pelindian bijih laterit dengan asam klorida pratama...
TRANSCRIPT
PELINDIAN BIJIH LATERIT DENGAN ASAM KLORIDA
PRATAMA ARINALDO
PROGRAM STUDI KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016 M/1437 H
PELINDIAN BIJIH LATERIT DENGAN ASAM KLORIDA
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Program Studi Kimia
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Oleh :
PRATAMA ARINALDO
1110096000059
PROGRAM STUDI KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016 M/1437 H
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH
HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN
SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI
ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Jakarta, Juni 2016
Pratama Arinaldo
NIM: 1110096000059
v
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Alhamdulillahirabbil ‘alamin, segala puji dan syukur kepada Allah SWT,
Tuhan Pemilik Alam Semesta karena atas nikmat dan rizkinya penulis dapat
menyelesaikan penelitian dengan judul Pelindian Bijih Laterit dengan Asam
Klorida.
Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada Baginda Rasulullah SAW
yang telah membimbing kita dari jalan yang gelap menuju jalan yang terang
benderang dengan syariat Islamnya. Penulis sadar bahwa skripsi ini masih jauh
dari kata sempurna dan tidak pernah lepas dari bantuan berbagai pihak dalam
menyelesaikannya. Maka dari itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Solihin, M.Eng selaku pembimbing I yang telah memberikan
segala pengetahuan, bimbingan, serta arahan selama penulisan skripsi.
2. Nanda Saridewi, M.Si selaku pembimbing II yang telah memberikan
bimbingan dalam penulisan skripsi.
3. Nurhasni, M.Si dan Dr. Sri Yadial Chalid, M.Si selaku penguji I dan
penguji II yang memberikan saran serta masukan.
4. Drs. Dede Sukandar, M.Si selaku Ketua Program Studi Kimia Fakultas
Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Dr. Agus Salim, M.Si selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
vi
6. Kedua orangtua dan adikku Adityawarman Wibisono yang selalu
memberikan kehangatan serta kasih sayang, motivasi, dukungan serta
doa yang tak pernah putus sehingga penulis dapat menyelesaikan
penelitian.
7. Bu Eki, Bu Nita, Pak Endro, Pak Atet, Pak Fuad, Mas Angga dan
seluruh jajaran peneliti, staf dan karyawan Pusat Penelitian
Geoteknologi LIPI Bandung yang telah memberikan kesempatan dan
fasilitas kepada penulis untuk melaksanakan penelitian.
8. Teman-teman penelitian Aulia, Dani dan Irwan yang selalu
memberikan bantuan dan semangat selama melakukan penelitian.
9. Teman-teman Polideka Kimia UIN Jakarta yang telah memberikan
dukungan serta motivasi.
Akhir kata, penulis menyadari dalam penyusunan skripsi ini tidak lepas
dari kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang
membangun demi perbaikan dan penyempurnaan di kemudian hari.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Jakarta, Mei 2016
Penulis.
ABSTRAK
Pratama Arinaldo. Pelindian Bijih Laterit dengan Asam Klorida. Dibawah
bimbingan Solihin dan Nanda Saridewi.
Pelindian bijih laterit dengan asam klorida telah dilakukan. Penelitian ini
dilakukan untuk menentukan suhu dan konsentrasi HCl optimum pelindian bijih
laterit dari Sulawesi Tenggara serta kinetika pelindian yang bertujuan untuk
mengetahui nilai energi aktivasi dan model pelindian yang terjadi. Pelindian
dilakukan dengan variasi suhu 30, 50, 70 dan 90 °C, serta variasi konsentrasi asam
klorida 1,7; 2,4; 4; dan 6 M. Pelindian untuk kinetika reaksi dilakukan dengan
variasi suhu 30, 50, 70 dan 90 °C, konsentrasi asam klorida 4 M serta variasi
waktu 3, 5, 10, 20, 30, 60, 120 dan 240 menit. Residu pelindian dikarakterisasi
dengan XRD dan XRF, sedangkan filtrat dianalisis dengan AAS. Hasil
karakterisasi XRD dan XRF menunjukkan bahwa kadar besi dalam bijih laterit
dapat terekstrak dengan baik pada suhu pelindian 90 °C dan konsentrasi asam
klorida 4 M. Diperoleh nilai energi aktivasi sebesar 6,88 kJ mol-1 serta model
shrinking-core berupa diffusion through product layer.
Kata kunci: leaching, laterit, kinetika, model shrinking-core
ABSTRACT
Pratama Arinaldo. Laterite Ore Leaching by Hydrochloric Acid. Supervised by
Solihin and Nanda Saridewi.
Leaching laterite ore by hydrochloric acid has been done. This research was
conducted to determine the optimum condition of temperature and hydrochloric
acid concentration for leaching laterite ore from Southeast Sulawesi and also
leaching kinetic to find out energy activation value from the conducted leaching
and the leaching model. Leaching was conducted by variation of temperature
variation at 30, 50, 70 and 90 °C, and hydrochloric acid concentration variation at
1,7; 2,4; 4; and 6 M. Leaching for reaction kinetic was conducted by variation of
temperature at 30, 50, 70 and 90 °C, hydrochloric acid concentration was 4 M also
time variation at 3, 5, 10, 20, 30, 60, 120 and 240 minutes. Residues of this
leaching were characterized by XRD and XRF, while the filtrate were analyzed by
AAS. Characterization with XRD and XRF indicate that the iron content of
laterite ore was well extracted with leaching temperature of 90 °C and
hydrochloric acid concentration was 4 M. Energy activation value obtained at
6,88 kJ mol-1 and the shrinking-core model was diffusion through product layer.
Keywords: leaching, laterite, kinetic, shrinking-core model
ix
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ································································· v
DAFTAR ISI ············································································ ix
DAFTAR GAMBAR ··································································· xi
DAFTAR TABEL ······································································ xiii
DAFTAR LAMPIRAN ································································ xiv
BAB I PENDAHULUAN ····························································· 1
1.1. Latar belakang ······································································ 1
1.2. Rumusan masalah ·································································· 3
1.3. Hipotesis penelitian ································································ 3
1.4. Tujuan penelitian ··································································· 3
1.5. Manfaat penelitian ·································································· 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ····················································· 5
2.1. Senyawa besi ········································································ 5
2.2. Bijih laterit ··········································································· 5
2.3. Pelindian ············································································· 7
2.4. Kinetika kimia ······································································ 9
2.5. Model shrinking core ······························································ 11
2.6. X-Ray diffraction (XRD) ·························································· 14
2.7. X-Ray fluorescence (XRF) ························································ 16
2.8. Atomic absorption spectrophotometer (AAS) ·································· 17
BAB III METODE PENELITIAN ················································· 21
x
3.1. Waktu dan tempat penelitian ······················································ 21
3.2. Alat dan bahan ······································································ 21
3.2.1. Alat ············································································ 21
3.2.2. Bahan ········································································· 21
3.3. Prosedur kerja ······································································· 21
3.3.1. Pelindian dengan variasi suhu ············································· 21
3.3.2. Pelindian dengan variasi konsentrasi HCl ······························· 22
3.3.3. Kinetika pelindian ·························································· 22
3.3.4. Tahap karakterisasi akhir ·················································· 22
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ············································ 24
4.1. Karakterisasi bijih laterit ·························································· 24
4.2. Pengaruh suhu ······································································· 25
4.3. Pengaruh konsentrasi ······························································· 28
4.4. Kinetika pelindian ·································································· 30
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ············································· 37
5.1. Kesimpulan ·········································································· 37
5.2. Saran ·················································································· 37
DAFTAR PUSTAKA ·································································· 38
LAMPIRAN ············································································· 41
xi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Profil laterit pada daerah tropis........................................................7
Gambar 2. Perubahan yang terjadi ketika padatan mengalami reaksi ...............10
Gambar 3. Model shrinking-core ......................................................................12
Gambar 4. Konsentrasi reaktan dan produk pada model shrinking core ...........14
Gambar 5. Instrumentasi XRD ..........................................................................15
Gambar 6. Instrumentasi XRF ...........................................................................17
Gambar 7. Skema kerja instrumentasi AAS ......................................................19
Gambar 8. Pola difraksi sinar-X bijih laterit sebelum pelindian .......................24
Gambar 9. Pola difraksi sinar-X pelindian bijih laterit dengan variasi suhu .....26
Gambar 10. Hasil analisis residu hasil pelindian variasi suhu dengan XRF .....27
Gambar 11. Pola difraksi sinar-X pelindian bijih laterit dengan variasi
konsentrasi HCl ...........................................................................28
Gambar 12. Hasil analisis residu pelindian variasi konsentrasi HCl dengan
XRF...............................................................................................30
