pbl 1.1 - bioetika profesionalisme kedokteran
DESCRIPTION
PBL 1TRANSCRIPT
BIOETIKA PROFESIONALISME KEDOKTERAN
Problem Based Learning Blok 1 Semester 1 Tahun Ajaran 2011
Disusun Oleh : Alfonso (NIM : 102011236)
Email : [email protected]
Kelompok : A1
Tutor / Pembimbing : dr. Agus Rijadi
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
FAKULTAS KEDOKTERAN
JAKARTA
2011
PENDAHULUAN
Dewasa ini, penyakit bukanlah lagi suatu kata yang asing untuk didengar. Setiap orang
pasti pernah terkena suatu penyakit, entah itu penyakit yang berat ataupun penyakit yang
ringan. Akibat hal itu, setiap orang pasti pernah berkunjung untuk berkonsultasi dan berobat
ke seorang individu yang tak lain tak bukan memiliki gelar ‘dokter’. Kini, semakin banyak
pasien yang berkunjung dan merasa kecewa akan pelayanan sang dokter dan kemudian
memberitakan kekecewaannya kepada kelompok sekitarnya, baik lisan maupun tulisan.
Makalah ini ditulis dengan tujuan agar setiap individu yang membacanya dapat
mengintegrasikan setiap contoh kasus dan penjelasannya kedalam dunia nyata dan lebih
mengerti tentang apa yang seharusnya dokter yang etis lakukan dalam setiap langkahnya.
Dalam makalah ini juga akan disajikan suatu kasus yang akan menjadi penunjang dalam
pengintegrasian masalah dalam skenario menuju masalah dalam dunia nyata.
Dalam makalah ini akan dibahas juga tentang kode etik kedokteran dasar, serta juga
akan dibahas empat poin besar kode etik yang harus dimiliki dalam setiap dokter yang berada
di Indonesia, yang sudah disesuaikan dengan standard World Health Organization.
Manfaat yang akan didapatkan oleh para pembaca seusai membaca makalah ini adalah
masyarakat luas dapat mengerti kode etik kedokteran, apa yang seharusnya seorang dokter
lakukan pada suatu kondisi tertentu, baik kondisi elektif maupun kondisi gawat darurat.
Semoga pembaca mendapatkan hasil yang dapat membantu kehidupan kedepan setelah
membaca makalah ini.
ISI PEMBAHASAN
Pola pikir manusia dari tahun ke tahun terus berkembang. Perkembangan ilmu dan
teknologi pun mempengaruhi perkembangan ilmu kedokteran dan profesi kedokteran.
Kemajuan yang ada selain menyebabkan peningkatan kualitas profesi kedokteran, juga
menyebabkan timbulnya aneka ragam permasalahan. Dengan berkembangnya ilmu dan
teknologi terjadi pula perubahan tata nilai dalam masyarakat. Masyarakat pun semakin kritis
dalam memandang masalah yang ada, termasuk pelayanan yang diberikan dalam bidang
kesehatan. Oleh karena itu, profesi kedokteran membutuhkan suatu pedoman yang
menyeluruh dan integratif tentang sikap dan perilaku yang harus dimiliki oleh seorang dokter.
Pedoman itu dikenal denan nama Kode Etik Kedokteran.
Kode etik kedokteran tersebut kemudian akan disebut dengan nama Bioetik. Didalam
kerja medis, terdapat empat prinsip kerja yang harus selalu dianut. Keempat prinsip tersebut
adalah Beneficence, Non Maleficence, Autonomuy dan Justice. Keempat prinsip ini adalah
variasi dari sudut pandang teori moral dan dapat membantu kita untuk mengetahui perintah
dan kaidah lainnya didalam bioetik. Prinsip ini mungkin tidak memberikan kita jawaban akan
apa yang terjadi didalam dunia praktek medis, tetapi mereka dapat memberi kita pengetahuan
umum awal dalam menjawab kebenaran yang terjadi.[1]
1.1. BENEFICENCE
Dimulai dari prinsip pertama, Beneficence. Beneficence berarti belas kasih, kebaikan
dan sukarela. Tidak pamrih, cinta serta kemanusiaan juga sering diartikan sebagai
beneficence. Beneficence merupakan perbuatan yang dilakukan agar orang lain mendapatkan
keuntungan dari tindakan yang kita lakukan. Tidak semua tindakan pada prinsip ini adalah
wajib, kendati demikian, prinsip Beneficence dalam penggunaannya mewajibkan setiap orang
untuk membantu orang lain lebih lanjut bagi kepentingan mereka yang sah. [1] Dalam prinsip
Beneficence, seorang dokter harus menghindari kejahatan dan kerugian bagi pasien,
menghapus tindak kejahatan dan tindakan yang dapat merugikan pasien, serta harus
mengutamakan prinsip nilai baik hidup manusia.
