paperr 3
TRANSCRIPT
HUKUM ACARA PERDATA
MATERI PERKULIAHAN 3
Kelompok 2:
Wulan Yussilya 1101100900
Vera Marina 1101100900
Raisha Kinanti 110110090106
Rizky Adhitya R 110110090
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
Bandung
1
1. GUGATAN
a. Pengertian Gugatan
Gugatan adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh seorang atau lebih untuk
mengajukan atau menggugat permasalahan karena telah terjadi sengketa, baik secara lisan
maupun tertulis kepada Pengadilan. Pihak yang mengajukan gugatan ke Pengadilan disebut
sebagai penggugat, sedangkan pihak lain yang digugat dalam suatu perkara dalam
pengadilan disebut sebagai tergugat. Dalam menggajukan gugatan, terguggat bisa terdiri
dari satu orang atau lebih tergantung pada kondisi perkara, siapa saja orang-orang yang
terlibat dakam perkara tersebut. Dapat pula dimasukkan pihak ketiga yang masih ada
kaitannya dengan perkara yang sedang digugat yang disebut sebagai turut tergugat.
b. Cara Mengajukan Gugatan
Gugatan diajukan dengan surat gugat yang ditandatangani oleh penggugat atau
wakilnya tanpa dibubuhi materai. Dalam hal penggugat buta huruf ia dapat mengajukan
gugatan secara lisan, dengan cara datang kepada Ketua Pengadilan Negeri atau Ketua
Pengadilan Negeri akan menyuruh mencatat isi dari gugatan lisan tersebut (pasal 120 H.I.R)
Surat gugatan mencantumkan tanggal dan menyebutkan nama penggugat dan tergugat
dengan jelas, seta tempat tinggal, dan kalau perlu dapat pula disebutkan kedudukan
penggugat dan tergugat. Surat gugat dibuat beberapa rangkap, satu helai yang asli untuk
Pengadilan Negeri, satu helai untuk arsip penggugat dan ditambah beberapa salinan untuk
tergugat dan turut tergugat.
Surat gugatan didaftarkan kebagian kepanitreaan Pengadilan Negeri, penggugat
diwajibkan membayar biaya perkara (Pasal 121 (4) HIR) setelah selesai maka surat gugatan
akan mendapatkan nomor registrasi dari perkara tersebut. Ada pula perkara yang diperiksa
secara prodeo, yaitu tanpa suatu bayaran.
Surat gugat harus mencantumkan alamat gugatan ditujukan kepada Ketua Pengadilan
Negeri ditempat tergugat berdomisili (pasal 118 HIR ayat 1). Apabila tergugat lebih dari satu
orang dan mereka berdomisili di kota yang berbeda-beda, maka alamat gugatan ditujukan
kepada salah satu Tergugatnya (pasal 118 HIR ayat 2).
2
Jika alamat tergugat tidak diketahui, maka gugatan tersebut dialamatkan kepada
Pengadilan Negeri di mana dia bertempat tinggal terakhir dan dalam surat gugatan harus
disebutkan “bertempat tinggal terakhir”. Bisa juga apabila gugatan tersebut masalah tanah,
rumah atau benda tidak bergerak lainya, karena tergugatnya tidak diketahui, maka gugatan
dialamatkan pada tanah, rumah atau benda tidak bergerak lainnya yang menjadi objek
gugatan/sengketa tersebut berada.
Dalam surat gugat harus pula dilengkapi dengan petitum, yaitu hal-hal apa saja yang
diinginkan atau diminta oleh penggugat agar diputuskan, ditetapkan dan atau diperintahkan
oleh hakim.
c. Tujuan Gugatan
d. Isi Gugatan
Isi gugatan tidak diatur dalam HIRmaupun RBg. Persyaratan mengenai isi gugatan
ditemukan dalam pasal 8 RV yang mengharuskan gugatan pada pokoknya memuat:
1) Identitas Para pihak, yang meliputi: Nama (beserta bin/binti dan aliasnya), umur, agama,
pekerjaan dan tempat tinggal. Bagi pihak yang tempat tinggalnya tidak diketahui
hendaknya ditulis “bertempat tinggal terkahir” dan bila perlu dicantumkan
kewarganegaraan. Pihak-pihak yang ada sangkut pautnya dengan perkara itu harus
disebut secara jelas tentang kedudukannya dalam perkara, apakah sebagai penggugat,
tergugat, turut tergugat, pelawan, terlawan, pemohon, atau termohon. Dalam praktik
dikenal pihak yang disebut turut tergugat dimaksudkan untuk mau tunduk terhadap
putusan pengadilan. Sedangkan istilah turut penggugat tidak dikenal. Untuk
menentukan tergugat sepenuhnya menjadi otoritas penggugat sendiri.
2) Fundamentum Petendi (Posita), yaitu penjelsan tentang keadaan/peristiwa dan
penjelasan yang berhubungan dengan hukum yang dijadikan dasar atau alasan gugat.
Posita memuat dua bagian, yaitu alasan yang berdasarkan fakta/peristiwa hukum, dan
alasan yang berdasarkan hukum, tetapi hal ini bukan merupakan keharusan. Hakimlah
yang harus melengkapinya dalam putusan nantinya.
