pelaksanaan tugas dan kewenangan penyidik polri dalam...

Download PELAKSANAAN TUGAS DAN KEWENANGAN PENYIDIK POLRI DALAM ...pasca.unila.ac.id/wp-content/uploads/2013/07/3-Hukum-Dayat-35-52.pdf · produk yang bermanfaat bagi masyarakat, ... mempunyai

If you can't read please download the document

Upload: vudan

Post on 06-Feb-2018

225 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

  • Jurnal Kebijakan dan Pembangunan, Vol. 1 No. 2 (2014) 35-52

    35

    PELAKSANAAN TUGAS DAN KEWENANGAN PENYIDIK

    POLRI DALAM MELAKUKAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA

    PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

    Dayat Hadijaya1, Nikamah Rosidah

    2, Muhammad Akib

    2

    1Mahasiswa Program Magister Hukum, Program Pascasarjana, Universitas Lampung

    2 Dosen Program Magister Hukum, Program Pascasarjana, Universitas Lampung

    Abstract :The difficulty of the police investigators in investigating environmental crime is caused by

    many factors that high financial costs. The problem in this research is how the duties and authority,

    and what factors become obstacles for national police investigators in investigating environmental

    crime such as B3 waste pollution in lampung province. The approach used in this study was trough

    two approaches, namely: a jurical normative approach, the study of literature related to the problem.

    The next approach is empirical juridical approach to field research by looking at the reality.The

    results showed that the duties and authorities of the police investigators in the investigation of

    criminal affenses in the form of environmental pollution B3 in Lampung Police jurisdiction goes by

    according to the provisions in the Criminal Procedure Code (KUHAP), Law No. 2 in 2002 on RI

    police, and law No. 32 in 2009 on the protection and management of the environment. But the

    implementation of the police investigators and PPNS-LH still have to coordinate for an expert witness

    with other government institutions in accordance with the field so it will take a long time and is not

    efficient. The constraints in the investigation of B3 waste pollution is waste sampling of an industry is

    not easy, not simple proof material, inadequate knowledge and skills of investigators in particular

    about the environment associated with the B3 waste pollution, inadequate infrastructure such as

    laboratories that make the workers was difficult to classify the pollution that has occurred.Technical

    guidelines should be made more clearly and firmly associated with the duties and authority of

    investigation in particular against environmental crime between police investigators and PPNS-LH.

    Next for the police of Lampung province should send members or investigators for training and

    education, especially related to environmental crime.

    Keyword : duties and authority, environmental crime, police Investigators

    PENDAHULUAN

    Kegiatan pembangunan yang makin

    meningkat sebagai upaya peningkatan

    kesejahteraan hidup yang bertumpu pada

    pembangunan industri yang diantaranya

    memakai berbagai jenis bahan kimia dan

    zat radio aktif. Disamping menghasilkan

    produk yang bermanfaat bagi masyarakat,

    industrialisasi juga menimbulkan ekses,

    antara lain dihasilkannya limbah bahan

    berbahaya dan beracun (limbah B3), yang

    apabila dibuang kedalam media lingkung-

    an hidup dapat mengancam lingkungan

    hidup, kesehatan, dan kelangsungan hidup

    manusia serta makhluk hidup lain.

    Berbagai jenis limbah B3 yang di-

    buang langsung ke lingkungan merupakan

    sumber pencemaran dan perusakan ling-

    kungan. Untuk menghindari terjadinya

    dampak akibat limbah B3 diperlukan

    suatu sistem pengelolaan yang terintegrasi

    dan berkesinambungan. Upaya pengelo-

    laan limbah B3 tersebut merupakan salah

    satu usaha dalam pelaksanaan pem-

    bangunan berkelanjutan yang berwawasan

    lingkungan hidup.

    Sistem manajemen pengelolaan

    yang baik perlu diterapkan agar usaha

    tersebut dapat berjalan dengan baik pula,

    terutama pada sektor-sektor kegiatan yang

    sangat berpotensi menghasilkan limbah

  • Jurnal Kebijakan dan Pembangunan, Vol. 1 No. 2 (2014) 35-52

    36

    B3 seperti sektor Industri, rumah sakit dan

    pertambangan. Hal ini dapat dilaksanakan

    dengan memberlakukan peraturan perun-

    dang-undangan lingkungan hidup sebagai

    dasar dalam pelaksanaannya. Dengan

    diberlakukannya peraturan tersebut, maka

    hak, kewajiban dan kewenangan dalam

    pengelolaan limbah B3 oleh setiap

    orang/badan usaha maupun organisasi

    kemasyarakatan dijaga dan dilindungi oleh

    hukum.

    Indonesia dengan wilayah negara

    yang luas tentu memiliki masalah

    lingkungan yang kompleks dan perlu

    mendapat perhatian serius. Terjadinya

    kerusakan dan pencemaran lingkungan di

    Indonesia akan membawa dampak ter-

    hadap kehidupan rakyat Indonesia bahkan

    juga rakyat negara tetangga kita. Lihatlah

    bagaimana Malaysia dan Singapura mem-

    protes pemerintah Indonesia atas asap

    kebakaran hutan Indonesia yang datang ke

    wilayah negara tersebut. Pepohonan di

    hutan ditebang tanpa ada upaya menanam

    kembali, sumber daya mineral digali dan

    diserap sementara limbah pertambangan

    yang mengandung bahan berbahaya dan

    beracun (B3) dibuang sesukanya, penang-

    kapan ikan dengan cara meracuni atau

    sistem peledakan, sampah-sampah di-

    buang didaerah aliran air dan sebagainya.

    Usaha menegakkan hukum ling-

    kungan dewasa ini memang dihadapkan

    sejumlah kendala. Pertama, masih terdapat

    perbedaan persepsi antara aparatur pene-

    gak hukum dalam memahami dan me-

    maknai peraturan perundang-undangan

    yang ada. Kedua, biaya untuk menangani

    penyelesaian kasus lingkungan hidup

    terbatas. Ketiga, membuktikan telah ter-

    jadi pencemaran atau perusakan ling-

    kungan bukanlah pekerjaan mudah. Era

    reformasi dapat dipandang sebagai

    peluang yang kondusif untuk mencapai

    keberhasilan dalam penegakan hukum

    lingkungan.

    Masalah pencemaran sungai khu-

    susnya oleh industri di Provinsi Lampung

    tampaknya merupakan masalah yang

    seakan tiada akhir. Dari waktu ke waktu,

    tahun ke tahun telinga kita seringkali

    mendengar teriakan penduduk khususnya

    yang bermukim disekitar daerah aliran

    sungai baik Way Seputih, Way Tulang

    Bawang, Way Pangubuan, dan lain-lain.

    tentang matinya ikan-ikan di sungai, di

    kerambah, keluhan gatal-gatal pada kulit

    mereka setelah mandi di sungai, rusaknya

    daerah pertanian/sawah, dan lain-lain.

    Konon kabarnya dari dahulu masyarakat

    disana hampir tidak pernah mengalami hal

    seperti itu, namun semenjak kehadiran

    beberapa pabrik/industri, baik industry

    singkong/tapioka, gula, nanas, Crde Palm

    Oil (CPO), yang berarti minyak sawit

    mentah, seringkali air sungai mereka

    menjadi keruh dan berbusa dengan warna

    coklat kehitam-hitaman, belum lagi aroma

    bau tidak sedap yang terbawa angin yang

    biasanya berasal dari pabrik singkong

    menerpa pemukiman mereka sudah

    menjadi santapan sehari-hari. Dari catatan

    Walhi Lampung, selama kurun waktu 5

    tahun terakhir sedikitnya telah terjadi 9

    kali kasus pencemaran oleh industri

    khususnya yang berada di Lampung

    Tengah, Tulang Bawang, Lampung

    Timur, Lampung Selatan dan Lampung

    Utara. Jumlah itu barangkali baru yang

    terungkap dan di ekspose oleh media,

    dibalik itu angkanya mungkin jauh lebih

    besar mengingat banyaknya jumlah

    industri yang tersebar di wilayah ini.