Kondisi Beneficence biasanya terjadi pada kondisi elektif, dimana pasien dapat
memilih apa yang akan dilakukannya kemudian. Beneficence terdiri dari banyak tindakan.
Tindakan beneficence antara lain adalah mengutamakan altruisme, menjamin nilai pokok
harkat dan martabat manusia serta kehidupan baik minimal manusia, paternalisme,
memandang pasien tidak hanya sebagai alat penghasil keuntungan, tidak menarik honorarium
diluar batas, minimalisasi akibat buruk, pemuasan pasien dan orang lain diluar lingkup pasien,
penerapan Golden Rule Principle, dan lainnya. Golden Rule Principle adalah apa yang Yesus
bilang dengan “Lakukan untuk sesamamu apa yang kamu mau mereka lakukan untukmu”
(Matius 7:12)[2] Serta ada beberapa tindakan lain yang termasuk dalam kondisi prinsip
Beneficence.
Pada skenario yang diberikan, dr. Bagus merupakan dokter yang menerapkan prinsip
Beneficence. Dapat dilihat pada paragraf pertama bahwa dokter Bagus bertugas dari pagi
sampai sore hari bahkan tidak tertutup kemungkinan ia mengobati pasien di malam hari
apabila ada warga yang membutuhkan pertolongannya. Hal ini menunjukan bahwa dokter
Bagus merupakan dokter yang mengedepankan prinsil altruisme dan paternalisme. Dan itu
adalah prinsip dasar dari Beneficence.
Kemudian juga disebutkan bahwa dokter Bagus mendapatkan pasien yang diare.
Tetapi karena hambatan di sisi ekonomi, maka sang pasien menolak untuk dirujuk ke rumah
sakit di kota. Dokter Bagus akhirnya memberikan obat oralit. Seperti yang sudah diketahui
bahwa oralit merupakan obat diare standard yang dapat dibeli siapa saja. Maka perilaku
dokter Bagus juga mengedepankan prinsip Beneficence pada bagian “Memberikan obat
berkhasiat namun murah”. Oralit juga sudah terkenal khasiatnya.
Kemudian dokter Bagus juga mendapatkan pasien yang menderita keganasan stadium
lanjut. Pasien tersebut juga menderita asites. Asites adalah penambahan cairan didalam lubang
selaput perut. Asites merupakan komplikasi umum dari cirrhosis, menunjukan hipertensi pada
portal yang timbul 80-85% pada pasien yang menderita asites tersebut. Hampir 60% dari
pasien yang menderita cirrhosis hati kemudian akan menderita asites juga dalam kurun waktu
10 tahun. Dan biasanya, setelah mendapat asites, pasien akan meninggal dalam kurun waktu
dua hingga tiga tahun.[3]
Prinsip Beneficence yang dilakukan oleh dokter Bagus adalah memberikan obat
analgesik yang dapat meredam rasa sakit pasien. Walaupun prinsip ini masih menjadi
kontroversi apakah sebaiknya dilakukan atau tidak, mengingat kondisi pasien yang parah,
maka dokter memberikan analgesik agar pasien bisa menikmati sisa hidupnya, dan itu
merupakan suatu keuntungan dibandingan dengan dokter Bagus tidak melakukan apa-apa.
Dokter Bagus mengusahakan kebaikan pasien lebih besar daripada tidak diberikan
pengobatan atau perawatan sama sekali.
Dokter Bagus juga terus praktek walaupun jam prakteknya sudah habis, ini
menunjukan prinsip Beneficence yang selalu dipegangnya, yakni membantu orang lain tanpa
pamrih dan berbelas kasih kepada setiap orang yang membutuhkan pertolongannya.
