pembagian harta warisan beda agamae-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/6502/1/skripsi full...

86
i

Upload: others

Post on 20-Oct-2020

20 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • i

  • i

    PEMBAGIAN HARTA WARISAN BEDA AGAMA

    (Study Kasus di Desa Getasan Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang)

    SKRIPSI

    Diajukan untukMemenuhi Salah SatuSyarat

    Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

    Disusun Oleh:

    FAIZ MUHAMMAD

    211.14.028

    JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM

    FAKULTAS SYARI'AH

    INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

    SALATIGA

    2019

  • ii

  • iii

  • iv

  • v

    MOTTO

    “ Banyak kegagalan dalam hidup ini dikarenakan orang-orang tidak menyadari

    betapa dekatnya mereka dengan keberhasilan saat mereka menyerah. “

    (Thomas Alva Edison)

    “ Hal yang terburuk dalam ketidaksamaan adalah mencoba menyamakan

    sesuatu yang tidak sama “

    (Aristoteles)

  • vi

    PERSEMBAHAN

    Alhamdulillahi rabbil’alamin, diiringi rasa syukur yang tak terkira dengan

    izin Allah SWT skripsi ini telah selesai dengan hasil maksud.

    Dengan segala kerendahan, perjuangan, pengorbanan, niat, dan usaha keras

    yang diiringi dengan do’a, keringat dan air mata telah turut memberikan warna dalam

    proses penyusunan skripsi ini, maka dengan bangga kupersembahkan karya sederhana

    ini terkhusus untuk orang-orang yang selalu tetap berada di dalam kasih sayang-Nya.

    Skripsi ini saya persembahkan teruntuk orang-orang yang berharga dalam hidup saya,

    special thanks to :

    1. Kedua orang tuaku tercinta Bapak Muntahidl Widodo dan Ibu Arifah Lailiyah

    yang senantiasa memberiku dukungan, semangat, serta doa yang tak henti-henti

    diucapkan. Tanpa doa restu dari kedua orang tua aku bukanlah aku sekarang.

    2. Kakakku Willy Himalina yang tak lelah memberi semangat dan motivasi dalam

    kehidupanku dan adek-adekku Maslah Sabil Muhammad, Suqo Yuhda Muhammad

    yang menghibur ketika lelah menghampiri.

    3. Teman-teman IPNU IPPNU Tingkir ( M Sulhi Mahbub, mas Umam, Taufan,

    Wildan, Rizak, Bayu A, Bayu B, Panji, Rofiq, Enggar, pak Zam, Firlana, Zakki,

    Alfian, mas Risal, Mamuh, mas Dihan, mas Awin, mas Anis, mas Puput, De

    Warno, Nanang, Naufal, Syifa, Alfa, Akmal, Indah, Eva, Sila, Atik, Nikmah, Silmi,

    Susan ).

    4. Sahabat Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia yang selalu berjuang bersama

    dan memberi Motivasi ( Rangga Ajimasantoso, Maulana Yusuf A, Rizky

    Apriyanto, Derian Kurnia Putra, Soniman ,Khabib Sholihudin, M Shofil Anwar,

    Nanang Syarifudin, Burhanudin, Maimun Zuhdi, Bahrudin, Rahmatul ummah,

    Novia Rosanti ).

  • vii

    5. Teman-teman seperjuangan ( ‘Ronde’ Roni, ‘Boncel’ Zulfa, ‘Petel’ Agus, Bagus,

    Anik, Janati, Tia, Sania, mahmida )

  • viii

    ABSTRAK

    Muhammad, Faiz. 2019. Pembagian Harta Warisan Beda Agama (studi kasus di Desa

    Getasan Kecamatan GetasanKabupaten Semarang). Skripsi Fakultas Syari’ah Jurusan

    Hukum Keluarga Islam. Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: M.

    Yusuf Khumaini, S.HI, M.SI.

    Kata Kunci: Pembagian Waris, Beda Agama.

    Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pembagian waris beda agama di kecamatan

    Getasan. Pertanyaan yang ingin dijawab adalah (1) Bagaimana sistem pembagian harta

    warisan beda Agama di Desa Getasan Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang? (2) Apa

    faktor yang mendorong praktik pembagian harta waris beda agama ? (3) Bagaimana pendapat

    pemuka agama terkait masalah pembagian harta warisan beda agama di Desa Getasan

    Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang?

    Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan normatif sosiologis.

    Dengan mengambil lokasi penelitian di Desa Getasan Kecamatan Getasan Kabupaten

    Semarang. Pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi, wawancara dan

    dokumentasi. Data-data yang diperoleh dicek keabsahannya, Selama pengumpulan data, data

    sudah mulai dianalisis. Data yang terkumpul, dipaparkan berdasarkan klasifikasi sehingga

    tergambar pola atau struktur dari fokus masalah yang dikaji kemudian diinterpretasikan

    sehingga mendapatkan jawaban dari fokus penelitian tersebut.

    Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan didapat beberapa temuan Praktik

    pembagian harta warisan beda agama di Desa Getasan yaitu dengan membagi rata harta

    warisan kepada ahli waris tanpa memandang status agama yang dianut oleh ahli waris. Faktor

    yang mendorong praktik pembagian harta waris beda agama di Desa Getasan yaitu;

    kurangnya faham tentang hukum waris Islam, berdasarkan pada kerelaan antar ahli waris,

    adat yang berlaku. Pandangan pemuka agama mengenai pembagian harta warisan beda

    agama ada yang membolehkan ada juga yang tidak membenarkan pemuka agama yang

    membolehkan beranggapan bahwa pembagian harta warisan beda agama yang terjadi di Desa

    getasan dengan membagi rata setiap ahli waris untuk menanggulangi konflik antar anggota

    keluarga, sedangkan pemuka agama yang tidak memperbolehkan menganggap bahwa orang

    islam tidak boleh mewarisi ahli waris selain beragama islam begitu juga sebaliknya karena

    dalam islam hukumnya sudah jelas.

  • ix

    KATA PENGANTAR

    ِبْسِم اَّللِه الرهْحمَِٰن الرهِحيمِ Alhamdulillah, segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang

    telah memberikan rahmat, taufiq, dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan

    penulisan skripsi ini dengan judul “PEMBAGIAN HARTA WARISAN BEDA AGAMA

    (study kasus di Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang).“

    Shalawat serta salam penulis haturkan kepada junjungan Nabi Agung Muhammad

    SAW, beserta keluarga, para sahabatnya, dan orang-orang yang senantiasa mengikuti

    jejaknya. Semoga kita semua mendapatkan syafa'atnya di hari kiamat kelak. Amiin.

    Penulis sangat menyadari bahwa dalam proses penulisan skripsi ini penulis banyak

    mengalami kesulitan. Hal ini disebabkan karena keterbatasan dan kemampuan yang belum

    sempurna. Namun berkat adanya bantuan, motivasi dan bimbingan dari berbagai pihak,

    syukur Alhamdulillah skripsi ini dapat terselesaikan.

    Pada kesempatan kali ini, penulis ingin mengucapkan ucapan terima kasih yang

    sebesar-besarnya kepada:

    1. Prof. Dr. Zakiyuddin, M. Ag selaku Rektor IAIN Salatiga

    2. Dr. Siti Zumrotun, M. Ag selaku dekan Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga

    3. Sukron Makmun, M. Si selaku Ketua Jurusan Hukum Keluarga Islam

    4. M. Yusuf Khumaini. S.HI, M.H selaku dosen pembimbing akademik dan pembimbing

    skripsi yang telah sudi meluangkan waktunya untuk membimbing dalam penulisan skripsi.

    5. Bapak dan Ibu Dosen serta karyawan IAIN Salatiga yang telah banyak membantu dalam

    penyelesaian skripsi ini.

    6. Kepada Bapak Ibu penulis, Widodo dan Lailiah dan kakak, adik penulis Willy, Sabil dan

    Yudha yang telah memberi dukungan baik materi maupun non-materi

    7. Kepada teman-teman fakultas Syari’ah angkatan 2014 khususnya jurusan HKI

    8. Kepada sahabat-sahabati PMII kota Salatiga angkatan 2014

    9. Kepada teman-teman IAIN Salatiga yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu

    10. Kepada semua pihak yang telah mendukung penulis, semua pihak yang tidak dapat penulis

    sebutkan satu persatu yang telah memberikan dukungan hingga bisa menyelesaikan skripsi

    Penulis menyadari bahwa tulisan ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis

    senatiasa mengharapkan masukan dan kritik yang membangun dari pembaca. Semoga skripsi

    ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca pada umumnya.

  • x

    Akhirnya hanya kepada Allah SWT, penulis memohon petunjuk dan berserah diri

    memohon ampunan dan rahmatNya.

    Salatiga, 15 Maret 2019

    Penulis,

    Faiz Muhammad

  • xi

    DAFTAR ISI

    HALAMAN JUDUL .................................................................................... i

    NOTA PEMBIMBING ................................................................................ ii

    PENGESAHAN ............................................................................................ iii

    PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ................................................... iv

    MOTTO ........................................................................................................ v

    PERSEMBAHAN ........................................................................................ vi

    ABSTRAK .................................................................................................... viii

    PENGANTAR .............................................................................................. ix

    DAFTAR ISI................................................................................................. xi

    BAB I PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah .................................................. 1

    B. Rumusan Masalah ........................................................... 5

    C. Tujuan Penelitian ............................................................ 5

    D. Kegunaan Penelitian ........................................................ 5

    E. Penegasan Istilah ............................................................. 6

    F. Telaah Pustaka ................................................................ 7

    G. Metode Penelitian ............................................................ 8

    BAB II KAJIAN PUSTAKA

    A. Pengertian Waris ............................................................. 14

    B. Dasar Hukum Waris ........................................................ 17

    C. Rukun dan Syarat Waris Mewarisi ................................. 23

    D. Sebab-sebab Kewarisan .................................................. 28

    E. Penghalang Kewarisan .................................................... 32

  • xii

    F. Hal yang Mencegah Kewarisan ...................................... 36

    BAB III PRAKTIK PEMBAGIAN WARISAN DI DESA GETASAN

    A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ............................... 40

    1. Letak Geografis ......................................................... 40

    2. Demografi ................................................................. 42

    B. Sistem Pembagian Harta Warisan Beda Agama Di

    Desa Getasan .................................................................. 46

    C. Faktor yang Mendorong Praktik Pembagian Waris

    Beda Agama Di Desa Getasan ........................................ 50

    D. Pendapat Ulama Terkait Masalah Pembagian Harta

    Warisan Beda Agama Di Desa Getasan .......................... 53

    BAB IV ANALISIS PRAKTIK PEMBAGIAN WARISAN DI DESA

    GETASAN

    A. Analisis Praktik Pembagian Harta Warisan Beda

    Agama Di Desa Getasan ................................................. 55

    B. Analisis Faktor yang Mendorong Praktik Pembagian

    Waris Beda Agama Di Desa Getasan .............................. 61

    C. Analisis Pendapat Ulama Terkait Masalah Pembagian

    Harta Warisan Beda Agama Di Desa Getasan ................ 63

    BAB V PENUTUP

    A. Kesimpulan ..................................................................... 66

    B. Saran ................................................................................ 67

    C. Kata Penutup ................................................................... 67

    DAFTAR PUSTAKA

    LAMPIRAN-LAMPIRAN

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Islam merupakan ajaran yang mempunyai aturan-aturan untuk

    mengatur hubungan sesama manusia, hubungan dengan alam dan hubungan

    manusia dengan Allah. Sebagai ajaran yang bersifat universal tentunya ajaran

    islam fleksibel dalam menjawab berbagai persoalan. Aturan yang mengatur

    hubungan manusia salah satunya ialah perkawinan.

