bab v. hasil dan pembahasan 5.1 uji taksonomirepository.ub.ac.id/1255/6/17 bab v.pdf · 2020. 10....

32
37 BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Uji Taksonomi Hasil uji taksonomi menunjukkan bahwa ikan kurisi yang digunakan pada penelitian ini adalah ikan kurisi dengan spesies Nemipterus bathybius. Ikan kurisi jenis Nemipterus bathybius merupakan jenis ikan kurisi dengan kategori komersial, penyebaran ikan kurisi jenis Nemipterus bathybius cukup luas, tercatat ditemukan dari laut Sumatera hingga laut timur. Hasil pengamatan ikan mengenai karakter-karekter ikan kurisi menyatakan bahwa ikan kurisi jenis Nemipterus bathybius memiliki bentuk tubuh pipih tegak, memiliki tipe sisik stenoid. Selain itu juga memiliki operkulum namun tidak memiliki barbel atau sungut. Secara umum warna tubuh ikan adalah kemerahan dan putih mutiara dengan tiga garis kuning horizontal. Panjang tubuh ikan secara keseluruhan sebesar 20,8 cm dengan panjang kepala 4,51 cm. 5.2 Analisa Proksimat Bahan Baku Analisa bahan baku dilakukakan untuk mengetahui sejumlah komponen kimia yang terkandung dalam kepala ikan kurisi (tulang, kulit dan insang) segar yang digunakan untuk memproduksi gelatin. Analisa bahan bahan baku kepala ikan kurisi meliputi analisa kadar air, analisa kadar abu, analisa kadar protein dan analisa kadar lemak. Hasil yang diperoleh ditunjukkan pada Tabel 9 : Tabel 9. Hasil Uji Proksimat Bahan Baku Parameter Jumlah (%) Kadar Air 59,71 ± 0,4 Kadar Abu 10,85 ± 0,4 Kadar Protein 18,04 ± 0,8 Kadar Lemak 9,31 ± 0,3 Catatan: hasil diperoleh dari nilai ata-rata tiga kali ulangan ± SE Kandungan air dalam bahan merupakan penentu acceptability, kesegaran dan daya tahan bahan (Astiana et al., 2016). Kadar air yang terkandung dalam kepala ikan kurisi segar yang digunakan untuk memproduksi gelatin sebesar 59,71%, yakni lebih rendah dibandingkan kadar air kepala ikan makarel 65,3% (Khiari et al., 2011), tulang ikan swanggi 62,27% (Kittiphattanabawon et al., 2005), tulang ikan tigawaja 78,63%, tulang ikan kurisi 74,83% (Koli et al., 2011) dan lebih tinggi dibandingkan dengan kadar air kepala ikan lele 19,6% dan tulang kepala ikan lele 12,6% (Liu et al., 2009), tulang ikan lele 44,48% (Sanaei et al., 2013) serta tulang ikan trout 48,03% (Tabarestani & Mahoonak, 2012).

Upload: others

Post on 27-Jan-2021

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 37

    BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN

    5.1 Uji Taksonomi

    Hasil uji taksonomi menunjukkan bahwa ikan kurisi yang digunakan pada

    penelitian ini adalah ikan kurisi dengan spesies Nemipterus bathybius. Ikan kurisi

    jenis Nemipterus bathybius merupakan jenis ikan kurisi dengan kategori

    komersial, penyebaran ikan kurisi jenis Nemipterus bathybius cukup luas, tercatat

    ditemukan dari laut Sumatera hingga laut timur.

    Hasil pengamatan ikan mengenai karakter-karekter ikan kurisi

    menyatakan bahwa ikan kurisi jenis Nemipterus bathybius memiliki bentuk tubuh

    pipih tegak, memiliki tipe sisik stenoid. Selain itu juga memiliki operkulum namun

    tidak memiliki barbel atau sungut. Secara umum warna tubuh ikan adalah

    kemerahan dan putih mutiara dengan tiga garis kuning horizontal. Panjang tubuh

    ikan secara keseluruhan sebesar 20,8 cm dengan panjang kepala 4,51 cm.

    5.2 Analisa Proksimat Bahan Baku

    Analisa bahan baku dilakukakan untuk mengetahui sejumlah komponen

    kimia yang terkandung dalam kepala ikan kurisi (tulang, kulit dan insang) segar

    yang digunakan untuk memproduksi gelatin. Analisa bahan bahan baku kepala

    ikan kurisi meliputi analisa kadar air, analisa kadar abu, analisa kadar protein dan

    analisa kadar lemak. Hasil yang diperoleh ditunjukkan pada Tabel 9 :

    Tabel 9. Hasil Uji Proksimat Bahan Baku

    Parameter Jumlah (%)

    Kadar Air 59,71 ± 0,4 Kadar Abu 10,85 ± 0,4 Kadar Protein 18,04 ± 0,8 Kadar Lemak 9,31 ± 0,3

    Catatan: hasil diperoleh dari nilai ata-rata tiga kali ulangan ± SE

    Kandungan air dalam bahan merupakan penentu acceptability, kesegaran

    dan daya tahan bahan (Astiana et al., 2016). Kadar air yang terkandung dalam

    kepala ikan kurisi segar yang digunakan untuk memproduksi gelatin sebesar

    59,71%, yakni lebih rendah dibandingkan kadar air kepala ikan makarel 65,3%

    (Khiari et al., 2011), tulang ikan swanggi 62,27% (Kittiphattanabawon et al.,

    2005), tulang ikan tigawaja 78,63%, tulang ikan kurisi 74,83% (Koli et al., 2011)

    dan lebih tinggi dibandingkan dengan kadar air kepala ikan lele 19,6% dan tulang

    kepala ikan lele 12,6% (Liu et al., 2009), tulang ikan lele 44,48% (Sanaei et al.,

    2013) serta tulang ikan trout 48,03% (Tabarestani & Mahoonak, 2012).

  • 38

    Analisa kadar abu dapat digunakan untuk menentukan total mineral

    dalam bahan karena pada tahap pengabuan akan terjadi proses pembakaran

    dan oksidasi komponen organik bahan pangan dan menyisakan residu anorganik

    seperti mineral (Astiana et al., 2016). Kadar abu kepala ikan kurisi sebesar

    10,85%. Sejumlah penelitian melaporkan bahwa kadar abu kepala ikan lele dan

    tulang kepala ikan lele masing-masing 38,3% dan 53,7% (Liu et al., 2009),

    kepala ikan makarel 4,3% (Khiari et al., 2011), tulang ikan swanggi 14,4%

    (Kittiphattanabawon et al., 2005), tulang ikan trout 13,4% (Tabarestani &

    Mahoonak, 2012), tulang ikan tigawaja dan tulang ikan kurisi masing-masing

    1,88% dan 1,56% (Koli et al., 2011).

    Kadar protein kepala ikan kurisi sebesar 18,04%. Kandungan protein

    dalam kepala ikan kurisi berhubungan dengan jumlah gelatin yang akan

    dihasilkan dalam proses ekstraksi karena gelatin merupakan jenis turunan

    protein. Kadar protein ikan umumnya berkisar antara 15 – 25% (Nurjanah &

    Abdullah, 2010). Khiari et al. (2011) melaporkan bahwa kadar protein kepala ikan

    makarel sebesar 16,3%. Selain itu, kadar protein kepala ikan lele dan tulang

    kepala ikan lele masing-masing 24,4% dan 21,3% (Liu et al., 2009), tulang ikan

    tigawaja dan tulang ikan ikan kurisi masing-masing 14,6% dan 14,7% (Koli et al.,

    2011), tulang ikan swanggi 13,3% (Kittiphattanabawon et al., 2005) dan tulang

    ikan trout sebesar 20,27% (Tabarestani & Mahoonak, 2012).

    Kadar lemak kepala ikan kurisi sebesar 9,31%. Ikan dapat dikelompokkan

    berdasarkan kandungan lemaknya, yakni ikan yang memiliki kandungan lemak

    rendah jika kurang dari 2%, ikan dengan kandungan lemak sedang 2 – 5% dan

    ikan dengan kandungan lemak tinggi jika lebih dari 5% (Sun, 2006). Beberapa

    penelitian lain menyebutkan bahwa kadar lemak kepala ikan makarel 14,2%,

    kepala ikan lele 20,5%, tulang keapala ikan lele 13,5%, tulang ikan tigawaja

    1,38%, tulang ikan kurisi 1,25%, tulang ikan swanggi 8,77% dan tulang ikan trout

    18,29% (Khiari et al., 2011; Liu et al., 2009; Koli et al., 2011; Kittiphattanabawon

    et al., 2005; Tabarestani & Mahoonak, 2012).

