paper sfl in translation (autosaved)

26
Peranan Linguistik Sistemik Fungsional dalam Mengembangkan Teori Penerjemahan Dosen: Prof. Drs. MR. Nababan, M.Ed., M.A., Ph. D PROGRAM STUDI S3 LINGUISTIK PENERJEMAHAN PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET 2014

Upload: agung-prasetyo-wibowo

Post on 18-Jan-2016

197 views

Category:

Documents


15 download

DESCRIPTION

SFL

TRANSCRIPT

Peranan Linguistik Sistemik Fungsional dalam Mengembangkan Teori Penerjemahan

Dosen: Prof. Drs. MR. Nababan, M.Ed., M.A., Ph. D

AGUNG PRASETYO WIBOWO

PROGRAM STUDI S3 LINGUISTIK PENERJEMAHAN

PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET

2014

Pendahuluan

Bahasa adalah salah satu dari sekian banyak penemuan terhebat dalam sejarah

peradaban manusia. Dikatakan demikian karena dengan melalui bahasalah manusia

dapat berkomunikasi dan berinteraksi satu sama lain dan bahkan menjadi pokok dasar

dari ilmu sains, tekhnologi, ekonomi, pendidikan, agama dan budaya di seluruh

dunia. Dalam era globalisasi seperti sekarang ini, ilmu sains dan tekhnologi

berkembang teramat sangat pesat. Negara berkembang seperti Indonesia selalu

berusaha semaksimal mungkin untuk mengejar perkembangan ilmu sains dan

tekhnologi dunia. Banyak buku, jurnal, karya ilmiah, dan referensi lainnya tentang

ilmu sains dan tekhnologi telah diterbitkan diberbagai belahan dunia yang dapat

dibaca dan dipelajari oleh seluruh orang di dunia. Namun, kebutuhan akan ilmu

pengetahuan terkadang menemui jalan buntu. Pemenuhan ilmu pengetahuan tersebut

tidak dapat dilakukan dengan mudah dikarenakan oleh beberapa hal, seperti halnya

kebanyakan buku, jurnal, karya ilmiah, dan referensi ilmu sains dan tekhnologi yang

diterbitkan dalam bahasa Inggris. Di sisi lain, kemampuan cendikiawan Indonesia

dalam memahami teks berbahasa Inggris terbatas. Disinilah peranan penting

penerjemah. Para penerjemah berperan sebagai fasilitator untuk menerjemahkan

buku, jurnal, karya ilmiah, dan referensi tersebut ke dalam bahasa yang dapat

dimengerti oleh para pembaca.

Menurut Nida dan Taber (1969, p.12), penerjemahan adalah pengungkapan

kembali pesan dari bahasa sumber di dalam bahasa sasaran dengan padanan terdekat

dan wajar, pertama dalam hal makna dan kedua dalam hal gaya bahasa.

Penerjemahan harus bertujuan utama pada pengungkapan kembali sebuah pesan.

Untuk mengungkapkan kembali pesan dari teks sumber, seorang penerjemah harus

membuat penyesuaian secara gramatikal dan leksikal dengan baik. Sehingga,

menerjemahkan bukanlah pekerjaan mudah. Seorang penerjemah wajib memiliki

kemampuan bahasa yang memadai baik dalam bahasa sumber (BSu) maupun bahasa

sasaran (BSa) untuk dapat memahami ide, pemikiran dan maksud sang penulis.

Penerjemah juga harus mampu mengekspresikan hal tersebut sesempurna mungkin,

sehingga pembaca tidak menyadari bahwa teks tersebut adalah suatu karya

terjemahan. Disamping itu, Barnwell (1983, p.23) juga menyatakan bahwa

terjemahan yang baik harus akurat, jelas, dan natural. Dengan kata lain, untuk

mendapatkan hasil terjemahan yang baik, penerjemah harus menguasai baik BSu

maupun BSa.

