perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id hubungan …/hubungan...hubungan antara derajat sesak napas...
TRANSCRIPT
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
HUBUNGAN ANTARA DERAJAT SESAK NAPAS DENGAN NILAI ARUS
PUNCAK EKSPIRASI (APE) PADA PASIEN ASMA TERKONTROL
SEBAGIAN DI RSUD MOEWARDI SURAKARTA
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran
PRITANIA PRAMESWARA PUTRI
G0009171
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
Surakarta
2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
PERSETUJUAN
Skripsi dengan judul: Hubungan Antara Derajat Sesak Napas Dengan Nilai Arus Puncak Ekspirasi (APE) Pada Pasien Asma Terkontrol Sebagian Di RSUD
Dr. Moewardi Surakarta
Pritania Prameswara Putri, NIM: G0009171, Tahun: 2012
Telah disetujui untuk diuji di hadapan Tim Ujian Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada Hari:............................, Tanggal: ................................
Pembimbing Utama Penguji Utama Dr. Reviono, dr., Sp.P (K) Yusup Subagio Susanto, dr., Sp.P (K) NIP. 19651030 200312 1 001 NIP. 19570315 198312 1 002 Pembimbing Pendamping Penguji Pendamping Prof. Bhisma Murti, dr., MPH, M.Sc, Ph.D Enny Ratna S., drg. NIP. 19551061 199412 1 001 NIP. 19521103 198003 2 001
Tim Skripsi
Nur Hafidha Hikmayani, M.Clinc. Epid NIP. 19761225 200501 2 001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
PENGESAHAN SKRIPSI
Skripsi dengan judul: Hubungan Antara Derajat Sesak Napas Dengan Nilai Arus Puncak Ekspirasi (APE) Pada Pasien Asma Terkontrol Sebagian Di RSUD
Dr. Moewardi Surakarta.
Pritania Prameswara Putri, NIM: G0009171, Tahun: 2012
Telah diuji dan sudah disahkan di hadapan Dewan Penguji Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada Hari: ................., Tanggal: ...................
Pembimbing Utama Nama : Dr. Reviono, dr., Sp.P (K) NIP : 19651030 200312 1 001 (......................................) Pembimbing Pendamping Nama : Prof. Bhisma Murti, dr., MPH, M.Sc, Ph.D NIP : 19551061 199412 1 001 (......................................) Penguji Utama Nama : Yusup Subagio Susanto, dr., Sp.P (K) NIP : 19570315 198312 1 002 (......................................) Penguji Pendamping Nama : Enny Ratna S., drg. NIP : 19521103 198003 2 001 (......................................)
Surakarta, ............................................... Ketua Tim Skripsi Dekan FK UNS
Muthmainah, dr., M.Kes Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR-FINASIM NIP: 19770914 200501 1 001 NIP: 19510601 197903 1 002
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ABSTRAK
Pritania Prameswara Putri, G0009171, 2012. Hubungan antara Derajat Sesak Napas dengan Nilai Arus Puncak Ekspirasi pada Pasien Asma Terkontrol Sebagian. Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Latar Belakang: Asma merupakan penyakit kronik paling umum dan sudah menjadi salah satu masalah kesehatan global yang serius. Asma yang diakibatkan oleh latihan fisik, atau biasa disebut Exercise Induced Asthma (EIA) biasanya dikenali dari riwayat sesak napas setelah latihan fisik. Bagaimanapun juga, gejala pada asma tidak selamanya spesifik. Oleh karena itu dibutuhkan pemeriksaan lain seperti tes fungsi paru pengukuran Arus Puncak Ekspirasi (APE) dengan menggunakan spirometer. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara derajat sesak napas dan nilai APE pada pasien asma terkontrol sebagian. Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional yang dilaksanakan pada bulan April - Mei 2012 di Klinik Paru RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Pengambilan sampel dilakukan secara purposive random sampling, seleksi dilakukan dengan memeriksa Asthma Control Test dan sampel tidak dapat dipilih jika skor tidak berjumlah 15-19. Subjek mengisi (1) Formulir biodata, (2) Kuesioner Asthma Control Test, (3) Kuesioner Borg Scale untuk mengetahui skor derajat sesak napas. Perlakuan pada responden (1) Pengukuran APE menggunakan peak flow meter, (2) Aktivitas fisik selama 5-10 menit. Diperoleh data sebanyak 35 subjek penelitian dan dianalisis menggunakan korelasi Spearman melalu program SPSS 17.00 for Windows. Hasil Penelitian: Penelitian ini menunjukkan nilai korelasi Spearman r = -0,60, sedangkan p < 0,001 yang berarti terdapat korelasi negatif yang bermakna antara derajat sesak napas dan nilai APE pada pasien asma terkontrol sebagian dengan kekuatan korelasi kuat. Nilai rata-rata APE 269,43 ± 87,244 dan nilai rata-rata derajat sesak napas 1,400 ± 0,8026. Simpulan Penelitian: Terdapat korelasi negatif antara derajat sesak napas dan nilai APE pada pasien asma terkontrol sebagian dengan kekuatan korelasi kuat.
Kata Kunci: Derajat sesak napas, Nilai APE, Asma terkontrol sebagian
iv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ABSTRACT Pritania Prameswara Putri, G0009171, 2012. Correlation between Perception of Dyspnea and Peak Expiratory Flow in Partially Controlled Asthma Patient. Mini Thesis Faculty of Medicine Sebelas Maret University, Surakarta. Background: Asthma is one of the most common chronic disease and a serious global health problem. Exercise Induced Asthma (EIA) is typically characterized by a history of shortness of breath with exercise. However, the symptoms are not usually specific to asthma. Therefore, other tests are needed such as lung function test measurement of Peak Expiratory Flow (PEF) by using a spirometer. This research aims to determine the correlation between perception of dyspnea and Peak Expiratory Flow in partially controlled asthma patient. Method: This study was a descriptive analytical research using cross sectional approach implemented in April – May 2012 in Pulmonology Clinic, Dr. Moewardi general hospital Surakarta. The sample was taken using purposive random sampling, selection is conducted by checking the Asthma Control Test and sampel could not be selected if the score was not below 15-19. The subject filled in (1) Curriculum vitae form, (2) Asthma Control Test, (3) Borg scale to find out the perception of dyspnea score. The subject asked to do (1) Measure the PEF by using a spirometer, (2) Exercising for 5-10 minutes. Data obtained by 35 subjects and analyzed using Spearman correlation through SPSS 17.00 for Windows. Result: This research showed the Spearman correlation value r = -0,60, while p was p < 0,001, which means there is a significant negative correlation between perception of dyspnea and PEF in partially controlled asthma patient. The mean of PEF was 269,43 ± 87,244 and the mean of perception of dyspnea was 1,400 ± 0,8026. Conclusion: There is a correlation between perception of dyspnea and PEF in partially controlled asthma pastient with a strong correlation.
Keywords: Perception of dyspnea, PEF, Partially Controlled Asthma
v
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
PRAKATA
Alhamdulillah hirobbil’aalamin, segala puja dan puji penulis haturkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan nikmatnya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan penelitian ini yang berjudul Hubungan antara Derajat Sesak Napas dengan Nilai Arus Puncak Ekspirasi (APE) pada Pasien Asma Terkontrol Sebagian di RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Penelitian tugas karya akhir ini merupakan salah satu persyaratan dalam menyelesaikan Program Sarjana Pendidikan Dokter di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penulis menyadari bahwa penelitian tugas karya akhir ini tidak akan berhasil tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu dengan penuh rasa hormat ucapan terima kasih yang dalam saya berikan kepada: 1. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR-FINASIM selaku Dekan
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Dr. Reviono, dr., Sp.P (K) selaku Pembimbing Utama yang telah
menyediakan waktu untuk membimbing hingga terselesainya skripsi ini. 3. Prof. Bhisma Murti, dr., MPH, M.Sc, Ph.D selaku Pembimbing Pendamping
yang telah menyediakan waktu untuk membimbing hingga terselesainya skripsi ini.
4. Yusup Subagio Susanto, dr., Sp.P (K) selaku Penguji Utama yang telah memberikan banyak kritik dan saran dalam penyusunan skripsi ini.
5. Enny Ratna S., drg. selaku Penguji Pendamping yang telah memberikan banyak kritik dan saran dalam penyusunan skripsi ini.
6. Nur Hafidha Hikmayani, M. Clinc. Epid. dan Muthmainah, dr., M.Kes selaku Tim Skripsi FK UNS, atas kepercayaan, bimbingan, koreksi dan perhatian yang sangat besar sehingga terselesainya skripsi ini.
