model pengembangan agroforestri berbasis...

18
1 MODEL PENGEMBANGAN AGROFORESTRI BERBASIS JELUTUNG RAWA UNTUK MEREHABILITASI LAHAN GAMBUT Oleh: Marinus Kristiadi Harun Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru. Jl. Ahmad Yani Km. 28,7 Landasan Ulin, Banjarbaru, KalimantanSelatan. E-mail: [email protected] ABSTRACT Salah satu masalah lingkungan di lahan gambut adalah tingginya laju degradasi lahan dan deforestasi. Pengembangan sistem agroforestri berbasis jelutung rawa menjadi salah satu solusi alternatif untuk mengatasi permasalahan tersebut. Hal ini memerlukan adanya keterpaduan unsur-unsur yang membentuk sistem pengembangan, yakni: subsistem hulu, subsistem tengah, subsistem hilir dan subsistem pendukung. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis model pengembangan sistem agroforestri berbasis jelutung rawa untuk merehabilitasi lahan gambut terdegradasi. Parameter yang diteliti mencakup design (pola) agroforestri berbasis jelutung rawa di lahan gambut, performansi pertumbuhan jelutung rawa pada berbagai pola agroforestri di lahan gambut dan kelembagaan pengembangan jelutung rawa untuk merehabilitasi lahan gambut. Data primer diperoleh melalui pendekatan wawancara dengan informan, wawancara mendalam dengan informan kunci, observasi dan pengukuran langsung di lapangan serta Focus Group Discussion (FGD) dengan stakeholders. Penelitian ini dilakukan di Desa Mantaren, Desa Jabiren dan Desa Tumbang Nusa, yang termasuk wilayah Kabupaten Pulang Pisau serta Kelurahan Kalampangan, yang termasuk wilayah Kota Palangkaraya, Provinsi Kalimantan Tengah. Desa-desa tersebut dipilih sebagai lokasi dalam penelitian ini karena jelutung rawa telah dikembangkan dengan berbagai pola agroforestri khas masing-masing tipologi lahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di masing-masing tipologi lahan gambut telah berkembang beberapa pola agroforestri. Pada tipologi lahan gambut tipis pola agroforestri jelutung rawa yang telah berkembang dapat dikelompokkan menjadi 3, yakni: alleycropping dengan teknik gundukan, alleycropping dengan teknik surjan dan agrosilvofishery dengan teknik surjan. Pola agroforestri di lahan gambut tebal yang telah berkembang secara umum dapat dikelompokkan menjadi 2, yakni: mixed cropping dengan teknik petak berparit dan alleycropping dengan teknik petak berparit. Performansi pertumbuhan jelutung pada berbagai pola agroforestri menunjukkan riap tinggi batang mencapai 86,55 127,94 cm per tahun dan riap diameter batang mencapai 1,56 2,15 cm per tahun. Kelembagaan pengembangan jelutung rawa dengan sistem agroforesri dapat dilakukan dengan sistem kebersamaan ekonomi (SKE) berdasarkan manajemen kemitraan dengan mempertimbangkan kearifan lokal. Kata kunci: jelutung rawa, sistem agroforestri, kemitraan, sistem kebersamaan ekonomi, rehabilitasi, lahan gambut.

Upload: vonguyet

Post on 12-Mar-2019

241 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

1

MODEL PENGEMBANGAN AGROFORESTRI BERBASIS

JELUTUNG RAWA UNTUK MEREHABILITASI LAHAN GAMBUT

Oleh:

Marinus Kristiadi Harun

Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru. Jl. Ahmad Yani Km. 28,7 Landasan Ulin,

Banjarbaru, KalimantanSelatan. E-mail: [email protected]

ABSTRACT

Salah satu masalah lingkungan di lahan gambut adalah tingginya laju degradasi lahan

dan deforestasi. Pengembangan sistem agroforestri berbasis jelutung rawa menjadi salah satu

solusi alternatif untuk mengatasi permasalahan tersebut. Hal ini memerlukan adanya

keterpaduan unsur-unsur yang membentuk sistem pengembangan, yakni: subsistem hulu,

subsistem tengah, subsistem hilir dan subsistem pendukung. Penelitian ini bertujuan untuk

menganalisis model pengembangan sistem agroforestri berbasis jelutung rawa untuk

merehabilitasi lahan gambut terdegradasi. Parameter yang diteliti mencakup design (pola)

agroforestri berbasis jelutung rawa di lahan gambut, performansi pertumbuhan jelutung rawa

pada berbagai pola agroforestri di lahan gambut dan kelembagaan pengembangan jelutung

rawa untuk merehabilitasi lahan gambut. Data primer diperoleh melalui pendekatan

wawancara dengan informan, wawancara mendalam dengan informan kunci, observasi dan

pengukuran langsung di lapangan serta Focus Group Discussion (FGD) dengan stakeholders.

Penelitian ini dilakukan di Desa Mantaren, Desa Jabiren dan Desa Tumbang Nusa, yang

termasuk wilayah Kabupaten Pulang Pisau serta Kelurahan Kalampangan, yang termasuk

wilayah Kota Palangkaraya, Provinsi Kalimantan Tengah. Desa-desa tersebut dipilih sebagai

lokasi dalam penelitian ini karena jelutung rawa telah dikembangkan dengan berbagai pola

agroforestri khas masing-masing tipologi lahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di

masing-masing tipologi lahan gambut telah berkembang beberapa pola agroforestri. Pada

tipologi lahan gambut tipis pola agroforestri jelutung rawa yang telah berkembang dapat

dikelompokkan menjadi 3, yakni: alleycropping dengan teknik gundukan, alleycropping

dengan teknik surjan dan agrosilvofishery dengan teknik surjan. Pola agroforestri di lahan

gambut tebal yang telah berkembang secara umum dapat dikelompokkan menjadi 2, yakni:

mixed cropping dengan teknik petak berparit dan alleycropping dengan teknik petak berparit.

Performansi pertumbuhan jelutung pada berbagai pola agroforestri menunjukkan riap tinggi

batang mencapai 86,55 – 127,94 cm per tahun dan riap diameter batang mencapai 1,56 – 2,15

cm per tahun. Kelembagaan pengembangan jelutung rawa dengan sistem agroforesri dapat

dilakukan dengan sistem kebersamaan ekonomi (SKE) berdasarkan manajemen kemitraan

dengan mempertimbangkan kearifan lokal.

Kata kunci: jelutung rawa, sistem agroforestri, kemitraan, sistem kebersamaan ekonomi,

rehabilitasi, lahan gambut.

