patofisiologi kolera

5
Patofisiologi Kolera Studi mengenai patogenesis penyakit kolera setelah terjadi kolonisasi terutama difokuskan pada peran konsentrasi adenil siklase dan siklik AMP (cAMP) meningkat setelah terjadi intoksikasi sel oleh toksin kolera klasik. Penjelasan terbaru tentang toksin-toksin lain yang dapat dihasilkan oleh patogen dapat menjelaskan beberapa aspek stadium awal patogencsis. Namun, hal itu tampaknya tidak mungkin menggantikan kepentingan sentral toksin ini. Meskipun begitu, penyusunan patofisiologi harus bergerak lehih jauh dari sekedar penemuan mengenai meningkatnya adenil siklase dan cAMP. Mekanisine tentang cara cAMP, mungkin menyebabkan (bukan hanya paralel) perubahan pergerakan air dan elektrolit pada pasien kolera yang masih belum diketahui. Dengan bukti yang ada mengenai toksin vibrio multipel, yang tampaknya merupakan subunit non-A atau yang tidak terkait cAMP, dan sedikit perbedaan yang telah diteliti mengenai efek toksin kolera pada aneka ragam epitel intestinal dan jenis-jenis sel neuron usus, konsep terharu tentang penyebab tampak sederhana. Bahkan, telah banyak bukti yang memberi petunjuk bahwa adenil siklase dan cAMP sebenarnya hanya berperan sebagian, sementara, atau indirek, dan bahwa inhibisi atau kerja antagonis mereka tidak secara konsisten sejajar dengan perubahan fluks GS atau elektrolit atau mengurangi diare pada situasi eksperimental maupun pada pasien kolera. Aktivitas adenil siklase pada beberapa pasien kolera mungkin tidak sejajar dengan aktivitasnya pada diare, dan pada sel model aktivitas adenil siklase distimulasi pada konsentrasi toksin kolera yang rendah tetapi tidak pada konsentrasi tinggi, atau distimulasi pada pajanan terhadap toksin yang diperpanjang. Efek anti-sekretorik eksperimental fenotiazin tidak berhuhungan dengan perubahan dalam proses ribosilasi ADP walaupun telah ditemukan suatu kesejajaran dengan inhibisi adenil siklase. Sementara efek kalsium pada jalur kimia yang dimediasi oleh kalsium (yang juga dapat mengubah fluks natrium) barangkali menyebabkan efek anti-sekretorik pada model-model eksperimental. Studi yang menunjukkan reduksi ringan diare kolera oleh antagonis siklase klorpromazin tanpa tetrasiklin, tetapi bukan dengan tetrasiklin, mungkin hanya

Upload: whiecha1556

Post on 28-Apr-2015

180 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: Patofisiologi Kolera

Patofisiologi Kolera

Studi mengenai patogenesis penyakit kolera setelah terjadi kolonisasi terutama difokuskan

pada peran konsentrasi adenil siklase dan siklik AMP (cAMP) meningkat setelah terjadi

intoksikasi sel oleh toksin kolera klasik. Penjelasan terbaru tentang toksin-toksin lain yang

dapat dihasilkan oleh patogen dapat menjelaskan beberapa aspek stadium awal patogencsis.

Namun, hal itu tampaknya tidak mungkin menggantikan kepentingan sentral toksin ini.

Meskipun begitu, penyusunan patofisiologi harus bergerak lehih jauh dari sekedar penemuan

mengenai meningkatnya adenil siklase dan cAMP. Mekanisine tentang cara cAMP, mungkin

menyebabkan (bukan hanya paralel) perubahan pergerakan air dan elektrolit pada pasien

kolera yang masih belum diketahui. Dengan bukti yang ada mengenai toksin vibrio multipel,

yang tampaknya merupakan subunit non-A atau yang tidak terkait cAMP, dan sedikit

perbedaan yang telah diteliti mengenai efek toksin kolera pada aneka ragam epitel intestinal

dan jenis-jenis sel neuron usus, konsep terharu tentang penyebab tampak sederhana.

Bahkan, telah banyak bukti yang memberi petunjuk bahwa adenil siklase dan cAMP

sebenarnya hanya berperan sebagian, sementara, atau indirek, dan bahwa inhibisi atau kerja

antagonis mereka tidak secara konsisten sejajar dengan perubahan fluks GS atau elektrolit

atau mengurangi diare pada situasi eksperimental maupun pada pasien kolera. Aktivitas

adenil siklase pada beberapa pasien kolera mungkin tidak sejajar dengan aktivitasnya pada

diare, dan pada sel model aktivitas adenil siklase distimulasi pada konsentrasi toksin kolera

yang rendah tetapi tidak pada konsentrasi tinggi, atau distimulasi pada pajanan terhadap

toksin yang diperpanjang.

Efek anti-sekretorik eksperimental fenotiazin tidak berhuhungan dengan perubahan dalam

proses ribosilasi ADP walaupun telah ditemukan suatu kesejajaran dengan inhibisi adenil

siklase. Sementara efek kalsium pada jalur kimia yang dimediasi oleh kalsium (yang juga

dapat mengubah fluks natrium) barangkali menyebabkan efek anti-sekretorik pada model-

model eksperimental. Studi yang menunjukkan reduksi ringan diare kolera oleh antagonis

siklase klorpromazin tanpa tetrasiklin, tetapi bukan dengan tetrasiklin, mungkin hanya

merepresentasikan manfaat anti-bakterial klorpromazin, bukan efek anti-siklase terhadap

angka kejadian diare. Inhibitor siklase lain, seperti klorokuin, tidak efektif bagi pasien.

