pemasaran komoditi bawang daun
DESCRIPTION
pemasaran bawang daunTRANSCRIPT
PEMASARAN KOMODITI BAWANG DAUN
A. Permasalahan Produk dalam kegiatan Pemasaran Bawang Daun
Indonesia kaya akan beragam tanaman sayuran, dan sayuran merupakan
bahan pangan harian masyarakat untuk dijadikan sumber mineral dan serat.
Sementara itu permintaan dalam negeri maupun ekspor sayuran terus meningkat
akan tetapi memerlukan persyaratan mutu. Sayuran, khususnya bawang daun
(Alium ampeloprosum) bersifat mudah rusak, mutu beragam, jumlah melimpah
pada musim panen sehingga harga jatuh, sementara pengetahuan dan teknologi
yang dimiliki petani masih terbatas dan sebagian besar masih dijual dalam bentuk
segar. Yang menjadi penyebab rusaknya bawang daun setelah panen ada beberapa
hal yaitu fisiologis dimana sayuran masih terus melakukan proses respirasi
sehingga akan menjadi busuk. Faktor berikutnya adalah biologis berupa
kontaminasi bakteri, mengakibatkan busuk pada sayuran, dan pengaruh fisik berupa
benturan, jatuh, memar atau tergores, robek, proses transpirasi/dehidrasi sehingga
daun layu. Berikut beberapa permasalahan produk bawang daun dalam kegiatan
pemasaran:
a. Tingkat kehilangan hasil dari produk bawang daun sampai produk diterima
konsumen masih cukup tinggi dan bisa mencapai 50%.
b. Masih rendahnya pengetahuan dan pemahaman petani mengenai pentingnya
penanganan pascapanen yang baik. Pada umumnya penanganan pascapanen
ditingkat petani dilakukan secara alami atau dengan peralatan yang apa adanya
tidak secara khusus.
c. Akibat penanganan pascapanen dan kegiatan pemasaran yang tidak baik dan
tidak efisien sering menyebabkan produk mengalami penurunan mutu, busuk,
layu, tidak tahan lama disimpan, dan kurang bersih.
B. Solusi Penanganan dalam Kegiatan Pemasaran Bawang Daun
Untuk meningkatkan nilai tambah dan nilai ekonomi komoditas sayuran,
memperpanjang masa simpan, meningkatkan jangkauan distribusi dan pemasaran,
menghasilkan produk olahan yang diinginkan pasar, meningkatkan posisi tawar
pelaku produksi, maka perlu dilakukan penanganan sayuran segar dan pengolahan
bawang daun.
Yang termasuk dalam penanganan segar daun bawang daun adalah panen,
pencucian, sortasi/ grading, pengemasan, penyimpanan dingin. Termasuk dalam
pengolahan bawang daun adalah pengupasan pelepah yang kering, pemotongan,
pencampuran dengan bahan maknan lain, ekstraksi,.
Beberapa mesin pertanian yang tahun ini sedang dikembangkan untuk
bawang daun adalah berupa perajang dan pengemasan. Salah satu penanganan yang
dapat dilakukan untuk mengurangi penurunan hasil bawang daun dalam kegiatan
pemasaran adalah:
Pengemasan Bawang Daun (Alium ampeloprosum) Rajangan dengan Atmosfir
Termodifikasi
Bawang daun (Allium ampeloprasum var. porrum) merupakan salah
satu jenis produk hortikultura yang banyak digunakan sebagai bumbu
penyedap dalam berbagai olahan pangan. Seperti halnya produk hortikultura
pada umumnya, bawang daun mudah rusak baik karena layu ataupun karena
pembusukan. Kerusakan akan semakin cepat jika bawang daun dirajang
(terolah minimal). Sementara itu pasar untuk produk sayuran terolah minimal
termasuk bawang daun mulai terbentuk. Permintaan bawang daun rajangan
datang dari restoran-restoran siap saji. Sebagai contoh bawang daun rajangan
digunakan sebagai bahan taburan pada menu bubur ayam dan sup.
