bab v. hasil dan pembahasan 5.1 uji taksonomirepository.ub.ac.id/1255/6/17 bab v.pdf · 2020. 10....
TRANSCRIPT
-
37
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Uji Taksonomi
Hasil uji taksonomi menunjukkan bahwa ikan kurisi yang digunakan pada
penelitian ini adalah ikan kurisi dengan spesies Nemipterus bathybius. Ikan kurisi
jenis Nemipterus bathybius merupakan jenis ikan kurisi dengan kategori
komersial, penyebaran ikan kurisi jenis Nemipterus bathybius cukup luas, tercatat
ditemukan dari laut Sumatera hingga laut timur.
Hasil pengamatan ikan mengenai karakter-karekter ikan kurisi
menyatakan bahwa ikan kurisi jenis Nemipterus bathybius memiliki bentuk tubuh
pipih tegak, memiliki tipe sisik stenoid. Selain itu juga memiliki operkulum namun
tidak memiliki barbel atau sungut. Secara umum warna tubuh ikan adalah
kemerahan dan putih mutiara dengan tiga garis kuning horizontal. Panjang tubuh
ikan secara keseluruhan sebesar 20,8 cm dengan panjang kepala 4,51 cm.
5.2 Analisa Proksimat Bahan Baku
Analisa bahan baku dilakukakan untuk mengetahui sejumlah komponen
kimia yang terkandung dalam kepala ikan kurisi (tulang, kulit dan insang) segar
yang digunakan untuk memproduksi gelatin. Analisa bahan bahan baku kepala
ikan kurisi meliputi analisa kadar air, analisa kadar abu, analisa kadar protein dan
analisa kadar lemak. Hasil yang diperoleh ditunjukkan pada Tabel 9 :
Tabel 9. Hasil Uji Proksimat Bahan Baku
Parameter Jumlah (%)
Kadar Air 59,71 ± 0,4 Kadar Abu 10,85 ± 0,4 Kadar Protein 18,04 ± 0,8 Kadar Lemak 9,31 ± 0,3
Catatan: hasil diperoleh dari nilai ata-rata tiga kali ulangan ± SE
Kandungan air dalam bahan merupakan penentu acceptability, kesegaran
dan daya tahan bahan (Astiana et al., 2016). Kadar air yang terkandung dalam
kepala ikan kurisi segar yang digunakan untuk memproduksi gelatin sebesar
59,71%, yakni lebih rendah dibandingkan kadar air kepala ikan makarel 65,3%
(Khiari et al., 2011), tulang ikan swanggi 62,27% (Kittiphattanabawon et al.,
2005), tulang ikan tigawaja 78,63%, tulang ikan kurisi 74,83% (Koli et al., 2011)
dan lebih tinggi dibandingkan dengan kadar air kepala ikan lele 19,6% dan tulang
kepala ikan lele 12,6% (Liu et al., 2009), tulang ikan lele 44,48% (Sanaei et al.,
2013) serta tulang ikan trout 48,03% (Tabarestani & Mahoonak, 2012).
-
38
Analisa kadar abu dapat digunakan untuk menentukan total mineral
dalam bahan karena pada tahap pengabuan akan terjadi proses pembakaran
dan oksidasi komponen organik bahan pangan dan menyisakan residu anorganik
seperti mineral (Astiana et al., 2016). Kadar abu kepala ikan kurisi sebesar
10,85%. Sejumlah penelitian melaporkan bahwa kadar abu kepala ikan lele dan
tulang kepala ikan lele masing-masing 38,3% dan 53,7% (Liu et al., 2009),
kepala ikan makarel 4,3% (Khiari et al., 2011), tulang ikan swanggi 14,4%
(Kittiphattanabawon et al., 2005), tulang ikan trout 13,4% (Tabarestani &
Mahoonak, 2012), tulang ikan tigawaja dan tulang ikan kurisi masing-masing
1,88% dan 1,56% (Koli et al., 2011).
Kadar protein kepala ikan kurisi sebesar 18,04%. Kandungan protein
dalam kepala ikan kurisi berhubungan dengan jumlah gelatin yang akan
dihasilkan dalam proses ekstraksi karena gelatin merupakan jenis turunan
protein. Kadar protein ikan umumnya berkisar antara 15 – 25% (Nurjanah &
Abdullah, 2010). Khiari et al. (2011) melaporkan bahwa kadar protein kepala ikan
makarel sebesar 16,3%. Selain itu, kadar protein kepala ikan lele dan tulang
kepala ikan lele masing-masing 24,4% dan 21,3% (Liu et al., 2009), tulang ikan
tigawaja dan tulang ikan ikan kurisi masing-masing 14,6% dan 14,7% (Koli et al.,
2011), tulang ikan swanggi 13,3% (Kittiphattanabawon et al., 2005) dan tulang
ikan trout sebesar 20,27% (Tabarestani & Mahoonak, 2012).
Kadar lemak kepala ikan kurisi sebesar 9,31%. Ikan dapat dikelompokkan
berdasarkan kandungan lemaknya, yakni ikan yang memiliki kandungan lemak
rendah jika kurang dari 2%, ikan dengan kandungan lemak sedang 2 – 5% dan
ikan dengan kandungan lemak tinggi jika lebih dari 5% (Sun, 2006). Beberapa
penelitian lain menyebutkan bahwa kadar lemak kepala ikan makarel 14,2%,
kepala ikan lele 20,5%, tulang keapala ikan lele 13,5%, tulang ikan tigawaja
1,38%, tulang ikan kurisi 1,25%, tulang ikan swanggi 8,77% dan tulang ikan trout
18,29% (Khiari et al., 2011; Liu et al., 2009; Koli et al., 2011; Kittiphattanabawon
et al., 2005; Tabarestani & Mahoonak, 2012).
5.3 Penelitian Tahap 1 (Optimasi Pretreatment Kepala Ikan Kurisi)
Proses pretreatment kepala ikan kurisi merupakan tahap awal yang
sangat penting dilakukan dalam memproduksi gelatin. Pada penelitian ini
pretreatment dilakukan dengan merendam kepala ikan kurisi dalam HCl yang
merupakan asam kuat. Asam kuat digunakan untuk proses demineralisasi, yakni
melarutkan sejumlah mineral yang terkandung di dalam bahan baku karena
-
39
sebagian besar komponen kepala yang digunakan untuk memproduksi gelatin
adalah tulang kepala ikan kurisi. Salah satu penyusun tulang adalah mineral
yang berfungsi sebagai penstabil dan menghasilkan tekstur yang keras (Olszta et
al., 2007). Selain untuk proses demineralisasi, HCl juga berfungsi untuk untuk
menghidrolisis ikatan silang trivalen pada struktur triple helix kolagen (Regenstein
& Zhou 2007) sehingga pada proses perendaman dihasilkan tulang dengan
tekstur lunak dan disebut dengan ossein.
Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian tahap 1 yaitu
Response Surface Methodology (RSM) dengan one factor, yakni faktor yang
digunakan hanya konsentrasi HCl. Rancangan percobaan dibuat degan
menentukan titik tengah konsentrasi HCl yaitu pada konsentrasi 4% titik bawah
2% dan titik atas 6%. Penentuan titik tengah didasarkan pada penelitian
terdahulu yang menyebutkan bahwa pada perendaman dengan HCl konsentrasi
4% diperoleh hasil terbaik dalam proses ekstrasksi gelatin tulang ikan kakap
merah dan tulang ikan kaci-kaci (Suryanti et al., 2006; Ayudiarti and
Paranginangin, 2007). Selain itu juga didasarkan pada terbentuknya ossein pada
penelitian pendahuluan, karena jika konsentrasi HCl terlalu rendah maka ossein
tidak dapat dapat terbentuk dan proses ekstraksi tidak dapat berjalan dengan
maksimal. Sedangkan respon yang diamati adalah rendemen dan kekuatan gel
gelatin seperti yang ditunjukkan pada Tabel 10.