    Menurut sumber Wahana Lingkungan

    Hidup (WALHI) Lampung total jumlah

    industri di Provinsi Lampung adalah

    sebanyak 193 buah yang umumnya adalah

    berupa Agroindustri, di mana 160 buah

    merupakan Penanaman Modal Dalam

    Negeri (PMDN) dan 33 buah Penanaman

    Modal Asing (PMA), baik skala besar,

    menengah maupun kecil. Dari jumlah itu

    sebagian besar merupakan industri

    singkong/tapioka (33 buah), gula (6 buah),

    nanas, sawit/CPO, karet, dan yang

    kesemuanya itu bila pengelolaan

    lingkungannya dilakukan secara tidak

  • Jurnal Kebijakan dan Pembangunan, Vol. 1 No. 2 (2014) 35-52

    37

    hati-hati sangat berpotensi dan riska sekali

    menimbulkan pencemaran lingkungan.1

    Tragisnya setiap kali terjadi kasus

    pencemaran selama itu pula yang selalu

    menjadi korban adalah rakyat kecil/-

    nelayan yang notabene hidupnya sangat

    tergantung dari apa apa yang bisa

    diberikan oleh sungai. Tragisnya lagi

    selama itu pula tidak ada satupun pihak

    yang merasa bersalah dan bertang-

    gungjawab. Tidak perusahaan, tidak

    pemerintah, lantas siapa? Salah satu

    contoh pencemaraan lingkungan yang

    diduga akibat pembuangan limbah dari PT

    Sungai Mas Agung Abadi di Kabupaten

    Tulang Bawang Barat.2

    Problem lingkungan hingga kini

    terus menjadi isu yang selalu aktual dan

    belum tertanggulangi, terlebih di era

    reformasi yang tak luput pula dari tuntutan

    demokratisasi dan transparansi. Dalam

    rangka mengantisipasi kian meluasnya

    dampak kontraproduktif terhadap ling-

    kungan khususnya akibat perkembangan

    dunia industri yang pesat maka penegakan

    hukum di bidang lingkungan hidup

    menjadi mutlak diperlukan. Segenap

    stakeholders harus mempunyai tekad

    untuk memelihara lingkungan dari keme-

    rosotan fungsi yang senantiasa meng-

    ancam kehidupan masa kini dan masa

    mendatang. Hukum lingkungan dengan

    demikian, mempunyai peran yang sangat

    urgen dalam membantu mewujudkan

    pembangunan berkelanjutan.

    Penyidik Pegawai Negeri Sipil

    (PPNS)sebagai institusi di luar Polri untuk

    membantu tugas-tugas kepolisian dalam

    melakukan penyidikan dengan tegas diatur

    dalam Kitab Undang-undang Hukum

    Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor

    2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara

    Republik Indonesia.Pasal 94 ayat (1)

    mengatur bahwa:

    1 http://panisean.wordpress.com, diakses

    pada tanggal 26 Oktober 2013 2 http://lampung.tribunnews.com, diakses

    pada tanggal 26 Oktober 2013

    Selain penyidik pejabat polisi Negara

    Republik Indonesia, pejabat pegawai

    negeri sipil tertentu di lingkungan instansi

    pemerintah yang lingkup tugas dan

    tanggung jawabnya di bidang

    perlindungan dan pengelolaan lingkungan

    hidup diberi wewenang sebagai penyidik

    sebagaimana dimaksud dalam Hukum

    Acara Pidana untuk melakukan

    penyidikan tindak pidana lingkungan

    hidup.

    Ketentuan pada Pasal 94 ayat (1)

    seharusnya memberi batasan secara jelas

    tentang pihak yang berwenang untuk

    melakukan penyidikan sengketa lingkung-

    an hidup, sehingga tidak menimbulkan

    sengketa kewenangan diantara Polri dan

    PPNS.Hal ini juga bisa dalam penjelasan

    ketentuan tersebut, dimana dalam pen-

    jelasannya di katakan cukup jelas. Tetapi

    justru ketentuan yang ada dalam Pasal 94

    ayat (1) menimbulkan multitafsir (tidak

    jelas).

    Berdasarkan hal tersebut di atas

    maka penulis tertarik untuk membahas

    permasalahan Polri dalam melakukan

    penyidikan tindak pidana lingkungan

    hidup yang diberjudul Pelaksanaan Tugas

    dan Kewenangan Penyidik Polri dalam

    Melakukan Penyidikan Tindak Pidana

    Pengelolaan Lingkungan Hidup (Studi

    Pencemaran Limbah B3 di Provinsi

    Lampung).

    METODE PENELITIAN

    Pendekatan yang digunakan dalam

    penelitian ini adalah melalui dua

    pendekatan, yaitu:

    1. Pendekatan Yuridis Normatifadalah pendekatan yang dilakukan dalam ben-

    tuk untuk mencari kebenaran dengan

    melihat asas-asas dalam ketentuan baik

    masalah perundangan, teori-teori,

    konsep-konsep serta peraturan yang

    berkaitan dengan permasalahan. Pende-

    katan ini dimaksudkan untuk mem-

    peroleh gambaran dan pemahaman

    http://panisean.wordpress.com/

  • Jurnal Kebijakan dan Pembangunan, Vol. 1 No. 2 (2014) 35-52

    38

    yang jelas dan benar terhadap per-

    masalahan yang akan dibahas.

    2. Pendekatan Yuridis Empiris adalah pendekatan yang dilakukan dengan

    cara mengadakan penelitian lapangan

    dengan melihat kenyataan yang ada

    misalnya dalam prilaku hukum,

    kepatuhan hukum dan lainnya yang

    terdapat di lingkungan masyarakat

    serta penegak hukum.

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    A. Pelaksanaan Tugas dan Kewenangan Penyidik Polri dalam

    Melakukan Penyidikan Tindak

    Pidana Lingkungan Hidup Berupa

    Pencemaran Limbah B3di Provinsi

    Lampung

    Penyidikan merupakan salah satu

    Tugas Pokok Polri dalam rangka

    melaksanakan penegakan hukum yang

    didasarkan pada ketentuan Pasal 13 huruf

    (b) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002

    tentang Kepolisian Negara Republik

    Indonesia. Sementara dalam kaitannya

    dengan Polri sebagai penyidik didasarkan

    kepada ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf

    (g) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002

    tentang Kepolisian Negara Republik

    Indonesia, yang menyatakan bahwa

    Kepolisian Negara Republik Indonesia

    bertugas melakukan penyelidikan dan

    penyidikan terhadap semua tindak pidana

    sesuai dengan hukum acara pidana dan

    peraturan perundang-undangan lainnya.

    Jadi dapat dikatakan bahwa Undang-

    undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang

    Kepolisian Negara Republik Indonesia

    memberikan wewenang kepada Polri

    untuk melakukan tugas penyelidikan dan

    penyidikan, namun tidak secara eksplisit

    mengatur mengenai penyelidikan dan

    penyidikan, sehingga Undang-undang

    Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian

    Negara Republik Indonesia ini masih tetap

    mengacu kepada KUHAP maupun

    peraturan perundangan lainnya yang

    berkaitan dengan penyelidikan dan

    penyidikan.

    Berkaitan dengan hal di atas,

    berikut ini diuraikan beberapa bentuk

    kegiatan pelaksanaan penyidikan sebagai

    berikut:

    1. Pelaksanaan

    Penyidikan tindak pidana

    dilaksanakan setelah diketahui bahwa

    sesuatu peristiwa yang terjadi

    merupakan tindak pidana:

    a. Diketahuinya Tindak Pidana Dasar hukumnya adalah Pasal 102

    ayat (2) dan (3) KUHAP; Pasal 106

    KUHAP; Pasal 108 KUHAP; Pasal

    109 ayat (1) KUHAP; Pasal 111

    KUHAP. Suatu Tindak Pidana

    dapat diketahui melalui: Laporan,

    Pengaduan, tertangkap tangan,

    diketahui langsung oleh petugas

    Polri.

    Setiap petugas Polri tanpa

    menunggu surat perintah dapat

    melakukan tindakan penangkapan,

    larangan meninggalkan tempat,

    penggeledahan dan lain sebagainya

    seperti dimaksud dalam Pasal 5 ayat

    (1) huruf (b) KUHAP ketika terjadi

    tindak pidana tertangkap tangan.

    Terhadap tindakan yang dilakukan,

    petugas tersebut wajib membuat

    berita acara dan melaporkannya

    kepada penyidik sedaerah hukum.

    Penyidikan yang mengetahui,

    menerima laporan atau pengaduan

    tentang terjadinya suatu peristiwa

    yang patut diduga merupakan tindak

    pidana wajib segera melakukan

    tindakan penyidikan yang

    diperlukan.

    Setiap orang yang mengalami,

    melihat, menyaksikan dan atau

    menjadi korban peristiwa yang

    merupakan tindak pidana berhak

    untuk mengajukan laporan atau

    pengaduan kepada kepolisian baik

    lisan maupun tertulis. Begitu juga

    bagi orang yang mengetahui

    permufakatan jahat untuk me-

  • Jurnal Kebijakan dan Pembangunan, Vol. 1 No. 2 (2014) 35-52

    39

    lakukan tindak pidana, seketika itu

    juga agar melaporkan hal tersebut

    kepada kepolisian. Kemudian pega-

    wai negeri dalam rangka melak-

    sanakan tugasnya yang mengetahui

    tentang terjadinya peristiwa yang

    merupakan tindak pidana wajib

    segera melaporkan hal itu kepada

    kepolisian. Laporan atau pengaduan

    yang diajukan secara tertulis harus

    ditanda-tangani oleh pelapor atau

    pengadu. Laporan atau pengaduan

    yang diajukan secara lisan harus

    dicatat oleh penyidik dan

    ditandatangani oleh pelapor atau

    pengadu dan penyidik. Setelah

    menerima laporan atau pengaduan,

    penyelidik atau penyidik harus

    memberikan surat tanda penerimaan

    laporan atau pengaduan kepada

    yang bersangkutan. Dalam hal

    penyidik telah mulai melakukan

    penyidikan suatu peristiwa yang

    merupakan tindak pidana, penyidik

    memberitahukan hal itu kepada

    penuntut umum.

    b. Pelaksanaan Penyidikan

    Setelah diketahui bahwa suatu

    peristiwa yang terjadi diduga atau

    merupakan tindak pidana, segera

    dilakukan penyidikan melalui

    kegiatan-kegiatan penyelidikan, pe-

    nindakan, pemeriksaan serta pen-

    yelesaian dan penyerahan berkas

    perkara. Yang dapat dilakukan oleh

    Penyelidikan Reserse, yang menjadi

    dasasr hukumnya adalah: Pasal 5

    KUHAP; Pasal 9 KUHAP; Pasal 75

    KUHAP; Pasal 102 s/d 105

    KUHAP; Pasal 111 KUHAP.

