pemanfaatan endomikoriza indigenus dari lahan kering di bali

111
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagian wilayah di Provinsi Bali terutama di bagian Utara dan Timur (Kabupaten Buleleng Barat dan sebagian Karangasem) tergolong lahan kering (Antara, 2004 ; Daryana, 2010). Para petani di daerah tersebut menggunakan sistem pertanian yang sangat bergantung pada musim (Aditya, 2011). Pada musim penghujan para petani menanam tanaman jenis kacang-kacangan (Kacang Tanah, Kacang Hijau, Kacang Panjang, Kacang Undis, Kacang Koma), Cabai dan Jagung. Pada musim kemarau petani mengandalkan tanaman Singkong atau bahkan untuk lahan yang sangat kering tidak ditanami tanaman pertanian sama sekali (Arsana et al., 2010). Kondisi tanah pertanian yang tersebut diatas merupakan faktor utama yang menyebabkan hasil pertaniannya kurang produktif (Suprapto et al., 2001). Salah satu jenis tanaman yang dikembangkan di lahan kering adalah mente. (A. occidentale L). Tanaman mente merupakan salah satu komoditas ekspor yang ekonomis dan mampu menghasilkan produksi biji (gelondong) mente yang relatif stabil harganya sehingga status tanaman mente yang sebelumnya merupakan tanaman penghijauan beralih menjadi tanaman komoditas unggulan (Zaubin dan Daras, 2002). Salah satu usaha untuk menstabilkan produktifitas tanaman mente diperlukan suatu pengembangan berorientasi agribisnis agar dapat memberikan dampak positif kepada para petani dan industri (Hadad et al., 2000). Kendala yang dihadapi para petani mente di Bali dan Nusa Tenggara adalah hasil produksi buah mente tidak stabil karena petani cenderung

Upload: phamdiep

Post on 31-Dec-2016

236 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sebagian wilayah di Provinsi Bali terutama di bagian Utara dan Timur

(Kabupaten Buleleng Barat dan sebagian Karangasem) tergolong lahan kering

(Antara, 2004 ; Daryana, 2010). Para petani di daerah tersebut menggunakan

sistem pertanian yang sangat bergantung pada musim (Aditya, 2011). Pada

musim penghujan para petani menanam tanaman jenis kacang-kacangan

(Kacang Tanah, Kacang Hijau, Kacang Panjang, Kacang Undis, Kacang Koma),

Cabai dan Jagung. Pada musim kemarau petani mengandalkan tanaman

Singkong atau bahkan untuk lahan yang sangat kering tidak ditanami tanaman

pertanian sama sekali (Arsana et al., 2010). Kondisi tanah pertanian yang

tersebut diatas merupakan faktor utama yang menyebabkan hasil pertaniannya

kurang produktif (Suprapto et al., 2001).

Salah satu jenis tanaman yang dikembangkan di lahan kering adalah mente.

(A. occidentale L). Tanaman mente merupakan salah satu komoditas ekspor

yang ekonomis dan mampu menghasilkan produksi biji (gelondong) mente yang

relatif stabil harganya sehingga status tanaman mente yang sebelumnya

merupakan tanaman penghijauan beralih menjadi tanaman komoditas unggulan

(Zaubin dan Daras, 2002). Salah satu usaha untuk menstabilkan produktifitas

tanaman mente diperlukan suatu pengembangan berorientasi agribisnis agar

dapat memberikan dampak positif kepada para petani dan industri (Hadad et al.,

2000). Kendala yang dihadapi para petani mente di Bali dan Nusa Tenggara

adalah hasil produksi buah mente tidak stabil karena petani cenderung

Page 2: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

2

mempertahankan pohon mente yang sudah berumur tua tanpa melakukan

peremajaan pohon induk (Suharto, 2011). Dinas Perkebunan Provinsi Bali

selama ini melakukan pembibitan mente dengan para petani plasma.

Berdasarkan hasil survey di lapangan terdapat beberapa kendala yang dihadapi

para petani mente dalam melakukan pembibitan mente antara lain: akar bibit

mente mudah patah pada waktu pemindahan dari kebun bibit ke areal

perkebunan, bibit mudah mati bila sudah dipindahkan ke areal perkebunan,

pertumbuhan bibit yang tidak seragam, jumlah perakaran (serabut) yang

dihasilkan bibit mente sangat sedikit sehingga menyebabkan kemampuan

absorbsi hara dan mineral dari tanah rendah (Sukawidana, 2010 ; Darmais, 2011

pers.com). Kendala-kendala tersebut pada akhirnya menyebabkan produktivitas

mente di Bali dan Nusatenggara, khususnya di lahan kering perkebunan mente

Desa Sendang Kecamatan Gerokgak Kabupaten Buleleng dan Desa Sukadana

Kecamatan Kubu Kabupaten Karangasem khususnya menjadi tidak/kurang

maksimum.

Salah satu upaya untuk mengatasi permasalahan tanaman pertanian

khususnya mente di lahan kering tersebut adalah penggunaan cendawan

endomikoriza. Spora-spora cendawan endomikoriza yang diinokulasikan pada

akar tanaman inang pada fase pembibitan diharapkan dapat mengatasi salah satu

kendala pertumbuhan mente di lahan kering dengan asumsi bibit yang telah

diinokulasi dengan cendawan endomikoriza pada fase pembibitan, bibit mente

tersebut akan terkolonisasi oleh cendawan endomikoriza sehingga terbantu

dalam absorbsi air dari tanah dan terlindungi dari serangan penyakit sejak

dipembibitan sampai di areal perkebunan. Menurut Smith et al. (2010),

Page 3: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

3

simbiosis cendawan endomikoriza dengan akar tanaman dapat meningkatkan

absorbsi air dan mineral seperti P, N, K, Cu, Mo, Zn, menstimulasi

pertumbuhan, meningkatkan resistensi tanaman terhadap kekeringan dan

serangan / infeksi mikroba patogen di tanah.

Penelitian tentang peran penting endomikoriza telah banyak dilakukan

antara lain; inokulasi cendawan endomikoriza untuk meningkatkan laju

pertumbuhan dan produktivitas tanaman jagung (Zea mays) di lahan kritis

(Idwar dan Ali. 2000); Inokulasi spora dan propagul endomikoriza Acaulospora

tuberculata dan Gigaspora margarita untuk meningkatkan serapan hara pada

bibit kelapa sawit yang dibudidayakan di tanah masam (Widiastuti et al., 2002);

Inokulasi spora endomikoriza untuk memacu proses reproduksi tanaman Barley

(Hordeum vulgare L.) (Therrien, 2008); Penggunaan endomikoriza untuk

meningkatkan produksi kedelai di lahan kering (Hapsoh, 2008); penambahan

endomikoriza Acaulospora sp. untuk meningkatkan produksi umbi pada

tanaman ubi kayu (Jauhari dan Sumarno, 1995); penambahan spora Glomus sp.

untuk meningkatkan toleransi tanaman hias yang ditanam pada tanah pertanian

pasca bioremediasi (Al-Zalzaleh et al., 2009). Hasil-hasil penelitian oleh Cruzz

et al. (2000) ; Hameeda et al. (2007) dan Douds et al. (2010) mampu

membuktikan bahwa simbiosis cendawan mikoriza dengan tanaman dapat

mengurangi ketergantungan tanaman tersebut pada pupuk dan pestisida sintetik

sehingga penggunaan mikoriza merupakan salah satu upaya untuk mengurangi

ketergantungan terhadap pupuk ataupun pestisida kimia.

Penggunaan endomikoriza komersial sudah diaplikasikan pada tanaman

pertanian di Bali meskipun masih dalam taraf skala uji coba (pilot project),

Page 4: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

4

misalnya: pemberiaan pupuk mikoriza komersial “Biosfer” pada pembibitan

tanaman Vanili (Tirta, 2006); kombinasi mikoriza komersial dan cendawan

Trichoderma sp untuk mengurangi infeksi Jamur Akar Putih (JAP) pada

tanaman Mente (Priono, 2008); Aplikasi pupuk mikoriza “Technofert” untuk

meningkatkan pertumbuhan tanaman pakan ternak (Sukasta et al., 2010).

Penelitian aplikasi mikoriza komersial pada tanaman pertanian dan perkebunan

di Bali telah banyak dilakukan, namun penggunaan mikoriza komersial tersebut

belum terlihat hasilsecara nyata dalam meningkatkan pertumbuhan dan

produktifitas tanaman (pertanian dan perkebunan) ataupun menurunkan

intensitas infeksi tanaman yang terinfeksi oleh mikroba patogen tersebut.

Kurang berhasilnya kemampuan endomikoriza komersial tersebut untuk

aplikasi tanaman pertanian atau perkebunan diduga bahwa endomikoriza

komersial yang berasal dari “pabrik” atau “ Balai penelitian” dengan sumber

inokulum bukan berasal dari daerah setempat sehingga diasumsikan akan

memerlukan waktu adaptasi lebih lama terhadap kondisi lingkungan yang baru.

Menurut Bohrer dan Amon (2004); Thamsurakul dan Charoensook (2006)

dan Suryatmana et al. (2009), mikoriza indigenus memiliki potensi yang tinggi

untuk dijadikan sebagai “pupuk hayati” atau “Biofertilizer” tanaman pertanian

di lahan kering daerah setempat karena jenis-jenis endomikoriza indigenus lebih

adaptif sehingga hifa dan spora cendawan tersebut dapat dengan cepat

bergerminasi dan mengkolonisasi sistem perakaran tanaman disekitarnya

khususnya tanaman yang merupakan inang dari endomikoriza tersebut.

Penelitian ekplorasi endomikoriza di alam diperlukan faktor lingkungan

yang sehingga dapat diketahui jenis-jenis dan kepadatan populasi organisme

Page 5: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

5

tersebut pada musim dan tempat yang berbeda (Begon et al., 1990 ; Brundrett

et al., 1996). Penelitian Bohrer et.al. (2001) yang dilakukan di Boswana

mengindikasikan bahwa kepadatan atau kerapatan jumlah spora endomikoriza

di alam sangat dipengaruhi oleh perbedaan tempat, musim dan curah hujan.

Hasil penelitian Danesh et al. (2007) di Iran mengindikasikan bahwa

keanekaragaman endomikoriza pada suatu kawasan sangat dipengaruhi

porositas dan tingkat kejenuhan tanah. Hal ini menjadi suatu alur pemikiran

bahwa untuk mengetahui kerapatan jumlah spora, kemampuan kolonisasi

endomikoriza pada tanaman inangnya dan jenis-jenis endomikoriza di Bali,

penelitian eksplorasi perlu dilakukan dalam satu siklus musim dan tempat yang

berbeda sehingga akan dapat diketahui apakah perbedaan tempat dan musim

akan berpengaruh terhadap keberadaan jumlah spora, persen kolonisasi pada

tanaman inang dan jenis endomikoriza tersebut di alam.

Kendala pada aplikasi endomikoriza di lapangan adalah keterbatasan akan

ketersediaan isolat mikoriza dalam bentuk pupuk hayati dan merupakan

masalah yang belum dapat terselesaikan sehingga kalangan petani sulit

mendapatkan pupuk hayati mikoriza tersebut. Pupuk hayati dapat dibeli atau

disediakan oleh produsen tetapi harganya mahal sehingga aplikasi di kalangan

petani sulit dilakukan (Aryantha et al., 2002; Sukasta et al., 2010).

Berdasarkan uraian tersebut diatas, diperlukan suatu penelitian bagaimana

caranya memperbanyak endomikoriza indigenus Bali (spora dan atau propagul)

sehingga endomikoriza hasil eksplorasi tersebut dapat diaplikasikan atau siap

digunakan sebagai pupuk hayati yang dapat digunakan langsung oleh kalangan

petani, khususnya pada tahap pembibitan.

Page 6: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

6

Perbanyakan spora dan propagul dipengaruhi oleh banyak faktor baik

faktor internal (kemampuan germinasi dari spesies endomikoriza) dan faktor

eksternal (bahan organik tanah dan ketersediaan hara). Penambahan pupuk

sebagai sumber hara dan mineral sangat diperlukan dalam perbanyakan spora

endomikoriza terutama untuk pertumbuhan akar tanaman inang (Novriani dan

Madjid, 2009Chalimah, 2007; Lukiwati, 2007). Salah satu sumber hara yang

standar digunakan sebagai pupuk untuk perbanyakan atau propagsi spora

endomikoriza adalah larutan Hara Johnson. Hara Johnson mempunyai

kandungan unsur hara makro dan mikro yang sudah standard namun larutan ini

dapat dimodifikasi konsentrasi hara makro dan mikro didalamnya sehingga hara

ini sering digunakan untuk memperbanyak spora dan hifa endomikoriza pada

tanaman inang (Widiastuti, 2002; Simanungkalit, 2003). Jenis tanaman inang

yang umum digunakan untuk memperbanyak spora adalah tanaman semusim

karena cepat tumbuh dan menghasilkan banyak akar serabut dibanding tanaman

perenial sehingga perbanyakan endomikoriza tidak membutuhkan waktu lama

(Widiastuti, 2004). Tanaman semusim seperti Jagung dan Shorgum merupakan

inang sangat kompatibel dengan endomikoriza (Simanungkalit, 2003; Hapsoh,

2008,) sehingga tanaman Jagung dan Shorgum merupakan inang yang

digunakan untuk perbanyakan spora endomikoriza (Widiastuti, 2004).

Berdasarkan paparan latar belakang tersebut di atas perlu dilakukan

penelitian tentang “Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus pada Lahan Kering di

Bali untuk Memacu Pertumbuhan Mente (Anacardium occidentale L.) “

1.2. Rumusan Masalah

Beberapa masalah yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah:

Page 7: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

7

1. Apa saja spesies endomikoriza dan bagaimana kerapatan spora serta

kolonisasi pada tanaman di lahan kering Buleleng dan Karangasem Bali.

2. Berapakah konsentrasi P dalam hara Johnson yang optimum untuk

perbanyakan spora endomikoriza indigenus Bali pada tanaman Jagung?

3. Bagaimanakah respon pertumbuhan bibit mente terhadap inokulasi

endomikoriza dalam bentuk spora tunggal dan campuran spora-propagul?

4. Bagaimanakah respon pertumbuhan bibit mente terhadap spora dan

propagul endomikoriza pada media pembawa yang berbeda?

1.3.Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk:

1. Mengetahui spesies, kerapatan spora endomikoriza dan persentase kolonisasi

endomikoriza indigenus pada tanaman di lahan kering Buleleng dan

Karangasem Bali

2. Mengetahui konsentrasi P optimum dalam hara Johnson untuk perbanyakan

spora endomikoriza indigenus Bali pada tanaman Jagung

3. Mengetahui respon pertumbuhan bibit mente (A. occidentale L.) terhadap

inokulasi endomikoriza indigenus Bali dalam bentuk spora, propagul saja

dan campuran spora-propagul

4. Mengetahui pengaruh spora dan propagul endomikoriza dalam media

pembawa berbeda terhadap pertumbuhan bibit mente.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan temuan yang baru

tentang spesies cendawan endomikoriza yang terdapat di lahan kering Bali dan

Page 8: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

8

inokulasi cendawan endomikoriza terhadap respon pertumbuhan bibit mente

serta memberikan kontribusi secara akademik (untuk perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi) dan manfaat praktis (dapat digunakan untuk

memberikan solusi atau memecahkan masalah pertanian yang terdapat di

masyarakat), yaitu:

1.4.1. Manfaat akademik

1. Memberikan informasi spesies apa saja, kerapatan jumlah spora dan

kolonisasi endomikoriza indigenus pada tanaman-tanaman di lahan kering

Buleleng dan Karangasem Bali

2. Perbanyakan spora endomikoriza pada tanaman Jagung dengan variasi P

hara Johnson dapat memberikan informasi tentang propagasi spora.

3. Hasil uji coba endomikoriza pada tanaman mente memberikan informasi

tentang penggunaan endomikoriza indigenus Bali untuk memacu

pertumbuhan bibit mente.

1.4.2. Manfaat praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu acuan

dalam pembuatan dan pengembangan “pupuk hayati “ berbasis spora dan

propagul endomikoriza Indigenus Bali untuk diaplikasikan pada

pembibitan mente sehingga dapat meningkatkan kualitas pertumbuhan dan

ketahanan hidup bibit tersebut pada lahan kering di Bali.

Page 9: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

9

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Biologi Cendawan Endomikoriza

Mikoriza berasal dari bahasa Yunani yang secara harfiah berarti “cendawan

akar” (mykos = miko= cendawan dan rhiza = akar ) atau “cendawan tanah”

karena hifa dan sporanya selalu berada di tanah terutama areal rhizosfer

tanaman (Mikola, 1980; Smith and Read, 1997). Asosiasi antara cendawan

mikoriza dengan tanaman inang merupakan hubungan simbiosis mutualisme

(Simanungkalit, 2003; Brundrett et al., 2008). Simbiosis tersebut bermanfaat

bagi keduanya, yaitu cendawan mikoriza memperoleh karbohidrat dalam bentuk

gula sederhana (glukosa) dan Karbon (C) dari tumbuhan, sebaliknya cendawan

melalui hifa eksternal yang terdistribusi di dalam tanah dapat menyalurkan air,

mineral dan hara tanah untuk membantu aktifitas metabolisme tumbuhan

inangnya (Brundrett et al., 2008; Smith et al., 2010).

Cendawan mikoriza terutama kelompok endomikoriza mendapat banyak

perhatian para peneliti karena beberapa spesies dari cendawan endomikoriza di

alam mampu bersimbiosis secara mutualistik dengan lebih dari 80% spesies

tanaman berpembuluh (Smith dan Read, 1997 ; Hapsoh, 2008; Brundrett et al.,

2008). Simbiosis cendawan mikoriza dapat terjadi secara alami atau dengan

cara diinokulasikan pada tanaman inangnya dan proses kolonisasi secara

intensif terjadi pada fase pembibitan tanaman tersebut (Alizadeh, 2011).

Tanaman yang telah terkolonisasi atau terinfeksi oleh cendawan mikoriza pada

fase pembibitan, tanaman tersebut akan membawa hifa ataupun spora cendawan

Page 10: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

10

mikoriza tersebut selama tanaman tersebut tumbuh (Brundrett et al., 2008).

Peran simbiosis endomikoriza yang terutama adalah membantu tanaman-

tanaman yang terdapat pada tanah atau lahan yang miskin air dan hara

(Simanungkalit, 2003 ; Delvian, 2006a), khususnya tanah yang miskin akan

kandungan Fosfat, Zink, Nitrogen (Smith et.al., 2010).

Kondisi tanah pertanian atau perkebunan di Indonesia umumnya memiliki

kandungan Fosfat yang cukup tinggi (jenuh) (Delvian, 2006b). Kandungan

Fosfat yang terdapat di alam seringkali terikat dalam bentuk senyawa pada

mineral liat tanah sehingga menyebabkan P yang melimpah ditanah namun

tidak tersedia bagi tanaman (Brundrett et al., 2008; Smith et.al., 2010).

Cendawan mikoriza adalah salah satu mikroba yang dapat menghasilkan enzim

fosfatase sehingga dengan enzim tersebut hifa-hifa cendawan mampu

melepaskan ikatan P dari mineral liat pada tanah dan merombak P bentuk ion

fosfor sehingga dapat dimanfaatkan bagi tanaman (Novriani dan Madjid, 2009).

Pertumbuhan dan aktivitas endomikoriza di tanah atau rhizosfer tanaman

sangat tergantung oleh keberadaan jenis-jenis atau spesies endomikoriza yang

terdapat pada areal tersebut, lingkungan yang mendukung pertumbuhan spesies

endomikoriza dan tanaman inang yang kompatibel (Widiastuti et al., 2002 ;

Smith dan Read, 2008). Menurut Abbott dan Robson (1984) dan Danesh et al.,

(2007), setiap spesies endomikoriza mempunyai “innate effectiveness” atau

kemampuan yang spesifik dari spesies tersebut untuk meningkatkan

pertumbuhan tanaman pada kondisi tanah yang kurang menguntungkan dengan

cara membentuk hifa ekstensif di dalam tanah dan pada seluruh sistem

perakaran tanaman untuk menyerap fosfor dari larutan tanah.

Page 11: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

11

Cendawan mikoriza dapat digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu

ektomikoriza, ektendomikoriza dan endomikoriza. Pengelompokan ini

berdasarkan pada bentuk morfologi hifa mikoriza yang mengkolonisasi akar

(Smith and read, 1997 ; Brundrett, 2008). Cendawan Ektomikoriza merupakan

kolonisasi hifa mikoriza di luar kortek akar dengan cara membentuk jaringan

hifa (mantel hifa) yang menyelimuti bagian luar epidermis akar tanaman

sebaliknya endomikoriza merupakan cendawan yang mampu membentuk

eksternal hifa dan internal hifa. Kolonisasi internal hifa berkembang di dalam

kortek akar dengan membentuk vesikel dan atau arbuskula tergantung pada tiap

genera (Brundrett et al., 2008; Smith dan Read, 2008). Ektendomikoriza adalah

cendawan mikoriza yang mampu mengkolonisasi perakaran baik secara internal

hifa di kortek maupun eksternal hifa yang menyelimuti epidermis akar. Hifa

yang terbentuk baik ekternal maupun internal sangat sedikit atau tipis sehingga

simbiosis ektendomikoriza tidak jelas peran dan fungisinya bagi tanaman

(Mikola, 1980 ; Smith dan Read, 1997).

Beberapa ahli dan peneliti yang fokus dalam cendawan endomikoriza

mengelompokkan cendawan endomikoriza dengan beberapa istilah yaitu, Fungi

Mikoriza Arbuskula (FMA) atau cendawan endomikoriza (Simanungkalit,

2003; Kramadibrata, 2008), Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) ( Delvian,

2006; Novriani dan Madjid, 2009, Hapsoh, 2008) atau Vesicular Arbuscular

Mycorrhiza (VAM)-fungi (Smith and Read, 1997; Schϋβler et al., 2001;

INVAM, 2005; Brundrett et al., 2008).

Menurut Smith dan Read (1997) dan Brundrett et al., (2008),

Arbuskula/Arbuscular adalah struktur hifa yang berasal dari percabangan hifa di

Page 12: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

12

dalam korteks akar inang. Bentuk arbuskula menyerupai pohon kecil dan

berfungsi sebagai tempat pertukaran zat-zat metabolit primer (terutama Glukosa

dan Fosfor) antara cendawan endomikoriza dan akar tanaman. Brundrett et al

(2008) dan Hapsoh (2008) menyatakan bahwa arbuskula mempunyai peran

yang sangat vital dari cendawan endomikoriza karena berfungsi sebagai tempat

masuknya hara mineral dari tanah yang diabsorbsi oleh akar dan hifa ke dalam

sel inang. Proses tersebut menyebabkan terjadinya peningkatan sitoplasma,

respirasi dan aktivitas enzim pada kedua organisme tersebut sehingga

tanaman/inang akan dapat memanfaatkan fosfor dari cendawan dan sebaliknya

cendawan endomikoriza mengabsorbsi glukosa dan karbon dari inangnya.

Vesikula atau vesikel (vesicular/vesicle) adalah merupakan hifa cendawan

endomikoriza yang mengalami penggembungan (melebar). Penggembungan

hifa bisa terjadi secara internal di dalam sel atau keluar dari sel akar inang yang

terbentuk pada hifa terminal dan interkalar. Bentuk vesikel bulat atau

oval/lonjong, berisi senyawa lemak sehingga vesikel merupakan organ

penyimpanan cadangan makanan bagi cendawan endomikoriza (Brundrett et.

al., 2008). Pada kondisi tertentu terutama vesikel yang telah dewasa dapat

berperan sebagai spora atau alat pertahanan cendawan tersebut jika berada pada

lingkungan yang tidak menguntungkan (Pattimahu, 2004; Mosse, 1991).

Vesikular Arbuskular Mikoriza (VAM-fungi) atau cendawan endomikoriza

yang dapat membentuk arbuskel dan atau vesikel merupakan kelompok

cendawan yang awal pengklasifikasiannya termasuk ke dalam kelas

Zygomycetes, ordo dan Glomales. Ordo Glomales terdiri dari dua (2) sub ordo,

yaitu Gigasporinea dan Glomineae. Sub-ordo Gigasporineae hanya

Page 13: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

13

mempunyai satu famili Gigasporacaeae dan hanya terdiri 2 genus, yaitu

Gigaspora dan Scutellospora. Pada sub-ordo Glominea mempunyai 4 familia,

yaitu famili Glomaceae dengan genus Glomus, famili Acaulosporaceae dengan

genus Acaulospora dan Entrophospora, famili Paraglomaceae dengan genus

Paraglomus, dan famili Archaeosporaceae dengan genus Archaespora.

(INVAM, 2009).

Menurut Schϋβler et al (2012) perkembangan klasifikasi dan identifikasi

terbaru, genus Sclerocystis mempunyai kemiripan atau homolog dengan genus

Glomus, sehingga Sclerocystis pada beberapa acuan klasifikasi tidak lagi

sebagai genus tersendiri tetapi termasuk dalam genus Glomus

Menurut Schϋβler et al. (2001) dan INVAM (2005), perkembangan

klasifikasi dari cendawan endomikoriza dikelompokkan sebagai berikut:

Kingdom : Mycota

Phyllum : Glomeromycota

Kelas : Glomeromycetes

Ordo : Glomales

Familia 1 : Glomaceae

Genus : Entrophospora, Glomus, Paraglomus, Sclerocystis.

Famili 2 : Gigasporineae

Genus : Gigaspora, Scutellospora.

Famili 3 : Acaulosporaceae

Genus : Acaulospora

Pada cendawan endomikoriza, terbentuknya vesikel memiliki fungsi dan

karakter yang paling menonjol dibandingkan tipe cendawan mikoriza lainnya

Page 14: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

14

(ektomikoriza) karena salah satu spesies cendawan endomikoriza yaitu Glomus

sp., merupakan cendawan endomikoriza yang selalu membentuk vesikel

struktur tersebut merupakan salah satu struktur inti untuk identifikasi sampai

pada tingkat genera pada Glomus (Mosse, 1991; Brundrett et al., 1996)).

Glomus sp. mempunyai spora yang tumbuh pada ujung hifa (hifa terminal)

dapat berupa spora tunggal, berkelompok (cluster) atau spora-sporanya

tersimpan dalam sporokarp (Smith dan Read, 1997). Gigaspora sp. merupakan

endomikoriza yang tidak menghasilkan vesikel dalam kortek akar inangnya

(Walker, 1983).

Salah satu karakter yang menarik dari endomikoriza adalah pada sporanya

karena spora-spora endomikoriza mampu bertahan di dalam tanah tanpa inang

sampai 6 bulan bahkan beberapa spesies seperti Scutelospora sp, Gigaspora

sp. dapat bertahan sampai satu–dua tahun (Brundrett et al., 2008). Spora-spora

yang dihasilkan secara aseksual maupun seksual pada prinsipnya merupakan

salah satu bentuk atau alat pertahanan diri di alam yang dapat berfungsi untuk

proses adaptasi terutama apabila mikoriza tersebut belum menemukan tanaman

inang yang kompatibel (Smith dan Read, 2008). Spora-spora endomikoriza

yang telah menemukan inang yang kompatibel akan segera bergerminasi

dengan cara membentuk appresorium pada permukaan dinding sel akar inangya

dan selanjutnya akan membentuk juluran-juluran hifa. Hifa-hifa tersebut

selanjutnya akan menginfeksi/mengkolonisasi ke dalam akar tanaman inang

dengan cara menembus atau melalui celah antar sel epidermis dan akhirnya

membentuk hifa yang dapat tersebar secara inter-intraseluler dalam korteks akar

tanaman (Mosse, 1991; Smith and Read, 1997 ; Brundrett et al., 2008).

