patofisiologi malaria dr.kurnia 2013

19
PATOFISIOLOGI MALARIA KURNIA FITRI JAMIL Bagian/SMF. Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran UNSYIAH/ RSUD. Dr. Zainoel Abidin BANDA ACEH PENDAHULUAN Malaria berat adalah penyakit malaria akibat infeksi Plasmodium falsiparum yang disertai dengan gangguan multisistim. 1,2 Penyakit ini mempunyai gambaran klinis yang luas dan sesuai dengan pola organ yang terinfeksi. 1,3 WHO 4 menetapkan kriteria diagnosa malaria berat yaitu adanya satu atau lebih komplikasi sebagai berikut, hiperparasitemia, malaria serebral, anemia berat, ikterus, gangguan asam basa dan elektrolit, gagal ginjal, hipertermia, komplikasi infeksi lain, edema paru, hipoglikemia, kolaps sirkulasi, perdarahan dan gangguan koagulasi, muntah-muntah pada terapi per oral dan hemoglobinuria pada penderita positif malaria falsiparum. Malaria serebral merupakan komplikasi terberat dan sering mengakibatkan kematian. 1,5,6,7,8 Malaria berat menyebabkan kematian sekurang- kurangnya 2 juta orang setiap tahun di seluruh dunia. 3 Penelitian patogenesa malaria berat terutama malaria serebral berkembang pesat akhir-akhir ini. 6,7 Meskipun demikian patogenesa malaria serebral masih tetap belum jelas. 6,7,9 Sifat koma yang reversibel serta jarang mengakibatkankan sekuela neurologik menjadi pusat perhatian para peneliti. Disamping hal tersebut, 1

Upload: muhammad-abrar

Post on 27-Oct-2015

175 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

malaria

TRANSCRIPT

Page 1: Patofisiologi Malaria Dr.kurnia 2013

PATOFISIOLOGI MALARIA KURNIA FITRI JAMIL

Bagian/SMF. Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran UNSYIAH/RSUD. Dr. Zainoel Abidin

BANDA ACEH

PENDAHULUAN

Malaria berat adalah penyakit malaria akibat infeksi Plasmodium falsiparum yang

disertai dengan gangguan multisistim.1,2 Penyakit ini mempunyai gambaran klinis yang

luas dan sesuai dengan pola organ yang terinfeksi.1,3 WHO4 menetapkan kriteria

diagnosa malaria berat yaitu adanya satu atau lebih komplikasi sebagai berikut,

hiperparasitemia, malaria serebral, anemia berat, ikterus, gangguan asam basa dan

elektrolit, gagal ginjal, hipertermia, komplikasi infeksi lain, edema paru, hipoglikemia,

kolaps sirkulasi, perdarahan dan gangguan koagulasi, muntah-muntah pada terapi per

oral dan hemoglobinuria pada penderita positif malaria falsiparum. Malaria serebral

merupakan komplikasi terberat dan sering mengakibatkan kematian.1,5,6,7,8 Malaria

berat menyebabkan kematian sekurang-kurangnya 2 juta orang setiap tahun di seluruh

dunia. 3

Penelitian patogenesa malaria berat terutama malaria serebral berkembang pesat

akhir-akhir ini.6,7 Meskipun demikian patogenesa malaria serebral masih tetap belum

jelas.6,7,9 Sifat koma yang reversibel serta jarang mengakibatkankan sekuela

neurologik menjadi pusat perhatian para peneliti. Disamping hal tersebut, juga menjadi

pertanyaan , mengapa hanya 1-2% penderita malaria falsiparum yang mengalami

malaria berat atau malaria serebral.6 Interaksi yang kompleks antara antigen parasit

yang mudah berubah dan respon imun individu dengan implikasi patologik-nya,

menyebabkan gambaran klinis infeksi malaria yang bervariasi.7 Sejumlah faktor seperti

genetik, status nutrisi, status imunologi , keterlambatan atau ketidak-tepatan terapi

serta strain parasit berpengaruh dalam terjadinya malaria berat.6

Titik perhatian dalam patogenesa malaria berat adalah sekuestrasi eritrosit yang

berisi parasit stadium matur ke dalam mikrovaskular organ-organ vital.5,6,8,10,11 Faktor

1

Page 2: Patofisiologi Malaria Dr.kurnia 2013

lain seperti induksi sitokin oleh toksin parasit dan produksi nitrik oksida juga diduga

mempunyai peranan penting dalam patogenesa malaria berat. 8

FAKTOR PARASIT

Faktor parasit yang berpengaruh terhadap terjadinya malaria berat adalah

intensitas transmisi, densitas parasit dan virulensi parasit.