7. Yang tercinta kedua orang tua saya, Ayahanda Kolonel Soni Bayu Putranto dan Ibunda Fenny Sulistyani yang senantiasa mendoakan tiada henti, dan memberikan support dalam segala hal sehingga terselesaikannya penelitian ini.
8. Adik tersayang Pradana Fadil Nugraha, Prathama Naufal Rifki Pamungkas, Affan Haydar Amani dan Alya Zahra Khairunnisa yang senantiasa memberikan semangat dan doa hingga penelitian ini terselesaikan.
9. Sahabat-sahabat terdekat, Dini, Made, Amel, Anita, Tya, Anin, Marsha, Cety atas semangat yang tak henti-henti dan waktu yang selalu tersedia.
10. Rekan-rekan Poli Paru Ibu Lestari, Ibu Krisni dan Bapak Tanto atas bantuannya dalam mempermudah jalannya penelitian.
11. Semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung membantu proses penelitian tugas karya akhir ini yang tidak mungkin disebutkan satu persatu.
Meskipun tulisan ini masih belum sempurna, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Saran, koreksi, dan tanggapan dari semua pihak sangat diharapkan.
Surakarta, Mei 2012 Pritania Prameswara Putri
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
DAFTAR ISI
PRAKATA ................................................................................................................ vi DAFTAR ISI ............................................................................................................. vii DAFTAR TABEL ..................................................................................................... viii DAFTAR GAMBAR ................................................................................................. ix DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................. x BAB I. PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang ..................................................................................... 1 B. Perumusan Masalah ............................................................................. 4 C. Tujuan Penelitian ................................................................................. 4 D. Manfaat Penelitian ............................................................................... 4
BAB II. LANDASAN TEORI .................................................................................. 6 A. Tinjauan Pustaka........................................ ........................................... 6
1. Anatomi Sistem Respirasi ............................................................. .. 6 2. Asma ....................................................... ......................................... 7
a. Etiologi ....................................................................................... 8 b. Patofisiologi Asma ...................................................................... 9 c. Klasifikasi Asma ......................................................................... 11
3. Sesak Napas .................................. ................................................... 13 4. Arus Puncak Ekspirasi (APE) .......................................................... 15
B. Kerangka Pemikiran ............................................................................ 19 C. Hipotesis .............................................................................................. 20
BAB III. METODE PENELITIAN............................................................................ 21 A. Jenis Penelitian .................................................................................... 21 B. Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................... 21 C. Subjek Penelitian ................................................................................. 21 D. Teknik Pengambilan Sampel ................................................................ 22 E. Alur Penelitian ..................................................................................... 23 F. Identifikasi Variabel Penelitian ............................................................ 23 G. Definisi Operasional Variabel Penelitian ............................................ 24 H. Instrumentasi ....................................................................................... 25 I. Cara Kerja ............................................................................................ 25 J. Teknik Analisis Data Statistik .............................................................. 26
BAB IV. HASIL PENELITIAN ................................................................................ 28 A. Karakteristik Data ................................................................................ 28 B. Analisis Data ........................................................................................ 33
BABV. PEMBAHASAN ........................................................................................ 37 BABVI. SIMPULAN DAN SARAN ........................................................................ 43
A. Simpulan .............................................................................................. 43 B. Saran .................................................................................................... 43
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 45 LAMPIRAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Asma merupakan penyakit kronik paling umum dan sudah menjadi salah
satu masalah kesehatan global yang serius. Kurang lebih sudah ada 300 juta
orang hidup dengan kelainan pernapasan kronik ini (GINA, 2011a).
Diperkirakan ada 250.000 orang yang meninggal akibat asma setiap tahun dan
terus meningkat seiring perkembangan jaman dan perubahan gaya hidup pada
manusia (Makino, 2012).
Indonesia termasuk negara dengan prevalensi asma rendah, yaitu <5%.
Walaupun Indonesia dinyatakan sebagai low prevalence country (<5%) untuk
asma, pada kenyataannya sulit dibantah bahwa asma berkembang secara luas
dan bila diambil angka yang pesimis saja yaitu 2,5%, berarti ada 5 juta
penyandang asma di Indonesia (Surjanto dan Martika, 2009). Menurut Depkes
(2008), pada tahun 2007 prevalensi asma di Provinsi Jawa Tengah
berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan sebesar 1,3% dan secara keseluruhan
adalah 3%.
Di samping menjadi beban berat dalam hal biaya perawatan, asma juga
dapat membuat para penderita kehilangan produktivitas dan dapat mengurangi
partisipasi dalam kehidupan berkeluarga. Bahkan, apabila tidak terkontrol
dapat menyebabkan kematian (GINA 2011b). Asma dibagi menjadi beberapa
kategori berdasarkan tingkat keparahan penyakit dan tes fungsi paru (Jindal,
1
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
2011). Terdapat 3 level kontrol pada penyakit asma, yaitu asma terkontrol,
asma terkontrol sebagian, dan asma tidak terkontrol (Álvarez-Gutiérrez et al.,
2010). Klasifikasi asma tersebut digunakan untuk menentukan pengobatan
pada pasien asma. Pengobatan perlu ditingkatkan pada asma tidak terkontrol,
sedangkan pada asma terkontrol sebagian perlu dipertimbangkan adanya
peningkatan intensitas pengobatan. Oleh karena itu penting sekali untuk
mengetahui tingkat keparahan penyakit pada asma (Taylor et al., 2008).
Faktor risiko umum gejala asma meliputi pemaparan oleh alergen (seperti
tungau, binatang berbulu, kecoa, serbuk sari, dan jamur), asap rokok, infeksi
virus pernapasan, ekspresi emosional yang berlebihan, bahan iritan, obat-
obatan (aspirin dan beta bloker), dan aktivitas fisik (GINA, 2011b). Aktivitas
fisik diketahui dapat menyebabkan individu dengan asma mengalami efek
yang tidak menyenangkan dengan cara memicu terjadinya bronkokonstriksi
(Ritz et al., 2010). Asma yang diakibatkan oleh latihan fisik, atau biasa disebut
Exercise Induced Asthma (EIA) biasanya dikenali dari riwayat batuk atau
mengi dan riwayat sesak napas setelah latihan fisik. Prevalensi EIA pada
pasien asma dilaporkan berkisar dari 40% sampai 90%, selain itu latihan fisik
dianggap menjadi stimulus paling besar untuk menimbulkan obstruksi saluran
pernapasan (Martín-Muñoz et al., 2008).
Asma merupakan kelainan kompleks yang ditandai dengan inflamasi,
gejala berulang, obstruksi saluran pernapasan, dan hiperresponsivitas bronkus.
Interaksi dari beberapa hal tersebut menentukan manifestasi klinis dan tingkat
keparahan asma (NIH, 2007). Sesak napas merupakan salah satu gejala utama
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
pada pasien asma, selain batuk, mengi dan sensasi nyeri dada yang seringkali
terjadi pada malam atau pagi hari (Parente et al., 2011; GINA, 2011a). Gejala
ini dapat terjadi akibat peningkatan pertukaran udara setelah latihan fisik,
aliran inspirasi yang lebih tinggi dihubungkan dengan keparahan derajat sesak
napas (Ritz et al., 2010). Sebuah penilaian yang sudah dimodifikasi, Borg
Scale, telah berhasil digunakan untuk menilai derajat sesak napas pada pasien
asma dewasa dan pasien penyakit paru obstruksi kronik (Khan et al., 2009).
Pada sebagian besar penyakit kronik, prinsip dasar terapi didasarkan pada
tingkat keparahan penyakit, manifestasi klinis dan penegakan diagnosis yang
dilakukan untuk menentukan intensitas terapi yang dibutuhkan pasien.
Bagaimanapun juga, gejala pada asma tidak selamanya spesifik, terkadang
gejala-gejala tersebut muncul pada Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK)
dan gagal jantung. Oleh karena itu dibutuhkan pemeriksaan lain seperti tes
fungsi paru (Taylor et al., 2008).
Semua data klinis dan pemeriksaan laboratorium, dalam rangka menilai
fungsi paru, dengan menggunakan spirometer atau pengukuran Arus Puncak
Ekspirasi (APE), dikombinasikan untuk mengkonfirmasi dan mengeliminasi
penyakit pada pasien serta untuk menilai tingkat keparahan penyakit (Parente
et al., 2011). Pengukuran APE merupakan salah satu pemeriksaan yang
digunakan untuk mendeteksi secara dini tingkat keparahan asma pada pasien
sebelum terjadinya serangan asma mendadak yang lebih berat. Pengukuran
APE dengan menggunakan peak flow meter sangat mudah dilakukan dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
dapat digunakan untuk mendeteksi derajat sesak napas pada pasien (Kamiya et
al., 2012).
Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik untuk meneliti hubungan antara
derajat sesak napas dengan nilai APE pada pasien asma terkontrol sebagian.
B. Perumusan Masalah
Bagaimana hubungan antara derajat sesak napas dengan nilai Arus Puncak
Ekspirasi (APE) pada pasien asma terkontrol sebagian?
C. Tujuan Penelitian
Menganalisis hubungan antara derajat sesak napas dengan nilai Arus
Puncak Ekspirasi (APE) pada pasien asma terkontrol sebagian di RSUD Dr.
Moewardi Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
1. Aspek teoritis
a. Diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai hubungan
antara derajat sesak napas dengan nilai Arus Puncak Ekspirasi (APE)
pada pasien asma terkontrol sebagian dengan harapan mampu
menekan morbiditas dan mortalitas penyakit paru.
b. Diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan kemampuan peneliti
dalam bidang penelitian.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
2. Aspek aplikatif
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan dasar oleh para klinisi dalam
mengidentifikasi lebih awal tingkat keparahan asma yang didasarkan
pada pengukuran nilai APE dan interpretasi sesak napas pada pasien
asma, sehingga dapat digunakan untuk menentukan terapi selanjutnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Anatomi Sistem Respirasi
Fungsi utama sistem pernapasan adalah memberikan pertukaran gas
yang cukup antara darah yang bersirkulasi terhadap jaringan dan
mengeluarkan karbondioksida. Dalam melakukan tugasnya paru-paru
bekerja ibarat sebuah pompa mekanik yang berfungsi ganda, yakni
menghisap udara atmosfer ke dalam paru (inspirasi) dan mengeluarkan
udara alveolus dari dalam tubuh (ekspirasi) (Matondang, 2008).
Sistem pernafasan atas meliputi hidung, rongga hidung, sinus-sinus,
dan faring. Sistem pernafasan bawah meliputi trakhea, bronkus-bronkus,
dan paru. Udara dihirup melalui mulut dan hidung, lalu melewati faring,
laring dan akhirnya sampai pada tabung fleksibel yang keras disebut
trakhea (yaitu: batang tenggorok). Trakhea memiliki panjang kurang lebih
1 inchi dan panjangnya 4,25 inchi, serta bercabang membentuk bronkus
primer kanan dan kiri. Bronkus primer kiri mengalirkan udara ke paru kiri;
bronkus primer kanan mengalirkan udara ke paru kanan. Ketika bronkus
primer memasuki paru, saluran ini terbagi lagi menjadi saluran yang lebih
kecil, yang disebut bronkus sekunder dan bronkiolus. Bronkiolus
merupakan segmen yang paling tipis dari percabangan bronkus dan
mengalirkan udara ke alveoli yang akan mengalami pertukaran di
6
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
permukaan paru. Alveoli berhubungan dengan jaringan pembuluh darah
yang luas, dimana oksigen dipertukarkan dengan karbondioksida (Jones,
2008).
Gambar 2.1 Sistem pernapasan bawah
Sumber : Jones, 2008
Gambar 2.2 Percabangan trakhea dan bronkhus
Sumber : Jones, 2008
2. Asma
Asma merupakan penyakit radang kronik pada saluran pernapasan
bawah yang melibatkan sel-sel inflamasi dan beberapa mediator yang
menyebabkan perubahan patofisiologi. Inflamasi kronik ini dihubungkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
dengan hiperresponsivitas saluran pernapasan (sebuah respon berlebihan
terhadap pemicu, seperti alergen dan latihan fisik), yang menyebabkan
gejala berulang seperti mengi, sesak napas, nyeri dada, dan batuk. Gejala
berulang ini dihubungkan dengan keparahan obstruksi saluran pernapasan
pada paru-paru yang biasanya reversibel dengan pengobatan (Melo et al.,
2011; GINA, 2011a; Kim dan Mazza, 2011).
a. Etiologi asma
Asma dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain
peningkatan respon rangsangan pada cabang trakeobronkial,
peningkatan infiltrasi bermacam sel inflamasi terutama eosinofil ke
dalam saluran pernapasan, kerusakan epitel, penebalan otot polos
saluran pernapasan, penyempitan saluran pernapasan, sumbatan
saluran napas yang biasanya berhubungan dengan inflamasi paru-paru
dan hipersekresi mukus pada dinding bronkiolus paru-paru
(Bijanzadeh et al., 2011).
Stimuli yang berhubungan dengan peningkatan respon saluran
napas dan mencetuskan serangan akut asma, dapat dibagi dalam 7
kategori besar, yaitu 1) alergen, 2) zat-zat farmakologi, 3) lingkungan,
4) pekerjaan, 5) infeksi (terutama infeksi virus), 6) aktivitas fisik
(exercise related), dan 7) emosi (Santosa et al., 2004).
Latihan fisik merupakan stimulus yang dapat menyebabkan
penyempitan saluran pernapasan melalui mekanisme tidak langsung,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
yaitu melalui aktivasi sel-sel inflamasi dan stimulasi ujung saraf yang
melepaskan mediator inflamasi dan sitokin, yang menginduksi
obstruksi (Hildebrand et al., 2011). Sánchez-Solís (2008) menyebutkan
ada beberapa faktor yang sangat mempengaruhi tingkat keparahan
EIA, antara lain hiperpermeabilitas vaskular saluran pernapasan,
inflamasi eosinofilik dan hiperreaktivitas bronkial. Walaupun
mekanisme terjadinya asma akibat latihan fisik belum sepenuhnya
dijelaskan, latihan fisik dipercaya dapat memberikan banyak
rangsangan untuk menginduksi bronkokonstriksi. Penyempitan saluran
pernapasan yang terjadi setelah latihan fisik merupakan sebuah hasil
dari pelepasan mediator yang mungkin diproduksi selama
penghangatan pada saluran pernapasan dan menimbulkan terjadinya
bronkokonsriksi, pembengkakan dan kebocoran pembuluh darah, serta
peningkatan produksi mukus (Martín-Muñoz et al., 2008).
b. Patofisiologi Asma
Gejala fisiologis utama pada asma adalah obstruksi saluran napas
episodik yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara ekspirasi.
Sedangkan gejala patologis utama pada asma adalah inflamasi saluran
pernapasan, yang terkadang dihubungkan dengan perubahan struktur
saluran napas (GINA, 2011a).
Asma dihubungkan dengan sel imun T helper 2 (Th2), yang khas
dengan kondisi atopi lainnya. Peningkatan jumlah sel Th2 di saluran
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
pernapasan memicu pelepasan sitokin-sitokin spesifik, termasuk
interleukin (IL)-4, IL-5, IL-9, IL-13 yang meningkatkan produksi
eosinofil dan imunoglobulin E (IgE) oleh sel mast. Produksi IgE
memicu mediator inflamasi seperti histamin dan leukotrien yang
menyebabkan bronkospasme (kontraksi otot halus pada saluran
pernapasan), edema (pembengkakan) dan hipersekresi mukus yang
menyebabkan terjadinya gejala-gejala asma (Kim dan Mazza, 2011).
Hasil akhir yang didapat adalah peningkatan tahanan saluran napas,
penurunan Volume Ekspirasi Paksa (VEP), hiperinflasi paru dan
toraks, peningkatan kerja napas, perubahan fungsi otot-otot
pernapasan, perubahan elastic recoil, distribusi yang abnormal dari
ventilasi dan aliran darah paru, serta perubahan gas (Santosa et al.,
2004).
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi keadaan saluran
napas, termasuk kondisi kekakuan otot polos saluran napas, dinding
saluran napas yang pasif (misalnya penebalan dinding saluran napas),
ketegangan parenkim dan reaksi tekanan transmural dalam
mengembangkan jalan napas. Beberapa hal ini dapat dipengaruhi oleh
perubahan bentuk dinding saluran napas. Pengembangan saluran napas
yang berkurang pada pasien asma saat inspirasi maksimal, mungkin
dikarenakan perbedaan struktur pada dinding saluran napas dan/atau
perbedaan fungsi pada otot polos saluran napas sebagai faktor-faktor
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
yang juga dapat meningkatkan kepekaan terhadap rangsangan
kontraksi bronkus (Mendonça et al., 2011).