    5.3 Penelitian Tahap 1 (Optimasi Pretreatment Kepala Ikan Kurisi)

    Proses pretreatment kepala ikan kurisi merupakan tahap awal yang

    sangat penting dilakukan dalam memproduksi gelatin. Pada penelitian ini

    pretreatment dilakukan dengan merendam kepala ikan kurisi dalam HCl yang

    merupakan asam kuat. Asam kuat digunakan untuk proses demineralisasi, yakni

    melarutkan sejumlah mineral yang terkandung di dalam bahan baku karena

  • 39

    sebagian besar komponen kepala yang digunakan untuk memproduksi gelatin

    adalah tulang kepala ikan kurisi. Salah satu penyusun tulang adalah mineral

    yang berfungsi sebagai penstabil dan menghasilkan tekstur yang keras (Olszta et

    al., 2007). Selain untuk proses demineralisasi, HCl juga berfungsi untuk untuk

    menghidrolisis ikatan silang trivalen pada struktur triple helix kolagen (Regenstein

    & Zhou 2007) sehingga pada proses perendaman dihasilkan tulang dengan

    tekstur lunak dan disebut dengan ossein.

    Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian tahap 1 yaitu

    Response Surface Methodology (RSM) dengan one factor, yakni faktor yang

    digunakan hanya konsentrasi HCl. Rancangan percobaan dibuat degan

    menentukan titik tengah konsentrasi HCl yaitu pada konsentrasi 4% titik bawah

    2% dan titik atas 6%. Penentuan titik tengah didasarkan pada penelitian

    terdahulu yang menyebutkan bahwa pada perendaman dengan HCl konsentrasi

    4% diperoleh hasil terbaik dalam proses ekstrasksi gelatin tulang ikan kakap

    merah dan tulang ikan kaci-kaci (Suryanti et al., 2006; Ayudiarti and

    Paranginangin, 2007). Selain itu juga didasarkan pada terbentuknya ossein pada

    penelitian pendahuluan, karena jika konsentrasi HCl terlalu rendah maka ossein

    tidak dapat dapat terbentuk dan proses ekstraksi tidak dapat berjalan dengan

    maksimal. Sedangkan respon yang diamati adalah rendemen dan kekuatan gel

    gelatin seperti yang ditunjukkan pada Tabel 10.

    Tabel 10 Hasil Variabel Respon berdasarkan konsentrasi HCl

    No Kode Aktual Respon

    X1 Konsentrasi HCl

    (%) Rendemen

    (%) Kekuatan Gel

    (g.bloom)

    1 2 3 4 5 6 7 8 9

    -1 -1

    -0,5 0,5 1 1 0 0 0

    2 2 3 5 6 6 4 4 4

    2,37 2,60 4,90 7,01 6,25 6,94 6,97 6,96 7,08

    356,90 353,50 302,51 244,73 207,34 217,54 265,12 261,72 258,32

  • 40

    5.3.1 Pengaruh Konsentrasi Asam terhadap Respon Rendemen dan

    Kekuatan Gel Gelatin

    5.3.1.1 Evaluasi Model Respon

    a. Evaluasi model berdasarkan jumlah Kuadrat dari urutan model (Sequential

    Model Sum of Squares/SMSS)

    Evaluasi model berdasarkan jumlah Kuadrat dari urutan model (SMSS)

    pada respon rendemen (Lampiran 4a) menunjukkan bahwa model respon yang

    disarankan (Suggested) model kuadratik karena memiliki nilai F paling tinggi

    135,15 dan memiliki nilai P (Prob>F) yang paling rendah yaitu F) yang paling rendah yaitu 0,0037. Nilai P (Prob>F) yang ditampilkan

    oleh model linear lebih rendah (lebih signifikan) dibandingkan Nilai P (Prob>F)

    model Kuadratik, Namun model Kuadratik lebih disarankan. Hal ini terjadi karena

    pemilihan model yang tepat dalam proses analisa tidak hanya berdasarkan hasil

    evaluasi jumlah kuadrat (Sequential Model Sum of Squares), namun juga

    mempertimbangkan nilai Lack of Fit test dan Model Summary Statistic, sehingga

    dari berbagai evaluasi tersebut model kuadratik menjadi model yang disarankan

    (suggested).

    b. Evaluasi Model berdasarkan Pengujian Ketidaktepatan model (Lack of Fit test)

    Pemilihan model berdasarkan lack of fit test ditentukan dengan nilai P

    yang tidak signifikan. Evaluasi model berdasarkan pengujian ketidaktepatan (lack

    of fit test) model pada respon rendemen maupun kekuatan gel gelatin (Lampiran

    4b) menunjukkan bahwa model kuadratik memiliki nilai P (Prob>F) > 0,05,

    artinya tidak ada pengaruh nyata antara ketidaktepatan model dengan respon

    rendemen maupun kekuatan gel gelatin, sehingga model quadratik merupakan

    model yang disarankan (suggested) oleh program Design Expert.

  • 41

    c. Evaluasi Model Berdasarkan Statistik Ringkasan Model (Model Summary

    Statistis/MSS)

    Hasil evaluasi model berdasarkan Statistik Ringkasan Model (Model

    Summary Statistics/MSS) pada respon rendemen dan kekuatan gel gelatin

    (Lampiran 4c) menunjukkan bahwa model kuadratik merupakan model yang

    disarankan karena memiliki standar deviasi yang rendah 0,28 dan 6,07, nilai

    Adjusted R2 dan predicted R2 yang juga rendah masing-masing sebesar 0,9792

    dan 0,9614 untuk rendemen gelatin, 0,9872 dan 0,9789 untuk kekuatan gel

    gelatin. Hasil adjusted R2 menunjukkan variabel konsentrasi HCl berpengaruh

    pada keragaman respon baik pada rendemen gelatin sebesar 97,92% dan

    kekuatan gel gelatin sebesar 98,72%. Selain itu evaluasi model didasarkan pada

    nilai PRESS (prediction error sum of squares) yang paling kecil, masing-masing

    1,14 dan 485,72 untuk rendemen dan kekuatan gel gelatin, sehingga

    berdasarkan semua kriteria tersebut model kuadratik dipilih untuk menjelaskan

    hubungan antara faktor konsentrasi HCl terhadap respon rendemen maupun

    kekuatan gel gelatin.

    5.3.1.2 Analisa Ragam (ANOVA) pada Respon Permukaan

    Hasil analisa ragam (ANOVA) dalam mengetahui pengaruh faktor

    konsentrasi HCl terhadap respon rendemen dan kekuatan gel gelatin (Lampiran

    4d) menunjukkan bahwa faktor konsentrasi HCl berpengaruh nyata terhadap

    respon rendemen gelatin maupun kekuatan gel gelatin karena memiliki nilai P

    (Prob>F) < 0,0001. Selain itu ketidaktepatan model (lack of fit) tidak berpengaruh

    nyata pada model kuadratik sehingga dapat dinyatakan bahwa model kuadratik

    merupakan model yang tepat untuk menjelaskan pengaruh konsentrasi HCl

    terhadap respon rendemen dan kekuatan gel gelatin. Grafik yang menyatakan

    pengaruh faktor konsentrasi HCl terhadap respon rendemen gelatin maupun

    kekuatan gel gelatin ditunjukkan pada Gambar 10.

  • 42

    Gambar 10. hubungan konsentrasi HCl terhadap rendemen gelatin

    Pengaruh konsentrasi asam (Gambar 10) menunjukkan bahwa

    peningkatan konsentrasi HCl hingga 5% dapat meningkatkan rendemen gelatin

    hingga 7,01%, namun terjadi penurunan nilai rendemen jika konsentrasi HCl

    dinaikkan hingga 6%. Sejumlah penelitian melaporkan bahwa terjadi peningkatan

    rendemen gelatin (protein) kulit ikan nila, ikan grascarp dan ikan trout pelangi

    seiring bertambahnya konsentrasi asam hingga mencapai nilai rendemen

    maksimum, namun nilai rendemen akan mengalami penurunan jika konsentrasi

    asam semakin dinaikkan (Niu et al., 2013; Kasankala et al., 2007; Tabarestani,

    2010).

    Perendaman dengan larutan asam pada konsentrasi sedang mampu

    mengganggu stabilitas ikatan non kovalen intramolekul maupun antarmolekul

    sehingga mampu mengikat sejumlah mineral dalam bahan, akibatnya bahan

    akan mengalami pembengkakan (swelling) dan melunak serta menghasilkan

    kolagen yang bersifat tidak larut (ossein) dan ekstraksi gelatin berjalan optimal

    pada konsentrasi asam yang optimal pula (Ahmad & Benjakul, 2011;

    Kittiphattanabawon et al., 2016). Namun pada penggunaan konsentrasi asam

    yang tinggi akan meningkatkan ion H+ yang dapat menghidrolisis kolagen serta

    berpotensi terjadinya reaksi lebih lanjut menjadi gelatin yang terlarut dalam asam

    (Niu et al., 2013). Hal inilah yang menyebabkan menurunnya jumlah rendemen

    gelatin pada konsentrasi HCl 6%.

    y = 1,0306x + 1,5533

  • 43

    Rendemen gelatin kepala ikan kurisi yang dihasilkan dengan faktor

    konsentrasi HCl berkisar antara 2% – 7%. Koli et al. (2011) melaporkan bahwa

    rendemen gelatin yang dihasilkan dari kulit dan tulang ikan kurisi masing-masing

    5,57% dan 3,55%. Selain itu, Rendemen gelatin tulang ikan kakap dengan

    perendaman dalam HCl 2% – 6% berkisar 7% – 14% (Kusumawati, 2008;

    Suryanti et al., 2006).

