pedoman penulisan artikel k 2-trik: p · volume v nomor 2, mei 2015 issn: 2086-3098 i 2-trik:...

56
Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan 2-TRIK: TUNAS-TUNAS RISET KESEHATAN Diterbitkan oleh: WAHANA RISET KESEHATAN Penanggungjawab: Ketua Wahana Riset Kesehatan Ketua Dewan Redaksi: Heru SWN Anggota Dewan Redaksi: Koekoeh Hardjito Sunarto Subagyo Tutiek Herlina Sekretariat: Winarni Nunik Astutik Alamat: Jl. Raya Danyang-Sukorejo RT 05 RW 01 Desa Serangan Kecamatan Sukorejo Kabupaten Ponorogo Telp. 085235004462, 081335718040 E-mail: [email protected] Website: www.2trik.webs.com Penerbitan perdana: Desember 2011 Diterbitkan setiap tiga bulan Harga per-eksemplar Rp. 30.000,00 PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL Kami menerima artikel asli berupa hasil penelitian atau tinjauan hasil penelitian kesehatan, yang belum pernah dipublikasikan, dilengkapi dengan: 1) surat ijin atau halaman pengesahan, 2) jika peneliti lebih dari 1 orang, harus ada kesepakatan urutan peneliti yang ditandatangani oleh seluruh peneliti. Dewan Redaksi berwenang untuk menerima atau menolak artikel yang masuk, dan seluruh artikel tidak akan dikembalikan kepada pengirim. Dewan Redaksi juga berwenang mengubah artikel, namun tidak akan mengubah makna yang terkandung di dalamnya. Artikel berupa karya mahasiswa (karya tulis ilmiah, skripsi, tesis, disertasi, dsb.) harus menampilkan mahasiswa sebagai peneliti utama. Persyaratan artikel adalah sebagai berikut: 1. Diketik pada ukuran HVS A4 bermargin kiri, kanan, atas, dan bawah masing-masing 3,5 cm, dalam satu kolom, menggunakan huruf Arial 9, maksimum 10 halaman. 2. Naskah berupa softcopy dikirim melalui e-mail: [email protected] . Isi artikel harus memenuhi sistematika sebagai berikut: 1. Judul ditulis dengan ringkas dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris tidak lebih dari 14 kata, menggunakan huruf kapital dan dicetak tebal pada bagian tengah. 2. Nama lengkap penulis tanpa gelar ditulis di bawah judul, dicetak tebal pada bagian tengah. Di bawah nama ditulis institusi asal penulis. 3. Abstrak ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris. Judul abstrak menggunakan huruf kapital di tengah dan isi abstrak dicetak rata kiri dan kanan dengan awal paragraf masuk 1 cm. Di bawah isi abstrak harus ditambahkan kata kunci. 4. Pendahuluan ditulis dalam Bahasa Indonesia rata kiri dan kanan dan paragraf masuk 1 cm. 5. Metode Penelitian ditulis dalam Bahasa Indonesia rata kiri dan kanan, paragraf masuk 1 cm. Isi bagian ini disesuaikan dengan bahan dan metode penelitian yang diterapkan. 6. Hasil Penelitian ditulis dalam Bahasa Indonesia rata kiri dan kanan, paragraf masuk 1 cm. Kalau perlu, bagian ini dapat dilengkapi dengan tabel maupun gambar (foto, diagram, gambar ilustrasi dan bentuk sajian lainnya). Judul tabel berada di atas tabel dengan posisi di tengah, sedangkan judul gambar berada di bawah gambar dengan posisi di tengah. 7. Pembahasan ditulis dalam Bahasa Indonesia rata kiri dan kanan, paragraf masuk 1 cm. Pada bagian ini, hasil penelitian ini dibahas berdasarkan referensi dan hasil penelitian lain yang relevan . 8. Simpulan dan Saran ditulis dalam Bahasa Indonesia rata kiri dan kanan, paragraf masuk 1 cm. 9. Daftar Pustaka ditulis dalam Bahasa Indonesia, bentuk paragraf menggantung (baris kedua dan seterusnya masuk 1 cm) rata kanan dan kiri. Daftar Pustaka menggunakan Sistem Harvard. Redaksi Vol. V No. 2 Halaman 66 - 119 Mei 2015 ISSN: 2089-4686

Upload: lamthu

Post on 12-Jul-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K 2-TRIK: P · Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan berwenang mengubah artikel, namun tidak akan mengub

Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098

i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

2-TRIK: TUNAS-TUNAS RISET KESEHATAN

Diterbitkan oleh: WAHANA RISET KESEHATAN

Penanggungjawab: Ketua Wahana Riset Kesehatan

Ketua Dewan Redaksi: Heru SWN

Anggota Dewan Redaksi: Koekoeh Hardjito

Sunarto Subagyo

Tutiek Herlina

Sekretariat: Winarni

Nunik Astutik

Alamat: Jl. Raya Danyang-Sukorejo

RT 05 RW 01 Desa Serangan Kecamatan Sukorejo Kabupaten Ponorogo

Telp. 085235004462, 081335718040 E-mail: [email protected] Website: www.2trik.webs.com

Penerbitan perdana: Desember 2011 Diterbitkan setiap tiga bulan

Harga per-eksemplar Rp. 30.000,00

PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL

Kami menerima artikel asli berupa hasil penelitian atau tinjauan hasil penelitian kesehatan, yang belum pernah dipublikasikan, dilengkapi dengan: 1) surat ijin atau halaman pengesahan, 2) jika peneliti lebih dari 1 orang, harus ada kesepakatan urutan peneliti yang ditandatangani oleh seluruh peneliti. Dewan Redaksi berwenang untuk menerima atau menolak artikel yang masuk, dan seluruh artikel tidak akan dikembalikan kepada pengirim. Dewan Redaksi juga berwenang mengubah artikel, namun tidak akan mengubah makna yang terkandung di dalamnya. Artikel berupa karya mahasiswa (karya tulis ilmiah, skripsi, tesis, disertasi, dsb.) harus menampilkan mahasiswa sebagai peneliti utama.

Persyaratan artikel adalah sebagai berikut: 1. Diketik pada ukuran HVS A4 bermargin kiri, kanan, atas, dan

bawah masing-masing 3,5 cm, dalam satu kolom, menggunakan huruf Arial 9, maksimum 10 halaman.

2. Naskah berupa softcopy dikirim melalui e-mail: [email protected] .

Isi artikel harus memenuhi sistematika sebagai berikut: 1. Judul ditulis dengan ringkas dalam Bahasa Indonesia atau

Bahasa Inggris tidak lebih dari 14 kata, menggunakan huruf kapital dan dicetak tebal pada bagian tengah.

2. Nama lengkap penulis tanpa gelar ditulis di bawah judul, dicetak tebal pada bagian tengah. Di bawah nama ditulis institusi asal penulis.

3. Abstrak ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris. Judul abstrak menggunakan huruf kapital di tengah dan isi abstrak dicetak rata kiri dan kanan dengan awal paragraf masuk 1 cm. Di bawah isi abstrak harus ditambahkan kata kunci.

4. Pendahuluan ditulis dalam Bahasa Indonesia rata kiri dan kanan dan paragraf masuk 1 cm.

5. Metode Penelitian ditulis dalam Bahasa Indonesia rata kiri dan kanan, paragraf masuk 1 cm. Isi bagian ini disesuaikan dengan bahan dan metode penelitian yang diterapkan.

6. Hasil Penelitian ditulis dalam Bahasa Indonesia rata kiri dan kanan, paragraf masuk 1 cm. Kalau perlu, bagian ini dapat dilengkapi dengan tabel maupun gambar (foto, diagram, gambar ilustrasi dan bentuk sajian lainnya). Judul tabel berada di atas tabel dengan posisi di tengah, sedangkan judul gambar berada di bawah gambar dengan posisi di tengah.

7. Pembahasan ditulis dalam Bahasa Indonesia rata kiri dan kanan, paragraf masuk 1 cm. Pada bagian ini, hasil penelitian ini dibahas berdasarkan referensi dan hasil penelitian lain yang relevan .

8. Simpulan dan Saran ditulis dalam Bahasa Indonesia rata kiri dan kanan, paragraf masuk 1 cm.

9. Daftar Pustaka ditulis dalam Bahasa Indonesia, bentuk paragraf menggantung (baris kedua dan seterusnya masuk 1 cm) rata kanan dan kiri. Daftar Pustaka menggunakan Sistem Harvard.

Redaksi

Vol. V No. 2 Halaman 66 - 119 Mei 2015 ISSN: 2089-4686

Page 2: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K 2-TRIK: P · Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan berwenang mengubah artikel, namun tidak akan mengub

Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098

ii 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

EDITORIAL

Para pembaca yang terhormat, selamat bersua dengan 2-TRIK Volume V Nomor 2 bulan Mei 2015. Kali ini Kami tampilkan sepuluh karya ilmiah dalam bidang kesehatan lingkungan, kesehatan reproduksi, keluarga berencana, kebidanan, kesehatan kerja, serta sistem informasi kesehatan. Tidak lupa kami sampaikan terimaksih kepada para peneliti yang telah mempercayakan publikasi dalam jurnal ini yaitu sejawat dari Magetan, Bandung, Cilacap, Medan, Surabaya, serta Makassar. Mudah-mudahan karya-karya yang telah terpublikasikan pada nomor ini dapat berkontribusi bagi kemajuan IPTEK kesehatan di tanah air kita.

Anda dapat mengunduh isi jurnal ini melalui www.2trik.webs.com atau dalam bentuk ringkas dapat dilihat di portal PDII LIPI. Selamat bersua kembali pada Agustus 2015 yang akan datang. Terimakasih.

Redaksi

DAFTAR JUDUL

1 PERBEDAAN LAMA VARIASI WAKTU PENYIMPANAN TERHADAP KUALITAS FISIK, KIMIA DAN MIKROBIOLOGI DAGING AYAM BROILER

Djoko Windu P. Irawan, Susi Nurweni

66-71

2 EFEKTIFITAS METODE KIE-ABAT DAN PEER EDUCATION UNTUK MENINGKATKAN PENGETAHUAN DAN PERSEPSI REMAJA MENGENAI HIV-AIDS

Lusiana El Sinta Bustami, Oki Suwarsa, Ike Rostikawati Husen

72-80

3 PENGARUH PENYULUHAN TERHADAP PENINGKATAN SIKAP DAN PARTISIPASI DALAM PELAYANAN KB BERBASIS KOMUNITAS DI POSYANDU

Ellyzabeth Sukmawati

81-85

4 FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KURANGNYA PEMINAT KONTRASEPSI IMPLANT PADA IBU PASANGAN USIA SUBUR

Tri Marini Supriarti Ningsih

86-89

5 HUBUNGAN ANTARA USIA DAN RIWAYAT ABORTUS DENGAN KEJADIAN PLASENTA PREVIA

Sri Ratnawati, Sherly Jeniawaty

90-94

6 HUBUNGAN KARAKTERISTIK IBU HAMIL DAN DUKUNGAN SUAMI TERHADAP KEPATUHAN MELAKUKAN ANC

Fitriyani Pulungan

95-101

7 STUDI TENTANG PERILAKU PEDAGANG DAN PETUGAS KEBERSIHAN DALAM UPAYA PENGELOLAAN SAMPAH

Fitria Nur Rahmawati, Prijono Sigit, Rusmiati

102-105

8 KELELAHAN KERJA PADA KARYAWAN AIR TRAFFIC CONTROLLER (ATC) Lalu Muhammad Saleh, Tjipto Suwandi, Hamidah

106-110

9 HUBUNGAN PENGETAHUAN DENGAN SIKAP IBU TENTANG EFEK SAMPING IMUNISASI

Eva Mahayani Nasution

111-114

10 BERBAGAI FAKTOR PENGHAMBAT IMPLEMENTASI SISTEM INFORMASI KESEHATAN DI INDONESIA

Heru Santoso Wahito Nugroho, Sahrir Sillehu

115-119

Page 3: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K 2-TRIK: P · Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan berwenang mengubah artikel, namun tidak akan mengub

Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098

66 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

PERBEDAAN LAMA VARIASI WAKTU

PENYIMPANAN TERHADAP KUALITAS FISIK, KIMIA DAN MIKROBIOLOGI

DAGING AYAM BROILER

Djoko Windu P. Irawan (Prodi Kesehatan Lingkungan Magetan,

Poltekkes Kemenkes Surabaya) Susi Nurweni

(Prodi Kesehatan Lingkungan Magetan, Poltekkes Kemenkes Surabaya)

ABSTRAK

Pendahuluan: Daging ayam Broiler adalah makanan yang cepat membusuk, maka penyimpanannya harus diperhatikan untuk memperpanjang masa simpa, sehingga perlu diadakan penelitian dengan tujuan mengamati aspek fisik, mengukur aspek kimia dan mikrobiologi daging ayam Broiler. Metode: Rancangan penelitian ini adalah post-test only control group design, terbagi atas 4 kelompok yaitu daging ayam Broiler disimpan 24 jam, 48 jam, 72 jam dan tanpa penyimpanan. Hasil: Pada kontrol dan penyimpanan 24 jam, warna ayam kemerahan segar, bau amis khas daging, dan tekstur kenyal; penyimpanan 48 jam, kemerahan berkurang, bau amis berkurang, dan tekstur agak lembek; penyimpanan 72 jam, warna pucat, bau busuk, tekstur lembek. Hasil aspek kimia: pH kontrol dan penyimpanan 24 jam rerata 6,33; penyimpanan 48 jam, rerata 6,17; penyimpanan 72 jam, rerata 6,0. Daya ikat air kontrol dan penyimpanan 24 jam, rerata 36,6; penyimpanan 48 jam, rerata 34,5; penyimpanan 72 jam rata-rata 33,6. Aspek mikrobiologi jumlah kuman: kontrol, rerata 316.666 koloni/gr, penyimpanan 24 jam, rerata 408.333 koloni/gr; penyimpanan 48 jam, rerata 470.000 koloni/gr; penyimpanan 72 jam rerata 4.660.000 koloni/gr. Kontrol, penyimpanan 24 jam, dan 48 jam tidak melebihi baku mutu; penyimpanan 72 Jam melebihi baku mutu batas maksimum cemaran mikroba dalam makanan daging karkas dan daging tanpa tulang beku. Hasil uji statistik: kontrol dan penyimpanan 72 jam ada beda, penyimpanan 24 dan 72 jam ada beda, penyimpanan 48 dan 72 jam ada beda. Kesimpulan: Lama penyimpanan mempengaruhi kualitas daging ayam Broiler. Saran: Masyarakat lebih teliti memilih daging, mengolah langsung daging setelah disembelih, dan mengendalikan suhu dan durasi penyimpanan daging dalam lemari es.

Kata Kunci: Penyimpanan daging, ayam Broiler.

PENDAHULUAN

Latar belakang

Informasi tentang daging ayam penting untuk diketahui masyarakat. Daging ayam merupakan sumber protein yang mengandung asam amino, tentu sangat dibutuhkan untuk menciptakan masyarakat Indonesia yang cerdas dan sehat serta menghindari“lose generation”. Daging ayam adalah komoditas yang relatif murah dan mudah didapat serta diterima oleh semua kalangan, sehingga dengan kajian, penelitian, penyuluhan diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi pangan yang bergizi tinggi (Aditama, 2010).

Daging ayam relatif lebih murah harganya dibandingkan dengan daging lain, sehingga lebih banyak dikonsumsi oleh masyarakat dari berbagai tingkat ekonomi. Daging ayam yang aman, sehat, utuh dan halal adalah daging yang diharapkan oleh semua konsumen. Daging ayam yang sehat seharusnya tidak mengandung mikroba patogen dan kalaupun mengandung maka jumlahnya harus sedikit. Pertumbuhan mikroba pada daging ayam berhubungan erat dengan kualitas daging ayam segar/sehat (Soedjana, 2010).

Pelaku bisnis yang terlibat dalam proses pemotongan ayam Broiler (ayam potong) sampai perdagangan (pemasaran) daging ayamnya, sangat banyak dan beragam dalam tingkat pendidikannya, sehingga sering terjadi “dimungkinkan” banyak penyimpangan dalam penanganan dan perdagangan (pemasaran)nya baik di industri makanan, super market, pasar besar, pasar tradisional, Tempat Pemotongan Ayam (TPA), Industri Rumah Tangga (IRT), pedagang keliling dan lain-lain (Caroline, 2008).

Peningkatan jumlah penduduk Indonesia dari tahun ke tahun berdampak pada peningkatan konsumsi produk peternakan (daging, telur, susu). Meningkatnya kesejahteraan dan tingkat kesadaran masyarakat akan pemenuhan gizi khususnya protein hewani juga turut meningkatkan angka peminatan produk peternakan. Daging banyak dimanfaatkan oleh masyarakat karena mempunyai rasa yang enak dan kandungan zat gizi yang tinggi. Salah satu sumber daging yang paling banyak dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia adalah ayam. Daging ayam yang sering dikonsumsi oleh masyarakat diperoleh dari pemotongan ayam Broiler, petelur afkir, dan ayam kampung. Ayam Broiler merupakan salah satu penyumbang terbesar protein

Page 4: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K 2-TRIK: P · Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan berwenang mengubah artikel, namun tidak akan mengub

Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098

67 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

hewani asal ternak dan merupakan komoditas unggulan. Industri ayam Broiler berkembang pesat karena daging ayam menjadi sumber utama menu konsumen. Daging ayam Broiler mudah didapatkan baik di pasar modern maupun tradisional. Produksi daging ayam Broiler lebih besar dilakukan oleh rumah potong ayam modern dan tradisional. Proses penanganan di TPA merupakan kunci yang menentukan kelayakan daging untuk dikonsumsi. TPA atau tempat pendistribusian umumnya sudah memiliki sarana penyimpanan yang memadai, namun tidak dapat dihindari adanya kontaminasi dan kerusakan selama prosesing dan distribusi (Kariani Br Ginting, 2013).

Dewasa ini banyak masyarakat yang tak tahu cara menyimpan bahan makanan terutama bahan makanan hewani, masyarakat menyimpannya di sembarang tempat. Masyarakat tidak memikirkan apakah bahan makanan yang disimpannya dapat dikonsumsi berapa lama. Penyimpanan bahan makanan tidak bisa ditempatkan dimana saja, penyimpanannya harus memperhatikan beberapa hal seperti suhu dan lain-lain. Bahan pangan hewani meliputi susu, telur, ikan dan daging serta produk-produk olahannya yang bahan dasarnya berasal dari hasil hewani (Darma. 2014).

Berdasar studi pendahuluan secara organoleptik diperoleh hasil bahwa kualitas fisik kulit daging ayam Broiler mengkilap, kulit ayam Broiler lebih mudah sobek, banyak lemak di lapisan bawah kulit, warna lebih cerah, dagingnya empuk, kenyal saat dipegang, sedangkan jumlah angka kuman sebesar 2.380 kol/gr, dengan demikian tidak melebihi dari standart 106. Sedangkan dengan perlakuan penyimpanan 72 jam dan disimpan di lemari es dengan suhu 20C menunjukkan angka 82.106 kol/gr, dengan demikian melebihi baku mutu SK Dirjen POM No: 03726/B/SK/VII/1989 tentang Batas Maksimum Cemaran Mikroba dalam Makanan Daging Karkas dan Daging Tanpa Tulang Beku yaitu 106 (BPOM, 1989).

Identifikasi Masalah

Telah teridentifikasi beberapa masalah terkait yaitu: 1) banyak ditemukan jumlah kasus daging ayam Broiler di seluruh wilayah Provinsi di Indonesia, 2) pengawasan mutu pangan di Indonesia masih kurang maksimal karena terbatasnya dana dan tenaga, 3) pengetahuan masyarakat masih minim tentang penyimpanan daging ayam Broiler, 4) daging ayam Broiler mempunyai kadar air

dan lemak yang berlebihan serta bakteri yang terkandung lebih banyak.

Rumusan Masalah

Apakah ada perbedaan lama variasi waktu penyimpanan daging ayam Broiler terhadap kualitas fisik, kimia dan mikrobiologi daging ayam Broiler?

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah: 1) mengamati aspek fisik bau, warna dan tekstur daging ayam Broiler sebelum disimpan, disimpan selama 24 jam, 48 jam dan 72 jam; 2) Mengukur aspek kimia pH (derajat keasaman) dan daya ikat air daging sebelum disimpan, disimpan selama 24 jam, 48 jam dan 72 jam; 3) memeriksa aspek mikrobiologi jumlah angka kuman daging sebelum disimpan, disimpan selama 24 jam, 48 jam dan 72 jam; 4) menganalisis kualitas fisik bau, warna dan tekstur daging sebelum disimpan, disimpan selama 24 jam, 48 jam dan 72 jam; 5) menganalisis kualitas kimia pH dan daya Ikat air daging sebelum disimpan, disimpan selama 24 jam, 48 jam dan 72 jam; 6) menganalisis kualitas mikrobiologi jumlah angka kuman daging sebelum disimpan, disimpan selama 24 jam, 48 jam dan 72 jam. METODE PENELITIAN

Rancangan penelitian ini adalah post-test only control group design, yang memungkinkan mengukur pengaruh perlakuan pada kelompok eksperimen penyimpanan (perlakuan 1 = 24 jam, 2 = 48 jam, 3 = 72 jam) dan tanpa penyimpanan sebagai kontrol.

Variabel bebas penelitian adalah lama penyimpanan daging ayam Broiler, dengan variasi waktu penyimpanan 24 jam, 48 jam, dan 72 jam, sedangkan variabel terikat adalah kualitas fisik daging (bau, warna dan tekstur), kualitas kimia (pH dan daya ikat air) daging, dan kualitas mikrobiologi (jumlah kuman) pada daging. Selain itu ada variabel kendali yaitu suhu penyimpanan (dikontrol dengan suhu 10C).

Populasi penelitian ini adalah daging ayam Broiler, sedangkan sampel adalah daging ayam Broiler bagian paha, dengan besar sampel 12 potong, masing-masing 100 gram, untuk 3 kali replikasi. Sampel diambil dengan teknik purposive sampling didasarkan pada suatu pertimbangan tertentu yang dibuat sendiri oleh peneliti sendiri, yaitu: 1) baru disembelih, 2) warna merah cerah (tidak gelap, tidak pucat, tidak kebiruan); bau (tidak terlalu amis, tidak berbau busuk) dan tekstur daging (tidak

Page 5: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K 2-TRIK: P · Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan berwenang mengubah artikel, namun tidak akan mengub

Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098

68 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

lembek), 3) bagian paha, 4) bau khas daging, 5) bersih dari kotoran, dan 6) pembuluh darah tidak terlihat.

Langkah-langkah penelitian yang diterapkan adalah sebagai berikut: 1. Pengambilan sampel menggunakan

sarung tangan, alkohol 70%, bunsen, termos es, kertas label, formulir, alat tulis, wadah plastik steril, paha daging ayam Broiler. Sedangkan prosedur kerja yang dilakukan adalah: 1) menggunakan sarung tangan steril dengan alkohol 70%, 2) menyalakan lampu bunsen, 3) mengambil daging ayam Broiler bagian paha 4 potong masing-masing seberat 100 gram, lalu dimasukkan ke wadah plastik sampel sudah steril, 4) memberi kode: A0 untuk kontrol, A1 sampel disimpan 24 jam, A2 48 jam, A3 72 jam, 5) memasukkan sampel ke dalam termos es, 6) menyertakan formulir pengambilan sampel, 7) mengirim sampel ke laboratorium, 8) menyimpan sampel pada suhu 10C. Sampel kode A1 disimpan selama 24 jam, Sampel kode A2 disimpan selama 48 jam, Sampel kode A3 disimpan 72 jam.

2. Pemeriksan aspek fisik, kimia dan mikrobilogi sampel oleh Petugas Laboratorium Mikrobiologi Prodi D III Kesehatan Lingkungan Kampus Magetan, Jurusan Kesehatan Lingkungan, Poltekkes Kemenkes Surabaya, dengan 3 kali replikasi. Uji One Way Anova digunakan untuk

menguji perbedaan kualitas daging antara kelompok kontrol dan kelompok eksperimen. Lebih jauh, perbedaan daya ikat air antar lama penyimpanan dianalisis menggunakan Uji Duncan. HASIL PENELITIAN

Hasil uji organoleptik dengan metode organoleptik didapatkan hasil kualitas fisik sebagai berikut:

Tabel 1. Hasil Observasi Kualitas Fisik Daging Ayam Broiler

Repli-kasi Aspek Kontrol

Waktu Penyimpanan 24 Jam

48 Jam

72 Jam

1 Bau Amis khas daging

Amis khas daging

Amis ber-kurang

Busuk

2 Warna Keme-rahan segar

Keme-rahan segar

Keme-rahan ber-kurang

Pucat

3 Teks-tur

Kenyal Kenyal Agak lembek

Lembek

Tabel 1 menunjukkan bahwa bau, warna dan tekstur daging ayam Broiler kelompok kontrol dan penyimpanan 24 jam tidak berubah yaitu amis khas daging, kemerahan segar dan kenyal.

Hasil pemeriksaan kualitas kimia daging disajikan pada Tabel 2 dan Tabel 3.

Tabel 2. Hasil Pengukuran pH Daging Ayam Broiler

Replikasi Kontrol Waktu Penyimpanan

24 Jam

48 Jam

72 Jam

1 6,34 6,34 6,18 5,95 2 6,30 6,30 6,22 5,99 3 6,35 6,35 6,11 6,1

Rerata 6,33 6,33 6,17 6,0

Tabel 3. Hasil Pengukuran Daya Ikat Air Daging Ayam Broiler

Replikasi Kontrol Waktu Penyimpanan

24 Jam

48 Jam

72 Jam

1 37,16 37,16 34,47 32,80 2 35,30 35,30 35,19 33,15 3 37,33 37,33 33,98 34,87

Rerata 36,6 36,6 34,5 33,6

Hasil pemeriksaan kualitas mikrobiologis daging disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Hasil Pemeriksaan Angka Kuman (Koloni/Gram) Sebelum Disimpan (Kontrol) dan Variasi Waktu Penyimpanan Daging

Ayam Broiler

Repli-kasi Kontrol

Waktu Penyimpanan 24 Jam 48 Jam 72 Jam

1 130.000 207.000 220.000 1.980.000 2 230.000 238.000 290.000 3.000.000 3 500.000 780.000 900.000 9.000.000

Rerata 286.666 408.333 470.000 4.660.000

Hasil analisis menunjukkan bahwa lama penyimpanan berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap daya ikat air daging ayam Broiler. Untuk mengetahui lebih jauh perbedaan daya ikat air antar lama penyimpanan dilakukan Uji Duncan. Berdasarkan hasil Uji Duncan diperoleh daya ikat air daging ayam Broiler pada lama penyimpanan 24 jam (36,6%) dengan 48 jam (34,5%), lama penyimpanan 48 jam (34,5%) dengan 72 jam (33,6%) menunjukkan hasil berbeda tidak nyata (p>0,05), namun lama penyimpanan 24 jam (36,6%) dengan 72 jam (33,6%) menunjukkan hasil berbeda nyata (p<0,05).

PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa bau, warna dan tekstur daging ayam Broiler kelompok kontrol dan penyimpanan 24 jam

Page 6: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K 2-TRIK: P · Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan berwenang mengubah artikel, namun tidak akan mengub

Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098

69 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

tidak berubah yaitu amis khas daging, kemerahan segar dan kenyal. Hal ini sesuai dengan ciri-ciri daging segar yang aman dikonsumsi, yaitu: warna merah cerah (tidak gelap, tidak pucat, tidak kebiruan), bau (tidak terlalu amis, tidak berbau busuk) dan tekstur daging (tidak lembek). Kondisi ini dimungkinkan karena daging ayam setelah proses penyembelihan langsung diperiksa tanpa penyimpanan dan penyimpanan 24 jam dalam lemari es dengan suhu 1oC. Warna kemerahan segar pada daging ayam Broiler dikarenakan oleh pigmen mioglobin yang terkandung dalam daging ayam. Pigmen mioglobin inilah yang menentukan kesegaran dari daging ayam Broiler dengan melihat perubahan warna yang dialami pada daging. Aroma daging ayam yang amis khas daging disebabkan oleh aroma dari daging ayam tersebut. Tekstur kenyal pada daging ayam Broiler yang baru dipotong menandakan bahwa daging dalam kondisi segar, kenyal dikarenakan daging ayam Broiler telah mengalami pasca rigor atau dapat dikatakan telah melewati pre rigor, lalu rigor mortis dan kembali ke pasca rigor (Mizwar. 2012).

Secara organoleptik kerusakan daging ayam Broiler ditandai oleh adanya bau yang menyimpang yang diikuti terbentuknya lendir yang lengket pada permukaan daging. Masa penyimpanan dapat mempengaruhi aroma karena proses oksidasi, kontraksi dengan udara menyebabkan penguapan sehingga aromanya berkurang bahkan semakin lama akan menimbulkan aroma busuk (Mulyana, 2008).

Kebusukan akan kerusakan daging ditandai oleh terbentuknya senyawa-senyawa berbau busuk seperti amonia, H2S, indol, dan amin, yang merupakan hasil pemecahan protein oleh mikroorganisme (Luthana, 2009).

Bau dan rasa daging banyak ditentukan oleh precursor yang larut dalam lemak, dan pembebasan substansi atsiri (volatil) yang terdapat dalam daging. Senyawa-senyawa flavor dalam lemak adalah spesifik untuk suatu spesies, jenis kelamin, atau bisa timbul dari ingredient pakan (Soeparno 2009).

Perubahan/kondisi daging ayam Broiler setelah penyimpanan 48 jam dilihat dari warnanya kemerahan berkurang, bau amis khas daging sudah berkurang, dan teksturnya agak lembek. Hasil pengamatan tersebut tidak sesuai dengan ciri-ciri daging yang aman dikonsumsi. Hal ini dimungkinkan karena daging ayam Broiler sudah 48 jam dalam penyimpanan. Kondisi daging ayam Broiler setelah penyimpanan 72 jam dilihat dari warnanya pucat, baunya busuk, dan teksturnya lembek, tidak sesuai dengan ciri-

ciri daging yang aman dikonsumsi. Hal ini dimungkinkan karena daging ayam Broiler sudah 72 jam dalam penyimpanan. Penurunan pH daging dan nilai pH akhir post-rigor akan mempengaruhi warna daging. Penurunan pH dan pH akhir yang rendah menyebabkan warna daging menjadi sangat pucat. Makin rendah pH maka warna daging akan semakin pucat. Warna pucat ini disebabkan oleh karena banyaknya air bebas yang berada di luar serabut daging. Kandungan air ekstraseluler yang tinggi ini menyebabkan kemampuannya untuk memantulkan cahaya akan meningkat dan penyerapan cahaya menurun sehingga intensitas warna akan menurun (warna terlihat pucat) (Asmara et al. 2006).

Tekstur daging ayam Broiler yang disimpan selama 72 jam sudah tidak kenyal lagi. Hal ini disebabkan daging ayam Broiler telah mencapai tahap dekomposisi. Pada saat dekomposisi maka jaringan-jaringan bagian dalam cepat mengalami penguraian. Proses katabolisme glikogen yang menghasilkan penumpukan asam laktat mengakibatkan pH turun. Turunnya pH dapat menyebabkan pengerutan fibril dan protein kehilangan kemampuan mengikat cairan sehingga struktur menjadi longgar. Selain itu penurunan pH juga dapat menyebabkan denaturasi protein (membran pecah), terjadi deregulasi proteolisis sehingga daging menjadi lembek, berair dan pucat. pH otot pascamerta akan menurun pada saat pembentukan asam laktat akan menurunkan daya ikat air dan akan banyak air yang berasosiasi dengan protein otot yang bebas meninggalkan serabut otot. Tingkat kemampuan mengikat air dihubungkan dengan masing-masing tingkat rigor, atau dengan tingkat perubahan pascamerta, dapat diamati sebab mempunyai skala besar terhadap kekerasan (firmness), struktur, dan tekstur. Otot-otot dengan proporsi ekstrem tinggi dalam mengikat air adalah firm (keras), mempunyai struktur ketat, dan mempunyai tekstur kering atau lengket. Sebaliknya jaringan dengan kemampuan mengikat air yang rendah adalah lunak (soft) mempunyai struktur yang terbuka/renggang, dan teksturnya basah atau berbiji/berurat (Pestariati, et al., 2003).

Adanya perbedaan pH antar perlakuan disebabkan oleh kadar glikogen dalam jaringan otot, yang berimbas pada penimbunan asam laktat dalam daging. Lama penyimpanan 24 jam (6,33) dengan 48 jam (6,17) menunjukkan hasil yang berbeda tidak nyata, hal ini disebabkan oleh kandungan asam laktat yang terbentuk belum terlalu banyak pada penyimpanan 48 jam (6,17). Perbedaan yang tidak nyata pada

Page 7: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K 2-TRIK: P · Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan berwenang mengubah artikel, namun tidak akan mengub

Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098

70 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

lama penyimpanan 48 jam (6,17) dengan 72 jam (6,0) disebabkan oleh kandungan asam laktatnya relatif masih sama karena hanya berbeda 24 jam hari penyimpanan. Perbedaan yang nyata pada penyimpanan 24 jam (6,33) dengan 72 jam (6,0) disebabkan oleh perbedaan kandungan asam laktat dalam daging. Setelah daging disimpan selama 72 jam kandungan asam laktatnya semakin rendah akibat cadangan glikogen makin berkurang bila dibandingkan dengan daging yang disimpan selama 24 jam kandungan asam laktatnya masih tinggi karena cadangan glikogen dalam otot masih tinggi. Penimbunan asam laktat akan berhenti setelah cadangan glikogen otot menjadi habis atau setelah kondisi yang tercapai yaitu pH cukup rendah untuk menghentikan enzim-enzim glikolitik dalam proses glikolisis anaerobik (Buckle et al., 1987).