Page 15: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

15

2.2. Perkembangan dan Penyebaran Endomikoriza

Faktor biotik dan abiotik dapat mempengaruhi perkembangan dan

penyebaran endomikoriza di alam (Smith dan Read, 1997). Faktor lingkungan

abiotik mencakup faktor fisika-kimia antara lain: periode musim, perbedaan

tempat, suhu, tekstur tanah, intensitas cahaya, kadar air tanah, bahan organik,

ketersediaan hara-mineral tanah, logam berat dan fungisida (Sieverding, 1991).

Faktor lingkungan biotik adalah mikroorganisme tanah dan tanaman inang

(Smith dan Read, 2008).

2.2.1. Perbedaan musim dan lokasi

Perbedaan musim atau waktu (temporal) dan tempat (spatial) dapat

mempengaruhi persentasi kolonisasi hifa, pembentukan arbuskular,vesikel

endomikoriza pada akar-akar inangnya (Proborini, 1998; Reddy et al., 1998).

Menurut Oehl, et al.(2006) eksplorasi spora dan jenis-jenis endomikoriza pada

tanah dan rhizosfer tanaman inang yang dilakukan pada waktu atau musim

yang berbeda akan memperlihatkan keberadaan atau kerapatan jumlah spora

dan jenis-jenis endomikoriza karena keberadaan jenis-jenis mikoriza di alam

sangat dipengaruhi oleh perbedaan musim, temperatur yang ekstrim (minus 5 oC

atau diatas 40 oC), banyak sedikitnya curah hujan dan tekstur tanah pada daerah

tersebut.

.Wilayah yang memiliki empat musim (temperate season) dalam satu siklus

musimnya (12 bulan) menunjukkan bahwa persentase dan laju kolonisasi

endomikoriza pada akar tanaman pada saat musim dingin sangat rendah tetapi

kolonisasi tampak tinggi pada saat musim semi karena pada musim semi,

hampir semua tanaman tumbuh secara pesat dan diasumsikan hifa-hifa

Page 16: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

16

endomikoriza tersebar di dalam korteks akar untuk mengabsorbsi gula hasil

fotosintesis tanaman inang (Proborini, 1998). Menurut Delvian (2006b) dan

Hartoyo et al. (2011) pada saat musim kemarau, kolonisasi endomikoriza

terlihat sangat sedikit atau menurun dibandingkan pada saat musim penghujan.

Musim penghujan spora-spora endomikoriza akan germinasi membentuk

hifa dan hifa akan tersebar ditanah dan akan mengkolonisasi akar-akar tanaman

disekitarnya, karena menurut hapsoh (2008) dan Smith et al (2010) cendawan

endomikoriza mampu mengkolonisasi lebih dari 80% tanaman, namun lahan

atau tanah yang selalu terendam air sepanjang tahun tidak terdapat kolonisasi

endomikoriza pada sistem perakarannya (Proborini, 1998). Perbedaan

kolonisasi endomikoriza pada akar tanaman areal kering dan terendam air

dilaporkan oleh Carvalho et al. (2001), infeksi/kolonisasi hifa endomikoriza

tanaman Aster tripolium, Puccinellia maritima dan Inula crithmoides yang di

tanam pada areal yang basah (wet areas) hanya terdapat kolonisasi <10 %,

sebaliknya tanaman Spartina maritima, Halimione portulacoides,

Arthrocnemum fruticosum dan Arthrocnemum perenne yang hidup di daerah

cukup kering (semi-arid areas) >25%. Disimpulkan bahwa ekplorasi

endomikoriza pada suatu kawasan dan dilakukan secara periodic dalam satu

musim dan kondisi tanah yang berbeda akan sangat bermanfaat untuk melihat

tanaman jenis apa saja yang mampu bersimbiosis dengan endomikoriza.

2.2.2. Tanaman inang

Pertumbuhan dan aktivitas mikoriza dapat berbeda antar spesies dan

lingkungan. Cendawan mikoriza akan mengkolonisasi inang yang kompatibel

(Brundrett et al., 2008). Cendawan mikoriza arbuskular (endomikoriza) adalah

Page 17: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

17

mikroorganisme yang bersifat obligat karena tanpa tanaman inang (asimbiotik)

pertumbuhan hifanya sangat sedikit dan hifa hanya mampu bertahan hidup

diluar inang selama 20-30 hari (Smith et al., 2003). Menurut Hapsoh (2008)

dan Gautam et al. (2009) lebih dari 80% tanaman berpembuluh atau tanaman

tingkat tinggi dapat bersimbiosis dengan endomikoriza. Tanaman Jagung,

Shorgum dan Gandum merupakan contoh tanaman inang yang sangat

kompatibel yang dapat terkolonisasi sangat efektif oleh endomikoriza.

Beberapa tanaman budidaya dan tanaman perkebunan lainnya yang dapat

terkolonisasi endomikoriza adalah jenis Kacang-kacangan, Kedelai, Barley,

Bawang, Nenas, Padi Gogo, Pepaya, Singkong, Tebu, Teh, Tembakau, Palem,

Kopi, Karet, Kapas, Jeruk, Kakao, Apel, Mente dan Anggur (Adiningsih et al.,

1994; Setiadi, 2002, Hapsoh, 2008).

2.2.3. Suhu

Perkembangan dan aktifitas cendawan endomikoriza dipengaruhi oleh suhu

lingkungan. Suhu yang sangat rendah (< 00C) akan menghambat germinasi

spora (Brundrett et al., 2008). Menurut Smith et al. (2010), aktivitas dan

perkecambahan spora endomikoriza di daerah tropis relatif lebih tinggi

dibandingkan daerah sub-tropis karena daerah tropis memiliki kisaran suhu

rata-rata diatas 28 0 C dan endomikoriza relatif lebih tahan pada suhu yang

cukup tinggi (30 -380 C).

Suhu optimum untuk perkecambahan spora endomikoriza bervariasi dan

tergantung jenis mikoriza yang dikultur. Mosse (1991) menyatakan bahwa suhu

yang cukup tinggi pada siang hari namun masih dibawah 350C tidak

menghambat perkembangan akar dan aktivitas fisiologi endomikoriza. Aktifitas

Page 18: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

18

mikoriza menurun pada suhu diatas 40 oC karena pada suhu tersebut akan

mengganggu proses metabolisme dan fisiologis tanaman inang sehingga akan

berpengaruh pula terhadap aktifitas endomikoriza di dalam korteks akar

tanaman inangnya.

Perbedaan suhu yang sangat sangat rendah (- 150C) atau terlalu tinggi dapat

(> 50 0C) akan mempengaruhi perkecambahan spora endomikoriza, namun

secara genetis ada perbedaan ketahanan enzim pada masing-masing spesies

mikoriza terhadap kisaran suhu yang bervariasi sehingga dapat disimpulkan

bahwa faktor suhu terhadap perkembangan mikoriza bersifat spesies spesificity

(Smith dan Read, 1997). Pada proses perkecambahan spora Gigaspora

coralloidea akan optimum jika spora tersebut ditumbuhkan pada media yang

mempunyai kisaran suhu 340C, sedangkan untuk spesies Gigaspora margarita

dan Gigaspora gigantea akan optimum bergeminasi pada suhu 310 C dan tidak

berkecambah pada suhu 150 C. Pada Glomus epigaeum berkecambah pada suhu

18-25oC, sedangkan Glomus moseae mempunyai toleransi suhu berkisar 25-33

oC. Secara umum spora-spora endomikoriza akan mati pada suhu 60oC hanya

dalam kurun waktu 5-15 menit (Mosse, 1981).

2.2.4. Kadar air tanah

Hasil survey di lapangan menunjukkan bahwa tanaman-tanaman semusim

dan perennial (menahun) yang tumbuh di lahan kering Bali Utara (Gerograk

Buleleng dan Kubu Karang Asem) mengalami kekurangan air bahkan hampir

tidak memperoleh air sama sekali terutama pada saat musim kemarau.

Kolonisasi hifa-hifa endomikoriza dalam kortek akar-akar serabutnya sangat

menguntungkan tanaman-tanaman tersebut karena dengan adanya hifa-hifa

Page 19: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

19

endomikoriza dapat menjaga kemampuan tanaman untuk bertahan hidup pada

kondisi tanah yang kekeringan. Hal ini didukung Smith dan Read (1997) dan

Smith et al. (2010), bahwa assosiasi tanaman dengan endomikoriza dapat

memperbaiki dan meningkatkan kapasitas serapan air oleh tanaman inang

terutama tanaman-tanaman yang tumbuh didaerah marginal atau lahan kering

karena hifa eksternal mikoriza dalam menembus dan menyebar ke dalam tanah

lebih dari 8 meter yang memungkinkan masih terdapat kandungan air tanah

pada kedalaman tersebut.

Hasil penelitian Geeta et al. (2007) menunjukkan bahwa terdapat anomali

pada struktur morfologi dan anatomi bibit tanaman alpukat yang diinokulasi

endomikoriza. Pada tengah hari saat kadar air rendah, daun bibit alpukat yang

diinokulasi endomikoriza tetap terbuka (tidak layu) sedangkan tanaman yang

tidak dinokulasi endomikoriza (tanaman kontrol) tertutup daunnya (layu). Hal

ini menunjukkan bahwa akar tanaman yang tidak terkolonisasi oleh

endomikoriza mempunyai kapasitas serapan air yang lebih rendah dibanding

dengan akar tanaman yang berendomikoriza karena hifa-hifa eksternal

endomikoriza membantu dalam absorbsi air sedangkan hifa internal yang

terdapat dalam kortek akar akan membantu dalam peyimpanan ketersediaan air.

Meningkatnya kapasitas serapan air pada tanaman alpukat yang telah

diinokulasi endomikoriza dapat meningkatkan ketahanan bibit terhadap

kekeringan dan bibit lebih cepat beradaptasi apabila dipindahkan dari areal

pembibitan (nursery ground) kedaerah lain atau di perkebunan (field areas).

Hasil penelitian membuktikan bahwa tanaman yang terkolonisasi endomikoriza

lebih tahan terhadap kekeringan dibanding tanaman tidak terkolonisasi antara

Page 20: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

20

lain: (1) mampu menurunkan resistensi akar terhadap gerakan air sehingga

transpor air ke akar meningkat, (2) meningkatkan status/kadar Fosfor pada

tanaman dan (3) hifa-hifa ekternal endomikoriza mampu berekspansi sehingga

dapat membantu tanaman memperluas radius penyerapan air diareal-areal

marginal yang sangat tandus (Smith dan Read, 2000).

Menurut Smith et al. (2010), penemuan yang menarik adalah adanya

korelasi positif antara potensial air tanah dan aktivitas hidup endomikoriza.

Tanaman bermikoriza memerlukan jumlah air lebih sedikit dibandingkan

dengan tanaman yang tidak bermikoriza untuk memproduksi satu (1) gram

bobot kering tanaman. Hal ini disebabkan tanaman bermikoriza lebih tahan

terhadap kekeringan dan lebih ekonomis dalam pemakaian air. Selain itu,

adanya miselium eksternal pada perakaran tanaman yang bermikoriza

menyebabkan endomikoriza lebih efektif dalam mengagregasi butir-butir tanah

sehingga hifa-hifa (miselium) endomikoriza dapat meningkatkan kemampuan

tanah dalam menyimpan air dibandingkan kondisi tanah tanpa miselium

eksternal.

2.2.5. Tingkat keasamam tanah (pH)

Tingkat keasaman tanah memiliki peranan penting dalam perkecambahan

spora endomikoriza. Menurut Powell dan Bagyaraj (1984), pH mempengaruhi

aktifitas enzim pada proses germinasi spora mikoriza arbuskula. Menurut

Widiastuti ( 2004), pada tanah dengan kondisi pH rendah ( keadaan asam) dapat

menghambat hifa eksternal endomikoriza untuk dapat mengabsorbsi P yang

penting untuk germinasi spora mikoriza. Hal ini berdampak pada proses

perkecambahan spora endomikoriza. Perkecambahan spora-spora mikoriza

Page 21: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

21

termasuk endomikoriza bersifat spesies spesifik, misalnya Glomus mosseae

dapat berkecambah pada pH 6 – 9, sedangkan Gigaspora coralloidea dan G.

heterogama mampu berkecambah pada kisaran pH 4 -6 (Mikola, 1980).

2.2.6. Bahan organik dalam tanah

Bahan organik merupakan komponen penyusun tanah yang penting selain

bahan anorganik, air dan udara. Jumlah spora endomikoriza (VA-Mikoriza)

yang maksimum akan ditemukan pada tanah yang mengandung bahan organik

1-2 persen dan jumlah spora ditemukan dalam jumlah sedikit pada tanah

berbahan organik kurang dari 0.5 persen (Hameeda et.al., 2007). Serasah pada

permukaan dan di dalam tanah yang terkolonisasi oleh hifa mikoriza dapat

berperan sebagai media atau inokulum mikoriza sehingga dapat mengkolonisasi

akar tanaman lainnya pada satu areal (Adiningsih et al., 1994).

2.2.7. Mikroba tanah

Mikroba tanah memiliki pengaruh terhadap perkecambahan spora mikoriza.

Percobaan menggunakan spesies Glomus sp. yang ditumbuhkan pada media

agar ditambahkan tanah non steril dan air secukupnya diperoleh hasil

perkecambahan meningkat namun pada serangkaian percobaan lainnya

menggunakan spora Glomus epigaeum yang ditumbuhkan pada tanah steril

tidak terjadi perkecambahan spora mikoriza (Mikola, 1980 ; Imas et al., 1989 )..

Menurut Daniel dan Trappe (1980), kegagalan germinasi pada spora

endomikoriza dikarenakan pada tanah yang steril tidak terdapat kehidupan

berbagai mikroba tanah termasuk bakteri endofitik diazotrop. Bakteri tersebut

mampu memproduksi zat perangsang mirip dengan hormon pertumbuhan yang

berguna untuk memacu perkecambahan spora mikoriza. Hal serupa

Page 22: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

22

dikemukakan oleh Hameeda et al. (2007) bahwa peningkatan perkecambahan

terjadi dikarenakan pada tanah nonsteril terdapat mikroba tanah yang

memberikan zat perangsang pertumbuhan bagi perkecambahan spora mikoriza.

Namun hasil penelitian Douds et al. (2010) menunjukkan bahwa diperoleh

jenis-jenis mikroba patogen baik bakteri maupun cendawan yang terdapat dalam

tanah non steril. Bakteri dan cendawan patogen tersebut cukup significan dalam

menghambat perkecambahan spora endomikoriza karena mikroba tersebut

banyak menginfeksi hifa dan spora mikoriza sehingga menyebabkan

kemampuan germinasi spora-spora tersebut terhambat.

2.2.8. Cahaya dan ketersediaan hara

Intensitas cahaya yang tinggi, kekurangan Nitrogen ataupun Fosfor pada

level/konsentrasi sedang akan meningkatkan jumlah karbohidrat di dalam akar

sehingga tanaman lebih peka terhadap kolonisasi endomikoriza. Prosentase

kolonisasi yang tinggi ditemukan pada tanah-tanah yang mempunyai kesuburan

rendah (Smith et al., 2010). Tanaman yang tumbuh pada daerah subur dan

memiliki pertumbuhan perakaran yang sangat intensif justru akan mengalami

penurunan jumlah persentase kolonisasi endomikoriza pada akar tersebut,

sebaliknya jika tanaman tumbuh pada lahan miskin hara mineral ditanah dengan

intensitas pertumbuhan cabang akar yang rendah menunjukkan peningkatan

kolonisasi endomikoriza pada akar, terutama akar-akar serabut (Oehl et al.,

2004). Hal ini membuktikan bahwa endomikoriza sangat bermanfaat pada

tanaman yang tiumbuh pada daerah kurang subur atau miskin hara.

Peran endomikoriza diasumsikan terkait dengan penyedian dan status

Fosfor dalam tanah. Daerah atau lahanberiklim sedang yang mengandung

Page 23: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

23

konsentrasi Fosfor yang tinggi, kolonisasi endomikoriza pada perakaran

tanaman disekitarnya akan menurun atau rendah. Hal ini mungkin disebabkan

konsentrasi Fosfor internal yang tinggi dalam jaringan inang sehingga iang

tidak mengadakan simbiosis dengan endomikoriza (Smith dan Read, 2008).

Menurut Miyasaka et al. (2009), cendawan endomikoriza mampu mengeluarkan

enzim fosfatase dan asam-asam organik sehingga apabila terdapat banyak hifa

atau spora dari cendawan endomikoriza pada tanah yang miskin unsur fosfor

(P), endomikoriza dapat melepas P yang terikat sehingga membantu penyediaan

unsur P bagi tanaman inangnya. Hifa-hifa dari cendawan mikoriza akan

mengkolonisasi bagian apoplast dan sel korteks untuk memperoleh karbon hasil

fotosintesis dari tanaman inangnya sebagai satu keuntungan yang diperoleh oleh

cendawan endomikoriza apabila bersimbiosis dengan tanaman inangnya

(Delvian, 2006b).

2.2.9. Pengaruh logam berat dan unsur lain di tanah

Menurut Delvian (2006 b), tanah-tanah di lahan tropis sering mengalami

permasalahan dalam hal salinitas baik tanaman yang hidup pada lahan dengan

kadar garam yang tinggi atau rendah.atau terdapatnya kontaminasi Alumunium

maupun Mangan pada tanah. Pengaruh unsur-unsur Sodium, Klorida,

Aluminium dan Mangan pada keberadaan endomikoriza baik jumlah spora atau

kolonisasi pada tanaman masih sedikit diketahui. Menurut Setiadi (2000)

pengaruh secara langsung maupun tidak langsung dari masing-masing ion

tersebut terhadap perkembangan endomikoriza berkaitan dengan proses

fotosintesis dan pertumbuhan tanaman ataupun metabolisme inang. Selanjutnya

Widiastuti et al. (2002) menyatakan bahwa infeksi atau kolonisasi

Page 24: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

24

endomikoriza terlihat lebih tinggi pada tanaman yang tumbuh dan hidup di

tanah dengan kandungan logam rendah karena pada tanah dengan kandungan

logam yang tinggi dapat meracuni tanaman tersebut, namun dengan inokulasi

spora dan propagul endomikoriza pada fase pembibitan, tanaman tumbuh

dengan baik pada tanah dengan kondisi yang keasamannya tinggi karena

pengaruh logam Fe.

2.2.10. Fungisida

Fungisida memiliki pengaruh terhadap perkecambahan endomikoriza.

Menurut Cruz et al. (2000), pemberian konsentrasi pestisida benomyl yang

relatif rendah (0,001-0,1μm/ml) dapat meningkatkan perkecambahan spora

Glomus mosseae, pada konsentrasi yang relatif tinggi (1-2,12μm/ml) akan

menghambat perkecambahan spora namun konsentrasi yang sangat tinggi (10-

21,25μm/ml) dapat menyebabkan kegagalan spora untuk berkecambah.

Proses perkecambahan spora Glomus mosseae pada pemberian fungisida

benomyl konsentrasi relatif rendah (0,001-0,1μm/ml) tidak mempengaruhi

perkecambahan spora. Hal ini dikarenakan konsentrasi tersebut masih belum

menghalangi osmosis air dari larutan fungisida ke larutan sel spora, dan

pemberian fungisida tersebut diduga justru akan merangsang tanaman inang

menghasilkan eksudat akar yang berpengaruh dalam mempercepat

perkecambahan spora G. mosseae. Eksudat akar tersebut kemudian dikenal

dengan faktor M yang berfungsi seperti halnya hormon. Faktor M yang

dihasilkan eksudat akar dan spora endomikoriza dapat meningkatkan terjadinya

kolonisasi mikoriza dengan inang. Akar-akar tanaman dan endomikoriza yang

telah bersimbiosis membentuk kolinisasi/infeksi pada kortek akar dapat pula

Page 25: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

25

meningkatkan produksi hormon pertumbuhan seperti auksin, sitokinin dan

giberelin bagi tanaman inangnya (Imas et al., 1989 ; Smith and Read, 1997).

Auksin berfungsi memperlambat proses penuaan akar sehingga fungsi akar

sebagai penyerap unsur hara dan air akan bertahan lebih lama (Imas, et al.,

1989). Hal ini tentunya akan sangat menguntungkan tanaman sehingga tanaman

akan lebih lama melakukan aktifitas hidupnya.

Pemberian fungisida jenis benomyl dengan konsentrasi yang cukup rendah

(1-2,12μm/ml) dapat berpengaruh pada penurunan laju osmosis air dari larutan

fungisida ke larutan sel spora sehingga pada konsentrasi fungisida yang

rendahpun sudah mampu menghambat perkecambahan spora endomikoriza.

Konsentrasi benomyl yang sangat tinggi (10- 21,25μm/ml) sangat tidak

direkomendasikan karena akan menghentikan osmosis air pada spora sehingga

menggagalkan germinasi spora endomikoriza (Alizadeh, 2011). Fungisida jenis

Agrosan, Benlate, Plantavax dalam konsentrasi yang sangat rendah (2.5 mg/g

tanah) dapat menurunkan kolonisasi endomikoriza pada akar tanaman sehingga

mengakibatkan penghambatan pertumbuhan tanaman (tahap pembibitan) karena

kemampuan penyerapan Fosfat yang rendah pada tanaman tersebut. ( Brundrett

et al., 2008 ; Smith et al., 2003).

Penelitian lapangan yang bersifat sinergis dan terpadu pada pengendalian

penyakit tanaman secara biologis perlu dikembangkan sehingga tidak

memberikan efek negatif terhadap kolonisasi endomikoriza pada akar. Hal ini

disebabkan spora dan hifa cendawan mikoriza peka terhadap fungisida sintetik

(Powell dan Bagyaraj, 1984; Alizadeh, 2011).

Page 26: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

26

2.3. Tanaman mente (Anacardium occidentale L.)

Tanaman mente bukan merupakan tanaman asli Indonesia, Tanaman ini

berasaI dari pegunungan di benua Amerika yang beriklim tropis (Brasilia).

Tanaman mente tersebar di daerah tropis, terutama di Asia Selatan seperti India,

Burma, Filipina, Semenanjung Melayu dan Indonesia. Mente memiliki banyak

nama/istilah seperti Cashew-nut (Inggris), Jambu Moyet, Jambu Mente

(Indonesia); Jambu Mente (Jawa), Jambu Mede (Sunda), Gaju (Lampung)

(Mandal, 2000).

Penyebaran mente ke Indonesia dibawa oleh pelaut Portugis sekitar 400

tahun yang lalu, dan dibudidayakan di wilayah-lahankering di Kawasan Timur

Indonesia. Produktivitas jambu mente dipengaruhi oleh banyak faktor antara

lain mutu/kualitas benih yang digunakan, faktor abiotik (tekstur tanah,

kelembaban, suhu, cahaya) (Opoku-Ameyaw, et.al., 2007) faktor biotik

(mikrobia) (Zaubin dan Daras, 2002).

Tanaman mente diketahui sebagai tanaman budidaya tahunan. Tanaman

tersebut seringkali akan mengalami gagal panen apabila dalam periode

generative (periode pembungaan) kondisi lingkungannya tidak mendukung

seperti curah hujan tidak memadai dan tidak menentu atau terjadi kekeringan

selama 1-2 minggu berturut-turut (Mandal, 2000; Sudarto et al., 2004). Selain

hal tersebut diatas, salah satu kendala yang mempengaruhi kegagalan dalam

pembibitan yaitu pada periode penyimpanan biji mente (Ibiremo, 2010).

Periode penyimpanan biji mente yang terlalu lama (lebih dari 12 bulan)

dapat menurunkan kemampuan biji mente dalam berkecambah (Aliyu and

Akintaro, 2007 ; Ibiremo, 2010). Hasil penelitian menunjukkan bahwa

Page 27: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

27

penyimpanan biji mente yang dilakukan dari satu tahun setelah pemanenan

menghasilkan viabilitas yang rendah (<75%) dalam perkecambahan biji.

Berdasarkan pengamatan pada uji pendahuluan penelitian ini, biji mente hasil

penyimpanan produk panen yang disimpan lebih dari 12 bulan sangat terhambat

kemampuan germinasinya. Hasil pengamatan terlihat jelas bahwa meskipun

biji-biji mente tersebut mampu bergerminasi dan tumbuh menjadi bibit namun

membutuhkan waktu yang lama yaitu antara 15- 20 hari.

Berdasarkan survey dilapangan, faktor dominan yang sangat mempengaruhi

produktivitas tanaman mente masih sulit diketahui. Hal ini karena adanya

keterkaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya. Rendahnya produktivitas

buah mente diduga berawal dari persepsi umum bahwa jambu mente tidak

menuntut persyaratan tumbuh yang ketat karena tanaman mente mampu

beradaptasi baik pada berbagai kondisi tanah baik tanah yang subur, tidak

subur, basah atau kering sehingga problem pada produktivitas mente belum

terselesaikan sampai saat ini (Sukawidana, 2010).

Hasil studi lapangan diketahui bahwa bibit jambu mente terutama yang

berumur kurang dari 1 tahun memiliki sistem perakaran yang sangat sedikit

dibanding bibit tanaman berkayu lainnya (misal: jati belanda dan intaran)

sehingga kemampuan bibit untuk bisa tumbuh sangat lambat pada periode

tanam yang sama. Salah satu alternatif untuk mengatasi hal tersebut adalah

dengan cara memanipulasi daerah disekitar perakaran tanaman (daerah

rhizosfer) dengan menginokulasi endomikoriza terutama pada fase pembibitan

mente (Sukawidana, 2010). Inokulasi endomikoriza akan efektif dan mampu

mengkolonisasi akar jika biji-biji atau gelondong mente ditanam pada

Page 28: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

28

kedalaman 7 – 10 cm (Kartini, 1997; Darmais, pers.com., 2011). Menurut Baon

(1997), bibit mente yang telah diinokulasi dengan spora cendawan mikoriza dan

akarnya telah terkolonisasi oleh hifa endomikoriza, bibit tersebut dapat

dipindahkan ke lapangan dan endomikoriza akan terkolonisasi terus pada

system perakaran tanaman tersebut sampai tanaman dewasa.

Pengembangan jambu mente di Indonesia umumnya ditanam pada

lahan/areal marginal yang memiliki kandungan bahan organik rendah.

Penggunaan pupuk organik sangat dianjurkan dalam budi daya jambu mente di

lahan marginal. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa pemupukan dengan

menggunakan bahan organik dan non organik serta ditambahkan inoklasi spora

dan propagul endomikoriza dapat memperbaiki kandungan hara tanah dan dapat

meningkatkan pertumbuhan dan hasil produksi jambu mente (Daras, 2007;

Opoku-Ameyaw et.al., 2007).