3
3) Petitum (tuntutan), Menurut Pasal 8 Nomor 3 RBg ialah apa yang diminta atau yang
diharapkan oleh penggugat agar diputuskan oleh hakim dalam persidangan. Petitum
akan dijawab oleh majelis hakim dalam amar putusannya. Petitum harus berdasarkan
hukum dan harus pula didukung oleh Posita. Pada prinsipnya posita yang tidak didukung
oleh petitum (tuntutan) berakibat tidak diterimanya tuntutan, pun sebaliknya
petitum/tuntutan yang tidak didukung oleh posita berakibat tuntutan penggugat ditolak.
Mekanisme petitum (tuntutan) dapat diklasifikasikan ke dalam tiga bagian pokok, yaitu
tuntutan primer (pokok) merupakan tuntutan yang sebenarnya diminta penggugat, dan
hakim tidak boleh mengabulkan lebih dari apa yang diminta (dituntut), tuntutan
tambahan, merupakan tuntutan pelengkap daripada tuntutan pokok, seperti dalam hal
perceraian berupa tuntutan pembayaran nafkah madhiyah, nafkah anak, mut’ah, nafkah
idah, dan pembagian harta bersama, dan tuntutan subsider (pengganti) diajukan untuk
mengantisipasi kemungkinan tuntutan pokok dan tuntutan tambahan tidak diterima
majelis hakim. Biasanya kalimatnya adalah “agar majelis hakim mengadili menurut
hukum yang seadil-adilnya “atau” mohon putusan yang seadil-adilnya” bias juga ditulis
dengan kata-kata “ex aequo et bono”.
e. Dasar Alasan Pengajuan Gugatan
2. PENCABUTAN GUGATAN DAN PERUBAHAN GUGATAN
a. Pencabutan Gugatan
Mencabut gugatan adalah tindakan ini menarik kembali suatu gugatan yang telah di
daftarkan di kepaniteraan pengadilan negeri. Tindakan ini banyak dilakukan dalam praktik
dari berbagai macam alasan.
HIR dan RBG tidak ada mengatur masalah pencabutan gugatan, tetapi ada dalam RV.
Oleh karena itu dalam praktiknya surat gugatan dapat dicabut kembali, selama pihak
tergugat belum mengajukan jawabannya. Apabila tergugat telah mengajukan jawabannya,
maka pencabutan itu dapat dibenarkan apabila pihak tergugat menyetujuinya. Dengan
dicabutnya gugat, maka keadaan kembali seperti semula sebelum ada gugatan. Apabila sita
4
jaminan telah di letakan maka dengan adanya pencabutan gugatan itu harus diperintahkan
untuk diangkat.
Menurut RV pencabutan gugatan itu dapat dilakukan :
1) Sebelum gugatan diperiksa di persidangan.
2) Sebelum tergugat memberikan jawabanya.
3) Setelah diberikan jawaban oleh tergugat.
b. Perubahan Gugatan
HIR tidak mengatur mengenai menambah atau mengubah surat gugat. Namun dapat
diperkenankan asalkan kepentingan-kepentingan kedua pihak, baik penggugat maupun
tergugat, terutama kepentingan tergugat sebagai orang yang diserang dan oleh karenanya
berhak membela diri, tidak dirugikan dengan perubahan atau penambahan gugat tersebut
(Pasal 127 RV).
Perihal perubahan atau penambahan gugat yang dimohonkan oleh penggugat setelah
tergugat mengajukan jawaban, hal itu harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari
tergugat, dan apabila pihak tergugat menyatakan keberatannya, maka permohonan
mengenai perubahan atau penambahan gugat tersebut dapat ditolak. Sebaliknya mengenai
pengurangan gugat senantiasa akan diperkenankan oleh hakim.
Batas waktu pengajuan perubahan gugatan:
1) Menurut Pasal 127 RV, batas waktu pengajuan perubahan gugatan sampai saat
perkara diputus.
2) Menurut MA, batas waktu pengajuan perubahan gugatan adalah pada hari pertama
sidang.
3) Menurut praktek pengadilan, cenderung menerapkan bahwa batas waktu seorang
penggugat mengajukan perubahan gugatan adalah sampai pada tahap replik-duplik.
Batasan di dalam merubah surat gugatan, menurut Pasal 127 RV, dilarang atau tidak
dibenarkan perubahan atau pengurangan gugatan apabila hal itu mengubah atau
menambah pokok gugatan. Berdasarkan praktik peradilan, maka pengubahan surat gugatan
5
tidak boleh mengubah materi pokok perkara, mengubah posita gugatan, dan merugikan
tergugat.
3. PERIHAL ACARA ISTIMEWA
a. Gugur
Pasal 124 HIR mengatur mengenai dapat gugurnya suatu gugatan apabila pihak
penggugat tidak datang maupun tidak menyuruh wakilnya untuk datang menghadap
Pengadilan Negeri pada hari yang telah ditentukan meskipun ia telah dipanggil secara patut.
