pemanfaatan blotong pada budidaya tebu.pdf

25
MAKALAH SEMINAR UMUM PEMANFAATAN BLOTONG PADA BUDIDAYA TEBU (Saccharum officinarum L.) DI LAHAN KERING Disusun oleh : HELENA LEOVICI 09/281768/PN/11591 Program Studi : Agronomi Hari/Tanggal Presentasi : Rabu/19 Desember 2012 Dosen Pembimbing : Prof. Dr. Ir. Tohari, M.Sc. JURUSAN BUDIDAYA PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2012

Upload: naely-rohmah

Post on 07-Feb-2016

78 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PEMANFAATAN BLOTONG PADA BUDIDAYA TEBU.pdf

MAKALAH SEMINAR UMUM

PEMANFAATAN BLOTONG PADA BUDIDAYA TEBU

(Saccharum officinarum L.) DI LAHAN KERING

Disusun oleh :

HELENA LEOVICI

09/281768/PN/11591

Program Studi : Agronomi

Hari/Tanggal Presentasi : Rabu/19 Desember 2012

Dosen Pembimbing : Prof. Dr. Ir. Tohari, M.Sc.

JURUSAN BUDIDAYA PERTANIAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2012

Page 2: PEMANFAATAN BLOTONG PADA BUDIDAYA TEBU.pdf

HALAMAN PENGESAHAN

PEMANFAATAN BLOTONG PADA BUDIDAYA TEBU

(Saccharum officinarum L.) DI LAHAN KERING

Disusun oleh:

Nama : Helena Leovici

NIM : 09/281768/PN/11591

Makalah Seminar ini telah disahkan dan disetujui sebagai kelengkapan mata kuliah

pada semester I tahun ajaran 2012/2013 di Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada.

Menyetujui: Tanda Tangan Tanggal

Dosen Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Tohari, M.Sc. ……………….. ……………

Mengetahui :

Komisi Seminar

Jurusan Budidaya Pertanian

Ir. Sri Muhartini, M.S. ……………….. ……………

Mengetahui :

Ketua Jurusan

Budidaya Pertanian

Dr. Ir. Taryono, M. Sc. ……………….. …………….

Page 3: PEMANFAATAN BLOTONG PADA BUDIDAYA TEBU.pdf

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN PENGESAHAN i

DAFTAR ISI ii

DAFTAR TABEL iii

INTISARI 1

I. PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang 1

B. Tujuan 2

II. GAMBARAN UMUM TANAMAN TEBU 3

A. Asal dan Penyebaran Tanaman Tebu 3

B. Klasifikasi dan Ciri Morfologi Tanaman Tebu 4

C. Syarat Tumbuh Tanaman Tebu 5

III. BLOTONG DAN PEMANFAATANNYA 7

A. Pengertian Blotong 7

B. Blotong sebagai Bahan Baku Kompos 7

C. Proses Pembuatan Kompos dari Blotong 8

D. Peranan Unsur-Unsur Penyusun Blotong 10

E. Manfaat Blotong bagi Pertumbuhan Tanaman Tebu 11

IV. PENUTUP 15

A. Kesimpulan 15

B. Saran 15

DAFTAR PUSTAKA 16

LAMPIRAN 19

Page 4: PEMANFAATAN BLOTONG PADA BUDIDAYA TEBU.pdf

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Komposisi Kandungan Hara Pupuk Blotong Madros 10

Tabel 2. Pengaruh Dosis Blotong terhadap Brix, Rendemen, Jumlah Batang,

Panjang Batang, Bobot Segar, Produksi Tebu, Beserta Gula Kristal yang

Dihasilkan 14

Page 5: PEMANFAATAN BLOTONG PADA BUDIDAYA TEBU.pdf

PEMANFAATAN BLOTONG PADA BUDIDAYA TEBU

(Saccharum officinarum L.) DI LAHAN KERING

INTISARI

Tanaman tebu (Saccharum officinarum L) merupakan bahan baku industri gula yang merupakan

komoditas unggulan dan dibudidayakan di Indonesia. Budidaya tebu di lahan kering banyak

mengalami kendala, terutama dari pasokan air dan ketersediaan hara tanah. Salah satu upaya yang

dapat dilakukan untuk meningkatkan pertumbuhan dan hasil tebu di lahan kering adalah dengan

memanfaatkan blotong sebagai kompos. Unsur-unsur hara yang tersusun dalam blotong dapat secara

optimal digunakan oleh tanaman tebu di lahan kering. Berdasarkan beberapa hasil penelitian,

manfaat blotong nyata pada pertumbuhan tinggi tanaman, diameter batang, jumlah

tanaman/rumpun, jumlah anakan, bobot kering tanaman, luas daun, produksi tebu, rendemen,

bahkan produksi gula kristal. Hal ini dipengaruhi oleh kemampuan blotong dalam meningkatkan

kapasitas menahan air, menurunkan laju pencucian hara, menyediakan unsur hara, memperbaiki

drainase tanah, melarutkan fosfor, dan menetralisir pengaruh Aldd sehingga ketersediaan P dalam

tanah lebih tersedia. Blotong juga mampu membantu mengatasi masalah kelangkaan pupuk kimia

dan sekaligus mengatasi masalah pencemaran lingkungan.

Kata kunci: tebu, lahan kering, blotong

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut Arifin (2008), gula merupakan salah satu komoditas khusus di bidang

pertanian yang telah ditetapkan Indonesia dalam forum perundingan Organisasi

Perdagangan Dunia (WTO), bersama dengan beras, jagung, dan juga kedelai. Bahan

baku industri gula yang merupakan komoditas unggulan dan dibudidayakan di

Indonesia yakni tebu (Saccharum officinarum L).

Beberapa tahun terakhir industri gula mengalami penurunan produksi hingga

mencapai titik nadir sebesar 1,48 juta ton pada tahun 1999. Sementara itu pada tahun

2002 produksi gula mencapai 1,76 juta ton, sedangkan konsumsi gula nasional

mencapai 3,3 juta ton, sehingga mencapai defisit sebesar 1,54 juta ton (Anonim, 2008).

Penurunan produksi tesebut dapat disebabkan oleh kurang optimalnya aplikasi teknis

budidaya tebu yang saat ini berkembang luas di lahan kering. Jika ditelusuri lebih lanjut,

lahan kering total di Indonesia memiliki luas sekitar 318 495,4 ha atau 74,25 % luas

areal tebu dengan total produksi gula 2,418 juta ton. Sementara total kebutuhan gula

dalam negeri tahun 2008 adalah 4.640.407 ton. Dengan demikian, kendala budidaya di

lahan kering seperti kurangnya kandungan air, bahan organik, dan unsur hara bagi

tanaman tebu sangat penting untuk diketahui dan ditemukan solusinya.

Page 6: PEMANFAATAN BLOTONG PADA BUDIDAYA TEBU.pdf

Ketidakseimbangan antara produksi dan konsumsi terhadap gula hendaknya

segera diatasi dengan berbagai upaya yang mendukung. Beberapa upaya tersebut

meliputi perbaikan terhadap lahan-lahan pertanaman tebu, mulai dari bibit yang

digunakan, tanah yang dipakai sebagai media tanam, pemeliharaan, hingga penanganan

pascapanen, sehingga produktivitas tanaman tebu dapat mencapai optimal. Rendemen

tebu yang dihasilkan sangat dimungkinkan akan meningkat dengan produktivitas tebu

yang optimal. Hal ini berpengaruh pada kualitas dan kuantitas gula yang diproduksi.