Rerata daya ikat air daging ayam Broiler setiap perlakuan (lama penyimpanan 24 jam, 48 jam dan 72 jam) rata-rata daya ikat air daging ayam Broiler dari yang tertinggi hingga terendah adalah lama penyimpanan 24 jam, 48 jam, dan 72 jam. Semakin lama penyimpanan, maka semakin rendah daya ikat air. Daya ikat air dapat dipengaruhi oleh laju dan besarnya nilai pH, semakin rendah pH maka semakin rendah pula daya ikat air daging. Dilihat dari rata-rata ke 72 jam penyimpanan menunjukkan bahwa semakin lama penyimpanan, nilai rata-ratanya semakin kecil.

Hasil analisis menunjukkan bahwa lama penyimpanan berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap daya ikat air daging ayam Broiler, Hasil Uji Duncan menunjukkan bahwa daya ikat air daging ayam Broiler pada lama penyimpanan 24 jam dan 48 jam, serta 48 jam dan 72 jam menunjukkan perbedaan tidak signifikan, namun lama penyimpanan 24 jam dan 72 jam menunjukkan perbedaan signifikan. Perbedaan yang tidak nyata pada lama penyimpanan 24 jam dengan 48 jam disebabkan oleh daging ayam Broiler masih berada pada fase prerigormortis. Pada fase ini, pH belum mengalami perubahan yang besar selama 24-48 jam pasca pemotongan sehingga berpengaruh pada daya ikat air. Pada lama penyimpanan 24 jam dan 72 jam tampak berbeda tidak nyata, hal ini disebabkan belum terakumulasinya asam laktat yang dapat merusak protein miofibril dan berdampak pada kehilangan protein untuk mengikat air, akumulasi asam laktat akan merusak protein miofibril yang diikuti oleh kehilangan kemampuan protein daging untuk mengikat air (Risnajati, 2010).

Perbedaan daya ikat air yang nyata pada lama penyimpanan 24 jam dengan 72 jam

diakibatkan oleh laju dan besarnya penurunan pH daging. Pada hasil penelitian tampak pada lama penyimpanan 24 jam pH daging rata-rata 6,33 dan pada 72 jam pH turun menjadi 6,0. Seiring dengan penurunan pH akibat lama penyimpanan, maka daya ikat air menurun. Begitu pula halnya yang terjadi antara lama penyimpanan 24 jam dengan 72 jam. Adanya perbedaan daya ikat air sebagian disebabkan oleh laju dan besarnya penurunan pH. (Soeparno, 2009).

Hal ini diperkuat oleh pernyataan Bahar (2003) yang menyatakan bahwa daya ikat air dipengaruhi oleh laju dan besarnya nilai pH. Semakin rendah pH, maka semakin rendah pula daya ikat air daging (Bahar, 2003).

Diyakini bahwa kondisi daging ayam Broiler pada saat sampel diambil sudah mengandung mikroba, sehingga dapat mengakibatkan cemaran mikroba pada daging ayam Broiler saat penyimpanan 48 jam dan 72 jam. Kontaminasi dapat disebabkan karena saat penanganan yang kurang higienes dimana kontaminasi berasal dari tangan pekerja, alat pemotong dan wadah yang digunakan, selain itu juga bisa terjadi pada saat proses pencucian daging ayam Broiler berlangsung dimana air cuci daging ayam Broiler telah terkontaminasi oleh mikroba. Kontaminasi daging unggas dan produk olahannya disebabkan oleh beberapa faktor antara lain tingkat pengetahuan, peternak, kebersihan kandang serta sanitasi air dan pakan (Nugroho, 2005).

Bakteri merupakan penghuni normal saluran pencernaan hewan berdarah panas seperti halnya manusia dan ternak sehingga terdapat pada feses. Adanya bakteri dapat dijadikan sebagai indikator bahwa daging ayam Broiler telah tercemar oleh feses baik manusia maupun hewan. Selain itu, bakteri indikator ini juga menandakan bahwa adanya proses penanganan yang kurang higienis. Adanya bakteri-bakteri indikator sanitasi umumnya adalah bakteri yang lazim terdapat dan hidup pada usus manusia, jadi dengan adanya bakteri pada air atau makanan menunjukkan bahwa dalam satu atau lebih tahap pengolahannya pernah mengalami kontak dengan feses yang berasal dari usus manusia dan oleh karenanya mungkin mengandung bakteri patogen lain yang berbahaya (Widiyanti dan Ristiati, 2004).

Adanya kontaminasi dimungkinkan juga disebabkan karena kontaminasi berasal dari air yang digunakan sudah kotor dan daging ayam Broiler yang telah dicuci tidak disimpan di wadah melainkan diletakkan di atas lantai dan diproses menjadi bagian-bagian karkas

Page 8: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K 2-TRIK: P · Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan berwenang mengubah artikel, namun tidak akan mengub

Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098

71 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

sehingga kemungkinan limbah-limbah karkas seperti darah, bulu, kotoran dan jeroan mengkontaminasi daging ayam Broiler tersebut. Bakteri yang mengkontaminasi pangan terdapat di udara, air, tanah, sisa kotoran manusia maupun hewan atau makanan hewan (Arifah, 2010). KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan penelitian adalah lama penyimpanan berpengaruh terhadap kualitas daging ayam Broiler. Selanjutnya disarankan bagi masyarakat agar: 1) lebih teliti dalam memilih daging ayam Broiler yang akan dikonsumsi, 2) mengkonsumsi daging ayam Broiler yang diolah langsung setelah penyembelihan, 3) jika tak langsung dikonsumsi, sebaiknya disimpan dalam lemari es dengan memperhatikan suhu, dan tidak lebih dari 2 hari. DAFTAR PUSTAKA Arifah, I.N. 2010. Analisis Mikrobiologi Pada

Makanan. Program Studi Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian, Surakarta: Universitas Sebelas Maret.

Asmara, A.S., A.B.Z. Zuki, B. Mohd. Hair, and A.I. Awang-Hazmi. 2006. Gross and histological evaluation of fresh chicken carcass: comparison between slaughtered and cervical dislocated methods. Journal of Animal and Veterinary Advances 5(11): 10391042.

Bahar, B. 2003. Memilih Produk Daging. Jakarta: PT. Gramedia.

Buckle, K.A., R.A. Edwards, G.H. Fleet dan M. Wooton. 2009. Ilmu Pangan (Terjemahan dari Bahasa Inggris oleh H. Purnomo dan Adiono). Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.

Caroline. 2008. Cara Mudah Kenali Bahan Makanan Berbahaya. Surabaya: Fakultas Farmasi Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya (UKWMS).

Br Ginting. 2013. Ayam Broiler. http://kartianiginting.blogspot.com/ diakses: 28 Mei 2013.

Luthana, Y.K. 2009. Identifikasi Sederhana Makanan. www.wordpress.com. diakses: 23 Juni 2009.

Daging Ayam. http://mizwarmichdarul. wordpress.com/tag/michdarul-mizwar/

Mulyana, D.I. 2008. Pengaruh Jenis Pewarna Terhadap Kestabilan Warna Sosis Sapi Selama Penyimpanan. Fakultas Teknologi Pertanian, Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Nugroho, W.S. 2005. Prosiding Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk

Peternakan. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.

Pestariati, Wasito, Eddy Bagus, Handijatno, Didik. 2003. Pengaruh Lama Penyimpanan Daging Ayam Pada Suhu Refrigerator Terhadap Jumlah Total Kuman, Salmonella sp. Kadar Protein dan Derajat Keasaman. Jurnal biosains pascasarjana. Program Pascasarjana, Surabaya: Universitas Airlangga.

Risnajati, Dede. 2010. Pengaruh Lama Penyimpanan dalam Lemari Es terhadap pH, Daya Ikat Air, dan Susut Masak Karkas Broiler yang Dikemas Plastik Polyethylen. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan Mei, 2010, Vol. XIII, No. 6.

Notoatmodjo Soekidjo. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Soeparno. 2005. Teknologi Pengawasan Daging. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian.

Soeparno. 2009. Ilmu dan Teknologi Daging. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods). Yogyakarta: Alfabeta.

Surat Keputusan Dirjen POM Nomor 03726/B/SK/VII/1989 tentang Batas Maksimum Cemaran Mikroba Dalam Makanan Daging Karkas Dan Daging Tanpa Tulang Beku.

Aditama Tjandra Yoga. 2010. Daging Ayam Sumber Makanan Bergizi. Jakarta: Direktur Jenderal PP & PL Kementerian Kesehatan RI.

Soedjana Tjeppy D.. 2010. Daging Ayam Sumber Makanan Bergizi. Jakarta: Direktur Jenderal Peternakan Kementerian Pertanian RI.

Darma Vina Dedya. 2014. Penyimpanan Bahan Makanan Hewani. http://elyunizar.blogspot.com/2014/03/penyimpanan-bahan-makanan-hewani.html. diakses Maret 2014.

Widiyanti N.L.P., dan N.P. Ristiati. 2004. Analisis Kualititatif Bakteri Koliform Pada Depo Air Kota Singaraja Bali. Singaraja, Bali: Jurnal Ekologi Kesehatan.

Page 9: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K 2-TRIK: P · Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan berwenang mengubah artikel, namun tidak akan mengub

Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098

72 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

EFEKTIFITAS METODE KIE-ABAT DAN PEER EDUCATION UNTUK

MENINGKATKAN PENGETAHUAN DAN PERSEPSI REMAJA MENGENAI HIV-AIDS

Lusiana El Sinta Bustami

(Mahasiswa Program Magister Program Studi Kebidanan Universitas Padjadjaran)

Oki Suwarsa (Program Magister Program Studi

Kebidanan Universitas Padjadjaran) Ike Rostikawati Husen

(Program Magister Program Studi Kebidanan Universitas Padjadjaran)

ABSTRAK

Pendahuluan: Pencegahan penularan HIV-AIDS dapat dilakukan melalui pendidikan kesehatan, seperti metode peer education dan metode KIE-Aku Bangga Aku Tahu (ABAT). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan efektifitas metode KIE-ABAT dan peer education untuk meningkatkan pengetahuan dan persepsi remaja mengenai HIV-AIDS di Kota Bukittinggi. Metode: rancangan penelitian ini adalah pretest-posttest control group design, dengan besar sampel 30 orang untuk setiap kelompok, yang dipilih dengan metode acak sederhana. Data dikumpulkan menggunakan kuesioner, lalu dianalisis menggunakan t-test. Peer education dilaksanakan dengan metode diskusi dan curah pendapat dalam kelompok yang sama, sedangkan KIE-ABAT dilakukan dengan metode curah pendapat, diskusi, bermain peran, ceramah pendek atau interaktif dan partisipatif dengan pendampingan fasilitator. Hasil: Secara statistik tidak ada perbedaan pengetahuan antara kelompok metode KIE-ABAT dan peer education dan ada perbedaan persepsi antara kedua kelompok. Kesimpulan: Metode KIE-ABAT lebih efektif untuk meningkatkan persepsi remaja mengenai HIV-AIDS daripada metode peer education. Saran: Instansi pendidikan atau dinas terkait dapat memilih metode pembelajaran metode KIE-ABAT dalam penyampaian informasi pada para siswa yang dapat digunakan dalam merencanakan program atau strategi dalam upaya mengubah perilaku remaja agar terhindar dari HIV-AIDS.

Kata kunci: HIV-AIDS, peer education, KIE-ABAT, pengetahuan, persepsi.

PENDAHULUAN Latar Belakang

Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan sindrom berupa gejala dan infeksi yang muncul disebabkan karena terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang dapat menyerang dan merusak sistem kekebalan tubuh manusia (Kumalasari, 2012).

AIDS telah menjadi masalah global di dunia dengan pengidap HIV 106.758 selama tahun 2012. Indonesia adalah salah satu negara yang paling cepat pertumbuhan HIV-AIDS di Asia dan telah tersebar di seluruh propinsi di Indonesia yang diperkirakan setiap 25 menit terdapat satu orang tertular HIV. Laporan Kementerian Kesehatan dari Januari-Maret 2013, kasus HIV baru adalah 5.369 dan AIDS 460 kasus dengan kelompok umur tertinggi 20-29 tahun, sehingga jumlah akumulasi kasus HIV sebanyak 103.759 dan akumulasi AIDS 43.347 kasus dengan jumlah kematian 8.288 kasus (MDGs, 2008). Penderita HIV-AIDS ini merupakan fenomena ”puncak gunung es”, artinya kondisi yang terselubung bisa jadi berpuluh kali lipat dari yang dilaporkan dan perkiraan, untuk setiap 1 kasus HIV yang ada, tersembunyi HIV yang 100-200 kasus (Pusat Promosi Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, 2012).

Penularan virus HIV dapat terjadi melalui berbagai cara, namun di Indonesia penularan HIV lebih banyak terjadi melalui hubungan seksual dan pengguna narkoba suntik (Pusat Promosi Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, 2012). Usia seks relatif sangat muda khususnya perempuan dimana diperkirakan sepertiga remaja sudah melakukan hubungan seksusal satu kali usia 17 tahun. Kasus infeksi baru pada perempuan meningkat setiap tahun yaitu dari 34 % tahun 2008 menjadi 44% pada tahun 2011. Peningkatan HIV baru pada perempuan ini diperkirakan akan banyak anak-anak nantinya yang akan terkena HIV (Unicef Indonesia, 2012).

Perilaku remaja yang berisiko tertular HIV dapat terjadi karena faktor pengetahuan yang rendah. Remaja yang mempunyai pengetahuan komprehensif mengenai HIV-AIDS dan kesehatan reproduksi hanya 11,4%. Faktor penyebabnya adalah publikasi HIV-AIDS masih sedikit yang menyebabkan kurangnya minat, kepedulian dan rasa ingin tahu terhadap HIV-AIDS. Remaja juga memiliki akses yang terbatas terhadap informasi kesehatan seksual dan reproduksi karena seks masih dianggap hal yang tabu untuk dibicarakan (Ekawati dkk, 2011).

Page 10: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K 2-TRIK: P · Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan berwenang mengubah artikel, namun tidak akan mengub

Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098

73 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Nurachmah menyimpulkan bahwa persepsi, pemahaman, dan sikap siswa di SLTP berhubungan dengan perilaku berisiko tertular HIV. Pengetahuan yang rendah akan mengakibatkan persepsi negatif dan salah mengenai tindakan dan perilaku mengenai HIV-AIDS yang membuat penyakit ini menjadi semakin ditakuti sehingga banyak penderitanya tidak mendapatkan bantuan (Muoghalu, 2013)

Laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010 menyatakan penduduk yang memiliki persepsi yang benar mengenai cara penularan dan pencegahan HIV masih rendah dan sikap diskriminatif terhadap anggota keluarga yang terinfeksi HIV masih tinggi. Penelitian yang dilakukan terhadap berbagai kalangan di beberapa negara menyimpulkan bahwa masih banyak terjadi kesalahan persepsi mengenai cara penularan HIV dikarenakan pengetahuan yang dimiliki masih kurang sehingga perlu peningkatan pengetahuan untuk menghasikan persepsi yang benar (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, 2010). Strategi nasional tahun 2010-2014 mengenai penanggulangan HIV-AIDS adalah melakukan mencegah penularan HIV yang sebaiknya dimulai dari usia remaja agar risiko terkena HIV dapat diminimalkan. Target Millennium Development Goals (MDGs) yaitu remaja usia 15-24 tahun memiliki pengetahuan komprehensif dan benar tentang HIV-AIDS meningkat dengan prevalensi HIV <0,5% pada tahun 2015 dimana salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melalui kegiatan pendidikan kesehatan (BKKBN, 2011; Bappenas, 2013).

Untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman remaja mengenai HIV-AIDS, banyak metode pendidkan kesehatan yang dilakukan, salah satunya yaitu metode peer education (PE) atau pendidikan sebaya. Pendidikan sebaya merupakan suatu proses edukasi dengan pendekatan komunikasi melalui diskusi yang dilakukan oleh kalangan sebaya dari kelompok yang sama yang bertujuan memberi perubahan pada temannya dengan mencoba untuk mengubah pengetahuan, sikap, keyakinan, atau perilaku (UNAIDS, 1999). Penelitian yang telah banyak dilakukan menyimpulkan metode ini efektif untuk meningkatkan pengetahuan remaja mengenai HIV-AIDS dan kespro karena informasi yang diberikan oleh seseorang dari kelompok yang sama akan lebih mudah untuk dipahami. Remaja merasa lebih nyaman, terbuka dan santai membicarakan hal yang bersifat sensitif seperti masalah seksual (Maryatun, 2013).

Selain metode pendidikan sebaya, sejak tahun 2011, Kementerian Kesehatan RI berkomitmen menyebarkan pengetahuan yang benar dan komprehensif mengenai HIV-AIDS pada remaja usia 15-24 tahun diseluruh provinsi melalui sebuah kampanye edukasi dengan tema “Aku Bangga, Aku Tahu (ABAT)”, yang dilaksanakan dengan berbagai metode seperti curah pendapat, diskusi, bermain peran, ceramah pendek atau interaktif dan partisipatif dengan menggunakan media KIE-ABAT yang telah disediakan berupa DVD, poster dan leaflet dan difasilitasi oleh seorang fasilitator (Pusat Promosi Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, 2012).

Metode yang digunakan membuat siswa banyak berperan aktif, sehingga pemahaman dan informasi yang diterima akan lebih banyak. Pendidikan kesehatan menggunakan media audio visual, film dan poster juga dapat meningkatkan pengetahuan, persepsi dan sikap dalam upaya pencegahan HIV. Pengalaman dan pengetahuan yang baik dari seorang fasilitator yang memberikan informasi akan meningkatkan kredibilitas, daya tarik, dan kekuatan dihadapan siswa sebagai penerima informasi (Azwar, 1995). Pendidikan kesehatan diharapkan membuat remaja mengerti tentang keadaan lingkungan sekitarnya dan hal-hal yang ada dalam diri individu yang berkaitan dengan HIV-AIDS. Pengetahuan yang diterima remaja, dapat membuat remaja menginterpretasikan informasi yang diterimanya sehingga cara pandangan atau persepsi dapat berubah dan dapat menciptakan lingkungan yang kondusif dan dapat menghilangkan diskriminasi terhadap penderita HIV-AIDS (Sunaryo, 2004).

Di Sumatera Barat (Sumbar) pada tahun 2011, jumlah HIV yang dilaporkan adalah 132 kasus dan AIDS 18 kasus, sehingga akumulasi kasus HIV sampai Juni 2012 adalah sebanyak 633 kasus dan AIDS 461 kasus. Kota Bukittinggi daerah yang kasus penderita HIV-AIDS tertinggi di Sumbar setelah Kota Padang. Kasus HIV-AIDS di Kota Bukittinggi sampai tahun 2012 tercatat sebanyak 59 orang (Kementerian Kesehatan RI, 2012). Kasus HIV-AIDS meningkat dapat dipengaruhi karena Bukittinggi sebagai kota wisata merupakan tujuan bagi para wisatawan baik dari dalam maupun luar negeri. Kota Bukittinggi juga sebagai salah satu kota tujuan perdagangan, mencari nafkah dan kota pendidikan di mana banyaknya berdiri perguruan tinggi membuat mobilisasi keluar masuk semakin pesat yang dapat menjadi akses penyebaran HIV (BPS Kota Bukittinggi, 2010). Upaya yang telah

Page 11: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K 2-TRIK: P · Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan berwenang mengubah artikel, namun tidak akan mengub

Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098

74 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

dilakukan Dinas Kesehatan Kota Bukittinggi dalam rangka memberikan pelayanan kepada remaja dalam bidang kespro adalah memberikan pendidikan kesehatan ke sekolah-sekolah dan kelompok remaja berupa penyuluhan atau diskusi kelompok dan melakukan pembinaan pada remaja melalui konselor sebaya. Pelaksanaan program KIE-ABAT saat ini masih dalam tahap sosialisasi di beberapa sekolah dan organisasi kepemudaan. Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti melakukan penelitian mengenai perbedaan metode KIE-ABAT dan metode peer education terhadap pengetahuan dan persepsi remaja mengenai HIV-AIDS di Kota Bukittinggi.

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini adalah quasi experiment design dengan rancangan pretest-posttest control group design. Penelitian dilakukan tanggal 22 dan 29 Maret 2014 dengan populasi terjangkau semua siswi kelas X SMUN 2 Bukittinggi yang mengikuti kegiatan ekstrakurikuler, dengan besar populasi 110 orang yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Besar sampel adalah 30 orang untuk setiap kelompok, yang dipilih dengan teknik simple random sampling. Instrumen yang digunakan untuk pengumpulan data adalah kuesioner. Untuk mengukur pengetahuan digunakan 20 pertanyaan multiple choice dan untuk mengukur persepsi digunakan 20 pernyataan berskala Likert.

Untuk mengetahui perbedaan pengetahuan dan persepsi antara sebelum dan sesudah penerapan metode KIE-ABAT dan peer education digunakan uji-t berpasangan, sedangkan untuk mengetahui perbedaan pengetahuan dan persepsi antara kelompok yang mendapatkan metode KIE-ABAT dan peer education digunakan uji-t tidak berpasangan. HASIL PENELITIAN

Tabel 1. Perbandingan Pengetahuan dan Persepsi Sebelum dan Sesudah Perlakuan

pada Kelompok Metode KIE-ABAT dan Metode Peer Education

Rerata dan

Simpangan Baku p-value Pretest Posttest

Pengetahuan KIE-ABAT 12,2 (3,45) 15,5 (1,74) 0,000

Peer Education 13,07 (3,5) 15,2 (3,27) 0,000 Persepsi

KIE-ABAT 71,57 (6,95) 74,9 (5,93) 0,007 Peer Education 73,27 (7,3) 73,63 (6,84) 0,670

Berdasarkan Tabel 1 pada variabel pengetahuan, hasil pengujian kedua kelompok menunjukkan nilai p=0,000, maka disimpulkan bahwa ada peningkatan bermakna pada kelompok yang mendapat metode KIE-ABAT maupun peer education. Pada persepsi, untuk metode KIE-ABAT didapatkan p<0,05 (ada peningkatan bermakna) dan untuk metode peer education didapatkan p>0,05 (tidak ada peningkatan tidak bermakna).

Tabel 2. Perbandingan Pengetahuan dan Persepsi Antara Kelompok Metode KIE-

ABAT dan Peer Education

Variabel Metode

Nilai-p KIE-ABAT Peer

Education Pengetahuan

Pretest 12,2 (3,45) 13,07 (3,5) 0,338 Postest 15,5 (1,74) 15,2 (3,27) 0,660 Persepsi Pretest 71,57 (6,95) 73,27 (7,3) 0,360 Postest 74,9 (5,93) 73,63 (6,84) 0,446

Dari Tabel 2 diketahui bahwa setelah

dilakukan uji-t didapatkan nilai p>0,05 di mana tidak ada perbedaan yang bermakna antara kedua metode tersebut untuk variabel pengetahuan responden. Pada variabel persepsi, dapat diketahui bahwa setelah dilakukan uji-t didapatkan dengan nilai p>0,05 di mana tidak ada perbedaan yang bermakna antara kedua metode tersebut untuk meningkatkan persepsi responden.

Tabel 3. Perbandingan Rerata Peningkatan Variabel Pengetahuan dan Persepsi Antara

Kelompok Metode KIE-ABAT dan Peer Education

Variabel Persentase Peningkatan

Nilai-p KIE-ABAT Peer

Education Pengetahuan 42,61 20,81 0,135*

Persepsi 5,21 0,77 0,038 * Uji Mann Whitney

Berdasarkan tabel di atas hasil analisis perbandingan rata-rata persentase peningkatan pengetahuan untuk kelompok KIE-ABAT yaitu sebesar 42,61%, lebih tinggi dari kelompok pendidikan sebaya yang hanya sebesar 20,81%. Setelah dilakukan uji Mann Whitney, didapatkan nilai p>0,05 yang secara statistik tidak terdapat perbedaan bermakna antara kedua metode terhadap peningkatan pengetahuan. Rata-rata persentase peningkatan persepsi untuk kelompok KIE-ABAT yaitu 5,21%, lebih tinggi dari kelompok pendidikan sebaya yang hanya 0,77% dan setelah dilakukan uji-t

Page 12: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K 2-TRIK: P · Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan berwenang mengubah artikel, namun tidak akan mengub

Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098

75 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

didapatkan nilai p<0,05 yang secara statistik terdapat perbedaan yang bermakna anatara kedua metode ini terhadap peningkatan persepsi.

PEMBAHASAN Perbedaan Metode KIE-ABAT dan Peer Education untuk Meningkatkan Pengetahuan Remaja Mengenai HIV-AIDS

Hasil analisis perbandingan peningkatan pengetahuan untuk kelompok KIE-ABAT dan Peer Education, didapatkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna antara kedua kelompok.

Dalam proses belajar, ada beberapa faktor yang mempengaruhinya yaitu seperti sasaran belajar, metode belajar, fasilitator, alat bantu dan materi yang disampaikan. Peran proses belajar mengajar dalam pendidikan kesehatan dalam mencapai tujuan pembelajaran adalah sangat penting (McKenzie, 2005). Metode yang membuat siswa berperan serta aktif dalam proses belajar membantu siswa berpikir kritis dan mengembangkan motovasi untuk belajar lebih lanjut dan meningkatkan retensi hasil belajar. Model ini menuntut guru atau fasilitator untuk kreatif menggunakan berbagai metode, alat, media pembelajaran dan sumber belajar (Mulyatiningsih, 2010).

Metode KIE-ABAT menggunakan berbagai metode pembelajaran, media yang difasilitasi oleh seorang fasilitator. Menurut Edgar Dale, setiap metode belajar yang digunakan dalam menyampaikan informasi akan menghasilkan pemahaman dan daya serap yang berbeda-beda. Metode diskusi yang digunakan dalam pembelajaran dapat menghasilkan daya serap hingga 50% (Fadel, 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Sri Handayani, dkk mengenai efektivitas metode diskusi kelompok dengan dan tanpa fasilitator pada peningkatan pengetahuan, sikap, dan motivasi remaja tentang perilaku seks pranikah menyimpulkan bahwa metode diskusi kelompok dengan fasilitator lebih efektif dibandingkan metode diskusi kelompok tanpa fasilitator. Untuk menjadi fasilitator, diperlukan keilmuan khusus, selain itu, untuk dapat menjadi seorang fasilitator harus dapat menerima seksualitas dari dirinya dan merasa nyaman membicarakan masalah seksualitas, fasilitator harus dapat mendalami dan menghayati hal-hal yang dibahasnya dan perlu memiliki kepekaan dan bersikap hati-hati dalam menyampaikan (Handayani, 2009).

Metode role play atau bermain peran yang digunakan dalam proses pembelajaran

dapat meningkatkan pemahaman hingga 75%. Metode bermain peran sebagai salah satu metode pembelajaran yang dipilih dalam proses belajar mengajar akan mampu menjadi daya tarik bagi siswa, sebab biasanya siswa akan lebih berminat memperhatikan pelajaran jika pelajaran tersebut menyangkut kehidupan sehari-hari di lingkungan masyarakat. Metode bermain peran ini diteliti oleh Tien kartini dimana hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa penggunaan metode bermain peran ini efektif digunakan dalam pembelajaran. Siswa tampak lebih berminat dan antusias untuk melaksanakan belajar dan tingkat partisipasi siswa lebih baik serta kemampuan mengemukakan pendapat dan saran juga menjadi lebih baik (Kartini, 2007).

Penggunaan media dalam metode KIE-ABAT yaitu menggunakan alat bantu yaitu DVD, dan alat visual seperti poster dan leaflet. Menurut Kerucut Edgar Dale, alat bantu seperti film dapat meningkatkan hasil belajar karena pesan yang disampaikan akan lebih jelas dan membantu proses belajar (Dale, 1946). Dengan menggunakan indera terutama mata, akan dapat lebih banyak menyampaikan pengetahuan ke otak dimana 75-87% pengetahuan manusia diperoleh melalui mata, sedangkan sisanya tersalurkan melalui indra yang lain (Notoadmodjo, 2003). Menurut Yusup pada umumnya orang lebih tahan lama mengingat hal-hal yang bersifat visual dengan verbal, daripada hanya menggunakan salah satu saja. Dwyer mengungkapkan bahwa manusia belajar 1% melalui indera perasa 1,5% melalui indera peraba 7,5% melalui indera penciuman, 11% melalui indera pendengaran, dan 83% melalui indera penglihatan. Nasution menyatakan media sebagai alat bantu diperlukan agar informasi yang disampaikannya itu tidak segera hilang dari ingatan oleh penerima informasi setelah penyuluhan selesai dilakukan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Trixie Salawati mengenai evaluasi penyampaian KIE dimana penggunaan media bantu dalam proses penyampaian KIE dalam pencegahan HIV-AIDS yang dilakukan pada siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dan Sekolah Menengah Lanjutan Atas di Kota Semarang menyatakan bahwa penggunaan media bantu, terutama media bantu bergambar seperti flipchart dalam mendukung pelaksanann KIE agar ceramah lebih efektif diterima dan lebih tahan lama diserap oleh penerima informasi (Salawati, 2005).

Metode peer education atau pendidikan sebaya merupakan suatu proses pendidikan kesehatan yang dilakukan oleh kalangan

Page 13: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K 2-TRIK: P · Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan berwenang mengubah artikel, namun tidak akan mengub

Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098

76 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

sebaya yaitu dari kelompok yang sama yang bertujuan untuk memberi perubahan pada teman yang lain dengan mencoba untuk mengubah pengetahuan, sikap, keyakinan, atau perilaku dengan metode diskusi, curah pendapat dan tanya jawab (UNAIDS, 1999). Hasil penelitian USAID menyatakan bahwa intervensi pendidikan sebaya memiliki efek terhadap peningkatan pengetahuan para remaja mengenai HIV di negara-negara berkembang. Metode pendidikan sebaya ini merupakan metode pendekatan yang cocok untuk kelompok sasaran dimana kelompok tersebut tidak mendapatkan pelayanan pendekatan yang seperti yang diberikan oleh pendidik sebaya seperti mengenai materi HIV dan kesehatan reproduksi (USAID, 2010)

Buthaina dkk melakukan penelitian mengenai evaluasi pelaksanaan peer education di sekolah menengah atas di Yemen (MENA) yang menyimpulkan bahwa pelaksanaan pendidikan sebaya berbasis sekolah yang diimplementasikan di 27 sekolah tinggi berhasil peningkatkan pengetahuan mengenai pencegahan HIV, mengurangi tingkat kesalahpahaman dan diskriminasi terhadap penderita HIV. Pelaksanan pendidikan sebaya ini cocok dilaksanakan untuk membahas hal hal yang sifatnya sensitif seperti seksualitas di kalamgan remaja. Hasil penelitian oleh Aramburu di Panana mendapatkan adanya hasil positif dan bermakna yang memperlihatkan keberhasilan metode pendidikan sebaya dalam mendidik siswa Sekolah Menengah Atas tentang menurunkan risiko tertular HIV-AIDS. (Aramburu, 2012). Metode pendidikan sebaya juga dapat digunakan untuk mencegah atau mengurangi perilaku berisiko lainnya. Metode pendidikan sebaya membuat suasana diskusi menjadi lebih terbuka. Hal-hal yang dianggap tabu untuk didiskusikan khususnya mengenai seksualitas dan HIV-AIDS ketika informasi diberikan oleh guru menjadi tidak tabu lagi ketika informasi diberikan oleh teman sebayanya. Pelaksanan pendidikan sebaya ini cocok dilaksanakan untuk membahas hal yang sifatnya sensitif seperti seksualitas di kalangan remaja yang akan menarik minat siswa untuk mendengarkan, bertanya, dan menambah pengetahuannya tentang HIV-AIDS. Hal ini terjadi karena pendidik sebaya lebih mampu mempengaruhi teman sebayanya karena secara pribadi seorang pendidik sebaya juga mempunyai hubungan yang lebih baik dengan teman sebayanya. Hubungan pribadi yang baik adalah sebuah faktor utama untuk memengaruhi temannya dalam upaya pencegahan terhadap HIV-

AIDS. Sehingga pada pemilihan pendidik sebaya, diupayakan mereka yang mempunyai pengaruh dan menjadi panutan pada teman sebayanya (Maulana, 2009).