Gambar 13. Grafik pengaruh ln k1 terhadap suhu resiprokal ............................35
Gambar 14. Grafik pengaruh ln k2 terhadap suhu resiprokal ............................36
Gambar 15. Pola difraksi sinar-X bijih laterit sebelum pelindian .....................48
Gambar 16. Pola difraksi sinar-X pelindian bijih laterit suhu 30 °C .................49
Gambar 17. Pola difraksi sinar-X pelindian bijih laterit suhu 50 °C .................49
Gambar 18. Pola difraksi sinar-X pelindian bijih laterit suhu 70 °C .................50
Gambar 19. Pola difraksi sinar-X pelindian bijih laterit suhu 90 °C .................50
Gambar 20. Pola difraksi sinar-X pelindian bijih laterit konsentrasi
HCl 6 M .........................................................................................51
xii
Gambar 21. Pola difraksi sinar-X pelindian bijih laterit konsentrasi
HCl 4 M .........................................................................................51
Gambar 22. Pola difraksi sinar-X pelindian bijih laterit konsentrasi
HCl 2.4 M ......................................................................................52
Gambar 23. Pola difraksi sinar-X pelindian bijih laterit konsentrasi
HCl 1.7 M ......................................................................................52
xiii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Variasi pelindian bijih laterit ................................................................23
Tabel 2. Hasil analisis komposisi kimia dengan XRF bijih laterit .....................25
Tabel 3. Persentase senyawa hasil pelindian dengan variasi suhu .....................27
Tabel 4. Persentase senyawa hasil pelindian dengan variasi konsentrasi
HCl ...................................................................................................29
Tabel 5. Fraksi mol besi terekstrak selama pelindian.........................................31
Tabel 6. Nilai model kinetika chemical reaction controlled terhadap
waktu pelindian .....................................................................................32
Tabel 7. Nilai model kinetika diffusion reaction controlled terhadap
waktu pelindian .....................................................................................33
Tabel 8. Nilai konstanta terhadap suhu resiprokal .............................................33
Tabel 9. Nilai ln k terhadap suhu resiprokal.......................................................34
Tabel 10. Konsentrasi besi dalam filtrat hasil pelindian dengan variasi
waktu ..................................................................................................43
Tabel 11. Fraksi mol besi dalam filtrat hasil pelindian dengan variasi
waktu ..................................................................................................44
Tabel 12. Nilai model shrinking core filtrat hasil pelindian variasi
waktu ..................................................................................................46
Tabel 13. Persen Ekstraksi besi filtrat hasil pelindian bijih laterit .....................48
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Bagan alir proses penelitian ..........................................................41
Lampiran 2. Perhitungan dalam proses pelindian .............................................42
Lampiran 3. Pola difraksi sinar-X bijih laterit beserta residu hasil pelindian ...48
Lampiran 4. Hasil analisis komposisi kimia bijih laterit ...................................53
Lampiran 5. Hasil analisis komposisi kimia bijih laterit setelah pelindian dengan
suhu 30 °C ....................................................................................54
Lampiran 6. Hasil analisis komposisi kimia bijih laterit setelah pelindian dengan
suhu 50 °C ....................................................................................55
Lampiran 7. Hasil analisis komposisi kimia bijih laterit setelah pelindian dengan
suhu 70 °C .....................................................................................56
Lampiran 8. Hasil analisis komposisi kimia bijih laterit setelah pelindian dengan
suhu 90 °C ....................................................................................57
Lampiran 9. Hasil analisis komposisi kimia bijih laterit setelah pelindian dengan
konsentrasi HCl 6 M .....................................................................58
Lampiran 10. Hasil analisis komposisi kimia bijih laterit setelah pelindian
dengan konsentrasi HCl 4 M .......................................................59
Lampiran 11. Hasil analisis komposisi kimia bijih laterit setelah pelindian
dengan konsentrasi HCl 2.4 M ...................................................60
Lampiran 12. Hasil analisis komposisi kimia bijih laterit setelah pelindian
dengan konsentrasi HCl 1.7 M ...................................................61
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Besi merupakan salah satu logam yang digunakan dalam industri
material. Keberadaan besi di Indonesia cukup melimpah, dimana besi
biasanya diperoleh dalam bentuk bijih laterit. Endapan besi yang ditemukan di
Indonesia umumnya terdiri dari tiga jenis endapan yaitu bijih laterit, besi
primer dan pasir besi (Ishlah, 2009). Besi laterit di Indonesia memiliki jumlah
yang melimpah yaitu mencapai 1 miliar ton, namun dalam besi laterit ini
terdapat karbonat, silikat, besi, hematit dan magnetit sehingga kadar besinya
rendah (40-60 %) (Sutisna, 2007). Salah satu cadangan bijih laterit terbesar
berada di Sulawesi Tenggara. Menurut data dari Badan Geologi per akhir
2014, sumber daya bijih besi Indonesia sebesar 2.797.984.832 ton dan
cadangan sebesar 1.677.631.061 ton. Sumber daya tersebut tersebar di seluruh
wilayah Indonesia, dimana jumlah terbesar terdapat di Propinsi Kalimantan
Barat dengan total sumber daya sebesar 1.133.254.428 ton disusul dengan
Sulawesi Tenggara sebesar 26.304.000 ton (Kementerian ESDM, 2015).
Eksplorasi yang dilakukan di Indonesia terhadap sumber daya besi
masih tergolong rendah dan hingga saat ini belum terdapat pertambangan besi
yang memasuki tahap studi kelayakan. Industri baja seperti PT Krakatau Steel,
BHP Steel dan Gunung Steel sangat bergantung pada bahan impor. Krakatau
Steel memerlukan 4,5 ton bijih besi magnetit per tahun yang diimpor dari
Brazil dan Swedia, dan 8 juta ton besi spon dan scrap per tahun (Ishlah, 2009).
2
Berdasarkan data dari Kementerian Perindustrian, sebanyak 3.87 juta ton bijih
besi primer diimpor dari Venezuela dan Abu Dhabi untuk memenuhi
kebutuhan bijih besi sektor industri domestik pada tahun 2014 (Kementerian
ESDM, 2015).
Pemerintah melalui UU No. 4 Tahun 2009 tentang Minerba dan PP No.
23 tahun 2010 tentang pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral
dan Batubara telah mewajibkan bagi semua perusahaan tambang untuk
membangun smelter/sistem pengolahan produknya di dalam negeri. Hal ini
bertujuan agar tidak ada lagi penjualan atau ekspor dalam bentuk raw material
(Wikarya, 2012).
Besi dari bijih laterit dapat diekstrak dengan cara pirometalurgi dan
hidrometalurgi. Hidrometalurgi adalah metode ekstraksi logam dari bijih
dengan menggunakan cairan atau pelarut. Hidrometalurgi terdiri dari
atmospheric leaching (AL) dan high pressure acid leaching (HPAL) (Köse,
2011). Proses pirometalurgi melibatkan temperatur tinggi saat proses ekstraksi
logam seperti pengeringan, kalsinasi, pemanggangan (roasting) atau reduksi,
peleburan. Havlik (2008), menyatakan bahwa hidrometalurgi lebih ekonomis
dibandingkan dengan pirometalurgi. Hidrometalurgi lebih ramah lingkungan
dibandingkan dengan pirometalurgi dikarenakan lebih sedikit menghasilkan
cemaran. Rodrigues (2013) mengungkapkan bahwa pirometalurgi
membutuhkan instrumen dengan konsumsi energi dan biaya perawatan yang
lebih mahal. Pada penelitian ini digunakan proses hidrometalurgi dengan jenis
Atmospheric Leaching (AL), agar proses ekstraksi logam dengan cara
pirometalurgi dapat dikurangi.
3
Proses pelindian dipengaruhi oleh jenis pelarut. Pelarut yang biasa
digunakan untuk proses pelindian antara lain adalah asam sulfat (H2SO4) dan
asam klorida (HCl). Besi dapat diekstrak lebih banyak dengan HCl
dibandingkan dengan HNO3 dan H2SO4 (Baba, 2011), oleh karena itu
dilakukan penelitian tentang pelindian terhadap bijih laterit dengan HCl,
sehingga diharapkan dapat diperoleh suhu dan konsentrasi HCl optimum
untuk mengekstrak besi dari bijih laterit.
1.2. Rumusan Masalah
1. Kondisi optimum pelindian bijih laterit pada konsentrasi HCl dan suhu
pelindian yang bervariasi belum diketahui.
2. Kinetika reaksi pelindian besi dari bijih laterit dalam media HCl belum
diketahui.
1.3. Hipotesis Penelitian
1. Kondisi optimum pelindian bijih laterit diperoleh saat konsentrasi HCl
serta suhu pelindian tinggi.
2. Kinetika reaksi pelindian besi dari bijih laterit tidak dipengaruhi oleh
adanya unsur-unsur lain yang terlarut dari bijih laterit.
1.4. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui kondisi optimum pelindian besi dari bijih laterit.
2. Mengetahui perilaku kinetika reaksi pelindian bijih laterit dalam HCl.
4
1.5. Manfaat Penelitian
Data yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan
sebagai acuan untuk mengembangkan industri pengolahan bijih laterit dalam
negeri.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Senyawa Besi
Besi (Fe) merupakan unsur dengan kelimpahan terbanyak keempat di lapisan
bumi. Besi yang terdapat di alam pada dasarnya adalah campuran dengan unsur
logam lain (Cu, Zn, Ni dan Co) yang bervariasi dalam Contohnya seperti
chalcopyrite (CuFeS2), bornite (Cu6FeS4) untuk tembaga dan pentlandite
((Fe,Ni)9S8) untuk nikel (Ferron, 2006). Cardarelli (2008) menyatakan bahwa besi
pada umumnya terbagi atas oksida antara lain,
a. Hematite (Fe2O3, rhombohedral dengan 70 % berat Fe)
b. Magnetite (Fe3O4, kubik dengan 72,4 % berat Fe)
c. Limonite (Fe2O3.H2O, orthorhombic dengan 63 % berat Fe)
d. Siderite (FeCO3, rhombohedral dengan 48,2 % berat Fe)
e. Pyrite (FeS2, kubik dengan 47 % berat Fe)
f. Marcasite (FeS2, orthorhombic dengan 47 % berat Fe)
2.2. Bijih Laterit
Bijih laterit merupakan tanah merah yang dihasilkan dari pelapukan batuan
asal (induk) di daerah tropis atau sub tropis. Laterit kaya akan kaolinite, goethite,
dan kwarsa, sehingga komposisi dari laterit sangat kompleks. Secara kimia, laterit
dicirikan oleh adanya besi, nikel dan silika sebagai sisa-sisa proses pelapukan
batuan induk (Firdiyono et al, 1983).