    Petugas Polri mempunyai

    kewewenangan menerima laporan

    atau pengaduan tentan adanya

    tindak pidana, mencaru keterangan

    dan barang bukti, menyuruh

    berhenti seorang yang dicurigai dan

    menanyakan serta memeriksa tanda

    pengenal diri, serta melakukan

    tindakan lain menurut hukum yang

    bertanggung jawab. Atas perintah

    penyidik dapat melakukan tindakan

    berupa: Penangkapan, larangan

    meninggalkan tempat

    penggeledahan dan penyitaan,

    Pemeriksaan dan penyitaan surat,

    Mengambil sidik jari dan memotret

    seorang, Membawa dan

    menghadapkan seorang pada

    penyidik.

    Berita acara dibuat untuk

    setiap tindakan tentang: Peme-

    riksaan tersangka; Penangkapan;

    Penahanan; Penggeledahan; Pema-

    sukan rumah; Penyitaan benda;

    Pemeriksaan surat; Pemeriksaan

    saksi; Pemeriksaan di tempat

    kejadian; Pelaksanaan penetapan

    dan putusan pengadilan; Pelak-

    sanaan tindakan lain sesuai dengan

    ketentuan dalam undang-undang.

    Berita acara dibuat oleh pejabat

    yang bersangkutan dalam mela-

    kukan tindakan tersebut dan dibuat

    atas kekuatan sumpah jabatan.

    Berita acara tersebut selain

    ditandatangani oleh pejabat tersebut

    ditandatangani pula oleh semua pi-

    hak yang terlibat dalam tindakan

    tersebut.

    Penyelidikan yang menge-

    tahui, menerima laporan atau

    pengaduan tentang terjadinya suatu

    peristiwa yang patut diduga

    merupakan tindak pidana wajib

    segera melakukan tindakan penyeli-

    dikan yang diperlukan. Dalam hal

    tertangkap tangan tanpa menunggu

    perintah penyidik, penyelidik wajib

    segera melakukan tindakan yang

    diperlukan dalam rangka

    penyelidikan dan penyelidik wajib

    membuat berita acara dan

    melaporkannya kepada penyidik

    sedaerah hukum.

    Laporan atau pengaduan yang

    diajukan secara tertulis harus

    ditandatangani oleh pelapor atau

  • Jurnal Kebijakan dan Pembangunan, Vol. 1 No. 2 (2014) 35-52

    40

    pengadu. Laporan atau pengaduan

    yang diajukan secara lisan harus

    dicatat oleh penyelidik dan ditanda-

    tangani oleh pelapor atau pengadu

    dan penyelidik. Dalam hal pelapor

    atau pengadu tidak dapat menulis,

    hal itu harus disebutkan sebagai

    catatan dalam laporan atau penga-

    duan tersebut. Dalam melaksanakan

    tugas penyelidikan, penyelidik wa-

    jib menunjukkan tanda pengenal-

    nya. Dalam melaksanakan tugas

    penyelidikan, penyelidik dikoor-

    dinasi, diawasi dan diberi petunjuk

    oleh penyidik.

    2. Penindakan

    Penindakan adalah setiap tindakan

    hukum yang dilakukan terhadap orang

    maupun benda yang ada hubungannya

    dengan tindak pidana yang terjadi.

    Berkaitan dengan hal di atas, tindakan

    hukum tersebut antara lain, sebagai

    berikut:

    a. Pemanggilan Tersangka dan Saksi

    Yang menjadi dasar

    hukumnya adalah Undang-undang

    Nomor 8 Tahun 1981 tentang

    Hukum Acara Pidana, yakni Pasal 7

    ayat (1) huruf (g) dan (h) KUHAP;

    Pasal 11 KUHAP; Pasal 112

    KUHAP; Pasal 113 KUHAP; Pasal

    116 ayat (4) KUHAP. Undang-

    undang Nomor 2 Tahun 2002

    tentang Kepolisian Negara Republik

    Indonesia; Peraturan Pemerintah

    Nomor 27 Tahun 1983 tentang

    Pelaksanaan Hukum Acara Pidana;

    Peraturan lain-lainnya.

    Penyidik Polri mempunyai ke-

    wenangan memanggil orang untuk

    didengar dan diperiksa sebagai ter-

    sangka atau saksi serta menda-

    tangkan orang ahli yang diperlukan

    dalam hubungannya dengan peme-

    riksaan perkara. Penyidik pembantu

    mempunyai wewenang seperti

    tersebut dalam Pasal 7 ayat (1), ke-

    cuali mengenai penahanan yang

    wajib diberikan dengan pelimpahan

    wewenang dari penyidik.

    Penyidik yang melakukan

    pemeriksaan, dengan menyebutkan

    alasan pemanggilan jelas,

    berwenang memanggil tersangka

    dan saksi yang dianggap perlu

    untuk diperiksa dengan surat

    panggilan yang sah dengan

    memperhatikan tenggang waktu

    yang wajar antara diterimanya

    panggilan dan hari seorang itu

    diharuskan memenuhi panggilan

    tersebut. Orang yang dipanggil wa-

    jib datang kepada penyidik dan jika

    ia tidak datang, penyidik me-

    manggil sekali lagi, dengan perintah

    kepada petugas untuk membawa

    kepadanya. Jika seorang tersangka

    atau saksi yang dipanggil memberi

    alasan yang patut dan wajar bahwa

    ia tidak dapat datang kepada

    penyidik yang melakukan pemerik-

    saan, penyidik itu datang ke tempat

    kediamannya. Pada saat pemerik-

    saan tersangka, apabila si tersangka

    menghendaki untuk dipanggilnya

    saksi yang menguntunkan, penyidik

    wajib memanggil dan memeriksa

    saksi tersebut.

    b. Penangkapan

    Yang menjadi dasar

    hukumnya adalah: Undang-undang

    Nomor 8 Tahun 1981 tentang

    Hukum Acara Pidana, sebagai

    berikut: Pasal 5 ayat (1) huruf (b)

    angka (1) KUHAP; Pasal 7 ayat (1)

    huruf (d) KUHAP; Pasal 11 sampai

    dengan 19 KUHAP; Pasal 75

    KUHAP; Pasal 111 KUHAP;

    Undang-undang Nomor 2 Tahun

    2002 tentang Kepolisian Negara

    Republik Indonesia; Peraturan

    Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983

    tentang Pelaksanaan Hukum Acara

    Pidana; Peraturan lainnya (untuk

    Pasal-pasal yang berhubungan

    dengan penangkapan). Di dalam

  • Jurnal Kebijakan dan Pembangunan, Vol. 1 No. 2 (2014) 35-52

    41

    Pasal 5 ayat (1) huruf (b) angka (1)

    KUHAP dijelaskan, Atas perintah

    penyidik dapat melakukan tindakan

    berupa: penangkapan, larangan

    meninggalkan tempat, penggeledah-

    an dan penyitaan.

    Penyidik Polri mempunyai ke-

    wenangan untuk melakukan

    penangkapan, penahanan, penggele-

    dahan dan penyitaan. Penyidik

    pembantu mempunyai wewenang

    seperti tersebut dalam Pasal 7 ayat

    (1), kecuali mengenai penahanan

    yang wajib diberikan dengan

    pelimpahan wewenang dari

    penyidik. Penyidik pembantu

    membuat berita acara dan

    menyerahkan berkas perkara kepada

    penyidik, kecuali perkara dengan

    acara pemeriksaan singkat yang

    dapt langsung diserahkan kepada

    penuntut umum. Untuk kepentingan

    penyelidikan, penyelidik atas perin-

    tah penyidik berwenang melakukan

    penangkapan. Untuk kepentingan

    penyidikan, penyidik dan penyidik

    pembantu berwenang melakukan

    penangkapan. Perintah penangkap-

    an dilakukan terhadap seseorang

    yang diduga keras melakukan

    tindak pidana berdasarkan bukti

    permulaan yang cukup.

    Pelaksanaan penangkapan

    dilakukan oleh petugas kepolisian

    Negara Republik Indonesia dengan

    memperlihatkan surat tugas serta

    memperlihatkan kepada tersangka

    surat perintah penangkapan yang

    mencantumkan identitas tersangka

    dan menyebutkan alasan

    penangkapan serta uraian singkat

    perkara kejahatan yang

    dipersangkakan serta tempat ia

    diperiksa. Dalam hal tertangkap

    tangan penangkapan dilakukan

    tanpa surat perintah, dengan

    ketentuan bahwa penangkap harus

    segera menyerahkan tertangkap

    beserta barang bukti yang ada

    kepada penyidik atau penyidik

    pembantu yang terdekat. Tembusan

    surat perintah penangkapan yang

    dilakukan oleh Polri harus diberikan

    kepada keluarganya segera setelah

    penangkapan dilakukan.