Untuk mendapatkan bawang daun terolah minimal dengan umur simpan
yang relatif panjang, perlu diperhatikan penanganan pasca panen yang sesuai.
Salah satu teknik penanganan pasca panen adalah penyimpanan di dalam
atmosfir yang dimodifikasi atau terkendali dan dikombinasikan dengan
penyimpanan pada suhu rendah.
Laju respirasi rata-rata bawang daun rajangan selama penyimpanan
adalah 34.72ml O2/kg.jam dan 64.93 ml CO2/kg.jam (suhu kamar), 19.51 ml
O2/kg.jam dan 20.59 ml CO2/kg.jam (suhu 10oC) dan 15.06 ml O2/kg.jam dan
14.21 ml CO2/kg.jam (suhu 5 oC). Penyimpanan bawang daun rajangan selama
14 hari pada atmosfir yang dimodifikasi memberikan hasil sebagai berikut.
Susut bobot bawang daun rajangan selama 14 hari penyimpanan pada atmosfir
dengan O2 3-5% dan CO2 3-5% adalah 7.76% paling rendah daripada
penyimpanan pada kondisi atmosfir lainnya, dan yang paling tinggi adalah
penyimpanan pada udara normal, yaitu 14.80%.
Perubahan warna bawang daun rajangan selama penyimpanan yang
terjadi adalah peningkatan kecerahan (L) dari 33.06 menjadi 33.50 (O2 3-5%
dan CO2 3-5%), dan peningkatan nilai a dari (-) 9.84 menjadi (-) 4. Perubahan
nilai sensoris terendah dibandingkan bawang daun rajangan segar adalah
bawang daun rajangan yang disimpan pada atmosfir dengan O2 3-5 % dan CO2
3-5%. Daerah atmosfir termodifikasi untuk bawang daun rajangan adalah O2 3-
5% dan CO2 3-5%.
Daerah atmosfir termodifikasi tersebut berada pada film kemasan
LDPE. Desain kemasan untuk bawang daun rajangan adalah kantung plastik
LDPE tebal 90 μm dengan luas sebelum dibuka 104.5 cm2. Kantung kemasan
tersebut untuk bawang daun dengan bobot 100 g. Pengemasan bawang daun
rajangan dengan film LDPE dan pengemasan hampa dengan film LDPE untuk
penyimpanan selama 10 hari menyebabkan perubahan warna, rasa, aroma, dan
tekstur yang tidak nyata. Nilai sensoris warna, rasa, aroma dan tekstur bawang
daun rajangan setelah 10 hari penyimpanan tidak berbeda nyata dengan niali
sensoris bawang daun rajangan baru. Penyimpanan selama 14 hari mulai
menunjukkan perubahan parameter mutu yang mulai nampak. Susut bobot
bawang daun yang disimpan secara atmosfir termodifikasi adalah sekitar 7%
untuk penyimpanan selama 14 hari. Umur simpan bawang daun rajangan yang
dikemas hampa dalam kantung plastik LDPE tebal 60 μm dengan luas kantung
104.5 cm2 dan suhu penyimpanan 5 oC adalah 14 hari.
(Sugiarto, 2005)
B. Saluran pemasaran Komoditas Bawang Daun
Sistem pemasaran di daerah penilitian terdiri dari 3 subsistem, yang saling
berkaitan, yaitu:
a. Produsen/Petani
b. Pedagang perantara meliputi agen, pedagang pengempul, pedagang besar, dan
pedagang pengecer
c. Konsumen yaitu mereka yang membeli bawang daun dari pedagang perantara
untuk dikonsumsi
Keseluruan sistem ini memiliki tujuan yang sama yakni mendistribusikan
bawang daun dari lahan petani sampai ke tangan konsumen, sehingga dalam
pergerakan subsistem ini terbentuklah saluran-saluran pemasaran. Untuk
mendistribusikan bawang daun ini sampai ketangan konsumen setiap lembaga
pemasaran melakukan fungsi-fungsi pemasaran dan pada akhirnya akan
menimbulkan biaya pemasaran.
