pathway

40
MAKALAH SISTEM PENCERNAAN “ASKEP LABIO PALATO SKIZIS” DosenPembimbing : Suratmi, S.Kep.Ns.M.Kep Di SusunOleh : Kelompok 5/4A Keperawatan NamaAnggota : Anik retnosari Afif mardiyanto Dwi rohmaningsih Nasyiatul aisiyah Nailatin Asyifa Septy kartikasari Trully eko s Wisnu aditama PRODI SI KEPERAWATAN STIKES MUHAMMADIYAH LAMONGAN

Upload: yoichi-rin-kuchiki-uzuma

Post on 26-Oct-2015

918 views

Category:

Documents


46 download

TRANSCRIPT

MAKALAH SISTEM PENCERNAAN

“ASKEP LABIO PALATO SKIZIS”

DosenPembimbing :

Suratmi, S.Kep.Ns.M.Kep

Di SusunOleh : Kelompok 5/4A Keperawatan

NamaAnggota :

Anik retnosari

Afif mardiyanto

Dwi rohmaningsih

Nasyiatul aisiyah

Nailatin Asyifa

Septy kartikasari

Trully eko s

Wisnu aditama

PRODI SI KEPERAWATAN

STIKES MUHAMMADIYAH LAMONGAN

TAHUN AJARAN 2013/2014

KATA PENGANTAR

وبركاته ورحمةالله عليكم السالم

Puji syukur kehadirat Allah Maha Rahman, atas segala rahmat dan karunia-

Nya, sehingga kami dapat menyusun makalah ini.

Sholawatulloh wassalamuhu semoga abadi tak henti tercurah kehadirat

baginda al-musthofa yang telah mengantarkan kita pada zaman yang lebih baik.

Makalah yang berjudul“Askep Labiopalatoskizis ”ini di susun berdasarkan

tugas yang diberikan dosen pembimbing mata kuliah Sistem Pencernaan 3 pada

program studi S1-Keperawatan di STIKES Muhammadiyah Lamongan. Dengan

harapan mahasiswanya memiliki pengetahuan dan ketrampilan, sebagai cara untuk

menambah wawasan dan membuka cakrawala berfikir agar tidak menjadi manusia

yang ketinggalan zaman.

Dan tidak lupa kami mengucapkan banyak terima kasih kepada :

Drs. H.Budi Utomo, Amd.Kep., M.Kes. selaku ketua STIKES

Arifal Aris, S.Kep., Ns, M.Mkes. selaku Ka. Prodi S1-Keperawatan

Suratmi, M.Kep selaku dosen pembimbing mata kuliah Sistem Pencernaan

Dan semua pihak yang menyisihkan waktunya membantu menyelesaikan

makalah ini, baik itu berupa bantuan moral maupun spiritual.

Segala kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan

sebagai evaluasi penyusunan makalah yang akan datang. Semoga makalah ini

bermanfaat bagi mahasiswa, dosen, dunia pendidikan kesehatan pada umumnya.

وبركاته ورحمةالله عليكم والسالم

Lamongan,mei 2013

Penyusun

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................. i

KATA PENGANTAR........................................................................................... ii

DAFTAR ISI......................................................................................................... iii

BAB I : PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang...............................................................................1

1.2. Rumusan Masalah..........................................................................2

1.3. Tujuan Penulisan............................................................................ 2

1.4. Metode Penulisan...........................................................................3

1.5. Sistematika Penulisan....................................................................3

1.6. Manfaat Penulisan..........................................................................3

BAB II : PEMBAHASAN

2.1. Definisi labiopalatoskizis...............................................................6

2.2. Etiologi labiopalatoskizis...............................................................6

2.3. ManifestasiKlinik labiopalatoskizis...............................................7

2.4. Patofisiologi labiopalatoskizis.......................................................7

2.5. Penatalaksanaan labiopalatoskizis.................................................8

2.7. Pathway labiopalatoskizis..............................................................9

BAB III : ASUHAN KEPERAWATAN

3.1. Pengkajian......................................................................................10

3.2. Diagnosa Keperawatan..................................................................13

3.3. Intervensi.......................................................................................15

BAB IV : PENUTUP

4.1. Kesimpulan....................................................................................19

4.2. Saran ............................................................................................21

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kelainan kongenital merupakan kelainan dalam pertumbuhan struktur  bayi

yang timbul sejak kehidupan hasiI konsepsi sel telur. Kelainan kongenital dapat

merupakan sebab penting terjadinya abortus, lahir mati atau kematian segera

setelah lahir. Kematian bayi dalam bulan-bulan pertama kehidupannya sering

diakibatkan oleh kelainan kongenital yang cukup berat, hal ini seakan-akan

merupakan suatu seleksi alam terhadap kelangsungan hidup bayi yang dilahirkan.

Bayi yang dilahirkan dengan kelainan kongenital besar, umumnya akan

dilahirkan sebagai bayi berat lahir rendah bahkan sering pula sebagai bayi kecil

untuk masa kehamilannya. Bayi berat lahir rendah dengan kelainan kongenital

berat, kira-kira 20% meninggal dalam minggu pertama kehidupannya.

Disamping pemeriksaan fisik, radiologik dan laboratorik untuk menegakkan

diagnose kelainan kongenital setelah bayi lahir, dikenal pula adanya diagnosisi

pre - ante natal kelainan kongenital dengan beberapa cara pemeriksaan tertentu

misalnya pemeriksaan ultrasonografi, pemeriksaan air ketuban dan darah janin.