    Adapun pengaruh konsentrasi HCl terhadap respon kekuatan gel gelatin

    (Gambar 11) menunjukkan bahwa kekuatan gel menurun seiring bertambahnya

    nilai faktor konsentrasi HCl. Nilai kekuatan gel gelatin umumnya ditentukan oleh

    banyaknya interaksi intramolekul maupun intermolekul yang erat kaitannya

    dengan berat molekul gelatin, rasio rantai α dan β serta komposisi asam amino

    gelatin (Ahmad and Benjakul, 2011).

    Gambar 11. Hubungan konsentrasi HCl terhadap kekuatan gel gelatin

    Kisaran kekuatan gel gelatin kepala ikan kurisi sebesar 207,34 – 356,90

    g.bloom. menurut Koli et al. (2011) nilai kekuatan gel gelatin kulit dan tulang ikan

    kurisi (Nemipterus japonicus) sebesar 140 gr.bloom dan 130 g.bloom. Sejumlah

    penelitian juga melaporkan bahwa peningkatan konsentrasi HCl dapat

    menurunkan nilai kekuatan gel gelatin, salah satunya yang berasal dari tulang

    ikan kaci-kaci dengan kisaran kekuatan gel 163 – 120 g.bloom pada konsentrasi

    HCl 4% - 6% (Ayudiarti and Paranginangin, 2007), tulang ikan kakap dengan

    y = -34,934x + 413,92

  • 44

    kisaran kekuatan gel 202 – 22 g.bloom dan 226 – 127 g.bloom pada konsentrasi

    HCl 2% – 4% dan 4% – 6% (Kusumawati, 2008; Suryanti et al. 2006).

    Secara kimiawi pembentukan gel pada gelatin ditandai dengan

    terbentuknya “Junction Zone” dan jaringan tiga dimensi rantai gelatin.

    Pembentukan Junction Zone ditentukan dengan terbentuknya ikatan heliks

    antara dua rantai gelatin maupun lebih ketika terjadi penurunan suhu. Kondisi

    inilah yang sering disebut dengan renaturasi kolagen (Djabourov et al., 1988).

    Sedangkan jaringan tiga dimensi dapat terbentuk dengan kuat apabila terdapat

    inetraksi antarmolekul melalui ikatan hidrogen pada gugus –NH dan –CO dari

    tiga rantai oligomer gelatin yang berbeda yang telah membentuk junction zone.

    Selain ikatan hidrogen, interaksi elektrostatik dan ikatan hidrofobik dapat

    meningkatkan pembentukan jaringan tiga dimensi. Terbentuknya jaringan tiga

    dimensi pada molekul kolagen akan membuat air terperangkap dalam jaringan

    tersebut sehingga gel akan terbentuk (Burey at al., 2008; Ahmad & Benjakul,

    2011; Duconseille et al., 2014).

    Perbedaan konsentrasi HCl berpengaruh pada tingkat hidrolisis terhadap

    bahan baku. Ion H+ pada HCl berfungsi untuk menghidrolisis rantai tropokolagen

    dalam bahan, namun konsentrasi HCl yang tinggi akan meningkatkan terjadinya

    hidrolisis lanjutan pada kolagen menjadi gelatin dengan rantai yang lebih pendek

    sehingga akan menurunkan berat molekul gelatin (Niu et al., 2013). Gelatin

    dengan berat molekul rendah lebih sulit mengalami proses renaturasi

    (membentuk ikatan heliks), akibatnya jaringan tiga dimensi yang merupakan

    penentu dalam pembentukan gel akan sulit terbentuk jika renaturasi tidak terjadi

    (Duconseille et al., 2014), oleh karena itu hasil penelitian (Gambar 11)

    menunujukkan bahwa terjadi penurunan kekuatan gel gelatin seiring

    bertambahnya konsentrasi HCl.

    5.3.2 Penentuan Titik Optimum dan Verifikasi

    Penentuan titik optimum mengenai pengaruh konsentrasi HCl terhadap

    rendemen dan kekuatan gel gelatin didasarkan pada kriteria yang telah

    disesuaikan dengan tujuan maupun tingkat kepentingan yang diharapkan. Pada

    penelitian ini faktor konsentrasi HCl ditetapkan minimize, karena konsentrasi

    asam sangat berpengaruh terhadap karakteristik gelatin, apabila konsentrasi

    asam terlalu tinggi maka akan didapatkan gelatin dengan kulaitas yang rendah

    baik dari segi fisik maupun kimiawi (Karim & Bhat, 2009). Selain itu, pada

  • 45

    konsentrasi HCl yang tinggi, sisa HCl yang tidak bereaksi akan terperangkap

    dalam jaringan fibril kolagen, sehingga akan sulit untuk dinetralkan dan dapat

    mempengaruhi tingkat keasaman (pH) gelatin yang dihasilkan (Ayudiarti &

    Paranginangin, 2007).

    Variabel respon rendemen maupun kekuatan gel gelatin ditetapkan

    maximize, karena yang diharapkan pada kondisi optimum dapat menghasilkan

    rendemen gelatin yang tinggi dengan kualitas gelatin yang baik pula. Karim and

    Bhat (2009) menyatakan bahwa kekuatan gel dapat menggambarkan sifat kimia

    gelatin dan dapat digunakan dalam menentukan penggunaan gelatin di bidang

    industri. Selain itu, kekuatan gel tersebut juga merupakan salah satu parameter

    fisik penentu stabilitas produk dalam penggunaannya di bidang industri, sehingga

    yang diharapkan dalam penelitian ini adalah gelatin dengan kekuatan gel yang

    tinggi. Adapun kriteria penentuan titik optimum ditunjukkan pada Tabel 11:

    Tabel 11. Kriteria Penentuan Titik Optimum

    Kriteria Goal Batas Nilai

    Bawah Atas

    Konsentrasi HCl Rendemen Gelatin Kekuatan Gel Gelatin

    Minimize Maximize Maximize

    2,00% 2,37%

    207,34 g.bloom

    6,00% 7,08%

    356,90g.bloom

    Selanjutnya, setelah penentuan kriteria titik optimum, program Design

    Expert akan mengeluarkan solusi optimum dengan nilai desirability yang paling

    tinggi (mendekati 1), pada tahap ini solusi optimum yang dikeluarkan hanya satu,

    yaitu dengan konsentrasi HCl 2,98%, nilai rendemen dan kekuatan gel masing-

    masing 5,17% dan 305,11 g.bloom. Sedangkan nilai desirability dari solusi

    optimum tersebut adalah 0,665. Solusi optimum pada program Design Expert

    selanjutnya diverifikasi dengan cara membandingkan dengan hasil pengamatan

    di laboratorium. Verifikasi diperlukan untuk menguji keakuratan model.

    Perbandingan solusi titik optimum yang terbaik dan hasil pengamatan

    laboratorium ditampilkan dalam Tabel 12:

    Tabel 12. Solusi Titik Optimum dan Hasil Verifikasi

    Variabel Bebas Respon

    Desirability Konsentrasi HCl

    Rendemen (%)

    Kekuatan Gel (g.bloom)

    Solusi Optimum 2,98% 5,17 305,11 0,665 Verifikasi 2,98% 4,92 312,71

    Tingkat ketepatan 95,16% 97,51%

  • 46

    Tabel 12 menunjukkan bahwa tingkat ketepatan hasil verifikasi respon

    dengan solusi optimum pada program Design Expert > 95%. Yakni untuk respon

    rendemen memiliki tingkat ketepatan sebesar sebesar 95,16%, sedangkan untuk

    respon kekuatan gel meiliki tingkat ketepatan 97,51%. Menurut Zhu dan Liu

    (2013), jika perbedaan hasil verifikasi respon dengan solusi optimum tidak lebih

    dari 5 %, maka dapat dinyatakan bahwa model yang digunakan pada proses

    optimasi cukup akurat. Hasil penelitian ekstraksi ikan kakap menunjukkan bahwa

    pada konsentrasi HCl 2% didapatkan hasil terbaik dengan rendemen gelatin

    14,16%, kekuatan gel 202 g.bloom dan viskositas 7,46 cPs (Kusumawati, 2008).

    Selain itu, juga dilaporkan bahwa pada konsentrasi HCl 4% selama 48 jam

    didapatkan hasil terbaik gelatin ikan kakap dengan rendemen gelatin 7,4%,

    kekuatan gel 226,8 g.bloom dan viskositas 6,73 cP (Suryanti, 2006).

    5.4 Penelitian Tahap 2 (Optimasi Ekstraksi Gelatin Kepala Ikan Kurisi)

    Ekstraksi gelatin merupakan tahap lanjutan dari proses prereatment pada

    tahap 1. Proses ekstraksi gelatin dilakukan dengan merendam ossein (hasil dari

    pretreatment) di dalam akuades dengan suhu diatas suhu denaturasi kolagen.

    Pada tahap ini, parameter suhu dan waktu perendaman merupakan parameter

    yang sangat berpengaruh terhadap rendemen, kekuatan gel maupun viskositas

    gelatin yang dihasilkan (Karim and Bhat, 2009). Sehingga pada penelitian tahap

    2 dilakukan pengamatan mengenai pengaruh faktor suhu dan waktu ekstraksi

    terhadap jumlah rendemen, nilai kekuatan gel dan viskositas gelatin kepala ikan

    kurisi. Data variabel respon rendemen, kekuatan gel dan viskositas gelatin dari

    13 kombinasi rancangan komposit pusat (Central Composite Design) RSM

    disajikan pada Tabel 13.