Dalam proses produksinya, selain gula, industri gula juga menghasilkan buangan

padat, cair, maupun gas. Buangan padat berupa blotong, abu tungku, abu terbang,

sedangkan buangan gas adalah gas cerobong yang keluar dari cerobong dan sulfur

dioksida dari pembakaran belerang dan tangki sulfitasi. Baik buangan padat, cair

maupun gas apabila tidak dikelola secara benar akan dapat menyebabkan terjadinya

pencemaran lingkungan (Murtinah, 1990).

Blotong atau disebut “filtermud” adalah kotoran nira tebu dari proses pembuatan

gula yang disebut sebagai byproduct. Persentase blotong yang dihasilkan dari tiap

hektar pertanaman tebu yaitu sekitar 4-5%. Kotoran nira ini terdiri dari kotoran yang

dipisahkan dalam proses penggilingan tebu dan pemurnian gula. Persentase kotoran nira

ini cukup tinggi yaitu 9-18% dari tebu basah, dan sangat cepat terdekomposisi menjadi

kompos. Pada umumnya blotong ini diakumulasi di lapangan terbuka di sekitar pabrik

gula, sebelum dimanfaatkan untuk pertanian (Lahuddin, 1996). Limbah pabrik tersebut

dapat dimanfaatkan menjadi salah satu alternatif solusi sebagai pupuk kompos dalam

budidaya tanaman tebu di lahan kering guna meningkatkan pertumbuhan dan hasil tebu

itu sendiri.

Percobaan penggunaan kompos blotong sebagai pupuk organik telah banyak

dilakukan dalam mempelajari peranannya pada sifat-sifat tanah maupun efeknya pada

tanaman. Pemberian blotong dapat meningkatkan kandungan hara dalam tanah terutama

unsur N, P, dan Ca serta unsur mikro lainnya. Peranan kompos blotong pada tanah dapat

dipastikan sama dengan peranan kompos atau pupuk organik lainnya dalam

memperbaiki sifat-sifat kesuburan tanah.

B. Tujuan

Mengetahui manfaat blotong pada budidaya tebu di lahan kering.

Page 7: PEMANFAATAN BLOTONG PADA BUDIDAYA TEBU.pdf

II. GAMBARAN UMUM TANAMAN TEBU

A. Asal dan Penyebaran Tanaman Tebu

Tebu merupakan tanaman yang berasal dari India. Namun, banyak juga literatur

yang menyatakan bahwa tebu berasal dari Polynesia. Meski demikian, menurut Nikolai

Ivanovich Vavilov, seorang ahli botani Soviet, yang telah melakukan ekspedisi pada

1887-1942 ke beberapa daerah di Asia, Eropa, Afrika, Amerika Selatan, dan seluruh

Uni Soviet,memastikan bahwa sentrum utama asal tanaman ini adalah India dan Indo-

Malaya.

Hasil ekspedisi Vavilov menyimpulkan bahwa India merupakan daerah asal

tanaman padi, tebu, dan sejumlah besar Leguminosae serta buah-buahan. Dari sentrum

utama asal tebu di India dan Indo-Malaya, kemudian ditanam meluas secara komersial

di berbagai Negara di dunia, baik yang iklimnya tropis maupun yang iklimnya sub-

tropis. Negara-negara penghasil gula tebu di dunia, antara lain: India, Kuba, Puertorico,

Brasil, Philipina, Taiwan, Hawai, Argentina, peru, Lusiana, Australia, dan Indonesia.

Di kawasan Indo-Malaya yang meliputi Indo-China, Malaysia, Philipina, dan

Indonesia ditemukan juga tanaman tebu. Dengan demikian tidaklah mengherankan jika

Indonesia disebut-sebut sebagai salah satu sentrum asal tebu. Berdasarkan catatan

sejarah, penduduk Jawa telah menanam tebu sejak 400 masehi. Plasma nutfah tebu

ditemukan tumbuh liar di Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan sepanjang Sungai Digul,

Irian Jaya.

Di Indonesia, komoditas tebu memiliki sejarah panjang dan berubah-ubah.

Sentrum penanaman tebu di Indonesia mulanya terpusat di Pulau Jawa, yang dirintis

waktu kolonialisasi Belanda. Pada waktu itu, penanaman tebu diberlakukan secara

paksa dan perdagangan gulanya dimonopoli oleh Belanda.

Pascakolonialisasi Belanda, pengembangan tebu pada umumnya dalam bentuk

perkebunan swasta yang didominasi oleh orang-orang Tionghoa. Dalam beberapa tahun

terakhir, pengembangan tanaman tebu makin meluas ke berbagai daerah, termasuk

dikeluarkannya kebijakan pemerintah untuk pengembangan industri gula di Kawasan

Timur Indonesia (KTI) (Ahira, 2009).

Page 8: PEMANFAATAN BLOTONG PADA BUDIDAYA TEBU.pdf

B. Klasifikasi dan Ciri Morfologi Tanaman Tebu

Berikut merupakan klasifikasi botani tanamaan tebu (Plantamor, 2012) :

Kingdom : Plantae (tumbuhan)

Subkingdom : Tracheobionta (tumbuhan berpembuluh)

Super Divisi : Spermatophyta (menghasilkan biji)

Divisi : Magnoliophyta (tumbuhan berbunga)

Kelas : Liliopsida (berkeping satu/monokotil)

Sub Kelas : Commelinidae

Ordo : Poales

Famili : Poaceae (suku rumput-rumputan)

Genus : Saccharum

Spesies : Saccharum officinarum L.

Tanaman tebu memiliki morfologi yang tidak jauh berbeda dengan tumbuhan yang

berasal dari famili rumput-rumputan. Tanaman ini memiliki ketinggian sekitar 2-5

meter. Menurut Nadia (2012), morfologi tanaman tebu secara garis besar dapat

dikelompokkan menjadi 4 bagian, yaitu :

a. Akar : berbentuk serabut, tebal dan berwarna putih

b. Batang : berbentuk ruas-ruas yang dibatasi oleh buku-buku, penampang melintang

agak pipih, berwarna hijau kekuningan

c. Daun : berbentuk pelepah, panjang 1-2 m, lebar 4-8 cm, permukaan kasar dan

berbulu, berwarna hijau kekuningan hingga hijau tua

d. Bunga : berbentuk bunga majemuk, panjang sekitar 30 cm.

Pada bagian pangkal sampai pertengahan batang memiliki ruas yang panjang,

Sedangkan pada bagian pucuk memiliki ruas yang pendek. Pada bagian pucuk batang

terdapat titik tumbuh terdapat titik tumbuh yang penting untuk pertumbuhan meninggi.