Di daerah penelitian hasil panen petani langsung dibawa ke Pasar Berastagi
yang merupakan pasar terdekat dan juga terbesar di sekitar daerah penelitian. Di
pasar sudah menunggu agen yang akan menampung hasil panen para petani, di pasar
itu juga lah para pedagang perantara maupun Pedagang Pengecer membeli bawang
daun untuk dijual kembali melalui agen.
1. Saluran pemasaran 1 untuk Bawang Daun/Prei
- Skema saluran pemasaran 1 bawang daun/prei
Petani Agen Pedagang Besar Konsumen
Untuk saluran pertama, petani membawa langsung hasil panennya ke
pasar Berastagi dan kemudian disana dijual kepada agen. Agen menjual
bawang daun yang dibeli dari petani kepada Peedagang Besar yang membeli
daun bawang itu adalah pedagang yang berjualan di Aceh, para agen tidak
perlu repot-repot membawa barang dagangannya keluar dari pasar karena
transaksi jual beli juga berlangsung di pasar yang sama. Pedang Besar lalu
membawa bawang daun yang di beli di pasar Berastagi ke Aceh dan
kemudian dipasarkan hingga sampai ketangan konsumen.
Dalam proses jual beli tersebut berlangsunglah fungsi-fungsi
pemasaran yang akan menimbulkan biaya biaya pemasaran. Untuk saluran
pemasaran yang pertama ini system pembayarannya diberlakukan istilah mati
satu/over bon yang artinya barang yang dibeli kemarinakan dibayar hari ini
sedangkan barang yang dibeli hari ini akan dibayar besok, demikianlah
selanjutnya.
2. Saluran Pemasaran 2 Untuk Bawang Daun/Prei
Untuk saluran pemasaran yang kedua, hasil panen petani dipasarkan
langsung ke Pasar Berastagi dan disana hasil panen para petani ditampnung
langsung oleh agen. Agen akan menjual lagi barang dagangannya kepada para
pedagang pengempul yang biasanya berjualan di sekitar Pasar Berastagi
maupun kabanjahe, para pedagang pengumpul ini akan menjual kembali
bawang daunnya yang sudah dibelinya kepada para pedagang pengencer yang
kemudian akan menjualnya lagi hingga akhirnya bawang daun/prei dapat
sampai ke tangan konsumen akhir untuk di konsumsi.
Dalam hal ini juga dapat terjadi fungsi-fungsi pemasaran yang
kemudian melahirkan biaya-biaya pemasaran. Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat dari gambar sederhana dibawah ini:
Petani Agen Ped. Pengumpul Ped. Pengecer Konsumen
3. Biaya Pemasaran, Price Spread Dan Share Margin Pada Setiap Saluran
Pemasaran
Untuk menganalisa Price spread dan Margin pemasaran maka perlu
dihitung biaya pemasaran yang dikeluarkan oleh masing lembaga pemasaran.
Untuk mengetahui biaya dari masing-masing lembaga pemasaran dapat
dilihat dari saluran pemasaran bawang daun yang ada.
a. Saluran 1
Petani Agen Pedagang Besar Konsumen
Dalam setiap periode panen, Agen membeli bawang daun/prei
dari petani sekitar 2-3 ton per hari. Harga beli agen dari petani bawang
daun/prei bervariasi, tinggi rendahnya harga bawang daun/prei
dipengaruhi oleh kualitas bawang daun/prei adalah Rp.6.000/Kg.
Agen menjual bawang daun/prei tersebut ke Pedagang Besar, dan
kebanyakan pedagang besar itu adalah pedagang yang dari Aceh. Jumlah
agen yang diambil sebagai sampel berjumlah 4 orang. Harga jual bawang
daun dari agen kepada pedagang besar juga bervariasi, tergantung
kualitas dari bawang daun/prei itu sendiri. Rata-rata harga jual agen
kepada pedagang besar adalah Rp.7.000/Kg.
Biaya pemasaran pemasaran yang ditanggung oleh agen terdiri dari
biaya transportasi sebesar Rp. 250/Kg, upah bongkar muat sebesar
Rp.50/Kg, retribusi berupa uang sampah (kebersihan) sebesar Rp.2/Kg,
dan sewa tempat + paying sebesar Rp.10/Kg. sehingga keuntungan yang
diperoleh Agen adalah Rp.688/Kg bawang daun/prei.