Tabel 10 Hasil Variabel Respon berdasarkan konsentrasi HCl
No Kode Aktual Respon
X1 Konsentrasi HCl
(%) Rendemen
(%) Kekuatan Gel
(g.bloom)
1 2 3 4 5 6 7 8 9
-1 -1
-0,5 0,5 1 1 0 0 0
2 2 3 5 6 6 4 4 4
2,37 2,60 4,90 7,01 6,25 6,94 6,97 6,96 7,08
356,90 353,50 302,51 244,73 207,34 217,54 265,12 261,72 258,32
-
40
5.3.1 Pengaruh Konsentrasi Asam terhadap Respon Rendemen dan
Kekuatan Gel Gelatin
5.3.1.1 Evaluasi Model Respon
a. Evaluasi model berdasarkan jumlah Kuadrat dari urutan model (Sequential
Model Sum of Squares/SMSS)
Evaluasi model berdasarkan jumlah Kuadrat dari urutan model (SMSS)
pada respon rendemen (Lampiran 4a) menunjukkan bahwa model respon yang
disarankan (Suggested) model kuadratik karena memiliki nilai F paling tinggi
135,15 dan memiliki nilai P (Prob>F) yang paling rendah yaitu F) yang paling rendah yaitu 0,0037. Nilai P (Prob>F) yang ditampilkan
oleh model linear lebih rendah (lebih signifikan) dibandingkan Nilai P (Prob>F)
model Kuadratik, Namun model Kuadratik lebih disarankan. Hal ini terjadi karena
pemilihan model yang tepat dalam proses analisa tidak hanya berdasarkan hasil
evaluasi jumlah kuadrat (Sequential Model Sum of Squares), namun juga
mempertimbangkan nilai Lack of Fit test dan Model Summary Statistic, sehingga
dari berbagai evaluasi tersebut model kuadratik menjadi model yang disarankan
(suggested).
b. Evaluasi Model berdasarkan Pengujian Ketidaktepatan model (Lack of Fit test)
Pemilihan model berdasarkan lack of fit test ditentukan dengan nilai P
yang tidak signifikan. Evaluasi model berdasarkan pengujian ketidaktepatan (lack
of fit test) model pada respon rendemen maupun kekuatan gel gelatin (Lampiran
4b) menunjukkan bahwa model kuadratik memiliki nilai P (Prob>F) > 0,05,
artinya tidak ada pengaruh nyata antara ketidaktepatan model dengan respon
rendemen maupun kekuatan gel gelatin, sehingga model quadratik merupakan
model yang disarankan (suggested) oleh program Design Expert.
-
41
c. Evaluasi Model Berdasarkan Statistik Ringkasan Model (Model Summary
Statistis/MSS)
Hasil evaluasi model berdasarkan Statistik Ringkasan Model (Model
Summary Statistics/MSS) pada respon rendemen dan kekuatan gel gelatin
(Lampiran 4c) menunjukkan bahwa model kuadratik merupakan model yang
disarankan karena memiliki standar deviasi yang rendah 0,28 dan 6,07, nilai
Adjusted R2 dan predicted R2 yang juga rendah masing-masing sebesar 0,9792
dan 0,9614 untuk rendemen gelatin, 0,9872 dan 0,9789 untuk kekuatan gel
gelatin. Hasil adjusted R2 menunjukkan variabel konsentrasi HCl berpengaruh
pada keragaman respon baik pada rendemen gelatin sebesar 97,92% dan
kekuatan gel gelatin sebesar 98,72%. Selain itu evaluasi model didasarkan pada
nilai PRESS (prediction error sum of squares) yang paling kecil, masing-masing
1,14 dan 485,72 untuk rendemen dan kekuatan gel gelatin, sehingga
berdasarkan semua kriteria tersebut model kuadratik dipilih untuk menjelaskan
hubungan antara faktor konsentrasi HCl terhadap respon rendemen maupun
kekuatan gel gelatin.
5.3.1.2 Analisa Ragam (ANOVA) pada Respon Permukaan
Hasil analisa ragam (ANOVA) dalam mengetahui pengaruh faktor
konsentrasi HCl terhadap respon rendemen dan kekuatan gel gelatin (Lampiran
4d) menunjukkan bahwa faktor konsentrasi HCl berpengaruh nyata terhadap
respon rendemen gelatin maupun kekuatan gel gelatin karena memiliki nilai P
(Prob>F) < 0,0001. Selain itu ketidaktepatan model (lack of fit) tidak berpengaruh
nyata pada model kuadratik sehingga dapat dinyatakan bahwa model kuadratik
merupakan model yang tepat untuk menjelaskan pengaruh konsentrasi HCl
terhadap respon rendemen dan kekuatan gel gelatin. Grafik yang menyatakan
pengaruh faktor konsentrasi HCl terhadap respon rendemen gelatin maupun
kekuatan gel gelatin ditunjukkan pada Gambar 10.
-
42
Gambar 10. hubungan konsentrasi HCl terhadap rendemen gelatin
Pengaruh konsentrasi asam (Gambar 10) menunjukkan bahwa
peningkatan konsentrasi HCl hingga 5% dapat meningkatkan rendemen gelatin
hingga 7,01%, namun terjadi penurunan nilai rendemen jika konsentrasi HCl
dinaikkan hingga 6%. Sejumlah penelitian melaporkan bahwa terjadi peningkatan
rendemen gelatin (protein) kulit ikan nila, ikan grascarp dan ikan trout pelangi
seiring bertambahnya konsentrasi asam hingga mencapai nilai rendemen
maksimum, namun nilai rendemen akan mengalami penurunan jika konsentrasi
asam semakin dinaikkan (Niu et al., 2013; Kasankala et al., 2007; Tabarestani,
2010).
Perendaman dengan larutan asam pada konsentrasi sedang mampu
mengganggu stabilitas ikatan non kovalen intramolekul maupun antarmolekul
sehingga mampu mengikat sejumlah mineral dalam bahan, akibatnya bahan
akan mengalami pembengkakan (swelling) dan melunak serta menghasilkan
kolagen yang bersifat tidak larut (ossein) dan ekstraksi gelatin berjalan optimal
pada konsentrasi asam yang optimal pula (Ahmad & Benjakul, 2011;
Kittiphattanabawon et al., 2016). Namun pada penggunaan konsentrasi asam
yang tinggi akan meningkatkan ion H+ yang dapat menghidrolisis kolagen serta
berpotensi terjadinya reaksi lebih lanjut menjadi gelatin yang terlarut dalam asam
(Niu et al., 2013). Hal inilah yang menyebabkan menurunnya jumlah rendemen
gelatin pada konsentrasi HCl 6%.
y = 1,0306x + 1,5533
-
43
Rendemen gelatin kepala ikan kurisi yang dihasilkan dengan faktor
konsentrasi HCl berkisar antara 2% – 7%. Koli et al. (2011) melaporkan bahwa
rendemen gelatin yang dihasilkan dari kulit dan tulang ikan kurisi masing-masing
5,57% dan 3,55%. Selain itu, Rendemen gelatin tulang ikan kakap dengan
perendaman dalam HCl 2% – 6% berkisar 7% – 14% (Kusumawati, 2008;
Suryanti et al., 2006).
Adapun pengaruh konsentrasi HCl terhadap respon kekuatan gel gelatin
(Gambar 11) menunjukkan bahwa kekuatan gel menurun seiring bertambahnya
nilai faktor konsentrasi HCl. Nilai kekuatan gel gelatin umumnya ditentukan oleh
banyaknya interaksi intramolekul maupun intermolekul yang erat kaitannya
dengan berat molekul gelatin, rasio rantai α dan β serta komposisi asam amino
gelatin (Ahmad and Benjakul, 2011).
Gambar 11. Hubungan konsentrasi HCl terhadap kekuatan gel gelatin
Kisaran kekuatan gel gelatin kepala ikan kurisi sebesar 207,34 – 356,90
g.bloom. menurut Koli et al. (2011) nilai kekuatan gel gelatin kulit dan tulang ikan
kurisi (Nemipterus japonicus) sebesar 140 gr.bloom dan 130 g.bloom. Sejumlah
penelitian juga melaporkan bahwa peningkatan konsentrasi HCl dapat
menurunkan nilai kekuatan gel gelatin, salah satunya yang berasal dari tulang
ikan kaci-kaci dengan kisaran kekuatan gel 163 – 120 g.bloom pada konsentrasi
HCl 4% - 6% (Ayudiarti and Paranginangin, 2007), tulang ikan kakap dengan
y = -34,934x + 413,92
-
44
kisaran kekuatan gel 202 – 22 g.bloom dan 226 – 127 g.bloom pada konsentrasi
HCl 2% – 4% dan 4% – 6% (Kusumawati, 2008; Suryanti et al. 2006).
Secara kimiawi pembentukan gel pada gelatin ditandai dengan
terbentuknya “Junction Zone” dan jaringan tiga dimensi rantai gelatin.
Pembentukan Junction Zone ditentukan dengan terbentuknya ikatan heliks
antara dua rantai gelatin maupun lebih ketika terjadi penurunan suhu. Kondisi
inilah yang sering disebut dengan renaturasi kolagen (Djabourov et al., 1988).