2.4. Manfaat Mikoriza Bagi Tanaman

Keuntungan yang didapat dari simbiosis mutualistik antara cendawan

endomikriza dan tanaman adalah tanaman memberi gula dan karbon untuk

cendawan dan cendawan membantu dalam penyerapan air, fosfat, mineral dan

nutrisi lainnya yang diperlukan bagi tumbuhan (Brundrett et al., 2008 ; Smith et

al., 2010). Fosfat merupakan unsur essensial yang diperlukan tanaman dalam

jumlah banyak (Smith dan Read, 2008 ; Smith et.al., 2010). Sementara pada

areal yang memiliki kondisi tanah cenderung bersifat asam dapat menyebabkan

fosfat yang terdapat ditanah dalam bentuk tidak tersedia bagi tanaman karena

kondisi asam menyebabkan fosfat terikat kuat dengan Fe sebagai senyawa.

Keberadaan endomikoriza pada tanah tanah tersebut mampu mengubah fosfat

Page 29: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

29

yang tidak tersedia menjadi tersedia bagi tanaman (Powell dan Bagyaraj, 1984;

Widiastuti, 2004).

Akar-akar tanaman yang telah terkolonisasi oleh mikoriza mampu

melakukan aktifitas fotosintesis dengan baik sehingga tanaman lebih sehat dan

pada akhirnya mampu menghambat infeksi patogen melalui mekanisme

enzimatis yang dihasilkan oleh tanaman dan mikoriza. Proses penghambatan

masuknya patogen ke akar tanaman yaitu dengan memanipulasi kondisi yang

tidak menguntungkan untuk pertumbuhan patogen pada tanaman yaitu dengan

jalan menggunakan karbohidrat dan eksudat akar oleh mikoriza, sehingga

mikoriza dapat memanfaatkan karbohidrat dan eksudat-eksudat untuk

selanjutnya mikoriza mampu mengeluarkan zat-zat tertentu yang dapat

berfungsi untuk menekan atau mematikan patogen sehingga patogen tidak

mampu menginfeksi akar tanaman (Smith dan Read, 1997).

Page 30: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

30

BAB III.

KERANGKA BERFIKIR, KONSEP DAN

HIPOTESIS PENELITIAN

3.1. Kerangka Berpikir

Kawasan di Bali yang tergolong “lahan kering” misalnya sebagian

Kabupaten Buleleng dan Karangasem sangat mengandalkan musim hujan dan

pupuk untuk meningkatkan hasil pertaniannya karena kawasan tersebut relatif

tidak subur (Antara, 2004 ; Daryana, 2010). Salah satu upaya dalam

meningkatkan produksi pertanian lahan kering dapat dilakukan dengan

pengembangan model pertanian organik menggunakan pupuk hayati mikoriza

(Anas, 2000 ; Priono, 2008 ; Sukasta et al., 2010).

Salah satu tanaman yang banyak dibudiyakan pada lahan kering di Bali

adalah tanaman mente (A. occidentale L ). Para petani mente umumnya jarang

melakukan regenarasi tanaman mente yang telah tua (berumur lebih dari 25

tahun) dan mengganti tanaman tua dengan melakukan pembibitan mente

(Suharto, 2012). Hasil survey di lapangan, beberapa kendala yang dihadapi

para petani mente dalam melakukan pembibitan mente antara lain: akar bibit

mente mudah sekali patah pada waktu pemindahan dari kebun bibit ke areal

perkebunan, bibit mudah layu dan mati bila sudah dipindahkan ke areal

perkebunan. Menurut Sukawidana (2010), pembibitan mente terdapat banyak

kendala antara lain pertumbuhan bibit yang tidak seragam, jumlah perakaran

(serabut) yang dihasilkan sangat sedikit sehingga menyebabkan kemampuan

absorbsi hara dan mineral dari tanah rendah Kendala-kendala tersebut pada

akhirnya menyebabkan produktivitas mente di Bali dan Nusatenggara, termasuk

Page 31: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

31

di lahan kering perkebunan mente Desa Sendang Kecamatan Gerokgak

Kabupaten Buleleng dan Desa Sukadana Kecamatan Kubu Kabupaten

Karangasem menjadi tidak/kurang maksimum. Meskipun sejauh ini belum

diketahui secara pasti penyebab kematian tersebut, diduga bahwa kematian bibit

mente tersebut disebabkan oleh rendahnya kemampuan dan daya tahan bibit

mente setelah fase pemindahan dari persemaian terutama di Sukadana yang

kondisi tanahnya sangat kering (Sukawidana, 2010 ; Darmais-2011 pers com).

Mengacu pada kemampuan mikoriza dalam membantu absorbsi air dan mineral

tanaman di lahan kering (Novriani dan Madjid, 2009), pemanfaatan mikoriza

untuk peningkatan kualitas produk pertanian perlu dikembangkan sehingga

diharapkan penelitian ini dapat mengatasi salah satu faktor pembatas

pertumbuhan mente pada lahan kering di Bali,

Cendawan endomikoriza mampu berasosiasi pada lebih dari 80% jenis-jenis

tanaman berpembuluh. Kolonisasi cendawan endomikoriza pada akar tanaman

inang dapat membantu dalam meningkatkan efisiensi penyerapan unsur hara

Fosfat pada lahan kering atau lahan marginal (Hapsoh, 2008, Smith et al., 2010)

Tanaman yang bermikoriza lebih tahan terhadap kekeringan karena adanya

peranan hifa-hifa ekternal mikoriza mampu menyerap air pada pori-pori tanah

yang tidak bisa dicapai oleh akar tanaman inangnya (Smith dan Read, 1997).

Pemanfaatan endomikoriza sebagai pupuk hayati telah dicoba pada beberapa

tanaman pertanian dan perkebunan di Bali namun endomikoriza yang

digunakan sebagai pupuk tersebut adalah merupakan produk komersial yang

diperoleh dari luar Bali, yaitu pupuk mikoriza “Biosfer” dalam pembibitan

tanaman Panili (Tirta, 2006); kombinasi spora endomikoriza komersial dan

Page 32: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

32

cendawan Trichoderma untuk mengurangi laju infeksi Jamur Akar Putih (JAP)

pada tanaman Mente (Priono, 2008); penggunaan pupuk mikoriza “Technofert”

meningkatkan produksi tanaman pakan sapi (Sukasta et al., 2010); pemupukan

mikoriza pada tanaman gamal di Karangasem (Antara, 2010).

Penelitian tentang pemanfaatan pupuk hayati endomikoriza indigenus yang

dieksplorasi dari lahan kering di Bali masih sangat sedikit bahkan bisa

dikatakan belum ada data–datanya. Penelitian ekplorasi endomikoriza di lahan-

lahan kering di Bali khususnya di rhizosfer mente adalah sangat diperlukan

untuk dapat mengetahui isolat endomikoriza jenis apa yang bisa diaplikasikan

pada tanaman mente pertanian lahan kering di Bali karena menurut

Suryatmana,et al. (2009), sebagian besar mikroba bersifat spesifik area, artinya

mikroba yang dieksplorasi dari daerah setempat relatif lebih cepat beradaptasi

dan tumbuh pada daerah tersebut dibanding mikroba yang diambil dari daerah

lain.

3.2. Konsep Penelitian

Salah satu kendala pemanfaatan endomikoriza untuk pemupukan tanaman

yang dibudidayakan di lahan kering termasuk Bali adalah ketersediaan isolat

indigenus endomikoriza sebagai pupuk yang sudah siap dalam bentuk pupuk

hayati. Cendawan endomikoriza mampu bersimbiosis dengan berbagai tanaman

(pertanian, kehutanan dan perkebunan) dan membantu dalam meningkatkan

efisiensi penyerapan air dari dalam tanah serta meningkatkan serapan hara

mineral pada lahan marginal (Hapsoh, 2008; Suryatmana et al.,2009; Ibiremo,

2010). Keanekaragaman jenis endomikoriza`di alam sangat dipengaruhi oleh

kondisi tanah yang basah, kering, tingkat porositas tanah atau bahkan tanah

Page 33: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

33

yang sangat liat (Danesh et al., 2007). Selain keanekaragaman jenis, kerapatan

jumlah spora dan persentase kolonisasi endomikoriza di alam sangat

dipengaruhi oleh faktor perbedaan tempat (spatial), musim (temporal) dan

tinggi rendahnya curah hujan (Bohrer et al.,2001). Keunikan endomikoriza

adalah merupakan cendawan tanah yang bersifat simbiosis obligat ( Mikola,

1980; Smith dan Read, 1997; Brundrett et al., 2008). artinya cendawan tersebut

tidak bisa diisolasi pada medium buatan sehingga untuk dapat memperbanyak

spora dan hifa cendawan endomikoriza harus dilakukan propagasi atau

perbanyakan menggunakan inang (Simanungkalit, 2003)

Perbanyakan spora dan propagul endomikoriza dipengaruhi banyak faktor

seperti ketersediaan hara tanah (Novriani dan Madjid, 2009); jenis tanaman

inang untuk propagasi/perbanyakan spora (Widiastuti, 2002; Simanungkalit,

2003) dan penambahan pupuk (Widiatuti, 2004). Pemanfaatan berbagai macam

jenis pupuk telah dicoba seperti vermin-kompos (Sukawidana, 2010) dan pupuk

NPK (Tirta, 2006) namun hasil menunjukkan bahwa kedua jenis pupuk tersebut

tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan sporadan hifa endomikoriza.

Menurut Widiastuti (2004) pupuk standar digunakan untuk perbanyakan spora

adalah hara Johnson karena formulasi dalam hara Johnson dapat dimanipulasi

kandungan Fosfatnya sehingga tidak menghambat pertumbuhan hifa dan

kolonisasi endomikoriza diakar. Untuk itu hara Johnson perlu dicoba dan

dimanipulasi konsentrasi P didalamnya sehingga tidak menghambat

pertumbuhan hifa dan spora indigenus Bali pada fase perbanyakan.

Rendahnya laju pertumbuhan jambu mente di lahan wilayah Nusa Tenggara

termasuk Bali diakibatkan oleh kekurangan air, hara, kelembaban tanah serta

Page 34: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

34

kandungan organik tanah yang rendah (Adiningsih et al., 1994; Setiadi, 2000;

Rohimat, 2002; Antara 2004). Menurut Widiastuti (2004), inokulasi

endomikoriza menggunakan propagul campuran (spora dan akar terkolonisasi

hifa) dapat meningkatkan laju pertumbuhan tanaman target. Berdasarkan fakta-

fakta tersebut dan guna meningkatkan kualitas pertumbuhan bibit tanaman

mente di Bali khususnya maka penelitian tentang pengaplikasian endomikoriza

pada pembibitan mente relevan dan penting dilakukan. Diagram alur Konsep

penelitian pada Gambar 3.1.

3.3. Hipothesis

Hipothesis dari penelitian ini adalah:

1. Spesies, kerapatan spora dan kolonisasi endomikoriza berbeda antar tempat

dan waktu

2. Perbedaan konsentrasi P dalam hara Johnson berpengaruh terhadap jumlah

spora dan kolonisasi endomikoriza pada perbanyakan di tanaman Jagung.

3. Perbedaan spesies endomikoriza berpengaruh terhadap respon pertumbuhan

bibit mente (Anacardium occidentale L.).

4. Perbedaan media pembawa inokulum endomikoriza berpengaruh terhadap

respon pertumbuhan bibit mente (A. occidentale L.)

Page 35: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

35

Tanaman mete (A. occidentale L)Kendala pada peremajaan akibat akar mudah

patah dan akar serabut sedikit

Fakta

Belum tersedia isolat endomikoriza indigenusdalam bentuk pupuk di Bali

pupuk

Pertanian Lahan Kering di Kecamatan Kubu-Karangasem dan Kecamatan Gerokgak-Buleleng

Jamur endomikrorizaMembantu tanaman dalam penyerapan P, mineral dan air

Eksplorasi endomikoriza indigenus dari lahankering di Desa Sukadana Kabupaten Karangasem

dan Desa Sendang Kabupaten Buleleng

Aplikasi Endomikoriza padapembibitan mente

Media pembawa sporaendomikoriza dalam formula pupuk

untuk bibit mente

Perbanyakan spora endomikorizadengan tanaman inang Jagung (Zea mays)

Pertanian Lahan Kering di Kecamatan Kubu-Karangasem dan Kecamatan Gerokgak-Buleleng

Pertanian Lahan Kering di Kecamatan Kubu-Karangasem dan Kecamatan Gerokgak-Buleleng

Produktifitas tanaman budidayarendah karena terkendala oleh musim

Pertanian Lahan Kering di Kecamatan Kubu-Karangasem dan Kecamatan Gerokgak-Buleleng

Pertanian Lahan Kering di Kecamatan Kubu-Karangasem dan Kecamatan Gerokgak-Buleleng

Tanaman mete (A. occidentale L)Kendala pada peremajaan akibat akar mudah

patah dan akar serabut sedikit

Produktifitas tanaman budidayarendah karena terkendala oleh musim

Pertanian Lahan Kering di Kecamatan Kubu-Karangasem dan Kecamatan Gerokgak-Buleleng

Tanaman mete (A. occidentale L)Kendala pada peremajaan akibat akar mudah

patah dan akar serabut sedikit

Produktifitas tanaman budidayarendah karena terkendala oleh musim

Pertanian Lahan Kering di Kecamatan Kubu-Karangasem dan Kecamatan Gerokgak-Buleleng

Tanaman mete (A. occidentale L)Kendala pada peremajaan akibat akar mudah

patah dan akar serabut sedikit

Produktifitas tanaman budidayarendah karena terkendala oleh musim

Pertanian Lahan Kering di Kecamatan Kubu-Karangasem dan Kecamatan Gerokgak-Buleleng

Jamur endomikrorizaMembantu tanaman dalam penyerapan P, mineral dan air

Tanaman mete (A. occidentale L)Kendala pada peremajaan akibat akar mudah

patah dan akar serabut sedikit

Produktifitas tanaman budidayarendah karena terkendala oleh musim

Pertanian Lahan Kering di Kecamatan Kubu-Karangasem dan Kecamatan Gerokgak-Buleleng

Jamur endomikrorizaMembantu tanaman dalam penyerapan P, mineral dan air

Tanaman mete (A. occidentale L)Kendala pada peremajaan akibat akar mudah

patah dan akar serabut sedikit

Produktifitas tanaman budidayarendah karena terkendala oleh musim

Pertanian Lahan Kering di Kecamatan Kubu-Karangasem dan Kecamatan Gerokgak-Buleleng

Fakta

Belum tersedia isolat endomikoriza indigenusdalam bentuk pupuk di Bali

pupuk

Jamur endomikrorizaMembantu tanaman dalam penyerapan P, mineral dan air

Tanaman mete (A. occidentale L)Kendala pada peremajaan akibat akar mudah

patah dan akar serabut sedikit

Produktifitas tanaman budidayarendah karena terkendala oleh musim

Pertanian Lahan Kering di Kecamatan Kubu-Karangasem dan Kecamatan Gerokgak-Buleleng

Eksplorasi endomikoriza indigenus dari lahankering di Desa Sukadana Kabupaten Karangasem

dan Desa Sendang Kabupaten Buleleng

Fakta

Belum tersedia isolat endomikoriza indigenusdalam bentuk pupuk di Bali

pupuk

Jamur endomikrorizaMembantu tanaman dalam penyerapan P, mineral dan air

Tanaman mete (A. occidentale L)Kendala pada peremajaan akibat akar mudah

patah dan akar serabut sedikit

Produktifitas tanaman budidayarendah karena terkendala oleh musim

Pertanian Lahan Kering di Kecamatan Kubu-Karangasem dan Kecamatan Gerokgak-Buleleng

Eksplorasi endomikoriza indigenus dari lahankering di Desa Sukadana Kabupaten Karangasem

dan Desa Sendang Kabupaten Buleleng

Fakta

Belum tersedia isolat endomikoriza indigenusdalam bentuk pupuk di Bali

pupuk

Jamur endomikrorizaMembantu tanaman dalam penyerapan P, mineral dan air

Tanaman mete (A. occidentale L)Kendala pada peremajaan akibat akar mudah

patah dan akar serabut sedikit

Produktifitas tanaman budidayarendah karena terkendala oleh musim

Pertanian Lahan Kering di Kecamatan Kubu-Karangasem dan Kecamatan Gerokgak-Buleleng

Perbanyakan spora endomikorizadengan tanaman inang Jagung (Zea mays)

Eksplorasi endomikoriza indigenus dari lahankering di Desa Sukadana Kabupaten Karangasem

dan Desa Sendang Kabupaten Buleleng

Fakta

Belum tersedia isolat endomikoriza indigenusdalam bentuk pupuk di Bali

pupuk

Jamur endomikrorizaMembantu tanaman dalam penyerapan P, mineral dan air

Tanaman mete (A. occidentale L)Kendala pada peremajaan akibat akar mudah

patah dan akar serabut sedikit

Produktifitas tanaman budidayarendah karena terkendala oleh musim

Pertanian Lahan Kering di Kecamatan Kubu-Karangasem dan Kecamatan Gerokgak-Buleleng

Aplikasi Endomikoriza padapembibitan mente

Perbanyakan spora endomikorizadengan tanaman inang Jagung (Zea mays)

Eksplorasi endomikoriza indigenus dari lahankering di Desa Sukadana Kabupaten Karangasem

dan Desa Sendang Kabupaten Buleleng

Fakta

Belum tersedia isolat endomikoriza indigenusdalam bentuk pupuk di Bali

pupuk

Jamur endomikrorizaMembantu tanaman dalam penyerapan P, mineral dan air

Tanaman mete (A. occidentale L)Kendala pada peremajaan akibat akar mudah

patah dan akar serabut sedikit

Produktifitas tanaman budidayarendah karena terkendala oleh musim

Pertanian Lahan Kering di Kecamatan Kubu-Karangasem dan Kecamatan Gerokgak-Buleleng

Aplikasi Endomikoriza padapembibitan mente

Perbanyakan spora endomikorizadengan tanaman inang Jagung (Zea mays)

Eksplorasi endomikoriza indigenus dari lahankering di Desa Sukadana Kabupaten Karangasem

dan Desa Sendang Kabupaten Buleleng

Fakta

Belum tersedia isolat endomikoriza indigenusdalam bentuk pupuk di Bali

pupuk

Jamur endomikrorizaMembantu tanaman dalam penyerapan P, mineral dan air

Tanaman mete (A. occidentale L)Kendala pada peremajaan akibat akar mudah

patah dan akar serabut sedikit

Produktifitas tanaman budidayarendah karena terkendala oleh musim

Pertanian Lahan Kering di Kecamatan Kubu-Karangasem dan Kecamatan Gerokgak-Buleleng

Aplikasi Endomikoriza padapembibitan mente

Perbanyakan spora endomikorizadengan tanaman inang Jagung (Zea mays)

Eksplorasi endomikoriza indigenus dari lahankering di Desa Sukadana Kabupaten Karangasem

dan Desa Sendang Kabupaten Buleleng

Fakta

Belum tersedia isolat endomikoriza indigenusdalam bentuk pupuk di Bali

pupuk

Jamur endomikrorizaMembantu tanaman dalam penyerapan P, mineral dan air

Tanaman mete (A. occidentale L)Kendala pada peremajaan akibat akar mudah

patah dan akar serabut sedikit

Produktifitas tanaman budidayarendah karena terkendala oleh musim

Pertanian Lahan Kering di Kecamatan Kubu-Karangasem dan Kecamatan Gerokgak-Buleleng

Produktifitas tanaman budidayarendah karena terkendala oleh musim

Pertanian Lahan Kering di Kecamatan Kubu-Karangasem dan Kecamatan Gerokgak-Buleleng

Tanaman mete (A. occidentale L)Kendala pada peremajaan akibat akar mudah

patah dan akar serabut sedikit

Produktifitas tanaman budidayarendah karena terkendala oleh musim

Pertanian Lahan Kering di Kecamatan Kubu-Karangasem dan Kecamatan Gerokgak-Buleleng

Fakta

Belum tersedia isolat endomikoriza indigenusdalam bentuk pupuk di Bali

pupuk

Jamur endomikrorizaMembantu tanaman dalam penyerapan P, mineral dan air

Tanaman mete (A. occidentale L)Kendala pada peremajaan akibat akar mudah

patah dan akar serabut sedikit

Produktifitas tanaman budidayarendah karena terkendala oleh musim

Pertanian Lahan Kering di Kecamatan Kubu-Karangasem dan Kecamatan Gerokgak-Buleleng

Fakta

Belum tersedia isolat endomikoriza indigenusdalam bentuk pupuk di Bali

pupuk

Jamur endomikrorizaMembantu tanaman dalam penyerapan P, mineral dan air

Tanaman mete (A. occidentale L)Kendala pada peremajaan akibat akar mudah

patah dan akar serabut sedikit

Produktifitas tanaman budidayarendah karena terkendala oleh musim

Pertanian Lahan Kering di Kecamatan Kubu-Karangasem dan Kecamatan Gerokgak-Buleleng

Eksplorasi endomikoriza indigenus dari lahankering di Desa Sukadana Kabupaten Karangasem

dan Desa Sendang Kabupaten Buleleng

Fakta

Belum tersedia isolat endomikoriza indigenusdalam bentuk pupuk di Bali

pupuk

Jamur endomikrorizaMembantu tanaman dalam penyerapan P, mineral dan air

Tanaman mete (A. occidentale L)Kendala pada peremajaan akibat akar mudah

patah dan akar serabut sedikit

Produktifitas tanaman budidayarendah karena terkendala oleh musim

Pertanian Lahan Kering di Kecamatan Kubu-Karangasem dan Kecamatan Gerokgak-Buleleng

Perbanyakan spora endomikorizadengan tanaman inang Jagung (Zea mays)

Eksplorasi endomikoriza indigenus dari lahankering di Desa Sukadana Kabupaten Karangasem

dan Desa Sendang Kabupaten Buleleng

Fakta

Belum tersedia isolat endomikoriza indigenusdalam bentuk pupuk di Bali

pupuk

Jamur endomikrorizaMembantu tanaman dalam penyerapan P, mineral dan air

Tanaman mete (A. occidentale L)Kendala pada peremajaan akibat akar mudah

patah dan akar serabut sedikit

Produktifitas tanaman budidayarendah karena terkendala oleh musim

Pertanian Lahan Kering di Kecamatan Kubu-Karangasem dan Kecamatan Gerokgak-Buleleng

Perbanyakan spora endomikorizadengan tanaman inang Jagung (Zea mays)

Eksplorasi endomikoriza indigenus dari lahankering di Desa Sukadana Kabupaten Karangasem

dan Desa Sendang Kabupaten Buleleng

Fakta

Belum tersedia isolat endomikoriza indigenusdalam bentuk pupuk di Bali

pupuk

Jamur endomikrorizaMembantu tanaman dalam penyerapan P, mineral dan air

Tanaman mete (A. occidentale L)Kendala pada peremajaan akibat akar mudah

patah dan akar serabut sedikit

Produktifitas tanaman budidayarendah karena terkendala oleh musim

Pertanian Lahan Kering di Kecamatan Kubu-Karangasem dan Kecamatan Gerokgak-Buleleng

Perbanyakan spora endomikorizadengan tanaman inang Jagung (Zea mays)

Eksplorasi endomikoriza indigenus dari lahankering di Desa Sukadana Kabupaten Karangasem

dan Desa Sendang Kabupaten Buleleng

Fakta

Belum tersedia isolat endomikoriza indigenusdalam bentuk pupuk di Bali

pupuk

Jamur endomikrorizaMembantu tanaman dalam penyerapan P, mineral dan air

Tanaman mete (A. occidentale L)Kendala pada peremajaan akibat akar mudah

patah dan akar serabut sedikit

Produktifitas tanaman budidayarendah karena terkendala oleh musim

Pertanian Lahan Kering di Kecamatan Kubu-Karangasem dan Kecamatan Gerokgak-Buleleng

Media pembawa sporaendomikoriza dalam formula pupuk

untuk bibit mente

Aplikasi Endomikoriza padapembibitan mente

Perbanyakan spora endomikorizadengan tanaman inang Jagung (Zea mays)

Eksplorasi endomikoriza indigenus dari lahankering di Desa Sukadana Kabupaten Karangasem

dan Desa Sendang Kabupaten Buleleng

Fakta

Belum tersedia isolat endomikoriza indigenusdalam bentuk pupuk di Bali

pupuk

Jamur endomikrorizaMembantu tanaman dalam penyerapan P, mineral dan air

Tanaman mete (A. occidentale L)Kendala pada peremajaan akibat akar mudah

patah dan akar serabut sedikit

Produktifitas tanaman budidayarendah karena terkendala oleh musim

Pertanian Lahan Kering di Kecamatan Kubu-Karangasem dan Kecamatan Gerokgak-Buleleng

Gambar 3.1 Diagram Alur Konsep penelitian

Page 36: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

36

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1.Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan dalam tiga tahap yaitu: penelitian lapangan

(ekplorasi), laboratorium dan Rumah kaca. Penelitian lapangan meliputi

pengambilan sampel tanaman dan tanah. Penelitian laboratorium mencakup

penghitungan jumlah spora, identifikasi endomikoriza, pengamatan kolonisasi

akar, dan analisa tanah. Penelitian rumah kaca meliputi optimasi

propagasi/perbanyakan spora endomikoriza, uji efektifitas spora dan propagul

pada bibit mente (A.occidentale L.) dan optimasi media pembawa

endomikoriza. Penelitian secara keseluruhan bulan April 2011 – Juni 2012.

Lokasi pengambilan sampel dilakukan pada dua lokasi perkebunan mente

yaitu di Desa Sendang Kecamatan Grograk Kabupaten Buleleng dan Desa

Sukadana Kecamatan Kubu Kabupaten Karang Asem. Penelitian laboratorium

dilakukan pada Laboratorium Tanah Fakultas pertanian Unud untuk analisa sifat

fisika-kimia tanah, Laboratorium UPT Analitik Universitas Udayana untuk

analisa kandungan P tanaman uji dan Laboratorium Taksonomi Tumbuhan

Jurusan Biologi F-MIPA Unud untuk penyaringan dan penghitungan spora pada

tanah sampel, karakterisasi dan identifikasi endomikoriza, prosessing seluruh

sampel akar tanaman, mengamati dan menghitung prosentase kolonisasi

endomikoriza. Penelitian lanjutan dilakukan di Laboratoriun Taksonomi

Tumbuhan Rendah LIPI Cibinong Bogor untuk identifikasi endomikoriza

tingkat spesies. Penelitian di rumah kaca Fakultas Pertanian Universitas

Page 37: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

37

Udayana untuk perbanyakan spora endomikoriza, aplikasi dan optimasi media

pembawa endomikoriza pada bibit mente (Anacardium occidentale L.). Alur

penelitian pada Gambar 4.1:

Gambar 4.1. Alur Skema Penelitian

1. Eksplorasiendomikoriza

- Kawasan :Karangasem &Buleleng

- Tanamanmente dantanaman sela yangditanam petanisetempat

- Waktu: satuperiode musim

2.Faktor lingkungan:fisika kimia lingkungan:keasaman (pH) tanah ,kandungan bahanorganik ( N.P, K, C),kadar air tanah

1. Identifikasiendomikoriza

2. Menghitungjumlah spora,% kolonisasimikorizapada akartanaman

1. Perbanyakanspora :Jenis spora danpenurunankonsentrasi Pdalam haraJohnson

2. Optimasiendomikorizapada bibit mente :

Formulasi inokulan(spora dan propagul)

Berat inokulan

3. Optimasi mediaFormulasi jenismedia pembawa

HASIL1. *Jumlah spora

* Formula optimum2. *Respon bibit mente

* Media optimum*Berat inokulan

(jumlah spora)*Jenis inokulan*Jenis endomikoriza

yang terbaik3. Jenis media pembawa

spora yang terbaik

ObservasiLapangan

Uji Labo-ratorium

Uji SkalaRumah Kaca

HASIL

1. Jenis –jenisendomikoriza

2. Kerapatanpopulasisporaendomikoriza

3. % kolonisasiendomikoriza

LuaranJangkaPanjang:

Produksimasal pupukhayatiendomikorizaindigenus Bali

Luaran:Formulaendomikorizaindigenus Balipada bibitmente

Page 38: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

38

4.2. Prosedur Penelitian

4.2.1. Penelitian di lapangan

Sampel tanah dan akar tanaman (bagian serabut akar) di ambil pada

kedalaman 20-30 cm sesuai acuan Widiastuti (2004). Sampel akar tanaman

yaitu: Mente (A.occidentale), Jagung (Zea mays), Kacang Koma (Lablab

purpureus), Singkong (Manihot uttilissima) dan Kacang Undis (Cajanus cajan)

di ambil dari lokasi perkebunan di desa Sendang Kecamatan Kubu dan sampel

akar tanaman Mente (A. occidentale), Jagung (Zea mays), Kacang Undis

(Cajanus cajan), Singkong (Manihot utilissima) dan Cabai Kecil (Capsicum

frutescens). diambil dari perkebunan mente di desa Sendang Kecamatan

Gerograk. Tiap jenis tanaman yang digunakan sebagai sampel sebanyak lima

tanaman (25 tanaman/lokasi), pengambilan sampel dilakukan secara periodik

tiap dua bulan selama satu periode musim sehingga pengambilan sampel di

lapangan sebanyak enam kali (April 2011 – Februari 2012).