Dengan patut di sini maksudnya yang bersangkutan telah dipanggil dengan cara
pemanggilan menurut UU yang dilakukan jurusita dengan membuat berita acara
pemanggilan pihak-pihak yang dilakukan terhadap yang bersangkutan atau wakilnya yang
sah dengan memperhatikan tenggang waktu. Apabila cara pemanggilan tidak dilakukan
dengan sah maka hakim sekali lagi akan menyuruh jurusita untuk memanggil pihak
penggugat tersebut dan biaya pemanggilan tersebut menjadi tanggungan jurusita.
Pada pasal 124 HIR yang mengatur perihal gugur yang berbunyi sebagai berikut:
“Jikalau si penggugat, walaupun dipanggil dengan patut, tidak menghadap pengadilan
negeri pada hari yang ditentukan itu, dan tidak juga menyuruh seorang lain menghadap
selaku wakilnya, maka gugatannya dipandang gugur dan sipenggugat dihukum membayar
biaya perkara; akan tetapi sipenggugat berhak, sesudah membayar biaya yang tersebut,
memasukkan gugatannya sekali lagi.”
Dalam hal penggugat, sebelum dipanggil telah wafat, maka terserah kepada para
ahliwarisnya untuk meneruskan gugatan atau justru mencabut gugatan tersebut.
Putusan pengguguran ini dimaksudkan untuk mewujudkan asas audi et alteram partem
yaitu kepentingan kedua pihak harus diperhatikan. Karena gugatannya gugur, penggugat
dihukum untuk membayar biaya perkara. Apabila sebelum gugurnya gugatan telah
dilaksanakan sita jaminan, maka sita jaminan itu harus diperintahkan untuk diangkat. Pihak
penggugat yang perkaranya digugurkan, diperkenankan untuk mengajukan gugatannya
6
sekali lagi setelah ia terlebih dahulu membayar biaya perkara dan membayar persekot untuk
perkara yang baru.
Jika dalam pengajuan perkara yang kedua kalinya ini kemudian digugurkan lagi dalam
HIR tidak diatur secara tegas apakah penggugat masih diperkenankan untuk dapat
mengajukan perkaranya sekali lagi, namun karena hal ini tidak secara nyata dilarang, hal ini
berarti pengajuan gugat tersebut diperkenankan. Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H.
berpendapat bahwa demi kewibawaan pengadilan agar tidak ada perkara yang berlarut-
larut tidak berketentuan, maka gugatan perlu dicoret dari daftar dan dianggap tidak pernah
ada.
b. Verstek
Verstek adalah pernyataan, bahwa tergugat tidak hadir, meskipun ia telah menurut
hukum acara harus datang. Verstek hanya dapat dinyatakan apabila tergugat kesemuanya
tidak datang menghadap pada sidang pertama dan apabila perkara diundurkan sesuai
dengan pasal 126 HIR, juga pihak tergugat kesemuanya tidak datang menghadap lagi.
Persoalan verstek diatur dalam pasal 125 HIR.
Namun Pasal 126 HIR/150 RBg memberikan keleluasaan bagi hakim untuk
memerintahkan jurusita memanggil sekali lagi tergugat supaya hadir dalam persidangan
berikutnya. Hal ini terjadi apabila hakim memandang perkaranya sangat penting sehingga
tidak layak diputuskan begitu saja tanpa kehadiran tergugat, sebab bisa saja terjadi surat
panggilan pengadilan tidak diterima oleh tergugat.
Apabila tergugat/para tergugat hadir pada sidang pertama dan tidak hadir dalam
sidang-sidang berikutnya lalu hakim mengundurkan sidang, dan pada sidang kedua hadir
namun pada sidang-sidang berikutnya tidak hadir, maka perkara akan diperiksa menurut
acara biasa dan putusan dijatuhkan secara contradictoir (dengan adanya
perlawanan/optegenspraak).
Kemungkinan-kemungkinan dalam pengambilan putusan verstek:
7
1. Bila pada sidang pertama tergugat tidak hadir dan hakim memerintahkan untuk
menunda persidangan dan dalam persidangan yang kedua itu tergugat tidak hadir
lagi, hakim menjatuhkan putusan verstek
2. Bila tergugat terdiri atas beberapa orang dan dalam sidang pertama di antara
mereka ada yang tidak hadir dan tidak menyuruh orang lain untuk hadir sebagai
kuasanya, maka pemeriksaan perkara ditunda sampai sidang berikutnya. Jika
ternyata tergugat yang bersangkutan gagal hadir lagi, [emeriksaan perkaranya
diteruskan dan semua tergugat baik yang hadir maupun yang tidak hadir diputuskan
dengan satu putusan saja, dan perlawanan (verzet) atas putusan ini tidak
diperkenanankan (Pasal 151 HIR/127 RBg).