6
Evans (1989) menyatakan bahwa kebanyakan laterit terbentuk dari batuan
yang kaya akan besi seperti hematite dan goethite yang berwarna merah, kuning
atau coklat. Laterit terdapat di wilayah beriklim tropis dan subtropis yang memiliki
suhu tinggi dan curah hujan yang cukup, seperti di Brasil, Filipina, India, Afrika
Selatan, Amerika Serikat dan Indonesia (Sulawesi Tenggara) serta beberapa
wilayah lain yang memiliki iklim tropis dan subtropis (Sari, 2013).
Secara umum, profil endapan laterit ditampilkan pada Gambar 1 atau dapat
dijabarkan sebagai berikut (Elias, 2002):
a. Limonite Zone
Pada daerah ini umumnya endapan berwarna merah hingga merah kecoklatan,
kaya akan besi yang jumlahnya kurang lebih 20-50 %. Umumnya mengandung
mineral hematite dan goethite. Limonite zone memiliki struktur yang sangat halus
(clay). Pada daerah ini juga terdapat bagian transisi yang merupakan peralihan
antara daerah limonit dan daerah saprolit yang umumnya berwarna merah.
b. Saprolite Zone
Daerah ini umumnya berwarna abu-abu hingga hijau kecoklatan.
mengandung mineral serpentin dan olivin. Daerah ini memiliki kandungan Ni diatas
2%. Batuan pada saprolite zone berukuran halus hingga boulder (besar). Boulder
ini biasanya merupakan bagian dari proses pelapukan batuan induk yang belum
sempurna.
c. Bedrock Zone
Daerah ini merupakan bagian terbawah dari profil laterit. Bedrock Zone
tidak dapat ditambang, karena daerah ini merupakan batuan dasar yang tidak
7
ekonomis. Berbeda dengan bijih di lapisan atas, bedrock zone memiliki kadar nikel
dan besi yang rendah.
Mayoritas bijih laterit yang tersedia di Indonesia adalah bijih limonit dan
saprolit. Nukdin (2012) menyatakan bahwa unsur Fe pada bijih laterit yang berasal
dari Sulawesi Tenggara lebih banyak terakumulasi pada zona limonit dengan kadar
35 – 45 %.
Gambar 1. Profil laterit pada daerah tropis (Elias, 2002)
2.3. Pelindian
Hidrometalurgi merupakan proses ekstraksi yang melibatkan proses pelarutan
logam dalam padatan ke dalam suatu larutan dan kemudian dilanjutkan dengan
8
presipitasi atau isolasi logam yang dibutuhkan (Moore, 1990). Beberapa proses
dalam hidrometalurgi yang biasa digunakan untuk mengekstraksi logam adalah
presipitasi, membran cair, pertukaran ion, serta proses ekstraksi padat-cair dan
ekstraksi cair-cair.
Pelindian atau leaching merupakan ekstraksi mineral dari padatan dengan
media cair. Proses ini terdiri dari tiga tahap. Pertama, perubahan fase dari padatan
yang dilarutkan dalam pelarut untuk proses pelindian. Kedua, difusi dari pelarut
pada pori-pori padatan menuju lapisan terluar partikel. Ketiga, perpindahan produk
dari pelarut yang terkena partikel menuju bagian luar pelarut atau menuju luar
padatan (Coulson et al, 2002).
Banyak faktor yang mempengaruhi laju proses pelindian (Kumar, 2003)
antara lain,
1. Laju pelindian meningkat dengan berkurangnya ukuran bijih yang
dilarutkan, karena semakin kecil partikel maka luas permukaan per unit
berat semakin besar.
2. Laju pelindian meningkat dengan meningkatnya temperatur.
3. Laju pelindian meningkat dengan meningkatnya konsentrasi dari zat
leaching.
4. Laju pelindian meningkat dengan berkurangnya massa jenis pulp
(campuran bijih dengan air).
5. Jika terbentuk suatu produk yang tidak dapat larut selama pelindian, maka
lajunya akan dipengaruhi oleh sifat dari produk itu sendiri. Jika terbentuk
lapisan yang nonporous, maka laju pelindian akan menurun drastis.
9
Tetapi jika produk padatan yang terbentuk adalah porous, maka produk
tersebut tidak mempengaruhi laju pelindian.
2.4. Kinetika Kimia
Kinetika kimia merupakan studi untuk menganalisis seberapa cepat sebuah
reaksi berjalan (Berry et al, 2000). Faktor penting yang mempengaruhi suatu reaksi
kimia adalah suhu, tekanan, serta konsentrasi dari unsur atau senyawa kimia yang
sedang bereaksi. Katalis dan inhibitor juga dapat mempengaruhi kinetika reaksi
kimia. Segala reaksi kimia biasa muncul sebagai berikut,
pA + qB rC + sD (1)
Di mana A, B, C, D adalah unsur atau senyawa dalam reaksi dan p, q, r, s adalah
koefisien dari unsur atau senyawa yang bereaksi. Secara umum, laju dalam
perubahan konsentrasi terhadap waktu dinyatakan sebagai berikut,
𝑙𝑎𝑗𝑢 =[𝑝𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘]
𝑑𝑡 (2)
Satuan laju reaksi ini dinyatakan dalam mol dm-1 s-1 atau M-1 s-1 yang juga
menyatakan perubahan konsentrasi tiap detik.
Jika reaksi kimia yang terjadi misalkan,
A + B C
Maka rumus laju reaksi dapat dinyatakan sebagai berikut,
𝑣 = ∆𝑀
𝑡 (3)
Pada proses pelindian, terjadi reaksi heterogen antara pelarut dan material
padat. Hasil reaksi dari kedua benda tersebut antara lain dalam bentuk cair, padatan,
ataupun berupa cairan dan padatan.
10
Pelarut(cair) + Material(padat) produk cair
produk padat
produk cair dan padat
Ukuran partikel tidak mengalami perubahan selama reaksi berjalan dan terdapat
pengotor dalam jumlah besar. Partikel padatan justru menyusut selama reaksi
berjalan dan terbentuk produk atau padatan dari reaksi yang merupakan padatan
murni atau tidak terdapat pengotor sama sekali (Levenspiel, 1999).
Gambar 2. Perubahan pada partikel ketika bereaksi (Levenspiel, 1999)
Menurut Habashi (1979), ada enam tahap ketika terjadi interaksi antara
padatan dan cairan.
1. Difusi reaktan dari larutan atau reaktan itu sendiri menuju lapisan terluar
dari partikel yang mengalami pelindian.
2. Adsorpsi reaktan pada permukaan partikel.
3. Reaksi kimia dari reaktan yang teradsorpsi menuju produk yang
teradsorpsi.
4. Desorpsi produk yang terserap dari reaksi yang berjalan.
11
5. Difusi produk dari lapisan dalam menuju lapisan terluar partikel.
6. Difusi produk dari permukaan partikel menuju reaktan.
Laju reaksi sangat ditentukan oleh suhu atau temperatur. Pada suhu kamar,
nilai konstanta meningkat dua atau tiga kali lipat setiap kenaikan 10 °C (Levine,
2009). Pada tahun 1889, kimiawan Swedia bernama Arrhenius menemukan sebuah
rumus yang dipakai untuk memasukkan data reaksi kimia dalam jumlah yang
banyak ke dalam satu persamaan.
𝑘 = 𝐴 𝑒−𝐸𝑎
𝑅𝑇⁄ (4)
Dimana k adalah konstanta, R adalah konstanta gas, Ea adalah energi aktivasi dari
reaksi yang berjalan, dan A adalah tetapan Arrhenius. Energi aktivasi menggunakan
satuan kJ/mol atau kkal/mol.
Persamaan Arrhenius mencakup hampir semua reaksi homogen. Secara
sederhana, dua molekul yang saling bertubrukan memerlukan energi kinetik
tertentu untuk memecah ikatan kimia dari molekul tersebut dan membentuk
molekul baru.
Apabila dari suatu reaksi terdapat energi aktivasi yang rendah, maka reaksi
tersebut berjalan dengan cepat. Begitu juga sebaliknya, apabila suatu reaksi
memiliki energi aktivasi tinggi, maka reaksi tersebut berjalan lambat.
2.5. Model Shrinking-Core
Reaksi antara zat padat dan zat cair pada proses pelindian menyebabkan
terjadinya perubahan ukuran pada inti partikel padatan yang bereaksi. Model ini
dikembangkan oleh Yagi dan Kunii pada tahun 1955 dan 1961 (Levenspiel, 1999).
12
Levenspiel menyatakan bahwa, terdapat reaksi antara reaktan dengan lapisan dari
produk yang dihasilkan yang disebut “debu” atau lapisan inert.
Dari Gambar 3 dapat dilihat, reaksi berjalan dari lapisan partikel paling luar.
Reaksi berlanjut ke lapisan dalam partikel dan menghasilkan lapisan luar yang keras
dan inert. Lapisan luar yang mengeras ini disebut sebagai “debu”. Pada model ini,
cairan atau reaktan dianggap sebagai gas.