2

PENDAHULUAN

Kondisi terkini lahan gambut seluas 3.472.000 ha di Provinsi Kalimantan Tengah

dikuatirkan tidak mampu lagi memerankan fungsi ekologinya secara optimal, karena upaya

yang mengarah kepada perubahan ekosistemnya masih tetap berlangsung. Hal ini ditandai

dengan adanya kerusakan lahan gambut yang telah mencapai lebih dari 35% (Limin, 2004).

Lahan gambut yang terdegradasi tersebut pada perkembangannya menjadi lahan terlantar,

yang pada musim kemarau sangat rawan kebakaran. Kondisi tersebut dapat mengakibatkan

terganggunya keseimbangan ekologi dan menurunnya fungsi produksi. Lahan gambut

terdegradasi perlu segera dipulihkan kondisinya dengan kegiatan penanaman (rehabilitasi dan

penghijauan).

Salah satu teknologi pengelolaan lahan gambut yang dapat diterapkan untuk

menjawab tantangan di atas adalah sistem agroforestri berbasis jenis lokal (indigenuos tree

species). Penerapan sistem ini diharapkan dapat menjembatani kepentingan ekonomi petani

lokal dengan kepentingan kelestarian lingkungan lahan gambut. Faktor lain yang turut

menentukan keberhasilan upaya memulihkan lahan gambut terdegradasi adalah pemilihan

jenis yang tepat dari aspek teknis, sosial, ekonomi dan lingkungan. Salah satu jenis yang

memenuhi kriteria tersebut adalah jelutung rawa. Jenis ini mempunyai nama ilmiah Dyera

polyphylla Miq. Steenis atau sinonim dengan Dyera lowii Hook F. yang merupakan salah

satu jenis pohon yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Jelutung rawa merupakan jenis

pohon endemik, sebab di dunia hanya terdapat di dua negara, yakni Indonesia dan Malaysia.

Jenis pohon ini di Indonesia hanya terdapat di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Jenis jelutung

saat ini mulai banyak digunakan dalam pengembangan hutan tanaman indutri (HTI) di lahan

gambut. Kayunya memiliki sifat-sifat yang sangat baik untuk bahan baku industri pensil dan

getahnya sebagai bahan baku industri permen karet (Daryono, 2000). Makalah ini bertujuan

untuk membahas model pengembangan agroforestri berbasis jelutung rawa untuk

memulihkan kondisi lahan gambut yang terdegradasi.

3

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di empat desa utama, yakni: Desa Jabiren, Desa Mentaren,

Desa Tumbang Nusa, yang termasuk wilayah Kabupaten Pulang Pisau dan Kelurahan

Kalampangan, yang termasuk wilayah Kota Palangkaraya, Provinsi Kalimantan Tengah.

Keempat desa tersebut dipilih sebagai desa utama dalam penelitian ini karena jelutung rawa

telah dikembangkan dengan berbagai pola agroforestri khas masing-masing tipologi lahan.

Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari – Maret Tahun 2011.

Data primer diperoleh melalui pendekatan wawancara dengan informan, wawancara

mendalam dengan informan kunci, observasi dan pengukuran langsung di lapangan serta

Focus Group Discussion (FGD) dengan stakeholders. Pengumpulan data untuk menyusun

design agroforestri berbasis jelutung rawa menggunakan metode diagnosis & design (metode

D&D). Metode ini digunakan untuk mengungkap permasalahan penggunaan lahan serta

untuk menyusun rancangan pemecahannya dalam sistem agroforestri. Tahapan D&D untuk

agroforestri mengikuti Raintree, 1990.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pola Pengembangan Jelutung Rawa dengan Sistem Agroforestri

Pola agroforestri yang telah dikembangkan oleh petani lokal di lahan gambut

mempunyai karakteristik yang spesifik (khas). Pola yang telah dikembangkan oleh petani

tersebut dapat dijadikan sebagai dasar untuk melakukan perbaikan lebih lanjut. Aspek penting

budidaya jelutung rawa dengan sistem agroforestri di lahan gambut dangkal (ketebalan

gambut 50-100 cm) oleh petani lokal yang perlu diperhatikan meliputi: penyiapan lahan,

pengelolaan kesuburan tanah, pengelolaan air dan pola tanam. Tabel 1 menjelaskan pola

agroforestri yang telah berkembang di lahan gambut dangkal.

4

Tabel 1 Pola agroforestri yang telah berkembang di lahan gambut tipis (dangkal)

Pola Agroforestri Deskripsi Singkat (Susunan Komponen) Komponen Utama

Alley cropping dengan

teknik gundukan

(tongkongan).

Tanaman padi ditanam pada lorong yang terbentuk dari baris

tanaman pohon yang ditanam dengan teknik gundukan

(tongkongan).

Pohon: karet, jelutung.

Tanaman semusim: padi

lokal/tahun.

Alley cropping dengan

teknik surjan.

Lahan dibagi menjadi tabukan yang ditanami padi lokal (padi

tahun) dan bagian guludan yang ditanami tanaman keras

(karet dan atau jelutung).

Pohon: karet, jelutung.

Tanaman semusim: padi

lokal (tahun).

Agrosilvofishery dengan

teknik surjan.

Lahan dibagi menjadi tabukan yang berfungsi sebagai kolam

ikan peliharaan maupun beje (kolam perangkap ikan) dan

bagian guludan yang ditanami tanaman keras (jelutung,

durian, gaharu, karet dan mangga kueni) serta tanaman buah-

buahan (salak pondoh).

Pohon: karet, jelutung,

gaharu, mangga kueni, dan

durian.

Tanaman buah-buahan:

salak pondoh. Kolam ikan

dan beje.

Gambar 1 menampilkan profil pola agroforestri jelutung rawa yang telah berkembang

di lahan gambut tipis.

Gambar 1 Sistem agroforestri di lahan gambut tipis.

Aspek-aspek penting budidaya jelutung rawa dengan sistem agroforestri di lahan

gambut dalam (ketebalan gambut 200-300 cm) meliputi penyiapan lahan, penanaman,

pengelolaan kesuburan tanah, pengelolaan air dan pola tanam. Tabel 2 menjelaskan pola

agroforestri yang telah berkembang di lahan gambut dalam (tebal).

5

Tabel 2 Pola agroforestri yang telah berkembang di lahan gambut dalam (tebal)

Pola Agroforestri Deskripsi Singkat (Susunan Komponen) Komponen Utama

Mixed cropping dengan

teknik petak berparit.