3. Bila tergugat maupun kuasanya tidak hadir pada sidang pertama tetapi mengirimkan
jawaban yang memuat tangkisan (exceptie) yang menyatakan bahwa pengadilan
tidak berwenang untuk mengadili perkaranya, maka pengadilan wajib membei
putusan atas tangkisan itu setelah mendengar pihak penggugat. Bila tangkisan
ditolak, pengadilan memutuskan pokkok perkaranya (Pasal 125 ayat 2 /HIR/149 ayat
2 RBg).
4. Gugatan penggugat akan dikabulkan meskipun tidak hadir kecuali jika itu melawan
hokum (onrechtmatige daad) atau tidak berakasan (ongegrond). Bila gugatan
melawan hokum, maka dalam putusan verstek gugata itu harus dinyatakan tidak
dapat diterima (niet onvankelijk verklaard) dan apabila guatan tidak beralasan maka
dalam putusan verstek gugata itu harus dinyatakan ditolak (iontzegd). Terhadap
putusan tidak dapat diterima, penggugat dapat mengajukan gugatannya kembali ke
Pengadilan negeri, sedangkan terhadap putusan yang menyatakan gugatannya
ditolak, penggugat hanya dapat mengajukan permohonan banding ke Pengadilan
Tinggi.
5. Putusan verstek tidak selalu mengabulkan gugatan penggugat, sehingga meskipun
tergugat tidak hadir dalam persidangan, ia tidak selalu dikalahkan.
6. Bila ddalam putusan verstek hakim mengabulkan gugatan penggugat, maka putusan
itu harus diberitahukan kepada tergugat yang bersangkutan. Tergugat juga harus
diterangkan bahwa ia berhak mengajukan perlawanan (verzet) terhadap putusan itu
kepada Pengadilan Negeri yang memeriksa perkara tersebut.
8
Putusan verstek harus diberitahukan kepada orang yang dikalahkan dan kepadanya
diterangkan bahwa ia berhak untuk mengajukan perlawanan terhadap putusanvperstek
tersebut kepada pengadilan negeri yang sama, dalan tenggang waktu dan dengan cara yang
telah ditentukan dalam pasal 129 HIR.
Dalam surat putusan perstek tertulis siapa yang diperintahkan untuk menjalankan
pemberitahuan putusan tersebut secara lisan atau tertulis, didalamnya juga
menggambarkan keadaan yang benar-benar terjadi. Seperti halnya berita acara
pemanggilan para pihak untuk menghadap sidang maka surat pemberitahuan putusan
verstek dibuat oleh jurusita atas sumpah jabatan dan merupakan akta otentik yang
mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna.
4. PENGIKUTSERTAAN PIHAK KETIGA DALAM PROSES
a. Vrijwaring
Perihal vrijwaring diatur dalam Pasal 70-76 RV, yang menyatakan bahwa pada saat
pemeriksaan di pengadilan, di luar kedua belah pihak, ada pihak ketiga yang ditarik dalam
perkara tersebut secara singkat tidak atas kemauannya sendiri.
Vrijwaring diajukan oleh tergugat dengan mengajukan permohonan secara lisan atau
tertulis kepada majelis hakim untuk memanggil seseorang sebagai pihak yang turut
berperkara dalam perkara yang sedang diperiksa majelis tersebut. Permohonan ini disebut
gugatan insidentil dan dengan suatu putusan sela akan diputuskan apakah gugatan insidentil
itu akan dikabulkan atau ditolak karena dianggap tidak beralasan.
Setelah pihak tergugat dalam vrijwaring menghadap, maka pemeriksaan dilakukan
seperti dalam perkara biasa, di mana tergugat dalam vrijwaring diberi kesempatan untuk
menjawab gugat dalam vrijwaring yang diajukan terhadapnya. Penggugat di dalam pokok
perkara ditanya pendapatnya mengenai jawaban yang diajukan oleh tergugat dalam
vrijwaring tersebut.
b. Tussenkomst
9
Tussenkomst atau intervensi adalah masuknya pihak ketiga atas kemauan sendiri untuk
ikut dalam proses, di mana pihak ketiga ini tidak memihak penggugat maupun tergugat,
melainkan ia hanya memperjuangkan kepentingan sendiri.
Ciri-ciri tussenkomst :
1. Sebagai pihak ketiga yang berkepentingan dan berdiri sendiri.
2. Adanya kepentingan untuk mencegah timbulnya kerugian kehilangan haknya yang
terancam.
3. Melawan kepentingan kedua belahh pihak yang berperkara.
4. Dengan memasukkan tuntutan terhadap pihak-pihak yang berperkara
(penggabungan tuntutan).
c. Voeging
Voeging adalah penggabungan pihak ketiga yang merasa berkepentingan, lalu
mengajukan permohonan kepada majelis agar diperkenankan mencampuri proses tersebut
dan menyatakan ingin menggabungkan diri kepada salah satu pihak, penggugat atau
tergugat.
Sebelum hakim memperkenankan pihak ketiga untuk masuk ke dalam proses harus
terlebih dahulu mendengar semua pihak tentang maksud tersebut, kemudian hakim akan
mempertimbangkan dalam suatu putusan sela apakah ia menolak atau mengabulkan
pencempuran pihak ketiga.
Putusan sela tidak dibuat secara terpisah, melainkan merupakan bagian dari berita
acara, dan harus memuat terlebih dahulu “Tentang duduknya perkara” dan “Tentang
hukumnya” lengkap seperti putusan biasa.