Gambar 3. Model shrinking-core (Levenspiel, 1999)
Dari proses penyusutan ukuran partikel (shrinkage proses) terdapat hubungan
antara fraksi mol dari partikel padatan yang bereaksi (α) dengan lama reaksi atau
waktu pelindian (t). Menurut Szubert (2006), jika reaksi dikontrol oleh difusi
reaktan melalui lapisan yang menyelubungi partikel, maka:
𝑡𝑓
𝑡𝑓∗ = 1 − (
𝑟𝑐
𝑅)
3
= 𝛼 (5)
di mana 𝑡𝑓∗ adalah waktu yang diperlukan partikel untuk bereaksi seluruhnya, 𝑟𝑐
adalah inti partikel yang tidak bereaksi selama pelindian, dan 𝑅 adalah radius awal
13
partikel atau jarak dari pusat partikel ke sekelilingnya. Jika reaksi dikontrol oleh
difusi lapisan produk (difusi lapisan inert), maka:
𝑡𝑎
𝑡𝑎∗ = 1 − 3 (
𝑟𝑐
𝑅)
2
+ 2 (𝑟𝑐
𝑅)
3
= 1 − 3(1 − 𝛼)2
3⁄ + 2(1 − 𝛼) (6)
di mana, sama dengan persamaan (1), 𝑡𝑎∗ adalah waktu yang diperlukan partikel
untuk bereaksi seluruhnya. Ketika proses dikontrol oleh reaksi kimia, maka:
𝑡𝑟
𝑡𝑟∗ = 1 − (
𝑟𝑐
𝑅) = 1 − (1 − 𝛼)
13⁄ (7)
Persamaan (1) dan persamaan (2) biasa digunakan sebagai persamaan model
kinetika seperti yang dilakukan Alafara et al (2009) untuk memperoleh model
kinetika yang sesuai dengan penelitian yang dilakukan. Kedua persamaan ini
masing-masing dapat disederhanakan menjadi persamaan berikut,
1 − (1 − 𝛼)1
3⁄ = 𝑘1𝑡 (8)
untuk kontrol proses secara kimiawi dan,
1 + 2(1 − 𝛼) − 3(1 − 𝛼)2
3⁄ = 𝑘2𝑡 (9)
Untuk kontrol proses secara difusi. Persamaan (1) dan (4) serta persamaan (2) dan
(3) adalah sama. Hanya terdapat 𝑘1 yang merupakan konstanta laju kontrol proses
kimia dan 𝑘2 merupakan konstanta laju kontrol proses difusi.
14
Gambar 4. Konsentrasi reaktan dan produk pada model shrinking core
(Levenspiel, 1999)
2.6. X-Ray Diffraction (XRD)
XRD merupakan sebuah instrumen yang digunakan untuk menganalisis
struktur suatu material kristalit maupun non-kristalit dengan menggunakan sinar-X.
Secara umum XRD dibagi menjadi dua, yaitu single-crystal dan powder. Single-
crystal diffractometer biasa digunakan untuk menentukan struktur molekul sebuah
material. Sedangkan Powder Diffractometer biasa digunakan untuk analisis
identifikasi dan kuantitatif. Sebuah XRD pada umumnya terdiri dari sumber sinar-
X, goniometer, detektor, komputer untuk analisis data dan lain-lain.
Sampel berupa serbuk padatan kristalin yang memiliki ukuran 10-7 – 10-4 m
ditempatkan pada suatu plat. Sinar X diperoleh dari elektron yang keluar dari
filamen panas dalam keadaan vakum dan tegangan tinggi, sehingga menumbuk
permukaan logam (umumnya tembaga (Cu)) dengan kecepatan tinggi. Sinar-X
15
tersebut menembak sampel padatan kristalin, kemudian mendifraksikan sinar ke
segala arah dengan memenuhi Hukum Bragg. Detektor bergerak dengan kecepatan
sudut yang konstan untuk mendeteksi berkas sinar-X yang terdifraksi oleh sampel.
Sampel serbuk atau padatan kristalin memiliki bidang-bidang kisi yang tersusun
secara acak dengan berbagai kemungkinan orientasi, begitu pula partikel-partikel
kristal yang terdapat di dalamnya. Cara kerja instrumen XRD ditampilkan pada
Gambar 5.
Gambar 5. Instrumentasi XRD
Setiap bidang kisi tersebut memiliki beberapa sudut orientasi tertentu,
sehingga difraksi sinar-X memnuhi Hukum Bragg,
𝑛 𝜆 = 2 𝑑 sin 𝜃 (10)
dengan, n = orde difraksi (1, 2, 3,....)
𝜆 = Panjang gelombang sinar-X
d = Jarak kisi
𝜃 = Sudut difraksi
Hasil analisis dari difraktometer dapat berupa data analog atau digital.
Rekaman data analog berupa grafik garis-garis yang terekam per menit sinkron,
16
dengan detektor dalam sudut 2𝜃 per menit, sehingga sumbu-x setara dengan sudut
2𝜃 . Sedangkan rekaman digital menginformasikan intensitas sinar-X terhadap
jumlah intensitas cahaya per detik.
Pola difraktogram yang dihasilkan berupa deretan puncak-puncak difraksi
dengan intensitas relatif bervariasi sepanjang nilai 2𝜃 tertentu. Besarnya intensitas
relatif dari deretan puncak-puncak tersebut bergantung pada jumlah atom atau ion
yang ada, serta distribusinya di dalam sel satuan material tersebut. Pola difraksi
setiap padatan kristalin sangat khas, yang bergantung pada kisi kristal, unit
parameter dan panjang gelombang sinar-X yang digunakan. Dengan demikian,
sangat kecil kemungkinan dihasilkan pola difraksi yang sama untuk suatu padatan
kristalin yang berbeda (Warren, 1969).
2.7.X-Ray Fluorescence (XRF)
XRF merupakan spektrometri atom yang didasari oleh atom yang tereksitasi
akibat pancaran radiasi sinar-X. Instrumen ini digunakan untuk mengidentifikasi
suatu material berdasarkan panjang gelombang sinar-X dari elektron yang
berpindah kulit saat ditembakkan dengan sinar-X. Selain mengidentifikasi suatu
material, XRF juga dapat menentukan intensitas atau kadar suatu unsur dalam
material yang diuji (Settle, 1997).
Pada teknik difraksi sinar-X suatu berkas elektron digunakan. Sinar-X
dihasilkan dari tembakan berkas elektron terhadap suatu unsur di anoda untuk
menghasilkan sinar-X dengan panjang gelombang yang diketahui. Peristiwa ini
terjadi pada tabung sinar-X. Pada teknik XRF, digunakan sinar-X dari tabung
pembangkit sinar-X untuk mengeluarkan elektron dari kulit bagian dalam untuk
17
menghasilkan sinar-X baru dari sampel yang dianalisis. Seperti pada tabung
pembangkit sinar-X, elektron dari kulit bagian dalam suatu atom pada sampel analit
menghasilkan sinar-X dengan panjang gelombang karakteristik dari setiap atom di
dalam sampel. Untuk setiap atom di dalam sampel, intensitas dari sinar-X
karakteristik tersebut sebanding dengan jumlah (konsentrasi) atom di dalam sampel.
Dengan demikian, jika kita dapat mengukur intensitas sinar–X karakteristik dari
setiap unsur, kita dapat membandingkan intensitasnya dengan suatu standar yang
diketahui konsentrasinya, sehingga konsentrasi unsur dalam sampel bisa ditentukan.
Cara kerja instrumen XRF ditampilkan pada Gambar 6.
Gambar 6. Instrumentasi XRF (Shackley, 2011)
2.8. Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS)
Spektrometri merupakan suatu metode analisis kuantitatif yang
pengukurannya berdasarkan radiasi yang dihasilkan atau diserap oleh spesi atom
atau molekul analit. Salah satu bagian dari spektrometri adalah Atomic Absorption
Spectrophotometer (AAS) atau Spektrometri Serapan Atom, yang merupakan
18
metode analisis unsur secara kualitatif yang pengukurannya berdasarkan
penyerapan cahaya dengan panjang gelombang tertentu oleh atom logam dalam
keadaan bebas (Skoog et al, 2000).
Teknik ini mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan metode
spektroskopi emisi konvensional. Pada metode konvensional emisi tergantung pada
sumber eksitasi, bila eksitasi dilakukan secara termal maka ia akan tergantung pada
temperatur sumber. Selain itu eksitasi termal tidak selalu spesifik, dan eksitasi
secara serentak terjadi pada berbagai spesies dalam suatu campuran. Sedangkan
dengan nyala, eksitasi unsur-unsur dengan tingkat energi eksitasi yang rendah dapat
dimungkinkan, tentu saja perbandingan banyaknya atom yang tereksitasi terhadap
atom yang berada pada tingkat dasar harus cukup besar, karena metode serapan
atom hanya tergantung pada perbandingan ini dan tidak bergantung pada temperatur.
Metode serapan sangatlah spesifik,logam-logam yang membentuk campuran
kompleks dapat dianalisa dan selain itu tidak selalu diperlukan sumber energi yang
besar (Khopkar, 1990).
Apabila cahaya dengan panjang gelombang tertentu dilewatkan pada suatu
sel yang mengandung atom-atom bebas yang bersangkutan maka sebagian cahaya
tersebut akan diserap dan intensitas penyerapan akan berbanding lurus dengan
banyaknya atom bebas logam yang berada dalam sel. Hubungan antara absorbansi
dengan konsentrasi diturunkan dari:
1. Hukum Lambert: Bila suatu sumber sinar monokromatik melewati medium
transparan, maka intensitas sinar yang diteruskan berkurang dengan
bertambahnya ketebalan medium yang mengabsorpsi.
19
2. Hukum Beer: Intensitas sinar yang diteruskan berkurang secara
eksponensial dengan bertambahnya konsentrasi spesi yang menyerap sinar
tersebut.
It = Io.e-(εbc) (11)
atau,
A = - Log It/Io = εbc (12)
Dimana : Io = Intensitas sumber sinar
It = Intensitas sinar yang diteruskan
ε = Absortivitas molar
b = Panjang medium
c = Konsentrasi atom-atom yang menyerap sinar
A = Absorbansi
Dari persamaan di atas, dapat disimpulkan bahwa absorbansi cahaya berbanding
lurus dengan konsentrasi atom.
Pada alat SSA terdapat dua bagian utama yaitu suatu sel atom yang
menghasilkan atom-atom gas bebas dalam keadaaan dasarnya dan suatu sistem
optik untuk pengukuran sinyal. Skema kerja AAS secara umum ditampilkan pada
Gambar 7.