  • 47

    Tabel 13. Nilai variabel respon rendemen, kekuatan gel dan viskositas berdasarkan faktor suhu dan waktu ekstraksi Perlakuan Kode Aktual Respon X1 X2 Suhu

    (0C)

    Waktu (Jam)

    Rendemen (%)

    Kekuatan Gel

    (g.bloom)

    Viskositas (cP)

    1 2 3 4 5 6 7 8 9

    10 11 12 13

    1,00 1,00 -1,00 1,00

    -1,414 1,414 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00

    -1,00 -1,00 1,00 1,00 0,00 0,00

    -1,414 1,414 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00

    50 90 50 90

    41,7 98,3 70 70 70 70 70 70 70

    3 3 7 7 5 5

    2,17 7,83

    5 5 5 5 5

    1,01 6,66 2,39 8,10 1,04 8,85 1,95 5,45 4,52 5,04 4,90 4,81 4,50

    57,78 88,37 163,15 47,59 2,67 0,00

    149,56 214,14 309,31 302,51 319,51 316,11 305,91

    3,33 3,00 3,67 2,67 3,40 2,33 3,33 3,67 5,33 4,67 5,00 5,67 4,67

    5.4.1 Pengaruh Suhu dan Waktu Ekstraksi terhadap Respon Rendemen

    dan Kekuatan Gel dan Viskositas Gelatin

    5.4.1.1 Evaluasi Model Respon

    a. Evaluasi model berdasarkan jumlah Kuadrat dari urutan model (Sequential

    Model Sum of Squares/SMSS)

    Evaluasi model berdasarkan jumlah kuadrat dari urutan model (SMSS)

    pada respon rendemen gelatin akibat perbedaan suhu dan waktu ekstraksi

    (Lampiran 6a) menunjukkan bahwa model yang disarankan (suggested) adalah

    model Kuadratik dengan nilai P (Prob>F) 0,0192 (pF) paling

    kecil

  • 48

    bahwa model kuadratik memiliki pengaruh yang signifikan terhadap respon

    kekuatan gel dan viskositas.

    b. Evaluasi Model berdasarkan Pengujian Ketidaktepatan model (Lack of Fit test)

    Pemilihan model berdasarkan lack of fit test ditentukan dengan nilai p

    yang tidak signifikan secara statistik yakni pada taraf p-value (Prob>F) > 0,05.

    Evaluasi model berdasarkan pengujian ketidaktepatan (Lack of Fit test) model

    pada respon rendemen (Lampiran 6d), kekuatan gel (Lampiran 6e) dan

    viskositas gelatin (Lampiran 6f) menunjukkan bahwa model quadratik memiliki

    nilai P (Prob>F) > 0,05, dengan nilai p untuk rendemen, kekuatan gel dan

    viskositas masing masing sebesar 0,1112, 0,0551, 0,9796. Artinya tidak ada

    pengaruh nyata antara ketidaktepatan model dengan respon rendemen kekuatan

    gel maupun viskositas gelatin, sehingga model quadratik merupakan model yang

    disarankan (Suggested) oleh program Design Expert.

    d. Evaluasi Model Berdasarkan Statistik Ringkasan Model (Model Summary

    Statistis/MSS)

    Hasil evaluasi model berdasarkan Statistik Ringkasan Model (Model

    Summary Statistics/MSS) pada respon rendemen (Lampiran 6g), kekuatan gel

    (Lampiran 6h) dan viskositas gelatin (Lampiran 6i) menunjukkan bahwa model

    Kuadratik merupakan model yang disarankan karena memiliki standar deviasi

    yang rendah yaitu sebesar 0,36 untuk respon rendemen, 12,67 untuk kekuatan

    respon gel dan 0,33 untuk respon viskositas. Selain itu juga ditentukan dari nilai

    Adjusted R2 dan Predicted R2 serta nilai (prediction error sum of squares),

    dimana nilai Adjusted R2 dan Predicted R2 respon rendemen gelatin sebesar

    0,9790 dan 0,9304, kekuatan gel sebesar 0,9900 dan 0,9642 serta viskositas

    sebesar 0,8993 dan 0,8948. Untuk nilai PRESS respon rendemen gelatin,

    kekuatan gel dan viskositas masing-masing 5,09, 6886,11 dan 1,41. Sehingga

    berdasarkan semua kriteria tersebut model Kuadratik dipilih untuk menjelaskan

    hubungan antara faktor suhu dan waktu ekstraksi terhadap respon rendemen,

    kekuatan gel maupun viskositas gelatin.

  • 49

    5.4.1.2 Analisa Ragam (ANOVA)

    a. Analisa Ragam (ANOVA) pada Respon Rendemen Gelatin

    Hasil analisa ragam (ANOVA) untuk respon rendemen (Lampiran 6j)

    menunjukkan bahwa variabel A (suhu ekstraksi) dan variabel B (waktu ekstraksi)

    memiliki pengaruh yang signifikan terhadap respon rendemen gelatin karena

    memiliki nilai p

  • 50

    ekstraksi juga diamati pada kulit ikan belida (Kittiphattanabawon et al., 2016),

    kulit ikan hiu batu dan hiu sirip hitam (Kittiphattanabawon et al., 2010), kulit ikan

    kakap putih (Sinthusamran et al., 2014), kulit ikan kod atlantik, ikan salmon dan

    ikan haring atlantik (Kołodziejska et al., 2008).

    Peningkatan rendemen terjadi karena suhu dapat meningkatkan energi

    kinetik sehingga akan terjadi proses hidrolisis ikatan tripel heliks kolagen yang

    bersifat tidak larut menjadi rantai α dan β gelatin yang bersifat larut dalam air,

    akbatnya gelatin dapat terekstrak lebih banyak. Selain itu, jika waktu ditingkatkan

    maka ketersediaan energi untuk menghidrolisis semakin banyak dan kontak

    antara pelarut dengan sampel ossein akan semakin lama, sehingga juga dapat

    meningkatkan rendemen gelatin (Sinthusamran et al., 2014; Kołodziejska et al,.

    2008).

    b. Analisa Ragam (ANOVA) pada Respon Kekuatan Gel Gelatin

    Hasil analisa ragam (ANOVA) untuk respon kekuatan gel gelatin

    (Lampiran 6k) menunjukkan bahwa secara kuadratik faktor A (suhu ekstraksi)

    dan faktor B (waktu ekstraksi) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap respon

    kekuatan gel gelatin karena memiliki nilai p ≤0,05, dimana nilai p utuk faktor A

    (suhu ekstraksi)

  • 51

    Gambar 13. Grafik Countour Plot dan tiga dimensi Respon Kekuatan Gel

    Grafik countour plot dan tiga dimensi respon kekuatan gel gelatin

    menunjukkan bahwa nilai kekuatan gel semakin menurun jika suhu dan waktu

    semakin ditingkatkan, sama halnya pada suhu ekstraksi yang sangat rendah nilai

    kekuatan gel gelatin yang dihasilkan juga rendah. Nilai kekuatan gel gelatin

    paling rendah (0,00 g.bloom) berada pada suhu ekstraksi 98,30C dan waktu

    ekstraksi 5 jam, pada kondisi tersebut gelatin tidak dapat membentuk gel. Pada

    suhu ekstraksi 41,720 C dan waktu ekstraksi selama 5 jam nilai kekuatan gel

    gelatin juga rendah yakni sebesar 2,67 g.bloom.

    Suhu dan waktu ekstraksi yang tinggi dapat meningkatkan degradasi

    protein secara berlebih, sehingga menghasilkan fragmen protein dengan

    kemampuan membentuk gel yang rendah. Molekul gelatin dengan rantai pendek

    tidak mampu membentuk junction zone yang yang kuat, terutama melalui ikatan

    hidrogen maupun ikatan lemah lainnya seperti interaksi hidrofobik dan ionik

    (Ravey et al., 2000; Kittiphattanabawon et al., 2016). Menurut Duconseille et al.

    (2014) gelatin dengan berat molekul rendah akan menghambat proses renaturasi

    ikatan helix, dimana proses renaturasi merupakan bagian dari pembentukan

    junction zone, selain itu, gelatin dengan berat molekul besar dan banyak memiliki

    cabang serta rantai yang tidak linear juga dapat menghambat proses renaturasi.

    Gelatin dengan berat molekul tinggi diduga karena proses hidrolisis tidak

    maksimal, dan hal itu dapat terjadi jika suhu dan waktu ekstraksi yang rendah,

    oleh karena itu, kekuatan gel gelatin bernilai rendah pada suhu ekstraksi yang

    sangat tinggi maupun sangat rendah.