1.2. NON MALEFICENCE
Prinsip kedua, Non Maleficence. Prinsip ini adalah prinsip yang mengharuskan agar
seseorang tidak melakukan tindak kejahatan secara sengaja kepada orang lain. Prinsip ini erat
hubungannya dengan frase Primum non nocere. Yang berarti “diatas segalanya, jangan
lakukan kekerasan”. Prinsip Non Maleficence dan Beneficence keduanya
mengimplementasikan sumpah Hippocratic yang berbunyi : “Saya akan menggunakan
perawatan untuk menolong orang sakit sesuai dengan kemampuan dan keputusan saya, tetapi
saya tidak akan menggunakannya untuk menyakiti atau melukai mereka”.[1] Albert Jonsen
menemukan empat faktor yang dapat memonitor dan memaksimalkan penggunaan dari
Primum non nocere : (1) Pengobatan sebagai salah satu penyalur moral, (2) Pengobatan yang
maksimal, (3) Perbandingan resiko dan manfaat, (4) Persamaan untung rugi.[4]
Prinsip Non Maleficence juga menekankan bahwa tindakan yang dapat menghasilkan
kerugian pada pasien, harus memiliki keuntungan jika dilihat dari persepsi lain. Persepsi
ganda yang dapat membingunkan banyak orang ini disebut prinsip Double Effect. Prinsip ini
mengedepankan akibat baik yang tidak dilihat dari persepsi buruk. Contohnya adalah
penggunaan opiat dan obat lainnya untuk melepaskan rasa sakit dari pasien. Serta euthanasia
pasif kepada seorang pasien penderita kasus terminal.[5] Terlepas dari segala motivasi,
euthanasia pasif adalah jalan yang paling tidak dibenarkan untuk menghentikan atau menunda
pengobatan.[6]
Kondisi Non Maleficence akan berlaku pada kondisi Emergensi. Maka tindak Non
Maleficence terdiri dari menolong pasien emergensi, mengobatinya, tidak membunuhnya
walaupun sekarat, tidak menghinapasien, tidak menjadikan pasien sebagai kelinci percobaan,
mengobati secara proporsional, mencegah pasien dari bahaya, memberikan semangat hidup,
melindungi pasien, dan tidak melakukan tindak kejahatan ekonomi, serta banyak hal lainnya
yang dilarang dilakukan dalam prinsip ini.
Dokter Bagus juga menerapkan prinsip Non Maleficence, ketika ada seorang pasien
yang datang dalam keadaan gawat darurat karena tangannya yang masuk kedalam
penggilingan padi. Sang dokter segera menolongnya dan mengobati sang pasien. Ia juga tidak
menghina atau mencaci maki wali dari pasien karena sang pasien sudah tidak dalam kondisi
yang memungkinkannya untuk memilih. Dokter Bagus juga menjalankan tugasnya dengan
baik dan tidak menganggap orang itu sebagai sebuah objek. Dokter Baguspun mencegah
pasien tersebut dari marabahaya karena telah menolongnya dan terbukti efektif karena kondisi
pasien tersebut kemudian stabil, walaupun harus kehilangann tangan kanannya karena
tulangnya remuk. Tindakan dokter Bagus merepresentasikan Non Maleficence dengan tepat.
1.3. JUSTICE
Prinsip ketiga adalah prinsip Justice. Diatas segala teori yang ada, keadilan (justice)
adalah kebutuhan minimal dan/atau standard yang dikemukakan oleh Aristoteles : Kesama-
rataan harus dilakukan secara sama rata, sedangkan yang tidak sama rata juga harus dilakukan
secara tidak sama rata. Prinsip keadilan kadang disebut sebagai ‘prinsip kesamaan formal’
karena prinsip itu tidak mengungkapkan kondisi khusus dimana kondisi sama harus
diperlakukan secara sama, seperti dua orang atau lebih dalam kondisi yang sama maka harus
diperlakukan dengan perlakuan yang sama.[1]
Tindak justice juga memiliki beberapa poin didalamnya, berikut poinnya. Tindak
justice harus memberlakukan segala sesuatu secara universal, memperlakukan individu dalam
kondisi sama seperti individu dalam kondisi serupa. Dokter juga harus menghargai hak
pasien, serta menjaga kelompok rentan, seperti balita, para tua, serta ibu hamil. Dokter juga
tidak boleh membedakan SARA, serta memberi beban yang sama secara merata. Dokter harus
bijak dalam makroalokasi serta meminta partisipasi pasien sesuai dengan kemampuannya.