Penerjemah menerjemahkan baik dalam hal yang paling konkret dari sebuah

makna, seperti kata dan struktur, maupun dalam hal yang paling abstrak dari sebuah

makna, seperti konteks, budaya, dan ideologi. Makna tersebut dinegosiasikan dalam

terjemahan dengan bantuan sebuah teori atau lebih. Linguistik Sistemik Fungsional

(LSF) adalah teori linguistik yang memandang bahasa sebagai media untuk

menciptakan makna dalam konteks (Eggins, 2004, p. 327). Makna dan konteks adalah

dua hal yang selalu dihadapi oleh penerjemah. SFL dapat menjadi jembatan yang

tepat antara keduanya, yang berkaitan dengan makna linguistik dan konteks yang

lebih luas. Penelitian yang mengangkat tema analisis terjemahan dengan sebuah

pendekatan SFL sudah banyak dilakukan. Hal ini membuktikan bahwa SFL dapat

menawarkan kerangka teoritis yang komprehensif dan efektif untuk membantu

membuat makna yang tertanam dalam teks sumber ke dalam teks sasaran. Dalam

artikel ini, akan diperkenalkan dan dijelaskan SFL secara singkat konsep utamanya

dan sekilas tentang pelopornya, bersama dengan para ahli dalam bidang

penerjemahan yang telah menggunakannya. Lalu akan dijelaskan beberapa kritik

untuk SFL, diikuti oleh penerapan yang lebih positif dalam praktek dan penilaian

terjemahan. Terakhir, akan disimpulkan dengan beberapa kesimpulan akhir tentang

penerapan SFL dalam terjemahan.

Tujuan Penelitian

1. Untuk memahami sekilas tentang Linguistik sistemik fungsional

2. Untuk mengetahui hubungan antara linguistic dengan penerjemahan

3. Untuk memahami penerapan LSF dalam bidang penerjemahan.

4. Untuk mengetahui teori penerjemahan yang dipengaruhi oleh LSF

Linguistik Sistemik Fungsional (LSF)

Linguistik Sistemik Fungsional (LSF) atau Systemic Functional Linguistic

(SFL) telah berkembang kurang lebih selama setengah abad. Konsep SFL pertama

kali diperkenalkan oleh Michael Alexander Kirkwood Halliday atau seringkali

disebut sebagai M.A.K. Halliday.  Linguistik Sistemik fungsional (LSF) adalah salah

satu aliran kajian bahasa fungsional yang mengkaji makna teks. Aliran ini

mengembangkan sebuah teori bahasa dengan memandang bahasa sebagai suatu

proses sosial. Dengan kata lain, aliran tersebut mencari cara cara bahasa yang

digunakan manusia yang tersusun dalam konteks-konteks yang berbeda (konteks

situasi dan konteks budaya). Di samping konteks situasi, sebuah teks juga dibangun

oleh konteks budaya. Konteks budaya mengacu pada nilai yang dianut oleh

sekelompok orang (masyarakat). Halliday (1992, p.63) mengatakan bahwa setiap

konteks situasi yang sebenarnya, susunan medan tertentu, pelibat dan sarana yang

telah membentuk teks itu, bukanlah suatu kumpulan ciri yang acak, melainkan suatu

keutuhan sebagai suatu paket yang secara khas bergandengan dalam suatu budaya.

Linguistik fungsional memandang bahasa sebagai sistem tanda yang dapat dianalisis

berdasarkan struktur bahasa dan pemakaian bahasa. Pemakaian bahasa berkait dengan

mengapa dan bagaimana bahasa digunakan. Dalam sudut pandang LSF, bahasa

adalah sistem arti dan sistem lain (yakni sistem bentuk dan ekspresi) untuk

merealisasikan arti tersebut (Saragih, 2002, p.1). Kajian ini berdasar pada dua konsep

yang mendasar yang membedakan LSF dengan aliran linguistik lain, yaitu (a) bahasa

merupakan fenomena sosial yang wujud sebagai semiotic sosial dan (b) bahasa

merupakan teks yang berkonstrual (saling menentukan dan merujuk) dengan konteks

sosial.