Kepekaan berlebihan saluran napas, merupakan karakteristik
fungsional yang abnormal pada pasien asma, dan dapat menyebabkan
penyempitan saluran napas. Pada akhirnya, penyempitan saluran napas
ini menyebabkan berkurangnya kapasitas aliran udara dan timbulnya
gejala-gejala awal asma. Kepekaan berlebihan pada saluran pernapasan
dihubungkan dengan inflamasi dan keadaan saluran pernapasan, tetapi
sebagiannya reversibel dengan terapi. Beberapa mekanisme terjadinya
hiperresponsivitas saluran pernapasan ini antara lain karena kontraksi
berlebihan pada otot polos saluran pernapasan, penebalan dinding
saluran pernapasan dan tidak berfungsinya saraf sensorik yang
menyebabkan kontraksi berlebihan pada saluran pernapasan (GINA,
2011a).
c. Klasifikasi Asma
Global Initiative for Asthma (GINA) membagi klasifikasi asma
menjadi 2. Pertama, berdasarkan tingkat keparahan (intermiten,
persisten ringan, persisten sedang dan persisten berat) dan yang kedua,
klasifikasi terbaru, berdasarkan kontrol asma (terkontrol, terkontrol
sebagian, dan tidak terkontrol) (Arnlind et al., 2010; Quirce et al.,
2011).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
Klasifikasi kontrol asma didasarkan pada Pedoman GINA tahun
2006 (Tabel 1). Asma dikatakan terkontrol apabila terdapat ciri-ciri
berikut, antara lain gejala sehari-hari terjadi 2 kali seminggu atau
kurang dan tidak terdapat serangan asma selama 3 bulan terakhir (yang
membutuhkan kortikosteroid oral, rawat inap atau kunjungan darurat),
tidak adanya keterbatasan aktivitas, tidak ada gejala nokturnal atau
terbangun di malam hari, kebutuhan obat pereda/penyelamatan
sebanyak 2 kali seminggu atau kurang, aliran udara normal (FEV1 dan
arus puncak ekspirasi) yaitu sama dengan atau lebih dari 80% dari nilai
prediksi. Asma dikatakan terkontrol sebagian apabila satu atau 2 dari
gejala-gejala tersebut ada. Asma dikatakan tidak terkontrol apabila
terdapat lebih dari 2 gejala tersebut ada atau apabila asma telah
menyebabkan pasien di rawat inap dalam 12 bulan terakhir (Dalcin et
al., 2009).
Sangat sulit untuk mengikuti kriteria GINA dalam mengevaluasi
level kontrol asma. Hal tersebut dikarenakan persepsi setiap individu
terhadap gejala yang dirasakan berbeda-beda dan dipengaruhi oleh
beberapa hal antara lain umur dan tingkat pendidikan. Oleh karena itu
dibutuhkan sebuah alat yang sederhana dan mudah digunakan pada
pasien asma untuk menginterpretasikan gejala-gejala yang dirasakan
oleh pasien (Yoo et al., 2010; Nguyen et al., 2011).
Terdapat sebuah kuesioner yang telah dikembangkan oleh Quality
Metric Incorporated dan dikenal sebagai Asthma Control Test (ACT).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
ACT merupakan sebuah kuesioner sederhana yang digunakan untuk
mengetahui level kontrol pasien asma. Kuesioner ini berisi 5
pertanyaan yang berhubungan dengan frekuensi munculnya gejala
asma dan penggunaan obat asma dalam kurun waktu 4 minggu
terakhir. Skor setiap pertanyaan berkisar dari 1 (paling buruk) sampai
5 (paling baik), dengan total skor berkisar dari 5-25. Klasifikasi asma
kontrol berdasarkan ACT dibagi menjadi 3, tidak terkontrol (<15),
terkontrol sebagian (15-19) dan terkontrol (25) (Álvarez-Gutiérrez et
al., 2010; Nguyen et al., 2011).
Tabel 2.1 Derajat Kontrol Asma
Karakteristik Terkontrol Terkontrol Sebagian
Tidak Terkontrol
Gejala harian 0-2 kali seminggu
>2 kali seminggu
3 atau lebih dari gejala asma terkontrol
Keterbatasan aktivitas Tidak ada Tidak ada
Terbangun malam hari Tidak ada Tidak ada
Kebutuhan pertolongan darurat
0-2 kali seminggu
>2 kali seminggu
Fungsi paru (APE atau VEP)
Normal <80% dari nilai APE prediksi
Sumber : GINA, 2011a
3. Sesak Napas
Kata dyspnea berasal dari bahasa Yunani, dys (kesulitan, berat) dan
pnóia (bernapas), dan dapat diterjemahkan secara harfiah sebagai kesulitan
dalam bernapas. Menurut American Thoracic Society, dyspnea adalah
istilah yang digunakan untuk menunjukkan perasaan subjektif mengenai
ketidaknyamanan dalam bernapas yang berbeda-beda secara kualitatif
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
dalam berbagai intensitas. Dyspnea (sesak napas) merupakan keluhan
utama dan cukup umum dalam praktek klinis, serta menjadi faktor utama
yang membatasi kualitas hidup di banyak penyakit paru-paru kronik.
Istilah-istilah berbeda digunakan oleh para pasien untuk mendeskiripsikan
sensasi sesak napas yang mungkin dapat mendasari mekanisme
patofisiologi asma dan oleh karena itu dijadikan sebagai dasar untuk
melakukan diagsnosis (Teixeira et al., 2011).
Terdapat metode pemeriksaan secara kualitatif dan kuantitatif untuk
menentukan tingkat keparahan sesak napas. Salah satu metode kualitatif
yang paling digunakan adalah Modified Borg Scale (MBS). Borg Scale
adalah sebuah pengukuran dengan 12 skala numerik dari 0 sampai 10,
dimana skala 0 menunjukkan tidak adanya gejala sedangkan skala 10
menunjukkan munculnya gejala paling maksimal (Tabel 2.2). Pada
pengukuran ini para pasien dinilai derajat ketidaknyamanan dalam
bernapas setelah dilakukannya latihan fisik Borg scale sudah sering
digunakan oleh banyak peneliti, namun para klinisi masih jarang
menggunakannya. Walaupun begitu, skala pengukuran ini sangat berguna
untuk mengetahui derajat sesak napas pasien asma dikarenakan pasien
dapat dengan mudah menentukan batas kemampuan bernapasnya setelah
dilakukannya latihan fisik (Stulbarg dan Adams, 2005; Parente et al.,
2011; Hommerding et al., 2010).
Uji latihan fisik dilakukan untuk mengetahui adanya hiperreaktivitas
bronkus, prinsipnya adalah terjadi bronkokonstriksi akibat hilangnya panas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
dan cairan pada mukosa saluran nafas selama latihan fisik.
Bronkokonstriksi yang terjadi selama atau segera setelah latihan fisik
disebut sebagai Exercise Induced Asthma (EIA). Biasanya, EIA terjadi
beberapa menit setelah aktivitas fisik dan mencapai puncaknya 5-10 menit
(Siregar, 2007).
Pada pemeriksaan ini diperlukan latihan fisik sampai submaksimal
selama 6-8 menit. Biasanya bronkokonstriksi timbul segera sesudah
latihan fisik berhenti, maksimal 3-5 menit, dan kembali ke keadaan
sebelumnya dalam 1-2 jam. Keadaan bronkokonstriksi setelah latihan ini
biasanya didahului bronkokonstriksi sebentar selama 1-2 menit pertama
latihan (Matondang, 2008).
Tabel 2.2 Skala kategori Borg termodifikasi
Sumber : Schwartzstein dan Adams, 2010
4. Arus Puncak Ekspirasi (APE)
APE adalah kekuatan seseorang untuk mengeluarkan udara dengan
ekspirasi maksimal dan merupakan salah satu alternatif dalam mengukur
Nilai Persepsi Sesak Napas
0 Tidak ada 0.5 Sangat, sangat ringan (sedikit terasa) 1 Sangat ringan 2 Ringan 3 Sedang 4 Sedikit berat 5 Berat 6 7 Sangat berat 8 9 Sangat, sangat berat (hampir tidak bisa bernapas) 10 Tidak bisa bernapas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
fungsi paru yang dapat dengan mudah dipantau (Santosa et al., 2004;
Dombkowski et al., 2010). Pengukuran APE dilakukan dengan
menggunakan peak flow meter yang secara umum murah, mudah dibawa,
terbuat dari plastik, sederhana, memberikan hasil konsisten dan ideal bagi
pasien untuk menggunakannya di rumah dalam rangka mengukur
kapasitas aliran udara dari hari ke hari secara objektif. (GINA, 2011a).
