pedoman penulisan artikel k - 2trik.webs.com filevolume vi nomor 1, februari 2016 issn: 2086-3098 i...

58
Volume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan 2-TRIK: TUNAS-TUNAS RISET KESEHATAN Diterbitkan oleh: WAHANA RISET KESEHATAN Penanggungjawab: Ketua Wahana Riset Kesehatan Ketua Dewan Redaksi: Heru SWN Anggota Dewan Redaksi: Koekoeh Hardjito Sunarto Subagyo Tutiek Herlina Sekretariat: Winarni Nunik Astutik Alamat: Jl. Raya Danyang-Sukorejo RT 05 RW 01 Desa Serangan Kecamatan Sukorejo Kabupaten Ponorogo Telp. 085235004462, 081335718040 E-mail: [email protected] Website: www.2trik.webs.com Penerbitan perdana: Desember 2011 Diterbitkan setiap tiga bulan Harga per-eksemplar Rp. 30.000,00 PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL Kami menerima artikel asli berupa hasil penelitian atau tinjauan hasil penelitian kesehatan, yang belum pernah dipublikasikan, dilengkapi dengan: 1) surat ijin atau halaman pengesahan, 2) jika peneliti lebih dari 1 orang, harus ada kesepakatan urutan peneliti yang ditandatangani oleh seluruh peneliti. Dewan Redaksi berwenang untuk menerima atau menolak artikel yang masuk, dan seluruh artikel tidak akan dikembalikan kepada pengirim. Dewan Redaksi juga berwenang mengubah artikel, namun tidak akan mengubah makna yang terkandung di dalamnya. Artikel berupa karya mahasiswa (karya tulis ilmiah, skripsi, tesis, disertasi, dsb.) harus menampilkan mahasiswa sebagai peneliti utama. Persyaratan artikel adalah sebagai berikut: 1. Diketik pada ukuran HVS A4 bermargin kiri, kanan, atas, dan bawah masing-masing 3,5 cm, dalam satu kolom, menggunakan huruf Arial 9, maksimum 10 halaman. 2. Naskah berupa softcopy dikirim melalui e-mail: [email protected] . Isi artikel harus memenuhi sistematika sebagai berikut: 1. Judul ditulis dengan ringkas dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris tidak lebih dari 14 kata, menggunakan huruf kapital dan dicetak tebal pada bagian tengah. 2. Nama lengkap penulis tanpa gelar ditulis di bawah judul, dicetak tebal pada bagian tengah. Di bawah nama ditulis institusi asal penulis. 3. Abstrak ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris. Judul abstrak menggunakan huruf kapital di tengah dan isi abstrak dicetak rata kiri dan kanan dengan awal paragraf masuk 1 cm. Di bawah isi abstrak harus ditambahkan kata kunci. 4. Pendahuluan ditulis dalam Bahasa Indonesia rata kiri dan kanan dan paragraf masuk 1 cm. 5. Metode Penelitian ditulis dalam Bahasa Indonesia rata kiri dan kanan, paragraf masuk 1 cm. Isi bagian ini disesuaikan dengan bahan dan metode penelitian yang diterapkan. 6. Hasil Penelitian ditulis dalam Bahasa Indonesia rata kiri dan kanan, paragraf masuk 1 cm. Kalau perlu, bagian ini dapat dilengkapi dengan tabel maupun gambar (foto, diagram, gambar ilustrasi dan bentuk sajian lainnya). Judul tabel berada di atas tabel dengan posisi di tengah, sedangkan judul gambar berada di bawah gambar dengan posisi di tengah. 7. Pembahasan ditulis dalam Bahasa Indonesia rata kiri dan kanan, paragraf masuk 1 cm. Pada bagian ini, hasil penelitian ini dibahas berdasarkan referensi dan hasil penelitian lain yang relevan . 8. Simpulan dan Saran ditulis dalam Bahasa Indonesia rata kiri dan kanan, paragraf masuk 1 cm. 9. Daftar Pustaka ditulis dalam Bahasa Indonesia, bentuk paragraf menggantung (baris kedua dan seterusnya masuk 1 cm) rata kanan dan kiri. Daftar Pustaka menggunakan Sistem Harvard. Redaksi Vol. VI No. 1 Halaman 1 56 Februari 2016 ISSN: 2089-4686

Upload: lamngoc

Post on 09-Aug-2019

217 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K - 2trik.webs.com fileVolume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan menolak artikel yang masuk, dan seluruh artik

Volume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098

i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

2-TRIK: TUNAS-TUNAS RISET KESEHATAN

Diterbitkan oleh: WAHANA RISET KESEHATAN

Penanggungjawab: Ketua Wahana Riset Kesehatan

Ketua Dewan Redaksi: Heru SWN

Anggota Dewan Redaksi: Koekoeh Hardjito

Sunarto Subagyo

Tutiek Herlina

Sekretariat: Winarni

Nunik Astutik

Alamat: Jl. Raya Danyang-Sukorejo

RT 05 RW 01 Desa Serangan Kecamatan Sukorejo Kabupaten Ponorogo

Telp. 085235004462, 081335718040 E-mail: [email protected] Website: www.2trik.webs.com

Penerbitan perdana: Desember 2011 Diterbitkan setiap tiga bulan

Harga per-eksemplar Rp. 30.000,00

PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL

Kami menerima artikel asli berupa hasil penelitian atau

tinjauan hasil penelitian kesehatan, yang belum pernah dipublikasikan, dilengkapi dengan: 1) surat ijin atau halaman pengesahan, 2) jika peneliti lebih dari 1 orang, harus ada kesepakatan urutan peneliti yang ditandatangani oleh seluruh peneliti. Dewan Redaksi berwenang untuk menerima atau menolak artikel yang masuk, dan seluruh artikel tidak akan dikembalikan kepada pengirim. Dewan Redaksi juga berwenang mengubah artikel, namun tidak akan mengubah makna yang terkandung di dalamnya. Artikel berupa karya mahasiswa (karya tulis ilmiah, skripsi, tesis, disertasi, dsb.) harus menampilkan mahasiswa sebagai peneliti utama.

Persyaratan artikel adalah sebagai berikut:

1. Diketik pada ukuran HVS A4 bermargin kiri, kanan, atas, dan bawah masing-masing 3,5 cm, dalam satu kolom, menggunakan huruf Arial 9, maksimum 10 halaman.

2. Naskah berupa softcopy dikirim melalui e-mail: [email protected] .

Isi artikel harus memenuhi sistematika sebagai berikut:

1. Judul ditulis dengan ringkas dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris tidak lebih dari 14 kata, menggunakan huruf kapital dan dicetak tebal pada bagian tengah.

2. Nama lengkap penulis tanpa gelar ditulis di bawah judul, dicetak tebal pada bagian tengah. Di bawah nama ditulis institusi asal penulis.

3. Abstrak ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris. Judul abstrak menggunakan huruf kapital di tengah dan isi abstrak dicetak rata kiri dan kanan dengan awal paragraf masuk 1 cm. Di bawah isi abstrak harus ditambahkan kata kunci.

4. Pendahuluan ditulis dalam Bahasa Indonesia rata kiri dan kanan dan paragraf masuk 1 cm.

5. Metode Penelitian ditulis dalam Bahasa Indonesia rata kiri dan kanan, paragraf masuk 1 cm. Isi bagian ini disesuaikan dengan bahan dan metode penelitian yang diterapkan.

6. Hasil Penelitian ditulis dalam Bahasa Indonesia rata kiri dan kanan, paragraf masuk 1 cm. Kalau perlu, bagian ini dapat dilengkapi dengan tabel maupun gambar (foto, diagram, gambar ilustrasi dan bentuk sajian lainnya). Judul tabel berada di atas tabel dengan posisi di tengah, sedangkan judul gambar berada di bawah gambar dengan posisi di tengah.

7. Pembahasan ditulis dalam Bahasa Indonesia rata kiri dan kanan, paragraf masuk 1 cm. Pada bagian ini, hasil penelitian ini dibahas berdasarkan referensi dan hasil penelitian lain yang relevan .

8. Simpulan dan Saran ditulis dalam Bahasa Indonesia rata kiri dan kanan, paragraf masuk 1 cm.

9. Daftar Pustaka ditulis dalam Bahasa Indonesia, bentuk paragraf menggantung (baris kedua dan seterusnya masuk 1 cm) rata kanan dan kiri. Daftar Pustaka menggunakan Sistem Harvard.

Redaksi

Vol. VI No. 1 Halaman 1 – 56 Februari 2016 ISSN: 2089-4686

Page 2: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K - 2trik.webs.com fileVolume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan menolak artikel yang masuk, dan seluruh artik

Volume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098

ii 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

EDITORIAL

Selamat berjumpa kembali dengan 2-TRIK Volume VI Nomor 1 bulan Februari 2016. Pada penerbitan ini kami menyajikan delapan artikel hasil penelitian dalam bidang kebidanan dan kesehatan masyarakat. Kami menyampaikan terimaksih yang sebesar-besarnya kepada para penulis yang telah mempercayakan publikasi dalam jurnal ini dan semoga karya-karya yang telah terpublikasikan pada nomor ini dapat berkontribusi bagi kemajuan IPTEK kesehatan di tanah air kita.

Anda dapat mengunduh isi jurnal ini melalui www.2trik.webs.com atau dalam bentuk ringkas dapat dilihat di portal PDII LIPI. Selamat bersua kembali pada bulan Mei 2016 yang akan datang. Terimakasih.

Redaksi

DAFTAR JUDUL

1 PENGARUH QUALITY OF WORKLIFE TERHADAP KINERJA TENAGA

KESEHATAN PUSKESMAS DI KOTA SURABAYA RA. Chandra Kusumawardhani, Nyoman Anita Damayanti

1-5

2 PENGARUH PROSES PEMBERDAYAAN POSYANDU TERHADAP CAPAIAN INDIKATOR SDKN POSYANDU BALITA Migit Supriati

6-10

3 FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN MOTIVASI BIDAN PRAKTEK MANDIRI DALAM PENERAPAN PENCEGAHAN INFEKSI PADA PERSALINAN NORMAL Sundari, Martha Irene Kartasurya, Atik Mawarni

11-17

4 ANALISIS SITUASI SISTEM RUJUKAN IBU HAMIL DAN BERSALIN DENGAN METODE SWOT Vidya Nirmala, Azizatul Hamidiyah

18-21

5 HUBUNGAN LINGKUNGAN TEMPAT ALAM TERBUKA DENGAN INDEKS LARVA DI KABUPATEN REJANG LEBONG H.Rustam Aji

22-29

6 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGGINYA KEJADIAN PERSISITENSI GIGI PADA PASIEN ANAK (6-12 TAHUN) Ristya Widi Endah Yani

30-32

7 PELAKSANAAN PENDOKUMENTASIAN MONITORING HEMODINAMIKA DI ICU RSUD BANGIL KABUPATEN PASURUAN Moch. Bahrudin

33-36

8 FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KETIDAK PATUHAN BEROBAT PENDERITA TB PARU Abuzar Wakano

37-43

9 EVALUASI PELATIHAN STIMULASI, DETEKSI, DAN INTERVENSI DINI

PERKEMBANGAN ANAK BERDASARKAN MODEL EVALUSI PELATIHAN KIRKPATRIK Budi Joko Santosa, Ayesha Hendriana Ngestiningrum, Nuryani

44-52

10 GAMBARAN PERILAKU KEBIASAAN MEROKOK DENGAN KEJADIAN PENYAKIT JANTUNG KORONER Kusmini Suprihatin, Yetti WIlda

53-56

Page 3: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K - 2trik.webs.com fileVolume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan menolak artikel yang masuk, dan seluruh artik

Volume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098

1 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

PENGARUH QUALITY OF WORKLIFE TERHADAP KINERJA TENAGA

KESEHATAN PUSKESMAS DI KOTA SURABAYA

RA. Chandra Kusumawardhani

(Puskesmas Balongsari Surabaya) Nyoman Anita Damayanti

(Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga)

ABSTRACT

Introduction: Health Centers Performance Assessment (Indonesian: Penilaian Kinerja Puskesmas or PKP) in 2013 showed that 97.6% of health centers were considered not good; 57.14% were poor and 40.46% were moderate. The unsatisfactory result mentioned need to be assessed in order to understand the causes thus improving the performance of health workers in health centers in Surabaya. Previous study conducted by Reddy (2010) showed that a good quality of work life in one organization can increase employee productivity. Method: Based on these studies, further study was needed to measure and analyze the quality of work life of health workers in many public health centers in Surabaya. According to Walton’s Theory, there are 8 indicators of Quality of Worklife. Results: The quality of work life had an influence to the performance of health workers in health centers in the city. Based on linear regression result, among those 8 indicators of Quality of Worklife, 2 influences performance. Safe and healthy work condition towards performance is p= 0,027. Opportunity of develop human capacity towards performance is p= 0,028. Keywords: Quality of worklife, performance, health workers, Walton’s theory

PENDAHULUAN Latar Belakang

Salah satu dimensi pembangunan

sebagaimana tercantum dalam RPJMN 2015-2019 (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) adalah dimensi pembangunan manusia. Pembangunan manusia dilakukan untuk meningkatkan kualitas masyarakat dengan meningkatkan kecerdasan otak, kesehatan fisik melalui pendidikan, kesehatan dan perbaikan gizi. Pusat Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disebut Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya.

Upaya esensial atau program wajib yang dilakukan Puskesmas terdiri atas: 1) Upaya Pengobatan; 2) Promosi Kesehatan; 3) Kesehatan Ibu Anak dan Keluarga Berencana; 4) Kesehatan Lingkungan; 5) Gizi; 6) Pencegahan dan pengendallian penyakit menular. Program wajib memiliki daya ungkit besar dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, maka dari itu selain fasilitas yang lengkap, kualitas tenaga kesehatan perlu diperhatikan sehingga pencapaian kinerja baik. Menurut data Dinas Kesehatan Kota Surabaya Tahun 2013, sebesar 57,14% Puskesmas masih memiliki hasil kinerja program wajib dengan kategori kurang.

Menurut Tãtãr (2011) sangat penting untuk mengukur kinerja pegawai karena memiliki pengaruh terhadap kinerja organisasi. Penelitian terdahulu telah menunjukkan bahwa kinerja pegawai dipengaruhi oleh kompetensi, pendidikan, usia dan masa kerja. Selain karakteristik, faktor seperti motivasi, leadership dan Quality Of Work Life (QWL) juga memiliki

pengaruh terhadap kinerja. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis Quality Of Worklife yang berpengaruh terhadap kinerja tenaga kesehatan.

Termin Quality Of Worklife diperkenalkan pertama kali pada International Labour Relation Conference Tahun 1972. Konsep Quality Of Worklife atau QWL adalah

memenuhi kebutuhan pegawai sehingga meningkatkan kepuasan yang berujung pada perbaikan produktivitas serta efisiensi kerja (Sushil, 2013). Pengembangan Quality Of Worklife dilakukan untuk memperbaiki lingkungan kerja, meningkatkan hubungan

Page 4: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K - 2trik.webs.com fileVolume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan menolak artikel yang masuk, dan seluruh artik

Volume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098

2 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

baik antara organisasi dan pegawai sehingga diharapkan kinerja pegawai lebih baik dan kompetitif (Timossi, 2008). METODE PENELITIAN

Penelitian ini adalah Observasional Analitik dengan pendekatan Crossectional. Hasil Penghitungan sampel adalah 90 orang, akan tetapi hanya 65 orang yang sesuai dengan kriteria inklusi yaitu: 1) Bersedia menjadi responden; 2) Pegawai Negeri Sipil; 3) Memiliki Penilaian Kinerja Tahun 2014. Penelitian ini dilakukan selama 2 bulan yaitu mulai Juli hingga September 2015. Responden sebanyak 65 orang tersebut adalah tenaga kesehatan yang memiliki tanggung jawab sebagai koordinator program wajib. Metode pengambilan sampel adalah dengan menggunakan kuesioner Quality Of Worklife model Walton yang diadaptasi oleh Timossi (2008). Kuesioner tersebut bertujuan mengukur penilaian tenaga kesehatan terhadap indikator QWL di tempat kerjanya dengan menggunakan skala likert. Pengolahan data menggunakan analisis regresi ganda.

HASIL PENELITIAN Karakteristik Responden

Jumlah total tenaga kesehatan yang

menjadi responden dalam penelitian ini adalah 65 orang. Distribusi responden menurut, jenis kelamin, usia, profesi dan pengalaman kerja dapat dilihat dari Tabel 1. Tabel 1. Distribusi Jenis Kelamin Responden

Jenis Kelamin Frekuensi Persen

Laki-laki Perempuan

12 53

18,5 81,5

Total 65 100,0

Tabel 1 menunjukkan bahwa mayoritas

responden adalah perempuan yaitu sebesar 81,5%.

Tabel 2. Distribusi Usia Responden

Usia Frekuensi Persen

22-30 tahun 31-39 tahun 40-48 tahun 49-58 tahun

5 27 20 13

7,7 41,5 30,8 20,0

Total 65 100,0

Tabel 2 menunjukkan bahwa responden

terbanyak adalah berusia 31-39 tahun yaitu sebesar 41,5%. Responden yang berusia

22-30 tahun berjumlah paling sedikit yaitu hanya 7,7%.

Tabel 3. Distribusi Profesi Responden

Profesi Frekuensi Persen

Dokter Umum Bidan

Perawat Sanitarian Nutrisions Lain-lain

10 15 21 8 9 2

15,4 23,1 32,3 12,3 13,8 3,1

Total 65 100,0

Tabel 3 menunjukkan bahwa responden

terbanyak berprofesi sebagai perawat yaitu sebesar 32,3%.

Tabel 4. Distribusi Pengalaman Kerja Responden

Pengalaman Frekuensi Persen

< 5 tahun 5-10 tahun >10 – 15

tahun >15-20 tahun >20-25 tahun

>25 tahun

4 15 16 7 14 9

6,2 23,1 24,6 10,8 21,5 13,8

Total 65 100,0

Tabel 4 menunjukkan bahwa tenaga

kesehatan yang menjadi responden terbanyak memiliki pengalaman kerja 10-15 tahun di Puskesmas Kota Surabaya. Tenaga kesehatan dengan masa kerja kurang dari 5 tahun hanya 6,2%. Kualitas Kehidupan Kerja Tenaga Kesehatan di Puskesmas Kota Surabaya

Hasil penelitian menyatakan bahwa rata-

rata nilai Kualitas Kehidupan Kerja Tenaga Kesehatan Kota Surabaya adalah 2,920 dari skala 1 sampai dengan 4 yang berarti: Baik. Lebih jelas dapat dilihat dari Tabel 5.

Tabel 5. Kualitas Kehidupan Kerja Tenaga Kesehatan di Puskesmas Kota Surabaya

Kualitas Kehidupan Kerja Frekuensi Persen

Sangat Buruk (1,00-1,75) Buruk (1,76-2,25) Baik (2,26-3,25)

Sangat Baik (3,26-4,00)

0 4 57 4

0,0 6,2

87,7 6,2

Total 65 100,0

Seperti yang ditunjukkan oleh tabel 5 di

atas, sebesar 87,7% tenaga kesehatan memberi penilaian baik terhadap kualitas kehidupan kerja instansi. Masih ada

Page 5: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K - 2trik.webs.com fileVolume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan menolak artikel yang masuk, dan seluruh artik

Volume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098

3 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

penilaian buruk sebesar 6,2%. Tidak ada penilaian sangat buruk dari tenaga kesehatan Puskesmas di Kota Surabaya.

Pengaruh Kualitas Kehidupan Kerja Terhadap Kinerja Tenaga Kesehatan Puskesmas di Kota Surabaya.

Setelah didapatkan hasil Kualitas

Kehidupan Kerja kemudian dilakukan uji pengaruh terhadap kinerja tenaga kesehatan. Data Kinerja yang digunakan adalah penilaian resmi Pegawai Negeri Sipil berdasarkan PP No. 46 Tahun 2011. Penilaian tersebut terdiri dari perilaku kerja dan Sasaran Kinerja Pegawai (SKP).

Hasil uji Regresi ganda untuk mengetahui adanya pengaruh kualitas kehidupan kerja terhadap kinerja tenaga kesehatan Kota Surabaya, secara umum menghasilkan p (0,022) < α (0,05). Dapat ditarik kesimpulan bahwa secara serentak, variabel kualitas kehidupan kerja berpengaruh terhadap variabel kinerja tenaga kesehatan Kota Surabaya. Jika dilihat dari nilai Adjusted R Square yang besarnya 0,148 menunjukkan bahwa proporsi variabel kualitas kehidupan kerja berpengaruh terhadap variabel kinerja tenaga kesehatan Kota Surabaya sebesar 14,8% saja, sedangkan sisanya tidak terdapat pada model regresi linier.

Tabel 6. Tabulasi silang antara Kualitas Kehidupan Kerja dan Kinerja Tenaga

Kesehatan di Puskesmas Kota Surabaya

Kualitas Kehidupan

Kerja

Kinerja Pegawai Total

Cukup Baik

n % n % n %

Buruk Baik

Sangat Baik

1 0 0

25,0 0,0 0,0

3 57 4

75,0 100,0 100,0

4 57 4

100 100 100

Total 1 1.5 64 98,5 65 100

Tabel 6 menunjukkan bahwa Semakin

tinggi Kualitas Kehidupan Kerja PNS tenaga Kesehatan Puskesmas di Kota Surabaya maka semakin baik juga kinerja tenaga kesehatan tersebut.

Hasil uji pengaruh kriteria QWL terhadap Kinerja Tenaga Kesehatan di Puskesmas Kota Surabaya

Analisis regresi ganda dilakukan untuk melihat kriteria QWL yang berpengaruh terhadap kinerja tenaga kesehatan. Hasil uji pengaruh dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Uraian Hasil Uji Pengaruh Kualitas Kehidupan Kerja Terhadap Kinerja Tenaga

Kesehatan Puskesmas Kota Surabaya.

No Variabel Independen

Variabel Dependen

P B Keterangan

1 Kompensasi Adil dan Layak

Kinerja 0.080 0.224

Tidak Signifikan

2 Lingkungan Kerja Aman dan

Sehat

Kinerja 0.027 0.292

Signifikan

3 Pengembangan Kapasitas Diri

Kinerja 0.028 0.283

Signifikan

4 Pertumbuhan dan

Kemapanan

Kinerja 0.929 -0.012

Tidak signifikan

5 Integrasi Sosial Kinerja 0.206 -0.162

Tidak signifikan

6 Keseimbangan Waktu Kerja dan Pribadi

Kinerja 0.201 0.168

Tidak signifikan

7 Relevansi Sosial

Kinerja 0.325 -0.142

Tidak signifikan

Tabel 7 menunjukkan bahwa terdapat

dua kriteria QWL yang berpengaruh signifikan terhadap kinerja Tenaga Kesehatan yaitu: 1) Lingkungan yang Aman dan Sehat; 2) Pengembangan Kapasitas Diri. PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa QWL memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja, Sejalan dengan hasil penelitian ini, Shekari (2014) menemukan adanya peningkatan kinerja sebesar 2% setelah program QWL diterapkan dalam organisasi. Pengaruh QWL yang positif dan signifikan terhadap kinerja juga ditunjukkan dalam penelitian Azril (2010) dan Jofreh (2012). Kheradmad (2010) menyatakan bahwa QWL yang baik dalam organisasi akan mengurangi absenteeism pegawai.

Rubel (2014) menyatakan bahwa kinerja pegawai berpengaruh terhadap kinerja organisasi. Maka dari itu, penting bagi suatu organisasi untuk meningkatkan QWL pegawai sebagai bagian dari strategi peningkatan kinerja.

Terdapat dua Kriteria QWL yang memiliki pengaruh signifikan adalah: Lingkungan yang aman dan Sehat serta Pengembangan Kapasitas Diri. Tenaga Kesehatan dalam kesehariannya bekerja merawat pasien dengan berbagai macam penyakit karena itu Kondisi Puskesmas perlu diatur dengan baik sehingga meminimalisir penularan penyakit. Ketersediaan ruangan khusus penyakit menular, kuantitas dan kualitas Alat Pelindung Diri (APD) sesuai standar merupakan hal yang perlu diperhatikan pihak

Page 6: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K - 2trik.webs.com fileVolume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan menolak artikel yang masuk, dan seluruh artik

Volume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098

4 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

manajemen sehingga nantinya diharapkan kinerja tenaga kesehatan dapat lebih baik.

Hasil Focussed Group Discussion menunjukkan bahwa beberapa Puskesmas di Surabaya masih belum memiliki ruangan khusus untuk penyakit menular seperti TBC. Alat Pelindung Diri di Rumah Bersalin dianggap cukup secara kuantitas akan tetapi belum sesuai standar yang diharapkan. Perencanaan tata ruang serta pengaturan logistik yang lebih baik sangat diharapkan oleh tenaga kesehatan. Puskesmas sebagai pelaksana pelayanan juga harus pro aktif dalam mengajukan permintaan alat, bahan dan fasilitas ke Dinas Kesehatan Kota Surabaya berdasarkan keadaan di lapangan.

Pengembangan Kapasitas Diri merupakan jriteria QWL kedua yang berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja Tenaga Kesehatan. Perkembangan teknologi kesehatan sangatlah pesat, sudah merupakankeharusan bagi tenaga kesehatan untuk meningkatkan serta meng-upgrade kompetensi baik melalui seminar atau melanjutkan pendidikan. Pembahasan dalam Focussed Group Discussion menunjukkan bahwa kurangnya fleksibilitas yang diberikan kepada tenaga kesehatan untuk meningkatkan kompetensi, beberapa pelatihan yang dilakukan seringkali tidak sesuai kebutuhan. Puskesmas dalam hal ini harus membuat suatu matrix kompetensi yang detail sehingga dapat menentukan secara tepat pelatihan yang dibutuhkan.

Nilai QWL Puskesmas Kota Surabaya yang berada dalam range baik diharapkan dapat menjadi salah satu faktor yang meningkatkan kinerja tenaga kesehatan. Keterbatasan penelitian ini adalah hanya dilakukan kepada tenaga kesehatan dengan status PNS Kota Surabaya, sedangkan dalam pelaksanaannya, terdapat pegawai Non-PNS dengan status kontrak, tidak tetap, outsourcing dan honorer. Terdapat perbedaan hak dan kewajiban antara PNS dan Non PNS, contoh: dalam penerimaan kompensasi finansial dan kesempatan pengembangan kapasitas diri. Pegawai Negeri Sipil menerima Tunjangan Penambahan Penghasilan dan memiliki kesempatan lebih luas dalam pengembangan kapasitas diri.

KESIMPULAN DAN SARAN

Quality Of Worklife atau QWL memiliki

tujuan untuk meningkatkan kinerja pegawai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa QWL tenaga kesehatan Puskesmas Kota Surabaya dalam hal ini yang berstatus PNS sudah baik. Secar umum, QWL berpengaruh signifikan terhadap kinerja tenaga

kesehatan Puskesmas di Surabaya. Kriteria QWL yang memiliki pengaruh signifikan terhadap kinerja adalah: 1) Lingkungan yang aman dan sehat, serta 2) Pengembangan Kapasitas Diri. Selanjutnya disarankan agar Dinas Kesehatan Kota Surabaya perlu terus meningkatkan concern tentang pegawai baik PNS maupun Non PNS. Diperlukan keluwesan dan inovasi dari pemegang kebijakan agar tercipta kehidupan kerja yang berkualitas. DAFTAR PUSTAKA

Aketch JR. 2012. Effects Of Quality Of

Worklife on Job Performance: Theoretical Perspective and Literature Review. Journal Of Social Sciences 4(5): 383-388, 2012

Arikunto, S., 2006. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

Azril M., Jegak U., Asiah M, 2010. Can Quality of Work Life Affect Work Performance among Government Agriculture Extension Officers? A Case from Malaysia. Journal of Social Sciences 6 (1): 64-73, 2010

Badan Kepegawaian Negara. Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2011 tentang Penilaian Prestasi Kerja Pegawai Negeri Sipil. PERKA BKN/Nomor 1/2013.

Jofreh M., Dashgarzadeh J., Khoshbeen F., 2012. The Relationship between Quality of Work Life with Staff Performance of Iranian Gas Engineering and Development Company. Research Journal of Applied Sciences, Engineering and Technology 4(15): 2507-2514, 2012.

Kemenkes RI. 2014. Pusat Kesehatan Masyarakat. PERMENKES RI/Nomor 75/2014. Jakarta.

Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional. 2015. Buku Saku Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional RPJMN (2015-2019) terkait tata ruang dan pertanahan. Jakarta.

Kheradmand E, Valilou M, Lotfi A., 2010. The relation Between Quality of Work Life and Job Performance. Middle-East Journal of Scientific Research 6(4): 317-323.

Rubel M., Mui Hung Kee D., 2014. Quality of Work Life and Employee Performance: Antecedent and Outcome of Job Satisfaction in Partial Least Square (PLS). World Applied Sciences Journal 31 (4): 456-467, 2014.

Sushil S., 2013. Motivation and Retention: HR strategies in Achieving Quality of Work Life. Global Journal of Management

Page 7: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K - 2trik.webs.com fileVolume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan menolak artikel yang masuk, dan seluruh artik

Volume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098

5 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

and Business Studies. Volume 3, Number 7, pp-763-768.

Shekari Gh, Monshizadeh M, Ansari M., 2014. Investigating the relationship between quality of working life (based on Walton’s model) and employee’s performance (based on annual performance evaluation scores) in Water and Wastewater Office, Khorasan Razavi. Interdisciplinary Journal Of Contemporary Research In Business, Volume 6, No.1

Sinambela L., 2012. Kinerja Pegawai: Teori Pengukuran dan Implikasi. Edisi pertama. Graha Ilmu, Yogyakarta.

Tãtar E., 2011. The Importance Of Measuring Individual Performance to Increase Organizational Performance. Journal Of Defense Resources Management. Vol. 2, No.1.

Timossi L 2008. Evaluation Of Quality Of Worklife: An Adaptation from the Walton QWL Model. XIV International Conference On Industrial Engineering and operation management.

Page 8: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K - 2trik.webs.com fileVolume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan menolak artikel yang masuk, dan seluruh artik

Volume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098

6 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

PENGARUH PROSES PEMBERDAYAAN POSYANDU TERHADAP CAPAIAN

INDIKATOR SDKN POSYANDU BALITA

Migit Supriati (Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga Surabaya)

ABSTRAK

Pendahuluan: Posyandu merupakan salah satu bentuk Upaya Kesehatan Bersumber Daya Masyarakat (UKBM) yang dikelola dan diselenggarakan dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat guna memberdayakan masyarakat dan memberikan kemudahan kepada masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan dasar. Capaian tingkat partisipasi masyarakat (D/S) sebesar 79,57% belum dapat mencapai target 80% dan penurunan capaian tingkat keberhasilan program (N/S) menjadi 55,67% (target 60%). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh proses pemberdayaan kader di Posyandu terhadap upaya peningkatan capaian kinerja indikator SKDN Posyandu Balita di Kota Surabaya. Metode: Penelitian ini dilakukan pada bulan September hingga Oktober 2015 menggunakan rancang bangun penelitian Cross Sectional. Lokasi penelitian berada di posyandu Kota Surabaya. Populasi dalam penelitian ini adalah Posyandu Balita di Kota Surabaya, yang berjumlah 2830 Posyandu Balita. Jumlah sampel dalam penelitian ini yaitu 87 posyandu yang diwakili oleh 1 orang kader kriteria telah menjadi kader minimal 2 tahun, berperan aktif dan mengetahui semua kegiatan di posyandu sebagai key person dari Posyandu. Instrumen penelitian menggunakan kueisioner. Analisis data menggunakan uji regresi Logistik. Hasil: Capaian kinerja SKDN Posyandu dipengaruhi oleh understanding dan harnessing kader dalam setiap pelaksanaan kegiatan di Posyandu. Rekomendasi: Perlu dilaksanakan pelatihan kader disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan kader Posyandu Balita di Kota Surabaya dan perlu dukungan dari Kelurahan, Puskesmas dan tim pokjanal Posyandu untuk melakukan monitoring pada organisai Posyandu. Kata Kunci: Proses pemberdayaan, kinerja, Posyandu

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kegiatan posyandu meliputi 5 program prioritas yaitu : Keluarga Berencana (KB), Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), Gizi, Imunisasi dan Penanggulangan Diare (Depkes RI, 2006).