    Penangkapan sebagaimana di-

    maksud dalam Pasal 17, dapat

    dilakukan untuk paling lama satu

    hari. Terhadap tersangka pelaku

    pelanggaran tidak diadakan

    penangkapan kecuali dalam hal ia

    telah dipanggil secara sah dua kali

    berturut-turut tidak memenuhi

    panggilan itu tanpa alasan yang sah.

    Dalam hal terjadi tindak pidana

    yang tertangkap tangan setiap orang

    berhak, sedangkan setiap orang

    yang mempunyai wewenang dalam

    tugas ketertiban, ketentraman dan

    keamanan umum wajib, menangkap

    tersangka guna diserahkan beserta

    atau tanpa barang bukti kepada

    penyelidik atau penyidik. Setelah

    menerima penyerahan tersangka,

    penyelidik atau penyidik wajib

    segera melakukan pemeriksaan dan

    tindakan lain dalam rangka

    penyidikan. Penyelidik atau

    penyidik yang menerima laporan

    tersebut segera datang ke tempat

    kejadian dapat melarang setiap

    orang untuk meninggalkan tempat

    itu selama pemeriksaan di situ

    belum selesai. Hal-hal yang harus

    diperhatikan:

    1) Setelah penangkapan dilakukan, segera diadakan pemeriksaan

    untuk dapat menentukan apakah

    perlu diadakan penahanan atau

    tidak, mengingat jangka waktu

    penangkapan yang diberikan

    oleh Undang-undang hanya

    124 jam, kecuali terhadap

    tersangka kasus narkotik (224

    jam);

    2) Terhadap tersangka pelanggaran tidak dapat dilakukan

    penangkapan, kecuali bila telah

  • Jurnal Kebijakan dan Pembangunan, Vol. 1 No. 2 (2014) 35-52

    42

    dipanggil secara sah dua kali

    berturut-turut tidak memenuhi

    panggilam itu tanpa alas an yang

    sah;

    3) Segera setelah dilakukan penangkapan supaya diberikan 1

    (satu) surat perintah

    penangkapan wajib diberikan

    kepada tersangka dan 1 (satu)

    lembar kepada keluarganya.

    c. Penahanan

    Dasar hukum dalam

    melakukan penahanan oleh

    penyidik adalah: Pasal 7 ayat (1)

    huruf (d) KUHAP; Pasal 11

    KUHAP; Pasal 20 ayat (1)

    KUHAP; Pasal 21 sampai dengan

    Pasal 24 KUHAP; Pasal 29 sampai

    dengan Pasal 31 KUHAP; Pasal 75

    KUHAP; Pasal 123 KUHAP.

    Dalam melakukan penahanan, pen-

    yidik Polri mempunyai kewenang-

    an: melakukan penangkapan, pe-

    nahanan, penggeledahan dan pen-

    yitaan. Seperti tercantum di da-

    lam pasal 7 ayat (1) huruf (d)

    KUHAP. Penyidik pembantu mem-

    punyai wewenang seperti tersebut

    dalam Pasal 7 ayat (1), kecuali

    mengenai penahanan yang wajib

    diberikan dengan pelimpahan

    wewenang dari penyidik.

    Perintah penahanan atau

    penahanan lanjutan dilakukan

    terhadap seorang tersangka atau

    terdakwa yang diduga keras

    melakukan tindak pidana

    berdasarkan bukti yang cukup,

    dalam hal adanya keadaan yang

    menimbulkan kekhawatiran bahwa

    tersangka atau terdakwa akan

    melarikan diri, merusak atau

    menghilangkan barang bukti dan

    atau mengulangi tindak pidana.

    Penahanan atau penahanan lanjutan

    dilakukan oleh penyidik atau penun-

    tut umum terhadap tersangka atau

    terdakwa dengan memberikan surat

    perintah penahanan atau penetapan

    hakim yang mencantumkan iden-

    titas tersangka atau terdakwa dan

    menyebutkan alasan penahanan

    serta uraian singkat perkara

    kejahatan yang dipersangkakan atau

    didakwakan serta tempat ia ditahan.

    Tembusan surat penahanan atau

    penahanan lanjutan atau penetapan

    hakim, harus diberikan kepada

    keluarganya. Penahanan tersebut

    hanya dikenakan terhadap tersangka

    atau terdakwa yang melakukan

    tindak pidana dan atau percobaan

    maupun pemberian bantuan dalam

    tindak pidana tersebut dalam hal:

    Tindak pidana itu diancam dengan

    pidana penjara lima tahun atau

    lebih, dan tindak pidana seba-

    gaimana dimaksud dalam pasal 21

    ayat (4) huruf (b). Jenis penahanan

    dapat berupa: Penahanan rumah

    tahanan Negara, Penahanan rumah,

    Penahanan kota.

    Penyidik atau penuntut umum

    atau hakim berwenang untuk meng-

    alihkan jenis penahanan yang satu

    kepada jenis penahanan yang lain

    sebagaimana dimaksud dalam Pasal

    22 KUHAP. Pengalihan jenis pena-

    hanan dinyatakan secara tersendiri

    dengan surat perintah dari penyidik

    atau penuntut umum atau penetapan

    hakim yang tembusannya diberikan

    kepada tersangka atau terdakwa

    serta keluarganya dan kepada ins-

    tansi yang berkepentingan.

    d. Penggeledahan

    Dasar hukum penyidik untuk

    melakukan penggeledahan adalah:

    Pasal 5 ayat (1) huruf (b) angka (1)

    KUHAP; Pasal 7 ayat (1) huruf (d)

    KUHAP; Pasal 11 KUHAP; Pasal

    32 sampai dengan Pasal 37

    KUHAP; Pasal 75 KUHAP; Pasal

    125 KUHAP; Pasal 126 KUHAP.

  • Jurnal Kebijakan dan Pembangunan, Vol. 1 No. 2 (2014) 35-52

    43

    Penyelidik Polri atas perintah penyi-

    dik dapat melakukan penangkapan,

    larangan meninggalkan tempat,

    penggeledahan dan penyitaan. Pen-

    yidik Polri mempunyai kewenangan

    melakukan penangkapan, penahan-

    an, penggeledahan dan penyitaan.

    Penyidik pembantu mempunyai

    wewenang seperti tersebut dalam

    Pasal 7 ayat (1) KUHAP, kecuali

    mengenai penahanan yang wajib di-

    berikan dengan pelimpahan we-

    wenang dari penyidik. Untuk

    kepentingan penyidikan, penyidik

    dapat melakukan penggeledahan

    rumah atau penggeledahan pakaian

    atau penggeledahan badan menurut

    tata cara yang ditentukan dalam

    undang-undang. Dengan surat izin

    ketua pengadilan negeri setempat

    penyidik dalam melakukan penyi-

    dikan dapat mengadakan peng-

    geledahan rumah yang diperlukan.

    Dalam hal yang diperlukan atas

    perintah tertulis dari penyidik,

    petugas kepolisian Negara Republik

    Indonesia dapat memasuki rumah.

    Setiap kali memasuki rumah harus

    disaksikan oleh dua orang saksi

    dalam hal tersangka atau penghuni

    menyetujuinya. Setiap kali me-

    masuki rumah harus disaksikan oleh

    kepala desa atau ketua lingkungan

    dengan dua orang saksi, dalam hal

    tersangka atau penghuni menolak

    atau tidak hadir. Dalam waktu dua

    hari setelah memasuki dan atau

    menggeledah rumah, harus dibuat

    suatu berita acara dan turunannya

    disampaikan kepada pemilik atau

    penghuni rumah yang bersangkutan.

    Pada saat keadaan yang sangat

    perlu dan mendesak bilamana

    penyidik harus segera bertindak dan

    tidak mungkin untuk mendapatkan

    surat izin terlebih dahulu, dengan

    tidak mengurangi ketentuan Pasal

    33 ayat (5) penyidik dapat

    melakukan penggeledahan: Pada

    halaman rumah tersangka bertempat

    tinggal, berdiam atau ada dan yang

    ada di atasnya; Pada setiap tempat

    lain tersangka bertempat tinggal,

    berdiam atau ada; Di tempat tindak

    pidana dilakukan atau terdapat be-

    kasnya, serta di tempat penginapan

    dan tempat umum lainnya. Dalam

    hal penyidik melakukan pengge-

    ledahan, penyidik tidak diper-

    kenankan memeriksa atau menyita

    surat, buku dan tulisan lain yang

    tidak merupakan benda yang

    berhubungan dengan tindak pidana

    yang bersangkutan, kecuali benda

    yang berhubungan dengan tindak

    pidana yang bersangkutan atau yang

    diduga telah dipergunakan untuk

    melakukan tindak pidana tersebut

    dan untuk itu wajib segera

    melaporkan kepada ketua peng-

    adilan negeri setempat guna

    memperoleh persetujuannya. Kecu-

    ali dalam hal tertangkap tangan,

    penyidik tidak diperkenankan me-

    masuki: Ruang di mana sedang ber-

    langsung sidang Majelis Permusya-

    waratan Rakyat, Dewan Perwakilan

    atau Dewan Perwakilan Rakyat

    Daerah; Tempat di mana sedang

    berlangsung ibadah dan atau

    upacara keagamaan, Ruang di mana

    sedang berlangsung sidang peng-

    adilan. Dalam hal penyidik harus

    melakukan penggeledahan rumah di

    luar daerah hukumnya, dengan tidak

    mengurangi ketentuan tersebut

    dalam Pasal 33, maka pengge-

    ledahan tersebut harus diketahui

    oleh ketua pengadilan negeri dan

    didampingi oleh penyidik dari

    daerah hukum di mana pengge-

    ledahan itu dilakukan.

