utama pada kedelai yaitu β-konglisinin (7S globulin). β-konglisinin adalah suatu trimer dengan berat molekul sekitar 180 kDa. β-konglisinin mempunyai tiga jenis subunit, dinamakan sebagai α’, α dan β dengan berat molekul masing-masing diperkirakan sekitar 57, 57, dan 42 kDa (Liu 1997). Sementara dalam Murphy (2008), berat molekul ketiga subunit tersebut setelah dianalisis menggunakan SDS PAGE berturut-turut sebesar 72, 68, dan 52 kDa. Berbagai penelitian telah banyak dilakukan untuk mengidentifikasi berat molekul ketiga subunit ini dengan berbagai metode berbeda. Pita protein sampel kedelai menunjukkan berat molekul yang mendekati berat molekul ketiga subunit tersebut (Tabel 12 dan Gambar 9). Subunit α’ ditunjukkan dengan pita protein nomor 6 (74 kDa) yang teridentifikasi pada perlakuan tekanan 1 dan 2 bar. Subunit α dan β teridentifikasi sampai perlakuan tekanan sebesar 2 bar dengan berat molekul masing-masing sebesar 65 kDa dan 52 kDa. Glisinin sudah tidak ditemukan pada perlakuan tekanan yang lebih tinggi. Subunit α’ dan α sangat serupa dalam hal komposisi asam amino sehingga berat molekul yang dimilikinya tidak jauh berbeda. Liu (1997) menjelaskan bahwa perbedaan komposisi dan struktur antara dua globulin utama dalam kedelai, β-konglisinin (7S) dan glisinin (11S), menunjukkan perbedaan pada kualitas nutrisi dan karakteristik fungsional. Protein 7S memiliki stabilitas panas lebih baik dibandingkan globulin 11S. Berdasarkan hasil penelitian, sampel dengan perlakuan tekanan lebih besar dari 2 bar tidak teridentifikasi mengandung fraksi 11S maupun 7S globulin. Umumnya fraksi 11S mengandung 3-4 kali lebih banyak metionin dan sistein per unit molekul protein dibandingkan 7S globulin. Karena protein kedelai umumnya lebih sedikit memiliki asam amino yang mengandung sulfur, protein 11S menjadi lebih bernilai dari segi nutrisi (Liu 1997).

Salah satu zat antinutrisi yang dominan pada kedelai yaitu inhibitor tripsin. Inhibitor tripsin telah diisolasi dari kedelai dan terbagi menjadi dua jenis: inhibitor tripsin Kunitz dan inhibitor Bowman-Birk. Inhibitor tripsin Kunitz memiliki berat molekul antara 20 dan 25 kDa, sedangkan inhibitor Bowman-Birk sekitar 8 kDa (Liu 1997). Sementara Murphy (2008) menyebutkan berat molekul inhibitor tripsin Kunitz memiliki berat molekul sebesar 21,5 kDa. Inhibitor tripsin Kunitz masih teridentifikasi sampai perlakuan tekanan 5 bar dengan berat molekul sebesar 25 kDa. Sementara, inhibitor Bowman-Birk teridentifikasi pada kedelai tanpa perlakuan panas dan tekanan dengan berat molekul sebesar 9 kDa. Sementara pada kedelai dengan perlakuan tekanan 1 bar teridentifikasi inhibitor Bowman-Birk dengan berat molekul sebesar 8 kDa. Inhibitor ini sudah tidak teridentifikasi pada perlakuan tekanan yang lebih tinggi. Liu (1997) menjelaskan bahwa inhibitor Bowman-Birk mempunyai konformasi yang stabil meskipun setelah ikatan rusak karena pemanasan. Hal ini disebabkan inhibitor tersebut memiliki banyak cross-linking disulfida yaitu sekitar 7 per mol (Murphy 2008). Inhibitor ini mampu menghambat baik tripsin dan kimotripsin pada sisi reaktif independen. Sementara,

Page 12: IV. HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 UJI KELARUTAN PROTEIN DALAM LARUTAN BASA Uji kelarutan protein dalam larutan basa mengikuti metode

36

inhibitor tripsin Kunitz berikatan dengan kuat terhadap tripsin, misalnya secara stoikiometri 1 mol inhibitor menginaktivasi 1 mol tripsin. Inhibitor tripsin dalam kedelai dapat menurunkan daya cerna protein sehingga dapat memperlambat pertumbuhan. Selain itu, inhibitor ini dapat menyebabkan hipertropi pada pankreas (Liu 1997).