Secara garis besar tujuan Revitalisasi Posyandu meliputi (1) terselenggaranya kegiatan Posyandu secara rutin dan berkesinambungan; (2) tercapainya pemberdayaan tokoh masyarakat dan kader melalui advokasi, orientasi, pelatihan atau penyegaran, dan (3) tercapainya pemantapan kelembagaan Posyandu. Revitalisasi Posyandu dikatakan berhasil apabila dapat mengembalikan fungsi utamanya sebagai lembaga masyarakat (Ismawati, Cahyo, 2010).

Data Dinas Kesehatan Kota Surabaya menyebutkan bahwa jumlah Posyandu di Kota Surabaya semakin meningkat menjadi 2820 posyandu pada tahun 2014. Hal ini juga diikuti dengan peningkatan pencapaian target Posyandu Purnama-Mandiri (PURI) menjadi 52,1% pada tahun 2014. Perkembangan dan peningkatan mutu pelayanan Posyandu sangat dipengaruhi oleh peran serta masyarakat diantaranya adalah kader.

Laporan tahunan program gizi dinas kesehatan kota Surabaya tahun 2015 menunjukkan bahwa terdapat penurunan capaian SKDN Posyandu Balita Kota Surabaya. Capaian tingkat jangkauan program (K/S) dari tahun 2013 sampai tahun 2014 menurun menjadi 82,29%. Capaian tingkat partisipasi masyarakat (D/S) pada tahun 2014 sebesar 79,57%, belum dapat mencapai target renstra Kota Surabaya sebesar 80%. Hal ini juga terlihat pada capaian tingkat keberhasilan program (N/S) sebesar 55,67% (tahun 2014), dengan target 60%. 62 Puskesmas di Kota Surabaya, sebanyak 45 Puskesmas (73%) masih belum mencapai target K/S 100% pada tahun 2014, 21 Puskesmas (34%) masih belum mencapai target D/S 80%, sebanyak 19 Puskesmas (30%) masih belum mencapai target N/D 63%, dan sebanyak 36 Puskesmas (58%) masih belum mencapai target N/S 60%. Tiap Puskesmas memiliki beberapa Posyandu di wilayah kerjanya, yang dijalankan oleh minimal 5 orang kader.

Fungsi kader terhadap Posyandu sangat besar yaitu mulai dari tahap perintisan Posyandu, penghubung dengan lembaga yang menunjang penyelenggaraan Posyandu, sebagai perencana pelaksana dan sebagai pembina serta sebagai

Page 9: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K - 2trik.webs.com fileVolume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan menolak artikel yang masuk, dan seluruh artik

Volume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098

7 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

penyuluh untuk memotivasi masyarakat yang dapat berperan serta dalam kegiatan Posyandu diwilayahnya (Naim, Umar, 2008).

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh proses pemberdayaan kader terhadap upaya peningkatan capaian kinerja indikator SKDN Posyandu di Kota Surabaya.

METODE PENELITIAN

Jenis Penelitian ini adalah observasional analitik. Penelitian ini dilaksanakan tanpa memberikan perlakuan ataupun intervensi kepada respondennya. Penelitian ini menggunakan rancang bangun cross sectional. Pengambilan data dilaksanakan di Posyandu terpilih di wilayah Puskesmas Kota Surabaya pada bulan September sampai dengan Oktober 2015.

Populasi dalam penelitian ini adalah Posyandu Balita di Kota Surabaya, yang berjumlah 2830 Posyandu Balita. Cara pengambilan sampel menggunakan rumus Hulley & Cummings. Jumlah sampel dalam penelitian ini yaitu 87 posyandu yang diwakili oleh 1 orang kader kriteria telah menjadi kader minimal 2 tahun, berperan aktif dan mengetahui semua kegiatan di posyandu sebagai key person dari Posyandu tersebut sehingga jumlah responden 87 orang.

Variabel penelitian dibagi menjadi dua yaitu variabel bebas dan variabel tergantung. Variabel bebas penelitian adalah proses pemberdayaan masyarakat yang meliputi Proses awakening/penyadaran, Proses understanding/ pemahaman, Proses harnessing/ pemanfaatan, dan Proses using/pembiasaan. Variabel tergantung yang

digunakan dalam penelitian adalah capaian kinerja Indikator SDKN Posyandu Balita yang meliputi Tingkat jangkauan program (K/S), Tingkat partisipasi masyarakat (D/S), dan Tingkat keberhasilan program (N/S).

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa kueisioner yang terlebih dahulu diuji validitas dan reliabilitas kuesioner. Teknik analisis data menggunakan uji regresi Logistik untuk dapat mengetahui pengaruh antara variabel bebas dengan variabel tergantung. Rekomendasi yang diberikan berdasarkan hasil Focus Group Discussion oleh Kepala dan petugas puskesmas, ketua dan anggota kader, dan pemegang program Posyandu pada Dinas Kesehatan Kota Surabaya.

HASIL PENELITIAN

Karakteristik Responden

Kelompok umur key person terbanyak dalam penelitian ini adalah kelompok 46-55

tahun (lansia awal) yaitu 56,3% dan terdapat 34,5% responden berada pada kelompok umur 36-45 tahun (dewasa akhir). Data tersebut menunjukkan bahwa mayoritas responden mempunyai umur diatas 36 tahun dengan prosentase sebesar 98,8%, sedangkan kelompok umur dibawah 36 tahun hanya 1 orang atau sebesar 1,1%. Semakin bertambah umur seseorang maka semakin memiliki kematangan emosional, pengetahuan, dan pengalaman.

Penggolongan jabatan kader berdasarkan peran kader dalam struktur organisasi di posyandu yaitu sebagai ketua, sekretaris, bendahara ataupun anggota. responden yang terbanyak adalah dengan jabatan sebagai ketua yaitu sebesar 71,3% atau 62 orang. Responden yang paling sedikit adalah responden dengan jabatan sebagai bendahara yaitu hanya sebesar 4,6% atau 4 orang. Berdasarkan kondisi tersebut dapat disimpulkan bahwa kader yang mengetahui seluruh kegiatan posyandu sebagai key person dalam posyandu tersebut mayoritas adalah ketua kader posyandu.

Masa kerja responden terbanyak dalam penelitian ini adalah yang mempunyai masa kerja lebih dari 6 tahun dengan prosentase sebesar 78,1%, sedangkan kelompok masa kerja yang paling sedikit adalah pada responden dengan masa kerja 0 – 5 tahun yaitu hanya 19 orang atau sebesar 21,6%. Berdasarkan data tersebut, dapat diketahui bahwa dengan masa kerja semakin lama diharapkan kader semakin memahami dan mengerti tentang pelaksanaan kegiatan di posyandu, sehingga dapat meningkatkan pelayanannya di posyandu.

Persepsi Key Person terhadap Proses Pemberdayaan Posyandu Balita di Kota Surabaya

Proses pemberdayaan Posyandu Balita di Kota Surabaya meliputi Proses awakening/ penyadaran, Proses understanding/ pemahaman, Proses harnessing/ pemanfaatan, dan Proses using/pembiasaan. Persepsi responden

terhadap proses awakening menunjukkan bahwa kader pernah mendapatkan awakening tentang penjelasan 5 meja pelayanan (50,6%), fungsi posyandu (49,4%), kegiatan inovasi (62,1%) dan manfaat kegiatan Posyandu (48,3%). Kategorisasi proses awakening menurut persepsi dari 87 key person, 52,9% key person menyatakan proses awakening di

posyandu balita Kota Surabaya cukup baik. Namun masih ada 6,9% key person yang menyatakan proses awakening masih kurang baik.

Page 10: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K - 2trik.webs.com fileVolume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan menolak artikel yang masuk, dan seluruh artik

Volume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098

8 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Persepsi key person terkait proses understanding yang telah dilaksanakan di

Posyandu Balita Kota Surabaya menunjukkan 85,1% key person menyatakan bahwa kader memahami tata cara pelaksanaan kegiatan Posyandu dan fungsi Posyandu (77%). Namun 47,1% key person menyatakan bahwa pemahaman kader tentang kegiatan UKBM dan pengelolaan administrasi Posyandu masih kurang. Kategrorisasi proses understanding menunjukkan mayoritas proses understanding di Posyandu Kota Surabaya sudah baik, namun 26,4% (23 key person) mempersepsikan understanding di Posyandu

Kota Surabaya masih cukup baik, sehingga perlu peningkatan pemahaman kader tentang pengelolaan Posyandu.

Persepsi key person terkait proses harnessing yang telah dilaksanakan di Posyandu Balita Kota Surabaya menunjukkan mayoritas key person berpersepsi tentang proses harnessing yang

meliputi pendaftaran, penimbangan, pengisian KMS, dan kunjungan rumah telah dilakukan oleh kader. Namun proses harnessing masih jarang dilakukan pada

penyuluhan (32,2%), pencatatan dan pelaporan (48,3%) serta memberikan solusi terhadap permasalahan kesehatan (52,9%). Proses harnessing di Posyandu Balita Kota

Surabaya telah berjalan baik (dinyatakan oleh 70 key person (80,5%).

Persepsi key person terkait proses using yang telah dilaksanakan di Posyandu Balita Kota Surabaya menunjukkan mayoritas key person menyatakan bahwa proses using pada penerapan PHBS, pemantauan tumbuh kembang anak, memberikan solusi terhadap permasalahan yang muncul di masyarakat telah dilakukan. Namun dari tabel tersebut diperoleh informasi bahwa proses using masih jarang dilakukan pada pengaturan menu seimbang di keluarga (54% key person) dan pemberian pengobatan dasar (48,3% key person). mayoritas key person menyatakan proses using yang dilakukan sudah baik yaitu sebesar 70,1%. Namun ada 2,3% key person yang menyatakan bahwa using kader masih kurang baik.

Secara umum, hasil penelitian menunjukkan bahwa 79,3% key person

menyatakan proses pemberdayaan yang dilakukan sudah baik dan 20,7% cukup baik. Dengan kondisi tersebut diharapkan pelayanan di Posyandu semakin baik, sehingga capaian kinerja Posyandu semakin baik.

Kinerja Indikator SKDN Posyandu

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kinerja kader pada indikator SKDN dari 87

Posyandu yang diambil sebagai sampel, 64,4% posyandu telah sesuai dengan target yang ditetapkan. Namun capaian pada indikator K/S masih kurang dari target (58 Posyandu). Data capaian indikator SKDN 87 Posyandu diperoleh informasi, 44 Posyandu mempunyai capaian kinerja kader pada indikator SKDN cukup baik (50,6%) dan 11 posyandu mempunyai capaian kinerja kader pada indikator SKDN baik (12,6%). Namun masih ada 32 Posyandu dengan hasil kinerja masih kurang (36,8%).

Pengaruh Proses Pemberdayaan terhadap Kinerja

Faktor pemberdayaan memiliki 4 indikator yaitu awakening, understanding, harnessing dan using akan diuji apakah memiliki pengaruh pada indikator variabel kinerja.

Tabel 2 Hasil Uji Bivariabel antara Variabel Awakening, Understanding, Harnessing dan Using dengan Variabel Kinerja di Posyandu

Balita Kota Surabaya Tahun 2015

No Variabel Sig Risk Ratio

1 Awakening 0,140 0,423

2 Understanding 0,035 9,289

3 Harnessing 0,012 0,233

4 Using 0,186 0,490

Keterangan : Signifikan = (p<0,25)

Dari hasil uji kandidat antara faktor pemberdayaan dengan masing-masing 4 (empat) variabelnya yaitu awakening, understanding, harnessing dan using terhadap variabel kinerja diperoleh hasil bahwa ada 4 variabel yang dapat masuk ke uji multivariabel karena nilai signifikansi yang lebih kecil dari α=0,25 yaitu variabel Awakening (p=0,140), Understanding (p=0,035), harnessing (p=0,012) dan using

(p=0,186) . Hasil pengujian dalam model adalah sebagai berikut:

Tabel 3 Hasil Uji Multivariabel antara Variabel Awakening,Understanding,

Harnessing, dan Using dengan Variabel

Kinerja di Posyandu Balita Kota Surabaya Tahun 2015

No Variabel Sig Risk Ratio

1 Awakening 0,274 0,493

2 Understanding 0,016 15,242

3 Harnessing 0,004 1,143

4 Using 0,517 1,669

Keterangan : Signifikan = (p<0,05)

Tabel 3 menunjukkan bahwa variabel understanding dan harnessing berpengaruh

signifikan terhadap variabel kinerja indikator SKDN di Posyandu karena memiliki nilai

Page 11: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K - 2trik.webs.com fileVolume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan menolak artikel yang masuk, dan seluruh artik

Volume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098

9 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

signifikansi < α=0,05. Hasil analisis menunjukkan bahwa dari keseluruhan variabel independen yang diduga mempengaruhi variabel kinerja yang paling berpengaruh signifikan adalah variabel understanding dengan p=0,016 < α=0,05.

Nilai risk ratio terbesar yang diperoleh adalah 15,242 yang berarti understanding mempunyai peluang 15,242 kali dapat meningkatkan capaian kinerja indikator SKDN di Posyandu.

Dari hasil signifikansi dapat disimpulkan bahwa understanding /pemahaman kader akan pengetahuan dan keterampilannya di Posyandu sangat penting karena dapat meningkatkan capaian kinerja indikator SKDN di Posyandu. Sedangkan menurut persepsi dari key person proses awakening dan using pada pelaksanaan di Posyandu

tidak berpengaruh terhadap kinerja. Isu Strategis dan Hasil FGD

Secara statistik ada variabel dari proses

pemberdayaan yang berpengaruh terhadap kinerja indikator SKDN Posyandu Balita di Kota Surabaya. Isu Strategis penelitian ini adalah capaian kinerja SKDN Posyandu dipengaruhi oleh understanding dan harnessing kader dalam setiap pelaksanaan kegiatan di Posyandu.

Hasil FGD yang dilakukan pada Kepala Puskesmas, petugas Puskesmas, Ketua kader, anggota kader, dan pemegang program Posyandu pada Dinas Kesehatan Kota Surabaya menunjukkan bahwa penyebab understanding dan harnessing mempengaruhi kinerja indikator SKDN Posyandu Balita di Kota Surabaya karena Understanding/pemahaman kader pada setiap kegiatan di Posyandu kurang merata dan Harnessing/pemanfaatan hasil pemahaman kader perlu dilaksanakan pada setiapkegiatan di Posyandu. Solusi yang diberikan adalah Perlu peningkatan understanding dan harnessing kader pada semua kegiatan di Posyandu dan memberikan motivasi kepada kader agar mempunyai kemauan dalam meningkatkan kemampuan dan menerapkannya pada kegiatan di Posyandu. Rekomendasi

Rekomendasi yang diberikan berdasarkan hasil FGD adalah pemberian pelatihan kader harus disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan kader Posyandu Balita di Kota Surabaya. Pelatihan dapat dilakukan pada saat pelaksanaan pembinaan oleh petugas puskesmas. Selain itu, perlu dukungan dari Kelurahan,

Puskesmas dan tim pokjanal Posyandu untuk melakukan monitoring pada organisai Posyandu. PEMBAHASAN

Pemberdayaan (empowerment) adalah proses mendorong individu dalam organisasi untuk menggunakan inisiatif, kewenangan dan tanggung jawab dalam menyelesaikan pekerjaan (Sudarusman. E, 2004).

Pemberdayaan merupakan salah satu cara untuk mewujudkan kemandirian, agar tidak terjadi ketergantungan. Pemberdayaan dilakukan oleh seluruh pihak yang dapat mendukung keberhasilan program. Hasil penelitian Sumaryadi (2005: 154-158) menyatakan telah terjadi ketergantungan budaya pada masyarakat miskin, dimana masyarakat miskin yang selama ini tidak banyak dilibatkan (diberdayakan) dalam pembangunan memiliki ketergantungan yang tinggi.

Sumaryadi (2005) menyatakan bahwa pemberdayaan harus dilakukan secara terus-menerus. Pemberdayaan yang dilakukan pada kader Posyandu Balita Kota Surabaya telah dilakukan secara terus menerus dan terintegrasi. Kader mendapatkan pembinaan tidak hanya dari petugas Puskesmas tetapi juga dari TP PKK, lintas sektor dan LSM. Banyak materi yang diberikan kepada kader agar kader dapat memahami dan menerapkan pada pelaksanaan kegiatan di Posyandu Balita.

Pada penelitian ini diketahui bahwa proses understanding dan harnessing memberikan pengaruh yang signifikan terhadap capaian kinerja kader Posyandu Balita di Kota Surabaya. Semua kader Posyandu Balita yang telah mendapatkan pemahaman tentang Posyandu harus dapat menerapkannya pada kegiatan Posyandu Balita.

Ife dan Tesoriero (2008) menyatakan bahwa pemberdayaan menekankan pentingnya suatu proses edukatif atau pembelajaran dalam melengkapi masyarakat untuk meningkatkan keberdayaan mereka, sehingga masyarakat memiliki gagasan-gagasan, pemahaman, kosakata, dan keterampilan.

Menurut Mathis (2006), kinerja dipengaruhi oleh perpaduan antara tingkat kemampuan yang dimiliki individu dalam suatu organisasi (pengetahuan, pemahaman, kemampuan dan keterampilan, kecakapan interpersonal dan tehnis), usaha dari setiap individu dalam suatu organisasi (motivasi individu dalam menyelesaikan pekerjaan dengan didukung oleh etika kerja, tingkat kehadiran dan rancangan tugas yang

Page 12: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K - 2trik.webs.com fileVolume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan menolak artikel yang masuk, dan seluruh artik

Volume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098

10 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

baik), serta dukungan organisasi (pemberian pelatihan dan pengembangan pada setiap individu, penyediaan sarana dan prasarana, penetapan standar kinerja, manajemen dalam hubungan antar interpersonal dalam organisasi). Untuk mewujudkannya diperlukan individu yang berdaya, mempunyai kompetensi dan kemauan dalam mengaplikasikan pengetahuan yang dimiliki.

Menurut Steers dan Potter (1987), faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja adalah : (1) kemampuan, kepribadian dan minat kerja; (2) Kejelasan dan penerimaan atas penjelasan peran seseorang pekerja dan (3) Tingkat motivasi pekerja. Berdasarkan pendapat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pemberdayaan ditengarai juga dapat berpengaruh terhadap kinerja pegawai, karena salah satu indikator pemberdayaan adalah kemampuan pegawai dalam menerima pendelegasian wewenang dari atasan dan motivasi dalam melaksanakan pekerjaannya.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Mayoritas key person berpersepsi bahwa proses pemberdayaan Posyandu Balita di Kota Surabaya baik. Perkembangan proses pemberdayaan kader Posyandu Balita di Kota Surabaya telah menuju pada tahap pemanfaatan/harnessing. Untuk dapat dikatakan telah mencapai tahapan pembiasaaan/using, kader masih membutuhkan lebih banyak pembelajaran agar dapat meningkatkan kepercayaan dirinya, sehingga dapat menggunakan kemampuan yang dimiliki dalam kegiatan sehari-hari dan dapat melepaskan diri dari ketergantungan. Mayoritas capaian kinerja indikator SKDN Posyandu Balita di Kota Surabaya cukup baik. Namun capaian indikator K/S masih kurang dari target.

Proses pemberdayaan Posyandu meliputi proses understanding dan harnessing berpengaruh signifikan terhadap

peningkatan capaian kinerja indikator SKDN Posyandu Balita di Kota Surabaya. Rekomendasi yang diajukan sebagai upaya meningkatkan capaian kinerja indikator SKDN Posyandu Balita di Kota Surabaya yaitu pemberian pelatihan kader disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan kader Posyandu Balita di Kota Surabaya dan perlu dukungan dari Kelurahan, Puskesmas dan tim pokjanal Posyandu untuk melakukan monitoring pada organisai Posyandu.

Saran

Saran yang diberikan berdasarkan kesimpulan penelitian untuk dinas kesehatan

kota Surabaya adalah hendaknya melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pembinaan di Posyandu Balita. Perlu kontrol dari Kepala Puskesmas dengan mengkoordinasikan pelaksanaan tugas pada semua petugas Puskesmas sehingga dapat melakukan pembinaan ke Posyandu. Saran pada peneliti selanjutnya perlu penelitian lebih lanjut dengan menganalisa pembinaan Posyandu selain dari petugas Puskesmas dan untuk mengetahui tingkat motivasi kader Posyandu Balita di Kota Surabaya. DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan RI, 2006, Pedoman Umum Pengelolaan Posyandu, Jakarta.

Ife, J dan Frank Tesoriero. 2008. Community Development: Alternatif Pengembangan Masyarakat di Era Globalisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Ismawati, Cahyo. 2010.Posyandu dan Desa Siaga. Citra Medika, Jogjakarta.

Isrorina, dan Windhy setyowati. 2009. Pengaruh Pemberdayaan Pegawai dan Karakteristik Pekerjaan terhadap Kinerja Pegawai Dengan Mediasi Iklim Organisasi pada Sekretariat Daerah Kabupaten Pekalongan. Telaah Manajemen, Vol 6 edisi 1, Maret 2009; hal 19-31.

Mathis, RL, 2006, Manajemen Sumber Daya Manusia, Edisi 10, Salemba Empat, Jakarta.

Naim, Umar. 2008.” POSYANDU:Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat”. Penerbit Kareso. Yogyakarta.

Sudarusman, E. 2004, “Comparative Advertising : Pendekatan untuk Mempengaruhi Sikap Konsumen”, Telaah Bisnis, Vol.5, No.1, Juli.

Sumaryadi, I.N. Dr. 2005. Perencanaan Pembangunan daerah otonom dan Pemberdayaan Masyarakat. Bandung: Citra Utama.

Steers, R.M., and Porter, L.W., (1987). Motivation and Work Behavior. USA: McGraw-Hill inc.

Page 13: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K - 2trik.webs.com fileVolume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan menolak artikel yang masuk, dan seluruh artik

Volume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098

11 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN MOTIVASI BIDAN PRAKTEK MANDIRI DALAM

PENERAPAN PENCEGAHAN INFEKSI PADA PERSALINAN NORMAL

Sundari (Akademi Kebidanan Muhammadiyah Madiun)

Martha Irene Kartasurya (Fakultas Kesehatan Masyarakat,

Universitas Diponegoro, Semarang)

Atik Mawarni

(Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Diponegoro, Semarang)

ABSTRAK

Pendahuluan: Di Kabupaten Madiun Angka Kematian Ibu mencapai 110/100.000 kelahiran hidup pada tahun 2013. Kematian ibu disebabkan karena perdarahan (27,3%), Eklamsia/Pre Eklamsia (27,3%), Jantung (9,1%), Suspect TB (9,1%), Abortus Septikus (18,2%) dan Infeksi (9,1%).

Infeksi berkaitan

dengan tindakan pencegahan infeksi secara benar. Motivasi bidan yang rendah, terlihat dari peralatan dan sertifikat Pelatihan APN tetapi pelaksanaan pencegahan infeksi belum dilakukan secara benar. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan motivasi bidan praktek mandiri dalam penerapan pencegahan infeksi pada persalinan normal. Metode: Pengambilan data penelitian cross sectional ini menggunakan angket. Subjek penelitian adalah 102 bidan praktek mandiri yang dipilih secara clustered random sampling. Analisis menggunakan uji regresi logistik. Hasil: Ada hubungan antara tanggung jawab (p=0,0001), pengembangan karier (p=0,0001), persepsi terhadap pekerjaan (p=0,001), kondisi kerja (p=0,0001), sistem imbalan (p=0,014), persepsi supervisi (p=0,003), hubungan antar pribadi (p=0,0001), persepsi terhadap keamanan kerja (p=0,0001) dengan motivasi bidan praktek mandiri dalam penerapan pencegahan infeksi pada persalinan normal. Faktor yang berpengaruh secara bersama-sama terhadap motivasi adalah tanggung jawab (Exp(B)=5,123), kondisi kerja (Exp(B)=3,733) dan persepsi terhadap keamanan kerja (Exp(B)=6,202). Kesimpulan: Persepsi terhadap keamanan kerja berpengaruh paling kuat terhadap motivasi bidan praktek mandiri dalam penerapan pencegahan infeksi.

Kata Kunci: motivasi, bidan praktek mandiri, pencegahan infeksi

PENDAHULUAN Latar Belakang

Di Kabupaten Madiun AKI tahun 2012 sebesar 108,99/100.000 kelahiran hidup dan meningkat pada tahun 2013 sebesar 110/100.000 kelahiran hidup. Jumlah total kematian ibu tahun 2012 adalah 10 orang yang disebabkan oleh pre eklamsia 3 orang (30%), Infeksi 1 orang (10%), jantung 3 orang (30%), gagal ginjal 1 orang (10%), asma 1 orang (10%), odem paru 1 orang (10%) sedangkan kematian ibu tahun 2013 adalah 11 orang, yang disebabkan karena perdarahan 3 orang (27,3%), Eklamsia/PEB 3 orang (27,3%), Jantung 1 orang (9,1%), Susp.TB 1 orang (9,1%), Abortus Septikus 2 orang (18,2%) dan Infeksi 1 orang (9,1%).

Penyebab infeksi pada kasus ini adalah ibu yang melahirkan dirumah disebabkan peralatan yang digunakan tidak steril (Anonim, 2012).

Infeksi merupakan salah satu penyebab kematian ibu dan bayi. Ibu bersalin yang menerima pelayanan medis dan kesehatan baik di rumah sakit atau klinik bersalin dihadapkan kepada resiko terjadinya infeksi. Secara umum kejadian infeksi puerperalis adalah sekitar 1-3% (Mochtar, 1998)

.

Kejadian infeksi dapat dicegah dan diminimalkan, dengan upaya melaksanakan tindakan pencegahan infeksi dalam memberikan pelayanan kesehatan. Tindakan pencegahan infeksi meliputi : cuci tangan, pemakaian sarung tangan, penggunaan alat pelindung diri (APD), penggunaan teknik aseptik, pemrosesan alat bekas pakai, penggunaan peralatan tajam secara aman dan pengelolaan sampah dan mengatur kebersihan dan kerapian (Depkes RI, 2004).

Berdasarkan pra survey menunjukkan bahwa bidan yang melakukan tindakan pencegahan infeksi dengan benar hanya ada 2 orang dengan alasan bahwa pencegahan infeksi dapat melindungi diri dari resiko penularan penyakit dan penting pada saat menolong persalinan sedangkan 8 orang bidan yang tidak melakukan pencegahan infeksi dengan benar dan tepat terutama dalam pembuatan perbandingan larutan klorin dan penggunaan APD dan banyak tenaga kesehatan yang lain yang juga tidak melaksanakan tindakan pencegahan infeksi dengan benar.

Hasil wawancara dari 10 bidan, 2 bidan mengatakan bahwa penerapan pencegahan infeksi tidak berpengaruh terhadap pelaksanaan tugas dan pengembangan karier, tugas bidan hanya membantu pada saat proses kehamilan, persalinan dan nifas tanpa harus memperhatikan tindakan

Page 14: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K - 2trik.webs.com fileVolume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan menolak artikel yang masuk, dan seluruh artik

Volume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098

12 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

pencegahan infeksi, walaupun penerapan pencegahan infeksi dilakukan dengan benar juga tidak akan berpengaruh terhadap pengembangan karier. Empat bidan mengatakan kurangnya pengawasan terhadap pelaksanaan pencegahan infeksi dari dinas kesehatan maupun puskesmas. Supervisi hanya dilakukan secara umum belum terfokus terhadap tindakan pencegahan infeksi dan supervisi dilakukan setiap 1 tahun sekali bahkan kadang sampai 5 tahun sekali.

Selain itu berdasarkan hasil wawancara terhadap 3 bidan lainnya, semua bidan mengatakan bahwa untuk menerapkan tindakan pencegahan infeksi dibutuhkan waktu yang lama sementara bidan harus memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien lainnya. Dari ke 10 bidan tersebut, 1 diantaranya adalah bidan fasilitator mengatakan bahwa rata-rata semua bidan tidak menerapkan pencegahan infeksi dengan benar, terlihat pada saat melalukan kunjungan ke tempat praktek bidan ternyata peralatan pencegahan infeksi sudah ada, tetapi tidak digunakan dengan baik hanya digunakan sebagai pelengkap saja dan semua bidan yang dikunjungi rata-rata sudah mengikuti pelatihan APN, dimana didalam APN juga sudah ditekankan tentang pentingnya penerapan pencegahan infeksi.

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi hal tersebut adalah faktor motivasi. Motivasi merupakan karakteristik psikologis manusia yang memberikan kontribusi pada tingkat komitmen seseorang. Motivasi lebih dekat pada mau melaksanakan tugas untuk mencapai tujuan. Suksesnya motivasi memerlukan perubahan-perubahan terutama perubahan dari perilaku pihak orang yang dimotivasi (Uno, 2008). Tujuan penelitian

Berdasarkan beberapa permasalahaan di atas maka dilakukan Penelitian yang bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan motivasi bidan praktek mandiri dalam penerapan pencegahan infeksi pada persalinan normal di Kabupaten Madiun tahun 2014.

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross sectional.

Populasi penelitian adalah bidan praktek mandiri di Kabupaten Madiun sebanyak 203. Cara pengambilan sampel dengan tehnik Clustered Random Sampling. Variabel bebas

adalah tanggung jawab, pengembangan karier, pengakuan orang lain, persepsi

terhadap pekerjaan, kondisi kerja, sistem imbalan, persepsi supervise, hubungan antar pribadi, persepsi terhadap keamanan kerja, sedangkan variabel terikat adalah motivasi bidan praktek mandiri dalam penerapan pencegahan infeksi pada persalinan normal. Pengumpulan data menggunakan angket terstruktur. Analisis data menggunakan analisis univariat (distribusi frekuensi), analisis bivariat (uji Chi Square) dan analisis multivariate dengan Regresi Logistik. HASIL PENELITIAN

Rata-rata umur responden adalah 37,8 tahun dengan standar deviasi 6,32 tahun, umur termuda 22 tahun dan tertua 55 tahun. Lama kerja dalam penelitian ini rerata 15,8 tahun dengan standar deviasi 6,32 tahun. Semua responden berpendidikan D-III Kebidanan.

Sebagian besar bidan praktek mandiri 59,8% memiliki motivasi tinggi dalam penerapan pencegahan infeksi sebagaimana yang disajikan dalam Gambar 1.

Gambar 1. Distribusi Motivasi Bidan Praktik Mandiri

Hasil distribusi jawaban responden

6,86% bidan praktek mandiri tidak menggunakan sterilisator dalam sterilisasi peralatan, 4,9% responden mengatakan tidak menggunakan kaca mata pelindung pada saat persalinan, 2,94% tidak menggunakan sepatu boat pada saat persalinan. Masih ada 3,92% responden yang tidak membuang benda-benda tajam yang terkontaminasi kedalam wadah tahan bocor sehingga dapat menimbulkan cedera pada orang yang menangani benda-benda tajam.

Gambar 2 menunjukkan sebagian besar responden (64,7%) memiliki tanggung jawab baik dalam penerapan pencegahan infeksi. Hasil distribusi jawaban responden 3,92% responden tidak membuat dokumentasi kegiatan pencegahan infeksi dalam bentuk catatan tertulis sebagai bukti kegiatan bila terjadi kasus dan 0,98% responden tidak setuju jika pencegahan infeksi nosokomial

Page 15: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K - 2trik.webs.com fileVolume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan menolak artikel yang masuk, dan seluruh artik

Volume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098

13 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

pasien menjadi tanggung jawab bidan, karena dalam hal ini kejadian infeksi juga bisa disebabkan oleh pasien sendiri yang kurang menjaga personal higiene.