Pedagang besar membeli bawang daun dari agen dengan harga
Rp.7000/Kg. Biaya pemasaran yang dikeluarkan oleh pedagang besar
terdiri dari biaya transportasi berupa sewa mobil pick-up sebesar
Rp.350/Kg, upah bongkar muat sebesar Rp.50/Kg, sewa tempat (gudang)
sebesar Rp.25/Kg. harga jual pedagang besar kepada konsumen adalah
Rp.8.500/Kg. dengan demikian keuntungan yang diperoleh pedagang
besar adalah sebesar Rp.1.075/Kg.
Pada saluran pemasaran bawang daun/prei yang pertama ini
diperoleh harga awal dari petani adalah sebesar Rp.6000/Kg sedangkan
harga yang harus dibayarkan oleh konsumen akhir adalah sebesar
Rp.8.500/Kg. dengan total biaya Rp.737/Kg. dengan demikian maka
diperoleh margin keuntungan pedagang bawang daun/prei melalui
saluran pemasaran I adalah sebesar Rp.2.500. dengan demikian maka
diperoleh profit pedagang pada saluran pemasaran I adalah sebesar
Rp.1763/Kg atau rata-rata Rp.881,5 untuk setiap lembaga pemasaran
yang terlibat.
b. Saluran 2
Petani Agen Ped.Pengumpul Ped. Pengecer Konsumen
Bawang daun hasil panen petani langsung dibawa ke pasar
Berastagi, disana bawang daun tersebut ditampung oleh agen dengan harga
yang bervariasi, rata-rata harga yang diterima oleh petani bawang daun
adalah sekitar Rp.6000/Kg. Agen kemudian menjual bawang daun/prei
kepada pedagang pengumpul dengan harga Rp.7000. Biaya-biaya
pemasaran yang dikeluarkan agen adalah terdiri dari, biaya transportasi
sebesar Rp.250/Kg, upah bongkar muat sebesar Rp.50/Kg, biaya retribusi
berupa uang sampah dan sewa tempat sebesar Rp.12/Kg. Sehingga total
biaya pemasaran yang harus dikeluarkan oleh agen adalah sebesar
Rp.312/Kg. Keuntungan yang diperoleh agen adalah sebesar Rp.688/Kg.
Pedagang pengumpul menjual lagi bawang daun yang dibelinya dari
agen seharga Rp.8.500/Kg, harga tersebut dibuat dengan memperhatikan
biaya-biaya pemasaran yang harus dikeluarkan pedagang pengumpul
berupa, biaya transportasi sebesar Rp.175/Kg, upah bongkar muat sebesar
Rp.25/Kg, retribusi berupa uang sampah sebesar Rp.150/kg, sewa tempat
sebesar Rp.75/Kg, dan pengepakan sebesar Rp.25/Kg. Total biaya yang
dikeluarkan pedagang pengumpul adalah sebesar Rp.450/Kg. Dengan
mengurangi total biaya maka diperolehlah besar keuntungan yang
diperoleh oleh pedagang pengumpul adalah sebesar Rp.1.050/Kg.
Bawang daun dari pedagang pengumpul kemudian dijual kembali
kepada pedagang pengecer. Dari pedagang pengecerlah akhirnya bawang
daun/prei sampai ketangan konsumen dengan harga Rp.10.000/Kg. Hari
ini juga dibuat dengan memperhitungkan biaya-biaya pemasaran yang
harus dikeluarkan oleh pedagang pengecer berupa, biaya transportasi
sebesar Rp.200/Kg, bahan tambahan seperti tali dan karet sebesar
Rp.50/Kg, dan uang sampah sebesar Rp.100/Kg, total biaya yang harus
dikeluarkan pedagang pengecer adalah sebesar Rp.475/Kg. Keuntungan
yang diperoleh oleh pedagang pengecer adalah sebesar Rp.1.925/Kg.