    Perkawinan merupakan salah satu jalan atau suratan hidup yang

    dialami oleh hampir semua manusia dimuka bumi ini walaupun ada beberapa

    diantaranya yang tidak terikat dengan perkawinan sampai ajal menjemput.

    Semua agama resmi di Indonesia memandang perkawinan sebagai sesuatu

    yang sakral, harus dihormati, dan harus dijaga kelanggengannya.

    Menurut UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 menyatakan, Perkawinan

    adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami

    istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan

    kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan menurut Kompilasi

    Hukum Islam (KHI) pasal 2, Perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad yang

    sangat kuat atau untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya

    merupakan ibadah.

    Hal lain yang diajarkan Islam dalam hubungan antara sesama manusia

    ialah proses berpindahnya harta seseorang kepada orang lain atau disebut

    kewarisan. Masalah kewarisan merupakan masalah yang tidak dapat terlepas

  • 2

    dari kehidupan manusia dan mudah untuk menimbulkan sengketa diantara ahli

    waris.

    Dalam ilmu mawaris terdapat tiga unsur terjadinya waris mewarisi,

    yaitu: karena adanya pewaris (muwarrits) yaitu orang yang telah meninggal

    dunia, warisan (mawruts) yaitu segala sesuatu yang ditinggalkan, dan ahli

    waris yaitu orang yang berhak menerima harta warisan yang ditinggalkan oleh

    yang meninnggal. Sebelum pembagian harta warisan terlebih dahulu perlu

    dipenuhi hak dan kewajiban yang terkait harta yang ditinggalkan oleh yang

    meninggal dunia, terutama terkait dengan biaya-biaya perawatan dan

    penguburan mayit, membayar semua hutang mayit, menyerahkan wasiat, dan

    sisanya dibagi kepada ahli waris. (Saleh, 2008: 348)

    Dalam hukum waris ada sebab seseorang berkewajiban mewarisi yaitu

    Karena hubungan kekerabatan atau hubungan nasab, karena perkawinan

    dengan akad yang sah, dan wala‟ (perwalian). Kita juga dapat membaginya

    dalam dua hal saja, yaitu sabab dan nasab. Nasab ialah hubungan

    kekerabatan, sedangkan sabab mencakup perkawinan dan perwalian (wala’).

    (Mughniyah, 2005: 540)

    Diantara yang berhak menerima waris tersebut terbagi menjadi tiga

    bagian, yaitu: ashabul furudh yakni para ahli waris yang mempunyai bagian

    tertentu yang telah ditetapkan oleh syara‟ (dalam al-Qur’an), yang bagiannya

    itu tidak akan bertambah atau berkurang kecuali dalam masalah-masalah yang

    terjadi radd atau aul. Ashabah adalah ahli waris yang mendapatkan harta sisa

    setelah diambil oleh ahli waris ashabul furudh. Ashabah terbagi menjadi tiga,

  • 3

    yaitu: ashabah bin nafsi, ashabah bi al-ghayr dan ashabah ma’al-ghayr.

    dzawil arham yaitu semua ahli waris yang mempunyai hubungan kekerabatan

    karena hubungan darah dengan mayit (orang yang meninggal/orang yang

    mewarisi). (Basyir, 2006: 79)

    Pemuka agama mazhab, telah sepakat bahwa ada tiga hal yang

    menghalangi warisan (mawani al-irsi) yaitu: Pembunuhan (al-qatl), Perbedaan

    agama agama (ikhtilaf al-din). Perbudakan (al-„abd), dan yang tidak

    disepakati Jumhur pemuka agama adalah Berlainan negara. (Maruzi, 81: 13)

    Yang dimaksud beda agama di sini adalah bahwa masing-masing dari

    pihak mewarisi harta saling berbeda agama. Misalnya, ahli waris beragama

    Islam, muwaris beragama kristen, atau sebaliknya. Perbedaan agama

    merupakan penghalang waris, demikian kesepakatan mayoritas pemuka agama

    fiqh.

    Hukum waris yang berlaku di Indonesia sampai saat ini masih belum

    merupakan unifikasi hukum. Atas dasar peta hukum waris yang dikarenakan

    atau sebab dia menjadi ahli waris di karenakan adanya hubungan darah / nasab

    dan di karenakan adanya perkawinan masih demikian pluralistiknya, akibatnya

    sampai sekarang ini pengaturan masalah kewarisan di Indonesia masih belum

    terdapat keseragaman

    Dalam persoalan kewarisan, khususnya ditengah-tengah masyarakat

    muslim di Indonesia, ilmu fara’id selalu berhadapan dengan dilemanya

    sendiri, karena masyarakat bila berbicara keadilan cenderung menepis ketidak

    seimbangan, seperti perbandingan 2:1 dalam perolehan harta warisan antara

  • 4

    anak laki-laki dan anak perempuan. Oleh karena itu penyimpangan sebagaian

    besar masyarakat dari ilmu fara’id dalam hal kewarisan tidak selalu

    disebabkan oleh tipisnya keislaman melainkan juga dapat disebabkan oleh

    pertimbangan bahwa, budaya dan struktur sosial kita beranggapan penerapan

    ilmu fara’id secara utuh kurang diterima oleh rasa keadilan. Itulah fenomena

    yang terjadi di masyarakat kita, yang terkadang pembagian harta warisan

    antara sesama orang Islam saja terjadi masalah walaupun hal itu sudah

    diajarkan dalam agama Islam.

    Hal lain yang cukup menjadi pertanyaan ialah bagaimana sistem

    pembagian harta warisan antara orang islam dengan orang bukan islam. Jika

    dalam sesama muslim saja mudah timbul sengketa lalu bagaimana jika dengan

    yang orang non muslim.

    Hukum waris beda agama, antara orang Islam (sebagai pewaris)

    dengan non muslim (sebagai ahli waris) ataupun sebaliknya, yaitu antara non

    muslim (sebagai pewaris) dengan orang islam (sebagai ahli waris) sangat

    menarik untuk didiskusikan dan diteliti lebih dalam lagi. Hal ini mengingat

    kehidupan di Indonesia pada masa sekarang ini sangat heterogen sudah

    semakin berkembang dan komplek dimana pernikahan beda agama ataupun

    fenomena pindah agama dalam suatu keluarga semakin marak, sehingga hal

    tersebut akan memberikan implikasi yang sangat nyata dan serius ketika

    dihadapkan kepada masalah waris. Begitu juga dengan kasus pembagian

    warisan beda agama yang terjadi di Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang

  • 5

    ada beberapa keluarga yang mana anggota kelurganya mempunyai agama

    yang berbeda-beda.

    Melihat latar belakang dan permasalahan di atas, maka penulis tertarik

    untuk meneliti masalah pembagian warisan beda agama di Kecamatan Getasan

    Kabupaten Semarang dan mengajukan skripsi dengan judul “ PEMBAGIAN

    HARTA WARISAN BEDA AGAMA (study kasus di Desa Getasan

    Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang). “

    B. Rumusan Masalah

    1. Bagaimana Praktik pembagian harta warisan beda Agama di Desa Getasan

    Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang?

    2. Apa faktor yang mendorong praktik pembagian waris beda agama di Desa

    Getasan Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang ?

    3. Bagaimana pendapat pemuka agama terkait masalah pembagian harta

    warisan beda agama di Desa Getasan Kecamatan Getasan Kabupaten

    Semarang?

    C. Tujuan penelitian

    1. Untuk mengetahui sistem pembagian harta warisan beda agama di Desa

    Getasan Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang.

    2. Untuk mengetahui faktor yang mendorong praktik pembagian waris beda

    agama di Desa Getasan Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang.

    3. Untuk mengetahui pendapat pemuka agama terkait masalah pembagian

    harta waris beda agama di Desa Getasan Kecamatan Getasan Kabupaten

    Semarang.

  • 6

    D. Kegunaan penelitian

    Penelitian ini diharapkan memberikan hasil yang bermanfaat, serta

    dapat dijadikan dasar secara keseluruhan untuk dijadikan pedoman bagi

    pelaksanaan secara teoritis maupun praktis, maka penelitian ini berguna

    diantaranya untuk :

    1. Kegunaan Teoritis

    Sebagai pengembangan ilmu pengetahuan dan penambah

    wawasan khususnya mengenai perkara pembagian harta warisan beda

    agama.

    2. Kegunaan Praktis

    a. Untuk memenuhi tugas dan melengkapi persyaratan guna

    memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Jurusan Syari’ah

    Program Studi Hukum Keluarga Islam IAIN Salatiga.

    b. Bagi Progam Studi Hukum Keluarga Islam

    Dapat dipergunakan sebagai referensi media pembelajaran

    dibidang waris yang terkait pembagian harta waris beda agama.

    c. Bagi Masyarakat

    Diharapkan dapat digunakan sebagai acuan untuk

    mengetahui bagaimana pandangan pemuka agama terkait

    pembagian harta warisan beda agama.

    E. Penegasan Istilah

  • 7

    Supaya di dalam penelitian ini tidak terjadi perbedaan penafsiran

    dengan maksud peneliti terhadap judul “ PEMBAGIAN HARTA

    WARISAN BEDA AGAMA (study kasus di Desa Getasan Kecamatan

    Getasan Kabupaten Semarang)“ maka peneliti akan menjelaskan istilah-istilah

    dalam judul penelitian ini. Istilah yang perlu peneliti jelaskan diantaranya

    sebagai berikut :

    1. Waris adalah berbagai aturan tentang perpindahan hak milik seseorang

    yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya. Dalam istilah lain,

    waris disebut juga fara’idh, yang artinya bagian tertentu yang dibagi

    menurut agama islam kepada semua yang berhak menerimanya (Beni

    Ahmad Saebani, 2009: 13)

    2. Pemuka agama adalah pemuka agama atau pemimpin agama yang

    bertugas untuk mengayomi, membina dan membimbing umat

    islambaik dalam masalah-masalah agama maupun masalah sehari-hari

    yang diperlukan baik dari sisi keagamaan maupun sosial

    kemasyarakatan.

    F. Telaah pustaka

    Dalam melakukan penelitian sangatlah dibutuhkan penelitian terdahulu

    untuk memperjelas, menegaskan, serta melihat kelebihan dan kelemahan

    berbagai teori yang digunakan oleh peneliti terdahulu. Selain itu penelitian

    terdahulu perlu disebutkan dalam sebuah penelitian agar dapat memudahkan

    pembaca melihat dan membandingkan perbedaan teori yang digunakan dan

  • 8

    perbedaan hasil kesimpulan oleh penulis dengan peneliti yang lain dalam

    melakukan pembahan tema yang hampir serupa.

    Penelitiaan mengenai perkara waris telah banyak dilakukan oleh para

    peneliti. Ada peneliti yang secara total mengkaji dalam skripsi, tesis, disertasi

    maupun buku. Para peneliti terdahu umumnya meneliti tentang hukum waris

    karna waris, perceraian karna waris, suami yang waris, dan lain sebagainya.

    Berikut ini penelitian-penelitian yang mempunyai topik atau tema yang

    hampir serupa dengan skripsi ini :

    Penelitian Abdul Rahman Pelaksanaan pembagian waris di dusun

    Gandu, Desa Sendang Tirto, Berbah, Sleman (Perbandingan Hukum Islam

    dan Hukum Adat) membahas tentang kapan pelaksaan pembagian warisan

    terjadi dan melihat persamaan dan perbedaan mengenai pelaksanaan

    pembagian warisan antara hukum adat Gandu dan hukum Islam.