Gambar 2. Kategori Tanggung Jawab, Pengembangan Karier, Persepsi Supervisi

Sebagain besar responden (51%)

memiliki Pengembangan Karier yang baik dalam penerapan pencegahan infeksi. Hasil distribusi jawaban responden 3,92% responden mengatakan tidak mendapatkan seminar tentang pencegahan infeksi dari pihak puskesmas dan 2,94% responden mengatakan Dinas kesehatan tidak memberikan informasi tentang pelatihan pencegahan infeksi. Masih ada 2,94% responden mengatatakan tidak pernah mendapatkan Pelatihan tentang pencegahan infeksi dari organisasi IBI.

Sebagain besar bidan praktek mandiri (77,5%) memiliki Persepsi Supervisi kurang dalam penerapan pencegahan infeksi. Hasil distribusi jawaban responden 74,5% responden mengatakan bahwa pelaksanaan supervisi sering mendadak tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Sebesar 50,98% responden tidak mendapatkan umpan balik dari dinas kesehatan mengenai pencegahan infeksi. Masih ada 39,21% responden mengatakan dinas kesehatan kurang peduli dengan kemajuan pelaksanaan tugas bidan dalam penerapan pencegahan infeksi.

Gambar 3 menunjukkan sebagian besar bidan praktek mandiri (67,6%) memiliki Pengakuan Orang Lain baik dalam penerapan pencegahan infeksi. Hasil distribusi jawaban responden 27,45% responden mengatakan tidak pernah mendapatkan pujian dari kepala desa dalam tindakan pencegahan infeksi. Masih ada 24,51% responden mengatakan dinas kesehatan tidak pernah memberikan penghargaan kepada bidan jika menerapkan pencegahan infeksi.

Gambar 3. Kategori Pengakuan Orang Lain, Persepsi terhadap pekerjaan, kondisi kerja,

system imbalan, hubungan antar pribadi, persepsi terhadap keamanan kerja.

Sebagain besar bidan praktek mandiri

(54,9%) memiliki Persepsi terhadap Pekerjaan baik dalam penerapan pencegahan infeksi. Hasil distribusi jawaban responden 39,56% responden mengatakan menjadi bidan tidak memberikan penghasilan yang menjajikan karena tidak semua kasus persalinan dapat ditolong oleh bidan, 35,29% responden mengatakan tidak setuju bila menjadi bidan sangat melelahkan terutama observasi persalinan dan masih ada 25,49% responden mengatakan tidak melakukan pertolongan persalinan yang bersih dan aman.

Sebagain besar bidan praktek mandiri (52%) memiliki Kondisi Kerja baik. Hasil distribusi jawaban responden 3,92% responden tidak setuju bila organisasi IBI mengingatkan bidan dalam pecegahan infeksi. Sebesar 3,92% responden tidak pernah mendapatkan himbauan dari kepala puskesmas untuk menerapkan pencegahan infeksi. Masih ada 0,98% responden tidak setuju jika dikamar bersalin harus selalu tersedia peralatan yang bersih dan steril.

Sebagian besar bidan praktek mandiri (84,3%) memiliki Sistem Imbalan buruk dalam penerapan pencegahan infeksi. Hasil distribusi jawaban responden 42,16% responden tidak setuju bila puskesmas memberikan insentif jika memberikan pelayanan yang berkualitas dan 40,2% responden tidak setuju bila Dinas Kesehatan memberikan insentif kepada bidan yang menerapkan tindakan pencegahan infeksi.

Sebagain besar bidan praktek mandiri (51%) memiliki Hubungan antar Pribadi baik dalam penerapan pencegahan infeksi. Hasil distribusi jawaban responden 13,73% responden tidak melakukan kolaborasi dengan pihak rumah sakit dalam hal

Page 16: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K - 2trik.webs.com fileVolume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan menolak artikel yang masuk, dan seluruh artik

Volume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098

14 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

pengelolaan sampah tajam dan 4,9% responden tidak menghargai pendapat pasien tentang pencegahan infeksi.

Sebagian besar bidan praktek mandiri (68,6%) memiliki Persepsi terhadap Keamanan Kerja baik dalam penerapan pencegahan infeksi. Hasil distribusi jawaban responden 0,98% responden tidak melakukan tindakan cuci tangan dan 0,98% responden tidak melakukan dekontaminasi peralatan karena waktunya yang lama.

Hasil Analisis Bivariat dengan menggunakan uji Chi Square didapatkan hasil adanya hubungan antara tanggung jawab, pengembangan karier, pengakuan orang lain, persepsi terhadap pekerjaan, kondisi kerja, sistem imbalan, persepsi supervise, hubungan antar pribadi, persepsi terhadap keamanan kerja. Hasil Analis Hubungan Variabel bebas dengan Variabel Terikat dengan uji Chi Square pada α 5%.

Gambar 4. Hubungan antara tanggung jawab, pengembangan karier dengan motivasi Bidan praktek mandiri dalam

penerapan pencegahan infeksi

Gambar 4 menunjukkan bahwa responden yang motivasinya tinggi, lebih banyak yang bertanggung jawab baik sebesar 77% dibandingkan yang kurang. Hal ini menunjukkan bahwa tanggung jawab yang baik akan meningkatkan motivasi bidan menjadi tinggi dalam penerapan pencegahan infeksi pada persalinan normal demikian juga sebaliknya.

Responden yang motivasinya tinggi, lebih banyak mempunyai pengembangan karier yang baik sebesar 77% dibandingkan yang kurang. Hal ini menunjukkan bahwa pengembangan karier yang baik akan meningkatkan motivasi bidan menjadi tinggi dalam penerapan pencegahan infeksi pada persalinan normal demikian juga sebaliknya.

Gambar 5 menunjukkan bahwa responden yang motivasinya tinggi, lebih banyak mempunyai pengakuan orang lain yang baik sebesar 62,3% dibandingkan yang buruk. Hal ini menunjukkan bahwa pengakuan orang lain yang baik akan meningkatkan motivasi bidan menjadi tinggi

dalam penerapan pencegahan infeksi pada persalinan normal demikian juga sebaliknya.

Gambar 5. Hubungan antara pengakuan orang lain dengan motivasi Bidan praktek

mandiri dalam penerapan pencegahan infeksi

Gambar 6. Hubungan antara persepsi terhadap pekerjaan dengan motivasi Bidan

praktek mandiri dalam penerapan pencegahan infeksi

Responden yang motivasinya tinggi, lebih

banyak mempunyai persepsi terhadap pekerjaan yang baik sebesar 75% dibandingkan yang buruk. Hal ini menunjukkan bahwa persepsi terhadap pekerjaan yang baik akan meningkatkan motivasi bidan menjadi tinggi dalam penerapan pencegahan infeksi pada persalinan normal demikian juga sebaliknya.

Gambar 7. Hubungan antara kondisi kerja dengan motivasi Bidan praktek mandiri dalam penerapan pencegahan infeksi

Page 17: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K - 2trik.webs.com fileVolume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan menolak artikel yang masuk, dan seluruh artik

Volume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098

15 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Gambar 7 menunjukkan bahwa responden yang motivasinya tinggi, lebih banyak mempunyai kondisi kerja yang baik sebesar 81,1% dibandingkan yang buruk. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi kerja yang baik akan meningkatkan motivasi bidan menjadi tinggi dalam penerapan pencegahan infeksi pada persalinan normal demikian juga sebaliknya.

Gambar 8. Hubungan antara sistem imbalan

dengan motivasi Bidan praktek mandiri dalam penerapan pencegahan infeksi

Responden yang motivasinya tinggi, lebih

banyak yang beranggapan sistem imbalan yang buruk sebesar 54,7% dibandingkan yang baik. Hal ini menunjukkan bahwa sistem imbalan yang baik akan meningkatkan motivasi bidan menjadi tinggi dalam penerapan pencegahan infeksi pada persalinan normal demikian juga sebaliknya (Gambar 8).

Gambar 9. Hubungan persepsi supervisi dengan motivasi Bidan praktek mandiri dalam penerapan pencegahan infeksi

Gambar 9 menunjukkan bahwa

responden yang motivasinya tinggi, lebih banyak mempunyai persepsi supervise yang kurang sebesar 51,9% dibandingkan yang baik. Hal ini menunjukkan bahwa persepsi supervisi yang baik akan meningkatkan

motivasi bidan menjadi tinggi dalam penerapan pencegahan infeksi pada persalinan normal demikian juga sebaliknya.

Gambar 10. Hubungan hubungan antar pribadi dengan motivasi Bidan praktek mandiri dalam penerapan pencegahan

infeksi

Responden yang motivasinya tinggi, lebih banyak mempunyai hubungan antara pribadi yang baik sebesar 78,8% dibandingkan yang buruk. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antar pribadi yang baik akan meningkatkan motivasi bidan menjadi tinggi dalam penerapan pencegahan infeksi pada persalinan normal demikian juga sebaliknya (Gambar 10).

Gambar 11. Hubungan persepsi terhadap keamanan kerja dengan motivasi Bidan

praktek mandiri dalam penerapan pencegahan infeksi

Gambar 11 menunjukkan bahwa bidan

praktek mandiri yang motivasinya tinggi, lebih banyak mempunyai persepsi terhadap keamanan kerja yang baik sebesar 75,7% dibandingkan yang buruk. Hal ini menunjukkan bahwa persepsi terhadap keamanan kerja yang baik akan meningkatkan motivasi bidan menjadi tinggi dalam penerapan pencegahan infeksi pada persalinan normal demikian juga sebaliknya.

Page 18: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K - 2trik.webs.com fileVolume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan menolak artikel yang masuk, dan seluruh artik

Volume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098

16 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Hasil Analisis Multivariat dilakukan dengan uji Regresi Logistik dengan metode ENTER, menunjukkan bahwa persepsi terhadap keamanan kerja berpengaruh paling kuat dalam penerapan pencegahan infeksi mempunyai Exp (B) = 6,202 dengan nilai p = 0,001, dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1: Hasil Analisis Multivariat

B Sig. Exp(B) 95% C.I for Exp(B)

Lower Upper

Tanggung Jawab

1.634 .003 5.123 1.766 14.859

Kondisi kerja 1.317 .014 3.733 1.299 10.728

Persepsi terhadap

keamanan kerja

1.825 .001 6.202 2.083 18.463

Constant -.054 .000 .948

Nagelkerke R Square: 0,49

PEMBAHASAN

Tanggung jawab mempunyai nilai

p=0,0001. Hal ini sesuai dengan penelitian Teungku (2014) bahwa ada hubungan antara tanggung jawab dengan motivasi, sesuai teori Herzberg menyatakan dampak meningkatkan motivasi individu dengan menyediakan lebih banyak tanggung jawab ketika melaksanakan pekerjaan yang menantang (John, 2006).

Pengembangan karier mempunyai nilai p= 0,0001. Pengembangan karier yang baik akan meningkatkan kemajuan karier dan keberhasilan dalam melaksanakan tugas sehingga motivasi kerja semakin tinggi karena adanya perubahan jenjang karier didalamnya dan perubahan status seseorang (Sutrisno, 2009).

Pengembangan karier

bidan dapat dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan yang berkaitan dengan tugas dan wewenang bidan.

Pengakuan orang lain mempunyai nilai p= 0,454. Pengakuan atau recognition diartikan bahwa karyawan memperoleh pengakuan dari pimpinan (manajer) bahwa ia adalah orang berprestasi, dikatakan baik, diberi penghargaan, pujian dan dimanusiakan (Tim Pengembang Ilmu Pendidikan, 2007). Menurut teori kebutuhan Maslow kebutuhan akan pengakuan diri apabila dipenuhi akan mampu meningkatkan motivasi diri sehingga lebih mungkin memberikan hasil yang lebih baik.

Persepsi terhadap pekerjaan mempunyai nilai p= 0,001. Pekerjaan

sendiri merupakan

suatu pertimbangan yang sangat penting dalam motivasi. Herzberg menyatakan pekerjaan yang diberikan kepada karyawan menentukan sikap karyawan tentang

pekerjaan yang mereka lakukan (John, 2006).

Dengan demikian dengan persepsi

terhadap pekerjaan baik maka akan meningkatkan motivasi.

Kondisi kerja mempunyai nilai p= 0,001. Pengaruh Kondisi Kerja Terhadap Motivasi kerja dari teori Herzberg yang dikutip oleh Fred Luttans, menyatakan bahwa: “Kondisi kerja yang merupakan faktor yang dapat menimbulkan ketidakpuasan dimana jika kondisi kerja yang kondusif dan memadai maka akan cenderung meningkatkan motivasi kerja karyawan”. Sehingga kondisi kerja merupakan salah satu faktor strategis yang dapat mempengaruhi motivasi karyawan (Gibson, 2003).

Sistem imbalan mempunyai nilai p= 0,014. Pendekatan insentif mempelajari motif yang berasal dari luar individu yang bersangkutan atau sebagai motif ekstrinsik. Kaum behavioristic menekankan pentingnya insentif yang mendorong perilaku seseorang karena manusia adalah makhluk yang pasif yang membutuhkan rangsangan dari luar yaitu dengan memberikan insentif dari luar sehingga dengan adanya sistem imbalan yang baik maka akan meningkatkan motivasi seseorang (Siagian, 2013).

Persepsi supervisi mempunyai nilai p= 0,003. Supervisi adalah suatu kegiatan pembinaan, atau pengawasan oleh pengelola program terhadap pelaksana ditingkat administrasi yang lebih rendah dalam rangka menetapkan kegiatan sesuai dengan tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan (Desslen, 2006).

Hubungan antar pribadi mempunyai nilai p= 0,0001 (p<0,05) dengan nilai C=0,368. Hubungan antar pribadi dalam organisasi bermanfaat agar pimpinan dapat memecahkan masalah bersama karyawan baik masalah individu maupun masalah umum organisasi sehingga dapat meningkatkan semangat dan produktifitas kerja (Robbin, 2003).

Persepsi terhadap keamanan kerja mempunyai nilai p= 0,0001. Keamanan kerja berperan penting terhadap faktor sosial dan lingkungan kerja karyawan karena keyakinan yang dimiliki oleh karyawan akan pekerjaannya berpengaruh terhadap persepsi individu untuk tidak khawatir akan masa depannya, meningkatkan produktivitas organisasi (perusahaan) dan menjaga keseimbangan serta nilai-nilai social

(Eny,

2012). Dari semua variabel bebas yang di

analisis secara bersama-sama menunjukkan bahwa variabel Tanggung jawab mempunyai Exp(B) sebesar 5,123 menunjukkan bahwa bidan yang mempunyai tanggung jawab baik, mempunyai motivasi 5,1 kali lebih baik

Page 19: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K - 2trik.webs.com fileVolume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan menolak artikel yang masuk, dan seluruh artik

Volume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098

17 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

dari pada yang mempunyai tanggung jawab yang kurang. Kondisi kerja mempunyai Exp(B) sebesar 3,733 menunjukkan bahwa bidan yang mempunyai kondisi kerja baik, mempunyai motivasi 3,7 kali lebih baik dari pada yang mempunyai kondisi kerja yang buruk. Nilai Nagelkerke R Square 0,49 yang artinya motivasi sebesar 49% disumbang oleh variabel independen yaitu tanggung jawab, kondisi kerja, persepsi terhadap keamanan kerja. Hal ini menunjukkan bahwa untuk meningkatkan motivasi bidan praktek mandiri dalam penerapan pencegahan infeksi diperlukan adanya kondisi kerja, tanggung jawab dan persepsi terhadap keamanan kerja yang baik secara bersamaan KESIMPULAN

Faktor yang berpengaruh secara bersama-sama terhadap motivasi bidan praktek mandiri dalam penerapan pencegahan infeksi adalah tanggung jawab, kondisi kerja, persepsi terhadap keamanan kerja. DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2012. Kabupaten Madiun Dalam Angka 2012. BPS Kabupaten Madiun.

Depkes RI. 2004.Buku Acuan Persalinan Normal. Jakarta.

Desslen, G. 2006. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Prenhallindo

Eny. 2012. Keselamatan dan kesehatan kerja.

http://eprints.uny.ac.id/9141/3/bab%202%20-08513245015.pdf

Gibson, J.L, at al. 2003. Organisasi Perilaku, Struktur, Proses, jilid I, Edisi VIII, Andriani. Jakarta: Bina Rupa Aksara

John M, dkk. 2006. Perilaku dan manajemen organisasi. Jakarta: Erlangga.

Mochtar, R. 1998.Sinopsis Obstetri. Jakarta: EGC.

Robbin, S. 2003. Prinsip – Prinsip Perilaku Organisasi. Jakarta: Erlangga.

Sutrisno, E. 2009.Manajemen Sumber Daya Manusia. Surabaya: Kencana.

Tim Pengembang Ilmu Pendidikan. 2007. Ilmu dan APlikasi pendidikan. Bandung: Grasindo.

.Siagian, S. 2013. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara.

Teungku . 2014. Analisis Faktor-Faktor Motivasional yang Berhubungan dengan Kinerja Bidan Desa dalam Pembinaan Kader Posyandu di Kabupaten Aceh Barat Tahun 2014. Semarang, UNDIP.

Uno, H. 2008. Teori motivasi & pengukurannya analisis di bidang pendidikan. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Page 20: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K - 2trik.webs.com fileVolume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan menolak artikel yang masuk, dan seluruh artik

Volume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098

18 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

ANALISIS SITUASI SISTEM RUJUKAN IBU HAMIL DAN BERSALIN DENGAN

METODE SWOT

Vidya Nirmala (Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga Surabaya)

Azizatul Hamidiyah (Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga Surabaya)

ABSTRAK

Pendahuluan: Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menjelaskan kekuatan dan kelemahan (lingkungan internal) serta peluang dan ancaman (lingkungan eksternal) melalui analisis SWOT (Strengths, Weaknesess, Opportunities, dan Threats) pada Puskesmas X Surabaya. Hasil: Berdasarkan analisis SWOT diketahui bahwa Puskesmas X mempunyai kekuatan yang lebih besar daripada kelemahannya.dan mempunyai peluang yang lebih besar daripada ancamannya. Kesimpulan: Berdasarkan hasil tersebut dapat diperoleh kesimpulan bahwa posisi Puskesmas X berada pada kuadran SO, yang berarti situasinya dinilai menguntungkan untuk mengembangkan program dan kegiatan terkait dengan sistem rujukan dalam rangka upaya penurunan jumlah kematian ibu dan bayi di wilayah kerjanya. Saran: Untuk itu perlu dilakukan beberapa strategi antara lain bidan praktek mandiri dapat meminjam ambulans Puskesmas untuk melakukan rujukan diatas jam kerja, dibangun komunikasi yang baik dengan Puskesmas PONED di sekitar wilayah kerjanya sehingga bidan Puskesmas X tidak perlu merawat ibu hamil yang telah dirujuk ke Puskesmas tersebut, melakukan penyuluhan kepada ibu hamil baik di dalam maupun diluar gedung Puskesmas pentingnya antenatal care ke fasilitas kesehatan.

Kata Kunci: Rujukan, SWOT, KIA

PENDAHULUAN Latar Belakang

Konvensi Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO,1948), Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 H dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, menetapkan bahwa kesehatan adalah hak fundamental setiap warga. Oleh karena itu setiap individu, keluarga dan masyarakat berhak memperoleh perlindungan terhadap kesehatannya, dan negara bertanggung jawab mengatur agar terpenuhi hak hidup sehat bagi penduduknya termasuk bagi masyarakat miskin dan tidak mampu.

Upaya mewujudkan hak fundamental tersebut adalah kewajiban dari pemerintah untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang merata, adil dan terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat, puskesmas dan jaringannya sebagai sarana pelayanan kesehatan terdepan mempunyai tugas menjangkau masyarakat, sebaliknya puskesmas dan jaringannya diharapkan dapat dijangkau oleh masyarakat di wilayah kerja sehingga puskesmas dan jaringannya bertanggung jawab menyelenggarakan pelayanan kesehatan di wilayah kerja secara proaktif dan responsif (Permenkes, 2011).

Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) merupakan Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, dimana puskesmas memiliki tanggungjawab langsung atas penyelenggaraan kesehatan dalam suatu wilayah kerja. Puskesmas juga merupakan unit pelaksana kesehatan tingkat pertama (primary health care).

Puskesmas merupakan ujung tombak pelaksana kesehatan. Hal ini dikarenakan posisi puskesmas lebih dekat dengan masyarakat. Selain itu fungsi puskemas juga tidak hanya menjalankan upaya kesehatan perorangan (UKP) tetapi juga upaya kesehatan masyrakat (UKM). Puskesmas mempunyai fungsi yang lebih besar dalam UKM. Angka kematian ibu dan dan bayi merupakan salah satu indikator yang ada dalam MDG’s.

Dalam rangka untuk menurunkan angka kematian ibu salah satunya dengan memperhatikan sistem rujukan khususnya pada ibu hamil. Puskesmas X merupakan salah satu puskesmas yang dijadikan pilot project dalam upaya menurunkan angka

kematian ibu. Rujukan juga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kematian ibu dan bayi. Oleh karena itu perlu diketahui proses rujukan ibu hamil dan bayi beserta kendala-kendalanya.

Page 21: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K - 2trik.webs.com fileVolume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan menolak artikel yang masuk, dan seluruh artik

Volume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098

19 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

METODE PENELITIAN Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode

penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif merupakan metode penelitian yang berusaha menggambarkan suatu objek sesuai dengan keadaan atau apa adanya.

Jenis Data

Data yang dipakai dalam penelitian ini

adalah data primer dan data sekunder. Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari responden dengan cara observasi, wawancara sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Data sekunder yaitu data yang langsung diperoleh dari Puskesmas.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Puskesmas X Surabaya. Waktu penelitian dimulai dari bulan April 2015 s.d Juli 2015. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data menggunakan teknik sebagai berikut: a. Penelitian lapangan (field work research) Yaitu pengumpulan data langsung yang menjadi objek penelitian untuk melihat dari dekat Puskesmas tersebut, dengan menggunakan metode : 1) Pengamatan (observasi) 2) Wawancara (interview) 3) Kuesioner b. Penelitian Kepustakaan (library research) Yaitu mengumpulkan data sekunder atau data yang diperoleh dari data yang telah dibukukan, baik berupa laporan-laporan maupun hasil penelitian terdahulu.

Teknik Analisis Data

Analisis data yang digunakan untuk memecahkan masalah adalah: a. Dalam sel Opportunities (O), dirumuskan

beberapa peluang yang dihadapi oleh Puskesmas. b. Dalam sel Threats (T), menentukan beberapa ancaman yang dihadapi Puskesmas. c. Dalam sel Strengths (S), menentukan beberapa ancaman yang dihadapi Puskesmas. d. Dalam sel Weaknesses (W), menentukan beberapa kelemahan yang masih membelit Puskesmas.

Selanjutnya dengan menggunakan faktor strategis baik internal maupun eksternal sebagaimana telah dijelaskan dalam tabel

EFAS dan IFAS, lalu melanjutkan tahap satu sampai dengan enam diatas. Transfer peluang dan ancaman (tahap satu dan dua) dari tabel EFAS serta tambahkan kekuatan dan kelemahan (dari tahap ketiga dan keempat). Berdasarkan pendekatan tersebut, dapat dibuat berbagai kemungkinan alternatif strategi (SO, ST, WO, WT).

HASIL PENELITIAN

Analisis Situasi SWOT

Ada beberapa tools yang dapat digunakan dalam melakukan analisis situasi. Salah satu tools yang dapat digunakan adalah SWOT (stregth, weaknees, opportunity and threat). Analisis SWOT bertujuan untuk mengetahui posisi organisasi terletak pada kuadran I, II, III atau IV. Sebelum dilaksanakan analisis SWOT perlu dilakukan identifikasi strength, weaknees, opportunity and threat pada suatu organisasi.

Adapun identifikasi strength, weaknees, opportunity and threat di Puskesmas X terkait dengan sistem rujukan sebagai berikut 1. Strength

a. Mempunyai 2 orang bidan puskesmas, 3 orang bidan kelurahan dan 1 orang dokter penanggungjawab KIA.

b. Mempunyai Standar Operasional Prosedur tentang Sistem Rujukan.

c. Mempunyai lokasi yang strategis. 2. Weakness

a. Lahan yang dimiliki terbatas. b. Semua bidan di Puskesmas belum pernah mengikuti pelatihan PPGDON. c. Ambulan hanya ada 1 unit, dan

digunakan untuk kegiatan Puskesmas diluar gedung /Puskesmas keliling (tidak standby khusus untuk merujuk)

3. Opportunity a. Adanya MOU dengan Rumah Sakit Unair yaitu USG Doppler untuk ibu hamil yang berisiko b. Di wilayah kerja Puskesmas terdapat

3 bidan praktek mandiri dan 1 rumah bersalin yang memberikan pelayanan 24 jam.

c. Pemahaman bidan baik di Puskesmas maupun bidan praktek mandiiri dan rumah bersalin tentang KSPR baik.

4. Threat

a. Bidan Praktek Mandiri dan Rumah Bersalin merujuk menggunakan taxi karena tidak mempunyai ambulan.

b. Kurangnya koordinasi dengan Puskesmas PONED sekitarnya, sehingga pada saat merujuk ibu hamil

Page 22: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K - 2trik.webs.com fileVolume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan menolak artikel yang masuk, dan seluruh artik

Volume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098

20 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

, ibu bersalin, ibu nifas dan bayi Bidan Puskesmas masih harus ikut merawat disana.

c. Ibu hamil yang datang ke Puskesmas dalam kondisi yang darurat adalah ibu hamil yang tidak pernah melakukan antenatal care di Puskesmas.

d. Semua bidan di bidan praktek mandiri dan rumah bersalin belum pernah mengikuti pelatihan PPGDON.

IFAS (Internal Factor Analysis Summary) dan EFAS (Eksternal Factor Analysis Summary)

Setelah diidentifikasi strength, weaknees, opportunity and threat dilakukan tabulasi IFAS dan EFAS sebagai berikut

Tabel 1. IFAS (Internal Factor Analysis Summary) di Puskesmas X

IFAS Bobot Bobot Akhir

Rating B X R

S

Mempunyai 2 orang bidan puskesmas, 3 orang bidan kelurahan dan 1 orang dokter penanggungjwab KIA.

3 0,16 4 0,58

Mempunyai Standar Operasional Prosedur tentang Sistem Rujukan.

4 0,18 4 0,72

Mempunyai lokasi yang strategis

4 0,18 4 0,69

W

Lahan yang dimiliki Puskesmas terbatas. 3 0,15 -2 -0,37

Semua bidan di Puskesmas belum pernah mengikuti pelatihan PPGDON.

4 0,17 -3 -0,58

Mempunyai 1 unit ambulan yang digunakan sebagai sarana merujuk dan kegiatan puskesmas keliling

3 0,15 -3 -0,43

TOTAL 21 1,00 0,61

Keterangan: Bobot: 1 : Sedikit Penting 2 : Agak Penting 3 : Penting 4 : Sangat Penting

Rating: Kekuatan: Peluang 1 : Sedikit Kuat 1 : Sedikit Berpeluang 2 : Agak Kuat 2 : Agak Berpeluang 3 : Kuat 3 : Berpeluang 4 : Sangat Kuat 4 : Sangat Berpeluang Kelemahan: Ancaman: -1 : Sedikit Lemah -1 : Sedikit Terancam -2 : Agak Lemah -2 : Agak Terancam -3 : Lemah -3 : Terancam -4 : Sangat Lemah -4 : Sangat Terancam

Berdasarkan Tabel 1. dapat diketahui bahwa perkalian bobot dan rating pada kategori strenght dan weaknees mempunyai nilai positif yaitu 0,61. Hal ini berati Puskesmas X mempunyai kekuatan yang lebih besar daripada kelemahannya. Selain IFAS juga ada tabulasi EFAS sebagai berikut:

Tabel 2. EFAS (Eksternal Factor Analysis Summary) di Puskesmas X

EFAS Bobot Bobot Akhir

Rating B X R

O

Adanya MOU dengan Rumah Sakit Unair yaitu USG Doppler untuk ibu hamil berisiko.

4 0,15 4 0,54

Di wilayah kerja Puskesmas X terdapat 3 bidan praktek mandiri dan 1 rumah bersalin yang memberikan pelayanan 24 jam.

4 0,15 4 0,57

Pemahaman bidan baik di Puskesmas maupun bidan praktek mandiiri dan rumah bersalin tentang KSPR baik.

4 0,17 4 0,60

T

Bidan Praktek Mandiri dan Rumah Bersalin merujuk menggunakan taxi karena tidak mempunyai ambulan.

4 0,17 -4 -0,60

Kurangnya koordinasi dengan Puskesmas PONED sekitarnya, sehingga pada saat merujuk ibu hamil Bidan Puskesmas masih harus bolak-balik mengurusi ibu hamil tersebut.

4 0,15 -3 -0,51

Semua bidan di bidan praktek mandiri dan rumah bersalin belum pernah mengikuti pelatihan PPGDON.

4 0,15 -3 -0,42

TOTAL 24 1,00 0,19

Keterangan: Bobot: 1 : Sedikit Penting 2 : Agak Penting 3 : Penting 4 : Sangat Penting Rating: Kekuatan: Peluang 1 : Sedikit Kuat 1 : Sedikit Berpeluang 2 : Agak Kuat 2 : Agak Berpeluang 3 : Kuat 3 : Berpeluang 4 : Sangat Kuat 4 : Sangat Berpeluang Kelemahan: Ancaman: -1 : Sedikit Lemah -1 : Sedikit Terancam -2 : Agak Lemah -2 : Agak Terancam -3 : Lemah -3 : Terancam -4 : Sangat Lemah -4 : Sangat Terancam

Page 23: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K - 2trik.webs.com fileVolume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan menolak artikel yang masuk, dan seluruh artik

Volume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098

21 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Berdasarkan Tabel 2. dapat diketahui bahwa perkalian bobot dan rating pada kategori oppotunity dan threat mempunyai nilai positif yaitu 0,19. Hal ini berati Puskesmas X mempunyai peluang yang lebih besar daripada ancamannya. PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penghitungan IFAS

dan EFAS dapat digambarkan dalam grafik SWOT yang berfungsi untuk mengetahui posisi Puskesmas X menurut analisis SWOT. Posisi Puskesmas X menurut SWOT sebagai berikut:

Gambar 1. Posisi Puskesmas X Berdasarkan

Analisis SWOT

Berdasarkan Gambar 1 dapat diketahui bahwa pada analisis SW posisi Puskesmas X adalah 0,61 yang berarti kekuatan lebih kuat daripada kelemahan. Sedangkan analisis OT posisi Puskesmas X adalah 0,19 yang berarti peluang lebih banyak daripada ancamannya. Posisi ini menandakan sebuah organisasi yang kuat dan berpeluang.

Jadi Puskesmas X berada pada kuadran SO, yang berarti situasinya dinilai menguntungkan untuk mengembangkan program dan kegiatan terkait dengan sistem rujukan dalam rangka upaya penurunan jumlah kematian ibu dan bayi di wilayah kerjanya. Rekomendasi strategi yang diberikan adalah Progresif, artinya organisasi dalam kondisi prima dan mantap sehingga sangat dimungkinkan untuk terus melakukan ekspansi, memperbesar pertumbuhan dan meraih kemajuan secara maksimal. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Berdasarkan tabel IFAS (Internal Factor

Analysis Summary) Puskesmas X

mempunyai kekuatan yang lebih besar daripada kelemahannya.

2. Berdasarkan tabel EFAS (Eksternal Factor Analysis Summary) Puskesmas X mempunyai peluang yang lebih besar daripada ancamannya.

3. Berdasarkan hasil analisis SWOT posisi Puskesmas X berada pada kuadran SO, yang berarti situasinya dinilai menguntungkan untuk mengembangkan program dan kegiatan terkait dengan sistem rujukan dalam rangka upaya penurunan jumlah kematian ibu dan bayi di wilayah kerjanya.

Saran

Saran penulis kepada Puskesmas X agar dapat mengatasi ancaman dan kelemahan memanfaatkan peluang dan mempertahankan yang ada adalah sebagai berikut: a. Bidan praktek mandiri dapat meminjam

ambulans Puskesmas untuk melakukan rujukan diatas jam kerja.

b. Dibangun komunikasi yang baik dengan Puskesmas PONED di sekitar wilayah kerjanya sehingga bidan Puskesmas X tidak perlu merawat ibu hamil yang telah dirujuk ke Puskesmas tersebut.

c. Melakukan penyuluhan kepada ibu hamil baik di dalam maupun diluar gedung Puskesmas pentingnya antenatal care ke fasilitas kesehatan.