Intensitas transmisi

Tingkat parasitemia yang terjadi selama puncak transmisi adalah empat belas

kali lebih tinggi dibandingkan saat tingkat transmisi rendah.12 Rendahnya parasitemia

pada saat transmisi rendah disebabkan oleh karena adanya imunitas yang telah

diperoleh saat puncak transmisi.12 Sedangkan tingginya parasitemia saat puncak

transmisi disebabkan oleh karena meningkatnya jumlah gigitan nyamuk infeksius dan

infeksi oleh strain parasit yang baru.12

Densitas parasit

Hubungan antara tingkat parasitemia dan mortalitas akibat malaria falsiparum

pertama kali dilaporkan oleh Field dan Niven 2,4 Mortalitas dilaporkan meningkat pada

parasitemia >100.000/mikroL dan bila parasitemia >500.000/mikroL maka angka

kematian mencapai 50 %.2,4 Tingkat parasitemia dapat digunakan untuk menilai

beratnya penyakit.2,4,9 Meskipun demikian, pada daerah endemis malaria, parasitemia

yang tinggi sering ditemukan pada individu yang asimptomatik.2 Dilain pihak terdapat

kasus kematian akibat malaria dengan tingkat parasitemia yang rendah.2 Ketidak –

sesuaian ini dapat diterangkan berdasarkan stadium perkembangan parasit dan

sinkronitas infeksi Plasmodium falsiparum.2 Beratnya penyakit lebih ditentukan oleh

jumlah parasit yang bersekuestrasi ke dalam jaringan daripada jumlah parasit dalam

sirkulasi.1,2 Morfologi/stadium parasit dalam apus darah tepi mencerminkan proporsi

2

Page 3: Patofisiologi Malaria Dr.kurnia 2013

parasit yang bersekuestrasi dan mempunyai nilai prognostik.1,2 Adanya sizontemia

dan atau tropozoit matur di darah tepi merupakan petanda prognosa yang buruk. 2

Virulensi parasit

Virulensi parasit ditentukan oleh daya multiplikasi parasit, sinkronitas parasit,

strain parasit, kemampuan melakukan sitoadherens dan roseting, induksi sitokin,

produksi nitrik oksida serta daya invasi parasit 1,5,13 P.vivaks menginvasi eritrosit hanya

melalui jalur glikoporin A sedangkan P. falsiparum melalui jalur glikoporin A dan B.

P.vivaks menginvasi retikulosit sedangkan P.falsiparum menginvasi semua bentuk

eritrosit.13 Ringwald dan Carlson 6,14 melaporkan adanya hubungan yang lurus antara

virulensi parasit dengan kemampuan pembentukan roset di Gambia dan Malagasi.

Namun Al-Yaman8 tidak menemukan hubungan lurus ini pada penelitian di Papua

Nuigini. Hal ini mungkin berhubungan dengan variabel geografi ataupun strain

parasit.1,8 Virulensi parasit juga berbanding lurus dengan daya multiplikasi parasit .1

FAKTOR HOST

Faktor host yang berperan dalam terjadinya malaria berat adalah endemisitas,

genetik, umur, status nutrisi dan status imunologi.1

Endemisitas

Pada daerah endemis malaria yang stabil, malaria berat terutama terdapat pada

anak kecil sedangkan orang dewasa umumnya hanya menderita malaria ringan. 13,15

Di daerah dengan endemisitas rendah, malaria berat terjadi tanpa memandang usia.13

Anak-anak berusia > 5 tahun di daerah hiperendemis sering mengalami parasitemia

tanpa menunjukkan gejala klinis.13 Hal ini berhubungan dengan imunitas klinis yang

tidak akan ditemukan pada anak-anak didaerah hipoendemis.13

Genetik

Kelainan genetik yang saat ini diketahui mempunyai efek protektif terhadap

malaria berat adalah kelainan dinding eritrosit dan HLA kelas I serta II yaitu HLA-Bw