  • 52

    c. Analisa Ragam (ANOVA) pada Respon Viskositas Gelatin

    Hasil analisa ragam (ANOVA) respon viskositas gelatin (Lampiran 6l)

    menunjukkan bahwa secara kuadratik faktor A (suhu ekstraksi) dan faktor B

    (waktu ekstraksi) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap respon viskositas

    gelatin karena memiliki nilai p ≤0,05, dimana nilai p utuk faktor A (suhu ekstraksi)

  • 53

    sebesar 8,47 dan, 6,8 cP. Viskositas gelatin dapat dipengaruhi oleh berat

    molekul gelatin (Muyonga, 2004). Menurut Niu et al. (2013) rendahnya jumlah

    rantai β pada molekul gelatin menyebabkan nilai viskositas gelatin ikan tilapia

    semakin rendah.

    5.4.2 Penentuan Titik Optimum dan Verifikasi

    Penentuan titik optimum pengaruh suhu dan waktu ekstraksi terhadap

    rendemen dan kekuatan gel gelatin didasarkan pada kriteria yang diharapkan.

    Pada penelitian ini faktor suhu ekstraksi ditetapkan in range dengan batas bawah

    41,7 0C dan batas atas 98,3 0C. Sedangkan faktor waktu ekstraksi juga

    ditetapkan in range dengan batas bawah 2,17 jam dan batas atas 7,83 jam.

    Variabel respon rendemen kekuatan gel dan viskositas gelatin ditetapkan

    maximize, karena yang diharapkan pada kondisi optimum dapat menghasilkan

    rendemen gelatin yang tinggi dengan sifat fungsional gelatin yang baik pula.

    Adapun kriteria penentuan titik optimum ditunjukkan pada Tabel 14:

    Tabel 14. Kriteria Penentuan Titik Optimum

    Kriteria Goal Batas Nilai

    Bawah Atas

    Suhu Ekstraksi Waktu Ekstraksi Rendemen Gelatin Kekuatan Gel Gelatin Viskositas Gelatin

    In range In range Maximize Maximize Maximize

    41,7 oC

    2,17 jam 1,01 %

    0,00 g.bloom 2,33 cP

    98,3 oC 7,83 jam 8,85 %

    319,51 g.bloom 5,67 cP

    Selanjutnya, setelah penentuan kriteria titik optimum, program Design

    Expert menentukan solusi optimum dengan nilai desirability yang paling tinggi

    (mendekati 1), pada tahap ini solusi optimum yang dikeluarkan hanya satu, yaitu

    dengan suhu ekstraksi 74,40 oC, waktu ekstraksi, 5,42 jam, nilai rendemen

    kekuatan gel dan viskositas masing-masing 5,56, 300,21 dan 4,91. Sedangkan

    nilai desirability dari solusi optimum tersebut adalah 0,749. Solusi optimum pada

    program Design Expert selanjutnya diverifikasi dengan cara membandingkan

    dengan hasil pengamatan di laboratorium. Verifikasi diperlukan untuk menguji

    keakuratan model. Hasil menunjukkan bahwa Perbedaan hasil verifikasi dengan

    solusi optimum ≤ 5%, artinya model yang digunakan pada proses optimasi cukup

    akurat. Perbandingan solusi titik optimum yang terbaik dan hasil pengamatan

    laboratorium ditampilkan dalam Tabel 15.

  • 54

    Tabel 15. Solusi Titik Optimum dan Hasil Verifikasi

    Variabel Bebas Respon

    Desirability Suhu Ekstraksi

    Waktu Ekstraksi

    Rendemen (%)

    Kekuatan Gel

    (g.bloom)

    Viskositas (cP)

    Solusi Optimum

    74,40 oC 5,42 jam 5,56 300,21 4,91

    0,749 Verifikasi 74,40 oC 5,42 jam 5,31 311,01 5,00 Tingkat ketepatan 95,50% 97,48% 98,17%

    Hasil verifikasi (Tabel 15) menunjukkan bahwa tingkat ketepatan hasil

    verifikasi respon dengan solusi optimum pada program Design Expert ≥ 95%.

    Yakni untuk respon rendemen memiliki tingkat ketepatan sebesar sebesar

    95,50%, sedangkan untuk respon kekuatan gel memiliki tingkat ketepatan

    97,48%, sedangkan untuk hasil viskositas memiliki tingkat ketepatan 98,17%.

    Telah dilaporkan hasil optimasi ekstraksi gelatin dari tulang ikan lele diperoleh

    pada konsentrasi HCl 3.35%, suhu ekstraksi 67,32 oC dan waktu ekstraksi 5,2

    jam dengan nilai rendemen 17,52% kekuatan gel 230,25 g dan viskositas

    sebesar 4,64 mpa.s (Sanaei et al., 2013).

    5.5 Karakterisasi Gelatin Kepala Ikan Kurisi

    5.5.1 Komposisi Unsur Gelatin

    Analisa komposisi unsur yang terkandung dalam gelatin komersial dan

    gelatin ikan kurisi ditentukan dengan Energy Dispersive X-ray (EDX). Penentuan

    unsur secara kuantitatif berdasarkan persen berat (% Wt) dan persen atom (%

    At) masing-masing unsur seperti yang terlihat pada Tabel 16.

    Tabel 16. Komposisi Unsur Gelatin

    Element

    Weight (Wt) (%) Atom (At) (%)

    Gelatin komersial

    Gelatin Ikan Kurisi

    Gelatin komersial

    Gelatin Ikan Kurisi

    C (Karbon) 51,87a 30,72b 58,53a 41,64b

    N (Nitrogen) 17,84a 8,09b 17,29a 9,37b

    O (Oksigen) 26,79a 36,11b 22,71a 36,92b

    Na (Natrium) 1,02a 0,68a 0,61a 0,48a

    P (Fosfor) - 10,20 - 5,41

    S (Sulfur) 1,05a 1,29a 0,45a 0,66a

    Cl (Klor) 1,60a 4,28b 0,61a 1,97b

    K (Kalium) 3,49 - 1,20 -

    Ca (Kalsium) - 8,63 - 3,55

    Matrix Correctin Correctin ZAF ZAF

    Catatan : Notasi yang berbeda untuk baris yang sama menunjukkan perbedaan pada α = 0,05

  • 55

    Tabel 16 menunjukkan jumlah unsur yang terkandung dalam gelatin

    komersial maupun pada gelatin perlakuan terbaik persatuan berat (% Wt) dan

    persatuan atom (% At). Hasil analisa persen berat (% Wt) dan persen atom (%

    At) dengan independent t test menunjukkan bahwa persen berat unsur Na

    (natrium), S (sulfur) tidak memiliki perbedaan yang signifikan (P≤0,05) antara

    gelatin komersial dan gelatin ikan ikan kurisi.

    Hasil pengamatan menunjukkan jumlah unsur C, N dan O yang

    merupakan penyusun utama protein memiliki persentase paling tinggi diantara

    unsur yang lain. Namun persentase C,N pada gelatin komersial lebih besar

    dibandingkan dengan persentase C,N pada gelatin ikan kurisi, hal ini dapat

    menggambarkan kadar protein pada gelatin komersial lebih tinggi dibandingkan

    gelatin ikan kurisi, hasil tersebut sesuai dengan hasil analisa protein gelatin

    komersial dan gelatin ikan kurisi. Selain itu persentase unsur Cl pada gelatin ikan

    kurisi lebih tinggi dibanding gelatin komersial, tingginya persentase unsur Cl

    diduga karena residu hasil perendaman dengan HCl masih tersisa di dalam

    gelatin ikan kurisi.

    Jenis mineral yang terkandung dalam gelatin dapat berpengaruh terhadap

    pembentukan gel gelatin. Sarbon et al. (2014) menyebutkan bahwa penembahan

    kalsium klorida (CaCl2) mampu menurunkan kekuatan gel gelatin. Selain itu, Choi

    and Regenstein (2000) juga melaporkan bahwa kekuatan gel gelatin menurun

    seiring meningkatnya konsentrasi natrium klorida (NaCl). Hal itu disebabkan

    karena natrium klorida dapat menghambat pembentukan ikatan hidrogen

    maupun interaksi hidrofobik lainnya, sehinggal hal ini dapat berpengaruh

    terhadap stabilitas junction zone pada gelatin.

    5.5.2 Warna Gelatin

    Analisa warna gelatin bertujuan untuk mengetahui perbedaan

    karakteristik warna pada gelatin komersial dan gelatin ikan kurisi hasil perlakuan

    terbaik. Secara visual, warna gelatin komersial dan gelatin ikan kurisi ditunjukkan

    pada Gambar 15.

  • 56

    Gelatin Komesial

    Gelatin Ikan Kurisi

    Gambar 15. Warna Gelatin

    Warna gelatin secara visual sebanding dengan pengukuran nilai L*, a*

    dan b* menggunakan colour Reader, dimana warna kuning gelatin komersial

    lebih pekat dibandingkan dengan gelatin kepala ikan kurisi seperti yang

    ditunjukkan pada Tabel 17.