Penyebab langsung kelainan kongenital sering kali sukar diketahui. Pertumbuhan

embrional dan fetaI dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti faktor genetik,

faktor lingkungan atau kedua faktor secara bersamaan.

Banyak kelainan kongenital yang tidak diketahui penyebabnya. Faktor janinnya

sendiri dan faktor lingkungan hidup janin diduga dapat menjadi faktor

penyebabnya. Masalah sosial, hipoksia, hipotermia, atau hipertermia diduga

dapat menjadi faktor penyebabnya. Seringkali penyebab kelainan kongenitai

tidak diketahui.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis mengambil rumusan masalah

sebagai berikut :

1. Apa definisi dari Labiopalatoskiziz?

2. Bagaimana etiologi labiopalatoskizis?

3. manifestasi klinik labiopalatoskizi

4. Bagaimana patofisiologi labiopalatoskizis?

5. Bagaimana penatalaksanaan labiopalatoskizis?

6. Bagaimana Pathway tumor abiopalatoskizis

7. Bagaimana cara memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan

abiopalatoskizis?

1.3. Tujuan Penulisan

1.3.1. Tujuan Umum :

Tujuan umum dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi

tugas pembuatan makalah mata kuliah Sistem Neurobehaviour serta

mempresentasikannya.

1.3.2. Tujuan Khusus :

Tujuan khusus penulisan makalah ini adalah :

1. Untuk memahami definisi dari labiopalatoskizis

2. Mengetahui etiologi labiopalatoskizis

3. Dapat mengetahui manifestasi klinik labiopalatoskizis

4. Memahami patofisiologi labiopalatoskizis

5. Mengetahui penatalaksanaan labiopalatoskizis

6. Mengetahui dan mampu memberikan asuhan keperawatan pada pasien

dengan labiopalatoskizis

1.4 Metode Penulisan

Makalah ini disusun dengan melakukan studi pustaka dari berbagai buku

referensi dan internet.

1.4. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dari makalah ini adalah BAB I PENDAHULUAN, terdiri

dari : latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, metode penulisan,

sistematika penulisan dan manfaat penulisan. BAB II PEMBAHASAN, dan BAB

III ASUHAN KEPERAWATAN, BAB IV PENUTUP terdiri dari kesimpulan

dan saran.

1.5. Manfaat Penulisan

1. Mengetahui penyebab dan proses perjalanan penyakit labiopalatoskizis

2. Mampu membuat asuhan keperawatan pada pasien dengan labiopalatoskizis

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Kelainan kongenital merupakan kelainan dalam pertumbuhan struktur bayi

yang timbul sejak kehidupan hasil konsepsi sel telur. Kelainan kongenital dapat

merupakan sebab penting terjadinya abortus, lahir mati atau kematian segera setelah

lahir. Kematian bayi dalam bulan-bulan pertama kehidupannya sering diakibatkan

oleh kelainan kongenital yang cukup berat, hal ini seakan-akan merupakan suatu

seleksi alami terhadap kelangsungan hidup bayi yang dilahirkan. Bayi yang

dilahirkan dengan kelainan kongenitaI besar, umumnya akan dilahirkan sebagai bayi

berat lahir rendah bahkan sering pula sebagai bayi kecil untuk masa kehamilannya.

Bayi berat lahir rendah dengan kelainan kongenital berat, kira-kira 20% meninggal

dalam minggu pertama kehidupannya. Disamping pemeriksaan fisik, radiologik dan

laboratorik untuk menegakkan diagnose kelainan kongenital setelah bayi lahir,

dikenal pula adanya diagnosisi pre/- ante natal kelainan kongenital dengan beberapa

cara pemeriksaan tertentu misalnya pemeriksaan ultrasonografi, pemeriksaan air

ketuban dan darah janin.

Kelainan kongenital pada bayi baru lahir dapat berupa satu jenis kelainan saja

atau dapat pula berupa beberapa kelainan kongenital secara bersamaan sebagai

kelainan kongenital multipel. Kadang-kadang suatu kelainan kongenital belum

ditemukan atau belum terlihat pada waktu bayi lahir, tetapi baru ditemukan beberapa

waktu setelah kelahiran bayi. Sebaliknya dengan kermajuan tehnologi kedokteran,

kadang- kadang suatu kelainan kongenital telah diketahui selama kehidupan fetus.

Bila ditemukan satu kelainan kongenital besar pada bayi baru lahir, perlu

kewaspadaan kemungkian adanya kelainan kongenital ditempat lain. Dikatakan

bahwa bila ditemukan dua atau lebih kelainan kongenital kecil, kemungkinan

ditetemukannya kelainan kongenital besar di tempat lain sebesar 15% sedangkan bila

ditemukan tiga atau lebih kelainan kongenital kecil, kemungkinan ditemukan

kelainan kongenital besar sebesar 90%.

2.2 Angka kejadian

Angka kejadian kelainan kongenital yang besar berkisar 15 per 1000 kelahiran

angka kejadian ini akan menjadi 4-5% biIa bayi diikuti terus sampai berumur 1 tahun.

Di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo (I975-1979), secara klinis ditemukan

angka kejadian kelainan kongenital sebanyak 225 bayi di antara 19.832 kelahiran

hidup atau sebesar 11,6I per 1000 kelahiran hidup, sedangkan di Rumah Sakit Dr.