Selain itu juga terdapat lapisan berlilin di bagian bawah ruas dan pada ruas di bagian

pucuk batang. Daun tanaman tebu merupakan jenis daun tidak lengkap, karena terdiri

dari helai daun dan pelepah daun saja. Sendi segitiga terdapat di antara pelepah daun

dan helaian daun. Pada bagian sisi dalamnya, terdapat lidah daun yang membatasi

antara helaian daun dan pelepah daun. dalamnya terdapat lidah daun yang membatasi

helaian dan pelepah daun. Warna daun tebu bermacam-macam ada yang hijau tua, hijau

kekuningan, merah keunguan dan lain-lain. Ujung daun tebu meruncing dan tepinya

bergerigi. Bunga tebu merupakan malai yang berbentuk piramida yang terdiri dari 3

Page 9: PEMANFAATAN BLOTONG PADA BUDIDAYA TEBU.pdf

helai daun tajuk bunga, 1 bakal buah, dan 3 benang sari. Kepala putiknya berbentuk

bulu (Putri et al., 2010).

Menurut James (2004), tanaman tebu memiliki perakaran serabut, yang dapat

dibedakan menjadi akar primer dan akar sekundar. Akar primer adalah akar yang

tumbuh dari mata akar buku tunas stek batang bibit. Karakteristik akar primer yaitu

halus dan bercabang banyak. Sedangkan akar sekunder adalah akar yang tumbuh dari

mata akar dalam buku tunas yang tumbuh dari stek bibit, bentuknya lebih besar, lunak,

dan sedikit bercabang.

B. Syarat Tumbuh Tanaman Tebu

Tebu merupakan tanaman asli tropika basah. Tanaman ini tumbuh baik di daerah

beriklim tropis. Umur tanaman sejak ditanam sampai bisa dipanen mencapai kurang

lebih 1 tahun. Tebu tergolong tanaman perkebunan semusim yang memiliki sifat

tersendiri, yakni terdapat zat gula di dalam batangnya (Supriyadi, 1992).

Karekteristik agroklimat terdiri dari iklim, kesuburan tanah, dan topografi.

Budidaya tebu hendaknya menyesuaikan dengan kondisi karakteristik agroklimat di

lahan tegalan yang umumnya dijumpai untuk tanaman tebu. Produktivitas tebu

ditentukan oleh karakteristik agroklimat yang paling minimum (Cerianet, 2008).

Tanaman tebu memerlukan curah hujan yang berkisar antara 1.000-1.300

mm/tahun dengan sekurang-kurangnya 3 bulan kering. Curah hujan yang ideal adalah

selama 5-6 bulan dengan rata-rata curah hujan 200 mm, curah hujan yang tinggi

diperlukan untuk pertumbuhan vegetatif yang meliputi perkembangan anakan, tinggi

dan besar batang. Periode selanjutnya selama 2 bulan dengan curah hujan 125 mm dan

4-5 bulan berkaitan dengan curah hujan kurang dari 75 mm/bulan yang merupakan

periode kering. Pada periode ini merupakan pertumbuhan generatif dan pemasakan tebu.

Suhu udara minimum yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman tebu adalah 24°C

dan maksimum adalah 34°C sedangkan temperatur optimum adalah 30°C. Pertumbuhan

tanaman akan terhenti apabila suhu dibawah 15°C. Sinar matahari yang mempengaruhi

pertumbuhan tanaman ditentukan oleh lamanya penyinaran dan intensitas penyinaran.

Tanaman tebu merupakan tanaman tropik yang membutuhkan penyinaran 12-14 jam

tiap harinya. Angin dengan kecepatan kurang dari 10 km/jam di siang hari berdapak

positif bagi pertumbuhan tebu. Kelembaban yang rendah (45-65%) sangat baik untuk

Page 10: PEMANFAATAN BLOTONG PADA BUDIDAYA TEBU.pdf

pemasakan karena tebu sangat cepat kering. Kelembaban tinggi dapat mempengaruhi

fotosintesis dengan akibat pembentukan gula juga terlambat (Kuntohartono, 1982).

Menurut Sudiatso (1999), tebu menghendaki tanah yang gembur sehingga aerasi

udara dan perakaran berkembang sempurna. Tekstur tanah ringan sampai agak berat

dengan berkemampuan menahan air cukup dan porositas 30 % merupakan tekstur tanah

yang ideal bagi pertumbumbuhan tanaman tebu. Kedalaman (solum) tanah untuk

pertumbuhan tanaman tebu minimal 50 cm dengan tidak ada lapisan kedap air dan

permukaan air 40 cm. Tanaman ini membutuhkan banyak nutrisi dan memerlukan tanah

subur. Tanaman tebu juga mampu tumbuh di pantai sampai dataran tinggi antara 0 -

1.400 m di atas permukaan laut, tetapi mulai ketinggian 1.200 m di atas permukaan laut

pertumbuhan tanaman relatif lambat. Bentuk lahan sebaiknya bergelombang antara 0-

15%. Lahan terbaik bagi tanaman tebu di lahan tegalan adalah lahan dengan kemiringan

kurang dari 8%, kemiringan sampai 10% dapat juga digunakan untuk areal yang

dilokalisir. Syarat lahan tebu adalah berlereng panjang, rata dan melandai sampai 2%

apabila tanahnya ringan dan sampai 5% apabila tanahnya lebih berat.

Sutardjo (2002) menyatakan bahwa tebu dapat ditanam pada tanah dengan kisaran

pH 5.5-7.0. Pada pH di bawah 5.5 dapat menyebabkan perakaran tanaman tidak dapat

menyerap air sedangkan apabila tebu ditanam pada tanah dengan pH di atas 7.0 tanaman

akan sering kekurangan unsur fosfor. Menurut Kuntohartono (1982), tanah dengan

kapasitas penukaran kation yang tinggi dapat memberikan hara yang baik. Pada pH

netral efisiensi pemupukan NPK lebih tinggi, sedangkan pada pH kurang dari 5 dapat

menyebabkan tersedianya unsur P untuk Al dan Fe. Unsur Cl, Fe, dan Al merupakan

bahan racun utama dalam tanah. Tanah yang airnya buruk dapat menimbulkan

keracunan Fe, Al, dan sulfat (SO4). Kadar Cl 0,06 – 0,1% telah bersifat racun bagi akar

tanaman. Keracunan unsur Fe dan Al dapat dikurangi dengan bantuan kapur fiksasi.

Oleh karena itu, tanah masam dengan pH di bawah 5 perlu diberikan kapur fiksasi

(CaCO3).

Page 11: PEMANFAATAN BLOTONG PADA BUDIDAYA TEBU.pdf

III. BLOTONG DAN PEMANFAATANNYA

A. Pengertian Blotong

Blotong adalah hasil endapan dari nira kotor (sebelum dimasak dan dikristalkan

menjadi gula pasir) yang disaring di rotary vacuum filter. Blotong merupakan limbah

pabrik gula berbentuk padat seperti tanah berpasir berwarna hitam, mengandung air, dan

memiliki bau tak sedap jika masih basah. Bila tidak segera kering akan menimbulkan

bau busuk yang menyengat. Blotong masih banyak mengandung bahan organik,

mineral, serat kasar, protein kasar, dan gula yang masih terserap di dalam kotoran itu

(Hamawi, 2005; Kurnia, 2010; Purwaningsih, 2011).