    Penelitian Imam Wahyudi Tinjauan hukum islam terhadap praktik

    pembagian warisan masyarakat desa Paciran kecamatan Paciran Kabupaten

    Lamongan Jawa Timur. Membahas tentang bagaimana praktek pembagian itu

    dilaksanakan sebelum pewaris meninggal, yang kemudian dianalisis dari

    perspektif hukum Islam.

    Penelitian Haris Kusworo Tinjauan hukum Islam terhadap pembagian

    harta waris pada masyarakat muslim Dusun Krapyak Wetan dan Krapyak

    Kulon, Desa Panggung Harjo, kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul Provinsi

    Yogyakarta. Membahas tentang pembagian warisan dapat dilakukan dan

    melihat praktek pelaksanaan pembagian warisan di daerah tersebut dan

  • 9

    selanjutnya ditinjau dari perspektif hukum kewarisan Islam, dalam penelitian

    sebagaimana dijelaskan diatas belum ada yang menjelaskan mengenai masalah

    yang penyusun bahas.

    G. Metode Penelitian

    1. Jenis penelitian

    Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

    kualitatif. Karakteristik penelitian kualitatif dengan menggunakan metode

    kualitatif ini digunakan karena adanya beberapa pertimbangan yaitu:

    pertama, mempunyai sifat induktif yaitu pengembangan konsep yang

    didasarkan atas data yang ada, mengikuti desain penelitian yang fleksibel

    sesuai dengan konteksnya. Desain dimaksud tidak kaku sifatnya sehingga

    memberi peluang kepada peneliti untuk menyesuaikan diri dengan konteks

    yang ada di lapangan. Kedua, melihat setting dan respons secara

    keseluruhan. Dalam hal ini peneliti berinteraksi dengan responden dalam

    konteks yang dialami, sehingga tidak memunculkan kondisi yang seolah-

    olah dikendalikan oleh peneliti.

    Ada beberapa pola penelitian yang digunakan dalam melakukan

    penelitian ini, diantaranya :

    a. Dipandang dari sudut kedalaman analisisnya, penelitian ini

    dikategorikan kedalam jenis penelitian deskriptif. Metode

    deskriptif ini bermaksud untuk membuat pencandraan

    (deskripsi) mengenai situasi-situasi atau kejadian-kejadian

    yang mana tujuan utama dari penelitian deskriptif ialah

  • 10

    melukiskan realita sosial yang kompleks atau dari aspek

    sosiologis dan aspek yuridis.

    b. Ditinjau dari tempat, penelitian ini merupakan penelitian

    lapangan.

    c. Ditilik dari karakteristik masalah bedasarkan kategori

    fungsionalnya, penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian

    studi kasus.

    1. Kehadiran Peneliti

    Dalam melakukan penelitian dan pengumpulan data, peniliti

    hadir langsung di Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang Kabupaten

    Semarang

    2. Lokasi Penelitian

    Penelitian ini berlokasi di Kecamatan Getasan Kabupaten

    Semarang.

    3. Sumber Data

    Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini

    menggunakan sumber primer dan sumber sekunder.

    a. Sumber primer adalah sumber data yang langsung memberikan

    data kepada pengumpul data. (Sugiyono, 2007:308) Dalam

    penelelitian ini penulis akan memperoleh sumber primer dari

    warga rt 06 rw 01 Kecamatan Getasan yaitu ibu Rukini dan

    warga rt 08 rw 01 Kecamatan Getasan bernama mak dib.

  • 11

    b. Sumber data sekunder dalam mencari sumber sekunder peneliti

    menggunakan Al-qur’an dan As-sunah serta pendapat dari para

    pakar berupa buku, dokumen-dokumen ataupun undang-undang.

    4. Teknik Pengumpulan Data

    Pengumpulan data adalah prosedur yang sistematik dan standar

    untuk memperoleh data yang diperlukan. Pengumpulan data tidak lain

    dari suatu proses pengadaan data primer untuk keperluan penelitian

    (Nazir, 1988:211).

    Dalam pengumpulan data disini, peneliti menggunakan

    beberapa metode, yaitu:

    a. Interview (Wawancara), yaitu proses tanya jawab dalam penelitian

    yang berlangsung secara lisan dimana 2 (dua) orang atau lebih

    bertatap muka, mendengarkan secara langsung informasi atau

    keterangan (Ahmadi, 2009:83). Adapun wawancara ini dilakukan

    terkait dengan penelitian ini adalah pihak-pihak yang terlibat dalam

    pembagian waris beda agama dan pandangan pemuka agama.

    b. Dokumentasi, yaitu mengumpulkan data-data yang dikumpulkan

    berdasarkan data visual, misalnya berupa foto warga yang terlibat

    dalam pembagian warisan beda agama.

    5. Analisis Data

    Dalam praktek analisis data ini, peneliti lakukan dengan cara

    melacak dan mengatur catatan lapangan, transkrip, wawancara dan

    catatan dokumen yang dikumpulkan untuk meningkatkan pemahaman

  • 12

    terhadap data itu sehingga bisa dipresentasikan kepada orang lain. Dari

    data yang peneliti peroleh melalui penelitian kemudian menjadi data

    tertulis dan dikelompokkan masing-masing fokus penelitian.

    6. Tahap-tahap Penelitian

    a. Tahap persiapan atau pendahuluan

    Pada tahap ini, peneliti mulai mengumpulkan buku-buku

    penunjang dan pertanyaan-pertanyaan yang akan ditanyakan

    kepada informan untuk memperoleh data yang diinginkan.

    b. Tahap pelaksanaan

    Mengumpulkan data-data di lokasi penelitian, dalam proses

    ini penulis menggunakan metode wawancara, observasi dan

    dokumentasi.

    c. Tahap analisa data

    Pada tahap ini peneliti mulai menyusun semua data yang

    terkumpul secara sistematis sehingga mudah dipahami.

    d. Tahap laporan

    Pada tahap ini, peneliti membuat laporan tertulis dari hasil

    penelitian yang telah dilakukan, kemudian ditulis dalam bentuk

    skripsi.

    Dalam menyusun skripsi ini penulis selaku peneliti membagi ke dalam

    beberapa bab dan masing-masing bab dapat mencakup beberapa sub bab yang

    berisi sebagai berikut :

  • 13

    1. BAB I adalah bab berisi pendahuluan yang menjelaskan latar

    belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,

    kegunaan penelitian, penegasan istilah, tinjauan pustaka,

    metode penelitian.

    2. BAB II merupakan kajian pustaka yang menjelaskan tentang

    pengertian dan dasar hukum waris, syarat-syarat waris, rukun

    waris, sebab-sebab kewarisan, penghalang kewarisan dan hal-

    hal yang mencegah kewarisan.

    3. BAB III merupakan isi atau hasil dari penelitian yang penulis

    lakukan diantaranya yaitu gambaran umum lokasi penelitian,

    gambaran masyarakat di lokasi penelitian. Pembagian waris di

    Desa Getasan Kecamatan Getasan, pembagian waris beda

    agama di Desa Getasan Kecamatan Getasan, pendapat Pemuka

    agama mengenai pembagian waris beda agama.

    4. BAB IV merupakan analis data dari data-data hasil temuan

    yang diperoleh peneliti.

    5. BAB V merupakan bab penutup dari penelitian ini, dalam bab

    ini terdapat kesimpulan serta saran dari penulis.

  • 14

    BAB II

    WARIS HUKUM ISLAM

    A. Pengertian Waris

    Pengertian waris Secara etimologi kata waris berasal dari bahasa Arab

    sedangkan (ميراث) sebagai bentuk fi’il, dan bentuk isimnya menjadi (ورث)

    dalam bentuk jamaknya yaitu (الموارث), menurut bahasa kata waris atau

    warisan mempunyai beberapa arti (Abta dan Abd Syakur, 2005: 2-3), yaitu:

    1. Waris atau warisan dapat berarti menggantikan kedudukan, sebagaimana

    firman Allah dalam Surat al-Naml ayat 16:

    َوَوِرَث ُسلَْيَماُن دَاُوودَ ۖ َوقَاَل َيا أَيَُّها النَّاُس ُعل ِْمَنا َمْنِطَق الطَّْيِر َوأُوِتيَنا ِمْن

    ذَا لَُهَو اْلَفْضُل اْلُمِبينُ ُكل ِ َشْيٍء ۖ إِنَّ َهَٰ

    “dan Sulaiman telah menggantikan kedudukan Daud, dan dia berkata:

    “hai manusia, kami telah diberi pengertian tentang suara

    burung”(QS. Al-Naml:16)

    2. Waris atau warisan dapat diartikan dengan menganugrahkan,

    sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Zumar ayat 74:

    أُ ِمَن اْلَجنَِّة َحْيُث ِ الَِّذي َصدَقََنا َوْعدَهُ َوأَْوَرثََنا اْْلَْرضَ َنتََبوَّ َوقَالُوا اْلَحْمدُ ّلِِلَّ

    َنَشاُء ۖ فَنِْعَم أَْجُر اْلعَاِمِلينَ

    Dan mereka berkata, “segala puji bagi Allah yang telah memenuhi

    janji-Nya kepada kami dan telah memberikan tempat ini kepada kami

    sedang kami (diperkenankan) menempati surga dimana saja yang

    kami kehendaki, (maka surga itulah) sebaik-baik balasan bagi orang-

    orang yang beriman. (QS. AlZumar: 74).

    3. Waris atau warisan dapat diartikan dengan menganugrahkan,

    sebagaimana firman Allah dalam surah Maryam ayat 74:

    َوَكْم أَْهلَْكَنا قَْبلَهُ ْم ِمْن قَْرٍن ُهْم أَْحَسُن أَثَاثًا َوِرْئًيا

  • 15

    “Yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian keluarga

    Ya‟qub,” Dari ketiga pengertian waris di atas dapat disimpulkan

    sama-sama mengandung arti memberikan hak warisan terhadap harta

    peninggalan kepada para ahli waris yang masih hidup (yang

    ditinggalkan).

    Sedangkan menurut terminologi atau istislah, pengertian waris adalah

    ilmu yang dengannya (ilmu) dapat diketahui orang-orang yang mewarisi,

    orangorang yang tidak dapat mewarisi, kadar yang diterima oleh masing-

    masing ahli waris serta cara pengambilannya (ibid: 3). Pengertian ini senada

    dengan pengertian yang dikemukakan oleh T.M. Hasby As-Shiddiqy dalam

    bukunya Fiqh Mawarits (As-Shiddiqy, 2001: 5). Sementara Muhammad

    Amin Suma dalam bukunya Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam,

    merumuskan pengertian hukum warisan merupakan hukum yang mengatur

    peralihan kepemilikan harta peninggalan pewaris, menetapkan siapasiapa

    yang berhak menjadi ahli waris, menentukan berapa bagian masing-masing

    ahli waris dan mengatur kapan waktu pembahagian harta kekayaan pewaris

    dilaksanakan (Suma, 2004: 108).