Pirngadi, Medan (1977-1980) sebesar 48 bayi (0,33%) di antara 14.504 kelahiran

bayi dan di Rumah Sakit Universitas Gadjah Mada (1974-1979) sebesar 1.64dari

4625 kelahiran bayi. Angka kejadian dan jenis kelainan kongenital dapat berbeda-

beda untuk berbagai ras dan suku bangsa, begitu pula dapat tergantung pada cara

perhitungan besar keciInya kelainan kongenital.

2.3 Etiologi

Penyebab langsung kelainan kongenital sering kali sukar diketahui.

Pertumbuhan embryonal dan fetal dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti faktor

genetik, faktor lingkungan atau kedua faktor secara bersamaan.

Beberapa faktor etiologi yang diduga dapat mempengaruhi terjadinya kelainan

kongenital antara lain:

1) Kelainan Genetik dan Khromosom.

Kelainan genetik pada ayah atau ibu kemungkinan besar akan berpengaruh atas

kelainan kongenital pada anaknya. Di antara kelainan-kelainan ini ada yang

mengikuti hukum Mendel biasa, tetapi dapat pula diwarisi oleh bayi yang

bersangkutan sebagai unsur dominan ("dominant traits") atau kadang-kadang sebagai

unsur resesif. Penyelidikan daIam hal ini sering sukar, tetapi adanya kelainan

kongenital yang sama dalam satu keturunan dapat membantu langkah-langkah

selanjutya.

Dengan adanya kemajuan dafam bidang teknologi kedokteran, maka telah dapat

diperiksa kemungkinan adanya kelainan kromosom selama kehidupan fetal serta telah

dapat dipertimbangkan tindakan-tindakan selanjutnya. Beberapa contoh kelainan

khromosom autosomai trisomi 21 sebagai sindroma Down (mongolism) kelainan

pada kromosom kelamin sebagai sindroma Turner.

2) Faktor mekanik

Tekanan mekanik pada janin selama kehidupan intrauterin dapat menyebabkan

kelainan bentuk organ tubuh hingga menimbulkan deformitas organ tersebut. Faktor

predisposisi dalam pertumbuhan organ itu sendiri akan mempermudah terjadinya

deformitas suatu organ. Sebagai contoh deformitas organ tubuh ialah kelainan talipes

pada kaki seperti talipes varus, talipes valgus, talipes equinus dan talipes equinovarus

(clubfoot)

3) Faktor infeksi.

Infeksi yang dapat menimbulkan kelainan kongenital ialah infeksi yang terjadi

pada periode organogenesis yakni dalam trimester pertama kehamilan. Adanya

infeksi tertentu dalam periode organogenesis ini dapat menimbulkan gangguan dalam

pertumbuhan suatu organ rubuh. Infeksi pada trimesrer pertama di samping dapat

menimbulkan kelainan kongenital dapat pula meningkatkan kemungkinan terjadinya

abortus. Sebagai contoh infeksi virus pada trimester pertama ialah infeksi oleb virus

Rubella. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang menderita infeksi Rubella pada trimester

pertama dapat menderita kelainan kongenital pada mata sebagai katarak, kelainan

pada sistem pendengaran sebagai tuli dan ditemukannya kelainan jantung bawaan.

Beberapa infeksi lain pada trimester pertama yang dapat menimbulkan kelainan

kongenital antara lain ialah infeksi virus sitomegalovirus, infeksi toksoplasmosis,

kelainan-kelainan kongenital yang mungkin dijumpai ialah adanya gangguan

pertumbuhan pada system saraf pusat seperti hidrosefalus, mikrosefalus, atau

mikroftalmia.

4) Faktor Obat

Beberapa jenis obat tertentu yang diminum wanita hamil pada trimester pertama

kehamilan diduga sangat erat hubungannya dengan terjadinya kelainan kongenital

pada bayinya. Salah satu jenis obat yang telah diketahui dapat menimbulkan kelainan

kongenital ialah thalidomide yang dapat mengakibatkan terjadinya fokomelia atau

mikromelia. Beberapa jenis jamu-jamuan yang diminum wanita hamil muda dengan

tujuan yang kurang baik diduga erat pula hubungannya dengan terjadinya kelainan

kongenital, walaupun hal ini secara laboratorik belum banyak diketahui secara pasti.

Sebaiknya selama kehamilan, khususnya trimester pertama, dihindari pemakaian

obat-obatan yang tidak perlu sama sekali; walaupun hal ini kadang-kadang sukar

dihindari karena calon ibu memang terpaksa harus minum obat. Hal ini misalnya pada

pemakaian trankuilaiser untuk penyakit tertentu, pemakaian sitostatik atau prepaat

hormon yang tidak dapat dihindarkan; keadaan ini perlu dipertimbangkan sebaik-

baiknya sebelum kehamilan dan akibatnya terhadap bayi.

5) Faktor umur ibu

Semakin tua usia ubu semakin beresiko terjadinya kelainan bawaan. Telah

diketahui bahwa mongolisme lebih sering ditemukan pada bayi-bayi yang dilahirkan

oleh ibu yang mendekati masa menopause. Di bangsal bayi baru lahir Rumah Sakit

Dr Cipto Mangunkusumo pada tahun 1975-1979, secara klinis ditemukan angka

kejadian mongolisme 1,08 per 100 kelahiran hidup dan ditemukan resiko relatif

sebesar 26,93 untuk kelompok ibu berumur 35 tahun atau lebih; angka keadaan yang

ditemukan ialah 1: 5500 untuk kelompok ibu berumur < 35 tahun, 1: 600 untuk

kelompok ibu berumur 35-39 tahun, 1 : 75 untuk kelompok ibu berumur 40 - 44

tahun dan 1 : 15 untuk kelompok ibu berumur 45 tahun atau lebih.