3

Page 4: Patofisiologi Malaria Dr.kurnia 2013

53, HLA-DRB I 1302, HLA-DQB 0501.15 McGuire dkk Dilaporkan adanya variasi regio

promoter TNF alfa yang berhubungan dengan kerentanan terhadap malaria serebral

dan meningkatkan kematian akibat penyakit ini . 5,25

Umur

Bayi berusia 3-6 bulan yang lahir dari seorang ibu yang imun, mempunyai

imunitas yang diturunkan, sehingga meskipun terdapat hiperparasitemia dan ada-

kalanya demam, tetapi jarang mengalami malaria berat.15 Periode umur dan tingkat

endemisitas selanjutnya berpengaruh terhadap pola malaria berat pada anak dengan

usia lebih tua.15 Di daerah endemis, komplikasi malaria yang menjadi penyebab

kematian utama anak berusia < 18 bulan adalah anemia berat sedangkan usia 3-4

tahun adalah malaria serebral.15 Kejadian malaria berat berkurang di usia > 4 tahun.15

Primigravida yang tinggal didaerah hipoendemis lebih rentan terhadap malaria

serebral.13,15 Keadaan ini diduga disebabkan oleh menurunnya imunitas dengan

mekanisme yang belum diketahui secara pasti.13,15 Penurunan imunitas lokal plasenta-

uterus serta meningkatnya kadar hormon steroid diduga sebagai penyebab.15

Status nutrisi

Malaria berat sangat jarang ditemukan pada anak-anak dengan marasmus atau

kwasiorkor.15 Defisiensi zat besi dan riboflavin juga dilaporkan mempunyai efek

protektif terhadap malaria berat.15 Diet rendah PABA ( para – amino benzoic acid ),

seperti yang terdapat dalam air susu ibu, melindungi anak dari malaria berat.15

Imunologi

Mekanisme imunologi malaria berat melibatkan imunitas selular dan humoral

yang kompleks. Limpa memegang peranan penting dalam mekanisme imunologi

malaria akut.16 Spelenektomi mengakibatkan binatang percobaan yang resisten

menjadi rentan dan yang rentan menjadi malaria berat dan fatal.16 Pada malaria

falsiparum limpa memfagositosis eritrosit baik non parasit maupun yang mengandung

parasit.16,17 Proses pembersihan oleh limpa merupakan mekanisme penting dalam

4

Page 5: Patofisiologi Malaria Dr.kurnia 2013

pertahanan tubuh dan patogenesa anemia pada malaria.16,17 Walaupun demikian,

peranan limpa secara rinci belum diketahui dan dihubungkan dengan filtrasi parasit

serta fagositosis oleh Fc reseptor limpa.16

Sel imunokompeten melepaskan sitokin.13 Sitokin berperan dalam respon imun

baik secara kualitatif maupun kuantitatif.13 Namun disamping berperan sebagai respon

imun, sitokin juga berpengaruh dalam sejumlah proses patologik .13

MEKANISME PATOGENESIS

Invasi merozoit ke dalam eritrosit menyebabkan eritrosit yang mengandung

parasit ( EP ) mengalami perubahan struktur dan biomolekular sel untuk memper-

tahankan kehidupan parasit.18 Perubahan tersebut meliputi mekanisme transport mem-

bran sel, penurunan deformabilitas, perubahan reologi, pembentukan knob, ekspresi

varian neoantigen dipermukaan sel, sitoadheren, sekuestrasi dan roseting.15 Respon

imun individu terhadap antigen parasit akan menstimulasi sistim RES, mengubah aliran

darah lokal dan endotelium vaskular, mengubah biokimia sistemik, menyebabkan

anemia, hipoksia jaringan dan organ, produksi sitokin dan nitrik oksida (NO).15 Berikut

akan dibahas mekanisme patogenesis malaria berat mulai dari invasi merozoit ke

dalam eritrosit , sitoadheren, sekuestrasi , roseting , peranan sitokin dan NO.

Eritrosit Parasit ( EP)

EP memulai proses patologik infeksi malaria falsiparum. EP memiliki kemampuan

adhesi dengan sel lain yaitu endotel vaskular, eritrosit dan EP lainnya.5 Penurunan

deformabilitas EP matur menyebabkan sel ini sulit melewati kapiler dan filtrasi limpa

secara normal.1,2 Hal ini berpengaruh terhadap terjadinya sitoadheren dan sekues-

trasi.1,2 Membran EP memiliki kapasitas variasi antigenik yang besar sehingga relatif

terlindung dari mekanisme pertahanan tubuh.13,18 Antigen yang pertama-tama tampak

di permukaan EP adalah antigen RESA (Ring-erythrocyte Surface Antigen). EP menga-

lami merogoni dan melepaskan toksin malaria yaitu GPI ( glikosilfosfatidilinositol ).19