Lahan budidaya dikelilingi parit drainase dengan ukuran

50 cm – 100 cm untuk lebar dan kedalamannya. Tanaman

yang ditanam adalah rambutan dan jelutung rawa yang

ditanam per jalur secara selang-seling. Jarak tanam

rambutan dan jelutung 7 m x 7 m. Nenas ditanam

disekeliling parit drainase.

Pohon: jelutung rawa dan

rambutan. Tanaman

semusim nenas.

Alley cropping dengan

teknik petak berparit.

Lahan dibagi kedalam petak-petak yang dibatasi parit.

Petak dengan luas lebih sempit untuk pohon sedangkan

yang lebih luas untuk tanaman pangan.

Pohon: jelutung rawa.

Tanaman semusim: sayur-

sayuran (jagung, sawi,

kacang panjang, daun

bawang, dll).

Gambar 2 menampilkan profil pola agroforestri jelutung rawa yang telah berkembang

di lahan gambut tebal.

Gambar 2 Sistem agroforestri di lahan gambut tebal. Mixedcropping (kiri) dan

alleycropping (kanan).

Pengembangan jenis jelutung dengan sistem agroforestri untuk memulihkan lahan

gambut terdegradasi di Provinsi Kalimantan Tengah, diprioritaskan pada lahan gambut yang

telah dikonversi tetapi kurang sesuai untuk tanaman pertanian dan perkebunan.

Pengembangannya berdasarkan sistem agroforestri yang telah dikembangkan oleh petani

lokal, dapat dilakukan dengan menggunakan teknik wanatani (agroforestri), wanamina

(silvofishery), wanaternak (silvopasture), maupun kombinasinya, yakni tanaman semusim-

pohon-ternak (agrosilvopasture) atau tanaman semusim-pohon-ikan (agrosilvofishery)

tergantung dari sumberdaya dominan yang terdapat di lokasi pengembangan. Penerapan

teknik agroforestri pada pengembangan jenis jelutung rawa dimaksudkan untuk diversifikasi

komoditi, usaha dan pendapatan sehingga akan dapat meningkatkan minat petani untuk

membudidayakan jelutung rawa yang berjangka panjang. Pengembangan jelutung rawa

dengan sistem agroforestri harus melalui suatu kegiatan diagnostik untuk melihat kebutuhan

masyarakat dan designing untuk memolakan pertanamannya melalui partisipasi aktif agar

6

bisa dipraktekkan oleh petani setempat. Berdasarkan sistem agroforestri yang telah

dikembangkan oleh petani lokal maka dapat dibuat pola-pola pengembangan jelutung rawa

dengan sistem agroforestri di lahan gambut seperti tercantum pada Tabel berikut.

Tabel 3 Sistem silvopastoral dan agrisilvopastoral berbasis jelutung rawa yang dapat

diaplikasikan untuk merehabilitasi lahan gambut

Pola

Agroforestri

Deskripsi singkat

(susunan komponen)

Komponen

Utama

Kesesuaian

Agro-ekologis

Sistem Silvopastoral

1. Jelutung pada ranch atau

padang rumput.

Jelutung rawa tersebar tidak teratur

atau tersusun dengan sebaran tertentu.

Jelutung rawa dan

tanaman HMT

Daerah penggembalaan yang

ekstensif.

Sistem Agrisilvopastoral

1. Apikultur dengan pohon-

pohonan

Jelutung rawa, galam, karet,

rambutan untuk sumber tepungsari bagi lebah madu

Jelutung rawa, galam,

karet, rambutan, jagung dan lebah

madu

Tergantung kepada

kesesuaian dari apikultur.

2. Aquaforestri atau Agrosilvofishery

Jelutung rawa ditanam ditepi kolam ikan.

Jelutung rawa dan tanaman yang disukai

ikan.

Lahan gambut dengan kualitas air yang sesuai

dengan ikan.

Tabel 4 Sistem agrisilvikultur berbasis jelutung rawa yang dapat diaplikasikan untuk

merehabilitasi lahan gambut

Pola

Agroforestri

Deskripsi singkat

(susunan komponen)

Komponen

Utama

Kesesuaian

Agro-ekologis

1. Pengayaan lahan

bekas perladangan

jelutung rawa dan karet ditanam

agar tumbuh pada fallow phase.

jelutung rawa, karet dan

padi tahun.

Pada lahan perladangan

berpindah.

2. Tumpangsari Pencampuran tegakan dengan

tanaman pertanian pada awal

pertanaman.

jelutung rawa, karet,

pisang dan padi tahun.

Pada pola suksesi dari

pertanaman padi menjadi

perkebunan.

3. Alley cropping Jelutung sebagai pagar, tanaman

pertanian diantaranya, susunan

baris

jelutung rawa,

rambutan, pisang, karet,

ketela pohon, tanaman

sayuran dan padi tahun.

Lahan gambut dengan

tekanan populasi

penduduk (produktif tapi

rentan).

4. Multilayer tree

garden

Multi species, kelompok tanaman

dengan tajuk rapat tanpa susunan

yang jelas.

Jelutung rawa, karet,

durian, pisang,

rambutan dan tanaman

semusim tahan

naungan.

Lahan gambut subur,

murah tenaga kerja dan

tekanan penduduk besar.

5. Tanaman

serbaguna pada

lahan pertanian.

Jelutung rawa tersebar sembarangan

atau tanaman batas lahan dan teras.

Jelutung, karet, tanaman

buah, HMT dan

tanaman pertanian pada

umumnya.

Pada daerah pertanian

subsisten dan ternak.

6. Pekarangan

(Home garden)

Rapat, kombinasi multi tajuk:

jelutung dan tanaman pertanian di

sekitar temapt tinggal.

Jelutung, tanaman

merambat, dan tanaman

pertanian tahan

naunggan.

Lahan gambut dengan

populasi penduduk padat.

7. Jelutung untuk

konservasi dan

reklamasi tanah

Jelutung, karet pada tepi teras,

pelindung dll. Dengan atau tanpa

baris rumput, tanaman kayu pada

reklamasi tanah.

Jelutung rawa, karet dan

tanaman pertanian pada

umumnya.

Pada lahan gambut tebal

yang terlanjur dikonversi

menjadi lahan pertanian.

8. Plantations crop

combinations.

a. Penggabungan multitajuk

(campuran, rapat), pencampuran

tanaman pertanian.

b. Pencampuran tanaman pertanian

dengan pola berseling atau

susuann teratur yang lain.

Jelutung rawa, karet,

rambutan, dan tanaman

semusim tahan

naunggan.

Pada pertanian subsisten

dengan lahan yang

terbatas.