Sedangkan jaringan tiga dimensi dapat terbentuk dengan kuat apabila terdapat
inetraksi antarmolekul melalui ikatan hidrogen pada gugus –NH dan –CO dari
tiga rantai oligomer gelatin yang berbeda yang telah membentuk junction zone.
Selain ikatan hidrogen, interaksi elektrostatik dan ikatan hidrofobik dapat
meningkatkan pembentukan jaringan tiga dimensi. Terbentuknya jaringan tiga
dimensi pada molekul kolagen akan membuat air terperangkap dalam jaringan
tersebut sehingga gel akan terbentuk (Burey at al., 2008; Ahmad & Benjakul,
2011; Duconseille et al., 2014).
Perbedaan konsentrasi HCl berpengaruh pada tingkat hidrolisis terhadap
bahan baku. Ion H+ pada HCl berfungsi untuk menghidrolisis rantai tropokolagen
dalam bahan, namun konsentrasi HCl yang tinggi akan meningkatkan terjadinya
hidrolisis lanjutan pada kolagen menjadi gelatin dengan rantai yang lebih pendek
sehingga akan menurunkan berat molekul gelatin (Niu et al., 2013). Gelatin
dengan berat molekul rendah lebih sulit mengalami proses renaturasi
(membentuk ikatan heliks), akibatnya jaringan tiga dimensi yang merupakan
penentu dalam pembentukan gel akan sulit terbentuk jika renaturasi tidak terjadi
(Duconseille et al., 2014), oleh karena itu hasil penelitian (Gambar 11)
menunujukkan bahwa terjadi penurunan kekuatan gel gelatin seiring
bertambahnya konsentrasi HCl.
5.3.2 Penentuan Titik Optimum dan Verifikasi
Penentuan titik optimum mengenai pengaruh konsentrasi HCl terhadap
rendemen dan kekuatan gel gelatin didasarkan pada kriteria yang telah
disesuaikan dengan tujuan maupun tingkat kepentingan yang diharapkan. Pada
penelitian ini faktor konsentrasi HCl ditetapkan minimize, karena konsentrasi
asam sangat berpengaruh terhadap karakteristik gelatin, apabila konsentrasi
asam terlalu tinggi maka akan didapatkan gelatin dengan kulaitas yang rendah
baik dari segi fisik maupun kimiawi (Karim & Bhat, 2009). Selain itu, pada
-
45
konsentrasi HCl yang tinggi, sisa HCl yang tidak bereaksi akan terperangkap
dalam jaringan fibril kolagen, sehingga akan sulit untuk dinetralkan dan dapat
mempengaruhi tingkat keasaman (pH) gelatin yang dihasilkan (Ayudiarti &
Paranginangin, 2007).
Variabel respon rendemen maupun kekuatan gel gelatin ditetapkan
maximize, karena yang diharapkan pada kondisi optimum dapat menghasilkan
rendemen gelatin yang tinggi dengan kualitas gelatin yang baik pula. Karim and
Bhat (2009) menyatakan bahwa kekuatan gel dapat menggambarkan sifat kimia
gelatin dan dapat digunakan dalam menentukan penggunaan gelatin di bidang
industri. Selain itu, kekuatan gel tersebut juga merupakan salah satu parameter
fisik penentu stabilitas produk dalam penggunaannya di bidang industri, sehingga
yang diharapkan dalam penelitian ini adalah gelatin dengan kekuatan gel yang
tinggi. Adapun kriteria penentuan titik optimum ditunjukkan pada Tabel 11:
Tabel 11. Kriteria Penentuan Titik Optimum
Kriteria Goal Batas Nilai
Bawah Atas
Konsentrasi HCl Rendemen Gelatin Kekuatan Gel Gelatin
Minimize Maximize Maximize
2,00% 2,37%
207,34 g.bloom
6,00% 7,08%
356,90g.bloom
Selanjutnya, setelah penentuan kriteria titik optimum, program Design
Expert akan mengeluarkan solusi optimum dengan nilai desirability yang paling
tinggi (mendekati 1), pada tahap ini solusi optimum yang dikeluarkan hanya satu,
yaitu dengan konsentrasi HCl 2,98%, nilai rendemen dan kekuatan gel masing-
masing 5,17% dan 305,11 g.bloom. Sedangkan nilai desirability dari solusi
optimum tersebut adalah 0,665. Solusi optimum pada program Design Expert
selanjutnya diverifikasi dengan cara membandingkan dengan hasil pengamatan
di laboratorium. Verifikasi diperlukan untuk menguji keakuratan model.
Perbandingan solusi titik optimum yang terbaik dan hasil pengamatan
laboratorium ditampilkan dalam Tabel 12:
Tabel 12. Solusi Titik Optimum dan Hasil Verifikasi
Variabel Bebas Respon
Desirability Konsentrasi HCl
Rendemen (%)
Kekuatan Gel (g.bloom)
Solusi Optimum 2,98% 5,17 305,11 0,665 Verifikasi 2,98% 4,92 312,71
Tingkat ketepatan 95,16% 97,51%
-
46
Tabel 12 menunjukkan bahwa tingkat ketepatan hasil verifikasi respon
dengan solusi optimum pada program Design Expert > 95%. Yakni untuk respon
rendemen memiliki tingkat ketepatan sebesar sebesar 95,16%, sedangkan untuk
respon kekuatan gel meiliki tingkat ketepatan 97,51%. Menurut Zhu dan Liu
(2013), jika perbedaan hasil verifikasi respon dengan solusi optimum tidak lebih
dari 5 %, maka dapat dinyatakan bahwa model yang digunakan pada proses
optimasi cukup akurat. Hasil penelitian ekstraksi ikan kakap menunjukkan bahwa
pada konsentrasi HCl 2% didapatkan hasil terbaik dengan rendemen gelatin
14,16%, kekuatan gel 202 g.bloom dan viskositas 7,46 cPs (Kusumawati, 2008).
Selain itu, juga dilaporkan bahwa pada konsentrasi HCl 4% selama 48 jam
didapatkan hasil terbaik gelatin ikan kakap dengan rendemen gelatin 7,4%,
kekuatan gel 226,8 g.bloom dan viskositas 6,73 cP (Suryanti, 2006).
5.4 Penelitian Tahap 2 (Optimasi Ekstraksi Gelatin Kepala Ikan Kurisi)
Ekstraksi gelatin merupakan tahap lanjutan dari proses prereatment pada
tahap 1. Proses ekstraksi gelatin dilakukan dengan merendam ossein (hasil dari
pretreatment) di dalam akuades dengan suhu diatas suhu denaturasi kolagen.
Pada tahap ini, parameter suhu dan waktu perendaman merupakan parameter
yang sangat berpengaruh terhadap rendemen, kekuatan gel maupun viskositas
gelatin yang dihasilkan (Karim and Bhat, 2009). Sehingga pada penelitian tahap
2 dilakukan pengamatan mengenai pengaruh faktor suhu dan waktu ekstraksi
terhadap jumlah rendemen, nilai kekuatan gel dan viskositas gelatin kepala ikan
kurisi. Data variabel respon rendemen, kekuatan gel dan viskositas gelatin dari
13 kombinasi rancangan komposit pusat (Central Composite Design) RSM
disajikan pada Tabel 13.
-
47
Tabel 13. Nilai variabel respon rendemen, kekuatan gel dan viskositas berdasarkan faktor suhu dan waktu ekstraksi Perlakuan Kode Aktual Respon X1 X2 Suhu
(0C)
Waktu (Jam)
Rendemen (%)
Kekuatan Gel
(g.bloom)
Viskositas (cP)
1 2 3 4 5 6 7 8 9
10 11 12 13
1,00 1,00 -1,00 1,00
-1,414 1,414 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
-1,00 -1,00 1,00 1,00 0,00 0,00
-1,414 1,414 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
50 90 50 90
41,7 98,3 70 70 70 70 70 70 70
3 3 7 7 5 5
2,17 7,83
5 5 5 5 5
1,01 6,66 2,39 8,10 1,04 8,85 1,95 5,45 4,52 5,04 4,90 4,81 4,50
57,78 88,37 163,15 47,59 2,67 0,00
149,56 214,14 309,31 302,51 319,51 316,11 305,91
3,33 3,00 3,67 2,67 3,40 2,33 3,33 3,67 5,33 4,67 5,00 5,67 4,67
5.4.1 Pengaruh Suhu dan Waktu Ekstraksi terhadap Respon Rendemen
dan Kekuatan Gel dan Viskositas Gelatin
5.4.1.1 Evaluasi Model Respon
a. Evaluasi model berdasarkan jumlah Kuadrat dari urutan model (Sequential
Model Sum of Squares/SMSS)
Evaluasi model berdasarkan jumlah kuadrat dari urutan model (SMSS)
pada respon rendemen gelatin akibat perbedaan suhu dan waktu ekstraksi
(Lampiran 6a) menunjukkan bahwa model yang disarankan (suggested) adalah
model Kuadratik dengan nilai P (Prob>F) 0,0192 (pF) paling
kecil
-
48
bahwa model kuadratik memiliki pengaruh yang signifikan terhadap respon
kekuatan gel dan viskositas.
b. Evaluasi Model berdasarkan Pengujian Ketidaktepatan model (Lack of Fit test)
Pemilihan model berdasarkan lack of fit test ditentukan dengan nilai p
yang tidak signifikan secara statistik yakni pada taraf p-value (Prob>F) > 0,05.