6) Faktor hormonal

Faktor hormonal diduga mempunyai hubungan pula dengan kejadian kelainan

kongenital. Bayi yang dilahirkan oleh ibu hipotiroidisme atau ibu penderita diabetes

mellitus kemungkinan untuk mengalami gangguan pertumbuhan lebih besar bila

dibandingkan dengan bayi yang normal.

7) Faktor radiasi

Radiasi ada permulaan kehamiIan mungkin sekali akan dapat menimbulkan

kelainan kongenital pada janin. Adanya riwayat radiasi yang cukup besar pada orang

tua dikhawatirkan akan dapat mengakibatkan mutasi pada gene yang mungkin sekali

dapat menyebabkan kelainan kongenital pada bayi yang dilahirkannya. Radiasi untuk

keperluan diagnostik atau terapeutis sebaiknya dihindarkan dalam masa kehamilan,

khususnya pada hamil muda.

8) Faktor gizi

Pada binatang percobaan, kekurangan gizi berat dalam masa kehamilan dapat

menimbulkan kelainan kongenital. Pada manusia, pada penyelidikan-penyelidikan

menunjukkan bahwa frekuensi kelainan kongenital pada bayi-bayi yang dilahirkan

oleh ibu yang kekurangan makanan lebih tinggi bila dibandingkan dengan bayi-bayi

yang lahir dari ibu yang baik gizinya. Pada binatang percobaan, adanya defisiensi

protein, vitamin A ribofIavin, folic acid, thiamin dan lain-Iain dapat menaikkan

kejadian &elainan kongenital.

2.4 Macam-Macan kelainan konginetal :

1. Labio/ Palato Skizis

a) Definisi

Labioskizis / Palatoskisis adalah merupakan konginetal anomali yang

berupa adanya kelainan bentuk pada struktur wajah.

Celah bibir (Bibir sumbing) adalah suatu ketidaksempurnaan pada

penyambungan bibir bagian atas, yang biasanya berlokasi tepat dibawah

hidung.

Celah langit-langit adalah suatu saluran abnormal yang melewati langit-

langit mulut dan menuju ke saluran udara di hidung.

b) Patofisiologi

Kegagalan penyatuan atau perkembangan jaringan lunak dan atau

tulang selama fase embrio pada trimester pertama.

Kegagalan bibir sumbing adalah terbelahnya / bibir dan atau hidung

karena kegagalan proses nasal medial dan maksilaris untuk menyatu

selama masa kehamilan 6 – 8 minggu.

Palato Skisis adalah adanya celah pada garis tengah palato yang

disebabkan oleh kegagalan penyatuan susunan palato pada masa

kehamilan 7 – 12 minggu.

Penggabungan komplit garis tengah atau bibir antara 7 dan 8 minggu

masa kehamilan.

c) Manifestasi Klinis

Pada labio skisis

1. Distorsi pada hidung

2. Tampak sebagian atau keduanya

3. Adanya celah pada bibir

Pada palato skisis

1. Tampak ada celah pada tekak (uvula)

2. Adanya rongga pada hidung

3. Distorsi hidung

4. Teraba ada celah / terbakarnya langit-langit saat diperiksa

dengan jari.

5. Kesukaran dalam menghisap atau makan

d) Penatalaksanaan

1. Penatalaksanaan tergantung pada beratnya kecacatan.

2. Prioritas pertama adalah pada teknik pemberian nutrisi yang adekuat.

3. Mencegah komplikasi

4. Fasilitas pertumbuhan dan perkembangan

5. Pembedahan : pada labio sebelum kecacatan palato : perbaikan dengan

pembedahan usia 2 – 3 hari atau sampai usia beberapa minggu

prosthesis intra oral atau ekstraoral untuk mencegah kolaps maxilaris,

merangsang pertumbuhan tulang, dan membantu dalam

perkembangan bicara dan makan, dapat dilakukan sebelum

pembedahan perbaikan.

6. Pembedahan pada palato dilakukan pada waktu 6 bulan dan 5 tahun,

ada juga antara 6 bulan dan 2 tahun, tergantung pada derajat kecacatan.

Awal fasilitas penutupan adalah untuk perkembangan bicara.

2. Omphalokel dan Gastroskizis

a. Definisi

secara bahasa berasal dari bahasa yunani omphalos yang berarti

umbilicus=tali pusat dan cele yang berarti bentuk hernia. Omphalokel

diartikan sebagai suatu defek sentral dinding abdomen pada daerah cincin

umbilikus (umbilical ring)  atau cincin tali pusar sehingga terdapat herniasi

organ-organ abdomen dari cavum abdomen namun masih dilapiasi oleh

suatu kantong atau selaput. Omphalocele juga dapat diartikan sebagai

kantong bening tidak berpembuluh darah yang terdiri dari lapisan

peritoneum dan lapisan amnion pada pangkal tali pusat. Jadi, omfalokel

adalah penonjolan dari usus atau isi perut lainnya melalui akar pusar yang

hanya dilapisi oleh peritoneum (selaput perut) dan tidak dilapisi oleh kulit.