    Tabel 17. Hasil Analisa Warna Gelatin

    Parameter Nilai

    Gelatin komersial Gelatin Ikan Kurisi

    L* (Lightness) 78,41a ± 0,57 78,79a ± 0,37

    a* (Redness) 1,81a ± 0,22 1,75a ± 0,14

    b* (Yellowness) 24,57a ± 0,6 21,81b ± 0,48

    Catatan : Notasi yang berbeda untuk baris yang sama menunjukkan perbedaan

    pada α = 0,05 ± SE

    Hasil analisa warna gelatin (Tabel 17) menunjukkan bahwa L* (lightness)

    memiliki nilai yang paling tinggi, yakni 78,79 untuk gelatin ikan kurisi dan 78,41

    untuk gelatin komersial, namun secara statistik (independent t test) perbedaan

    hasil tersebut tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara keduanya dengan

    nilai P 0,580 (P>0,05). Nilai a* (redness) untuk gelatin komersial dan gelatin ikan

    kurisi masing-masing sebesar 1,81 dan 1,75, berdasarkan analisa independent t

    test nilai tersebut tidak berbeda nyata dengan nilai P 0,803 (P>0,05). Sedangkan

    nilai b* (yellowness) gelatin komersial sebesar 24,57 dan gelatin ikan kurisi

    sebesar 21,81. Hasil analisa nilai b* dengan independent t test menunjukkan

    adanya perbedaan yang signifikan karena memiliki nilai P sebesar 0,001

    (P≤0,05).

  • 57

    Warna gelatin dapat dipengaruhi oleh reaksi pencoklatan non enzimatis

    seperti reaksi maillard. banyaknya jumlah gugus amina bebas yang bereaksi

    dengan gugus karbonil dapat meningkatkan reaksi pencoklatan sehingga dapat

    meningkatkan nilai a* dan b* dan menurunkan nilai L* seperti pada gelatin

    komersial (Nagarajan et al. 2012). Koli et al. (2011) menyebutkan bahwa nilai L*,

    a* dan b* gpelatin tulang ikan kurisi masing-masing sebesar 62,50, 1,97 dan

    22,60. Sedangkan nilai L* gelatin kulit ikan lele sebesar 57,60, nilai a* 0,23 dan

    nilai b* sebesar 2,66. Warna gelatin umumnya bergantung pada jenis bahan

    baku, proses ekstraksi dan proses penyaringan (Jamilah and Harvinder, 2002;

    Ward and Courts, 1977), namun perbedaan warna pada gelatin tidak

    berpengaruh terhadap sifat fungsional gelatin (Ockerman and Hansen, 1988).

    5.5.3 Karakteristik Berat Molekul Gelatin

    Karakterisasi berat molekul gelatin dilakukan dengan metode SDS-PAGE

    (Sodium Dodecyl Sulphate Polyacrilamide Gel). Komponen penyusun gelatin

    adalah protein yang merupakan polimer asam amino yang dihubungkan oleh

    ikatan peptida. Salah satu penentu berat molekul gelatin adalah panjang rantai

    dan jenis asam amino. Berat molekul protein pada gelatin sangat erat kaitannya

    dengan karakteristik fisik gelatin. hasil analisa berat molekul gelatin dengan SDS-

    PAGE ditunjukkan pada Gambar 16 dan Tabel 18.

    M A B

    Gambar 16. Hasil SDS-PAGE Gelatin

    M: Marker; A: Gelatin Komersial; B: Gelatin Ikan Kurisi

    150

    100

    75

    35

    25

    kDa

  • 58

    Tabel 18. Nilai Berat Molekul Gelatin

    NO Nama Sampel Nilai Berat Molekul (kDa)

    1

    2

    Gelatin Komersial Gelatin Ikan Kurisi

    86,19 80,61 73,18 65,06 56,53 44,28 49,77

    Pengukuran berat molekul gelatin dengan SDS-PAGE (Tabel 18)

    menunjukkan bahwa gelatin komersial memiliki enam pita dengan kisaran berat

    molekul 44,28 – 86,19 kDa. Sedangkan gelatin yang diproduksi dari kepala ikan

    kurisi hanya menghasilkan satu pita protein dengan berat molekul 49,77 kDa, hal

    ini terjadi karena proses pemisahan protein yang tidak maksimal. Pada Gambar

    16 menunjukkan adanya protein yang tidak terdistribusi dengan baik pada

    kisaran berat molekul 150 – 100 kDa baik pada gelatin komersial dan gelatin ikan

    kurisi, sehingga diduga gelatin komesial dan gelatin ikan masih mengandung

    protein dengan berat molekul >100 kDa namun tidak terlihat adanya pita protein

    karena proses pemisahan yang tidak maksimal.

    Protein dengan berat molekul 1 kDa umumnya memiliki 9 residu asam

    amino (Promega, 2017), sehingga jumlah asam amino penyusun protein untuk

    masing-masing pita protein gelatin komersial berkisar 398 – 776 residu asam

    amino, sedangkan pada gelatin ikan kurisi, diduga jumlah asam amino penyusun

    protein gelatin yang terpisahkan sebesar 447 residu asam amino. Nilai berat

    molekul dan jumlah residu asam amino gelatin ikan kurisi yang mampu

    terpisahkan lebih rendah dibandingkan dengan berat molekul pada gelatin

    komersial. Rendahnya berat molekul gelatin ikan kurisi diduga karena banyaknya

    rantai α senyawa gelatin yang terhidrolisis selama proses ekstraksi berlangsung.

    Karim and Bhat (2009) menyebutkan bahwa rendahnya berat molekul gelatin

    akan menyebabkan sifat fungsional gelatin akan menurun terutama kekuatan gel

    dan viskositas gelatin. hal ini sesuai dengan hasil pengukuran kekuatan gel dan

    viskositas gelatin ikan kurisi yang lebih rendah dibandingkan dengan gelatin

    komersial.

  • 59

    5.5.4 Karakteristik Mikrostruktur Gelatin

    Karakterisasi mikrostruktur gelatin menggunakan SEM-EDX (Scanning

    Electron Microscopy- Energy Dispersive X-ray) berfungsi untuk menunjukkan

    bentuk topografi atau bentuk permukaan gelatin. Selain itu juga untuk

    menentukan komposisi unsur gelatin, yakni data kuantitatif unsur dan senyawa

    yang terkandung di dalam sampel gelatin. hasil topografi gelatin ditunjukkan

    pada Gambar 17.

    (a)

    (b)

    Gambar 17. Bentuk topografi gelatin (a) Gelatin komersial; (b) Gelatin ikan kurisi

    Hasil topografi gelatin menunjukkan bahwa pemukaan gelatin komersial

    memiliki jaringan permukaan yang lebih seragam dibandingkan dengan gelatin

    ikan kurisi hasil perlakuan terbaik, selain itu permukaan gelatin ikan terlihat lebih

    kompak, sedangkan permukaan gelatin ikan kurisi terlihat lebih porus dan ukuran

    pori gelatin komersial lebih kecil dibandingkan dengan gelatin ikan kurisi.

    Yang et al. (2008) menyebutkan bahwa bentuk mikrostruktur jaringan

    gelatin berhubungan dengan karakteristik fisikokimia sperti sifat gel, tekstur

    gelatin maupun distribusi berat molekul gelatin. gelatin dengan berat molekul

    tinggi akan memiliki junction zone dengan ikatan yang lebih kuat dibandingkan

    dengan gelatin yang memiliki berat molekul rendah, hal ini akan menyebabkan

    agregasi dengan jaringan yang kuat dan mampu bertahan terhadap gaya yang

    diberikan (Yang and Wang, 2009).

    Struktur permukaan yang halus dengan rongga yang lebih kecil dan

    seragam (Gambar 17a) cenderung lebih mampu bertahan terhadap gaya yang

    diberikan dan umumnya memiliki kekuatan gel yang lebih tinggi dibandingkan

    3,63 µm 1,82 µm

  • 60

    gelatin dengan bentuk permukaan yang berongga lebih besar dan tidak seragam

    (Gambar 17b) (Sinthusamran, 2014). Hal ini sesuai dengan karakteristik fisik dan

    tekstur gelatin hasil pengamatan, dimana untuk gelatin komersial dengan bentuk

    permukaan yang lebih baik memiliki karakteristik dan tekstur yang lebih baik pula

    dibandingkan dengan gelatin ikan kurisi

    5.5.5 Karakteristik Gugus Fungsi Gelatin

    Hasil karakterisasi gugus fungsi gelatin dengan FTIR (Fourier Transform

    Infra Red) menunjukkan bentuk vibrasi khas yang dihasilkan oleh tiap-tiap gugus

    fungsi pada panjang gelombang tertentu. Analisa gugus fungsi gelatin bertujuan

    untuk mengetahui spektra khas dan gugus fungsi penyusun protein baik pada

    gelatin komersial maupun gelatin ikan kurisi. Adapun hasil pengamatan

    karakteristik gugus fungsi gelatin ditunjukkan pada Gambar 18 dan Tabel 19.