Linguistik Sistemik Fungsional ini memandang bahasa sebagai suatu pilihan makna

(choice) yang meliputi metafungsi tekstual, ideasional, dan interpersonal, yang

masing-masing dianalisis melalui struktur tema-rema, ketransitifan, dan mudus dalam

suatu klausa (Tomasowa, 1993).

Dalam analisisnya, di samping diilhami oleh pemikiran Firth dan tradisi

fungsional Eropa, LSF juga menerapkan prinsip abstrak dari Hjenslev dan pemikiran

dari linguistik Fraha (Halliday dalam Tomasowa, 1993). Di samping itu, dalam kajian

Linguistik Sistemik Fungsional Halliday ini tidak dapat dipisahkan dari tiga figur

nama, yaitu Malinowski, Firth, dan Whorf. Malinowski yang mana merupakan

seorang antropolog telah memberikan jawaban mengapa bahasa tidak mampu berdiri

sendiri, dengan mengatakan:

“For Malinoski, to think of language as a means of transfusing ideas from the head of the speaker to that of the listener was a misleading myth: to speak, particulary in a primitive culture, is not to tell but to do, in the primitive uses, language functions as a link in concerted human activity ....It is a mode of action and not an instrument of reflection (Sampson, 1980).

Konsep Malinoski tersebut banyak dimanfaatkan Halliday dalam kajiannya.

Pertama, Halliday menempatkan definisi makna sebagai fungsi dalam konteks.

Kedua, menerima ciri-ciri multi fungsi bahasa sebagai fungsi interpersonal,

ideasional, dan tekstual yang dikaitkan dengan berbagai perwujudan fungsi bahasa

versi Malinoski. Secara khusus dapat disamakan antara pragmatik menurut

Malinowski dengan fungsi interpersonal menurut Halliday. Dijelaskan oleh Sampson

(1980) bahwa “Malinoski clarifies his idea of meaning by appealling to a notion of

context of situation “.

Kemudian teori Firth yang cukup berpengaruh terhadap linguistik sistemik

fungsional Halliday adalah deskripsikan peristiwa-peristiwa kebahasaan. Firth

mengidentifikasi, bahwa terdapat tiga aspek dalam linguistic event, yakni (1) the

participants: person, personalities and relevant features of these (i) the verbal action

of the participants and (ii) the non-verbal action of the participants; (2) the relevant

object and non-verbal and non-personal events; (3) the efect of the verbal action”

(Firth, 1957: 182).

Teori Firth dalam mendeskripsikan bahasa dengan berbagai istilah fungsi

bahasa dalam konteksnya, bahwa suatu unit linguistik dapat ditinjau dari dua macam

konteks: (1) dalam konteks sistem, dan (2) dalam konteks struktur sintagmatik.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Firth, “meaning” atau “function in context”

dapat diinterpretasikan sebagai/ sesuatu yang berterima dan sesuai dengan konteks,

jika ujaran atau bagian dari ujaran merupakan sesuatu yang bermakna (meaningful),

dan hanya jika demikian, ujaran dapat digunakan dalam berbagai konteks yang

sesungguhnya (Sampson, 1980).

Akhirnya, pandangan yang berkembang pada aliran Fraha, Tagmemik, dan

Glosemik banyak mewarnai pandangan Halliday. Di antara teori tersebut adalah

“Scale and Category Grammar, dan systemic Grammar (Halliday, 1961).

Teori Skala dan Kategori menerapkan tiga skala abstraksi: Rank, dellicacy,

dan exponence (Halliday, 1961). Pengembangan yang terus menerus atas teori skala

dan kategori yang dilakukan Halliday, merintis jalan ke arah lahirnya pandangan

fungsional; keterkaitan bahasa dengan tautan sosialnya. Dalam hal ini terdapat

keterkaitan antara leksikogramatika dan makna.

Ajaran Halliday ini terkenal dengan tatabahasanya systemic grammar

(tatabahasa sistemik). Dalam bukunya yang berjudul The Linguistic Sciences and

Language Teaching, Halliday memaparkan secara garis besar tentang Tatabahasa

Sistemik, antara lain (1) Form (bentuk), organisasi dari substansi peristiwa yang

pada arti, yaitu tatabahasa dan leksis; (2) Substance (substansi), materi fonik dan

grafik; dan (3) context (konteks), hubungan antara “bentuk” dan “situasi”, yaitu

semantik.