Gastroskisis adalah keluarnya usus dari titik terlemah di kanan

umbilikus dimana usus akan berada di luar rongga perut tanpa dibungkus

peritoneum dan amnion. Jadi Gastroskisis adalah bentuk amfolokel yang

mengalami ruptur.

b. Patofisiologi

Pada janin usia 5 - 6 minggu isi abdomen terletak di luar embrio. Pada

usia 10 minggu akan terjadi pengembangan lumen abdomen sehingga usus

dari ekstraperitonium akan masuk ke rongga perut. Bila proses ini

terhambat, maka akan terjadi kantong di pangkal umbilikus yang berisi

usus, lambung, dan kadang hati. Dinding yang tipis, terdiri dari lapisan

peritoneum dan lapisan amnion yang keduanya kering sehingga isi kantong

tampak dari luar, keadaan ini disebut omfalokel. Bila usus keluar dari titik

terlemah di kanan umbilikus, usus akan berada di luar rongga perut tanpa

dibungkus peritorium dan amnion, keadaan ini disebut gastroskisis.

c. Manifestasi Klinis

ketebalan dinding perut yang lokasinya biasanya di sebelah kanan

umbilikus.

Usus yang keluar dari lubang abdomen memperlihatkan tanda-tanda

peritonitis kimia sebagai akibat pengeluaran cairan amnion.

Usus menjadi tebal, pendek dan kaku dengan edema yang jelas di

dinding usus.

Peristaltis tidak ada.

kadang-kadan terjadi iskemik karena puntiran kelainan fascia.

Usus tampak pendek.

rongga abdomen janin menjadi sempit.

Pada anak memperlihatkan gambaran udara sebagai hasil dilatasi

perut dan usus kecil bagian proksimal, isi intra abdominal normal

jelas terlihat dengan kelainan, yang mana herniasi terjadi pada periode

post natal.

d. Penatalaksanaan

Pemasangan sonde lambung dan pengisapan yang kontinu untuk

mencegah distensi usus-usus yang mempersulit pembedahan.

Pemberian cairan dan elektrolit/kalori intervena.

Antibiotika dengan spektrum luas secara intravena dan pra bedah.

Suhu dipertahankan secara baik.

Pencegahan kontaminasi usus-usus dengan menutup kasa steril

lembab dengan cairan NaCl steril.

Tindakan bedah.

3. Atresia esofagus

a. Definisi

Atresia esofagus termasuk kelompok kelainan kongenital yang terdiri

atas gangguan kontinuitas esofagus dengan atau tanpa hubungan persisten

dengan trakea. Pada penyakit ini, terdapat suatu keadaan dimana bagian

proksimal dan distal esofagus tidak berhubungan. Pada bagian atas esofagus

mengalami dilatasi yang kemudian berakhir sebagai kantung dengan dinding

muskuler yang mengalami hipertrofi yang khas memanjang sampai pada

tingkat vertebra torakal segmen 2-4. Bagian distal esofagus merupakan bagian

yang mengalami atresia dengan diameter yang kecil dan dinding muskuler

yang tipis. Bagian ini meluas sampai bagian atas diafragma).

b. Patofisiologi

Beberapa teori menjelaskan bahwa masalah pada kelainan ini terletak

pada proses perkembangan esophagus. Trakea dan esophagus berasal dari

embrio yang sama. Selama minggu keempat kehamilan, bagian mesodermal

lateral pada esophagus proksimal berkembang. Pembelahan galur ini pada

bagian tengah memisahkan esophagus dari trakea pada hari ke- 26 masa

gestasi.

Kelainan notochord, disinkronisasi mesenkim esophagus dan laju

pertumbuhan epitel, keterlibatan sel neural, serta pemisahan yang tidak

sempurna dari septum trakeosofageal dihasilkan dari gangguan proses

apoptosis yang merupakan salah satu teori penyebab embryogenesis atresia

esophagus. Sebagai tambahan bahwa insufisiensi vaskuler, faktor genetik,

defisiensi vitamin, obat-obatan dan penggunaan alkohol serta paparan virus

dan bahan kimia juga berkontribusi pada perkembangan atresia esophagus.

Berdasarkan pada teori-teori tersebut, beberapa fektor muncul

menginduksi laju dan waktu pertumbuhan dan froliferasi sel pada proses

embrionik sebelumnya. Kejadian ini biasa terjadi sebelum 34 hari masa

gestasi. Organ lainnya seperti traktus intestinal, jantung, ginjal, ureter dan

sistem masculoskeletal, juga berkembang pada waktu ini, dan organ-organ

tersebut tidak berkembang secara teratur dengan baik.

c. Manifestasi Klinis

Secara umum atresia esofagus harus dicurigai pada pasien dengan :

kateter yang digunakan untuk resusitasi pada waktu lahir tidak bisa

dimasukkan ke dalam lambung,

bayi mengeluarkan sekresi mulut yang berlebihan,

tersendak, sionosis, atau batu pada waktu berupaya menelan makanan.

d. Penatalaksanaan

Pada prabedah, pasien ditengkurapakan untuk mengurangi kemungkinan

isi lambung masuk ke paru-paru,

Kantong esofagus harus secara teratur dikosongkan dengan pompa untuk

mencegah aspirasi sekret.

pengendalian suhu, fungsi respirasi, dan pengelolaan anomaly penyerta.