5. SITA JAMINAN
a. Sita Conservatoir
Sita conservatoir yaitu jaminan berupa uang atau barang yang dimintakan oleh
penggugat kepada pengadilan untuk memastikan agar tuntutan penggugat terhadap
tergugat dapat dilaksanakan/dieksekusi kalau pengadilan mengabulkan tuntutan tersebut.
10
Penyitaan dalam sita jaminan bukan dimaksudkan untuk melelang, atau menjual barang
yang disita , namun hanya disimpan (conserveer) oleh pengadilan dan tidak boleh dialihkan
atau dijual oleh termohon/tergugat. Dengan adanya penyitaan, tergugat kehilangan
kewenangannya untuk menguasai barang, sehingga seluruh tindakan tergugat untuk
mengasingkan, atau mengalihkan barang-barang yang dikenakan sita tersebut adalah tidak
sah dan merupakan tindak pidana yang dapat dikenakan pidana pasal 231dan 232 KUHP.
Diatur dalam Pasal 227 HIR:
1) Harus ada sangka yang beralasan, bahwa tergugat sebelum putusan dijatuhkan atau
dilaksanakan mencari akal akan menggelapkan atau melarikan barang-barangnya.
2) Barang yang disita itu merupakan barang kepunyaan orang yang terkena sita,
artinya bukan milik penggugat.
3) Permohonan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memeriksa perkara
yang bersangkutan.
4) Permohonan harus diajukan dengan surat tertulis.
5) Sita Conservatoir dapat dilakukan atau diletakkan baik terhadap barang yang
bergerak dan yang tidak bergerak.
Menurut ketentuan yang termuat dalam Pasal 127 (1) HIR, sita conservatoir dapat
dimohonkan oleh penggugat sebelum dijatuhkan putusan atau sudah ada putusan, akan
tetapi putusan tersebut belum dapat dijalankan.
Dalam praktik sita jaminan dilakukan dalam surat gugat, dan dalam petitum
dimohonkan pernyataan sah dan berharga atau sita jaminan tersebut dengan lain perkataan
permohonan tersebut diajukan sebelum dijatuhkan putusan.
Sesuai Pasal 227 HIR, elemen dugaan yang beralasan, merupakan dasar
pembenar utama dalam pemberian sita tersebut. Apabila penggugat tidak memiliki bukti
kuat, maka sita jaminan tidak akan diberikan. Syarat ini dimaksudkan untuk mencegah
penyalahgunaan agar tidak diadakan penyitaan secara sembarangan, yang akhirnya
hanya merupakan tindakan sia-sia yang tidak mengenai sasaran (vexatoir). Sehingga
dalam sita ini, tersita harus didengar untuk mengetahui kebenaran dugaan tersebut.
Untuk mengabulkan sita conservatoir, harus ada sangka yang beralasan, bahwa
tergugat sedang berdaya upaya untuk menghilangkan barang-barangnya untuk
11
menghindari gugatan penggugat. Disini dapat disimpulkan bahwa permohonan
pengajuan sita jaminan lebih diarahkan.
Pada proses kepailitan, permohonan sita jaminan hanya dapat dikabulkan, apabila
hal tersebut diperlukan guna melindungi kepentingan kreditur, dan untuk itu Pengadilan
dapat menentukan penyerahan suatu jaminan dalam jumlah yang dianggap wajar oleh
Pengadilan.
Yang dapat menjadi objek sita conversatoir adalah:
1) Barang bergerak milik debitur.
2) Barang tetap milik debitur.
3) Barang bergerak milik debitur yang berada di tangan orang lain (pihak ketiga).
Penyitaan juga hanya dilakukan terhadap barang-barang yang nilainya diperkirakan
tidak jauh melampaui nilai gugatan (nilai uang yang menjadi sengketa), sehingga nilai sita
seimbang dengan yang digugat. Perlu dicatat juga bahwa Mahkamah Agung pernah
membatalkan sita jaminan karena nilai barang yang disita melebihi nilai utang yang menjadi
pokok perkara.
b. Sita Revindicatior
Sita Revindicatoir diatur dalam pasal 226 HIR. Penyitaan tersebut harus atas barang
bergerak tertentu, terperinci, yang berada di tangan tergugat dan diajukan atas permintaan
penggugat selaku pemilik dari barang tersebut. Perkataan revindicatoir berasal dari
perkataan revindiceer yang artinya mendapatkan. Perkataan revindicatoir beslag
mengandung pengertian penyitaan untuk mendapatkan hak kembali. Maksud penyitaan ini
adalah agar barang yang digugat itu jangan sampai dihilangkan selama proses berlangsung.
Dari pasal 226 HIR, bahwa untuk dapat diletakkan sita revindicatoir itu adalah:
1) Harus berupa barang bergerak.
2) Barang bergerak tersebut adalah merupakan barang milik penggugat yang berada di
tangan tergugat.
3) Permintaannya harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri.
4) Permintaan mana dapat diajukan secara lisan atau tertulis.