DAFTAR PUSTAKA

Kepner, C.H. dan Benjamin B. Tregoe. 1981. Manajer Yang Rasional. Edisi

Terjemahan. Jakarta: Penerbit Erlangga. Supriyanto, S dan Damayanti, N. A., 2007.

Perencanaan dan Evaluasi. Surabaya: Airlangga University Press

Rangkuty, F., 2006. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Amir, M. T., 2011.Manajemen Strategik Konsep dan Aplikasi, Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada. David, F. R., 2006. Strategic Management:

Consepts and Cases,10th

Ed. Jatmiko, RD, 2004. Manajemen Stratejik,

Malang: Penerbit Universitas Muhamadiyah Malang.

Page 24: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K - 2trik.webs.com fileVolume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan menolak artikel yang masuk, dan seluruh artik

Volume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098

22 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

HUBUNGAN LINGKUNGAN TEMPAT ALAM TERBUKA DENGAN INDEKS LARVA DI KABUPATEN REJANG

LEBONG

H.Rustam Aji (Prodi Keperawatan Curup,

Poltekkes Kemenkes Bengkulu)

ABSTRAK Pendahuluan: Penyakit demam berdarah dengue dimasyarakat merupakan salah satu jenis penyakit menular akut yang menjadi masalah kesehatan individu, keluarga dan masyarakat, karena penyakit demam berdarah dengue penyebarannya sangat cepat menimbulkan kejadian luar biasa di masyarakat menyebabkan angka kesakitan dan kematian. Metode: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui, melihat hubungan lingkungan TAT dengan indeks larva. Rancangan penelitian menggunakan metode observasional. Penelitian dilakukan di Kabupaten Rejang Lebong, dari bulan Januari sampai bulan Desember 2014. Hasil: TAT hasil indeks jentik Aedes aegypti tertinggi CI dibatok kelapa (14,3%) BI dijantung pisang (38,1%), angka df (4,7) tingkat kepadatan sedang ABJ (0%) pada cangkang manggis, masih aman angka ABJ (0%) dibawah ABJ 95%. Saran: Studi lanjutan pihak instansi Pemerintah terkait, secara terjadwal melakukan penyuluhan kesehatan, mensosialisasikan program 3 M Plus dan pemberantasan sarang nyamuk, serta pembentukan kader juru pemantau jentik, peningkatan sarana dan prasarana, penelitian kedepan menggunakan metodelogi eksperimen pada tumbuhan yang dapat memberantas pertumbuhan jentik. Kata Kunci: Lingkungan TAT dan indeks larva

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Penyakit demam berdarah dengue

dimasyarakat merupakan salah satu jenis penyakit menular akut yang menjadi masalah kesehatan individu, keluarga dan masyarakat, karena penyakit demam berdarah dengue penyebarannya sangat

cepat menimbulkan kejadian luar biasa di masyarakat menyebabkan angka kesakitan dan kematian.

Organisasi kesehatan dunia meningkatnya kasus demam berdarah dengue merupakan masalah kesehatan utama, memperkirakan ada 50 sampai 100 juta penderita demam berdarah dengue setiap tahunnya (WHO, 2012).

Negara Indonesia terdiri dari 31 provinsi kasus demam berdarah dengue tahun 2008 tercatat 117.830 kasus dengan 953 kematian, tahun 2010 tercatat 156.086 kasus dengan 1.358 kematian, menempati urutan tertinggi di Asean, pada tahun 2011 kasus di Indonesia menurun dengan jumlah kasus 49.486 dan jumlah kematian 403 orang, tahun 2012 tercatat 90.245 kasus dengan angka kematian mencapai 816 orang, pertengahan tahun 2013 tercatat 48.905 kasus, 376 kasus meninggal dunia (Kementerian Kesehatan RI, 2013).

Kasus demam berdarah dengue di empat kabupaten ada 157 kasus dalam 2011, terdiri dari Kabupaten Rejang Lebong 66 kasus, Bengkulu Selatan 2011 ada 51 kasus, Bengkulu Tengah 2011 ada 24 kasus, Kepahiang 2011 ada 16 kasus. (Laporan Dinas Kesehatan Propinsi Bengkulu,2012).

Penderita demam berdarah dengue di Kabupaten Rejang Lebong dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2013 ada 324 kasus. (Laporan Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Rejang Lebong, 2013).

Usaha pemberantasan vektor dengan menggunakan insektisida telah dilakukan pemerintah daerah melalui dinas kesehatan kabupaten rejang lebong dan menimbulkan masalah seperti resistensi vektor dan pencemaran lingkungan oleh karena peneliti ingin melaksanakan penelitian tentang pemberantasan vektor jentik nyamuk Aedes aegypti dengan cara meningkatkan pengetahuan, sikap dan tindakan masyarakat melalui promosi kesehatan untuk melihat hubungan dengan penderita suspect DBD dan bagaimana upaya masyarakat terhadap gerakan 3 M yaitu Menguras, menutup dan menimbun tempat-tempat penampungan air pada TPA, Non-TPA dan TAT, untuk mengurangi/

Page 25: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K - 2trik.webs.com fileVolume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan menolak artikel yang masuk, dan seluruh artik

Volume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098

23 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

menghilangkan keberadaan jentik Aedes aegypti, serta melakukan penelitian

mendalam tentang keberadaan jentik vektor dengue / indeks larva .pada TPA.

Penyebaran penyakit DBD di suatu kawasan harus dikontrol sehingga penyakit tersebut mendapat penanganan yang tepat. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengontrol penyebaran penyakit yaitu dengan melakukan pemetaan vector penyakit tersebut. Belum ditemukan obat dan vaksin untuk mengatasi penyakit DBD mengakibatkan cara pencegahan melalui memutuskan rantai penularan dengan mengendalikan populasi vector penyakit menjadi penting (Fathi, 2005).

Perilaku masyarakat yang diharapkan yaitu yang bersifat proaktif untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan, mencegah terjadinya resiko penyakit, melindungi diri dari ancaman penyakit, serta berpartisipasi aktif dalam gerakan peningkatan kesehatan masyarakat melalui promosi kesehatan. Menurut Soekidjo Notoatmodjo (2003) meningkatkan peran aktif masyarakat dan anggota keluarga dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit DBD merupakan kunci keberhasilan upaya pemberantasan penyakit DBD. Berdasarkan latar belakang diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Hubungan Lingkungan TAT dengan Indeks Larva di Kabupaten Rejang Lebong. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui indeks larva pada

Lingkungan TAT. METODE PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui, melihat ada / tidak hubungan, mengidentifikasi jentik dan indeks larva. Rancangan penelitian kesatu dan kedua digunakan deskriptif analitik pendekatan Cross sectional (Nursalam,2003) dilanjutkan penelitian ketiga menggunakan metode observasional (Suharsimi Arikunto,2002) di Laboratorium Unit Parasitologi Rumah Sakit Umum Mohammad Hoesin Palembang. Penelitian dilakukan di Kelurahan Batu Galing Kecamatan Curup Tengah Kabupaten Rejang Lebong Propinsi Bengkulu, dalam wilayah kerja Puskesmas Perumnas penelitian dari bulan Januari 2013 sampai bulan Desember 2014.

Pengambilan data menggunakan kuesioner, dengan mewawancarai responden untuk mengetahui karakteristik responden, hubungan perilaku, lingkungan dan promosi kesehatan dengan suspect

demam berdarah dengue, yaitu pada anggota keluarga yang telah dewasa, serta mampu berkomunikasi dan berada dirumah saat pengisian kuesioner dan wawancara berlangsung.dilanjutkan investigasi jentik Survei jentik dilakukan secara acak pada 100 rumah ditiap rukun tetangga dalam wilayah kerja Puskesmas Perumnas Kelurahan Batu Galing Kecamatan Curup Tengah. Mengacu pada metode yang digunakan oleh (Kemenkes RI, 2003).

Populasi dalam penelitian berjumlah 324 supect DBD. Sampel dalam penelitian berjumlah 36 supect DBD. Karakteristik inklusi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Responden yang pernah suspect DBD. 2. Bersedia diobservasi dan diambil jentik

pada lingkungan TAT. Pada hasil pengamatan lingkungan tempat penampungan air, bukan tempat penampungan air didalam dan luar rumah, serta tempat alam terbuka terdapat jentik Aedes aegypti. Pengambilan jentik dilakukan pada

tempat penampungan air, bukan tempat penampungan air di dalam rumah dan di luar rumah serta tempat alam terbuka dengan bantuan senter, menggunakan tangguk kecil, toples bening, piring kaca putih , pipet penghisap jentik dan botol vial, cairan kimia formalin 10%, plester, lebel sesuai botol dan masing-masing dari mana asal jentik diambil. (Kemenkes RI, 2013).

Pengumpulan data dengan melakukan perhitungan dengan menggunakan rumus:

Kepadatan populasi nyamuk (Density

Figure) diperoleh dari gabungan dari HI, CI dan BI dengan kategori kepadatan jentik penentuannya sebagai berikut :

Tabel.1 Kategori Kepadatan Jentik

DF = 6 - 9 Kepadatan Tinggi

DF = 2 - 5 Kepadatan Sedang

DF = 1 Kepadatan Rendah

Tingkat kepadatan jentik Aedes aegypti menurut (WHO,2000).

Page 26: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K - 2trik.webs.com fileVolume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan menolak artikel yang masuk, dan seluruh artik

Volume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098

24 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Tabel 2. Tingkat Kepadatan Jentik Aedes aegypti Berdasarkan Beberapa Indikator

Tingkatan Kepadatan

House Index (HI)

Container Index (CI)

Breteau Index (BI)

1 1 -3 1 -2 1 – 4

2 4 -7 3 – 5 5 – 9

3 8 – 17 6 – 9 10 – 19

4 18 – 28 10 – 14 20 – 34

5 29 -37 15 – 20 35 – 49

6 38 – 49 21 – 27 50 – 74

7 50 – 59 28 – 31 75 – 99

8 60 – 76 32 - 40 100 – 199

9 77 + 41 + 200 +

Indikator tingkat kepadatan jentik Aedes aegypti menurut (WHO,2000). HASIL PENELITIAN

Tabel 3 Distribusi Frekuensi Indeks larva Pada Lingkungan TAT dengan Keberadaan

Jenis jentik Aedes aegypti di Kabupaten Rejang Lebong

TAT Jml

Keberada an Jentik

Aedes aegypti di

TAT

HI (%)

CI (%)

BI (%)

DF TKT ABJ (%)

(+) (-)

Batok Kelapa 3 5 32 23,8 14,3 13,5 3,7 KS 86,5

Kulit Durian 2 3 34 14,3 9,5 8,1 2,7 KS 91,9

Axilla Pisang 2 2 35 9,5 9,5 5,4 2,7 KS 94,6

Kelopak Pinang 2 6 31 28,6 9,5 16,2 3,3 KS 83,8

Cangkang Coklat 2 6 31 28,3 9,5 16,2 3,3 KS 83,8

Cangkng Mnggis 2 0 37 0,0 9,5 0,0 1 KR 100

Taunggul Bambu 2 6 31 28,6 9,5 16,2 3,3 KS 83,8

Daun Mangkok 2 2 35 9,5 9,5 5,4 2,7 KS 94,6

Jantung Pisang 2 8 29 38,1 9,5 38,1 4,7 KS 78,4

Cekungan Batu 2 5 32 23,8 9,5 13,5 3,3 KS 86,5

JUMLAH 21 35 296

Berdasarkan Tabel 3 diatas diketahui

bahwa pada TAT dengan hasil indeks jentik tertinggi pada House Indeks ditemukan ada 8 positif Jentik Aedes aegypti pada jantung pisang yaitu hampir sebagian (38,1%) dan hasil indeks jentik tertinggi pada Continer Indeks ditemukan ada 5 positif Jentik Aedes aegypti pada batok kelapa, sebagian kecil (14,3%) dan hasil indeks jentik tertinggi pada Brateau Indeks (BI) ditemukan ada 8 positif Jentik Aedes aegypti hampir sebagian (38,1%), pada jantung pisang, angka density figure (4,7) pada tingkat kepadatan sedang dan hasil indeks jentik tertinggi pada TAT Angka Bebas jentik tidak ditemukan Jentik Aedes aegypti (0%) pada cangkang manggis, masih dalam kategori aman karena angka ABJ (0%) dibawah ABJ 95%, menurut (Departemen Kesehatan RI, 2008).

PEMBAHASAN Penelitian

Sependapat dengan teori WHO , (2001)

pada beberapa negara termasuk indonesia, dalam tiga sampai lima tahun terakhir dinyatakan telah berlanjut menjadi hiperendemi. Faktor-faktor yang menyebabkan kemunculan kembali epidemi dengue, antara lain: pertumbuhan populasi manusia, urbanisasi yang tidak terencana dan terkendali, pengelolaan sampah padat, pengelolaan lingkungan dalam dan luar rumah dengan menguras, menutup dan menimbun serta pemberantasan sarang nyamuk belum dikelola secara baik dan benar, penyediaan air bersih yang tidak memadai,, peningkatan penyebaran vektor nyamuk, kurang efektifnya pengendalian nyamuk, peningkatan penyebaran virus dengue maupun memburuknya infrastruktur di bidang kesehatan masyarakat.

Hasil Distribusi Frekuensi Indeks Larva Pada Tempat Alam Terbuka

Menurut Departemen Kesehatan RI, (2000) termasuk aman karena, keberhasilan upaya penyehatan lingkungan perumahan / tempat-tempat umum (dalam indikator Indonesia sehat 2010), dapat dilihat dari pencapaian cakupan Angka Bebas Jentik minimal 95%.

Menurut Anif Budiyanto, (2008) hasil dari 37 sekolah yang diperiksa, 20 sekolah ditemukan positif jentik dan 17 sekolah tidak ditemukan jentik. Dari 182 kontainer yang ditemukan berisi air, sebanyak 54 kontainer ditemukan positif jentik. Jentik yang ditemukan sebagian besar (91%) adalah Aedes aegypti. Terdapat perbedaan yang bermakna antara perbedaan warna kontainer (gelap dan terang) dengan keberadaan jentik nyamuk Tidak ada perbedaan yang bermakna antara perbedaan jenis kontainer, letak kontainer, bahan kontainer, kondisi tutup kontainer dan volume air dalam kontainer, dengan keberadaan jentik, siimpulanya ada perbedaan yang bermakna ditemukannya jentik atau tidak, pada kontainer yang berwarna gelap dengan kontainer yang berwarna terang. Kontainer yang berwarna gelap lebih disukai sebagai tempat berkembang biak nyamuk Aedes aegypti. Oleh Karena itu disarankan untuk

mengupayakan pembersihan kontainer secara rutin, sehingga tidak timbul kotoran / lumut yang menyebabkan kontainer terkesan menjadi gelap.

Menurut WHO, (2001) Bruteau Index (BI) merupakan indeks jentik yang paling

Page 27: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K - 2trik.webs.com fileVolume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan menolak artikel yang masuk, dan seluruh artik

Volume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098

25 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

informatif karena memuat hubungan antara rumah dengan penampungan yang positif. Indeks ini khususnya relevan untuk memfokuskan upaya pengendalian pada manajemen atau pemusnahan habitan yang paling umum dan orientasi untuk pesan pendidikan dalam kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat, dalam mengendalikan vektor dengue dapat dilakukan dengan cara memperbaiki sanitasi lingkungan untuk meminimalkan tempat berkembang biaknya vektor.

Menurut WHO, (2003) House Index salah satu indikator yang digunakan untuk menghitung risiko penyebaran penyakit. Indeks ini memberikan petunjuk persentase rumah yang positif untuk perkembangbiakan populasi manusia yang berisiko terkena demam berdarah dengue, Contaner Index

mengungkapkan presentase kontainer yang positif jentik Aedes aegypti. Daerah yang mempunyai sedikit kontainer yang positif jentik,penting secara epidemiologis karena menghasilkan jentik dalam jumlah banyak, juga sebaliknya kurang berisiko terjadi outbreak, ketiga indeks jentik tersebut Breteau index prioritas terbaik

memperkirakan densitas karena sudah mengkombinasikan keduanya baik rumah maupun kontainer.

Hasil penelitian Fathi, (2005) Hasil jumlah responden yang pada kontainernya ada jentik dan menderita demam berdarah dengue sebanyak 2 orang (40%), ada jentik tidak menderita demam berdarah dengue

sebanyak 3 orang (60%) dan tidak ada jentik tidak menderita demam berdarah dengue sebanyak 95 orang (100%). Hasil analisis menggunakan uji Exact Fisher diperoleh nilai

p sebesar 0,002 (nilai p < 0,005), yang berarti bahw keberadaan jentik memiliki hubungan yang bermakna dengan terjadinya penyakit demam berdarah dengue.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan bahwa angka kepadatan jentik dengan skala House Indeks adalah 5% dan Container Indeks adalah (4%), tindakan pelaksanaan 3 M Plus responden termasuk dalam kategori baik sebanyak 78 responden (78%) dan kurang baik sebanyak 22 responden (22%), terdapat hubungan antara keberadaan jentik nyamuk Aedes aegypti

dengan kejadian DBD dengan nilai p=0,002 dan terdapat hubungan antara pelaksanaan 3 M Plus dengan kejadian demam berdarah dengue dengan nilai p=0,047. Disarankan

agar masyarakat melakukan kegiatan pemberantasan sarang nyamuk secara teratur dan berkesinambungan seperti kegiatan 3 M Plus.

Hasil penelitian Sugiyanto Zainal, (2014) Hasil penelitian tidak ada hubungan antara

pengetahuan jumantik dengan status ABJ (p=0,715),sikap (p=1,000), peran petugas (p=1,000), lama kerja (p=0,446), kelengkapan peralatan (p=0,585), dan dukungan honor (p=0,435). Ada perbedaan antara umur jumantik dengan status ABJ (p=0,032). Untuk disarankan bagi responden agar selalu menggunakan peralatan yang lengkap saat PJR seperti senter, buku catatan pemeriksaan jentik dan kartu rumah pemeriksaan jentik. Bagi Kel.selalu mengingatkan masyarakat untuk menggerakkan kegiatan pemberantasan sarang nyamuk di Kelurahan Wonotingal. Bagi Puskesmas,memberikan pelatihan kepada jumantik secara rutin terkait dengan pemberantasan jentik.

Hasil penelitian Ririh, (2012) Kepadatan jentik nyamuk Aedes aegypti di Kel.

Wonokusumo yang diukur dengan parameter HI=58%, CI=30,6%, BI=82% dan DF=7, hal ini menunjukkan transmisi nyamuk Aedes aegypti.sehingga penyebaran nyamuk

semakin cepat dan semakin mudah penularan penyakit DBD. Kondisi Lingkungan yang mempunyai hubungan dengan keberadaan jentik nyamuk Aedes aegypti.adalah kelembapan udara. Sedangkan suhu udara tidak ada hubungan dengan keberadaan jentik nyamuk Aedes aegypti. Jenis kontainer yang mempunyai

hubungan dengan keberadaan jentik nyamuk Aedes aegypti. Perilaku masyarakat yaitu pengetahuan dan tindakan dalam mengurangi atau menekan kepadatan jentik nyamuk Aedes aegypti. mempunyai hubungan dengan keberadaan jentik nyamuk Aedes aegypti. Sedangkan sikap responden tidak ada hubungan dengan keberadaan jentik nyamuk Aedes aegypti. Saran agar masyarakat diharapkan lebih berperan aktif dalam pemberantasan penyakit demam berdarah dengue melalui upaya PSN dengan

melakukan 3 M khususnya dalam menguras TPA dengan menyikat dasar dan dindingnya secara teratur serta menaburkan bubuk abate ke dalam kontainer yang tidak dapat dikuras.

Hasil penelitian Wijana, (2002) hasil penelitiannya yaitu analisis menunjukkan ABJ=87,1%. Variabel yang berhubungan dengan keberadaan jentik adalah perilaku dan kesehatan lingkungan. Analisis Multivariat menunjukkan bahwa variabel perilaku lebih berpengaruh. Faktor pengetahuan dan sikap tidak berhubungan secara statistik. Dapat disimpulkan bahwa upaya perubahan perilaku yang mendukung PSN DBD masih diperlukan. Puskesmas perlu meningkatkan promosi kesehatan tentan g bahaya DBD dan cara pencegahannya, koordinasi dengan lintas

Page 28: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K - 2trik.webs.com fileVolume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan menolak artikel yang masuk, dan seluruh artik

Volume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098

26 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

sektor terkait dan kinerja juru pemantau jentik untuk meningkatkan perilaku PSN rumah tangga, sehingga terjadi peningkatan ABJ dan penurunan Angka Kesakitan demam berdarah dengue.

Menurut Muchlastriningsih, (2005) nilai ABJ yang relatif rendah ≤ 95%,memperbesar peluang terjadinya transmisi virus demam berdarah dengue.

Hasil penelitian Heni Prastyowati, (2013) Hasil Spesies Aedes yang ditemukan adalah Aedes aegypti dengan indeks entomologi House Index adalah 29,8%, Breteau Index 47,7%, sedangkan Container Index 61,4% dan Angka Bebas Jentik 70,2%. Jenis kontainer yang ditemukan dikawasan pasar wisata pangandaran meliputi dispenser, ember penampungan untuk mandi, ember yang terletak diluar, bak mandi, tempat minum burung dan penampungan air selain ember. Ditemukannya aktifitas Aedes aegypti malam hari dari jam 18.00-03.00 wib, baik didalam dan diluar rumah.

Menurut Zanalia Zuckerman, (2009) Daerah yang mempunyai HI lebih besar dari 20% memiliki resiko penularan kasus DBD yang tinggi.

Hasil penelitian Dameria Zulkarnaini, (2008) Kondisi sanitasi lingkungan kurang baik (62,7%) Ada 88 kontainer positif Jentik Aedes aegypti di temukan didalam rumah

dari 509 kontainer, 52 kontainer ditemukan diluar rumah, Angka House Index (HI) 86,27%, Container Index (CI) 28%, dan angka Bruteau Index (BI) 137%. Ada

hubungan antara kondisi sanitasi lingkungan rumah tangga dengan keberadaan jentik vektor dengue didaerah rawan DBD (Rho=0,586 dan p=0,000). Aspek sanitasi lingkungan yang paling dominan berhubungan dengan keberadaan jentik vektor dengue adalah praktik rumah tangga dalam PSN-DBD dengan P value 0,000 dan β=0,635. Jadi faktor yang paling mempengaruhi/dominan terhadap keberadaan jentik vektor dengue adalah Pemberantasan sarang nyamuk demam berdarah dengue

Menurut Depkes RI, (2000) Keberhasilan upaya penyehatan lingkungan perumahan / tempat-tempat umum (dalam indikator Indonesia sehat 2010), dapat dilihat dari pencapaian cakupan Angka Bebas Jentik minimal 95%. Hasil penelitian pada indeks jentik ditemukan positif jentik Aedes aegypti terdapat di belakang kulkas tertinggi pada Non-TPA luar rumah dengan House Indeks yaitu setengah dari responden = (50%).

Menurut Zuckerman (2009). Daerah yang mempunyai HI lebih besar dari 20% memiliki resiko penularan kasus demam berdarah dengue yang tinggi.

Hasil penelitian Yudhastuti, (2005) Kepadatan jentik nyamuk Aedes aegypti di

Kel. Wonokusumo yang diukur dengan parameter HI=58%, hal ini menunjukkan transmisi nyamuk Aedes aegypti.sehingga penyebaran nyamuk semakin cepat dan semakin mudah penularan penyakit demam berdarah dengue. Hasil indeks jentik tertinggi pada Continer Indeks ditemukan positif jentik Aedes aegypti terdapat pada

ban bekas, gelas plastik, tempat minum burung, kaleng bekas dan pot taman yaitu sebagian kecil dari responden (20%).

Hasil penelitian Ririh, (2012) Kepadatan jentik nyamuk Aedes aegypti di Kel.

Wonokusumo yang diukur dengan parameter CI=30,6%, BI=82%,, hal ini menunjukkan transmisi nyamuk Aedes aegypti.sehingga penyebaran nyamuk semakin cepat dan semakin mudah penularan penyakit demam berdarah dengue. Hasil indeks jentik tertinggi Brateau Indeks sebagian kecil (10,8%) ditemukan pada ban bekas dan pot taman. Pada density figure (11,7) tingkat kepadatan tinggi.

Hasil penelitian House Indeks (50%) Hasil indeks jentik tertinggi pada Continer Indeks (20%), Brateau Indeks (10,8%) ditemukan positif jentik Aedes aegypti terdapat pada kaleng bekas,dimana parameter HI lebih besar dari 20% maka lokasi penelitian di Kabupaten Rejang Lebong memiliki resiko penularan kasus maupun suspect demam berdarah dengue yang tinggi karena transmisi nyamuk Aedes aegypti. sehingga penyebaran nyamuk semakin cepat dan semakin mudah penularan penyakit demam berdarah dengue, kondisi sanitasi lingkungan Non-

TPA luar rumah harus diperhatikan pada tempat-tempat yang memungkinkan nyamuk bersarang dan meletakkan telurnya, harus secara rutin dijaga agar keberadaan jentik Aedes aegypti dapat ditekan pertumbuhannya, sehingga keluarga terhindar dari suspect demam berdarah dengue. Hasil pada density figure (11,7) dengan tingkat kepadatan tinggi, hal ini menunjukkan transmisi nyamuk Aedes aegypti.sehingga penyebaran nyamuk semakin cepat dan semakin mudah penularan penyakit demam berdarah dengue.

Hasil indeks jentik Aedes aegypti pada bukan tempat penampungan air luar rumah pada gelas plastik tidak ditemukan (0%), lingkungan bukan tempat penampungan air luar rumah masih aman dari kasus suspect DBD karena masih, karena Angka Bebas jentik dibawah (95%).

Secara rutin membiasakan gerakan 3 M (menguras, menutup dan menimbun)

Page 29: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K - 2trik.webs.com fileVolume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan menolak artikel yang masuk, dan seluruh artik

Volume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098

27 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

ditambah menaburkan bubuk abate pada wadah atau bak tempat penampungan air, serta menggiatkan pada setiap rumah warga diadakan secara rutin seminggu sekali kegiatan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) kondisi sanitasi lingkungan rumah tangga dan lingkungan Non-TPA bebas dari jentik Aedes aegypti dengue , sehingga perkembangan kasus suspect demam berdarah dengue dapat ditekan seminimal

mungkin. Indeks larva pada lingkungan TAT

dengan Keberadaan Jenis jentik Aedes aegypti pada TAT dengan hasil indeks jentik tertinggi pada House Indeks ditemukan ada 8 positif Jentik Aedes aegypti pada kelopak jantung pisang yaitu hampir sebagian dari responden (38,1%), Kelopak jantung pisang yang terlepas dan jatuh, dengan posisi menampung air hujan, akan menjadi genangan air bersih dan menjadi tempat nyamuk meletakkan telurnya, sampai menetas menjadi jentik dan berkembang menjadi nyamuk dan hasil indeks jentik tertinggi pada Continer Indeks ditemukan ada 5 positif Jentik Aedes aegypti pada batok kelapa, sebagian kecil dari responden (14,3%) , batok tempurung kelapa dengan posisi menampung air hujan, akan menjadi genangan air bersih dan menjadi tempat nyamuk meletakkan telurnya, sampai menetas menjadi jentik dan berkembang menjadi nyamuk dan hasil indeks jentik tertinggi pada Brateau Indeks ditemukan ada 8 positif Jentik Aedes aegypti hampir

sebagian dari responden (38,1%), pada jantung pisang, Kelopak jantung pisang yang terlepas dan jatuh, dengan posisi menampung air hujan, akan menjadi genangan air bersih dan menjadi tempat nyamuk meletakkan telurnya, sampai menetas menjadi jentik dan berkembang menjadi nyamuk, angka density figure (4,7)

pada tingkat kepadatan sedang, bila dibiarkan akan jentik nyamuk akan semakin banyak kepadatannya, sehingga lama kelamaan bisa menjadi kepadatan jentik yang tinggi dan hasil indeks jentik tertinggi pada TAT Angka Bebas jentik (ABJ) tidak ditemukan Jentik Aedes aegypti (0%) pada cangkang manggis, masih dalam kategori aman karena angka ABJ (0%) dibawah ABJ 95%, menurut Departemen Kesehatan RI, (2000). KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Hasil indeks jentik tertinggi pada Continer Indeks ditemukan ada 5 positif Jentik Aedes aegypti pada batok kelapa,

sebagian kecil dari responden (14,3%) dan hasil indeks jentik tertinggi pada Brateau Indeks ditemukan ada 8 positif Jentik Aedes aegypti hampir sebagian dari responden (38,1%), pada jantung pisang, angka density figure (4,7) pada tingkat

kepadatan sedang dan hasil indeks jentik tertinggi pada tempat alam terbuka Angka Bebas jentik tidak ditemukan Jentik Aedes aegypti (0%) pada cangkang manggis, masih

dalam kategori aman karena angka ABJ (0%) dibawah ABJ 95%, menurut (Departemen Kesehatan RI, 2000). Saran

Disarankan pada pihak Dinas Kesehatan

Kabupaten Rejang Lebong melalui Puskesmas Perumnas Curup perlu memperhatikan dengan lebih sering dan terjadwal melakukan penyuluhan kesehatan, mengintensifkan dan mensosialisasikan program 3 M Plus dan pemberantasan sarang nyamuk, serta pembentukan kader juru pemantau jentik ditiap rukun tetangga , peningkatan sarana dan prasarana Puskesmas Perumnas.

Penelitian tentang hubungan perilaku, lingkungan, dan promosi kesehatan dengan musim hujan jentik aedes aegypti terhadap kejadian demam berdarah dengue masih

menunjukan hasil yang sederhana, diharapkan kedepan untuk penelitian seperti ini lebih banyak dilakukan dengan menggunakan metodelogi penelitian yang dapat meminimalisir keterbatasan. Atau kelemahan penelitian dengan deskriftif analitik pendekatan cross sectional kemungkinan terjadi recall bias. Peneliti

mencoba meminimalisir dengan cara memfokuskan pencarian responden pada kasus baru yaitu kasus yang diikuti langsung oleh peneliti selama periode waktu penelitian. Periode yang dimungkinkan dalam mengikuti kasus dari bulan januari 2013 sampai bulan desember 2013, mengingat kejadian kasus demam berdarah dengue merupakan kasus yang langka dan

jarang terjadi, maka jangkauan sampel yang dapat diteliti hanya berkisar pada angka minimal sesuai dengan syarat penelitian pada besaran sampel. DAFTAR PUSTAKA

Achmadi (2008) KLB Endemis DBD di

Indonesia. Remaja Rosdakarya. Bandung.

Arikunto Suharsimi (2002) Manajemen Penelitian. Jakarta. Rhineka Cipta

Budiyanto Anif (2008) Karakteristik Kontainer terhadap Keberadaan Jentik Aedes

Page 30: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K - 2trik.webs.com fileVolume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan menolak artikel yang masuk, dan seluruh artik

Volume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098

28 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

aegypti di SD Kecamatan Batu Raja Timur Kab. OKU Propinsi Sumatera Selatan.

Departemen Kesehatan RI (2009) Rencana Pembangunan Jangka Panjang Bidang Kesehatan 2005 – 2025. Jakarta

Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (2009) Penangkapan Jentik Pada Kontainer. Jakarta

Departemen Kesehatan RI (2008) Penyebaran Penyakit Endemik di Indonesia (Dir.Jen. P dan PL). Jakarta

Departemen Kesehatan RI, (2000), Upaya penyehatan lingkungan perumahan / tempat-tempat umum, dalam indikator Indonesia sehat 2010. Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Dir.Jen P & PL). Jakarta.

Dinas Kesehatan Provinsi Bengkulu (2012) Profil Kesehatan Dinas Kesehatan Provinsi Bengkulu . Kabid P2M. Bengkulu.