Lektin merupakan kelas lain dari protein antinutrisi dalam kedelai. Lektin kedelai memiliki berat molekul sebesar 110 kDa dari empat subunit yang identik (Murphy 2008, Wolf dan Cowan 1975). Sementara Liu (1997) menjelaskan bahwa lektin, yang juga dikenal sebagai hemaglutinin, memiliki berat molekul sebesar 120 kDa dengan berat masing-masing subunit sebesar 30 kDa. Lektin masih teridentifikasi pada pita protein kedelai tanpa perlakuan, yaitu pita protein bernomor 3 dengan berat molekul sebesar 109 kDa. Namun perlakuan panas dan tekanan sebesar 1 bar sudah mampu menghilangkan lektin dalam kedelai. Menurut Murphy (2008), lektin kedelai relatif mudah mengalami denaturasi panas dibandingkan lektin dalam legum lain. Produk pangan berbasis kedelai hanya mengandung sedikit lektin asli. Lektin juga merupakan zat antigizi yang dapat mempengaruhi mutu olahan kedelai. Liu (1997) menyebutkan berbagai dampak negatif dari lektin, diantaranya dapat menghambat pertumbuhan, dan berkaitan erat dengan pembengkakan pankreas, penurunan level insulin dalam darah, penghambatan disakaridase dan protease dalam usus, perubahan degeneratif dalam hati dan ginjal, serta mengganggu penyerapan besi nonheme dan lemak dari makanan.

Biji kedelai merupakan sumber yang paling kaya akan lipoksigenase. Empat isozim lipoksigenase telah diisolasi dan diidentifikasi sebagai L-1, L-2, L-3a, dan L-3b. Semua isozim merupakan protein monomer dengan berat molekul berkisar 100 kDa dan mengandung satu atom dari ikatan besi nonheme setiap molekulnya (Liu 1997). Murphy (2008) juga menjelaskan bahwa lipoksigenase kedelai merupakan peptida tunggal dengan berat molekul sekitar 102 kDa. Berdasarkan hasil penelitian, lipoksigenase masih dapat ditemukan sampai perlakuan tekanan 2 bar dengan berat molekul sebesar 96 kDa, dan sudah tidak teridentifikasi pada perlakuan tekanan yang lebih tinggi. Lipoksigenase merupakan enzim yang bertanggung jawab terhadap penyimpangan citarasa atau off-flavor pada kedelai. Lipoksigenase mengkatalisis oksidasi dari asam lemak tidak jenuh sehingga menghasilkan hidroperoksida asam lemak tidak jenuh terkonjugasi. Enzim ini juga memiliki kemampuan membentuk radikal bebas. Aktivitas enzim tertinggi ditemukan pada biji legum (Murphy 2008).

Secara umum, dapat dilihat bahwa semakin tinggi tekanan, pita protein semakin menghilang. Pita protein terlihat secara jelas pada tekanan 1 dan 2 bar, dan mulai menghilang pada perlakuan tekanan 3 bar. Hal ini menunjukkan bahwa setidaknya terdapat beberapa protein dari kedelai rusak karena panas. Perlakuan panas pada kedelai menyebabkan tereksposnya gugus hidrofobik pada kedelai yang awalnya tersembunyi pada sisi bagian dalam dari molekul protein dan membentuk agregat berberat molekul besar (Raikos 2010). Suhu denaturasi berbeda-beda tergantung dari jenis proteinnya. Struktur protein kedelai yang kompak membutuhkan suhu di atas 80 oC untuk terdenaturasi (Nakornpanom et al. 2009). Sementara Raikos menjelaskan bahwa protein yang dominan pada kedelai yaitu jenis protein globular, yang mengalami agregasi pada suhu lebih tinggi dari 65 oC. Hal ini menunjukkan bahwa pada tekanan 1 bar (suhu 99,6 oC), protein kedelai sudah mengalami denaturasi. Semakin tinggi suhu, derajat denaturasi akan semakin meningkat. Denaturasi menyebabkan terbukanya lipatan protein yang bersifat hidrofobik ke arah luar sehingga kelarutan protein menjadi berkurang. Ikatan-ikatan hidrofobik ini berinteraksi satu sama lain membentuk suatu agregat berbobot molekul besar (Raikos 2010). Hal ini dapat terlihat pada perlakuan tekanan 3