5) Barang tersebut harus diterangkan dengan seksama dan terperinci.
12
Sesuai dengan Pasal 226 HIR, untuk mengajukan permohonan sita revindicatoir,
pemohon dapat langsung mengajukan permohonan, tanpa perlu ada dugaan yang beralasan
bahwa tergugat akan mencoba untuk menggelapkan atau melarikan barang yang
bersangkutan selama proses persidangan.
c. Sita Marital dan Pandbeslag
Sita marital pada dasarnya adalah salah satu jenis dari sita jaminan, akan tetapi jenis
sita ini adalah bertujuan untuk membekukan harta bersama yang diperoleh selama masa
perkawinan melalui penyitaan agar tidak berpindah kepada pihak ketiga selama proses
perkara perceraian atau pembagian harta bersama berlangsung. Dalam konteks ini
pembekuan harta bersama tersebut adalah harta bersama yang dikuasai langsung baik oleh
penggugat/pemohon atau tergugat/termohon.
Sehingga tujuan dari sita marital sendiri adalah untuk menjamin keutuhan,
mengamankan serta serta memelihara keutuhan seluruh harta bersama atas tindakan yang
tidak bertanggung jawab yang diambil oleh tergugat/termohon sampai dengan putusan
perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap, baik yang berada di tangan penggugat atau
di tangan tergugat.
Pengaturan sita marital sendiri dapat dilihat dalam Pasal 190 BW, Pasal 24 ayat (2)
huruf c PP No 9 Tahun 1975, Pasal 78 huruf c UU No 7 Tahun 1989, Pasal 136 ayat (2) huruf
b Kompilasi Hukum Islam, Pasal 823 – 830 Rv.
Suami ataupun istri berdasarkan Pasal 24 PP No9/1975 sama-sama mempunyai hak
untuk mengajukan sita marital. Sita marital diajukan oleh tergugat atau termohon dengan
cara mengajukan gugatan rekonvensi.
Permohonan sita marital dapat dibenarkan jika ada alasan bahwa tindakan suami/istri
telah secara nyata memboroskan harta bersama yang dapat menimbulkan kerugian bagi
tergugat/termohon dan jika tidak adanya ketertiban dalam mengelola dan mengurus harta
bersama yang dapat membahayakan keutuhan harta bersama.
Pengertian dan Penerapan
Menyita Milik Tergugat untuk Menjamin Pembayaran Utang
13
Pengertian sita jaminan (conservatoir beslag) diatur dalam Pasal 227 ayat (1) HIR, Pasal 261
RBG atau Pasal 720 RV :
Menyita barang debitur selama belum dijatuhkan putusan dalam perkara perdata
Tujuannya, agar barang itu tidak digelapkan atau diasingkan tergugat selama proses
persidangan berlangsung, sehingga pada saat putusan dilaksanakan, pelunasan pembayaran
utang yang dituntut penggugat dapat dipenuhi, dengan jalan menjual barang sitaan itu
Bertitik tolak pada pasal 227 ayat (1) HIR, penerapan sita jaminan pada dasarnya hanya
terbatas pada sengketa perkara utang piutang yang ditimbulkan oleh wanprestasi. Dengan
diletakannya sita pada barang milik tergugat, barang itu tidak dapat dialihkan tergugat
kepada pihak ketiga, sehingga tetap utuh sampai putusan berkekuatan tetap. Apabila
tergugat tidak memenuhi pembayaran secara sukarela; pelunasan utang atau ganti rugi itu,
diambil secara paksa dari barang sitaan melalui penjualan lelang. Dengan demikian,
tindakan penyitaan barang milik tergugat sebagai debitur :
Bukan untuk diserahkan dan dimiliki penggugat (pemohon sita)
Tetapi diperuntukan melunasi pembayaran utang tergugat kepada pengugat
Dapat diterapkan atas Tuntutan Ganti Rugi
Dalam arti sempit berdasarkan Pasal 227 (1) HIR, sita jaminan hanya dapat diterapkan dalam
perkara utang piutang. Akan tetapi dalam praktik, penerapannya diperluas meliputi
sengketa tuntutan ganti rugi baik yang timbul dari :
Wanprestasi berdasarkan Pasal 1243 Jo Pasal 1247 KUHPerdata dalam bentuk penggantian
biaya, bunga dan keuntungan yang akan diperoleh, atau
Perbuatan melawan hukum (PMH) berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata, dalam bentuk ganti
rugi materil dan imateriil
Untuk menjamin pemenuhan pembayaran tuntutan ganti rugi yang diajukan penggugat
berdasarkan wanprestasi atau PMH, dapat meminta kepada pengadilan agar diletakan sita
jaminan terhadap barang milik tergugat. Dengan demikian, praktik peradilan telah
memperluas penafsiran utang meliputi ganti rugi, sehingga terhadap sengketa yang
14
demikian dapat dibenarkan untuk menerapkan sita jaminan yang diatur dalam Pasal 227
ayat (1) HIR atau pasal 720 Rv.