Sampel tanah diambil untuk isolasi spora endomikoriza, akar tanaman untuk

melihat kolonisasi pada akar diproses di laboratorium Taksonomi Tumbuhan

Rendah Jurusan Biologi F-MIPA Unud. .Sampel tanah tiap lokasi untuk analisa

kandungan tanah dianalisis di Laboratorium Tanah Fakultas Pertanian Unud dan

UPT Laboratorium Kimia Analitik Universitas Udayana Bali (dilihat pada

prosedur 4.2.3).

4.2.2. Penelitian di laboratorium

Penelitian laboratorium terdiri dari Identifikasi endomikoriza,

penghitungan kolonisasi dan penghitungan jumlah spora. (Alur skema

penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.1.).

Page 39: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

39

4.2.2.1. Karakterisasi dan identifikasi jenis mikoriza

4.2.2.1.1. Isolasi spora dan penghitungan jumlah spora

Isolasi spora dilakukan menggunakan Metode Penyaringan Basah

(Brundrett et al., 2008) sebagai berikut: Tanah sebanyak 250 g direndam dalam

1 liter air (rasio 1:4), diaduk agar spora yang melekat pada partikel tanah dapat

terlepas, dibiarkan selama 10 menit agar mengendap. Supernatan dituang dalam

saringan bertingkat merk ”Analysensieb Eckhardt 5657 Haan W.

Germany“dengan ukuran pori saringan (500 μm, 300 μm, 200 μm, 63 μm dan

45 μm). Supernatan dicuci di bawah air mengalir sampai jernih dan didapatkan

spora-spora endomikoriza. Spora-spora dituangkan pada cawan petri, diamati

di bawah mikroskop disekting-set, dihitung menggunakan counter. Spora yang

telah dihitung jumlahnya kemudian dipisah-pisahkan berdasarkan perbedaan

morfologi spora (warna, ukuran dan bentuk) disimpan dalam botol kaca berisi

aquadest steril pada refrigerator (suhu 5oC) untuk dilakukan identifikasi.

4.2.2.1.2.Identifikasi jenis endomikoriza

Identifikasi dilakukan berdasarkan karakter morfologi (bentuk, diameter,

warna, pola dan jumlah lapisan dinding spora, ornamentasi dinding spora,

bentuk/pola perkecambahan spora pada proses pembentukan hifa.) dan reaksi

dinding spora apabila ditetesi larutan Melzer dan Polivinil alcohol-lacto

gliserol (PVLG) menggunakan acuan dari Walker (1983); Kramadibrata et al

(1983); Schenck et al. (1984); Schenck dan Perez (1990); Morton dan Benny

(1990); Schϋβler et al., (2001), INVAM (2005); Kramadibrata (2008) dan

Brundret et al., (2008). Identifikasi secara morfologi di laboratorium

Taksonomi Tumbuhan Jurusan Biologi FMIPA Unud dilakukan sampai tingkat

Page 40: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

40

genera. Spora-spora yang tidak bisa teridentifikasi sampai tingkat spesies

disimpan dalam air steril dan sebagian spora tetap ditumbuhkan dalam tanaman

inang (Zea mays) supaya spora endomikoriza tetap hidup. Identifikasi sampai

tingkat spesies dilakukan di Laboratorium Taksonomi Tumbuhan Rendah LIPI.

Cibinong Bogor. Spora-spora yang telah diidentifikasi disimpan dalam botol

berisi air steril dan ditaruh di kulkas untuk digunakan dalam penelitian

propagasi/perbanyakan spora di rumah kaca. Proses ini dilakukan menurut

acuan INVAM (2005) dan Brundrett et al. (2008).

4.2.2.1.3. Persentase kolonisasi endomikoriza pada akar tanaman

Penghitungan persentase kolonisasi endomikoriza pada akar digunakan

prosedur dari Kormanik dan Mc.Graw (1982) yang dimodifikasi. Sampel akar

diproses secara berurutan dalam beberapa tahap yaitu clearing, staining dan

destaining. Proses clearing; akar yang muda (serabut) tiap sampel tanaman

direndam larutan KOH 10% selama 24-48 jam atau sampai akar berwarna

kuning bersih transparant. Akar yang berwarna pekat setelah direndam larutan

KOH 10%, direndam kembali dalam larutan hipoklorit 10% selama 12 - 24 jam

untuk menghilangkan zat warna akar. Setelah akar terlihat transparan, akar

dibilas air mengalir sampai akar tidak terasa licin. Akar diasamkan dengan

larutan HCl 1% selama 30 menit (Proborini, 1998). Larutan HCl 1% berfungsi

untuk mempermudah penempelan zat pewarna pada akar dan hifa. Proses

staining dilakukan setelah larutan HCl 1% dibuang, diganti dengan larutan

staining (gliserol, asam laktat, aquades perbandingan 2 : 2 : 1 dan ditambah

trypan blue (0,05%). Sampel akar didedahkan 24-48 jam atau sampai akar

terwarnai (tergantung tiap spesies tanaman). Pewarna trypan blue berfungsi

Page 41: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

41

untuk mewarnai hifa, vesikel atau arbuskul di dalam akar. Larutan staining

dibuang, diganti larutan destaining (larutan staining tanpa trypan blue) untuk

mengurangi kelebihan intensitas warna sehingga bagian korteks akar dan

miselium endomikoriza tampak jelas pada pengamatan di bawah mikroskop

Dissectingset dan Binokuler. Sampel akar yang telah terwarnai, ditempatkan

pada cawan petri yang telah diberi grid-line (0.5 x 0.5 cm2), dihitung persentase

kolonisasi mikoriza pada lajur vertikal dan horizontal menggunakan counter.

Persentase kolonisasi mikoriza pada akar dihitung dengan menggunakan rumus

sebagai berikut:

MGV + MGH

% kolonisasi pada akar = x 100%Jumlah akar yang diamati

Keterangan: MGV = Jumlah mikoriza yang memotong garis vertikalMGH = Jumlah mikoriza yang memotong garis horizontal

4.2.3. Penelitian di rumah kaca (Green House)

4.2.3.1. Perbanyakan/propagasi spora

Penelitian ini bertujuan untuk perbanyakan spora endomikoriza indigenus

yang optimum. Penelitian dilakukan di Rumah kaca Fakultas Pertanian Unud di

jalan P. Moyo -Denpasar Bali.

Percobaan menggunakan rancangan pola faktorial, terdiri atas dua faktor

yaitu faktor I adalah larutan hara Johnson yang terdiri 4 konsentrasi P yaitu

0% (tanpa P); 25%, 50% dan 75%. .Faktor II adalah 3 spesies spora

endomikoriza (Glomus sp., Gigaspora sp. dan Acaulospora sp.). Masing-

masing perlakuan diulang tiga kali sehingga terdapat 36 unit percobaan, tiap

Page 42: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

42

unit percobaan terdiri 9 tanaman. Jumlah polibag tanaman uji sebanyak 324

polibag (12 perlakuan X 3 ulangan X 9 polibag).

Penempatan perlakuan dirancang menggunakan Rancangan Acak

Kelompok (RAK) dengan pola faktorial. Variabel yang diamati adalah jumlah

spora, persentase (%) akar yang terkolonisasi pada umur 30, 60 dan 90 hari

dengan mengambil tiga tanaman pada tiap unit percobaan. Tanaman yang

digunakan sebagai inang adalah jagung (Z. mays). Pemilihan Jagung sebagai

inang untuk memperbanyak spora endomikoriza karena jagung merupakan

tanaman inang yang sangat kompatibel dengan endomikoriza, memiliki banyak

akar serabut dan pertumbuhannya cepat (Widiastuti, 2002).

Prosedur perbanyakan spora pada tanaman Jagung

Media tanah yang telah diayak dimasukkan kedalam polibag (@2 kg x 324

polibag) kemudian disterilkan menggunakan uap panas selama 3,5 jam pada

suhu 105 0C. Biji jagung diseleksi, dicuci dan direndam aquades steril selama 5

jam. Setelah itu disterilkan dengan larutan hipoklorit 10% selama 10 menit,

dicuci dengan air mengalir, direndam kembali dengan air steril selama 60 menit,

biji Jagung siap untuk ditanam pada perbanyakan spora.

Spora-spora endomikoriza dari spesies Glomus sp., Acaulospora sp.,

Gigaspora sp. dipipet, disterilkan dengan larutan Hipoklorit 10% selama 10

menit lalu dibilas dengan aquades steril. Spora sebanyak 10 butir dipipet dan

dimasukkan sedalam 5-6 cm ke lubang tanam sebelum benih jagung ditanam.

Benih jagung ditanam pada polibag (2 biji per polybeg). Penyiraman dilakukan

setiap hari menggunakan air tanah sesuai kapasitas lapang. Hara Johnson

dengan konsentrasi fosfat yang berbeda-beda ditambahkan sebanyak 10 ml per

Page 43: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

43

polibag pada minggu pertama, 20 ml pada minggu kedua, 30 ml pada minggu

ke tiga dan 40 ml pada minggu ke empat (Simanungkalit, 2007). Data di

analisis dengan Analisa of Variance (ANOVA), bila diantara perlakuan ada

yang berbeda nyata dilanjutkan dengan uji DMRT taraf kepercayaan 5%

4.2.3.2. Aplikasi Endomikoriza (Spora dan Propagul) pada Pertumbuhan

Bibit Mente ( A. occidentale L.) di Rumah Kaca

Penelitian tahap ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian

endomikoriza terhadap pertumbuhan bibit mente. Endomikoriza yang

ditambahkan pada bibit mente dalam bentuk spora tunggal dan campuran spora-

propagul (Propagul adalah potongan-potongan akar jagung yang telah

terkolonisasi hifa endomikoriza). Penelitian dilaksanakan di Rumah Kaca

Fakultas Pertanian Unud, Jalan P. Moyo-Denpasar Bali selama 90 hari.

Percobaan ini menggunakan pola faktorial dengan dua faktor. Faktor I adalah

spora dari ketiga jenis yaitu spora endomikoriza lima perlakuan yaitu (Glomus

sp., Acaulospora sp., Gigaspora sp.), non-spora dan campuran ketiga jenis

endomikoriza (mix-spora). Sebanyak 50 butir spora diberikan pada tiap polibag

(penambahan spora campuran ketiga spesies adalah 51 butir, masing-masing

spesies sebanyak 17 spora). Faktor II adalah berat propagul yang terdiri dari

empat level (0 g (tanpa propagul), 12,5 g, 25 g dan 37,5 g). Kombinasi

perlakuan pada penelitian tahap ini adalah 20 kombinasi (5 x 4). Masing-

masing perlakuan diulang 3 kali sehingga diperoleh 60 unit percobaan. Tiap

unit percobaan terdiri dari tiga polibag tanaman sehingga jumlah total polibag

tanaman uji adalah sebanyak 180 polibag (20 perlakuan X 3 ulangan X 3

Page 44: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

44

polibag). Penempatan perlakuan dirancang dengan menggunakan Rancangan

Acak Kelompok (RAK).

Prosedur penelitian

Adapun prosedur dalam penelitian tahap ini meliputi:

1. Persiapan media tanam

Media tanah sebanyak 2 kg dimasukkan kedalam polibag, disterilkan

(direbus) menggunakan drum besar selama 3.5 jam pada suhu 105 0 C.

Pendinginan tanah-tanah yang sudah steril dilakukan selama 24 jam. Inokulasi

spora endomikoriza dan penanaman bibit mente dilakukan setelah suhu media

tanah sama dengan suhu lingkungan di Rumah Kaca.

2. Penyiapan benih mente

Benih mente diperolehl dari Dinas Perkebunan Karang Asem (pohon

induk terpilih yang telah ditetapkan sebagai sumber benih). Syarat-syarat biji

mente yang dipakai sebagai benih antara lain: biji tidak ada cacat pada kulit

luarnya, ukuran biji seragam, tidak terdapat bekas infeksi penyakit oleh

mikroba, mempunyai berat jenis lebih dari 1 (apabila direndam dalam air

selama 5 menit biji mente akan tenggelam), jumlah biji/gelondong mente dalam

1 kg berisi sekitar 150 biji. Sebelum ditanam, biji mente yang telah dicuci

bersih, selanjutnya direndam dalam air steril selama 24 jam. Perendaman biji

selama 24 jam berfungsi untuk mengaktifkasi/mengaktifkan titik germinasi

endosperm biji mente.

3. Penanaman biji mente (gelondong mente)

Plastik polibag yang telah diisi tanah steril 0,5 kg kg disiram air sampai

kapasitas lapang. Selanjutnya biji mente ditanam dengan posisi radix primaria

Page 45: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

45

menghadap ke bawah, plumula menghadap keatas. Posisi ujung plumula harus

berada 1 cm di bawah permukaan tanah (Rohimat, 2002). Daun pertama akan

tumbuh setelah umur 15 hari. Pemindahan bibit untuk percobaan ini dilakukan

setelah daun kedua tumbuh.

Media tanam untuk percobaan dipersiapkan dengan cara tiap polibag yang

telah berisi 2 kg tanah steril dibuat lubang di tengah sedalam 10 cm (berfungsi

untuk meletakkan spora). Pemberian inokulum endomikoriza (spora dan

propagul) pada media tanam dilakukan sesuai dengan perlakuan faktor tersebut

di atas. Pemindahan bibit mente dilakukan secara hati-hati dengan cara

merobek secara melingkar pada bagian bawah plastik polibag. Hal ini

dilakukan supaya bibit tidak terbongkar pada tanah dan akar bibit mente tidak

patah pada waktu pemindahan. Setelah proses pemindahan bibit selesai, segera

dilakukan penyiraman dengan air tanah sesuai kapasitas lapang supaya bibit

mente tidak layu pasca pemindahan dari pembenihan sampai polibag uji.

4. Pengamatan

Variabel yang diamati selama 90 hari penelitian adalah : tinggi tanaman,

jumlah, lebar, panjang dan lebar daun. Pengamatan terhadap kolonisasi

endomikoriza pada akar, penimbangan berat kering (akar, batang, daun,total

tanaman) dan kandungan hara P pada tanaman dilakukan pada hari ke 90.

Pengamatan kolonisasi endomikoriza menggunakan prosedur yang sama

dengan tahap penelitian laboratorium (dilihat pada prosedur 4.2.2.1).

Pengukuran berat kering dilakukan pada akhir penelitian (90 hari)

dilaboratorium Taksonomi Tumbuhan Rendah Jurusan Biologi Universitas

Udayana, yaitu dilakukan setelah sampel dioven pada suhu 60 ºC selama 48 jam

Page 46: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

46

(bobot konstan). Kandungan P-tanaman dianalisa dengan metode

spectrofotometri di UPT-laboratorium Analitik Universitas Udayana Bali. Data

hasil penelitian dianalisis dengan analisa of variance (ANOVA). Apabila

diantara perlakuan ada yang berbeda nyata dilanjutkan dengan uji DMRT pada

taraf kepercayaan 5%. Pemeliharaan bibit dilakukan sejak awal sampai akhir

penelitian. Bibit mente disiram setiap sore hari sebanyak volume air kapasitas

lapang. Penyiangan gulma yang tumbuh dilakukan manual dengan cara dicabut

4.2.3.3. Pengaruh media pembawa spora endomikoriza terhadap

pertumbuhan bibit mente (A. occidentale L.) di rumah kaca

Penelitian tahap ini bertujuan untuk mengetahui jenis media pembawa

spora endomikoriza yang optimum untuk dikemas sebagai pupuk mikoriza.

Penelitian dilaksanakan di Rumah Kaca Fakultas Pertanian Universitas

Udayana, Jalan P. Moyo-Denpasar Bali. Percobaan berbentuk perlakuan faktor

tunggal yaitu jenis media pembawa endomikoriza (tanah-zeolit, tanah-pasir

kwarsa dan tanah-kaolin) sehingga terdapat tiga jenis perlakuan. Masing-

masing perlakuan diulang sembilan kali sehingga terdapat 27 unit percobaan.

Setiap unit percobaan terdiri dari tiga polibag tanaman sehingga jumlah total

polibag tanaman uji sebanyak 81 polibag (3 perlakuan X 9 ulangan X 3 polibag

tanaman). Penempatan perlakuan dirancang dengan menggunakan Rancangan

Acak Kelompok (RAK).

Tanaman yang digunakan sebagai inang pada percobaan ini adalah tanaman

mente (A.ocidentale L). Inokulum endomikoriza yang digunakan adalah spesies

Glomus sp.. Sebanyak 50 butir spora dan propagul 37.5 g dari Glomus sp.

Page 47: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

47

diinokulasi dalam penelitian ini. Persiapan media tanaman dan biji mente

dilakukan seperti dalam prosedur Penelitian 4.2.3.2.

Variabel yang diamati adalah Tinggi tanaman, Jumlah cabang, Jumlah

daun, Panjang daun, Lebar daun, Jumlah spora pada media tanam, Persentase

Kolonisasi hifa endomikoriza pada akar, Berat kering bibit mente (total bibit,

akar, batang, daun) pada umur 60 hari.

Prosedur Penelitian

Kaolin, Zeolit, Pasir kwarsa, masing-masing sebanyak 1 kg dan tanah

sebanyak 1 kg (perbandingan 1:1) dimasukkan kedalam polibag sehingga tiap

polibag berisi 2 kg media tanam. Tahap selanjutnya dilakukan pengadukan

sampai media tanah dan (Zeolit, kaoloin, pasir kwarsa) tercampur rata kemudian

media tanam disterilkan/dikukus dalam drum besar temperatur 105o C selama

3.5 jam. Pendinginan media tanam dilakukan selama 24 jam. Setelah media

tanam dingin (suhu media tanam sama dengan suhu lingkungan), pada tiap

polibag ditambahkan campuran propagul (37,5 g) dan spora endomikoriza

sebanyak 50 butir. Spora yang digunakan Glomus sp. yang telah di propagasi/

di perbanyak pada inang tanaman jagung (cara kerja perbanyakan spora Glomus

sp. dilakukan seperti yang dilakukan pada prosedur penelitian 4.2.3.1).

Pemilihan penggunaan Glomus sp. dan berat propagul 37,5 g pada penelitian

tahap ini karena spesies Glomus sp merupakan species yang paling baik

responnya terhadap bibit mente. Propagul berat 37.5 g adalah berat propagul

yang paling tinggi tingkat infeksinya pada akar. Bibit mente di tanam pada tiap

polibag selama 60 hari, dilakukan penyiraman rutin setiap sore hari

Page 48: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

48

menggunakan air tanah sesuai kapasitas lapang. (Perlakuan biji mente sebelum

ditanam sesuai dengan prosedur 4.2.3.2

Variabel Pengamatan adalah tinggi tanaman (cm), jumlah daun (helai),

panjang dan lebar daun (untuk menghitung luas daun) bobot kering tanaman

(akar, batang, daun, total tanaman), Jumlah spora dalam media dan persen

kolonisasi pada akar. yang terkolonisasi oleh endomikoriza. Pengukuran bobot

kering dilakukan dengan cara pengeringan tanaman dioven selama 48 jam pada

suhu 60 0 C sampai berat konstan. Pengukuran dilakukan pada akhir penelitian

(60 hari). Data di analisis dengan analisis of variance (ANOVA), bila diantara

perlakuan ada yang berbeda nyata dilanjutkan dengan uji Jarak berganda dari

Duncan’s.

4.2.4. Analisa faktor fisika dan kimia tanah sampel penelitian

Sampel-sampel tanah hasil penelitian eksplorasi endomikoriza

indigenus dari kedua tempat yang berbeda dianalisa di Laboratorium Tanah

Fakultas Pertanian Unud dan UPT Laboratorium Analitik Unud. Sampel tanah

yang dianalisa adalah komposit sampel-sampel tanah dari masing-masing

lokasi penelitian setiap kali sampling dilakukan (6 x 2) = 12 sampel.

Page 49: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

49

BAB V.

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Ekplorasi Endomikoriza

5.1.1. Jenis-jenis endomikoriza

Hasil eksplorasi endomikoriza pada tanaman di lahan kering Sukadana-

Karangasem dan Sendang-Buleleng Bali ditemukan 13 species endomikoriza

Data selengkapanya pada Tabel 5.1.1 A dan Tabel 5.1.1 B di bawah ini.

Tabel 5.1.1 ASpesies endomikoriza yang terdapat pada tanaman di lahan kering

Sukadana- Karangasem Bali

JenisTanaman

Genus Spesies

Z. mays Glomus

GigasporaAcaulospora

Glomus intraradicesGlomus rubiformisGlomus etunicatumGigaspora margaritaAcaulospora scrobiculataAcaulospora foveata

A.occidentale Glomus

Acaulospora

Gigaspora

Enthroposphora

Glomus intraradicesGlomus moseaeAcaulospora scrobiculataAcaulospora foveataGigaspora margaritaGigaspora margaritaEnhtroposphora infrequent

L.purpureus Glomus

AcaulosporaGigasporaScutelospora

Glomus aggregatumGlomus intraradicesAcaulospora cf. undulateGigaspora albidaScutelospora cf heterogama

M.utilissima Glomus

AcaulosporaGigaspora

Glomus aggregatumGlomus etunicatumAcaulospora scrobiculataGigaspora margarita

C.cajan GlomusAcaulosporaGigasporaScutelospora

Glomus intraradicesAcaulospora foveataGigaspora margaritaScutelospora cf. heterogama

Page 50: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

50

Tabel 5.1.1 BSpesies endomikoriza yang terdapat pada 5 jenis tanaman di lahan kering

Sendang-Buleleng Bali

JenisTanaman

Genus Spesies

Zea mays Glomus

GigasporaAcaulospora

Glomus intraradicesGlomus moseaeGigaspora margaritaAcaulospora scrobiculata

A.occidentale Glomus

Acaulospora

Gigaspora

Glomus moseaeGlomus intraradicesAcaulospora scrobiculataAcaulospora foveataGigaspora margarita

C. cajan Glomus

Acaulospora

Glomus etunicatumGlomus aggregatumAcaulospora cf. undulateAcaulospora tuberculata

M.uttilissima GlomusAcaulosporaGigaspora

Glomus moseaeAcaulospora scrobiculataGigaspora margarita

C. fuctescens GlomusAcaulosporaGigaspora

Glomus moseaeAcaulospora foveataGigaspora margarita

Identifikasi ke tiga belas spesies yang ditemukan berdasarkan morfologi spora

adalah sebagai berikut:

1. Glomus etunicatum Becker dan Gerdemann

Spora tunggal, bulat sampai lonjong, berwarna cokelat kemerahan dan

tidak ada perubahan warna pada larutan Melzer, berukuran 91-149 x 108-170

μm Permukaan spora halus. Hifa penyangga berwarna kuning-kecoklatan,

berdiameter 6-16 μm dengan struktur menyerupai corong (Gambar 5.1.A).

Spora Glomus etunicatum yang di identifikasi mempunyai kesamaan

warna dan bentuk seperti hasil identifikasi Becker dan Gerdemann (1977)

namun dengan ukuran spora hasil penelitan ini lebih besar dibanding

Page 51: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

51

pengukuran Becker dan Gerdermann (1977), yaitu 68-144(-162) μm dan

ukuran 60-160 μm (INVAM (2005),100-160 x 90-130 μm Widiastuti (1992).

Dinding spora yang diamati pada penelitian ini mempunyai dinding yang

terdiri dari 2 lapis tipis, hal ini sama dengan yang dilaporkan INVAM (2005).

2. Glomus mosseae (Nicol. &Gerd) Gerd & Trappe

Spora muda merah kecoklatan, setelah dewasa merah tua-cokelat tua pada

larutan PVLG dan warna spora lebih pekat pada larutan Melzer. Spora bulat

berdiameter 105-194.50 μm. Dinding spora 5.5-7.7μm. Permukaan luar

dinding spora halus. Hifa penyangga berwarna sama dengan spora, diameter

hifa 5.5 μm, tebal dinding hifa 3,8-5.5 μm (Gambar 5.1.B).

Glomus mosseae hasil identifikasi penelitian ini mempunyai kesamaan

warna dan bentuk dengan INVAM (2005) dan pengukuran diameter spora oleh

Gerdermen dan Trappe (1974) yaitu 105-310 – 110-305 μm namun berbeda

ukuran dari Glomus mosseae yang ditemukan oleh Kramadibrata (2008) yaitu

110-300 μm x 150-290 μm.

3. Glomus aggregatum Schenck dan Smith

Spora berwarna hialin-kuning, berbentuk oval/bulat lonjong, diameter

spora 51.06-(76.59) -115 μm. Warna dinding spora hialin sampai kuning muda

pada larutan PVLG, berwarna kuning tua pada pereaksi Melzer. Permukaan

dinding spora halus, terdiri dari satu lapis. Tebal dinding sel spora 2,5-4,5 μm.

Pangkal hifa yang melekat pada dinding spora berwarna sama dengan dinding

spora dengan diameternya 4,5-6,5 μm (Gambar 5.1.C). hasil identifikasi

penelitian ini mempunyai kesamaan warna dan bentuk pada INVAM (2005)

dan pengukuran diametr spora oleh Schenck dan Smith (1982)

Page 52: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

52

4. Glomus intraradices Schenck dan Smith

Spora berwarna hialin-kecoklatan, berbentuk bulat,berdiameter 40.5-

(98.5)-115(119) μm. Warna dinding spora hialin sampai kuning pada

media PVLG, berwarna lebih pekat pada larutan Melzer. Hifa dalam

kortek akar dapat membentuk spora tunggal atau berkelompok (cluster),

Permukaan dinding spora halus terdiri dari satu lapisan yang berasal dari

dinding hifa pembawa spora, tebal dinding spora 2,0-3,5 μm (Gambar

5.1.D). Hasil identifikasi ini sesuai dengan hasil identifikasi yang

dilakukan Schenck et al. (1990), Schϋβler et al. (2001), Smith dan Read

(2008), INVAM (2005)

5. Glomus rubiformis (Gerdermann dan Trape) Almeida dan Schenck

Sporokarp bulat atau oval, berwarna kuning tua-coklat tua berukuran 140-

280 x 180-330 μm. Sporokarp yang terbuka atau pecah terdapat banyak hifa di

bagian tengahnya dan spora. Spora bergerombol banyak, tiap spora berbentuk

bulat atau oval, berukuran 25-34 x 27 – 36 μm. Permukaan luar dinding spora

halus berwarna coklat tua. (Gambar 5.1.E).