Menurut Kuswurj (2009), di antara limbah pabrik gula yang lain, blotong

merupakan limbah yang paling tinggi tingkat pencemarannya dan menjadi masalah bagi

pabrik gula dan masyarakat. Limbah ini biasanya dibuang ke sungai dan menimbulkan

pencemaran karena di dalam air bahan organik yang ada pada blotong akan mengalami

penguraian secara alamiah, sehingga mengurangi kadar oksigen dalam air dan

menyebabkan air berwarna gelap dan berbau busuk. Oleh karena itu, jika blotong dapat

dimanfaatkan akan mengurangi pencemaran lingkungan.

B. Blotong sebagai Bahan Baku Kompos

Pada umumnya, komoditi tanaman tebu selain menghasilkan gula (sebagai produk

utama) juga menghasilkan limbah/hasil ikutan/pendamping baik berupa limbah cair

maupun limbah padat (Deptan, 2007). Proses pembuatan gula dari tebu menghasilkan

sejumlah limbah dalam bentuk pucuk (top cane), seresah (trash), ampas (bagasse),

blotong (filter mud), abu ketel (boiler ash), serta tetes (molasses). Bahan-bahan ini

sebagian dapat dimanfaatkan kembali sebagai hasil samping dan sisanya dibuang

sebagai limbah. Pucuk dan seresah merupakan sisa panen tebu. Ampas dikeluarkan pada

saat ekstraksi tebu, sedangkan blotong dan tetes dihasilkan dari proses pemurnian gula.

Ampas yang digunakan sebagai bahan bakar mengeluarkan sisa dalam bentuk abu ketel

(Santoso, 2009).

Menurut Nahdodin (2008), rata-rata standar produksi blotong pada masing-masing

pabrik gula umumnya sebesar 2,5% tebu. Pada tahun 2008, lima puluh tujuh pabrik gula

di Indonesia diperkirakan menghasilkan blotong lebih dari satu juta ton dan abu ketel

lebih dari tiga puluh empat ribu ton. Berdasarkan jumlah blotong dan abu yang

Page 12: PEMANFAATAN BLOTONG PADA BUDIDAYA TEBU.pdf

dihasilkan di atas maka dapat diperkirakan bahwa dari kedua jenis limbah tersebut dapat

dihasilkan kompos sekitar enam ratus ribu ton. Jumlah blotong yang besar tersebut

berpotensi untuk dijadikan pupuk organik yang potensial. Namun sementara ini,

pemanfatan blotong sebagai pupuk organik masih belum maksimal dan penggunanya

pun terbatas. Hal ini disebabkan karena pengolahan limbah blotong menjadi pupuk

organik masih bisa dikatakan hanya asal-asalan, masih belum ditangani dengan

menggunakan satu proses yang baik dan benar sehingga pupuk organik yang dihasilkan,

masih belum sempurna. Selain itu, juga karena minimnya pengetahuan petani akan

manfaat penggunaan pupuk organik dari bahan blotong.

Blotong harus dikomposkan terlebih dahulu sebelum digunakan sebagai pupuk

organik tanaman tebu. Pengomposan merupakan suatu metode untuk mengkonversikan

bahan-bahan organik komplek menjadi bahan yang lebih sederhana dengan

menggunakan aktivitas mikroba. Pengomposan dapat dilakukan pada kondisi aerobik

dan anaerobik. Pengomposan aerobik adalah dekomposisi bahan organik dengan

kehadiran oksigen (udara). Produk utama dari metabolis biologi aerobik adalah

karbondioksida, air dan panas. Pengomposan anaerobik adalah dekomposisi bahan

organik dalam kondisi ketidakhadiran oksigen bebas. Produk akhir metabolis anaerobik

adalah metana, karbondioksida, dan senyawa intermediate seperti asam-asam organik

dengan berat molekul rendah.

C. Proses Pembuatan Kompos dari Blotong

Pada dasarnya pembuatan kompos cukup sederhana (berbeda dengan pengelolaan

limbah cair), dengan menumpuk bahan-bahan organik maka bahan-bahan tersebut akan

menjadi kompos dengan sendirinya, namun proses tersebut akan berlangsung lama.

Mengingat adanya perubahan-perubahan yang terjadi saat pembentukan kompos maka

pembentukan kompos dapat lebih dipercepat, tentunya dengan memperhatikan beberapa

faktor yang mempengaruhi seperti bahan baku, suhu, nitrogen, dan kelembaban

(Deptan, 2007).

Pengomposan adalah dekomposisi dengan menggunakan aktivitas mikroba; oleh

karena itu kecepatan dekomposisi dan kualitas kompos tergantung pada keadaan dan

jenis mikroba yang aktif selama proses pengomposan. Kondisi optimum bagi aktivitas

mikroba perlu diperhatikan selama proses pengomposan, misalnya aerasi, kelembaban,

media tumbuh dan sumber makanan bagi mikroba.

Page 13: PEMANFAATAN BLOTONG PADA BUDIDAYA TEBU.pdf

Pembuatan kompos dilakukan dengan pencampuran bahan baku asal limbah

pabrik gula, antara lain: serasah, blotong dan abu ketel, serta menambahkan bahan

aktivator berupa mikroorganisme yang terdiri dari: campuran bakteri, fungi,

aktinomisetes, kotoran ayam, dan kotoran sapi. Proses pengolahan ini dilakukan secara

biologis karena memanfaatkan mikroorganisme sebagai agen pengurai limbah.

Pembuatan blotong untuk pupuk organik telah banyak dilakukan oleh pabrik gula. Pada

proses pembuatannya diperlukan kotoran ternak, bioaktovator dan zeolit. Penggunaan

bioaktivator ini akan menghasilkan kompos yang lebih kaya akan unsur hara (N, P dan

K) sehingga dapat memperngaruhi produktivitas tanaman. Pada tahapan proses

pengomposan, pada minggu pertama dilakukan pembalikan pada tumpukan blotong,

kemudian pada minggu ke-2 dilakukan pembalikan, sampai minggu ke-3. Setiap

pembalikan dilakukan dengan pengaduk atau aerator selama 3-4 jam.

Berdasarkan prosedur pembuatan pupuk kompos, bahan pupuk terdiri dari

tumpukan berisi 60 kg serasah, 300 kg blotong, dan 100 kg abu ketel. Bahan-bahan

tersebut dimasukkan ke dalam cetakan berbentuk kotak dengan ukuran bawah 1,5 x 1,5

m; ukuran atas 1 m x 1 m serta tinggi 1,25 m. Sebelum dicetak, daun tebu dipotong-

potong sehingga panjangnya kurang dari 5 cm. Semua bahan dicampur rata, kemudian

ditambah 5 kg TSP dan 10 kg Urea. Untuk menjaga kelembaban dilakukan penambahan

air.

Pemberian aktivator pada setiap tumpukan masing-masing sebanyak 10 kg

campuran mikroorganisme selulolitik, yaitu 5 kg fungi; 2,5 kg bakteri dan 2,5 kg

aktinomisetes. Aktivator ditabur bersamaan dengan saat memasukkan bahan kompos ke

dalam cetakan. Setelah tercetak, kemudian di setiap tumpukan diberi lubang aerasi pada

masing-masing sisi dan bagian atas tumpukan dengan cara menusukkan sebatang

bambu.