Lebih lanjut peak flow meter dapat memberikan peringatan lebih awal
terhadap pasien jika terjadi perubahan pada fungsi sistem pernapasan. APE
ini memiliki nilai yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu tinggi
badan, umur dan jenis kelamin. Seseorang dikatakan masih dalam batas
skala normal, jika nilai APE-nya antara 80%-120% dari nilai yang
seharusnya (Santosa et al., 2004).
Cara kerja peak flow meter berdasarkan asas mekanika, seperti yang
terlihat pada Gambar 2.3 menunjukkan deras arus udara diukur dengan
gerakan piston yang terdorong oleh arus udara yang ditiupkan melalui pipa
peniup. Piston akan mendorong jarum penunjuk (marker). Karena piston
dikaitkan dengan sebuah pegas, maka setelah arus berhenti, oleh gaya tarik
balik (recoil) piston tertarik ke kedudukan semula dan jarum penunjuk
tertinggal pada titik tunjuk jarum penunjuk (Yanti, 2010).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
Gambar 2.3 Mekanika kerja Wright peak flow meter
Sumber : Yanti, 2010
Tabel 2.3 Tafsiran hasil pengukuran APE
Sumber : PDPI, 2003
Hijau a. Kondisi baik, asma terkontrol b. Tidak ada / hampir minimal timbulnya gejala c. APE : 80 – 100% nilai dugaan/terbaik Pengobatan bergantung berat asma, prinsipnya pengobatan dilanjutkan. Bila tetap berada pada warna hijau minimal 3 bulan, maka pertimbangkan turunkan terapi
Kuning a. Berarti hati-hati, asma tidak terkontrol, dapat terjadi serangan
akut/eksaserbasi b. Dengan gejala asma (asma malam, aktivitas terhambat, batuk,
mengi, dada terasa berat baik saat aktivitas maupun istirahat dan/atau APE 60-80% prediksi/nilai terbaik
Membutuhkan peningkatan dosis medikasi atau perubahan medikasi
Merah a. Berbahaya b. Gejala asma terus menerus dan membatasi aktivitas sehari-hari c. APE < 60% nilai dugaan/terbaik Penderita membutuhkan pengobatan segera sebagai rencana pengobatan yang disepakati dokter-penderita secara tertulis. Bila tetap tidak ada respons, segera hubungi dokter atau ke rumah sakit.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
Pemantauan APE sangat berguna pada pasien asma dan dapat
membantu : 1) untuk menegakkan diagnosis asma, 2) untuk meningkatkan
kontrol asma, terutama pada pasien dengan persepsi gejala yang buruk, 3)
untuk mengidentifikasi lingkungan (termasuk lingkungan kerja) yang
menyebabkan timbulnya gejala-gejala asma, 4) untuk memantau dan
mengamati perkembangan asma (GINA, 2011a; Takara et al., 2010).
Dari beberapa penelitian didapatkan bahwa nilai APE berkorelasi baik
dengan Forced Expiration Volume (FEV1). Pengukuran APE di rumah
dengan menggunakan peak flow meter lebih mudah dibandingkan
mengukur FEV1, sehingga pengukuran APE setiap harinya
direkomendasikan secara internasional untuk penderita asma (Siregar,
2007).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
B. Kerangka Pikiran
Gambar 2.4 Kerangka pikiran
ASMA
Inflamasi kronik saluran pernapasan
Sel imun Th 2 ↑
IL-5 ↑ IL-4 ↑ IL-13 ↑ IL-9 ↑
Eosinofil ↑ IgE ↑
Histamin ↑ Leukotrien ↑
a. Bronkospasme b. Edema c. Hipersekresi mukus
Nilai APE ↓
Variabel luar terkendali: 1) Umur 2) Jenis kelamin 3) Tinggi badan
Pencetus asma lainnya: 1. Alergen 2. Zat farmakologi 3. Lingkungan 4. Pekerjaan 5. Infeksi 6. Emosi
LATIHAN FISIK
Sesak napas Borg Scale
Skripsi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
C. Hipotesis
Ada hubungan negatif sssssantara derajat sesak napas dengan nilai Arus
Puncak Ekspirasi (APE) pada pasien asma terkontrol sebagian. Semakin
menurun nilai APE, semakin tinggi derajat sesak napas pada pasien asma
terkontrol sebagian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian observasional analitik dengan
menggunakan pendekatan cross sectional.
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Klinik Paru RSUD Dr. Moewardi Surakarta
pada bulan April - Mei 2012.
C. Subjek Penelitian
1. Populasi Sumber
Penderita asma usia 18 - 60 tahun yang datang berobat ke Klinik Paru
RSUD Dr. Moewardi Surakarta.
2. Sampel
Penderita asma usia 18 - 60 tahun yang datang berobat ke Klinik Paru
RSUD Dr. Moewardi Surakarta pada bulan April - Mei 2012, dengan
kriteria sebagai berikut:
a. Kriteria inklusi:
1) Penderita asma yang tidak dalam keadaan serangan.
2) Usia antara 18 - 60 tahun.
21
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
3) Tinggi badan 150 - 172 cm berdasarkan tabel nilai normal APE
untuk pria & wanita Indonesia berdasarkan penelitian tim IPP
1992.
4) Bersedia ikut penelitian dengan persetujuan lisan atau tulisan.
b. Kriteria eksklusi:
1) Penderita asma dengan infeksi saluran napas.
2) Penderita asma dengan obesitas.
D. Teknik Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling, di mana
pemilihan subjek berdasarkan atas ciri-ciri atau sifat tertentu yang sesuai
dengan karakteristik populasi (Taufiqurahman, 2004).
Dikarenakan keterbatasan waktu dan jumlah sampel, maka jumlah sampel
minimal yang diambil pada rentan waktu penelitian April-Mei 2012 adalah 30
sampel, sesuai dengan jumlah sampel minimal menurut Rule of Thumb (Murti,
2010).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
E. Alur Penelitian
Gambar 3.1 Alur penelitian
F. Identifikasi Variabel Penelitian
1. Variabel bebas : Nilai APE
2. Variabel terikat : Derajat sesak napas
3. Variabel perancu :
a. Terkendali: umur, jenis kelamin, tinggi badan.
b. Tidak terkendali: nutrisi, genetik, alergen, iklim, polusi udara.
Penderita Asma
Pemberian Questionare (Klasifikasi Menurut WHO)
Asma Terkontrol Sebagian
Informed Consent
Asma Terkontrol
Asma Tidak Terkontrol
Pengukuran Nilai APE
Pengukuran Derajat Sesak Napas
Uji Borg
Hasil Hasil
Koefisien Korelasi Spearman
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
G. Definisi Operasional Variabel Penelitian
1. Variabel Bebas: Nilai Arus Puncak Ekspirasi (APE)
a. Definisi: Nilai APE adalah nilai kecepatan maksimum arus yang
dihasilkan saat ekspirasi yang diukur dengan satuan liter/menit dapat
memberi peringatan dini adanya penurunan fungsi paru dan
menggambarkan adanya penyempitan atau sumbatan saluran nafas.
Tekanan akibat ekspirasi paksa menyebabkan diafragma bergerak dan
membuka orifisium lebih luas. Nilai APE dipengaruhi oleh beberapa
ratus mililiter udara yang dimulai dari inflasi penuh dari paru dan oleh
kekuatan otot dada dan perut (Siregar, 2007).
b. Alat ukur: Vitalograph peak flow meter
c. Hasil: L/menit
d. Skala pengukuran: Kontinu (0-800 L/menit) dan Kategorikal (0: Hijau;
1: Kuning; 2: Merah).
2. Variabel Terikat: Derajat sesak napas
a. Definisi: Yang dimaksud derajat sesak napas adalah rasa tidak nyaman
pada pasien ketika bernapas setelah melakukan latihan fisik dengan
waktu yang telah ditentukan.
b. Alat ukur: Uji Borg
c. Satuan: 12 skala
d. Skala pengukuran: Kontinyu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
H. Instrumentasi
1. Peak Flow Meter (merk: Vitalograph; spesifikasi: 0 - 800 L/menit;
ketelitian: 10 L/menit).
2. Kapas dan alkohol 75 % (sterilisasi).
3. Tabel nilai normal APE untuk pria & wanita Indonesia berdasarkan
penelitian tim IPP 1992.