Glomus rubiformis yang teridentifikasi mempunyai kesamaan warna,

bentuk dan ukuran seperti yang dipertelakan pertama kali oleh Gerdemann &

Trappe (1974) sebagai Sclerocystis namun menurut Almeida & Schenck (1990),

bila sporanya tersusun mengelilingi pleksus hifa sebagai pusatnya, maka

dimasukkan dalam Glomus bukan Sclerocystis. Menurut Schüßler dan Walker

(2010), spesies Sclerocystis rubiformis Gerdemen dan Trappe merupakan

sinonim dari spesies Glomus rubiformis (Gerdermen dan Trappe) Almeida dan

Schenck.

Page 53: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

53

6. Acaulospora foveata Trappe dan Janos

Spora tunggal, berbentuk bulat-lonjong, warna kuning tua-cokelat

kemerahan, diameter 124-246 x 148-256 μm, dinding spora terdiri dua lapisan.

Lapisan pertama tebal 12-13 μm berwarna cokelat-merah, lapisan kedua tipis 3-

7 μm. seperti membran, berwarna bening (Gambar 5.1.F).

Spora Acaulospora foveata hasil penelitian ini mempunyai kesamaan

warna dan bentuk seperti yang teridentifikasi pertama kali oleh Janos & Trappe

(1982), namun ukuran spora yang diperoleh lebih kecil dibandingkan dengan

ukuran yang telah dilaporkan Janos & Trappe (1982) yaitu 185-310(-410) x

215-350(-480) μm, Schenck (1984) (135-)250(-300) μm dan INVAM (2005)

240-360 μm.

7. Acaulospora tuberculata Janos dan Trappe

Spora tunggal, berbentuk oval/globosa, berwarna kuning kecoklatan

berukuran 93-300 x 93-300 μm. Dinding spora terdiri tiga lapisan. Lapisan

pertama 4-6 μm, berwarna kecoklatan, terdapat tonjolan halus seperti duri.

Lapisan kedua 3-5 μm, warna kekuningan, Lapisan ketiga 2-3 μm, berwarna

bening (Gambar 5.1. G). Hasil identifikasi ini sesuai dengan identifikasi

morfologi yang dilakukan oleh Trappe (1977) dan Schenck et al.(1990)

8. Acaulospora cf. undulata Sieverding

Spora tunggal, bulat, berwarna kekuningan, diameter 73-102 x73-102 μm.

Dinding spora dua lapisan. lapisan pertama bening 4-6 μm, Lapisan kedua

berwarna putih bening 1-2 μm. (Gambar 5.1. H). Hasil identifikasi ini sesuai

dengan identifikasi secara morfologi yang dilakukan oleh Sieverding (1988);

INVAM (2005) dan Kramadibrata (2008).

Page 54: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

54

9. Acaulospora scrobiculata Trappe

Spora tunggal bulat, ukuran 92-156 x 98-168μm, tidak terdapat sel induk

spora, berwarna coklat kekuningan. Dinding spora berperhiasan, terdiri dari

dua lapis, lapisan terluar bergerigi (scrobicula), lapisan kedua halus, berwarna

hialin – kekuningan, tebal 2-2,5 μm (Gambar 5.1.I). Hasil identifikasi ini

mempunyai kesamaan warna dan bentuk seperti yang teridentifikasi oleh

Trappe (1977), namun ukuran spora yang diperoleh relatif lebih kecil.

Kramadibrata (2009) melaporkan spora A. scrobiculata dari rizosfer Cacao

berukuran 90-(130)-250 x 100-(120)-250 μm dan INVAM (2005) 80 –160 μm.

Sel induk spora A. scrobiculata pada penelitian ini tidak ditemukan, namun

INVAM (2005) melaporkan bahwa spora ini memiliki sel induk spora bening.

10. Gigaspora albida Walker & Rhodes

Spora tunggal, berbentuk bulat, diameter 254-290 x 260-292 μm, berwarna

kuning pada larutan PVLG dan cokelat muda pada larutan Melzer. Spora

memiliki dua dinding sel. Dinding terluar spora bervariasi ketebalannya 3,89 -

5,55 μm dan menyatu pada dinding kedua (Gambar 5.1.J). Hasil identifikasi

ini sesuai dengan identifikasi dari Morton dan Benny (1990) Schenck et

al.(1990), Schϋβler et al.(2001) dan INVAM (2005).

11. Gigaspora margarita Becker dan Hall

Spora tunggal,berwarna krem sampai kuning keemasan. Bentuk spora

bulat dengan ukuran 240-300 µm. Dinding spora halus tebal 14-21 μm . Hifa

peyangga berwarna kuning berdiameter 6-16 μm dengan struktur menyerupai

corong yang keluar dari spora menuju hifa pada tempat peyangga spora

(Gambar 5.1.K). Hasil identifikasi sesuai dengan identifikasi dari Morton dan

Page 55: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

55

Benny (1990), Schenck et al. (1990), Bentivenga dan Morton (1995) dan

INVAM (2005).

12. Scutellospora cf. heterogama (Nicol. dan Gerd.) Gerd. dan Trappe

Spora tunggal, bulat, berwarna coklat, berukuran 200-320 x 200-320 μm.

Permukaan dinding sel terdiri dua lapis, mempunyai perhiasan, berupa papila

pendek yang tidak sama besar dan relatif rapat, kasar, tebal 1-2 μm. Hasil

identifikasi ini mempunyai kesamaan warna dan bentuk seperti yang telah

diidentifikasi oleh Nicolson dan Gerdemann (1986) Dinding spora mempunyai

2 lapisan seperti yang dilaporkan (Gerdemann & Trappe 1986), sementara

INVAM (2005) melaporkan ada 3 lapisan dinding.

13. Entrophospora infraquens Hall

Spora tunggal, bulat, berwarna coklat, berukuran 220-300 x 220-300 μm.

Permukaan mempunyai perhiasan berupa tonjolan-tonjolan pendek dan kasar,

perhiasan relatif rapat, tebal 1-2 μm (Gambar 5.1.L). Hasil identifikasi ini

sesuai dengan identifikasi dari Schenck et al. (1990), Schϋβler et al. (2001),

INVAM (2005) dan Kramadibrata (2008).

Berdasarkan acuan Schenck dan Perez (1990), genera Acaulospora,

Gigaspora, Glomus, Sclerocystis dan Scutellospora merupakan genera yang

termasuk dalam familia Glomeraceae, ordo Glomerales filum Zygomycota.

Perkembangan dalam identifikasi baik secara klasik (berdasarkan karakter

morfologi spora) maupun identifikasi secara molekuler, para peneliti sepakat

untuk menempatkan cendawan endomikoriza tidak dimasukkan lagi ke dalam

filum Zygomycota lagi seperti dalam klasifikasi klasik sebelum tahun 1993

tetapi cendawan endomikoriza lebih sesuai dimasukkan dalam filum baru yaitu

Page 56: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

56

Glomeromycota (Walker dan Schüßler 2004). Berdasarkan filum baru ini

selanjutnya endomikoriza dikelompokkan menjadi 10 genera yaitu

Acaulospora, Archaeospora, Entrophospora, Geosiphon, Gigaspora, Glomus,

Diversispora, Pacispora, Paraglomus dan Scutellospora (Walker dan Schüßler

2004). Acuan dalam sistem klasifikasi menurut Walker dan Schüßler (2008),

genera Acaulospora dikelompokkan dalam famili Acaulosporaceae ordo

Diversisporales dan genera Gigaspora, Scutellospora termasuk dalam famili

Gigasporaceae ordo Diversisporales.

Spora-spora endomikoriza yang tersaring dari tanah tidak semua dalam

kondisi utuh dan lengkap tetapi sebagian spora tidak utuh atau terinfeksi oleh

hifa-hifa cendawan tanah pada permukaan spora. Hal ini sesuai dengan

pernyataan Smith dan Read (1997), Widiatuti (2004) dan Kramadibrata et al

(2005) bahwa eksplorasi spora-spora endomikoriza yang tersaring dari tanah

rhizosfer atau habitat aslinya banyak ditemukan dalam keadaan tidak utuh atau

terkontaminasi hifa-hifa cendawan tanah baik yang bersifat saprofit maupun

parasit. Ciri-ciri spora yang terkontaminasi cendawan tanah adalah

berubahnya warna spora menjadi gelap atau terlihat lilitan hifa-hifa cendawan

tanah pada permukaan spora. Kramadibrata et al. (2005) menyatakan bahwa

spora-spora yang tidak utuh atau terinfeksi tidak bisa langsung diidentifikasi

karena tidak bisa teramati bagian yang merupakan karakter utama genera spora

tersebut sehingga untuk bisa identifikasi endomikoriza tersebut, spora-spora

tersebut harus diisolasi sebagai spora tunggal pada tanaman inangnya.

Page 57: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

57

Gambar 5.1: Foto spora endomikoriza yang teridentifikasi dibawah mikroskopBinokuler (perbesaran 400X) (A.Glomus etunicatum; B.Glomusmoseae.;C.Glomus.aggregatum; D.Glomus intraradices; E. Glomusrubiformis;F. Acaulospora foveata; G. Acaulospora tuberculata H.Acaulospora cf. undulata .I. Acaulospora scrobiculata; J. Gigaspora albida;K.Gigaspora margarita dan L. Enthrophospora infrequent

Hasil identifikasi ke tiga belas spesies endomikoriza pada penelitian ini

mengindikasikan tingginya keanekaragaman endomikoriza indigenus pada

lahan kering di Bali dan merupakan penelitian pertama (pionir) yang

melaporkan keanekaragaman jenis-jenis endomikoriza di lahan kering Bali.

Sebagai komparasi hasil penelitian ini, Kramadibrata (1993) menemukan 19

E F HA

I

A

K L

B C D

G

J

Page 58: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

58

spesies endomikoriza di areal vegetasi alami Daerah Aliran Sungai (DAS)

Cisadane; Cuenca dan Maneses (1996) menemukan 15 spesies endomikoriza

indigenus pada daerah pertanian monokultur di perkebunan. Delvian (2003)

menginvetarisasi jenis-jenis endomikoriza didaerah hutan Sumatra Utara dan

teridentifikasi sebanyak 13 spesies endomikoriza yang terdiri dari 8 spesies dari

Glomus, 1 spesies Sclerocystis, 3 spesies Acaulospora dan 1 spesies Gigaspora.

Penelitian ekplorasi endomikoriza pada kebun kelapa sawit ditemukan 10 jenis

endomikoriza yang terdapat pada rizosfer kepala sawit dan tanaman-tanaman

yang tumbuh disekitarnya (Widiastuti 2004).

Berdasarkan hasil penelitian ini, spesies Glomus sp., Gigaspora sp. dan

Acaulospora sp. memiliki penyebaran yang cukup luas pada kedua kawasan

perkebunan mente dan ketiga spesies tersebut selalu ditemukan pada setiap

plot/areal sampling baik ditanah rizhosfer tanaman mente atau tanaman-

tanaman lainnya yang dibudidayakan para petani setempat (Tabel 5.1.1 A dan

Tabel 5.1.1.B). Menurut Bever et al., (1996) dan Delvian (2006b)

endomikoriza Glomus sp., Gigaspora sp. dan Acaulospora sp. merupakan

jenis-jenis endomikoriza yang memiliki kemampuan adaptasi yang baik pada

lingkungan hidupnya sehingga spora-spora tersebut dapat bertahan dalam

lingkungan yang kering dan bergerminasi lebih cepat dibanding species

Scutelospora sp dan Entrophospora sp

Spora Scutelospora dan Entrophospora ditemukan pada musim penghujan

di perkebunan mente Sukadana tetapi kedua genera tersebut tidak pernah

ditemukan di Sendang. Menurut Schuβler et al. (2001) dan Kramadibrata (pers

com.,2012), spesies E. infrequent merupakan spesies yang sangat jarang

Page 59: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

59

ditemukan di alam dan mempunyai daya adaptasi rendah untuk bisa

bergerminasi di alam terutama pada kondisi tanah yang sangat liat dan kering

sehingga species tersebut sangat jarang ditemukan di alam atau dikenal sebagai

“rare” spesies. Penemuan spesies E. infrequent sangat menarik dan dapat

dikatakan sebagai temuan baru di lahan kering Karangasem-Bali. Menurut Hall

(1977) E. infrequent berarti spora yang jarang ditemukan (infrequens artinya

rare) karena spora E. infrequent di alam biasanya ditemukan pada musim semi

terutama pada tanah berporus dan cukup basah. Menurut Hall (1977) dan Oehl

et al. (2005), spesies E. infrequent memiliki ukuran spora cukup besar

dibanding spora-spora dari Glomus sp atau Acaulospora sp. Spora E. infrequent

hasil penelitian berukuran 220-300 μm, dan memang lebih besar dibanding jenis

spora endomikoriza Glomus dan Acaulospora yang berukuran rata-rata <200

μm sehingga spesies E. infrequent dikatakan sebagai rare species karena

keberadaan species ini sangat jarang ditemukan di alam sepnjang periode

musim jika dibanding dengan species yang lainnya.

5.1.2. Jumlah spora endomikoriza

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerapatan jumlah spora endomikoriza

sangat bervariasi antar lokasi (spasial) dan waktu pengamatan (temporal).

Jumlah spora terbanyak ditemukan pada rizosfer tanaman mente (A. occidentale

L), paling sedikit pada rhizosfer tanaman Singkong (M. uttilissima). Kerapatan

jumlah spora pada rhizosfer mente pada kedua lokasi penelitian walaupun

cenderung menurun pada bulan-bulan basah namun kerapatan jumlah spora

pada mente terlihat lebih stabil dibandingkan tanaman-tanaman sela lainnya di

Page 60: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

60

lahan tersebut. Hasil ini sangat menarik dan sekaligus membuktikan bahwa

tanaman mente merupakan salah satu tanaman yang kompatibel bagi cendawan

endomikoriza sehingga spora-spora endomikoriza banyak ditemukan pada

rhizosfer mente (Gambar 5.1.2 A dan Gambar 5.1.2 B).

Gambar 5.1.2 A. Fluktuasi kerapatan spora endomikoriza pada rizosfertanaman di Perkebunan Mente Desa Sukadana KecamatanKubu- Karangasem

Gambar 5.1.2 Fluktuasi kerapatan spora endomikoriza pada rizosfer tanaman diDesa Sendang Kecamatan Gerograk-Buleleng

Menurut Smith dan Read (1997), Oehl et al. (2005) dan Brundrett et al.

(2008), tanaman yang mampu bertahan dan hidup pada daerah marginal dapat

menjadi suatu penanda bahwa tanaman tersebut bersimbiosis secara mutualisme

dengan mikroorganisme tanah. Simbiosis antara mikroorganisme tanah dengan

Page 61: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

61

tanaman inang akan meningkatkan resistensi kedua belah pihak bila hidup di

daerah kering atau marginal dan secara sinergis akan bersama-sama

memanfaatkan nutrisi yang tersedia di alam untuk kebutuhan hidupnya (Smith

et al., 2010). Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan (terutama di Sukadana)

tanaman mente tetap bisa tumbuh dan hidup pada kondisi tanah yang sangat

kering (daerah berpasir) dan kekurangan nutrisi maka dapat diasumsikan

diasumsikan bahwa tanaman tersebut mampu bersimbiosis dengan

endomikoriza yang dapat saling membantu dalam mendapatkan nutrisi dalam

pertumbuhan keduanya. Hasil ini sesuai dengan Ibiremo (2010) bahwa tanaman

mente yang hidup pada daerah yang kering mampu bersimbiosa dengan

mikroorganiseme (endomikoriza) di tanah dan akan terbentuk satu peningkatan

resistensi kedua organisme tersebut di alam.

Kerapatan spora endomikoriza pada musim penghujan (Desember 2011 dan

Februari 2012) menunjukkan adanya fluktuasi atau kerapatan jumlah spora

lebih sedikit atau cenderung menurun pada kedua lokasi. Sebaliknya pada

musim kemarau (Juni, Agustus dan Oktober 2011), fluktuasi kerapatan spora

endomikoriza cenderung meningkat (Gambar 5.1.1 dan 5.1.2 ), namun sampling

pada bulan Oktober 2011 tanaman sela (Jagung, Singkong) di Sendang dan

Singkong di Sukadana tidak dihitung karena kedua jenis tanaman sudah dipanen

oleh petani sehingga terlihat pada gambar bahwa. kerapatan jumlah spora

endomikoriza adalah nol karena tanaman tersebut tidak ada. Menurut Smith

(2000) dan Delvian (2006b), keberadaan spora endomikoriza di alam cenderung

menurun jumlahnya pada musim penghujan karena sebagian spora-spora

tersebut telah bergerminasi membentuk hifa-hifa di dalam tanah. Hifa-hifa

Page 62: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

62

tersebut selanjutnya mengabsorbsi air dan hara mineral dalam tanah dan

mencari tanaman inang yang sesuai untuk bersimbiosa dan Brundrett et al.

(2008) menyatakan bahwa keberadaan jumlah spora cendawan endomikoriza di

dalam tanah sangat dipengaruhi oleh musim, tekstur tanah, pH, unsur hara,

umur tanaman serta jenis tanaman inang. Hal ini didukung Simanungkalit

(2007) bahwa kerapatan atau populasi spora endomikoriza di tanah sangat

dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang meliputi faktor abiotik (konsentrasi

hara di tanah, pH, kadar air, temperatur, pengolahan tanah, penggunaan

pupuk/pestisida kimia) dan faktor biotik (interaksi mikrobia baik cendawan atau

bakteri, tanaman inang dan tipe perakaran tanaman).

Renuka et al. (2012) menyatakan bahwa salah satu bentuk adaptasi

cendawan endomikoriza terhadap lingkungan yang sangat kering membentuk

spora atau sporokarp. Sesuai dengan hasil penelitian ini, sampel-sampel tanah

yang diambil pada musim kemarau (Sendang maupun Sukadana) banyak

ditemukan spora dan atau sporokarp endomikoriza. Sebaliknya, penyaringan

sampel tanah pada musim penghujan ditemukan banyak spora yang telah

bergerminasi menghasilkan hifa-hifa eksternal. Menurut Prematuri (2000) dan

Santosa et al. (2006), hifa-hifa endomikoriza biasanya sangat banyak ditemukan

pada musim penghujan karena hifa-hifa tersebut merupakan hasil germinasi

spora atau sporokap endomikoriza. Hifa-hifa cendawan endomikoriza secara

alami akan mencari inang yang kompatibel dan bersimbiosis secara mutualisme

diantara keduanya (Powel dan Bagyaraj, 1984 ; Brundrett et al., 2008).

Spora-spora dari Glomus sp., Gigaspora sp. dan Acaulospora sp. selalu

ditemukan pada setiap periode sampling namun jumlahnya cenderung menurun

Page 63: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

63

pada musim penghujan (Gambar 5.1.2A dan Gambar 5.1.2B). Menurut Bohrer

et al. (2001); Delvian (2006a) dan Geetha et al (2007), keberadaan spora-spora

endomikoriza terlihat mendominasi pada suatu kawasan perkebunan atau

kehutanan pada saat musim kering atau kemarau sebagai salah satu bentuk

pertahanan diri atau adaptasi cendawan terhadap lingkungannya. Sebaliknya

pada saat musim penghujan spora-spora endomikoriza akan menurun jumlahnya

karena sebagian besar spora-spora tersebut telah bergerminasi membentuk hifa-

hifa ekternal dan tumbuh tersebar luas di dalam tanah dan selanjutnya berusaha

mencari inang-inang yang kompatibel untuk mendapatkan sumber nutrisi dari

tanaman tersebut.

Spora Glomus sp., Gigaspora sp. dan Acaulospora sp yang ditemukan di

tanah terutama tanah rizosfer jika lingkungan sudah terdapat air maka spora-

spora tersebut akan segera imbibisi dan bergerminasi membentuk hifa. Menurut

Chalimah et al. (2007) dan Renuka et al. (2012), spora-spora yang telah

bergerminasi secara cepat hifa-hifa tersebut mengadakan penetrasi pada akar-

tanaman disekitarnya sebagai upaya cendawan untuk mendapatkan nutrisi,

namun Reddy et al. (1998) dan Lukiwati (2007) menyatakan bahwa terjadinya

simbiosis bergantung pada kemampuan spesies endomikoriza untuk mencari

inang yang kompatibel karena menurut Danesh et al (2007) simbiosis

endomikoriza dan inangnya adalah bersifat “ innate effectiveness“, yaitu

tanaman inang akan menghasilkan eksudat akar berupa senyawa flavonoid dan

phenolik sebagai signal untuk menstimulasi pertumbuhan cendawan

endomikoriza dan menghambat cendawan lainnya masuk ke dalam akar.

Cendawan endomikoriza mempunyai enzim glukanase, sellulase dan

Page 64: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

64

pektolitikase untuk menembus akar tanaman inang dan menginvasi kortek akar

tanaman inangnya( Powell dan Bagrajay, 1984 ;

5.1.3. Persentase kolonisasi endomikoriza

Persentase kolonisasi endomikoriza kelima jenis tanaman selama penelitian

ditampilkan pada Gambar 5.1.3 A dan Gambar 5.1.3 B dibawah ini.

Gambar 5.1.3 A.Kolonisasi hifa endomikoriza pada akar tanaman di perkebunanmente DesaSukadana-Kecamatan Kubu-Karangasem

Gambar 5.1.3.B. Kolonisasi endomikoriza pada akar tanaman di Perkebunanmente Desa Sendang Kecamatan Grograk-Buleleng

Penghitungan persentase kolonisasi dilakukan pada tanaman mente dan tanaman

sela lainnya yang tetap dapat tumbuh selama musim kemarau pada kedua lokasi

Page 65: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

65

penelitian. Penghitungan persentase kolonisasi pada akar tanaman singkong dan

jagung pada kedua lokasi tidak bisa dilakukan pada bulan tertentu karena

tanaman sudah dipanen namun belum dilakukan penanaman kembali oleh

petani karena terkendala musim kemarau.

Rerata kolonisasi endomikoriza pada masing-masing sampel akar tanaman

terlihat kurang dari 60% pada bulan April – Juni dan terlihat meningkat sampai

lebih 60 % pada bulan-bulan basah (Oktober, Desember 2011 – Februari

2012). Kolonisasi hifa pada akar menurun sampai <30 % pada bulan kemarau

(Juli – Agustus 2011) dan sampai nol persen pada bulan Oktober sebagai

puncak musim kemarau pada tahun 2011. Kolonisasi endomikoriza terlihat

mulai meningkat pada bulan Desember 2011 dan semakin tinggi kolonisasinya

pada bulan Februari 2012 ( Gambar 5.1.3 dan Gambar 5.1.4).

Pengambilan sampel pada bulan November 2011, Desember 2011 dan

Februari 2012 merupakan musim penghujan atau bulan basah (Lampiran 2).

Berdasarkan data hasil penelitian eksplorasi lapangan dapat membuktikan

bahwa pada kondisi tanah yang cukup basah (musim penghujan) dapat

menyebabkan kolonisasi hifa endomikoriza semakin intensif dalam

menginfeksi perakaran tanaman dan dapat menggambarkan sebagai bentuk

ketergantungan cendawan endomikoriza pada tanaman inang dalam menyerap

gula untuk pertumbuhan dan reproduksi cendawan tersebut. Menurut Hapsoh

(2008) infeksi atau kolonisasi hifa pada sistem perakaran tanaman adalah suatu

cara endomikoriza untuk mendapatkan sumber nutrisi berupa gula dan Carbon

yang dihasilkan dari proses fotosinthesis tanaman inang. Smith et al. (2010)

menyatakan bahwa endomikoriza yang terdapat didalam tanah dapat

Page 66: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

66

bersimbiosa dengan tanaman dan juluran hifa-hifa ekternal pada endomikoriza

aktif melepaskan enzim fosfatase untuk memecah ikatan-ikatan fosfat dari

bentuk senyawa yang terdapat di tanah menjadi unsur-unsur fosfor yang

dibutuhkan untuk proses fotosintesa tanaman. Fosfor dari tanah akan diserap

oleh hifa-hifa endomikoriza dan selanjutkan hifa-hifa internal didalam korteks

akar inang akan melepaskan unsur Fosfor sebagai sumber hara bagi tanaman

dalam melakukan fotosintesa. Dilain pihak, endomikoriza mendapatkan gula

dari inangnya sebagai sumber nutrisi.

Berdasarkan fenomena ini, walaupun musim bukan merupakan faktor

pembatas untuk di wilayah tropis namun pada saat musim penghujan dan

kondisi tanah cukup basah, mikroorganisme tanah termasuk endomikoriza aktif

bergerminasi sebagai manifestasi bahwa mikroorganisme tersebut mampu

beradaptasi dan aktif melakukan germinasi pada musim penghujan. Aktifnya

germinasi spora membentuk hifa sebagai cara cendawan mempertahankan

kehidupannya dan selanjutnya hifa-hifa tersebut bersimbiosa dengan tanaman

inangnya untuk mendapatkan nutrisi. Hal ini didukung oleh Delvian (2006b)

dan Smith et al. (2010) bahwa kolonisasi hifa endomikoriza akan terlihat

meningkat persentasinya pada kortek akar tanaman baik pada tanaman yang

tumbuh alami diareal hutan terbuka, perkebunan dan kolonisasi terlihat

menurun persentasinya pada musim kemarau atau musim panas

Kolonisasi hifa endomikoriza pada tanaman sela cukup tinggi pada saat

tanaman tersebut tumbuh pada musim penghujan namun pada tanaman mente

kolonisasi endomikoriza dapat teramati selama penelitian Akar tanaman mente

yang terkolonisasi cendawan endomikoriza, hifa eksternal diluar epidermis

Page 67: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

67

akar, maupun hifa-hifa internal pada korteks (Gambar 5.1.4) sering teramati

pada akar muda atau rambut akar. Beberapa spora dari spesies Glomus

intraradices atau Gigaspora margarita sering teramati pada sampel akar mente

(Gambar 5.1.5).

Gambar 5.1.4 . Foto hifa eksternal (*) endomikoriza pada akar tanaman mente

(Diamati di bawah mikroskop Binokuler perbesaran 100x)

Gambar 5.1.5 Foto akar mente yang menunjukkan adanya vesikel (A) dengandinding sel yang tebal dan spora endomikoriza (B) yang terlihatdi luar akar mente (diamati di bawah mikroskop Binokulerperbesaran 100 x)

Menurut Kramadibrata (2008), spora jenis G. intraradices dalam bentuk spora

tunggal sering ditemukan pada sistem perakaran tanaman khususnya tanaman

A

B

*

Page 68: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

68

yang kompatibel bagi spora-spora tersebut namun spora yang terdapat dalam

sporokarp hanya ditemukan pada tanah.