Dapat Diterapkan dalam Sengketa Milik
Sita jaminan juga meliputi sengketa hak milik atas benda tidak bergerak. Jika sita jaminan
yang diatur dalam Pasal 227 ayat (1) HIR tidak boleh diterapkan dalam dalam sengketa milik
atas barang tidak bergerak, akan terdapat kekosongan hukum, sehingga tidak mungkin
melindungi penggugat atas tindakan tergugat yang beritikad buruk. Selama proses
persidangan berlangsung, tergugat leluasa menjual atau memindahtangankan barang itu
kepada pihak ketiga tanpa ancaman hukuman jika tidak diletakkan sita jaminan
terhadapnya. Sehubungan dengan gambaran kekosongan hukum tersebut, cukup alasan
menerima perluasan penerapan sita jaminan meliputi sengketa milik atas barang tidak
bergerak.
Demikian gambaran pengertian dan tujuan sita jaminan. Menempatkan dan menahan harta
kekayaan tergugat yang berkedudukan sebagai debitur dibawah penjagaan pengadilan.
Tujuannya, agar keutuhan barang itu tetap terjamin nilai dan keberadaannya sampai
putusan memperoleh kekuatan hukum tetap. Apabila tergugat tidak memenuhi
pembayaran secara sukarela maka harta kekayaan tergugat yang disita tersebut dijual
lelang, dan harga yang diperoleh dipergunakan untuk membayar utang atau ganti rugi yang
dibebankan kepada tergugat.
Sedangkan, apabila gugatannya tentang sengketa milik atas barang tidak bergerak, sita
jaminan yang diletakan bertujuan untuk menjamin keutuhan dan keberadaan barang
sehingga terpelihara selama proses pemeriksaan berlangsung. Dengan demikian, pada saat
putusan telah berkekuatan hukum tetap, barang tersebut dapat dieksekusi riil dengan jalan
mengosongkan atau membongkar bangunan yang ada diatasnya serta sekaligus
menyerahkan kepada penguggat.
Objek Sita Jaminan
Dalam Sengketa Milik, Terbatas atas Barang yang Disengketakan
15
Kebolehan meletakan sita jaminan atas harta kekayaan tergugat dalam sengketa hak milik
atas benda tidak bergerak :
Hanya terbatas atas objek barang yang diperkarakan, dan
Tidak boleh melebihi objek tersebut.
Pelanggaran atas prinsip itu, dianggap sebagai penyalahgunaan wewenang (abuse of
authority), dan sekaligus merupakan pelanggaran atas tata tertib beracara, sehingga
penyitaan itu dikategorikan sebagai undue process atau tidak sesuai dengan hukum acara.
Terhadap objek dalam Sengketa Utang atau Ganti Rugi
Meliputi Seluruh Harta Kekayaan Tergugat
Sepanjang utang atau tuntutan ganti rugi tidak dijamin dengan agunan tertentu, sita
jaminan dapat diletakan di atas seluruh harta kekayaan tergugat. Penerapan yang demikian
bertitik tolak dari ketentuan Pasal 1131 KUHP Perdata jo pasal 227 ayat (1) HIR yang
menegaskan :
Segala kebendaan debitur baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, menjadi
tanggungan untuk segala perikatan perseorangan (Pasal 1131 KUHPerdata)
Barang debitur (tergugat) baik yang bergerak maupun tidak bergerak dapat diletakan sita
jaminan untuk pembayaran utangnya atas permintaan kreditor (penggugat)
Akan tetapi, kebolehan menyita seluruh harta milik tergugat dalam sengketa utang atau
ganti rugi harus memperhatikan prinsip yang digariskan Pasal 197 ayat (8) HIR, Pasal 211
RBG :
Dahulukan penyitaan barang bergerak
Jadi yang pertama disita, barang bergerak. Apabila nilai barang bergerak yang disita
mencukupi untuk melunasi jumlah gugatan, penyitaan dihentikan sampai disitu saja
Kalau barang yang bergerak tidak mencukupi jumlah tuntutan, baru dibolehkan meletakan
sita jaminan terhadap barang tidak bergerak
Terbatas pada Barang Agunan
16
Jika perjanjian utang piutang dijamin dengan agunan barang tertentu :
Sita jaminan dapat langsung diletakkan di atasnya meskipun bentuknya barang tidak
bergerak;
Dalam perjanjian kredit yang dijamin dengan agunan barang tertentu, pada barang itu
melekat sifat spesialistis yang member hak separatis kepada kreditor, oleh karena prinsip itu
mendahulukan penyitaan barang bergerak disingkirkan oleh perjanjian kredit yang dijamin
dengan agunan.
Pada dasarnya, penyitaan dalam perjanjian kredit dengan agunan barang tertentu, hanya
meliputi barang itu saja, tanpa mempersoalkan apakah nilainya cukup memenuhi jumlah
tuntutan. Sekiranya setelah di eksekusi ternyata nilainya tidak cukup membayar jumlah
tuntutan, pengugat dapat meminta penyempurnaannya dengan jalan menyita eksekusi
(executoir beslag) harta tergugat yang lain sesuai dengan asas yang digariskan Pasal 1131
KUHPerdata.