Serta banyak hal lain yang termasuk didalam bentuk justice.
Dokter Bagus juga menerapkan prinsip justice dalam praktek sehari-harinya. Prinsip
justice dasar yang dijalakannya adalah bahwa dokter Bagus menerapkan sistem antri sesuai
dengan urutan pasien yang datang terlebih dahulu ke puskesmas. Hal itu merupakan prinsip
justice dasar yang diterapkan agar setiap orang dalam kondisi yang sama mendapatkan
proporsi pengobatan yang sama.
Prinsip justice yang dokter Bagus terapkan juga terlihat pada saat adanya pasien gawat
darurat yang datang kemudian ia mendahulukan untuk menolong pasien dalam keadaan gawat
darurat itu untuk ditangani terlebih dahulu. Tindakan ini adalah tindakan justice yang tepat. Ia
menghargai hak sehat pasien agar sang pasien dapat kembali sehat walaupun dalam
kondisinya yang tangannya sudah remuk. Tindakan ini benar dan mengedepankan serta
mengimplementasikan tindak justice dalam tindakan medisnya.
Dokter Bagus juga menangani pasien tersebut hingga selesai. Setelah selesai
menangani pasien tersebut, dokter Bagus melanjutkan antrian yang sudah berjalan, sesuai
dengan prinsip justice pada umumnya. Serta setelah pasien tersebut sembuh, pasien tersebut
diperbolehkan pulang, maka dokter juga menjalankan poin Justice yang berbunyi
“mengembalikan hak kepada pemiliknya pada saat yang tepat dan kompeten”. Maksudnya
adalah bahwa ketika sang pasien sembuh dan dapat pulang, dokter Bagus tidak menahan
kepulangan pasien, tetapi membiarkannya pulang dan dokter mengontrol perkembangan
pasien itu.
1.4. AUTONOMY
Sedangkan prinsip terakhir adalah prinsip Autonomy. Autonomy adalah suatu aturan
yang membuat seseorang bebas dari kontrol persuasi orang lain maupun pembatasan
pemilihan keputusan seperti kekurangan informasi. Prinsip ini secara otomatis membebaskan
seseorang untuk memilih sesuai hatinya.[1] Prinsip Autonomy juga tidak terlepas dari apa yang
disebut dengan Informed Consent.
Informed consent juga membahas tentang hak pasien untuk mendapatkan informasi
sebelum dia memberikan persetujuan kepada dokter untuk melakukan suatu tindakan terhadap
dirinya. (1) Kewajiban dokter untuk menjelaskan informasi kepada pasien, (2) Kewajiban
dokter untuk mendapatkan ijin persetujuan dari pasien, sebelum melaksanakan perawatan.[7]
Disamping itu, dalam memberikan informasi kepada pasien, kadangkala agak sulit
menentukan yang mana informasi yang diberikan dan mana yang tidak diberikan, karena
sangat bergantung pada usia, pendidikan, keadaan umum pasien dan mentalnya. Namun, pada
umumnya dapat dipedomani hal berikut : (1) informasi yang diberikan harus dimengerti oleh
pasien. (2) pasien harus dapat memperoleh informasi tentang penyakitnya, tindakan yang akan
diambil, kemungkinan komplikasi dan resikonya. (3) untuk anak-anak dan pasien penyakit
jiwa, maka informasi diberikan kepada orang tua atau walinya.[8]
Tindak Autonomy memiliki beberapa poin penting didalamnya. Tindak autonomy
mengedepankan menghargai hak pasien untuk menentukan pilihannya sendiri, tanpa
mengintervensi pasien dalam mengambil keputusannya, dengan catatan pasien tersebut sudah
kompeten dalam mengambil keputusannya sendiri. Sang dokterpun secara implisit terkena
bahwa dokter harus sabar menunggu apa keputusan pasien. Sang dokter juga harus
menghargai privasi pasien dan menjaga rahasia pasien. Disamping itu sang dokter tidak boleh
berbohong dan harus menjelaskan kepada pasien apa yang sebenarnya sang pasien sedang
hadapi.[6] Dokter juga harus menjaga hubungan dengan pasien serta melaksanakan infomed
consent sebelum melaksanakan perawatan dan melakukan pengobatan kepada pasien.[6]
Dokter Bagus juga menjalankan prinsip Autonomy. Ketika seorang ibu yang kesulitan
ekonomi membawa anaknya yang diare, sang dokter menghargai rasionalitas pasien dalam
menolak rujukannya ke rumah sakit di kota. Sang dokter tidak memaksa sang ibu untuk
menuju ke kota. Secara tidak langsung sang ibu juga sudah menandatangani Informed
Consent yang bertujuan untuk menolak preferensi dokter Bagus.