5.2. Perbanyakan Spora Endomikoriza pada Tanaman Jagung (Zea mays).

5.2.1. Jumlah spora endomikoriza

Hasil perbanyakan ketiga jenis spora endomikoriza (Glomus sp.,

Acaulospora sp., Gigaspora sp.) menunjukkan bahwa penurunan konsentrasi P

hara Johnson P 75% (P3) ; P 50% (P2); P 25% (P1), dan (0%), menghasilkan

jumlah spora yang bervariasi antar species. Hara Johnson yang diturunkan

konsentrasi P nya sampai nol % (tanpa P) mampu meningkatkan jumlah spora

pada perbanyakan satu, dua dan tiga bulan (Gambar 5.2.1).

Gambar 5.2.1 Populasi spora Endomikoriza dengan konsentrasi P yangberbeda pada umur 1, 2 dan 3 bulan di rumah kaca

Keterangan : P0 (Tanpa fosfat) ; P1 ( 25 % fosfat) ; P2 (50% fosfat) dan P3(75% fosfat) dalam hara Johnson

Hasil Analisis of Variance (ANOVA) taraf 5% menunjukkan bahwa penurunan

konsentrasi P pada hara Johnson berpengaruh nyata terhadap jumlah spora

endomikoriza. Analisis lanjutan dengan uji Duncan menunjukkan bahwa hara

Johnson tanpa P (P0) menghasilkan jumlah spora yang terbanyak pada ketiga

jenis spora endomikoriza (Tabel 5.2.1).

Page 69: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

69

Tabel 5.2.1.Pengaruh Perlakuan spesies Endomikoriza dan konsentrasi P terhadap

jumlah spora hasil propagasi umur 1, 2 dan 3 bulan pada tanaman jagung

1 bulanSpesies Konsentrasi Fosfat

0 (tanpaP) 25 % 50 % 75%

Glomus sp. 64,89d

69,22c

53,56e

26,78g

Acaulospora sp. 83,00a

77,00b

61,22d

56,44e

Gigaspora sp. 32,56f

21,56h

19,78h

13,44i

2 bulanSpesies Konsentrasi Fosfat

0 (tanpa P) 25 % 50 % 75%

Glomus sp. 66.00c

72,56c

58,56d

26,89f

Acaulospora sp. 87,54a

75,35b

64,28c

32,89e

Gigaspora sp. 32,73e

22,86fg

19,67g

12,41h

3 bulanSpesies Konsentrasi Fosfat

0 (tanpa P) 25 % P 50 % P 75%

Glomus sp. 100,33a

101,33a

90,67b

49,67e

Acaulospora sp. 98,33a

86,67b

69,67c

36,67f

Gigaspora sp. 48,00e

55,33d

34,33f

28,67g

Keterangan: Nilai rata-rata perlakuan yang diikuti oleh notasi huruf kecil yang samapada baris dan kolom yang sama pada masing-masing bulan 1, 2 dan 3menunjukkan perbedaan yang tidak nyata pada Uji DMRT pada taraf5%

Glomus sp. tanpa pemberian P (P0) dalam perbanyakan menggunakan

inang tanaman jagung menghasilkan jumlah spora terbanyak (100,33) pada

umur 3 bulan (Tabel 5.2.1 dan Gambar 5.2.1). Konsentrasi P dalam hara

Johnson sangat berpengaruh terhadap perbanyakan/propagasi spora

endomikoriza. Jumlah spora semakin menurun jika hara Johnson yang

Page 70: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

70

diberikan mengandung konsentrasi P yang tinggi (konsentrasi standar pada hara

Johnson), sebaliknya dengan menurunkan konsentrasi P dalam hara Johnson

yang diberikan dapat meningkatkan jumlah spora. Menurut Idwar dan Ali

(2000); Miyasaka et al. (2003), Widiastuti (2004) dan Smith et al.(2010),

germinasi spora mikoriza dapat terhambat pada media tanah yang kandungan

fosfatnya tinggi, sebaliknya pada tanah dengan kandungan fosfat rendah akan

meningkatkan proses germinasi spora endomikoriza. Berdasarkan hasil analisa

tanah menunjukkan bahwa kandungan Fosfat di tanah perkebunan mente sangat

tinggi (Lampiran 1) sehingga jika media tanam yang digunakan untuk

perbanyakan spora endomikoriza sudah mengandung fosfat yang tinggi,

pemberian hara Johnson harus dikurangi konsentrasi P nya sehingga dalam

penelitian ini, konsentrasi P diturunkan mulai 75% sampai 0% (tanpa P). Hasil

penelitian tahap ini membuktikan bahwa hara Johnson tanpa P (0%) dapat

meningkatkan jumlah spora dalam perbanyakan endomikoriza karena P yang

sangat tinggi dapat menghambat kemampuan enzim fosfatase yang dimilki oleh

cendawan tersebut dalam memecah Fosfat.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa Glomus sp. dan Acaulospora sp.

merupakan spesies endomikoriza yang mudah bergerminasi membentuk hifa

dan spora ditanah atau mengkolonisasi akar tanaman inang dibanding

Gigaspora sp.. Hasil penelitian Idwar dan Ali (2000) dan Widiastusti (2004),

Glomus sp. mampu berkembang dalam kisaran lingkungan yang cukup luas.

Menurut Mikola (1980), Glomus mampu germinasi pada kisaran pH 6–9

sedangkan Gigaspora sp. berkecambah optimum dalam kisaran pH yang asam

yaitu 4,5–6,5. Hasil pengukuran pH tanah selama perbanyakan spora adalah

Page 71: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

71

antara 6.6 – 7.1 merupakan kisaran pH yang sesuai bagi Glomus sp. sehingga

pH tanah yang sesuai bagi Glomus sp. juga dapat meningkatkan germinasi

spora dan hifa lebih banyak dibanding Gigaspora sp..

Faktor pendukung lain untuk memacu germinasi spora mikoriza adalah

suhu. Suhu harian selama penelitian propagasi di rumah kaca berkisar antara 24

– 360C. Menurut Mosse (1981), spora Acaulospora sp., Gigaspora sp. dan

Glomus sp. dapat bergerminasi pada kisaran suhu 23 – 31 0 C. Hal ini

menunjukkan bahwa suhu harian dirumah kaca masih dalam kisaran suhu yang

optimum untuk perbanyakan spora. Hasil penelitian tahap propagasi

menunjukkan bahwa Glomus sp., Acaulospora sp. dan Gigaspora sp. hasil

ekplorasi dilahan kering Bali dapat diperbanyak pada tanaman inang Jagung (Z.

mays) menghasilkan spora 1 bulan namun jumlah spora terbanyak dihasilkan

pada 3 bulan. Simanungkalit (2003) dan Hasanudin (2008) menyatakan bahwa

spora dan propagul endomikoriza untuk inokolum adalah umur 3 bulan.

5.2.2. Presentase kolonisasi (%) Endomikoriza pada akar Jagung

Spesies Glomus sp., Acaulospora sp. dan Gigaspora sp. mampu

mengkolonisasi akar tanaman inang (Zea mays) selama perbanyakan 1, 2 dan 3

bulan. Konsentrasi 75% (P3) menghasilkan kolonisasi terendah dan penurunan

konsentrasi sampai nol % menghasilkan kolonisasi tertinggi pada propagasi

endomikoriza umur 1,2 dan 3 bulan (Gambar 5.2.2.). Berdasarkan hasil

analisis of variance (ANOVA) taraf 5% menunjukkan bahwa hara Johnson

tanpa P(P0) menghasilkan kolonisasi tertinggi dibanding konsentrasi P lainnya.

Penurunan konsentrasi sampai 25% (P1) pada umur propagasi 1 bulan

Page 72: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

72

menghasilkan kolonisasi yang masih tinggi namun secara umum kolonisasi hifa

tertinggi diperoleh pada akar jagung umur propagasi 2 dan 3 bulan tanpa

penambahan P (P0). (Tabel 5.2.2).

Gambar 5.2.2 Kolonisasi Endomikoriza pada akar tanaman jagung dengankonsentrasi P berbeda selama 1, 2 dan 3 bulan di rumah kaca

Keterangan : P0 (Tanpa fosfat) ; P1 ( 25 % fosfat) ; P2 (50% fosfat) dan P3(75% fosfat) dalam hara Johnson

Spesies Glomus sp. menghasilkan kolonisasi tertinggi pada akar tanaman

Jagung umur propagasi 3 bulan dibanding kedua spesies yang lain yaitu

Acaulospora sp. dan Gigaspora sp.. Hasil analisa lanjut menggunakan uji

DMRT taraf kepercayaan 5% menunjukkan bahwa terdapat interaksi yang nyata

antara spesies endomikoriza dengan konsentrasi P dalam hara Johnson yang

berikan selama perbanyakan satu, dua dan tiga bulan pada tanaman Jagung

Hasil uji DMRT taraf kepercayaan 5% untuk melihat pengaruh antara spesies

dengan konsentrasi P menunjukkan bahwa kolonisasi tertinggi yaitu 90%

dihasilkan oleh spesies Glomus sp. tanpa konsentrasi P (P0) pada umur

propagasi tiga bulan (Tabel 5.2.2).

Page 73: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

73

Tabel 5.2.2.Pengaruh spesies dan konsentarasi P terhadap kolonisasi hifa pada akar

jagung pada perbanyakan endomikoriza umur 1, 2 dan 3 bulan

1 bulanSpesies Konsentrasi Fosfat (P)

0 (tanpa P) 25% 50% 75%

Glomus sp. 42,64 bc 40,38 c 32,27 d 22,08 f

Acaulospora sp. 27,06 e 39,26 c 40,66 c 24,43 ef

Gigaspora sp. 45,92 b 63,59 a 26,88 e 24,80 ef

2 bulanSpesies Konsentrasi Fosfat (P)

P0 P 25% P 50% P 75%

Glomus sp. 65,71 a 42,16 bc 45,70 b 38,18 bcd

Acaulospora sp. 37,81 bcd 23,85 e 30,77 de 22,90 e

Gigaspora sp. 35,13 cd 35,55 cd 29,78 de 29,83 de

3 bulanSpesies Konsentrasi Fosfat (P)

P0 P 25% P 50% P 75%

Glomus sp. 90,00 a 52,16 d 55,70 cd 41,85 ef

Acaulospora sp. 39,31 f 32,77 g 41,38 ef 32,16 g

Gigaspora sp. 63,33 b 57,55 c 46,29 e 42,59 ef

Keterangan: Nilai rata-rata perlakuan yang diikuti oleh huruf kecil yang sama padabaris dan kolom yang sama pada masing-masing bulan 1, 2 dan 3menunjukkan perbedaan yang tidak nyata berdasarkan Uji DMRT padataraf 5%

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian hara Johnson tanpa P

menghasilkan kolonisasi Glomus sp. yang tertinggi (P<0,05), menunjukkan

bahwa propagasi tiga bulan pada inang Jagung merupakan waktu yang terbaik

untuk menghasilkan kolonisasi hifa endomikoriza tertinggi. Terkolonisasinya

akar-akar jagung oleh hifa-hifa endomikoriza merupakan propagul efektif untuk

digunakan sebagai sumber inokulan. Menurut Brundrett et al. (2008) dan

Page 74: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

74

Douds et al.(2010). hifa-hifa yang terbentuk dari hasil germinasi spora, disebut

sebagai hifa eksternal akan terdistribusi secara luas di dalam tanah

mengabsorbsi unsur P, selanjutnya hifa-hifa tersebut akan mendistribusikan P

dalam bentuk ion pada tanaman inang yang ditumpanginya. Laju kolonisasi

pada akar tanaman semakin tinggi apabila spora endomikoriza yang

bergerminasi menggunakan tanaman inang yang sesuai, contohnya tanaman

Jagung sehingga pemilihan jenis tanaman inang yang digunakan untuk

propagasi endomikoriza sangat menentukan keberhasilan propagasi cendawan

endomikoriza (Widiastuti, 2004 ; Chalimah et al., 2007)

5.3. Aplikasi endomikoriza (spora dan propagul) terhadap respon

pertumbuhan bibit mente ( A. occidentale L.)

Inokulasi spora Glomus sp., Acaulospora sp., Gigaspora sp. pada bibit

mente baik sebagai spora tunggal dan campuran spora dari ketiga spesies

menunjukkan hasil yang berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%. Berat

propagul endomikoriza yang berbeda menunjukkan bahwa semua perlakuan

menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0.05) jika dibanding tanaman

tanpa penambahan spora mikoriza atau propagul (NS-0 atau kontrol). (Tabel

5.3.A dan Tabel 5.3.B) Spesies endomikoriza berpengaruh nyata (P<0,05)

terhadap semua variabel pertumbuhan bibit mente (Tabel 5.3.A), namun

berat propagul tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap variabel

pertumbuhan bibit mente kecuali pada persentase kolonisasi (Tabel 5.3.B).

Page 75: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

75

Tabel 5.3.APengaruh inokulasi spora endomikoriza terhadap pertumbuhan

bibit mente (A.occidentale L.) di rumah kaca pada hari ke 90

Perlakuan Tinggi(cm)

Luas daun(cm2)

berat keringtotal (g)

Kolonisasi(%)

KandunganP (mg)

Kontrol (NS-0) 26,025c 32,801b 8,489c 10,196 d 1,636c

Glomus sp. 35,100a 40,353a 11,577a 40,259a 3,188a

Acaulospora sp 34,692a 36,443ab 10,443ab 26,985c 2,332b

Gigaspora sp. 34,167ab 38,627a 11,034ab 28,356 b 2,933a

Sporacampuran

30,400b 38,623a 9,489bc 28,552 b 3,203a

Keterangan :Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menyatakantidak berbeda nyata berdasarkan Uji DMRT pada taraf 5%

Tabel 5.3.BPengaruh Inokulasi propagul terhadap pertumbuhan

bibit mente (A.occidentale L) di rumah kaca pada hari ke 90

Perlakuan Tinggi(cm)

Luas daun(cm2)

berat keringtotal (g)

Kolonisasi(%)

Kandungan P(mg)

Tanpa propagul 32,320a 39,204a 10,789a 20,147d 2,587a

Propagul 12.5 g 32,707a 37,782a 10,303a 26,524c 2,654a

Propagul 25 g 31,560a 36,779a 10,075a 26,524b 2,587a

Propagul 37.5 g 31,720a 35,711a 9,657a 34,828a 2,960a

Keterangan :1. Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama

menyatakan tidak berbeda nyata berdasarkan Uji DMRT pada taraf 5%2. Propagul = potongan dari akar-akar jagung yang terkolonisasi

hifa endomikoriza

5.3.1. Tinggi bibit mente

Inokulasi endomikoriza dalam spora tunggal dan propagul mampu

meningkatkan tinggi bibit mente dibanding tanaman tanpa spora-tanpa propagul

(NS-0). (Gambar 5.3.1 dan Gambar 5.3.2 A – D).

Page 76: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

76

Gambar 5.3.1. Tinggi bibit mente dengan perlakuan non spora, spora, danspora-propagul endomikoriza pada umur 90 hari di rumah kaca

Keterangan notasi pada gambar 5.3.1 :NS-0 (non spora-non propagul) ; NS-12,5 (Propagul 12,5 g) ; NS-25 (Propagul25 g) ; NS-37,5 (propagul 37,5 g) : Glo-0 (50 spora Glomus sp tanpa propagul)Glo-12,5 g (50 spora Glomus sp.+12,5 g propagul); Glo-25 (50 spora Glomussp + 25 g propagul) Glo-37,5 ( 50 spora Glomus sp.+37,5 g propagul); Aca-0 (50spora Acaulospora sp. tanpa propagul); Aca-12,5 (50 spora Acaulospora sp. +12,5 g propagul); Aca-25 (50 spora Acaulospora sp. + 25 g propagul); Aca-37,5(50 spora Acaulospora sp. + 37,5 g propagul); Gi-0 (50 spora Gigaspora sp.tanpa propagul); Gi-12,5 (50 spora Gigaspora sp. + 12,5 g propagul); Gi-25 (50spora Gigaspora sp. + 25 g propagul); Gi-37,5 (50 spora Gigaspora sp. + 37,5 gpropagul); Mix-0 (50 spora Glomus sp., Acaulospora sp., Gigaspora, sp tanpapropagul); Mix-12,5 (50 spora Glomus sp., Acaulospora sp., Gigaspora, sp +12,5 g propagul); Mix-25 (50 spora Glomus sp., Acaulospora sp., Gigaspora, sp+ 25 g propagul) Mix- 37,5 50 spora Glomus sp., Acaulospora sp., Gigaspora, sp+ 37,5 g propagul)

Page 77: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

77

Gambar5.3.2.A.Foto bibit mente setelah diinokulasi spora Glomus sp., spora-propagul dan tanpa inokulasi (K) pada umur 90 hari dirumah kaca

Gambar 5.3.2B Foto bibit mente setelah diinokulasi spora Acaulospora sp.,spora-propagul dan tanpa inokulasi (K) pada umur 90 haridi rumah kaca

Keterangan : K (Kontrol) ; -0 (50 Spora tanpa propagul); -12.5 (50Spora + 12,5 g propagul ); -25 (50 Spora + 25 g propagul);-37,5 (50 Spora + 37.5 g propagul

Page 78: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

78

Gambar 5.3.2 C Foto bibit mente setelah diinokulasi spora Gigaspora sp.,spora-propagul dan tanpa inokulasi (K) pada umur 90 haridi rumah kaca

Gambar 5.3.2 D Foto bibit mente setelah diinokulasi spora ketiga jenisendomikoriza, spora-propagul dan tanpa inokulasi (K)pada umur 90 hari di rumah kaca

Keterangan : 1. K (Kontrol) ; - 0 (50 Spora tanpa propagul); -12.5 (50Spora + 12,5 g propagul ); -25 (50 Spora + 25 g propagul);-37,5 (50 Spora + 37.5 g propagul

Page 79: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

79

Hasil penelitian menunjukkan bahwa inokulasi ketiga spesies endomikoriza

dan campura dari ketiga spesies yang diujikan tersebut dapat meningkatkan

pertumbuhan bibit mente dibandingkan dengan tanaman kontrol (tanpa

inokulasi spora dan propagul). Hasil uji lanjutan dengan uji DMRT taraf 5%

menunjukkan bahwa Glomus sp. tanpa pemberian propagul (Glo-0)

menunjukkan hasil yang terbaik untuk pertumbuhan bibit mente (tinggi bibit)

dibanding perlakuan lainnya (Tabel 5.3.2)

Tabel 5.3.2.Pengaruh Perlakuan spesies endomikoriza dan berat propagul

terhadap tinggi bibit mente umur 90 hari di rumah kaca

SpesiesEndomikoriza

Berat propagul (g)

0 12,5 25 37,5Tanpa spora 23,833

e27,333

de27,667

de25,667

de

Glomus sp. (A) 40,533a

39,333ab

28,467cde

32,067abcde

Acaulospora sp. (B) 39,767b

34,833abcd

30,900abcde

33,267abcde

Gigaspora sp. (C) 33,633abcde

29,633bcde

35,500abcd

39,900abc

Spora mix(A + B + C)

23,833e

32,400abcde

35,667abcd

29,700bcde

Keterangan: Nilai rata-rata perlakuan yang diikuti oleh huruf kecil yang sama padabaris dan kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyataberdasarkan Uji DMRT pada taraf 5%

Berdasarkan Tabel 5.3.2. menunjukkan bahwa Glomus sp. adalah spesies

yang paling kompatibel dengan bibit mente dan spesies tersebut dapat

bersimbiosis secara efektif walaupun tanpa penambahan propagul. Spesies

Glomus sp. sebagai spora tunggal dapat meningkatkan kemampuan bibit dalam

absorbsi nutrisi yang tersedia pada media tanah, artinya bahwa hifa-hifa dari

Glomus sp dapat berfungsi untuk membantu perakaran bibit mente dalam

mengabsorbsi air dan nutrisi terutama unsur P dan N yang sangat diperlukan

Page 80: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

80

untuk pertumbuhan awal dari bibit yaitu pembentukan klorofil sehingga

pertumbuhan bibit mente terlihat lebih baik dibanding perlakuan bibit tanpa

mikoriza. Cendawan mikoriza tersebut memiliki enzim phosphatase dan

khitinase sebagai pemecah senyawa fosfat dan Nitrogen di tanah sehingga

menjadi unsur-unsur atau ion-ion yang mudah diserap dan digunakan oleh

tanaman inangnya (bibit mente). Hara mineral yang tercukupi dalam proses

metabolisme akan dapat meningkatkan proses fotosintesis bibit mente. Hal ini

sejalan dengan pendapat Mikola (1980), Smith (2000) dan Renuka et al (2012)

bahwa akar tanaman yang bermikoriza dapat meningkatkan kapasitas

pengambilan hara di dalam tanah karena akar-akar yang dikolonisasi oleh hifa-

hifa endomikoriza dapat diperpanjang waktu hidupnya, derajat percabangan

akarnya serta diperbesar diameter akarnya sehingga luas permukaan daerah

absorpsi akar secara otomatis kemampuan absorbsinya akan meningkat

dibanding akar-akar tanaman tanpa infeksi atau kolonisasi mikoriza. Hal ini

didukung oleh Mikola (1980); Imas et al. (1989); Mayerni dan Hervani (2008)

yang menyatakan bahwa endomikoriza yang telah bersimbiosis dengan tanaman

inangnya dapat meningkatkan produksi hormon pertumbuhan seperti auksin,

sitokinin dan gibberelin yang sangat berguna bagi tanaman inangnya. Auksin

berfungsi untuk memperlambat proses penuaan akar inang sehingga fungsi akar

sebagai penyerap unsur hara dan air akan bertahan lebih lama (Mikola, 1980).

Jadi dapat diasumsikan bahwa pertumbuhan tanaman inang (mente) yang

diinokulasi cendawan mikoriza mampu mempertahankan pertumbuhannya lebih

lama karena terdapatnya perakaran yang aktif karena tidak cepat mengalami

penuaan dibandingkan bibit mente yang tanpa inokulasi.

Page 81: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

81

Kemampuan Glomus sp. adalah endomikoriza yang terbaik dibanding

spesies Gigaspora sp. atau Acaulospora karena berdasarkan data-data hasil

penelitian propagasi Glomus sp., cendawan ini lebih cepat germinasi dan

menghasilkan spora terbanyak (Penelitian 5.2) sehingga diasumsikan bahwa

spora-spora dan propagul Glomus sp. mempunyai kemampuan membentuk hifa-

hifa eksternal dan internal yang lebih cepat dibanding kedua species lain yang

diujikan.

Kecepatan germinasi spora dan hifa yang dihasilkan oleh Glomus sp.

berpengaruh terhadap kecepatan absorbsi hara mineral pada media tanah yang

lebih baik sehingga bibit mente mendapatkan nutrisi secara cepat untuk proses

fotosintesis. Menurut Smith et al. (2010), tanaman yang terkolonisasi mikoriza

dapat menyerap Fosfor lebih banyak dari dalam tanah karena aktivitas enzim

fosfatase yang dihasilkan oleh cendawan mikoriza pada rizosfer akan

meningkat. Hal ini sesuai dengan pendapat Tamasloukht et al. (2003) bahwa

simbiosis endomikoriza dan akar tanaman inang (termasuk akar mente) dimulai

segera setelah spora-spora tersebut berkecambah di dalam tanah yang ditandai

dengan terbentuknya hifa ekternal endomikoriza dan juluran hifa endomikoriza

dapat masuk kembali kedalam kortek akar inang. Hifa internal, interselluler,

arbuskula ataupun vesikel yang terbentuk pada kortek akar adalah sebagai tanda

bahwa mikoriza tersebut aktif dan tumbuh di dalam akar inangnya (Brundrett et

al., 2008).

Menurut Hapsoh (2008) endomikoriza mampu membantu dalam

meningkatkan penyerapan unsur hara pada tanaman inang yaitu, mikoriza

dengan eksternal hifa yang terdapat di dalam tanah akan merombak mineral-

Page 82: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

82

mineral anorganik yang ada di dalam tanah dan mensuplai zat dibutuhkan oleh

tanaman, misalnya Carbon organik, Magnesium dan Kalium sehingga dengan

pemberian spora mikoriza terutama pada waktu pembibitan adalah efektif untuk

mempercepat pertumbuhan bibit.

Menurut Smith (2000), serapan air yang lebih besar oleh tanaman

bermikoriza, juga membawa unsur hara lain yang mudah larut seperti N, K dan

S. Hal ini terbukti dari hasil penelitian bahwa pada bibit yang diinokulasi

mikoriza mampu tumbuh lebih tinggi dan menghasilkan jumlah daun yang

lebih banyak dibanding kontrol. Selain meningkatkan absorbsi hara,

endomikoriza Glomus dan Gigaspora memiliki kandungan senyawa yang mirip

dengan zat pengatur tumbuh sitokinin dan auksin pada (Brundrett et al 2008 dan

Ibiremo, 2010). Hal ini memungkinkan bahwa mikoriza indigenus yang

diinokulasikan pada bibit mente mampu menghasilkan senyawa tersebut

sehingga dapat dibuktikan bahwa pertumbuhan bibit mente cukup pesat dan

berbeda nyata dibanding dengan tanaman tanpa inokulasi spora endomikoriza

(NS-0 atau tanaman kontrol).

5.3.2. Berat kering bibit mente

Pemberian mikoriza sebagai spora tunggal (tanpa propagul) menunjukkan

pengaruh yang sangat nyata (p<0.05) dalam meningkatkan produksi berat

kering total pada bibit mente umur 90 hari (Tabel 5.3.3). Bibit mente yang

diinokulasi mikoriza spora Glomus sp. tanpa penambahan propagulnya (Glo-0)

tampak berbeda secara nyata (P<0,05) dengan perlakuan lainnya dan

menghasilkan berat kering total sebesar 16,153 g . Bibit mente yang tumbuh

Page 83: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

83

tanpa penambahan spora dan propagul (NS-0) memiliki berat kering 8,37 g.

(Tabel 5.3.3).

Tabel 5.3.3Pengaruh perlakuan spesies dan propagul terhadap

berat kering total bibit mente (A. occidentale)

SpesiesEndomikoriza

Berat propagul (g)

0 12,5 25 37,5Tanpa spora 8,37

bcd8,197

bcd10,780

bcd6,610

d

Glomus sp. (A) 16,153a

11,783bc

8,600bcd

9,773bcd

Acaulospora sp. (B) 10,933bcd

11,323bc

8,333bcd

11,120bc

Gigaspora sp. (C) 7,730cd

12,660ab

11,390bc

12,357ab

Spora mix(A + B + C)

10,697bcd

7,550cd

9,183bcd

10,517bcd

Keterangan: Nilai rata-rata perlakuan yang diikuti oleh huruf kecil yang samapada baris dan kolom yang sama menunjukkan perbedaan yangtidak nyata (P>0,05) berdasarkan Uji DMRT pada taraf 5%

Berdasarkan perbedaan berat kering yang dihasilkan bibit mente, menunjukkan

bahwa inokulasi spora endomikoriza dapat meningkatkan produksi berat kering

tanaman dan membuktikan bahwa simbiosis endomikoriza dengan akar tanaman

inang dapat meningkatkan pertumbuhan akar-akar serabut tanaman inang dan

terbentuknya hifa-hifa eksternal pada akar bibit mente. Peningkatan jumlah

akar serabut pada bibit berpengaruh terhadap kemampuan akar dalam absobsi

air, mineral dan nutrisi dari dalam tanah sehingga sangat berpengaruh terhadap

penambahan berat tanaman. Hasil pengamatan selama penelitian menunjukkan

bahwa bibit mente yang diinokulasi spora endomikoriza terlihat tumbuh lebih

subur dibanding bibit mente tanpa inokulasi endomikoriza (Gambar 5.3 A-D).