Foto thoraks dapat mengevaluasi abnormalitas skeletal, malformasi

kordiovaskular, pneumonia dan lengkung aorta kanan. Foto abdomen

bertujuan mengevaluasi abnormalitas skeletal, obstruksi intestinal dan

malrotasi. Foto thoraks dan abdomen biasanya sudah mencukupi,

penggunaan kontraks tidak terlaku sering dibutuhkan untuk

mengevaluasi atresia esofagus.

Pembedahan.

4. Atresia Ani

a. Definisi

Atresia berasal dari bahasa Yunani, a artinya tidak ada, trepis artinya

nutrisi atau makanan. Dalam istilah kedokteran atresia itu sendiri adalah

keadaan tidak adanya atau tertutupnya lubang badan normal atau organ

tubular secara kongenital disebut juga clausura. Dengan kata lain tidak

adanya lubang di tempat yang seharusnya berlubang atau buntunya saluran

atau rongga tubuh, hal ini bisa terjadi karena bawaan sejak lahir atau terjadi

kemudian karena proses penyakit yang mengenai saluran itu. Atresia dapat

terjadi pada seluruh saluran tubuh, misalnya atresia ani. Atresia ani yaitu

tidak berlubangnya dubur. Atresia ani memiliki nama lain yaitu anus

imperforata. Jika atresia terjadi maka hampir selalu memerlukan tindakan

operasi untuk membuat saluran seperti keadaan normalnya.

b. Patofisiologi

Gangguan organogenesis dalam kandungan penyebab atresia ani, karena

ada kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu

atau tiga bulan

Kelainan ini terjadi karena kegagalan pembentukan septum urorektal secara

komplit karena gangguan pertumbuhan, fusi atau pembentukan anus dari

tonjolan embrionik

Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur, sehingga bayi

lahir tanpa lubang dubur.

c. Manifestasi klinis

Mekonium tidak keluar dalam 24 jam pertama setelah kelahiran.

Tidak dapat dilakukan pengukuran suhu rectal pada bayi.

Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang salah letaknya.

Distensi bertahap dan adanya tanda-tanda obstruksi usus (bila tidak ada

fistula).

Bayi muntah-muntah pada umur 24-48 jam.

Pada pemeriksaan rectal touché terdapat adanya membran anal.

Perut kembung. (Betz. Ed 7. 2002)

d. Penatalaksanaan

Terapi pembedahan pada bayi baru lahir bervariasi sesuai dengan keparahan

kelainan. Semakin tinggi gangguan, semakin rumit prosedur pengobatannya.

Untuk kelainan dilakukan kolostomi beberapa lahir, kemudian anoplasti

perineal yaitu dibuat anus permanen (prosedur penarikan perineum abnormal)

dilakukan pada bayi berusia 12 bulan. Pembedahan ini dilakukan pada usia 12

bulan dimaksudkan untuk memberi waktu pada pelvis untuk membesar dan

pada otot-otot untuk berkembang. Tindakan ini juga memungkinkan bayi

untuk menambah berat badan dan bertambah baik status nutrisnya. Gangguan

ringan diatas dengan menarik kantong rectal melalui afingter sampai lubang

pada kulit anal fistula, bila ada harus tutup kelainan membranosa hanya

memerlukan tindakan pembedahan yang minimal membran tersebut dilubangi

degan hemostratau skapel.

SKEMA PATOFISIOLOGI

Penumpukan sekret

Terbelahnya palatum

Ketidaksempurnaan pembentrukan rongga hidung

Bersihan jalan nafas tidak

efektif

Bersihan jalan nafas tidak

efektifNutrisi kurang dari kebutuhanNutrisi kurang dari kebutuhan

Kegagalan menghisap ASI

Kemampuan menghisap lemah

Terbelahnya bibir

Kegagalan penyatuan prosessus Nasal Medial

dan maksilaris

Lobioskizis

Kegagalan perkembangan jaringan lunak dan tulang pada trimester 1

Infeksi(rubella, etyomegali virus, toxcoplasma)

Predisposisi(genetic, hormonal,

factor obat)

Palatoskizis

Ansietas

Resiko infeksiResiko infeksi

Pada hidung Pembedahan

Pada bibir

Kegagalan penyatuan susunan palato

Kurang pengetahuan

Kurang pengetahuan

ASUHAN KEPERAWATAN

1. PENGKAJIAN

1. Biodata

Dijumpai pada bayi baru lahir / bulan / tahun, lingkungan tempat tinggal

orang tua dekat dengan bahan toksik (periode fusi kedua). Rasio bayi laki-

laki dan perempuan 6 : 4.

2. Keluhan Untama

Ibu pasien mengatakan Pasien mengalami tersedak berulang kali

3. Riwayat kesehatan

1) Prenatal

Adanya satu atau lebih faktor predisposisi terjadinya labio /

palatoskisis antara lain toksisitas selama kehamilan, misal : rubella,

pecandu alkohol, terapi fenitoin, genetik, minimum obat / jamu, upaya.

2) Post Natal

Kondisi labio / palatoskisis adanya riwayat kesulitan dalam proses

manipulasi meneteki, mudah tersedak, distress pernafasan, dipsnea.

4. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan TTV

(1) Suhu : Demam tinggi

(2) Nadi : Takikardi

(3) TD : Meningkat

(4) RR: Meningkat

Pemeriksaan Head to Toe

(1) Kepala, leher : Rambut tipis, menkilat, tipis, wajah tampak

pucat.