Evaluasi model berdasarkan pengujian ketidaktepatan (Lack of Fit test) model
pada respon rendemen (Lampiran 6d), kekuatan gel (Lampiran 6e) dan
viskositas gelatin (Lampiran 6f) menunjukkan bahwa model quadratik memiliki
nilai P (Prob>F) > 0,05, dengan nilai p untuk rendemen, kekuatan gel dan
viskositas masing masing sebesar 0,1112, 0,0551, 0,9796. Artinya tidak ada
pengaruh nyata antara ketidaktepatan model dengan respon rendemen kekuatan
gel maupun viskositas gelatin, sehingga model quadratik merupakan model yang
disarankan (Suggested) oleh program Design Expert.
d. Evaluasi Model Berdasarkan Statistik Ringkasan Model (Model Summary
Statistis/MSS)
Hasil evaluasi model berdasarkan Statistik Ringkasan Model (Model
Summary Statistics/MSS) pada respon rendemen (Lampiran 6g), kekuatan gel
(Lampiran 6h) dan viskositas gelatin (Lampiran 6i) menunjukkan bahwa model
Kuadratik merupakan model yang disarankan karena memiliki standar deviasi
yang rendah yaitu sebesar 0,36 untuk respon rendemen, 12,67 untuk kekuatan
respon gel dan 0,33 untuk respon viskositas. Selain itu juga ditentukan dari nilai
Adjusted R2 dan Predicted R2 serta nilai (prediction error sum of squares),
dimana nilai Adjusted R2 dan Predicted R2 respon rendemen gelatin sebesar
0,9790 dan 0,9304, kekuatan gel sebesar 0,9900 dan 0,9642 serta viskositas
sebesar 0,8993 dan 0,8948. Untuk nilai PRESS respon rendemen gelatin,
kekuatan gel dan viskositas masing-masing 5,09, 6886,11 dan 1,41. Sehingga
berdasarkan semua kriteria tersebut model Kuadratik dipilih untuk menjelaskan
hubungan antara faktor suhu dan waktu ekstraksi terhadap respon rendemen,
kekuatan gel maupun viskositas gelatin.
-
49
5.4.1.2 Analisa Ragam (ANOVA)
a. Analisa Ragam (ANOVA) pada Respon Rendemen Gelatin
Hasil analisa ragam (ANOVA) untuk respon rendemen (Lampiran 6j)
menunjukkan bahwa variabel A (suhu ekstraksi) dan variabel B (waktu ekstraksi)
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap respon rendemen gelatin karena
memiliki nilai p
-
50
ekstraksi juga diamati pada kulit ikan belida (Kittiphattanabawon et al., 2016),
kulit ikan hiu batu dan hiu sirip hitam (Kittiphattanabawon et al., 2010), kulit ikan
kakap putih (Sinthusamran et al., 2014), kulit ikan kod atlantik, ikan salmon dan
ikan haring atlantik (Kołodziejska et al., 2008).
Peningkatan rendemen terjadi karena suhu dapat meningkatkan energi
kinetik sehingga akan terjadi proses hidrolisis ikatan tripel heliks kolagen yang
bersifat tidak larut menjadi rantai α dan β gelatin yang bersifat larut dalam air,
akbatnya gelatin dapat terekstrak lebih banyak. Selain itu, jika waktu ditingkatkan
maka ketersediaan energi untuk menghidrolisis semakin banyak dan kontak
antara pelarut dengan sampel ossein akan semakin lama, sehingga juga dapat
meningkatkan rendemen gelatin (Sinthusamran et al., 2014; Kołodziejska et al,.
2008).
b. Analisa Ragam (ANOVA) pada Respon Kekuatan Gel Gelatin
Hasil analisa ragam (ANOVA) untuk respon kekuatan gel gelatin
(Lampiran 6k) menunjukkan bahwa secara kuadratik faktor A (suhu ekstraksi)
dan faktor B (waktu ekstraksi) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap respon
kekuatan gel gelatin karena memiliki nilai p ≤0,05, dimana nilai p utuk faktor A
(suhu ekstraksi)
-
51
Gambar 13. Grafik Countour Plot dan tiga dimensi Respon Kekuatan Gel
Grafik countour plot dan tiga dimensi respon kekuatan gel gelatin
menunjukkan bahwa nilai kekuatan gel semakin menurun jika suhu dan waktu
semakin ditingkatkan, sama halnya pada suhu ekstraksi yang sangat rendah nilai
kekuatan gel gelatin yang dihasilkan juga rendah. Nilai kekuatan gel gelatin
paling rendah (0,00 g.bloom) berada pada suhu ekstraksi 98,30C dan waktu
ekstraksi 5 jam, pada kondisi tersebut gelatin tidak dapat membentuk gel. Pada
suhu ekstraksi 41,720 C dan waktu ekstraksi selama 5 jam nilai kekuatan gel
gelatin juga rendah yakni sebesar 2,67 g.bloom.
Suhu dan waktu ekstraksi yang tinggi dapat meningkatkan degradasi
protein secara berlebih, sehingga menghasilkan fragmen protein dengan
kemampuan membentuk gel yang rendah. Molekul gelatin dengan rantai pendek
tidak mampu membentuk junction zone yang yang kuat, terutama melalui ikatan
hidrogen maupun ikatan lemah lainnya seperti interaksi hidrofobik dan ionik
(Ravey et al., 2000; Kittiphattanabawon et al., 2016). Menurut Duconseille et al.
(2014) gelatin dengan berat molekul rendah akan menghambat proses renaturasi
ikatan helix, dimana proses renaturasi merupakan bagian dari pembentukan
junction zone, selain itu, gelatin dengan berat molekul besar dan banyak memiliki
cabang serta rantai yang tidak linear juga dapat menghambat proses renaturasi.
Gelatin dengan berat molekul tinggi diduga karena proses hidrolisis tidak
maksimal, dan hal itu dapat terjadi jika suhu dan waktu ekstraksi yang rendah,
oleh karena itu, kekuatan gel gelatin bernilai rendah pada suhu ekstraksi yang
sangat tinggi maupun sangat rendah.
-
52
c. Analisa Ragam (ANOVA) pada Respon Viskositas Gelatin
Hasil analisa ragam (ANOVA) respon viskositas gelatin (Lampiran 6l)
menunjukkan bahwa secara kuadratik faktor A (suhu ekstraksi) dan faktor B
(waktu ekstraksi) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap respon viskositas
gelatin karena memiliki nilai p ≤0,05, dimana nilai p utuk faktor A (suhu ekstraksi)
-
53
sebesar 8,47 dan, 6,8 cP. Viskositas gelatin dapat dipengaruhi oleh berat
molekul gelatin (Muyonga, 2004). Menurut Niu et al. (2013) rendahnya jumlah
rantai β pada molekul gelatin menyebabkan nilai viskositas gelatin ikan tilapia
semakin rendah.
5.4.2 Penentuan Titik Optimum dan Verifikasi
Penentuan titik optimum pengaruh suhu dan waktu ekstraksi terhadap
rendemen dan kekuatan gel gelatin didasarkan pada kriteria yang diharapkan.
Pada penelitian ini faktor suhu ekstraksi ditetapkan in range dengan batas bawah
41,7 0C dan batas atas 98,3 0C. Sedangkan faktor waktu ekstraksi juga
ditetapkan in range dengan batas bawah 2,17 jam dan batas atas 7,83 jam.
Variabel respon rendemen kekuatan gel dan viskositas gelatin ditetapkan
maximize, karena yang diharapkan pada kondisi optimum dapat menghasilkan
rendemen gelatin yang tinggi dengan sifat fungsional gelatin yang baik pula.