    Pada waktu menangkap tersangka,

    penyidik hanya berwenang meng-

    geledah pakaian termasuk benda

    yang dibawanya serta, apabila

    terdapat dugaan keras dengan alasan

    yang cukup bahwa pada tersangka

  • Jurnal Kebijakan dan Pembangunan, Vol. 1 No. 2 (2014) 35-52

    44

    tersebut terdapat benda yang dapat

    disita. Pada waktu menangkap

    tersangka dibawa kepada penyidik,

    penyidik berwenang menggeledah

    pakaian dan atau menggeledah

    badan tersangka. Dalam hal pen-

    yidik melakukan penggeledahan

    rumah terlebih dahulu menunjukkan

    tanda pengenalnya kepada ter-

    sangka atau keluarganya, selan-

    jutnya berlaku ketentuan seba-

    gaimana dimaksud dalam Pasal 33

    dan Pasal 34 KUHAP.

    Penyidik membuat berita

    acara tentang jalannya dan hasil

    penggeledahan rumah sebagaimana

    dimaksud dalam waktu dua hari

    setelah memasuki dan atau meng-

    geledah rumah. Penyidik mem-

    bacakan lebih dahulu berita acara

    tentang penggeledahan rumah ke-

    pada yang bersangkutan, kemudian

    diberi tanggal dan ditandatangani

    oleh penyidik maupun tersangka

    atau keluarganya dan atau kepala

    desa atau ketua lingkungan dengan

    dua orang saksi. Dalam hal

    tersangka atau keluarganya tidak

    mau membubuhkan tandatangan-

    nya, hal itu dicatat dalam berita

    acara dengan menyebut alasannya.

    e. Penyitaan

    Dasar dalam penyitaan

    adalah: Pasal 5 ayat (1) huruf (b)

    angka (1) KUHAP; Pasal 7 ayat (1)

    huruf (d) KUHAP; Pasal 11

    KUHAP; Pasal 38 sampai dengan

    49 KUHAP; Pasal 128 sampai

    dengan 132 KUHAP. Penyelidik

    Polri atas perintah penyidik dapat

    melakukan tindakan berupa:

    penangkapan, larangan mening-

    galkan tempat, penggeledahan dan

    penyitaan. Penyidik Polri mempu-

    nyai kewenangan melakukan

    penangkapan, penahanan, pengge-

    ledahan dan penyitaan.

    Penyitaan hanya dapat dilakukan

    oleh penyidik dengan surat izin

    ketua pengadilan negeri setempat.

    Dalam keadaan yang sangat perlu

    dan mendesak bilamana penyidik

    harus segera bertindak dan tidak

    mungkin untuk mendapatkan surat

    izin terlebih dahulu, penyidik dapat

    melakukan penyitaan hanya atas

    benda bergerak dan untuk itu wajib

    segera melaporkan kepada ketua

    pengadilan negeri setempat guna

    memperoleh persetujuannya. Berda-

    sarkan ketentuan Pasal 39 KUHAP

    ayat (1), yaitu:

    (1) Yang dapat dikenakan penyi-

    taan adalah

    a. Benda atau tagihan ter-

    sangka atau terdakwa yang

    seluruh atau sebagian di-

    duga diperoleh dari tinda-

    kan pidana atau sebagai

    hasil dari tindak pidana;

    b. Benda yang telah dipergu-

    nakan secara langsung un-

    tuk melakukan tindak pida-

    na atau untuk mempersiap-

    kannya;

    c. Benda yang dipergunakan

    untuk mengahalang-halangi

    penyelidikan tindak pidana;

    d. Benda yang khusus dibuat

    atau diperuntukkan melaku-

    kan tindak pidana;

    e. Benda lain yang mem-

    punyai hubungan langsung

    dengan tindak pidana yang

    dilakukan.

    (2) Benda yang berada dalam si-

    taan karena perkara perdata

    atau karena pailit dapat juga

    disita untuk kepentingan pen-

    yidikan, penuntutan dan meng-

    adili perkara pidana, sepanjang

    memenuhi ketentuan ayat (1).

    Penyidik dapat menyita benda

    dan alat yang ternyata atau yang

  • Jurnal Kebijakan dan Pembangunan, Vol. 1 No. 2 (2014) 35-52

    45

    patut diduga telah dipergunakan

    untuk melakukan tindak pidana atau

    benda lain yang dapat dipakai

    sebagai barang bukti dalam hal

    tertangkap tangan. Penyidik juga

    berwenang menyita paket atau surat

    atau benda yang pengangkutannya

    atau pengirimannya dilakukan oleh

    kantor pos dan telekomunikasi,

    jawatan atau perusahaan

    komunikasi atau pengangkutan,

    sepanjang paket, surat atau benda

    tersebut diperuntukkan bagi

    tersangka atau yang berasal

    daripadanya dan untuk itu kepada

    tersangka dan atau kepada tersangka

    dan atau kepada pejabat kantor pos

    dan telekomunikasi, jawatan atau

    perusahaan komunikasi atau

    pengangkutan yang bersangkutan,

    harus diberikan surat tanda

    penerimaan.

    Penyidik berwenang meme-

    rintahkan kepada orang yang

    menguasai benda yang disita,

    menyerahkan benda tersebut

    kepadanya untuk kepentingan

    pemeriksaan dan kepada yang

    menyerahkan benda itu harus

    diberikan surat tanda penerimaan.

    Surat atau tulisan lain hanya dapat

    diperintahkan untuk diserahkan

    kepada penyidik jika surat atau

    tulisan itu berasal dari tersangka

    atau terdakwa atau ditujukan

    kepadanya atau kepunyaannya atau

    diperuntukkan baginya atau jikalau

    benda tersebut merupakan alat

    untuk melakukan tindak pidana.

    Penyitaan surat atau tulisan

    dari mereka yang berkewajiban

    menurut undang-undang untuk

    merahasiakannya, sepanjang tidak

    menyangkut rahasia Negara, hanya

    dapat dilakukan atas persetujuan

    mereka atau atas izin khusus ketua

    pengadilan negeri setempat kecuali

    undang-undang menentukan lain.

    B. Faktor yang menjadi Kendala Penyidikan yang dilakukan

    Penyidik Polri dalam melakukan

    Penyidikan Tindak Pidana

    Lingkungan Hidup berupa

    Pencemaran Limbah B3 di

    Provinsi Lampung

    Usaha menegakan hukum ling-

    kungan dewasa ini memang dihadapkan

    sejumlah kendala. Pertama, masih terdapat

    perbedaan persepsi antara aparatur

    penegak hukum dalam memahami dan

    memaknai peraturan perundang-undangan

    yang ada. Kedua, biaya untuk menangani

    penyelesaian kasus lingkungan hidup

    terbatas. Ketiga, membuktikan telah ter-

    jadi pencemaran atau perusakan ling-

    kungan bukanlah pekerjaan mudah. Era

    reformasi dapat dipandang sebagai

    peluang yang kondusif untuk mencapai

    keberhasilan dalam penegakan hukum

    lingkungan. Untuk itu, sudah saatnya

    penegakan hukum bagi setiap usaha dan

    aktivitas yang membebani lingkungan

    diintensifkan agar kelestarian fungsi

    lingkungan hidup bisa terjaga dengan

    baik. Persoalan lingkungan hidup bagi

    negara berkembang seperti Indonesia

    dilematis bagaikan buah simalakama. Di

    satu sisi terdapat tuntutan melaksanakan

    pembangunan yang berdampak terhadap

    lingkungan, di sisi lain harus melakukan

    upaya-upaya kelestarian lingkungan.

    Solusinya, dalam melaksanakan pem-

    bangunan praktis sekaligus meningkatkan

    mutu lingkungan.

    Upaya memupuk disiplin ling-

    kungan amat urgen dalam artian menaati

    aturan yang berlaku sebagai solusi dalam

    menangani problem lingkungan yang kian

    marak. Pada prinsipnya, setiap orang

    berkewajiban memelihara kelestarian ling-

    kungan hidup, mencegah, dan menanggu-

    langi pencemaran serta perusakan ling-

    kungan hidup. Karena itu, setiap kegiatan

    yang berakibat pada kerusakan ling-

    kungan, seperti pencemaran lingkungan

    dan pembuangan zat berbahaya (B3) me-

  • Jurnal Kebijakan dan Pembangunan, Vol. 1 No. 2 (2014) 35-52

    46

    lebihi ambang batas baku mutu bisa

    dikategorikan sebagai perbuatan yang

    bertentangan dengan hukum, sehingga

    dapat dikenai sanksi, baik sanksi ad-

    ministrasi, perdata, maupun pidana.