1. Antigen RESA ( Ring-erythrocyte Surface Antigen )

5

Page 6: Patofisiologi Malaria Dr.kurnia 2013

EP stadium cincin menampilkan antigen RESA di permukaan sel.20 Al-Yaman 20

melaporkan bahwa individu dewasa dengan titer antibodi RESA yang tinggi jarang

mengalami parasitemia. Kadar tertentu antibodi RESA diduga mampu menginhibisi

pertumbuhan parasit.20 Antigen RESA menghilang setelah EP memasuki stadium

matur.

2. GPI ( glikosilfosfatidilinositol )

GPI adalah toksin glikolipid dan dilepaskan saat proses merogoni dan

kerusakan sel.19 GPI memulai respon patofisiologik pada malaria akut dan berat

dengan menginduksi pelepasan sitokin TNF-alfa dan IL-1 dari makrofag.19 Sitokin

ini bersifat pirogen endogen, menyebabkan panas dan kaheksia.13,19 GPI

mempunyai aktifitas mirip insulin yaitu mengatur metabolisme glukosa di jaringan

adiposa sehingga dapat mengakibatkan hipoglikemia.19

Sitoadheren

Sitoadheren adalah melekatnya EP matur di permukaan endotel vasku-

lar.1,7,10,11,13,21 Sitoadheren merupakan proses spesifik yang hanya terjadi di kapiler dan

venula post kapiler.1 Proses ini dipengaruhi oleh limpa melalui mekanisme yang belum

jelas.1,13 Tampaknya sitoadheren merupakan respon EP terhadap fungsi penghancuran

EP matur oleh limpa.18 Untuk menghindari proses ini EP matur melekat di permukaan

endotel dan bersekuestrasi di jaringan mikrovaskular organ vital.8,18,22 Penumpukan EP

di mikrovaskular menyebabkan gangguan aliran mikrovaskular sehingga terjadi

anoksia/ hipoksia jaringan. 7,13 Konsentrasi laktat arteri dan jaringan serebri meningkat

secara bermakna pada koma malaria serebral.15 EP melekat di endotel melalui

penonjolan membran EP yang disebut knob.1,7,13,15,18,21 EP knob + (positif ) mempunyai

kemampuan sitoadheren.1,18 Namun demikian telah dilaporkan bahwa EP knob –

( negatif ) juga dapat melekat pada endotel melalui ikatan yang lebih lemah . 18,21

Kemampuan adhesif EP tampaknya merupakan hal utama dalam usaha

mempertahankan kehidupan parasit dan selanjutnya menyebabkan malaria berat dan

fatal.18 Sitoadheren terjadi melalui pelekatan molekul-molekul adhesif di permukaan

EP dan di permukaan endotel vaskuler.

6

Page 7: Patofisiologi Malaria Dr.kurnia 2013

1. Molekul-molekul adhesif EP ( ligand )

Famili gen yang mengkode protein 200-350 kDA bertanggung jawab terhadap

variasi antigenik dan sitoadheren EP.18 Famili gen ini disebut gen VAR dan sangat

beraneka ragam .18 Gen VAR memegang peranan utama dalam sitoadheren dan

variasi anigenik EP.5,18 Setiap parasit memiliki 50-150 kopi DNA gen ini. Ekspresi

protein famili gen ini secara kolektif disebut PfEMP-1( P.falciparum erythrocyte

membrane protein-1 ).5,18 PfEMP-1 terletak di knob dan merupakan ligand dengan

variasi antigenik yang besar.5,18 Molekul adhesif lain yang berperan sebagai ligand

sitoadheren adalah sekuestrin, modifikasi eritrosit band-III dan rosetin.18 Protein-

protein ini relatif sama pada varian parasit yang berbeda dan tidak berpengaruh

terhadap variasi antigenik.18

2. Molekul-molekul adhesif endotel vaskular ( reseptor )

PfEMP-1 melekat secara spesifik dengan molekul-molekul adhesif di permukaan

endotel.5,18 Molekul-molekul adhesif yang telah diidentifikasi adalah CD36, trom-

bospondin, ICAM-1 ( intercellular adhesion molecule - 1), ELAM-1 ( endothelial line