Gambar 7. Skema Kerja Instrumentasi AAS
Atom dari suatu unsur pada keadaan dasar akan diberi radiasi, sehingga atom
tersebut akan menyerap energi dan mengakibatkan elektron pada kulit terluar naik
20
ke tingkat energi yang lebih tinggi atau tereksitasi. Jika suatu atom diberi energi,
maka energi tersebut akan mempercepat gerakan elektron sehingga elektron
tersebut akan tereksitasi ke tingkat energi yang lebih tinggi dan dapat kembali ke
keadaan semula. Atom-atom dari sampel akan menyerap sebagian sinar yang
dipancarkan oleh sumber cahaya. Penyerapan energi oleh atom terjadi pada panjang
gelombang tertentu sesuai dengan energi yang dibutuhkan oleh atom tersebut.
Sampel analisis berupa cairan dihembuskan ke dalam nyala api burner dengan
bantuan gas bakar yang digabungkan bersama oksidan (bertujuan untuk menaikkan
temperatur) sehingga dihasilkan kabut halus. Atom-atom keadaan dasar yang
terbentuk dalam kabut dilewatkan pada sinar dan panjang gelombang yang khas.
Sinar diserap sebagian, yang kemudian disebut sebagai absorbansi dan sinar yang
diteruskan merupakan emisi. Penyerapan yang terjadi berbanding lurus dengan
banyaknya atom keadaan dasar yang berada dalam nyala. Pada kurva absorpsi,
terukur besarnya sinar yang diserap, sedangkan pada kurva emisi, terukur intensitas
sinar yang dipancarkan (Skoog et al, 2000).
21
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan mulai dari bulan Juli 2014 - Februari 2016 di
Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI Bandung.
3.2. Alat dan Bahan
3.2.1. Alat
Alat yang digunakan adalah peralatan gelas, plastik tahan panas,
kertas saring, desikator, termometer, lemari asam, neraca analitik, hot-
plate stirrer, oven, statif dan klem, botol, XRD Shimadzu XRD-7000,
XRF Thermo Niton XL3t, dan AAS Shimadzu AA-7000.
3.2.2. Bahan
Bahan yang digunakan adalah bijih laterit yang diperoleh dari
daerah Sulawesi Tenggara dan sudah dihaluskan hingga ukuran 100 mesh,
akuades dan HCl 37% Merck.
3.3. Prosedur Kerja
3.3.1. Pelindian dengan variasi suhu
Dibuat 4 buah larutan asam klorida dengan konsentrasi 4 M dengan
volume 150 mL. Bijih laterit sebanyak 15 gram dimasukkan ke dalam
masing-masing larutan HCl yang sudah dipanaskan hingga suhu 30, 50,
70 dan 90 °C. Larutan diaduk dengan magnetic stirrer 250 rpm selama 4
jam.
22
3.3.2. Pelindian dengan variasi konsentrasi HCl
Dibuat 4 larutan HCl bervolume 150 mL dengan 4 variasi
konsentrasi berbeda yaitu 1,7; 2,4; 4; dan 6 M. Kemudian larutan
dipanaskan hingga suhu 90 °C. Sebanyak 15 gram bijih laterit yang
sudah dihaluskan dimasukkan kedalam masing-masing larutan yang
sudah dipanaskan dan diaduk dengan magnetic stirrer 250 rpm selama 4
jam.
3.3.3. Kinetika pelindian
Dibuat 4 larutan HCl konsentrasi 4 M bervolume 150 mL.
Kemudian keempat larutan HCl dipanaskan hingga suhunya masing-
masing 30, 50, 70 dan 90 °C. Sebanyak 1 gram bijih laterit kemudian
dimasukkan kedalam masing-masing larutan HCl yang sudah dipanaskan.
Selama pelindian berlangsung, setiap interval waktu yang sudah
ditentukan (3, 5, 10, 20, 30, 60, 120 dan 240 menit) sebanyak 2 mL filtrat
pelindian diambil dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi untuk
didinginkan.
3.3.4. Tahap karakterisasi akhir
Hasil pelindian disaring, sehingga diperoleh residu beserta
filtratnya. Residu pelindian terlebih dahulu dikeringkan dan kemudian
dihaluskan untuk dianalisis dengan XRD dan XRF, sedangkan filtrat
pelindian diencerkan untuk dianalisis dengan AAS.
Pelindian yang dilakukan diberi kode A-X-X untuk membedakan
pelindian dengan variasi suhu dan pelindian dengan variasi konsentrasi
HCl. Kode A-2-X digunakan untuk pelindian variasi suhu, sedangkan
23
kode A-3-X digunakan untuk pelindian variasi konsentrasi HCl. Variasi
pelindian bijih laterit ditunjukkan oleh Tabel 1.
Tabel 1. Variasi pelindian bijih laterit
Kode temperatur
(°C)
konsentrasi HCl
(M)
waktu
(jam)
kecepatan
putaran (rpm)
A-2-1 30 4 4 250
A-2-2 50 4 4 250
A-2-3 70 4 4 250
A-2-4 90 4 4 250
A-3-1 90 6 4 250
A-3-2 90 4 4 250
A-3-3 90 2.4 4 250
A-3-4 90 1.7 4 250
A-2-1 : HCl 4 M pada suhu 30 °C
A-2-2 : HCl 4 M pada suhu 50 °C
A-2-3 : HCl 4 M pada suhu 70 °C
A-2-4 : HCl 4 M pada suhu 90 °C
A-3-1 : HCl 6 M pada suhu 90 °C
A-3-2 : HCl 4 M pada suhu 90 °C
A-3-3 : HCl 2.4 M pada suhu 90 °C
A-3-4 : HCl 1.7 M pada suhu 90 °C
24
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Karakterisasi Bijih Laterit
Pola difraksi yang dihasilkan dari bijih laterit yang dikarakterisasi dengan
XRD dan XRF ditampilkan pada Gambar 8. Pola difraksi tersebut dianalisis
dengan menggunakan Software Match! (Demo Version 2).
Gambar 8. Pola difraksi sinar-X bijih laterit sebelum pelindian
Pola difraksi laterit yang diperlihatkan Gambar 8 mengandung senyawa besi
Fe2O3 (hematite), FeOOH (goethite) (Baba et al, 2009; Putra, 2012), dan Fe3O4
(magnetite) (Maryono et al, 2014). Bijih laterit yang dianalisis sebelum pelindian
juga terkandung senyawa SiO2 dan Mg3Si2O5. Sama halnya yang dinyatakan oleh
Firdiyono et al (1983) bahwa selain besi, dalam laterit juga dapat ditemukan SiO2
(silika). Untuk menentukan komposisi kimia dari laterit yang digunakan dilakukan
analisis XRF (Tabel 2).
25
Tabel 2. Hasil analisis komposisi kimia dengan XRF bijih laterit
Unsur Persen (%)
Mo 0,003
Pb 0,004
Zn 0,039
Ni 3,297
Co 0,149
Fe 30,111
Mn 0,556
Cr 0,803
Cd 0,114
Ag 0,161
Pd 0,061
Unsur lain 64,702
Total 100
Pada hasil analisis XRF (Tabel 2) dapat disimpulkan bahwa unsur Fe adalah
penyusun laterit terbesar dengan kadar sebesar 30,11 %. Sedangkan unsur Ni
menjadi unsur terbesar kedua dengan kadar sebesar 3,29 %. Evans (1989)
menyatakan bahwa batuan laterit kaya dengan kandungan besi, seperti senyawa
hematite dan goethite.
4.2. Pengaruh Suhu
Pola difraksi sinar-X residu hasil pelindian bijih laterit dengan variasi suhu
ditampilkan pada Gambar 9.
26
Gambar 9. Pola difraksi sinar-X pelindian bijih laterit dengan variasi vuhu
Hubungan pola difraksi sinar-X bijih laterit dengan variasi suhu dinyatakan
pada Gambar 9, dimana dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi suhu pelindian,
maka intensitas puncak pada residu semakin kecil. Hal ini dapat dilihat dari
Gambar 9 dimana residu bijih laterit hasil pelindian didominasi senyawa SiO2 dan
FeOOH, baik sebelum pelindian maupun sesudah pelindian. Kemudian setelah
dilakukan pelindian dengan variasi suhu, terbentuk senyawa Fe2O3. Kumar (2003)
menyatakan bahwa suhu sangat mempengaruhi kemampuan penyeleksian zat
dalam suatu mineral pada proses pelindian. Laju reaksi pelindian dapat meningkat
dua sampai tiga kali lipat setiap kenaikan suhu 10 oC (Levine, 2009). Selain pola
difraksi sinar-X, dianalisis juga persentase senyawa besi dalam residu hasil
pelindian dengan software Match! pada Tabel 3.
27
Tabel 3. Persentase senyawa hasil pelindian dengan variasi suhu
Suhu pelindian (°C) Hematite (%) Magnetite (%) Goethite (%) Quartz (%)
30 17.6 16.6 47.4 18.4
50 17.8 12.4 31.6 38.2
70 9.6 6.3 23.9 60.2
90 8.6 6.9 21.3 63.1
Persentase senyawa besi dalam residu bijih laterit hasil pelindian cenderung
berkurang seiring dengan suhu pelindian yang tinggi. Ini menunjukkan bahwa
besi dalam bijih laterit larut dalam filtrat hasil pelindian. Hal ini juga didukung
oleh data pada Gambar 10, dimana analisis unsur besi dalam residu dilakukan
dengan XRF dan diperoleh bobot yang semakin menurun seiring dengan
meningkatnya suhu pelindian bijih laterit.
