patafisiologis dermatitis

6
Patafisiologis Dermatitis Fase sensitisasi adalah fase dimana terjadinya kontak pertama kali antara alergen dengan kulit yang selanjutnya alergen tersebut akan dikenal dan direspon oleh limfosit T atau fase ketika sel T naive dirubah menjadi sel T efektor atau sel T memori spesifik antigen. Alergen pada umumnya merupakan bahan dengan berat molekul rendah (<500 dalton), larut dalam lemak dan memiliki reaktivitas yang tinggi. Pada fase sensitisasi ini, alergen yang belum diproses atau yang biasa disebut sebagai hapten akan dipaparkan ke stratum korneum dan selanjutnya akan berpnetrasi ke alpisan bawah epidermis dan akhirnya ditangkap oleh sel langerhans kemudian akan terjadi beberapa proses, seperti proses endositosis atau pinositosis, proses degradasi nonlisosomal dari alergen atau proses terjadinya ikatan antara peptida antigen dnegan HLA-DR. Paparan dari alergen ini dapat menurunkan jumlah sel langerhans pada epidermis sebanyak kurang lebih 50% yang disebabkan karena sel langerhans tersebut beremigrasi dari epidermis. Di dalam sel, hapten akan berikatan dengan enzim sitosolik dan selanjutnya menjadi antigen lengkap yang akan diekspresikan pada permukaan sel langerhans imatur yang juga dapat berfungsi sebagai makrofag walaupun masih memiliki kemampua terbatas untuk menstimulasi limfosit T. Tahap berikutnya adalah presentasi HLA-DR pada limfosit T helper yang akan mengekresikan molekul CD4, dimana pada fase ini sel langerhans harus berinteraksi dengan sel T CD4 dengan reseptor khusus untuk antigen kelas II dan alergen. Pengenalan antigen yang telah

Upload: kadeverlyanita

Post on 18-Jan-2016

224 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

penyakit kulit

TRANSCRIPT

Page 1: Patafisiologis Dermatitis

Patafisiologis Dermatitis

Fase sensitisasi adalah fase dimana terjadinya kontak pertama kali antara alergen dengan

kulit yang selanjutnya alergen tersebut akan dikenal dan direspon oleh limfosit T atau fase ketika

sel T naive dirubah menjadi sel T efektor atau sel T memori spesifik antigen. Alergen pada

umumnya merupakan bahan dengan berat molekul rendah (<500 dalton), larut dalam lemak dan

memiliki reaktivitas yang tinggi. Pada fase sensitisasi ini, alergen yang belum diproses atau yang

biasa disebut sebagai hapten akan dipaparkan ke stratum korneum dan selanjutnya akan

berpnetrasi ke alpisan bawah epidermis dan akhirnya ditangkap oleh sel langerhans kemudian

akan terjadi beberapa proses, seperti proses endositosis atau pinositosis, proses degradasi

nonlisosomal dari alergen atau proses terjadinya ikatan antara peptida antigen dnegan HLA-DR.

Paparan dari alergen ini dapat menurunkan jumlah sel langerhans pada epidermis sebanyak

kurang lebih 50% yang disebabkan karena sel langerhans tersebut beremigrasi dari epidermis. Di

dalam sel, hapten akan berikatan dengan enzim sitosolik dan selanjutnya menjadi antigen

lengkap yang akan diekspresikan pada permukaan sel langerhans imatur yang juga dapat

berfungsi sebagai makrofag walaupun masih memiliki kemampua terbatas untuk menstimulasi

limfosit T. Tahap berikutnya adalah presentasi HLA-DR pada limfosit T helper yang akan

mengekresikan molekul CD4, dimana pada fase ini sel langerhans harus berinteraksi dengan sel