adhesion molecule-1 ), VCAM-1 ( vascular cell adhesion molecule -1) , E-Selektin

dan kondroitin sulfat.5-7,10,13,18 Reseptor-reseptor tersebut terdapat dalam keadaan

basal di tubuh dan meningkat saat infeksi.10 Distribusi reseptor-reseptor ini dalam

jaringan tubuh manusia tidak sama, hal ini mencerminkan heterogenitas fenotipe

serta fungsi endotel pada organ yang berbeda.10 Kadar ekspresi reseptor-pun

berbeda sebab sebagian reseptor diinduksi melalui aktifitas sitokin.10 Induksi

reseptor endotelial sistemik dan peningkatan ekspresi ICAM-1 serta E-Selektin

yang bermakna di vaskular otak ditemukan pada malaria fatal.10,13

Sekuestrasi

Sitoadheren menyebabkan EP bersekuestrasi dalam mikrovaskular organ-

organ vital.2,5,7,8,10,11,13,15,21,23 Parasit yang bersekuestrasi menumpuk di otak, paru, usus

dan jantung serta pada kadar yang berbeda di sejumlah organ tubuh lainnya5,10 dan

mengakibatkan sejumlah keadaan patologik pada malaria berat.1,2 Smalley dkk (1980)

7

Page 8: Patofisiologi Malaria Dr.kurnia 2013

Sekuestrasi juga terjadi pada gametosit imatur P.falsiparum.21 Awalnya sekuestrasi

diduga hanya terjadi di kapiler namun sejumlah studi melaporkan sitoadheren juga

terjadi di venula dengan kaliber lebih besar di sirkulasi serebral.5 Sekuestrasi

menyebabkan ketidak- sesuaian antara parasitemia di perifer dan jumlah total parasit

dalam tubuh. Pada infeksi yang sinkron, hubungan antara parasit di sirkulasi dan yang

mengalami sekuestrasi dapat berubah sesuai siklus aseksual parasit.2 Dengan

demikian, pada 2 kasus malaria dengan hitung parasit yang sama di darah tepi,

kemungkinan mempunyai perbedaan 100 kali lipat dalam jumlah parasit yang

bersekuestrasi.2 Stadium parasit yang predominan di apus darah tepi merupakan

kunci dalam membedakan kedua kasus ini. 2

Distribusi sekuestrasi parasit pada malaria fatal amat bervariasi antara organ-

organ dalam satu individu dan antara satu kasus dengan kasus lainnya.10 Sekuestrasi

tertinggi ditemukan di jaringan otak.5,10,15,18,21 Tingkat sekuestrasi di otak berhubungan

dengan tingkat ekspresi molekul adhesif di endotel vaskular otak.5,10 Sekuestrasi parasit

dan pigmen yang tinggi juga ditemukan di limpa dan hepar pada semua kasus malaria

fatal dan pada derajat yang lebih rendah serta bervariasi di paru, otot, jantung serta

ginjal.10 Disfungsi jaringan pada malaria berat berhubungan dengan tingkat

sekuestrasi pada jaringan tersebut.5 Pada malaria serebral, sekuetrasi kuantitatif di

mikrovaskular serebri berhubungan dengan keadaan klinis penderita .5,10,15 Meskipun

demikian, hubungan antara sekuestrasi dengan koma pada malaria serebral masih

tetap menjadi pertanyaan.5,8,10 Penelitian di Vietnam melaporkan bahwa sekuestrasi

di otak terjadi baik pada kasus malaria serebral maupun non serebral dengan jumlah

kuantitatif lebih tinggi secara bermakna pada malaria serebral. 5,10 Dilaporkan juga,

tidak ada kasus malaria serebral yang tidak mengalami sekuestrasi.5,10 Dengan

demikian, sekuestrasi diperlukan dalam patogenesa malaria serebral tapi masih

terdapat faktor-faktor lain yang turut berpengaruh.5 Sekuestrasi dikatakan lebih

sebagai epi-fenomena terhadap koma akibat malaria serebral.5 Selain sitoadheren,

fenomena adhesif EP yang lain adalah roseting.