    Waris disebut juga sebagai ilmu mawaris atau ilmu Faraidh. Kata

    Faraidh didefinisikan oleh para ulama faradiyun semakna dengan kata

    mafrudah, yaitu bagian yang telah ditentukan kadarnya. Kata fardhu sebagai

    suku dari kata Faraidh menurut bahasa memiliki beberapa arti, (Rahman,

    1981: 31) yaitu:

    1. Takdir yaitu suatu ketentuan, sebagaimana firman Allah:

  • 16

    َوإِْن َطلَّْقتُُموُهنَّ ِمْن قَْبِل أَْن تََمسُّوُهنَّ َوقَْد فََرْضتُْم لَُهنَّ فَِريَضةً فَِنْصُف َما

    ْعفَُو الَِّذي ِبَيِدِه ُعْقدَةُ الن َِكاحِ ۚ َوأَْن تَْعفُوا أَْقَرُب فََرْضتُْم إَِّلَّ أَْن يَْعفُوَن أَْو يَ

    َ ِبَما تَْعَملُوَن َبِصير ِللتَّْقَوىَٰ ۚ َوََّل تَْنَسُوا اْلفَْضَل َبْيَنُكْم ۚ إِنَّ َّللاَّ

    “Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur

    dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan

    maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu

    tentukan itu,”(QS.Al-Baqarah: 237).

    2. Qath’u yaitu ketetapan yang pasti, sebagaimana firman Allah:

    ا تََرَك ا تََرَك اْلَواِلدَاِن َواْْلَْقَربُوَن َوِللن َِساِء َنِصيب ِممَّ َجاِل َنِصيب ِممَّ لر ِ

    ا َقلَّ ِمْنهُ أَْو َكثَُرۚ َنِصيًبا َمْفُروًضا اْلَواِلدَاِن َواْْلَْقَربُوَن ِممَّ

    ”Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak

    dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari

    harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak

    menurut bahagian yang telah ditetapkan.”(QS. Al-Nisaa‟: 7).

    3. Inzal yaitu menurunkan, sebagaimana firman Allah:

    إِنَّ الَِّذي فََرَض َعلَْيَك اْلقُْرآَن لََرادَُّك إِلَىَٰ َمعَاٍد ۚ قُْل َرب ِي أَْعلَُم َمْن َجاَء

    ِباْلُهدَىَٰ َوَمْن ُهَو فِي َضََلٍل ُمِبينٍ

    “Sesungguhnya (Allah) yang mewajibkan atasmu (Muhammad) untuk

    (melaksanakan hukum-hukum) al-Qur’an, benar-benar akan

    mengembalikanmu ketempat kembali. Katakanlah (Muhammad),

    "Tuhanku mengetahui orang yang membawa petunjuk dan orang yang

    berada dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Al-Qashas: 85).

    4. Tabyin yaitu penjelasan, sebagaimana firman Allah:

    ُ َمْوََّلُكْم ۖ َوُهَو اْلعَِليُم اْلَحِكيمُ ُ لَُكْم تَِحلَّةَ أَْيَمانُِكمْ ۚ َوَّللاَّ قَْد فََرَض َّللاَّ

    “Sungguh Allah telah mewajibkan kepadamu membebaskan diri dari

    sumpahmu, dan Allah adalah pelindungmu dan Allah maha

    mengetahui maha bijaksana.” (QS.Al-Tahrim: 2)

  • 17

    5. Ihlal yaitu menghalalkan, sebagaimana firman Allah:

    ِ فِي الَِّذيَن َخَلْوا ِمْن ُ لَهُ ۖ ُسنَّةَ َّللاَّ ِ ِمْن َحَرجٍ فِيَما فََرَض َّللاَّ َما َكاَن َعلَى النَِّبي

    ِ قَدًَرا َمْقدُوًرا قَْبُل ۚ َوَكاَن أَْمُر َّللاَّ

    ”Tidak ada suatu keberatanpun atas Nabi tentang apa yang telah

    ditetapkan Allah baginya,”(QS.Al-Ahzab: 38).

    keenam arti tersebut di atas dapat digunakan seluruhnya, karena dalam

    ilmu Faraidh mengandung bagian-bagian yang telah ditentukan dengan pasti

    besar kecilnya suatu bagian yang diterima oleh ahli waris yang telah diatur

    dalam alQur‟an tentang halalnya sesuai peraturan-peraturan yang telah

    diturunkan (Ibid). Ilmu Faraidh merupakan ilmu fiqh yang berpautan dengan

    pembagian harta pusaka yang sudah dipastikan kadarnya, tentang cara

    penghitungan dan pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib dari harta

    peninggalan untuk setiap hak pemilik harta pusaka (Abta dan Abd Syakur,

    2005: 1).

    B. Dasar hukum Waris

    Adapun dasar hukum waris sudah dijelaskan dalam Al-Qur’an, sunnah

    Nabi Saw, ijma’ dan ijtihad para sahabat dan para imam mujtahid antara lain,

    adalah sebagai berikut:

    1. Dasar hukum waris dalam Al-Quran:

    Dalam Al-Quran banyak dijelaskan mengenai kewarisan,

    diantaranya adalah sebagai berikut:

  • 18

    a. Surat An-Nisa ayat 7, Allah berfiram:

    جَ ا تََرَك ِللر ِ ا تََرَك اْلَواِلدَاِن َواْْلَْقَربُوَن َوِللن َِساِء َنِصيب ِممَّ اِل َنِصيب ِممَّ

    ا َقلَّ ِمْنهُ أَْو َكثَُرۚ َنِصيًبا َمْفُروًضا اْلَواِلدَاِن َواْْلَْقَربُوَن ِممَّ

    “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa

    dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari

    harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak

    menurut bahagian yang telah ditetapkan.” (An-Nisa: 7)

    b. Surat An Nisa ayat 8

    اْلقُْربَىَٰ َواْلَيتَاَمىَٰ َواْلَمَساِكيُن فَاْرُزقُوُهْم ِمْنهُ َوإِذَا َحَضَر اْلِقْسَمةَ أُولُو

    َوقُولُوا لَُهْم قَْوًَّل َمْعُروفًا

    “Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan

    orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan

    ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.”

    Ayat diatas menjelaskan tentang memberikan pembagian harta

    waris kepada kerabat, anak yatim maupun orang miskin yang ikut

    hadir dalam pembagian harta waris tersebut, dan kita dianjurkan

    mengucapkan perkataan yang baik kepada mereka.

    c. Surat An Nisa ayat 11

    ُ فِي أَْوََّلِدُكْم ۖ ِللذََّكِر ِمْثُل َحظ ِ اْْلُْنثََيْيِن ۚ َفإِْن ُكنَّ ِنَساًء فَْوَق يُوِصيُكُم َّللاَّ

    اْثَنتَْيِن فَلَُهنَّ ثُلُثَا َما تََرَك ۖ َوإِْن َكاَنْت َواِحدَةً فَلََها الن ِْصُف ۚ َوِْلََبَوْيِه ِلُكل ِ

    ا تََرَك إِْن َكاَن لَهُ َولَد ۚ فَإِْن َلْم َيُكْن لَهُ َولَد َواِحٍد ِمنْ ُهَما السُّدُُس ِممَّ

    ِه السُّدُُس ۚ ِمْن َبْعِد ِه الثُّلُُثۚ فَإِْن َكاَن لَهُ إِْخَوة فَِِلُم ِ َوَوِرثَهُ أََبَواهُ فَِِلُم ِ

    َوِصيٍَّة يُوِصي بَِها أَْو دَْيٍن ۗ آَباُؤُكْم َوأَْبَناُؤُكمْ ََّل تَْدُروَن أَيُُّهْم أَْقَرُب لَُكْم

    َ َكاَن َعِليًما َحِكيًما ِ ۗ إِنَّ َّللاَّ َنْفعًا ۚ فَِريَضةً ِمَن َّللاَّ

    “Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)

    anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan

    bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya

  • 19

    perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta

    yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia

    memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi

    masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang

    meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak

    mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka

    ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai

    beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-

    pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau

    (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-

    anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih

    dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah.

    Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

    d. Surat An Nisa ayat 12

    َولَُكْم ِنْصُف َما تََرَك أَْزَواُجُكْم إِْن لَْم َيُكْن لَُهنَّ َولَد ۚ فَإِْن َكاَن لَُهنَّ َولَد

    بُُع ا تََرْكَنۚ ِمْن بَْعِد َوِصيٍَّة يُوِصيَن بَِها أَْو دَْيٍن ۚ َولَُهنَّ الرُّ فَلَُكُم الرُّ بُُع ِممَّ

    ا تََرْكتُْمۚ ا تََرْكتُْم إِْن لَْم َيكُ ْن لَُكْم َولَد ۚ فَإِْن َكاَن لَُكْم َولَد فَلَُهنَّ الثُُّمُن ِممَّ ِممَّ

    ِمْن بَْعِد َوِصيٍَّة تُوُصوَن ِبَها أَْو دَْيٍن ۗ َوإِْن َكاَن َرُجل يُوَرُث َكََللَةً أَِو

    اْمَرأَة َولَهُ أَخ أَْو أُْخت فَِلُكل ِ َواِحٍد ِمْنُهَما السُّدُُس ۚ فَ إِْن َكانُوا أَْكثََر ِمْن

    ِلَك فَُهْم ُشَرَكاُء فِي الثُّلُِث ۚ ِمْن َبْعِد َوِصيٍَّة يُوَصىَٰ ِبَها أَْو دَْيٍن َغْيَر ذََٰ

    ُ َعِليم َحِليم ِۗ َوَّللاَّ ُمَضار ٍ ۚ َوِصيَّةً ِمَن َّللاَّ

    “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan

    oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-

    isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari

    harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka

    buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh

    seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai

    anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh

    seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi

    wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu.

    Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak

    meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai

    seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara

    perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis

    saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu

    lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu,

    sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar

  • 20

    hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris).

    (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari’at yang benar-

    benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.”

    Surat An Nisa ayat 11 dan 12 diatas Ayat di atas menjelaskan

    tentang tata cara pembagian harta warisna antara ahli waris laki-laki

    dengan ahli waris perempuan, dan juga kepada ibu bapak dengan

    ketentuan bahagian yang telah ditetapkan.

    Sedangkan dalam ayat 12 menjelaskan tentang hukum

    kewarisan antara suami istri atau disebut juga hukum kewarisan

    karena hubungan perkawinan/pernikahan. Selain itu juga menjelaskan

    bagian-bagian kewarisan yang berhak diperoleh oleh suami dan istri

    baik dalam keadaan memiliki keturunan maupun tidak memiliki

    keturunan.

    e. Surat An Nisa ayat 176

    ُ يُْفِتيُكْم ِفي اْلَكََللَِة ۚ إِنِ اْمُرؤ َهلََك لَْيَس لَهُ َولَد َولَهُ َيْستَْفتُوَنَك قُِل َّللاَّ

    أُْخت فَلََها ِنْصُف َما تََرَكۚ َوُهَو يَِرثَُها إِْن لَْم َيُكْن لََها َولَد ۚ فَإِْن َكاَنتَا

    ا تََرَك ۚ َوإِْن َكانُوا إِْخَوةً ِرَجاًَّل َوِنَساًء فَِللذََّكِر اْثَنتَْيِن فَلَُهَما الثُّلُثَاِن ِممَّ

    ُ ِبُكل ِ َشْيٍء َعِليم ُ لَُكْم أَْن تَِضلُّواۗ َوَّللاَّ ِمْثُل َحظ ِ اْْلُْنثََيْيِنۗ يَُبي ُِن َّللاَّ

    “Katakanlah: “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak

    dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang

    perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan

    saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara

    perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara

    perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta

    yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris

    itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka bahagian

    seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara

    perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu

    tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

  • 21

    Ayat diatas menjelaskan tentang kalalah yaitu jika seseorang

    yang meninggal tidak mempunyai ahli waris, dan menjelaskan tata

    cara penyelesaian kalalah.