Hasil penilaian pengetahuan pada kelompok KIE-ABAT dan kelompok pendidikan sebaya tidak memiliki perbedaan yang bermakna. Hal ini dapat terjadi karena remaja merasa tertarik dengan materi yang diberikan (Nyestiningrum, 2010). Setiap proses belajar sesungguhnya akan membuat terjadinya perubahan dari sebelum dan sesudah belajar yang dapat terjadi secara cepat atau lambat. Dari pembahasan di atas, maka dapat diketahui bahwa antara metode KIE-ABAT dan metode pendidikan sebaya masing-masing memiliki kelebihan dalam pelaksanaan pendidikan kesehatan yang dapat meningkatkan pengetahuan remaja mengenai HIV-AIDS. Perbedaan Metode KIE-ABAT dan Peer Education untuk Meningkatkan Persepsi Remaja Mengenai HIV-AIDS

Hasil analisis perbandingan peningkatan persepsi untuk kelompok KIE-ABAT dan Peer Education, didapatkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara kedua metode.

Dalam Theory of Reasoned Action (TRA) dan Theory of Planned Behavior (TPB), menjelaskan hubungan antara sikap, niat, dan perilaku. Orang yang memegang keyakinan kuat yang positif, maka akan memiliki sikap positif terhadap perilaku, begitu pula sebaliknya. Teori ini yang menegaskan bahwa faktor penentu yang paling penting dari perilaku adalah niat dan keyakinan seseorang. Persepsi dalam pengendalian perilaku yang dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar kontrol individu. Persepsi seseorang mempengaruhi perilaku dimana persepsi dan niat dapat mempengaruhi dan memiliki efek langsung pada perilaku. Persepsi seseorang terhadap kemudahan atau kesulitan dalam berperilaku yang akan mempengaruhi niatnya dalam berperilaku (Azwar, 1995). Teori Health Belief Model (HBM) memperkirakan alasan mengapa orang mengambil tindakan untuk mencegah atau mengontrol kondisi suatu penyakit, termasuk kerentanan dan hambatannya untuk berperilaku. Jika individu percaya dirinya rentan terhadap suatu penyakit, maka ia akan mengambil tindakan untuk mengurangi risiko terhadap dirinya. Dengan menerima informasi berupa pendidikan kesehatan, maka pengetahuan yang dimiliki akan bertambah. Dengan bertambahnya pengetahuan seseorang, maka persepsi seseorang dalam menerima

Page 14: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K 2-TRIK: P · Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan berwenang mengubah artikel, namun tidak akan mengub

Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098

77 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

suatu penyakit akan mengalami perubahan (Glanz, 2008).

Penelitian yang dilakukan oleh Adi Kasmawan mengenai persepsi terhadap HIV-AIDS pada karyawan hotel di Bali menyatakan bahwa tingkat pengetahuan seseorang terhadap HIV-AIDS tentunya akan berpengaruh terhadap persepsi yang dimiliki oleh responden, dimana persepsi yang keliru menyebabkan perilaku yang keliru pula sehingga untuk membentuk persepsi yang positif membutuhkan informasi yang akurat. Sehingga ia menyarankan perlunya pemberian informasi yang komprehensif melalui kegiatan penyuluhan dengan suasana yang berbeda (Kasmawan dkk, 2012). Informasi yang diterima oleh manusia akan diolah dan diproses menjadi pengetahuan. Memori penginderaan adalah komponen paling pertama yang menerima informasi, dimana memori ini menahan signal-signal untuk memberikan persepsi. Proses yang terjadi ketika memori pengindera menerima suatu informasi yaitu perhatian, persepsi dan pemberian makna. Informasi yang diperhatikan akan dipersepsikan dengan menggunakan pengetahuan awal yang akan menentukan bagaimana suatu stimulus dipersepsikan. Apabila perhatian untuk mengindera stimulus tersebut ditingkatkan, maka alat pengindera akan mengumpulkan lebih banyak informasi, salah satunya yaitu dengan cara pengetahuan yang telah disimpan perlu dilatih berulang-ulang agar dapat dimunculkan di memori jangka panjang (Slavin, 2011).

Pelaksanaan proses pembelajaran yang berulang-ulang pada KIE-ABAT sampai menggunakan metode bermain peran memberi yang memberikan efek pengalaman langsung pada siswa dimana pada metode bermain peran ini dapat memperkaya pengetahuan, sikap dan keterampilan, serta pengalaman langsung yang sangat diperlukan dalam berbagai situasi sosial. Penelitian Sadali mengenai pengaruh model pembelajaran bermain peran terhadap aktifitas guru dan hasil pembelajaran pelajaran IPS yang dilakukan pada siswa di Sekolah Dasar menyatakan bahwa dari tindakan pembelajaran dengan model bermain peran ternyata dapat dirancang untuk mengembangkan empati siswa terhadap orang lain dan mengorganisasikan isu-isu sosial. Model pembelajaran bermain peran ini memiliki efek yang bermakna dengan tujuan-tujuan pembelajaran yang berdomain afektif. (Sadali, 2000).

Penelitian mengenai efek dari metode bermain peran ini juga dilakuan oleh Galuh

Gilang Pamekar dimana hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa metode bermain peran lebih efektif dalam mencapai tujuan perubahan perilaku. Hal ini disebabkan oleh metode partisipatif yang melibatkan peserta untuk berperan langsung dalam kegiatan tersebut. Pengalaman nyata yang dialami oleh peserta terbukti mampu memiliki pengaruh yang lebih besar atau cukup kuat untuk tercapainya tujuan sebuah program kampanye. Stimulus terjadinya perubahan perilaku dipengaruhi oleh dirinya sendiri, yaitu tindakan yang mendapatkan apresiasi yang baik di dalam masyarakat dan dapat diterima oleh norma yang berlangsung. Diharapkan proses persuasi yang terjadi dalam kegiatan bermain peran ketika akhirnya bersentuhan dengan masyarakat luas, maka masyarakat bisa mengadopsi suatu kebiasaan atau informasi yang disampaikan (Pamekar, 2010).

Dalam metode KIE-ABAT pelaksanaanya difasilitasi oleh seorang fasilitator yang sudah dilatih sebelumnya yang berasal dari kalangan dinas terkait yang kemudian dapat diteruskan kepada kelompok yang ada di tempat sasaran seperti guru atau pembina di sekolah. Dengan dilaksanakannya KIE-ABAT ini oleh seorang fasilitator yang telah mempunyai kompetensi dan latar belakang yang mendukung, maka diharapkan akan mampu membuat proses pembelajaran yang dilakukan berjalan secara optimal sehingga informasi yang diberikan akan dapat membuat persepsi remaja menjadi positif.

Untuk menciptakan suatu persepsi, perhatian merupakan hal pertama yang harus diperhatikan. Perhatian merupakan pemusatan atau konsentrasi dari seluruh aktifitas individu yang ditujukan kepada suatu objek. Jika siswa dalam menerima pembelajaran atau informasi memiliki perhatian yang cukup tinggi, maka informasi yang diterima akan dapat diserap dengan baik dan persepsi yang diterima akan positif. (Walgito, 2010). Slameto menyatakan bahwa persepsi seseorang itu tidak sama, sehingga seorang guru hendaknya dapat meramalkan bagaimana persepsi siswa yang dihadapinya sehingga dapat memilih pembelajaran yang akan diberikan berikutnya. Persepsi juga bersifat selektif dimana seorang guru dalam memberikan pembelajaran harus dapat memilih bagian pelajaran yang perlu diberi tekanan agar mendapat perhatian dari siswa. Persepsi juga dipengaruhi oleh harapan dan kesiapan guru dalam memberi pelajaran dapat menyiapkan siswanya untuk menuju pembelajaran yang berurutan sesuai dengan kebutuhan siswa (Slameto, 2010). Seorang fasilitator dalam memberikan pendidikan kesehatan diharapkan dapat membangun

Page 15: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K 2-TRIK: P · Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan berwenang mengubah artikel, namun tidak akan mengub

Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098

78 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

perhatian siswa sebagai penerima informasi sehingga pelaksanaan proses pembelajaran berjalan optimal dan informasi yang diberikan dapat diserap dengan baik.

Pengalaman dan pengetahuan yang baik dari seorang yang memberikan informasi juga sangat berhubungan dengan kredibilitas, daya tarik, dan kekuatan dihadapan siswa sebagai penerima informasi. Menurut Hovland dan Weiss kredibilitas terdiri dari dua unsur, yaitu keahlian dan dapat dipercaya. Diharapkan informasi yang diberikan oleh seseorang yang ahli dibidangnya dan dapat dipercaya oleh penerima informasi akan dapat meningkatkan penerimaan informasi dalam proses belajar. Ia juga mengasumsikan bahwa komunikasi persuasif yang akan mempengaruhi perubahan sikap dan perilaku tergantung pada sejauh mana komunikasi tersebut diperhatikan, dipahami dan diterima yang akan menghasikan retensi dan pengendapan informasi yang diberikan. (Azwar, 1995).

Berdasarkan hasil eksperimen Hovland dan Weiss yang menyelidiki pengaruh penyebaran berita yang isinya sama oleh sumber pemberitaan yang berbeda, maka walaupun isi informasi sama apabila sumbernya dianggap lebih dapat dipercaya maka pemberitaan itu lebih dapat diterima daripada apabila dikomunikasikan oleh sumber yang dianggap tidak dapat dipercayai remaja. Untuk mencapai hal tersebut, tentunya harus diperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi proses tersebut, salah satunya yaitu faktor sumber informasi. Menurut Baron dan Byrne, para ahli yang kompeten akan lebih persuasif dibandingkan yang tidak kompeten. Suatu pesan akan lebih efektif apabila kita mengetahui bahwa pesan disampaikan oleh orang yang ahli di bidangnya (Azwar, 1995).

Hal ini juga sesuai dengan Theory of Reasoned Action (TRA) yang menyatakan bahwa norma subyektif seseorang ditentukan pula oleh keyakinan normatifnya yang merujuk pada seseorang yang dipercayainya. Jika seseorang yang dipercayainya bersifat positif, maka ia akan melakukan perilaku positif pula, begitu pula sebaliknya. Jika seseorang yang dipercayainya bersifat negatif, maka ia juga akan cenderung berperilaku negatif. Jadi seorang fasilitator atau guru yang memberikan materi dalam proses pendidikan kesehatan hendaknya seseorang yang dipercaya sehingga informasi yang diterima lebih dipercayai (Glanz, 2008).

Penggunaan media atau alat bantu seperti DVD, poster dan leaflet dalam penyampaian materi pendidikan

kesehatannya terhadap para remaja pada pelaksanaan metode KIE-ABAT juga dapat menciptakan persepsi yang sama. Sesuai dengan yang dikemukakan oleh Sudjana dan Rivai mengenai manfaat media pembelajaran salah satunya adalah untuk menyamakan persepsi siswa. Dengan melihat objek yang sama dan konsisten maka siswa akan memiliki persepsi yang sama. Media pembelajaran sebagai alat penyalur pesan dan informasi belajar yang dirancang secara baik akan sangat membantu peserta didik mencapai tujuan pembelajaran. Oleh karena itu, maka perlu adanya perencanaan yang sistematis untuk penggunaan media pembelajaran. Penggunaan media pembelajaran dapat memperlancar proses pembelajaran dan mengoptimalkan hasil belajar (Nurseto, 2011).

Metode Peer education atau pendidikan sebaya merupakan suatu proses pendidikan kesehatan yang dilakukan oleh kalangan sebaya yaitu dari kelompok yang sama yang salah satu tujuannya adalah untuk memberi perubahan pada teman yang lain dengan mencoba untuk mengubah sikap, keyakinan, atau perilaku dengan metode diskusi, curah pendapat dan tanya jawab. Pendidikan remaja sebaya adalah bentuk dari rasa senasib sepenanggungan yang dapat dilakukan dalam bentuk komunikasi dua arah dengan teman sebaya (UNAIDS, 1999).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mason Jones di Afrika Selatan terhadap sekolah yang diintervensi untuk melaksanakan pendidikan sebaya mengenai kesehatan reproduksi menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaaan yang signifikan antara sekolah yang tidak dilaksanakan metode pendidikan teman sebaya dengan yang tidak dilaksanakan. Hasil menunjukkan bahwa program pendididkan sebaya tidak efektif dalam mengurangi usia perilaku seksual atau penggunaan kondom. Pemerintah yang mendukung meluasnya penggunaan pendidikan sebaya sebagai pendekatan perlu menelaah hambatan yang terjadi dalam proses pelaksanaan kegiatan pendidikan sebaya dan memastikan pemantauan dan evaluasi efektif (Mason. 2011).

Selain itu, Imron yang melakukan penelitian terhadap kinerja pendidik sebaya di Sekolah Menengah Atas di Yogyakarta melalui kegiatan kelompok remaja juga menyimpulkan bahwa kinerja pendidik sebaya mengalami penurunan karena komunikasi berjalan satu arah, rendahnya intensitas komunikasi, lemahnya dukungan dan penghargaan yang diberikan oleh sekolah, serta rendahnya motivasi guru

Page 16: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K 2-TRIK: P · Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan berwenang mengubah artikel, namun tidak akan mengub

Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098

79 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

pendamping terhadap pelaksanaan program pendidikan sebaya ini menjadi beberapa faktor tujuan program pendidikan kesehatan menjadi tidak berjalan efektif. Dangan tidak efektifnya kegiatan pendidikan kesehatan yang dilakukan oleh pendidik, maka tentunya informasi mengenai kesehatan keproduksi yang disampaikan pun tidak akan berjalan dengan optimal, sehingga nantinya akan mempengaruhi pengetahuan yang diterima para peserta pendidikan sebaya sehingga akan mempengaruhi stimulus dan pembentukan persepsi remaja (Imron, 2011).

Penelitian kualitatif yang dilakukan oleh Amanda J. Mason-Jones dkk menilai keefektifan pendidik sebaya di sekolah-sekolah di Afrika Selatan. Hasil penelitian menyatakan bahwa pemilihan pendidik sebaya merupakan hal yang paling penting dalam mencapai suksesnya pelaksanaan pendidikan sebaya. Karakteristik para pendidik sebaya yang dipilih jarang digali lebih dalam, padahal ini mempunyai relavansi yang kuat terhadap keberhasilan program pendidik sebaya. Hal yang dapat mempengaruhi efektifitas pendidik sebaya dalam pelaksanaan pendidikan sebaya tersebut adalah sosiodemografi, karakteristik individu, keterampilan dasar, pengalaman di sekolah dan perilaku seksual para pendidik sebaya (Mason, 2011).

Kurang berjalan efektif dan tidak maksimalnya program pendidikan sebaya ini salah satunya dapat dipengaruhi oleh faktor dari para pendidik sebayanya. Kinerja pendidik sebaya dan cara pemilihan para pendidik sebaya merupakan faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan program pendidikan sebaya ini.

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang ada, dapat disimpulkan: 1) peningkatan pengetahuan remaja mengenai HIV-AIDS pada kelompok metode KIE-ABAT sebanding dengan kelompok metode peer education, 2) peningkatan persepsi remaja mengenai HIV-AIDS pada kelompok metode KIE-ABAT lebih baik jika dibandingkan dengan kelompok metode peer education.

Berdasarkan kesimpulan penelitian disarankan instansi pendidikan atau dinas terkait dapat memilih metode pembelajaran metode KIE-ABAT dalam penyampaian informasi pada para siswa yang dapat digunakan dalam merencanakan program atau strategi dalam upaya mengubah perilaku remaja agar terhindar dari HIV-AIDS.

DAFTAR PUSTAKA

Aku Bangga Aku Tahu. 2012. Jakarta: Pusat Promosi Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.

Aramburú D, Rowley E, Smoot, Chamorro, Bayard. 2012. Educational impact of peer-intervention on the knowledge and attitudes about HIV/AIDS in adolescents in Panama. Int J Adolesc Med Health, 24.

Azwar S. 1995. Sikap Manusia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Bukittinggi BPSk. 2010. Hasil Sensus Penduduk Kota Bukittinggi : Bukittinggi.

Dale E. 1946. Audio-Visual Methods in Teaching. New York: Dryden Press.

Direkur Kesehatan dan Gizi Masyarakat KSdKB. 2013. Kebijakan Perencanaan Pembangunan Kesehatan Tahun 2014 :Jakara Bappenas.

Ekawati, Wulandari, Lubis. 2011. Promosi Kesehatan di Sekolah Pada Remaja Dalam Upaya Pencegahan Penyakit HIV/AIDS di Kota Denpasar. Udayana Mengabdi.;11:55-8

Fadel C. 2008. Multimodal Learning Through Media What the Research Says: Cisco Systems.

Glanz K, Rimer Bk, Viswanath K. 2008. Health Behavior and Health Education.Theory, Research, and Practice. United States of America: Jossey Bass

Handayani S, Emilia O, Wahyuni B. 2009. Efektivitas Metode Diskusi Kelompok Dengan Dan Tanpa Fasilitator Pada Peningkatan Pengetahuan, Sikap, dan Motivasi Remaja tentang Perilaku Seks Pranikah. Berita Kedokteran Masyarakat: 25:133-41.

Imron A. 2011.Peer Education Dan Pendidikan Kesehatan Reproduksi Remaja. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Kumalasari I. 2012. Kesehatan Reproduksi Jakarta: Salemba Medika

Kartini T. 2007. Penggunaan Metode Role Playing untuk Meningkatkan Minat Siswa dalam Pembelajaran Pengetahuan Sosial dii Kelas V SDN Cileunyi I Kecamatan Cileunyi Kabupaten Bandung. Jurnal pendidikan Dasar;8.

Ksamawan A, Muliawan P. 2013. Persepsi Karyawan Hotel Tentang HIV/AIDS Dii Kota Denpasar Tahun 2012. Community Health.;1:1-9.

Lingkungan DJPPdP. Laporan Perkembangan HIV-AIDS Triwulan II tahun 2012. 2012. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

Maryatun. 2013. Peran Teman Sebaya Terhadap Perilaku Seksual Pra Nikah

Page 17: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K 2-TRIK: P · Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan berwenang mengubah artikel, namun tidak akan mengub

Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098

80 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

pada Remaja di SMA Muhammadiyah 3 Surakarta. Gaster.;10.

Mason-Jones, Mathews, Flisher. 2011. Can peer education make a difference? Evaluation of a South African adolescent peer education program to promote sexual and reproductive health. US National Library of Medicine National Institutes of Health;15

Maulana HDJ. 2009. Promosii Kesehatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

McKenzie JF, Neiger BL, Smelzer JL. 2005.Planning, Implementation, and Evaluating Health Promotion Program. USA: Daryl Fox.

Mulyatiningsih. 2010. Pembelajaran Aktif, Kreatif, Inovatif, Efektif, dan Menyenangkan (PAIKEM). Diklat Peningkatan Kompetensi Pengawas Dalam Rangka Penjaminan Mutu Pendidikan; Depok: Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan

Muoghalu CO, Jegede SA. 2013. Perception of HIV/AIDS among the Igbo of Anambra State, Nigeria. Journal of Social Aspects of HIV/AIDS.;10.

Ngestiningrum AH. 2010. Perbandingan Antara Pengaruh Layanan Informasi dan Konseling Kelompok Terhadap Sikap Tentang KRR. Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes;1.

Notoadmodjo S. 2003.Ilmu Kesehatan Masyarakat. Prinsip - Prinsip Dasar. Jakarta: PT. Rineka Cipta

Nurseto T. 2011. Membuat Media Pembelajaran yang Menarik. Jurnal Ekonomi & Pendidikan.;8.

Stalker P. 2008. Millennium Development Goals. Jakarta: Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional.

Sunaryo. 2004. Psikologi untuk Keperawatan. Jakarta: EGC

Pamekar GG. 2010. Efektivitas Metode Role Playing dan Role Model dalam Program Kampanye Sosial. Jurnal Ilmu Komunikasi;7.

Peer Education Rigorous Evidence – Usable Results. 2010: USAID.

Peer education and HIV/AIDS. Geneva. 1999. UNAIDS.

Ringkasan Kajian, Respon Terhadap HIV dan AIDS. Jakarta. 2012.Unicef Indonesia;

Riset Kesehatan Dasar tahun 2010. 2010. Jakarta. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI

Sadali. 2000. Pengaruh Penerapan Model Pembelajaran Role Play Terhadap Aktifitas Guru dan Hasil Pembelajaran Dalam Mata Pelajaran Pendidikan IPS di

Sekolah Dasar (Penelitian Tindakan Kelas di SD Negeri Lemah Abang 2 Tanjung, Kabupaten Brebes): Lembaga Penelitian.

Slameto. 2010. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta.

Slavin RE. 2011.Psikologi Pendidikan Teori dan Praktik. 9, editor. Jakarta: PT Indeks

Wahyuni D, Rahmadewi. 2011. Kajian Profil Penduduk Remaja. Jakarta: BKKBN. Contract No: 6.

Walgito B. 2010. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: CV. Andi Offset.

Widyantoro N, Dwiputri A, Lestari H. 2002. Manual Pelatihan Pendidik Sebaya Kesehatan Reproduksi. Jakarta: BKKBN, Yayasan AIDS Indonesia, The World Bank.

Page 18: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K 2-TRIK: P · Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan berwenang mengubah artikel, namun tidak akan mengub

Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098

81 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

PENGARUH PENYULUHAN TERHADAP

PENINGKATAN SIKAP DAN PARTISIPASI DALAM PELAYANAN

KB BERBASIS KOMUNITAS DI POSYANDU

Ellyzabeth Sukmawati

(Stikes Paguwarmas Maos Cilacap, Program Studi D III Kebidanan)

ABSTRAK

Pendahuluan: Upaya pemaksimalan pemanfaatan pelayanan KB berbasis komunitas di posyandu adalah dengan memberi penyuluhan untuk pembentukan sikap yang positif, sehingga dapat memengaruhi dan mengubah perilaku masyarakat guna meningkatkan partisipasi dalam program pelayanan KB. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalis pengaruh penyuluhan terhadap peningkatan sikap dan partisipasi dalam pelayanan KB berbasis komunitas di Posyandu. Metode: Jenis penelitian ini adalah eksperimen semu dengan rancangan pre dan post test dengan kelompok kontrol. Besar sampel adalah 68 wanita usia subur, yang diambil dengan teknik purposive sampling, sehingga diperoleh kelompok intervensi dan kelompok kontrol masing-masing 34 orang. Pengetahuan dan sikap diukur menggunakan kuesioner serta observasi partisipatif. Analisis karakteristik responden diuji menggunakan Chi-square test, sedangkan perbedaan pengetahuan dan sikap pada kelompok intervensi dan kontrol diuji dengan uji Wilcoxon dan Mann Whitney. Hasil: Pada kelompok intervensi didapatkan peningkatan sikap, terjadi peningkatan skor dari pre ke post sebesar 46,28% pada kelompok intervensi, dan sebesar 4,49%, pada kelompok kontrol, nilai-p <0,001. Rerata partisipasi responden meningkat dari sebelum dan setelah penyuluhan, yaitu jumlah partisipasi baik terbanyak pada kelompok intervensi (76,2%). Sedangkan uji beda selisih skor sikap dan partisipasi antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol menunjukkan perbedaan selisih sikap (p<0,001) dan perbedaan partisipasi dengan nilai (p<0,001). Kesimpulan: Penyuluhan terbukti efektif dalam meningkatkan sikap dan partisipasi terhadap pelayanan KB berbasis komunitas di Posyandu. Kata Kunci: KB, posyandu, penyuluhan, partisipasi, sikap.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hasil Sensus Penduduk menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia mengalami peningkatan dari 205,1 juta jiwa menjadi 237,6 juta jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 2,15% hingga 2,49% per tahun. Pengendalian penduduk melalui pengendalian kelahiran memberikan andil guna mewujudkan penduduk yang berkualitas, sebagai modal dasar pembangunan yang berkelanjutan untuk mewujudkan keluarga sejahtera. Jika tidak diupayakan pengendalian penduduk, akan berimplikasi pada pemerintah dalam menurunkan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, terutama penyediaan pelayanan dasar pendidikan dan kesehatan (Bappenas, 2010).

KB merupakan salah satu pelayanan kesehatan preventif guna mengatur pertumbuhan penduduk. Peningkatan dan perluasan program KB merupakan salah satu upaya untuk menurunkan angka kelahiran, kesakitan dan kematian ibu (WHO, 2007). Pembangunan kependudukan yang didukung oleh program KB telah berhasil menurunkan angka kelahiran total (Total Fertility Rate/ TFR) dari 2,5 (Adjusted TFR SDKI 2007-2012) menjadi 2,4 anak per perempuan usia reproduksi (BKKBN, 2009). Hasil Sensus Penduduk 2010 menunjukan TFR lebih tinggi yaitu sebesar 2,6 per perempuan usia reproduksi. Hal ini mengindikasikan TFR cenderung stagnan atau tidak turun. Diperkirakan penduduk Indonesia akan mencapai 255 juta pada tahun 2015 apabila peserta KB tidak bertambah (BKKBN, 2009).

Secara umum, provinsi Jawa Tengah memiliki potensi untuk mengalami pertumbuhan penduduk yang tinggi. Di sejumlah kabupaten di Jawa Tengah, prosentase Pasangan Usia Subur (PUS) menunjukan angka yang cukup tinggi yaitu sebanyak 6,4 juta jiwa (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011). Besarnya PUS menjadi peluang terjadinya ledakan penduduk (BKKBN, 2013). Pemerintah khususnya di Jawa Tengah melakukan perubahan mendasar dalam pengelolaan dan pelaksanaan program KB guna meningkatkan partisipasi penggunaan alat kontrasepsi KB. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah yaitu dengan menggalakkan program pelayanan KB berbasis komunitas yang terjun langsung ke masyarakat yaitu yang dilaksanakan di posyandu (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011).

Page 19: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K 2-TRIK: P · Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan berwenang mengubah artikel, namun tidak akan mengub

Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098

82 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Pelayanan KB berbasis komunitas merupakan salah satu program KB yang berpusat pada masyarakat, melalui kinerja petugas kesehatan dan dibantu oleh masyarakat untuk memberikan informasi dan layanan pada masyarakat. Program ini sangat penting karena bertujuan untuk: (1) membangun jaringan di masyarakat; (2) menyediakan layanan berbasis masyarakat dengan fokus utama pada peningkatan akses layanan yaitu mempermudah peserta KB untuk mendapatkan layanan keluarga berencana di daerah tempat tinggal mereka; (3) pelayanan kesehatan reproduksi (Pathfinder International, 2008).

Salah satu upaya yang dilakukan untuk memaksimalkan pemanfaatan pelayanan KB berbasis komunitas di posyandu adalah dengan memberikan penyuluhan sehingga terjadi pembentukan sikap yang positif dan mengubah perilaku masyarakat guna meningkatkan partisipasi dalam pemanfaatan program pelayanan KB (Setiana Lucie, 2005).

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh penyuluhan terhadap peningkatan sikap, dan partisipasi dalam pelayanan KB berbasis komunitas di posyandu.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen semu dengan desain pre and post test with control group dilakukan pada 68 responden, yaitu wanita usia subur yang diberikan penyuluhan dan tidak diberikan penyuluhan. Penentuan kelompok intervensi dilakukan dengan cara diberi treatment atau perlakuan tertentu, sedangkan kelompok kontrol tidak diberi perlakuan. Teknik pengambilan sampel dilakukan secara teknik purposive sampling. Prosedur penelitian diawali dengan pengambilan data sikap dalam pelayanan KB berbasis komunitas (pre test) dengan menggunakan kuesioner pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Untuk melihat partisipasi pada kedua kelompok, peneliti menggunakan lembar observasi. Selanjutnya, untuk kelompok intervensi diberi penyuluhan sedangkan kelompok kontrol tidak diberikan penyuluhan. Untuk mengetahui perubahan sikap dilakukan pengukuran kembali pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol dengan menggunakan kuesioner (post test), sedangkan untuk partisipasi dilakukan observasi kembali pada bulan berikutnya (Sudigdo, 2010). Data dianalisis dengan menggunakan uji Chi square dan uji Wilxocon dan Mann-Whitney.

HASIL PENELITIAN

Tabel 1. Karakteristik Subjek Penelitian

Karakteristik Intervensi Kontrol p n (%) n (%)

Umur • <25 tahun • 25-34 tahun • ≥35 tahun

3

19 12

8,8 55,9 35,3

3 229

8,8 64,7 26,5

0,72

Pendidikan • SD • SMP • SMA/SMK • Akademi/Sarjana

11 11 12 0

32,4 32,4 35,2

0

8 11150

23,5 32,4 44,1

0

0,67

Status Pekerjaan • Bekerja • Tidak bekerja

9

25

26,5 73,5

1123

32,4 67,6

0,60

Jumlah Anak • ≤2 • >2

11 23

32,4 67,6

1420

41,2 58,8

0,45

Tingkat Penghasilan • >1 juta • ≤1 juta

24 10

70,6 29,4

259

73,5 26,5

0,79

Tabel 1 menunjukkan bahwa pada kelompok intervensi maupun kontrol, jumlah responden terbanyak pada usia 25-35 tahun dan pendidikan responden terbanyak adalah SMA/SMK. Status pekerjaan responden sebagian besar adalah tidak bekerja. Jumlah anak pada kelompok intervensi maupun kelompok kontrol yaitu didominasi oleh jumlah anak >2.

Seluruh karakteristik responden yang terdiri dari umur, pendidikan, status pekerjaan, jumlah anak dan tingkat penghasilan tidak berbeda (setara dengan nilai p>0,05) antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Hal ini memperlihatkan bahwa karakteristik responden relatif setara sehingga dapat dibandingkan.

Tabel 2. Sikap dalam Pelayanan KB Berbasis Komunitas di Posyandu Sebelum dan Sesudah Penyuluhan pada Kelompok

Intervensi dan Kelompok Kontrol

Sikap (skala 100)

Penyuluhan p Skor Peningkatan

(%) Pre Post

Intervensi Rerata (SD)

61,84 (16,20)

85,99 (5,04)

<0,001

46,28 (8,29)

Median 53,12 85,00 53,91 Rentang

46,25-91,25

77,5-96,25

0-87,18

Kontrol Rerata (SD)

63,71 (14,52)

66,03 (12,76)

<0,001 4,49 (5,72)

Median 56,25 61,87 2,26 Rentang

45,00-91,25

47,50-86,25

-3,17-15,91

Page 20: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K 2-TRIK: P · Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan berwenang mengubah artikel, namun tidak akan mengub

Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098

83 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Tabel 2 menunjukkan bahwa nilai-p sikap responden dalam pelayanan KB berbasis komunitas di Posyandu sebelum dan setelah diberi penyuluhan pada kelompok intervensi maupun kelompok kontrol sebesar <0,001, yang berarti terdapat perbedaan skor sikap yang signifikan terhadap responden yang diberikan penyuluhan dengan yang tidak diberikan penyuluhan. Kemudian, perbedaan skor sikap ini dihitung lebih lanjut untuk mengetahui persen peningkatannya. Pada kelompok intervensi terjadi rerata peningkatan skor sebesar 46,28, dan pada kelompok kontrol terjadi rerata peningkatan skor sebesar 4,49.

Tabel 3. Peningkatam Sikap dalam Pelayanan KB Berbasis Komunitas di

Posyandu Sebelum dan Sesudah Penyuluhan pada Kelompok Intervensi dan

Kelompok Kontrol

Kelompok

Kategori Peningkatan

Total RR* (95% CI) Positif/

≥median Negatif/ <median

Kontrol 6 (17,6%)

28 (82,4%)

34 (100%) 4,67

(2,22-9,81) Intervensi 28

(82,4%) 6

(17,6%) 34

(100%)

Hasil peningkatan skor pada Tabel 3 menunjukkan RR (CI.95%):4,67 (2,22-9,81), yang berarti bahwa kelompok yang tidak mendapat intervensi mempunyai risiko untuk terjadinya peningkatan sikap negatif sebesar 4,67 kali bila dibandingkan dengan kelompok yang mendapat intervensi.

Tabel 4. Perbedaan Partisipasi yang Dilihat

Melalui Penggunaan Alat Kontrasepsi (Hasil Uji Chi Square)

Kelompok Responden

Kategori Partisipasi

Total Nilai-p RR Kurang

Baik Baik

Kontrol 25 9 34

<0,001

3,57 (1,79

-7,12)

Intervensi 7 27 34

Total 32 36 68

Tabel 4 menunjukkan bahwa jumlah

partisipasi baik terbanyak pada kelompok intervensi, yaitu 27 orang (76,2%). Nilai-p <0,001, yang berarti ada pengaruh penyuluhan terhadap peningkatan partisipasi dalam pelayanan KB berbasis komunitas. Peningkatan partisipasi dalam hal ini yaitu adanya perubahan/peningkatan penggunaan alat kontrasepsi dari kondom ke pil, dari pil ke suntik, ataupun dari kondom ke suntik. Nilai RR (CI.95%) : 3,57 (1,79-7,12), yang

berarti bahwa kelompok kontrol mempunyai risiko 3,57 kali lebih besar untuk terjadinya partisipasi kurang baik bila dibandingkan dengan kelompok yang mendapat intervensi. PEMBAHASAN Sikap dalam Pelayanan KB Berbasis Komunitas

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyuluhan yang dilakukan efektif digunakan sebagai metode pendidikan kesehatan untuk materi pelayanan KB berbasis komunitas, sehingga dapat menjadikan masyarakat bersikap positif terhadap pelayanan KB di Posyandu.