Roseting

8

Page 9: Patofisiologi Malaria Dr.kurnia 2013

Roseting adalah suatu fenomena pelekatan antara satu buah EP matur yang

diselubungi oleh sekitar 10 atau lebih eritrosit non parasit sehingga berbentuk seperti

bunga.1,11,13,21-23 Roseting berperan dalam terjadinya obstruksi mikrovaskular. Tidak

semua parasit mempunyai kemampuan roseting.22 Faktor-faktor yang berpengaruh

dalam pembentukan roset adalah fenotipe roseting parasit ( R+) yang bersifat varian

spesifik,5,22 limpa,21 antibodi PfHRP-1 ( P.falciparum histidine-rich protein-1) yang

menghambat pembentukan roset,21,23 dan endemisitas.23 Individu yang tinggal di daerah

endemis mempunyai antibodi terhadap roseting yang tinggi.23 Roseting juga

dipengaruhi oleh golongan darah, terutama terjadi pada golongan darah A dan B.8,13

Roseting melindungi parasit dari fagositosis dan meningkatkan kemampuan sito-

adherens.8 Reseptor roseting di permukaan ertitrosit adalah molekul CD 36 walaupun

tampaknya terdapat molekul reseptor lain yang belum diidentifikasi.13,22,23 Meskipun

demikian peranan roseting dalam patogenesis malaria berat masih merupakan dugaan

dan belum dapat disimpulkan.1 Tidak seperti sitoadheren, roseting bukan merupakan

gambaran histologik yang menonjol pada pemeriksaan post-mortem. 1

Sitokin

Kadar TNF-alfa di darah perifer meningkat secara nyata pada penderita malaria

berat terutama malaria fatal. 5-7,10,13,19,24,25 Kadar IFN-gamma, IL-1, IL-6, LT dan IL-3

juga meningkat pada malaria berat.6,24 Sitokin-sitokin ini saling berinteraksi dan

menghasilkan efek patologi yang lebih nyata.1,19,24 Meskipun demikian peranan sitokin

secara langsung dalam patogenesa malaria berat masih dalam perdebatan. 1,6 Dari

Gabon dilaporkan kasus malaria berat dengan kapasitas produksi TNF tinggi ternyata

mengalami perbaikan klinis maupun parasitologis yang lebih cepat. Disamping itu,

sitokin diketahui mempunyai efek anti parasit secara in vitro. 25,26 Kadar TNF yang ting-

gi juga ditemukan pada malaria vivaks tanpa komplikasi. 1,25 Oleh sebab itu, pengaruh

TNF dalam patogenesa malaria berat diduga terjadi secara lokal, pada tingkat jaringan,

tempat merogoni terjadi. Pengukuran kadar TNF perifer tidak dapat mencerminkan

proses patologi yang terjadi. 1,24,25

TNF alfa berperan dalam patogenesa malaria oleh karena molekul ini menye-

babkan upregulation ligand endotelial ICAM-1,6,13,19,25,27 merangsang pelepasan NO

9

Page 10: Patofisiologi Malaria Dr.kurnia 2013

(nitrik oksida) dari sel endotel,25,26 mengakibatkan hipoglikemia dengan cara meng-

hambat glukoneogenesis 24 serta menyebabkan diseritropoesis.1,13 Lucas dkk28

melaporkan bahwa kadar ICAM-1 berhubungan erat dengan kadar TNFR2 ( TNF re-

septor 2) dan ICAM-1 berhubungan erat dengan kerusakan endotelial pada malaria

serebral dan ARDS ( acute respiratory distress syndrome ) akibat syok septik.28

Pemberian rekombinan TNF pada model eksperimental selain mengakibatkan hal-hal

tersebut di atas juga menyebabkan hipertrigliseridemia, hipotensi, penumpukkan

netrofil di vaskular paru, koagulasi intra vaskular yang difus dan abortus. 19 Antibodi

netralisasi TNF memberi efek proteksi terhadap malaria berat. 19

Kadar TNF alfa dan IL-6 berkorelasi secara positif dengan parasitemia, bilirubin

serum dan suhu serta secara negatif dengan trombosit.6 Penelitian di Gambia dan

Madagaskar melaporkan TNF alfa berkorelasi secara positif dengan pembentukan

roset.6,11,13 Konsep ini membawa pemikiran bahwa kadar rendah sitokin mempunyai

efek protektif sedangkan kadar tinggi mengakibatkan proses patologik. 1

Nitrik Oksida

Peranan NO dalam patogenesa malaria berat masih belum jelas. Anstey dkk 26

menduga bahwa penurunan sintesa NO merupakan predisposisi terhadap terjadinya

malaria serebral dan fatal.26,29 NO dikatakan mempunyai efek protektif me-lalui inhibisi

perkembangan parasit dan menurunkan proses sitoadheren sebab berbeda dengan

efek upregulation reseptor endotel oleh TNF dan IL-1, NO menurunkan aktivasi

endotelial. 26 Sebaliknya, Clark dkk mengemukakan bahwa Sintesa NO mengganggu

neurotransmisi sehingga mengakibatkan kelainan neurologik yang berat tapi

reversibel.8,25,29 Al-Yaman dkk 29 melaporkan bahwa reactive nitrogen intermediate

berhubungan dengan terjadinya koma.