Kemudian ketika dokter Bagus mendapatkan pasien berpenyakit ganas, sang dokter
menjelaskan secara jelas tentang penyakit pasien bersangkutan. Hal itu juga termasuk salah
satu prinsip dasar Autonomy, menjelaskan informasi kepada pasien secara jelas.[6]
Dokter Bagus juga terus menjalankan prinsip Autonomy ketika ada pasien yang dalam
kondisi gawat darurat karena tangannya masuk kedalam mesin penggilingan padi. Mengingat
kondisi pasien yang tidak mampu dan kompeten dalam mengambil keputusan ditengah rasa
sakit yang melanda, maka dokter Bagus kemudian meminta persetujuan dari istrinya sebagai
wali dari pasien agar dokter Bagus dapat mengamputasi tangan sang pasien. Hal itu juga
termasuk salah satu tindakan informed consent. Pernyataan lisan itu termasuk informed
consent yang bertipe lisan, dan digunakan pada saat gawat darurat.
Pasien selanjutnya yang mengalami hipertensi dan nadi tidak teratur adalah seorang
bapak tua yang diantar anaknya. Dokter Bagus juga menjalankan tugasnya yakni menjelaskan
kepada pasien tentang apa penyakitnya dan apa resiko lanjut yang akan dihadapi pasien
apabila tidak dilanjutkan dengan terapi medik. Tindakan dokter Bagus ini amat tepat, bahkan
memberikan surat rujukan akan tindakan yang tidak dapat dilakukan oleh dokter Bagus.
Walaupun pada akhirnya sang pasien sendiri yang akan memutuskan apa yang harus
dilakukan untuk dirinya sendiri.
PENUTUP
Dokter Bagus adalah dokter yang baik dan selalu menaati prinsip bioetik medik yang
harus selalu dipegang teguh oleh dokter dimanapun sang dokter berada. Prinsip bioetik
tersebut sudah distandarisasi oleh WHO sebagai organisasi kesehatan dunia yang telah
membuat prinsip tersebut sesederhana mungkin agar dapat dimengerti oleh setiap insan dan
individu didalam dunia ini untuk kedepannya lebih lanjut dapat mengetahui apa yang
seharusnya seorang dokter boleh dan tidak boleh lakukan. Apa yang seharusnya seorang
dokter harus dan tidak harus lakukan.
Dokter Bagus adalah seorang dokter yang baik, dan kesimpulannya adalah dokter
Bagus adalah seorang dokter teladan yang selalu mengikuti prinsip bioetik dalam praktek
medik di desanya.
DAFTAR PUSTAKA[1]Dickenson D, Huxtable R, Parker M. The cambridge medical ethics workbook. 2nd Ed.
United States of America : Cambride University Press; 2010. p. 195[2]Holladay T. The relationship principles of Jesus. Tennessee : Zondervan; 2008. p. 297[3]Gerbes AL. Ascites, hyponatremia and hepatorenal syndrome : Progress in treatment.
Germany : Karger; 2011. p. 1[4]Timko RM. Clinical ethics, due care and the principle of nonmaleficence. United States of
America : University Press of America,®Inc.; 2001. p. 133[5]Norman GAV. Clinical ethics in anesthesiology : A case-based textbook. United States of
America : Cambride University Press; 2011. p. 149[6]Otlowski M. Voluntary euthanasia and the common law. New York : Oxford; 2004. p.6[7]Samil RS. Etika kedokteran Indonesia. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 1994. h. 18[8]Hanafiah MJ, Amir A. Etika kedokteran dan hukum kesehatan. Edisi ketika. Jakarta :
Penerbit Buku kedokteran EGC; 1999. h. 48