Gambar 10. Hasil analisis residu hasil pelindian variasi suhu dengan XRF
Suhu pelindian ditingkatkan dari 30 oC hingga 90 oC , dan bobot besi dalam
residu berkurang ketika dari 4.05 menjadi 0.42 gram. Pengurangan bobot ini
4,05
1,37
0,630,42
0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
3,5
4
4,5
30 50 70 90Bob
ot
bes
id
ala
m r
esid
u (
gra
m)
Suhu pelindian (°C)
28
terjadi karena besi sudah terlarut atau terekstrak ke dalam pelarut yang digunakan,
sehingga besi yang berada pada residu berpindah ke filtrat. Ayanda et al (2011)
menyatakan bahwa temperatur meningkatkan laju reaksi sehingga terjadi interaksi
antar molekul yang lebih tinggi dan senyawa-senyawa dalam bijih laterit menjadi
lebih mudah larut pada pelarut media asam. Dari pelindian yang dilakukan,
diperoleh suhu 90 oC sebagai suhu optimal untuk ekstraksi bijih laterit melalui
pelindian.
4.3. Pengaruh Konsentrasi
Konsentrasi pelarut HCl yang digunakan dalam pelindian bijih laterit adalah
1,7; 2,4; 4 dan 6 M dengan suhu pelindian 90 oC. Pola difraksi sinar-X dari residu
hasil pelindian variasi konsentrasi ditunjukkan Gambar 11.
Gambar 11. Pola difraksi sinar-X pelindian bijih laterit dengan variasi
konsentrasi HCl
Selain pola difraksi sinar-X, dari hasil analisa menggunakan software Match!
juga diperoleh persentase senyawa besi dalam residu hasil pelindian seperti yang
29
ditampilkan pada Tabel 4. Ketika konsentrasi HCl dinaikkan hingga 6 M,
persentase senyawa besi seperti hematite, magnetite, dan goethite cenderung
menurun sedangkan senyawa kuarsa mengalami hal yang sebaliknya. Hal ini
menunjukkan bahwa unsur Fe dalam bijih laterit larut dalam filtrat pada saat
pelindian dengan konsentrasi HCl tinggi. Semakin meningkat konsentrasi pelarut
yang digunakan, maka jumlah mineral yang terlarut menjadi semakin bertambah
(Kumar, 2003).
Tabel 4. Persentase senyawa hasil pelindian dengan variasi konsentrasi HCl
Konsentrasi HCl
(M)
Hematite
(%)
Magnetite
(%)
Goethite
(%)
Quartz
(%)
1.7 17.0 7.7 47.9 27.4
2.4 7.1 4.5 22.5 65.9
4 15.9 3.4 25.6 55.0
6 7.0 7.1 23.8 62.2
Kemudian dianalisis kadar besi yang terdapat di dalam residu dengan
menggunakan XRF. Bobot besi yang terdapat pada residu hasil pelindian dapat
dilihat pada Gambar 12. Kenaikan konsentrasi pelarut HCl menyebabkan bobot
besi dalam residu semakin menurun dari 2.09 gram (HCl 1,7 M) menjadi 0.43
gram (HCl 4 M), Tapi kemudian bobot besi dalam residu meningkat kembali
menjadi 0.68 gram pada pelindian dengan konsentrasi HCl 6 M. Hal ini
disebabkan oleh sebagian besi dalam bijih laterit tidak larut ke dalam filtrat atau
larutan jenuh, sehingga pada konsentrasi 6 M nilai besi dalam residu menjadi
tinggi kembali. Kenaikan konsentrasi meningkatkan jumlah besi yang terekstrak
(Ayanda et al, 2011). Berdasarkan pelindian yang dilakukan, konsentrasi HCl 4 M
menjadi konsentrasi optimal untuk melarutkan besi dalam bijih laterit.
30
Gambar 12. Hasil analisis residu pelindian variasi konsentrasi HCl dengan XRF
4.4. Kinetika Pelindian
Lamanya waktu pelindian bijih laterit dianalisis untuk mengetahui
banyaknya unsur besi yang terekstrak selama proses pelindian. Terdapat empat
variasi suhu berbeda yaitu 30, 50, 70 dan 90 °C. Keempat variasi suhu pelindian
yang berbeda juga dilakukan dengan interval waktu dari mulai 3, 5, 10, 20, 30, 60,
120 dan 240 menit. Variasi suhu dengan interval waktu pada pelindian bijih laterit
dilakukan untuk menentukan nilai energi aktivasi dari pelindian yang dilakukan.
Fraksi mol besi yang terekstrak pada filtrat hasil pelindian bijih laterit dengan
interval waktu pelindian ditampilkan pada Tabel 5.
Fraksi mol besi yang terekstrak dengan nilai tertinggi diperlihatkan Tabel 5
berada pada suhu 90 °C dengan waktu kontak 240 menit. Semakin tinggi suhu dan
waktu kontak maka fraksi mol besi yang terekstrak semakin tinggi. Waktu kontak
yang lama dan suhu yang tinggi dapat meningkatkan kadar besi yang terekstraksi
2,09
0,66
0,43
0,68
0
0,5
1
1,5
2
2,5
1,7 2,4 4 6
Bob
ot
bes
id
ala
m r
esid
u (
gra
m)
Konsentrasi HCl (mol/l)
31
selama proses pelindian (Ayanda et al (2011); Baba et al (2005); Baba et al
(2009); dan Baba et al (2011)).
Tabel 5. Fraksi mol besi yang terekstrak selama pelindian
Waktu Pelindian (Menit) Fraksi Mol Besi Terekstraksi (x10-3)
30° C 50° C 70° C 90° C
3 0,73 2,49 5,72 13
5 0,92 5,96 6,95 14
10 0,96 3,98 14 21
20 1,2 6,95 16,2 16
30 1,37 7,44 15,9 18
60 2,31 12 18 30
120 3,24 16 16,3 19,3
240 6,95 18 19 19,6
Fraksi mol yang diperoleh dapat digunakan untuk menentukan kinetika
reaksi. Kinetika reaksi merupakan studi untuk menentukan kecepatan suatu reaksi
(Berry et al, 2000). Penghitungan kinetika dengan menggunakan model shrinking-
core dengan persamaan di bawah ini,
1 − (1 − 𝛼)1
3⁄ = 𝑘1𝑡 (1)
1 + 2(1 − 𝛼) − 3(1 − 𝛼)2
3⁄ = 𝑘2𝑡 (2)
Persamaan (1) dan (2) digunakan untuk menghitung perilaku pelindian.
Simbol α adalah fraksi mol besi terlarut saat proses pelindian terhadap mol HCl
dan t adalah lama pelindian dalam menit. Persamaan (1) menunjukkan laju
pelindian dikontrol oleh reaksi kimia (chemical reaction control) sedangkan
persamaan (2) menunjukkan laju pelindian dikontrol oleh difusi melalui lapisan
produk (diffusion through product layer control) (Levenspiel, 1999). Data dari
32
persamaan (1) dan (2) akan dibuat ke dalam persamaan garis lurus, sehingga dapat
diperoleh nilai konstanta dari keempat suhu pelindian yang dilakukan.
𝑦 = 𝑚𝑥 + 𝑐 (3)
Nilai 1 − (1 − 𝛼)1
3⁄ terhadap waktu pelindian ditampilkan pada Tabel 6.
Pada suhu 90 °C dan waktu pelindian 240 menit, diperoleh nilai 1 − (1 − 𝛼)1
3⁄
yang tinggi dibandingkan dengan suhu pelindian dan lama waktu kontak yang
rendah. Data pada Tabel 6 diperoleh hasil bahwa semakin lama kontak waktu
pelarut dengan bijih laterit serta suhu pelindian yang tinggi, maka nilai 1 −
(1 − 𝛼)1
3⁄ yang diperoleh juga tinggi.
Tabel 6. Nilai model kinetika chemical reaction controlled terhadap waktu
pelindian
Waktu
(Menit)
1 − (1 − 𝛼)1
3⁄ x10-3
30° C 50° C 70° C 90° C
0 0 0 0 0
3 0,24 0,83 1,91 4,35
5 0,3 1,99 2,32 4,69
10 0,32 1,33 4,69 7,05
20 0,39 2,32 5,43 5,36
30 0,46 2,49 5,33 6,04
60 0,77 4,02 6,04 10,1
120 1,08 5,36 5,46 6,47
240 2,32 6,04 6,37 6,58
Kemudian fraksi mol besi terekstrak dimasukkan ke dalam persamaan 2,
dan nilai 1 + 2(1 − 𝛼) − 3(1 − 𝛼)2
3⁄ terhadap waktu pelindian ditunjukkan
Tabel 6. Nilai persamaan 1 + 2(1 − 𝛼) − 3(1 − 𝛼)2
3⁄ tinggi diperoleh pada suhu
pelindian 90 °C serta waktu pelindian 240 menit. Dari Tabel 7 dapat dilihat bahwa,
33
waktu kontak bijih laterit yang lama serta suhu pelindian tinggi menghasilkan
nilai 1 + 2(1 − 𝛼) − 3(1 − 𝛼)2
3⁄ yang tinggi (Ayanda et al, 2011).
Tabel 7. Nilai model kinetika diffusion reaction controlled terhadap waktu
pelindian
Waktu
(Menit)
1 + 2(1 − 𝛼) − 3(1 − 𝛼)2
3⁄ x 10-6
30° C 50° C 70° C 90° C
0 0 0 0 0
3 0,18 2,07 10,93 56,66
5 0,28 11,87 16,15 65,74
10 0,31 5,29 65,74 148,39
20 0,47 16,15 88,11 85,94
30 0,63 18,51 84,87 108,87
60 1,78 48,26 108,87 304,07
120 3,5 85,94 89,21 125,24
240 16,15 108,87 121,36 129,18
Tabel 6 dan Tabel 7 memperlihatkan bahwa nilai persamaan (1) dan
persamaan (2) semakin meningkat. Data pada Tabel 6 dan Tabel 7 kemudian
dihitung nilai konstantanya, sehingga dapat digunakan untuk menghitung nilai
energi aktivasi (Havlik, 2008) dari pelindian bijih laterit yang dilakukan serta
ditentukan model pelindian yang terjadi pada pelindian bijih laterit.