4. Kuesioner.
I. Cara Kerja
1. Sampel penelitian diminta untuk mengisi kuesioner.
2. Tinggi badan dan berat badan sampel penelitian diukur dengan berdiri
tegak tanpa alas kaki.
3. Pemeriksaan APE.
4. Prosedur tindakan pemeriksaan APE:
a. Subyek penelitian dalam posisi berdiri dan tenang sambil memegang
peak flow meter.
b. Tempatkan indikator pada pangkal dari skala peak flow meter.
c. Lakukan inspirasi dalam.
d. Letakkan corong peniup peak flow meter dalam mulut. Jangan sampai
lidah menutup corong penutup.
e. Ekspirasikan semua udara yang telah diinspirasi secara kuat dan cepat
semaksimal mungkin.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
f. Catat angka pada skalanya, lakukan percobaan ini tiga kali.
g. Ambil nilai yang tertinggi (Santosa, 2004).
5. Membaca hasil pemeriksaan APE (nilai ukur APE) pada peak flow meter
(dalam L/menit).
6. Berdasarkan umur dan tinggi badan sampel penelitian, dibaca nilai APE
prediksi pada tabel nilai normal APE untuk pria & wanita Indonesia
berdasarkan penelitian tim IPP 1992.
7. Presentase variasi nilai APE
Presentase APE = nilai APE tertinggi (L/menit) x 100 %
nilai APE prediksi (L/menit)
8. Pengukuran derajat sesak napas, di mana pasien diminta untuk jalan di
tempat selama 6-8 menit.
J. Teknik Analisis Data Statistik
Data yang diperoleh dari penelitian dianalisis secara statistik
menggunakan SPSS for Windows Release 17. Karakterisitik sampel data
kontinyu dideskripsikan dalam n, mean, minimal dan maksimal. Karakteristik
sampel data kategorikal dideskripsikan dalam n dan persen. Hubungan derajat
sesak napas dan APE ditunjukkan oleh Koefisiensi Korelasi Spearman (jika
data tidak distribusi normal dan data ordinal). Ukuran hubungan menggunakan
Koefisien Korelasi Spearman (r) memiliki interpretasi sebagai berikut :
r = 0 à tidak ada hubungan
0 < r ≤ 1 à terdapat hubungan positif
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
-1 ≤ r < 0 à terdapat hubungan negatif
Hubungan variabel tersebut dideskripsikan secara grafis dengan
menggunakan :
1) Diagram sebar
2) Boxplot
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Karakteristik Data
Penelitian mengenai hubungan antara derajat sesak napas dengan nilai
Arus Puncak Ekspirasi (APE) pada pasien asma terkontrol sebagian
dilaksanakan pada bulan April-Mei 2012 di RSUD Dr. Moewardi Surakarta.
Dari penelitian tersebut telah diperoleh 35 sampel yang memenuhi kriteria,
yaitu 35 pasien asma terkontrol sebagian. Pengambilan sampel dilakukan
secara purposive sampling. Berikut disampaikan hasil penelitian yang
disajikan dalam bentuk tabel dan diagram.
Tabel 4.1 Distribusi penderita asma terkontrol sebagian yang mempunyai nilai APE < 60 % , 60 % - 80% dan >80% berdasarkan umur
Asma Terkontrol Sebagian (n=35)
Umur <60%
(Merah) 60%-80% (Kuning)
>80% (Hijau)
∑ % ∑ % ∑ % 20-30 4 23.53 2 15.38 0 0 31-40 3 17.65 3 23.08 0 0 41-50 5 29.41 6 46.15 2 40 51-60 5 29.41 2 15.38 3 60 ∑ 17 100 13 100 5 100
28
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
Gambar 4.1 Persentase jumlah penderita asma terkontrol sebagian berdasarkan umur
Pada Tabel 4.1 dan Gambar 4.1 dapat diketahui bahwa jumlah penderita
asma terkontrol sebagian yang berumur di atas 40 tahun adalah 65,71% (23
orang), sedangkan yang berumur di bawah 40 tahun adalah 34,28% (12
orang). Penderita asma terkontrol sebagian yang berumur di atas 40 tahun
lebih banyak memiliki nilai APE <60% (Merah) yaitu sejumlah 10 orang.
Jumlah penderita dengan rentang nilai APE 60%-80% (Kuning) adalah 8
orang dan pada nilai APE>80% (Hijau) sejumlah 5 orang.
Tabel 4.2 Distribusi derajat sesak napas pada penderita asma terkontrol sebagian berdasarkan kategori nilai APE
Kategori APE
Derajat Sesak Napas (n=35)
Jumlah 0
(Tidak ada)
0.5 (Sangat, sangat ringan)
1 (Sangat ringan)
2 (Ringan)
3 (Sedang)
<60% (Merah)
17 0 0 5 9 3
60%-80% (Kuning)
13 0 7 3 3 0
>80% (Hijau)
5 1 3 1 0 0
∑ 35 1 10 9 12 3
17.14%
17.14%
37.14%
28.57%
20-30 31-40 41-50 51-60
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
Dari Tabel 4.2 dapat diketahui bahwa pasien asma terkontrol sebagian
dalam kategori derajat sesak napas 2 (Ringan) terbanyak masuk pada kategori
nilai APE <60% (Merah) yaitu 9 orang (75%). Pada pasien dengan nilai APE
60% - 80% didapatkan 3 orang (25%) pasien. Sedangkan pada pasien dengan
nilai APE >80% tidak didapatkan pasien yang masuk dalam kategori derajat
sesak napas 2. Dapat dilihat juga bahwa pada pasien dengan nilai APE <60%
dan nilai APE 60%-80% tidak didapatkan pasien yang masuk dalam kategori
derajat sesak napas 0 (Tidak ada). Namun pada pasien dengan nilai APE
<60% didapatkan pasien yang masuk dalam kategori derajat sesak napas 3
(Sedang) yaitu 3 orang (100%). Pada pasien dengan nilai APE >80% pasien
terbanyak masuk dalam kategori derajat sesak napas 0 (Tidak ada) yaitu 1
orang (100%). Didapatkan juga 3 orang (30%) pasien yang masuk dalam
kategori derajat sesak napas 0,5 (Sangat, sangat ringan).
Tabel 4.3 Distribusi derajat sesak napas pada penderita asma terkontrol sebagian berdasarkan pendidikan terakhir
Pendidikan Terakhir
Derajat Sesak Napas (n=35)
Jumlah 0
(Tidak ada)
0.5 (Sangat, sangat ringan)
1 (Sangat ringan)
2 (Ringan)
3 (Sedang)
SD 8 0 2 1 4 1 SMP 6 0 3 0 2 1
SMA/SMK 16 2 6 4 3 1 PT 5 0 1 1 2 1 ∑ 35 2 12 6 11 4
Pada Tabel 4.3 dapat dilihat bahwa pasien asma pada kategori derajat
sesak napas 0,5 yaitu 7 orang (70%); 1 yaitu 4 orang (44,44%) paling banyak
ditemukan pada pasien dengan riwayat pendidikan terakhir SMA/SMK. Pada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
kategori derajat sesak napas 2 terbanyak pertama ditemukan pada pasien
dengan riwayat pendidikan terakhir SD dan SMA/SMK yaitu masing-masing
sebanyak 4 orang (33,33%). Sedangkan pada kategori derajat sesak napas 3
distribusi pasien merata di semua kategori kecuali kategori pasien dengan
pendidikan terakhir PT dimana masing-masing terdapat 1 pasien (33,33%)
dengan riwayat pendidikan terakhir SD, SMP dan SMA/SMK.
Tabel 4.4 Distribusi derajat sesak napas pada penderita asma terkontrol sebagian berdasarkan usia
Umur
Derajat Sesak Napas (n=35)
Jumlah 0 (Tidak ada)
0.5 (Sangat, sangat ringan)
1 (Sangat ringan)
2 (Ringan)
3 (Sedang)
20-30 6 0 1 2 2 1 31-40 6 0 3 1 2 0 41-50 13 0 4 3 5 1 51-60 10 1 2 3 3 1 ∑ 35 1 10 9 12 3
Pada Tabel 4.4 dapat dilihat bahwa interpretasi derajat sesak napas pada
pasien asma terkontrol sebagian lebih variatif pada usia di atas 40 tahun. Pada
pasien usia di atas 40 tahun didapatkan 2 orang (66,66%) dengan kategori
derajat sesak napas 3, 8 orang (66,66%) dengan kategori derajat sesak napas 2
dan 6 orang (66,66%) dengan kategori derajat sesak napas 1, sedangkan pada
pasien usia di bawah 40 tahun hanya didapatkan 1 orang (33,33%) dengan
kategori derajat sesak napas 3, 1 orang (33,33%) di kategori 2 dan 3 orang
(33,33%) dengan kategori derajat sesak napas 1. Pada kategori derajat sesak
napas 0,5 dan 0 juga lebih banyak ditemukan pada pasien usia di atas 40 tahun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
dimana ditemukan 6 orang (60%) dengan kategori derajat sesak napas 0,5 dan
1 orang (100%) dengan kategori derajat sesak napas 0.