7

c. Pohon peneduh yang tersebar

untuk tanaman pertanian.

d. Intercropping dengan tanaman

pertanian.

9. Selterbelts,

windbreaks, pagar

hidup.

Jelutung rawa pada sekeliling lahan

pertanian.

Jelutung rawa dan

tanaman pertanian

setempat.

Pada daerah yang

berangin.

Performansi Pertumbuhan Jelutung Rawa

Tabel 5 menyajikan data rata-rata diameter batang, tinggi batang, riap pertumbuhan

diameter batang dan riap tinggi batang jelutung rawa pada berbagai tipologi lahan gambut

dan pola tanam.

Tabel 5 Performansi pertumbuhan jelutung rawa pada berbagai tipologi lahan gambut dan

sistem agroforestri di Provinsi Kalimantan Tengah Lokasi, Tipologi Lahan dan Pola Tanam Umur

(tahun)

Performansi Pertumbuhan Jelutung (cm)

Rata-rata

Diameter

Riap

DB/th

Rata-rata

Tinggi

Riap

Tinggi/th

Kelurahan Kalampangan, lahan gambut dalam,

alleycropping I dengan teknik petak berparit

6,00 10,39 1,73 617,13 102,86

Kelurahan Kalampangan, lahan gambut dalam,

alleycropping II dengan teknik petak berparit

5,25 8,69 1,66 454,38 86,55

Desa Tumbang Nusa, lahan gambut dalam, mixcropping

dengan teknik petak berparit.

5,30 10,11 1,96 626,70 116,03

Desa Jabiren, lahan gambut dangkal, mixcropping dengan

teknik surjan

5,25 10,11 1,92 671,70 127,94

Desa Mentaren II, lahan gambut dangkal sulfat masam,

agrosilvofishery teknik surjan.

6,50 11,03 1,60 800,60 120,00

Desa Mentaren II, lahan gambut dangkal sulfat masam,

alleycropping teknik surjan.

6,50 13,98 2,15 716,18 110,18

Desa Mentaren II, lahan gambut dangkal sulfat masam,

mixcropping teknik surjan

6,50 10,15 1,56 581,58 89,47

Rata-rata 5,9 10,64 1,80 638,32 107,58

Data pada Tabel 5 menunjukkan bahwa riap tinggi tanaman jelutung rawa yang

ditanam dengan sistem agroforestri pada berbagai tipologi lahan gambut adalah 86,55 –

127,94 cm per tahun, sedangkan riap diameternya adalah 1,56 – 2,15 cm per tahun. Hal ini

jika dibandingkan dengan pertumbuhan jelutung rawa pada kondisi alaminya di Pulau

Sumatra, riap diameter jelutung rawa berkisar antara 1,5 - 2,0 cm/tahun (Bastoni dan Riyanto,

1999). Sedangkan pada jelutung rawa yang dibudidayakan dengan pemeliharaan semi intensif

di Pulau Sumatra dapat diperoleh riap diameter 2,0 - 2,5 cm/tahun (Bastoni, 2001). Hasil

pengukuran pertumbuhan jelutung yang dilakukan oleh Balittaman Palembang pada tahun

2001 menunjukkan pada umur 9 tahun, riap tinggi berkisar 164 - 175 cm/tahun, dan riap

diameter berkisar antara 2,18 - 2,38 cm/tahun (Bastoni, 2001). Hasil riap pertumbuhan

jelutung rawa di Pulau Sumatra yang lebih tinggi dari pertumbuhan jelutung rawa yang

dibudidayakan dengan sistem agroforestri pada penelitian ini disebabkan karena lahan

8

gambut yang lebih subur. Hasil penelitian Indrayatie dan Suyanto (2009) menunjukkan

bahwa pada aspek topografis, jelutung rawa menyukai bentuk lahan dataran, artinya wilayah

yang memiliki air tanah dangkal, baik yang terendam secara permanen maupun musiman,

elevasi dataran rendah (< 100 m dpl.), hidup ditempat terbuka tanpa naungan maupun

berasosiasi dengan vegetasi lain. Pada aspek edafis, jelutung rawa dapat hidup pada tanah

mineral (alluvial) maupun tanah organik. Kondisi ini dipresentasikan untuk daerah subsistem

alluvio - marine seperti daerah rawa (swamp), paya pasang surut (marsh), delta, tidal flat;

daerah alluvial sub sistem seperti daerah banjir (flood plain), jalur meander (meander belt);

daerah alluvio – colluvial sub sistem seperti daerah cekungan terisolasi (isolated miniplain);

daerah closed alluvial sub sistem seperti daerah rawa tanpa pengaruh air laut (swamp or

marsh without marine influence).

Konsepsi Kelembagaan Pengembangan Agroforestri Berbasis Jelutung Rawa

Strategi yang dilakukan untuk pengembangan sistem agroforestri berbasis jelutung

rawa untuk memproduktifrkan lahan gambut mencakup dua hal, yakni: (a) membangun

kelompok tani pengembang sistem agroforestri berkategori kelompok produktif dan (b)

membangun kelembagaan pengembangan komoditas getah jelutung dengan Sistem

Kebersamaan Ekonomi (SKE) berdasarkan manajemen kemitraan. Pendekatan yang

dilakukan untuk pengembangan sistem agroforestri berbasis jelutung rawa di lahan gambut

berprinsip pada 2 aspek berikut. Pertama, pemberdayaan melalui pembangunan kapasitas.

Kedua, mendukung perencanaan dan peningkatan matapencaharian (livelihood). Penyusunan

konsepsi pelibatan petani lokal dalam pengembangan sistem agroforestri di lahan gambut

dilakukan dengan konsep pendekatan pemberdayaan petani lokal. Hal ini dilakukan melalui

pembangunan kapasitas petani lokal yang mendukung perencanaan dan peningkatan

matapencaharian. Proses konsep tersebut dijelaskan pada Gambar 3.

9

Gambar 3 Proses perencanaan pengembangan agroforestri di lahan gambut

Uraian berikut menjelaskan proses perencanaan pengembangan agroforestri di lahan

gambut.

a. Pengkajian Desa Partisipatif (PRA)

Tujuan utama dari PRA dalam pengembangan agroforestri di lahan gambut adalah

untuk menyusun rencana program tersebut di tingkat desa yang memenuhi persyaratan: dapat

diterima petani lokal, secara ekonomi menguntungkan dan berdampak positif bagi

lingkungan. Metode ini dilakukan dengan memobilisasi sumberdaya petani dan alam

setempat, serta lembaga lokal untuk mempercepat peningkatan produktivitas, menstabilkan

dan meningkatkan pendapatan masyarakat serta melestarikan sumberdaya alam setempat

(Daniel, et al., 2005). Pendekatan partisipatif dalam kegiatan ini akan memberikan

keuntungan, antara lain: petani peserta program akan lebih energik, lebih komit dan lebih

bertanggung jawab. Agar terjadi pemberdayaan petani lokal dalam kegiatan tersebut maka

perlu adanya dukungan bagi petani lokal untuk mengemukakan pendapatnya, berbagi

pengetahuan dan pengalaman, mengkaji dan menyusun rencana, menciptakan kondisi yang

kondusif dan berfocus pada proses dengan tidak meninggalkan isi proses. Esensi pendekatan

partisipatif adalah seperti puisi karya pujangga klasik Cina, Lao Tzu, berikut.