Program KB secara nasional maupun internasional diakui sebagai salah satu program yang mampu menurunkan angka fertilitas. Keberhasilan program KB dapat dilihat dari adanya peningkatan peserta KB aktif (Melvida, 2010).

Sikap merupakan reaksi atau respon dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu, sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi adalah merupakan predisposisi tindakan suatu Perilaku. Penggunaan alat kontrasepsi merupakan bentuk perilaku seseorang yang didasari penilaian positif pada kegiatan tersebut, baik dengan tujuan tertentu maupun sekedar mengikuti lingkungannya. Hal tersebut menekankan pentingnya sebuah niat dan pemikiran yang positif terhadap perilaku seseorang Dari hal tersebut akan menghasilkan sikap yang selanjutnya akan menumbuhkan minat seseorang untuk melakukan perilaku tertentu (Henny, 2009).

Dalam penentuan sikap ini, pengetahuan pikiran, keyakinan, dan emosional memegang peranan penting. Sehingga diharapkan jika memiliki sikap positif terhadap kontrasepsi maka keinginannya untuk ikut menjadi akseptor KB menjadi meningkat. Seperti halnya dalam penelitian lain yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan nyata antara sikap terhadap KB dengan pemakaian kontrasepsi (Melvida, 2010).

Hasil penelitian Sukaisih menemukan bahwa ada hubungan antara pengetahuan tentang kontrasepsi dengan penggunaan alat kontrasepsi pada pasangan usia subur (Sukaisih, 2005). Pendidikan kesehatan dalam jangka waktu pendek belum dapat menghasilkan perubahan dan peningkatan pengetahuan individu, kelompok maupun masyarakat. Sikap merupakan kesiapan atau

Page 21: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K 2-TRIK: P · Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan berwenang mengubah artikel, namun tidak akan mengub

Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098

84 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap mempengaruhi praktek lewat suatu proses pengambilan keputusan yang teliti dan beralasan dan dampaknya terbatas yang berarti bahwa seseorang akan melakukan suatu perbuatan apabila ia memandang perbuatan itu positif dan bila ia percaya bahwa orang lain ingin agar ia melakukannya (Azwar, 2010).

Pengetahuan yang meningkat akan berpengaruh pada perubahan sikap. Perubahan sikap dipengaruhi sejauh mana isi komunikasi atau rangsangan diperhatikan, dipahami, dan diterima sehingga memberi respon positif. Sikap respon yang positif akan memengaruhi perubahan pada perilaku responden menjadi ke arah positif. Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih bertahan daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Soekidjo, 2003). Partisipasi dalam Pelayanan KB Berbasis Komunitas

Dari pengalaman dan hasil penelitian, terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari pengetahuan. Penelitian mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru, terjadi proses awareness, interest, evaluation, trial dan adoption terlebih dahulu. Pengetahuan yang cukup akan memengaruhi wanita untuk memiliki sikap yang positif (Soerdjono, 2012).

Sikap dikatakan sebagai suatu respon evaluative. Respon hanya akan timbul apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya reaksi individual. Respon evaluative berarti bahwa bentuk reaksi dinyatakan sebagai sikap itu timbulnya didasari oleh proses evaluasi dalam diri individu yang memberi kesimpulan terhadap stimulus dalam bentuk nilai baik-buruk, negatif-positif, menyenangkan-tidak menyenangkan yang kemudian mengkristal sebagai potensi reaksi terhadap objek sikap (Azwar, 2010).

Data terbaru dari Survey Nasional Pertumbuhan Keluarga menunjukkan bahwa perempuan yang menerima penyuluhan dalam satu tahun terakhir, 80% menurunkan risiko penghentian penggunaan metode kontrasepsi. Komunikasi petugas pelayanan dengan klien tentang kontrasepsi diidentifikasi sebagai faktor risiko penting

dalam mempromosikan penggunaan kontrasepsi yang efektif (Jessica et al, 2011).

Wanita usia muda biasanya lebih suka menggunakan kontrasepsi oral (pil) atau meminta pasangan laki-lakinya menggunakan kondom, sedangkan wanita yang lebih tua lebih cenderung menggunakan alat kontrasepsi spiral (IUD) atau metode pencegahan kelahiran permanen seperti ligasi tuba atau suaminya vasektomi (Liewellyn, 2006).

Kegiatan posyandu dikatakan meningkat jika partisipasi atau peran serta masyarakat semakin tinggi yang terwujud dalam cakupan program kesehatan seperti imunisasi, pemantauan tumbuh kembang balita, pemberian Vitamin A, penunggulangan diare, pemeriksaan ibu hamil, dan KB yang meningkat. Melihat hasil analisis yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa terdapat pengaruh penyuluhan terhadap peningkatan partisipasi masyarakat di posyandu. Hal ini dikarenakan bahwa sikap seseorang terhadap stimulus atau objek akan menimbulkan sikap positif dan sikap negatif. Semakin baik sikap seseorang maka semakin aktif pula sikap positif yang akan terbentuk (Kristiani, 2006).

Ketersediaan pelayanan alat kontrasepsi terwujud dalam bentuk tersedia atau tidaknya fasilitas atau sarana kesehatan (tempat pelayanan kontrasepsi). Untuk dapat digunakan, pertama kali suatu metode kontrasepsi harus tersedia dan mudah diperoleh. Promosi metode kontrasepsi melalui media, melalui kontak langsung oleh petugas program KB, oleh dokter dan sebagainya dapat meningkatkan secara nyata partisipasi pemilihan dan penggunaan metode kontrasepsi (abdul, 2009). Semakin baik pengetahuan individu maka semakin tepatlah pemilihannya dengan alat kontrasepsi yang akan digunakan, yang berdampak positif terhadap partisipasi penggunaan alat kontrasepsi (Selli, 2012). KESIMPULAN DAN SARAN

Penelitian ini menunjukkan bahwa penyuluhan yang dilakukan di masyarakat berpengaruh terhadap peningkatan sikap yang baik sehingga dapat meningkatkan partisipasi yang baik dalam pelayanan KB berbasis komunitas di posyandu. Atas dasar temuan ini, ada beberapa saran untuk penelitian yang akan datang, yaitu validasi temuan ini diperlukan karena ini adalah studi pertama tentang partisipasi masyarakat di Kecamatan Kesugihan Kabupaten Cilacap dan ukuran sampel yang lebih besar diperlukan, terutama untuk meneliti karakteristik subyek.

Page 22: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K 2-TRIK: P · Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan berwenang mengubah artikel, namun tidak akan mengub

Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098

85 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

DAFTAR PUSTAKA Gopar Abdul. 2009. Penggunaan Akseptor

Kb Pus Di Pulau Jawa, Bali dan Papua. [cited 2014 05 20]; Available from: http://abdulgopar.files.wordpress.com /2009/12/keluarga-berencana-kb.pdf.

Azwar S. 2010. Sikap Manusia dan Teori Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka.

Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 2013. Statistik Rutin. Semarang: BKKBN Propinsi Jawa Tengah

Badan Pusat Statistik, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, Kementerian Kesehatan. 2012. Laporan Pendahuluan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012. Jakarta: MEASURE DHS ICF International.

BKKBN. 2009. Problematika KB. <http://www.BKKBN.go.id.artikel//23455/566.php.>

Departemen Kesehatan RI. 2004. Pengembangan Media Promosi Kesehatan. Jakarta: Pusat Promosi Kesehatan.

Direktorat Kependudukan dan Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak Kedeputian Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan. 2010. Evaluasi Pelayanan KB bagi Masyarakat. Jakarta: BAPPENAS

Henny. 2012. Hubungan Pengetahuan dan Sikap Ibu PUS Akseptor Terhadap Kontrasepsi Non Hormonal dan Hormonal di Desa Telagasari Kecamatan Tayan Medan

Indria Astuti, Rivqoh. 2010. Hubungan Pengetahuan Ibu tentang Posyandu dengan Keteraturan Ibu Mengunjungi Posyandu di Desa Cibeber RW 14 Puskesmas Cibeber Cimahi. Cimahi: Jurnal Kesehatan Kartika.

Jessica.K.Lee.etc. 2011. The Impact of Contraceptive Counseling in Primary care on contraceptive. Society of General Internal Medicine. <http://ncbi.nlm.nih. gov/pubmed>

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Data/Informasi Kesehatan Propinsi Jawa Tengah. 2011. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional. 2010. Buku I Prioritas Nasional. Jakarta: BAPPENAS.

Kristiani. 2006. Pemanfaatan Pelayanan Posyandu Di Kota Denpasar. [cited 2014 05 28]; Available from: http://lrckmpk. ugm.ac.id.

Llewellyn, Derek. 2006. Dasar-Dasar Obstetri dan Ginekologi. Jakarta: Hipokrates.

Melvida G. 2010. Analisis Faktor Yang Berhubungan Dengan Penggunaan Alat Kontrasepsi Pada PUS di Desa Sukadana Kecamatan Tigapanah Kabupaten Karo.

Pathfinder International. Community-Based Family Planning Program. 2008. Family Planning Program: Centre for Health Market Innovations. <http://ncbi.nlm.nih. gov/pubmed>

Selli Dosriani Sitopu. 2012. Hubungan Pengetahuan Akseptor Keluarga Berencana Dengan Penggunaan Alat Kontrasepsi di Puskesmas Halvatia Medan. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Darma Agung Medan.

Setiana Lucie. 2005. Teknik Penyuluhan dan Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: LP3I

Soekidjo Notoatmodjo. 2003. Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku Kesehatan. Yogyakarta: Andi Offset.

_____. 2006. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta

_____. 2010. Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Sudigdo Sastroasmoro. 2010. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta: Binarupa Aksara.

Sukaisih, Tina Herawati. 2005. Hubungan Karakteristik, Pengetahuan, Sikap Dan Dukungan Suami Terhadap Pemakaian KB IUD di Kecamatan Banyumanik Kota Semarang. Available from: http://tina herawatisukaisih.files.wordpress.com/2007/keluarga-berencana.

Soerdjono S. 2012. Sosiologi Sebagai Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta.

Wawan A Dewi. 2010. Teori dan Pendekatan Pengetahuan, Sikap, dan Partisipasi Manusia.Jakarta: Salemba Medika.

World Health Organization. 2007. Organization. Family Planning: UNFPA Expert Commite

Yanti. 2012. Pengaruh Budaya Akseptor KB Terhadap Penggunaan Kontrasepsi IUD di Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang. Darma Agung.

Page 23: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K 2-TRIK: P · Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan berwenang mengubah artikel, namun tidak akan mengub

Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098

86 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KURANGNYA

PEMINAT KONTRASEPSI IMPLANT PADA IBU PASANGAN USIA SUBUR

Tri Marini Supriarti Ningsih (Jurusan Kebidanan,

Politeknik Kesehatan Kemenkes Medan)

ABSTRAK Pendahuluan: Kecerdasan anak tidak hanya ditentukan faktor genetik dan faktor lingkungan tetapi juga faktor gizi atau nutrisi. Angka gizi buruk di Indonesia menduduki peringkat 142 dari 170 negara, dan hasil Riskesdas menunjukkan prevalensi obesitas pada anak laki-laki 13,9% dan perempuan 23,8%. Kekurangan gizi dan kelebihan gizi dapat menyebabkan kehilangan IQ sebesar 13% sehingga berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan malnutrisi dengan prestasi belajar anak di SD Swasta Islam Azizi Kec. Medan Tembung tahun 2013. Metode: Penelitian ini bersifat analitik dengan desain cross sectional, menggunakan data primer dari hasil pengukuran BB dan TB, dan data sekunder dari dokumen nilai yang dicapai responden pada akhir semester. Analisis data dilakukan secara univariat dan bivariat menggunakan Chi Square. Besar populasi penelitian adalah 64 orang dan semua diteliti (total sampling). Hasil: Uji Chi Square menunjukkan hasil X2 hitung untuk jenis kelamin laki-laki adalah 0,059 dan perempuan adalah 0,853. Nilai tersebut <X2 tabel, maka disimpulkan bahwa Ho diterima. Kesimpulan: Tidak ada hubungan malnutrisi dengan prestasi belajar anak pada anak laki-laki dan perempuan. Saran: Diharapkan dilaksanakan penelitian lanjutan dengan melihat variabel lain yang memperngaruhi prestasi belajar. Kata kunci: Malnutrisi, prestasi belajar

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Jumlah penduduk yang besar berdampak terhadap pembangunan negara tersebut antara lain dalam hal kesejahteraan penduduknya. Jumlah penduduk Indonesia saat ini menduduki peringkat nomor empat negara yang berpenduduk terbanyak diseluruh dunia. Dan angka ini terus bertambah setiap tahunnya. Jumlah penduduk yang padat tanpa di sertai kenaikan taraf kemakmuran dapat menimbulkan masalah antara lain dalam hal kesejahteraan penduduknya terutama masalah sosial yaitu persaingan ketenagakerjaan tinggi, turunnya kwalitas hidup, kemakmuran rendah, krisis pangan dan energi, harga hunian sehat mahal, angka kriminalitas tinggi, dan menghambat pembangunan nasional (BKKBN, 2013).

Tujuan dicanangkannya Program KB (Keluarga Berencana) oleh pemerintah sejak dahulu adalah untuk menekan laju pertumbuhan penduduk, menurunkan angka kematian ibu, meningkatkan mutu gender serta mempromosikan pendayagunaan kaum muda (Hartanto, 2010).

Salah satu upaya pemerintah dalam mengendalikan laju pertumbuhan penduduk adalah melalui pelaksanaan program KB bagi pasangan usia subur (PUS). Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 78 menyatakan bahwa pelayanan kesehatan dalam KB dimaksudkan untuk pengaturan kehamilan bagi PUS, membentuk generasi penerus yang sehat dan cerdas dan pemerintah bertanggung jawab dan menjamin ketersediaan tenaga, fasilitas pelayanan, alat dan obat dalam memberikan Pelayanan KB yang aman, bermutu dan terjangkau oleh masyarakat (Depkes RI, 2013).

Menurut WHO (World Health Organization) dalam buku Sulistyawati, 2011, KB adalah tindakan yang membantu individu/pasutri untuk mendapatkan objektif-objektif tertentu, menghindari kelahiran yang tidak diinginkan, mendapatkan kelahiran yang diinginkan, mengatur interval di antara kehamilan, dan menentukan jumlah anak dalam keluarga. Cara-cara ini disebut cara ber-KB, atau cara menjarangkan jarak antara anak atau kontrasepsi.

Berdasarkan hasil pencacahan Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk Indonesia adalah 237.556.363 orang, yang terdiri dari 119.507.580 laki-laki dan 188.048.783 perempuan. Dari data Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) periode tahun 2000-2010 yaitu 1,49% meningkat dibandingkan dengan

Page 24: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K 2-TRIK: P · Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan berwenang mengubah artikel, namun tidak akan mengub

Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098

87 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

LPP periode tahun 1990-2000 yaitu 1,45% (BKKBN, 2011).

Menurut data yang diperoleh dari Badan Kependudukan dan Keluarga berencana Nasional (BKKBN) Provinsi Sumatera Utara, jumlah penduduk tahun 2010 sebanyak 12,9 juta dengan laju pertumbuhan penduduk 1,11%. Laju pertumbuhan penduduk di Sumatera Utara berkembang pesat pertahun bertambah mencapai 1.372.000 jiwa, perbulan bertambah 11.433 jiwa, perhari bertambah 381 jiwa dan perjam bertambah 15 sampai 16 jiwa (Wardhana, 2011).

Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012, 62% ibu PUS menggunakan alat kontrasepsi modern dan tradisional, dengan IUD (Intra uterine device) sebanyak 4%, suntik 32%, susuk 3%, pil 14% (Batampos, 2013).

Hasil mini survei BKKBN (2011) menunjukan pemakaian alat kontrasepsi di masyarakat adalah metode KB hormonal yaitu suntik dan pil merupakan metode yang paling dominan digunakan. Pemakaian IUD, implant, MOW (Metode Operasi Wanita), MOP (Metode Operasi Pria) mengalami sedikit peningkatan yaitu dari 11,6% pada tahun 2010 menjadi 12,7% pada tahun 2011 dengan proporsi pemakaian IUD 5,28%, MOW 2,19%, MOP 0,27% dan implant 4,93% (BKKBN, 2011).

Dari data Riskesdas 2010 jenis alat KB yang digunakan secara nasional, didominasi dengan cara suntik (31,1%), selanjutanya pil (12,3%), IUD (5,0%), sterilisasi wanita (2,1%), implant (1,4%), kondom (1,1%), sterilisasi pria (0,1%) dll. (Arliana, W O D, 2013).

Menurut Witjaksono, Deputi BKKBN, implant adalah salah satu metode kontrasepsi efektif jangka panjang yang memiliki efektif yang sama dengan IUD, proses pemasangannya pun lebih mudah. Kontrasepsi berbentuk batang yang berukuran kurang dari 3 cm ini hanya dimasukkan ke dalam lapisan kulit di bagian lengan, implant efektif mencegah kehamilan selama 3 tahun. Tingkat kegagalan lebih sedikit dibanding IUD, sementara alat KB pil dan suntik sifatnya jangka pendek dan kerap gagal, jika dipasang dengan benar, metode kontrasepsi ini memiliki efektivitas sampai 99% dengan tingkat kegagalan hanya 0,05 dari 100 pemakaian (Batampos, 2013).

Menurut BKKBN dan UNFPA (United Nations Fund for Population Activities), (2005) dalam pelaksanaan pelayanan KB ada beberapa faktor yang menyebabkan PUS enggan menjadi peserta akseptor KB antara lain dari segi pelayanan, ketersediaan alat kontrasepsi, penyampaian konseling maupun KIE (pendidikan), hambatan budaya

(paritas, pengetahuan), wanita yang sudah tidak ingin anak lagi tetapi tidak menggunakan alat kontrasepsi, hard core atau wanita yang tidak mau menggunakan alat kontrasepsi baik saat ini maupun pada waktu yang akan datang (Pinem, 2009).

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini adalah analitik dengan rancangan cross sectional yang bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan kurangnya minat kontrasepsi implant pada ibu pasangan usia subur di BPM Rina Medan Amplas. Waktu penelitian dimulai dari bulan Desember 2013 sampai dengan bulan Juli 2014. Populasi penelitian ini seluruh ibu PUS akseptor KB yang melakukan pelayanan KB dari Januari 2014 sampai bulan April 2014 sebesar 366 orang. Cara menentukan sampel penelitian ini menggunakan accidental sampling sebesar 79 orang.

Jenis data yang digunakan adalah data primer yang dikumpulkan melalui pengisian kuesioner, lalu dianalisis secara univariat untuk mendapatkan distribusi frekuensi atau besarnya proporsi dari variabel independen dan variabel dependen, sehingga dapat diketahui variasi masing-masing variabel, dan secara bivariat untuk membuktikan hubungan variabel independen dan variabel dependen, dengan uji statistik chi square (α=0,05).

HASIL PENELITIAN

Hasil analisis data secara univariat adalah sebagai berikut:

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Minat, Umur, Paritas, Pendidikan, Pengetahuan dan

Sumber Informasi

Variabel Kategori f %

Minat Berminat

Tidak Berminat 16 63

20,3 79,7

Umur <20 tahun

20-35 tahun >35 tahun

20 31 28

25,3 39,2 35,4

Paritas 1 anak

2-5 anak >5 anak

17 57 5

21,5 72,2 6,3

Pendidikan SD-SMP

SMA Ak-PT

36 30 13

45,6 38,0 16,5

Pengetahuan Kurang Sedang

Baik

24 33 22

30,4 41,8 27,8

Sumber Informasi

Media massa Nakes

Lingkungan

14 51 14

17,7 64,6 17,7

Page 25: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K 2-TRIK: P · Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan berwenang mengubah artikel, namun tidak akan mengub

Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098

88 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Analisis data bivariat digunakan untuk melihat kemaknaan hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen yang dilakukan dengan uji Chi square.

Tabel 2. Hubungan Umur dengan Minat terhadap Kontrasepsi Implant pada Ibu PUS

Umur

Minat Tidak Minat Jumlah

f % f % F % <20 tahun 5 25 15 75 20 25,32

20-35 tahun 9 29 22 71 31 39,24 >35 tahun 2 7,1 26 92,9 28 35,44

Jumlah 16 20,25 63 79,75 79 100 X2 hitung = 4,740 X2 tabel = 5,991

Tabel 3. Hubungan Paritas dengan Minat Terhadap Kontrasepsi Implant pada Ibu PUS

Paritas

Minat Tidak Minat Jumlah

f % f % F % 1 anak 7 41,18 10 58,82 17 21,52

2-5 anak 7 12,28 50 87,72 57 72,15 >5 anak 2 40 3 60 5 6,33 Jumlah 16 20,25 63 79,75 79 100

X2 hitung = 8,07 X2 tabel = 5,991

Tabel 4. Hubungan Pendidikan dengan Minat Terhadap Kontrasepsi Implant pada

Ibu PUS

Pendidikan

Minat Tidak Minat Jumlah

f % f % f % Dasar

Menengah Tinggi

7 19,44 29 80,56 36 7 4 13,33 26 86,67 30 4 5 38,46 8 61,54 13 5

Jumlah 16 20,25 63 79,75 79 16 X2 hitung = 3,583 X2 tabel = 5,991

Tabel 5. Hubungan Pengetahuan dengan Minat Terhadap Kontrasepsi Implant pada

Ibu PUS

Pengetahuan

Minat Tidak Minat Jumlah

f % f % f % Kurang Sedang

Baik

3 12,5 21 87,5 24 3 7 21,21 26 78,79 33 7 6 27,27 16 72,73 22 6

Jumlah 16 20,25 63 79,75 79 16 X2 hitung = 1,570 X2 tabel = 5,991

Tabel 6. Hubungan Pengetahuan dengan Minat Terhadap Kontrasepsi Implant pada

Ibu PUS

Sumber Informasi

Minat Tidak Minat Jumlah

f % f % f % Media Massa

Tenaga Kesehatan Lingkungan

5 35,71 9 64,29 14 17,72 5 9,8 46 90,2 51 64,56 6 42,86 8 57,14 14 17,72

Jumlah 16 20,25 63 79,75 79 100 X2 hitung = 9,93 X2 tabel = 5,991

PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) tidak ada hubungan antara umur ibu dengan minat ibu PUS menggunakann kontrasepsi implant, 2) ada hubungan antara paritas ibu dengan rendahnya minat ibu PUS menggunakan kontrasepsi implant, 3) tidak ada hubungan antara pendidikan ibu dengan rendahnya minat ibu PUS menggunakan kontrasepsi implant, 4) tidak ada hubungan antara pengetahuan ibu dengan rendahnya minat ibu PUS menggunakan kontrasepsi implant, 5) ada hubungan antara sumber informasi ibu dengan rendahnya minat ibu PUS menggunakan kontrasepsi implant.

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa minat menggunakan kontrasepsi implant berhubungan dengan paritas dan sumber informasi, dan tidak berhubungan dengan umur, pendidikan, dan pengetahuan. Selanjutnya disarankan agar ibu PUS akseptor KB aktif lebih aktif dalam mencari informasi tentang alat kontrasepsi terutama alat kontrasepsi implant sebagai alat kontrasepsi yang aman dan efektif dalam pemakaian jangka panjang yang baik bagi semua wanita yang didapat dari tenaga kesehatan, keluarga maupun media informasi lainnya sehingga dapat menambah pengetahuan pasangan tentang KB implant di masa mendatang. DAFTAR PUSTAKA Hanafi, H. 2010. Keluarga Berencana dan

Kontrasepsi. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.

Hidayat, A A. 2011. Metode Penelitian Kebidanan & Teknik Analisis Data. Salemba Medika . Jakarta.

Iskandar, H. 2010. Tumbuhkan Minat Kembangkan Bakat . ST book . – .

Manuaba, I B G. 2012. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan, dan KB. EGC. Jakarta.

Marbun, RN. 2013. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Minat Ibu PUS Terhadap KB IUD Di Dusun II Desa Sei Mencirim Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli SerdangTahun 2013. Poltekkes Medan

Niken, M. dkk. 2010. Pelayanan Keluarga Berencana. Fitramaya. Yogyakarta.

Notoatmodjo, S. 2011. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Rineka Cipta. Jakarta.

Pinem, S. 2009. Kesehatan Reproduksi Dan Kontrasepsi. Trans Info Media. Jakarta.

Page 26: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K 2-TRIK: P · Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan berwenang mengubah artikel, namun tidak akan mengub

Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098

89 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Slameto. 2010. Belajar & Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi. Rineka Cipta. Jakarta.

Sulistyawati, A. 2011. Pelayanan Keluarga Berencana. Salemba Medika. Jakarta.

Wawan, A. 2011. Teori & Pengukuran Pengetahuan,Sikap, dan Perilaku Manusia. Nuha Medika. Yogyakarta.

Widyastuti, Y. dkk. 2009. Kesehatan Reproduksi . Yogyakarta.

Andayani, D. 2013.Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Minat Ibu Dalam Menggunakan Alat Kontrasepsi Implant Di Wilayah Kerja Puskesmas Ingin Jaya Kab.Aceh Besar. (http://simtakp. stmikubudiyah.ac.id/docjurnal/DIAN_ANDAYANI-jurnal_dian.pdf/ 22 januari 2014)

Arlina, W . 2013. Faktor Yang Berhubungan Dengan Penggunaan Metode Kontrasepsi Hormonal Pada Akseptor KB Di Kelurahan Pasarwajo Kecamatan Pasarwajo Kabupaten Buton Sulawesi Tenggara. (http://repository.unhas.ac.id/ 23 januari 2014)

Asih, L. Oesman, H. 2009. Faktor Yang Mempengaruhi Pemakaian Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP). (http://www.BKKBN.go.id/ 12 juni 2014).

Batampos. 2013. Penggunaan Spiral dan implan Efektif Tekan Kelahiran . (http://batampos.co.id/2013/09/24/penggunaan-spiral-iud-dan-implan-atau-susuk-efektif-tekan-kelahiran/ 22 januari 2014)

BKKBN. 2013 . Lembaga Pemerintahan dan Masalah Kependudukan. (http://www.anneahira.com/BKKBN.html/ 17 januari 2014)

BKKBN. 2011. Analisis Lanjut 2011. (http://www.BKKBN.go.id/ 22 Januari 2014)

BKKBN. 2013 . Cara Cara Kontrasepsi Yang Digunakan Dewasa Ini. (http://www.BKKBN-jatim.go.id/BKKBN-jatim/html/cara.htm/ 7 maret 2014)

Depkes. 2013. Rencana Aksi Nasional Pelayanan Keluarga Berencana 2014-2015 . (http://www.gizikia.depkes.go.id/ 17 januari 2014).

Fienalia, RA.2012. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Penggunaan Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MJKP) Di Wilayah Kerja Puskesmas Pancoran Mas Kota Depok Tahun 2011. (http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20294580-S-Rainy%20Alus% 20Fienalia.pdf/ 2 april 2014)

Imroni, M, dkk. 2009. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Penggunaan Implan Di Desa Parit Kecamatan Indralaya Utara Kabupaten Ogan Ilir Tahun 2009. (http://eprints.unsri.ac.id / 4 april 2014)

Rahmi. 2013. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Penggunaan Implant Pada Akseptor KB Di Wilayah Kerja Puskesmas Lampulo Kecamatan Kuta Alam Banda Aceh. (http://180.241.122.205/dockti/RAHMAH-skripsi_rahmah.pdf/ 14 juni 2014)

Salviana. 2013. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Rendahnya MinatI Untuk Menggunakan Metode Kontrasepsi Hormonal (Implant) Pada Akseptor KB Di Puskesmas Kassi-Kassi Makassar. (http://library.stikesnh.ac.id/files/disk1/6/e-library %20 stikes% 20 nani%20 hasanuddin--salvianaha-253-1-artikel-8. pdf/ 12 juni 2014)

Suprida. 2013. Hubungan Antara Pendidikan Dan Umur Ibu Dengan Pemilihan Kontrasepsi Implan Di Bidan Praktek Mandiri Rachmi Palembang Tahun 2013. (http://poltekkespalembang.ac.id/userfiles/files/hubungan_antara_pendidikan_dan_umur_ibu.pdf/ 12 juni 2014).

Susanti. dkk. 2013. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Minat Ibu Terhadap Penggunaan Alat Kontrasepsi Implant Di Puskesmas Ome Kota Tidore Kepulauan. (http:ejournal.unsrat.ac.id / 12 juni 2014)

Wardhana, I. 2011. Penduduk Sumut Bertambah 381 Jiwa Setiap Hari. (http://news.okezone.com/read/2010/11/24/340/396663/penduduk-sumut-bertambah-381-jiwa-setiap-hari/ 21 januari 2014)

Yulizawati. 2012. Analisis Faktor Yang Berhubungan Dengan Peningkatan Penggunaan Alat Kontrasepsi Dalam Rahim.(http://ojs.akbidylpp.ac.id / 12 juni 2014)

Page 27: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K 2-TRIK: P · Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan berwenang mengubah artikel, namun tidak akan mengub

Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098

90 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

HUBUNGAN ANTARA USIA DAN RIWAYAT ABORTUS DENGAN KEJADIAN

PLASENTA PREVIA

Sri Ratnawati (Jurusan Kebidanan, Politeknik Kesehatan

Kemenkes Surabaya) Sherly Jeniawaty

(Jurusan Kebidanan, Politeknik Kesehatan Kemenkes Surabaya)

ABSTRAK Pendahuluan: Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional, dengan desain cross sectional, yang bertujuan menganalisis hubungan antara usia dan riwayat abortus dengan kejadian plasenta previa di Poli Obgyn RSUD Bangil Pasuruan. Metode: Populasi penelitian ini adalah semua ibu hamil trimester III periode Januari-Desember 2012 sebesar 1280 orang. Besar sampel 97 orang yang dipilih secara simple random sampling. Data yang terkumpul dianalisis menggunakan uji Chi Square, dengan tingkat kemaknaan α=0,05. Hasil: Dari 39 responden, hampir seluruhnya (76,90%) memiliki usia berisiko tinggi (<20 tahun dan >35 tahun) mengalami plasenta previa, dan dari 46 responden hampir seluruhnya (87,00%) mempunyai riwayat abortus dan mengalami plasenta previa. Kesimpulan: Ada hubungan antara usia dan riwayat abortus dengan kejadian plasenta previa. Saran: Diharapkan bidan meningkatkan konseling sejak pra nikah tentang hamil diusia reproduksi dan bahaya abortus yang akan menyebabkan terjadinya plasenta previa. Kata Kunci: Usia, abortus, plasenta previa

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Salah satu faktor yang mempengaruhi kematian maternal yaitu adanya komplikasi-komplikasi yang terjadi pada saat kehamilan, persalinan maupun nifas. Salah satu contoh komplikasi tersebut yaitu terjadinya perdarahan pada saat kehamilan atau disebut perdarahan antepartum. Perdarahan antepartum merupakan kasus gawat darurat yang kejadiannya berkisar 3,00% dari semua persalinan, penyebabnya antara lain plasenta previa, solusio plasenta, dan perdarahan yang belum jelas sumbernya (Prawirohardjo, 2009).

Perdarahan pada kehamilan trimester ketiga pada umumnya merupakan perdarahan yang berat, dan jika tidak mendapatkan penanganan yang cepat bisa mendatangkan syok dan kematian. Salah satu penyebabnya adalah plasenta previa. Plasenta previa selain menimbulkan penyulit pada ibu, dapat juga menimbulkan penyulit pada janin, yaitu asfiksia sampai kematian janin dalam rahim. Oleh sebab itu perlulah keadaan ini diantisipasi seawal-awalnya selagi perdarahan belum sampai ketahap yang membahayakan ibu dan janinnya (Prawirohardjo, 2009).

Plasenta previa adalah plasenta yang implantasinya tidak normal, sehingga menutupi seluruh atau sebagian ostium internum karena faktor predisposisi yang masih sulit dihindari, prevalensinya masih tinggi serta punya andil besar dalam angka kematian maternal dan perinatal yang merupakan parameter pelayanan kesehatan. Frekuensi plasenta previa pada primigravida yang berumur lebih dari 35 tahun kira-kira 2 kali lebih sering dibandingkan dengan primigravida yang berumur kurang dari 25 tahun, pada para 3 atau lebih yang berumur lebih dari 35 tahun kira-kira 3 kali lebih sering dibandingkan para 3 atau lebih yang berumur kurang dari 25 tahun (Wiknjosastro, 2006). Dan juga pada wanita dengan riwayat abortus mempunyai risiko plasenta previa 4 kali lebih besar dibanding wanita dengan tanpa riwayat abortus. Wardhana (2007) dalam penelitiannya mengatakan 50,00% plasenta previa terjadi pada wanita yang pernah mengalami kuretase diduga disrupsi endometrium atau luka endometrium merupakan predisposisi terjadinya kelainan implantasi plasenta.

