pdf_1050965865

22
PENGELOLAAN AIR A. SUMBER DAYA AIR Sumber daya air merupakan salah satu sumber daya terpenting bagi kehidupan manusia dalam melakukan berbagai kegiatannya. Meningkatnya jumlah penduduk dan kegiatan pembangunan, telah meningkatkan kebutuhan sumber daya air. Di lain pihak, ketersediaan sumber daya air dirasakan semakin terbatas, di beberapa tempat bahkan sudah dapat dikategorikan berada dalam kondisi kritis. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor seperti pencemaran, penggundulan hutan, kegiatan pertanian yang mengabaikan kelestarian lingkungan dan berubahnya fungsi daerah tangkapan air. Disadari bahwa sumber daya air yang berlimpah telah digunakan secara tidak efisien. Di banyak daerah telah terjadi kecenderungan penurunan kuantitas dan kualitas air, bahkan sampai pada tingkat yang mengkhawatirkan. Penurunan kuantitas lebih banyak disebabkan oleh berubahnya fungsi daerah tangkapan air sehingga pada musim hujan air tidak sempat meresap ke dalam tanah dan terjadi banjir, dan pada musim kemarau persediaan air berkurang karena suplai air dari mata air juga berkurang. Sementara itu penurunan kualitas lebih banyak disebabkan oleh pencemaran limbah industri, rumah tangga, dan pertanian Walaupun ketersediaan air dari waktu ke waktu relatif tetap karena mengikuti daur hidrologi, tetapi keadaan dan kualitasnya yang kurang memenuhi syarat seringkali menyebabkan pemakaian dan manfaatnya menjadi terbatas. Di samping itu, kebutuhan air di Indonesia pada saat ini dan di masa mendatang terus meningkat, sementara ketersediaannya relatif tetap dan tersebar di banyak pulau. Dalam rangka mencapai pembangunan yang berkelanjutan di Indonesia, maka prinsip dasar yang berkaitan dengan sumber daya air yang perlu dipahami adalah bagaimana memenuhi kebutuhan air secara memadai untuk seluruh penduduk Indonesia dan seluruh sektor pembangunan, dengan mempertimbangkan aspek daya dukung dan konservasi sumber daya air. 1. Daya Dukung Air Wilayah Daya dukung air suatu wilayah merupakan parameter yang memperlihatkan perbandingan antara kebutuhan dan ketersediaan air, atau dapat didefinisikan sebagai kemampuan maksimal wilayah menyediakan air bagi penduduk dalam jumlah tertentu, beserta kegiatannya. Apabila daya dukung untuk suatu wilayah telah dilampaui, maka penduduk dan kegiatan pembangunan tidak bisa mendapatkan air dalam jumlah yang memadai sehingga terjadilah gejala krisis air atau defisit air. Suatu negara dikatakan menghadapi krisis air serius ketika air yang tersedia lebih rendah dari 1000 m 3 per orang per tahun. Di bawah titik ini, kesehatan dan pembangunan ekonomi suatu negara akan sangat terhambat. Ketika ketersediaan air tahunan tiap orang jatuh di bawah 500 m 3 , muncul ancaman terhadap kelangsungan hidup masyarakat (Vandhana Shiva, 2002, Water Wars : Privatization, Pollution, and Profit) Pada saat ini kondisi sumber daya air di luar Pulau Jawa belum mengalami defisit seperti yang terjadi di Pulau Jawa. Namun demikian apabila pemanfaatan sumber daya air di berbagai daerah tersebut berlangsung seperti yang terjadi saat ini di Pulau Jawa, tidak mustahil daerah-daerah tersebut pada suatu saat akan mengalami defisit Laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia Tahun 2002 III-1

Upload: maliakbar

Post on 03-Jul-2015

195 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: pdf_1050965865

PENGELOLAAN AIR A. SUMBER DAYA AIR Sumber daya air merupakan salah satu sumber daya terpenting bagi kehidupan manusia dalam melakukan berbagai kegiatannya. Meningkatnya jumlah penduduk dan kegiatan pembangunan, telah meningkatkan kebutuhan sumber daya air. Di lain pihak, ketersediaan sumber daya air dirasakan semakin terbatas, di beberapa tempat bahkan sudah dapat dikategorikan berada dalam kondisi kritis. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor seperti pencemaran, penggundulan hutan, kegiatan pertanian yang mengabaikan kelestarian lingkungan dan berubahnya fungsi daerah tangkapan air. Disadari bahwa sumber daya air yang berlimpah telah digunakan secara tidak efisien. Di banyak daerah telah terjadi kecenderungan penurunan kuantitas dan kualitas air, bahkan sampai pada tingkat yang mengkhawatirkan. Penurunan kuantitas lebih banyak disebabkan oleh berubahnya fungsi daerah tangkapan air sehingga pada musim hujan air tidak sempat meresap ke dalam tanah dan terjadi banjir, dan pada musim kemarau persediaan air berkurang karena suplai air dari mata air juga berkurang. Sementara itu penurunan kualitas lebih banyak disebabkan oleh pencemaran limbah industri, rumah tangga, dan pertanian Walaupun ketersediaan air dari waktu ke waktu relatif tetap karena mengikuti daur hidrologi, tetapi keadaan dan kualitasnya yang kurang memenuhi syarat seringkali menyebabkan pemakaian dan manfaatnya menjadi terbatas. Di samping itu, kebutuhan air di Indonesia pada saat ini dan di masa mendatang terus meningkat, sementara ketersediaannya relatif tetap dan tersebar di banyak pulau. Dalam rangka mencapai pembangunan yang berkelanjutan di Indonesia, maka prinsip dasar yang berkaitan dengan sumber daya air yang perlu dipahami adalah bagaimana memenuhi kebutuhan air secara memadai untuk seluruh penduduk Indonesia dan seluruh sektor pembangunan, dengan mempertimbangkan aspek daya dukung dan konservasi sumber daya air. 1. Daya Dukung Air Wilayah Daya dukung air suatu wilayah merupakan parameter yang memperlihatkan perbandingan antara kebutuhan dan ketersediaan air, atau dapat didefinisikan sebagai kemampuan maksimal wilayah menyediakan air bagi penduduk dalam jumlah tertentu, beserta kegiatannya. Apabila daya dukung untuk suatu wilayah telah dilampaui, maka penduduk dan kegiatan pembangunan tidak bisa mendapatkan air dalam jumlah yang memadai sehingga terjadilah gejala krisis air atau defisit air. Suatu negara dikatakan menghadapi krisis air serius ketika air yang tersedia lebih rendah dari 1000 m3 per orang per tahun. Di bawah titik ini, kesehatan dan pembangunan ekonomi suatu negara akan sangat terhambat. Ketika ketersediaan air tahunan tiap orang jatuh di bawah 500 m3, muncul ancaman terhadap kelangsungan hidup masyarakat (Vandhana Shiva, 2002, Water Wars : Privatization, Pollution, and Profit) Pada saat ini kondisi sumber daya air di luar Pulau Jawa belum mengalami defisit seperti yang terjadi di Pulau Jawa. Namun demikian apabila pemanfaatan sumber daya air di berbagai daerah tersebut berlangsung seperti yang terjadi saat ini di Pulau Jawa, tidak mustahil daerah-daerah tersebut pada suatu saat akan mengalami defisit

Laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia Tahun 2002 III-1

Page 2: pdf_1050965865

air. Oleh karena itu distribusi keberadaan sumber daya air di berbagai daerah di Indonesia harus dijadikan dasar bagi penyebaran berbagai jenis kegiatan yang memerlukan sumber daya air. Dengan demikian, daya dukung lingkungan dalam hal penyediaan sumber daya air tidak terlampaui karena padatnya kegiatan pembangunan di suatu daerah, di samping pemenuhan kebutuhan air bagi penduduknya. 2. Potensi Sumber Daya Air Secara nasional, potensi sumber daya air (air permukaan dan air tanah) tersebar di berbagai pulau di Indonesia dengan kuantitas dan kualitas yang berbeda-beda. Demikian pula pemanfaatannya sangat tergantung pada kebutuhan penduduk dan kegiatan pembangunan yang ada, seperti pertanian (irigasi), industri, pariwisata, dan sebagainya. Berdasarkan studi Ditjen Pengairan, Departemen Pekerjaan Umum tahun 1994, potensi air permukaan di Indonesia adalah sebesar 1.789 milyar m3/th. Potensi air tersebut tersebar di berbagai pulau, antara lain Irian Jaya sebesar 1401 x 109 m3/th; Kalimantan sebesar 557 x 109 m3/th; dan Jawa sebesar 118 x 109 m3/th. Air permukaan tersebut tersebar di pada berbagai badan air, yaitu 5886 buah sungai, 186 buah danau/situ, waduk dan rawa seluas 33 juta hektar. Penelitian tentang potensi air tanah yang dilakukan oleh Direktorat Geologi Tata Lingkungan, Departemen Pertambangan dan Energi, menunjukkan jumlah yang cukup besar, yaitu 4,7 x 109 m3/th yang tersebar di 224 cekungan air tanah. Penyebaran potensi air tanah tersebut antara lain di Pulau Jawa dan Madura sebesar 1,172 x 109 m3/th yang terdapat di 60 cekungan; Pulau Sumatera 1,0 x 109 m3/th yang tersebar di 53 cekungan; Pulau Sulawesi 358 x 106 m3/th yang tersebar di 38 cekungan, Papua sebesar 217 x 106 m3/th tersebar di 17 cekungan dan; Kalimantan sebesar 830 x 106 m3/th yang tersebar di 14 cekungan; sedangkan sisanya sebesar 1.123 x 106 m3/th berada di pulau-pulau lainnya yang tersebar di 42 cekungan. Dengan demikian potensi air permukaan dan air tanah di Indonesia adalah sebesar 2.760.549 x 109 m3/th dengan kapasitas mantap sebesar 693.666 x 109 m3/th atau hanya seperempatnya. Kecilnya kapasitas mantap air dibandingkan dengan potensinya, kemungkinan besar disebabkan sebagian besar air permukaan tidak tertampung dalam wadah-wadah air seperti sungai/danau serta rusaknya daerah tangkapan air sehingga air tidak sempat meresap ke dalam tanah dan menyebabkan terjadinya banjir. 3. Akses Masyarakat pada Air Bersih Kebutuhan masyarakat akan air bersih untuk berbagai keperluan disalurkan oleh pemerintah melalui Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) yang tersebar di seluruh Kabupaten dan Kota. Jumlah PDAM di seluruh Indonesia meningkat dari 432 pada tahun 1995 menjadi 465 pada tahun 1999. Meskipun terjadi peningkatan jumlah PDAM, namun pada tahun 1999 baru 8.75 persen rumah tangga di Indonesia yang menikmati fasilitas air bersih dari PDAM.

Laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia Tahun 2002 III-2

Page 3: pdf_1050965865

TABEL 3.1

Persentase Rumah Tangga yang mendapat Pelayanan Air Bersih dari PDAM Berdasarkan Wilayah Kepulauan

Rumah Tangga Terlayani PDAM (%) No. Wilayah

1998 1999

1. Sumatera 8.72 8.89

2. Jawa 7.88 8.15

3. Bali 23.32 23.48

4. Nusa Tenggara 5.86 6.18

5. Kalimantan 11.81 11.85

6. Sulawesi 9.02 9.37

7. Maluku 6.28 6.61

8. Papua 9.58 10.40

Total 8.50 8.75

Sumber : Diolah dari Statistik Lingkungan Hidup Indonesia 1998 – 2001, Badan Pusat Statistik Berdasarkan wilayah kepulauan, maka pada tahun 1999 persentase tertinggi rumah tangga yang terlayani oleh PDAM terdapat di Bali yaitu sebesar 23.5 persen, dan terendah terdapat di Nusa Tenggara sebesar 6.2 persen. B. TEKANAN PADA SUMBERDAYA AIR 1. Kebutuhan Air Kebutuhan air terbesar berdasarkan sektor kegiatan dapat dibagi ke dalam tiga kelompok besar, yaitu untuk kebutuhan domestik, pertanian (irigasi) dan industri. Sejalan dengan pertambahan penduduk dan peningkatan kegiatan pembangunan, maka kebutuhan air akan meningkat pula baik di daerah perkotaan maupun perdesaan. Pada tahun 1990 kebutuhan air domestik adalah sekitar 3.169 x 106 m3, sedangkan angka proyeksi untuk tahun 2000 dan 2015 berturut-turut sebesar 6.114 x 106 m3 dan 8.903 x 106 m3. Berarti persentase kenaikannya berkisar antara 10 %/th (1990-2000) dan 6,67 %/th (2000-2015). Kebutuhan air terbesar di Indonesia terjadi di Pulau Jawa dan Sumatera, karena kedua pulau ini mempunyai jumlah penduduk dan industri yang cukup besar. Kebutuhan air lainnya yang besar adalah untuk keperluan pertanian (irigasi) dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan yang terus meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk. Berdasarkan data dari Ditjen Pengairan, Departemen Pekerjaan Umum tahun 1991, pada tahun 1990 kebutuhan air untuk pertanian (irigasi dan tambak) adalah 74,9 x 109 m3/th, sedangkan pada tahun 2000 kebutuhan air untuk keperluan tersebut akan meningkat menjadi sebesar 91,5 x 109 m3/th, dan pada tahun 2015 menjadi sekitar 116,96 x 109 m3/th. Berarti persentase kenaikan kebutuhan air untuk pertanian antara tahun 1990 dan 2000 adalah sebesar 10%/th dan antara tahun 2000 dan 2015 sebesar 6,7 %/th.

Laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia Tahun 2002 III-3

Page 4: pdf_1050965865

Tabel 3.2

Ketersediaan dan Kebutuhan Air

Kebutuhan

(m3/th x 106 ) No Pulau/

Propinsi

Ketersediaan

(m3/th x 106 ) 1995 2000 2015

1 Sumatera 111.077,65 19.164,80 25.297,54 49.583,18

2 Jawa 30.569,20 62.926,96 83.378,22 164.671,98

3 Kalimantan 140.005,55 5.111,30 8.203,64 23.093,25

4 Sulawesi 34.787,55 15.257,00 25.555,48 77.305,33

5 Bali 1.067,30 2.574,40 8.598,50 28.718,99

6 NTB 3.508,55 1.628,60 1.832,18 2.519,25

7 NTT 4.251,15 1.736,20 2.908,14 8.797,12

8 Maluku 15.457,10 235,70 305,23 575,36

9 Irian Jaya (Papua) 350.589,65 128,30 283,35 1.310,64

TOTAL 691.340,70 108.763,26 156,362,26 356.575,09

Sumber : Data air permukaan dari Dep. Pekerjaan Umum, 1995, serta data air tanah dari Direktorat Geologi Tata Lingkungan, Dep. Pertambangan dan Energi

Di samping kebutuhan air untuk domestik dan pertanian, kebutuhan air untuk sektor industri juga cukup besar. Berdasarkan data dari Departemen Perindustrian, kebutuhan air untuk sektor industri pada tahun 1990 adalah sebesar 703,5 x 106 m3/th, dan proyeksi untuk tahun 1998 adalah sebesar 6474, 8 x 106 m3/th. Peningkatan sebesar 9 kali lipat atau 12,5 %/th merupakan perkiraan berkembangnya industri di beberapa propinsi, antara lain di Riau, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Timur dan Kalimantan Timur. Karena ketersediaan air permukaan yang dapat dimanfaatkan semakin terbatas maka terjadi peningkatan penggunaan air tanah terutama di kota-kota besar di Pulau Jawa seperti Jakarta, Bandung, Semarang dan Surabaya. Sebagai contoh, pemanfaatan air tanah untuk sektor industri saja di kota Bandung mencapai 66,9 x 106 m3/th. Di wilayah DKI Jakarta dan daerah penyangganya yaitu Bogor, Tangerang dan Bekasi (BOTABEK) diketahui bahwa cekungan airtanahnya meliputi luas 3.000 km2. Sementara perkembangan pengambilannya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

TABEL 3.3

Jumlah Sumurbor Kumulatif dan Pengambilan Airtanah di Wilayah DKI Jakarta dan Botabek Tahun

1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 Jumlah sumurbor kumulatif di DKI Jakarta

2600 2800 3000 3200 3400 3500 3600 3600

Pengambilan airtanah di DKI Jakarta (juta m3)

32,6 33,8 32,2 27,0 22,6 16,8 16,6

Jumlah sumurbor kumulatif di Botabek 1500 1600 1800 2300 2400 2600 2600 2700 Pengambilan airtanah di Botabek (juta m3)

30,6 42,0 68,2 66,8 63,5 60,8 58,4

Sumber :

Laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia Tahun 2002 III-4

Page 5: pdf_1050965865

Hal yang sama terjadi juga di Semarang, dimana cekungan airtanahnya mencakup wilayah seluas 1.612 km2 dengan jumlah aliran airtanah yang masuk ke dalam sistem akuifer dataran pantai sebesar 194 juta m3 per tahun.