Page 13: IV. HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 UJI KELARUTAN PROTEIN DALAM LARUTAN BASA Uji kelarutan protein dalam larutan basa mengikuti metode

37

bar dimana fraksi-fraksi berbobot molekul rendah sudah tidak terlihat. Fraksi-fraksi tersebut sudah terdenaturasi dan mengalami agregasi.

Kedelai memiliki berbagai zat antinutrisi maupun senyawa off-flavor yang dapat menurunkan daya cerna dan kualitas kedelai. Perlakuan panas dan tekanan dengan alat steam blasting dapat menghilangkannya. Hal ini terbukti dengan adanya analisis menggunakan elektroforesis gel SDS-PAGE. Melalui analisis ini dapat diketahui bahwa inhibitor Bowman Birk sudah tidak teridentifikasi pada perlakuan tekanan 3 bar, sedangkan inhibitor tripsin Kunitz pada kedelai masih teridentifikasi sampai perlakuan tekanan sebesar 5 bar. Sementara protein cadangan utama (7S globulin dan fraksi 11S) dan lipoksigenase sudah inaktif pada tekanan 3 bar. Zat antinutrisi lektin inaktif dengan pemberian tekanan sebesar 1 bar. Dengan demikian, pada perlakuan tekanan 3 bar dengan lama pemanasan 25 menit, semua zat antinutrisi yang dominan (kecuali inhibitor tripsin Kunitz) pada kedelai sudah mengalami inaktifasi karena terdenaturasi oleh panas dan tekanan. Perlakuan tekanan sebesar 3 bar dengan lama pemanasan 25 menit memenuhi kriteria proses steam blasting yang optimum berdasarkan uji SDS-PAGE. Namun, harus dilakukan pengujian pada perlakuan lama pemanasan lainnya (5, 10, 15, dan 20 menit) untuk mengetahui lama pemanasan yang optimum dengan perlakuan tekanan 3 bar.

4.5 PENGAMATAN KARAKTERISTIK FISIK KEDELAI HASIL PROSES

STEAM BLASTING Pengamatan karakterisitik fisik dilakukan terhadap kedelai setelah melalui proses steam

blasting. Karakterisitik fisik yang diamati yaitu warna da tekstur. Warna yang diamati meliputi coklat agak muda, coklat muda, coklat tua, dan coklat sangat tua. Sementara warna yang diamati meliputi keras, agak lunak, lunak, dan sangat lunak. Karakteristik fisik yang diamati pada berbagai kombinasi perlakuan tekanan alat steam blasting dan lama pemanasan dapat dilihat pada Tabel 13.

Pengamatan karakteristik fisik ini dapat dijadikan acuan untuk membuat produk olahan kedelai lainnya, seperti susu kedelai, isolat, konsentrat, dan hidrolisat protein. Pengamatan karakteristik fisik ini tidak bersifat mutlak karena hanya dijabarkan secara deskriptif. Namun, pengamatan karakteristik fisik ini mempengaruhi karakteristik sensori dari produk akhir yang akan dibuat. Semakin baik karakteristik fisik yang dihasilkan, maka diharapkan produk akhir juga memiliki karakteristik sensori yang baik dan dapat diterima oleh konsumen secara luas.