Indikator kualitas pelayanan kesehatan masyarakat adalah Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB). Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), AKI di Indonesia pada tahun 2007 adalah 248/100.000 kelahiran hidup. Angka i jauh

Page 28: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K 2-TRIK: P · Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan berwenang mengubah artikel, namun tidak akan mengub

Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098

91 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

menurun dibandingkan dengan tahun 2003 (307/100.000 kelahiran hidup), namun masih jauh dari target Millenium Development Goals (MDGs) tahun 2015 yaitu 102/100.000 kelahiran hidup (Depkes RI, 2007).

Jika perkiraan persalinan di Indonesia sebesar 5.000.000 orang, maka akan terdapat sekitar 19.500-20.000 kematian ibu tiap tahunnya yang terjadi setiap 26-27 menit sekali. Di mana sekitar 3,00-10,00% disebabkan oleh kasus komplikasi obstetrik, seperti kasus berat pendarahan anterpartum (karena plasenta previa atau karena solusio plasenta), pendarahan postpartum, kepala janin dan ruang panggul yang tak seimbang, ruptura uteri serta malpresentasi letak janin (Manuaba, dkk., 2010). Plasenta previa ditemukan kira-kira dengan frekuensi 0,30-0,60% dari seluruh persalinan. Di Negara-negara berkembang berkisar antara 1,00-2,40%, sedangkan di RS. Cipto Mangunkusumo terjadi 37 kasus plasenta previa antara 4781 persalinan (Wiknjosastro, 2005). Data World Health Organization (WHO) tahun 2008 menunjukkan bahwa prevalensi plasenta previa sekitar 458 dari 100.000 kelahiran hidup setiap tahunnya, sedangkan tahun 2009 sekitar 320 dari 100.000 kelahiran (Setriani, 2011). Menurut Dinas Kesehatan Jawa Timur (2010), penyebab kematian ibu di Jawa Timur yang kedua yaitu perdarahan (26,69%) yang salah satunya merupakan plasenta previa (Constance, 2010). Berdasarkan studi pendahuluan di Poli Obgyn RSUD Bangil Pasuruan yaitu pada periode bulan november sampai desember didapatkan 25 ibu hamil yang mengalami plasenta previa dari 332 ibu hamil yaitu sekitar 7,53%.

Banyaknya faktor yang menyebabkan meningkatnya kejadian plasenta previa disebabkan oleh usia, paritas, riwayat plasenta previa, riwayat abortus, riwayat seksio sesaria, kehamilan kembar dan merokok. Hal tersebut jika dibiarkan begitu saja akan mengakibatkan terjadinya komplikasi baik pada ibu maupun pada janinnya (Manuaba dkk., 2010). Komplikasi yang terjadi pada ibu yaitu perdarahan pascasalin, syok hipovolemik, infeksi-sepsis, laserasi serviks, plasenta akreta, emboli udara (jarang), kelainan koagulapati sampai syok, kematian. Sedangkan komplikasi pada anak yaitu hipoksia, anemia, prolaps tali pusat, prolaps plasenta, prematuritas atau lahir mati (Manuaba, 2007).

Oleh sebab itu bidan hendaknya dapat memahami hal-hal tersebut termasuk diagnosa plasenta previa, jenis-jenis dari plasenta previa, komplikasi apa saja yang dapat terjadi dari plasenta previa sehingga kita dapat memberikan penyuluhan tentang

tanda bahaya kehamilan khususnya perdarahan kehamilan trimester III. Dan juga perencanaan dan penanganan seperti apa yang boleh kita lakukan agar ibu dan janin tetap dapat selamat sehingga angka kematian maternal dan neonatal menjadi turun. Dan kita juga seharusnya melakukan konsultasi medik saat terjadi perdarahan pertama kali dan merujuk pasien ke Rumah Sakit saat terdeteksi plasenta previa terhadap kehamilan lanjut. Diharapkan dengan informasi dan deteksi dini, ibu hamil tidak terlambat mendapatkan penanganan yang tepat, sehingga angka kematian ibu karena plasenta previa juga berkurang. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan antara usia dan riwayat abortus dengan kejadian plasenta previa di Poli Obgyn RSUD Bangil Pasuruan.

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini adalah analitik observasional dengan rancangan cross sectional. Populasi penelitian ini adalah semua ibu hamil trimester III periode Januari-Desember 2012 sebesar 1280 orang. Besar sampel adalah 97 orang yang dipilih secara simple random sampling. Sebagai variabel independen adalah usia dan riwayat abortus, dan variabel dependen adalah kejadian plasenta previa. Analisis data menggunakan uji Chi Square, dengan tingkat kemaknaan α=0,05.

HASIL PENELITIAN

Tabel 1 menunjukkan bahwa dari 97 ibu hamil, sebagian besar (69,00%) adalah multigravida.

Tabel 1. Distribusi Paritas Ibu Hamil di Poli Obgyn RSUD Bangil Pasuruan pada Bulan

Januari sampai Desember 2012

Paritas Ibu Frekuensi Persen Primigravida Multigravida Grandemulti

29 67 1

29,90 69,00 1,00

Total 97 100,00

Tabel 2 menunjukkan bahwa dari 97 ibu hamil, sebagian besar (62,90%) tidak bekerja.

Tabel 2. Distribusi Pekerjaan Ibu Hamil di Poli Obgyn RSUD Bangil Pasuruan pada Bulan Januari sampai Desember 2012

Pekerjaan Ibu Frekuensi Persen Bekerja

Tidak bekerja 36 61

37,10 62,90

Total 97 100,00

Page 29: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K 2-TRIK: P · Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan berwenang mengubah artikel, namun tidak akan mengub

Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098

92 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Tabel 3 menunjukkan bahwa dari 97 ibu hamil, sebagian besar (51,50%) berpendidikan menengah.

Tabel 3. Distribusi Pendidikan Ibu Hamil di Poli Obgyn RSUD Bangil Pasuruan pada

Bulan Januari sampai Desember 2012

Pendidikan Ibu Frekuensi Persen Dasar

Menengah Tinggi

34 50 13

35,10 51,50 13,40

Total 97 100,00

Berdasarkan Tabel 4 diketahui bahwa dari 97 ibu hamil, sebagian besar (59,80%) berusia 20-35 tahun.

Tabel 4. Distribusi Usia Ibu Hamil di Poli Obgyn RSUD Bangil Pasuruan pada Bulan

Januari sampai Desember 2012

Usia Ibu Frekuensi Persen <20 & >35 tahun

20-35 tahun 39 58

40,20 59,80

Total 97 100,00

Berdasarkan Tabel 5 dapat dijelaskan bahwa dari 97 ibu hamil, sebagian besar (52,60%) tidak mempunyai riwayat abortus.

Tabel 5. Distribusi Riwayat Abortus pada Ibu Hamil di Poli Obgyn RSUD Bangil Pasuruan pada Bulan Januari sampai Desember 2012

Riwayat Abortus Frekuensi Persen Ya

Tidak 46 51

47,40 52,60

Total 97 100,00

Berdasarkan Tabel 6 dapat dijelaskan bahwa dari 97 ibu hamil, sebagian besar (57,70%) mengalami plasenta previa.

Tabel 6. Distribusi Riwayat Pasenta Previa pada Ibu Hamil di Poli Obgyn RSUD Bangil

Pasuruan pada Bulan Januari sampai Desember 2012

Riwayat Plasenta Previa Frekuensi Persen

Ya Tidak

46 51

47,40 52,60

Total 97 100,00

Tabel 7. Hubungan antara Usia dengan Kejadian Plasenta Previa di Poli Obgyn

RSUD Bangil Pasuruan pada Bulan Januari sampai Desember 2012

Usia Plasenta Previa

Total Ya Tidak

Σ % Σ % Σ % <20 th dan >35 th

20-35 tahun 30 26

76,90 44,80

9 32

23,10 55,20

39 58

100 100

Total 56 57,70 41 42,30 97 100 Chi Square Test p=0.002

Tabel 7 menunjukkan bahwa dari 39 ibu hamil dengan usia beresiko, hampir seluruhnya (76,90%) mengalami plasenta previa, dan dari 58 ibu hamil dengan usia tidak beresiko, sebagian besar (55,20%) tidak mengalami plasenta previa. Hasil uji Chi Square adalah p=0,002 (<0,05), sehingga Ho ditolak yang berarti ada hubungan antara usia dengan kejadian plasenta previa di Poli Obgyn RSUD Bangil Pasuruan. Tabel 8. Hubungan antara Riwayat Abortus

dengan Kejadian Plasenta Previa di Poli Obgyn RSUD Bangil Pasuruan pada Bulan

Januari sampai Desember 2012

Riwayat Abortus Plasenta Previa

Total Ya Tidak

Σ % Σ % Σ % Ya

Tidak 40 16

87,00 31,40

6 35

13,00 68,60

46 51

100 100

Total 56 57,70 41 42,30 97 100 Chi Square Test p=0.000

Tabel 8 menunjukkan bahwa dari 46 ibu

hamil dengan riwayat abortus, hampir seluruhnya (87,00%) mengalami plasenta previa, dan dari 51 ibu hamil tanpa riwayat abortus, sebagian besar (68,60%) tidak mengalami plasenta previa. Hasil uji Chi square adalah p=0,000, maka disimpulkan Ho ditolak yang berarti ada hubungan antara riwayat abortus dengan kejadian plasenta previa di Poli Obgyn RSUD Bangil Pasuruan. PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar ibu hamil berusia 20-35 tahun. Menurut Wiknjosastro (2007), usia adalah rentang kehidupan yang diukur dengan tahun. Dalam kurun reproduksi sehat dikenal bahwa usia aman untuk kehamilan dan persalinan adalah 20-35 tahun. Hasil penelitian ini sesuai dengan pernyataan Gunawan (2010) usia baik untuk kehamilan adalah usia 20-35 tahun. Usia aman untuk kehamilan dan persalinan adalah 20-35 tahun. Kematian maternal pada perempuan hamil dan melahirkan pada usia <20 tahun dan >35 tahun ternyata 2-5 kali lebih tinggi daripada kematian maternal yang terjadi pada usia 20-35 tahun (Prawirohardjo, 2001). Sedangkan menurut Manuaba (2007), klasifikasi usia reproduksi yaitu, usia <20 tahun (fase menunda kehamilan), usia 20-35 tahun (fase menjarangkan kehamilan), usia >35 tahun (fase mengakhiri kehamilan).

Perempuan yang hamil pada usia yang terlalu muda kurang siap dari segi fisik dan mental. Pada usia tersebut, hormon-hormon

Page 30: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K 2-TRIK: P · Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan berwenang mengubah artikel, namun tidak akan mengub

Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098

93 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

dalam tubuh baru hendak matang dan baru hendak stabil. Sedangkan pada usia 20 sampai 35 tahun merupakan usia yang paling baik bagi wanita untuk hamil dan melahirkan dikarenakan usia saat organ-organ tubuh berfungsi dengan baik. Namun tidak seluruhnya ibu berusia 20-35 tahun baik untuk hamil dan melahirkan, bisa juga tergantung dari kondisi fisik, psikologi, pengetahuan ibu, dan asupan nutrisi ibu.

Dari hasil penelitian ini, sebagian besar ibu hamil berusia 20-35 tahun. Kemungkinan ibu hamil sudah paham tentang usia reproduksi sehat yang merupakan periode usia paling baik bagi wanita untuk hamil dan melahirkan. Sedangkan pada ibu hamil yang sebagian kecil berusia <20 tahun dan >35 tahun, mereka belum paham bahwa di usia tersebut keadaan dan fungsi organ reproduksi lebih sering terjadi komplikasi dalam kehamilan, meskipun semua ibu hamil mempunyai risiko untuk terjadi komplikasi.

Sebagian besar (52,6%) ibu hamil tidak mempunyai riwayat abortus. Menurut Prawirohardjo (2009) riwayat abortus merupakan salah satu faktor risiko maternal yang dapat mengakibatkan komplikasi pada ibu hamil maupun bersalin. Wanita dengan riwayat abortus mempunyai risiko plasenta previa 4 kali lebih besar dibanding wanita dengan tanpa riwayat abortus.

Riwayat abortus pada ibu hamil mempunyai risiko komplikasi yang dapat mempengaruhi kehamilan karena terdapat keadaan abnormal dari tubuh yaitu pernah mengalami kuretasi untuk mengeluarkan jaringan dari cavum uteri sehingga akan terjadi disrupsi endometrium atau luka endometrium yang mungkin akan mengganggu proses kehamilan selanjutnya yang akan menyebabkan komplikasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar ibu hamil (57,7%) mengalami plasenta previa. Menurut Prawirohardjo (2009), plasenta previa adalah plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah rahim dan menutupi sebagian atau seluruh ostium uteri internum. Menurut Mansjoer (2001), perdarahan antepartum akibat plasenta previa terjadi sejak kehamilan 20 minggu saat segmen bawah uterus telah terbentuk dan mulai melebar dan menipis. Umumnya terjadi pada trimester III karena segmen bawah uterus lebih banyak mengalami perubahan. Pelebaran segmen bawah uterus dan pembukaan serviks menyebabkan sinus uterus robek karena lepasnya plasenta dari dinding uterus atau karena robekan sinus marginalis dari plasenta.

Plasenta previa merupakan komplikasi yang mempunyai kontribusi yang besar pada

angka kematian maternal dan perinatal jika tidak terdeteksi sejak dini dan tidak tertangani. Peran bidan dalam menangani ibu hamil dengan plasenta previa adalah deteksi dini diikuti dengan penatalaksaan dan perujukan tepat dan segera sehingga memastikan bahwa kesehatan dan kesejahteraan ibu serta janin tidak terganggu. Selain itu ditunjang dengan hasil dari data umum, bahwa sebagian besar ibu hamil pada trimester III adalah multigravida, namun masih ada sebagian kecil primipara dan grandemulti. Hal tersebut dimungkinkan oleh karena ibu sudah mulai paham bahwa dari segi kesehatan reproduksi tidak baik dan akan lebih sering terjadi komplikasi dalam kehamilan, meskipun semua ibu hamil mempunyai risiko untuk terjadi komplikasi. Selain itu ditinjau dari segi pekerjaan dan pendidikan ibu yang sebagian besar adalah tidak bekerja dan berpendidikan menengah. Hal ini dimungkinkan karena dengan berpendidikan menengah tidak mudah mendapat pekerjaan, dan dengan tidak bekerja ini akan menanggung biaya tinggi sehingga ibu sudah mulai menyadari untuk tidak memiliki anak yang banyak.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara usia dengan kejadian plasenta previa di Poli Obgyn RSUD Bangil Pasuruan. Menurut Gunawan (2010), usia 20 sampai pertengahan 35 tahun, merupakan periode usia yang paling baik bagi wanita hamil dan melahirkan. Pada wanita usia dibawah 20 tahun secara fisik dan mental belum siap untuk hamil. Emosi dan kejiwaannya masih labil, demikian juga kondisi fisik mereka yang masih lemah untuk kehamilan, walaupun organ reproduksinya telah berkembang dengan baik. Sedangkan pada wanita usia 35 tahun secara alamiah mengalami penurunan tingkat kesuburan dimana usia tersebut terjadi perubahan pada jaringan dan alat kandungan serta jalan lahir tidak lentur lagi dan pada usia tersebut cenderung didapatkan komplikasi dalam kehamilan, salah satunya plasenta previa.

Dari hasil penelitian, pada usia <20 tahun dan >35 tahun sebagian besar mengalami plasenta previa. Hal ini diakibatkan karena usia <20 tahun, produksi hormon progesteron masih kurang dan korpus luteum bereaksi lambat, sehingga mempengaruhi proses pematangan endometrium khususnya daerah fundus uteri. Sedangkan pada usia >35 tahun terjadi penurunan fungsi sistem reproduksi dari ibu ke janin sehingga menyebabkan aliran darah ke endometrium tidak merata dan plasenta akan tumbuh lebih lebar dan mencari tempat implantasi/daerah yang lebih subur yaitu di sekitar ostium uteri internum. Pada usia 20-

Page 31: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K 2-TRIK: P · Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan berwenang mengubah artikel, namun tidak akan mengub

Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098

94 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

35 tahun masih ada sebagian kecil ibu hamil yang mengalami plasenta previa, hal ini kemungkinan disebabkan karena faktor lain yaitu paritas yang terlalu banyak, jarak anak yang terlalu dekat, riwayat plasenta previa, pemeriksaan kehamilan yang tidak teratur, maupun kebiasaan yang dipengaruhi oleh lingkungan seperti merokok.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara riwayat abortus dengan kejadian plasenta previa di Poli Obgyn RSUD Bangil Pasuruan. Hasil penelitian ini sesuai dengan penjelasan menurut Prawirohardjo (2009) bahwa riwayat abortus merupakan salah satu faktor risiko maternal yang dapat mengakibatkan komplikasi pada ibu hamil terutama yang mengalami plasenta previa. Wanita dengan riwayat abortus mempunyai risiko plasenta previa 4 kali lebih besar dibanding wanita dengan tanpa riwayat abortus. Hal ini diakibatkan pada wanita yang pernah mengalami kuretase diduga disrupsi endometrium atau luka endometrium merupakan predisposisi terjadinya kelainan implantasi plasenta dan bisa terjadi plasenta previa.

Pada ibu yang mempunyai riwayat abortus kemungkinan dapat mempengaruhi terjadinya plasenta previa dan dapat mengganggu proses kehamilan selanjutnya yang akan menyebabkan komplikasi. Oleh karena itu, diperlukan konseling dalam memberikan asuhan yang tepat khususnya pada ibu hamil untuk mengatur jumlah dan jarak kehamilan anak atau dengan mengikuti program keluarga berencana. KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian ditarik kesimpulan bahwa kejadian plasenta previa berhubungan dengan usia ibu hamil dan riwayat abortus, sehingga disarankan agar bidan lebih meningkatkan pelayanan kesehatan dengan memberi konseling dan deteksi dini pada ibu hamil agar risiko terjadinya plasenta previa dikurangi atau dapat diketahui sebelumya DAFTAR PUSTAKA Wardana Alit. 2007. Hubungan Faktor

Resiko Dengan Kejadian Plasenta Previa.http://www.googletagmanager.com (diakses tanggal 21 Januari.

Amirah. 2010. Plasenta Previa. http://kuliahbidan.wordpress.com/pdf (diakses tanggal 27 Januari 2013)

Hidayat Azis A. 2005. Pengantar ilmu keperawatan, Jakarta: Salemba Medika.

Hidayat Azis A. 2010. Metode penelitian kebidanan teknis analisis data, Jakarta: Salemba Medika

Nugraheny Esti. 2010. Asuhan Kebidanan Patologi. Jakarta: EGC.

Gunawan. 2010. Farmakologi dan terapiutik. Jakarta : FKUI

Wiknjosastro Hanifa. 2002. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal Dan Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo

Manuaba IBG, Manuaba IAC, Manuaba IBGF. 2007. Pengantar Kuliah Obstetri edisi 1. Jakarta: EGC

______. 2010. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan, Dan KB Untuk Pendidikan Bidan edisi 2. Jakarta: EGC

Mamik. 2011. Metode Penelitian Kesehatan Dan Kebidanan.Surabaya: Prins Media Publishing

Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan, Edisi 2 Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

Mochtar Rustam. 2011. Sinopsi Obstetri Jilid 1 Edisi 3. Jakarta: EGC

Saifuddin A B. 2002. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta: JNPKKP-POGI

Prawirohardjo Sarwono. 2007. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal Dan Neonatal. Jakarta: PT. Bina Pustaka

Prawirohardjo Sarwono. 2009. Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT. Bina Pustaka

Notoatmodjo Soekidjo. 2003. Pendidikan dan perilaku kesehatan, Jakarta: PT. Rineka Cipta

_____. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta

Sugiyono. 2010. Statistik Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta

Arikunto Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta

Nugroho Taufan. 2011. Obstetri. Yogyakarta: Nuha Medika

Setriani Titi. 2011. Plasenta Previa. http://kuliahbidan.wordpress.com /2011/06/plasenta-previa.html (diakses tanggal 12 Januari 2013)

Rahmawati Titik. 2012. Dasar-Dasar Kebidanan. Jakarta: PT. Prestasi Pustakarya

Varney Helen. 2007. Buku Ajar Asuhan Kebidanan ed.4 vol. Jakarta: EGC

Yono. 2008. Plasenta Previa. http://kuliahbidan.wordpress.com/detail/plasenta previa (diakses tanggal 25 Januari 2013)

Page 32: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K 2-TRIK: P · Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan berwenang mengubah artikel, namun tidak akan mengub

Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098

95 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

HUBUNGAN KARAKTERISTIK IBU HAMIL

DAN DUKUNGAN SUAMI TERHADAP KEPATUHAN MELAKUKAN ANC

Fitriyani Pulungan

(Jurusan Kebidanan, Politeknik Kesehatan Kemenkes Medan)

ABSTRAK

Pendahuluan: Menurut Survei Demografi Kesehatan Indonesi (SDKI) 2012, AKI masih tinggi (359/100.000 kelahiran hidup). Tingginya AKI di Indonesia terkait dengan rendahnya pencapaian pelaksanaan antenatal care (ANC) dilihat dari target nasional K1 sebesar 95% dan K4 sebesar 84%,sedangkan pencapaian K1 72,3% dan K4 61,4% (Riskesdas, 2010), sehingga dicanangkan program Safe Motherhood dan peningkatkan pelayanan dalam pemeriksaan kehamilan. ANC sangat penting untuk memantau kehamilan dan mendeteksi secara dini adanya resiko dalam kehamilan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan karakteristik ibu hamil dan dukungan suami terhadap kepatuhan melakukan ANC di Klinik Sam Kampung Baru. Metode: Jenis penelitian ini adalah survei analitik dengan desain cross sectional. Penelitian dilakukan di Klinik Sam Kampung Baru. Populasi penelitian adalah seluruh ibu hamil yang tercatat mulai Januari -Juni 2014 yang menjalani ANC di Klinik Sam. Besar sampel adalah 37 orang. Data diperoleh menggunakan kuesioner dan dianalisis menggunakan uji Chi square. Hasil: Hasil analisis data tentang hubungan antara umur, pengetahuan, pendidikan, dan dukungan suami dengan kepatuhan melakukan ANC menunjukkan nilai p sebagai berikut: umur: p=0,023, pengetahuan: p=0,023, pendidikan p=0,02, dan dukungan suami p=0,00. Kesimpulan: Kepatuhan melakukan ANC berhubungan dengan faktor umur, pengetahuan, pendidikan, dan dukungan suami. Saran: Petugas kesehatan diharapkan meningkatkan penyuluhan tentang perlunya melakukan ANC sesuai standar kepada ibu hamil dan mengikutsertakan suami melakukan ANC untuk keselamatan kesejahteraan ibu hamil dan bayi. Kata Kunci: Kepatuhan ANC, umur, pengetahuan, pendidikan, dukungan suami

PENDAHULUAN Latar Belakang

Angka kematian ibu merupakan indikator

keberhasilan pembangunan pada sektor kesehatan. AKI mengacu pada jumlah kematian ibu mulai dari masa kehamilan, persalinan, dan nifas. Menurut Survei Demografi Indonesia (SDKI) tahun 2007 AKI adalah 228/100.000 kelahiran hidup, sedangkan menurut SDKI tahun 2012 adalah 359/100.000 kelahiran hidup. Bahkan WHO, UNICEF, UNFPA, dan World Bank memperkirakan AKI yang lebih tinggi, yaitu 420/100.000 kelahiran hidup (SDKI, 2012).

Berdasarkan Profil Dinas Kesehatan Sumatera Utara, AKI tahun 2008 di Sumatera Utara adalah 290/100.000 kelahiran hidup, sedangkan tahun 2009 adalah 260/10.000 kelahiran hidup. Pada tahun 2010 AKI diperkirakan menurun menjadi 106/10.000 kelahiran hidup, namun berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2010, AKI di Sumatera Utara adalah 328/100.000 kelahiran hidup.

Menurut Roeshadi (2006), penyebab kematian maternal dapat dibagi dalam beberapa masalah, antara lain masalah reproduksi, komplikasi obstetrik, pelayanan kesehatan, sosial ekonomi dan budaya dan sebagainya. Di Indonesia kematian maternal sering kali berkaitan dengan faktor keterlambatan yaitu: terlambat memutuskan untuk mencari pelayanan, terlambat mencapai fasilitas kesehatan, dan terlambat menerima pelayanan yang adekuat. Pada terlambat pertama dan kedua, yang sering kali juga sebagai faktor terbanyak, peran pengambil keputusan menjadi penting baik keputusan kapan harus mendapat pertolongan atau keputusan dalam memilih tenaga penolong (Fithriany, 2011).

Tingginya AKI di Indonesia terkait dengan rendahnya kualitas program pelayanan kesehatan ibu dan anak (KIA), khususnya kegiatan pemeriksaan kehamilan (ANC) yaitu K1 dan K4. Dari target K1=95% dan K4=84% (Kemenkes, 2010), pencapaiannya adalah K1=72,3% dan K4=61,4% (Rikesdas, 2010).

Salah satu solusi untuk menurunkan AKI adalah dengan melaksanakan pemeriksaan kehamilan yang disebut dengan asuhan antenatal atau ANC. Tujuan utama ANC adalah untuk memfasilitasi hasil yang sehat dan positif bagi ibu maupun bayinya dengan cara membina hubungan saling percaya dengan ibu, mendeteksi komplikasi-komplikasi yang dapat mengancam jiwa, mempersiapkan kelahiran, dan memberikan pendidikan. ANC sangatlah penting untuk

Page 33: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K 2-TRIK: P · Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan berwenang mengubah artikel, namun tidak akan mengub

Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098

96 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

mendeteksi dini risiko-risiko yang terjadi pada ibu dan anak sehingga angka morbiditas dan mortalitas dapat ditekan. Ibu hamil sebaiknya dianjurkan mengunjungi bidan atau dokter sedini mungkin setelah dirinya hamil, untuk mendapatkan pelayanan asuhan antenatal yang lebih lengkap. Pemeriksaan kehamilan adalah suatu cara untuk menjamin setiap kehamilan berpuncak pada upaya untuk melahirkan bayi yang sehat tanpa menganggu kesehatan ibunya (Bahri, 2000 dalam Fithriani, 2010).

AKI di Indonesia sesungguhnya bisa dicegah jika dilakukan perbaikan terhadap akses pelayanan kesehatan bagi ibu. Akses ibu hamil ke tempat pelayanan kesehatan juga dipengaruhi dengan adanya dukungan suami serta peran keluarga untuk membawanya ke pelayanan kesehatan disaat timbulnya masalah dalam kehamilan (Muslihatun dkk., 2009).

Dukungan suami merupakan bentuk peran serta suami dan hubungan baik yang memberi kontribusi penting bagi kesehatan. Adanya kehadiran orang terdekat dapat mempengaruhi emosional atau efek perilaku bagi ibu dalam menerima kehamilan serta akses terhadap pelayanan kesehatan (Salmah dkk, 2007 dalam Fithriany 2011).

Menurut penelitian Fithriany (2011), dalam pemeriksaan kehamilan terdapat 10 bumil dari 16 bumil di usia beresiko melakukan pemeriksaan kehamilan tidak sesuai, sedang pada usia ibu yang tidak berisiko ada 39 (67,2%) dari 58 yang melakukan pemeriksaan kehamilan dengan kategori sesuai. Ibu hamil yang mempunyai usia tidak berisiko cenderung memeriksakan kehamilan sesuai dengan standar dibandingkan ibu yang mempunyai usia berisiko. Ibu yang berusia <20 tahun tidak melakukan pemeriksaan kehamilan disebabkan karena merasa terlalu muda untuk hamil dibandingkan teman sebaya mereka Ibu yang berusia >35 tahun tidak melakukan pemeriksaan kehamilan disebabkan mereka merasa malu untuk memeriksakan kehamilan. Mereka menganggap bahwa usia diatas 35 tahun tidak pantas lagi untuk hamil, apalagi bila diikuti dengan jumlah anak lebih dari 3 orang, semakin membuat mereka tidak memeriksakan kehamilan. Dari beberapa orang ibu juga mengatakan mereka merasa kehamilan merupakan hal yang alamiah sehingga tidak perlu periksa hamil.

Penelitian Murniati (2007) melaporkan bahwa ibu yang melakukan ANC ibu yang mempunyai pengetahuan baik (97,1%) lebih banyak daripada ibu yang mempunyai pengetahuan kurang (79,1%). Sedangkan dari ibu yang tidak memanfaatkan ANC,

lebih banyak ibu yang memiliki pengetahuan kurang (20,9%) daripada ibu yang memiliki pengetahuan baik (2,9%). Ibu yang mempunyai pengetahuan yang baik akan patuh melakukan ANC untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan kehamilannya sehingga, ia akan berusaha agar ibu dan bayinya tetap sehat (tidak ada keluhan) dalam kehamilannya dan tetap berusaha agar ibu dan bayinya selamat dan sehat sewaktu lahir.

Dalam penelitian Fithriany (2011) terdapat 29 (74,4%) dari 39 ibu berpendidikan tinggi yang melakukan pemeriksaan kehamilan sesuai, sedang pada ibu yang berpendidikan dasar ada 16 (45,7%) dari 35 yang melakukan pemeriksaan kehamilan dengan kategori sesuai. Pendidikan responden yang tinggi tidak menjamin kesesuaian pemeriksaan kehamilan, hal ini disebabkan pendidikan yang dilalui oleh responden adalah pendidikan formal. Meskipun pendidikan tinggi membuat seseorang mudah menyerap informasi dan dalam mengambil keputusan, namun bila informasi tidak didapat maka seseorang tidak dapat mengambil keputusan. Dalam pendidikan formal responden tidak mendapatkan informasi tentang pentingnya pemeriksaan kehamilan. Hal ini merupakan salah satu yang membuat responden tidak mengetahui pentingnya manfaat pemeriksaan kehamilan sehingga tidak melakukan pemeriksaan kehamilan.

Salah satu faktor yang berhubungan dengan dukungan suami yang positif salah satu yang mempengaruhi ibu melakukan kunjungan ibu hamil. Peran suami sangat penting dalam mencapai target kepatuhan ibu terhadap pemeriksaan kehamilan. Dukungan suami juga merupakan andil yang besar dalam menentukan status kesehatan ibu. Jika seluruh keluarga mengharapkan kehamilan, mendukung bahkan memperlihatkan dukungannya dalam berbagai hal, maka ibu hamil akan merasa lebih percaya diri, lebih bahagia dan siap dalam menjalani kehamilan, persalinan dan masa nifas (Fithriani, 2011).

Hasil penelitian Sihombing (2012) menunjukkan bahwa mayoritas suami tidak mendukung pemanfatan ANC yaitu 52,2%. Suami yang memberikan dukungan pada istri dalam pemeriksaan kehamilan, akan lebih banyak memanfaatkan ANC, hal ini bahwa ibu yang memiliki dukungan suami akan lebih mau dan bersemangat untuk memanfaatkan ANC.

Berdasarkan survei pendahuluan yang di lakukan terhadap 15 ibu hamil di Kampung Baru tahun 2014 di peroleh informasi bahwa 10 ibu hamil tidak patuh memeriksakan

Page 34: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K 2-TRIK: P · Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan berwenang mengubah artikel, namun tidak akan mengub

Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098

97 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

kehamilannya, mengatakan bahwa kehamilan adalah hal biasa yang akan dihadapi oleh setiap wanita sehingga tidak perlu di lakukan pemeriksaaan khusus terutama ibu hamil yang sudah berusia di atas 30 tahun. Mereka selalu beranggapan bahwa kehamilan mereka baik dan tidak terjadi komplikasi.

Ibu-ibu hamil tersebut mengatakan bahwa pendidikan mereka yang rendah membuat mereka tidak mengerti untuk melakukan pengawasan kehamilan sedini mungkin. Ibu-ibu tersebut belum mengetahui tanda-tanda bahaya pada kehamilan dan tanda-tanda persalinan.

Selain itu, dukungan keluarga ibu hamil baik suami maupun orang tua atau mertua masih sangat jarang bahkan tidak pernah mengingatkan ibu untuk memeriksakan kehamilannya kecuali jika ada keluhan, apalagi memberikan biaya kepada ibu untuk pergi ke puskesmas atau mengantar ibu untuk pergi ke Bidan.

Dari data di atas dipandang perlu untuk diteliti mengenai hubungan karasteristik ibu hamil (umur, pendidikan, dan pengetahuan) dan dukungan suami dengan kepatuhan melakukan ANC di Klinik Bersalin SAM Kampung Baru 2014.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan umur, pengetahuan, pendidikan, dan dukungan suami dengan kepatuhan ibu hamil dalam melakukan ANC di Klinik Sam Kampung Baru tahun 2014

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini adalah survei analitik dengan rancangan cross sectional. Penelitian dilakukan di Klinik Sam Kampung Baru tahun 2014. Klinik SAM dipilih karena adanya ketidakpatuhan ibu hamil dalam memeriksakan kehamilannya yang diambil dari data bidan SAM Kampung Baru. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari sampai dengan Juni 2014.