Menurut Smith dan Read (1997); Hapsoh (2008) dan Brundrett et al., (2008),

pada perakaran tanaman inang yang telah diinokulasi dengan mikoriza dan telah

Page 84: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

84

terjadi simbiosis diantara keduanya, cendawan endomikoriza akan

memproduksi jalinan hifa ekternal secara intensif pada akar-akar tanaman

inang. Menurut Smith (2000) dan Thamsurakul dan Charoensook (2006),

proses pemanjangan hifa-hifa eksternal endomikoriza akan berpengaruh

terhadap kemunculan dan pertumbuhan akar-akar tersier (rambut-rambut akar)

yang berfungsi sebagai akar-akar penyerap nutrisi dari dalam tanah, bertambah

banyaknya akar-akar tersier ditanah dapat memaksimalkan absorbsi hara dan

mineral dari dalam tanah sehingga meningkatkan proses fotosintesis tanaman

inang. Tanaman yang berfotosintesis secara aktif dapat berpengaruh positif

terhadap pertambahan berat akar dan tajuk pada tanaman inang sehingga

tanaman yang bermikoriza mempunyai bobot kering yang lebih dibanding

tanaman yang tidak diinokulasi mikoriza (Powel dan Bagyaraj, 1984; Bever et

al., 1996). .

5.3.3. Kolonisasi endomikoriza pada akar mente (%)

Kolonisasi endomikoriza pada akar menunjukkan bahwa semua perlakuan

Glomus, Acaulospora dan Gigaspora terkolonisasi cukup efektif pada akar

mente (Gambar 5.3.3). Berdasarkan Analisis of Variance (ANOVA) inokulasi

dengan spora endomikoriza menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05) terhadap

kolonisasi hifa-hifa endomikoriza di akar namun pemberian propagul tanpa

spora propagul menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P>0,05) terhadap

kolonisasi akar mente (Tabel 5.2.1). Analisa DMRT 5% untuk melihat

pengaruh adanya interaksi antara spora dan propagul menunjukkan bahwa

inokulasi spora Glomus sp.+propagul 37,5 g mampu meningkatkan prosentasi

Page 85: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

85

kolonisasi yang tertinggi (49,467%) dan secara nyata berbeda dengan perlakuan

lainnya (P<0). Bibit mente tanpa penambahan spora mikoriza maupun propagul

menunjukkan adanya kolonisasi sebesar 1,66 %. Terdapatnya kolonisasi ini

menunjukkan bahwa walaupun tanah yang digunakan untuk media tanam

sudah disteril, diduga terdapat spora-spora endomikoriza dorman dialam dan

akan terpatahkan fase dormansinya dengan proses sterilisasi pada suhu 105 o C

(suhu pada saat sterilisasi tanah) sehingga spora mikoriza akan germinasi pada

media tanah dan mengkolonisasi akar (Gambar 5.3.3 dan Tabel 5.3.4).

Gambar 5.3.3 Kolonisasi endomikoriza pada akar mente umur 90 hari denganperlakuan spora dan propagul dan kontrol di rumah kaca

Keterangan notasi pada gambar 5.3.3 :NS-0 (non spora-non propagul) ; NS-12,5 (Propagul 12,5 g) ; NS-25 (Propagul 25 g);S-37,5 (propagul 37,5 g) : Glo-0 (50 spora Glomus sp tanpa propagul) Glo-12,5 g(50 spora Glomus sp.+12,5 g propagul); Glo-25 (50 spora Glomus sp + 25 gpropagul) Glo-37,5 ( 50 spora Glomus sp.+37,5 g propagul); Aca-0 (50 sporaAcaulospora sp. tanpa propagul); Aca-12,5 (50 spora Acaulospora sp. + 12,5 gpropagul); Aca-25 (50 spora Acaulospora sp. + 25 g propagul); Aca-37,5 (50 sporaAcaulospora sp. + 37,5 g propagul); Gi-0 (50 spora Gigaspora sp. tanpa propagul);Gi-12,5 (50 spora Gigaspora sp. + 12,5 g propagul); Gi-25 (50 spora Gigaspora sp. +25 g propagul); Gi-37,5 (50 spora Gigaspora sp. + 37,5 g propagul); Mix-0 (50 sporaGlomus sp., Acaulospora sp., Gigaspora, sp tanpa propagul); Mix-12,5 (50 sporaGlomus sp., Acaulospora sp., Gigaspora, sp + 12,5 g propagul); Mix-25 (50 sporaGlomus sp., Acaulospora sp., Gigaspora, sp + 25 g propagul) Mix- 37,5 50 sporaGlomus sp., Acaulospora sp., Gigaspora, sp + 37,5 g propagul)

Page 86: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

86

Tabel 5.3.4Pengaruh perlakuan spesies dan propagul terhadap kolonisasi (%)

endomikoriza pada akar bibit mente (A. occidentale L.)

Spesiesendomikoriza

Berat propagul (g)

0 12,5 25 37,5

Tanpa spora 1,66m

21,710l

25,580h

23,830ijk

Glomus sp. (A) 27,880g

35,977c

47,713b

49,467a

Acaulospora sp. (B) 22,223kl

24,623hij

28,910g

32,187e

Gigaspora sp. (C) 23,433jk 24,843 hij 30,557

f34,590

cd

Spora mix(A + B + C)

25,533hi

25,467hi

29,143fg

34,067d

Keterangan: Nilai rata-rata perlakuan yang diikuti oleh huruf kecil yang samapada baris dan kolom yang sama menunjukkan perbedaan yangtidak nyata berdasarkan Uji DMRT pada taraf 5%

Menurut Smith et al.(2010) proses pemanasan tanah (media tumbuh)

endomikoriza dengan suhu lebih dari 800 C dapat mematahkan fase dormansi

spora dan sporokarp cendawan endomikoriza terutama spora yang mempunyai

dinding sel yang tebal sehingga spora-spora tersebut mampu berkecambah

membentuk hifa-hifa fertil maupun steril. Germinasi spora mikoriza akan

tumbuh dan bereproduksi setelah melewati masa adaptasi yang relatif singkat

(1–3 minggu), namun kemampuan germinasi spora sangat tergantung pada

spesiesnya. Douds (2008) menyatakan spora mikoriza dengan dinding sel tebal

(Gigaspora) dapat bertahan hidup dalam lingkungan ekstrim karena dinding

spora yang tebal yang dimiliki spesies tersebut mampu melindungi sitoplasma

sehingga spora tersebut dapat bertahan dalam kondisi kering dan suhu tinggi.

Hasil penelitian pada bibit mente yang diinokulasi dengan spora tunggal

(spora dari tiap spesies), campuran spora ketiga spesies dan campuran spora dan

Page 87: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

87

propagul terlihat adanya variasi persentasi kolonisasi pada masing-masing

perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan germinasi dan kolonisasi

tiap spesies endomikoriza berbeda, tergantung pada kematangan spora dari

spesies dan daya adaptasi spora terhadap media tanamnya. Menurut Widiastuti

et.al (2005), campuran spora, hifa dan akar terinfeksi dari endomikoriza untuk

inokulasi pada tanaman memiliki banyak kelebihan, meskipun demikian

inokulum campuran memiliki standarisasi yang lemah dibandingkan spora saja

karena spora mikoriza lebih tahan terhadap pengaruh fisika, kimia

lingkungannya karena spora mikoriza memiliki dinding sel. Bervariasinya hasil

pertumbuhan bibit mente pada tiap genera dan kombinasinya dapat diasumsikan

bahwa terjadinya peningkatan metabolism perakaran tanaman karena

bersimbiosis dengan endomikoriza.

Intensitas infeksi akar oleh cendawan endomikoriza dipengaruhi oleh

berbagai faktor, meliputi pemupukan dan nutrisi tanaman, pestisida, intensitas

cahaya, musim, kelembaban tanah, pH, kepadatan inokulum dan tingkat

ketahanan tanaman. Pada beberapa jenis endomikoriza, pertumbuhan saluran

kecambah dari spora yang berkecambah mungkin dipengaruhi oleh eksudat

akar, kesuburan tanah dan ketersediaan air tanah. Tommerup (1984)

melaporkan bahwa pertumbuhan hifa Acaulospora laevis dan Glomus

caledonium menurun dalam kondisi ketersediaan air yang sangat rendah.

Pada penelitian ini pemberian Glomus sp. dan Acaulospora sp. dalam

bentuk tunggal menghasilkan persentase kolonisasi yang lebih tinggi dibanding

campuran ketiga spesies (mix-spora) dalam meningkatkan pertumbuhan bibit

mente sehingga dapat dikatakan bahwa adanya perbedaan waktu germinasi yang

Page 88: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

88

berbeda pada masing-masing spesies endomikoriza dapat menyebabkan

pemberian campuran ketiga spesies spora mikoriza kurang efektif dalam

meningkatkan pertumbuhan bibit mente dibanding pemberian endomikoriza

dalam bentuk spora tunggal. Hal in didukung pendapat dari Smith dan Read

(1997); Delvian (2006b) bahwa terdapat perbedaan waktu germinasi antar spora

jenis satu dengan lainnya sehingga apabila ditumbuhkan dalam satu media,

maka akan terjadi kompetisi nutrisi yang digunakan oleh spora dalam

germinasinya. Salah satu cara mengatasi hal ini Widyastuti et al.(2005)

menyatakan bahwa diperlukan jumlah spora yang bervariasi antar spesies

endomikoriza yang diinokulasikan pada media tanam sehingga tiap spora

cendawan mikoriza mempunyai kesempatan untuk bergerminasi dan

berkembang biak menjadi hifa-hifa eksternal terjalin hubungan yang saling

menguntungkan secara efisien.

5.3.4. Kandungan P pada tanaman

Hasil penelitian menunjukkan bahwa inokulasi spora endomikoriza secara

nyata mampu meningkatkan kandungan P pada bibit mente (P<0,05) dan

penambahan propagul saja tanpa spora endomikoriza tidak menunjukkan

perbedaan yang nyata dalam meningkatkan kandungan P tanaman. Spesies

Glomus sp. sebagai spora tunggal (tanpa penambahan propagul) dapat

meningkatkan kandungan P pada tanaman, namun Gigaspora sp. sebagai spora

tunggal tidak terlihat secara nyata dalam meningkatkan kandungan P. Pada

spesies Gigaspora terlihat nyata dalam meningkatkan P jika inokulasi spora

spesies tersebut ditambahkan propagul 37,5 g. (Tabel 5.3.5).

Page 89: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

89

Tabel 5.3.5Interaksi antara spesies dan propagul terhadap kandungan fosfat (P)

pada akar bibit mente (A. occidentale L.)

SpesiesEndomikoriza

Berat propagul (g)

0 12,5 25 37,5Tanpa spora 1,35 j 1,45ij 2,033 ghij 1,710 hij

Glomus sp. (A) 4,043 a 3,123bcde 2,620 cdefg 2,977 bcde

Acaulospora sp. (B) 2,097 kl 2,417 efgh 2,173 fgh 2,640 cdefg

Gigaspora sp. (C) 2,563 defg 2,947 bcde 2,790 bcdef 3,433 ab

Spora mix(A + B + C)

2,930 bcde 3,333 bc 3,320 bcd 3,230 bcd

Keterangan: Nilai rata-rata perlakuan yang diikuti oleh huruf kecil yang samapada baris dan kolom yang sama menunjukkan perbedaan yangtidak nyata berdasarkan Uji DMRT pada taraf 5%

Gambar 5.3.4. Kandungan P pada bibit mente setelah umur tanam 90 hariperlakuan spora, propadul, tanpa spora dirumah kaca

Keterangan notasi pada gambar 5.3.4 :

NS-0 (non spora-non propagul) ; NS-12,5 (Propagul 12,5 g) ; NS-25 (Propagul 25 g) ;NS-37,5 (propagul 37,5 g) : Glo-0 (50 spora Glomus sp tanpa propagul) Glo-12,5 g(50 spora Glomus sp.+12,5 g propagul); Glo-25 (50 spora Glomus sp + 25 g propagul)Glo-37,5 ( 50 spora Glomus sp.+37,5 g propagul); Aca-0 (50 spora Acaulospora sp.tanpa propagul); Aca-12,5 (50 spora Acaulospora sp. + 12,5 g propagul); Aca-25 (50spora Acaulospora sp. + 25 g propagul); Aca-37,5 (50 spora Acaulospora sp. + 37,5 gpropagul); Gi-0 (50 spora Gigaspora sp. tanpa propagul); Gi-12,5 (50 spora Gigasporasp. + 12,5 g propagul); Gi-25 (50 spora Gigaspora sp. + 25 g propagul); Gi-37,5 (50spora Gigaspora sp. + 37,5 g propagul); Mix-0 (50 spora Glomus sp., Acaulospora sp.,Gigaspora, sp tanpa propagul); Mix-12,5 (50 spora Glomus sp., Acaulospora sp.,Gigaspora, sp + 12,5 g propagul); Mix-25 (50 spora Glomus sp., Acaulospora sp.,Gigaspora, sp + 25 g propagul) Mix- 37,5 50 spora Glomus sp., Acaulospora sp.,Gigaspora, sp + 37,5 g propagul)

Page 90: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

90

Rata-rata kandungan P pada perlakuan propagul tanpa spora endomikoriza

terlihat lebih rendah dibanding dengan perlakuan kombinasi spora–propagul

akan tetapi rata-rata kandungan P pada perlakuan spora tanpa propagul terlihat

lebih tinggi dibandingkan perlakuan kombinasi spora-propagul (perkecualian

pada Gigaspora sp) (Tabel 5.3.5 dan Gambar 5.3.4). Rata-rata kandungan P

tertinggi ditunjukkan pada perlakuan spora Glomus sp.. Diasumsikan bahwa

pada Glomus sp mempunyai kemampuan menghasilkan hifa eksternal yang

panjang dan tersebar luas ditanah yang berbeda dengan species yang lain

sehingga dengan kemampuan menghasilkan hifa eksternal tersebut akan dapat

meningkatkan penyerapan unsur-unsur P yang bersifat immobile di dalam tanah

dan hara lain seperti N, K dan Mg yang sangat dibutuhkan oleh tanaman

(Sieverding 1991; Baon, 1996; Quimeo et al. 1996; Hapsoh 2008). Selain

unsur-unsur tersebut di atas, unsur-unsur mikro seperti Zn, Cu, B, Mo dapat

juga meningkat penyerapannya pada tanaman yang terinfeksi/terkolonisasi

mikoriza (Smith dan Read 1997). Selain itu, spora endomikoriza mempunyai

enzim nitrat reduktase yang telah dibuktikan secara biokimia dan genetik

sehingga hifa eksternalnya mempunyai kapasitas dalam penyerapan nitrat yang

diperlukan oleh tanaman dalam pertumbuhannya (Baon, 1996). Hal inilah

yang membuktikan bahwa kolonisasi fungi endomikoriza mampu meningkatkan

tanaman dalam penyerapan hara utama dari tanah dibanding tanaman yang tidak

bermikoriza (Smith dan Read 1997). Menurut Margarettha (2011) tanaman

akan mendapatkan keuntungan dari endomikoriza tersebut terutama jika unsur P

di dalam tanah meskipun jumlahnya tinggi atau banyak tetapi tidak mampu

terserap oleh tanaman secara langsung sehingga fungsi penyerapan P dalam

Page 91: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

91

tanah akan digantikan fungsinya oleh hifa-hifa ekternal mikoriza yang tersebar

secara luas di dalam pori-pori tanah.

5.4. Pengaruh perbedaan media pembawa terhadap efektifitas sporaendomikoriza Glomus sp dalam pertumbuhan bibit mente

Tahap penelitian ini adalah untuk uji coba spora Glomus sp. sebagai spesies

yang terbaik dalam penelitian sebelumnya (penelitian 5.3) apabila

diinokulasikan pada bibit mente (A. occidentale L.) yang ditanam pada media

tanam yang berbeda-beda yaitu: media tanah dicampur (tepung kaolin, pasir

kwarsa dan zeolit granula). Hal ini bertujuan untuk melihat efektifitas dan

kemampuan germinasi spora Glomus sp. pada jenis media yang berbeda dalam

mengkolonisasi atau menginfeksi tanaman inang (bibit mente) dan

meningkatkan pertumbuhan bibit mente tersebut

Hasil analisis of Variance (Anova) taraf kepercayaan 5% menunjukkan

adanya perbedaan yang nyata antar perlakuan. Hasil uji DMRT taraf 5%

menunjukkan pengaruh yang nyata media pembawa spora endomikoriza yang

berbeda terhadap pertumbuhan bibit mente.

Berdasarkan data-data yang terdapat pada Tabel 5.6 menunjukkan bahwa

media C (campuran pasir kwarsa dan tanah) perbandingan 1:1 merupakan media

yang terbaik bagi Glomus sp dan mampu meningkatkan pertumbuhan bibit

mente dibandingkan dengan kedua jenis media tanam yang lain. Hasil

pengukuran tinggi bibit umur 60 hari menunjukkan bahwa inokulasi Glomus sp.

menghasilkan tinggi 19,522 cm pada media C namun media B menghasilkan

Page 92: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

92

tinggi 18,787 cm, terendah pada media A dengan tinggi 18,722 cm (Tabel 5.6

dan Gambar 5.4.1).

Tabel 5.6.Pengaruh inokulasi spora dan propagul Glomus sp. dalam media pembawa

spora yang berbeda terhadap pertumbuhan bibit mente

Variabel Media A Media B Media C

Tinggi bibit (cm) 18.722b

18.787b

19.522a

Jumlah daun (helai) 13.000b

12.333b

10.333a

Luas daun (cm 2 ) 12.844c

14.611b

16.356a

Jumlah spora (buah) 66.213b

51.519c

72.629a

Persen Kolonisasi (%) 60.460b

31.214c

66. 213a

Berat kering akar (g) 1.226b

1.467b

3.178a

Berat kering batang (g) 3.978b

2.322c

5.711a

Berat kering daun (g) 3.581b

3.777b

4.622a

Berat kering total (g) 8.784b

7.567b

13.467a

Keterangan :1. Media: A: Campuran tanah–zeolit ; Media B : Campuran tanah-kaolin

dan Media C : Campuran tanah-kwarsa2. Nilai rata-rata perlakuan yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris

yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata pada uji DMRTtaraf kepercayaan 5%.

Gambar 5.4.1 Tinggi bibit mente yang diinokulasi Glomus sp. pada mediatanam yang berbeda pada umur 60 hari di rumah kaca.

Page 93: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

93

Berdasarkan data-data yang diperoleh dalam penelitian ini menunjukkan

bahwa tekstur pasir kwarsa mempunyai ukuran partikel yang tidak terlalu

berbeda dengan tanah yang digunakan pada penelitian ini. Hal ini menyebabkan

porositas media campuran tersebut cukup ada ruang sehingga spora-spora dari

Glomus sp. cepat bergerminasi dan hifa-hifa yang dihasilkan dapat dengan

mudah mengabsorbsi unsur-unsur yang dibutuhkan untuk proses fotosintesis

tanaman terpenuhi secara cepat. Pada media A dan B, mempunyai perbedaan

tekstur yang cukup bervariasi. Kaolin berbentuk tepung dan zeolit berbentuk

granula (seperti batu-batu kecil). Tepung kaolin pada kondisi basah akan

menggumpal dan menyatu dengan tanah. Hal ini menyebabkan hifa-hifa

Glomus sp. tidak optimal menyebar di dalam media tanah-tepung kaolin

sehingga proses absorbsi unsur-unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman

menjadi tidak maksimal. Menurut Rochimat (2002) dan Geeta et al. (2007),

campuran tanah berpasir merupakan media yang terbaik untuk pertumbuhan

bibit pembibitan mente yang diinokulasi mikoriza karena kondisi tanah yang

berlempung berdebu (tanah liat) menyulitkan hifa-hifa mikoriza untuk

terdistribusi didalam tanah dan menginfeksi akar tanaman inang.

Bibit mente yang ditanam pada media C menghasilkan pertumbuhan bibit

tertinggi dibandingkan dengan tinggi bibit mente pada kedua media yang lain

(media A dan B). Hal ini menunjukkan bahwa campuran pasir kwarsa dan

tanah perbandingan 1 : 1 merupakan media pembawa spora yang terbaik untuk

meningkatkan pertambahan tinggi bibit. Pertambahan tinggi bibit atau tanaman

adalah merupakan salah satu parameter dan suatu indikasi adanya reaksi

fotosintesis yang efisien pada bibit mente karena media tumbuh yang sesuai dan

Page 94: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

94

inokulasi endomikoriza Glomus sp. yang ditambahkan. Hal ini sesuai dengan

pendapat Cruz et al., (2000) yang menyatakan bahwa seedling/bibit tanaman

akan tumbuh optimal (bertambah tinggi) sebagai respon tercukupinya hara

mineral dari tanah untuk proses fotosintesisnya. Salah satu peran dari hifa

eksternal endomikoriza spesies Glomus sp. adalah membantu absorbsi air dan

hara mineral lainnya terutama P dari media ke akar tanaman inang sehingga

proses metabolisme inang tercukupi dengan adanya endomikoriza

Persentase kolonisasi endomikoriza pada akar bibit mente menunjukkan

bahwa kolonisasi endomikoriza pada media kaolin adalah sebesar (31,21%)

dan pada zeolit granula (60,46%). Kolonisasi tertinggi terdapat pada media

pasir kwarsa (66,21%) ( Gambar 5.4.2). Kecenderungan yang sama ditunjukkan

pada hasil pengukuran berat kering bibit. Hasil pengukuran terhadap berat

kering, terlihat bahwa berat kering (akar, batang, daun dan total) tanaman yang

tertinggi dihasilkan oleh bibit yang ditanaman pada media pasir kwarsa dan

terendah pada tepung kaolin (Gambar 5.4.3).

Gambar 5.4.2 Kolonisasi (%) endomikoriza pada akar mente umur 60 haripada media tanam yang berbeda di rumah kaca.

Page 95: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

95

Gambar 5.4.3. Berat kering bibit mente umur 60 hari pada media tanamyang berbeda di rumah kaca

Berdasarkan hasil pengamatan dan uji DMRT taraf 5% menunjukkan

bahwa campuran tanah dan pasir kwarsa perbandingan (1 : 1) merupakan media

pembawa spora endomikoriza indigenus yang terbaik untuk pembibitan mente.

Campuran media tanah dan kaolin mampu meningkatkan pertumbuhan bibit

mente namun menghasilkan persentasi kolonisasi hifa cendawan endomikoriza

yang rendah. Hal ini disebabkan tekstur kaolin yang berbentuk tepung akan

sangat lengket dengan tanah jika tercampur air (proses penyiraman bibit)

sehingga kemungkinan dapat menjadi barier bagi hifa-hifa cendawan untuk

dapat tumbuh dan menyebar pada media tersebut dan mengkolonisasi akar

tanaman inangnya

Menurut Chalimah et al. (2007) dan Douds et al. (2010), tekstur tanah

(media tanah) yang sangat liat, misalnya tanah dengan tekstur lempung atau

lempung berdebu dapat menyebabkan menurunnya atau kesulitan terhadap

kemampuan hifa cendawan endomikoriza untuk tumbuh dan menginfeksi akar-

akar tanaman inang sehingga penggunaan tanah yang cukup baik porositasnya

dapat meningkatkan laju kolonisasi yang lebih tinggi jika dibandingkan

Page 96: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

96

kemampuan infeksi hifa endomikoriza pada akar-akar tanaman yang

ditumbuhkan pada tanah yang liat.

5.5. Kebaharuan Penelitian (Novelty)

1. Ditemukan 13 spesies endomikoriza indigenus Bali di lahan kering

Sukadana-Karangasem dan Sendang-Buleleng yaitu: Glomus etunicatum,

Glomuss mosseae, Glomus aggregatum, Glomus intraradices, Glomus

rubiformis, Acaulospora foveata, Acaulospora tuberculata, Acaulospora cf.

undulate, Acaulospora scrobiculata, Gigaspora albida;, Gigaspora

margarita, Scutelosppora cf. heterogama dan Enthroposphora infrequent.

2. Ditemukan endomikoriza yang termasuk dalam “rare species “ pada lahan

kering Sukadana-Karangasem yaitu Entrophospora infraquens (Hall)

3. Glomus sp., Acaulospora sp. dan Gigaspora sp. indigenus Bali dapat

diaplikasikan untuk meningkatkan pertumbuhan bibit mente (A.

occidentale L.) namun spesies Glomus sp. adalah yang terbaik untuk

meningkatkan pertumbuhan bibit mente.

4. Penurunan konsentrasi P dalam hara Johnson dibutuhkan dalam propagasi

Endomikoriza jika di tanam pada tanah dengan kandungan P tinggi.

Page 97: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

97

BAB VI.

SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa :

1.Teridentifikasi 13 spesies endomikoriza indigenus Bali di lahan kering

Perkebunan Mente Desa Sukadana Kecamatan Kubu Karangasem dan Desa

Sendang Kecamatan Gerokgak Buleleng yaitu: Glomus etunicatum, Glomus

moseae, Glomus aggregatum, Glomus intraradices, Glomus rubiformis,

Acaulospora foveata, Acaulospora tuberculata, Acaulospora cf. undulate,

Acaulospora scrobiculata, Gigaspora albida;, Gigaspora margarita,

Scutelosppora cf. heterogama dan Enthroposphora infrequent. Spesies

Entrophospora infraquens (Hall) merupakan “rare spesies” di alam

2. Kerapatan jumlah spora dan perentase kolonisasi endomikoriza bervariasi

antar tempat dan periode musim yang berbeda.

3. Pada konsentrasi P nol persen (P0) Glomus sp menghasilkan jumlah spora

dan kolonisasi terbaik pada perbanyakan menggunakan Jagung (Zea mays L)

sebagai tanaman inang

4. Spesies endomikoriza Glomus sp., Acaulospora sp. dan Gigaspora sp. dapat

meningkatkan pertumbuhan bibit mente (A. occidentale L.) dalam skala

rumah kaca dan Glomus sp. adalah yang terbaik.

5.Campuran tanah dan pasir kwarsa merupakan media pembawa spora

endomikoriza Glomus sp. yang terbaik untuk meningkatkan pertumbuhan

bibit mente (A. occidentale L.).

Page 98: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

98

6.2 Saran

Berdasarkan hasil-hasil yang telah diperoleh pada penelitian ini dan

penyempurnaan lebih lanjut dapat disarankan:

1. Eksplorasi dan identifikasi endomikoriza secara keseluruhan di lahan kering

Bali masih diperlukan baik secara morfologi dan dilanjutkan dengan tehnik

molekuler sehingga dapat dibuat data base endomikoriza indigenus di Bali.

2. Penelitian propagasi endomikoriza menggunakan unsur-unsur selain fosfat

perlu dilakukan untuk meningkatkan jumlah spora dan kolonisasi hifa.

3. Bibit mente (A. occidentale L) yang telah terkolonisasi spora dan hifa

endomikoriza pada skala rumah kaca perlu dilakukan sampai uji dilapangan

sampai menghasilkan bunga dan buah/gelondong mente sehingga spora

endomikoriza tersebut dapat diaplikasikan sebagai salah satu pupuk hayati

indigenus Bali untuk memacu pertumbuhan dan produktifitas tanaman

mente di lahan kering.