Produksi NO dipengaruhi oleh kadar TNF , IL-10 dan faktor parasit. IL-10 men-

supresi produksi NO, TNF alfa menyebabkan pelepasan NO, dan seperti pada TNF,

produksi NO diduga dipengaruhi oleh strain parasit. 25,26 Agaknya terjadi keseim-

bangan antara TNF dengan NO, sebab inhibisi sintesa NO dapat mengakibatkan

peningkatan TNF sirkulasi yang tinggi.26

10

Page 11: Patofisiologi Malaria Dr.kurnia 2013

RINGKASAN

Patogenesis malaria berat belum diketahui secara jelas sampai saat ini. Faktor

parasit dan faktor host berperan dalam terjadinya mekanisme patogenesis. Proses

merogoni, sitoadheren dan sekuestrasi menyebabkan keadaan patologi malaria berat.

Pelepasan sitokin dan nitrik oksida diduga berpengaruh dalam manifestasi klinis

malaria berat. Tingginya kadar sitokin TNF sesuai dengan beratnya penyakit

sedangkan NO dikatakan lebih bersifat protektif. Meskipun demikian peranan TNF dan

NO dalam patogenesis malaria berat masih perlu diteliti lebih lanjut.

SUMMARY

Pathogenesis of severe malaria is still unclear. There are many parasite and host

factors contributes in this mechanism. Merogony, cytoadherent and sequestration have

been known caused the pathology process in severe malaria. Cytokine and nitric

oxide release have been suggested as caused of clinical manifestasion of severe

malaria. Levels of TNF correlated with disease severity while there is a correlation

between decreased NO production and disease severity. The role of TNF and NO in

the pathogenesis of human malaria clearly require further investigation.

KEPUSTAKAAN

1. White. N.J, Ho. M . The pathofisiology of malaria. Advances in Parasitology 1992 ; 31 : 84-114.2. Silamut. K , White. N. J. The relation of the stage of parasite development in the peripheral blood to

prognosis in severe falciparum malaria. Trans.R.Soc.Trop.Med.Hyg. 1993 ; 87 : 436-443.3. Warrell. D. A. Clinical features of malaria. In Gilles H. M, Warrell. D. A (Eds): Bruce-Chwatt’s

Essential Malariology. 3rd Ed. Edward Arnold, Great Britain, 1993, pp 37-48.4. World Health Organization. Severe and complicated malaria. Trans. R. Soc. Trop. Med. Hyg. 1986 ;

80 : 1-17.5. Turner. G. Cerebral Malaria. Brain Pathol. 1997 ; 7 : 569-582.6. Ringwald. P, Peyron. F, Lepers. J. P et al . Parasite virulence factors during falciparum malaria :

rosetting, cytoadherence, and modulation of cytoadherence by cytokines. Infect. Immun. 1993 ; 61 : 5198-5204.

7. Patnaik. J. K. Pathogenesis of cerebral malaria. Indian J. Pathol. Mircobiol. 1996 ; 39: 415-418. 8. Al-Yaman. F , Genton. B , Falk. M et al. Human cerebral malaria : Lack of significant association

between erythrocyte rosetting and disease severity. Trans. R. Soc. Trop. Med. Hyg. 1995 ; 89 : 55-58.

9. McElroy. P. D , Beier. J. C , Oster. C. N et al. Predicting outcome in malaria : correlation between rate of exposure to infected mosquitoes and level of Plasmodium falciparum parasitemia. Am. J. Trop. Med. Hyg. 1994 ; 51 : 523-532.

11

Page 12: Patofisiologi Malaria Dr.kurnia 2013

10. Turner. G. D , Morrison. H , Jones. M et al. An immunohistochemical study of the pathology of fatal malaria. Evidence for widespread endothelial activation and a potential role for intercellular adhesion molecule-1 in cerebral sequestration. Am. J. Pathol. 1994 ; 145 : 1057-1069.