Adapun kriteria penentuan titik optimum ditunjukkan pada Tabel 14:
Tabel 14. Kriteria Penentuan Titik Optimum
Kriteria Goal Batas Nilai
Bawah Atas
Suhu Ekstraksi Waktu Ekstraksi Rendemen Gelatin Kekuatan Gel Gelatin Viskositas Gelatin
In range In range Maximize Maximize Maximize
41,7 oC
2,17 jam 1,01 %
0,00 g.bloom 2,33 cP
98,3 oC 7,83 jam 8,85 %
319,51 g.bloom 5,67 cP
Selanjutnya, setelah penentuan kriteria titik optimum, program Design
Expert menentukan solusi optimum dengan nilai desirability yang paling tinggi
(mendekati 1), pada tahap ini solusi optimum yang dikeluarkan hanya satu, yaitu
dengan suhu ekstraksi 74,40 oC, waktu ekstraksi, 5,42 jam, nilai rendemen
kekuatan gel dan viskositas masing-masing 5,56, 300,21 dan 4,91. Sedangkan
nilai desirability dari solusi optimum tersebut adalah 0,749. Solusi optimum pada
program Design Expert selanjutnya diverifikasi dengan cara membandingkan
dengan hasil pengamatan di laboratorium. Verifikasi diperlukan untuk menguji
keakuratan model. Hasil menunjukkan bahwa Perbedaan hasil verifikasi dengan
solusi optimum ≤ 5%, artinya model yang digunakan pada proses optimasi cukup
akurat. Perbandingan solusi titik optimum yang terbaik dan hasil pengamatan
laboratorium ditampilkan dalam Tabel 15.
-
54
Tabel 15. Solusi Titik Optimum dan Hasil Verifikasi
Variabel Bebas Respon
Desirability Suhu Ekstraksi
Waktu Ekstraksi
Rendemen (%)
Kekuatan Gel
(g.bloom)
Viskositas (cP)
Solusi Optimum
74,40 oC 5,42 jam 5,56 300,21 4,91
0,749 Verifikasi 74,40 oC 5,42 jam 5,31 311,01 5,00 Tingkat ketepatan 95,50% 97,48% 98,17%
Hasil verifikasi (Tabel 15) menunjukkan bahwa tingkat ketepatan hasil
verifikasi respon dengan solusi optimum pada program Design Expert ≥ 95%.
Yakni untuk respon rendemen memiliki tingkat ketepatan sebesar sebesar
95,50%, sedangkan untuk respon kekuatan gel memiliki tingkat ketepatan
97,48%, sedangkan untuk hasil viskositas memiliki tingkat ketepatan 98,17%.
Telah dilaporkan hasil optimasi ekstraksi gelatin dari tulang ikan lele diperoleh
pada konsentrasi HCl 3.35%, suhu ekstraksi 67,32 oC dan waktu ekstraksi 5,2
jam dengan nilai rendemen 17,52% kekuatan gel 230,25 g dan viskositas
sebesar 4,64 mpa.s (Sanaei et al., 2013).
5.5 Karakterisasi Gelatin Kepala Ikan Kurisi
5.5.1 Komposisi Unsur Gelatin
Analisa komposisi unsur yang terkandung dalam gelatin komersial dan
gelatin ikan kurisi ditentukan dengan Energy Dispersive X-ray (EDX). Penentuan
unsur secara kuantitatif berdasarkan persen berat (% Wt) dan persen atom (%
At) masing-masing unsur seperti yang terlihat pada Tabel 16.
Tabel 16. Komposisi Unsur Gelatin
Element
Weight (Wt) (%) Atom (At) (%)
Gelatin komersial
Gelatin Ikan Kurisi
Gelatin komersial
Gelatin Ikan Kurisi
C (Karbon) 51,87a 30,72b 58,53a 41,64b
N (Nitrogen) 17,84a 8,09b 17,29a 9,37b
O (Oksigen) 26,79a 36,11b 22,71a 36,92b
Na (Natrium) 1,02a 0,68a 0,61a 0,48a
P (Fosfor) - 10,20 - 5,41
S (Sulfur) 1,05a 1,29a 0,45a 0,66a
Cl (Klor) 1,60a 4,28b 0,61a 1,97b
K (Kalium) 3,49 - 1,20 -
Ca (Kalsium) - 8,63 - 3,55
Matrix Correctin Correctin ZAF ZAF
Catatan : Notasi yang berbeda untuk baris yang sama menunjukkan perbedaan pada α = 0,05
-
55
Tabel 16 menunjukkan jumlah unsur yang terkandung dalam gelatin
komersial maupun pada gelatin perlakuan terbaik persatuan berat (% Wt) dan
persatuan atom (% At). Hasil analisa persen berat (% Wt) dan persen atom (%
At) dengan independent t test menunjukkan bahwa persen berat unsur Na
(natrium), S (sulfur) tidak memiliki perbedaan yang signifikan (P≤0,05) antara
gelatin komersial dan gelatin ikan ikan kurisi.
Hasil pengamatan menunjukkan jumlah unsur C, N dan O yang
merupakan penyusun utama protein memiliki persentase paling tinggi diantara
unsur yang lain. Namun persentase C,N pada gelatin komersial lebih besar
dibandingkan dengan persentase C,N pada gelatin ikan kurisi, hal ini dapat
menggambarkan kadar protein pada gelatin komersial lebih tinggi dibandingkan
gelatin ikan kurisi, hasil tersebut sesuai dengan hasil analisa protein gelatin
komersial dan gelatin ikan kurisi. Selain itu persentase unsur Cl pada gelatin ikan
kurisi lebih tinggi dibanding gelatin komersial, tingginya persentase unsur Cl
diduga karena residu hasil perendaman dengan HCl masih tersisa di dalam
gelatin ikan kurisi.
Jenis mineral yang terkandung dalam gelatin dapat berpengaruh terhadap
pembentukan gel gelatin. Sarbon et al. (2014) menyebutkan bahwa penembahan
kalsium klorida (CaCl2) mampu menurunkan kekuatan gel gelatin. Selain itu, Choi
and Regenstein (2000) juga melaporkan bahwa kekuatan gel gelatin menurun
seiring meningkatnya konsentrasi natrium klorida (NaCl). Hal itu disebabkan
karena natrium klorida dapat menghambat pembentukan ikatan hidrogen
maupun interaksi hidrofobik lainnya, sehinggal hal ini dapat berpengaruh
terhadap stabilitas junction zone pada gelatin.
5.5.2 Warna Gelatin
Analisa warna gelatin bertujuan untuk mengetahui perbedaan
karakteristik warna pada gelatin komersial dan gelatin ikan kurisi hasil perlakuan
terbaik. Secara visual, warna gelatin komersial dan gelatin ikan kurisi ditunjukkan
pada Gambar 15.
-
56
Gelatin Komesial
Gelatin Ikan Kurisi
Gambar 15. Warna Gelatin
Warna gelatin secara visual sebanding dengan pengukuran nilai L*, a*
dan b* menggunakan colour Reader, dimana warna kuning gelatin komersial
lebih pekat dibandingkan dengan gelatin kepala ikan kurisi seperti yang
ditunjukkan pada Tabel 17.
Tabel 17. Hasil Analisa Warna Gelatin
Parameter Nilai
Gelatin komersial Gelatin Ikan Kurisi
L* (Lightness) 78,41a ± 0,57 78,79a ± 0,37
a* (Redness) 1,81a ± 0,22 1,75a ± 0,14
b* (Yellowness) 24,57a ± 0,6 21,81b ± 0,48
Catatan : Notasi yang berbeda untuk baris yang sama menunjukkan perbedaan
pada α = 0,05 ± SE
Hasil analisa warna gelatin (Tabel 17) menunjukkan bahwa L* (lightness)
memiliki nilai yang paling tinggi, yakni 78,79 untuk gelatin ikan kurisi dan 78,41
untuk gelatin komersial, namun secara statistik (independent t test) perbedaan
hasil tersebut tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara keduanya dengan
nilai P 0,580 (P>0,05). Nilai a* (redness) untuk gelatin komersial dan gelatin ikan
kurisi masing-masing sebesar 1,81 dan 1,75, berdasarkan analisa independent t
test nilai tersebut tidak berbeda nyata dengan nilai P 0,803 (P>0,05). Sedangkan
nilai b* (yellowness) gelatin komersial sebesar 24,57 dan gelatin ikan kurisi
sebesar 21,81. Hasil analisa nilai b* dengan independent t test menunjukkan
adanya perbedaan yang signifikan karena memiliki nilai P sebesar 0,001
(P≤0,05).