Dinas Kesehatan Kabupaten Rejang Lebong (2013) Profil Kesehatan Dinas Kesehatan Kabupaten Rejang Lebong. Curup.

Dinas Kesehatan Kabupaten Rejang Lebong (2012) Profil Kesehatan Dinas Kesehatan Kabupaten Rejang Lebong. Curup.

Dinas Kesehatan Kabupaten Rejang Lebong (2010) Profil Kesehatan Dinas Kesehatan Kabupaten Rejang Lebong. Curup.

Duma Nicolas (2007) Faktor 3 M dengan Kejadian DBD.

Fathi (2005) Faktor Lingkungan Kontainer merupakan Faktor yang sangat Berperan Terhadap Penularan DBD. Purwokerto.

Hadisaputro,(2008) Faktor-Faktor Lingkungan TPA yang Berhubungan dengan Keberadaan Jentik Nyamuk Aedes aegypti di Desa Katekan Kabupaten Grobogan.

Hasyimi (2005) Kesenangan Bertelur Aedes sp. Cermin Dunia Kedokteran No. 92.

Holani Ahmad Wardhanie (1997) Gambaran Pengetahuan Sikap dan Tindakan Tentang 3 M Pada Keluarga di Kelurahan Padang Bulan.

Kementerian RI (2013) Pengembangan Dispenser Anti Nyamuk Dalam Menurunkan Kepadatan Nyamuk Demam Berdarah. Dir. Jen. Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Dir.Jend. P & PL) Jakarta.

Ketut Suastika, (2012) Analisis Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Keberadaan Jentik Aedes aegypti di Puskesmas III Denpasar Selatan.

Lasud (2006) Pengaruh Kontainer TPA dan IPA dengan Keberadaan Jentik Aedes aegypti.

Makmun (2007) Hubungan Jenis Kontainer dengan Keberadaan Jentik Aedes aegypti.

Muchlastriningsih (2005) Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Kejadian DBD dan Upaya Penanggulangannya di Kecamatan Cimanggis. Depok. Jawa Barat.

Notoatmodjo Soekidjo (2003) Konsep Dasar Perilaku dan Promosi Kesehatan. Jakarta. Rineka Cipta.

Nursalam (2003) Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Keperawatan (Pedoman Skripsi, tesis dan instrumen Penelitian Keperawatan) Jakarta. Salemba Medika.

Prastyowati Heni (2013) Survey Jentik dan Aktifitas Nokturnal Aedes SPP di Pasar Wisata Pangandaran .

Ririh (2012) Hubungan Kondisi Lingkungan, Kontainer dan Perilaku Masyarakat dengan Keberadaan Jentik Nyamuk Aedes aegypti di Daerah Endemis DBD. Surabaya.

Sigit (2006) Penanganan dan Pemberantasan DBD. Yayasan Esentia Medica. Yogyakarta.

Siregar Fibriana (2004) Evaluasi Proses Pemantauan Jentik di Daerah Kepadatan Jentik Rendah (Studi Di Kelurahan Panggung Lor Kota Semarang.

Soegijanto (2006) Tahap Teplikasi Penularan Virus dengue. Yayasan Essentia Medica. Yogyakarta.

Soekirno (2004) Hubungan Penggunaan TPA di Daerah Pemukiman dengan Perindukan Vektor.

Sukowati Supratman (2008) Pengaruh Kelembapan terhadap Perkembang Biakan Nyamuk Aedes aegypti.

Sukirno, (2004) Pola Pemilihan Habitat dengan Kebiasaan Hidup Nyamuk dewasa Aedes aegypti .

Sumekar (2005) Hubungan Kegiatan PSN, 3 M Plus dengan Keberadaan Jentik Aedes aegypti

Sumunar (2008) Ae aegypti sebagai Vektor DBD berdasarkan Pengamatan di Alam. Media Litbangkes.Vol.3.

Susanti Dewi (2006) Hubungan Perilaku (Pengetahuan, Sikap dan Praktik) PSN dengan Keberadaan Jentik Aedes aegypti pada TPA di RT.02/II Kel. Tambakaji Kota Semarang.

WHO (2012) Best Practice For Dengue Prevention and Control. Geneva WHO & Departemen Kesehatan Jakarta. EGC.

WHO (2003) Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit DBD. Petunjuk Lengkap Terjemahan oleh Suroso, T. Dkk dari Prevention Control of

Page 31: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K - 2trik.webs.com fileVolume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan menolak artikel yang masuk, dan seluruh artik

Volume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098

29 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Dengue Haemorrhagic. WHO dan Departemen Kesehatan

WHO (2001) Modul pedoman Penatalaksanaan Kasus DBD. Jakarta. EGC.

WHO (2000) Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit DBD. Petunjuk Lengkap Terjemahan oleh Suroso, T. Dkk dari Prevention Control of Dengue Haemorrhagic. WHO dan Departemen Kesehatan

Wijana (2002) Program Penanggulangan Vektor dengan Tempat Berkembang Biak Aedes aegypti dan Aedes albopictus.

Wongkoon (2007) Hubungan Kontainer Bahan TPA buatan dari Alam dengan Keberadaan Jentik

Vidiyani Anny (2012) Pengaruh Faktor Penyuluhan Kader dengan Keadatan Jentik

Yudhastuti (2005) Lingkungan dan Sikap terhadap Keberadaan Jentik.Surabaya.

Zaenal Sugiyanto (2014) Hubungan Antara Kharakteristik Jumantik terhadap Status ABJ di Kelurahan Wonotingal Wilayah Kerja Puskesmas Kagok.

Zuckerman Zanalia (2009) Kajian Tempat Perindukan Nyamuk Aedes di Kawasan Kampus Darusalam Banda Aceh.

Zulkarnaini Dameria (2008) Hubungan Kondisi Sanitasi Lingkungan Rumah Tangga dengan Keberadaan Jentik Vektor dengue di Daerah Rawan DBD Kota Dumai.

Page 32: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K - 2trik.webs.com fileVolume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan menolak artikel yang masuk, dan seluruh artik

Volume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098

30 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGGINYA KEJADIAN PERSISITENSI GIGI PADA PASIEN ANAK

(6-12 TAHUN)

Ristya Widi Endah Yani (Fakultas Kedokteran Gigi,

Universitas Jember)

ABSTRACT Introduction: Dental and oral disorders in children in Indonesia is categorized as high, one of which is dental persistence that its etiology is multifactorial including nutritional status and mother’s knowledge. This study aims to analyze the dental persistence cases in pediatric patients ranging from 6-12 years old who attended Gumukmas and Ambulu Public Health Center in Jember. Method: This is an observational descriptive study with cross sectional approach which was carried out in October 2015 involving 162 samples. Variabel being studied in this research is dental persistence cases in pediatric patients ranging from 6-12 years old, using mouth glass, nippers and lighting. Data were presented descriptively in the form of tables and graphics. Results: The percentage of pediatric patients (6-12 years old) who suffered from dental persistence in Ambulu and Gumukmas Public Health Center was 88,9% (high catagorized). Some factors causing dental persistence are nutritional deficiency, dental anomalies, hormone disturbances, permanent tooth germ malposition, and mother’s level of knowledge. Conclusion: The percentage of pediatric patients ranging from 6-12 years old who suffered from dental persistence in Ambulu and Gumukmas Public Health Center is 88,9% (high categorized). Keywords: Dental disorders, persistence

PENDAHULUAN Latar Belakang

Persistensi gigi sulung adalah suatu keadaan dimana gigi sulung belum tanggal walaupun waktu tanggalnya sudah tiba. Keadaan ini sering dijumpai pada anak usia 6-12 tahun. Persistensi gigi sulung tidak mempunyai penyebab tunggal tetapi merupakan gangguan yang disebabkan multifaktor.

Akar gigi sulung secara normal

akan diresorbsi sempurna sehingga gigi sulung menjadi goyang dan akhirnya tanggal beberapa saat sebelum gigi permanen pengganti erupsi, akan tetapi sering dijumpai adanya kasus gigi persistensi disebabkan oleh berbagai faktor penyebab. Akibat yang timbulkan dari persistensi gigi antara lain karies gigi, maloklusi dan juga berkurangnya estetika (terutama pada gigi depan). Pada keadaan ini pencabutan gigi merupakan salah satu solusi dari kelainan yang telah terjadi (Siagian, 2004; Nazarudin, 2001; Profitt et al., 2012; Pintauli & Hamada, 2008; Wedl et al., 2005).

Usia 6-12 tahun adalah usia sekolah dasar, dimana merupakan periode gigi campuran (terdapatnya dua macam gigi yaitu gigi sulung dan gigi permanen) sehingga diperlukan tindakan yang baik untuk pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut (Nazarudin, 2001; Riyanti & Saptarini, 2009).

METODE PENELITIAN

Penelitian observasional deskriptif pada pasien anak (6-12 tahun) di Puskesmas Ambulu dan Gumukmas Jember bulan Oktober 2015 ini menggunakan accidental sampling sebanyak 162. Variabel yang diteliti adalah kejadian persistensi pasien anak (6-12 tahun), dengan menggunakan instrumen kaca mulut, pinset dan lampu penerangan. Data disajikan secara deskriptif dalam bentuk tabel. HASIL PENELITIAN

Penelitian tentang kejadian persisitensi gigi pada pasien anak (6-12 tahun) di Puskesmas Gumukmas dan Ambulu Jember dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Angka Kejadian Persistensi dan Resorbsi Fisiologis Pasien Anak (6-12 tahun)

di Puskesmas Ambulu dan Gumukmas

Diagnosa Jumlah Persen

Persistensi 144 88,9

Resorbsi Fisiologis 18 11,1

Jumlah 162 100

Page 33: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K - 2trik.webs.com fileVolume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan menolak artikel yang masuk, dan seluruh artik

Volume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098

31 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Berdasarkan Tabel 1 diperoleh jumlah pasien anak usia 6-12 tahun yang menderita persistensi gigi sebesar 144 (88,9%), sedangkan resorbsi fisiologis sebesar 18 (11,1%). PEMBAHASAN

Angka kejadian persistensi gigi pada pasien anak di Puskesmas Ambulu dan Puskesmas Gumukmas sebesar 144 dari 162 pasien yang berkunjung atau sebesar 88,9% dan termasuk kategori tinggi. Hal ini disebabkan persistensi adalah kelainan gigi dengan penyebab multifaktorial. Beberapa faktor penyebabnya antara lain defisiensi nutrisi, gangguan hormon, anomali gigi, malposisi benih gigi permanen, infeksi dan tingkat pengetahuan ibu (Siagian, 2004; Nazarudin, 2001; Profitt et al., 2012). Defisiensi Nutrisi

Defisiensi nutrisi dapat menyebabkan proses pembentukan jaringan periodontal berlangsung sangat lambat, sehingga proses resorbsi tulang terganggu. Proses resorbsi akar merupakan proses yang terjadi secara berselang-seling antara resorbsi aktif dengan masa istirahat. Resorbsi aktif lebih pendek dari masa istirahat karena pada masa istirahat terjadi proses pembentukan jaringan periodontal pada daerah yang teresorbsi (Siagian, 2004; Oeripto et al., 2001). Gangguan Hormon

Hormon tiroid dihasilkan oleh kelenjar tiroid yang berperan untuk merangsang metabolism sel dan mengatur metabolism tubuh secara keseluruhan. Hormon tiroid disekresikan langsung ke aliran darah dan getah bening dan berfungsi untuk mengontrol pertumbuhan dan perkembangan tubuh. Kekurangan hormone tiroid disebut hypotiroidsm. Gejala yang

terlihat pada usia pasien ketika mendapat serangan pertama dan durasi dari terjadinya gangguan fungsi endokrin ini. Hypotiroidsm dapat menyebabkan persistensi gigi dalam waktu yang lama karena kekurangan hormone tiroid meyebabkan reosrbsi akar gigi susu dan perkembangan tulang rahang terganggu (Siagian, 2004; Pintauli & Hamada, 2008; Depkes RI., 2012).

Anomali Pada Gigi

Gigi-geligi dapat mengalami anomali apabila terjadi suatu inflamasi ataupun infeksi. Seperti ankilosisi, namun inflamasi juga dapat menyebabkan nekrosis pulpa dan inflamasi periapikal seperti granuloma yang

juga dapat mengganggu proses resorbsi gigi (Nazarudin, 2001; Profitt et al., 2012; Oeripto et al., 2001).

Ankilosis adalah suatu keadaan dimana sebagian atau seluruh sementum akr gigi menyatu dengan tulang alveolar pendukungnya. Melalui foto rontgen terlihat ligamentum periodontal hilang dengan gambaran radiopaque. Ankilosis dapat terjadi karena infeksi atau injuri pada membrane periodontalmisal akibat kecelakaan sehingga terjadi nekrosis local dari membrane tersebut. Nekrosis local membrane diikuti dengan pembentukan tulang baru yang akhirnya menyatukan sementum dan tulang alveolar pendukungnya, bias sebagian atau seluruhnya. Penyakit kongenital seperti kleidokranial disostosis dapat juga menyebabkan penderita memiliki predisposisi untuk terjadinya ankilosis (Siagian, 2004; Nazarudin, 2001; Oeripto et al., 2001).

Gigi yang paling sering mengalami ankilosis adalah molar pertama dan kedua susu rahang bawah. Gigi susu yang ankilosis akan tetap bertahan pada tempatnya dan menghalangi erupsi gigi permanen pengganti (Nazarudin, 2001; Profitt et al., 2012; Oeripto et al., 2001). Malposisi Benih Gigi Permanen

Benih gigi permanen kadang-kadang berada pada posisi abnormal missal horizontal, mesioangular, distoangular, dan sebagainya. Keadaan ini bias membuat gigi permanen erupsi kea rah labial, lingual, bukal serta impaksi karena jalan erupsinya terhalang jaringan tulang dan mukosa yang tebal. Arah erupsi gigi permanen yang menyimpang ini menyebabkan gigi susu tidak terresorbsi sebagian atau seluruhnya sehingga gigi susu tetap bertahan di lengkung gigi (Siagian, 2004; Oeripto et al., 2001).

Infeksi

Suatu inflamasi ataupun infeksi pada gigi susu dapat mengganggu proses resorbsi. Anak usia 6-12 tahun merupakan periode aktif terutama dalam bermain, anak juga sudah mulai mandiri dalam konsumsi makanan terutama yang disukai. Adanya suatu trauma ataupun infeksi dapat menyebabkan gangguan, seperti ankilosis, granuloma ataupun nekrosis gigi (Siagian, 2004; Jose & Joseph, 2003).

Tingkat Pengetahuan Ibu

Perilaku ibu dalam pemelihara kesehatan gigi anak menjadi sangat penting karena

Page 34: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K - 2trik.webs.com fileVolume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan menolak artikel yang masuk, dan seluruh artik

Volume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098

32 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

umumnya ibu lebih dekat dengan anak. Ibu dianggap sebagai individu yang paling banyak waktu untuk bertemu dengan anak. Ibu dianggap paling mengerti anak sehingga dapat melakukan pendekatan paling tepat untuk membiasakan anak memelihara kesehatan gigi dan mulutnya. Ibu sebaiknya menanamkan perilaku kesehatan gigi dan mulut yang sehat sedini mungkin kepada anaknya.

Tingkat pengetahuan ibu mengenai

erupsi gigi adalah fakor yang penting dalam mempengaruhi kesadaran kesehatan dan gigi anak, terutama dalam mencegah terjadinya persistensi gigi. Depkes RI., 2012; Vallejos & Medina, 2008). KESIMPULAN

Angka kejadian persistensi gigi pada pasien anak di Puskesmas Ambulu dan Puskesmas Gumukmas sebesar 144 (88,9%) dan termasuk kategori tinggi. DAFTAR PUSTAKA

Depkes RI. (2012). Pedoman Paket Dasar Pelayanan Kesehatan Gigi dan Mulut. Jakarta, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

Jose A, Joseph M R. (2003). Prevalence Of Dental Health Problems Among School Going Children In Rural Kerala. Issn 0970 – 4388. Marina Rajan Joseph Department Of Community Medicine, M.O.S.C. Medical College: Kolenchery.

Nazarudin. (2001). Perawatan Dental Anterior Crossbite dengan Hubungan Rahang Klas 1 Angle. Dentika Dental Journal, Vol 6. No.2. 295-304.

Oeripto Soejadi, dkk. (2001). Kuliah Ilmu Kesehatan Gigi Anak II, Crossbite Anterior. Sumatra: Bagian Pedodonsia Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatra Utara.

Pintauli S, Hamada T. (2008). Menuju gigi dan mulut sehat. Medan: USU Press, 4-8, 74-75, 79-81.

Profitt WR, Sarver DM, Ackerman JL. (2012). Orthodontic diagnosis: The problem-oriented approach. In: Proffit WR, Fields HW Jr, Sarver DM, eds. Contemporary Ortho-dontics. 5th ed. St. Louis, Mo: Mosby;;150-219.

Riyanti E, Saptarini R. (2009). Upaya peningkatan kesehatan gigi dan mulut melalui perubahan perilaku anak. Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjajaran.

Siagian, Erna Y. (2004). Beberapa anomaly yang disebabkan persistensi gigi serta perawatannya. Skripsi. Medan: Fakultas

Kedokteran Gigi Universitas Sumatra Utara.

Vallejos-Sánchez AA, Medina-Solís CE. (2008). Sociobehavioral factors influencing tooth-brushing frequency among schoolchildren. J Am Dent Assoc (JADA), 743-749.

Wedl JS, Danias S, Schmelzle R, Friedrich RE. (2005). Eruption times of permanent teeth in children and young adolescents in Athens (Greece). Clin Oral Invest, 9: 131–134.

Page 35: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K - 2trik.webs.com fileVolume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan menolak artikel yang masuk, dan seluruh artik

Volume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098

33 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

PELAKSANAAN PENDOKUMENTASIAN MONITORING HEMODINAMIKA DI ICU

RSUD BANGIL KABUPATEN PASURUAN

Moch. Bahrudin (Jurusan Keperawatan,

Poltekkes Kemenkes Surabaya)

ABSTRAK

Pendahuluan: Monitor hemodinamika adalah suatu pengukuran terhadap sistem kardiovaskuler yang dapat dilakukan baik secara invasif atau noninvasif. Monitor hemodinamika secara sederhana dapat dilakukan dengan cara pengukuran tekanan darah, pengukuran frekuensi nadi, pengukuran frekuensi respirasi, monitor gambaran ECG serta penghitungan produksi urin. Metode: Populasi penelitian deskriptif ini adalah pasien ICU RSUD Bangil Kabupaten Pasuruan pada perawatan hari ke 2 rata–rata sejumlah 396/12 = 33 responden. Teknik sampling yang digunakan adalah total sampling. waktu penelitian dilaksanakan bulan Mei 2014. Hasil: Pendokumentasian monitoring hemodinamika pasien: pelaksanaan pendokumentasian pengukuran tekanan darah sebagian besar pelaksanaannya baik sekali sebanyak 28 pasien (85%), pelaksanaan pendokumentasian penghitungan nadi sebagian besar pelaksanaannya baik sebanyak 32 pasien (97%), pelaksanaan pendokumentasian penghitungan respirasi sebagian besar pelaksanaannya baik sebanyak 28 pasien (85%), pelaksanaan pendokumentasian pengukuran produksi urin sebagian besar pelaksanaannya cukup sebanyak 20 pasien (61%), serta pelaksanaan perekaman ECG mencapai 33 pasien (100%) pelaksanaannya baik. Kesimpulan: Secara umum pelaksanaan monitor hemodinamika cukup baik karena ada pelaksanaan pendokumentasian yang sudah dilakukan semua. Kata kunci: monitoring hemodinamik, ICU

PENDAHULUAN Latar Belakang

Monitor hemodinamika adalah suatu pengukuran terhadap sistem kardiovaskuler yang dapat dilakukan baik secara invasif atau noninvasif (Rokhaeni, 2001). Monitor hemodinamika secara sederhana dapat dilakukan dengan cara pengukuran tekanan darah, pengukuran frekuensi nadi, pengukuran frekuensi respirasi, pengukuran saturasi O2, monitor gambaran ECG serta penghitungan produksi urin. Tujuan monitor hemodinamika adalah memberikan informasi mengenai keadaan pembuluh darah, jumlah darah yang dipompakan oleh ventrikel dan kemampuan jantung untuk memompakan darah.

Pendokumentasian pelaksanan monitor hemodinamika merupakan salah satu bagian dari dokumentasi keperawatan. Dokumentasi keperawatan adalah catatan yang berisi data pelaksanaan tindakan keperawatan sebagai pertanggung jawaban dan pertanggunggugatan terhadap asuhan keperawatan yang dilakukan perawat kepada pasien dari kebijakan (Direktorat Keperawatan dan Keteknisan Medik Dirjen Pelayanan Medik Kemenkes RI, 2005). Tujuan pendokumentasian pelaksanaan monitor hemodinamika adalah sebagai aspek hukum, jaminan mutu pelayanan, komunikasi antar petugas kesehatan, nilai pendidikan, sebagai bahan penelitian serta sebagai akreditasi.

Untuk observasi pasien yang ada di ruang ICU perlu dilaksanakan monitoring hemodinamika secara benar, baik pelaksanaan maupun pendokumentasian. Monitoring hemodinamika yang tidak dilaksanakan dengan benar maka akan mengakibatkan kerugian yaitu jika ada perubahan pada sistem kardiovaskuler pasien maka tidak akan cepat dideteksi seperti misalnya terjadi penurunan curah jantung bisa karena penurunan tekanan sistemik jantung ditandai adanya perubahan tekanan darah arteri rata–rata (Mean Artery Blood Presure). Tidak adekuatnya volume cairan ditandai adanya perubahan frekuensi nadi, frekuensi respirasi serta volume produksi urin. Pasien yang mengalami penurunan saturasi O2 merupakan tanda–tanda terjadinya perubahan oksigen jaringan perifer. Semua perubahan yang terjadi merupakan tanda–tanda dari gangguan perfusi jaringan yang bisa menyebabkan gagal ginjal akut. Pasien dengan adanya komplikasi penyakit lain seperti gagal ginjal akut atau syok yang tidak segera ditangani berakibat akan memperpanjang hari

Page 36: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K - 2trik.webs.com fileVolume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan menolak artikel yang masuk, dan seluruh artik

Volume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098

34 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

perawatan, juga bisa menyebabkan kematian. Di samping contoh diatas ada lagi perubahan hemodinamika yang bisa menyebabkan kematian bila tidak segera ditangani yaitu perubahan irama dan perubahan gelombang sewaktu melakukan observasi gambaran EKG.

Untuk pendokumentasian monitor hemodinamika yang tidak benar maka akan menimbulkan masalah diantanya jika ada gugatan dari pasien yang tidak terdokumentasikan maka perawat tidak ada bukti untuk bahan pembelaan. Pendokumentasian yang tidak benar juga menimbulkan masalah yaitu perkembangan keadaan kesehatan klien tidak bisa dilihat secara berkesinambungan, komunikasi antar petugas tidak berjalan, sehingga kualitas pelayanan dalam menyelesaikan masalah pasien tidak optimal.

Berdasarkan data yang terdapat di RSUD BangilKabupaten Pasuruan jumlah kunjungan pasien di ICU RSUD BangilKabupaten Pasuruan tahun 2010 sebanyak 848 pasien, yang dirawat lebih dari 2 hari perawatan sebanyak 423 pasien. Untuk periode bulan Januari 2011 sampai dengan bulan Desember 2011 jumlah kunjungan pasien di ICU RSUD BangilKabupaten Pasuruan sebanyak 675 pasien, yang dirawat lebih dari 2 hari perawatan sebanyak 396 pasien. Untuk monitor tekanan darah, nadi dan respirasi dilakukan dan didokumentasikan 6 kali selama 24 jam, untuk monitor produksi urin dilakukan dan didokumentasikan 3 kali dalam 24 jam, sedangkan untuk saturasi oksigen dan gambaran ECG tidak didokumentasikan dalam lembar observasi pasien hanya dilihat gambaran serta hasilnya di Bed Side Monitor. Setelah diuraikannya tentang masalah dan kronologi terjadinya masalah maka solusinya adalah perlu diberikan penjelasan tentang pentingnya monitor hemodinamika secara benar baik pelaksanaan maupun pendokumentasiannya terhadap seluruh perawat ICU RSUD BangilKabupaten Pasuruan. Didalam memberikan penjelasan tentang pentingnya pelaksanaan dan pendokumentasian monitor hemodinamika perlu adanya data–data untuk menunjang kegiatan tersebut.

METODE PENELITIAN

Pada penelitian ini rancangan penelitian yang digunakan merupakan jenis penelitian deskriptif, untuk melihat gambaran tentang pelaksanaan pendokumentasian monitoring hemodinamika di ICU RSUD Bangil Kabupaten Pasuruan. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh hasil

pelaksanaan pendokumentasian monitor hemodinamika terhadap pasien ICU RSUD Bangil Kabupaten Pasuruan pada perawatan hari ke 2 rata–rata sejumlah 396/12 = 33 responden. Besar sampel pada penelitian ini adalah seluruh hasil pelaksanaan pendokumentasian monitor hemodinamika terhadap pasien ICU RSUD Bangil Kabupaten Pasuruan pada perawatan hari ke 2.

Pada penelitian ini variabel penelitiannya adalah pelaksanaan pendokumentasian monitor hemodinamika, dengan sub variabel meliputi observasi pengukuran tensi darah, observasi penghitungan nadi, observasi penghitungan respirasi, observasi pengukuran saturasi oksigen, observasi pengukuran volume urin serta observasi gambaran EKG. Instrumen yang digunakan peneliti adalah lembar observasi yang telah disediakan oleh peneliti. Penelitian ini dilaksanakan di Ruang ICU RSUD BangilKabupaten Pasuruan, waktu penelitian dilaksanakan bulan Mei 2014.

Prosedur pengambilan data dengan cara: Observasi terhadap waktu dan hasil pelaksanaan pendokumentasian monitor hemodinamika di ICU RSUD BangilKabupaten Pasuruan yang terdapat dalam lembar observasi pasien pada perawatan hari ke 2 setiap pasien. Memasukan data–data tersebut kedalam lembar observasi yang telah disediakan oleh peneliti dengan memberikan tanda centang (√) pada kolom sesuai dengan jam dan jenis monitor hemodinamika yang dilakukan pendokumentasian.

HASIL PENELITIAN

Tabel 1. Data pelaksanaan pendokumentasian Monitoring Hemodinamika pasien di ruang ICU RSUD BangilKabupaten Pasuruan yang diteliti

Bulan Mei Tahun 2014

No Katagori Pelaksanaan Kriteria

Pelaksanaan Jumlah Pasien

%

1 Pelaksanaan pendokumentasian pengukuran tekanan darah

Baik 28 85

2 Pelaksanaan pendokumentasian penghitungan nadi

Baik 32 97

3 Pelaksanaan pendokumentasian penghitungan respirasi

Baik 28 85

4 Pelaksanaan pendokumentasian pengukuran produksi urin

Cukup 61 61

5 Pelaksanaan pendokumentasian pengukuran saturasi oksigen

Baik 33 100

6 Pelaksanaan perekaman ECG

Baik 33 100

Page 37: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K - 2trik.webs.com fileVolume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan menolak artikel yang masuk, dan seluruh artik

Volume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098

35 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Hasil penelitian diperoleh hasil pendokumentasian monitoring hemodinamika pasien pelaksanan cukup baik karena ada pelaksanaan pendokumentasian yang pelaksanaannya baik yaitu: pelaksanaan perekaman ECG mencapai 33 pasien (100%) sedangkan pelaksanaan pendokumentasian pengukuran tekanan darah sebagian besar pelaksanaannya kurang sekali sebanyak 28 pasien (85%), pelaksanaan pendokumentasian penghitungan nadi sebagian besar pelaksanaannya kurang sekali sebanyak 32 pasien (97%), pelaksanaan pendokumentasian penghitungan respirasi sebagian besar pelaksanaannya kurang sekali sebanyak 28 pasien (85%), pelaksanaan pendokumentasian pengukuran produksi urin sebagian besar pelaksanaannya cukup sebanyak 20 pasien (61%), pelaksanaan pendokumentasian pengukuran saturasi oksigen mencapai 33 pasien (100%) tidak dilakukan sama. Pelaksanaan yang baik bisa karena tersedianya mesin ECG di ruang ICU RSUD Bangil Kabupaten Pasuruan. PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan pelaksanaan pendokumentasian monitoring hemodinamika di ruang ICU RSUD Bangil Kabupaten Pasuruan cukup baik karena ada pelaksanaan pendokumentasian yang sudah dilakukan semua yaitu perekaman ECG, untuk penghitungan produksi urin cukup, tetapi ada pendokumentasian yang belum dilakukan dengan baik seperti pendokumentasian pelaksanaan pengukuran tekanann darah masih kurang, pelaksanaan pendokumentasian penghitungan nadi masih kurang, penghitungan respirasi juga masih kurang serta pendokumentasian pengukuran saturasi oksigen tidak dilakukan sama sekali.

Pelaksanaan pendokumentasian yang kurang bisa juga disebabkan karena beberapa faktor. Menurut Widayatun (2000) yang mempengaruhi motivasi perawat dalam melaksanakan dokumentasi dipengaruhi oleh faktor-faktor instrinsik dan ekstrinsik, beban kerja, reward terhadap hasil kerja. Contoh dari faktor Instrinsik perawat adalah keterbatasan pengetahuan perawat tentang pendokumentasian yang benar, hal ini berhubungan dengan penelitian yang dilakukan Hariyati (1999), bahwa ada hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan perawat tentang proses keperawatan dengan kualitas dokumentasi keperawatan.

Perawat kurang menyadari pentingnya pendokumentasian monitoring

hemodinamika, dimana pendokumentasian monitor hemodinamika merupakan salah satu dari bagian dokumentasi keperawatan. Dokumentasi mempunyai manfaat, yaitu aspek hukum, jaminan mutu pelayanan, komunikasi, nilai pendidikan, bahan penelitian serta akreditasi. Masalah tersebut bisa diatasi dengan berbagai langkah seperti perlu adanya pelatihan berkelanjutan tentang pentingnya dokumentasi keperawatan. Disamping itu perlu adanya penambahan tenaga untuk ruang ICU RSUD BangilKabupaten Pasuruan sehingga beban kerja perawat seimbang dengan tenaga yang ada.

KESIMPULAN DAN SARAN

Secara umum penelitian dapat

disimpulkan bahwa pelaksanaan monitor hemodinamika cukup baik karena ada pelaksanaan pendokumentasian yang sudah dilakukan semua yaitu perekaman ECG, untuk penghitungan produksi urin cukup, tetapi ada pendokumentasian yang belum dilakukan dengan baik seperti pendokumentasian pelaksanaan pengukuran tekanan darah baik, pelaksanaan pendokumentasian penghitungan nadi masih kurang, penghitungan respirasi juga masih baik serta pendokumentasian pengukuran saturasi oksigen tidak dilakukan sama sekali, secara khusus : 1. Untuk pendokumentasian pengukuran

tekanan darah sebagian besar pelaksanaannya baik yaitu dilakukan 28 pasien (85%).

2 Untuk pendokumentasian penghitungan nadi sebagian besar pelaksanaannya baik yaitu dilakukan sebanyak 32 pasien (97%).

2. Untuk pendokumentasian penghitungan respirasi sebagian besar pelaksanaannya baik yaitu dilakukan sebanyak 28 pasien (85%).

3. Untuk pendokumentasian pengukuran produksi urin pelaksanaannya sebagian besar baik yaitu mencapai 20 pasien (61%), pelaksanaan kurang mencapai 12 pasien (36%), serta pelaksanaannya baik mencapai 1 pasien (3% ).

4. Untuk pendokumentasian penghitungan saturasi O2 seluruhnya mencapai 33 pasien (100%), tetapi hanya diobservasi dengan menggunakan bed side monitor.