(2) Mata : sklera mata putih, konjungtiva merah muda,

(3) Telinga: bersih.

(4) Hidung : adanya celah, penumpukan sekret.

(5) Mulut : adanya celah,

(6) Paru-paru

Inspeksi: terdapat tarikan intercostae,simetris,takhipnea

Palpasi : tidak ada krepitasi

Perkusi: Suara paru sonor pada semua lapang paru

Auskultasi: suara nafas vesikuler

(7) Jantung

Inspeksi: tidak ada pembesaran

Palpasi : teraba ictus kordis

Perkusi: bunyi jantung pekak

Auskultasi : irama gallop,murmur

(8) Abdomen :

Inspeksi: bulat datar

Auskultasi: bising usus 35 x/ menit

Palpasi : hepar dan lien tak teraba

Perkusi: suara perut timpani

(9) Ekstrimitas : jumlah jari 10

5. Pemeriksaan penunjang Rontgen

Sonde

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh atau tidak efektif dalam mendeteksi

ASI berhubungan dengan ketidakmampuan menelan / kesukaran dalam

makan sekunder dan kecacatan dan pembedahan.

2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan ketidakmampuan

mengeluarkan sekresi sekunder dan palato skisis, efek anastesi.

3. Resiko Infeksi berhubungan dengan insisi pembedahan

4. Kurangnya pengetahuan keluarga berhubungan dengan tehnik pemberian

makan dan perawatan di rumah

3. PERENCANAAN

Dx 1:

nutrisi kurang dari kebutuhan atau tidak efektif dalam meneteki ASI berhubungan

dengan ketidakmampuan menelan

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan …x 24 jam nutrisi yang adekuat dapat

dipertahankan.

Kriteria hasil :

- Orang Tua klien mampu mengetahui dalam memenuhi kebutuhan

nutrisi anaknya.

- Orang tua pasien mengatakan bahwa ada peningkatan untuk

memenuhi kebutuhan nutrisi.

- Pasien dapat menghabiskan susu yang diberikan

- Adanya peningkatan berat badan

INTERVENSI RASIONAL

1. Kaji kemampuan menelan dan

menghisap

mengidentifikasi makanan yang masuk

adekuat.

2. Gunakan dot botol yang lunak dan

besar atau dot khusus dengan lubang

yang sesuai untuk pemberian

minuman.

menurunkan resiko cidera pada area

mukosa palato skisis

3. Tempatkan dot pada samping bibir

mulut bayi dan usahakan lidah

mendorong makan / minuman ke

dalam

.

memberi kemudahan pemasukan nutrisi

adekuat untuk memenuhi kebutuhan

metabolic

4. Berikan posisi tegak lurus atau semi

duduk selama makan.

membantu mempermudah jalannya

makanan masuk ke dalam saluran

pencernaan

5. Tepuk punggung bayi setiap 15 ml

minuman yang diminum, tetapi

jangan diangkat dot selama bayi

masih menghisap

membantu memfokuskan jalannya

makanan ke dalam saluran pencernaan.

6. Berikan makan pada anak sesuai

dengan jadwal dan kebutuhan

makanan yang masuk disesuaikan

dengan kebutuhan tubuh.

7. Jelaskan pada orang tua tentang

prosedur operasi; puasa 6 jam;

pemberian infus dan lainnya.

memberikan pengetahuan dasar untuk

membuat pilihan berdasarkan informasi

tentang pembedahan.

8. Prosedur perawatan setelah operasi,

rangsangan untuk menelan atau

menghisap, dapat menggunakan jari-

jari dengan cuci tangan yang bersih

atau dot sekitar mulut 7 – 10 hari;

bila sudah toleran berikan minuman

pada bayi dan minuman atau

makanan lunak untuk anak sesuai

dengan diitnya.

mengoptimalkan pengobatan tepat untuk

penyembuhan.

Dx 2:

Bersihkan jalan nafas tak efektif berhubungan dengan jadwal kebutuhan

mengeluarkan sekresi sekunder dari plato skisis.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan ...x 24 jam jalan nafas efektif.

Kriteria hasil :

- RR : 40-60 x/mnt

- Orang tua pasien mengetahui cara mengurangi resiko infeksi pasca

pembedahan

- Orang tua pasien mampu mendemonstrasikan cara mengurangi infeksi

- Tidak ada tanda-tanda infeksi

INTERVENSI RASIONAL

1. Kaji status pernafasan selama

pemberian makanan

berguna dalam evaluasi derajat kesulitan

kemampuan menelan menghisap

2. Gunakan dot agak besar, rangsang

hisap dengan sentuhan dot pada bibir

mengontrol nutrisi yang masuk adekuat

3. Perhatikan posisi bayi pada saat

memberi makanan; tegak atau

setengah duduk.

membantu penelanan dan penurunan

resiko aspirasi

4. Beri makan secara perlahan mencegah resiko tersedak dan infeksi

5. Lakukan penepukan punggung

setelah pemberian minum

meningkatkan proses penyembuhan dan

menurunkan resiko infeksi.