-
57
Warna gelatin dapat dipengaruhi oleh reaksi pencoklatan non enzimatis
seperti reaksi maillard. banyaknya jumlah gugus amina bebas yang bereaksi
dengan gugus karbonil dapat meningkatkan reaksi pencoklatan sehingga dapat
meningkatkan nilai a* dan b* dan menurunkan nilai L* seperti pada gelatin
komersial (Nagarajan et al. 2012). Koli et al. (2011) menyebutkan bahwa nilai L*,
a* dan b* gpelatin tulang ikan kurisi masing-masing sebesar 62,50, 1,97 dan
22,60. Sedangkan nilai L* gelatin kulit ikan lele sebesar 57,60, nilai a* 0,23 dan
nilai b* sebesar 2,66. Warna gelatin umumnya bergantung pada jenis bahan
baku, proses ekstraksi dan proses penyaringan (Jamilah and Harvinder, 2002;
Ward and Courts, 1977), namun perbedaan warna pada gelatin tidak
berpengaruh terhadap sifat fungsional gelatin (Ockerman and Hansen, 1988).
5.5.3 Karakteristik Berat Molekul Gelatin
Karakterisasi berat molekul gelatin dilakukan dengan metode SDS-PAGE
(Sodium Dodecyl Sulphate Polyacrilamide Gel). Komponen penyusun gelatin
adalah protein yang merupakan polimer asam amino yang dihubungkan oleh
ikatan peptida. Salah satu penentu berat molekul gelatin adalah panjang rantai
dan jenis asam amino. Berat molekul protein pada gelatin sangat erat kaitannya
dengan karakteristik fisik gelatin. hasil analisa berat molekul gelatin dengan SDS-
PAGE ditunjukkan pada Gambar 16 dan Tabel 18.
M A B
Gambar 16. Hasil SDS-PAGE Gelatin
M: Marker; A: Gelatin Komersial; B: Gelatin Ikan Kurisi
150
100
75
35
25
kDa
-
58
Tabel 18. Nilai Berat Molekul Gelatin
NO Nama Sampel Nilai Berat Molekul (kDa)
1
2
Gelatin Komersial Gelatin Ikan Kurisi
86,19 80,61 73,18 65,06 56,53 44,28 49,77
Pengukuran berat molekul gelatin dengan SDS-PAGE (Tabel 18)
menunjukkan bahwa gelatin komersial memiliki enam pita dengan kisaran berat
molekul 44,28 – 86,19 kDa. Sedangkan gelatin yang diproduksi dari kepala ikan
kurisi hanya menghasilkan satu pita protein dengan berat molekul 49,77 kDa, hal
ini terjadi karena proses pemisahan protein yang tidak maksimal. Pada Gambar
16 menunjukkan adanya protein yang tidak terdistribusi dengan baik pada
kisaran berat molekul 150 – 100 kDa baik pada gelatin komersial dan gelatin ikan
kurisi, sehingga diduga gelatin komesial dan gelatin ikan masih mengandung
protein dengan berat molekul >100 kDa namun tidak terlihat adanya pita protein
karena proses pemisahan yang tidak maksimal.
Protein dengan berat molekul 1 kDa umumnya memiliki 9 residu asam
amino (Promega, 2017), sehingga jumlah asam amino penyusun protein untuk
masing-masing pita protein gelatin komersial berkisar 398 – 776 residu asam
amino, sedangkan pada gelatin ikan kurisi, diduga jumlah asam amino penyusun
protein gelatin yang terpisahkan sebesar 447 residu asam amino. Nilai berat
molekul dan jumlah residu asam amino gelatin ikan kurisi yang mampu
terpisahkan lebih rendah dibandingkan dengan berat molekul pada gelatin
komersial. Rendahnya berat molekul gelatin ikan kurisi diduga karena banyaknya
rantai α senyawa gelatin yang terhidrolisis selama proses ekstraksi berlangsung.
Karim and Bhat (2009) menyebutkan bahwa rendahnya berat molekul gelatin
akan menyebabkan sifat fungsional gelatin akan menurun terutama kekuatan gel
dan viskositas gelatin. hal ini sesuai dengan hasil pengukuran kekuatan gel dan
viskositas gelatin ikan kurisi yang lebih rendah dibandingkan dengan gelatin
komersial.
-
59
5.5.4 Karakteristik Mikrostruktur Gelatin
Karakterisasi mikrostruktur gelatin menggunakan SEM-EDX (Scanning
Electron Microscopy- Energy Dispersive X-ray) berfungsi untuk menunjukkan
bentuk topografi atau bentuk permukaan gelatin. Selain itu juga untuk
menentukan komposisi unsur gelatin, yakni data kuantitatif unsur dan senyawa
yang terkandung di dalam sampel gelatin. hasil topografi gelatin ditunjukkan
pada Gambar 17.
(a)
(b)
Gambar 17. Bentuk topografi gelatin (a) Gelatin komersial; (b) Gelatin ikan kurisi
Hasil topografi gelatin menunjukkan bahwa pemukaan gelatin komersial
memiliki jaringan permukaan yang lebih seragam dibandingkan dengan gelatin
ikan kurisi hasil perlakuan terbaik, selain itu permukaan gelatin ikan terlihat lebih
kompak, sedangkan permukaan gelatin ikan kurisi terlihat lebih porus dan ukuran
pori gelatin komersial lebih kecil dibandingkan dengan gelatin ikan kurisi.
Yang et al. (2008) menyebutkan bahwa bentuk mikrostruktur jaringan
gelatin berhubungan dengan karakteristik fisikokimia sperti sifat gel, tekstur
gelatin maupun distribusi berat molekul gelatin. gelatin dengan berat molekul
tinggi akan memiliki junction zone dengan ikatan yang lebih kuat dibandingkan
dengan gelatin yang memiliki berat molekul rendah, hal ini akan menyebabkan
agregasi dengan jaringan yang kuat dan mampu bertahan terhadap gaya yang
diberikan (Yang and Wang, 2009).
Struktur permukaan yang halus dengan rongga yang lebih kecil dan
seragam (Gambar 17a) cenderung lebih mampu bertahan terhadap gaya yang
diberikan dan umumnya memiliki kekuatan gel yang lebih tinggi dibandingkan
3,63 µm 1,82 µm
-
60
gelatin dengan bentuk permukaan yang berongga lebih besar dan tidak seragam
(Gambar 17b) (Sinthusamran, 2014). Hal ini sesuai dengan karakteristik fisik dan
tekstur gelatin hasil pengamatan, dimana untuk gelatin komersial dengan bentuk
permukaan yang lebih baik memiliki karakteristik dan tekstur yang lebih baik pula
dibandingkan dengan gelatin ikan kurisi
5.5.5 Karakteristik Gugus Fungsi Gelatin
Hasil karakterisasi gugus fungsi gelatin dengan FTIR (Fourier Transform
Infra Red) menunjukkan bentuk vibrasi khas yang dihasilkan oleh tiap-tiap gugus
fungsi pada panjang gelombang tertentu. Analisa gugus fungsi gelatin bertujuan
untuk mengetahui spektra khas dan gugus fungsi penyusun protein baik pada
gelatin komersial maupun gelatin ikan kurisi. Adapun hasil pengamatan
karakteristik gugus fungsi gelatin ditunjukkan pada Gambar 18 dan Tabel 19.
Gambar 18. Spektra FTIR
a) gelatin komersial dan b) gelatin ikan kurisi
-
61
Tabel 19. Hasil Karakterisasi gugus fungsi dengan FTIR
NO Gugus Fungsi
Frekuensi
Gelatin Komersial
Gelatin Ikan Kurisi
Referensi
1
2
3
4
5
Amida A (vibrasi N-H Stretching) Amida B (vibrasi =C-H dan NH3
+ Asymmetric Stretching) Amida I (vibrasi C=O Stretching) Amida II (vibrasi N-H Bending dan C-N Stretching) Amida III (vibrasi C-N stretching N-H yang mengalami deformasi)
3293 cm-1
3074 cm-1
1653 cm-1
1541 cm-1
1238 cm-1
3300 cm-1
3080 cm-1
1649 cm-1
1539 cm-1
1233 cm-1
3289-3304 cm-1
3071-3087 cm-1
1632-1653 cm-1
1539-1543 cm-1
1233-1239 cm-1
Tabel 19 menunjukkan bahwa gelatin komersial maupun gelatin dari
perlakuan terbaik tahap 2 mengandung pita amida A masing-masing pada
frekuensi 3293 cm-1 dan 3300 cm-1. Pita amida A menunjukkan adanya vibrasi
regangan (stretching) gugus N-H. Fekuensi gugus N-H bebas berada pada
kisaran 3400 – 3440 (Kittiphattanabawon et al., 2010). Namun frekuensi akan
menurun ketika gugus N-H terlibat dalam pembentukan ikatan hidrogen pada
rantai α gelatin dan memiliki kisaran frekuensi 3289 – 3304 cm-1 (Doyle and
Chemistry, 1975; Sinthusamran et al., 2014).