Tabel 8. Nilai konstanta terhadap suhu resiprokal
Suhu (°C) Konstanta Korelasi (R2)
k1 (x10-3) k2 (x10-6) k1 k2
30 0,2147 1,298 0,7065 0,4664
50 0,7162 12,885 0,9233 0,794
70 0,7368 15,414 0,8326 0,8826
90 0,7082 19,327 0,5182 0,3925
34
Langkah selanjutnya adalah pembuatan grafik ln k terhadap 1/T sesuai
persamaan (3) dimana sumbu X adalah 1/T dan sumbu Y adalah ln k. Huruf T
melambangkan suhu absolut (Kelvin). Penghitungan terhadap nilai konstanta laju
dilakukan dengan menggunakan logaritma natural atau ln. Nilai konstanta pada
Tabel 8 diperoleh dari data pada Tabel 6 dan Tabel 7.
Tabel 9. Nilai ln k terhadap suhu resiprokal
Suhu (K) 1/T x 10-3 (K-1) ln k1 ln k2
363 2,75 -8,45 -13,55
343 2,9 -7,24 -11,26
323 3,09 -7,21 -11,08
303 3,3 -7,25 -10,85
Dari hasil perhitungan dapat diperoleh nilai konstanta k1 dan k2, serta
perhitungan nilai logaritma natural (ln) dari masing-masing konstanta. Data pada
Tabel 9 dibentuk menjadi persamaan garis yang gradiennya digunakan untuk
mencari nilai energi aktivasi dari pelindian yang dilakukan (Ayanda et al (2011);
Baba et al (2005); Baba et al (2009)). Penentuan energi aktivasi dilakukan dengan
cara membuat grafik dari ln k terhadap 1/T berdasarkan persamaan Arrhenius
yakni,
𝑘 = 𝐴 𝑒−𝐸𝑎
𝑅𝑇⁄ (4)
Atau bisa diubah menjadi,
ln 𝑘 = ln 𝐴 −𝐸𝑎
𝑅𝑇 (5)
Dengan nilai ln k pada sumbu Y serta nilai 1/T pada sumbu X dari Tabel 9,
diperoleh Gambar 13 dan Gambar 14. Kemudian dari Gambar 13 dan Gambar 14
diambil nilai gradien atau kemiringannya, untuk dihitung berapa besar energi
35
aktivasi yang dihasilkan dari pelindian bijih laterit sesuai persamaan Arrhenius
(Havlik, 2008).
Nilai koefisien korelasi pada Gambar 13 lebih rendah dibandingkan dengan
nilai koefisien korelasi pada Gambar 14. Hal ini diperlihatkan dari nilai ln k yang
tidak linear dengan meningkatnya nilai 1/T. Ini artinya model shrinking-core
dalam pelindian bijih laterit yang dilakukan, yaitu kontrol secara kimia pada
Gambar 13 kurang berhubungan dibandingkan dengan kontrol secara difusi pada
Gambar 14.
Gambar 13. Grafik pengaruh ln k1 terhadap suhu resiprokal
Setelah dilakukan perhitungan dengan persamaan Arrhenius, energi aktivasi
yang diperoleh bernilai kecil. Pada persamaan k1, diperoleh energi aktivasi
sebesar 3.02 kJ mol-1. Sedangkan pada persamaan k2, diperoleh energi aktivasi
sebesar 6.88 kJ mol-1.
-7,25 -7,21 -7,24
-8,45
y = -0,363x - 6,63
R² = 0,593
-9
-8
-7
-6
-5
-4
-3
-2
-1
0
2,75 2,91 3,09 3,3
ln k
1
1/T x 10-3 (K-1)
36
Havlik (2008) menyatakan bahwa, besar energi aktivasi pada reaksi yang
dikontrol secara kimia berada di atas 42 kJ mol-1 dan secara difusi berada di
kisaran 4-13 kJ mol-1. Free (2013) juga menyatakan bahwa reaksi yang dikontrol
secara difusi memiliki energi aktivasi kurang dari 15 kJ mol-1. Dari penjelasan
tersebut, dapat dikatakan bahwa model shrinking-core yang mempengaruhi proses
pelindian bijih laterit Sulawesi Tenggara adalah kontrol secara difusi. Pelindian
yang dilakukan memiliki nilai energi aktivasi yang rendah, yang menunjukkan
bahwa pelindian bijih laterit dilakukan dengan spontan.
Gambar 14. Grafik pengaruh ln k2 terhadap suhu resiprokal
-10,85 -11,08 -11,26
-13,55
y = -0,828x - 9,615
R² = 0,7259
-16
-14
-12
-10
-8
-6
-4
-2
0
2,75 2,91 3,09 3,3
ln k
2
1/T x 10-3 (K-1)
37
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Dari penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa,
1. Konsentrasi optimum proses pelindian bijih laterit diperoleh pada
konsentrasi HCl 4 M dan suhu pelindian pada 90 °C.
2. Berdasarkan model kinetika reaksi kimia heterogen, pelindian bijih laterit
Sulawesi Tenggara dikontrol oleh model shrinking core melalui reaksi
diffusion through product layer, dimana energi aktivasi dari pelindian yang
dilakukan bernilai 6,88 kJ mol-1. Hasil ini menunjukkan bahwa pelindian
bijih laterit dalam media HCL dapat berjalan dengan spontan dan signifikan
karena energi aktivasi reaksi pelindian yang relatif rendah.
5.2. Saran
Untuk membandingkan performa antar media asam pada pelindian bijih
laterit, diperlukan penelitian lanjutan mengenai pelindian bijih laterit dengan
menggunakan media asam jenis lain.
41
LAMPIRAN
Lampiran 1. Bagan alir proses penelitian
42
Lampiran 2. Perhitungan dalam proses pelindian
A. Pengenceran Asam Klorida sebagai Pelarut
1. Diambil sebanyak 100 ml aquades ke dalam gelas beaker
2. Diambil juga HCl pekat (37% atau 12 M) sebanyak 50 ml
3. Kedua larutan dicampur sehingga diperoleh larutan HCl yang encer
V1 x M1 = V2 x M2
150 mL x M1 = 50 mL x 12 M
𝑀1 =50 𝑚𝐿 𝑥 12 𝑀
150 𝑚𝐿
M1 = 4 M
𝑀 =𝑛
𝑉
4 𝑀 =𝑛
0,15 𝐿
𝑛 = 4 𝑀 𝑥 0,15 𝐿
𝑛 = 0,6 𝑚𝑜𝑙
B. Penghitungan Konsentrasi Filtrat
𝑚𝑜𝑙 𝐹𝑒 = 𝐹𝑒 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑓𝑖𝑙𝑡𝑟𝑎𝑡 (𝑝𝑝𝑚) 𝑥 𝐹𝑃 𝑥 1
𝐴𝑟 𝐹𝑒𝑥 𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑝𝑒𝑙𝑎𝑟𝑢𝑡 (𝐿)
𝑚𝑜𝑙 𝐹𝑒 = 𝑝𝑝𝑚 𝐹𝑒 𝑥 𝐹𝑃 𝑥 1
55,85 𝑔𝑟𝑎𝑚/𝑚𝑜𝑙𝑥 0,15 𝐿
43
Tabel 10. Konsentrasi besi dalam filtrat hasil pelindian dengan variasi waktu
Suhu
(°C)
Waktu
(menit)
Konsentrasi
(ppm)
Faktor
Pengenceran
Konsentrasi
sebenarnya
(mol)
30
3 0,65 250x 4,36 x 10-4
5 0,82 250x 5,50 x 10-4
10 0,86 250x 5,77 x 10-4
20 1,07 250x 7,18 x 10-4
30 1,23 250x 8,25 x 10-4
60 2,07 250x 1,39 x 10-3
120 2,91 250x 1,95 x 10-3
240 1,27 1250x 4,2 x 10-3
50
3 2,44 250x 1,5 x 10-3
5 1,1 1250x 3,6 x 10-3
10 3,71 250x 2,4 x 10-3
20 1,27 1250x 4,2 x 10-3
30 1,36 1250x 4,5 x 10-3
60 1,1 2500x 7,35 x 10-3
120 1,47 2500x 9,9 x 10-3
240 1,64 2500x 0,011
70
3 1,05 1250x 3,45 x 10-3
5 1,27 1250x 4,2 x 10-3
10 1,28 2500x 8,55 x 10-3
20 1,49 2500x 9,9 x 10-3
30 1,46 2500x 9,75 x 10-3
60 1,65 2500x 0,011
120 1,59 2500x 0,01
240 1,81 2500x 0,012
90
3 1,24 1250x 8,25 x 10-3
5 1,3 2500x 8,7 x 10-3
10 1,92 2500x 0,013
20 1,57 2500x 0,01
30 1,65 2500x 0,011
60 2,82 2500x 0,019
120 1,76 2500x 0,01185
240 1,81 2500x 0,012
44
C. Fraksi Mol Besi Terhadap Mol HCl
Tabel 11. Fraksi mol dalam filtrat hasil pelindian dengan variasi waktu
Suhu
(°C)
Waktu
(menit)
Konsentrasi
(mol) Fraksi Mol
30
3 4,36 x 10-4 7.26 x 10-4
5 5,50 x 10-4 9.16 x 10-4
10 5,77 x 10-4 9.6 x 10-4
20 7,18 x 10-4 1.19 x 10-4
30 8,25 x 10-4 1.37 x 10-4
60 1,39 x 10-3 2.31 x 10-3
120 1,95 x 10-3 3.24 x 10-3
240 4,2 x 10-3 6.95 x 10-3
50
3 1,5 x 10-3 2.49 x 10-3
5 3,6 x 10-3 5.96 x 10-3
10 2,4 x 10-3 3.98 x 10-3
20 4,2 x 10-3 6.95 x 10-3
30 4,5 x 10-3 7.44 x 10-3
60 7,35 x 10-3 0.012
120 9,9 x 10-3 0.016
240 0,011 0.018
70
3 3,45 x 10-3 5.72 x 10-3
5 4,2 x 10-3 6.95 x 10-3
10 8,55 x 10-3 0.014
20 9,9 x 10-3 0.0162
30 9,75 x 10-3 0.0159
60 0,011 0.018
120 0,01 0.0163
240 0,012 0.019
90
3 8,25 x 10-3 0.013
5 8,7 x 10-3 0.014
10 0,013 0.021
20 0,01 0.016
30 0,011 0.018
60 0,019 0.03
120 0,01185 0.0193
240 0,012 0.0196
45
𝑋𝐹𝑒 =𝑛𝐹𝑒
𝑛𝐹𝑒 + 𝑛𝐻𝐶𝑙
Dimana,
XFe = Fraksi mol besi
nFe = Mol besi
nHCl = Mol HCl
D. Kinetika Pelindian
1. Fraksi mol tiap interval waktu pelindian dimasukkan ke dalam dua
persamaan shrinking-core yaitu model chemical reaction control (1-(1-
α)1/3) dan model diffusion reaction control (1+2(1-α)-3(1-α)2/3) sehingga
diperoleh dua tabel data. Fraksi mol dinyatakan dengan simbol α.