T CD4 dengan reseptor khusus untuk antigen kelas II dan alergen. Pengenalan antigen yang telah

diproses dalam sel langerhans oleh limfosit T terjadi melalui kompleks reseptor limfosit T CD3

dan dapat juga dipresentasikan oleh MHC klas 1 yang akan dikenali oleh CD8. Selannjutnya

limfossit T yang telah tersensitisasi akan bermigrasi ke daerah parakortikal kelenjar getah bening

regional untuk berdiferensiasi dan berproliferasi membentuk sel T efektor yang tersensitisasi

secara spesifik dan membentuk sel memori. Sebagian akan kembali ke kulit dan ke sistem

limfoid tersebar ke seluruh tubuh dan menyebabkan keadaan sensitivitas yang sama di seluruh

kulit tubuh.

Selanjutnya dilanjutkan dengan fase elisitasi , fase ini melibatkan beberapa substansi,

seperti sitokin, histamin, serotonin, dan prostaglandin. Selain itu beberapa neuropeptida juga

terlibat seperti calcitonin related peptidae dan alpha melanocyte stimulating hormon yang dapat

menurunkan regulasi dari fase elisitasi ini yang kemungkinan disebabkan karena adanya

pengaruh dari sel penyaji antigen. Fase elisitasi terjadi pada saat terjadi kontak ulang antara kulit

dengan hapten yang sama atau serupa. Hapten akan ditangkap dan kemudian akan

Page 2: Patafisiologis Dermatitis

dipresentasikan pada permukaan sel langerhans, satu – satunya sel epidermal yang

mengekspresikan antigen HLA-DR klas II pada permukaannya. Selanjutnya sel langerhans akan

mengeluarkan sitokin, yaitu interleukin-1 yang akan menstimulasi limfosit T untuk

menghasilkan interleukin-2 dan mengekspresikan reseptor interleukin-2 yang akan menyebabkan

proliferasi dan ekspansi populasi limfosit T pada kulit. Limfosit T teraktifasi akan mensekresikan

IFN gamma yang akan mengaktifkan keratinosit untuk mengekspresikan intercellular adhesion

molecule I (ICAM-I) dan Histocompatability Locus A (HLA)-DR. Sitokin tidak hanya

diproduksi oleh sel langerhans dan limfosit T, tetapi dapat juga diproduksi oleh sel keratinosit,

sel mast dan makrofag yang terlibat patogenesis dermatitis kontak alergi ini. Sitokin mempunyai

peranan penting pada molekul-molekul adhesi yang mengatur jalur sel langerhans, sel T dan sel-

sel inflamasi lainnya di kulit. Selain itu, ekspresi dari molekul-molekul adhesi lain pada sel

langerhans dan sel T dapat mempengaruhi respon sel T terhadap alergen yang masuk. HLA-DR

pada keratinosit akan berinteraksi dengan limfosit T CD4 melalui molekul ICAM-1. Selain itu,

ekspresi HLA-DR dapat menyebabkan keratinosit menjadi target limfosit T. Keratinosit aktif

juga memproduksi berbagai sitokin lain, seperti IL-1, IL-6, dan GMSCF yang selanjutnya akan

mengaktifkan limfosit T. Selanjutnya IL-1 dapat menstimulasi keratinosit untuk memproduksi

eicosanoid yang akan menghasilkan sel mast dan makrofag. Histamin yang berasal dari sel mast

dan keratinosit serta infiltrasi lekosit menimbulkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas

terhadap berbagai sel dan faktor inflamasi yang terlarut. Jalur tersebut merupakan respon kulit

pada dermatitis kontak alergi yang meliputi inflamasi, destruksi selular dan proses perbaikan.

Beberapa teori mengungkapkan kemungkinan beberapa faktor yang bertanggungjawab dalam

proses migrasi sel T helper ke kulit, antara lain sitokin-sitokin kemotaktik yang secara lokal akan

bertindak pada keadaan – keadaan kulit tertentu, adanya peningkatan regulasi molekul-molekul

adherens pada kulit (pada endotelium pembuluh darah, sel stromal dan sel-sel epidermis) serta

sel langerhans pada epidermis yang berfungsi sebagai bantalan untuk antigen yang transit di

epidermis sebelum antigen tersebut ditranmisikan ke kelenjar getah bening yang akan membantu

sel T helper untuk berikatan dengan antigen pada kulit.