Tabel 4.5 Distribusi derajat sesak napas pada penderita asma terkontrol sebagian berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT)
Pada Gambar 4.5 dapat dilihat bahwa pasien dengan IMT <18,5
(underweight) paling banyak mengalami derajat sesak napas kategori 2 yaitu 2
orang (50%). Pasien dengan IMT 18,5-24,99 (normal) juga didapatkan paling
banyak mengalami sesak napas pada kategori 2 yaitu sejumlah 8 orang
(33,33%), dan paling sedikit mengalami sesak napas kategori 0 yaitu 1 orang
(4,16%). Sedangkan pasien dengan IMT ≥25 (overweight) paling banyak
ditemukan mengalami sesak napas kategori 0,5 yaitu 4 orang (57,14%) dan
tidak ditemukan adanya pasien yang mengalami sesak napas kategori 3.
IMT
Derajat Sesak Napas (n=35)
Jumlah 0
(Tidak ada)
0,5 (Sangat, sangat ringan)
1 (Sangat ringan)
2 (Ringan)
3 (Sedang)
Underweight 4 0 0 1 2 1 Normal 24 1 6 7 8 2
Overweight 7 0 4 1 2 0 ∑ 35 1 10 9 12 3
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
Tabel 4.6 Karakteristik sampel berdasarkan nilai APE dan derajat sesak napas pada penderita asma terkontrol sebagian
Tabel 4.6 menunjukkan rerata skor nilai APE sebesar 269,43 dengan
rentang skor 150-460 dan nilai mediannya 260. Pada variabel derajat sesak
napas didapatkan rerata skor sebesar 1,4 dengan rentang skor 0,5-3 dan nilai
mediannya 1,0. Pada tabel tersebut juga dapat dilihat data mean, median,
Standar Deviasi, nilai minimal dan nilai maksimal pada variabel nilai APE
prediksi dan persentase APE.
B. Analisis Data
Data yang diperoleh kemudian dilakukan analisis data yang terdiri dari dua
langkah, yaitu (1) uji normalitas data dan (2) uji hipotesis dengan korelasi
Spearman, menggunakan program komputer Statistical Product and Service
Solution (SPSS) 17.00 for Windows.
1. Uji normalitas data
Uji normalitas data dilakukan untuk mengetahui ditribusi data normal
atau tidak (Santoso, 2006). Suatu data dikatakan mempunyai sebaran
normal jika p >0,05 (Dahlan, 2005). Hasilnya sebagai berikut:
Variabel Mean Median Standar deviasi
Nilai minimal
Nilai maksimal
Nilai APE 269,43 260 87,244 150 460 Nilai APE Prediksi
450,3 412,4 99,414 310,3 625,82
Presentase APE 60,046 60,6 15,58 30,4 92,2 Derajat Sesak Napas
1,400 1,000 0,8026 0,5 3
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
Tabel 4.7 Tes normalitas distribusi frekuensi variabel nilai APE dan derajat sesak napas
Interpretasi hasil uji normalitas data menggunakan Shapiro-Wilk
karena sampel berjumlah ≤ 50 (Dahlan, 2005), didapatkan nilai
signifikansi p = 0,024 untuk nilai APE dan p = 0,001 untuk derajat sesak
napas. Dapat disimpulkan bahwa distribusi nilai APE dan derajat sesak
napas pasien asma terkontrol sebagian adalah tidak normal. Dengan
demikian analisis menggunakan korelasi Spearman dapat dilaksanakan.
2. Analisis Bivariat
Metode non parametrik dapat dilakukan jika data yang didapatkan
tidak berdistribusi normal, atau jumlah data sangat sedikit (Santoso, 2009).
Kedua data dalam penelitian ini mempunyai sebaran data yang tidak
normal dan sampel hanya berjumlah 35, maka korelasi Spearman (r) dapat
dipakai untuk mengukur kekuatan hubungan antara nilai APE dan derajat
sesak napas. Hasilnya sebagai berikut:
Tabel 4.8 Analisis bivariat korelasi antara nilai APE dan derajat sesak napas
Variabel Derajat Sesak Napas
Nilai APE Koefisien Korelasi Spearman r -0,60
p <0,001 n 35
Variabel Kolmogorov-Smirnov Shapiro-Wilk
p p Nilai APE 0,121 0,024
Derajat Sesak Napas <0,001 0,001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
Tabel 4.8 menunjukkan nilai korelasi Spearman (r) adalah -0,60. Hal
ini menunjukkan dua hal, yaitu arah korelasi dan kekuatan korelasi. Nilai
korelasi Spearman adalah negatif, menunjukkan adanya hubungan yang
berlawanan. Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar nilai suatu
variabel, semakin rendah nilai variabel yang lain. Angka korelasi untuk
Spearman berkisar pada 0 (tidak ada korelasi sama sekali) dan 1 (korelasi
sempurna). Angka korelasi di atas 0,5 menunjukkan korelasi yang cukup
kuat, sedang di bawah 0,5 korelasi lemah. Nilai korelasi hasil penelitian ini
adalah -0,60 menunjukkan adanya korelasi negatif yang cukup kuat
(Santoso, 2009; Dahlan, 2005). Korelasi yang negatif dan cukup kuat
tersebut ditunjukkan pula oleh Gambar 4.2.
Gambar 4.2 Garis regresi hubungan antara nilai APE dan derajat sesak
napas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
Untuk menilai kemaknaan korelasi antara dua variabel, digunakan nilai
p (Sig.). Terdapat korelasi yang bermakna antara dua variabel jika nilai p <
0,05 (Dahlan, 2005). Interpretasi hasil uji statistik terhadap korelasi
Spearman pada penelitian ini, didapatkan nilai p < 0,001 menunjukkan
bahwa korelasi derajat sesak napas dan nilai APE adalah secara statistik
bermakna.
Nilai p < 0,001 mengandung arti bahwa korelasi antara nilai APE dan
derajat sesak napas secara statistik sangat signifikan. Dengan kata lain
korelasi tersebut konsisten. Jika penelitian dengan metode yang sama
diulangi 1000 kali maka akan diperoleh hasil yang sama dengan hasil
sekarang (r = -0,60) sebanyak 999 kali.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB V
PEMBAHASAN
Penelitian mengenai derajat sesak napas dan nilai Arus Puncak Ekspirasi
(APE) pada pasien asma terkontrol sebagian ini dilaksanakan dari bulan April -
Juni 2012 di RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Dari penelitian didapatkan data
yang memenuhi syarat yang telah ditetapkan, dan kemudian data tersebut
digunakan sebagai bahan analisis korelatif Spearman.
Pengambilan sampel didahului dengan pengisian kuesioner untuk mengetahui
apakah sampel memenuhi kriteria atau tidak, kemudian dilanjutkan dengan
pengukuran nilai APE dan melakukan aktivitas fisik selama 6 menit. Setelah
sampel diambil secara purposive sampling didapatkan 35 sampel pasien asma
terkontrol sebagian.
Berdasarkan panduan GINA (2011a), nilai APE prediksi mempunyai kaitan
yang erat dengan umur, jenis kelamin dan tinggi badan. Dimana dapat dilihat pada
tabel pengukuran nilai APE prediksi sesuai hasil penelitian tim pneumobile
project Indonesia tahun 1992 dalam Lampiran 7 dan 8, ditemukan bahwa terjadi
penurunan nilai APE sesuai bertambahnya umur dan rendahnya tinggi badan.
Hasil pada penelitian ini yang dapat dilihat dari Tabel 4.1 dan Gambar 4.1,
didapatkan bahwa penderita asma terkontrol sebagian dengan umur di atas 40
tahun lebih banyak memiliki nilai APE <60% daripada pasien dengan umur di
bawah 40 tahun.