    2. Sumber hukum kewarisan dari Hadits Nabi Muhammad SAW

    ْلِحقُْوا عن ابن عبس قال : قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم ا

    اْلفََرائَِض ِبأَْهِلَها فََما َبِقَي فَُهَو ِْلَْولَى َرُجٍل ذََكر)روه البخاري و مسلم(

    "Dari Ibn Abbas, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda “Serahkanlah

    ahlimu yang berhak, maka sebagian bagian itu kepada lebihnya itu,

    adalah untuk laki-laki yang lebih dekat (hubungan kekerabatannya)

    kepada si mati” (H.R Bukhari Muslim) (An Nawawi, 2011: 132)

    Hadits di atas menjelaskan mengenai pembagian warisan (at-

    tirkah), dalam hal ini lebih didahulukan ahli waris dari golongan ashabul

    furdh (ahli waris yang bagiannya telah ditentukan). Sisa dari harta warisan

    tersebut baru dibagi kepada ahli waris dari kalangan ashabah (ahli waris

    yang menerima sisa harta warisan setelah harta diberikan kepada ahli

    waris ashabul furdh).

    Hadits lain yang menjadi dasar hukum warisan yaitu hadits yang

    menjelaskan mengenai hak saling waris-mewarisi, tidak berlaku (sah)

    antara dua orang yang berlainan agama antara pewaris dan ahli waris,hal

    ini sebagaimana hadits Nabi SAW:

    عن اسامة بن زيد رضي هللا عنه ان النبي صلى هللا عليه وسلم قال

    )متفق عليه( َّل َيِرُث اْلُمْسِلُم الَكافَِر، وَّل َيِرُث الَكافُِر اْلُمْسِلمَ

    Dari Usamah bin Zayd r.a. bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda,

    “orang muslim tidak mewarisi dari orang kafir, dan orang kafir tidak

    mewarisi dari orang muslim.” (HR. Al-Bukhari-Muslim). (Al-Bani,

    2005: 470)

  • 22

    3. Ijma’ atau ijtihad para sahabat dan imam mazhab

    Para sahabat dan imam mazhab ternama, memiliki banyak peran

    dalam mengembangkan dan memecahkan mengenai kewarisan yang tidak

    dijelaskan dalam al-Qur‟an dan Hadits Nabi. Banyak masalah-masalah

    kewarisan yang diputuskan melalui ijma‟ atau ijtihad sahabat, Imam

    Mazhab dan mujtahid, diantaranya:

    a. Status saudara-saudara yang mewarisi bersama-sama dengan kakek.

    Dalam al-Qur’an dan hadits masalah tersebut tidak dijelaskan.

    Yang dijelaskan hanya masalah status saudara-saudara bersama

    dengan ayah atau bersama dengan anak laki-laki, yang dalam kedua

    keadaan ini mereka tidak mendapatkan apa-apa karena terhijab,

    kecuali dalam masalah kalalah mereka mendapatkan bagian.

    Sedangkan menurut kebanyakan sahabat dan imam-imam mazhab

    yang mengutip pendapat Zayd bin Tsabit, saudara-saudara tersebut

    mendapatkan harta pusaka dengan cara muqasamah (hak terhadap

    sisa harta yang telah dibagikan kepada ahli waris) dengan kakek.

    (Rahman, 1981: 615)

    b. Status cucu yang ayahnya lebih dahulu meninggal daripada kakek

    yang akan diwarisi yang mewarisi bersama-sama dengan saudara-

    saudara ayahnya. Menurut ketentuan mereka tidak mendapat apa-apa

    lantaran dihijab oleh saudara ayahnya, tetapi menurut kitab UU

    hukum wasiat Mesir yang mengistinbathkan dari ijtihad para ulama

  • 23

    mutaqaddimin, mereka diberi bagian berdasarkan wasiat wajibah.

    (Ibid, 33)

    C. Rukun dan Syarat Waris Mewarisi

    Ada tiga unsur yang perlu diperhatikan dalam waris mewarisi, tiap

    unsur tersebut harus memenuhi berbagai persyaratan. Unsur-unsur ini dalam

    kitab fiqh dinamakan rukun, dan persyaratan itu dinamakan syarat untuk tiap-

    tiap rukun. Rukun merupakan bagian dari permasalahan yang menjadi

    pembahasan. Adapun syarat adalah sesuatu yang berada diluar substansi dari

    permasalahan yang dibahas, tetapi harus dipenuhi. Sehubungan dengan

    hukum waris, yang menjadi rukun waris mewarisi ada tiga, yaitu sebagai

    berikut:

    1. Harta peninggalan (mauruts)

    Harta peninggalan (mauruts) yaitu harta benda yang ditinggalkan

    oleh simayit yang akan dipusakai atau dibagi oleh ahli waris setelah

    diambil untuk biaya perawatan, melunasi hutang, dan melaksanakan

    wasiat. (Muhibbin, 2009:57)

    Di Indonesia harta dalam sebuah keluarga terdiri atas empat

    macam, yaitu:

    a. Harta yang diperoleh sebelum perkawinan, sebagai hasil usaha

    masing-masing.

    b. Harta yang dibawa saat mereka menikah, diberikan kepada kedua

    pembelai, mungkin berupa modal usaha atau perabot rumah tangga

    atau rumah tempat tinggal suami istri tersebut.

  • 24

    c. Harta yang diperoleh selama perkawinan itu berlangsung, tetapi

    karena hibah atau warisan dari orang tua mereka atau keluarga.

    d. Harta yang diperoleh selama perkawinan atas usaha bersama atau

    usaha salah seorang disebut harta pencarian. (Ibid, 58-59)

    Harta waris tersebut berhak untuk diwarisi bila telah memenuhi syarat

    berikut: (Rustam, 2013:39-40)

    a. Harta tersebut adalah milik dari pewaris secara sempurna.

    b. Harta tersebut telah terbebas dari tersangkutnya harta orang lain

    didalamnya, antara lain kewajiban yang harus ditunaikan yaitu:

    1) Biaya Jenazah (Tajhiz al-mayit)

    Yang dimaksud dengan biaya perawatan jenazah di sini

    adalah biaya yang digunakan untuk merawat jenazah mulai dari

    memandikan, mengafani, mensholatkan, menguburkan dan lain-

    lain yang mengakut dengan keperluan jenazah. Kewajiban ahli

    waris terhadap pewaris adalah mengurus dan menyelesaikan

    sampai pemakaman jenazah selesai.

    2) Hutang

    Hutang ialah suatu tanggung jawab yang wajib dilunasi

    sebagai imbalan dari pretasi atau manfaat yang pernah diterima.

    Kewajiban terhadap Allah Swt, yang belum dilunasi juga termasuk

    ke dalam pengertian tanggungan yang wajib dilunasi, seperti

    hutang zakat, hutang kafarat, hutang nazar, hutang haji ( bagi yang

  • 25

    sudah mampu). Pembayaran hutang diambil dari harta peninggalan

    (tirkah).

    3) Wasiat

    Wasiat adalah pernyataan atau perkataan seseorang untuk

    memberikah sebagian hartanya kepada orang lain atau

    membebasakan utang kepada orang lain, atau memberikan manfaat

    suatu benda miliknya, setalah ia meninggal dunia. Allah Swt

    berfirman dalam Qs. AlBaqarah ayat 180:

    اْلَمْوُت إِْن تََرَك َخْيًرا اْلَوِصيَّةُ ُكِتَب َعلَْيُكْم إِذَا َحَضَر أََحدَُكمُ

    ِلْلَواِلدَْيِن َواْْلَْقَرِبيَن ِباْلَمْعُروِفۖ َحقًّا َعلَى اْلُمتَِّقينَ

    “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu

    kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta

    yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib

    kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-

    orang yang bertakwa.” (Q.S. Al Baqarah: 180)

    Hadist tentang wasiat sebagai berikut:

    َما َحقُّ اْمِرٍئ ُمْسِلٍم لَهُ َشْيء يُوِصي فِيِه َيِبيُت لَْيَلتَْيِن إَِّلَّ

    َوَوِصيَّتُهُ َمْكتُوَبة ِعْندَهُ

    “Seorang muslim tidak layak memiliki sesuatu yang harus ia

    wasiatkan, kemudian ia tidur dua malam, kecuali jika wasiat

    itu tertulis di sampingnya.” (Shahiih al-Bukhari (V/355, no.

    2738))

    Ukuran harta wasiat yang disunnahkan dari Sa’d bin Abi

    Waqqash Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Ketika di Makkah Nabi

    Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang menjenggukku sementara

    beliau enggan wafat di tanah yang beliau hijrah darinya, beliau

    Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

  • 26

    هللاُ اْبَن َعْفَراَء قُْلُت: َيا َرُسْوَل هللاِ أُْوِصي ِبَماِلي ُكِل ِه يَْرَحمُ

    قَاَل: َّلَ، قُْلُت: فَالشَّْطُر؟ قَاَل: َّلَ، قُْلُت: اَلثُّلُُث، قَاَل: فَالثُّلُُث،

    َوالثُّلُُث َكِثْير إِنََّك أَْن تَدََع َوَرثَتََك أَْغِنَياَء َخْير ِمْن أَْن تَدََعُهْم

    لَةً َيتََكفَّفُوَن النَّاَس فِي أَْيِديِهْم، َوإِنََّك َمْهَما أَْنفَْقَت ِمْن َنفَقٍَة َعا

    فَإِنََّها َصدَقَة َحتَّى اللُّْقَمةُ الَّتِي تَْرفَعَُها إِلَى فِي اْمَرأَِتَك، َوَعَسى

    يَُكْن لَهُ هللاُ أَْن يَْرفَعََك فََيْنتَِفَع ِبَك َناس َويَُضرَّ ِبَك آَخُروَن َولَْم

    َيْوَمِئٍذ إَِّلَّ اْبَنة

    ‘Semoga Allah merahmati Ibnu ‘Afra (Sa’d).’ Aku katakan,

    ‘Wahai Rasulullah, aku berwasiat dengan semua hartaku ?’

    Beliau bersabda, ‘Tidak boleh.’ Aku katakan, ‘Separuhnya?’

    Beliau bersabda, ‘Tidak boleh.’ Aku katakan, ‘Sepertiganya?’

    Beliau bersabda, ‘Ya, sepertiga, dan sepertiga itu banyak,

    sebab jika engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan

    kaya itu lebih baik dari pada meninggalkan mereka dalam

    keadaan miskin, mereka meminta-minta pada orang lain.

    (Selain itu, jika engkau hidup) walaupun engkau memberikan

    hartamu pada keluargamu, akan tetap dihitung sebagai

    sedekah, sampai makanan yang engkau suapkan pada mulut

    isterimu. Semoga Allah mengangkat derajatmu, memberikan

    manfaat kepada sebagian manusia, dan membahayakan

    sebagian yang lain.’ Pada saat itu Sa’d tidak mempunyai

    pewaris kecuali seorang anak perempuan.” (Shahiih al-

    Bukhari (V/363, no. 2742))

    2. Pewaris (muwarrits)

    Muwarrits adalah orang yang meninggal dunia dan meninggalkan

    harta waris. Bagi muwarits berlaku ketentuan bahwa harta yang

    ditinggalkan miliknya dengan sempurna, dan ia benar-benar telah

    meninggal dunia, baik dengan kenyataan maupun menurut hukum.