Dermatitis seboroik berhubungan erat dengan keaktifan glandula sebasea. Glandula

tersebut aktif pada bayi baru lahir, kemudian menjadi tidak aktif selama 9-12 tahun akibat

stimulasi hormon androgen dari ibu berhenti. Dermatitis seboroik pada bayi terjadi pada umur

bulan-bulan pertama, kemudian jarang pada usia sebelum akil balik dan insidensnya mencapai

Page 3: Patafisiologis Dermatitis

puncaknya pada umur 18-40 tahun, kadang-kadang pada umur tua. Dermatitis seboroik lebih

sering terjadi pada pria daripada pada wanita. Meskipun kematangan kelenjar sebasea rupanya

merupakan faktor timbulnya D.S., tetapi tidak ada hubungan langsung secara kuantitatif antara

keaktifan tersebut dengan suseptibilitas untuk memperoleh D.S pada orang yang telah

mempunyai faktor predisposisi, timbulnya D.S dapat disebabkan faktor kelelahan, stress,

emosional atau infeksi.

Penyebab Dermatitis Atopik (DA) belum diketahui, terdapat 2 teori yang menjelaskan

etiologi DA. Teori pertama menyatakan DA merupakan akibat defisiensi imunologik yang

didasarkan pada kadar Imunoglobulin E (Ig E) yang meningkat dan indikasi sel T yang berfungsi

kurang baik. Sedangkan teori kedua menyatakan adanya blokade reseptor beta adrenegik pada

kulit. Namun, kedua teori tersebut tidak adekuat untuk menjelaskan semua aspek penyakit DA

(Mulyono, 1986). Hal ini disebabkan karena penyakit ini sangat kompleks dan melibatkan

berbagai mekanisme, meliputi genetik, lingkungan, dan imunologi. Komponen genetik

berpengaruh secara kuat pada dermatitis atopic, sebagai contoh, apabila salah satu dari orang tua

memiliki kondisi atopik, kemungkinan anak memiliki kondisi atopik sebesar 60%, sedangkan

apabila dua orang tua memiliki kondisi atopik, kemungkinan anak memiliki kondisi atopik

sebesar 80%. Selain itu, diketahui juga bahwa riwayat atopik pada ayah akan lebih berpengaruh.

Kebanyakan pasien dengan dermatitis atopik mengalami peningkatan kadar serum eosinofil dan

IgE. Fakta tersebut mendukung kenyataan bahwa besar kemungkinan anak dengan dermatitis

atopik dapat mengalami rhinitis alergi atau asma. Nampak bahwa hampir setiap imunosit,

termasuk sel langerhans, monosit, makrofag, limfosit, selmast, dan keratinosit, menunjukkan

abnormalitas pada dermatitis atopik. Penyebab dermatitis atopik tidak diketahui dengan pasti,

diduga disebabkan oleh berbagai factor yang saling berkaitan (multifaktorial). Faktor intrinsik

berupa predisposisi genetik, kelainan fisiologi dan biokimia kulit, disfungsi imunologis, interaksi

psikosomatik dan disregulasi/ ketidakseimbangan sistem saraf otonom, sedangkan faktor

ekstrinsik meliputi bahan yang bersifat iritan dan kontaktan, allergen hirup, makanan,

mikroorganisme, perubahan temperatur, dan trauma.

Ehlers, A., Stangier, U., & Gieler, U. (1995). Treatment of atopic dermatitis: a comparison of psychological and dermatological approaches to relapse prevention. Journal of Consulting and Clinical Psychology, 63(4), 624.