Pembalikan tumpukan kompos dilakukan dua minggu sekali. Hal ini dimaksudkan

untuk membantu memperlancar sirkulasi udara ke bagian tengah kompos, sehingga

dapat mempercepat pertumbuhan mikroorganisme selulolitik. Setiap dua minggu

dengan menganalisa nisbah C/N dan pH sampai diperoleh nisbah C/N sekitar 12-20 dan

pH mendekati netral. Proses pengomposan harus dikontrol oleh suhu dan kelembaban

yang tepat. Jika tidak sesuai maka proses pengomposan menjadi tidak sempurna.

Setelah pengomposan, kompos blotong menjadi lebih kering dan setelah itu dilakukan

pengayakan.

Page 14: PEMANFAATAN BLOTONG PADA BUDIDAYA TEBU.pdf

D. Peranan Unsur-Unsur Penyusun Blotong

Pada dasarnya, pemberian bahan organik ke dalam tanah akan berpengaruh pada

sifat fisik, biologi, dan kimia tanah. Peran bahan organik terhadap sifat fisik tanah

diantaranya merangsang granulasi, memperbaiki aerasi tanah, dan meningkatkan

kemampuan menahan air. Peran bahan organik terhadap sifat biologi tanah adalah

meningkatkan aktivitas mikrorganisme yang berperan pada fiksasi nitrogen dan transfer

hara tertentu seperti N, P, K, dan S. Peran bahan organik terhadap sifat kimia tanah

adalah meningkatkan kapasitas tukar kation sehingga dapat mempengaruhi serapan hara

oleh tanaman (Gaur, 1981).

Menurut Sastrosumarjo (1995), karakteristik lahan kering secara umum meliputi

tingginya kandungan liat dan besi yang disertai rendahnya kandungan bahan organik

sehingga mengakibatkan tanah menjadi peka terhadap erosi dan pemadatan tanah.

Kandungan besi yang tinggi mengakibatkan rendahnya kapasitas menyimpan air pada

akhirnya menghambat penetrasi akar serta pertumbuhan akar. Tanah bersifat masam,

kesuburan tanah rendah, kandungan bahan organik serta aktivitas liat rendah. Sebagian

besar areal lahan kering bagian hulu di Indonesia bertopografi bergelombang

(kemiringan lahan 8-15 %) dan berbukit (15-30 %). Kejenuhan basa dan KTK rendah,

serta kapasitas fiksasi fosfat tinggi.

Berikut adalah komposisi kandungan hara yang terdapat dalam blotong yang telah

mengalami proses pengomposan :

Tabel 1. Komposisi Kandungan Hara Pupuk Blotong Madros

Kandungan Nilai

Kadar air (%)

pH

C organik (%)

N total (%)

P2O5 (%)

K2O (%)

S (%)

Ca (%)

Mg (%)

Fe (%)

Mn (%)

Cu (%)

Zn (%)

8,5

8,53

1,82

0,35

7,04

7,71

2,4

4,49

0,66

1,01

0,14

0,010

0,034

Sumber : BST PG Madukismo

Page 15: PEMANFAATAN BLOTONG PADA BUDIDAYA TEBU.pdf

Berdasarkan Tabel 1 yang tertera di atas, Nampak bahwa komposisi kimia dari

pupuk blotong terdiri atas air dan unsur-unsur yang dibutuhkan dalam pertumbuhan

tanaman tebu. Menurut Soepardi (1983), komposisi tanah ideal untuk media

pertumbuhan per satuan volume terdiri atas 50% bahan padat mineral, 25% berisi air,

20% berisi udara, dan sisanya berupa bahan organik. Bahan organik yang dimaksud

secara kimia harus tidak kurang dari 2% sehingga dikatakan sebagai tanah subur

(Tisdale et al., 1985). Berdasarkan komposisi tersebut maka pupuk blotong dapat

menyuplai kebutuhan air pada media pertumbuhan tanaman tebu karena memiliki kadar

air sebesar 8,5%.

Nilai pH pupuk blotong yang tampak pada Tabel 1 adalah sebesar 8,53 yang

berarti bahwa pupuk blotong diduga dapat membantu menstabilkan nilai pH tanah.

Menurut pustaka Deptan, tanaman tebu sangat toleran pada kisaran kemasaman tanah

(pH) 5 – 8. Apabila pH tanah kurang dari 4,5 maka kemasaman tanah menjadi faktor

pembatas pertumbuhan tanaman yang dalam beberapa kasus disebabkan oleh pengaruh

toksik unsur aluminium (Al) bebas.

Selain kadar air dan nilai pH, kandungan C dan N pada pupuk blotong

menunjukkan nilai sebesar 1,82% dan 0,35% yang nilainya meskipun cukup rendah

namun memberikan kontribusi perbaikan sifat fisika dan biologi tanah serta

memberikan tambahan unsur hara ke dalam media tanah yang digunakan. Tanah

pertanian yang baik mengandung perbandingan unsur C dan N yang seimbang dengan

keseimbangan yang baik mempunyai kandungan C sebesar 10%, sedangkan kandungan

N sebesar 12%. Semakin rendah nilai C/N maka akan semakin mudah untuk

melepaskan unsur hara (Anonim, 2008).

E. Manfaat Blotong pada Budidaya Tanaman Tebu

Kompos blotong yang dihasilkan dapat dimanfaatkan kembali untuk perkebunan

tebu. Kompos ini dapat memperbaiki fisik tanah di areal perkebunan tebu, khususnya

meningkatkan kapasitas menahan air, menurunkan laju pencucian hara, memperbaiki

drainase tanah, dan menetralisir pengaruh Aldd sehingga ketersediaan P dalam tanah

lebih tersedia. Selain itu pemberian ke tanaman tebu sebanyak 100 ton blotong atau

komposnya per hektar dapat meningkatkan bobot dan rendemen tebu secara signifikan

(Nahdodin et al., 2008).

Page 16: PEMANFAATAN BLOTONG PADA BUDIDAYA TEBU.pdf

Adanya pemanfaatan blotong ini diharapkan mampu membantu mengatasi

masalah kelangkaan pupuk kimia dan sekaligus mengatasi masalah pencemaran

lingkungan sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu langkah awal menuju zero waste

industry dalam industri gula. Seorang peneliti pupuk mengungkapkan bahwa terdapat

beberapa mikroba dalam pupuk ini, yaitu Celulotic bacteria, Pseudomonas, Bacyllus,

dan Lactobacyllus. Bakteri tersebut ada yang berfungsi melarutkan fosfat. Seperti

diketahui, fosfat jika dipakai untuk pupuk harus dalam keadaan terlarut, dan yang

melarutkan itu mikroba. Pupuk organik ini mampu memperbaiki tekstur dan mampu

menyehatkan tanah kritis akibat pupuk kimia (anorganik).

Pemberian kompos yang berasal dari limbah industri gula ini telah dicoba pada

tanaman tebu di berbagai wilayah pabrik gula di Indonesia. Secara umum kompos dapat

meningkatkan produktivitas tebu. Pemberian kompos blotong dan kompos ampas pada

lahan tebu di pabrik gula Cintamanis Palembang, masing-masing dengan takaran 30

ton/ha mampu meningkatkan bobot tebu. Bobot tebu yang diberikan pupuk kompos ini

pada tanaman pertama, berturut-turut lebih tinggi 26,5 dan 8,1 ton/ha dibandingkan

dengan kontrol (Wargani et al., 1988).