Dari penjelasan tersebut, sita jaminan dapat diletakan di atas segala bentuk harta kekayaan
tergugat, tanpa mengurangi prinsip mendahulukan barang bergerak dan variabel penyitaan
barang tertentu dalam sengketa milik dan dalam perjanjian kredit yang dijamin dengan
barang agunan terterntu seperti yang dijelaskan diatas.
Tata Cara Pelaksanaan Sita Jaminan
Mengenai tata cara pelaksanaan sita jaminan diatur dalam Pasal 227 ayat (3) HIR.
Dilaksanakan berdasarkan penetapan pengadilan
Dituangkan dalam bentuk surat penetapan yang diterbitkan oleh Ketua PN atau majelis
bersangkutan
Berisi perintah kepada panitera atau juru sita untuk melaksanakan sita jaminan terhadap
harta kekayaan tergugat
Penyitaan dilaksanakan panitera atau juru sita
Memberitahukan penyitaan kepada tergugat yang berisi :
17
Hari, tanggal, bulan, tahun, dan jam serta tempat penyitaan;
Agar tergugat menghadiri penyitaan
Kehadiran tergugat tidak menjado syarat keabsahan pelaksanaan sita.
Juru sita dibantu oleh dua orang saksi
Dijelaskan nama, pekerjaan, dan tempat tinggal saksi dalam berita acara sita;
Saksi harus penduduk Indonesia
Paling rendah berumur 21 tahun
Orang yang dapat dipercaya
Pelaksanaan sita dilakukan ditempat barang terletak
Juru sita dan saksi datang ditempat barang yang hendak disita, dan
Tidak sah penyitaan yang tidak dilakukan di tempat barang terletak.
Membuat berita acara sita
Hal-hal pokok yang harus dimuat dalam berita acara sita jaminan :
Tanggal dan nomor surat penetapan
Jam, tanggal, hari, bulan, dan tahun penyitaan
Nama, pekerjaan, dan tempat tinggal saksi
Rincian satu persatu jenis barang yang disita
Penjelasan pembuatan berita acara dihadapan tersita (jika hadir)
Penjelasan penjagaan barang sitaan diserahkan kepada tersita
Ditandatangani juru sita dan saksi
Meletakkan barang sitaan di tempat semula
Menyatakan sita sah dan beharga
18
Sita Jaminan atas Barang Bergerak
Sita jaminan atas barang bergerak dapat terjadi apabila perjanjian kredit tidak dijamin
dengan agunan barang tertentu atau jaminannya tidak berbentuk fidusia.
Barang sitaan tetap diletakkan pada tempat semula:
Boleh dipindahkan ke tempat lain,
Dengan syarat, apabila hal itu perlu untuk keamanan dan keselamatan barang
Penjagaan dan penguasaan diserahkan kepada tergugat (tersita)
Tidak boleh diserahkan penjagaan dan penguasaannya kepada penggugat,
Juga dilarang menyerahkan penjagaan dan penguasaannya kepada pihak ketiga atau kepala
desa
Tidak boleh diletakkan sita jaminan atas permintaan pengugat lain
Terhadap penyitaan barang bergerak berlaku asas :
Saisie sur saisie ne vaut yang digariskan Pasal 463 RV, yaitu pada saat yang bersamaan tidak
boleh diletakkan sita terhadap barang yang sama
Yang dapat dilakukan atas permintaan sita yang belakangan adalah sita penyesuaian dengan
jalan membuat berita acara penyesuaian (process verbal van vergelijkende beslag)
Secara kasuistis dapat dibebankan jaminan kepada penggugat
Diterapkan ketentuan Pasal 722 Rv dalam sita jaminan :
Pengabulan sita jaminan yang diminta penggugat dibarengi dengan perintah atau
persyaratan, sita jaminan baru dilaksanakan apabila penggugat membayar
Biaya, serta
Kerugian dan bunga yang mungkin timbul akibat penyitaan tersebut
19
Dalam hal yang demikian penyerahan uang jaminan, harus diberikan bersamaan dengan
perintah penyitaan;
Mengenai berapa besarnya uang jaminan yang harus diberikan pengugat atas penyitaan itu,
dapat ditetapkan pengadilan melalui sidang insidentil
Ketentuan ini dapat diterapkan secara kasuistis. Oleh karena itu ketentuan Pasal 722 Rv,
tidak boleh dijadikan sebagai syarat yan bersifat generalisasi terhadap setiap penyitaan
barang bergerak.
Tersita Berhak Mengajukan Bantahan
Pasal 724 Rv memberi hak kepada tergugat (tersita) untuk segera mengajukan bantahan
terhadap sita jaminan yang diletakkan terhadap barang bergerak.
Bantahan dapat diajukan di luar sidang atau dalam sidang insidentil
Dapat juga diajukan dalam proses pemeriksaan pokok perkara
Bantahan berisi alasan dan tuntutann agar sita jaminan diangkat, karena tidak sah atau tidak
memenuhi syarat, maupun atas alasan penyitaan bertitik tolak dari dalil gugatan yang tidak
mempunyai dasar hukum.
20