TABEL 3.4

Jumlah Sumurbor dan Pengambilan Airtanah di Wilayah Semarang, Jawa Tengah

Tahun

1900 1982 1990 1999

Jumlah sumurbor 16 127 260 1060

Pengambilan airtanah (juta m3) 0,427 13,672 22,473 39,979

Sumber : Data dari Statistik Lingkungan Hidup Indonesia 1998 – 2001 menunjukkan bahwa pada tahun 1999 sekitar 74 persen rumah tangga menggunakan air tanah sebagai sumber air minumnya. Penggunaan air tanah sebagai air minum yang tertinggi terdapat di Pulau Jawa dan Nusa Tenggara yaitu sekitar 79 persen rumah tangga, sedangkan yang terkecil terdapat di Pulau Bali yaitu sekitar 46.5 persen rumah tangga. Dibandingkan dengan keadaan pada tahun 1998, penggunaan air tanah ini meningkat sekitar 0.6 persen dimana kenaikan tertinggi terjadi di Pulau Sulawesi yaitu sekitar 3 persen.

TABEL 3.5

Persentase Rumah Tangga yang Sumber Air Minumnya dari Air Tanah Berdasarkan Wilayah Kepulauan

Rumah Tangga Pengguna Air Tanah Sebagai Sumber Air Minum (%) No. Wilayah

1998 1999

1. Sumatera 69.93 71.57

2. Jawa 79.27 79.36

3. Bali 47.88 46.54

4. Nusa Tenggara 79.24 79.19

5. Kalimantan 28.63 29.86

6. Sulawesi 69.18 72.18

7. Maluku 71.68 73.15

8. Papua 57.98 55.21

Total 73.27 73.82

Sumber : Diolah dari Statistik Lingkungan Hidup Indonesia 1998 – 2001, Badan Pusat Statistik 2. Perubahan Penggunaan Lahan Penggunaan lahan di daerah tangkapan air (catchment area) sangat mempengaruhi ketersediaan air. Hutan, danau, rawa dan situ merupakan tempat yang mempunyai fungsi untuk menahan dan menyerap air hujan sehingga cadangan air relatif akan stabil dari waktu ke waktu. Di lain pihak meningkatnya jumlah penduduk dan

Laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia Tahun 2002 III-5

Page 6: pdf_1050965865

pembangunan ekonomi menyebabkan semakin meningkatnya tekanan terhadap lahan. Penggunaan lahan untuk hutan misalnya semakin lama semakin berkurang karena berubah fungsi menjadi daerah permukiman, industri, dan pertanian. Data dari Statistik Lingkungan Hidup Indonesia Tahun 2001, menunjukkan bahwa dalam selang waktu 1994 – 1999 pengurangan penggunaan lahan untuk hutan di Indonesia mencapai 6 juta km2. Pengurangan penggunaan lahan untuk hutan terbesar terjadi di Sumatera yaitu sekitar 3 juta km2, diikuti Sulawesi sebesar 1,2 juta km2, Kalimantan sebesar 886 ribu km2, dan Maluku-Papua sebesar 679 ribu km2. Sementara itu penambahan lahan untuk kegiatan non pertanian (perumahan, industri, dan lain-lain) justru meningkat dimana penambahan terbesar terjadi di pulau Sumatera dan Jawa masing-masing sebesar 270 ribu km2 dan 222 ribu km2.

TABEL 3.6

Perubahan Penggunaan Lahan Menurut Pulau Tahun 1994 – 1999

Pertanian No. Wilayah Non Pertanian

PLB PLK Hutan TTP Lainnya

1. Sumatera 270,370 270,370 213,160 (3,147,240) 144,820 254,508

2. Jawa 221,810 (130,180) (70,530) (86,740) (54,920) 120,560

3. Bali-Nusa Tenggara

27,270 27,670 (36,210) (28,450) 43,600 (33,820)

4. Kalimantan 78,230 (170,110) 70,220 (886,090) 1,532,350 (624,600)

5. Sulawesi 61,870 (102,220) 366,200 (1,230,230) 224,720 679,930

6. Maluku-Papua 50,770 (12,890) 382,660 (679,360) 508,690 (267,270)

Sumber : Diolah dari Statistik Lingkungan Hidup Indonesia 2001, Badan Pusat Statistik. Keterangan : PLB = Pertanian Lahan Basah PLK = Pertanian Lahan Kering TTP = Tanah Tidak Produktif Selain hutan, perubahan fungsi situ dan rawa menjadi fungsi lain seperti untuk permukiman dan industri juga meningkat. Tidak tersedia data mengenai perubahan-perubahan tersebut. Namun dari berbagai pemberitaan di surat kabar menunjukkan bahwa perubahan fungsi situ dan rawa menjadi fungsi lain yang tidak menampung air sudah mencapai tahap yang mengkhawatirkan terutama di sekitar kota-kota metropolitan seperti Jakarta dan Surabaya. Di kawasan Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi (Jabotabek) jumlah situ yang pada awal tahun 1990 masih sekitar 218, sekarang hanya tersisa 50 –100 situ (lihat Box 3.1.) Kerusakan daerah tangkapan air juga menyebabkan terjadinya pendangkalan sungai, danau dan waduk sehingga daya tampungnya menjadi berkurang. Danau Sentani di Propinsi Papua misalnya, sejak tahun 1999 mengalami pendangkalan rata-rata 5 meter per tahun. Hal yang sama terjadi pada Danau Tondano di Propinsi Sulawesi Utara dimana pada tahun 1970 titik terdalam danau tersebut mencapai 50 meter dan pada saat ini titik terdalamnya tinggal sekitar 10 meter. 3. Pencemaran Industri Menengah - Besar Kualitas air juga dipengaruhi oleh pembuangan limbah cair yang berasal dari aktifitas industri. Di propinsi Jawa Timur misalnya, terutama di Kali Surabaya, terdapat 28 industri kelas menengah-besar yang menjadi prioritas untuk dikendalikan

Laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia Tahun 2002 III-6

Page 7: pdf_1050965865

pencemarannya. Data hasil pemantauan dalam selang waktu 1990 – 1998 memang menunjukkan adanya penurunan beban limbah, khususnya untuk parameter BOD dan COD. Namun hasil pemantauan pada badan airnya menunjukkan bahwa kualitas air Kali Surabaya untuk parameter BOD dan COD justru meningkat pada tahun 1998.

0 .0 0

1 0 0 0 0 . 0 0

2 0 0 0 0 . 0 0

3 0 0 0 0 . 0 0

4 0 0 0 0 . 0 0

5 0 0 0 0 . 0 0

6 0 0 0 0 . 0 0

(Kg/

Har

i)

1 9 9 0 1 9 9 1 1 9 9 2 1 9 9 3 1 9 9 4 1 9 9 5 1 9 9 6 1 9 9 7 1 9 9 8

T a h u n

K e c e n d e r u n g a n B e b a n L i m b a h 2 8 I n d u s t r i P r i o r i t a s P r o k a s i h d i K a l i S u r a b a y a , J a w a T i m u r

B O D

C O D

GAMBAR : 3.1

Contoh lainnya adalah beban limbah industri yang masuk ke Sungai Siak di propinsi Riau. Terdapat 25 industri kelas menengah-besar prioritas yang dikendalikan pencemarannya oleh pemerintah daerah propinsi Riau. Hasil pemantauan dari tahun 1991 sampai dengan 1999 menunjukkan bahwa meskipun pada awalnya beban limbah mengalami penurunan, namun sejak tahun 1994 cenderung meningkat. Peningkatan dan fluktuasi beban limbah tersebut disebabkan adanya dua industri masing-masing penghasil kertas dan minyak sawit yang belum berhasil menurunkan beban limbahnya.