    Kematian muwarits menurut ulama fiqh dibedakan menjadi tiga macam:

  • 27

    a. Mati haqiqy yaitu kematian seseorang yang dapat diketahui tanpa

    harus melakukan pembuktian, bahwa seseorang telah meninggal dunia,

    atau hilangnya nyawa seseorang dari jasad yang dapat dibuktikan oleh

    panca indra atau oleh dokter. (Ramulyo, 2001: 106)

    b. Mati hukmy yaitu kematian seseorang yang secara yuridis ditetapkan

    melalui keputusan hakim dinyatakan telah meninggal dunia. Ini bisa

    terjadi seperti dalam kasus seseorang dinyatakan hilang (al-mafqud)

    tanpa diketahui dimana dan bagaimana keadaannya. Setelah dilakukan

    upayaupaya tertentu, melalui keputusan hakim tersebut dinyatakan

    maninggal dunia. Sebagai suatu keputusan hakim, maka ia mempunyai

    kekuatan hukum yang tetap.

    c. Mati taqdiry, yaitu anggapan atau pemikiran bahwa seseorang telah

    minggal dunia. Misalnya, seserang yang diketahui ikut berperang ke

    medan perang, atau tujuan lain yang secara lahiriah diduga

    mengancam keselamatan dirinya. Setelah beberapa tahun, ternyata

    tidak diketahui kabar beritanya, dan patut diduga secara kuat bahwa

    orang tersebut telah meninggal dunia, maka dapat dinyatakan

    meninggal dunia. (Rofiq, 2015: 28-29)

    3. Ahli waris (Warits)

    Ahli waris (warits) Adalah orang yang akan mewarisi harta peninggalan

    simuwarits lantaran menpunyai sebab-sebab untuk mewarisi. Adapun

    syarat-syarat mewarisi ialah karena meninggalnya muwarrits (orang yang

  • 28

    mewariskan), baik itu kematiannya berupa kematian haqiqy, hukmy

    maupun kematian yang taqdiry.

    D. Sebab sebab Kewarisan

    1. Al-Qarabah (Pertalian darah)

    Al-Qarabah adalah hubungan nasab antara orang yang mewariskan

    dengan orang yang mewarisi yang disebabkan oleh kelahiran. Kekerabatan

    merupakan sebab memperoleh harta warisan yang paling kuat,

    dikarenakan kekerabatan itu termasuk unsur causalitas adanya seseorang

    yang tidak dapat dihilangkan. (Rustam, 2013: 5) Karena itu dapat

    dinyatakan, bahwa sistem kekerabatan yang dipakai dalam hukum

    kewarisan Islam adalah sistem kekerabatan bilateral atau parental. Artinya,

    penentuan hubungan kerabat dihubungkan dengan garis ibu dan garis

    ayah. Meskipun bagian wanita hanya separuh dari bagian laki-laki. (Rofiq,

    2013: 315) dengan melihat kondisi perempuan sebelumnya yang di

    perlakukan secara diskriminatif, maka perbedaan nominal bagian yang

    diterima perempuan, tidak mengurangi misi keadilan yang ingin dicapai

    oleh ajaran Islam itu sendiri. Hubungan kekerabatan menurut hukum Islam

    yang menjadi dasar mewarisi. Firrman Allah Swt dalam AlQur‟an surat

    An-Nisa ayat 7:

    ا تََرَك اْلَواِلدَاِن َواْْلَْقَربُوَن َوِللن َِساِء َنِصيب َجاِل َنِصيب ِممَّ لر ِ

    ا قَلَّ ِمْنهُ أَْو َكثُ ا تََرَك اْلَواِلدَاِن َواْْلَْقَربُوَن ِممَّ َرۚ َنِصيًبا ِممَّ

    َمْفُروًضا“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan

    ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak

    bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan

  • 29

    kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang

    telah ditetapkan.” (Q.s An Nisa: 7)

    Allah Swt berfirman dalam Qs. Al-Anfal: 75

    ِئَك ِمْنُكْم ۚ َوالَِّذيَن آَمنُوا ِمْن بَْعدُ َوَهاَجُروا َوَجاَهدُوا َمعَُكْم فَأُولََٰ

    َ ِبُكل ِ َوأُولُو اْْلَْرَحاِم بَْعُضُهْم أَْولَىَٰ ِببَْعٍض فِي ِكتَ ِ ۗ إِنَّ َّللاَّ اِب َّللاَّ

    َشْيٍء َعِليم

    “Dan orang-orang yang beriman sesudah itu kemudian

    berhijrah serta berjihad bersamamu maka orang-orang itu

    termasuk golonganmu (juga). Orang-orang yang mempunyai

    hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap

    sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab

    Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala

    sesuatu.”(Q.s. Al Anfal: 75)

    Dalam pandangan Fiqih mawaris, orang yang mengambil bagian

    harta dengan jalan kekerabatan ini ada tiga :

    a. Ashhabul Furudh adalah waris-waris yang menerima bagian

    tertentu dari harta peninggalan.

    b. Ashabah ushubah nasabiyah adalah para ahli waris yang tidak

    mempunyai bagian tertentu, tetapi mendapatkan bagian sisa

    harta waris dari bagian ashhabul furudh. Ashhabul furudh

    semacam ini dinamakan ashhabul furudh an-nasabiyah.

    Sedangkan suami istri dinamakan ashhabul furudh

    assababiyah.

    c. Dzawul Arham merupakan waris-waris yang tidak masuk ke

    golongan para ahli waris yang mendapatkan bagian tertentu,

  • 30

    tidak pula mendapatkan bagian sisa atau ashobah. (Turmudi,

    2015: 42)

    2. Al-Mushaharah (Hubungan Perkawinan)

    Perkawinan yang sah menyebabkan adanya hubungan hukum

    saling mewaris antara suami dan istri. Perkawinan yang sah adalah

    perkawinan yang syarat dan rukunya terpenuhi, baik menurut ketentuan

    hukum agama maupun ketentuan administratif sebagaimana diatur dalam

    peraturan yang berlaku. (Rofiq, 2013: 53) Dasar hukum hubungan

    perkawinan perkawinan sebagai sebab saling mewarisi adalah firman

    Allah Swt (Qs. An-Nisa: 12).

    َولَُكْم ِنْصُف َما تََرَك أَْزَواُجُكْم إِْن لَْم َيُكْن لَُهنَّ َولَد ۚ فَإِْن َكاَن

    ا تََرْكَنۚ ِمْن بُُع ِممَّ َبْعِد َوِصيٍَّة يُوِصيَن ِبَها أَْو لَُهنَّ َولَد فَلَُكُم الرُّ

    ا تََرْكتُْم إِْن لَْم يَُكْن لَُكْم َولَد ۚ فَإِْن َكاَن لَُكْم بُُع ِممَّ دَْيٍن ۚ َولَُهنَّ الرُّ

    ا تََرْكتُْم ۚ ِمْن َبْعِد َوِصيٍَّة تُوُصوَن ِبَها أَْو َولَد فَلَُهنَّ الثُُّمُن ِممَّ

    وَرُث َكََللَةً أَِو اْمَرأَة َولَهُ أَخ أَْو أُْخت دَْيٍن ۗ َوإِْن َكاَن َرُجل يُ

    ِلَك فَُهْم ُشَرَكاُء فَِلُكل ِ َواِحٍد ِمْنُهَما السُّدُُسۚ فَإِْن َكانُوا أَْكثََر ِمْن ذََٰ

    فِي الثُّلُِث ۚ ِمْن َبْعِد َوِصيٍَّة يُوَصىَٰ بَِها أَْو دَْيٍن َغْيَر ُمَضار ٍ ۚ

    ۗ ِ ُ َعِليم َحِليم َوِصيَّةً ِمَن َّللاَّ َوَّللاَّ

    “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang

    ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak

    mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak,

    maka kamu mendapat seperempat dari harta yang

    ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat

    atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh

    seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak

    mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para

    isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu

  • 31

    tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau

    (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati,

    baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan

    ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai

    seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara

    perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua

    jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara

    seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam

    yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat

    olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak

    memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan

    yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari

    Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.”

    (Q.s An nisa: 12)

    3. Al- Wala’ ( Memerdekakan hamba sahaya)

    Al-Wala’ adalah hubungan yang mengikat seseorang dengan orang

    lain yang membuat seperti kerabatnya dalam sebagian hukum padahal ia

    bukan termasuk kerabatanya. (Rustam, 2013: 5)

    Dalam pengertian lain Wala’ adalah hubungan kekerabatan

    menurut hukum yang timbul karena membebaskan budak dan karena

    adanya perjanjian tolong-menolong dan sumpah setia antara seseorang

    dengan orang lain.

    Wala’ yang pertama disebut wala’ al-ataqah atau usubah

    sababiyah. Sedangkan Wala’ yang kedua disebut Wala’ al-muwalah,

    yaitu wala’ yang timbul akibat kesediaan seseorang untuk tolong-

    menolong melalui suatu perjanjian perwalian. (Rustam, 2013: 6) Jika

    yang memerdekakan laki-laki disebut Mu’tiq dan jika perempuan disebut

    Mu’tiqah.

  • 32

    4. Karena Sesama Islam

    Disamping tiga sebab pewarisan tersebut, ulama’ Syafi’iyah dan

    malikiyah menambahkan sebab yang keempat yaitu jihat Al-Islam

    (hubungan saudara seagama), dan pelaksanaanya apabila tidak ada ahli

    warisnya dengan tiga sebab, maka harta warisnya atau sisa warisan yang

    tidak dihabiskan oleh ahli waris Ashobah, maka diserahkan kepada Bait

    Al-Mal (kas Negara) untuk kepentingan kaum muslimin. (Athoillah, 2016:

    25)

    E. Penghalang Kewarisan

    Sebab-sebab hijab (penghalang) Hijab bermakna mencegah,

    menghalangi atau menggugurkan. Sesuai dengan firman Allah dalam surat

    Al-Muthaffifin ayat 15 yang berbunyi:

    َكَلَّ إِنَُّهْم َعْن َرب ِِهْم َيْوَمِئٍذ لََمْحُجوبُونَ

    “Sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar tertutup dari

    (rahmat) Tuhan mereka.” (Al Muthaffifin: 15)

    Yang dimaksud dalam ayat ini adalah kaum Kuffah, tercegah untuk

    dapat melihat Tuhannya. Sedangkan hajib bermakna tukang atau penjaga

    pintu, sebab ia menghalangi seseorang untuk masuk kedalamnya. Oleh sebab

    itu, hajib dalam ilmu mawaris dikenal sebagai orang yang mencegah orang

    lain dari warisan.

  • 33

    Sedangkan mahjub adalah mereka yang terhalangi atau tercegahi dari

    mendapatkan warisan, hijab ada dua. (Khairuddin dan Fuaddi, 2014: 29)

    yaitu:

    1. Hijab washfy adalah hijab yang menghalangi seseorang untuk

    mendapatkan harta warisan, karena sifat yang dimilikinya seperti

    membunuh, murtad dan sebagainya.

    2. Hijab syakhsy adalah terhalangnya seseorang untuk mendapatkan

    warisan baik secara keseluruhan ataupun sebahagiannya, karena ada

    ahli waris yang lain lebih berhak daripadanya. Hijab ini terbagi

    menjadi dua bagian yaitu:

    a. Hijab nuqshan

    Hijab nuqshan adalah penghalang yang mengurangi bagian

    seseorang ahli waris dari yang semestinya diterima, karena ada ahli

    waris lain yang lebih dekat hubungannya dengan pewaris. Contoh:

    suami mendapat 1/ 2, jika istri tidak meninggalkan anak/cucu dari anak

    laki-laki tapi jika istri meninggalkan anak/cucu dari anak laki-laki,

    maka hak suami berkurang menjadi1/4.

    b. Hijab hirman

    Hijab hirman adalah penghalang yang menyebabkan seseorang ahli

    waris tidak memperoleh sama sekali bagian dari warisnnya, karena ada

    ahli waris lain yang lebih dekat hubungannya dengan pewaris. Contoh:

    seorang saudari sekandung mendapatkan 1/ 2, tetapi karena ada anak

    laki-laki, maka ia tidak mendapat sama sekali.

