patafisiologis dermatitis
DESCRIPTION
penyakit kulitTRANSCRIPT
Patafisiologis Dermatitis
Fase sensitisasi adalah fase dimana terjadinya kontak pertama kali antara alergen dengan
kulit yang selanjutnya alergen tersebut akan dikenal dan direspon oleh limfosit T atau fase ketika
sel T naive dirubah menjadi sel T efektor atau sel T memori spesifik antigen. Alergen pada
umumnya merupakan bahan dengan berat molekul rendah (<500 dalton), larut dalam lemak dan
memiliki reaktivitas yang tinggi. Pada fase sensitisasi ini, alergen yang belum diproses atau yang
biasa disebut sebagai hapten akan dipaparkan ke stratum korneum dan selanjutnya akan
berpnetrasi ke alpisan bawah epidermis dan akhirnya ditangkap oleh sel langerhans kemudian
akan terjadi beberapa proses, seperti proses endositosis atau pinositosis, proses degradasi
nonlisosomal dari alergen atau proses terjadinya ikatan antara peptida antigen dnegan HLA-DR.
Paparan dari alergen ini dapat menurunkan jumlah sel langerhans pada epidermis sebanyak
kurang lebih 50% yang disebabkan karena sel langerhans tersebut beremigrasi dari epidermis. Di
dalam sel, hapten akan berikatan dengan enzim sitosolik dan selanjutnya menjadi antigen
lengkap yang akan diekspresikan pada permukaan sel langerhans imatur yang juga dapat
berfungsi sebagai makrofag walaupun masih memiliki kemampua terbatas untuk menstimulasi
limfosit T. Tahap berikutnya adalah presentasi HLA-DR pada limfosit T helper yang akan
mengekresikan molekul CD4, dimana pada fase ini sel langerhans harus berinteraksi dengan sel
T CD4 dengan reseptor khusus untuk antigen kelas II dan alergen. Pengenalan antigen yang telah
diproses dalam sel langerhans oleh limfosit T terjadi melalui kompleks reseptor limfosit T CD3
dan dapat juga dipresentasikan oleh MHC klas 1 yang akan dikenali oleh CD8. Selannjutnya
limfossit T yang telah tersensitisasi akan bermigrasi ke daerah parakortikal kelenjar getah bening
regional untuk berdiferensiasi dan berproliferasi membentuk sel T efektor yang tersensitisasi
secara spesifik dan membentuk sel memori. Sebagian akan kembali ke kulit dan ke sistem
limfoid tersebar ke seluruh tubuh dan menyebabkan keadaan sensitivitas yang sama di seluruh
kulit tubuh.
Selanjutnya dilanjutkan dengan fase elisitasi , fase ini melibatkan beberapa substansi,
seperti sitokin, histamin, serotonin, dan prostaglandin. Selain itu beberapa neuropeptida juga
terlibat seperti calcitonin related peptidae dan alpha melanocyte stimulating hormon yang dapat
menurunkan regulasi dari fase elisitasi ini yang kemungkinan disebabkan karena adanya
pengaruh dari sel penyaji antigen. Fase elisitasi terjadi pada saat terjadi kontak ulang antara kulit
dengan hapten yang sama atau serupa. Hapten akan ditangkap dan kemudian akan
dipresentasikan pada permukaan sel langerhans, satu – satunya sel epidermal yang
mengekspresikan antigen HLA-DR klas II pada permukaannya. Selanjutnya sel langerhans akan
mengeluarkan sitokin, yaitu interleukin-1 yang akan menstimulasi limfosit T untuk
menghasilkan interleukin-2 dan mengekspresikan reseptor interleukin-2 yang akan menyebabkan
proliferasi dan ekspansi populasi limfosit T pada kulit. Limfosit T teraktifasi akan mensekresikan
IFN gamma yang akan mengaktifkan keratinosit untuk mengekspresikan intercellular adhesion
molecule I (ICAM-I) dan Histocompatability Locus A (HLA)-DR. Sitokin tidak hanya
diproduksi oleh sel langerhans dan limfosit T, tetapi dapat juga diproduksi oleh sel keratinosit,
sel mast dan makrofag yang terlibat patogenesis dermatitis kontak alergi ini. Sitokin mempunyai
peranan penting pada molekul-molekul adhesi yang mengatur jalur sel langerhans, sel T dan sel-
sel inflamasi lainnya di kulit. Selain itu, ekspresi dari molekul-molekul adhesi lain pada sel
langerhans dan sel T dapat mempengaruhi respon sel T terhadap alergen yang masuk. HLA-DR
pada keratinosit akan berinteraksi dengan limfosit T CD4 melalui molekul ICAM-1. Selain itu,
ekspresi HLA-DR dapat menyebabkan keratinosit menjadi target limfosit T. Keratinosit aktif
juga memproduksi berbagai sitokin lain, seperti IL-1, IL-6, dan GMSCF yang selanjutnya akan
mengaktifkan limfosit T. Selanjutnya IL-1 dapat menstimulasi keratinosit untuk memproduksi
eicosanoid yang akan menghasilkan sel mast dan makrofag. Histamin yang berasal dari sel mast
dan keratinosit serta infiltrasi lekosit menimbulkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas
terhadap berbagai sel dan faktor inflamasi yang terlarut. Jalur tersebut merupakan respon kulit
pada dermatitis kontak alergi yang meliputi inflamasi, destruksi selular dan proses perbaikan.