Populasi penelitian adalah seluruh ibu hamil yang terdaftar di klinik SAM yang memeriksakan kehamilannya sejak bulan Januari sampai Mei 2014. Dari data bulan Januari tercatat 2014 sebanyak 40 orang, Februari 2014 sebanyak 37 orang Maret 2014 sebanyak 35 orang. Jadi rerata besar populasi adalah 37 ibu hamil. Besar sampel adalah 37 ibu hamil yang dipilih menggunakan teknik accidental sampling.

Pengambilan data dengan cara menyebarkan kuisioner pada ibu hamil.

Selanjutnya data yang telah terkumpul dianalisis menggunakan uji Chi-Square.

HASIL PENELITIAN

Tabel 1. Distribusi Umur Ibu Hamil di Klinik Sam Kampung Baru Tahun 2014

Umur Frekuensi Persen <20 dan >35 tahun

20-35 tahun 22 15

59,46 40,54

Jumlah 37 100

Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa mayoritas ibu hamil berumur <20 dan >35 (59,46%).

Tabel 2. Distribusi Pengetahuan Ibu Hamil di Klinik Sam Kampung Baru Tahun 2014

Pengetahuan Frekuensi Persen Kurang

Baik 22 15

59,46 40,54

Total 37 100

Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa mayoritas ibu hamil berpengetahuan kurang (59,46%).

Tabel 3. Distribusi Pendidikan Ibu Hamil di Klinik Sam Kampung Baru Tahun 2014

Pendidikan Frekuensi Persen Dasar Tinggi

16 21

43,24 56,76

Total 37 100

Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa mayoritas ibu hamil berpendidikan tinggi (56,76%). Tabel 4. Distribusi Dukungan Suami Ibu Hamil di Klinik Sam Kampung Baru Tahun 2014

Dukungan Suami Frekuensi Persen Mendukung

Tidak Mendukung 15 22

40,54 59,46

Total 37 100

Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa mayoritas ibu hamil tidak didukung oleh suami (59,46%).

Tabel 5. Distribusi Kepatuhan Ibu Hamil dalam Melakukan ANC

di Klinik Sam Kampung Baru Tahun 2014

Kepatuhan Frekuensi Persen Patuh

Tidak Patuh 16 21

43,24 56,76

Total 37 100

Page 35: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K 2-TRIK: P · Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan berwenang mengubah artikel, namun tidak akan mengub

Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098

98 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Dari Tabel 5 dapat dilihat bahwa mayoritas ibu hamil tidak patuh dalam melakukan ANC oleh suami (56,76%).

Tabel 6. Hubungan Antara Umur dengan Kepatuhan Ibu Hamil dalam Melakukan ANC

di Klinik Sam Kampung Baru Tahun 2014

Umur Kepatuhan ANC

Total Patuh Tidak f % f % f %

<20 dan >35 thn 6 27,27 16 72,73 22 100 20-35 tahun 10 66,67 5 33,33 15 100

p=0,023

Berdasarkan Tabel 6 diketahui bahwa ibu hamil yang berumur <20 dan >35 tahun, mayoritas tidak patuh melakukan ANC (72,73%), sedangkan ibu hamil yang berumur 20-35 tahun, mayoritas patuh melakukan ANC (66,67%). Uji Chi-Square menunjukkan p=0,023 (<0,05), berarti Ho ditolak (ada hubungan yang signifikan antara umur ibu hamil dengan kepatuhan melakukaan ANC). Tabel 7. Hubungan Antara Pengetahuan dengan Kepatuhan Ibu Hamil dalam Melakukan ANC

di Klinik Sam Kampung Baru Tahun 2014

Pengetahuan Kepatuhan ANC

Total Patuh Tidak f % f % f %

Kurang 6 27,27 16 72,73 22 100 Baik 10 66,67 5 33,33 15 100

p=0,023

Berdasarkan Tabel 7 diketahui bahwa ibu hamil yang berpengetahuan kurang, mayoritas tidak patuh melakukan ANC (72,73%), sedangkan ibu hamil yang berpengetahuan baik, mayoritas patuh melakukan ANC (66,67%). Uji Chi-Square menunjukkan p=0,023 (<0,05), berarti Ho ditolak (ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan ibu hamil dengan kepatuhan melakukaan ANC).

Tabel 8. Hubungan Antara Pendidikan dengan Kepatuhan Ibu Hamil dalam Melakukan ANC

di Klinik Sam Kampung Baru Tahun 2014

Pendidikan Kepatuhan ANC

Total Patuh Tidak f % f % f %

Dasar 2 12,50 14 87,50 16 100 Tinggi 14 66,67 7 33,33 21 100

p=0,02

Berdasarkan Tabel 8 diketahui bahwa ibu hamil yang berpendidikan dasar, mayoritas tidak patuh melakukan ANC (87,50%), sedangkan ibu hamil yang berpendidikan

tinggi, mayoritas patuh melakukan ANC (66,67%). Uji Chi-Square menunjukkan p=0,02 (<0,05), berarti Ho ditolak (ada hubungan yang signifikan antara pendidikan ibu hamil dengan kepatuhan melakukaan ANC). Tabel 9. Hubungan Antara Dukungan Suami

dengan Kepatuhan Ibu Hamil dalam Melakukan ANC

di Klinik Sam Kampung Baru Tahun 2014

Dukungan Suami Kepatuhan ANC

Total Patuh Tidak f % f % f %

Mendukung 12 80 3 20 15 100 Tidak Mendukung 4 18,18 18 81,82 22 100

p=0,00

Berdasarkan Tabel 9 diketahui bahwa ibu hamil yang mendapatkan dukungan suami, mayoritas patuh melakukan ANC (80%), sedangkan ibu hamil yang tidak mendapatkan dukungan suami, mayoritas tidak patuh melakukan ANC (81,82%). Uji Chi-Square menunjukkan p=0,00 (<0,05), berarti Ho ditolak (ada hubungan yang signifikan antara dukungan suami dengan kepatuhan ibu hamil dalam melakukaan ANC). PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara umur ibu hamil dengan kepatuhan melakukaan ANC. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Fithriany (2013), umur ibu hamil mempengaruhi ibu hamil untuk memeriksakan kehamilannya. Dalam hal ini mempengaruhi kepatuhan ibu hamil untuk melakukan ANC. Usia ibu digolongkan menjadi dua yaitu usia tidak berisiko 20-35 tahun dan usia berisiko <20 tahun dan >35 tahun. Ibu hamil yang mempunyai usia tidak berisiko cenderung memeriksakan kehamilan sesuai dengan standar dibandingkan ibu yang mempunyai usia berisiko. Namun, pernyataan ini bertolak belakang dengan penelitian yag dilakukan Kristianto (2012) yang menyatakan bahwa tidak didapatkan hubungan bermakna antara kelompok usia dengan pelaksanaan asuhan kehamilan.

Hasil pemeriksaan yang dilakukan di Klinik Sam didapatkan bahwa sebagian besar ibu hamil merupakan usia reproduktif dan berpotensi besar untuk mengalami kehamilan kembali. Meskipun usia ibu hamil masih termasuk usia yang baik untuk kehamilan, harus dipertimbangkan lagi beberapa faktor lain yang masih dapat

Page 36: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K 2-TRIK: P · Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan berwenang mengubah artikel, namun tidak akan mengub

Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098

99 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

muncul sebagai faktor risiko untuk kehamilan risiko tinggi. Usia reproduktif aktif inilah target utama untuk diberikan penyuluhan agar ibu hamil paham tentang pentingnya pemeriksaan kehamilan.

Umur merupakan salah satu karakteristik ibu hamil sebagai penentu dalam proses kehamilan. Usia berguna untuk mengantisipasi diagnosa masalah kesehatan dan tindakan yang dilakukan. Pada umur 20-35 cenderung lebih teratur karena masih merasa bahwa pemeriksaan kehamilan sangat penting sedangkan umur <20 tahun cenderung belum terlalu mengerti tentang pentingnya melakukan kunjungan antenatal secara teratur sedangkan umur >35 tahun cenderung acuh pada kunjungan antenatal karena merasa telah memiliki pengalaman yang baik padahal seharusnya kedua kelompok umur ini rutin memeriksakan kehamilan karena berisiko tinggi terhadap kehamilan dan persalinan.

Hasil analisis data menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan ibu hamil dengan kepatuhan melakukaan ANC. Menurut Notoatmodjo (2010), ibu hamil yang memiliki pengetahuan yang baik tentang ANC akan lebih patuh untuk melakukan ANC, karena ibu hamil mengerti mamfaat melakukan ANC. Kurangnya pemahaman dan pengetahuan ibu dan keluarga terhadap pentingnya pemeriksaan kehamilan berdampak pada ibu hamil. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Burhaeni dkk. (2013), semakin baik pengetahuan ibu hamil tentang pemeriksaan kehamilan maka akan terjadi peningkatan dalam pemanfaatan pelayanan antenatal. Ibu yang berpengetahuan baik lebih banyak memanfaatkan pelayanan antenatal, hal ini disebabkan karena ibu lebih peduli dengan kesehatannya dan terdapat perhatian terhadap keadaan kehamilannya.

Pengetahuan ibu mengenai manfaat melakukan kunjungan antenatal sangat penting untuk mendeteksi secara dini tanda dan gejala komplikasi kehamilan serta penyakit yang menyertai kehamilan agar ibu hamil dapat melakukan kunjungan antenatal dan pemeriksaan kehamilan secara teratur. Pengetahuan yang baik akan mendorong ibu hamil untuk patuh melakukan ANC. Pemanfaatan ANC perlu dilakukan untuk meningkatkan kesehatan ibu saat kehamilan dan melahirkan. Pengetahuan yang dimiliki ibu membuat ibu lebih ingin mengetahui dengan keadaan kehamilannya sehingga akan lebih patuh melakukan ANC.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas ibu hamil yang diteliti berpendidikan tinggi. Jumlah ibu hamil berpendidikan rendah yang memeriksakan

kehamilannya sedikit dibandingkan ibu hamil yang berpendidikan menengah. Hal ini kemungkinan karena kurangnya informasi yang didapatkan, sehingga sedikit pula pengetahuan yang didapat tentang kesehatan. Pendidikan yang kurang juga akan menghambat perkembangan sikap ibu hamil terhadap kesadarannya untuk melakukan pemeriksaan kehamilan. Makin tinggi tingkat pendidikan seseorang, makin mudah menentukan dan menerima informasi yang mempengaruhi tingkat kesadaran ibu hamil terhadap pemeriksaan ANC.

Hasil analisis data menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pendidikan ibu hamil dengan kepatuhan melakukaan ANC. Menurut Munib (2006) dalam Dewi (2013), pendidikan merupakan salah satu faktor yang menentukan luasnya wawasan dan pengetahuan seseorang secara umum, dengan adanya pendidikan yang sebagian besar SMA maka akan berpengaruh terhadap pengetahuan dan sikap tentang pelayanan dan kunjungan antenatal. Menurut penelitian yang dilakukan Dewi (2013), semakin tinggi pendidikan seseorang maka diharapkan semakin mudah seseorang untuk menyerap pengetahuan yang diperolehnya. Selain itu, pendidikan merupakan faktor yang memotivasi seseorang dalam bersikap dan berperilaku. Namun perlu ditekankan bahwa seseorang yang berpendidikan rendah tidak berarti mutlak berpengetahuan rendah pula. Peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh dipendidikan formal, akan tetapi juga dapat diperoleh pada pendidikan non formal.

Semakin tinggi pendidikan ibu hamil, maka akan semakin mampu mandiri dalam mengambil keputusan menyangkut diri mereka sendiri, khususnya keputusan memeriksakan kehamilan.Tingkat pendidikan ibu dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara tingkat pendidikan ibu dengan kepatuhan melakukan ANC. Dengan pendidikan yang lebih baik, maka kemampuan untuk mencerna informasi serta ketertarikan untuk mencari informasi lebih lanjut akan lebih baik. Orang yang berpendidikan tinggi biasanya akan bertindak lebih rasional. Oleh karena itu orang yang berpendidikan akan lebih mudah menerima gagasan baru. Pendidikan yang tinggi akan memberikan pengetahuan yang baik. Hal ini akan dapat meningkatkan pengetahuan ibu hamil tentang pentingnya ANC, sehingga ibu hamil akan semakin tertarik untuk melakukan ANC.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa ada hubungan yang signifikan antara umur ibu hamil dengan kepatuhan

Page 37: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K 2-TRIK: P · Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan berwenang mengubah artikel, namun tidak akan mengub

Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098

100 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

melakukaan ANC. Menurut Sarwono (2003) dalam Burhaeni dkk. (2013), dukungan adalah suatu upaya yang diberikan kepada orang lain, baik moril maupun materil untuk memotivasi orang tersebut dalam melaksanakan kegiatan. Suami yang memberikan dukungan pada istri dalam pemeriksaan kehamilan, akan lebih banyak memanfaatkan pelayanan antenatal, hal ini bahwa ibu yang memiliki dukungan suami akan lebih mau dan bersemangat untuk patuh melakuka ANC.

Penelitian yang dilakukan oleh Burhaeni dkk (2013) menunjukkan adanya dukungan suami kepada istri dalam memeriksakan kehamilannya akan diikuti dengan peningkatan kepatuhan ibu hamil untuk melakukan ANC.

Hasil penelitian serupa dilaporkan oleh Agustini dkk. (2010), bahwa dukungan suami berhubungan dengan cakupan pelayanan antenatal. Dukungan Suami dalam pelayanan antenatal menentukan cakupan pelayanan antenatal. Semakin tinggi dukungan, maka semakin tinggi cakupan pelayanan antenatal.

Keterlibatan dan dukungan suami terkait kehamilan akan mempererat hubungan antara ayah anak dan suami istri. Dukungan suami yang baik akan menyebabkan kunjungan ANC semakin lengkap dengan demikian ibu akan merasa tenang, nyaman, aman dan kehamilan pun akan sehat, sehingga harapan bahwa ibu dan bayi lahir sehat akan tercapai. Jika suami mengharapkan kehamilan, mendukung bahkan memperlihatkan dukungannya dalam berbagai hal, maka ibu hamil akan merasa lebih percaya diri, lebih bahagia dan siap dalam menjalani kehamilan, persalinan dan masa nifas. Dukungan suami pada pelayanan antenatal sangat berarti dan diinginkan oleh ibu sehingga ibu melakukan kunjungan antenatal secara teratur. Dukungan suami dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa adanya hubungan dukungan suami dengan kepatuhan melakukan kunjungan antenatal.

Di antara ibu hamil yang mendapatkan dukungan dari suami masih ada yang tidak patuh melakukan kunjungan antenatal. Beberapa ibu hamil menuturkan bahwa suaminya hanya menganjurkan untuk teratur melakukan pemeriksaan kehamilan, namun suaminya tidak mengantar ke fasilitas kesehatan sehingga ibu menjadi enggan untuk berkunjung ke petugas kesehatan. Meskipun terdapat dukungan dari suami responden tetap enggan untuk memeriksakan kehamilan, hal ini disebabkan kurangnya kesadaran ibu hamil.

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa kepatuhan ibu hamil dalam melakukan ANC berhubungan dengan faktor umur, pengetahuan, pendidikan, dan dukungan suami. Selanjutnya disarankan agar tenaga kesehatan meningkatkan promosi kesehatan untuk ibu hamil dan memotivasi ibu hamil untuk tetap melakukan pemeriksaan kehamilan sesuai standar guna meningkatkan kesejahteraan ibu hamil dan mengurangi angka kematian dan kesakitan ibu dan anak akibat komplikasi kehamilan yang bisa dicegah atau ditangani sedini mungkin.

DAFTAR PUSTAKA Agustini, Nn Mestri. (2010). Hubungan

Antara Tingkat Pengetahuan Ibu Dan Dukungan Keluarga Dengan Cakupan Pelayanan Antenatal Di Wilayah Kerja Puskesmas Buleleng I. Jurnal Magister Kedokteran Keluarga Vol 1, No 1, 2013 (hal 67-79) (Diakses tanggal 30 Juni 2014)

Astuti, Hutari Puji. 2012. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Ibu I (Kehamilan). Yogyakarta: Rohima Press

Burhaeni, Sitti dkk. 2013. Faktor Determinan Pemanfaatan Pelayanan Antenatal Di Wilayah Kerja Puskesmas Pampang Kecamatan Panakukang Kota Makassar Tahun 2013. Fakultas Kesehatan Masyarakat, UNHAS, Makassar

Depkes RI. 2009. Panduan Pelayanan Antenatal. Jakarta: Depkes RI http//www.depkes.go.id (diakses 21 Januari 2014)

_____.2009. Survei Demografi Kesehatan Indonesia 2008. Jakarta: Depkes RI. http//www.depkes.go.id (diakses 21 Januari 2014)

_____. 2010. Panduan Pelayanan Antenatal. Jakarta: Depkes RI. http//www.depkes. go.id (diakses 21 Januari 2014)

_____.2010. Riset Kesehatan Daerah 2010. Jakarta: Depkes RI. http//www.depkes. go.id (diakses 14 Agustus 2014)

_____. 2012. Survei Demografi Kesehatan Indonesia 2012. Jakarta: Depkes RI http//www.depkes.go.id (diakses 21 Januari 2014)

Dewi, Peta Puspita. 2013. Hubungan Pengetahuan Ibu Hamil Tentang Antenatal Care Dengan Frekuensi Kunjungan Antenatal Care Di Rumah Bersalin Wikaden Imogiri Bantul. Jurnal Maternal Volume 8 Edisi April 2013

Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara. 2012. Profil Kesehatan Sumatera Utara

Page 38: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K 2-TRIK: P · Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan berwenang mengubah artikel, namun tidak akan mengub

Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098

101 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

2012. Medan. http//www.depkes.go.id (diakses 22 April 2014)

Fithriani, Nadhira. 2012. Hubungan Antara Dukungan Keluarga Dengan Kepatuhan Ibu Dalam Pemeriksaan Kehamilan Trimester Iii Di Klinik Bersalin Sri Wahyuni Medan. Repositori USU (Tesis diakses tanggal 12 Januari 2014)

Fithriany, 2011. Pengaruh Karakteristik Ibu Dan Dukungan Suami Terhadap Pemeriksaan Kehamilan Di Kecamatan Kuta Cot Glie Kabupaten Aceh Besar. Repository USU (Tesis diakses 12 Januari 2014)

Janah, Nurul. 2011. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Kehamilan. Yogyakarta: Penerbit ANDI

Kusmiyati, Yuni, Sujiyatini, dkk. 2011. Perawatan Ibu Hamil (Asuhan Ibu Hamil). Yogyakarta: Fitramaya

Kristianto, Ardeno dkk. 2012. Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Perempuan Usia Reproduksi terhadap Asuhan Antenatal, dan Faktor-Faktor yang Berhubungan. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia, Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo. Artikel Penelitian Vol. 62 (Diakses tanggal 30 Juni 2014)

Murniati. 2007. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Pemanfaatan Pelayanan Antenatal Oleh Ibu Hamil Di Kabupaten Aceh Tenggara. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/22463/5/Chapter%20I.pdf (tesis diakses 12 Januari 2014)

Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Ilmu Perilaku Kesehatan, Jakarta, Rineka Cipta

_____. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT Asdi Mahasatya.

Pieter, Herri Zan, Namora Lumongga Lubis. 2010. Pengantar Psikologi untuk Kebidanan. Jakarta: Kencana

Pinem, Saroha. 2009. Kesehatan Reproduksi dan Kontrasepsi. Jakarta: TIM

Romauli, Suryati. 2012. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Ibu I. Yogyakarta: Rohima Press

Rukiah, Ai Yeyeh. 2012. Asuhan Kebidanan I (Kehamilan). Jakarta: TIM

Saifudin A.B. 2008. Pelayanan Kesehatan Maternal Dan Neonatal. Jakarta: Bina Pustaka

Sihombing, Faija. 2012. Pengaruh Faktor Predisposisi, Kebutuhan Dan Pemungkin Ibu Hamil Terhadap Pemanfaatan Antenatal Care (Anc) Di Wilayah Kerja Puskesmas Simpang Limun Kota Medan.

Repositori Perpustakaan USU. (Tesis diakses 12 Januari 2014)

Page 39: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K 2-TRIK: P · Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan berwenang mengubah artikel, namun tidak akan mengub

Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098

102 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

STUDI TENTANG PERILAKU PEDAGANG DAN PETUGAS KEBERSIHAN DALAM

UPAYA PENGELOLAAN SAMPAH

Fitria Nur Rahmawati (Jurusan Kesehatan Lingkungan,

Politeknik Kesehatan Kemenkes Surabaya) Prijono Sigit

(Jurusan Kesehatan Lingkungan, Politeknik Kesehatan Kemenkes Surabaya)

Rusmiati (Jurusan Kesehatan Lingkungan,

Politeknik Kesehatan Kemenkes Surabaya)

ABSTRAK

Pendahuluan: Pasar Kesamben, Blitar memiliki masalah berkaitan dengan pengelolaan sampah, yang kemungkinan disebabkan oleh perilaku pengguna pasar. Penelitian ini bertujuan menganalisis perilaku pedagang dan petugas kebersihan pasar mencakup pengetahuan, sikap, dan tindakan. Metode: Data penelitian deskriptif ini berasal dari hasil wawancara dan observasi dari sampel yaitu 291 pedagang dan 2 petugas kebersihan. Selanjutnya data dianalisis secara deskriptif. Hasil: Untuk para pedagang didapatkan hasil yaitu pengetahuan baik (65.29%), sikap cukup (51.20%), tindakan cukup (91,75%), dan perilaku cukup (92,10%), sedangkan untuk petugas kesehatan adalah pengetahuan cukup (100%), sikap cukup dan kurang (masing-masing 50%), tindakan kurang (100%), dan perilaku kurang (100%). Sementara itu, hasil penilaian pengelolaan sampah secara umum adalah 40%. Kesimpulan: Perilaku pedagang dan petugas kesbersihan dan kondisi penglolaan sampah masih belum baik. Saran: Diperlukan peningkatan penyuluhan, penambahan fasilitas, manajemen pengelolaan, penambahan petugas, dan inspeksi secara rutin terkait dengan pengelolaan sampah pasar. Kata kunci: Sampah pasar, perilaku, pengetahuan, sikap, tindakan

PENDAHULUAN Latar Belakang

Di Indonesia terdapat 13.650 pasar

tradisional dan 70% atau sekitar 9.415 pasar kondisinya masih memprihatinkan. Hal ini disebabkan karena pasar tradisional belum memiliki manajemen tentang kebersihan pasar yang baik. Sehingga pasar tradisional memiliki peluang besar untuk menjadi jalur utama penyebaran penyakit (Munthe, 2012).

Salah satu permasalahan pasar yang cukup rumit adalah permasalahan sampah pasar, sebab selain jumlahnya yang relatif banyak, sampah pasar juga mempunyai problematik tersendiri, sebagaimana yang dikemukakan oleh Suparlan dalam jurnal penelitian Zulkarnaini dan Saam (2009:1) Sampah di pasar merupakan masalah yang besar sekali di mana-mana, lebih-lebih di Indonesia, karena sebagian besar dari sampah pasar terdiri dari sampah basah, sehingga selama pengumpulan tumpukan--tumpukan ini merupakan sarang lalat, tikus dan serangga, menjadi sumber pengotoran tanah, air maupun udara dan dari segi estetika akan menimbulkan bau serta pemandangan yang kurang menyenangkan.

Pasar Kesamben merupakan salah satu pasar tradisional yang dikelola oleh Pemerintah Kabupaten Blitar. Seperti halnya dengan pasar tradisional lainnya, pasar Kesamben juga memiliki masalah utama berkaitan dengan kebersihan pasar terutama dalam pengelolaan sampahnya.

Berdasarkan hasil survey awal yang dilakukan pada tanggal 2 Februari 2013 di lokasi pasar Kesamben masih banyak ditemukan sampah yang berserakan di los-los/ kios para pedagang dan disekitar tempat penampungan sampah. Jumlah timbunan sampah perhari di pasar Kesamben adalah sekitar 2 m3 perhari. Sampah yang dihasilkan kebanyakan sampah basah, yang berasal dari sayur-sayuran dan buah-buahan, daging, ikan, makanan dan minuman dan lain-lain.

Jumlah penampungan sampah di pasar Kesamben masih kurang yaitu 25 buah dan diletakkan dibeberapa titik saja. Disetiap kios dan los tidak tersedia kotak sampah khusus, kebanyakan para pedagang yang tidak mempunyai kotak sampah atau jauh dari lokasi tempat sampah akan membuang sampah disekitar tempat pedagang atau dikolong loos, sehingga menjadikan tempat tersebut kotor. Volume sampah yang terangkut dari setiap loos/kios ke TPS hanya 70%, sedangkan Volume yang terangkut dari TPS ke TPA sebanyak 75%. Hal ini karena pelaksanaan pengangkutan sampah hanya

Page 40: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K 2-TRIK: P · Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan berwenang mengubah artikel, namun tidak akan mengub

Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098

103 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

dilakukan oleh dua orang petugas. Pengangkutan sampah dari TPS ke TPA dilakukan empat hari sekali. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan perilaku pedagang dan petugas kebersihan, serta menilai pengelolaan sampah di Pasar Kesamben Kabupaten Blitar METODE PENELITIAN

Untuk membahas permasalahan yang ada dalam penelitian ini, maka jenis penelitian ini adalah deskriptif. Subyek penelitian adalah seluruh pedagang yang ada di Pasar Kesamben Kabupaten Blitar (291 orang) dan petugas kebersihan Pasar Kesamben yaitu 2 orang. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dan observasi. Data yang diperoleh diolah secara manual menggunakan distribusi frekuensi yang disajikan dalam bentuk tabel.

HASIL PENELITIAN

Tabel 1. Distribusi Usia Pedagang di Pasar Kesamben Kabupaten Blitar

Usia Frekuensi Persen <18

18-26 27-34 35-42 43-50 51-58 59-66 >67

2 16 45 63 64 61 21 19

0,68% 5,49%

15,46% 21,64% 21,99% 20,96% 7,21% 6,52%

Jumlah 291 100%

Tabel 2. Distribusi Pendidikan Pedagang di Pasar Kesamben Kabupaten Blitar

Pendidikan Frekuensi Persen Tidak sekolah

SD SMP SMA

Perguruan Tinggi

29 98 85 76 3

9,96% 33,67% 29,20% 26,11% 1,03%

Jumlah 291 100%

Tabel 3. Karakteristik Petuga Kebersihan Pasar Kesamben Kabupaten Blitar

Jenis Kelamin Usia Pendidikan Status

Pekerjaan Masa Kerja

Laki-laki 55 tahun

SMA Pegawai Tidak Tetap

12 tahun

Laki-laki 31 tahun SMA Pegawai

Tidak Tetap 4

tahun

Tabel 4. Distribusi Pengetahuan Pedagang di Pasar Kesamben Kabupaten Blitar

Pengetahuan Frekuensi Persen Baik

Cukup Kurang

190 67 34

65,29% 23,37% 11,34%

Jumlah 291 100%

Tabel 5. Distribusi Sikap Pedagang di Pasar Kesamben Kabupaten Blitar

Sikap Frekuensi Persen Baik

Cukup Kurang

6 149 136

2,06% 51,20% 46,74%

Jumlah 291 100%

Tabel 6. Distribusi Tindakan Pedagang di Pasar Kesamben Kabupaten Blitar

Tindakan Frekuensi Persen Baik

Cukup Kurang

17 267 7

5,84% 91,75% 2,41%

Jumlah 291 100%

Tabel 7. Distribusi Perilaku Pedagang di Pasar Kesamben Kabupaten Blitar

Perilaku Frekuensi Persen Baik

Cukup Kurang

8 268 15

2,75% 92,10% 5,15%

Jumlah 291 100% Tabel 8. Distribusi Pengetahuan Petugas Kebersihan

di Pasar Kesamben Kabupaten Blitar

Pengetahuan Frekuensi Persen Baik

Cukup Kurang

- 2 -

- 100%

- Jumlah 2 100%

Tabel 9. Distribusi Sikap Petugas Kebersihan di Pasar Kesamben Kabupaten Blitar

Sikap Frekuensi Persen Baik

Cukup Kurang

- 1 1

- 50% 50%

Jumlah 2 100%

Tabel 10. Distribusi Tindakan Petugas Kebersihan di Pasar Kesamben Kabupaten Blitar

Tindakan Frekuensi Persen

Baik Cukup Kurang

- - 2

- -

100% Jumlah 2 100%

Page 41: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K 2-TRIK: P · Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan berwenang mengubah artikel, namun tidak akan mengub

Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098

104 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Tabel 10. Distribusi Perilaku Petugas Kebersihan di Pasar Kesamben Kabupaten Blitar

Perilaku Frekuensi Persen Baik

Cukup Kurang

- - 2

- -

100% Jumlah 2 100%

Tabel 12. Hasil Penilaian Pengelolaan

Sampah di Pasar Kesamben Kabupaten Blitar Tahun 2013

No. Komponen yang dinilai Skor Persen

1. Setiap kios/lorong/los tersedia tempat sampah basah/kering

8 20%

2.

Tempat sampah terbuat dari a. Bahan kedap air b. Tidak mudah

berkarat c. Kuat d. Terlutup e. Mudah dibersihkan

36 45%

3.

Tersedia alat angkut sampah a. Kuat b. Mudah dibersihkan

20 33%

4.

Tersedia Tempat Pembuangan Sampah Sementara a. Kuat b. Kedap Air c. Mudah dibersihkan d. Mudah dijangkau

36 60%

5. TPS tidak menjadi tempat binatang penular penyakit

8 20%

6.

TPS tidak dijalur utama pasar dm berjarak minimal 10 meter dari bangunan pasar

20 50%

Jumlah 128 40%

PEMBAHASAN

Pengetahuan responden di Pasar Kesamben Kabupaten Blitar adalah baik untuk responden pedagang dan cukup untuk responden petugas kebersihan. Hal ini mungkin karena karateristik responden yang biasanya banyak melakukan interaksi dengan lingkungan sehingga responden bisa melihat dan mendengar informasi mengenai pengelolaan sampah pasar. Tingkat pendidikan kemungkinan berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan responden (Notoatmodjo, 2007).

Sikap pedagang di pasar kesamben dalam upaya pengelolaan sampah adalah

cukup, Sedangkan untuk tingkat sikap petugas kebersihan pasar kesamben dalam upaya pengelolaan sampah diketahui tingkat sikap cukup dan kurang. Dalam penentuan sikap pengetahuan, berfikir, keyakinan dan emosi memegang peran penting. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sikap responden pada tingkat menerima saja, dalam arti bahwa seseorang mau menerima stimulus yang diberikan.

Tindakan pedagang di pasar kesamben dalam upaya pengelolaan sampah sebagian besar adalah cukup dan untuk responden petugas kebersihan kurang, sedangkan untuk pengetahuan sebagian besar responden dalam kategori baik. Hal ini menunjukkan bahwa sikap baik belum tentu diikuti dalam tindakan baik, sesuai pernyataan Notoatmojo (2007) terwujudnya tindakan perlu ada faktor lainyaitu antara lain fasilitas atau sarana dan prasarana.

Perilaku pedagang di pasar kesamben dalam upaya pengelolaan sampah mayoritas adalah cukup dan untuk responden petugas kebersihan kurang. Hal ini terjadi karena perilaku yang baik tidak hanya di tentukan oleh pengetahuan yang baik saja akan tetapi ada faktor lain yang berpengaruh terhadap perilaku seperti tradisi/kebiasaan.

Pengelolaan sampah di Pasar Kesamben dengan kategori cukup yaitu 40%. Hal ini dilihat dari rendahnya kepemilikan tempat sampah disetiap los/ kios, tempat sampah yang belum memenuhi syarat, belum memenuhi syaratnya alat angkut sampah Tempat Penampungan Sampah Sementara yang memungkinkan menjadi tempat perindukan vektor.

KESIMPULAN

Berdaarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa perilaku pedagang dan petugas kesbersihan dan kondisi penglolaan sampah masih belum baik, sehingga diajukan beberapa saran yaitu: 1) meningkatkan kegiatan penyuluhan kepada pedagang agar berpartisipasi dalam pengelolaan sampah dipasar, 2) perlu penambahan fasilitas pengelolaan sampah yang lebih memadai, 3) mewajibkan kepada setiap pedagang untuk memiliki tempat sampah sendiri, 4) Perlu adanya manajemen pengelolaan sampah di pasar, 5) perlunya dilakukan pelatihan terhadap petugas kebersihan, 6) perlunya penambahan personil kebersihan pasar, 7) perlu dilakukan inspeksi sanitasi pasar secara rutin DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2009. Pengertian Distribusi. Retrieved 11 Maret 2013. from

Page 42: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K 2-TRIK: P · Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan berwenang mengubah artikel, namun tidak akan mengub

Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098

105 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

http://balaipustaka.wordpress.com/2009/03/15/pengertian-distribusi

Arikunto, S. 2005. Manajemen Penelitian. Jakarta, Rineka Cipta

Chandra, B. 2007. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta: EGC

Depkes RI 1987. Pembuangan Sampah. Jakarta, Depkes RI

Febrianti, E. 2012. OUTLINE 3 JLIDUL (tugas metode penelitian kuantitatif) Retrieved 7 Maret 2013. from http://ennafebirudenna.blogspot.com/ 2012/12/outline-3-judul-tugas-metode-penelitian.html.