    Menurut Kepala Bidang (Kabid)

    Pengawasan dan Pengendalian Ling-

    kungan BLHD Provinsi Lampung men-

    yatakan bahwa hingga kini problem

    lingkungan terus menjadi isu yang selalu

    aktual dan belum tertanggulangi, terlebih

    di era reformasi yang tak luput pula dari

    tuntutan demokratisasi dan transparansi.3

    Dalam rangka mengantisipasi kian me-

    luasnya dampak kontraproduktif terhadap

    lingkungan khususnya akibat per-

    kembangan dunia industri yang pesat

    maka penegakan hukum di bidang ling-

    kungan hidup menjadi mutlak diperlukan.

    Segenap stakeholders harus mempunyai

    tekad untuk memelihara lingkungan dari

    kemerosotan fungsi yang senantiasa

    mengancam kehidupan masa kini dan

    masa mendatang. Dengan demikian,

    hukum lingkungan mempunyai peran yang

    sangat urgen dalam membantu me-

    wujudkan pembangunan berkelanjutan.

    Berdasarkan hasil penelitian yang

    dilakukan maka berikut adalah kendala-

    kendala dalam penyidikan yang dilakukan

    penyidik polri dalam melakukan pen-

    yidikan tindak pidana lingkungan hidup

    berupa pencemaran limbah B3 di wilayah

    hukum Polda Lampung:

    1. Faktor hukumnya sendiri Pembuktian tindak pidana ling-

    kungan, terutama pembuktian

    materiil tidaklah sederhana.

    Prosesnya memerlukan dukungan

    para ahli dari berbagai latar belakang

    keilmuan.Untuk membuktikan tindak

    pidana lingkungan hidup, maka harus

    memenuhi unsur unsur yang

    terkadung dalam Pasal 97, 98

    UUPLH No. 32 Tahun 2009 yaitu

    sengaja melakukan perbuatan yang

    3 Wawancara yang dilakukan pada tanggal

    24 April 2014

    mengakibatkan dilampauinya bakut

    mutu udara ambien, baku mutu air,

    air laut, atau kriteria baku mutu

    kerusakan lingkungan hidup dan

    bahaya keselamatan manusia dan

    akibatkan orang luka berat atau mati

    dapat dipidana dan memperoleh

    sanksi yang tegas. Dalam kasus

    perusakan dan/atau pencemaran

    lingkungan hidup terdapat kesulitan

    bagi aparat penyidik untuk

    menyediakan alat bukti yang sah

    sesuai dengan ketentuan Pasal 183

    dan Pasal 184 KUHAP. Di samping

    itu, pembuktian unsur hubungan

    kausal merupakan kendala tersendiri.

    pencemaran lingkungan hidup sering

    terjadi secara kumulatif, sehingga

    sulit untuk membuktikan sumber

    pencemaran, terutama yang bersifat

    kimiawi. Selain menyediakan alat

    bukti, penyidik juga harus cermat

    dalam menentukan tersangkanya

    yang ternyata sulit untuk

    menempatkan korporasi sebagai

    tersangka. Kesulitan ini dirasakan

    oleh penyidik pada saat menghu-

    bungkan antara tindak pidana dengan

    bukti-bukti yang mengarah pada sua-

    tu pelaku tindak pidana yang no-

    tabene adalah fiksi hukum.

    2. Faktor aparat penegak hukum Pengetahuan dan keterampilan yang

    belum memadai pada kasus tindak

    pidana berupa pencemaran limbah

    B3, sehingga terjadi perbedaan

    pemahaman dalam penuntasan kasus

    lingkungan hidup biasanya terjadi

    pada penerapan asas ultimum

    remedium dan premium remedium,

    pembuktian terjadinya pencemaran

    atau perusakan lingkungan hidup,

    serta impor dan identifikasi limbah

    berbahaya dan beracun membuat

    penyelesaian perkara tindak pidana

    lingkungan berupa pencemaran B3

    memakan waktu yang panjang.

    Selanjutnya Sulit menangkap pelaku

    pencemaran karena dalam pem-

  • Jurnal Kebijakan dan Pembangunan, Vol. 1 No. 2 (2014) 35-52

    47

    buktianya tidak sesederhana dalam

    kasus-kasus lain, dimana dalam kasus

    pencemaran limbah cair (air sungai)

    merupakan akibat kumulatif dari

    pembuagan limbah cair yang ada di

    aliran sungai, maka penerapan azas

    kausalitas akan memakan waktu, dan

    biasanya pelaku telah menghilangkan

    bukti-bukti pencemaran. Pembuktian

    dalam proses penegakan hukum

    pidana sejatinya telah dimulai dari

    proses pengumpulan bahan dan

    keterangan dan jika diindikasikan

    bahwa suatu laporan dan/atau peng-

    aduan merupakan suatu tindak pidana

    maka penyidik Polri maupun PPNS-

    LH dapat meningkatkan statusnya

    menjadi penyidikan. Penyidikan me-

    rupakan suatu tahapan untuk mencari

    dan menemukan alat bukti yang men-

    dukung bahwa telah terjadi suatu

    tindak pidana lingkungan. Berikutnya

    yaitu pengambilan sampel limbah

    dari suatu industri tidak mudah, ka-

    dangkala petugas harus membawa

    surat pengantar dari instansi petugas,

    sehingga perusahaan yang diduga

    melakukan pencemaran sudah mela-

    kukan pembersihan terhadap pen-

    cemaran pada saat petugas datang.

    3. Faktor saran atau fasilitas pendukung penegakan hukum

    Kurang memadainya sarana prasarana

    seperti laboratorium membuat

    petugas kesulitan dalam hal

    penggolongan pencemaran yang telah

    terjadi.

    4. Faktor masyarakat Ketidakpedulian masyarakat terhadap

    kondisi sosial dilingkungannya turut

    mendorong terjadinya instabilitas

    sosial. Masyarakat yang seharusnya

    melaporkan beragam masalah sosial

    yang terjadi di lingkungannya kepada

    aparat berwajib namun justru

    bersikap diam akan menyebabkan

    kondisi instabilitas tetap tumbuh dan

    berkembang tanpa bisa di atasi.

    Ironisnya, banyak anggota

    masyarakat yang justru terlibat dalam

    aktivitas menyimpang tersebut.

    Pelibatan masyarakat dalam

    menjaga dan memelihara Kamtibmas

    sejatinya tidak sekedar membantu

    aparat Polri dalam melaksanakan

    tugas-tugasnya sebagai aparat

    pelindung, pengayom dan pelayan

    masyarakat, namun yang lebih

    penting adalah memberikan ruang

    bagi pemberdayaan masyarakat

    (empowerment). Masyarakat

    diberdayakan sehingga tidak semata-

    mata sebagai obyek dalam

    penyelengaraan fungsi kepolisian

    melainkan sebagai subyek yang

    menentukan dalam mengelola sendiri

    upaya penciptaan lingkungan yang

    aman dan tertib.

    Rendahnya kesadaran

    masyarakat untuk terlibat dalam

    upaya menjaga dan memelihara

    Kamtibmas dapat menjadi pemicu

    maraknya kasus-kasus kriminalitas di

    masyarakat. Oleh karena itu yang

    dibutuhkan adalah adanya

    kebersamaan antara aparat Polri dan

    masyarakat karena kebersamaan

    menjanjikan kekuatan yang luar

    biasa, sesuatu yang besar hanya dapat

    diraih melalui kebersamaan terutama

    dalam hal pencemaran limbah B3

    yang terjadi dilingkungannya.

    5. Faktor kebudayaan Pada faktor ini penulis menitik

    beratkan kepada budaya dari

    perusahaan yang melakukan

    pencemaran limbah, seperti:

    a. Pembuangan limbah cair, kadangkala dibarengi dengan

    kondisi alam seperti adanya banjir

    di aliran sungai, pada malam hari,

    dan membuat aliran pembuangan

    tersembunyi yang sulit diketahui

    oleh orang luar perusahaan dan

    dilakukan secara tersembunyi dan

    kurangnya tenaga ahli di bidang

    lingkungan.

  • Jurnal Kebijakan dan Pembangunan, Vol. 1 No. 2 (2014) 35-52

    48

    b. Tertutupnya Area perusahaan dengan pagar tinggi atau

    bangunan besar dan merupakan

    area yang tidak mudah dimasuki

    oleh masyarakat atau petugas

    sekalipun, sehingga menyulitkan

    masyarakat ikut mengawasi

    pencemaran di lingkungan.

    c. Urusan Ekonomi menjadi hal yang utama sehingga lingkungan

    dinomor duakan oleh para

    pengusaha.

    d. Tidak semua pimpinan perusahaan sampai tingkat manager atau

    pemilik mempunyai Visi dalam

    pengelolaan lingkungan sehingga

    pengelolaan limbah hanya

    merupakan pemborosan biaya.