Beberapa teori mengungkapkan kemungkinan beberapa faktor yang bertanggungjawab dalam
proses migrasi sel T helper ke kulit, antara lain sitokin-sitokin kemotaktik yang secara lokal akan
bertindak pada keadaan – keadaan kulit tertentu, adanya peningkatan regulasi molekul-molekul
adherens pada kulit (pada endotelium pembuluh darah, sel stromal dan sel-sel epidermis) serta
sel langerhans pada epidermis yang berfungsi sebagai bantalan untuk antigen yang transit di
epidermis sebelum antigen tersebut ditranmisikan ke kelenjar getah bening yang akan membantu
sel T helper untuk berikatan dengan antigen pada kulit.
Dermatitis seboroik berhubungan erat dengan keaktifan glandula sebasea. Glandula
tersebut aktif pada bayi baru lahir, kemudian menjadi tidak aktif selama 9-12 tahun akibat
stimulasi hormon androgen dari ibu berhenti. Dermatitis seboroik pada bayi terjadi pada umur
bulan-bulan pertama, kemudian jarang pada usia sebelum akil balik dan insidensnya mencapai
puncaknya pada umur 18-40 tahun, kadang-kadang pada umur tua. Dermatitis seboroik lebih
sering terjadi pada pria daripada pada wanita. Meskipun kematangan kelenjar sebasea rupanya
merupakan faktor timbulnya D.S., tetapi tidak ada hubungan langsung secara kuantitatif antara
keaktifan tersebut dengan suseptibilitas untuk memperoleh D.S pada orang yang telah
mempunyai faktor predisposisi, timbulnya D.S dapat disebabkan faktor kelelahan, stress,
emosional atau infeksi.
Penyebab Dermatitis Atopik (DA) belum diketahui, terdapat 2 teori yang menjelaskan
etiologi DA. Teori pertama menyatakan DA merupakan akibat defisiensi imunologik yang
didasarkan pada kadar Imunoglobulin E (Ig E) yang meningkat dan indikasi sel T yang berfungsi
kurang baik. Sedangkan teori kedua menyatakan adanya blokade reseptor beta adrenegik pada
kulit. Namun, kedua teori tersebut tidak adekuat untuk menjelaskan semua aspek penyakit DA
(Mulyono, 1986). Hal ini disebabkan karena penyakit ini sangat kompleks dan melibatkan
berbagai mekanisme, meliputi genetik, lingkungan, dan imunologi. Komponen genetik
berpengaruh secara kuat pada dermatitis atopic, sebagai contoh, apabila salah satu dari orang tua
memiliki kondisi atopik, kemungkinan anak memiliki kondisi atopik sebesar 60%, sedangkan
apabila dua orang tua memiliki kondisi atopik, kemungkinan anak memiliki kondisi atopik
sebesar 80%. Selain itu, diketahui juga bahwa riwayat atopik pada ayah akan lebih berpengaruh.
Kebanyakan pasien dengan dermatitis atopik mengalami peningkatan kadar serum eosinofil dan
IgE. Fakta tersebut mendukung kenyataan bahwa besar kemungkinan anak dengan dermatitis
atopik dapat mengalami rhinitis alergi atau asma. Nampak bahwa hampir setiap imunosit,
termasuk sel langerhans, monosit, makrofag, limfosit, selmast, dan keratinosit, menunjukkan
abnormalitas pada dermatitis atopik. Penyebab dermatitis atopik tidak diketahui dengan pasti,
diduga disebabkan oleh berbagai factor yang saling berkaitan (multifaktorial). Faktor intrinsik
berupa predisposisi genetik, kelainan fisiologi dan biokimia kulit, disfungsi imunologis, interaksi
psikosomatik dan disregulasi/ ketidakseimbangan sistem saraf otonom, sedangkan faktor
ekstrinsik meliputi bahan yang bersifat iritan dan kontaktan, allergen hirup, makanan,
mikroorganisme, perubahan temperatur, dan trauma.
Ehlers, A., Stangier, U., & Gieler, U. (1995). Treatment of atopic dermatitis: a comparison of psychological and dermatological approaches to relapse prevention. Journal of Consulting and Clinical Psychology, 63(4), 624.