  • 34

    F. Hal yang Mencegah Kewarisan

    Yang dimaksud dengan mencegah warisan adalah tindakan atau hal-

    hal yang dapat mengugurkan hak seseorang untuk mempusakai beserta

    adanya sebab sebab dan syarat-syarat mempusakai. Para ahli waris yang

    kehilangan hak-hak mewarisi yang disebabkan adanya mawani’al irts disebut

    mahrum dan halangannya disebut hirman. Adapun penghalang mempusakai

    berdasarkan kesepakatan fuqaha ada 3 macam, yakni perbudakan,

    pembunuhan, dan berlainan agama.

    1. Perbudakan

    Perbudakan ialah suatu hal yang menjadi penghalang waris-

    mwarisi, berdasakan adanya petunjuk umum dari suatu nash, Allah SWT.

    berfirman:

    ُ َمثًََل َعْبدًا َمْملُوًكا ََّل َيْقِدُر َعلَىَٰ َشْيٍء َوَمْن َرَزْقَناهُ ِمنَّا َضَرَب َّللاَّ

    ا َوَجْهًرا ۖ َهْل َيْستَُووَن ۚ ِ ۚ بَْل اْلَحمْ ِرْزقًا َحَسًنا فَُهَو يُْنِفُق ِمْنهُ ِسرًّ دُ ّلِِلَّ

    أَْكثَُرُهْم ََّل يَْعلَُمونَ

    ”Allah telah membuat perumpamaan, yakni seorang budak yang

    tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun,”( QS Al-Nahl: 75)

    Maksud ayat tersebut adalah budak itu tidak cakap mengurusi hak

    milik kebendaan dengan jalan apa saja. Dalam hal pusaka-mempusakai

    terjadi disatu pihak melepaskan hak milik kebendaan dan disatu pihak

    yang lain menerima hak milik kebendaan.

  • 35

    2. Pembunuhan

    Para fuqaha sepakat untuk menetapkan bahwa pembunuhan itu

    pada prinsipnya menjadi penghalang mempusakai bagi pembunuh

    terhadap harta peninggalan orang yang telah dibunuh,hanya golongan

    khawarij saja yang membolehkannya. Golongan ini mensinyalir

    periwayatan dari Ibn Musayyab dan Ibn Jubair yang membolehkan si

    pembunuh untuk mempusakai harta orang yang terbunuh (pewaris). Yang

    menjadi dasar hukum ialah Hadits Rasulullah SAW:

    لَْيَس ِلْلقَاتِِل عن ابى هريرة عنى النبي صلى هللا عليه وسلم قال:

    )رواه الترميذ( َشْيء

    "Dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, beliau bersabda: “seorang

    pembunuh tidak mewarisi (harta orang yang dibunuh)”.(HR. at-

    Tirmidzi). (Al-Bani, 2006: 635)

    Hadits di atas menjelaskan bahwa seorang pembunuh tidak dapat

    mewarisi harta pewaris (orang yang dibunuh). Meskipun sebagian ulama

    menolak hadits ini seperti Ahmad bin Hanbal. Kendati demikian para

    ulama mengamalkan Hadits ini, untuk menetapkan hukum bagi seorang

    yang membunuh (pewaris). Dengan alasan, jika pembunuh mendapatkan

    warisan bisa jadi mereka akan berusaha untuk membunuh orang yang akan

    mewariskannya. Pelanggaran warisan ini untuk kemaslahatan, sebab

    pembunuh bisa mempercepat kematian yang merupakan salah satu unsur

    diperbolehkannya warisan. (Zuhaili, 2008: 86)

    3. Berlainan agama

  • 36

    Yang dimaksud dengan berlainan agama dalam skripsi ini ialah

    yang mewarisi atau yang diwarisi berlainan agama yang satunya muslim

    dan yang lainnya kafir, yang merupakan kepercayaan antara orang yang

    diwarisi dengan orang yang mewariskan. Misalnya agama orang yang

    bakal mewarisi bukan Islam, baik agama nasrani, maupun agama atheis

    yang tidak mengakui agama yang hak, sedangkan agama orang yang

    bakal diwarisi harta peninggalannya adalah beragama Islam. (Rahman,

    1981: 95)

    Pada dasarnya seorang yang berlainan agama tidak saling mewarisi

    antara kedua nya, namun dalam fiqh sunnah karangan Sayyid sabiq

    disebutkan bahwa, ada riwayat dari Mu’adz, Mu’awiyah, Ibn Musayyab,

    Masruq, dan Nakha’i, bahwa seorang muslim dapat menerima waris dari

    orang kafir dan tidak sebaliknya, yaitu orang kafir tidak berhak menerima

    warisan dari orang muslim. (Sabiq, 2006: 486)

    Hal ini sama seperti hadist Nabi Muhammad Saw yang berbunyi:

    َّل َيِرُث اْلُمْسِلُم الَكافَِر، وَّل َيِرُث الَكافُِر اْلُمْسِلمَ

    “Orang muslim tidak mewarisi dari orang kafir dan orang kafir

    tidak mewarisi dari orang muslim” ( H.R Bukhari, kitab al-faraid,

    bab XXVI, no. Hadist: 6764).

    Menurut M. Mustafa asy-Syalabi, perbedaan agama antara al-waris

    dengan al-Muwarris merupakan penghalang terjadinya pewarisan.

    Apabila suami beragama Islam dan istrinya non-Muslim kemudian

    suaminya meninggal dunia, maka istri tidak berhak mendapatkan warisan.

    Pendapat ini didasarkan pada hadis Nabi Muhammad saw yang

  • 37

    menyatakan bahwa seorang muslim tidak mewarisi dari seorang kafir

    (non-Muslim), demikian juga sebaliknya seorang kafir (non-Muslim)

    tidak bisa mewarisi harta seorang Muslim. (Asy Syalabi, 1972:88)

    Para jumhur ulama seperti Syafi’iyah, Hambali, Malikiyah, dan

    Hanafiyah tidak berbeda pendapat bahwa orang muslim tidak boleh

    mewarisi orang kafir begitu juga sebaliknya. Ini merupakan kesepakatan

    mayoritas ulama dan akan tetap berlaku sealamanya. Tapi mereka berbeda

    pendapat apabila ahli warisnya orang Islam sedangkan muwaritsnya non-

    muslim, sebagian sahabat dan tabi’in seperti Mu’az bin Jabal, Mu’awiyah

    bin Abi Sofyan dan al-Hasan berpendapat bahwa seorang muslim boleh

    menerima waris dari orang non-muslim. Pendapat ini didasarkan pada

    alasan: Pertama, bahwa agama Islam adalah tinggi (ya’lu) dan tidak ada

    yang lebih tinggi darinya (wala yu’la ‘alaih), apabila seorang Muslim

    menerima warisan dari non-Muslim, maka hal tersebut merupakan

    kemuliaan Islam dan tidak sebaliknya non-Muslim menerima warisan dari

    orang Islam. Kedua, pendapat tersebut didasarkan kepada hadis Nabi yang

    menyatakan bahwa Islam itu bertambah dan tidak berkurang. (dawud, t.t:

    126)

    Adapun tujuan hukum waris Islam itu sendiri adalah untuk

    menunaikan perintah Allah SWT. Memberikan kamaslahatan bagi

    kehidupan keluarga, melangsungkan keutuhan kehidupan keluarga,

    melakukan proses peralihan dan perolehan hak secara benar dan

    bertanggungjawab, menghindarkan konflik keluarga dan memperkuat

  • 38

    ukhuwah sesama manusia. (hasyimsoska.blogspot.com/2011/06/asas-

    prinsip-kewarisan-islam.html Akses 16 Februari 2019)

    Sebagian ulama ada yang menambahkan satu hal lagi sebagai

    penggugur hak mewarisi, yakni murtad (orang yang telah keluar dari

    Islam). Dikalangan ulama terjadi perbedaan pendapat, menurut mazhab

    Maliki, Syafi’i, dan Hambali bahwa seorang muslim tidak berhak

    mewarisi harta kerabatnya yang telah murtad, sebab orang yang murtad

    berarti telah keluar dari ajaran Islam sehingga secara otomatis orang

    tersebut telah menjadi kafir. Sedangkan menurut mazhab Hanafi, seorang

    muslim boleh mewarisi harta kerabatnya yang murtad. Bahkan kalangan

    ulama mazhab Hanafi sepakat mengatakan: “Seluruh harta peninggalan

    orang murtad diwariskan kepada kerabatnya yang muslim.” Pendapat ini

    diriwayatkan dari Abu Bakar ash-Shiddiq, Ali bin Abi Thalib, Ibn

    Mas’ud, dan lainnya. Menurut Ali Ash Shabuni, pendapat ulama mazhab

    Hanafi lebih rajih (kuat dan tepat) dibanding lainnya, karena harta warisan

    yang tidak memiliki ahli waris itu harus diserahkan kepada baitulmal.

    Padahal pada masa sekarang tidak kita temui baitulmal yang dikelola

    secara rapi, baik yang bertaraf nasional ataupun internasional. (Ash

    Shabuni, 1995: 44)

    4. Murtad

    Orang murtad adalah orang yang keluar dari agama Islam. Karena

    ia telah keluar dari Islam, maka ia tidak dapat mewarisi harta peninggalan

    keluarganya, alasannya karena salah satu faktor terjadinya pewarisan

  • 39

    adalah hubungan keagamaan (Islam) di antara individu yang berkelurga.

    (Anshori, 2012: 42-43)

  • 40

    BAB III

    PRAKTIK PEMBAGIAN WARISAN BEDA AGAMA

    DI DESA GETASAN

    A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

    1. Letak Geografis

    Penelitian ini dilakukan di Desa Getasan Kecamatan Getasan yang

    terletak di Kabupaten Semarang. Desa Getasan memiliki luas wilayah

    260,20 Ha, yang terbagi menjadi yang meliputi 3 RW dan 18 RT. Dari

    Salatiga dapat ditempuh dengan waktu kurang lebih 30 menit jika

    menggunakan angkutan bus jurusan Salatiga-Kopeng.

    Gambar 1.1 peta wilayah Desa Getasan

  • 41

    Desa Getasan terletak di Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang,

    Desa Getasan berbatasan dengan:

    a. Sebelah utara berbatasan dengan Desa Ngrawan

    b. Sebelah timur berbatasan dengan Desa Sumogawe

    c. Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Batur

    d. Sebelah barat berbatasan dengan Desa Wates/

    Desa Getasan merupakan bagian dari kawasan perkotaan di Kecamatan

    Getasan. Desa ini memiliki 5 dusun, yaitu:

    a. Dusun Jampelan

    b. Dusun Ngelo

    c. Dusun Gading

    d. Dusun Pandanan

    e. Dusun Getasan

    Di Desa ini terdapat beragam macam potensi, mulai dari pertanian,

    peternakan dan sarana & prasarana penunjang kegiatan perkotaan seperti

    pasar Getasan, ruko, Puskesmas, POLSEK & KORAMIL bank, masjid,

    SD, SMP, Gereja, Obyek wisata Goa Maria dan dilintasi oleh jalan kelas

    provinsi yang menghubungkan Salatiga-Magelang. Dari beragam macam

    potensi tersebut, potensi terbesar yang dimiliki oleh Desa Getasan adalah

    potensi hasil pertanian. Luas lahan peruntukkan pertanian sebesar 203,03

    Ha dari 260,20 Ha. Dari lahan peruntukkan pertanian, luas terbesar

    ditempati oleh lahan peruntukkan bukan sawah yaitu tegal/kebun berupa

    jagung. Potensi Desa Getasan bila ditinjau dari komunitasnya yaitu

  • 42

    memiliki karang taruna, perkumpulan ibu-ibu PKK dan perkumpulan

    bapak-bapak RT yang aktif di seluruh dusun yang ada di Desa Getasan.