Blotong sangat berguna dalam usaha memperbaiki sifat fisik tanah, sehingga daya

menahan airnya meningkat. Tiap ton blotong berkadar air 70% mengandung hara setara

dengan 28 kg ZA, 22 kg TSP dan 1 kg KCl (Suhadi et al., 1988). Hara tersebut

mengandung 5,88 kg N, 9,9 kg P dan 0,6 kg K. Menurut Wargani et al. (1988),

pemberian kompos pada demplot menghasilkan peningkatan produksi tebu yang

bervariasi yaitu antara 7,2 ton sampai 16,9 ton/ha akibat pemberian kompos sebanyak

10 ton/ha. Dosis kompos ini menunjukkan perbaikan sifat fisik tanah terutama di lapisan

penebaran kompos.

Menurut Toharisman et al. (1991), pemberian blotong pada tanah Mediteran

Malang Selatan mampu meningkatkan hasil tebu lebih dari 20% dibanding kontrol.

Blotong berperan terhadap sifat kimia tanah, yaitu penambahan blotong mampu

meningkatkan ketersediaan hara P dan basa-basa terutama Ca, sehingga tanaman

mampu menyerap hara lebih baik. Menurut Suhadi dan Sumojo (1985), blotong juga

mampu meningkatkan N tanah yang secara relatif mengurangi kebutuhan pupuk ZA.

Penelitian yang dilakukan Mulyadi (2000) menunjukkan bahwa pemberian

blotong nyata meningkatkan tinggi tanaman, diameter batang, jumlah tanaman/rumpun,

dan bobot kering kering tebu bagian atas berumur 4 bulan yang ditanam di tanah

Page 17: PEMANFAATAN BLOTONG PADA BUDIDAYA TEBU.pdf

kandiudoxs. Dosis efektif yang digunakan adalah sekitar 40 ton/ha, ditandai dengan

peningkatan tinggi tanaman 58%, diameter batang sebesar 31%, jumlah

tanaman/rumpun sebesar 25%, dan bobot kering tanaman bagian atas sebesar 225%

dibanding perlakuan tanpa blotong. Sedangkan berdasarkan penelitian Parinduri (2005),

dosis blotong 20 ton/ha saja dapat meningkatkan jumlah anakan tebu 11,02%, bobot

kering tajuk 8,43%, bobot kering tanaman 5,33 %, bobot kering dan luas daun 20,43%

dibandingkan dengan perlakuan pemupukan anorganik N, P, K dan ZA.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Kirana (2008), pengaruh pemupukan

kompos blotong terhadap pertumbuhan tanaman nyata pada jumlah daun 6 MST dan

diameter batang 12 MST. Pengaruh pemberian kompos blotong terhadap pertumbuhan

tebu lahan kering terjadi dalam waktu yang tidak secepat penggunaan pemupukan

anorganik. Pertumbuhan tinggi tanaman dan luas daun tebu berjalan lebih lambat

daripada tanpa pemberian kompos blotong. Dosis kompos blotong 7,5 ton/ha sampai 10

ton/ha meningkatkan tinggi tanaman, jumlah daun, luas daun, dan jumlah anakan (umur

tiga bulan setelah tanam) daripada kontrol. Pada bobot kering akar dan bobot kering

tajuk, pemberian kompos blotong yang diberikan masih terlalu rendah untuk

menghasilkan pertumbuhan yang melebihi pertumbuhan tanaman tanpa kompos

blotong. Dalam penelitiannya, pemberian kompos blotong tidak meningkatkan sifat

kimia tanah tetapi meningkatkan unsur N dalam tanah daripada tanpa kompos blotong.

Dosis 7,5 ton/ha sampai 10 ton/ha kompos blotong menghasilkan sifat kimia tanah

optimum bagi ketersediaan hara dalam tanah.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Purwono et al. (2011), dosis blotong

cukup nyata mempengaruhi rendemen tebu (Tabel 2). Apabila dosis kompos dikaitkan

dengan frekuensi penyiraman, keduanya saling berinteraksi dalam mempengaruhi

rendemen tebu. Ada korelasi yang signifikan antara Brix dan hasil gula. Kandungan sari

tebu memiliki kontribusi yang besar terhadap hasil gula. Berikut adalah data hasil

penelitian yang diperoleh :

Page 18: PEMANFAATAN BLOTONG PADA BUDIDAYA TEBU.pdf

Tabel 2. Pengaruh Dosis Blotong terhadap Brix, Rendemen, Jumlah Batang, Panjang

Batang, Bobot Segar, Produksi Tebu, Beserta Gula Kristal yang Dihasilkan

Dosis

Kompos

Blotong

(ton/ha)

Brix

(%)

Rendemen

(%)

Jumlah

Batang

Panjang

Batang

(cm)

Bobot

Segar

(g)

Hasil

(kg/ha)

Gula

Kristal

(kg/ha)

0

2,5

5

7,5

18,87b

19,22ab

19,28a

18,95ab

7,68a

7,70a

7,73a

7,16b

6,5a

6,6a

6,6a

6,6a

301,06a

298,78a

301,50a

295,39a

529a

524a

559a

509a

95,22a

94,28a

100,67a

91,65a

7,313ab

7,260a

7,782a

6,662b

Keterangan : Angka-angka dalam kolom yang sama dan diikuti oleh huruf yang sama tidak

berbeda nyata pada uji BNT taraf 5%.

Aplikasi blotong dengan dosis 5 ton/ha memberikan hasil rendemen tebu tertinggi,

sedangkan hasil kristal gula tertinggi (7,620 kg ha-1) dicapai pada pemberian dosis

blotong antara 2,5–5 ton/ha. Di dalam penelitiannya, aplikasi blotong 5 ton/ha dapat

mengurangi frekuensi penyiraman setiap dua minggu. Aplikasi blotong dengan dosis 3-5

ton/ha yang dianjurkan dalam penanaman tebu lahan kering ditujukan untuk mengurangi

frekuensi penyiraman. Jumlah kompos harus diterapkan dalam jumlah yang dapat

meningkatkan kandungan organik tanah sekitar 3%, dan kompos harus diterapkan secara

teratur untuk mempertahankan tingkat 3% dalam tanah. Aplikasi blotong harus

diprioritaskan untuk daerah-daerah yang memiliki kadar organik tanah <3%, daerah ini

cenderung rentan terhadap kekeringan, atau ke daerah-daerah dengan musim tanam

antara bulan Juli sampai September setiap tahunnya.

Page 19: PEMANFAATAN BLOTONG PADA BUDIDAYA TEBU.pdf

IV. PENUTUP

A. Kesimpulan

Blotong dapat meningkatkan pertumbuhan, hasil, rendemen, bahkan produksi gula

kristal tebu di lahan kering. Hal ini dipengaruhi oleh kemampuan blotong dalam

meningkatkan kapasitas menahan air, menurunkan laju pencucian hara, menyediakan

unsur hara, memperbaiki drainase tanah, melarutkan fosfor, dan menetralisir pengaruh

Aldd sehingga ketersediaan P dalam tanah lebih tersedia. Blotong juga mampu

membantu mengatasi masalah kelangkaan pupuk kimia dan sekaligus mengatasi

masalah pencemaran lingkungan.