Semakin besar tekanan alat steam blasting dan semakin lama pemanasan terjadi perubahan warna dan tekstur pada kedelai hasil proses steam blasting. Perubahan warna yang terjadi pada kedelai hasil proses steam blasting disebabkan karena terjadinya reaksi Maillard. Reaksi ini terjadi karena adanya interaksi antara gula pereduksi dengan asam-asam amino yang terdapat pada kedelai (Winarno 2008). Selain itu, Liu (1997) menyatakan bahwa kedelai mengandung vitamin A dalam bentuk provitamin A (β-karoten). Senyawa β-karoten merupakan salah satu kelompok pigmen yang berwarna kuning. Senyawa ini mempunyai sifat mudah teroksidasi oleh udara dan rusak karena pemanasan pada suhu tinggi. Karotenoid memiliki ikatan ganda sehingga sensitif terhadap oksidasi. Pemanasan sampei dengan suhu 60 oC tidak menyebabkan dekomposisi karoten tetapi dapat terjadi perubahan stereoisomer. Karoten akan menurun drastis pada suhu sekitar 180-210 oC (Winarno 2008). Perubahan warna yang terjadi pada kedelai hasil proses steam blasting sangat mempengaruhi warna tepung kedelai yang dihasilkan pada proses akhir.

Page 14: IV. HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 UJI KELARUTAN PROTEIN DALAM LARUTAN BASA Uji kelarutan protein dalam larutan basa mengikuti metode

38

Tabel 13. Hasil pengamatan karakteristik fisik kedelai hasil proses steam blasting Tekanan

(bar)

Lama Pemanasan

(menit) Warna Tekstur

1

5 Coklat agak muda Keras

10 Coklat agak muda Keras

15 Coklat agak muda Keras

20 Coklat agak muda Keras

25 Coklat agak muda Agak lunak

2

5 Coklat agak muda Keras

10 Coklat agak muda Keras

15 Coklat agak muda Agak lunak

20 Coklat muda Agak lunak

25 Coklat muda Agak lunak

3

5 Coklat agak muda Keras

10 Coklat agak muda Agak lunak

15 Coklat muda Agak lunak

20 Coklat tua Lunak

25 Coklat tua Lunak

4

5 Coklat muda Sangat lunak

10 Coklat tua Sangat lunak

15 Coklat tua Sangat lunak

20 Coklat tua Sangat lunak

25 Coklat sangat tua Sangat lunak

5

5 Coklat tua Sangat lunak

10 Coklat sangat tua Sangat lunak

15 Coklat sangat tua Sangat lunak

20 Coklat sangat tua Sangat lunak

25 Coklat sangat tua Sangat lunak

Perubahan tekstur juga terjadi pada kedelai hasil proses steam blasting. Semakin besar

tekanan alat steam blasting dan semakin lama pemanasan menyebabkan tekstur kedelai menjadi semakin lunak. Semakin tinggi tekanan maka suhu uap yang terbentuk akan semakin tinggi. Suhu tinggi dan uap jenuh dapat menghancurkan kotiledon kedelai yang kompak (Liu 1997). Hal ini menyebabkan teksur kedelai menjadi lebih lunak karena terpapar uap jenuh yang lebih banyak dengan suhu yang lebih tinggi.

Parameter warna sangat mempengaruhi karakteristik sensori warna pada produk akhir. Oleh karena itu, perlu diketahui sifat karakterisitik sensori warna yang paling diminati oleh konsumen. Hal ini menjadi sangat penting karena parameters ensori merupakan parameter yang paling awal dapat diamati oleh konsumen saat membeli suatu produk. Warna yang sangat coklat biasanya kurang diminati oleh konsumen, misalnya konsumen susu kedelai. Selama ini, susu kedelai identik dengan warna coklat muda yang mencirikan warna kedelai asli. Pada

Page 15: IV. HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id · IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 UJI KELARUTAN PROTEIN DALAM LARUTAN BASA Uji kelarutan protein dalam larutan basa mengikuti metode

39

penelitian ini, semakin tua warna coklat yang dihasilkan maka cita rasa dari kedelai pun ikut menurun karena rasanya yang menjadi lebih pahit. Rasa pahit ini dapat muncul karena kedelai terlalu lama terpapar oleh panas dari alat steam blasting. Selain itu, warna coklat yang semakin tua pada kedelai hasil proses steam blasting menimbulkan aroma terbakar. Aroma ini tentu saja kurang disukai oleh konsumen. Oleh karena itu, dalam proses steam blasting kacang kedelai, karakteristik fisik sangat penting selain sifat fungsional protein dari kedelai itu sendiri. Hal ini disebabkan parameter fisik mempunyai pengaruh yang besar terhadap karakter sensori produk olahan kedelai.