Datanglah ke desa, tinggallah bersama petani lokal,

Pahami mereka, pahami kebutuhan dan aspirasi mereka,

Ikutlah senang dan sedih bersama mereka,

Tunjukkan cara-cara berorganisasi kepada mereka,

Mulailah dengan apa yang mereka ketahui,

Membangunlah dengan apa yang mereka miliki,

Tingkatkan keterampilan mereka,

Bekerja sambil belajar,

Bimbinglah dengan peragaan dan contoh

10

b. Kelompok Kerja Desa (KKD)

Kelompok Kerja Desa (KKD) merupakan lembaga yang terdiri atas kelompok

peminat program, tenaga ahli lokal, LSM Pendamping dan perangkat pemerintahan desa.

Lembaga ini berfungsi untuk memfasilitasi, melatih, mendampingi dan mengasistensi

individu petani peminat program (kepala rumah tangga peminat program).

c. Perencanaan Rumah Tangga

Ujung tombak keberhasilan pengembangan agroforestri untuk RHL di lahan gambut

adalah individu petani (kepala rumah tangga peminat program). Oleh karena itu, pelaksanaan

kegiatan tersebut perlu memperhatikan aspirasi individu petani, utamanya dalam preferensi

jenis pohon yang akan ditanam dan pola tanam yang akan digunakan. Perencanaan

pengembangan agroforestri untuk memproduktifkan lahan gambut tingkat rumah tangga

merupakan mekanisme pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) yang bottom-up.

d. Konsolidasi

Konsolidasi merupakan tahapan setelah masing-masing individu petani (kepala rumah

tangga peminat program) menyelesaikan usulannya, dan usulan tersebut telah dibahas oleh

kelompok kerja desa (KKD). Selanjutnya KKD akan mengajukan hasil pembahasan kepada

pemerintah. Implementasi pengembangan agroforestri untuk RHL partisipatif di lahan

gambut dilakukan dengan metode seperti tersaji pada Gambar 4.

Gambar 4 Aksi pengembangan agroforestri di lahan gambut

Uraian berikut menjelaskan proses Aksi pengembangan agroforestri di lahan gambut.

a. Kelompok Peminat Program

Lokasi lahan tempat pengembangan agroforestri lahan gambut di tingkat desa ditentukan

bukan berdasarkan pola hamparan tetapi berdasarkan pada petani peminat program. Petani

2.

Tenaga Ahli

Lokal

4.

Implementasi Aksi Pengembangan

agroforestri di lahan

gambut

1.Kelompok Peminat

Program

3. Kontrak

11

yang berminat mendaftarkan dirinya sebagai petani peserta program yang selanjutnya

bergabung dalam kelompok peminat program.

b. Tenaga Ahli Lokal

Bagi petani di desa, faktor tokoh panutan mempunyai pengaruh besar pada cara pandang dan

cara tindak mereka. Secara umum, petani di desa mencirikan masyarakat yang paternalistik,

dimana faktor karakter tokoh desa akan banyak mempengaruhi dinamika kehidupan mereka

(Pranadji, 2003). Lebih lanjut Pranadji (2003) menjelaskan bahwa ciri paternalistik petani

lokal di pedesaan dapat dipandang sebagai potensi kelembagaan petani di pedesaan untuk

dijadikan energi bagi kemajuan perekonomian (dalam hal ini keberhasilan pengembangan

agroforestri untuk RHL di lahan gambut).

c. Kontrak

Kontrak kerja didasarkan pada kesepakatan musyawarah yang dituangkan dalam surat

kesepakatan bermaterai. Hal ini dimaksudkan agar kesepakatan tersebut mengikat kepada

semua pihak yang terlibat dalam penyusunan kesepakatan tersebut.

d. Implementasi

Langkah selanjutnya adalah implementasi semua hal yang telah disepakati dalam kontrak

kerja. Pada aspek implementasi faktor keberlanjutan merupakan hal yang pokok.

Keberlanjutan dapat tercipta jika kondisi berikut terpenuhi, yakni: (a) pelatihan bagi petani

peminat program untuk memfasilitasi dan melatih petani yang lainnya; (b) dukungan

keuangan dan teknis membangun kapasitas; (c) mempercepat dan mendukung terbentuknya

institusi lokal yang kuat; (d) pelaksanaan program berprinsip: petani lokal yang memutuskan,

memilih dan mengelola; (e) jaringan kerja antar desa-desa (antar kelompok kerja desa/KKD);

dan (f) desentralisasi budget dan sumberdaya.

Inti dari pembentukan partisipasi petani lokal pada pengembangan agroforestri untuk

kegiatan RHL di lahan gambut adalah bagaimana para pihak pemangku kepentingan

(stakeholders) mampu membangun komunikasi yang sehat dengan mengedepankan nilai-nilai

persamaan hak, kesetaraan, bertanggungjawab, saling menghormati dan menghargai. Selain

itu, Lokasi pengembangan agroforestri untuk RHL di lahan gambut seharusnya ditentukan

berdasarkan pada petani peminat bukan hamparan lahan dengan alasan sebagai berikut.

Individu petani peminat program (kelompok pehobi) masing-masing telah mempunyai

kesadaran (awareness), ketertarikan (interest), keinginan yang kuat (desire) dan kemampuan

untuk bertindak (action) dalam mensukseskaan kegiatan RHL. Keempat sikap positif tersebut

(AIDA) sangat penting dalam pelaksanaan RHL partisipatif.

12

Kesadaran (awareness) petani muncul didasari oleh beberapa hal mendasar berikut.

Pertama, kesadaran petani untuk menghindari terjadinya kerusakan lingkungan seperti erosi,

banjir dan bencana ekologis lainnya. Kedua, kesadaran petani bahwa menanam pohon dapat

menjadi tabungan di hari tua dan anak cucu. Ketiga, kesadaran petani bahwa hutan yang

cenderung semakin berkurang luasannya dan semakin jauh dari pemukiman menyebabkan

mereka akan kesulitan memperoleh kayu baik untuk kebutuhan sendiri maupun untuk dijual.