11. Ho. M , Davis. T. M , Silamut. K , Bunnag. D , White. N. J . Rosette formation of Plasmodium falciparum-infected erythrocytes from patients with acute malaria. Infect. Immun. 1991 ; 59 : 2135-2139.

12. Beadle. C , McElroy. P. D , Oster. C. N , Beier. J. C et al. Impact of transmission intensity and age on Plasmodium falciparum density and associated fever : implications for malaria vaccine trial design. 1995 ; 172 : 1047-1054.

13. Miller.L. H ,Good.M. F , Milon. G . Malaria pathogenesis. Science 1994;264:1878-1883.14. Carlson. J , Helmby. H , Hill. A. V , Brewster. D et al. Human malaria: association with erythrocyte

rosetting and lack of anti-rosetting antibodies. Lancet 1990;336:1457-1460.15. Francis. N , Warrell. D. A. Pathology and pat hophysiology of human malaria. In Gilles. H. M ,

Warrell. D. A.(Eds): Bruce-Chwatt’s Essential Malariology. 3 rd Ed. Edward Arnold, Great Britain, 1993, p 50-58.

16. Ho. M , White. N. J , Looareesuwan. S et al . Splenic Fc receptor function in host defense and anemia in acute Plasmodium falciparum malaria. J.Infect.Dis. 1990; 161: 555-561.

17. Looareesuwan. S , Davis. T. M , Pukrittayakamee. S et al. Erythrocyte survival in severe falciparum malaria. Acta Trop. 1991 ; 48 : 263-270.

18. Deitsch. K. W , Wellems. T. E. Membrane modifications in erythrocytes parasitized by Plasmodium falciparum. Mol.Biochem.Parasitol. 1996 ; 76 : 1-10.

19. Schofield. L , Hackett. F. Signal transduction in host cells by a glycosylphosphati-dylinositol toxin of malaria parasites. J.Exp.Med. 1993 ; 177 : 145-153.

20. Al-Yaman. F , Genton. B , Falk. M et al. Humoral response to Plasmodium falciparum ring-infected erythrocyte surface antigen in a highly endemic area of Papua New Guinea. Am.J.Trop.Med.Hyg. 1995 ; 62 : 66-71.

21. Carlson. J , Holmquist. G , Taylor. D. W , Perlmann. P , Wahlgren. M. Antibodies to a histidine-rich protein (PfHRP1) disrupt spontaneously formed Plasmodium falciparum erythrocyte rosettes. Proc.Natl.Acad.Sci.U.S.A. 1990 ; 87 : 2511-2515.

22. Handunnetti. S. M , Van Schravendijk. M. R , Hasler. T et al. Involvement of CD 36 on erythrocytes as a rosetting receptor for Plasmodium falciparum-infected erythrocytes. Blood 1992 ; 80 : 2097-2104.

23. Carlson. J , Helmby. H , Hill. A. V et al. Human cerebral malaria: association with erythrocyte rosetting and lack of antirosetting antibodies. Lancet 1990 ; 336 : 1457-1460.

24. Clark. I. A , Rockett. K. A , Cowdwn. W. B. Role of TNF in cerebral malaria. Lancet 1991 ; 337 : 302-303.

25. Newton. C.R.J.C, Taylor. T.E, Whitten. R.O. Pathophysiology of fatal falciparum malaria in African children. Am. J. Trop. Med. Hyg. 1998 ; 58 : 673-683

26. Anstey. M.A, Weinberg. J. B, Hassanali. M.Y et al. Nitric oxide in Tanzanian children with Malaria: Inverse relationship between malaraia severity and nitric oxide production/nitric oxide synthase type 2 expression. J. Exp. Med. 1996 ; 184 : 557-567.

27. Graninger. W , Prada. J , Neifer. S et al. Upregulation of ICAM-1 by Plasmodium falciparum: in vitro and in vivo studies. J.Clin.Pathol. 1994 ; 47 : 653-656.

28. Lucas. R, Lou. j, Morel. D.R et al. TNF receptors in the microvascular pathology of acute respiratory distress syndrome and cerebral malaria. J. Leukoc Biol 1997; 61 : 551-558. (abstrak)

29.Agbenyega. T, Angus. B, Bedu-Addo. G et al. Plasma nitrogen oxides and blood lactate concentrations in Ghanaian children with malaria. Trans. R. Soc. Trop. Med. Hyg. 1997 ; 91 : 298-302.

12