Pita amida B juga terdeteksi baik pada struktur gelatin komersial maupun
pada struktur gelatin perlakuan terbaik dengan frekuensi masing-masing 3070 –
3080 cm-1 (Tabel 19). Pita amida B menunjukkan vibrasi regangan (stretching)
asimetrik gugus =C-H dan NH3+. Sejumlah penelitian menyebutkan pita amida B
berada pada frekuensi 3071 – 3079 cm-1 (Sinthusamran et al., 2014) dan 3080 –
3087 cm-1, nilai frekuensi pita amida B yang rendah diduga karena adanya
interaksi antara gugus NH3+ dengan rantai peptida (Nagarajan et al., 2012).
Pita amida I gelatin komersial berada pada frekuensi 1653 cm-1,
sedangkan frekuensi untuk gelatin perlakuan terbaik sebesar 1649 cm-1. Pita
amida I menunjukkan vibrasi regangan (stretching) gugus C=O pada struktur
sekunder protein (Kittiphattanabawon et al., 2010). kisaran panjang gelombang
pita amida I 1632 – 1635 cm-1 (Nagarajan et al., 2012). (Kittiphattanabawon et
al., 2010) melaporkan bahwa nilai frekuensi pita amida I sebesar 1644 -1653 cm-
1. Nilai frekuensi tersebut dapat dipengaruhi oleh berat molekul gelatin, semakin
banyak jumlah gelatin dengan berat molekul randah maka gugus C=O akan lebih
-
62
terbuka dan bersifat reaktif. Hal ini dapat terjadi pada suhu ekstraksi yang tinggi,
akibatnya frekuensi pita amida I semakin meningkat seiring bertambahnya jumlah
gelatin dengan berat molekul rendah.
Nilai frekuensi pita amida II pada gelatin komersial sebesar 1541 cm-1 dan
untuk gelatin perlakuan terbaik sebesar 1539 cm-1. Pita amida II menunjukkan
vibrasi bending gugus N-H dan stretching gugus C-N. Sinthusamran et al. (2014)
menyebutkan bahwa kisaran frekuensi pita amida II sebesar 1540 – 1543 cm-1,
Ahmad and Benjakul (2011) juga menyebutkan kisaran pita amida dua berada
pada frekuensi 1539 – 1549 cm-1. Pita amida III gelatin komersial berada pada
frekuensi 1238 cm-1, dan gelatin dengan perlakuan terbaik berada pada frekuensi
1233 cm-1. Nilai frekuensi pita amida III umumnya berada pada kisaran frekuensi
1233 – 1234 cm-1 (Sinthusamran et al., 2014) dan 1237 – 1239 cm-1
(Kittiphattanabawon et al., 2010). Pita amida III menunjukkan adanya kombinasi
antara gerakan vibrasi stretching C-N dan N-H yang mengalami deformasi selain
itu juga berkaitan dengan vibrasi wagging CH2 rantai ujung glisin dan rantai
samping prolin. Pita amida III juga menjelaskan terjadinya degradasi struktur
triple helix kolagen menjadi gelatin dengan struktur yang lebih sederhana
(Ahmad and Benjakul, 2011; Muyonga, 2004; Jackson et al., 1995).
Selain frekuensi pita amida, terdapat pula peak dengan intensitas yang
cukup tinggi yaitu pada frekuensi 1163 cm-1, 1080 cm-1, 1030 cm-1 dan 974 cm-1
untuk gelatin komersial, serta frekuensi 1138 cm-1, 1067 cm-1, dan 988 cm-1 untuk
gelatin perlakuan terbaik. Pita-pita tersebut menunjukkan vibrasi stretching gugus
C-O pada rantai peptida yang pendek, dan mengindikasikan adanya degradasi
rantai peptida (Ahmad and Benjakul, 2011; Jackson et al., 1995).
5.5.6 Proksimat Gelatin
Analisa proksimat gelatin bertujuan untuk mengetahui komposisi kimia
seperti kandungan air, abu, protein maupun lemak baik pada gelatin komersial
maupun gelatin ikan kurisi hasil perlakuan terbaik. Hasil analisa proksimat gelatin
ditunjukkan pada Tabel 20.
-
63
Tabel 20. Hasil Analisa Proksimat Gelatin
Parameter Jumlah
Gelatin komersial Gelatin Ikan Kurisi
Kadar Air (%) 7,03a ± 0,5 8,23a ± 0,4
Kadar Abu (%) 0,63a ± 0,02 0,85b ± 0,03 Kadar Protein (%) 90,60a ± 1,0 88,54a ± 0,94 Kadar Lemak (%) 0,18a ± 0,007 0,13a ± 0,02
Catatan : Notasi yang berbeda untuk baris yang sama menunjukkan perbedaan pada α = 0,05 ± SE
Kadar air gelatin ikan kurisi hasil perlakuan terbaik tahap 2 sebesar
7,03% dan kadar air gelatin komersial sebesar 8,23% (Tabel 20). Hasil kadar air
gelatin ikan kurisi lebih tinggi daripada gelatin komersial, namun nilai tersebut
tidak berbeda nyata secara statistik karena memiliki nilai P 0,105 (P≥0,05)
(Lampiran 7a). Kadar air gelatin ikan kurisi hasil penelitian maupun gelatin
komersial tidak jauh berbeda dengan kadar air gelatin dari tulang ikan tigawaja
9,60% dan gelatin tulang ikan kurisi 8,56% (Koli et al., 2011), gelatin tulang ikan
kakap merah 6,73% (Kusumawati, 2008) dan gelatin kepala ikan lele 8,3%.
Kadar air gelatin ikan kurisi pada penelitian ini sudah memenuhi standar
maksimum kadar air gelatin yakni 15% (GME, 2005), 18% (JECFA, 2003) dan
16% (SNI, 1995)
Kadar abu gelatin ikan kurisi dan gelatin komersial masing-masing
sebesar 0,85 dan 0,63 (Tabel 20). Secara statistik nilai kadar abu gelatin ikan
kurisi dan gelatin komersial memiliki perbedaan secara signifikan karena memiliki
nilai P sebesar 0,015 (P≤0,05) (Lampiran 7b), dimana kadar abu gelatin ikan
kurisi lebih tinggi dibandingkan dengan gelatin komesial, nilai kadar abu yang
diperoleh sebanding dengan hasil penentuan komposisi unsur (mineral) yang
terkandung dalam gelatin (Tabel 16). Kadar abu gelatin ikan ikan kurisi dan
gelatin komersial lebih rendah dari nilai maksimum kadar abu yang
direkomendasikan yakni 2% (GME, 2005). Kusumawati (2008) melaporkan
bahwa kadar abu gelatin tulang ikan kakap sebesar 0,88%. Selain itu kadar abu
gelatin tulang ikan tigawaja dan tulang ikan kurisi masing-masing sebesar 2,70 –
2,80% (Koli et al., 2011).
Kadar protein gelatin ikan kurisi dan gelatin komersial masing-masing
sebesar 88,54% dan 90,60%. Kadar protein gelatin ikan kurisi lebih rendah
dibandingkan gelatin komersial, hasil ini sesuai dengan hasil analisa komposisi
unsur dalam gelatin (Tabel 16), dimana pada gelatin komersial unsur C, N, dan O
yang merupakan unsur penyusun protein cenderung lebih tinggi dibandingkan
-
64
dengan gelatin ikan kurisi. Secara statistik menunjukkan bahwa kadar protein
ikan kurisi dan gelatin komersial tidak berbeda secara signifikan karena memiliki
nilai P 0,239 (P>0,05) (Lampiran 7c). Kadar protein pada penelitian ini lebih tinggi
dibandingkan kadar protein gelatin tulang ikan kakap sebesar 86,61%
(Kusumawati, 2008), kadar protein gelatin tulang ikan tigawaja dan tulang ikan
kurisi masing-masing sebesar 82,50% dan 69,49% (Koli et al., 2011).
Gelatin ikan kurisi memiliki kadar lemak yang lebih rendah (0,13%)
dibandingkan dengan gelatin komersial sebesar 0,18%. Namun nilai kadar lemak
tersebut tidak berbeda secara signifikan karena memiliki nilai P 0,277 (P>0,05)
(Lampiran 7d). Menurut Koli et al. (2011), kadar lemak gelatin tulang ikan
tigawaja sebesar 0,52% dan kadar lemak gelatin tulang ikan kurisi sebesar
0,32%. Selain itu kadar lemak gelatin tulang ikan kakap sebesar 0,16%
(Kusumawati, 2008).