5. Untuk pendokumentasian gambaran ECG seluruhnya mencapai 33 pasien (100%) pelaksanaannya baik.

Dari penelitian ini dapat disarankan tentang pelaksanaan pendokumentasian monitoring hemodinamika di ICU RSUD BangilKabupaten Pasuruan, peneliti memiliki 50

Page 38: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K - 2trik.webs.com fileVolume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan menolak artikel yang masuk, dan seluruh artik

Volume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098

36 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

saran sebagai berikut : Dapat melaksanakan pendokumentasian monitor hemodinamika sesuai ketentuan karena dokumentasi bermanfaat penting sekali yaitu semua dokumentasi keperawatan bernilai dan berkekuatan hukum. Sedangkan rumah sakit dapat meningkatkan kualitas pelayanan pasien maka dengan meningkatkan pengetahuan perawat ICU tentang pendokumentasian monitor hemodinamika melalui pelatihan berkelanjutan serta mengadakan perubahan protap pelaksanaan ICU yang belum sesuai dengan ketentuan, karena manfaat dokumentasi adalah sebagai jaminan mutu (kualitas pelayanan). Disamping itu perlu adanya penambahan tenaga di ruang ICU RSUD Bangil Kabupaten Pasuruan sehingga pelaksanaan pendokumentasian monitor hemodinamika bisa optimal. DAFTAR PUSTAKA

Achsanuddin (2007) Peranan Ruangan Perawatan Intensif (ICU) Dalam MemberikanPelayanan http://www.docstoc.com/docs/21627096/. Tanggal 25 Desember 2011 jam.9:53.

Ahmad Aulia (2001) Sistem Perkemihan,

Jakarta : Bag. Histologi Fakultas

Kedokteran UI. Hal.1–6

Aries Noegroho (2008) SOP Pelayanan Ruang Perawatan Intensif Madiun : RSUD Caruban Kabupaten Madiun, hal 1-16

Bertha Farida Tarigan, (2011) Materi Kuliah Pemantauan Hemodinamika Jakarta: Bidang Diklat Pusat Jantung dan Pembuluh Darah Nasional “ Harapan Kita “

Budi Yuli (2008) Pocket ECG “ How to Learn ECG From Zero” , Yogyakarta: Intan Cendikia, hal 11

Charlene J. Reeves, Gayle Roux, Robin Lockhart (2001), alih bahasa Joko Sulistiyo Keperawatan Medikal Bedah, Jakarta: Salemba Medika, hal.204.

Direktur Jendral Bina Upaya Kesehatan (2011), Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Pelayanan Intensive Care Unit (ICU) di RS Jakarta: Kemenkes RI.

Direktorat Keperawatan Dan Keteknisan Medik Dirjen Pelayanan Medik Kemenkes RI (2005) Standar Pelayanan Keperawatan Di ICU Jakarta : Depkes RI, hal. 3–8.

Heni Rokhaeni, Elly Purnamasari, Anna Ullah Rahayoe, Titi Nurhayati (2001) Buku Ajar Keperawatan Kardiovaskuler

Jakarta: Bidang Diklat Pusat Jantung dan Pembuluh Darah Nasional “ Harapan Kita “ . hal 59-67.

Juwalita Surapsari (2010) At a Glance Sistem Kardiovaskuler Jakarta : Erlangga hal 42.

Nursalam (2001) Proses Dan Dokumentasi Keperawatan (Konsep dan Teori), Jakarta: Salemba Medika

Machfoedz, I (2008). Metodologi Penelitian Bidang Kesehatan, Keperawatan, Kebidanan, Kedokteran, cetakan ke-4, Yogyakarta : Fitramaya.

Moch. Imron TA, Amrul Munif (2009) Metode Penelitian Bidang Kesehatan Jakarta: Sagung Seto, hal 49–117.

Patrick Davey (2003) Medicine Jakarta: Erlangga. Hal 138-168

Patricia W. Iyer, Nancy H. Camp (2004) alih bahasa Sari Kurnianingsih Dokumentasi Keperawatan Suatu Pendekatan Proses Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC

Philip l. Aaronson , Jeremy P.T. Word (2010) The Cardiovaskulersystem at a Glance Jakarta: Erlangga, hal. 42

Radit (2009). Tanda–Tanda Vital http://tanda-tandavital.blogspot.com/2009/08/ menghitung-pernafasan.html . Tanggal 17 Desember 2011 jam 19.07

Rahayu Iskandar (2004)Model-Dokumentasi-Keperawatan http://www.scribd.com /doc/12359380/ Tanggal 12-3-2012 , jam. 23.00

Sandra F. Smith (2004) Clinical Nursing Skills. United states of Amirica: Pearson Prentice Hall, hal 237-267

Soekidjo Notoatmojo (2010) Metode Penelitian Kesehatan, Jakarta: Rineka Cipta, hal 35

Suharsimi Arikunto (2006) Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta : Rineka Cipta, hal. 130

Suharsimi Arikunto (2000) Manajemen Penelitian, Jakarta : Rineka Cipta, hal.353

Surya Dharma(2009) Pedoman Sistematika Interpretasi EKG, Jakarta: EGC,hal 7.

Wirawan (2011) Penilaian Hasil Pemeriksaan Urin, Error! Hyperlink reference not valid.. Tanggal 21 Desember 2011 jam 20.23.

Yuda Turana (2010). Bagaimana Mengukur Tekanan Darah Yang Benar http://www.medikaholistik.com/medika.html?xmodule=document_detail&xi.d=219&ts=1324122733&qs=health. Tanggal 17 Desember 2011 jam 19.07

Page 39: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K - 2trik.webs.com fileVolume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan menolak artikel yang masuk, dan seluruh artik

Volume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098

37 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN

KETIDAKPATUHAN BEROBAT PENDERITA TB PARU

Abuzar Wakano (Prodi Keperawatan Masohi,

Poltekkes Kemenkes Maluku)

Pendahuluan: Pengobatan TB membutuhkan waktu panjang dan dengan paduan beberapa macam obat, sehingga tidak jarang pasien berhenti minum obat sebelum masa pengobatan selesai yang berakibat pada kegagalan pengobatan.

Metode:

Penelitian studi kasus dengan observasi dan wawancara mendalam ini bertujuan untuk mendeskripsikan faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan berobat penderita TB Paru. Kepatuhan dipengaruhi oleh pengetahuan, berdasarkan pernyataan partisipan bahwa mereka tidak pernah diberi tahu tentang penyakit, cara pengobatan yang baik serta efek resistensi obat sehingga ketika gejala hilang mereka menganggap sudah sembuh. Keluarga berperan penting dalam proses pengobatan yaitu dengan memotivasi dan mengingatkan tentang waktu minum obat, mereka merasa sangat dihargai dan sangat butuh perhatian dari keluarga untuk membantu proses penyembuhan. Kesibukan pekerjaan sering menyebabkan lupa minum obat, juga mereka merasa sudah sembuh sehingga tidak minum obat. Motivasi merupakan dorongan bagi individu untuk menjadi produktif. dan menjadi lebih baik. Semua responden ingin sembuh namum tidak ditunjang dengan kepatuhan terhadap program terapi, rata-rata responden tidak patuh minum obat dengan alasan sibuk bekerja, dan reaksi efek samping seperti yang sudah dijelaskan pada tema pengetahuan dan pekerjaan. Kinerja merupakan hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dapat dicapai oleh pegawai dalam melaksanakan tugas sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Rata-rata responden menyatakan kurangnya kunjungan petugas ke rumah untuk melakukan pemeriksaan, dan responden juga tidak diberi penjelasan tentang penyakitnya, dan hal ini sangat mempengaruhi kepatuhan berobat. Kesimpulan: Ketidakpatuhan berobat penderita TB paru dipengaruhi oleh faktor pengetahuan, motivasi, pekerjaan dan kinerja petugas.

Kata Kunci: Pengetahuan, pekerjaan, motivasi, kinerja petugas, ketidakpatuhan berobat.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pembangunan kesehatan adalah bagian integral dari pembangunan nasional yang pada hakekatnya merupakan upaya untuk meningkatkan kemampuan hidup sehat bagi setiap penduduk agar terwujud derajad kesehatan yang optimal (Hani, 2003).

Tuberkulosis Paru adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium Tuberculosis. Faktor ketidak patuhan dalam pengobatan sangat berpengaruh terhadap proses penyembuhan pasien serta resiko terjadinya resistensi obat yang mengakibatkan terjadinya Drop Out.

Pengobatan TB membutuhkan waktu panjang (sampai 6-8 bulan) untuk mencapai penyembuhan dan dengan paduan (kombinasi) beberapa macam obat, sehingga tidak jarang pasien berhenti minum obat sebelum masa pengobatan selesai yang berakibat pada kegagalan dalam pengobatan TB (Sunaryo dkk, 2001; Danang, 2012).

Konsekuensi yang dapat terjadi pada penderita TB paru yang tidak melakukan pengobatan secara teratur diprediksikan 50% dari penderita TB paru akan meninggal. Sedangkan sekitar 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh tinggi dan 25% lainnya sebagai "kasus kronis" yang tetap menular.

Ada sejumlah faktor interaksi yang mempengaruhi keputusan penderita untuk berhenti minum obat. Kepatuhan terhadap pengobatan tuberkulosis begitu kompleks, fenomenanya dinamis dengan berbagai faktor yang saling berinteraksi satu sama lain, sehingga berdampak pada keputusan pemilihan perilaku. Pendidikan hanya sedikit hubungannya dengan motivasi pasien untuk mengikuti pengobatan. Ketidakpatuhan dapat diamati pada setiap pasien tanpa memandang status intelektualitas, sosial atau ekonominya (WHO, 2008).

Walaupun telah diketahui obat-obat untuk mengatasi TB dan penyakit TB dapat disembuhkan dengan obat-obat TB, penanggulangan dan pemberantasannya sampai saat ini belum memuaskan. Angkadrop out (mangkir, tidak patuh

berobat) yang tinggi, pengobatan tidak adekuat, dan resistensi terhadap Obat Anti Tuberculosis (OAT) yaitu MDR TB merupakan kendala utama yang sering terjadi dalam pengendalian TB dan merupakan tantangan terhadap program pengendalian TB.2 MDR TB terjadi bila penderita putus berobat sebelum masa pengobatan selesai atau penderita sering

Page 40: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K - 2trik.webs.com fileVolume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan menolak artikel yang masuk, dan seluruh artik

Volume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098

38 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

putus-ptus minum obat selama menjalani pengobatan TB (Danang, 2012).

Berdasarkan data dari Puskesmas Letwaru Kecamatan Kota Masohi Kabupaten Maluku Tengah bahwa jumlah penderita TB Paru pada tahun 2012 sebanyak 24 orang, tahun 2013 sebanyak 34 orang, tahun 2014 berjumlah 29 orang (Kemenkes RI, 2011).

Hasil wawancara dengan beberapa penderita TB Paru bahwa faktor yang menyebabkan penderita sering tidak mengkomsumsi obat adalah karena sibuk kerja sehingga lupa minum obat, tidak tahu resiko jika obat tidak diminum sesuai dosis, ada juga pasien yang mengatakan malas minum obat karena setiap ia menum obat selalu ada rasa mual, pasien juga menjelaskan bahwa petugas tidak pernah menjelaskan tentang penyakitnya sehingga mereka tidak atu efeknya.Selain itu menurut petugas bahwa kurangnya perhatian dan dukungan dari keluarga juga merupakan salah satu faktor ketidak patuhan penderita dalam pengobatan.

Berdasarkan uraian di atas maka menarik untuk dilakukan penelitian tentang “Faktor-faktor yang berhubungan dengan ketidakpatuhan berobat penderita TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Letwaru Kecamatan Kota Masohi Kabupaten Maluku Tengah.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk

mendeskripsikan faktor-faktor yang berhubungan dengan Kepatuhan Berobat Penderita TB Paru.

Tujuan khusus penelitian adalah: 1. Mendeskripsikan faktor pengetahuan

dengan ketidak patuhan berobat penderita TB Paru

2. Mendeskripsikan faktor dukungan keluarga dengan ketidak patuhan berobat penderita TB Paru

3. Mendeskripsikan faktor pekerjaan dengan ketidak patuhan berobat penderita TB Paru.

4. Mendeskripsikan faktor motivasi dengan ketidak patuhan berobat penderita TB Paru.

5. Mendeskripsikan faktor Kinerja petugas dengan ketidak patuhan berobat penderita TB Paru.

METODE PENELITIAN Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan rancangan kualitatif dengan pendekatan fenomenologi yang disajikan secara deskriptif dengan jenis

penelitian studi kasus melalui observasi dan wawancara mendalam yang bertujuan untuk mendeskripsikan faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan berobat penderita TB Paru.

Dalam penelitian ini waktu pengumpulan data pada penderita TB Paru sebagai informan utama, sedangkan anggota keluarga dan petugas pelaksana program sebagai informan triangulasi yang dapat dilakukan secara bersamaan waktu tetapi dengan tempat yang berbeda (Gibson, 1994; Awusi dkk, 2009).

Subjek penelitian adalah Penderita TB Paru sebagai informan utama, sedangkan anggota keluarga dan petugas pelaksana program sebagai informan triangulasi. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah proporsive sampling yaitu pengambilan sampel didasarkan pada suatu pertimbangan tertentu oleh peneliti berdasarkan ciri atau sifat populasi yang sudak diketahui sebelumnya (Ruky, 2001).

Instrumen dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri (Internal Objektif) dengan menggunakan alat bantu berupa alat perekam untuk merekam informasi dari partisipan,alat tulis dan pedoman wawancara yang terdiri dari pertanyaan terbuka untuk membantu peneliti dalam mengajukan pertanyaan yang berorientasi pada tujuan penelitian, serta catatan lapangan (field note) kemudian disalin dalam bentuk transkrip untuk masing-masing informan baik informan utama maupun informan triangulasi.

Pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara mendalam (Indepth interview) kepada 7 orang informan yang terdiri dari 3 orang penderita TB Paru sebagai informan utama dan 3 orang dari masing-masing keluarga penderita dan 1 orang pelaksana program (Ruky, 2001).

Pengolahan dan analisis data pada penelitian ini menggunakan metode content analysis (analisis isi) yaitu pengumpulan data, reduksi data, verifikasi kemudian disajikan dalam bentuk deskriptif, dengan mengikuti pola berpikir induktif yaitu pengujian data yang bertitik tolak dari data yang telah terkumpul kemudian ditarik kesimpulan.

Proses pengolahan dan analisis data adalah sebagai berikut:

1) Pengumpulan

data menggunakan metode wawancara mendalam (in-depth interview), pengamatan dan studi dokumentasi. 2) Reduksi data dan Kategorisasi, reduksi data adalah bentuk analisis yang menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisasikan data sehingga kesimpulannya dapat diverifikasi yaitu dengan mengidentifikasi bagian-bagian yang

Page 41: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K - 2trik.webs.com fileVolume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan menolak artikel yang masuk, dan seluruh artik

Volume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098

39 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

ditemukan dalam data yang memiliki makna bila dikaitkan dengan fokus dan masalah penelitian, selanjutnya dilakukan kategorisasi yaitu upaya mengelompokkan data kedalam bagian yang memiliki kesamaan dan dicari kaitan antara satu kategori dengan kategori lainnya. 3) Penyajian data, melakukan pemeriksaan atau telaah ulang terhadap data yang diperoleh, kemudian disajikan dalam bentuk narasi sesuai dengan variabel yang diteliti dan menggabungkan informasi yang tersusun dalam suatu bentuk yang mudah dipahami. 4) Menarik kesimpulan (verifikasi)

Kesimpulan dari hasil penelitian diperoleh dengan membandingkan pertanyaan penelitian dengan hasil penelitian dan tujuan penelitian serta konsep teoritis

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama 2 Minggu sejak tanggal 14-28 Oktober 2015. Penelitian dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Letwaru Kecamatan Kota Masohi Kabupaten Maluku Tengah.

HASIL PENELITIAN Gambaran Umum Partisipan

Partisipan dalam penelitian berjumlah

7 orang yang terdiri dari, 3 orang partisipan utama yaitu penderita TB paru dan 4 orang partisipan triangulasi.

Tabel 1. Karakteristik Informan

Karakteristik Partisipan

Penderita TB Keluarga Penderita

Petugas

PU.1 PU.2 PU.3 PT.1 PT.2 PT.3 PT.4

Umur (Tahun) 50 52 55 40 29 56 34

Jenis Kelamin L P P P P L P

Pendidikan SMA SMP SD SMP S1 SMA DIII

Wawancara dengan partisipan utama 1

dengan inisial Tn. Y. usia 50 tahun pekerjaan tukang las besi, Proses wawancara berlangsung dengan baik dan lancer. Tn. Y menderita TB kurang lebih 2 tahun menurutnya, awalnya Tn Y merasa sesak napas nyeri dada kemudian oleh istrinya ia dibawa ke dokter praktek, 2 minggu kemudian penyakitnya kambuh dan dibawa ke RSUD Masohi setelah diperiksa oleh petugas Tn Y diberi pengantar untuk mengambil obat di Puskesmas letwaru tanpa dijelaskan penyakitnya, di Puskesmas oleh petugas Tn Y dijelaskan akan diberikan obat suntik setiap hari selama 2 bulan, namun baru disuntik kurang lebih 2 minggu Tn Y tidak bisa menahan sakit pada daerah suntik

maka ia memutuskan untuk berhenti (tidak mau disuntik oleh petugas) menurutnya petugas sering memarahinya karena tidak mau mengikuti perintah petugas untuk disuntik, kemudian petugas memberi obat program selama 2 bulan namun setelah obat habis dan sampai dengan saat ini Tn Y tidak lagi ke puskesmas untuk melakukan pemeriksaan lanjutan. Tn Y menyatakan bahwa iya sering merasa sakit, sesak napas jika ia pikiran, hal yang biasa ia pikirkan yaitu masalah pekerjaan biasa banyak pesanan sementara kondisi kesehatannya terganggu.

Wawancara dengan partisipan utama 2 dengan inisial Ny. Sn usia 52 tahun, pekerjaan wiraswasta. Ny.Sn menjelaskan bahwa ia mulai batuk-batuk sejak tahun 1992 dan melakukan pemeriksaan di dokter praktek dan mantri untuk suntik. menurutnya dokter tidak menjelaskan penyakitnya hanya diberikan obat namun obat tidak diminum sampai habis dengan alasan ketika minum obat ia merasa nyeri dada, dan sesak napas sehingga Ny.Sn memutuskan untuk berhenti minum obat, dan bila batuk ia beli obat di apotik, menurutnya setiap obat yang ia minum ada perubahan tetapi tidak bertahan lama kurang lebih dua atau tiga minggu batuknya kambuh lagi yaitu batuk terus menerus dan Ny.Sn memutuskan untuk melakukan pemeriksaan di RSUD Masohi, setelah dokter melakukan pemeriksaan sputum dan foto rontgen Ny.Sn dianjurkan untuk rawat nginap menurutnya selama perawatan di Rumah Sakit Ny.Sn tidak dijelaskan tentang penyakitnya. Ny. Sn menyatakan suaminya juga menderita penyakit yang sama sejak tahun 90an dan pernah dirawat di RSUD Masohi dan meninggal dunia, sampai sekarang anggota keluarga tidak ada yang tau kalau Ny. Sn menderita TB Paru, mereka hanya tau kalau Ny. Sn sakit batuk-batuk biasa.

Wawancara dengan partisipan utama 3 dengan inisial Ny. Jh usia 55 tahun, pekerjaan pedagang, Ny Jh. Menyatakan awalnya ia merasa batuk, flu sesak napas sewaktu di kalimantan (pontianak) pada tahu 2013 lalu, dan oleh keluarganyan ia dibawah ke dokter praktek dan diberi obat, menurutnya selama minum obat ia merasa ada perubahan, batuk mulai berkurang, tidak sesak napas, kurang lebih satu bulan di kalimantan Ny Jh kembali ke Masohi, sampai di Masohi penyakitnya kambuh merasa badan panas, sakit kepala, rasa tenggorokan gatal, suara serak, ia beli obat batuk di toko obat, ketika peneliti tanya nama obat Ny Jh menjawab lupa, Ny. Jh mengatakan selama kurang lebih 2 minggu sakitnya tidak sembuh -sembuh Ny.Jh meminta anaknya untuk mengantarnya ke Klinik Uhua, namun tidak

Page 42: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K - 2trik.webs.com fileVolume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan menolak artikel yang masuk, dan seluruh artik

Volume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098

40 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

ada perubahan dan ia ke RSUD Masohi menurutnya di RSU ia diminta untuk periksa lendir dan foto rontgen. setelah dilakukan pemeriksaan Ny Jh diberi pengantar untuk mengambil obat di Puskesmas Letwaru tanpa dijelaskan penyakitnya.

Wawancara dengan partisipan triangulasi 1 dengan inisial Ny. N. usia 49 tahun pekerjaan Ibu Rumah Tangga hubungan keluarga Istri, Ny N. menyatakan selalu memperhatikan pengobatan suaminya, yaitu dengan mengantar suminya ke dokter untuk diperiksa memperhatikan waktu minum obat, namun dalam beberapa tahun terakhir ia tidak pernah ke puskesmas untuk ambil obat karna takut dimarahi petugas karena ia pernah melarang petugas untuk menyuntik suaminya, iya sering beli obat batuk di toko obat. menurutnya suaminya kadang lupa minum obat bila sudah sibuk kerja yang sering lupa minum obat itu jika ia sedang jualan di pasar karena tidak ada yang mengingatkannya untuk minum obat. ia selalu berharap semoga suaminya cepat sembuh intik bisa bekerja dengan baik.

Wawancara dengan partisipan triangulasi 2 dengan inisial Nn.M. usia 29 tahun pekerjaan PNS Hubungan keluarga anak kandung, Nn M. Menyakatan ibunya sakit sudah lama dan selalu berobat ke dokter, tapi sering tidak minum obat alasannya tenggorokan sakit, menurutnya ia keluarga dan anggota keluarga yang lain juga tidak tau bila ibunya menderita TB Paru yang mereka tau hanya batuk-batuk biasa karena dokter tidak menjelaskan penyebab penyakitnya.

Wawancara dengan partisipan triangulasi 3 dengan inisial Tn.Hi. usia 56 tahun pekerjaan Pensiun PNS, Hubungan keluarga Suami,Tn Hi, Menyatakan awalnya istrinya batuk-batuk biasa saya suru beli konimeks waktu minum ada perubahan, dan kurang lebih dua minggu kemudian istrinya sakit lagi dan periksa di Klinik Uhua, namun tidak ada perubahan ia bawa ke RSUD Masohi dipemeriksaan Ny Jh diberi pengantar untuk mengambil obat di Puskesmas Letwaru tanpa dijelaskan penyakitnya.

Wawancara dengan Partisipan triangulasi 4 (petugas pelaksana program) inisial Ny.Ap. usia 34 tahun pekerjaan PNS (Pelaksana Program TB Paru di Puskesmas Letwaru). Persepsi terhadap Partisipan Utama 1 Ny. Ap, Menjelaskan bahwa Tn Y, menderita TB Paru sejak tahun 2012 sebelumnya ia dirawat di RSUD Masohi dan pernah diberikan obat program tetapi tidak tuntas (Putus obat) setelah dilakukan pemeriksaan sputum hasilnya positf dan diberikan obat TB tahap 1 dengan menyuntik streptomisin setiap hari selama 2 bulan tetapi baru

disuntik kurang lebih 2 minggu pasien tidak mampu menahan sakit dan obat suntiknya saya hentikan, tetapi obat oral tetap lanjut hingga habis, dan sejak itu penderita tidak pernah kontrol di Puskesmas.

Persepsi terhadap Partisipan Utama 2 Ny. Ap. Menjelaskan bahwa Ny. Sn tidak pernah berobat di Puskesmas, menurutnya ia dapat informasi dari petugas pemegang program TB paru di RSUD Masohi bahwa Ny Sn menderita TB Paru dan pernah dirawat di RSUD Masohi berdomisili di Lesane RT 12 yang merupakan wilayah kerja Puskesmas Letwaru. dari informasi tersebut Ny Ap ke rumah Ny Sn untuk melakukan pemeriksaan tetapi menurut Ny Sn ia sudah periksa di dokter praktek dan diberi obat. menurut Ny Ap bahwa Ny Sn bersifat pasif ketika didatangi kemungkinan Ny Sn merasa malu dengan penyakitnya sehingga ia tidak mau memberi imformasi tentang penyakitnya.

Persepsi terhadap Partisipan Utama 3 Ny. Ap, Menjelaskan bahwa Ny. Jh diberi pengantar dari RSUD Masohi untuk mengambil obat di Puskesmas Letwaru dengan kategori 1, dan saya sudah jelaskan ke Ny Jh, tentang cara penggunaannya saya juga sering kontrol dirumahnya. menurutnya Ny. Jh rutin minum obat namun sampai saat ini Ny Jh tidak lagi ke Puskesmas untuk pemeriksaan ulang, saya sudah kerumahnya menurut keluarganya sementara Ny. Jh lagi sibuk jualan dipasar.

Tabel 2. Daftar Kategori dan Sub Tema

Faktor Kepatuhan Berobat

Kategori Sub Tema

Tidak dijelaskan tentang penyakit Tb Paru

Minum obat tidak teratur Tidak melakukan

pemeriksaan lanjutan. Sering minum obat bebas

Kurang Pengetahuan

Keluarga sering mengingatkan untuk minum obat

Sering membesarkan hati untuk selalu sabar dan rutin berobat

Dukungan Keluarga

Bila sibuk kerja sering lupa minum obat

kadang kerja dari jam 8 pagi sampai jam 6 soreh

Pekerjaan

Selalu berharap untuk cepat sembuh

kadang malas minum obat karena efek sampingnya

Motivasi

Tidak menjelaskan penyakit klien

Tidak aktif melakukan PMO

Kinerja Petugas

Analisa Tema: Untuk menemukan tema

terlebih dahulu peneliti menyusun hasil

Page 43: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K - 2trik.webs.com fileVolume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan menolak artikel yang masuk, dan seluruh artik

Volume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098

41 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

wawancara dalam bentuk verbatim, selanjutnya dianalisis dengan tiga cara yaitu reduksi data, display data dan verifikasi. Dalam Penelitian ini peneliti menemukan 5 tema, Sebelum ditemukan tema-tema terlebih dahulu dibuat katagori data (reduksi data), kemudian dari kategori dimuat sub tema/pola (data display) dan dari sub tema/poila itulah didapatkannya tema-tema tersebut (verifikasi). Setiap tema diuraikan secara detail pada Tabel 2.

. PEMBAHASAN Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu subyek tertentu. Pengindraan terjadi melalui panca indra manusia yaitu indra penglihatan, pendengaran penciuman, rasa, dan raba. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat berperan untuk terbentuknya suatu tindakan seseorang. Berdasarkan pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Bambang, 2005).

Kepatuhan adalah kesesuaian antara perilaku pasien dengan ketentuan yang diberikan obat sesuai jangka waktu yang ditentukan dan rutin kontrol ke Instansi Kesehatan. Lamanya proses pengobatan kadang membuat penderita jenuh sehingga beresiko mengalami putus obat yang bisa menjadikan pengobatan tidak tuntas hingga akhirnya penderita sulit disembuhkan.

Dari hasil penelitian menggambarkan bahwa rata-rata pasien memeiliki pengetahuan yang kurang tentang penyakit TB, hal ini dapat dilihat dari pernyataan responden bahwa, mereka tidak pernah diberi informasi oleh petugas tentang penayakitnya serta cara pengobatan dan efek samping obat. Hal lain yang juga mempengaruhi ketidak patuhan berobat penderita TB Paru adalah lamanya pengobatan serta efek samping obat. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Mukhsin (2011) didapatkan hasil bahwa pendidikan, pengetahuan,dan sikap menunjukkan adanya hubungan yang signifikan dengan kepatuhan berobat pada penderita TB paru.

Dukungan keluarga

Responden menekankan keluarga

sangat besar peranannya dalam pengobatan penyakit TB. Sebagaimana diketahui bahwa

keluarga, baik inti maupun keluarga besar berfungsi sebagai sistem pendukung bagi anggota-anggotanya. Fungsi dukungan sosial keluarga adalah dukungan instrumental, dimana keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan praktis dan konkrit. Bila salah satu anggota keluarga ada yang sakit, secara nyata keluarga harus memberikan pertolongan, dalam hal ini penderita TBC memerlukan pertolongan keluarga. Selain itu fungsi keluarga adalah dukungan informasional keluarga berfungsi sebuah kolektor dan desiminator (penyebar) informasi (Hasibuan, 1995; Bambang, 2005).

Peran keluarga yang baik merupakan motivasi atau dukungan yang ampuh dalam mendorong pasien untuk berobat teratur sesuai anjurannya. Adanya dukungan atau motivasi yang penuh dari keluarga dapat mempengaruhi perilaku minum obat pasien TB Paru secara teratur. Sehingga keluarga perlu berperan aktif mendukung supaya pasien menjalani pengobatan secara teratur sampai dinyatakan sembuh oleh petugas kesehatan (Dinkes Kab Maluku Tengah, 2012).

Penelitian ini menunjukkan bahwa dukungan keluarga terhadap pasien untuk teratur berobat cukup baik. Pada umumnya dukungan keluarga yang diberikan dalam bentuk memberikan motivasi untuk teratur berobat, peran keluarga menentukan pasien untuk menjalani pengobatan.

Pekerjaan

Pekerjaan merupakan suatu aktifitas

yang dilakukan untuk mencari nafkah. Pekerja adalah seseorang yang memiliki dasar pengetahuan, ketrampilan dan nilai-nilai pekerjaan yang bertujuan untuk memberikan kesejahteraan.

Berdasarkan hasil penelitian, peneliti menemukan bahwa rata-rata responden memiliki beban kerja serta waktu kerja yang besar sehingga menyebabkan responden tidak/lupa umtuk minum obat hal ini juga menjadi faktor yang menyebabkan ketidak patuhan penderita dalam pengobatan. Motivasi

Motivasi adalah perubahan energi dalam

diri seseorang yang dimulai dengan munculnya feeling dan didahului dengan tanggapan terhadap adanya tujuan, motivasi akan di rangsang karena adanya tujuan. Dengan kata lain motivasi merupakan respon dari suatu tujuan.

Motivasi dapat di bedakan menjadi motivasi intrinsik dan extrinsik. Motivasi instrinsik merupakan motivasi yang menjadi

Page 44: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K - 2trik.webs.com fileVolume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan menolak artikel yang masuk, dan seluruh artik

Volume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098

42 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

aktif tanpa perlu rangsangan dari luar, karena dalam diri setiap individu sudah ada dorongan untuk melakukan sesuatu. Sedangkan motivasi extrinsik berhubungan dengan perangsangan dari luar (Woodworth). Oleh karena itu penting bagi

penderita untuk selalu menumbuhkan dan memelihara kedua jenis motivasi tersebut. Pengawas Minum Obat (PMO) atau petugas kesehatan dan keluarga dapat berperan aktif dalam mengembangkan motivasi tersebut terutama motivasi external (Dinkes Kab. Maluku Tengah, 2010).

Pada penderita TB paru paru, tujuan yang ingin di capai adalah sembuh dari penyakitnya. Kesembuhan itulah yang mendorong mereka untuk menyelesaikan dan mematuhi pengobatan yang di programkan (Bambang, 2005).

Dari hasil penelitian, peneliti menemukuan bahwa responden memiliki motivasi berobat yang kurang, hal ini dapat dilihat dari pernyataan responden yang tidak teratur minum obat dengan berbagai alasan, antara lain alasan pekerjaan dan efek samping obat, hal ini yang menyebabkan ketidak patuhan mereka dalam pengobatan. Kinerja Petugas

Kinerja adalah penampilan hasil kerja

baik kuantitas maupun kualitas dalam suatu organisasi. Kinerja adalah prestasi kerja atau hasil kerja berupa produk atau jasa yang dicapai seseorang atau kelompok dalam menjalankan tugasnya, baik kuantitas maupun kualitas melalui sumber daya manusia dalam melaksanakan tugas kerjanya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan.