0 .0 0

1 0 0 0 0 .0 0

2 0 0 0 0 .0 0

3 0 0 0 0 .0 0

4 0 0 0 0 .0 0

5 0 0 0 0 .0 0

6 0 0 0 0 .0 0

7 0 0 0 0 .0 0

8 0 0 0 0 .0 0

(Kg/

Har

i)

1 9 9 1 1 9 9 2 1 9 9 3 1 9 9 4 1 9 9 5 1 9 9 6 1 9 9 7 1 9 9 8 1 9 9 9

T a h u n

K e c e n d e r u n g a n B e b a n L im b a h 2 5 In d u s t r i P r io r i t a s P r o k a s ih d i S u n g a i S ia k , R ia u

B O D

C O D

GAMBAR : 3.2

Laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia Tahun 2002 III-7

Page 8: pdf_1050965865

Krisis ekonomi yang berkepanjangan sampai saat ini menyebabkan frekuensi pemantauan limbah industri sangat berkurang. Selain itu dengan berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, ada kecenderungan Pemerintah Daerah untuk tidak melaporkan hasil-hasil pemantauannya. Hal-hal tersebut menyebabkan tidak tersedianya data beban limbah cair dari industri prioritas Program Kali Bersih tahun 1999 – 2002. 4. Pencemaran Industri Kecil. Selain industri menengah-besar, industri kecil juga mempunyai kontribusi beban pencemaran yang besar terhadap penurunan kualitas air sungai. Hal itu ditunjukkan dengan hasil olahan data BPS (Jauhari, Suara Pembaruan) dimana jumlah usaha kecil sebesar 40.137.773 unit, usaha menengah sebsar 57.743 unit, dan usaha besar 2.095 unit. Data hasil sensus BPS tahun 2000, menunjukkan bahwa 64 % industri kecil berada di Pulau Jawa. Mengingat kelemahan dalam permodalan serta persebarannya, kemungkinan kecil suatu industri kecil dilengkapi dengan instalasi pengolahan air limbah (IPAL), sehingga dapat dipastikan bahwa penurunan kualitas sungai-sungai di pulau Jawa juga dipengaruhi oleh beban pencemaran dari industri kecil.

Persentase Banyaknya Usaha Kecil Menurut Wilayah, Tahun 2000

12.63%

64.07%

11.02%

3.95%

8.03% 0.30%

Sumatera

Jawa

Bali & Nusa Tenggara

Kalimantan

Sulawesi

Maluku & Irian

GAMBAR : 3.3

5. Pencemaran Limbah Rumah Tangga. Di kota-kota metropolitan seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, penurunan kualitas air sungai juga dipengaruhi oleh buangan limbah cair dari rumah tangga.

Laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia Tahun 2002 III-8

Page 9: pdf_1050965865

TABEL 3-7

Jumlah Rumah Tangga dan Fasilitas Buang Air Besar

Fasilitas Tempat Buang Air Besar No. Wilayah

Sendiri Bersama Umum Lainnya

1. Sumatera 5,981 782 500 1,863

2. Jawa 17,099 4,611 1,965 8,442

3. Bali dan Nusa Tenggara 1,226 332 55 1,013

4. Kalimantan 1,583 287 203 709

5. Sulawesi 1,750 366 109 1,263

6. Maluku dan Irian 381 95 79 389

Total 28,020 6,473 2,913 13,679

Sumber : Diolah dari Statistik Indonesia 2001, Badan Pusat Statistik Menurut data Sensus BPS Tahun 2000 (Tabel 3.4), secara nasional masih sekitar 27 % rumah tangga yang tidak mempunyai fasilitas tempat buang air besar. Jadi kemungkinan besar anggota keluarga dari rumah tangga tersebut membuang limbahnya langsung ke perairan umum atau ke tanah. Dengan asumsi rata-rata jumlah anggota keluarga setiap rumah tangga adalah 4 orang dan setiap orang menghasilkan limbah 7,3 m3/hari, maka dalam sehari sekitar 400 ribu m3 air limbah rumah tangga dibuang langsung ke perairan umum dan ke tanah. Sekitar 246 ribu m3/hari mencemari sungai dan tanah di pulau Jawa. Indikasi lain petunjuk peningkatan beban pencemaran dari limbah rumah tangga ke sungai adalah meningkatnya jumlah bangunan di sepanjang bantaran sungai. Secara nasional pada tahun 1999 jumlah bangunan yang berada di bantaran sungai meningkat sekitar 38 persen dibandingkan dengan keadaan pada tahun 1996. Peningkatan terbesar terjadi di pulau Jawa, yaitu sekitar 89 persen. Sementara di wilayah Bali – Nusa Tenggara jumlah bangunan di bantaran sungai justru berkurang sekitar 7,5 persen. Berdasarkan propinsi maka peningkatan terbesar jumlah bangunan di bantaran sungai terjadi di Jambi (307 persen), DI Yogyakarta (258 %), Kalimantan Barat (100 %), dan Papua (135 %).

TABEL 3-8

Jumlah Bangunan Di Sepanjang Bantaran Sungai Tahun 1996 – 1999 Jumlah Bangunan di Bantaran Sungai No. Wilayah 1996 1999

1. Sumatera 152,991 201,794

2. Jawa 93,265 176,547

3. Bali – Nusa Tenggara 20,443 18,896

4. Kalimantan 164,281 203,025

5. Sulawesi 48,472 58,432

6. Maluku – Papua 10,795 16,076

Total 490,247 674,770

Sumber : Diolah dari Statistik Lingkungan Hidup Indonesia 2001, Badan Pusat Statistik

Laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia Tahun 2002 III-9

Page 10: pdf_1050965865

6. Pencemaran Limbah Pertanian Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, pada tahun 2000 di luar Maluku dan Irian Jaya tercatat sekitar 47 juta hektar lahan yang digunakan untuk lahan pertanian termasuk tambak dan kolam/empang. Dari jumlah tersebut sekitar 35 % digunakan untuk perkebunan, 28 % untuk tegalan/kebun, 19 % untuk lahan tanaman kayu, dan 17 % untuk lahan sawah.

TABEL 3-9

Penggunaan Lahan untuk Usaha Pertanian Tahun 2000 (Ha)

Wilayah Tegalan Tambak Kolam Tanaman Kayu Perkebunan Sawah Sumatera 5,056,744 121,373 69,096 3,687,234 9,150,085 2,112,239

Jawa 3,112,370 132,365 35,272 457,597 600,558 3,344,391

Bali Nusa Tenggara 1,073,520 7,477 5,214 652,843 481,175 397,846

Kalimantan 1,858,392 70,171 28,101 2,733,836 4,185,592 968,427

Sulawesi 1,836,258 161,532 46,762 1,271,760 2,297,197 964,436

Total 12,937,284 492,918 184,445 8,803,270 16,714,607 7,787,339

Sumber : Diolah dari Statistik Indonesia 2001, Badan Pusat Statistik

TABEL 3-10

Penggunaan Pestisida dan Pupuk dari Usaha Penanaman Padi Tahun 1998/1999

Pestisida Wilayah Padat (Kg/Ha) Cair (Lt/Ha)

Pupuk Kimia (Kg/Ha)

Sumatera 0.78 1.42 198.50

Jawa 4.78 1.22 417.67

Bali Nusa Tenggara 0.47 0.98 228.06

Kalimantan 0.42 1.20 91.38

Sulawesi 1.32 2.31 202.84

Sumber : Diolah dari Statistik Indonesia 2001, Badan Pusat Statistik

TABEL 3-11

Perkiraan Beban Pencemaran Pestisida dan Pupuk dari Usaha Penanaman Padi Tahun 2000

Pestisida Wilayah Padat (Kg) Cair (Lt)

Pupuk Kimia (Kg)

Sumatera 1,647,546.42 2,999,379.38 419,279,441.50

Jawa 15,986,188.98 4,080,157.02 1,396,851,788.97

Bali Nusa Tenggara 186,987.62 389,889.08 90,732,758.76

Kalimantan 406,739.34 1,162,112.40 88,494,859.26

Sulawesi 1,273,055.52 2,227,847.16 195,626,198.24

Total 19,500,517.88 10,859,385.04 2,190,985,046.73

Sumber : Diolah dari Statistik Indonesia 2001, Badan Pusat Statistik Data lain menunjukkan bahwa pada tahun 1998/1999 usaha penanaman padi secara nasional memerlukan pestisida dalam bentuk padat mencapai 2,75 Kg per hektar dan

Laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia Tahun 2002 III-10

Page 11: pdf_1050965865

pestisida cair sebesar 1,35 liter per hektar. Sementara penggunaan pupuk kimia 300 Kg per hektar. Dengan asumsi bahwa data penggunaan pestisida dan pupuk tidak berubah pada tahun 2000 dan pencemaran residu pestisida dan pupuk terhadap air sungai hanya berasal dari lahan sawah, maka dapat dihitung bahwa pada tahun 2000 secara nasional (tanpa Maluku dan Irian Jaya) diperkirakan beban pencemaran dari pestisida padat mencapai 19,5 ribu ton, pestisida cair 11 ribu kilo liter, dan pupuk kimia sebesar 2,2 juta ton. Residu pestisida dan pupuk tersebut sebagian besar masuk ke tanah dan air sungai. Berdasarkan perkiraan tersebut, Pulau Jawa menerima beban pencemaran terbesar dari penggunaan pestisida dan pupuk kimia. 7. Kasus-kasus Pencemaran Air Pencemaran terhadap air permukaan sering juga terjadi karena kelalaian industri sehingga limbah yang tidak terolah dan/atau bahan baku proses produksi terlepas dalam jumlah besar ke badan air. Kelalaian tersebut dapat saja terjadi dalam proses produksi atau dalam proses pengangkutan di luar lokasi industri. Kasus-kasus seperti ini biasanya diterima oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Pemerintah Daerah melalui laporan pengaduan dari masyarakat, antara lain dijelaskan sebagai berikut : (1). Pencemaran Sungai Ngringo oleh PT. Palur Raya di Propinsi Jawa Tengah :

Limbah cair dari produksi monosodium glutamat (MSG) digunakan sebagai pupuk cair oleh petani;

• •

• •

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Tim Independen, Dinas Lingkungan Hidup Karanganyar, Bapedalda Propinsi Jawa Tengah dan Kementerian lingkungan Hidup terhadap limbah padat dari proses produksi (carbon cake) mengandung unsur limbah B3 antara lain : Mercury (Hg), Tembaga (Cu), Cadmium (Cd), Chromium (Cr), Arsenin (Ar)

(2). Pencemaran Sungai Rokan Hulu di Propinsi Riau oleh PT. Eluan Mahkota :

Laporan kejadian No. : LK-01/BPDL/PPNS-LH/04/2002 tanggal 23 April 2002. Pembuangan limbah cair tanpa melalui proses pengolahan pada saat tidak ada pengawasan petugas dari instansi yang berwewenang. Pelanggaran UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup khususnya pasal 41 ayat (1) jo pasal 43 ayat (1) jo pasal 45 jo pasal 46.

(3). Pencemaran Sungai Siak di Propinsi Riau oleh PT. Indah Kiat Pulp and Paper,

PT. Pertiwi Prima Plywood, PT. Perawang Perkasa Industry, dan PT. Perawang Lumber Industry :

Terjadi pada bulan September – Oktober 2002. Pembuangan limbah cair tanpa melalui proses pengolahan pada saat tidak

ada pengawasan petugas dari instansi yang berwewenang. Pelanggaran UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

khususnya pasal 41 ayat (1) jo pasal 43 ayat (1) jo pasal 45 jo pasal 46.

(4). Pencemaran Sungai Citarik di Kabupaten Bandung, Propinsi Jawa Barat, oleh PT. Inti Texturindo Megah :

Tanggal 7 Agustus 2001, terjadi kebocoran pipa sehingga menyebabkan terlepasnya sekitar 22 ton soda kostik (limbah B3) ke kali Citarik yang menyebabkan ikan mati, masyarakat pengguna air sungai gatal-gatal dan kulit melepuh/mengelupas (iritasi kulit).

Laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia Tahun 2002 III-11

Page 12: pdf_1050965865

Korban berjumlah 327 orang yang tersebar di dua kecamatan yaitu Cicalengka dan Rancaekek. Sebanyak 14 orang harus dirawat inap karena mengalami luka bakar derajat III. Derajat akibat luka bakar adalah IV.

• •

• •

• •

• •

(5). Pencemaran Sungai Banger di Kabupaten Pekalongan dan Kota Pekalongan,

Propinsi Jawa Tengah, oleh PT. Ezritex, PT. Kesmatex dan PT. Bintang Triputratex :

Berdasarkan laporan pengaduan masyarakat kepada Gubernur Propinsi Jawa Tengah, BKLH, Walikota, Kapolwil, DPRD, Bapedalda Propinsi Jawa Tengah dan KLH.

Ternak milik masyarakat banyak yang mati setelah minum air sungai dan makan tumbuhan di pinggir sungai.

(6). Pencemaran Kali Brantas di Kabupaten Kediri, Propinsi Jawa Timur oleh Pabrik

Gula Ngadirejo : Meluapnya sekitar 600 ton tetes tebu dari tanki penyimpanan ke Kali Brantas; Masyarakat di daerah Surabaya, Kediri, Jombang, Nganjuk, Mojokerto,

Sidoarjo, Pasuruan, dan Gresik terganggu pasokan air bersihnya karena Instalasi Penjernihan Air (IPA) di daerah tersebut tidak dapat beroperasi. Air baku untuk air minum digunakan untuk menurunkan kosentrasi bahan pencemar melalui penggelontoran. Di Sidoarjo misalnya, daerah ini terpaksa menghentikan operasi 3 IPA-nya yang memasok kurang lebih 30.000 warga. Hal serupa dilakukan PDAM Mojokerto untuk puluhan ribu pelanggannya.

(7). Pencemaran Sungai Ajkwa di Propinsi Papua oleh PT. Freeport Indonesia :

Sungai Ajkwa digunakan untuk penimbunan tailing; Pengelolaan air asam tambang dan overburdennya yang diduga belum

ramah lingkungan; Mata pencaharian masyarakat tradisional hilang karena tidak ada lagi ikan

yang dapat diambil dari sungai. (8). Pencemaran wilayah pesisir di Kabupaten Tegal, Propinsi Jawa Tengah, oleh

kapal tanker MT Stead Fast : Kandasnya kapal ini terjadi pada dini hari tanggal 11 Pebruari 2001. Tumpahan oli bekas sebanyak 1.200 ton mencemari laut dan pantai.

(9) Pencemaran wilayah pesisir di perairan Batam, Propinsi Kepulauan Riau, oleh

Kapal Tanker MT Natuna Sea : Terjadi pada bulan Oktober tahun 2000 Tumpahnya muatan minyak mentah sekitar 7000 ton

C. KUANTITAS DAN KUALITAS AIR 1. Air Sungai Kerusakan daerah tangkapan air akibat terjadinya perubahan fungsi lahan menyebabkan berkurangnya debit aliran stabil yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan. Indikasi tersebut dapat dilihat dari perbandingan debit minimum dan debit maksimum. Debit aliran air disebut stabil apabila perbandingan tersebut mendekati angka satu. Hasil pengukuran debit air sungai pada tahun 1999 menunjukkan bahwa pada beberapa sungai di Indonesia perbandingan tersebut

Laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia Tahun 2002 III-12

Page 13: pdf_1050965865

bahkan kurang dari 0,005. Hal ini menunjukkan bahwa pada musim hujan aliran air langsung masuk ke sungai dan terbuang ke laut tanpa sempat meresap ke dalam tanah, sedangkan pada musim kemarau sungai mengalami kekeringan.