Keempat, kesadaran petani bahwa penanaman pohon mempunyai peranan menjaga kesuburan

lahan gambut. Sistem perladangan berpindah merupakan bukti nyata peranan pohon dalam

mengembalikan kesuburan tanah.

Ketertarikan (interest) petani untuk berpartisipasi selain ditentukan oleh faktor

internal juga faktor eksternal utamanya pola insentif yang ditawarkan. Dengan karakteristik

petani yang marjinal (subsisten) maka tawaran hasil yang besar merupakan salah satu faktor

pemacu yang sangat memotivasi petani lokal mengembangan agroforestri di lahan gambut.

Keinginan yang kuat (desire) untuk memproduktifkan lahan gambutnya selanjutnya

mendorong petani untuk melakukan aksi (action) untuk mengembangkan agroforestri sesuai

dengan minat dan kebutuhannya. Pemberdayaan petani yang dilakukan harus mencakup lima

aspek pengembangan, yakni: sumberdaya manusia (SDM), organisasi, budidaya (teknis

usaha), keuangan/ekonomi dan kemitraan. Pola pembinaan dan pengembangan seperti

tersebut di atas diharapkan mampu meningkatkan pendapatan dan taraf hidup petani serta

mampu mendorong perekonomian petani lokal kearah yang lebih maju.

Kesejahteraan petani lokal dapat terwujud jika empat faktor berikut terpenuhi, yakni:

(1) produktivitas kebun yang setinggi-tingginya, (2) kualitas produksi yang sebaik-baiknya,

(3) adanya diversifikasi usaha baik horizontal maupun vertikal, dan (4) adanya mitra usaha

yang menangani aspek pengolahan, pemasaran dan keuangan. Keempat faktor tersebut dapat

terwujud, bila persyaratan berikut terpenuhi. Pertama, sumberdaya petani yang profesional.

Kedua, kebersamaan, kekompakan dan keharmonisan seluruh petani (warga desa). Ketiga,

kelembagaan petani yang kuat dan berfungsi melayani kebutuhan petani yang didukung oleh

sistem keuangan yang transparan. Inti dari kegiatan pemberdayaan petani adalah

mengakumulasikan potensi yang dimiliki individu petani (pendekatan dari bawah) untuk

digunakan secara maksimal mewujudkan kesejahteraan mereka.

Dalam konteks pelibatan petani lokal dalam pengembangan agroforestri untuk RHL di

lahan gambut, desain program seharusnya tidak hanya sekedar mengatur aspek teknis, tetapi

juga desain program kegiatan yang dapat menjamin kelestarian pemanfaatan sumberdaya

hutan secara ekologis dan sosial ekonomi, yaitu hutan tetap lestari dan petani lokal sejahtera.

13

Oleh karena itu, penetapan tujuan kegiatan dilakukan untuk mendesain program dengan

tujuan dan kegiatan yang menjamin tingkat kelestarian yang tinggi dari penggunaan

sumberdaya lahan gambut dan petani lokal dengan penekanan pada keterlibatan dan peran

serta petani lokal secara aktif.

Keterlibatan dan peran serta petani lokal dalam kegiatan RHL akan sangat tergantung

dari sejauhmana petani lokal merasa dan menerima tanggung jawab terhadap pengelolaan

sumberdaya, yaitu seperti dalam bentuk kesempatan untuk mengontrol dan mengawasi

sumberdaya, dimilikinya bentuk tugas dan kewajiban yang jelas, adanya hak yang jelas,

pengetahuan dan kemampuan yang memadai untuk melakukan kontrol tersebut dan

diperolehnya imbalan yang memadai untuk melakukan kontrol tersebut dan diperolehnya

imbalan yang memadai (Gueye dan Laban, 1990). Uraian berikut menjelaskan tentang kaitan

antara hak, kompetensi (kemampuan), manfaat dan kelembagaan (organisasi) petani lokal

yang kuat sebagai prasyarat penting untuk menjamin peran serta dan tumbuhnya

tanggungjawab dalam pengembangan agroforestri untuk kegiatan RHL di lahan gambut.

a. Kepentingan/Manfaat Ekonomi

Masyarakat akan terlibat dalam kegiatan RHL hanya apabila mereka melihat secara

jelas manfaatnya baik intangible maupun tangible berupa hasil fisik, jasanya ataupun dalam

bentuk penerimaan. Mereka akan membuat perkiraan biaya-manfaat (untung rugi) baik untuk

kepentingan jangka pendek maupun jangka panjang dalam kontek tujuan ekologis maupun

sosial ekonomi. Karenanya pembangunan dan pengembangan hutan rakyat harus

mempertimbangkan kepentingan ganda (multiple interest) yang dapat dinikmati petani lokal.

Apabila kepentingan ekonomi pembangunan hutan rakyat tidak cukup memadai seperti yang

mereka perkirakan, maka dapat menyebabkan mereka kurang termotivasi mengorbankan

waktu, tenaga ataupun dananya untuk melakukan kegiatan tersebut. Penerimaan finansial dari

pola agroforestri yang dikembangkan erat sekali hubungannya dengan rasa memiliki terhadap

keberadaan jenis tanaman yang ditanamnya.

b. Kompetensi/Kapasitas

Masyarakat akan termotivasi untuk terlibat dalam pengembangan agroforestri untuk

RHL di lahan gambut hanya apabila memiliki kompetensi (pengetahuan atau teknologi)

untuk mengerjakan kegiatan tersebut. Pengetahuan yang dimaksud dapat berupa kemampuan

analisis untuk melihat situasi dan kondisi aktual (saat ini) dan potensi dimasa depan ataupun

kemampuan untuk melakukan pilihan terbaik dari beragam aktivitas beserta dampaknya. Hal

ini berkaitan dengan pengorganisasian dan pengelolaan aktivitas tersebut. Kompetensi untuk

melakukan pengelolaan tanaman RHL seharusnya didasarkan pada pengetahuan setempat dan

14

dapat diadaptasikan ke kondisi lingkungan yang berubah sebagai tujuan atau sasaran yang

diinginkan. Kompetensi ini dapat dilakukan melalui pelatihan atau bentuk pendidikan

lainnya.

c. Wewenang dan Hak

Apabila dipandang tidak ada jaminan berupa kewenangan dan hak yang mereka dapat

peroleh dari aktivitas yang mereka lakukan, dapat dipastikan mereka akan ragu bahkan

meninggalkan aktivitas tersebut dan beralih ke aktivitas lain yang lebih memberikan jaminan

hasilnya. Pada beberapa kasus terkadang sistem kewenangan dan hak tradisional sedang

dalam proses disintegrasi dimana perlahan tergantikan oleh ketentuan formal yang hanya

memberikan sedikit keleluasaan bagi berkembangnya kewenangan dan hak setempat.