    2. Demografi

    a. Keadaan penduduk Desa Getasan berdasarkan sosial

    keagamaan

    Desa Getasan mempunyai jumlah penduduk sebanyak

    3.509 jiwa, yang terdiri dari jumlah laki-laki sebanyak 1448

    jiwa dan jumlah perempuan sebanyak 2061 jiwa. Yang mana

    sebanyak 617 jiwa merupakan penduduk yang memasuki usia

    anak, sebanyak 658 jiwa merupakan usia remaja dan sebanyak

    766 jiwa merupakan usia produktif atau kategori orang dewasa

    atau orang tua.

    Agama mayoritas di desa Getasan merupakan Islam

    dengan jumlah penduduk beragama islam sebanyak 2.262 jiwa

    sedangkan masyarakat yang beragama kristen berjumlah 734

    jiwa, lalu masyarakat yang beragama katholik sebanyak 470

    jiwa dan terakhir yang beragama budha berjumlah 43 jiwa.

    NO Agama Jumlah Penduduk Presentase (%)

    1. Islam 2262 64.47

    2. Kristen 734 20.9

    3. Katholik 470 13.4

    4. Budha 43 1.23

    Jumlah 3509 100

  • 43

    Tabel 3.1 Keadaan penduduk Desa Getasan

    berdasarkan agama

    Dalam menjalankan agamanya warga saling

    bertoleransi antara warga yang satu dengan yang lain.

    Masyarakat muslim di desa Getasan pada umumnya

    menjalankan Islam yang biasa saja atau tidak mengikuti aliran-

    aliran tertentu atau golongan-golongan tertentu. Dan mayoritas

    dapat dikatakan sebagai masyarakat Islam ktp saja, dalam arti

    mayoritas umat Islam di desa Getasan pengetahuan tentang

    keagamaan sedikit kurang.

    Penganut agama di desa Getasan memiliki kegiatan

    sosial keagamaan baik Islam, Kristen ataupun Budha yaitu

    sebagai berikut:

    1) Kegiatan majelis taklim di Masjid Jami’ Al Atqiya’

    Dilaksanakan setiap jumat pahing yang

    dipimpin oleh Kyai Haji Fatkhurohman;

    2) Kegiatan majelis taklim di mushola At Taqwa

    Dilaksanakan setiap minggu wage yang

    dipimpin oleh Kyai Haji Muhammad Nurudin;

    3) Kegiatan bakti sosial dan sekolah minggu di Gereja

    Katolik

    Pengajar Romo Toni (Tegalrejo Salatiga)

    dan Romo Tulus Supriyadi (Setugur);

    4) Kegiatan ibadah bagi penganut agama Budha

  • 44

    Dilaksanakan setiap kamis malam yang

    dipimpin Sukardi Suroto.

    b. Keadaan penduduk Desa Getasan berdasarkan Pendidikan

    Jumlah penduduk di Desa Getasan yang tidak atau

    belum sekolah sebanyak 19,35% yaitu sejumlah 679 jiwa.

    Jumlah penduduk belum tamat SD sebanyak 6,33 % yaitu

    sejumlah 222 jiwa. Jumlah penduduk tamat SD/sederajat

    36,08% yaitu sejumlah 1.266 jiwa. Jumlah penduduk

    SMP/sederajat sebanyak 16,73% yaitu sejumlah 587 jiwa.

    Jumlah penduduk SMA/sederajat sebanyak 17,01% yaitu

    sejumlah 597 jiwa dan jumlah penduduk Diploma /Strata

    sebanyak 4,50% yaitu sejumlah 158 jiwa.

    No Pendidikan Jumlah penduduk Presentase (%)

    1. Tidak/Belum Sekolah 679 19.35

    2. Belum Tamat SD 222 6.33

    3. Tamat SD/Sederajat 1266 36.08

    4. SMP/Sederajat 587 16.73

    5. SMA/Sederajat 597 17.01

    6. Diploma/Strata 158 4.50

    Jumlah 3509 100

    Tabel 3.2 Jumlah penduduk Desa Getasan berdasarkan

    pendidikan

  • 45

    c. Keadaan penduduk Desa Getasan berdasarkan Pekerjaan

    Jumlah penduduk di desa Getasan berdasarkan

    pekerjaan yang tidak/belum bekerja sebanyak 19,32% yaitu

    sejumlah 678 jiwa. Jumlah penduduk pelajar/mahasiswa

    sebanyak 12,88% yaitu sejumlah 452 jiwa. Jumlah penduduk

    pedagang sebanyak 2.62% yaitu sejumlah 92 jiwa. Jumlah

    penduduk petani sebanyak 25,25% yaitu sejumlah 886 jiwa.

    Jumlah penduduk swasta sebanyak 18,67% yaitu sebanyak 655

    jiwa. Jumlah penduduk pegawai negeri sebanyak 2,85% yaitu

    sebanyak 100 jiwa sedangkan jumlah penduduk wiraswasta

    sebanyak 18,41% yaitu sebanyak 646 jiwa.

    No Pekerjaan Jumlah

    Penduduk

    Presentase

    (%)

    1. Tidak/Belum Bekerja 678 19.32

    2. Pelajar/Mahasiswa 452 12.88

    3. Pedagang 92 2.62

    4. Petani 886 25.25

    5. Swasta 655 18.67

    6. PNS 100 2.85

    7. Wiraswasta 646 18.41

    Jumlah 3509 100

    Tabel 3.3 Keadaan penduduk Desa Getasan

    berdasarkan jenis pekerjaan

  • 46

    d. Keadaan penduduk Desa Getasan berdasarkan status

    perkawinan

    Jumlah penduduk desa Getasan yang belum kawin

    sebanyak 1.407 jiwa, yang terdiri dari pria sejumlah 757 jiwa

    dan perempuan 650 jiwa. Jumlah penduduk yang sudah kawin

    sebanyak 1.776 jiwa, yang terdiri dari pria sejumlah 581 jiwa

    dan perempuan 1195 jiwa. Jumlah penduduk yang cerai hidup

    sebanyak 41 jiwa, yang terdiri dari pria sejumlah 18 jiwa dan

    perempuan 23 jiwa. Jumlah penduduk yang cerai mati

    sebanyak 285 jiwa, yang terdiri dari pria 92 jiwa dan

    perempuan 193 jiwa.

    No Status

    Perkawinan

    Jumlah

    Penduduk

    Laki-laki Perempuan

    1. Tidak/Belum

    Kawin

    1407 757 650

    2. Sudah Kawin 1776 581 1195

    3. Cerai Hidup 41 18 23

    4. Cerai Mati 285 92 193

    Jumlah 3509 1448 2061

    Tabel 3.4 Keadaan penduduk Desa Getasan

    Berdasarkan Status Perkawinan

    B. Praktik Pembagian Harta Warisan Beda Agama Di Desa Getasan

    Hukum Waris adalah Hukum yang mengatur tentang pemindahan hak

    pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang

  • 47

    berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing. (KHI pasal

    171) Secara Terminologi, hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur

    pembagian harta warisan, mengetahuan bagian-bagian yang diterima dari harta

    peninggalan itu untuk setiap ahli waris yang berhak. Kemudian dalam redaksi

    lain, Hasby Ash-Shiddieqy mengemukakan, hukum kewarisan adalah hukum

    yang mengatur siapa-siapa orang yang mewarisi dan tidak mewarisi,

    penerimaan setiap bagian ahli waris dan cara-cara pembagiannya. (Rofiq,

    2013: 281)

    Dari kemajemukan agama yang hidup dan dianut oleh masyarakat

    Desa Getasan ini tentunya banyak efek sosial yang ditimbulkan. Interaksi

    sosial yang terbuka lebar di antara para pemeluk agama membuat masyarakat

    desa ini hidup dengan toleransi keagamaan yang tinggi. Termasuk dalam hal

    perkawinan dan pewarisan.

    Toleransi beragama ini secara khusus begitu terlihat pada Desa

    Getasan yang notabene penduduknya terdiri dari 50% beragama Islam, 40%,

    Kristen dan 10% Budha. Di Desa ini pula beberapa keluarga hidup dalam

    kemajemukan. Terkadang kedua orang tuanya Islam, dan anak-anaknya ada

    yang beragama Kristen, Islam dan juga Budha. Ada pula yang sebaliknya

    kedua orang tuanya Kristen, anaknya beragama Islam.

    Keragaman ini terjadi karena hubungan kekerabatan yang dipadu

    dengan pernikahan di antara sesama pemeluk agama. Dari pernikahan itu pula

    tiga agama ini menyebar di kalangan masyarakat desa. Untuk orang tua yang

    mempunyai anak yang hendak menikah dan anak tersebut beragama Islam

  • 48

    tetapi menantunya beragama berbeda maka orang tersebut harus masuk Islam

    terlebih dahulu.

    Dianutnya tiga agama sebagai dasar keyakinan beragama masyarakat

    ini juga berdampak pada sistem kewarisannya. Dimana masyarakatnya lebih

    berkecenderungan membagi secara merata harta waris yang ditinggalkan oleh

    pewaris. Mereka melakukan praktik kewarisan ini lebih didasari pada aspek

    keadilan dan menghindari konflik di antara keluarga. Sebagian besar

    masyrakat Desa Getasan yang beragam islam masih belum mengetahui

    pembagian harta warisan menurut hukum Islam, dan masih mengunakan

    hukum adat yang sudah berlaku didesa tersebut dengan alasan untuk

    menghindari konflik antar anggota keluarga maka pembagian harta waris ini

    dibagi secara merata.

    Bapak Rochim (Sekretaris Desa Getasan) menyatakan bahwa

    masyarakat Desa Getasan lebih menghindari konflik antar keluarga. Mereka

    berkecenderungan membagi harta dengan sama adil sama rata. Hanya

    dibedakan berdasarkan domisili waris. Bila anak berada satu rumah dengan

    pewaris maka dia akan mendapatkan harta yang berbeda dengan anak yang

    domisilinya berada di luar desa dan begitu pula dengan anak yang merawat

    orang tuanya hingga meninggal maka ia juga mendapatkan bagian lebih dari

    harta yang ditinggalkan. Harta ini bukan termasuk dalam harta warisan

    melainkan wujud imbalan pewaris terhadap anak tersebut yang telah

    merawatnya hingga meninggal. Bagi orang Islam yang memiliki keturunan

    yang berbeda agama dengan orang tuanya akan tetap mendapatkan bagiannya.

  • 49

    Kebiasaan di desa ini memang menghendaki yang demikian untuk saling

    menjaga kepercayaan di antara warganya, untuk menjaga kerukunan di antara

    warganya meskipun berbeda agama.

    Pembagian harta waris secara merata dapat tercermin dari keluarga

    Noto warga rt 06 rw 01 Desa Getasan