    Berdasarkan hasil wawancara yang

    dilakukan dengan Kasubdit IV Krimsus

    Polda Lampung,4 bahwa teknik investigasi

    dalam pengumpulan data pada kasus

    pembuangan limbah yang tergolong dalam

    B3 oleh PT. Bea Sari Jelita secara garis

    besarnya dilakukan melalui:

    1. Penelitian Dokumen

    Kegiatan pada penelitian

    dokumen mencakup penelitian

    keabsahan dokumen dan substansi

    dokumen. Dalam melaksanakan

    penelitian keabsahan dokumen, harus

    dilengkapi dengan pedoman-

    pedoman teknis dan peraturan yang

    berlaku. Selanjutnya seluruh

    dokumen dan peta dinilai

    keabsahannya sesuai

    pedoman/peraturan yang berlaku.

    Penelitian substansi dokumen

    khususnya dokumen lingkungan

    (AMDAL, RPL/UKL) dimaksudkan

    untuk melihat sejauh mana informasi

    yang terkandung di dalam data dasar

    digunakan sebagai acuan perencanaan

    yang dibuat. Dalam penelitian

    substansi dokumen, informasi yang

    4 Wawancara yang dilakukan pada 5 Mei

    2014

    dimuat dalam dokumen-dokumen

    perencanaan, laporan kegiatan

    pelaksanaan, dan dokumen data

    dasar, dilakukan uji silang (cross

    check) untuk melihat keterkaitan

    dalam hal target, materi, dan jangka

    waktunya atau mencocokan antara

    laporan perencanaan dengan laporan

    pelaksanaan di lapangan dalam upaya

    pencegahan dampak negatif atau

    kerusakan lingkungan yang akan

    terjadi.

    Kelemahan investigasi berda-

    sarkan penelitian dokumen yaitu

    pihak pelaku pencemar dan atau

    perusakan lingkungan jarang

    memberikan dokumen kegiatan

    lapangan kepada pihak penyidik

    (dimusnahkan), sering kali data pada

    dokumen kurang akurat (perlu

    validasi) dan memerlukan waktu

    yang cukup lama dalam memahami

    keterkaitan data yang ada dengan

    kejadian kerusakan lingkungan yang

    terjadi. Kelebihan investigasi

    berdasarkan penelitian dokumen

    adalah cepat dan tidak memerlukan

    analisa laboratorium, dan merupakan

    barang otentik yang dapat digunakan

    sebagai bukti awal terjadinya tindak

    kerusakan lingkungan. Berdasarkan

    penelitian dokumen yang dilakukan

    bahwa PT. Bea Sari Jelita tidak

    memiliki ijin TPS Limbah B3, yang

    perijinan tersebut seharusnya

    dikeluarkan oleh BPLH Lampung

    Selatan.

    2. Penelitian Lapangan Berdasarkan temuan-temuan

    pada penilaian substansi dokumen

    terkusus dokumen lingkungan,

    dilakukan pelingkupan kegiatan

    lapangan. Pelingkupan kegiatan lapa-

    ngan dilakukan untuk memfokuskan

    hal-hal yang dianggap penting/kritis

    dalam pengambilan keputusan

    penapisan dan lebih memberi

    keyakinan dalam pengambilan

  • Jurnal Kebijakan dan Pembangunan, Vol. 1 No. 2 (2014) 35-52

    49

    keputusan tentang terjadinya dugaan

    pencemaran dan atau perusakan

    lingkungan.

    Berdasarkan temuan lapangan

    yang dilakukan bahwa bak IPA yang

    dimiliki PT. Bea Sari Jelita pada

    Pabrik pembuatan sabun tidak di-

    fungsikan dan dibuang langsung ke

    tanah kosong di samping pabrik,

    sedangkan sisa pembakaran batubara

    dibuang dan dihamparkan di halaman

    di halaman kosong belakang pabrik

    dan tidak ditempatkan di TPS Limbah

    B3.

    Pengamatan lapangan sangat

    diperlukan kompetensi saksi ahli

    dalam menggungkap dugaan terja-

    dinya pencemaran dan atau perusakan

    lingkungan yang meliputi tipe dan

    komponen sumberdaya alam dan eko-

    sistem yang terkena dampak, proses

    dan mekanisme terjadinya pencemar-

    an dan atau perusakan lingkungan,

    derajat kerusakan yang terjadi dan

    lamanya kerusakan. Hal tersebut

    sangat diperlukan untuk menentukan

    pengamatan, penelitian dan peng-

    ambilan sampel yang tepat dan akurat

    untuk dianalisa di laboratorium.

    Pengambilan sampel yang dilakukan

    harus diupayakan memenuhi kom-

    ponen ekosistem yang mengalami

    kerusakan baik komponen biotik

    (flora, fauna, tanaman, tumbuhan

    bawah, jamur dan sebagainya) dan

    komponen abiotik (tanah, batu, bahan

    mineral, air, serasah, kayu terbakar,

    kayu dan sebagainya). Pengambilan

    komponen ekosistem tersebut juga

    berdasarkan metode ilmiah yang

    tepat, efektif dan efisien dengan

    ditunjang peralatan yang baik

    (kompas, GPS, penetrometer, alti-

    meter, peta dan lain lain). Adapun

    pengamatan lapangan dapat dila-

    kukan melalui metode analisa

    vegetasi dan pengambilan sampel

    tanah (legal sampling) serta

    mengamati dampaknya.

    Kelemahan investigasi berdasarkan

    penelitian lapangan yaitu pihak

    pelaku perusakan kurang kooperatif,

    data yang diperoleh terbatas, kadang

    memerlukan waktu yang lama,

    asessibilatas yang kurang baik dan

    terpengaruh oleh kondisi cuaca dan

    iklim. Kelebihan investigasi ber-

    dasarkan penelitian lapangan adalah

    obyektif, reprentatif, dapat men-

    dukung atau membantu jawaban atas

    analisa laboratorium dan saksi ahli

    atau penyidik dapat mengamati

    komponen ekosistem atau lingkungan

    yang mengalami perusakan ling-

    kungan yang terjadi.

    3. Analisa Laboratorium

    Setelah didapat komponen dan

    proses perusakan dapat diungkap

    maka saksi ahli melakukan legal

    sampling terhadap komponen

    lingkungan untuk memastikan tingkat

    pencemaran dan atau perusakan yang

    terjadi. Sampel tersebut dibuatkan

    berita acara pengambilan sampel,

    penyegelan, penyitaan sampel dan

    analisa laboratorium terhadap sampel

    tanah yang didapat dari lapangan.

    Kelemahan investigasi

    berdasarkan analisa laboratorium

    yaitu memerlukan peralatan dan

    bahan kimia yang biayanya mahal,

    data sangat dipengaruhi pada metode

    analisis, data yang diperoleh

    ditentukan oleh sampling yang

    dilakukan, memerlukan waktu lama

    dan saksi ahli kuarng dapat

    menjelaskan proses dan mekanisme

    terjadinya pencemaran dan atau

    perusakan lingkungan (terutama

    apabila tidak melalukan sampling).

    Kelebihan investigasi berdasarkan

    analisa laboratorium adalah

    merupakan alat bukti yang akurat,

    data yang diperoleh akurat dan lebih

    objektif Indikator yang konsisten

    untuk menentukan derajat kerusakan

  • Jurnal Kebijakan dan Pembangunan, Vol. 1 No. 2 (2014) 35-52

    50

    melalui kriteria baku kerusakan yaitu

    komponen.

    4. Wawancara

    Teknik investigasi dengan

    wawancara umumnya dilakukan

    bersamaan dengan penelitian di

    lapangan. Wawancara umumnya

    merupakan data tambahan yang

    fungsinya bertujuan untuk lebih

    mengetahui mengungkap proses terja-

    dinya pencemaran dan atau perusakan

    lingkungan.

    Kelemahan investigasi berda-

    sarkan wawancara yaitu memerlukan

    kemampuan berkomunikasi, pihak

    pelaku perusak dan pencemar bersifat

    resisten, data kuantitatif kurang

    akurat, bersifat subjektif dan data

    bersifat kualitatis. Kelebihan in-

    vestigasi berdasarkan wawancara

    adalah data yang diperoleh secara

    cepat, mudah dan murah.

    Tahap berikutnya menurut

    Penyidik Subdit IV Krimsus Polda

    Lampung yaitu perintah penangkapan

    terhadap seseorang berdasarkan Pasal

    17 KUHAP, dilakukan terhadap

    seorang yang diduga keras

    melakukan tindak pidana berdasarkan

    bukti permulaan yang cukup.5 Bukti

    permulaan yang cukup yaitu bukti

    permulaan untuk menduga adanya

    tindak pidana sesuai Pasal 1 ayat (14)

    KUHAP. Dengan demikian,

    Ketentuan Pasal 17 KUHAP

    mengatur bahwa perintah

    penangkapan tidak dapat dilakukan

    dengan sewenang-wenang, akan te-

    tapi hanya dapat dilakukan terhadap

    mereka yang betul-betul telah me-

    lakukan tindak pidana.