Kewenangan dan hak akan hasil, akses dan hak kepemilikan individu ataupun kolektif

sebaiknya dibuat secara eksplisit dalam kerangka ketentuan formal, misalnya dalam bentuk

peraturan pemerintah atau perundangan lainnya.

d. Organisasi Lokal yang Kuat

Organisasi lokal yang kuat sebaiknya juga diikuti pada tingkat individu. Untuk

meningkatkan pengakuan bahwa individu-individu petani pengembang agroforestri dalam

organisasi lokal memiliki kapasitas/kompetisi, sebaiknya kepentingan-kepentingan individu

tersebut di dukung oleh organisasi lokal yang kuat. Pengelolaan agroforestri yang

dikembangkan mendapat dukungan peran serta dan tanggung jawab petani ditingkat lokal

apabila pada tingkat tersebut dipenuhi empat prakondisi yaitu adanya jaminan hak,

dimilikinya pengetahuan/kompetensi, ada jaminan manfaat dan adanya kelembagan lokal

yang kuat.

Sedangkan di tingkat nasional, berjalannya secara efektif instrumen kebijakan yang

terdiri dari peraturan yang menjamin adanya hak, training/pelatihan dan penelitian yang

terus-menerus dan ditetapkan adanya insentif. Apabila dicermati, dalam proses

pengembangan agroforestri, petani lokal sebagai pelaku utama memiliki tanggungjawab yang

besar yaitu melestarikan fungsi hutan, namun pada saat yang sama mereka juga dituntut

untuk mampu meningkatkan kesejahteraan mereka sendiri. Padahal, tingkat kelestarian fungsi

hutan dan tingkat kesejahteraan masyarakat akan memiliki ciri-ciri spesifiknya masing-

masing. Sebagai pelaku atau pengelolaan tanaman RHL, petani lokal harus mengenal ciri-ciri

fungsi hutan yang lestari tersebut, bagaimana kriteria dan indikatornya. Begitu halnya,

kriteria dan indikator petani lokal yang sejahtera perlu dikenali dan diusahakan oleh para

pihak (stakeholders) yang terlibat dalam kegiatan RHL partisipatif. Dalam upaya

mewujudkan kesejahteraan petani lokal tersebut perlu adanya kemitraan. Kata kemitraan

15

berasal dari kata "mitra" yang berarti teman. Kata teman ini mengajak kita mempersepsikan

hubugan antar personal yang berkelanjutan dan selalu menghasilkan hal yang baik/positif,

sedangkan lawan dari kata teman adalah musuh yang dapat diartikan hubungan antar

makhluk yang terputus dan menghasilkan efek yang negatif. Dasar pemikiran yang perlu kita

pahami sebenarnya adalah perlunya landasan keikhlasan antara kedua pihak untuk menjalin

hubungan kemitraan tersebut. Apabila tidak ada keikhlasan atau kerelaan, maka sebenarnya

hubungan kemitraan tersebut diragukan kekuatan dan ketahanannya. Hubungan kemitraan

yang dilandasai dengan keikhlasan, akan menjadi hubungan kemitraan yang kuat. Kerelaan

atau keikhlasan dalam menjalin hubungan kemitraan akan memotivasi kita memahami,

mengerti dan mencoba mengadaptasi diri sendiri dengan orang lain (teman) sehingga kita

cenderung selalu membuat suasana yang ramah, baik dan kondusif. Kerjasama tersebut

tercipta karena pihak mitra melihat bahwa dengan adanya kebersamaan dalam masyarakat

peluang-peluang usaha akan muncul dengan nilai efisiensi tinggi. Sebagai contoh apabila

produksi dipasarkan secara kolektif, maka kontinyuitas produksi akan tercapai dan pemasaran

akan menguntungkan. Sementara itu dengan kebersamaan pola pikir (motivasi memperbaiki

hidup), kualitas produksi akan meningkat dengan adanya kebersamaan motivasi untuk

mempertinggi nilai tawar (bargaining position). Namun demikian, perlu disadari bahwa pada

hubungan kemitraan yang kuat sekalipun, resiko hubungan kemitraan tersebut lambat laun

akan hilang dapat saja terjadi.

Degradasi hubungan kemitraan dapat disebabkan karena adanya eliminasi sikap saling

yang makin lama semakin diragukan oleh masing-masing pihak yang bermitra. Apalagi

dalam kemitraan usaha dimana setiap pihak sudah meragukan komitmen pihak yang lain

dalam bermitra. Untuk menghindari hal tersebut maka diperlukan sistem yang menjamin

bahwa setiap pihak tetap mendapatkan keuntungan materiil maupun moril secara adil. Sistem

tersebut disebut dengan Sistem kebersamaan ekonomi (SKE). Sistem kebersamaan ekonomi

(SKE) adalah suatu sistem yang mengembangkan pola usaha yang bertujuan memperoleh

laba (profit oriented) dengan menggunakan pendekatan kebersamaan. Pendekatan ini

diperlukan untuk memperkuat rasa kebersamaan masing-masing pihak karena kebersamaan

yang paling kuat apabila kebersamaan tersebut dapat mengakomodir kepentingan ekonomi

masing-masing pihak. Tanpa ada keuntungan ekonomis yang dirasakan oleh masing-masing

pihak, maka kebersamaan tersebut bukan merupakan kebersamaan yang produktif dan tidak

bertahan lama.

Dalam pengembangan agroforestri untuk RHL di lahan gambut kedepan kiranya perlu

dirancang pola insentif yang memenuhi syarat sebagai berikut. Pertama, menarik minat

16

petani untuk berpartisipasi secara aktif. Kedua, mampu meningkatkan kesejahteraan petani

melalui pemberdayaan potensi yang dimiliki masing-masing individu petani dan

kelompoknya. Insentif kegiatan RHL selama ini lebih banyak didasari oleh keinginan petani

lokal untuk mendapatkan “upah”. Hal ini berakibat, partisipasi petani lokal lebih dilandasi

kepentingan memperoleh keuntungan materi yang bersifat sesaat, sehingga setelah kegiatan

tidak lagi dibiayai oleh proyek (pemerintah) maka kondisi tanaman menjadi kurang terawat.