TABEL 3.12

Perbandingan Debit Minimum dan Maksimum Beberapa Sungai di Indonesia Tahun 1999

No. Propinsi/Induk Sungai Perbandingan Debit Minimum dan Maksimum

1. Jawa Barat

a. Citarum 0.0006 - 0.0176 b. Cibuni 0.0128 c. Ciujung 0.0056 - 0.0448

2. Jawa Tengah a. K. Pemali 0.0000 b. B. Solo 0.0094 c. K. Serayu 0.0006 d. K. Lusi 0.0029

3. DI. Yogyakarta a. K. Progo 0.0017 - 0.0025

4. Jawa Timur a. B. Solo 0.0000 - 0.0061

b. K. Brantas 0.0819 - 0.1292

5. Sumatera Utara

a. S. Asahan 0.0237

6. Sumatera Barat

a. Bt. Pasaman 0.0306

b. Bt. Hari 0.0072

7. Riau

a. Bt. Kuantan 0.0179

b. Bt. Kampar 0.0099 - 0.0147

c. Bt. Rokan 0.0170

8. Bengkulu

a. A. Dikit 0.0404

9. Jambi

a. Bt. Hari 0.0028 - 0.0568

10. Sumatera Selatan

a. S. Musi 0.0213 - 0.1061

11. Lampung

a. W. Tulang Bawang 0.0039 - 0.0057

b. W. Sekampung 0.0015

12. Sulawesi Utara

a. S. Paguyaman 0.0004

b. S. Randangan 0.0138

13. Sulawesi Selatan

a. S. Cenranae 0.0005 - 0.0168

b. S. Mapili 0.0017

c. L. Sampara 0.0770

Sumber : Diolah dari Statistik Lingkungan Hidup Indonesia Tahun 2000 dan 2001, Badan Pusat Statistik.

Laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia Tahun 2002 III-13

Page 14: pdf_1050965865

Selain masalah ketersediaan air yang semakin terbatas dari segi volume, pencemaran terhadap air tersebut juga menyebabkan semakin berkurangnya air yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Sumber pencemaran sungai-sungai di Indonesia terutama berasal dari kegiatan industri, perkotaan (domestik), pertambangan, pembukaan lahan dan pertanian (pupuk dan pestisida).

TABEL 3.13

Kualitas Sungai di Sumatera, Jawa dan Kalimantan Tahun 2000/2001

Parameter (mg/l) No. Propinsi Sungai BOD COD DO TSS

1 N. Aceh Darussalam Langsa -- -- 5.72 --

2 Sumatera Utara Asahan -- -- 6.18 60.80

3 Sumatera Barat Batang Hari -- -- 6.87 --

4 Riau Siak 15.36 43.01 2.83 20.00

5 Jambi Batang Hari 5.44 18.92 6.19 --

6 Sumatera Selatan Musi 4.38 9.83 4.08 32.17

7 Lampung Terusan 10.48 23.79 4.08 --

8 Banten Ciujung 4.50 17.95 -- 40.28

9 DKI Jakarta Ciliwung 18.41 32.40 -- --

10 Jawa Barat Citarum -- 57.58 3.41 --

11 DI Yogyakarta Opak 3.65 16.78 5.21 --

12 Jawa Timur Surabaya 9.17 20.23 -- --

13 Kalimantan Barat Kapuas -- -- -- 20.33

14 Kalimantan Selatan Martapura -- -- 4.10 90.83

15 Kalimantan Timur Mahakam 5.33 37.36 3.73 122.70

Sumber : Diolah dari Laporan Pemantauan Kualtas Sungai, Bapedal Daerah Propinsi Tahun 2002, dan Laporan Neraca Kualitas Lingkungan Hidup Daerah Tahun 2001

Dalam Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air ditetapkan 4 kelas klasifikasi mutu air, yaitu :

Kelas I, yaitu air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut;

Kelas II, yaitu air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut; Kelas III, yaitu air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut; Kelas IV, yaitu air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.

Dibandingkan dengan kriteria mutu air berdasarkan kelasnya, maka pada tahun 2001/2002 tidak ada sungai yang memenuhi kriteria mutu air kelas I dan II. Sedangkan kriteria mutu air kelas III dipenuhi oleh sebagian besar sungai sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 3.11.

Laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia Tahun 2002 III-14

Page 15: pdf_1050965865

Melalui Program Kali Bersih yang dicanangkan pada tahun 1990, Pemerintah Daerah Propinsi yang masuk dalam lingkup program secara teratur mengirimkan data pemantauan kualitas air sungai prioritas. Namun sejak terjadinya krisis pada tahun 1997, pengiriman data terhenti. Pada tahun 2002 beberapa Pemerintah Daerah Propinsi mulai mengirimkan data kembali, dan melalui dana stimulan dari APBN diharapkan mulai tahun 2003 data kualitas air sungai akan dilaporkan ke Kementerian Lingkungan Hidup secara kontinu.

K ecenderungan K ua litas S ungai C iliw ung, D K I Jakarta

01020304050

1990

1991

1992

1993

1994

1995

1996

1997

1998

1999

2000

2001

Tah un

(mg/

l)

B O D C O D

GAMBAR 3.4 Hasil pemantauan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah yang masuk dalam lingkup Program Kali Bersih (PROKASIH) menunjukkan bahwa secara umum dalam selang waktu 1990 – 1996 kualitas sungai-sungai prioritas relatif meningkat. Namun seiring dengan terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1997, kualitas sungai-sungai Prokasih cenderung menurun kembali. Segmen Sungai Ciliwung yang melintas DKI Jakarta misalnya, kualitas air relatif meningkat dalam perioda 1990 – 1996, dan menurun kembali pada tahun 1997 dan relatif tidak berubah pada tahun 2000. Sungai lainnya yang melintas kota metropolitan adalah Kali Surabaya yang merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas. Di DAS Brantas pemerintah telah membangun bendungan yang selain berfungsi untuk irigasi juga untuk pengglontoran (flashing) sungai yang ada di daerah aliran sungai tersebut terutama pada musim kemarau. Kali Surabaya ini sumber air utamanya berasal dari Kali Brantas.

Laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia Tahun 2002 III-15

Page 16: pdf_1050965865

Kecenderungan Kualitas Air Kali Surabaya, Jawa Timur

0102030

1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001

Tahun

(mg/

l)

BOD COD

GAMBAR 3.5

Seperti halnya Sungai Ciliwung di DKI Jakarta, sumber pencemaran utama Kali Surabaya dan sungai lainnya yang melintasi kota-kota besar, berasal dari industri dan rumah tangga. Kualitas air Kali Surabaya meningkat dalam periode 1993 – 1997 dan menurun kembali pada tahun 1998. Pada tahun 2001 kualitas air Kali Surabaya relatif tidak berubah dibandingkan dengan kondisi pada tahun 1998.

Kecenderungan Kualitas Air Sungai Siak, Riau

01020304050607080

1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000

Tahun

(mg/

l)

BOD COD

GAMBAR 3.6

Salah satu sungai yang menjadi prioritas PROKASIH di pulau Sumatera adalah Sungai Siak di propinsi Riau Dalam periode 1992 - 1997, kualitas air sungainya menunjukkan peningkatan yang ditunjukkan dengan penurunan konsentrasi BOD dan COD secara berarti. Namun data tahun 2000 menunjukkan ada sedikit kenaikan konsentrasi untuk kedua parameter tersebut.

Laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia Tahun 2002 III-16

Page 17: pdf_1050965865

Hasil pengamatan lain yang dilakukan pada tahun 2002 di beberapa sungai dimana terdapat lokasi penambangan emasnya menunjukkan bahwa : (1). Di sungai Kapuas, Kalimantan Barat :

Kandungan merkuri (Hg) dalam contoh uji sedimen berkisar antara 0,064 – 0,094 mg/Kg;

• •

Kandungan merkuri pada pekerja tambang berkisar antara 1,718 – 4,039 mg/Kg; Kandungan merkuri pada ikan berkisar antara 0,023 – 0,14 mg/Kg. Sementara baku mutu yang diperbolehkan oleh ICPS (International Chemical Plan Safety) adalah 0,40 mg/Kg.

(2). Di propinsi Jambi yaitu di sungai Batang Bungo, sungai Mengkoang, sungai Buluh, sungai Benit, sungai Batang Tebo, dan sungai Batang Hari :

Kandungan merkuri dalam contoh uji sedimen berkisar antara 0,024 – 0,247 mg/Kg; Pada rambut pekerja tambang ditemukan kandungan merkuri berkisar antara 1,718 – 11,32 mg/Kg; Kandungan merkuri pada ikan antara 0,038 – 0,043 mg/Kg.