    Gambar 18. Spektra FTIR

    a) gelatin komersial dan b) gelatin ikan kurisi

  • 61

    Tabel 19. Hasil Karakterisasi gugus fungsi dengan FTIR

    NO Gugus Fungsi

    Frekuensi

    Gelatin Komersial

    Gelatin Ikan Kurisi

    Referensi

    1

    2

    3

    4

    5

    Amida A (vibrasi N-H Stretching) Amida B (vibrasi =C-H dan NH3

    + Asymmetric Stretching) Amida I (vibrasi C=O Stretching) Amida II (vibrasi N-H Bending dan C-N Stretching) Amida III (vibrasi C-N stretching N-H yang mengalami deformasi)

    3293 cm-1

    3074 cm-1

    1653 cm-1

    1541 cm-1

    1238 cm-1

    3300 cm-1

    3080 cm-1

    1649 cm-1

    1539 cm-1

    1233 cm-1

    3289-3304 cm-1

    3071-3087 cm-1

    1632-1653 cm-1

    1539-1543 cm-1

    1233-1239 cm-1

    Tabel 19 menunjukkan bahwa gelatin komersial maupun gelatin dari

    perlakuan terbaik tahap 2 mengandung pita amida A masing-masing pada

    frekuensi 3293 cm-1 dan 3300 cm-1. Pita amida A menunjukkan adanya vibrasi

    regangan (stretching) gugus N-H. Fekuensi gugus N-H bebas berada pada

    kisaran 3400 – 3440 (Kittiphattanabawon et al., 2010). Namun frekuensi akan

    menurun ketika gugus N-H terlibat dalam pembentukan ikatan hidrogen pada

    rantai α gelatin dan memiliki kisaran frekuensi 3289 – 3304 cm-1 (Doyle and

    Chemistry, 1975; Sinthusamran et al., 2014).

    Pita amida B juga terdeteksi baik pada struktur gelatin komersial maupun

    pada struktur gelatin perlakuan terbaik dengan frekuensi masing-masing 3070 –

    3080 cm-1 (Tabel 19). Pita amida B menunjukkan vibrasi regangan (stretching)

    asimetrik gugus =C-H dan NH3+. Sejumlah penelitian menyebutkan pita amida B

    berada pada frekuensi 3071 – 3079 cm-1 (Sinthusamran et al., 2014) dan 3080 –

    3087 cm-1, nilai frekuensi pita amida B yang rendah diduga karena adanya

    interaksi antara gugus NH3+ dengan rantai peptida (Nagarajan et al., 2012).

    Pita amida I gelatin komersial berada pada frekuensi 1653 cm-1,

    sedangkan frekuensi untuk gelatin perlakuan terbaik sebesar 1649 cm-1. Pita

    amida I menunjukkan vibrasi regangan (stretching) gugus C=O pada struktur

    sekunder protein (Kittiphattanabawon et al., 2010). kisaran panjang gelombang

    pita amida I 1632 – 1635 cm-1 (Nagarajan et al., 2012). (Kittiphattanabawon et

    al., 2010) melaporkan bahwa nilai frekuensi pita amida I sebesar 1644 -1653 cm-

    1. Nilai frekuensi tersebut dapat dipengaruhi oleh berat molekul gelatin, semakin

    banyak jumlah gelatin dengan berat molekul randah maka gugus C=O akan lebih

  • 62

    terbuka dan bersifat reaktif. Hal ini dapat terjadi pada suhu ekstraksi yang tinggi,

    akibatnya frekuensi pita amida I semakin meningkat seiring bertambahnya jumlah

    gelatin dengan berat molekul rendah.

    Nilai frekuensi pita amida II pada gelatin komersial sebesar 1541 cm-1 dan

    untuk gelatin perlakuan terbaik sebesar 1539 cm-1. Pita amida II menunjukkan

    vibrasi bending gugus N-H dan stretching gugus C-N. Sinthusamran et al. (2014)

    menyebutkan bahwa kisaran frekuensi pita amida II sebesar 1540 – 1543 cm-1,

    Ahmad and Benjakul (2011) juga menyebutkan kisaran pita amida dua berada

    pada frekuensi 1539 – 1549 cm-1. Pita amida III gelatin komersial berada pada

    frekuensi 1238 cm-1, dan gelatin dengan perlakuan terbaik berada pada frekuensi

    1233 cm-1. Nilai frekuensi pita amida III umumnya berada pada kisaran frekuensi

    1233 – 1234 cm-1 (Sinthusamran et al., 2014) dan 1237 – 1239 cm-1

    (Kittiphattanabawon et al., 2010). Pita amida III menunjukkan adanya kombinasi

    antara gerakan vibrasi stretching C-N dan N-H yang mengalami deformasi selain

    itu juga berkaitan dengan vibrasi wagging CH2 rantai ujung glisin dan rantai

    samping prolin. Pita amida III juga menjelaskan terjadinya degradasi struktur

    triple helix kolagen menjadi gelatin dengan struktur yang lebih sederhana

    (Ahmad and Benjakul, 2011; Muyonga, 2004; Jackson et al., 1995).

    Selain frekuensi pita amida, terdapat pula peak dengan intensitas yang

    cukup tinggi yaitu pada frekuensi 1163 cm-1, 1080 cm-1, 1030 cm-1 dan 974 cm-1

    untuk gelatin komersial, serta frekuensi 1138 cm-1, 1067 cm-1, dan 988 cm-1 untuk

    gelatin perlakuan terbaik. Pita-pita tersebut menunjukkan vibrasi stretching gugus

    C-O pada rantai peptida yang pendek, dan mengindikasikan adanya degradasi

    rantai peptida (Ahmad and Benjakul, 2011; Jackson et al., 1995).

    5.5.6 Proksimat Gelatin

    Analisa proksimat gelatin bertujuan untuk mengetahui komposisi kimia

    seperti kandungan air, abu, protein maupun lemak baik pada gelatin komersial

    maupun gelatin ikan kurisi hasil perlakuan terbaik. Hasil analisa proksimat gelatin

    ditunjukkan pada Tabel 20.

  • 63

    Tabel 20. Hasil Analisa Proksimat Gelatin

    Parameter Jumlah

    Gelatin komersial Gelatin Ikan Kurisi

    Kadar Air (%) 7,03a ± 0,5 8,23a ± 0,4

    Kadar Abu (%) 0,63a ± 0,02 0,85b ± 0,03 Kadar Protein (%) 90,60a ± 1,0 88,54a ± 0,94 Kadar Lemak (%) 0,18a ± 0,007 0,13a ± 0,02

    Catatan : Notasi yang berbeda untuk baris yang sama menunjukkan perbedaan pada α = 0,05 ± SE

    Kadar air gelatin ikan kurisi hasil perlakuan terbaik tahap 2 sebesar

    7,03% dan kadar air gelatin komersial sebesar 8,23% (Tabel 20). Hasil kadar air

    gelatin ikan kurisi lebih tinggi daripada gelatin komersial, namun nilai tersebut

    tidak berbeda nyata secara statistik karena memiliki nilai P 0,105 (P≥0,05)

    (Lampiran 7a). Kadar air gelatin ikan kurisi hasil penelitian maupun gelatin

    komersial tidak jauh berbeda dengan kadar air gelatin dari tulang ikan tigawaja

    9,60% dan gelatin tulang ikan kurisi 8,56% (Koli et al., 2011), gelatin tulang ikan

    kakap merah 6,73% (Kusumawati, 2008) dan gelatin kepala ikan lele 8,3%.

    Kadar air gelatin ikan kurisi pada penelitian ini sudah memenuhi standar

    maksimum kadar air gelatin yakni 15% (GME, 2005), 18% (JECFA, 2003) dan

    16% (SNI, 1995)

    Kadar abu gelatin ikan kurisi dan gelatin komersial masing-masing

    sebesar 0,85 dan 0,63 (Tabel 20). Secara statistik nilai kadar abu gelatin ikan

    kurisi dan gelatin komersial memiliki perbedaan secara signifikan karena memiliki

    nilai P sebesar 0,015 (P≤0,05) (Lampiran 7b), dimana kadar abu gelatin ikan

    kurisi lebih tinggi dibandingkan dengan gelatin komesial, nilai kadar abu yang

    diperoleh sebanding dengan hasil penentuan komposisi unsur (mineral) yang

    terkandung dalam gelatin (Tabel 16). Kadar abu gelatin ikan ikan kurisi dan

    gelatin komersial lebih rendah dari nilai maksimum kadar abu yang

    direkomendasikan yakni 2% (GME, 2005). Kusumawati (2008) melaporkan

    bahwa kadar abu gelatin tulang ikan kakap sebesar 0,88%. Selain itu kadar abu

    gelatin tulang ikan tigawaja dan tulang ikan kurisi masing-masing sebesar 2,70 –

    2,80% (Koli et al., 2011).

    Kadar protein gelatin ikan kurisi dan gelatin komersial masing-masing

    sebesar 88,54% dan 90,60%. Kadar protein gelatin ikan kurisi lebih rendah

    dibandingkan gelatin komersial, hasil ini sesuai dengan hasil analisa komposisi

    unsur dalam gelatin (Tabel 16), dimana pada gelatin komersial unsur C, N, dan O

    yang merupakan unsur penyusun protein cenderung lebih tinggi dibandingkan

  • 64

    dengan gelatin ikan kurisi. Secara statistik menunjukkan bahwa kadar protein

    ikan kurisi dan gelatin komersial tidak berbeda secara signifikan karena memiliki

    nilai P 0,239 (P>0,05) (Lampiran 7c). Kadar protein pada penelitian ini lebih tinggi

    dibandingkan kadar protein gelatin tulang ikan kakap sebesar 86,61%

    (Kusumawati, 2008), kadar protein gelatin tulang ikan tigawaja dan tulang ikan

    kurisi masing-masing sebesar 82,50% dan 69,49% (Koli et al., 2011).