Page 99: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

99

DAFTAR PUSTAKA

Aditya, 2011. Kondisi fisik Kabupaten buleleng. Portal on line Buleleng.http://www.bulelengkab.go.id/profil-daerah/979-i-kondisi-fisik-kabupaten-buleleng. opened at 2 Feb 2011.

Adiningsih S; J., M. Soepartini, A. kusno, Mulyadi, dan W. Hartati. 1994.Teknologi untuk Meningkatkan Produktivitas Lahan Sawah dan LahanKering. Prosiding Temu Konsultasi Sumberdaya Lahan UntukPembangunan Kawasan Timur Indonesia.

Aliyu, O.M. and G.O. Akintaro. 2007. Studies on the Effect of Storage Periodand Nut Size on the Seedling Vigour of Cashew.American-EurasianJournal of Scientific Research 2 (1): 68-74

Al-Zalzaleh, Hani , A. Majid, Anu Ray Mathew, 2009. VAM Inoculation forSelected Ornamental Plants in Bioremediated and Agricultural Soils.European Journal of Scientific Research.25(4).559-566.

Alizadeh, O. 2011. Mycorrhizal symbiosis. Advanced Studies in Biology. 3 (6):273-281.

Antara, M. 2004. Pendekatan Agribisnis dalam Pengembangan PertanianLahan Kering. Makalah Seminar Pengelolaan LahanLahan KeringBeririgasi Berkelanjutan yang Berorientasi Agribisnis. Singaraja. 5. Feb2004.

Arsana D. IG.K.., IN. Adijaya dan Suprapto. 2000. Pengkajian sistem usahatanipada lahan kering dataran rendah beriklim kering daerahBuleleng.Bali. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian – Bali

Aryantha, I Nyoman P , Noorsalam R. Nganro, Sukrasno, dan E. Nandina2002, Development of Sustainable Agricultural System, OneDayDiscussion on The Minimization of Fertilizer Usage, Menristek-BPPT, 6th May2002, Jakarta.

Baon, J.B. 1996. Bioteknologi Mikoriza Pelestarian Sumber daya Alam diPerkebunan. Mitos, Kenyataan Ilmiah dan Tantangannya. Jogyakarta:fakultas Pertanian. Univesitas Gajah Mada.

Begon, M; Harper and Townsend. 1990. Ecology: Individual, Population andCommunities. 2 ed. Blackwell Scientific Publications. Boston.

Bentivenga, S. P. and J. B. Morton. 1995. A monograph of the genus Gigasporaincorporating developmental patterns of morphological characters.Mycologia 87: 720-732.

Page 100: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

100

Bever, J.D., Morton, J.B., Antonovics, J. and Schultz, P.A. (1996). Host-dependent sporulation and spesies diversity of arbuscular mycorrhizalfungi in a mown grassland. Journal of Ecology 84: 71-82.

Bohrer, K.E. dan Amon, J.P. (2004). Seasonal dynamis of ArbuscularMycorrhizal fungi in differing wetland habitats. Mycorrhiza .14 :329-337.

Bohrer G, Kagan-Zur V, Roth-Bejerano N, Ward D .2001. Effects ofenvironmental variables on vesicular-arbuscular mycorrhizal abundancein wild populations of Vangueria infausta. Journal of VegetationScience. 12 (2): 279-288.

Bolan, M.S. 1991. A. critical review on the role of mycorrhizal fungi in theuptake of fosforus by plants. Plants Soil. 134: 189-207

Brundrett, M. 2004. Diversity and classification of mycorrhizal associations.Biol. Rev. 79:473–495

Brundrett, M., N. Bougher, B. Dell,. T. Grove, dan N. Malajczuk. 2008.Working with Mycorrhizas in Forestry and Agriculture. ACIARMonograph 32. Australian Centre for International AgriculturalResearch, Canberra

Chalimah, S., Muhadiono, L. Aznam, S. Haran, N., Toruan-Mathius. 2007.Propagation of Gigaspora sp. and Acaulospora by pot culture in greenhouse. Biodiversitas. 7(4):12-19

Cruz,C. J.J. Green, C.A. Watson, F. Wilson and M.A. Martin-Laucao. 2000.Functional aspects of root architecture and mycorrhizal inoculation withrespect to nutrient uptake capacity. Mycorrhiza.14:177-184

Cuenca, G dan E. Meneses. 1996. Diversity patterns of arbuscular mycorrhyzalfungi associated with cacao in Venezuella. Plant Soil. 183:315-322

Danesh, Y.R.; E.M. Goltapeh; A. Alizadek; A. Varma and K.G. Mukerjii. 2007.Arbuscular-Mycorrhizal Fungi Associated with Alfalfa Rhizosphere inIran. American-Eurasian Journal of Agriculture dan EnvironmentScience 2(5): 574-580

Daryana, P. 2010. Padi Gogo di Kecamatan Gerogak. Dinas komunikasi danInformasi.http://kominfo.bulelengkab.go.id/index.php?option=com_contentdanview=articledanid=80:padi-gogo-di-kecamatan-gerokgakdancatid=46: majalah-singa-manggaladanItemid=83 opened at2 Februari 2011

Page 101: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

101

Delvian. 2003. Keanekaragaman cendawan mikoriza arbuskula (CMA) di hutanpantai dan potensi pemanfaatannya (Studi kasus di hutan cagar alamLeuweung Sancang Kabupaten Garut, Jawa Barat). [disertasi]. Bogor:Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Delvian, 2006a. Peranan Ekologi Dan Agronomi Cendawan MikorizaArbuskula. Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian UniversitasSumatra Utara. Medan

Delvian, 2006b. Dinamika Sporulasi Cendawan Mikoriza Arbuskula.Departemen kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatra Utara.Medan

Douds J., D.D., G. Nagahashi, P.R. Hepperly. 2010. On-farm production ofinoculum of indigenous arbuscular mycorrhizal fungi and assessment ofdiluent of compost for inoculum production.. Bioresource Technology101. 2326-2330

Gautam Shrestha, Geeta Shrestha Vaidya and Binayak P. Rajbhandari1, 2009.Effects of Arbuscular Mycorrhiza in the Productivity of Maize andFingermillet Relay Cropping System. Nepal Journal of Science andTechnology 10. 51-55

Geeta S.V., K. shrestha, B. Khadge, Nancy C. Johnson. and H. Wallander.2007. Study of biodiversity of arbuscular mycorrhizal fungi in additionwith different organic matter in Different seasons of kavre district(central Nepal). Scientific world, 5 (5).221-227

Gerdemann JW, T.H. Nicolson, 1963. Spores of mycorrhizal endogone spesiesextracted from soil by wet sieving and decanting. Trans BritishMycological Society. 46:235-244

Gerdemann JW & Trappe JM. 1974. The Endogonaceae in the Pacific Northwest.Mycologia Memoir No. 5. 76 pp

Hadad,E.A., S. Koerniati, N. Bermawi, Hobir, S. Wahyuni dan A. Djisbar.2000. Pelepasan Jambu mente: Varietas Asem Bagus dan MuktiharjoHasil Klonal Nomor Harapan Jambu Mente di Muktiharjo Tahun 1995-2000. Balitro.

Hameeda, B., G. Harini, O.P. Rupela and G. Reddy 2007. Effect of composts orvermi-composts on sorghum growth and mycorrhizal colonization.African Journal of Biotechnology 6(1): 9 – 12

Hapsoh, 2008. Pemanfaatan Fungi Mikoriza Arbuskula pada Budidaya Kedelaidi Lahan Kering. Makalah. Pengukuhan Guru Besar. 14 Juni 2008.Kampus USU. Medan. pp 35

Page 102: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

102

Hall. I.R. 1977. Spesies and Mycorrhizal infections of New ZealandEndogonaceae. Trans. Br. Mycol. Soc. 68:3:341-356

Hartoyo. B, M. Ghulamahdi, L.K. Darusman, S.A. Aziz, dan I. Mansur.2011.Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) pada RizosferTanaman Pegagan (Centella asiatica (L.) Urban. Jurnal Littri. 17 (1) :32– 40.

Hasanudin. 2008. Peningkatan Ketersediaan dan Serapan N dan P serta HasilTanaman Jagung Melalui Inokulasi Mikoriza Azotobactor dan BahanOrganik pada Ultisol. Jurnal Ilmu – Ilmu Pertanian Indonesia. 5:83-89.

Ibiremo, O.S. and O. Fagbola. 2005. Effects of depleted soils amended withorganic manure on the growth of cashew seedlings. Nigerian Journal ofBotany, 18: 55-60.

Ibiremo, O.S. 2010. Effect of Organic Fertilizer Fortified with PhosphateFertilizers and Arbuscular Mycorrhizal Fungi Inoculation on the Growthof Cashew in Two Ecologies in Nigeria. Journal Agriculture Science.1(2): 101-107.

Idwar dan Ali M.2000. Pengaruh Mikoriza Vesikular Arbusklar terhadapKeefisienan Penggunaan Pupuk P oleh Tanaman Jagung (Zea mays L.).Jurnal Natur Indonesia II (2): 168-178.

Imas T., Hadioetomo, A.W. Gunawan, Y. Setiadi, 1989. Mikrobiologi tanah II.Departemen pendidikan dan kebudayaan. Direktorat JenderalPendidikan Tinggi. PAU. ITB. 145 hal.

INVAM. 2005. International Culture Collection of (Vesicular) ArbuscularMycorrhizal Fungi. Acouslospora foveata (reference accession BR861).http:Ninvarn.caf.wvu.edu/iungi~tlxonorny/Aca~losporaceae/Acaulospora/foveata/foveata.htm [7 Jul 20051.

Janos DP, Trappe JM. 1982. Two new Acaslospora spesies from tropicalAmerica. Mycotoxon 15:515-522.

Jauhari, S dan J. Sumarno. 1995. Studi rekayasa teknologi pupuk hayatimikoriza. An OAI Repository, coming from Central Library ofBrawijayaUniversity-Malang http://www.kamusilmiah.com/teknologi/pemakaian-pupuk-hayati-mikoriza-pada-budidaya-ubi-kayu.

Kartini, N. L. 1997. Efek Mikoriza Vesikular Arbuskular (MVA) dan PupukOrganik Kascing terhadap P tersedia Tanah, Kadar P Tanaman dan hasilBawang Putih (Allium sativum L.) pada Inseptisol. (disertasi). Bandung:Universitas Pajajaran.

Page 103: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

103

Kramadibrata, K., E.L. Rianti, R.D.M. Simanungkalit. 1993. ArbuscularMycorrhizal Fungi from the Rizospheres of Soybean Crops in Lampungand West Java. Biotropia.8:30-38.

Kramadibrata, K., A.W.Gunawan, N.N.,Aradea, 2005.The Development ofAcaulospora foveata’s spore. Jurnal Mikrobiologi Indonesia.10:2:79-80

Kramadibrata, K. 2008. Glomeromycota Recovered From Cacao Soil.REINWARDTIA. (12):357 – 371.

Kormanik, P.P. dan A.C. McGraw. 1982. Quantification of Vesicular-Arbuscular Mycorrhizae in plant roots. In N.C. Schenck (Ed). Methodsand Principles of Mycorrhizal Research. The AmericanPhytopathological Society, St. Paul.

Lukiwati, D.R., 2007. Dry Matter Production on Digestibility Improvement ofCentrosema pubescens and Pueraria phaseoloides with Rock Phosphatefertilization and VAM Inoculation. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian. 9(1):1-5

Mandal, R. C. 2000. Cashew production and Processing Technology. Jadhapur.Agrobios Publisher.

Margarettha. 2011. Eksplorasi dan Identiikasi Mikoriza Indigen Asal TanahBekas Tambang Batubara. Berita Biologi. 10:5 641-647

Mayerni, R dan D. Hervani. 2008. Pengaruh Cendawan Mikoriza Arbuskulaterhadap Pertumbuhan Tanaman Selasih (Ocimum sanctum L.). JurnalAkta Agrosia 11(1): 7-12.

Mawardi dan M. Djazuli. 2006. Pemanfaatan Pupuk Hayati Mikoriza untukMeningkatkan Toleransi kekeringan pada tanaman Nilam. Jurnal Litri12(1): 38 – 43

Mikola P. 1980. Tropical mycorrhiza research. Claredon Press. Oxford.

Miyasaka, S.C., M. Habte, J.B. Friday and E.V. Johnson. 2003. Manual onarbuscular mycorrhizal fungus production and inoculation techniques.Soil and Crop Management 5: 4

Morton, J. B. and G. L. Benny. 1990. Revised classification of arbuscularmycorrhizal fungi (Zygomycetes). Mycotaxon. 37: 471-491

Mosse, B. 1991. Vesicular-arbuscular mycorrhiza. Research for TropicalAgriculture. Res. Bull. No. 194. Hawaii Inst. of Trop. Agric. and HumanResource. Univ of Hawaii, Honolulu.

Page 104: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

104

Mulyana Y. 2000. Rehabilitasi hutan dan lahan dalam era otonomi daerah.Prosiding Seminar Nasional Pembenahan Pengelolaan Hutan AlamProduksi dan Pemulihan Fungsi Hutan Melalui Upaya Reboisasi danKonservasi Hutan Di Indonesia. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Novriani dan A. Madjid. 2009. Dasar Dasar Ilmu Tanah:Prospek Pupuk hayatiMikoriza. Bahan Kuliah Online untuk mahasiswa Fakultas Pertanian,Univ. Sriwijaya.

Oehl, F.,D.Redecker,Mader P, Dubois D, Ineichen K, Boller T,Wiemken A.2004. Impact of long-term conventional and organic farming on thediversity of arbuscular mycorrhizal fungi. Oecologia 138:574–583

Oehl, F., D.Redecker, E. Sieverding. 2005. Glomus badium, a new sporocarpicmycorrhizal fungi specie from European grasslands with higher soil pH.Journal of applied Botany and Food Quality 79, 38-43

Opoku-Ameyaw, K., Amoah, F.M., Oppong, F.K. and Angene V. 2007.Determination of optimum age for transplanting cashew (Anacardiumoccidentale) seedlings in Northern Ghana. African Journal ofAgriculture Research. 2 (7):296-299

Pattimahu, D.V. 2004. Restorasi lahan kritis pasca tambang sesuai kaidahekologi. Makalah.Mata Kuliah Falsafah Sains, Sekolah Pasca Sarjana,IPB. Bogor.

Priono, A. 2008. Penggunaan Mikoriza untuk melawan JAP. Dinas PerkebunanProvinsi Bali. http://www.disbunbali.info/arsip_berita.php?id_berita

Prematuri R. 2000. Prospek aplikasi cendawan mikoriza arbuskula untukpengembangan hutan tanaman di Indonesia. Dalam prosiding SeminarNasional Mikoriza I. Asosiasi Mikoriza Indonesia (AMI). Pusat AntarUniversitas (PAU) Bioteknologi IPB. Badan Litbang Kehutanan danPerkebunan. The British Council (Jakarta). Bogor.

Proborini, M. W. 1998. Spatial and Temporal distribution of VA MycorrhizalFungi in Tasmanian Heathland. (thesis). University of Tasmania.Hobart. Australia.

Proborini, M.W. 2011. Eksplorasi jenis-jenis endomikoriza indigenus padalahan kering di Bali dan Pemanfaatannya pada pembibitan mente(Anacardium ocidentale L.). laporan Hibah Doktor. dana DIPAUniversitas Udayana No.079-042-01/20/2011. Denpasar. Bali.

Powel C.L. and D.J. Bagyaraj.1984. Field inoculation with VA mycorrhizalfungi. In VA-Mycorrhizae. CRC Press. Florida. pp 205-222

Page 105: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

105

Reddy, M.P., Rao, D.M.R.‚ Verma, R.S.‚ Srinath, B. and Katiyar, R.S. (1998).Response of S13 mulberry variety to VAM inoculation under semi-aridcondition. Indian Journal of Plant Physiology 3:194-196

Renuka, G. M.S. Rao, M. Ramesh, V. Praveen Kumar and S. Ram Reddy. 2012.Distribution and Diversity of AM Fungal Flora in Godavari Belt Forests,Andhra Pradesh, India. ASIAN J. EXP. BIOL. SCI. 3(1):228-235

Rohimat, I. 2002. Teknik Inokulasi Mikoriza Arbuskular pada Bibit JambuMente Bulletin Teknologi Pertanian 7(2): 80-82

Santoso E. , Maman Turjaman dan Ragil Sb Irianto.2006. Aplikasi mikorizauntuk meningkatkan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan terdegradasi.Makalah Utama pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian: Konservasi danRehabilitasi Sumberdaya Hutan. Padang, 20 September 2006.

Saraswati, R. 1999. Teknologi pupuk mikroba multiguna menunjangkeberlanjutan sistem produksi kedelai. Jurnal Mikrobiologi Indonesia.4(1):1-9.

Schϋβler A., Scwarzott, D., and C. Walker, 2001. A New Fungal phylum, theGlomeromycota: Phylogeny and evolution, Mycological Research.(105): 1413 – 1421.

Schenck N.C., J.L. Spain, E. Sieverding, R.H. Howeler. 1984. Several new andunreported Vesicular Arbuscular Mycorrhizal Fungi (Endogonaceae)from Colombia. Mycologia 6: 685-699.

Schenck NC., Smith GS., 1982, Additional new and unreported species ofmycorrhizal fungi (Endogonaceae) from Florida. Mycologia, 74:77-92

Setiadi Y. 2000. Status penelitian pemanfaatan cendawan mikoriza arbuskulauntuk rehabilitasi lahan terdegradasi. dalam prosiding Seminar NasionalMikoriza I. Asosiasi Mikoriza Indonesia (AMI). Bogor.

Sieverding E. 1988. Two new spesies of vesicular arbuscular mycorrhizal fungiin the Endogonaceae from tropical high lands of Africa.Annual Botany.62, 373-380.

Sieverding E 1991. Vesicular-Arbuscular Mycorrhiza Management in TropicalAgrosystems. GTZ, Eschborn, Germany.

Simanungkalit, R. D. M. 2003. Teknologi cendawan Mikoriza Arbuskuler:Produksi inokulan dan pengawasan mutunya. Program dan AbstrakSeminar dan Pameran: Teknologi Produksi dan Pemanfaatan InokulanEndo-Ektomikoriza untuk Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan. pp11.

Page 106: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

106

Simanungkalit, R. D. M. 2007. Cendawan Mikoriza Arbuskula. dalamSaraswati, R.; Edi H dan RDM. Simanungkalit (edt). 2007. MetodeAnalisis Biologi Tanah. Balai besar Penelitian dan Pengembangan.Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor.

Smith, S.E. and D.J. Read. 1997. Mycorrhizal Symbiosis. (2nd edition).Academic Press, London. 605 pp.

Smith, F. A. 2000. Measuring the influence of mycorrhizas. New Phytology.148:4-6.

Smith, S.E., F.A. Smith dan I. Jacobsen. 2003. Mycorrhizal fungi can dominatephosphate supply to pints irrespective of growth responses. PlantPhysiology., 133:6-20.

Smith, S. E., and D. J. Read. 2008. Mycorrhizal symbiosis, 3rd Ed. AcademicPress, San Diego. 614 pp

Smith, S.E.; E. Facelli; S. Pope; F.A. Smith. 2010. Plant Performance instressfull environment: interpreting new and established knowledge ofthe roles of arbuscular mycorrizhas. Plant Soil 326:3-20.

Schenck, N. C. and Perez, Y., 1990. Manual for the identification of VAMycorrhizal Fungi. University of Florida, Gainsville, Flordia.245pp.

Suharto, I. 2012. Sambung Samping Batang bawah Sebagai Model Peremajaanuntuk Meningkatkan Produktifitas tanaman mente (Anacardiumoccidentale L.) secara Berkelanjutan di kabupaten Flores timur(disertasi). Denpasar: Universitas Udayana

Sukasta, W., G.A. Sukartini. Adnyana, N.W.Leestyawati. 2010. PengaruhPupuk Hayati Mikoriza “Technofert” untuk Meningkatkan Produksitanaman Pakan Sapi pada Lahan Kering di Provinsi Bali. Laporan HasilPenelitian. (tidak dipublikasikan).

Sukawidana, I.M. 2010. Pengaruh dosis mikoriza dan pupuk kascing terhadappertumbuhan bibit Jambu mente (Anacardium occidentale L). di desaKubu kecamatan Kubu Kabupaten Karang Asem. (thesis). UniversitasUdayana. Bali

Suprapto, IGK. D. Arsana, IN. Adijaya. 2001. Pengkajian Sistem Usahatanipada Lahan Kering Dataran Rendah Beriklim Kering Daerah Buleleng –Bali. Laporan Hasil Pengkajian Lahan Marginal di Buleleng – Bali.

Suryatmana, P., M.R. Satiawati, P. Rataseca. 2009. Peranan Mikofer dan Bahanorganik kascing dalam translokasi Pb, serapan fosfor dan hasil tanamancabai (Capsicum annum) pada tanah tercampur logam berat.

Page 107: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

107

http://docs.google.com/viewer?a=vdanq=cache:zxHJhpOYBigJ:pustaka.unpad.ac.id/opened at 20 February 2011.

Thamsurakul, S. and S.Charoensook, 2006. Mycorrhizal Fungi As BiofertilizerFor Fruit Tree Production in Thailand. (Prosiding). InternationalWorkshop on Sustained Management of the Soil-Rhizosphere Systemfor Efficient Crop Production and Fertilizer

Therrien, Mario C. 2008. Yield response to treatment with vesicular-arbuscularmyccorrhiza (VAM) in a breeding population of barley. Barley GeneticsNewsletter: 38:4-6

Thoib, (2009). Perkembangan jambu mente dan strategi pengendalian hamapenyakit. http://imarookie.wordpress.com/2010/15/21/karya ilmiah.Opened at : 30/4/2010.

Tirta, I.G. 2006. Pengaruh Kalium dan Mikoriza Terhadap Pertumbuhan BibitPanili (Vanilla planifolia Andrew). Biodiversitas 7( 2) : 171-174.

Trappe J. W. 1977. Three new Endogonaceae: Glomus constrictus, Sclerocystisclavispora, and Acaulospora scrobiculata. Mycotaxon 6:359-366.

Walker, C., 1983. Taxonomic concepts in the Endogonaceae spore wallcharacteristics in spesies description. Mycotaxon 18: 443-445.

Widiastuti, H. dan K. Kramadibrata.1992. Cendawan Mikoriza BervesikulaArbuskula di beberapa tanah masam dari Jawa Barat. MenaraPerkebunan 60:73-77.

Widiastuti H. ; Edi Guhardja; Nampiah Soekarno; L. K. Darusman,; DidiekHadjar Goenadi dan Sally Smith. 2002. Optimasi simbiosis cendawanmikoriza arbuskula Acaulospora tuberculata dan Gigaspora margaritapada bibit kelapa sawit di tanah masam. Menara Perkebunan.70:2:50-57

Widiastuti H. 2004. Biologi Interaksi Cendawan mikoriza Arbuskula KelapaSawit pada Tanah Masam sebagai dasr Pengembangan teknologiAplikasi Dini. (ringkasan disertasi). Sekolah Pasca Sarjana. InstitutPertanian Bogor.

Zaubin, R. dan U. Daras, 2002. Sejarah dan Prospek Tanaman mente. MonografJambu Mente Badan Litbang Pertanian. Pusat Penelitian danPengembangan Tanaman Perkebunan. Monograf. 6:1-8.

Page 108: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

108

Lampiran 1. Data sifat fisikokimia tanah pada lokasi penelitian

Lokasi Bulansampling

pH C organik(%)

N Total(%)

P tersedia(ppm)

K tersedia(ppm)

KA April’11 6,1(AM) 0,79 (SR) 0,05(SR) 79,65 (ST) 53,54(SR)

Juni 6,8 (N) 0,78(SR) 0,06(SR) 102,25(ST) 87,44(R)

Agustus 6,7(N) 0,79(SR) 0,05(SR) 64,10(ST) 51,34(SR)

Okt 6,9(N) 0,78(SR) 0,13(R) 111,51(ST) 54,24(SR)

Des 6,5(N) 0,69(SR) 0,08(SR) 98,67(ST) 56,67(SR)

Feb’12 6,3(AM) 0,66(SR) 0,07(SR) 92,46(ST) 54,46(SR)

BL April’11 6,8(N) 1,28(R) 0,12(R) 61,60(ST) 662,07(ST)

Juni 6,8(N) 1,26(R) 0,18(R) 48,85(ST) 665,22(ST)

Agustus 6,9(N) 0,70(SR) 0,16(R) 69,04(ST) 774,11(ST)

Okt 6,5(N) 0,42(SR) 0,15(R) 68,10(ST) 525,26(ST)

Des 6,2(AM) 0,52(SR) 0,13(R) 66,67(ST) 520,21(ST)

Feb’12 6,7(N) 1,25(R) 0,10(R) 63,42(ST) 512,34(ST)

Keterangan: 1. Lokasi : KA= Karangasem BL= Buleleng2. AA = Agak Alkalis, AM= Agak Masam, N= Netral, S=

Sedang, R = Rendah, SR= Sangat rendah, T= Tinggi, ST =Sangat Tinggi

Page 109: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

109

Lampiran 1. (sambungan)

Lokasi Bulan

sampling

Kadar Air Tekstur

KU (%) KL (%) Pasir (%) Debu (%) Liat (%)

KA April’11 1,03 11,98 88,82 8,32 2,86

Pasir

Juni 0,62 13,55 85,46 10,90 3,64

Pasir berlempung

Agustus 0,81 12,07 86,22 10,66 3,12

Pasir berlempung

Oktober 0,45 11,78 84,16 13,50 2,34

Pasir berlempung

Desember 0,86 12,86 85,36 13,31 2,33

Pasir berlempung

Feb’12 0,94 12,22 85,92 10,71 3,27

Pasir berlempung

BL April’11 9,41 23,69 35,87 46,74 17,40

Lempung

Juni 7,92 30,69 30,68 50,37 18,95

Lempung berdebu

Agustus 8,98 31,24 28,29 56,64 15,07

Lempung berdebu

Oktober 8,30 29,16 37,94 45,44 16,62

lempung

Desember 9,23 24,87 35,87 46,74 17,40

Lempung

Feb’12 8,76 23,76 34,87 47,74 17,40

Lempung

Keterangan: 1. Lokasi : KA= Karangasem BL= Buleleng2. KU = Kering Udara KL= Kapasitas Lapang

Page 110: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

110

Lampiran 2. Grafik curah Hujan lokasi Penelitian tahap eksplorasi

Curah Hujan Pos Kubu, Kabupaten Karangasem, Propinsi BaliTahun : 2011-2012No. Pos : 441 fNo. Seri : 67Posisi : 08* 15'24" S - 115* 34'35" ETinggi : 10 meter (PAL).

Keterangan: Grafik diolah berdasarkan data-data dari Balai Besar MeteorologiKlimatologi dan Geofisika Lahan III Denpasar Bali

Page 111: Pemanfaatan Endomikoriza Indigenus dari Lahan Kering di Bali

111

Lampiran 2. lanjutan

Curah Hujan Pos Gerokgak, Kabupaten Buleleng Propinsi Bali

Tahun : 2011No. Pos : 437 bNo. Seri : 58Posisi : 08* 11'09" S - 114* 47'46" ETinggi : 10 meter (PAL).

Keterangan: Grafik diolah berdasarkan data-data dari Balai Besar MeteorologiKlimatologi dan Geofisika Lahan III Denpasar Bali