    5 Wawancara yang dilakukan pada tanggal 6

    Mei 2014

    SIMPULAN DAN REKOMENDASI

    Simpulan

    Berdasarkan uraian pada bab sebe-

    lumnya, maka dapat disimpulkan bahwa:

    1. Pelaksanaan tugas dan wewenang penyidik Polri dalam penyidikan

    tindak pidana lingkungan berupa

    pencemaran limbah B3 di wilayah

    hukum Polda Lampung berjalan

    berdasarkan sesuai ketentuan di

    dalam KUHAP, Undang-Undang

    Nomor 2 Tahun 2002 tentang

    Kepolisian RI, dan Undang-Undang

    Nomor 32 Tahun 2009 tentang

    Perlindungan dan Pengelolaan Ling-

    kungan Hidup. Namun dalam

    pelaksanaannya Penyidik Polri dan

    PPNS-LH masih harus berkoordinasi

    dengan instansi pemerintah lain untuk

    saksi ahli sesuai dengan bidangnya,

    sehingga membutuhkan waktu yang

    lama dan tidak efisien.

    2. Faktor atau kendala yang dihadapi penyidik Polri khususnya pada

    Ditreskrimsus Polda Lampung dalam

    melakukan penyidikan tindak pidana

    lingkungan berupa pencemaran lim-

    bah B3 di Provinsi Lampung berupa:

    sulitnya pengambilan sampel limbah,

    pembuktian yang tidak sederhana,

    tertutupnya areal pabrik yang men-

    yebabkan tidak mudah dimasuki

    masyarakat ataupun petugas, keti-

    dakpedulian masyarakat sekitar se-

    olah tutup mata dengan apa yang

    terjadi di sekitarnya termasuk dalam

    hal pencemaran limbah B3, kurang

    memadainya pengetahuan dan kete-

    rampilan penyidik, kurang mema-

    dainya sarana prasarana seperti

    laboratorium membuat petugas

    kesulitan dalam hal penggolongan

    pencemaran yang telah terjadi.

  • Jurnal Kebijakan dan Pembangunan, Vol. 1 No. 2 (2014) 35-52

    51

    Rekomendasi

    1. Kepada Pemerintah pusat hendaknya dibuat petunjuk teknis yang lebih

    jelas dan tegas terkait dengan tugas

    dan wewenang penyidikan khususnya

    terhadap tindak pidana lingkungan

    antara Penyidik Polri dengan PPNS-

    LH.

    2. Hendaknya Kepolisian Daerah Lampung mengirimkan anggotanya

    atau penyidik untuk pelatihan dan

    pendidikan khususnya terkait dengan

    tindak pidana lingkungan guna

    meningkatkan kemampuan dan

    intelejensi penyidik Polri.

    DAFTAR PUSTAKA

    A. Buku

    Budiardjo, Miriam. 1998. Dasar-Dasar

    Ilmu Politik, Gramedia Pustaka

    Utama, Jakarta.

    Chazawi, Adami, 2005. Hukum Pidana

    Materiil dan Formil Korupsi di

    Indonesia, Bayumedia Publishing,

    Malang.

    Erwin, Muhammad, 2008. Hukum

    Lingkungan - Dalam Sistem

    Kebijaksanaan Pembangunan

    Lingkungan Hidup, PT. Refika

    Aditama, Bandung.

    Farid, Zainal Abidin, 2007. Hukum

    Pidana I, Cetakan Kedua, Sinar

    Grafika, Jakarta.

    Hamzah, Andi, 2010. Asas-Asas Hukum

    Pidana, Cetakan keempat,

    P.T.Rienka Cipta, Jakarta.

    Harahap, M. Yahya. 2006. Pembahasan

    Permasalahan Dan Penerapan

    KUHAP, Penyidikan dan

    Penuntutan, Edisi Kedua, Cetakan

    Ke-8, Sinar Grafika, Jakarta.

    Hardjasoemantri, Koesnadi, 2005. Hukum

    Tata Lingkungan. Cet. 18. Gadjah

    Mada University Press.

    Yogyakarta.

    I Nyoman, Nurjaya, 2008. Pengelolaan

    Sumber Daya Alam dalam

    Perspektif Antropologi Hukum,

    Prestasi Pustaka, Jakarta.

    Ilyas, Amir, 2012. Asas-Asas Hukum

    Pidana, Rengkang Education

    Yogyakarta dan Pukap Indonesia,

    Yogyakarta.

    Lamintang, P.A.F., 2011. Dasar-Dasar

    Hukum Pidana Indonesia,

    Cetakan Keempat, P.T.Citra

    Aditya Bakti, Bandung.

    Machmud, Syahrul. 2012. Problematika

    Penerapan Delik Formil Dalam

    Perspektif Penegakan Hukum

    Pidana Lingkungan Di Indonesia,

    Indonesia,Mandar Maju,

    Bandung.

    Marpaung, Leden, 2012. Asas Teori

    Praktik Hukum Pidana, Cetakan

    ketujuh, Sinar Grafika, Jakarta.

    Moeljatno, 1993. Asas-Asas Hukum

    Pidana, PT Rineka Cipta, Jakarta.

    Mulyosudarmo, Suwoto. 1990. Kekuasaan

    dan Tanggung Jawab Presiden

    Republik Indonesia, Suatu

    Penelitian Segi-Segi Teoritik dan

    Yuridis Pertanggungjawaban

    Kekuasaan, Universitas

    Airlangga,Surabaya.

    Ngani, Nico, I Nyoman Budi Jaya; Hasan

    Madani, Mengenal Hukum Acara

    Pidana, Bagian Umum Dan

    Penyidikan, Liberty, Yogyakarta.

    Prasetyo, Teguh, 2011. Hukum Pidana,

    Cetakan Kedua, P.T. Raja

    Grafindo, Jakarta.

    Prinst, Darwan, 1989. Hukum Acara

    Pidana Suatu Pengantar,

    Djambatan, Jakarta.

    Prodjodikoro, Wirjono, 2010. Tindak-

    Tindak Pidana Tertentu

    Indonesia, Cetakan Ketiga, Refka

    Aditama, Bandung.

    Rahardjo, Satjipto, 2009. Penegakan

    Hukum suatu tinjauan sosiologis,

    Genta Publishing, Yogyakarta.

  • Jurnal Kebijakan dan Pembangunan, Vol. 1 No. 2 (2014) 35-52

    52

    Rangkuti, Siti Sundar Rangkuti, 1996.

    Hukum Lingkungan dan

    Kebijaksanaan Lingkungan

    Nasional-edisi ketiga, Airlangga

    University Press, Surabaya.

    Sadjijono, 2008. Memahami Beberapa

    Bab Pokok Hukum Administrasi

    Negara, Laks Bang Pressindo,

    Jogyakarta.

    Salim, 2007. Hukum Pertambangan Di

    Indonesia- edisi revisi. PT.

    RajaGrafindo Persada. Jakarta.

    Santoso, Mas Agus Good Governance,

    Hukum Lingkungan. Tanpa tahun.

    Setiardja, A. Gunawan. 1990. Dialektika

    Hukum dan Moral dalam

    Pembangunan Masyarakat

    Indonesia, Kanisius, Yogyakarta.

    Siahaan, 2004. Hukum Lingkungan dan

    Ekologi Pembangunan. Erlangga,

    Jakarta.

    Soekanto, Soerjono, 1982. Penegakan

    Hukum. Bina Cipta, Bandung.

    ----------, 1983. Faktor-Faktor yang

    Mempengaruhi Penegakan

    Hukum. Rajawali, Jakarta.

    Soesilo, R. 1995. Kitab Undang-Undang

    Hukum Pidana, Politea, Bogor. Sudarsono, 2007. Kamus Hukum, Cetakan

    Kelima, P.T.Rineka Cipta, Jakarta.

    B. Perundang-Undangan

    Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

    tentang Kitab Undang-Undang

    Hukum Acara Pidana.

    Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002

    tentang Kepolisian RI.

    Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009

    tentang Perlindungan dan

    Pengelolaan Lingkungan Hidup.

    C. Jurnal, Makalah, Media Massa

    Lotulung, Paulus Efendie. 1994.

    Himpunan Makalah Asas-Asas

    Umum Pemerintahan yang

    Baik,Citra Aditya Bakti, Bandung.

    Muladi. Menjamin Kepastian

    Ketertiban Penegakan dan

    Pelindungan Hukum dalam era

    Globalisasi. (Jurnal Keadilan,

    2001).

    M. Hadjon, Philipus. Tentang Wewenang,

    Makalah, Universitas Airlangga,

    Surabaya, tanpa tahun.

    Syafrudin, Ateng. 2000 Menuju

    Penyelenggaraan Pemerintahan

    Negara yang Bersih dan

    Bertanggung Jawab, Jurnal Pro

    Justisia Edisi IV, Universitas

    Parahyangan, Bandung.

    D. Website

    http://lampung.tribunnews.com

    http://panisean.wordpress.com

    http://panisean.wordpress.com/