Peranan petugas kesehatan dalam melayani pasien TB Paru diharapkan dapat membangun hubungan yang baik dengan pasien. Unsur kinerja petugas kesehatan mempunyai pengaruh terhadap kualitas pelayanan kesehatan, termasuk pelayanan kesehatan terhadap pasien Tuberkulosis Paru yang secara langsung atau tidak langsung akan berpengaruh terhadap keteraturan berobat pasien yang pada akhirnya juga menentukan hasil pengobatan (Dewi, 2009).

Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa kinerja petugas masih kurang baik hal ini dapat dilihat dari pernyataan beberapa responden baik informan utama maupun triangulasi bahwa, petugas tidak pernah menjelaskan tentang penyakit sehingga responden tidak mengetahui resiko penularan dan resiko resistensi obat. dan petugas juga tidak melaksanakan pengawasan di rumah. Hal ini sesuai

pernyataan petugas bahwa mereka sengaja tidak mnjelaskan penyakit ke klien untuk mencegah rasa minder. hal lain juga yang menyebabkan petugas jarang melakukan kunjungan rumah kerena beban kerja yang tinggi, petugasnya cuman satu orang semenatara ia harus melayani pasien disemua wilayah puskesmas yang sangat luas.

Kinerja petugas sangat penting diperhatikan dalam rangka pencapaian angka kesembuhan TB Paru. Kinerja petugas yang baik dapat meningkatkan keberhasilan pengobatan yakni kesembuhan pasien Penyebab utama rendahnya angka kesembuhan adalah faktor pengobatan Kinerja petugas dalam melakukan pengobatan tidak terlepas dari faktor yang berhubungan dengan kinerja petugas itu sendiri. Menurut teori kinerja yang dikemukakan oleh Gibson bahwa tiga faktor yang mempengaruhi perilaku kerja dan kinerja individu yaitu; faktor individu (pengetahuan), faktor organisasi (kompensasi) dan faktor psikologis (sikap dan motivasi) (Siagian, 1996). SIMPULAN DAN SARAN

Sebagain besar responden Kepala

Puskesmas memiliki kepemimpinan baik yaitu 90,3%, dan responden petugas memiliki motivasi baik 67,7%, pengetahuan baik 61,3%, pelatihan baik 64,5%, sikap baik 64,5% selain itu petugas juga memiliki beban kerja yang tinggi yaitu 29,0% serta imbalan yang rendah 35,5%. Motivasi dan sikap yang baik berhubungan dengan efektivetas kinerja petugas.

Masih terdapat kendala dalam upaya meningkatkan sumber daya manusia petugas pelaksana program di antaranya adalah jumlah pegawai yang kurang hal ini menyebabkan beban kerja tinggi serta dana operasional Puskesmas yang sangat terbatas sehingga tidak bisa memberikan imbalan/insentif kepada petugas.

Petugas pelaksana program masih memiliki pengetahuan yang kurang, petugas pelaksana program juga menyatakan memiliki kerja rangkap yang menyebabkan beban kerja tinggi dan beban kerja tersebut tidak sesuai dengan imbalan/insentif yang di dapat dari kegiatan program. Saran

Bagi Dinas Kesehatan Perlu

mempercepat proses setiap proposal dari petugas pelaksana program yang telah dibuat dalam bentuk POA, mengusulkan pengadaan pegawai Puskesmas melalui tes

Page 45: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K - 2trik.webs.com fileVolume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan menolak artikel yang masuk, dan seluruh artik

Volume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098

43 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

CPNS serta melakukan kegiatan pelatihan yang berkelanjutan untuk meningkatkan pengetahuan petugas.

Bagi Kepala Puskesmas untuk dapat memberikan pengahargaan dan dukungan kepada petugas dengan demikian di harapkan dapat meningkatkan motivasi kerja.

Pada peneliti selanjutnya kiranya dapat melakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan metode kualitatif murni untuk melihat integritas penanggulangan TB paru.

DAFTAR PUSTAKA

Awusi RYE, Yusrizal DS, Yuwono H, faktor-faktor yang mempengaruhi penemuan penderita TB Paru ,Gajah Mada, Yogyakarta , 2009

Bambang S., Kristiani, Laksono T. Pelaksanaan Penemuan Penderita Tuberculosis Di Pusskesmas Kabupaten Sleman. Yogyakarta: Gajah Mada; 2005

Danang S. Manejemen Sumber Daya Manusia, PT Buku Seru, Jogyakarta 2012 : 1-34

Dewi, I Gusti Ayu Manuati., Model Kepemimpinan Efektif. Vol V No 1 Piramida. Denpasar; 2009

Dinas Kesehatan Kabupaten Maluku Tengah, Laporan program penanggulangan TBC. Maluku Tengah; 2009

Dinas Kesehatan Kabupaten Maluku Tengah, Laporan program penanggulangan TBC. Maluku Tengah; 2010

Dinas Kesehatan Kabupaten Maluku Tengah, Laporan program penanggulangan TBC. Maluku Tengah; 2012

Gibson, James L. Organisasi perilaku, Struktur, Proses. Jilid ke 2 Erlangga, Jakarta, 1994

Hasibuan M.S.P, Organisasi dan Motivasi. Cetakan 1, PT Bumi Aksara, Jakarta; 1995

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Strategi Nasional Penanggulangan TB di Indonesia 2010-2014, Jakarta; 2011: 23-24

Ruky A.S. Sistem Manejemen Kinerja PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2001: 22-25

Siagian, Sondang P. Manajemen Sumber Daya Manusia,:Penerbit Bumi Aksara, Jakarta; 1996

Suharyo H. Muhammad N. Agus Suwandono. Epidemiologi Manejerial.

Teori dan Aplikasi, Universitas Diponegoro Semarang; 2011 : 95-106

T. Hani. Handoko.Editor Manejemen Edisi 2 BPFE Yogyakarta; 2003.

World Health Organization. Dalam; Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis; Jakarta, 2008

Page 46: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K - 2trik.webs.com fileVolume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan menolak artikel yang masuk, dan seluruh artik

Volume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098

44 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

EVALUASI PELATIHAN STIMULASI, DETEKSI, DAN INTERVENSI DINI

PERKEMBANGAN ANAK BERDASARKAN MODEL EVALUSI PELATIHAN

KIRKPATRIK

Budi Joko Santosa (Prodi Kebidanan Magetan,

Poltekkes Kemenkes Surabaya) Ayesha Hendriana Ngestiningrum

(Prodi Kebidanan Magetan, Poltekkes Kemenkes Surabaya)

Nuryani (Prodi Kebidanan Magetan,

Poltekkes Kemenkes Surabaya)

ABSTRAK

Pendahuluan: Pada tahun 2014, Dinas Kesehatan Kabupaten Ponorogo bekerjasama dengan Prodi Kebidanan Magetan melaksanakan pelatihan untuk meningkatkan kompetensi bidan dalam stimulasi, deteksi, dan intervensi dini perkembangan anak. Survey pendahuluan terhadap 10 bidan pasca pelatihan adalah: 1 orang sudah memberikan sosialisasi ke sesama bidan dan 1 orang sudah memberikan sosialisasi kepada kader posyandu. Ada 3 bidan mengatakan kadang-kadang saja melakukannya, dan 4 di antaranya belum melaksanakan. Metode: Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efektifitas pelatihan tersebut mengacu pada model Evaluasi yang dikembangkan Donald L. Kirkpatrick. Subjek penelitian adalah bidan peserta pelatihan stimulasi, deteksi dan intervensi dini perkembangan anak pada bulan Februari 2014. Hasil: Evaluasi level I: kualitas proses sangat bagus (54,5% responden), kualitas fasilitator sangat baik (60,6% responden), dan kualitas penunjang sudah baik (60,6% responden). Level 2: ada pengaruh pelatihan dengan peningkatan kompetensi (pengetahuan, sikap, keterampilan) bidan. Level 3: materi pelatihan sesuai dengan tugas dan wewenang bidan, belum semua bidan melakukan penyebarluasan informasi pasca pelatihan, belum semua bidan melaksanakan stimulasi, deteksi dan intervensi dini perkembangan anak karena beban kerja berat, waktu terbatas dan terbatasnya fasilitas. Saran: Bidan desa sebaiknya meningkatkan kerjasama dengan guru TK/PAUD, kader; Dinkes Ponorogo hendaknya melakukan supervisi, Prodi Kebidanan Magetan hendaknya melanjutkan evaluasi tahap ke empat.

Kata kunci: Evaluasi, pelatihan, model Kirkpatrick, SDIDTK

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Balita merupakan generasi penerus bangsa. Tumbuh kembang balita perlu diperhatikan mengingat jumlah populasinya yang cukup besar yaitu 9,17% dari seluruh populasi. Salah satu upaya yang dilakukan adalah melalui program Stimulasi, Deteksi, dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang (SDIDTK). Bidan memiliki tugas dan wewenang bidan untuk melakukan pemantauan tumbuh kembang pada bayi, balita, dan anak prasekolah berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan nomor 1464/MENKES/PER/X/2010.Kinerja bidan terhadap SDIDTK di Kabupaten Ponorogo belum semuanya optimal dikarenakan kompetensinya yang kurang (Ngestiningrum, 2014).Kompetensi diperlukan untuk mencapai kinerja yang optimal (Khojinayati, 2013).Salah satu upaya untuk meningkatkan kompetensi adalah dengan pelatihan.Tahun 2014 Dinas Kabupaten Ponorogo bekerjasama dengan Prodi Kebidanan Magetan untuk melaksanakan pelatihan stimulasi, deteksi dan intervensi dini perkembangan anak.

Survey pendahuluan terhadap 10 bidan 1 tahun pasca pelatihan diperoleh hasil bahwa 1 orang sudah memberikan sosialisasi ke bidan yang lain dan 1 orang sudah memberikan sosialisasi kepada kader posyandunya. Dari 10 orang tersebut, 3 bidan diantaranya sudah rutin melaksanakan pemantauan perkembangan, 3 bidan mengatakan kadang-kadang saja melakukannya apabila ada waktu, dan 4 diantaranya belum melaksanakan.

Pelaksanaan suatu proses pengalihan pengetahuan melalui pelatihan memerlukan evaluasi untuk menunjukkan apakah tujuan pelatihan telah tercapai. Evaluasi pelatihan merujuk pada proses pengkonfirmasian bahwa seseorang telah mencapai kompetensi. Kompetensi menurut Sofo (2003) dalam Sopacua (2007) dapat didefenisikan sebagai apa yang diharapkan di tempatkerja dan merujuk pada pengetahuan, keahlian dan sikap yang dipersyaratkan bagi pekerja untukmengerjakan pekerjaannya. Oleh sebab itu evaluasi pelatihan menurut Kirkpatrick (1994) dalam Sopacua (2007) adalah untuk menentukan efektifitas dari suatu program pelatihan.Bukan hanya melakukanperbandingan kemampuan peserta sebelum dan sesudah pelatihan (pre dan pos tes). Efektifitas pelatihan menurut Newby (lrianto, 2001) berkaitan dengan sejauh mana program pelatihan yang diselenggarakan mampu mencapai apa yang

Page 47: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K - 2trik.webs.com fileVolume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan menolak artikel yang masuk, dan seluruh artik

Volume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098

45 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

memang telah diputuskan sebagai tujuan yang harus dicapai. Oleh karena itu menurut Tovey sebagaimana yang dikutip Irianto (2001), evaluasi pelatihan secara komprehensif adalah pengumpulan informasi tentang program pelatihan, peserta pelatihan, pelatih atau fasilitator, desain, metode, sumberdaya dan sarana yang digunakan serta dampak dari pelatihan.

Penelitian ini dilakukan berdasarkan hipotesis bahwa ketepatan tindak lanjut dari suatu kegiatan pelatihan sangat ditentukan oleh hasil evaluasi terhadap program pelatihan yang telahdilaksanakan. Pendekatan analisis yang dilakukan mengacu pada model Evaluasi 4 Level yangd ikembangkan Donald L. Kirkpatrick.

Berdasarkan permasalahan yang telah dipaparkan sebelumnya maka peneliti akan melakukan penelitian tentang “Efektifitas Pelatihan Stimulasi, Deteksi, dan Intervensi Dini Perkembangan Anak dengan Model Kirkpatrick di Kabupaten Ponorogo.”

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan kuantitatif deskriptif, kuantitatif sederhana, kualitatif. Kriteria sampel penelitian level I kriteria inklusinya adalah bidan peserta pelatihan. Kriteria eksklusinya bidan yang tidak mengisi secara lengkap kuesioner level I. Kriteria Inklusi sampel penelitian level II adalah bidan peserta pelatihan di Kabupaten Ponorogo yang mengikuti pretes, pelatihan secara penuh, dan postes kompetensi tentang stimulasi, deteksi, dan intervensi dini perkembangan anak. Sedangkan criteria ekslusinya adalah bidan yang tidak melaksanakan seluruh rangkain pretes, pelatihan dan postes. Partisipan dalam penelitian Kualitatif (Level III). Partisipan pada metode kualitatif adalah bidan desa/bidan puskesmas yang diambil dengan teknik purposive sampling. Partisipan akan diberikan informasi tentang tujuan, manfaat, prosedur, dan tata cara penelitian. Partisipan yang bersedia ikut dalam penelitian diberikan lembar persetujuan setelah penjelasan untuk ditandatangani. Jumlah sampel tidak ditentukan, akan tetapi kejenuhan data yang menjadi ukuran. Data dikatakan jenuh apabila tidak ada informasi baru yang didapat. Kriteria Inklusinya adalah bidan desa/bidan puskesmas yang telah mengikuti pretes kompetensi, pelatihan, postes kompetensi dan bersedia mengikuti penelitian kualitatif. Sedangkan kriteria eksklusinya adalah bidan dari kelompok pelatihan yang tidak mengikuti seluruh rangkaian kegiatan pretes, pelatihan, postes

kompetensi. Data dari bidan desa/puskesmas tersebut dilakukan triangulasi dengan Kepala Bagian Seksi Kesehatan Keluarga (Kesga) dan Bagian Kesehatan Ibu dan Anak (KIA).

Variabel pada penelitian ini adalah evaluasi level I (tingkat reaksi), evalusi level II (tingkat pembelajaran) dan evaluasi level III (tingkat perilaku). Pada Level I mengevaluasi Reaksi/kepuasan peserta pelatihan yang telah diikuti meliputi unsur proses (tema, penggunaan waktu, suasana pelatihan, kelengkapan dan kemanfaatan materi, sikap penyelenggara, alat pembelajaran) dan unsur fasilitator/pelatih (penguasaanmateri, penyampaian, interaksi dengan peserta, penggunaan alat bantu), dan unsur penunjang (ruang pelatihan, soud system, konsumsi), instrument yang digunakan kuesioner. Pada level II menganalisis kompetensi (pengetahuan, sikap, keterampilan) bidan dalam stimulasi, deteksi, dan intervensi dini perkembangan anak sebelum dan sesudah pelatihan. Instrumen yang digunakan adalah kuesioner untuk mengukur pengetahuan dan sikap dan daftar tilik untuk mengukur keterampilan. Pada Level III mengevauasi pelaksanaan pemantauan perkembangan 1 tahun pasca pelatihan, instrument yang digunakan adalah panduan wawancara.

Data primer dikumpulkan dari wawancara mendalam dengan bidan tentang perilaku bidan setelah mengikuti pelatihan stimulasi, deteksi, dan intervensi dini perkembangan anak sesudah pelatihan (evaluasi level III). Adapun data sekunder meliputi data hasil pengisian kuesioner mengenai kepuasan peserta pelatihan yang telah diikuti meliputi unsur proses (tema, penggunaan waktu, suasana pelatihan, kelengkapan dan kemanfaatan materi, sikap penyelenggara, alat pembelajaran, dan kualitas pelatihan secara umum) dan unsur fasilitator/pelatih (penguasaanmateri, penyampaian, interaksi dengan peserta, penggunaan alat bantu, kualitas fasilitator secara umum) dan unsur penunjang. Data ini diperlukan pada evaluasi level 1.

Data sekunder berikutnya adalah data kompetensi bidan dalam stimulasi, deteksi, dan intervensi dini perkembangan anak sebelum dan sesudah pelatihan.Data ini diambil dari dokumentasi pelatihan. Data ini diperlukan untuk mengevaluasi Level II

Pengumpulan data pada level I menggunakan hasil kuesioner tentang penyelenggaraan pelatihan, kuesioner diisi di akhir sesi pelatihan. Pengumpulan data pada Level II diambil dengan cara membandingkan hasil nilai pretes dan postes peserta pelatihan. Pengumpulan data level

Page 48: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K - 2trik.webs.com fileVolume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan menolak artikel yang masuk, dan seluruh artik

Volume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098

46 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

III diperoleh dengan cara wawancara mendalam dengan partisipan/peserta yang mengikuti pelatihan. HASIL PENELITIAN

Deskripsi Objek Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus sampai dengan Desember 2015.Adapun tempat penelitian adalah di Kabupaten Ponorogo.Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan dokumentasi pelatihan stimulasi, deteksi dan intervensi dini perkembangan anak dan melaksanakan wawancara mendalam dengan 9 bidan yang mengikuti pelatihan tersebut pada tahun 2014.Bidan tersebut adalah bidan yang bekerja sebagai bidan desa, bidan puskesmas, bidan coordinator dan bidan yang bertugas di bagian seksi kesehatan keluarga Dinas Kesehatan Ponorogo.

Gambaran Efektifitas Pelatihan Stimulasi, Deteksi dan Intervensi Dini bagi Bidan pada Level I (Evaluasi Reaksi)

Pada level satu ini mengevaluasi reaksi pelatihan yang ditujukan untuk mengukur kepuasan peserta terhadap penyelenggaraan pelatihan. Evaluasi meliputi 3 unsur, yaitu unsur proses, unsur fasilitator, unsur penunjang. Hasilnya dapat dilihat pada diagram batang berikut ini.

Gambar 1. Kualitas Unsur Proses Pelatihan

Gambar di atas menunjukkan bahwa 18 peserta (54,5%) menyatakan bahwa kualitas unsur proses pelatihan sangat baik dan 14 peserta (42,4%) menyatakan baik.

Gambar 2 Diagram Kualitas unsur Fasilitator Pelatihan

Gambar di atas menunjukkan bahwa 20 peserta (60,6%) menyatakan bahwa kualitas unsur fasilitator pelatihan sangat baik dan 12 peserta (36,4%) menyatakan baik.

Gambar 3 Diagram Kualitas unsur Penunjang Pelatihan

Diagram di atas menunjukkan bahwa 20

peserta (60,6%) menyatakan bahwa kualitas unsur penunjang pelatihan baik dan 11 peserta (33,3%) menyatakan sangat baik Efektifitas Pelatihan Level 2 (Evaluasi Belajar)

Pada level 2 (evaluasi belajar) ini,

mengevaluasi pengaruh pelatihan terhadap kompetensi (pengetahuan, sikap, dan keterampilan).Adapun hasilnya sebagai berikut.

Tabel 1. Statistik Deskriptif Kompetensi Sebelum Pelatihan

Tabel 2. Statistik Deskriptif Kompetensi Setelah Pelatihan

Dari hasil analisis menggunakan uji Wilcoxon diperoleh hasil bahwa ada pengaruh pelatihan terhadap kompetensi (pengetahuan, sikap dan keterampilan) dengan nilai signifikansi <0,001.

Page 49: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K - 2trik.webs.com fileVolume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan menolak artikel yang masuk, dan seluruh artik

Volume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098

47 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Evaluasi Level 3 (Evaluasi Perilaku)

Evaluasi Level 3 dilakukan dengan cara melakukan wawancara mendalam dengan 9 partisipan yang terdiri atas 7 orang bidan desa, 1 orang bidan puskesmas (bidan koordinator) dan 1 bidan di bagian KIA Dinkes Ponorogo. Pada level 3 ini mengkaji perilaku bidan dalam melakukan stimulsi, deteksi, dan intervensi dini perkembangan anak dalam 1 tahun pasca pelatihan.Pada evaluasi level 3 ini mengkaji tentang kesesuaian materi pelatihan dengan tugas dan tanggung jawab bidan, desiminasi hasil pelatihan, pelaksanaan dan kendala yang dihadapi dalam melaksanakan stimulasi, deteksi, dan intervensi dini perkembangan anak.Adapun hasilnya sebagaimana tersebut di bawah ini. Kesesuaian Materi Pelatihan dengan Tugas dan Tanggung Jawab Bidan

Semua partisipan menyatakan bahwa

materi pelatihan yaitu stimulasi, deteksi, dan intervensi dini perkembangan anak sesuai dengan tugas dan tanggung jawab bidan. Desiminasi/Penyebarluasan Informasi Hasil Pelatihan

Baik Dinas Kesehatan maupun

puskesmas memiliki kebijakan bahwa siapapun yang dikirim/didelegasikan untuk mengikuti pelatihan harus mendesiminasikan ke rekan kerja lainnya.Kebijakan desiminasi hasil pelatihan memang sudah ada, tapi belum ada batas waktu yang jelas untuk desiminasi ini.Desiminasi pelatihan stimulasi, deteksi, dan intervensi dini perkembangan anak ini beberapa sudah dilakukan, tapi ada juga yang belum.Biasanyanya bentuk desiminasi hanya berupa sosialisasi saja.

Pelaksanaan Stimulasi, Deteksi, dan Intervensi Dini Perkembangan Anak di Tempat Kerja Setelah Mengikuti Pelatihan

Semua partisipan menyakan bahwa

pelatihan yang diikuti sudah bagus dan cukup memberikan bekal di lapangan. Partisipan menyatakan bahwa tidak ada kendala dari sisi kompetensi. Akan tetapi belum semua rutin melaksakanannya. Ada yang sudah rutin mempraktikkan meskipun belum semua sasaran, ada juga yang sesekali mempraktikkan, dan ada yang mempraktikkan sebagian saja dan ada juga yang melaksanakan pemantauan perkembangan kalau ada keluhan dari kader atau orang tua saja.

Bidan desa memiliki kewajiban melaksanakan SDIDTK kemudian mencatat dan melaporkannya. Dari hasil wawancara mendalam diperoleh hasil bahwa pemantauan pertumbuhan rutin dilaksanakan, tetapi perkembangan belum. Tetapi anak yang sudah dipantau pertumbuhannya saja ini ikut dilaporkan sudah dipantau perkembangannya. Kendala Pelaksanaan Stimulasi, Deteksi, dan Intervensi Dini Perkembangan Anak

Kendala yang dihadapi bidan dalam

melaksanakan stimulasi, deteksi, dan intervensi dini perkembangan anak setelah mendapatkan pelatihan adalah beban kerja yang banyak, waktu yang terbatas, dan alat screening terbatas. Beban kerja yang

banyak dan waktu yang terbatas menjadi kendala dalam melaksanakan stimulasi, deteksi, dan intervensi dini perkembangan anak masih perlu ditingkatkan. Faktor eksternal lainnya yang menjadi kendala dalam melaksanakan stimulasi, deteksi, dan intervensi dini perkembangan anak adalah sarana dan pra sarana yang masih kurang. Skrining kit, formulir KPSP, dan instrumen pemantauan perkembangan lainnya yang dimiliki bidan baru satu (pemberian saat pelatihan).

PEMBAHASAN Gambaran Efektifitas Pelatihan Stimulasi, Deteksi dan Intervensi Dini bagi Bidan pada Level I (Evaluasi Reaksi)

Pada level 1 (evaluasi reaksi)

mengevaluasi pelaksanaan pelatihan yang meliputi unsur proses, fasilitator dan penunjang. Tujuan pelatihan akan berhasil dengan baik apabila ketiga unsur ini terpenuhi dengan baik pula. Hasil penelitian menunjukkanbahwa para peserta menyatakan bahwa ketiga unsur tersebut terpenuhi dengan baik.

Berdasarakan wawancara mendalam dengan bidan diperoleh hasil yang sama. Para partisipan tersebut menyatakan sangat puas dengan pelatihan stimulasi, deteksi, dan intervensi dini perkembangan anak yang dilaksanakan oleh Prodi DIII Kebidanan Magetan.Partisipan menyatakan bahwa mereka tidak sulit mempraktikkannya dengan anak yang menjadi sasaran/targetnya.

Pelatihan ini berusaha memberikan pengalaman belajar yang cukup untuk peserta sehingga kelak dapat mempraktikkanya dengan baik.Pelatihan ini menggunakan pendekatan mastery learning

Page 50: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K - 2trik.webs.com fileVolume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan menolak artikel yang masuk, dan seluruh artik

Volume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098

48 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

yaitu belajar sampai mahir.Peserta diharapkan mencapai tahap mahir dalam pengetahuan, perilaku, dan keterampilan.Pelatihan yang efektif diselenggarakan sesuai dengan prinsip orang dewasa belajar (partisipatif, relevan, dan praktis) dengan menggunakan perilaku panutan (behavior modeling), berdasarkan kompetensi, dan menggunakan teknik pelatihan humanistik.

Peserta pelatihan mengamati pelatih mendemonstrasikan stimulasi, deteksi, dan intervensi dini perkembangan (behavior modeling), sehingga peserta mendapat gambaran yang jelas tentang kinerja (performance) yang seharusnya dilakukannya.Kemudian peserta pelatihan belajar dengan standar pasien yaitu pelatih dengan cararole play.Setelah dianggap

mampu maka peserta diajak belajar dengan pasien sesungguhnya yaitu balita dengan didampingi oleh pelatih (teknik humanistik).Pelatihan berdasarkan kompetensi adalah belajar sambil mengerjakan. Pelatihan berbasis kompetensi memiliki komponen coaching yang menggunakan umpan balik positif, mendengarkan aktif, bertanya efektif, dan keterampilan pemecahan masalah untuk menciptakan proses pembelajaran yang positif (Biran, 2003).

Penyelenggara pelatihan, dalam hal ini Prodi Kebidanan Magetan, berupaya memberikan pelatihan yang baik dengan memberikan upaya yang optimal pada unsur proses, fasilitator, dan penunjang. Jika ketika unsur terpenuhi dengan baik (hasil evaluasi level 1 baik) maka diharapkan kompetensi yang merupakan indicator evaluasi pelatihan tahap belajar hasilnya juga baik. Evaluasi Pelatihan Stimulasi, Deteksi dan Intervensi Dini bagi Bidan pada Level 2 (Evaluasi Belajar)

Pada level 2 (evaluasi belajar) ini, mengevaluasi pengaruh pelatihan terhadap kompetensi (pengetahuan, sikap, dan keterampilan).Penelitian ini memberikan hasil bahwa terdapat perbedaan peningkatan kompetensi (pengetahuan, sikap, dan keterampilan) bidan dalam stimulasi, deteksi, dan intervensi dini perkembangan anak antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Peningkatan kompetensi (pengetahuan, sikap, dan keterampilan lebih tinggi terjadi pada kelompok intervensi.

Pelatihan stimulasi, deteksi, dan intervensi dini perkembangan anak ini merupakan bagian dari pelatihan SDIDTK. Pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan kompetensi bidan dalam stimulasi, deteksi,

dan intervensi dini perkembangan anak. Pelatihan merupakan sarana penting dalam pengembangan sumber daya manusia. Pelatihan merupakan kegiatan untuk memberi, memeroleh, meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas, disiplin, sikap, dan etos kerja pada tingkat keterampilan serta keahlian tertentu (Biran, 2003 dan Moeheriono, 2010). Banyak penelitian yang mendukung hal tersebut.

Penelitian Retno, Subijanto, dan Hadiwidjaja (2013) tentang pengaruh pelatihan pemberian makan pada bayi dan anak (PMBA) terhadap pengetahuan, keterampilan konseling dan motivasi bidan desa memberikan hasil bahwa pelatihan berpengaruh terhadap pengetahuan. Pelatihan juga berpengaruh terhadap keterampilan konseling bidan, tetapi pelatihan tidak berpengaruh terhadap motivasi bidan dalam PMBA.

Penelitian Muflihah dkk (2013) tentang pengaruh pelatihan deteksi tumbuh kembang anak pada pengetahuan dan keterampilan ibu dalam menstimulasi tumbuh kembang balita di Kabupaten Banjarnegara memberikan hasil bahwa peningkatan pengetahuan dan keterampilan segera setelah pelatihan pada kelompok intervensi lebih tinggi daripada kelompok kontrol.

Pelatihan ini menerapkan prinsip belajar efektif. Prinsip belajar efektif menurut Werther Jr. dalam Suwandi (2010) meliputi partisipasi, repetisi/ pengulangan, relevansi, dan transferensi/ pengalihan. Prinsip partisipasi dapat menyebabkan proses belajar berlangsung lebih cepat dan pengetahuan yang diperoleh dapat diingat lebih lama. Pada saat pelatihan peserta dilibatkan secara aktif. Metode pembelajaran yang sesuai dan menarik akan meningkatkan minat belajar peserta pelatihan. Penyampaian materi dalam pelatihan ini menggunakan sistem ceramah tanya jawab, diskusi kelompok kecil, demonstrasi, dan bermain peran. Perpaduan metode ini membuat peserta semakin antusias dan tidak bosan.

Prinsip pengulangan akan membantu peserta pelatihan untuk mengingat dan memanfaatkan pengetahuan/keterampilan yang dimiliki. Pada setiap akhir sesi materi, fasilitator akan memberikan review tentang materi yang disampaikan. Pelatihan stimulasi, deteksi, dan intervensi dini ini akan efektif karena relevan dengan tugas bidan sehari-hari. Pelatihan ini juga mempertimbangkan prinsip pengalihan. Prinsip pengalihan yang dimaksud adalah pengalihan pengetahuan/ keterampilan yang diperoleh di pelatihan dapat dengan mudah

Page 51: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K - 2trik.webs.com fileVolume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan menolak artikel yang masuk, dan seluruh artik

Volume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098

49 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

diterapkan pada tugas sehari-hari (Suwandi, 2010).

Pelatihan ini menggunakan pendekatan mastery learning. Peserta diharapkan mencapai tahap mahir dalam pengetahuan, perilaku, dan keterampilan.Pelatihan ini diselenggarakan sesuai dengan prinsip orang dewasa belajar (partisipatif, relevan, dan praktis) dengan menggunakan perilaku panutan (behavior modeling), berdasarkan

kompetensi, dan menggunakan teknik pelatihan humanistic (Biran, 2003).

Peserta dapat belajar lebih cepat dan efektif dengan melihat/mengamati pelatih mendemonstrasikan stimulasi, deteksi, dan intervensi dini perkembangan (behavior modeling), sehingga peserta mendapat gambaran yang jelas tentang kinerja (performance) yang seharusnya

dilakukannya.Pelatihan berdasarkan kompetensi adalah belajar sambil mengerjakan.Pelatihan berdasarkan kompetensi terfokus pada pengetahuan spesifik, perilaku, dan keterampilan yang dibutuhkan untuk mengerjakan prosedur, dalam hal ini stimulasi, deteksi, dan intervensi dini perkembangan anak. Pelatihan berbasis kompetensi memiliki komponen coaching yang menggunakan umpan balik positif, mendengarkan aktif, bertanya efektif, dan keterampilan pemecahan masalah untuk menciptakan proses pembelajaran yang positif (Biran, 2003). Peserta dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil beranggotakan 4 orang dengan 1 fasilitator, berdiskusi dan berlatih bersama mempraktikkan stimulasi, deteksi dan intervensi dini perkembangan anak. Kelompok kecil ini efektif dalam pembelajaran karena fasilitator dapat lebih fokus dan dapat memberikan umpan balik kepada peserta pelatihan.

Ciri ketiga pelatihan yang efektif adalah teknik pelatihan humanistik.Peserta pelatihan sebelum praktik ke klien belajar keterampilan di model terlebih dahulu.Pada pelatihan pemantauan perkembangan ini peserta terlebih dulu berlatih dengan sesama peserta atau dengan fasilitator.Peserta bermain peran agar lebih percaya diri saat berpraktik dengan balita. Pendekatan humanistik ini diperlukan agar dapat memfasilitasi proses belajar, mempersingkat waktu pelatihan dan memperkecil risiko pada klien (Biran, 2003). Pada hari kedua, peserta pelatihan diberi kesempatan berlatih dengan balita di bawah bimbingan fasilitator.