2. Dibuat grafik dari dua tabel tersebut menggunakan Microsoft Excel dengan
interval waktu pelindian sebagai sumbu X dan hasil perhitungan dengan
persamaan shrinking-core sebagai sumbu Y.
3. Dari grafik yang ditampilkan, terdapat persamaan seperti y = mx + c. Nilai
m merupakan gradien atau kemiringan garis. Nilai m ini digunakan sebagai
nilai k atau konstanta untuk menghitung energi aktivasi yang dihasilkan
dari pelindian yang dilakukan.
4. Pelindian yang dilakukan menggunakan empat variasi suhu yaitu 30°, 50°,
70° dan 90° C, sehingga terdapat 4 grafik dan ditambah 4 grafik lagi
dikarenakan terdapat dua persamaan model shrinking-core yang digunakan
untuk mencari nilai konstanta.
46
Tabel 12. Nilai model shrinking core filtrat hasil pelindian variasi waktu
Suhu
(°C)
Waktu
(menit)
Fraksi
Mol 1-(1-α)1/3 1+2(1-α)-3(1-α)2/3
30
0 7.26 x 10-4 0 0
3 9.16 x 10-4 0,24 0,18
5 9.6 x 10-4 0,3 0,28
10 1.19 x 10-4 0,32 0,31
20 1.37 x 10-4 0,39 0,47
30 2.31 x 10-3 0,46 0,63
60 3.24 x 10-3 0,77 1,78
120 6.95 x 10-3 1,08 3,5
240 2.49 x 10-3 2,32 16,15
50
0 5.96 x 10-3 0 0
3 3.98 x 10-3 0,83 2,07
5 6.95 x 10-3 1,99 11,87
10 7.44 x 10-3 1,33 5,29
20 0.012 2,32 16,15
30 0.016 2,49 18,51
60 0.018 4,02 48,26
120 5.72 x 10-3 5,36 85,94
240 6.95 x 10-3 6,04 108,87
70
0 0.014 0 0
3 0.0162 1,91 10,93
5 0.0159 2,32 16,15
10 0.018 4,69 65,74
20 0.0163 5,43 88,11
30 0.019 5,33 84,87
60 0.013 6,04 108,87
120 0.014 5,46 89,21
240 0.021 6,37 121,36
90
0 0.016 0 0
3 0.018 4,35 56,66
5 0.03 4,69 65,74
10 0.0193 7,05 148,39
20 0.0196 5,36 85,94
30 7.26 x 10-4 6,04 108,87
60 9.16 x 10-4 10,1 304,07
120 9.6 x 10-4 6,47 125,24
240 1.19 x 10-4 6,58 129,18
5. Keempat nilai gradien dari masing-masing grafik tiap persamaan model
shrinking core digunakan sebagai nilai konstanta. Nilai konstanta
dimasukkan ke dalam persamaan ln 𝑘 = ln 𝐴 −𝐸𝑎
𝑅𝑇, dengan ln k sebagai
47
sumbu Y dan 1/T sebagai sumbu X. Hasil perhitungan persamaan
shrinking core dapat dilihat pada Tabel 9.
6. Dari grafik yang ditampilkan akan muncul persamaan sama seperti dengan
y = mx + c. Nilai m dari persamaan baru ini adalah−𝐸𝑎
𝑅 dimana R adalah
konstanta gas (8,314 J/mol K) dan Ea adalah Energi aktivasi. Nilai m
untuk menghitung energi aktivasi dapat dilihat pada Gambar 11 dan 12.
𝑚 = −𝐸𝑎
𝑅
𝑚 = −𝐸𝑎
8,314𝐽
𝑚𝑜𝑙 𝐾
K1 (1-(1-α)1/3)
𝐸𝑎 = −8.314 𝐽 𝑚𝑜𝑙−1𝐾−1 𝑥 − 0.363 𝑥 1000 𝐾
𝐸𝑎 = 3017.982 𝐽 = 3.02 𝑘𝐽 𝑚𝑜𝑙−1
K2 (1+2(1-α)-3(1-α)2/3)
𝐸𝑎 = −8.314 𝐽 𝑚𝑜𝑙−1𝐾−1 𝑥 − 0.828 𝑥 1000 𝐾
𝐸𝑎 = 6883.992 = 6.88 𝑘𝐽 𝑚𝑜𝑙−1
E. Persen Ekstraksi
Nilai persen ekstraksi dalam filtrat hasil pelindian diperoleh dari
banyaknya besi terekstrak dari proses pelindian dengan HCl. Lebih lanjut persen
ekstraksi dijelaskan oleh rumus berikut,
% 𝑒𝑘𝑠𝑡𝑟𝑎𝑘𝑠𝑖 𝑏𝑒𝑠𝑖 = 𝑏𝑒𝑠𝑖 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑝𝑒𝑟𝑜𝑙𝑒ℎ (𝑔𝑟𝑎𝑚)
𝑏𝑒𝑠𝑖 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑏𝑖𝑗𝑖ℎ 𝑙𝑎𝑡𝑒𝑟𝑖𝑡 (𝑔𝑟𝑎𝑚) 𝑥 100%
48
Persen ekstraksi besi dalam filtrat hasil pelindian bijih laterit dengan HCl
ditampilkan pada tabel 13. Kadar besi dalam bijih laterit 15 gram yang dianalisis
dengan XRF berjumlah 30,11 % atau berjumlah 4,51 gram. Persen ekstraksi
dihitung dari filtrat besi saat diambil pada menit ke-240.
𝑚 = 𝑛 𝑥 𝐴𝑟
Dimana, m = massa unsur (gram) n = mol zat
Ar = massa atom relatif unsur
Tabel 13. Persen ekstraksi besi filtrat hasil pelindian bijih laterit
Suhu pelindian
(°C)
Mol besi Jumlah besi dalam
filtrat (gram)
Persen ekstraksi
(%)
30 4.2 x 10-3 0.23 5.09
50 0.11 0.61 13.52
70 0.012 0.67 14.85
90 0.012 0.67 14.85
Lampiran 3. Pola difraksi sinar-X bijih laterit beserta residu hasil pelindian
Gambar 15. Pola difraksi sinar-X bijih laterit sebelum pelindian
49
Gambar 16. Pola difraksi sinar-X pelindian bijih laterit suhu 30 °C
Gambar 17. Pola difraksi sinar-X pelindian bijih laterit suhu 50 °C
50
Gambar 18. Pola difraksi sinar-X pelindian bijih laterit suhu 70 °C
Gambar 19. Pola difraksi sinar-X pelindian bijih laterit suhu 90 °C
51
Gambar 20. Pola difraksi sinar-X pelindian bijih laterit konsentrasi HCl 6 M
Gambar 21. Pola difraksi sinar-X pelindian bijih laterit konsentrasi HCl 4 M
52
Gambar 22. Pola difraksi sinar-X pelindian bijih laterit konsentrasi HCl 2.4 M
Gambar 23. Pola difraksi sinar-X pelindian bijih laterit konsentrasi HCl 1.7 M
53
Lampiran 4. Hasil analisis komposisi kimia bijih laterit
54
Lampiran 5. Hasil analisis komposisi kimia bijih laterit setelah pelindian dengan
suhu 30 °C
55
Lampiran 6. Hasil analisis komposisi kimia bijih laterit setelah pelindian dengan
suhu 50 °C
56
Lampiran 7. Hasil analisis komposisi kimia bijih laterit setelah pelindian dengan
suhu 70 °C
57
Lampiran 8. Hasil analisis komposisi kimia bijih laterit setelah pelindian dengan
suhu 90 °C
58
Lampiran 9. Hasil analisis komposisi kimia bijih laterit setelah pelindian dengan
konsentrasi HCl 6 M
59
Lampiran 10. Hasil analisis komposisi kimia bijih laterit setelah pelindian
dengan konsentrasi HCl 4 M
60
Lampiran 11. Hasil analisis komposisi kimia bijih laterit setelah pelindian
dengan konsentrasi HCl 2.4 M
61
Lampiran 12. Hasil analisis komposisi kimia bijih laterit setelah pelindian
dengan konsentrasi HCl 1.7 M