B. Saran

Prioritas dalam penentuan aplikasi blotong sebaiknya berdasarkan kandungan

bahan organik tanah. Sebelum aplikasi diharapkan untuk terlebih dahulu melakukan

analisis tanah yang dapat mewakili sehingga pemberian blotong dapat lebih tepat

sasaran. Selain itu, penting bagi blotong untuk melalui proses pengomposan karena

dengan begitu blotong dapat terdekomposisi dengan baik dan akhirnya mampu

menyediakan unsur-unsur yang dibutuhkan tanaman.

Page 20: PEMANFAATAN BLOTONG PADA BUDIDAYA TEBU.pdf

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2008. Aspek Manfaat Bahan Organik pada Budidaya Tebu.

<http://www.ratoonjatim.co.cc/bahan_organik>. Diakses pada tanggal 21

November 2012.

Anonim. 2008. Konsep Peningkatan Rendeman Tebu untuk Mendukung Proses Akselerasi

Industri Gula Nasional. <http://p3gi.net/images/opini/Konsep%20Peningkatan%

Rendemen.pdf>. Diakses pada tanggal 21 November 2012.

Ahira, A. 2009. Berkenalan dengan Tanaman Tebu. <http://www.anneahira.com/tanaman-

tebu.htm>. Diakses pada tanggal 22 November 2012.

Arifin, B. 2008. Ekonomi Swasembada Gula Indonesia. Economic Review.

Cerianet. 2008. Konsep Budidaya Tebu. <http://cerianetagricultur.blogspot.com/2008/12/

konsep-budidaya-tebu.html>. Diakses pada tanggal 22 November 2012.

Deptan. 2007. Pedoman Teknis Pemanfaatan Limbah Perkebunan Menjadi Pupuk Organik.

Direktorat Jenderal Perkebunan, Departemen Pertanian, Jakarta.

Gaur, A. C. 1981. Improving Soil Fertility through Organic Recycling: A Manual of Rural

Composting. FAO. The United Nation, Rome.

Hamawi. 2005. Blotong, Limbah Busuk Berenergi.

<http://www.agriculturesnetwork.org/magazines/indonesia/11-energi-dari-

lahan/blotong-limbah-busuk-berenergi/at_download/article_pdf>. Diakses pada

tanggal 22 November 2012.

James. 2004. Sugarcane Second Edition. Blackwell Publishing Company, Inggris.

Kirana, K. 2008. Penentuan dosis pemupukan kompos blotong pada tebu lahan kering

(Saccharum officinarum L.) varietas PS 862 dan PS 864. Skripsi. Program Sarjana,

Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Kuntohartono, T. 1982. Pedoman Budidaya Tebu Lahan Kering. Lembaga Pendidikan

Perkebunan, Yogyakarta.

Kurnia, W. R. 2010. Pengolahan dan Pemanfaatan Limbah Pabrik Gula dalam rangka Zero

Emission. <www.lordbroken.wordpress.com>. Diakses pada tanggal 22

November 2012.

Kuswurj, R. 2009. Blotong dan Pemanfaatannya. <http://www.risvank.com/tag/blotong/>.

Diakses pada tanggal 22 November 2012.

Lahuddin. 1996. Pengaruh kompos blotong terhadap beberapa sifat fisik dan kandungan

unsur hara tanah serta hasil tanaman jagung. Jurnal Penelitian Pertanian 1 : 13-18.

Page 21: PEMANFAATAN BLOTONG PADA BUDIDAYA TEBU.pdf

Mulyadi, M. 2000. Kajian pemberian blotong dan terak baja pada tanah Kandiudoxs

Pelaihari dalam upaya memperbaiki sifat kimia tanah, serapan N, Si, P, dan S

serta pertumbuhan tebu. Tesis. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor,

Bogor.

Murtinah, S. 1990. Penelitian air buangan industri gula proses sulfitasi. Buletin Penelitian

Pengembangan Industri 12 : 7-20.

Nadia. 2012. Tebu. <http://xa.yimg.com/kq/groups/25896088/44199564/name/Tebu.doc>.

Diakses pada tanggal 21 November 2012.

Nahdodin, S. H., I. Ismail, dan J. Rusmanto. 2008. Kiat Mengatasi Kelangkaan Pupuk

untuk Mempertahankan Produktivitas Tebu dan Produksi Gula Nasional.

<http//www.sugarresearch.org/wpcontent/uploads/2008/12/kelangkaan-

pupuk.pdf>. Diakses pada tanggal 21 November 2012.

Parinduri, S. 2005. Respon tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) terhadap pemberian

blotong yang diperkaya dengan bakteri pelarut fosfat dan azospirillum. Tesis.

Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Plantamor. 2012. Informasi Spesies Tomat. <http://www.plantamor.com/index.php?plant=

1165>. Diakses pada tanggal 21 November 2012.

Purwaningsih, E. 2011. Pengaruh pemberian kompos blotong, legin, dan mikoriza terhadap

serapan hara N dan P tanaman kacang tanah. Widya Warta No 02 Tahun XXXV.

Purwono, D. Sopandie1, S. S. Harjadi1, and B. Mulyanto. 2011. Application of filter cake

on growth of upland sugarcanes. Journal of Agronomy Indonesia 39 : 79-84.

Putri, Renata S., Junaidi T. Nurhidayati, Wiwit Budi W. 2010. Uji Ketahanan Tanaman

Tebu Hasil Persilangan (Saccharum spp. hybrid) Pada Kondisi Lingkungan

Cekaman Garam (NaCl). Undergraduate Thesis. Institut Teknologi Sepuluh

Nopember. Surabaya.

Santoso, B. 2009. Limbah Pabrik Gula: Penanganan, Pencegahan, dan Pemanfaatannya

dalam Upaya Program Langit Biru dan Bumi Hijau.

<http://fisika.brawijaya.ac.id/bss-

ub//proceeding/PDF%20FILES/BSS_357_1.pdf>. Diakses pada tanggal 22

November 2012.

Sastrosumarjo, S. 1995. Sistem Tanah (Cropping System) pada Pertanian Lahan Kering

Berkelanjutan. Dies Natalis XXXII Institut Pertanian Bogor Diskusi

Pengembangan Teknologi Tepat Guna di Lahan Kering untuk Mendukung

Pertanian Berkelanjutan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Sudiatso, S. 1983. Bertanam Tebu. Departemen Agronomi. Fakultas Pertanian, Institut

Pertanian Bogor. Bogor.

Page 22: PEMANFAATAN BLOTONG PADA BUDIDAYA TEBU.pdf

Suhadi dan Sumojo. 1985. Pengaruh blotong terhadap sifat fisik tanah regosol pasir

lempungan. Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia. Buletin No. 111.

Suhadi, Sumojo, dan Marsadi. 1988. Beberapa Masalah pada Tanah di Perkebunan Tebu

Lahan Kering di Luar Jawa. Seminar Budidaya Tebu Lahan Kering. P3GI,

Pasuruan.