5.5.7 Sifat Fisik Gelatin
Analisa sifat fisik gelatin meliputi pengukuran kekuatan gel, viskositas dan
pH gelatin. Sifat fisik gelatin ikan kurisi hasil perlakuan terbaik kemudian
dibandingkan dengan sifat fisik gelatin komersial. Hasil pengukuran kekuatan gel,
viskositas dan pH gelatin ditunjukkan pada Tabel 21.
Tabel 21. Sifat Fisik Gelatin
Parameter Jumlah
Gelatin Komersial Gelatin Ikan Kurisi
Kekuatan Gel (g.bloom) 364,54a ± 6,4 311,01b ± 13,0 Viskositas (cP) 6,25a ± 0,2 5,00a ± 0,4
pH 6,38a ± 0,1 5,43b ± 0,05 Suhu Gel (oC) 15,50a ± 0,1 10,12b ± 0,2
Suhu Leleh (oC) 34,12a ± 0,1 20,37b ± 0,5
Catatan : Notasi yang berbeda untuk baris yang sama menunjukkan perbedaan pada α = 0,05 ± SE
Nilai kekuatan gel gelatin ikan kurisi sebesar 311,01 g.bloom, sedangkan
kekuatan gel gelatin komersial sebesar 364,54 g.bloom. hasil uji t (independent t
test) menunjukkan bahwa nilai kekuatan gel ikan kurisi dan gelatin komersial
berbeda secara signifikan dengan nilai P 0,023 (P
-
65
terjadinya interaksi intermolekuler yang lebih setabil sehingga dapat membentuk
struktur triple helix yang lebih kuat (Tabarestani et al., 2010). Selain itu, nilai
kekuatan gel gel gelatin juga sesuai dengan bentuk topografi gelatin, dimana
gelatin komersial dengan bentuk topografi yang lebih kompak, ukuran pori yang
lebih kecil dan lebih seragam memiliki nilai kekuatan gel yang lebih baik
dibandingkan dengan gelatin komersial yang memiliki bentuk topografi yang
terlihat lebih porus dan memiliki ukuran pori yang lebih besar.
Nilai viskositas gelatin ikan kurisi (5 cP) lebih rendah dibandingan
viskositas gelatin komersial (6,25 cP), secara statistik (independent t test) nilai
viskositas gelatin komersial dan gelatin ikan kurisi tidak berbeda secara signifikan
karena memiliki nilai P 0,059 (P>0,05). Viskositas menunjukkan daya hambat
yang disebabkan oleh gesekan antar molekul pada cairan (Warsito et al., 2009).
Tingginya nilai viskositas gelatin komersial dibandingkan gelatin ikan kurisi
disebabkan oleh pembukaan rantai polipeptida dengan berat molekul tinggi
sehingga terjadi interaksi hidrodinamik intermolekuler gelatin (Tabarestani et al.,
2010).
Nilai viskositas gelatin erat kaitannya dengan nilai berat molekul protein
gelatin, yakni gelatin komersial dengan distribusi berat molekul yang lebih besar
akan memiliki interaksi hidrodinamik yang lebih besar pula sehingga dapat
meningkatkan daya hambat akibat adanya gesekan antar molekul. Berbeda
dengan gelatin ikan kurisi yang memiliki berat molekul yang cenderung lebih
rendah, maka interaksi hidrodinamik yang terjadi akan lebih sedikit, sehingga hal
ini yang menyebabkan nilai viskositas gelatin komersial lebih tinggi
dibandingakan dengan gelatin ikan kurisi.
Nilai pH gelatin ikan kurisi dan gelatin komersial masing-masing sebesar
5,4 dan 6,3. Hasil uji t (independent t test) nilai pH menunjukkan perbedaan
secara signifikan dengan nilai P 0,007 (P
-
66
Masirah (2016) melaporkan hasil optimum gelatin tulang ikan bandeng memiliki
kekuatan gel 337,46 g.bloom, viskositas 5,90 cP dan pH 5,55 (Masirah, 2016)
Suhu gel menunjukkan suhu yang dibutuhkan gelatin untuk membentuk
gel. Suhu gel ikan kurisi 10,12 oC dan gelatin komersial 15,50 oC. Sedangkan
suhu leleh berhubungan dengan penyerapan panas maksimum oleh gelatin dan
merupakan panas yang dibutuhkan oleh gelatin untuk melelehkan gel (Tsereteli
and smirnova, 1991). Nilai suhu leleh gelatin ikan kurisi dan gelatin komersial
masing-masing 20,37 oC dan 34,12 oC. Secara statistik, nilai suhu gel maupun
suhu leleh ikan kurisi dan gelatin komersial berbeda secara signifikan dengan
nilai p
-
67
Tabel 22. Data Profil Tekstur Gelatin
Parameter Gelatin Komersial Gelatin Ikan Kurisi
Hardness (g) Springiness Cohesiveness Chewiness
28,57a ± 1,56 0,96a ± 0,02
0,86a ± 0,08 21,11a ± 1,2
21,03b ± 0,38 0,75b ± 0,02
0,60a ± 0,009 9,60b ± 0,52
Catatan : Notasi yang berbeda untuk baris yang sama menunjukkan perbedaan pada α = 0,05 ± SE
Kekerasan (hardness) secara kuantitatif menyatakan jumlah beban yang
dibutuhkan (g) untuk menghancurkan bahan yang akan dianalisis. Sedangkan
elastisitas (springiness) menunjukkan seberapa besar produk dapat kembali ke
kondisi semula setelah diberikan tekanan pertama (Haliza et al, 2012). Hasil
analisa profil tekstur (Tabel 22) menunjukkan bahwa nilai kekerasan (hardness)
dan elastisitas (springiness) gelatin komersial lebih tinggi dibandingkan dengan
gelatin ikan kurisi, dan nilai tersebut berbeda secara signifikan (p-value0,05). Daya kunyah (chewiness)
menunjukkan energi yang dibutuhkan untuk mengunyah akibat adanya
ketahanan elastis dari bahan makanan hingga siap ditelan (Tribuana, 2015).
Gelatin komersial juga memiliki nilai chewiness yang lebih tinggi dibandingkan
gelatin ikan kurisi. Secara statistik nilai chewiness masing-masing gelatin
berbeda secara signifikan dengan nilai p 0,014.
5.5.9 Kandungan Logam Berat Gelatin
Analisa kandungan logam berat gelatin dengan AAS (Atomic Absorption
Spectrophotometry) merupakan salah satu parameter untuk menetahui mutu
-
68
gelatin dan kelayakannya untuk dikonsumsi dengan membandingkan hasil
pengukuran dengan standar mutu yang dikeluarkan oleh FAO. Kandungan logam
berat gelatin ditunjukkan pada Tabel 23.
Tabel 23. Kandungan Logam Berat Gelatin
Unsur Logam
Gelatin Komersial
Gelatin Ikan Kurisi
Standar FAO*
Standar SNI**
Hg
Pb
Tidak Terdeteksi
Tidak Terdeteksi
0,78 ± 0,00 mg/kg
8,79 ± 1,38 mg/kg
0,15 mg/kg
1,5 mg/kg
50 mg/kg
50 mg/kg
Sumber * : JECFA, 2004. **: SNI 06-3735-1995
Tabel 23 menunjukkan bahwa gelatin komersial tidak terdeteksi
mengadung logam berat raksa (Hg) dan timbal (Pb). Sedangkan untuk gelatin
ikan kurisi terdeteksi kandungan logam raksa (Hg) 0,78 mg/kg sedangkan logam
timbal (Pb) sebesar 8,79 mg/kg. Kandungan logam tersebut cukup tinggi jika
dibandingkan dengan standar kandungan Hg dan Pb yang keluarkan oleh FAO
masing-masing sebesar 0,15 mg/kg dan 1,5 mg/kg (JECFA, 2004). Namun, jika
dibandingkan dengan standar kandungan logam yang dikeluarkan oleh SNI,
kandungan logam gelatin ikan masih dibawah batas maksimal yang disyaratkan
yakni 50 mg/kg. Tingginya kandungan logam Hg dan Pb diduga karena
akumulasi dari kondisi lingkungan yang tercemar logam berat, bahkan akibat
akumulusi logam berat pada ikan akan mengakibatkan kandungan logam berat
pada ikan lebih tinggi dibandingkan lingkungannya.