37
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
Aktifitas yang dilakukan untuk merangsang terjadinya sesak napas dikenal
dengan istilah Exercise Induced Asthma (EIA). Manifestasi klinis dari EIA sendiri
antara lain batuk, mengi, dada sesak dan kesusahan dalam bernapas akibat sekresi
mukus berlebihan setelah melakukan aktivitas fisik. EIA biasa dilakukan paling
tidak selama 3-8 menit, sedangkan gejala akan muncul segera setelah aktivitas
dihentikan (Rakkhong et al., 2011). Pada penelitian ini didapatkan hasil yang
sesuai dengan pendapat Parente et al. (2011) bahwa dengan dilakukannya
pengukuran APE dapat membantu pengamatan terjadinya keparahan asma dimana
dalam hal ini dilakukan dengan cara mengamati salah satu gejalanya yaitu
terjadinya tingkat keparahan sesak napas. Dapat dilihat dari Tabel 4.2, diperoleh
bahwa setelah dilakukan aktivitas fisik selama 6-8 menit penderita asma dengan
nilai APE <60% lebih banyak mengalami derajat sesak napas kategori 1, 2 dan 3.
Sedangkan penderita asma dengan nilai APE 60%-80% dan >80% lebih banyak
mengalami derajat sesak napas 0,5 dan 0.
Pada penelitian Greenwood et al. (2011) terdapat beberapa faktor yang dapat
meningkatkan keparahan penyakit asma, antara lain adalah pengaruh lingkungan
dan pekerjaan serta status sosial ekonomi. Salah satu contoh yang masuk dalam
kategori pengaruh lingkungan dan pekerjaan adalah rendahnya tingkat
pendidikan, kemiskinan dan para kaum minoritas yang dapat meningkat risiko
terjadinya keparahan asma. Hal tersebut sesuai dengan data pada Tabel 4.3,
dimana didapatkan pasien dengan pendidikan terakhir SMP ke bawah lebih
banyak mengalami derajat sesak napas yang lebih berat. Rendahnya tingkat
pendidikan pasien memungkinkan juga adanya pengetahuan dan kesadaran yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
kurang pada pasien mengenai gejala asma. Selain itu kondisi sosial ekonomi
pasien diyakini dapat meningkatkan timbulnya gejala penyakit asma. Rendahnya
status sosial ekonomi seorang pasien dapat menyebabkan kesusahan bagi pasien
untuk melakukan pengobatan, yang selanjutnya akan memperparah kondisi dari
pasien tersebut dan meningkatkan keparahan derajat penyakit asma yang
dideritanya (Greenwood et al., 2011). Hal ini dapat menyebabkan peningkatan
keparahan derajat asma dan sesak napas, yang dapat diketahui dengan pengukuran
nilai APE. Semakin rendah nilai APE seseorang, menandakan semakin buruk
fungsi paru orang tersebut dan menyebabkan peningkatan derajat sesak napas
pada pasien.
Berdasarkan data pada Tabel 4.4, distribusi derajat sesak napas pada pasien
asma terkontrol sebagian lebih banyak ditemukan pada pasien dengan umur di
atas 40 tahun. Diketahui bahwa pada proses penuaan terjadi beberapa penurunan
fungsi organ tubuh, di antaranya adalah penurunan fungsi paru. Beberapa temuan
yang didapatkan adalah terjadinya keterbatasan kerja pada dinding dada yang
disebabkan oleh pengapuran sendi-sendi tulang rusuk dan penurunan elastisitas
paru-paru akibat hilangnya serat elastis. Hal tersebut mengakibatkan paru-paru
tidak dapat bekerja secara maksimal dan memungkinkan terjadinya penyakit asma
yang lebih parah (Gilman et al., 2012).
Hasil penelitian ini didapatkan bahwa setelah dilakukan aktivitasi fisik, pasien
asma terkontrol sebagian yang mengalami sesak napas derajat 0,5 sampai 3 lebih
banyak pada pasien dengan usia di atas 40 tahun. Hal tersebut sesuai dengan
penjelasan sebelumnya, bahwa semakin tua umur seseorang maka akan terjadi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
penurunan fungsi organ-organ vital tubuh salah satunya adalah paru-paru. Sesak
napas merupakan salah satu manifestasi yang bisa terjadi pada pasien usia lanjut
dengan penurunan fungsi paru-paru, hal ini terjadi akibat usaha tubuh untuk dapat
mengkompensasi udara yang tidak mampu mencukupi kebutuhan akan adanya
oksigen. Namun, dalam penelitian ini ditemukan 1 orang pasien dengan umur di
atas 40 tahun yang sama sekali tidak merasakan sesak napas setelah dilakukannya
aktivitas fisik. Hal ini mungkin terjadi akibat pasien usia lanjut sudah sangat biasa
dengan sesak napas yang dirasakan setiap hari oleh karena bertambahnya umur
pasien (Hanania et al., 2011).
Cadangan lemak yang berlebihan diyakini dapat menjadi salah satu penyebab
dan faktor risiko terjadinya asma. Peningkatan jumlah jaringan adiposa dapat
menjadi salah satu peran penting terjadinya peradangan saluran pernapasan dan
hiperreaktivitas bronkial. Dari data terbaru ditemukan bahwa obesitas tidak hanya
berhubungan dengan prevalensi asma, tetapi juga dengan penurunan fungsi paru-
paru dan peningkatan gejala pada pasien asma (Kilic et al., 2011). Dapat dilihat
pada Tabel 4.5 pasien dengan BMI overweight lebih banyak yang mengalami
derajat sesak napas 0,5, 1 dan 2, tetapi tidak ditemukan pasien yang mengalami
sesak napas derajat 3 sehingga dalam penelitian ini tidak bisa disimpulkan bahwa
semakin meningkatnya BMI seseorang akan semakin berat juga derajat sesak
napas orang tersebut. Sedangkan pada pasien dengan BMI underweight ditemukan
pasien yang mengalami sesak napas derajat 1, 2 dan 3. Hal ini sesuai dengan
pendapat Behmanesh et al. (2010) bahwa ada kemungkinan terjadinya asma yang
lebih parah apabila pasien mengalami kekurangan nutrisi dan faktor pertumbuhan,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
khususnya pada pasien anak-anak sehingga dapat menyebabkan terjadinya
perkembangan paru-paru yang tidak baik dan kemudian terjadi asma.
Manajemen asma yang tepat sangat tergantung pada kemampuan pasien untuk
memantau secara teratur gejala asma yang muncul. Bahkan pasien asma terkontrol
pun masih perlu dipantau untuk dilakukan penilaian tingkat keparahan asma dan
penyesuaian pemberian obat. Pemantauan diri sendiri tidak hanya bisa dilakukan
dengan mengamati gejala yang muncul, tapi juga bisa dilakukan dengan cara
melakukan pengukuran nilai Arus Puncak Ekspirasi (APE) sehari-hari.
Pemantauan dengan cara mengukur nilai APE ini sangat dianjurkan pada pasien
dengan tingkat keparahan asma sedang sampai berat. Pengukuran nilai APE dapat
sangat membantu dalam menentukan tingkat keparahan asma pasien dan dapat
membantu klinisi untuk menentukan dosis obat pada pasien asma (McCoy et al.,
2010; Burkhart et al., 2012).
Simpulan pada penelitian ini sesuai dengan pendapat Parente et al. (2011)
bahwa derajat sesak napas dapat menjadi acuan yang cukup baik untuk
menentukan derajat terjadinya obstruksi pada pasien asma. Walaupun begitu,
pemeriksaan fungsi paru tetap menjadi lini pertama dalam pengukuran tingkat
keparahan derajat asma. Dikarenakan, tanpa adanya penilaian fungsi paru,
penderita asma hanya akan menilai derajat keparahan asmanya secara subjektif
sesuai dengan gejala sehari-hari yang muncul (Ritz et al., 2010). Belum
ditemukan referensi mengenai penelitian yang serupa di Indonesia. Penelitian ini
penting dilakukan dengan tujuan untuk menghubungkan pengukuran secara
objektif dan subjektif. Hasil penelitian ini dianalisis dengan menggunakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
korelasi Spearman dan didapatkan nilai p < 0,001 (p < 0,05), yang berarti terdapat
korelasi yang bermakna antara derajat sesak napas dengan nilai APE pada pasien
asma terkontrol sebagian. Pada penelitian Parente et al. (2011) didapatkan korelasi
Spearman r = -0,24 menunjukkan adanya korelasi berlawanan dengan kekuatan
korelasi yang lemah. Sedangkan pada penelitian ini didapatkan nilai korelasi
Spearman = -0,60 menunjukkan adanya korelasi berlawanan dengan kekuatan
korelasi yang kuat.