Supriyadi, A. 1992. Rendemen Tebu Liku-Liku Permasalahannya. Kanisius, Jakarta.

Sutardjo, E. R. M. 2002. Budidaya Tanaman Tebu. Bumi Aksara, Jakarta.

Toharisman, A., Suhadi, dan M. Mulyadi. 1991. Pemakaian Blotong untuk Meningkatkan

Kualitas Tebu di Lahan Kering. Pertemuan Teknis TT I/1991. P3GI, Pasuruan.

Tisdale, S. L., W. L. Nelson, and J. D. Beaton. 1985. Soil Fertility and Fertilizers.

MacMillan Pub. Co., New York.

Wargani, Supriyanto, dan Samsuri. 1988. Pemanfaatan Limbah Pabrik Gula sebagai Bahan

Kompos dalam menunjang Peningkatan Produksi Tanaman Tebu di Pabrik Gula

Cintamanis. Seminar Budidaya Tebu Lahan Kering P3GI Pasuruan, Pasuruan.

Page 23: PEMANFAATAN BLOTONG PADA BUDIDAYA TEBU.pdf

LAMPIRAN

Daftar pertanyaan dan jawaban hasil diskusi seminar kelas “Pemanfaatan Blotong

pada Budidaya Tebu (Saccharum officinarum L.) di Lahan Kering”.

1. Galuh Asrinda Titi M. (11772)

Pertanyaan:

Pada penelitian Purwono et al. (2011), nampak bahwa pemberian kompos blotong 5

ton/ha dapat meningkatkan rendemen tebu dan produksi gula kristal secara signifikan.

Akan tetapi, pada pemberian kompos blotong sebanyak 7,5 ton/ha justru memberikan

pengaruh sebaliknya. Mengapa hal tersebut bisa terjadi?

Jawaban:

Pada dasarnya, segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik. Sama halnya dengan

manusia yang membutuhkan suplai makanan. Ketika dalam kondisi kekurangan makan,

manusia tersebut akan lemas dan tidak banyak aktivitas yang dapat dikerjakan. Begitu

juga ketika dalam kondisi kelebihan makan (terlalu kenyang), manusia bukan menjadi

sangat kuat tetapi justru sulit melakukan aktivitas. Hal inilah yang dialami oleh tebu

yang diberikan dosis blotong sebanyak 7,5 ton/ha. Kebutuhan yang dikehendakinya

secara ideal terpenuhi pada dosis blotong 5 ton/ha sehingga apabila dosis ditambah

(sudah tidak sesuai dengan kebutuhan) maka justru aktivitas metabolismenya

terganggu/terhambat.

2. Ellia Habib M. (11873)

Pertanyaan:

a. Kapan sebaiknya aplikasi blotong dilakukan?

b. Kandungan pH pada blotong yakni 8,53 sedangkan pada syarat tumbuh tebu

dikehendaki pH 5,5-7. Apakah ini berpengaruh?

Jawaban:

a. Sebaiknya blotong diaplikasikan di awal masa tanam, lebih tepatnya saat

dilakukannya pengolahan tanah. Dalam hal ini blotong memiliki fungsi yang sama

seperti pupuk organik padat lainnya yang juga diaplikasikan di awal masa tanam.

Apabila ditilik dari fungsinya, blotong dapat dijadikan sebagai bahan pembenah

tanah, terutama di lahan kering.

Page 24: PEMANFAATAN BLOTONG PADA BUDIDAYA TEBU.pdf

b. Ya, tentu saja berpengaruh. Seperti yang telah diutarakan dalam seminar, sebelum

melakukan aplikasi blotong sebaiknya dilakukan analisis tanah. Semua hal harus

disesuaikan dengan kebutuhan tebu sehingga aplikasi blotong dapat tepat sasaran.

Jadi sangat baik apabila blotong dengan kondisi tersebut diaplikasikan pada tanah

yang masam karena kondisi pH tanah tersebut akhirnya dapat menjadi stabil.

3. Siti Afrohul Qonita (11849)

Pertanyaan:

Apakah perusahaan gula sudah memanfaatkan blotong? Apakah ada tambahan pupuk

lain setelah dilakukannya aplikasi blotong? Bagaimana pemanfaatannya secara

ekonomis?

Jawaban:

Ya, sebagian besar perusahaan gula telah memanfaatkan blotong. Dari beberapa

perusahaan yang saya ketahui, tambahan pupuk lain masih digunakan walaupun aplikasi

blotong telah dilakukan. Hal ini dapat dikarenakan areal pertanaman tebu di perusahaan

sangat luas dan kebutuhan tebu pada umumnya belum dapat tercukupi hanya dengan

diaplikasikannya blotong sebab umumnya perusahaan tidak melakukan pengomposan

secara khusus sehingga blotong tidak dapat menyediakan kebutuhan tebu secara baik

karena proses dekomposisi tidak terjadi secara sempurna. Sejauh ini pemanfaatan

blotong secara ekonomis dilakukan oleh perusahaan dengan hanya menumpuk blotong

pada beberapa plot lahan dan menunggu beberapa hari (tidak ada pengomposan secara

khusus).

4. Hadianti Deliana R. (11718)

Pertanyaan:

Pada penelitian Purwono et al. (2011), nampak bahwa pemberian kompos blotong 7,5

ton/ha dapat menurunkan rendemen tebu secara signifikan. Akan tetapi, pada pemberian

kompos blotong sebanyak 100 ton/ha pada penelitian Nahdodin et al. (2008) justru

memberikan pengaruh sebaliknya. Bagaimana hal terebut dapat terjadi?

Jawaban:

Penelitian keduanya dilakukan pada waktu yang berbeda, tempat yang berbeda,

lingkungan yang berbeda, kebutuhan tebu yang berbeda, dan kondisi tanah yang

berbeda. Jadi mungkin apabila hasil yang didapat juga berbeda. Menurut saya hal

Page 25: PEMANFAATAN BLOTONG PADA BUDIDAYA TEBU.pdf

tersebut dapat terjadi karena pada penelitian Purwono kondisinya (khususnya media

tanam) jauh lebih baik untuk pertanaman tebu, sedangkan pada penelitian Nahdodin

kondisinya sangat jauh di bawah. Maka itu perlu adanya analisis tanah sebelum

dilakukan aplikasi kompos.

5. Anjarini Pranesti (11657)

Pertanyaan:

Apakah ada pengaruhnya apabila blotong diaplikasikan di tanah masam?

Jawaban:

Ya, jelas ada pengaruhnya. Seperti yang sudah saya jelaskan sebelumnya, pemberian

blotong dapat menstabilkan pH tanah yang masam. Berdasarkan hasil analisis komposisi

blotong, pH yang terkandung di dalamnya yaitu sekitar 8,5 yang apabila diaplikasikan

pada tanah masam tentu akan menaikkan pH tanah yang masam itu sehingga menjadi

lebih stabil (netral).

6. Riza Luthfiah (11595)

Pertanyaan:

Apakah blotong memiliki kekurangan?

Jawaban:

Ya, jelas sekali. Blotong merupakan limbah buangan dari pabrik gula yang memiliki

bau sangat menyengat terutama dalam keadaan basah. Tingkat pencemaran yang

ditimbulkan blotong dapat dikatakan tinggi.