Cone of experience Edgar Dale menyebutkan bahwa pembelajaran aktif (menerima dan berpartisipasi serta melakukan) memiliki tingkat retensi yang lebih tinggi. Pada pelatihan ini, peserta

diajak untuk berperan aktif.Peserta diajak membaca, melihat gambar dan video, berdiskusi, melihat contoh demonstrasi oleh fasilitator, bermain peran serta praktik langsung dengan balita.Pengalaman belajar ini diharapkan dapat meningkatkan tingkat retensi dan pada akhirnya dapat meningkatkan kompetensi dalam melaksanakan stimulasi, deteksi, dan intervensi dini perkembangan anak. Gambar cone of experience dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 4. Cone of Learning Edgar Dale

Peserta pelatihan tidak mendapatkan kendala dalam pelatihan. Penyampaian materi cukup jelas, tidak membosankan karena materi tidak hanya disampaikan secara ceramah, tapi juga dengan diskusi, dan bermain peran, serta praktik langsung didampingi pelatih. Motivasi belajar peserta juga bagus, dilihat dari tingkat kehadiran peserta yang mencapai 100% dan selama pelatihan. Peserta terlihat bersemangat mengikuti pelatihan. Interksi peserta dengan pelatih maupun dengan balita cukup bagus. Peserta datang tepat waktu dan mengikuti

Page 52: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K - 2trik.webs.com fileVolume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan menolak artikel yang masuk, dan seluruh artik

Volume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098

50 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

seluruh rangkaian kegiatan pelatihan dari awal sampai akhir. Kesesuaian Materi Pelatihan dengan Tugas dan Tanggung Jawab Bidan

Semua partisipan menyatakan bahwa

materi pelatihan yaitu stimulasi, deteksi, dan intervensi dini perkembangan anak sesuai dengan tugas dan tanggung jawab bidan.Pemantauan perkembangan merupakan salah satu wewenang bidan.Regulasi yang mengaturnya adalah Permenkes RI nomor 1464/MENKES/PER/X/2010.

Permenkes nomor 1464/MENKES/PER/ X/2010 Pasal 9 menyebutkan bahwa bidan dalam menjalankan praktik, berwenang untuk memberikan pelayanan kesehatan anak.Pasal 11 (1) menyebutkan bahwa pelayanan kesehatan anak yang dimaksud tersebut diberikan pada bayi baru lahir, bayi, balita, dan anak pra sekolah.Pasal 11 (2.e) menyebutkan bahwa bidan berwenang untuk melakukan pemantauan tumbuh kembang bayi, anak balita dan anak pra sekolah.

Bidan harus memiliki kompetensi melaksanakan pemantauan perkembangan. Hal ini sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 369/Menkes/Sk/III/2007 Tentang Standar Profesi Bidan. Salah satunya disebutkan pada Kompetensi ke-7: Bidan memberikan asuhan yang bermutu tinggi, komperhensif pada bayi dan balita sehat (1 bulan-5 tahun). Salah satu pengetahuan dasar yang harus dimiliki bidan adalah.pertumbuhan dan perkembangan bayi dan anak normal serta faktor-faktor yang mempengaruhinya dan penyimpangan tumbuh kembang bayi dan anak serta penatalaksanaannya. Keterampilan dasar yang harus dikuasai bidan adalah melaksanakan pemantauan dan menstimulasi tumbuh kembang bayi dan anak. Desiminasi/Penyebarluasan Informasi Hasil Pelatihan

Baik Dinas Kesehatan maupun

puskesmas memiliki kebijakan bahwa siapapun yang dikirim/didelegasikan untuk mengikuti pelatihan harus mendesiminasikan ke rekan kerja lainnya.Akan tetapi pelaksanaannya belum semua dilaksanakan.

Penyebarluasan informasi hasil sangat diperlukan agar bidan dapat saling membantu.Stimulasi, deteksi, dan intervensi dini perkembangan anak ini dapat juga dilaksanakan oleh kader/guru TK/PAUD yang terlatih (Kemenkes, 2012).Bidan yang sudah mengikuti pelatihan dapat

melaksanakan diseminasi kepada kader atau guru TK/PAUD.Kader dan guru TK/PAUD yang sudah dilatih, dapat membantu melaksanakan stimulasi, deteksi, dan intervensi dini perkembangan anak sehingga beban kerja bidan dapat berkurang. Pelaksanaan Stimulasi, Deteksi, dan Intervensi Dini Perkembangan Anak di Tempat Kerja Setelah Mengikuti Pelatihan

Semua partisipan menyakan bahwa

pelatihan yang diikuti sudah bagus dan cukup memberikan bekal di lapangan.Pelatihan merupakan sarana penting dalam pengembangan sumber daya manusia. Pelatihan merupakan kegiatan untuk memberi, memeroleh, meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas, disiplin, sikap, dan etos kerja pada tingkat keterampilan serta keahlian tertentu (Biran, 2003 dan Moeheriono, 2010). Meskipun para partisipan penelitian menyatakan pelatihannya sudah sangat bagus, tapi mereka masih menghadapi beberapa kesulitan dalam pelaksaanaannya. Kesulitan ini tidak terkait dengan kompetensi mereka dalam melaksanakan stimulasi, deteksi, dan intervensi dini perkembangan anak akan tetapi lebih pada kendala waktu, dan beban kerja serta sarana yang masih kurang yang banyak sehingga tidak sempat mempraktikkannya. Beban kerja yang berat dan waktu yang terbatas

Wawancara mendalam dengan bidan

memeroleh hasil bahwa beban kerja dan waktu yang terbatas yang banyak memengaruhi motivasi dalam melaksanakan stimulasi, deteksi, dan intervensi dini perkembangan anak.Tugas lapangan bidan banyak menyita waktu.Pada saat posyandu, bidan harus melakukan beberapa tugas seperti imunisasi, pelayanan KB, pemeriksaan hamil, penyuluhan dan sebagainya. Target balita yang akan diperiksa banyak, karena selama ini belum melaksanakannya. Waktu pelayanan yang terbatas membuat pemantauan perkembangan belum optimal.

Penelitian Masruroh (2011) menyatakan bahwa beban kerja yang berat memengaruhi kinerja bidan dalam pelaksanaan SDIDTK balita dan anak pra sekolah di Kabupaten Semarang.

Waktu yang terbatas untuk melaksanakan pemantauan perkembangan ini dapat disiasati dengan caramengelompokkan anak berdasarkan usia deteksi memudahkan pemeriksaan

Page 53: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K - 2trik.webs.com fileVolume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan menolak artikel yang masuk, dan seluruh artik

Volume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098

51 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

perkembangan sehingga dari sisi waktu lebih efisien. Bidan dapat membuat jadwal khusus pemeriksaan perkembangan agar dapat membantu pengoptimalan waktu. Balita yang belum dapat diperiksa saat posyandu dapat datang ke polindes untuk pada waktu tertentu sesuai jadwal. Bidan dapat memberikan orang tua undangan/kartu jadwal pemeriksaan sehingga orang tua balita tidak lupa jadwal pemeriksaan berikutnya (Ngestiningrum, 2014).

Guru TK/PAUD yang sudah dilatih dapat melaksanakan stimulasi, deteksi, dan intervensi dini perkembangan ke anak didiknya. Bidan berbagi ilmu dengan guru TK/PAUD ini apabila yang guru belum terpapar program ini. Kerjasama dengan guru TK/PAUD ini dapat membantu mencapai target cakupan SDIDTK (Kemenkes, 2012).

Kerjasama lintas sektor dengan program yang senada dapat mengoptimalkan pemantauan perkembangan. Salah satunya adalah kerjasama lintas sektor dengan BKKBN dalam hal ini program Bina Keluarga Balita (BKB) perlu dioptimalkan lagi.

Alat skrining yang terbatas

Faktor ekternal bidan yang menjadi kendala dalam pelaksanaan stimulasi, deteksi, dan intervensi perkembangan anak adalah masih kurangnya sarana dan pra sarana. Alat skrining, buku instrumen, buku panduan SDIDTK yang dimiliki bidan baru 1 set. Peralatan dan buku SDIDTK perlu ditambah agar apabila ada tenaga lain yang membantu dapat dijalankan bersama-sama. Penelitian Machfudloh (2011) juga mendukung hal tersebut. Perlengkapan memiliki hubungan dengan kinerja bidan dalam SDIDTK.

Kebijakan yang berkaitan dengan pemerataan pelatihan harus dioptimalkan. Dinas Kesehatan hendaknya memantau tindak lanjut hasil pelatihan. Tindak lanjut pelatihan dapat dilakukan dengan mengevaluasi kinerja bidan setelah pelatihan secara berkala.

Peningkatan supervisi baik berupa kunjungan langsung maupun lewat pencatatan dan pelaporan harus ditingkatkan. Pengecekan laporan akan sangat membantu keakuratan data. Bidan koordinator di tingkat puskesmas dapat membantu fungsi supervisi ini. Bimbingan dan arahan dalam pencatatan dan pelaporan kohort dapat dilakukan oleh bidan koordinator. Supervisi sebaiknya dilakukan secara berkala agar lebih optimal (Masruroh, 2011 dan Fithananti, 2013). Supervisi penting bagi bidan sebab supervisi

berkontribusi dalam memotivasi bidan untuk melaksanakan tugasnya (Sari, 2012) Pada keadaan tertentu pelaksanaan supervisi harus ditingkatkan misalnya kinerja kurang atau setelah pelatihan (Fithananti, 2013). Kegiatan supervisi berhubungan dengan mengkoordinasikan, mengarahkan pekerjaan untuk mencapai tujuan. Efektifitas supervisi bergantung pada kemampuan supervisor. Kurangnya supervisi tidak hanya menyebabkan ketidakpuasan bawahan tetapi juga turnover (Budi, 2011). Umpan balik positif diperlukan agar kinerja bidan semakin baik. KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian maka diambil kesimpulan bahwa pelatihan stimulasi, deteksi, dan intervensi dini perkembangan anak sudah berjalan dengan baik dan kendala yang dihadapi bidan dalam pelaksanaan di lapangan bukan karena kurangnya kompetensi tapi lebih pada kendala eksternal. Rincian hasil tiap level sebagai berikut. 1. Evaluasi pelatihan pada level 1

memperoleh hasil bahwa kualitas unsur proses pelatihan sangat bagus (54,5%), kualitas unsur fasilitator sangat baik (60,6%), dan kualitas unsur penunjang sudah baik (60,6%).

2. Evaluasi pelatihan pada level 2 memperoleh hasil bahwa terdapat pengaruh pelatihan dengan peningkatan kompetensi (pengetahuan, sikap, keterampilan) bidan dalam stimulasi, deteksi, dan intervensi dini perkembangan anak.

3. Evaluasi pelatihan pada level 3 memperoleh hasil bahwa materi pelatihan sudah sesuai dengan tugas dan wewenang bidan di lapangan, belum semua bidan melakukan penyebarluasan informasi pasca pelatihan, belum semua bidan melaksanakan stimulasi, deteksi dan intervensi dini perkembangan anak dikarenakan beban kerja yang berat, waktu yang terbatas dan masih terbatasnya sarana dan pra sarana. Pemantauan perkembangan seringkali dilaksanakan hanya jika ada masalah pertumbuhan, atau jika ada keluhan gangguan perkembangan dari orang tua atau kader posyandu

Saran

1. Pada penelitian selanjutnya perlu dikaji evaluasi pelatihan level 4 yaitu evaluasi hasil (result evaluation)

Page 54: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K - 2trik.webs.com fileVolume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan menolak artikel yang masuk, dan seluruh artik

Volume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098

52 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

2. Dinas Kesehatan Ponorogo maupun IBI Cabang Ponorogo hendaknya mengadakan pelatihan/penyegaran kembali tentang stimulasi, deteksi, dan intervensi dini perkembangan anak bagi bidan.

3. Dinas kesehatan perlu menindaklanjuti kinerja bidan setelah pelatihan serta mengadakan evaluasi dan supervisi secara rutin.

4. Bidan koordinator hendaknya meningkatkan supervisinya kepada bidan di lingkup kerjanya.

5. Bidan desa yang sudah mendapatkan pelatihan hendaknya meningkatkan kerjasamanya dengan kader posyandu, guru TK/PAUD dan kader BKB.

DAFTAR PUSTAKA

Biran A, Adriaansz G. 2003. Pelatihan keterampilan melatih. Jakarta: JNPKR

Dahlan S. 2011. Statistik untuk kedokteran dan kesehatan. Jakarta: Salemba Medika

Dale E. Audio-visual methods in teaching. New York: Dryden; 1954 [cited 2013 23 November]. Available from: http://ocw.metu.edu.tr/file.php/118/ dale_audio-visual_20methods_20in_ 20teaching_1_.pdf

Fadlyana E, Alisjahbana A, Nelwan I, Noor M, Selly, Sofiatin Y. Pola keterlambatan perkembangan balita di daerah pedesaan dan perkotaan Bandung, serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Sari Pediatri. 2003;4(4):168−75.

Fithananti N. 2013. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kinerja bidan puskesmas dalam pelaksanaan program ASI eksklusif di Kota Semarang. 2013;2(1):11-20.

Fort AL, Voltero L. Factors affecting the performance of maternal health care providers in Armenia. Hum Resour Health. 2004;2(1):8.

Hidayat AAA. 2010. Optimalisasi penggunaan KPSP pada keluarga sebagai upaya pencegahan gangguan perkembangan anak. Seminar Nasional Sains; 16 Januari 2010; Surabaya.

Irianto, Y. 2001. Prinsip-prinsip Dasar Manajemen Pelatihan. Surabaya. Insan Cendekia.

Kemenkes. 2012. Pedoman fasilitator: Pelatihan stimulasi, deteksi, dan intervensi dini tumbuh kembang anak di tingkat pelayanan kesehatan dasar. Jakarta: Kemenkes

Kemenkes. 2012.Pedoman pelaksanaan stimulasi, deteksi dan intervensi dini tumbuh kembang anak di tingkat

pelayanan kesehatan dasar. Jakarta: Kemenkes RI

Keputusan Menteri Kesehatan RI tentang Standar Profesi Bidan Nomor 369/Menkes/SK/III/2007

Khojinayati N. 2013. Hubungan kemampuan, supervisi, imbalan, sikap, dan motivasi dengan kinerja bidan dalam pencapaian pemantauan wilayah setempat (PWS) KIA di Kabupaten Tasikmalaya. [Tesis]. Bandung: UNPAD

Muflihah S, M T. 2013. Pengaruh pelatihan deteksi dini tumbuh kembang anak terhadap pengetahuan dan keterampilan ibu dalam menstimulasi tumbuh kembang balita di Kabupaten Banjarnegara. Bandung: Unpad

Masruroh. 2011.Analisis faktor- faktor yang mempengaruhi kinerja bidan desa dalam pelaksanaan SDIDTK balita dan anak prasekolah di Kabupaten Semarang Tahun 2011. [Tesis]. Semarang: Universitas Diponegoro

Ngestiningrum, 2014. Korelasi Pelatihan dengan kompetensi bidan dalam stimulasi deteksi dan intervensi dini perkembangan anak dan kendala pelaksanaannya Di Kabupaten Ponorogo. Tunas- Tunas Riset Kesehatan. Vol. 4 No. 4 November 2014: 201-209.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan, 1464/MENKES/PER/X/2010.

Pusdiknakes. 2011. Kurikulum inti pendidikan DIII kebidanan. Jakarta: Pusdiknakes BBPSDM Kemenkes.

Sari NDK. 2012. Motivasi bidan desa dalam pelaksanaan program ASI eksklusif di Puskemas Bergas, Kabupaten Semarang Jurnal Kesehatan Masyarakat. 2012;1(2):91-6

Simamora H. 2004. Manajemen sumber daya manusia. Yogyakarta: STIE YKPN

Sopacua, Evie Dan Didik Budijanto. Evaluasi 4 Tahap Dari Kirkpatrick Sebagai Alat DalamEvaluasi Pasca Pelatihan. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan Vol. 4 No. 4 Oktober 2007: 371-379

Suwandi AD. 2010. Pengembangan model pelatihan tenaga kerja dalam meningkatkan kompetensi kerja di kota bekasi. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Yani. 2012. Manajemen sumber daya manusia. Jakarta: Mitra Wacana Media

Page 55: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K - 2trik.webs.com fileVolume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan menolak artikel yang masuk, dan seluruh artik

Volume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098

53 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

GAMBARAN PERILAKU KEBIASAAN MEROKOK DENGAN KEJADIAN PENYAKIT JANTUNG KORONER

Kusmini Suprihatin

(Prodi Keperawatan Sidoarjo, Poltekkes Kemenkes surabaya)

Yetti WIlda (Prodi Keperawatan Sidoarjo,

Poltekkes Kemenkes surabaya)

ABSTRAK

Pendahuluan: Merokok mengganggu kesehatan. Kenyataan ini tidak dapat dipungkiri, karena hanvak penyakit telah terbukti menjadi akibat buruk dari merokok, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pada PJK, perilaku kebiasaan merokok merupakan salah satu faktor utama yang dapat menimbulkan PJK, sedangkan PJK merupakan penyakit yang menduduki urutan pertama penyebab kematian (couse of death) dan perilaku kebiasaan merokok menjadi faktor utama penyebab PJK. Tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui gambaran perilaku kebiasaan merokok dengan kejadian penyakit jantung koroner. Metode: Desain penelitian ini adalah deskriptif pada penelitian ini jumlah populasinya 34 orang yang semuanya diambil untuk dijadikan sampel (total populasi). Variabel pertama adalah perilaku kebiasaan merokok dan variabel kedua adalah kejadian penyakit jantung koroner. Data dikumpulkan menggunakan kuesioner kemudian disajikan dalam tabel dengan persentase dan tabulasi silang antar variabel beserta narasinya. Hasil: Jumlah perokok terbanyak yaitu perokok sedang 14 pasien (41,2%), jumlah penderita PJK terbanyak adalah penderita PJK sedang 15 pasien (44,2%). Jadi semakin tinggi tingkat konsumsi rokok, tergambarkan serangan PJK semakin berat. Kesimpulan; Merokok bisa mempengaruhi terjadinya PJK dan diharapkan agar semua orang dapat menghindari rokok ataupun mengurangi frekuensi dalam merokok meskipun ada faktor lain yang mempengaruhi teijadinya PJK. Kata Kunci:. Merokok. penyakit jantung koroner

PENDAHULUAN Latar Belakang

Merokok menganggu kesehatan, kenyataan ini tidak dapat kita pungkiri, banyak 'penyakit telah terbukti menjadi akibat buruk dari merokok, baik secara langsung maupun tidak langsung. Telah ditemukan 4.000 jenis bahan kimia dalam rokok, dengan 40 jenis diantaranya bersifat karsiogenik, dimana bahan racun ini lebih banyak di dapatkan pada asap samping (Side Stream Smoke), misalnya karbon monoksida 5 kali lipat lebih banyak ditemukan pada asap samping sedangkan pada asap utama (main stream smoke) terdapat benzopiren 3 kali dan amoniak 50 kali. Bahan-bahan ini dapat bertahan sampai beberapa jam lamanya dalam ruangan setelah rokok berhenti. Jadi asap rokok yang tampaknya sederhana itu dapat menjadi penyebab terjadinya penyakit jantung koroner.

Pada penyakit jantung koroner, perilaku kebiasaan merokok merupakan salah satu faktor utama yang dapat menimbulkan penyakit jantung koroner, sedangkan penyakit jantung koroner merupakan penyakit yang menduduki urutan pertama sebab kematian (couse of death) dan perilaku kebiasaan merokok menjadi faktor utama penyebab penyakit pembuluh darah tersebut. (Kompas, 30 Juni 2003: Hans Tandra)

Menurut data, laporan WHO tahun 1983 menyebutkan jumlah perokok meningkat 2,1% per tahun di negara berkembang, sedangkan di negara maju angka ini menurun sekitar 1,1% per tahun (Kompas, 23 Juni 2003). Dan di Indonesia merupakan negara pengkonsumsi rokok no. 4 terbesar di dunia (Jawa Post, 31 Mei 2004). Total produksi rokok di Indonesia sekitar 90 billion atau 2% produksi rokok di seluruh dunia. Dan konsumsi rokok meningkat 100x per tahun di tahun 1981 (WHO 1985). Dan pada tahun 1990-1997 peningkatannya mencapai 44,3% (Majalah Kesmas No.52 Depkes RI). Angka statistik menunjukkan nilai rata-rata 11.000 orang mati tiap hari di sebabkan oleh racun yang terkandung dalam asap rokok, dan juga diperkirakan nanti dalam kurun tahun 2020 sampai 2030, rata-rata 27.000 orang mati tiap hari karena racun dari asap rokok. Sedangkan di Sidoarjo, jumlah penderita penyakit jantung koroner di RSD Sidoarjo (Ruang Jantung, Ruang Mawar Kuning dan Poli Jantung) tahun 2006 adalah 546 orang, tahun 2007 adalah 438 orang, tahun 2008 adalah 382 orang dan dari Januari sampai Maret tahun 2009 adalah

Page 56: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K - 2trik.webs.com fileVolume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan menolak artikel yang masuk, dan seluruh artik

Volume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098

54 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

102 orang. Berdasarkan uraian latar belakang di

atas, rumusan masalah yang ditemukan dalam penelitian ini yaitu: ’’Bagaimanakah gambaran perilaku Kebiasaan merokok dengan kejadian penyakit jantung koroner?” sedangkan tujuan penelitian ini adalah Menganalisis gambaran perilaku kebiasaan merokok dengan kejadian penyakit jantung koroner di Ruang Mawar Kuning RSD Sidoarjo METODE PENELITIAN

Desain penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif, dengan Populasi pada penelitian ini adalah seluruh penderita penyakit jantung koroner yang dirawat di Ruang Mawar Kuning dan Poli Jantung RSD Sidoarjo. sebanyak 34 orang penderita penyakit jantung koroner yang semuanya dijadikan sampel, dengan menggunakan kuisioner yang dibuat oleh peneliti untuk menilai tingkat perilaku kebiasaan merokok dan tingkat Penyakit jantung koroner yag sedang diderita. Data yang diperoleh kemudian tabulasi dan dianalisa dengan untuk melihat jumlah dan persentasenya. HASIL PENELITIA Data Umum

Berdasarkan jenis kelamin jumlah

penderita Penyakit jantung koroner yang dirawat di RSD Sidoarjo dapat dilihat pada table dibawah ini. Tabel 1. Distribusi Jenis Kelamin Responden

No Jenis Kelamin Frekuensi Persen

1 2

Laki-laki Perempuan

26 8

76,5% 23,5%

Jumlah 34 100%

Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Penderita maka dapat dilihat pada table dibawah ini.

Tabel 2. Distribusi Pendidikan Responden

No Pendidikan Frekuensi Persen

1 2 3 4

SD SLTP SLTA Akademi/PT

13 6 7 8

38,3% 17,7% 20,5% 23,5%

Jumlah 34 100%

Berdasarkan Tingkat Usia maka dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 3. Distribusi Umur Responden

No Umur Frekuensi Persen 1 2 3 4

21-30 tahun 31-40 tahun 41-50 tahun > 50 tahun

3

6 13 12

8,8% 17,7% 38,3% 35,2%

Jumlah 34 100%

Berdasarkan Pekerjaan penderita maka dapat dilihat pada table dibawah ini.

Tabel 4. Distribusi Umur Responden

No Jenis Pekerjaan Frekuensi Persen

1 2 3 4 5

Pekerja Lepas Karyawan Usaha Sendiri PNS/TNI/POLRI Tidak bekerja

5 7 10 5 7

15% 21% 29% 15% 21%

Jumlah 34 100%

Data Khusus

Berdasarkan Perilaku Kebiasaan Merokok yang dilakukan maka dapat dilihat pada table dibawah ini.

Tabel 5. Distribusi Kebiasaan Merokok

No Merokok Frekuensi Persen

1 2 3

Perokok Ringan Perokok Sedang Perokok Berat

12 14 8

35% 41% 24%

Jumlah 34 100%

Berdasarkan tingkat Penyakit Jantung Koroner yang diderita maka dapat dilihat pada table dibawah ini.

Tabel 5. Distribusi Tingkat Penyakit Jantung Koroner

No PJK Frekuensi Persen

1 2 3

PJK ringan PJK sedang PJK berat

11 15 8

32,3% 44,2% 23,5%

Jumlah 34 100%

Dari kedua data tersebut maka dilakukan tabulasi silang antara perilaku merokok dan tingkat penyakit yang diderita (Tabel 5).

Tabel 5. Distribusi Tingkat Penyakit Jantung Koroner Berdasarkan Kebiasaan Merokok

Merokok Penyakit Jantung Koroner Total

Ringan Sedang Berat

Perokok Ringan

6 4 2 12

-50% (33,4%) (16,6%) (35,2%)

Perokok Sedang

4 8 2 14

(28,5%) (57,1%) (14,2%) (41,2%)

Perokok Berat

1 3 4 8

(12,5%) (37,5%) -50% (23,6%)

Jumlah 11 15 8 34 (32,2%) (44,2%) (23,6%) -100%

Page 57: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K - 2trik.webs.com fileVolume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan menolak artikel yang masuk, dan seluruh artik

Volume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098

55 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perokok yang terbanyak adalah perokok sedang yaitu 14 pasien (41,2%). Seseorang yang merokok, asap rokok akan merusak dinding pembuluh darah dimana nikotin yang terkandung dalam asap rokok dapat merangsang hormon adrenalin yang bisa menyebabkan menyempitnya pembuluh darah (spasme).

Dari kacamata kesehatan tidak kurang dari 70.000 artikel ilmiah yang menyebutkan bahwa merokok dapat membahayakan kesehatan, baik untuk perokok aktif maupun perokok pasif. (Tjandra Yoga Aditama, FKUI). Bahan- bahan berbahaya yang terkandung dalam rokok antara lain, yaitu Karbon Monoksida, Nikotin, Tar (Ter) dan lain-lain.

Jadi nikotin dan karbon monoksida (CO) mungkin menyokong peningkatan infark miokardium akibat penyakit jantung koroner dimana nikotin meningkatkan kebutuhan oksigen miokard dan COHb mengganggu pengangkutan oksigen miokard sehingga terjadi penurunan oksigen miokardium.

Merokok secara aktif maupun pasif pada dasarnya mengisap CO (karbon monoksida) yang bersifat merugikan. Akibat gas CO terjadi kekurangan oksigen yang menyebabkan pasokan jaringan berkurang, kerusakan dinding pembuluh darah sampai penyempitan maupun penutupan.

Menurut dr. Dr. Mangku Sitoepoe konsumsi rokok adalah jumlah batang rokok yang dihisap per / hari, kelompok merokok menurut jumlah konsumsi rokok per/hari dibedakan menjadi, antara lain yaitu perokok ringan (konsumsi rokok 1-12 batang / hari), perokok sedang (konsumsi rokok 13 - 20 batang / hari), perokok berat (konsumsi rokok > 20 batang / hari).

Bahaya merokok bagi kesehatan menunjukkan angka kematian perokok 70% lebih tinggi dibandingkan dengan non perokok bagi pria berumur antara 45 - 54 tahun. Penggunaan bahan tembakau dapat merusak seluruh tubuh dan menyebabkan beberapa jenis penyakit diantaranya: penyakit kanker, penyakit jantung koroner, brochitis, emphisema, penyakit pencernaan, radang lambung serta kelumpuhan otak.

Penyakit jantung koroner adalah penyakit jantung yang disebabkan akibat penurunan suplai oksigen pada otot jantung dikarenakan penyempitan pembuluh darah koronaria yang tersumbat oleh adanya plak aterosklerosis. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya PJK disebut faktor resiko, terdapat 2 faktor yang dapat

mempengaruhi terjadinya PJK yaitu faktor yang pertama adalah faktor yang tidak dapat dimodifikasi antara lain usia, jenis kelamin dan riwayat keluarga dengan penyakit aterosklerosis, yang kedua faktor yang dapat dimodifikasi antara lain merokok, hiperlipidemia dan hiperkolesterolmia, hipertensi. DM. obesitas.

Pada pembuluh koroner terlihat penonjolan yang diikuti dengan garis lemak (fatty streek) pada intima pembuluh yang timbul pada aorta dan arteri koroner. Pada umur 20 tahun ke atas garis lemak ini tumbuh lebih progresif menjadi fibrouis plague yaitu suatu penonjolan jaringan pada umur 30-an. Pada umur diatas 40 tahun timbul lesi yang lebih komplek dan timbul konsekuensi klinis seperti angina pektoris, infark miokard dan mati mendadak.

Dikarenakan lipid terikat pada protein sebagai mekanisme transpor dalam serum. Ikatan ini menghasilkan empat kelas utama lipoprotein yaitu kilomikron. Lipoprotein densitas sangat rendah (VLDL), lipoprotein densitas rendah (LDL) dan lipoprotein densitas tinggi (HDL). Kadar relatif lipid dan protein berbeda-beda pada setiap kelas, LDL yang paling tinggi kadar kolesterolnya sedangkan kilomikron dan VLDL kaya akan trigliserida. Kadar protein tertinggi pada HDL. Peningkatan kolesterol LDL dihubungkan dengan meningkatnya resiko koronaria sementara kadar kolesterol HDL yang tinggi sebagai faktor pelindung terhadap penyakit arteri koronaria.

Manifestasi klinis PJK bervariasi tergantung pada derajat aliran darah arteri koronaria, bila aliran darah koroner masih mencukupi kebutuhan jaringan maka tidak akan menimbulkan keluhan selain itu tergantung kepada berat ringannya stenosis, kebutuhan jaringan (saat istirahat atau aktif) dan luasnya daerah yang terkena.

Rokok mengandung ribuan unsur kimiawi yang berbahaya salah satu nikotin yang merangsang kerja jantung, meningkatkan penggumpalan darah dan menurunkan kadar HDL. Penggumpalan atau penyumbatan dapat terjadi di otak, jantung, paru, kaki, alat kandungan dan alat vital. Tidak merokok dan berhenti merokok adalah sikap rasional dari masyarakat modem yang mencita- citakan hidup sehat.

Merokok dapat mempengaruhi terjadinya penyakit jantung koroner karena kandungan nikotin dan karbonmonoksida dalam rokok dapat mengakibatkan penurunan suplai oksigen miokardium sehingga terjadi hipoxia miokard sehingga disarankan agar

Page 58: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K - 2trik.webs.com fileVolume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan menolak artikel yang masuk, dan seluruh artik

Volume VI Nomor 1, Februari 2016 ISSN: 2086-3098

56 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

semua orang menghindari rokok atau mengurangi frekuensi dalam merokok. . KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa, perokok yang terbanyak adalah perokok sedang sebanyak 14 pasien (41.2%), 34 pasien PJK yang mayoritas menderita PJK sedang sebanyak 15 pasien (44,2%). Sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat konsumsi dalam merokok, tergambar serangan PJK semankin berat. DAFTAR PUSTAKA

Alimul, A. Aziz (2003). Riset Keperawatan Dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta: Salemba Medika.

Brunner dan Sudarth (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.

Candra, Budiman (1995). Pengantar Statistik Kesehatan. Jakarta: EGC.

Dorian (1994). Kamus Kedokteran Dorian. Jakarta: EGC.

Handita, Lalang Ken (2005). Masa Menopause Membawa Resiko Penyakit Jantung Koroner. www.yahoo.com diakses tanggal 15 Pebruari 2008.

Harrison (2000). Prinsip - Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: EGC.

Kaplan. Stamler (1991). Pencegahan Penyakit Jantung Koroner. Jakarta: EGC.

Mas’ud. Ibnu (1989). Dasar-Dasar Fisiologi Kardiovaskuler. Jakarta: EGC.

Noer, Sjaifoellah (1996). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI.

Notoatmodjo. Soekidjo (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Nursalam (2003). Konsep Dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

Price, A. Sylvia (1995). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC.

Rilantono, Lily Ismudiati (1998). Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: FKUI.

Robbins & Kumar (1995). Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: EGC.

Supariasa, I Dewa Nyoman (2000). Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC.

Suriawiria. H. Unus ( 2005 ). . www.yahoo.com diakses tanggal 15 Januari 2009.

Yahya, A. Fauzi (2005). Pilihan Terapi Penyakit Jantung Koroner. www.vahoo.com diakses tanggal 15 Januari 2009.