Hal ini berakibat pada rendahnya keberhasilan tanaman RHL.

Memperhatikan hal tersebut maka untuk menarik minat petani berpartisipasi dalam

kegiatan RHL perlu melakukan upaya berikut. Pertama, lahan lokasi pengembangan

agroforestri di lahan milik tidak harus berupa satu hamparan, tetapi letak lahan bisa saja tidak

dalam satu hamparan tergantung pada kepemilikan lahan oleh petani peminat program.

Kedua, insentif kegiatan pengembangan agroforestri dapat berupa peminjaman uang untuk

modal kerja usaha produktif seperti perbengkelan, peternakan (ayam, itik, kambing, sapi,

dll.), warung makan, penjahit pakaian, dan usaha produktif lainnya. Kesepakatan ini

disepakati secara bersama-sama oleh pemerintah dan petani peserta program di atas surat

kesepakatan (MoU) bermeterai. Ketiga, insentif kegiatan RHL dapat berupa pemberian beras

(food for work) untuk petani peserta program yang jumlah ditentukan per bulan. Jumlah beras

yang diterima per bulan dan jangka waktu pemberian beras tersebut ditentukan berdasarkan

luasan lahan dan jumlah batang pohon per ha yang ditanam oleh petani. Kesepakatan ini

disepakati secara bersama-sama oleh pemerintah dan petani peserta program di atas surat

kesepakatan (MoU) bermeterai. Keempat, insentif berupa upah langsung sebaiknya dilakukan

dengan mekanisme “beli tanaman tumbuh”. Pada pola ini, mekanisme pemberian upah

dilakukan secara periodik (misalnya per 3 bulan atau per 6 bulan sesuai pertumbuhan

tanaman). Besarnya upah yang diterima petani peserta ditentukan berdasarkan banyaknya

jumlah tanaman yang ditanam yang hidup atau tumbuh. Luas lahan yang ditanami atau

jumlah pohon per ha yang ditanam merupakan hasil kesepakatan atau musyawarah dengan

petani peminat program. Kesepakatan ini disepakati secara bersama-sama oleh pemerintah

dan petani peserta program di atas surat kesepakatan (MoU) bermeterai.

Selain itu, mengingat kondisi ekologi lahan gambut maka praktek pertanian

seharusnya mengacu pada bentuk-bentuk pertanian sebagai berikut: (1) praktek pertanian

yang dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lokal yang ada dengan

mengkombinasikan berbagai macam komponen sistem usahatani, yaitu tanaman, hewan,

tanah, air, iklim dan manusia sehingga saling melengkapi dan memberikan efek sinergi yang

paling besar; (2) praktek pertanian yang dapat mencari cara pemanfaatan input luar hanya

17

bila diperlukan untuk melengkapi unsur-unsur yang kurang dalam ekosistem dan

meningkatkan sumberdaya biologi, fisik dan manusia. Dalam memanfaatkan input luar,

perhatian utama diberikan pada maksimalisasi daur ulang dan minimalisasi kerusakan

lingkungan; (3) praktek pertanian yang tidak bertujuan untuk memaksimalkan produksi

dalam jangka pendek, namun untuk mencapai tingkat produksi yang stabil dan memadai

dalam jangka panjang.

Memperhatikan kondisi petani maka teknologi yang diaplikasikan dalam

pengembangan agroforestri untuk kegiatan RHL di lahan gambut harus berprinsip berikut: (a)

pemahaman akan kebutuhan dan aspirasi petani lokal, (b) fasilitasi/pendampingan tentang

cara-cara berorganisasi kepada petani lokal, (c) paket teknologi yang akan dikembangkan

harus dimulai dari apa yang mereka ketahui, (d) kegiatan dibangun atas dasar apa yang

mereka miliki (potensi SDA dan SDM setempat), (e) asistensi peningkatan kapasitas dan

keterampilan mereka, (f) bekerja sambil belajar, (g) membimbing dengan peragaan dan

contoh.

KESIMPULAN

1. Pola-pola agroforestri berbasis jenis jelutung yang telah dikembangkan oleh petani

setempat dapat diadopsi untuk menunjang keberhasilah RHL di lahan gambut.

2. Performansi pertumbuhan jelutung rawa untuk riap tinggi berkisar antara 86,55 – 127,94

cm per tahun, untuk riap diameter berkisar antara 1,56 – 2,15 cm per tahun.

3. Pengembangan agroforestri berbasis jelutung rawa untuk RHL di gambut dapat

dilakukan dengan sistem kebersamaan ekonomi berdasarkan manajemen kemitraan .

DAFTAR PUSTAKA

Bastoni. 2001. Pertumbuhan hasil dan kualitas tapak hutan tanaman di Sumatera bagian

Selatan. Laporan Hasil Penelitian. Balai Teknologi Reboisasi Palembang. Tidak

dipublikasikan.

Bastoni dan H.D. Riyanto. 1999. Teknik Silvikultur untuk Rehabilitasi Hutan dan Lahan

Basah Bekas Tebangan di Sumatera Selatan dan Jambi. Laporan Hasil Penelitian. Balai

Teknologi Reboisasi Palembang. Tidak dipublikasikan.

Daryono, H. 2000. Teknik Membangun Hutan Tanaman Industri Jenis Jelutung (Dyera spp.).

Informasi Teknis Galam No. 3/98. Balai Teknologi Reboisasi Banjarbaru. Kalimantan

Selatan.

Indrayatie, E.R. dan Suyanto. 2009. Penyusunan Database Digital Karakteristik Habitat

Jelutung (Dyera polyphylla Miq. V. Steenis) di Lahan Basah Kalimantan Selatan.

18

Laporan Penelitian. Fakultas Kehutanan. Manajemen Hutan. Universitas Lambung

Mangkurat (tidak dipublikasikan).

Limin, S.H. 2004. Kondisi hutan rawa gambut di Kalimantan Tengah dan strategi

pemulihannya. Di dalam A.P. Tampubolon, T.S. Hadi, W. Wardani dan Norliani

[Editor]. Kesiapan Teknologi untuk Mendukung Rehabilitasi Hutan dan Lahan Rawa

Gambut di Kalimantan Tengah. Prosiding Seminar Ilmiah. Palangkaraya, 12 Mei 2004.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan.

Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kehutanan. Yogyakarta. pp 1 – 14.

Raintree, J.B. 1990. Theory and practice of agroforestry diagnosis and design. In: K.G.

Macdiken and N.T. Vergara [Editors]. Agroforestry: Classification and Management.

John Wiley and Sons, Inc. New York.