Secara in vivo, inhibitor transpor klorida sekalipun tidak dapat menghambat sekresi cairan

pada kolera dalam sehuah sel model, peningkatan maksimal sekresi klorida tidak

membutuhkan peningkatan aktivitas cAMP, dan reduksi sekresi dapat terjadi tanpa

penurunan aktivitas cAMP. Mungkin barisan sel epitel yang hilang, avaskular, dan yang

mengalami hubungan arus pendek atau sel-sel yang diisolasi tidak benar-benar

mencerminkan kejadian-kejadian pada seorang pasien hidup. Rantai penghuhung sebab-

akibat antara cAMP dengan hipertonisitas ujung vili yang meningkat setelah kontak dengan

toksin kolera, atau air berlabel tritium yang tidak dapat diserap setelah kontak dengan toksin

kolera, diperlukan jika peran central cAMP akan dipertahankan.

Page 2: Patofisiologi Kolera

Serangkaian perubahan yang terkait dengan toksin kolera pada reseptor G-protein dan 5-

hidroksitriptamin dan kemungkinan pelepasan prostaglandin, polipeptida vasoaktif intestinal

(melalui mekanisme neuronal) dan hormon-hormon lain telah diungkapkan, tetapi belum

diintegrasikan. Suatu rantai yang jelas mengenai sebab-akibat yang menjabarkan natrium,

kalium, dan klorida, serta pergerakan air (dan kerja transporter yang berkaitan) yang berubah

sehingga menimbullkan diare pada pasien masih belum ditemukan. Mungkin beberapa

perubahan pada aktivitas adenil siklase atau cAMP secara in vivo merupakan reaksi selular

terhadap efek toksin kolera lainnya (dibandingkan efek toksin kolera direk) belum

dikesampingkan. cAMP telah berperan sebagai pemicu sekresi klorida, promotor absorpsi ko-

transpor glukosa-natrium, dan zat lain, fosforilator protein kinase, ataupun sebagai sesuatu

yang hadir namun tidak berpartisipasi dalam proses. Peran komparatif kurir sekunder lain

dalam genesis kolera, atau rangkaian efek toksin kolera pada nukleus sel dan DNA, masih

belum ditetapkan. Inhibitor jalur cAMP tambahan yang memiliki aktivitas antikolera telah

dilaporkan ada (misalnya progesteron, asam retinoat, garam barium, glukagon, dan antagonis

serotonin), namun helum menjalani uji klinis. Seseorang harus menyimpulkan bahwa tidak

ada inhibitor adenil siklase atau antagonis cAMP yang telah diuji terbukti memiliki nilai

terapetik terhadap diare kolera. Untuk ini, sudah saatnya untuk melihat lebih jauh.

Pustaka

Problem Gastroenterologi Daerah Tropis

Page 3: Patofisiologi Kolera

Diagnosis

Dalam menegakan suatu diagnosis kolera meliputi gejalaklinis, pemeriksaan

fisik ,reaksi aglutinasi dengan anti serumspesifik dan kultur bakteriologis. Menegakkan

diagnosispenyakit kolera yang berat terutama diderah endemik tidaklahsukar. Kesukaran

menegakkan diagnosis biasanya terjadi padakasus-kasus yang ringan dan sedang, terutama di

luar endemiatau epidemi.1. Gejala klinik

Kolera yang tipik dan berat dapat dikenal dengan adanyaberak-berak yang sering tanpa mulas

diikuti dengan muntah-muntah tanpa mual, cairan tinja berupa air cucian beras,suhu tubuh

yang tetap normal atau menurun dan cepatbertambah buruknya keadaan pasien dengan

gejala-gejalaakibat dehidrasi, renjatan sirkulasi dan asidosis yang jelas.(PD, FKUI, 1996)(6 )2. Pemeriksaan Fisik.

Adanya tanda-tanda dehidrasi yaitu keadaan turgor kulit,mata cekung, Ubun ubun besar yang

cekung, mulutkering,denyut nadi lemah atau tiada, takikardi, kulit dingin,sianosis, selaput

lendir keringdan kehilangan berat badan3. Kultur Bakteriologis

Diagnosis pasti kolera tergantung dari keberhasilanmengisolasi V. Kolera 01 dari tinja

penderita penanaman padamedia seletif agar gelatin tiosulfat-sitrat-empedu-sukrosa7

(TCBS) dan TTGA. Tampak pada TCBS organisme V. Koleramenonjol sebagai koloni besar,

kuning halus berlatarbelakang medium hijau kebiruan. Pada TTGA koloni kecil,opak dengan

zone pengkabutan sekelilingnya.4. Reaksi aglutinasi dengan antiserum spesifik

Yaitu melalui penentuan antibodi-antibodi vibriosidal,aglutinasi dan penetralisasi toksin, titer

memuncrat dan ke 3antibodi tersebut akan terjadi 7-14 hari setelah awitanpenyakit-titer

antibodi vibriosidal dan aglutinasi akan kembalipada kadar awal dalam waktu 8-12 minggu

setelah awitanpenyakit, sedangkan titer antitoksin akan tetap tinggi hingga12-18 bulan.

Kenaikan sebesar 4x atau lebih selama masapenyakit akut atau penurunan titer selama

masapenyembuhan(6 ).5. Pemeriksaan darah

Pada darah lengkap ditemukan angka leukosit yang meninggiyang menunjukkan adanya

suatu proses infeksi, pemeriksaanterhadap pH, bikarbonat didalam plasma yang menurun,

danpemeriksaanelektrolituntuk

Page 4: Patofisiologi Kolera

menentukangangguankeseimbangan asam basa