    Gelatin ikan kurisi memiliki kadar lemak yang lebih rendah (0,13%)

    dibandingkan dengan gelatin komersial sebesar 0,18%. Namun nilai kadar lemak

    tersebut tidak berbeda secara signifikan karena memiliki nilai P 0,277 (P>0,05)

    (Lampiran 7d). Menurut Koli et al. (2011), kadar lemak gelatin tulang ikan

    tigawaja sebesar 0,52% dan kadar lemak gelatin tulang ikan kurisi sebesar

    0,32%. Selain itu kadar lemak gelatin tulang ikan kakap sebesar 0,16%

    (Kusumawati, 2008).

    5.5.7 Sifat Fisik Gelatin

    Analisa sifat fisik gelatin meliputi pengukuran kekuatan gel, viskositas dan

    pH gelatin. Sifat fisik gelatin ikan kurisi hasil perlakuan terbaik kemudian

    dibandingkan dengan sifat fisik gelatin komersial. Hasil pengukuran kekuatan gel,

    viskositas dan pH gelatin ditunjukkan pada Tabel 21.

    Tabel 21. Sifat Fisik Gelatin

    Parameter Jumlah

    Gelatin Komersial Gelatin Ikan Kurisi

    Kekuatan Gel (g.bloom) 364,54a ± 6,4 311,01b ± 13,0 Viskositas (cP) 6,25a ± 0,2 5,00a ± 0,4

    pH 6,38a ± 0,1 5,43b ± 0,05 Suhu Gel (oC) 15,50a ± 0,1 10,12b ± 0,2

    Suhu Leleh (oC) 34,12a ± 0,1 20,37b ± 0,5

    Catatan : Notasi yang berbeda untuk baris yang sama menunjukkan perbedaan pada α = 0,05 ± SE

    Nilai kekuatan gel gelatin ikan kurisi sebesar 311,01 g.bloom, sedangkan

    kekuatan gel gelatin komersial sebesar 364,54 g.bloom. hasil uji t (independent t

    test) menunjukkan bahwa nilai kekuatan gel ikan kurisi dan gelatin komersial

    berbeda secara signifikan dengan nilai P 0,023 (P

  • 65

    terjadinya interaksi intermolekuler yang lebih setabil sehingga dapat membentuk

    struktur triple helix yang lebih kuat (Tabarestani et al., 2010). Selain itu, nilai

    kekuatan gel gel gelatin juga sesuai dengan bentuk topografi gelatin, dimana

    gelatin komersial dengan bentuk topografi yang lebih kompak, ukuran pori yang

    lebih kecil dan lebih seragam memiliki nilai kekuatan gel yang lebih baik

    dibandingkan dengan gelatin komersial yang memiliki bentuk topografi yang

    terlihat lebih porus dan memiliki ukuran pori yang lebih besar.

    Nilai viskositas gelatin ikan kurisi (5 cP) lebih rendah dibandingan

    viskositas gelatin komersial (6,25 cP), secara statistik (independent t test) nilai

    viskositas gelatin komersial dan gelatin ikan kurisi tidak berbeda secara signifikan

    karena memiliki nilai P 0,059 (P>0,05). Viskositas menunjukkan daya hambat

    yang disebabkan oleh gesekan antar molekul pada cairan (Warsito et al., 2009).

    Tingginya nilai viskositas gelatin komersial dibandingkan gelatin ikan kurisi

    disebabkan oleh pembukaan rantai polipeptida dengan berat molekul tinggi

    sehingga terjadi interaksi hidrodinamik intermolekuler gelatin (Tabarestani et al.,

    2010).

    Nilai viskositas gelatin erat kaitannya dengan nilai berat molekul protein

    gelatin, yakni gelatin komersial dengan distribusi berat molekul yang lebih besar

    akan memiliki interaksi hidrodinamik yang lebih besar pula sehingga dapat

    meningkatkan daya hambat akibat adanya gesekan antar molekul. Berbeda

    dengan gelatin ikan kurisi yang memiliki berat molekul yang cenderung lebih

    rendah, maka interaksi hidrodinamik yang terjadi akan lebih sedikit, sehingga hal

    ini yang menyebabkan nilai viskositas gelatin komersial lebih tinggi

    dibandingakan dengan gelatin ikan kurisi.

    Nilai pH gelatin ikan kurisi dan gelatin komersial masing-masing sebesar

    5,4 dan 6,3. Hasil uji t (independent t test) nilai pH menunjukkan perbedaan

    secara signifikan dengan nilai P 0,007 (P

  • 66

    Masirah (2016) melaporkan hasil optimum gelatin tulang ikan bandeng memiliki

    kekuatan gel 337,46 g.bloom, viskositas 5,90 cP dan pH 5,55 (Masirah, 2016)

    Suhu gel menunjukkan suhu yang dibutuhkan gelatin untuk membentuk

    gel. Suhu gel ikan kurisi 10,12 oC dan gelatin komersial 15,50 oC. Sedangkan

    suhu leleh berhubungan dengan penyerapan panas maksimum oleh gelatin dan

    merupakan panas yang dibutuhkan oleh gelatin untuk melelehkan gel (Tsereteli

    and smirnova, 1991). Nilai suhu leleh gelatin ikan kurisi dan gelatin komersial

    masing-masing 20,37 oC dan 34,12 oC. Secara statistik, nilai suhu gel maupun

    suhu leleh ikan kurisi dan gelatin komersial berbeda secara signifikan dengan

    nilai p

  • 67

    Tabel 22. Data Profil Tekstur Gelatin

    Parameter Gelatin Komersial Gelatin Ikan Kurisi

    Hardness (g) Springiness Cohesiveness Chewiness

    28,57a ± 1,56 0,96a ± 0,02

    0,86a ± 0,08 21,11a ± 1,2

    21,03b ± 0,38 0,75b ± 0,02

    0,60a ± 0,009 9,60b ± 0,52

    Catatan : Notasi yang berbeda untuk baris yang sama menunjukkan perbedaan pada α = 0,05 ± SE

    Kekerasan (hardness) secara kuantitatif menyatakan jumlah beban yang

    dibutuhkan (g) untuk menghancurkan bahan yang akan dianalisis. Sedangkan

    elastisitas (springiness) menunjukkan seberapa besar produk dapat kembali ke

    kondisi semula setelah diberikan tekanan pertama (Haliza et al, 2012). Hasil

    analisa profil tekstur (Tabel 22) menunjukkan bahwa nilai kekerasan (hardness)

    dan elastisitas (springiness) gelatin komersial lebih tinggi dibandingkan dengan

    gelatin ikan kurisi, dan nilai tersebut berbeda secara signifikan (p-value0,05). Daya kunyah (chewiness)

    menunjukkan energi yang dibutuhkan untuk mengunyah akibat adanya

    ketahanan elastis dari bahan makanan hingga siap ditelan (Tribuana, 2015).

    Gelatin komersial juga memiliki nilai chewiness yang lebih tinggi dibandingkan

    gelatin ikan kurisi. Secara statistik nilai chewiness masing-masing gelatin

    berbeda secara signifikan dengan nilai p 0,014.

    5.5.9 Kandungan Logam Berat Gelatin

    Analisa kandungan logam berat gelatin dengan AAS (Atomic Absorption

    Spectrophotometry) merupakan salah satu parameter untuk menetahui mutu

  • 68

    gelatin dan kelayakannya untuk dikonsumsi dengan membandingkan hasil

    pengukuran dengan standar mutu yang dikeluarkan oleh FAO. Kandungan logam

    berat gelatin ditunjukkan pada Tabel 23.

    Tabel 23. Kandungan Logam Berat Gelatin

    Unsur Logam

    Gelatin Komersial

    Gelatin Ikan Kurisi

    Standar FAO*

    Standar SNI**

    Hg

    Pb

    Tidak Terdeteksi

    Tidak Terdeteksi

    0,78 ± 0,00 mg/kg

    8,79 ± 1,38 mg/kg

    0,15 mg/kg

    1,5 mg/kg

    50 mg/kg

    50 mg/kg

    Sumber * : JECFA, 2004. **: SNI 06-3735-1995

    Tabel 23 menunjukkan bahwa gelatin komersial tidak terdeteksi

    mengadung logam berat raksa (Hg) dan timbal (Pb). Sedangkan untuk gelatin

    ikan kurisi terdeteksi kandungan logam raksa (Hg) 0,78 mg/kg sedangkan logam

    timbal (Pb) sebesar 8,79 mg/kg. Kandungan logam tersebut cukup tinggi jika

    dibandingkan dengan standar kandungan Hg dan Pb yang keluarkan oleh FAO

    masing-masing sebesar 0,15 mg/kg dan 1,5 mg/kg (JECFA, 2004). Namun, jika

    dibandingkan dengan standar kandungan logam yang dikeluarkan oleh SNI,

    kandungan logam gelatin ikan masih dibawah batas maksimal yang disyaratkan

    yakni 50 mg/kg. Tingginya kandungan logam Hg dan Pb diduga karena

    akumulasi dari kondisi lingkungan yang tercemar logam berat, bahkan akibat

    akumulusi logam berat pada ikan akan mengakibatkan kandungan logam berat

    pada ikan lebih tinggi dibandingkan lingkungannya.