Godam. 2012. Tips Cara dan Tempat Membuang Sampah yang Benar dan Baik. Retrieved 16 Januari, 2013. from http://organisasi.orgtips-cara-dan-temnat-membuan-g sampah-yang-benar-dan-baik.

Hadi, S. 2012. Contoh Aktikel Penelitian Kesehatan (3). Retrieved 16 Januari, 2013. from http://grahapenah.blogspot. com/2012/10/v-behaviorurl defaultvmlo 7.html?zx=cbflc1c285185cc3.

Hermawan, Y. and H. O. Roesman 2008. Perilaku Pedagang Sayur Dalam Mengelola Kebersihan Lingkungan Hidup. Bumi Lestari,2(8): 186-192.

Ishaqibrahim. 2011. Mengolah Sampah Pasar. Retrieved 16 Januari 2013, from http://lgreendom.webs.com/aMs/blog/show/11055249-mengolah-sampah-pasar.

Keputusan Menteri Kesehatan RI No 519/MENKES/SK/VU2008 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pasar Sehat.

Mukono, H. 2006. Prinsip Dasar Kesehatan Lingkungan. Surabaya, Universitas Airlangga

Munthe, M. G. 2012.70% Pasar Tradisional Masih Kumuh, Kemenkop UKM Lanjutkan Program Revitalisasi. Solo, Solopos.Retrieved Access 2012, from http://www.soloyos.com/2012110131/70-pasar-tradisional-masih-kumuh-kemenkop-ukm-lanjutkan-program-revitalisasi-343763.

Notoatmodjo, S. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta, Rineka Cipta 8.

Pandebesie, E. S. 2005. Teknik Pengelolaan Sampah. Surabaya, Fakultas Teknik Lingkungan Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Puspita, V. Y. 2012. Sanitasi Pasar. Retrieved 16 Januari, 2013, from http//www.scribd.com/doc/102755103/sanitasi-pasar.

Reksosoebroto, S. 1978. Hygiene dan Sanitasi. Jakarta, Akademi Penilik Kesehatan Teknologi Sanitasi

Ristiani, L. 2012. Otline: Hubungan Pemakaian Alat Pelindung Diri Dengan Kejadian Penyakit Kulit Pada Petugas Pengangkut Sampah. Retrieved 07 Maret, 2013, from http://lisaristiani2. blogspot.com/2012/12/otline-hubungan-pemakaian-alat.html.

Suparlan 1988. Pedoman Pengawasan Sanitasi Tempat-tempat Umum. Surabaya, Surabaya Merdeka Print.

U. S. D. R. P. "Pedoman Umum Manajemen Pasar Profesinalisasi Manajenen Aset Pasar dan Terminal." pp. V-4. Jakarta: Urban Sector Development Reform Project Indonesia.

Zubair, A. (2003). Hubungan Tingkat Pengetahuan Dengan Partisipasi Pedagang Dalam Pengelolaan Sampah di Pasar Sukaramai Medan. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Medan, Universitas Sumatera Utara.

Zulkarna.ini and Z. Saam 2009. Faktor faktor Penentu Tingkat Partisipasi Pedagang Dalam Pengelolaan Sampag di Pasar Pagi Arengka Kota Pekanbaru. Program Studi Ilmu Lingkungan PPS Universitas Riau(3):1.

Page 43: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K 2-TRIK: P · Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan berwenang mengubah artikel, namun tidak akan mengub

Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098

106 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

KELELAHAN KERJA PADA KARYAWAN AIR TRAFFIC CONTROLLER (ATC)

Lalu Muhammad Saleh (Fakultas Kesehatan Masyarakat,

Universitas Hasanuddin Makassar) Tjipto Suwandi

(Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga Surabaya)

Hamidah (Fakultas Psikologi, Universitas Airlangga

Surabaya)

ABSTRAK Pendahuluan: Kelelahan kerja memberikan kontribusi sebanyak 50% untuk terjadinya kecelakaan kerja. Kelelahan dapat dipicu oleh banyak faktor. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kelelahan kerja pada karyawan ATC. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif survei, pada populasi karyawan ATC Airnav Cabang Surabaya Indonesia, dengan besar populasi 70 orang. Sampel sebesar 41 orang dipilih dengan teknik probability sampling. Hasil: Sebanyak 92,7% karyawan ATC yang mengalami perasaan kelelahan, dimana yang kadang-kadang mengalami kelelahan sebanyak 30 orang (73,2 %), sering 6 orang (14,6%), tidak pernah 3 orang (7,3 %), dan sering sekali mengalami kelelahan sebanyak 2 orang (4,9%). Kesimpulan: karyawan ATC yang sudah mulai mengalami kelelahan sebanyak 92,7%, mulai dari tingkatan kadang-kadang mengalami kelelahan sampai sering sekali mengalami kelelahan. Saran: Pihak Airnav melakukan upaya penyegaran pada karyawan ATC dengan melakukan rekreasi, pengaturan jam kerja, penambahan jumlah SDM, perbaikan peralatan kerja, dan pada karyawan diharapkan bekerja lebih rileks dan santai penuh tanggung jawab. Kata kunci: Kelelahan, jenis kelamin, umur, pendidikan, unit, shift, masa kerja.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Industri penerbangan setiap tahunnya mengalami kemajuan yang pesat, mulai dari peningkatan jumlah penumpang maupun jumlah pesawat yang mengangkut penumpang berdasarkan data penumpang udara nasional pada 2011 mencapai 70 juta orang, 2012 meningkat 80 juta orang dan 2013 di atas 90 juta orang. Armada yang menjelajahi langit Nusantara semakin bertambah. Indonesia merupakan salah satu negara pembeli pesawat komersial terbanyak di Asia dan pada tahun 2015 armada yang dioperasikan bertambah sekitar 966 pesawat (Sudibyo, 2014). Keadaan ini tidak didukung sepenuhnya pada kondisi sarana dan prasarana pendukung seperti penyediaan alat navigasi penerbangan dan peralatan yang sesuai dengan standar internasional serta masih kurangnya SDM Air Traffic Controller (ATC). Peningkatan jumlah kecelakaan pesawat baik yang terjadi di dunia internasional maupun nasional cenderung mengalami peningkatan.

Setiap hari, lebih dari 12 pekerja mati di tempat kerja dan mencapai lebih dari 4.500 orang pekerja untuk setiap tahunnya. Sedangkan untuk masalah sakit dan kecelakaan melebihi 4.1 juta pekerja yang mengalami masalah sakit dan kecelakaan terkait dengan pekerjaannya (OSHA, 2012). Perilaku pekerja yang tidak selamat atau biasa dikenal dengan istilah tindakan yang tidak selamat di tempat kerja memegang peranan penting untuk terjadinya kecelakaan di tempat kerja dengan kontribusi terbesar untuk terjadinya kecelakaan melebihi faktor lingkungan dan faktor peralatan, dengan memberikan kontribusi sebanyak 80 persen untuk terjadinya kecelakaan (Lee, 2000).

Unsafe act adalah tindakan atau perbuatan dari seseorang atau beberapa orang pekerja yang memperbesar kemungkinan terjadinya kecelakaan terhadap pekerja (Reason, 1997). Penelitian lain yang telah dilakukan, faktor manusia menempati posisi yang sangat penting terhadap terjadinya kecelakaan kerja yaitu antara 80-85% (Suma’mur, 1993). Salah satu faktor penyebab utama kecelakaan kerja yang disebabkan oleh manusia adalah stress dan kelelahan (fatigue). Kelelahan bisa disebabkan oleh sebab fisik ataupun tekanan mental. Kelelahan kerja memberikan kontribusi sebanyak 50 % untuk terjadinya kecelakaan kerja (Setyawati, 2007).

Page 44: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K 2-TRIK: P · Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan berwenang mengubah artikel, namun tidak akan mengub

Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098

107 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Kelelahan kerja merupakan salah satu gejala penurunan kondisi fisik dan stamina yang sering dialami oleh tenaga kerja. Suasana kerja yang tidak ditunjang dengan kondisi lingkungan yang sehat, nyaman dan selamat akan memicu terjadinya kelelahan kerja. Kelelahan kerja merupakan fenomena yang sering dialami oleh tenaga kerja namun hal ini tidak bisa diabaikan karena berkaitan dengan perlindungan kesehatan tenaga kerja. Bahkan hasil penelitian disebutkan bahwa dari 80% human error, 50% nya disebabkan oleh kelelahan kerja (Wahyuni, 2007).

Kurang lebih 40% pekerja di Amerika Serikat mengalami kelelahan, berdasarkan Journal of Occupational and Environmental Medicine, Official Publication of The American College of Occupational and Environmental Medicine (ACOEM), milyaran dolar Amerika hilang akibat dari produktivitas yang rendah (William dan Wilkins, 2007).

Penelitian ini membahas tentang kelelahan kerja pada karyawan Air Traffic Controller (ATC) cabang Surabaya. Faktor apakah yang mempengaruhi terjadinya kelelahan kerja pada karyawan ATC dan bagaimana faktor kelelahan kerja pada karyawan ATC di Airnav Cabang Surabaya berdasarkan jenis kelamin, umur, pendidikan, unit kerja, shift kerja, masa kerja. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan di Airnav Indonesia Cabang Surabaya pada bulan Oktober 2014, menggunakan metode survei dengan pendekatan cross sectional. Dalam hal ini, dilakukan analisis faktor yang mempengaruhi kelelahan kerja pada karyawan ATC di Surabaya meliputi jenis kelamin, umur, pendidikan, shif kerja, unit kerja, dan masa kerja, .

Populasi dalam penelitian ini adalah semua karyawan ATC yang ada pada Airnav Surabaya, dengan besar populasi 70 orang. Besar sampel adalah 41 orang yang dipilih dengan teknik probability sampling. Data dikumpulkan melalui pengisian kuesioner, lalu dianalisis dianalisis secara deskriptif dan disajikan dengan tabel frekuensi.

HASIL PENELITIAN

Tabel 1 menunjukkan bahwa karakteristik karyawan ATC Cabang Surabaya pada jenis kelamin persentase tertinggi adalah jenis kelamin laki-laki (68,3%), umur tertinggi pada umur tua (65,9%), pendidikan tertinggi Diploma III (56,1%), unit tertinggi pada unit APP (63,4%), shift tertinggi pada shift siang (56,1%) dan masa kerja tertinggi pada pada masa kerja lama sebanyak (65,9%).

Tabel 1. Karakteristik Karyawan Air Traffic Controller (ATC) Cabang Surabaya

Karakteristik Karyawan Frekuensi Persen Jenis

Kelamin Laki-laki

Perempuan 28 13

68,3 31,7

Umur Muda Tua

14 27

34,1 65,9

Pendidikan D3 S1 S2

23 17 1

56,1 41,5 2,4

Unit ADC APP

15 26

36,6 63,4

Shift Pagi Siang Malam

14 23 4

34,1 56,1 9,8

Masa kerja Baru Lama

14 27

34,1 65,9

Distribusi kelelahan pada karyawan ATC

Cabang Surabaya pada Tabel 2. menunjukkan bahwa kelelahan tertinggi pada kadang-kadang mengalami kelelahan sebanyak 73,2% dan terendah pada kelelahan sering sekali (4,9%).

Tabel 2. Distribusi Kelelahan pada Karyawan Air Traffic Controller (ATC) Cabang Surabaya

Kelelahan Frekuensi Persen Tidak pernah

Kadang-kadang Sering

Sering Sekali

3 30 6 2

7,3 73,2 14,6 4,9

Total 41 100

Tabel 3 menunjukkan bahwa untuk jenis kelamin laki-laki, kelelahan terbanyak pada kategori kadang-kadang (67,86%), demikian pula untuk perempuan (84,62%).

Tabel 3. Distribusi Kelelahan Kerja pada Karyawan Air Traffic Controller (ATC)

Cabang Surabaya Menurut Jenis Kelamin

Jenis Kelamin

Kelelahan Total Tidak

pernah Kadang-kadang

Sering Sering Sekali

f (%) f (%) f (%) f (%) f (%)

Laki-laki

2 (7,14)

19 (67,86)

5 (17,86)

2 (7,14)

28 (100)

Perempuan 1 (7,69)

11 (84,62)

1 (7,69)

0 (0,00)

13 (100)

Total 3 (7,32)

30 (73,17)

6 (14,63)

2 (4,88)

41 (100)

Tabel 4 menunjukkan bahwa untuk kelompok usia muda, kelelahan terbanyak pada kategori kadang-kadang (62,50%), demikian pula untuk kelompok tua (74,07%).

Page 45: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K 2-TRIK: P · Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan berwenang mengubah artikel, namun tidak akan mengub

Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098

108 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Tabel 4. Distribusi Kelelahan Kerja pada Karyawan Air Traffic Controller (ATC)

Cabang Surabaya Menurut Umur

Umur

Kelelahan Total Tidak

pernah Kadang-kadang

Sering Sering Sekali

f (%) f (%) f (%) f (%) f (%)

Muda

3 (18,75)

10 (62,50)

1 (6,25)

2 (12,50)

14 (100)

Tua 0 (0,00)

20 (74,07)

5 (18,52)

2 (7,41)

27 (100)

Total 3 (7,32)

30 (73,17)

6 (14,63)

2 (4,88)

41 (100)

Tabel 5 menunjukkan bahwa untuk

kelompok pendidikan D3, kelelahan terbanyak pada kategori kadang-kadang (69,57%), demikian pula untuk kelompok pendidikan S1-S2 (77,78%).

Tabel 5. Distribusi Kelelahan Kerja pada Karyawan Air Traffic Controller (ATC)

Cabang Surabaya Menurut Umur

Pendidikan

Kelelahan Total Tidak

pernah Kadang-kadang

Sering Sering Sekali

f (%) f (%) f (%) f (%) f (%) D3

1

(4,35) 16

(69,57) 4

(17,39) 2

(8,70) 23

(100)

S1-S2 2 (11,11)

14 (77,78)

2 (11,11)

0 (0,00)

18 (100)

Total 3 (7,32)

30 (73,17)

6 (14,63)

2 (4,88)

41 (100)

Tabel 6 menunjukkan bahwa untuk

kelompok Unit Kerja ADC, kelelahan terbanyak pada kategori kadang-kadang (66,67%), demikian pula untuk kelompok unit kerja APP (76,792%).

Tabel 6. Distribusi Kelelahan Kerja pada Karyawan Air Traffic Controller (ATC) Cabang Surabaya Menurut Unit Kerja

Unit Kerja

Kelelahan Total Tidak

pernah Kadang-kadang

Sering Sering Sekali

f (%) f (%) f (%) f (%) f (%)

ADC

3 (20,00)

10 (66,67)

2 (13,33)

0 (0,00)

15 (100)

APP 0 (0,00)

20 (76,92)

4 (15,38)

2 (7,69)

26 (100)

Total 3 (7,32)

30 (73,17)

6 (14,63)

2 (4,88)

41 (100)

Tabel 7 menunjukkan bahwa untuk shift

kerja pagi, kelelahan terbanyak pada kategori kadang-kadang (78,57%), demikian

pula untuk shift siang (69,57) dan malam (75,00%).

Tabel 7. Distribusi Kelelahan Kerja pada Karyawan Air Traffic Controller (ATC) Cabang Surabaya Menurut Unit Kerja

Shift Kerja

Kelelahan Total Tidak

pernah Kadang-kadang

Sering Sering Sekali

f (%) f (%) f (%) f (%) f (%)

Pagi

2 (14,29)

11 (78,57)

1 (7,14)

0 (0,00)

14 (100)

Siang 1 (4,35)

16 (69,57)

4 (17,39)

2 (8,70)

23 (100)

Malam 0 (0,00)

3 (75,00)

1 (25,00)

0 (0,00)

4 (100)

Total 3 (7,32)

30 (73,17)

6 (14,63)

2 (4,88)

41 (100)

Tabel 8 menunjukkan bahwa untuk

kelompok masa kerja lama, kelelahan terbanyak pada kategori kadang-kadang (71,43%), demikian pula untuk masa kerja baru (74,07%).

Tabel 8. Distribusi Kelelahan Kerja pada Karyawan Air Traffic Controller (ATC)

Cabang Surabaya Menurut Masa Kerja

Masa Kerja

Kelelahan Total Tidak

pernah Kadang-kadang

Sering Sering Sekali

f (%) f (%) f (%) f (%) f (%)

Lama

3 (21,43)

10 (71,43)

1 (7,14)

0 (0,00)

14 (100)

Baru 0 (0,00)

20 (74,07)

5 (18,52)

2 (7,41)

27 (100)

Total 3 (7,32)

30 (73,17)

6 (14,63)

2 (4,88)

41 (100)

PEMBAHASAN

Kata lelah (fatigue) menunjukkan keadaan tubuh fisik dan mental yang berbeda, tetapi semuanya berakibat pada penurunan daya kerja dan berkurangnya ketahanan tubuh untuk bekerja. Terdapat dua jenis kelelahan, yaitu kelelahan otot dan kelelahan umum. Kelelahan otot ditandai antara lain oleh tremor atau rasa nyeri yang terdapat pada otot. Kelelahan umum ditunjukkan oleh hilangnya kemauan untuk bekerja yang penyebabnya adalah keadaan persarafan sentral atau kondisi psikis-psikologis yang disebabkan karena monotoni; intensitas dan lamanya kerja fisik; keadaan lingkungan; sebab-sebab mental; status kesehatan dan status gizi. Pengaruh-pengaruh ini seperti berkumpul di dalam tubuh dan mengakibatkan perasaan lelah (Suma’mur, 2009).

Page 46: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K 2-TRIK: P · Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan berwenang mengubah artikel, namun tidak akan mengub

Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098

109 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Grandjean dalam buku Ergonomi untuk Keselamatan, Kesehatan Kerja dan Produktivitas oleh Tarwaka dkk, (2004), menjelaskan bahwa faktor penyebab terjadinya kelelahan di industri sangat bervariasi, sebagai berikut : circardian rhythm (ritme sirkardian), kenyerian dan kondisi kesehatan (sakit/berpenyakit), intensitas dan lamanya kerja fisik dan mental, lingkungan : iklim, penerangan, kebisingan, getaran, dll. , masalah kejiwaan : tanggung jawab dan kekwatiran konflik, dan nutrisi/keadaan gizi.

Penelitian ini menunjukkan bahwa karyawan ATC yang mengalami kelelahan sebanyak 92,7%, di mana yang kadang-kadang mengalami kelelahan: 73,2%, sering: 14,6%, tidak pernah: 7,3%, dan sering sekali: 4,9%). Hasil ini menunjukkan bahwa yang kadang-kadang mengalami kelelahan adalah yang tertinggi dan terendah pada kelelahan yang sering sekali.

Penelitian lain pada operator di mana terjadi penurunan tingkat kewaspadaan setelah mengalami kelelahan, kelelahan mental yang dirasakan oleh operator lebih mempengaruhi tingkat kewaspadaan daripada kelelahan fisik., dan kombinasi kelelahan mental dan fisik paling mempengaruhi tingkat kewaspadaan (Indriana, 2012).

Jenis kelamin adalah keadaan biologis karyawan ATC yang ditunjukkan dengan KTP, terdiri atas laki-laki dan perempuan. Jenis kelamin dapat mempengaruhi kelelahan kerja. Perempuan lebih mudah leklah karena memiliki otot-otot yang lebih lemah dari laki-laki. Berdasarkan penelitian ini menunjukkan bahwa jenis kelamin laki-laki pada karyawan ATC dan kadang-kadang kelelahan paling tinggi sebanyak 19 orang (67,86%), sedangkan pada perempuan adalah 84,62%. Ini menunjukkan bahwa kelelahan pada perempuan bisa lebih cepat daripada laki-laki.

Hasil penelitian di Inggris, kelelahan kerja diderita oleh 25% tenaga kerja wanita, 20% laki-laki (Fitrihana, Noor : 2008). Led by Judith A. Ricci, Sc.D., M.S., of Caremark, Hunt Valley, MD, pada study of the relationship between health and productivity at work, pada kurang lebih 29.000 orang pekerja, 38 % yang diwawancarai mengalami penurunan energi, kekurangan tidur, dan merasakan kelelahan selama 2 minggu bekerja, dan wanita lebih lelah dari laki-laki (William dan Wilkins, 2007).

Umur merupakan usia dari karyawan ATC berdasarkan tahun ulang tahun responden, yang ditunjukkan dengan kartu identitas. Umur seseorang sangat mempengaruhi kelelahan dalam bekerja,

umur yang lebih tua akan lebih cepat mengalami kelelahan karena sel-sel tubuh sudah mulai menua sehingga kondisi ini dapat memicu kelelahan daripada umur yang masih muda. Penelitian ini menunjukkan bahwa umur tua dan kadang-kadang kelelahan paling tinggi (74,07%) dibandingkan dengan umur muda (71,43%). Hal ini selaras bahwa umur tua akan lebih cepat kelelahan daripada umur muda. Penelitian Led pada William dan Wilkins (2007) dalam Study of the relationship between health and productivity at work, pada kurang lebih 29.000 orang pekerja, 38% yang diwawancarai umur kurang lebih 50 tahun mengalami kelelahan.

Pendidikan merupakan pendidikan formal terakhir karyawan Air Traffic Controller (ATC) yang dibuktikan dengan ijazah terakhir. Pendidikan dapat mempengaruhi terjadinya tingkat kelelahan pada karyawan. Pendidikan yang tinggi akan memiliki kesadaran akan pentingnya bekerja yang lebih baik sehingga dapat memicu semangat kerja yang tinggi, sedangkan yang berpendidikan rendah memilki pemaknaan arti bekerja lebih rendah sehingga memungkinkan semangat kerja rendah sehingga dapat menimbulkan kelelahan pada saat bekerja. Penelitian ini menunjukkan bahwa pendidikan Diploma III dan kadang-kadang kelelahan paling tinggi (69,57%) lebih rendah daripada pendidikan S1-S2 (77,78%). Hasil ini menunjukkan pendidikan lebih tinggi lebih sering mengalami kelelahan daripada pendikan yang lebih tinggi. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi pendidikan pada karyawan ATC maka semakin tinggi kemungkinan kelelahan yang dialami.

Unit kerja adalah penempatan kerja karyawan ATC selama melakukan controller pesawat, unit kerja terdiri dari unit kerja ADC (Aerodrome Controller Unit) dan APP (Approach Controller Unit). Unit kerja ADC bekerja di Tower dan unit APP bekerja di ruang radar. Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa unit kerja APP dan kadang-kadang kelelahan paling tinggi (76,92%). Hasil ini berarti bahwa bekerja dibagian APP memungkinkan terjadinya kelelahan yang lebih tinggi daripada dibagian ADC (66,67%). Hal ini dimungkinkan karena yang bekerja dibagian APP menggunakan peralatan kerja yang lebih rumit dan skill yang lebih tinggi daripada di bagian ADC dan rata-rata yang bekerja di APP adalah karyawan yang lebih senior yang berarti memiliki umur yang lebih tua. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian pada karyawan ATC Airnav Indonesia cabang Semarang di ruang APP (Approach Control Unit) yang

Page 47: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K 2-TRIK: P · Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan berwenang mengubah artikel, namun tidak akan mengub

Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098

110 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

menunjukkan bahwa kelelahan bersama tingkat kantuk dan beban kerja mental mempengaruhi tingkat kewaspadaan karyawan ATC dalam bekerja (Gita Mahdaniah, 2013). Shift kerja merupakan waktu kerja seorang karyawan ATC di dalam melakukan controller pesawat. Shift kerja terdiri atas shift kerja pagi (jam 07.00-13.00), shift siang (jam 13.00-19.00), dan shift malam (jam 19.00-07.00). shift kerja dapat mempengaruhi kelelahan kerja pada karyawan ATC karena shift kerja banyak dipengaruhi oleh banyak faktor baik itu jumlah traffic, suasana kerja, rytme circardian dan lain-lain. Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa shift kerja pagi dan kadang-kadang kelelahan paling tinggi (78,57%). Hasil ini berarti bahwa kerja pada shift pagi memiliki resiko kelelahan lebih tinggi daripada shift lainnya.

Masa kerja karyawan ATC adalah lamanya karyawan ATC bekerja sebagai controller terhitung tahun kerja. Masa kerja yang minimal adalah 1 tahun. Kerja sebagai controller membutuhkan ketelitian dan konsentrasi yang tinggi dalam bekerja sehingga pesawat yang dipandu dapat selamat mulai dari berangkat sampai ke tujuan. Tuntutan kerja ini dapat memicu kelelahan kerja pada karyawan ATC. Masa kerja yang lama dapat meningkatkan skill karyawan dalam mengontrol pesawat, tapi dapat menimbulkan kelelahan dan jenuh saat bekerja karena sifat kerja yang monoton. Namun hasil penelitian ini yang menunjukkan bahwa masa kerja baru dan kadang-kadang kelelahan paling tinggi (74,07%).

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan penelitian adalah karyawan ATC yang sudah mulai mengalami kelelahan sebanyak 92,7%, mulai dari tingkatan kadang-kadang mengalami kelelahan sampai sering sekali mengalami kelelahan. Selanjutnya disarankan pihak Airnav melakukan upaya penyegaran pada karyawan ATC dengan melakukan rekreasi, pengaturan jam kerja, penambahan jumlah SDM, perbaikan peralatan kerja, dan pada karyawan diharapkan bekerja lebih rileks dan santai penuh tanggung jawab.

DAFTAR PUSTAKA

Dahlan, S. 2011. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika.

Gita Mahdaniah, R. P. (2013). Pengaruh Beban Kerja Mental, Kelelahan Kerja, dan Tingkat Kantuk terhadap Tingkat Kewaspadaan Petugas Air Traffic

Controller (ATC). Online Journal Industrial Enggineering Vol 2 No 3 .

Hadju, V. (2009). Pedoman Penulisan Artikel Jurnal Ilmiah. Makassar: FKM Universitas Hasanuddin

Hediyani. 2012. Dampak Bagi Pekerja Shift, http://www.dokterku-online.com/index. php/article, (online) diakses tanggal 11 oktober 2012.

Hilburn, B. (1997). Free Flight And Air Traffic Controller Mental Workload. International Symposium On Aviation Psychology. Columbus, Ohio USA.

Notoatmodjo, S. (1993). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

ICAO. (juli 2011). Annex 1 personnel Licensing. Canada: International Civil Aviation Organization.

Indriana, A. (2012). Analisis Pengaruh Kelelahan Fisik dan Mental terhadap Tingkat Kewaspadaan. e Journal undip.ac.id Universitas Diponegoro .

Lee. 2000. Managing Employee Stress and Safety: A guide to minimizing stress-related cost while maximizing employee productivity

Oktavianty, I. P. (2014). Evaluasi Pengaruh Pola Kerja Terhadap Fatigue Untuk Mengurangi Jumlah Kecelakaan. Jemis Vol.2 No.2. , 37-41.

Setyawati. 1996. Relation between feelings of fatique, Reaction Time and Work Productivity Journal of Human Ergology. 25(1):129-134

Setyawati. 2010. Selintas Tentang Kelelahan Kerja. Amara Books. Yogyakarta.

Sudibyo, S. H. (2014). Aviapedia, Ensiklopedia Umum Penerbangan. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara

Reason, J. (1997). Human Error: Models and Management. British Medical Journal, 320, 768-770.

Sugiyono. (2003). Statistika Untuk Penelitian. Bandung: CV. Alfabeta.

Suma’mur P.K, 2009. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (HIPERKES). Jakarta: Sagung Seto.

Tarwaka. 2004. Ergonomi. Untuk Keselamatan, Kesehatan Kerja dan Produktivitas. Uniba Press. Surakarta.

Wahyuni. 2007. Faktor yang berhubungan Terhadap Kelelahan kerja Pegawai Instalasi Cssd/Loundry di RS di Kota Makassar

William dan Wilkins. (2007) http://www. medicalnewstoday.com/releases/60732.php, {11 Oktober 2012}.

Wiwik Budiawan, S. R. (2014). Perancangan Aplikasi Pengujian Kewaspadaan Masinis Kereta Api di Indonesia. Simetris, Vol 5 No.

Page 48: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K 2-TRIK: P · Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan berwenang mengubah artikel, namun tidak akan mengub

Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098

111 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

HUBUNGAN PENGETAHUAN DENGAN SIKAP IBU TENTANG EFEK SAMPING

IMUNISASI

Eva Mahayani Nasution (Jurusan Kebidanan,

Politeknik Kesehatan Kemenkes Medan)

ABSTRAK

Pendahuluan: World Health Organization (WHO) dan United Nations International Children's Emergency Fund (UNICEF) menetapkan indikator cakupan imunisasi 90% di tingkat nasional dan 80% di kabupaten. Namun hasil cakupan imunisasi bayi 0-11 bulan Puskesmas Medan-Sunggal tahun 2013 yaitu 77,3%. Program imunisasi Indonesia mendapatkan hambatan merebaknya informasi tidak benar mengenai imunisasi sehingga orang tua ragu dan takut mengimunisasi bayinya. Penelitian bertujuan mengetahui hubungan pengetahuan dengan sikap ibu tentang efek samping imunisasi di wilayah kerja Puskesmas Medan Sunggal pada tahun 2014. Metode: Penelitian cross sectional ini dilaksanakan pada bulan Februari-Juni 2014. Besar populasi penelitian adalah 484 orang, sedangkan besar sampel adalah 83 orang yang diambil dengan teknik accidental sampling. Data dikumpulkan menggunakan kuesioner, lalu dianalisis menggunakan uji Chi square. Hasil: Ibu yang memiliki bayi 0-11 bulan mayoritas berpengetahuan kurang tentang efek samping imunisasi (59,04%), mayoritas sikap ibu tentang efek samping imunisasi adalah negatif (54,22%), dan uji chi-square (X2) menunjukkan X2-hitung=30,33 (lebih besar daripada X2-tabel=5,991), maka H0 ditolak. Kesimpulan: Ada hubungan antara pengetahuan dengan sikap ibu tentang efek samping imunisasi. Saran: Diharapkan petugas kesehatan Puskesmas Medan Sunggal meningkatkan penyuluhan kesehatan, meningkatkan pengetahuan kader diposyandu khususnya tentang imunisasi, efek samping imunisasi serta petugas kesehatan lebih meningktakan mutu konseling pentingnya imunisasi serta menjelaskan reaksi yang terjadi dilokasi penyuntikan vaksin kepada ibu dengan poster

Kata Kunci: Efek samping imunisasi, pengetahuan, sikap

PENDAHULUAN Latar Belakang

World Health Organization (WHO) dan United Nations International Children's Emergency Fund (UNICEF) menetapkan indikator cakupan imunisasi adalah 90% di tingkat nasional dan 80% di semua kabupaten. Dalam rencana strategis Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2005-2009, target Universal Child Immunization (UCI) desa sebesar 98% tercapai pada tahun 2009. Anak balita di Indonesia tahun 1999/2000 sebesar 66,3% yang memiliki cakupan imunisasi lengkap, angka cakupan tersebut masih jauh dari target UCI sebesar 90% (Ayubi, 2009).

Penyebab utama kematian bayi Indonesia adalah infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) sebanyak 37% dan 50% kematian bayi dan balita berkaitan dengan masalah kekurangan gizi. 13% penyebab lainnya adalah penyakit yang dapat dicegah melalui imunisasi seperti campak dan TBC. Jika program imunisasi dilaksanakan dengan baik dan menyeluruh maka keefektifan imunisasi dapat dicapai secara maksimal, dan akan berpengaruh terhadap AKB (Novasari, 2012).

Hasil cakupan imunisasi bayi lengkap di Indonesia pada tahun 2012 adalah BCG 89,3%, HB (3) 42,4%, DPT(3) 72%, Polio (3) 75,9%, Campak 80,1% (Profil Kependudukan dan Pembangunan di Indonesia, 2013).

Maka dasar utama pelayan kesehatan bidang preventif merupakan prioritas pada tahun 2010 baru 79,3% desa/kelurahan yang mencapai UCI, dari yang seharusnya 90%, kemudian masih ada 4 provinsi yang belum mencapai status eliminasi tetanus neonatorum. Desa mencapai UCI pada tahun 2014 dan setelah dilaksanakannya imunisasi global yang disebut Extended Program on Immunization (EPI) cakupan terus meningkat dan hampir setiap tahun minimal 750.000 anak terhindar dari kecacatan namun demikian, masih ada salah satu dari empat orang anak yang belum mendapatkan imunisasi dan dua juta anak meninggal setiap tahunnya karena penyakit yang dapat di cegah dengan imunisasi (Juwita, 2013).

Pada tahun 2012, jumlah kasus Campak merupakan kasus terbanyak kategori PD3I yaitu sebanyak 257 yang terjadi di 7 Kabupaten/Kota dengan rincian sebagai berikut Serdang Bedagai sebanyak 128 kasus, Mandailing Natal 34 kasus, Tapanuli Selatan 31 kasus, Batubara 24 kasus, Pakpak Barat 14 kasus dan Karo serta

Page 49: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K 2-TRIK: P · Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan berwenang mengubah artikel, namun tidak akan mengub

Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098

112 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Samosir masing-masing 13 kasus. Polio pada tahun 2012, tidak ditemukan kasus Polio di Provinsi Sumatera Utara. Hepatitis B Berdasarkan data profil kesehatan kabupaten/kota tahun 2012, jumlah kasus Hepatitis B ditemukan sebanyak 26 kasus di 3 kabupaten/kota yaitu Langkat sebanyak 18 kasus, Tanjung Balai sebanyak 7 kasus dan Pakpak Barat sebanyak 1 kasus (Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara, 2012).