6. Rubah posisi sesuai kebutuhan atau 2

jam sekali setelah pembedahan untuk

memudahkan drainage

peninggian kepala mempermudah fungsi

pernafasan

7. Lakukan isap lendir bila perlu menurunkan ketidaknyamanan

sehubungan dengan pengumpulan lendir

8. Bersihkan mulut setelah minum /

makan

menghilangkan partikel makanan dan

menurunkan resiko infeksi

DX 3:

Resiko Infeksi berhubungan dengan insisi pembedahan

Tujuan : Setelah di lakukan tindakan ...x 24 jam klien tidak menunjukkan tanda-tanda

infeksi sesudah operasi

Kriteria hasil :

1. Tidak ada tanda-tanda infeksi

2. Luka tampak bersih, kering

3. Tidak oedema

INTERVENSI RASIONAL

1. Kaji tanda-tanda infeksi, termasuk

drainage, bau dan demam

identifikasi dini dan pengobatan infeksi

dapat mencegah komplikasi lebih serius

2. Lakukan perawatan luka dengan hati-

hati dengan menggunakan tehni

steril

menurunkan resiko infeksi

3. Perhatikan posisi jahitan, hindari

jangan kontak dengan alat-alat tidak

steril misalnya alat tenun dan

lainnya.

meningkatkan penyembuhan dan

menurunkan resiko infeksi dengan

mempertahankan garis jahitan bersih

dan utuh.

4. Monitor keutuhan jahitan kulit mengontrol perkembangan kesembuhan

5. Hindari gosok gigi pada anak kira-

kira 1 – 2 minggu.

melindungi jaringan mulut dari cedera.

6. Perhatikan perdarahan, edema, dan

drainage

kondisi vaskuler jaringan meningkatkan

resiko perdarahan

DX 4: Kurangnya pengetahuan keluarga berhubungan dengan tehnik pemberian

makan dan perawatan di rumah

Tujuan : orang tua dapat memahami metode pemberian makan pada

anak.

Krieria hasil :

- Orang tua mengetahui cara pemberian makanan dirumah

- Orang tua pasien mengatakan bisa memberi nutrisi sesuai anjuran

- Orang tua dapat mampu mendemonstrasikan cara peberian

makanan dirumah

- Berat badan meningkat

Intervensi Rasional

1. Jelaskan prosedur operasi sebelum dan

sesudah operasi.

memberikan pengetahuan dasar

untuk membuat pilihan

berdasarkan informasi tentang

perawatan selanjutnya dan

hasil.

2. Ajarkan pada orang tua dalam perawatan

anak; cara pemberian makan / minum

dengan alat, mencegah infeksi, dan

mencegah aspirasi, pada posisi saat

pemberian makan / minum, lakukan

penepukan punggung, bersihkan mulut

setelah makan.

membantu dalam

penyembuhan dan menurunkan

resiko infeksi

BAB III

PENUTUP

4.1. Kesimpulan

Labioskizis / Palatoskisis adalah merupakan konginetal anomali yang

berupa adanya kelainan bentuk pada struktur wajah. Patofisiologi Kegagalan

penyatuan atau perkembangan jaringan lunak dan atau tulang selama fase

embrio pada trimester pertama. Kegagalan bibir sumbing adalah terbelahnya /

bibir dan atau hidung karena kegagalan proses nasal medial dan maksilaris

untuk menyatu selama masa kehamilan 6 – 8 minggu. Pada Palato Skisis

kegagalan penyatuan palatum pada masa kehamilan 7 – 12 minggu.

Penggabungan keduanya 7 dan 8 minggu masa kehamilan. Manifestasi Klinis

Pada labio skisis :Distorsi pada hidung, Tampak sebagian atau keduanya,

Adanya celah pada bibir. Pada palato skisis :Tampak ada celah pada tekak

(uvula), Adanya rongga pada hidung, Distorsi hidung, Teraba ada celah /

terbakarnya langit-langit saat diperiksa dengan jari, Kesukaran dalam

menghisap atau makan

Penatalaksanaan : Penatalaksanaan tergantung pada beratnya

kecacatan. Prioritas pertama adalah pada teknik pemberian nutrisi yang

adekuat, Mencegah komplikasi, Fasilitas pertumbuhan dan perkembangan,

Pembedahan

4.2. Saran

Kepada seluruh pembaca baik mahasiswa, dosen pembimbing, tenaga

kesehatan, masyarakat, maupun instansi kesehatan untuk melakukan pencapaian

kualitas keperawatan secara optimal sebaiknya proses keperawatan selalu

dilaksanakan secara berkesinambungan karena perawatan tidak kalah pentingnya

dengan pengobatan karena bagaimanapun teraturnya pengobatan tanpa perawatan

yang sempurna maka penyembuhan yang diharapkan tidak tercapai. Oleh sebab

itu perlu adanya penjelasan atau promosi kesehatan pada seluruh lapisan

masyarakat mengenai manfaat serta pentingnya kesehatan terutama pada

pembahasan materi ini yaitu penyakit Labiopalatoskizis serta perawatannya.

DAFTAR PUSTAKA

Yuliani, Rita, Suriadi, (2001), Asuhan Keperawatan pada Anak Edisi I, Jakarta : CV.

Sagung Seto.

Ngastiyah (1997), Perawatan Anak Sakit, Jakarta : EGC.

Adele Pilliteri, Perawatan Kesehatan Ibu dan Anak, EGC, Jakarta.

Cecily L. Betz. Linda, Linda A. Sowden, Buku Saku Keperawatan Pediatri, EGC,

Kedokteran : Jakarta, 2002.

Nelson, Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15, 2000, EGC : Jakarta.s