(3) Di sungai Cikaniki, Pongkor, Jawa Barat : Kandungan merkuri dalam contoh uji air berkisar antara 0,206 – 1,68 ng/ml; Kandungan merkuri dalam contoh uji sedimen berkisar antara 3,803 – 9,01 mg/Kg; Pada ganggang ditemukan merkuri yang cukup tinggi, yaitu antara 5,716 – 11,248 mg/Kg

Hasil penelitian lain yang dilakukan untuk mengetahui dampak pencemaran air dari lahan-lahan pertanian menunjukkan bahwa :

Pada bagian hulu Sungai Cisadane tercatat kandungan residu pestisida organoklor maksimum 0,1255 ppb; Di bagian hulu Sungai Ciliwung, kandungan maksimum residu pestisida organoklor mencapai 3,449 ppb. Sementara di daerah Gadog, kandungan organofosfat tertinggi sebesar 0,3416 ppb; Di bagian hilir Sungai Cileungsi, maksimum kandungan residu pestisida organoklor sebesar 4,420 ppb; Di bagian hilir Sungai Citarum, kandungan residu pestisida organoklor sebesar 0,3148 ppb, dan kandungan organofosfat sebesar 0,829 ppb.

2. Air Tanah Akibatnya terjadi penurunan muka air tanah, penurunan muka tanah (land subsidence) akibat menipisnya lapisan air tanah, dan intrusi air laut yang semakin jauh ke darat. Di kota Bandung, misalnya, Sebagai contoh, pemanfaatan air tanah yang tidak terkendali menyebabkan penurunan akuifer menengah (40-150 meter) antara 0,12 - 8,7 6 meter per tahun dan pada akuifer dalam (> 150 meter) antara 1,44 - 12,48 meter per tahun. Sedangkan di Jakarta penurunan muka akuifer mencapai 17 meter (di kawasan Cengkareng, Grogol, Cempaka Putih dan Cakung). Pengambilan airtanah yang intensif menyebabkan dampak negatif berupa turunnya muka pisometri, turunnya kualitas airtanah dan kemungkinan amblesan. Di Jakarta,

Laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia Tahun 2002 III-17

Page 18: pdf_1050965865

penurunan muka pisometri yang dalam dan luas membentuk sebuah kerucut, terjadi di empat kawasan yaitu Daan Mogot Barat, Daan Mogot Timur – Kapuk, Cakung – Cilincing, dan Jalan Raya Bekasi – Pondok Ungu yang mencapai 40 – 55 meter dibawah permukaan laut. Dibandingkan dengan keadaan tahun 1999 maka daerah yang mengalami kerucut penurunan pisometrik airtanah telah bertambah luas terutama pada akuifer tengah sesuai dengan peningkatan jumlah pengambilan airtanah. Sementara itu gejala amblesan terjadi hampir di seluruh wilayah Jakarta dengan kisaran 10 cm – 100 cm. Amblesan yang lebih besar dari 80 cm terjadi di daerah Daan Mogot, Jakarta Barat. Hal yang sama terjadi juga di Semarang, dimana cekungan airtanahnya mencakup wilayah seluas 1.612 km2 dengan jumlah aliran airtanah yang masuk ke dalam sistem akuifer dataran pantai sebesar 194 juta m3 per tahun. Perkembangan pengambilan airtanah yang pesat telah mengakibatkan perubahan kondisi dan lingkungan airtanah. Perubahan tersebut ditunjukkan dengan adanya penurunan muka airtanah lebih dari 2 meter dihitung dari kondisi awal, bahkan terjadi kerucut penurunan muka airtanah pada kedudukan 20 meter di bawah muka air laut Pemantauan kualitas airtanah di beberapa lokasi di DKI Jakarta, Tangerang dan Serang menunjukkan bahwa sebagian besar tidak dapat digunakan sebagai sumber air minum. Di daerah Jakarta Utara misalnya, sebanyak 40 contoh air sumur gali berwarna keruh dengan konsentrasi kesadahan, besi, mangan, klorida, nitrat, zat organik, dan zat padat terlarut berada di atas ambang batas untuk persyaratan air minum. Selain itu 20 sumur mengandung logam berat kadmium dan 9 sumur mengandung bakteri Escherichia colli (colli tinja). 3. Air Laut (Kawasan Pesisir dan Pantai) Hasil penelitian yang dilakukan pada tahun 2000 pada bebebrapa lokasi pelabuhan menunjukkan bahwa pada umumnya masih berada di bawah baku mutu air laut yang diperkenankan.

Tabel 3-14

Kualitas Air Laut di Beberapa Daerah Pesisir dan Pantai Tahun 2000

Parameter No.

Lokasi

pH Salinitas TSS NH3-N PO4 NO3

1. Senggigi, NTB 8.16 28240 29.10 0.85 0.03 0.47

2. Makasar 7.62 29200 0.01 0.01 -- --

3. Palembang 6.00 -- -- 0.31 -- --

4. Bangka 8.00 22475 -- -- 0.35 --

Sumber : Pemantauan Kualitas Air Laut, Kementerian Lingkungan Hidup Keterangan : Kecuali pH, satuan parameter adalah mg/l

Laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia Tahun 2002 III-18

Page 19: pdf_1050965865

D. KEBIJAKAN PENGELOLAAN AIR Memelihara ketersediaan sumber daya air untuk memenuhi kebutuhan berbagai sektor pembangunan memegang peranan yang sangat penting dalam merangsang pertumbuhan ekonomi nasional dan meningkatkan kesejahteraan penduduk. Upaya pemenuhan kebutuhan air terutama perlu dilakukan untuk sektor pertanian, industri, dan kebutuhan rumah tangga. Pada saat ini sektor pertanian masih merupakan sektor terbesar dalam hal penggunaan air. Apabila kebutuhan air bagi sektor pertanian tetap terjamin, maka produksi pangan nasional dapat berlangsung secara berkelanjutan. Di lain pihak, perlu diantisipasi peningkatan kebutuhan air bagi sektor industri, yang apabila tidak dapat dipenuhi akan menghambat pertumbuhan sektor andalan ini. Pemenuhan kebutuhan air untuk rumah tangga juga memegang peranan penting dalam menjaga kesejahteraan dan produktivitas nasional secara keseluruhan. Dewasa ini masih banyak penduduk Indonesia, terutama masyarakat miskin di perkotaan, yang belum dapat menikmati air bersih. Strategi pengelolaan sumber daya air harus diarahkan untuk pelestarian, atau jika dimungkinkan, peningkatan daya dukung wilayah dari segi ketersediaan air. Upaya ini perlu dilakukan dengan memperhatikan fungsi ganda air, yaitu fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial. Untuk itu, pengelolaan air perlu dilakukan secara terpadu, lintas sektor, dengan mempertimbangkan proyeksi pertumbuhan penduduk per wilayah dan rencana pembangunan sektoral. Pengelolaan sumber daya air terpadu dengan pendekatan Daerah Aliran Sungai (DAS) dari hulu sampai hilir tampaknya merupakan upaya yang paling patut dipertimbangkan, atau dikenal sebagai konsep “one management for one watershed”. Hal ini penting, mengingat setiap DAS di Indonesia memiliki karakteristik yang berbeda-beda sehingga memerlukan penanganan yang berbeda pula. 1. Peraturan Perundang-undangan Pada tahun 1999 pemerintah mulai mereformasi sejumlah peraturan perundangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya air. Program ini dibiayai oleh World Bank melalui Water Resources Sector Adjustment Loan (WATSAL). Hasil-hasil yang sudah dan akan dikeluarkan melalui program ini antara lain : (1). Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 1999 tentang Pembentukan Tim Koordinasi

Kebijaksanaan Pendayagunaan Sungai dan Pemeliharaan Kelestarian Daerah Aliran Sungai;

(2). Perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan, beserta peraturan-peraturan lain di bawahnya;

(3). Penyusunan Sistem Informasi Pengelolaan Sumber Daya Air Nasional untuk Pengambilan Keputusan (Decision Support System – DSS);

(4). Penyusunan Sistem Pengumpulan dan Pengelolaan Data Kualitas Hidrologi dan Air Nasional;

(5). Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air sebagai pengganti dari Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air;

(6). Penyusunan pedoman-pedoman teknis PP 82/2001; (7). Penyusunan Peraturan Daerah yang berkaitan dengan Pengelolaan Kualitas Air

dan Pengendalian Pencemaran Air pada beberapa daerah.

Laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia Tahun 2002 III-19

Page 20: pdf_1050965865

Terhadap Rancangan Undang-undang tentang Pengelolaan Sumber Daya Air, Kementerian Lingkungan Hidup mengambil sikap bahwa : (1). Kebijakan Sumber Daya Air perlu bertolak dari :

Segi kepentingan nasional dan inter-generasional termasuk didalamnya kepentingan para pengguna dengan memperhatikan kepentingan inter-generasi, yaitu memenuhi kebutuhan air saat ini tanpa mengurangi potensi pemenuhan kebutuhan air bagi generasi-generasi mendatang;

• •

• • •

• • • • •

Prinsip pemanfaatan yang perlu memperhatikan kesatuan ekosistem; Daya dukung lingkungan (SDA) perlu menjadi kendala dalam proses

pengambilan keputusan yang menynagkut pemanfaatan SDA. Dengan demikian daya dukung bukan sebagai salah satu faktor penyeimbang kepentingan, tetapi sebagai prinsip yang tidak boleh dikompromikan;

Efisiensi dan penghematan penggunaan SDA; Komitmen meningkatkan akses air bersih dan sanitasi kepada masyarakat; Kesiapan dalam menghadapi bencana.

(2). Pembagian Kewenangan : Perlu memperhatikan keseimbangan antara kewenangan pemerintah pusat dan daerah sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku saat ini; Perlu dihindari kesan bahwa penyusunan RUU SDA ini bertujuan untuk “membatalkan” peraturan yang ada (kecuali UU No. 11 Tahun 1974) khususnya undang-undang tentang otonomi daerah; Kewenangan daerah perlu bertumpu pada pengelolaan, sedang kewenangan pemerintah pusat antara lain bertumpu pada kepentingan global, regional, penyelenggaraan riset, informasi, pendidikan, dan penyelesaian sengketa.

(3). Hak Warga Negara : Mendapatkan air dalam kualitas dan kuantitas yang layak; Mendapatkan informasi yang benar, akurat, dan mutakhir; Berperan dalam pengambilan keputusan sesuai mekanisme yang ada; Perhatian kepada kepentingan masyarakat adat; Inisiatif lokal perlu diperhatikan.

2. Program Strategis. Disamping kebijakan-kebijakan tersebut di atas, pada tahun 2002 Kementerian Lingkungan Hidup telah menetapkan program-program strategis yang akan dilaksanakan sampai dengan tahun 2004. Program-program yang berkaitan dengan pengelolaan air antara lain : (1). Peningkatan Kapasitas Pemerintah Daerah untuk Menyelenggarakan Tata Praja

Lingkungan (Good Environmental Governance) dimana didalamnya termasuk pelaksanaan Program Kali Bersih (PROKASIH);

(2). Pemberdayaan Masyarakat (Society Empowerment) yang mencakup peningkatan kesadaran berlingkungan, dan memotivasi masyarakat untuk berperanserta dalam proses pengambilan keputusan;

(3). Penaatan terhadap sumber-sumber pencemar institusi (point source) dan non institusi (non point source);

(4). Pelestarian Lingkungan Alam yang mencakup pemulihan hutan tropis, pelestarian perairan danau, dan pengendalian pencemaran di wilayah pesisir dan pantai;

(5). Pengembangan Sistem Komunikasi dan Informasi yang mencakup pemantauan kualitas lingkungan hidup dan pendayagunaan laboratorium rujukan yang dipunyai oleh Kementerian Lingkungan Hidup.

Laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia Tahun 2002 III-20

Page 21: pdf_1050965865

Dalam rangka pemantauan kualitas lingkungan hidup mulai tahun 2003 Kementerian Lingkungan Hidup memberikan dana stimulan kepada 30 Bapedal Daerah Propinsi untuk melakukan pemantauan sungai. 3. Penaatan dan Penegakan Hukum. Berkaitan dengan upaya penaatan sumber pencemaran institusi, mulai tahun 2002 Kementerian Lingkungan Hidup telah melaksanakan Program Peringkat Kinerja yang melibatkan 85 sumber-sumber pencemaran institusi. Hasilnya adalah sebagai berikut : (data belum tersedia) (1). Hijau (2). Biru (3). Merah Terhadap beberapa kasus pencemaran lingkungan, pada tahun 2002 Kementerian Lingkungan Hidup bekerjasama dengan Pemerintah Daerah, Kepolisian, Kejaksaan dan beberapa instansi terkait lainnya telah melakukan langkah-langkah yang mengarah kepada tindakan hukum dan ganti rugi, antara lain : (1). Penyidikan dan pelimpahan berkas perkara ke Pengadilan Negeri Bale Endah,

Bandung, atas kasus pencemaran Sungai Citarik oleh PT. Inti Texturindo. Kasus ini masih dalam proses persidangan;

(2). Keputusan ganti rugi sebesar Rp. 750 juta atas pencemaran Kali Banger, Jawa Tengah, oleh beberapa industri tekstil. Keputusan ini sudah diperkuat melalui Putusan Kasasi Mahkamah Agung;

Kasus-kasus pencemaran lingkungan lainnya masih dalam tahap penyidikan dan penghitungan ganti rugi, termasuk kasus pencemaran laut oleh kapal Natuna Sea. Disamping keberhasilan dalam menyelesaikan beberapa kasus pencemaran air, terdapat pula kasus yang gagal dalam persidangan atau bahkan dihentikan penyidikannya melalui penerbitan SP3. Hal ini terjadi karena tidak samanya pemahaman pihak kepolisian, kejaksaan dan kehakiman terhadap Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Untuk mengatasi hal tersebut, maka Kementerian Lingkungan Hidup mengambil langkah dengan membentuk tim yang dikenal dengan nama Formula 12. Disebut Formula 12 karena tim ini terdiri dari 12 Hakim, 12 Jaksa, dan 12 Penyidik yang sudah memahami Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Tugas tim tersebut disamping melaksanakan tugas di masing-masing tempat penugasannya juga dapat membantu penanganan kasus pencemaran lingkungan di luar lokasi penugasannya apabila diperlukan. Dengan demikian diharapkan ada alih pengetahuan diantara sesama penegak hukum sehingga pada akhirnya terbentuk pemahaman yang sama terhadap peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan lingkungan hidup.

Laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia Tahun 2002 III-21

Page 22: pdf_1050965865

DAFTAR PUSTAKA 1. Statistik Indonesia 2001, Badan Pusat Statistik, Tahun 2001 2. Laporan Program Kali Bersih Propinsi DKI Jakarta Tahun 1990 – 1997/1998,

Bapedal Daerah DKI Jakarta 3. Laporan Program Kali Bersih Propinsi Jawa Timur 1991 – 1997, Bapedal Daerah

Propinsi Jawa Timur 4. Laporan Program Kali Bersih Propinsi Riau 1991 – 1997, Bapedal Daerah Propinsi

Riau 5. Laporan Neraca Kualitas Lingkungan Hidup Daerah Propinsi Riau, Bapedal Daerah

Propinsi Riau, Tahun 2001. 6. Laporan Pengkajian Pencemaran Merkuri dan Dampak Akumulasinya Akibat

Penambangan Emas, Asisten Deputi Urusan Sarana Pengendalian Dampak Lingkungan, Deputi Bidang Pembinaan Sarana Teknis Pengelolaan Lingkungan Hidup, Kementerian Lingkungan Hidup, Tahun 2002

7. Laporan Pengkajian Pencemaran Air Laut di Indonesia Sebagai Dasar Penyusunan Baku Mutu Air Laut dan Pengelolaan Ekosistem Laut, Asisten Deputi Urusan Sarana Pengendalian Dampak Lingkungan, Deputi Bidang Pembinaan Sarana Teknis Pengelolaan Lingkungan Hidup, Kementerian Lingkungan Hidup, Tahun 2002

8. Laporan Tahunan Direktorat Geologi Tata Lingkungan, 2001, Direktorat Geologi Tata Lingkungan, Tahun 2000, Bandung

9. Laporan Tahunan Direktorat Geologi Tata Lingkungan, 2000, Direktorat Geologi Tata Lingkungan, Tahun 1999/2000, Bandung

Laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia Tahun 2002 III-22