Menurut Soekidjo Notoatmodjo pengetahuan seseorang tentang suatu aspek objek mengandung dua aspek yaitu aspek positif dan aspek negatif. Kedua aspek tersebut akan menentukan sikap seseorang, semakin banyak aspek positif dan objek yang diketahui, maka akan menimbulkan sikap makin positif terhadap objek tertentu (Wawan & Dewi, 2011).

Dan menurut penelitian Aulia Insani (2009) semakin baik tingkat pengetahuan seseorang maka semakin mudah memahami informasi yang diberikan tenaga kesehatan mengenai efek samping imunisasi, sehingga responden dengan senang hati membawa bayinya untuk dilakukan imunisasi selanjutnya (Juwita, 2013).

Masih banyak orang tua yang tidak rutin melakukan imunisasi terhadap bayinya karena takut akan efek samping dari imunisasi tersebut. Pesan yang perlu disampaikan kepada orang tua yaitu: manfaat dari vaksin yang diberikan, tanggal imunisasi dan pentingnya Kartu Menuju Sehat (KMS) disimpan secara aman dan selalu dibawa pada saat imunisasi. Akibat ringan yang dialami setelah diberi imunisasi dan cara mengatasi serta orang tua tidak perlu khawatir (Ni’mah, 2013).

Apalagi kebanyakan anak menderita panas setelah mendapat imunisasi DPT, tetapi itu adalah yang wajar, namun seringkali ibu-ibu tegang, cemas dan khawatir (Antono, 2012).

Selain itu, banyak ibu yang cemas sekali karena timbul bengkak di bekas tempat suntikan. Untuk anak yang memiliki riwayat kejang demam, imunisasi DPT tetap aman dan tidak membahayakan, tetapi banyak ibu yang cemas (Hemas 2007 dalam Antono). Adapun penyebab kecemasan ibu dikarenakan pemberitaan miring dan kurangnya pengetahuan ibu tentang efek samping imunisasi (Antono, 2012).

Berdasarkan hasil cakupan imunisasi lengkap pada bayi usia 0-11 bulan di Puskesmas Medan-Sunggal pada tahun 2013 adalah 77,3%. Setelah melakukan wawancara awal terhadap 30 orang ibu ternyata yang membawa bayinya untuk imunisasi di dapatkan 20 orang ibu yang berpengetahuan kurang, 9 orang ibu

berpengetahuan cukup, dan 1 orang ibu berpengetahuan bagus dan yang mengalami reaksi sampingan demam atau ruam kulit setelah diimunisasi DPT-HB sebanyak 8 orang, BCG sebanyak 10 orang dan campak sebanyak 2 orang. Ibu-ibu mengeluh dan khawatir karena anak-anak demam setelah di imunisasi, dan terkadang terjadi bengkak pada area tempat penyuntikan, sehingga membuat orang tua resah dan enggan membawa anaknya untuk kembali mendapatkan imunisasi. Hal ini dikarenakan kurangnya pengetahuan orang tua tentang efek samping/reaksi dari pemberian imunisasi itu sendiri. Masih ada juga ibu yang dilarang oleh suami membawa bayinya keposyandu untuk mendapatkan imunisasi. Tujuan Penelitan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pengetahuan dengan sikap ibu tentang efek samping imunisasi di Wilayah Kerja Puskesmas Medan-Sunggal Tahun 2014. METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini adalah analitik dengan desain cross sectional. Penelitian ini dilakukan di Wilayah Kerja Puskesmas Medan Sunggal, mulai dari bulan Januari sampai dengan bulan Juli 2014. Populasi penelitian adalah seluruh ibu yang memiliki bayi usia 0-11 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Medan-Sunggal yang terdiri dari 4 desa/kelurahan yaitu Sunggal, Babura, Tanjung Rejo, Simpang Tanjung. Dari 4 desa/kelurahan didapatkan besar populasi 484 orang. Besar sampel dalam penelitian adalah 83 orang yang dipilih dengan teknik accidental sampling.

HASIL PENELITIAN

Tabel 1. Distribusi Karakteristik Ibu yang Memiliki Bayi Usia 0-11 Bulan di Wilayah Kerja

Puskesmas Medan Sunggal Tahun 2014

Karakteristik Ibu Frekuensi Persen Umur

< 20 tahun 20-35 tahun >35 tahun

13 64 6

15,66 77,11 7,23

Pendidikan SD

SMP sederajat SMA sederajat

Perguruan Tinggi

5 26 50 2

6,02 31,32 60,24 2,41

Sumber Informasi Tenaga kesehatan

Media cetak Media elektronik

53 0

30

63,85 0

36,14

Page 50: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K 2-TRIK: P · Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan berwenang mengubah artikel, namun tidak akan mengub

Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098

113 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Tabel 2. Distribusi Pengetahuan Ibu tentang Efek Samping Imunisasi di Wilayah Kerja Puskesmas Medan Sunggal Tahun 2014

Pengetahuan Frekuensi Persen Baik

Cukup Kurang

11 23 49

13,25 27,71 59,04

Jumlah 83 100 Dari Tabel 3 diketahui bahwa mayoritas

ibu memiliki pengetahuan yang kurang tentang efek samping imunisasi.

Tabel 3. Distribusi Sikap Ibu tentang Efek

Samping Imunisasi di Wilayah Kerja Puskesmas Medan Sunggal Tahun 2014

Sikap Frekuensi Persen Positif Negatif

38 45

45,78 54,22

Jumlah 83 100

Dari Tabel 3 diketahui bahwa mayoritas ibu memiliki sikap negatif terhadap efek samping imunisasi. Tabel 4. Hubungan Pengetahuan dengan

Sikap Ibu Tentang Efek Samping Imunisasi di Wilayah Kerja Puskesmas Medan Sunggal Tahun 2014

Pengetahuan

Sikap Jumlah (orang) Positif Negatif

f % f % f % Baik

Cukup Kurang

11 16 11

100 69,56 22,45

0 7

38

0 30,44 77,55

11 23 49

100 100 100

X2 hitung=30,33; X2 tabel=5,991

Tabel 4 menunjukkan bahwa ibu dengan pengetahuan baik, seluruhnya (100%) bersikap positif, ibu dengan pengetahuan cukup sebagian besar bersikap positif (69,56%), sedangkan ibu dengan pengetahuan kurang sebagian besar (77,55%) bersikap netral. Hasil uji Chi-square (X2) menunjukkan X2 hitung=30,33 (lebih besar daripada X2 tabel=5,991), maka H0 ditolak (ada hubungan antara pengetahuan dengan sikap ibu tentang efek samping imunisasi). PEMBAHASAN

Mayoritas ibu yang memiliki bayi usia 0-11 bulan berumur 20-35 tahun, berpendidikan menengah, dan mendapatkan sumber informasi kesehatan dari tenaga kesehatan. Sebagian besar ibu bersikap negatif tentang efek samping imunisasi. Sikap negatif ibu terhadap efek samping

imunisasi menyebabkan banyak orang tua yang tidak rutin melakukan imunisasi terhadap bayinya karena takut akan efek samping yang dari imunisasi tersebut.

Sebagian besar ibu memiliki pengetahuan kurang tentang efek samping imunisasi. Kurangnya pengetahuan ibu selain dari faktor karakteristik ibu juga karena kurangnya informasi yang didapatkan ibu tentang imunisasi, sehingga informasi efek samping imunisasi yang didapatkan ibu sangat minim, atau juga karena ibu hanya sekedar tahu tentang efek samping imunisasi namun tidak begitu memahami apa manfaat imunisasi meskipun telah diberikan penyuluhan menyeluruh tentang imunisasi tersebut.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara pengetahuan ibu dengan sikap ibu tentang efek samping imunisasi. Pengetahuan ibu tentang efek samping imunisasi sangat mempengaruhi sikap ibu dalam menanggapi adanya reaksi samping dari imunisasi. Bilamana, semakin baik pengetahuan ibu kemungkinan lebih positif sikap ibu menanggapi efek samping imunisasi dan tidak takut atau khawatir untuk membawa bayinya imunisasi.

Sejalan dengan pernyataan Depkes RI (2006) dalam Ni’mah (2013) masih banyak orang tua yang tidak rutin melakukan imunisasi terhadap bayinya karena takut akan efek samping dari imunisasi tersebut. Ini sesuai dengan yang dikemukan Wawan (2011) bahwa pengetahuan seseorang tentang suatu objek mengandung dua aspek yaitu aspek positif dan aspek negatif. Kedua aspek ini yang akan menentukan sikap seseorang semakin banyak aspek positif dan objek yang diketahui maka akan menimbulkan sikap semakin positif dan objek yang diketahui tertentu.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Ni’mah (2013) yang menghasilkan bahwa adanya hubungan antara tingkat pengetahuan dengan sikap ibu tentang efek samping imunisasi. Aulia Insani (2009) dalam Juwita (2013) mengatakan bahwa semakin baik tingkat pengetahuan seseorang maka semakin mudah memahami informasi yang diberikan tenaga kesehatan mengenai efek samping imunisasi, sehingga responden dengan senang hati membawa bayinya untuk dilakukan imunisasi selanjutnya walaupun sebelumnya mengalami efek samping.

Dengan demikian disimpulkan dalam penelitian ini bahwa ada hubungan pengetahuan ibu dengan sikap ibu tentang efek samping imunisasi yang berarti semakin baik pengetahuan ibu yang memiliki bayi usia 0-11 bulan tentang efek samping

Page 51: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K 2-TRIK: P · Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan berwenang mengubah artikel, namun tidak akan mengub

Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098

114 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

imunisasi maka ibu semakin bersikap positif menanggapi efek samping dan tidak takut atau khawatir membawa bayi ke petugas kesehatan untuk mendapat imunisasi hingga lengkap sesuai usia dan jadwal pemberiannya. Maka hasil penelitian ini tidak ditemukan adanya kesenjangan antara hasil penelitian dengan teori dan penelitian yang telah dikemukakan diatas.

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan

bahwa ada hubungan antara pengetahuan dengan sikap ibu tentang efek samping imunisasi. Selanjutnya disarankan agar petugas kesehatan meningkatkan penyuluhan kesehatan dan meningkatkan pengetahuan kader diposyandu khususnya tentang imunisasi dan efek samping imunisasi serta meningkatkan mutu konseling mengenai pentingnya imunisasi serta menjelaskan efek samping dan reaksi yang terjadi dilokasi penyuntikan vaksin kepada ibu yang memiliki bayi dengan menggunkan berbagai media misalnya dengan poster. DAFTAR PUSTAKA Antono, S.D dan K Hardjito. 2012.

Hubungan Pengetahuan Ibu Bayi Tentang Reaksi Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) DPT/HB Combo Dengan Kecemasan Ibu Sebelum Melaksanakan Imunisasi Di Polindes Desa Karangrejo Wilayah Kerja Puskesmas Ngasem Kediri. Vol. 5 hal. 2, Bojonegoro. http://journalakes.files.wordpress.com/2012/.../jurnal-akes-rajekwesi-vol-5.pdf. Diakses 17/01/2014

Desfauza, E. 2011. Asuhan Neonatus Bayi dan Balita. Poltekkes Medan. Medan

Dewi, V.N.L. 2011. Asuhan Neonatus Bayi dan Anak Balita. Jakarta: Salemba Medika

Huda, N. 2009. Gambaran Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Ibu tentang Imunisasi Dasar Lengkap di Puskesmas Ciputat Tahun 2009 hal. 10-14, Jakarta. http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/.../1/101383-NURUL%20HUDA-FKIK.PDF Diakses 20/05/2014

Marimbi, H. 2013. Tumbuh Kembang Status Gizi, dan Imunisasi Dasar pada Balita. Yogyakarta: Nuha Medika

Maryland, C. 2012. Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia. ICF International. Jakarta

Ni’mah, U.N. 2013. Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu tentang Efek Samping Imunisasi BCG dengan Sikap Ibu tentang

Imunisasi Dasar Lengkap di Puskesmas Ngesrep Semarang hal. 68-70, Semarang. http://jurnal.Unimus.ac.id Diakses 20/05/2014

Notoatmodjo, S. 2010. Metode penelitian kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta

_____, 2012. Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta

Politeknik Kesehatan Medan. 2012. Panduan Penyusunan KTI. Poltekkes Medan. Medan

Probandari, A.N. 2013. Modul Field Lab Edisi Revisi II Keterampilan Imunisasi. Universitas Sebelas Maret. Surakarta

Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara, 2012. Profil Kesehatan Sumatera Utara. Medan

Proverawati, A dan C Setyo Dwi Andhini. 2010. Imunisasi dan vaksinasi. Yogyakarta: Nuha Medika

Ranuh, I.G.N. 2011. Pedoman Imunisasi di Indonesia. Jakarta: Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Indonesia

Wawan, A dan Dewi M. 2011. Teori dan Pengukuran Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Manusia. Yogyakarta. Nuha Medika

Page 52: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K 2-TRIK: P · Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan berwenang mengubah artikel, namun tidak akan mengub

Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098

115 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

BERBAGAI FAKTOR PENGHAMBAT IMPLEMENTASI SISTEM INFORMASI

KESEHATAN DI INDONESIA

Heru Santoso Wahito Nugroho (Jurusan Kebidanan,

(Politeknik Kesehatan Kemenkes Surabaya) Sahrir Sillehu

(STIKes Maluku Husada)

ABSTRAK Pendahuluan: Masih banyak permasalahan dalam penerapan sistem informasi kesehatan di Indonesia yaitu “redundant” data, duplikasi kegiatan, kualitas data, data tidak sesuai dengan kebutuhan, ketidaktepatan waktu laporan, umpan balik yang tidak optimal, pemanfaatan informasi yang rendah, dan sumberdaya yang tidak efisien. Studi ini bertujuan mengidentifikasi faktor-faktor penghambat implementasi sistem informasi kesehatan di Indonesia berdasarkan hasil-hasil penelitian terdahulu. Metode: Studi menerapkan metaanalisis terhadap hasil-hasil penelitian terdahulu tentang faktor penghambat dalam implementasi sistem informasi kesehatan, lalu diklasifikasikan berdasarkan adanya kesamaan ciri. Hasil: Ditemukan adanya faktor penghambat dari lima macam komponen yaitu: 1) health informastion system resorces (sumberdaya manusia, keuangan, logistik, serta teknologi informasi dan komunikasi), 2) indicators, 3) data management, 4) information products (produk-produk informasi), dan dissemination and use. Di sisi lain tidak ditemukan faktor penghambat dari komponen data resources. Kesimpulan: faktor penghambat implementasi sistem informasi kesehatan di Indonesia mencakup komponen sumberdaya, indikator, manajemen data, produk informasi, dan diseminasi dan penggunaan. Saran: Diharapkan upaya peningkatan sistem informasi kesehatan diprioritaskan pada faktor sumberdaya sistem karena komponen ini berdampak bagi komponen-komponen berikutnya, khususnya manajemen data, produk informasi, serta diseminasi dan penggunaan. Kata kunci: Sistem informasi kesehatan, penghambat implementasi

PENDAHULUAN Latar Belakang

Searah dengan berlangsungnya era informasi, pengelolaan sistem informasi kesehatan (SIK) yang ditopang oleh teknologi informasi dan komunikasi (TIK) telah bertambah luas implementasinya. Banyak ditemukan rumah sakit, dinas kesehatan dan puskesmas yang memanfaatkan TIK untuk mendukung proses kerja dalam organisasi, sebagai contoh sistem informasi rumah sakit, sistem informasi puskesmas, serta sistem informasi dinas kesehatan (Sanjaya, 2011). Tetapi semenjak datangnya era desentralisasi pada tahun 2004, penggunaan SIK berbasis TIK di rumah sakit, puskesmas, dinas kesehatan kabupaten/kota serta dinas kesehatan provinsi sering tanpa menggunakan pedoman yang baku (menggunakan versi masing-masing). Hingga sekarang terdapat beraneka software SIK dari dinas kesehatan kabupaten/kota dengan data, struktur, dan fungsi yang bermacam-macam, sehingga komunikasi antara software tersebut tidak dapat dibangun. Kondisi ini menyebabkan terjadinya kesulitan dalam rekapitulasi data pada tingkat provinsi (Kemenkes RI, 2012a).

Evaluasi pada tahun 2010 menunjukkan hasil bahwa banyaknya SIK yang “stand alone” (berdiri sendiri) dan dipadu dengan sistem informasi yang lain (dari kementerian lain, pemerintah daerah, donatur, dll.) menimbulkan duplikasi dalam pencatatan dan pelaporan, ditandai dengan adanya 301 tipe laporan dari 8 jenis software SIK yang harus dilaporkan oleh dinas kesehatan provinsi (Kemenkes RI, 2012a).

Problema yang masih banyak ditemukan dalam penerapan SIK dewasa ini adalah belum terwujudnya efisiensi, ditandai dengan: 1) adanya “redundant” data, 2) duplikasi kegiatan, 3) kualitas data yang rendah, 4) adanya data yang tidak sesuai dengan kebutuhan, 5) ketidaktepatan waktu laporan, 6) sistem umpan balik yang tidak optimal, 7) pemanfaatan data/informasi yang rendah pada tingkat daerah untuk advokasi, perencanaan program, monitoring, dan manajemen, serta 8) penggunaan sumberdaya yang tidak efisien. Kondisi tersebut di atas disebabkan oleh: 1) kondisi “overlapping” dalam pengumpulan dan pengolahan data, 2) pengelolaan data dan informasi yang belum terintegrasi dan terkoordinasi dengan baik (Kemenkes RI, 2012a).

Page 53: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K 2-TRIK: P · Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan berwenang mengubah artikel, namun tidak akan mengub

Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098

116 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

Tujuan Studi Studi ini bertujuan untuk mengidentifikasi

faktor-faktor penghambat implementasi sistem informasi kesehatan di Indonesia berdasarkan hasil-hasil penelitian terdahulu. METODE STUDI

Dalam studi ini digunakan metode metaanalisis terhadap beberapa hasil penelitian yang berhubungan dengan adanya faktor penghambat dalam implementasi sistem informasi kesehatan. Hasil-hasil penelitian yang dipilih mencakup beberapa setting implementasi sistem informasi antara lain di rumah sakit, masyarakat, sekolah, puskesmas, serta fasilitas transportasi. Hasil-hasil penelitian ini juga berasal dari wilayah-wilayah yang berbeda yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sumatera Utara.

Hasil-hasil penelitian ini kemudian dibandingkan dan dilakukan pengklasifikasian faktor penghambat berdasarkan adanya kesamaan ciri.

HASIL STUDI

Berikut ini disajikan tentang faktor-faktor

penghambat implementasi sistem informasi kesehatan di Indonesia. Data diperoleh dari berbagai wilayah di Indonesia, dan berasal dari beberapa macam setting informasi yang berkaitan dengan bidang kesehatan sebagaimana disajikan pada Tabel 1. PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil metaanalisis dari

keenam laporan penelitian terdahulu, dapat diketahui bahwa pada dasarnya ada beberapa kesamaan esensi dari beberapa faktor yang telah dilaporkan sebagai penghambat implementasi sistem informasi kesehatan. Dalam hal ini, klasifikasi disusun berdasarkan komponen sistem informasi menurut WHO (2008) yaitu: 1) health informastion system resorces (sumberdaya sistem informasi kesehatan), 2) indicators (indikator-indikator), 3) data resources (sumberdaya data), 4) data management (pengelolaan data), 5) information products (produk-produk informasi), serta 6) dissemination and use (diseminasi dan penggunaan). Berikut ini disajikan klasifikasi faktor menjadi 6 kelompok besar, mengacu kepada komponen di atas:

1.

Tabel 1. Hasil Identifikasi Berbagai Faktor Penghambat Implementasi Sistem Informasi

Kesehatan di Indonesia

No Jenis Sistem Informasi dan Sumber

Faktor Penghambat

1 Sistem Informasi Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit (Wajirah, 2010)

• Keterampilan SDM • Adaptasi SDM dari

proses manual ke sistem komputer

• Ketersediaan biaya • Masalah sistem

2 Sistem Informasi Layanan Kesehatan Dasar di Jawa Tengah (Firdaus, 2012)

• Kendala infrastruktur TIK

• Kesadaran stakeholder di bidang layanan kesehatan

3 Sistem Informasi Kesehatan Gigi dan Mulut (UKGS) (Hayat, 2013)

• Keterbatasan SDM (tidak seimbang dengan volume tugas dan kegiatan)

• Kurangnya fasilitas • Kurangnya kepedulian

pengelola institusi 4 Sistem Informasi

Manajemen Puskesmas (SIMPUS). (Rahmanita, 2014).

• Kurangnya perangkat komputer

• Kurangnya kualitas SDM

• Kurangnya anggaran 5 Sistem Informasi

Rekam Medis (Rohaeni, 2014).

• Informasi yang belum lengkap

• Informasi tak relevan dengan kebutuhan pengguna

• Pengetahuan pengguna • Harapan pengguna • Sikap pengguna • Software yang belum

sempurna • Kebijakan pimpinan • Perubahan

perencanaan • Kurangnya pengawasan

dan evaluasi. 6 Sistem Informasi

Kesehatan Kereta API (Supriyanto & Kurniadi, 2014)

• Laporan ganda (elektronik dan manual)

• Kecepatan akses jaringan

• Sistem pelaporan yang tidak lengkap

• Kurangnya bandwith • Informasi kurang

relevan • Penyajian informasi

belum sesuai (fitur tak lengkap)

• Sistem belum dapat memberikan informasi yang diinginkan

• Informasi belum dapat dipercaya

• Belum dapat menampilkan kesederhanaan

Page 54: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K 2-TRIK: P · Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan berwenang mengubah artikel, namun tidak akan mengub

Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098

117 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

1. Health informastion system resorces Menurut WHO (2008), faktor yang termasuk dalam kategori ini adalah SDM, keuangan, dukungan logistik, serta TIK. Faktor hasil metaanalisis yang termasuk dalam sub komponen SDM adalah keterampilan SDM dalam menjalankan teknologi, kemampuan adaptasi SDM dalam mengikuti proses perubahan dari sistem manual menuju sistem berbasis komputer (Wajirah, 2010), keterbatasan SDM dalam arti tidak mampu untuk mengakomodir ketidakseimbangan antara volume tugas dan kegiatan. Dalam hal ini, tugas dan kegiatan yang harus dilakukan bermacam-macam, bahkan kadang-kadang karena proporsi pembagian tugas yang tidak merata mengakibatkan mereka harus sering meninggalkan beberapa pekerjaan yang lebih penting kebutuhannya (Hayat, 2013). Rohaeni (2014) juga mengemukakan adanya kendala SDM yakni pengetahuan, harapan, dan sikap pengguna. Ketiga hal di atas tergolong sebagai hambatan dari faktor perilaku SDM. Secara umum keseluruhan faktor di atas dapat dikatakan sebagai faktor kualitas SDM yang terlibat dalam implementasi sistem informasi kesehatan sebagaimana yang disampaikan oleh Rahmanita (2014) dalam laporan penelitiannya. Hasil metaanalisis yang termasuk dalam sub komponen kedua adalah faktor keuangan. Wajirah (2010) melaporkan sub komponen ini sebagai hambatan ketersediaan biaya dalam penerapan sistem, sedangkan Rahmanita (2014) menyebutnya sebagai faktor kurangnya anggaran. Hal tersebut logis karena pembangunan sistem informasi kesehatan membutuhkan anggaran untuk penyediaan hardware (perangkas keras) berupa komputer, printer, jaringan dll., software (perangkat lunak) berupa sistem komputer, program-program yang dibutuhkan dll., serta brainware (perangkat otak) yakni menyiapkan pelaku-pelaku yang akan menjalankan sistem mencakup pengembang sistem, analis sistem, serta operator sistem, yang dalam hal ini memerlukan biaya untuk pendidikan, pelatihan, serta pembinaan lainnya. Faktor penghambat yang termasuk sub komponen logistik, yakni kurangnya fasilitas (Hayat, 2013). Dalam hal ini, fasilitas yang kurang memadai masih dapat menghambat proses pengolahan data dan pelaporan, sehingga beberapa

kegiatan masih dilakukan secara manual, terutama akibat kurangnya komputer yang mendukung proses pengolahan data. Rahmanita (2014) juga melaporkan kurangnya perangkat komputer sebagai salah satu penghambat utama dalam implementasi sistem informasi kesehatan. Faktor penghambat yang termasuk dalam sub komponen TIK adalah adanya kendala infrastruktur TIK sebagaimana disampaikan oleh Firdaus (2012), sedangkan Wajirah (2010) menyebutnya secara lebih umum sebagai masalah sistem. Infrastruktur TIK ini penting karena merupakan tulang punggung bagi sistem informasi termasuk di dalamnya sistem informasi kesehatan. Infrastruktur TIK ini didukung oleh berbagai perangkat keras (komputer, printer, perangkat komunikasi kabel dan nirkabel) yang kesemuanya dihubungkan dalam suatu network (jaringan), baik berupa jaringan lokal (offline) maupun jaringan global (online). Tanpa adanya infrastruktur TIK yang baik, maka sistem informasi kesehatan tidak akan dapat berjalan dengan baik.

2. Indicators Indikator-indikator sebagai komponen kedua merupakan dasar bagi perencanaan dan strategi sistem informasi kesehatan. Indikator dibutuhkan untuk menjaring determinan-determinan kesehatan; input, output, dan outcome dari sistem kesehatan; serta status kesehatan. Sebagai contoh, indikator dari kualitas pelayanan kesehatan bagi ibu hamil atau antenatal care (ANC) adalah K1 dan K4 (Kemenkes RI, 2012b). Hasil metaanalisis yang tergolong sebagai masalah dalam komponen indikator adalah sistem pelaporan yang tidak lengkap serta penyajian informasi belum sesuai (fitur tidak lengkap) (Supriyanto & Kurniadi, 2014). Sebagai contoh, di lapangan ditemukan bahwa menu tentang laboratorium belum terdapat di dalam sistem informasi kesehatan. Ditemukan juga bahwa rujukan rawat inap dan rawat jalan belum dipisahkan, sehingga pelaporan tidak dapat dipantau secara langsung oleh pihak manajemen institusi.

3. Data resources Secara umum, komponen sumber data, terdiri atas dua kategori utama yaitu data berbasis populasi (sensus, registrasi kependudukan, dan survei populasi), dan data berbasis institusi (catatan individual,

Page 55: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K 2-TRIK: P · Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan berwenang mengubah artikel, namun tidak akan mengub

Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098

118 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

pelayanan, dan sumberdaya) (WHO, 2008). Hasil metaanalisis menunjukkan bahwa tidak ada kendala yang berkaitan dengan sumber data. Pada dasarnya dalam program kesehatan di Indonesia, sumber data dari populasi maupun dari institusi sudah tersedia.

4. Data management Manajemen data mencakup semua aspek pengelolaan data mulai dari pengumpulan, penyimpanan, jaminan kualitas dan aliran data, menuju pemrosesan, kompilasi, dan analisis. Dalam hal ini, masih banyak ditemukan masalah di lapangan. Adanya perubahan-perubahan rencana merupakan salah satu penghambat bagi kelancaran proses pengelolaan data dalam sistem. Kurangnya pengawasan dan evaluasi juga ditengarai sebagai penghambat proses manajemen data (Rohaeni, 2014). Adanya laporan ganda (manual dan elektronik, kendala kecepatan akses, kurangnya bandwith, belum adanya simplicty (kesederhanaan) juga menyebabkan proses pengelolaan data menjadi terganggu (Supriyanto & Kurniadi, 2014). Kendala-kendala pada proses pengelolaan data ini pada gilirannya akan berdampak pada kualitas informasi yang dihasilkan.

5. Information products Sistem informasi kesehatan akan akan mentransmorfasikan data kesehatan menjadi informasi kesehatan. Dengan kata lain, informasi merupakan produk atau hasil dari proses transformasi data. Informasi kesehatan ini penting karena akan menjadi dasar bagi bukti dan pengetahuan untuk membangun tindakan kesehatan (WHO, 2008). Hasil metaanalisis yang termasuk dalam komponen di atas adalah ditemukannya informasi yang belum lengkap (Rohaeni, 2014) dan informasi yang tidak relevan dengan kebutuhan (Rohaeni, 2014; Supriyanto & Kurniadi, 2014), sistem belum dapat memberikan informasi yang diinginkan, serta informasi masih belum dapat dipercaya (Supriyanto & Kurniadi, 2014). Kondisi-kondisi di atas dapat menurunkan kualitas informasi, padahal informasi ini penting bagi dasar pengambilan keputusan, sebagaimana disampaikan oleh Lippeveld, et al., 2000) bahwa informasi kesehatan merupakan dasar bagi pengambilan keputusan pada semua jenjang. Dalam hal ini, sistem informasi harus dijadikan sebagai alat

yang efektif bagi manajemen kesehatan terkait.

6. Dissemination and use Dalam hal ini, nilai dari informasi kesehatan dapat ditingkatkan dengan membuat informasi menjadi siap diakses oleh para pengambil keputusan serta memberikan insentif bagi penggunaan informasi. Jelas bahwa produk informasi yang dihasilkan oleh sistem akan disebarkan kepada pengguna akhir dan akan digunakan sebagai dasar bagi pengambilan keputusan, khususnya bagi para pengelola, pimpinan, atau stakeholder (pemangku kepentingan). Untuk itu mereka harus care (peduli) dalam arti mereka merasakan pentingnya produk informasi, sehingga akan care juga sistem yang menghasilkan informasi tersebut. Hasil metaanalisis menunjukkan bahwa masih ada pimpinan ataupun stakeholder yang belum peduli terhadap implementasi sistem informasi kesehatan, sebagaimana dilaporkan oleh tentang kurangnya kesadaran stakeholder (Firdaus, 2012) dan kurangnya kepedulian pengelola institusi (Hayat, 2013).

KESIMPULAN DAN SARAN

Hasil studi menunjukkan bahwa faktor-

faktor penghambat implementasi sistem informasi kesehatan di Indonesia mencakup komponen sumberdaya sistem, indikator, manajemen data, produk informasi, serta diseminasi dan penggunaan, serta tidak ditemukan faktor penghambat dari segi sumber data.

Berdasarkan kesimpulan tersebut disarankan agar upaya peningkatan diprioritaskan pada faktor sumberdaya sistem (SDM, keuangan, dukungan logistik, serta TIK) karena komponen ini merupakan determinan bagi komponen-komponen berikutnya, khususnya manajemen data, produk informasi, serta diseminasi dan penggunaan.

DAFTAR PUSTAKA Firdaus, OM. 2012. Arsitektur Sistem

Informasi Layanan Kesehatan Dasar Terintegrasi di Jawa Barat. Seminar Nasional Teknologi Informasi dan Komunikasi 2012 (SENTIKA 2012). hal. 113-118. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya

Hayat, FN. 2013. Sistem Informasi Manajemen Kesehatan Gigi dan Mulut

Page 56: PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL K 2-TRIK: P · Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098 i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan berwenang mengubah artikel, namun tidak akan mengub

Volume V Nomor 2, Mei 2015 ISSN: 2086-3098

119 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

pada Program Usaha Kesehatan Gigi Sekolah (UKGS) di Puskesmas Colomadu I Tahun 2013. Skripsi. Surakarta: Prodi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Kemenkes RI, 2012a. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 192/MENKES/SK/VI/2012. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Kemenkes RI. 2012b. Pedoman Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Lippeveld T, Sauerborn R, Bodart C. 2000. Design and Implementation of Health Information Systems. Geneva: World Health Organization.

Rahmanita, H. 2014. Implementasi Program Sistem Informasi Manajemen Puskesmas (SIMPUS) dalam Meningkatkan Pelayanan Kesehatan Masyarakat. Skripsi. Medan: Program Studi Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

Rohaeni, N. 2014. Analisis Penerapan Sistem Informasi Rekam Medis di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat. Bandung: Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Konsentrasi Administrasi Rumah Sakit, Universitas Padjadjaran.

Sanjaya, G. Y., 2011. Sistem Informasi Kesehatan Nasional: Penguatan Kompetenasi Tenaga SIK di Indonesia, Melalui Program Kolaborasi dengan Universitas. Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan, Triwulan III, pp. 14-19.

Supriyanto, Kurniadi A. 2014. Evaluasi Kinerja Sistem Informasi Kesehatan Kereta Api (SIKESKA) Ditinjau dari Aspek Persepsi Pengguna Sistem dalam Mendukung Manajemen di Klinik PT KAI Area 4 Semarang Tahun 2014. Semarang: Fakultas Kesehatan Universitas Dian Nuswantoro.

Wajirah. 2010. Sistem Informasi Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Cilacap. Skripsi. Surakarta: Jurusan Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret.

WHO, 2008. Framework and Standards for Country Health Information Systems. Geneva: World Health Organization.