Hubungan antara penerjemahan dan linguistik

Hubungan antara penerjemahan dan linguistik tak terelakkan keberadaannya.

Para teoretikus percaya bahwa linguistik memiliki peranan yang sangat besar pada

penerjemahan. Seorang ahli linguistik dari Inggris, P. Fawcett pernah berkata bahwa

tanpa berpegangan pada linguistik, penerjemah seperti seseorang yang bekerja tanpa

peralatan yang lengkap (Fawcett, 1997. P. foreword). Diantara banyaknya pendekatan

ilmu, tidak banyak teoretikus yang benar-benar menyangkal pertalian hubungan anara

linguisti dan penerjemahan. Hal ini dikarenakan, seperti yang pernah dikatakan C.

Taylor, “…translation is undeniably a linguistic phenomenon, at least in part”

(Taylor, 1998, p.10).

Fawcett menyatakan (1997, p.2), hubungan antara linguistik dan terjemahan

bias dibilang setali tiga uang. Di satu sisi, temuan linguistik dapat diterapkan pada

praktek penerjemahan; di sisi lain, temuan linguistik mungkin bisa digunakan untuk

membangun teori linguistik terjemahan. Bell bahkan berpendapat bahwa terjemahan

sangat berharga bagi linguistik: “…as a vehicle for testing theory and for

investigating language use” (Bell, 1991, p. xvi)

Lalu sekarang pertanyaannya adalah, mengapa teori linguistik yang akan

dibahas adalah linguistic sistemik fungsional? Disini akan dibahas pembuktian

tentang LSF yang dapat berguna bagi teori dan praktik penerjemahan dan alasan

pemilihan grammar fungsional sebagai alat untuk menganalisis teks.

Terlepas dari kemahiran dalam dua bahasa, yang sumber dan target,

penerjemahan mengisyaratkan banyak pengetahuan dan menuntut sang penerjemah

untuk mengetahui berbagai disiplin ilmu lainnya, tergantung pada teks yang

diterjemahkan. Meskipun masalah yang paling jelas muncul ketika sedang

menerjemahkan mungkin tampaknya adalah masalah kata-kata dan ungkapan,

masalah penerjemahan tidaklah hanya sebatas soal pemilihan kosakata; tata bahasa

juga mempunyai peran yang amat sangat penting. Memang, grammar fungsional

lebih memilih untuk berbicara dalam hal leksiko-grammar, yang mencakup

baik tata bahasa dan lexis (Halliday, 1978,p. 39). Dengan mengacu pada

peran penting dalam terjemahan, C. Taylor Torsello menyatakan:

...grammar should be a part of the education of a translator, and in particular functional grammar since it is concerned with language in texts and with the role grammar plays, in combination with lexicon,

in carrying out specific functions and realizing specific types of meaning (Taylor Torsello 1996: 88).

Setelah membaca pernyataan tersebut, bisa dikatakan baru saja ditemukan

jawaban yang cukup meyakinkan untuk menjawab pertanyaan: mengapa LSF?

Namun, lebih baik lagi jika pembahasannya dilanjutkan secara bertahap ke ranah

fungsional grammar yang merupakan cara terbaik untuk menggambarkan, langkah

demi langkah, mengapa LSF dapat dikatakan relevan pada penerjemahan. Fokus

utama grammar fungsional menjadi lebih jelas jika dilihat dari teori yang

dikemukakan oleh Halliday sendiri:

It is functional in the sense that it is designed to account for how the language is used. Every text [...] unfolds in some context of use [...]. A functional grammar is essentially a ‘natural’ grammar in the sense that everything in it can be explained, ultimately, by reference to how language is used (Halliday 1985/1994: xiii, emphasis in the original).

Grammar fungsional cenderung lebih menjelaskan bahasa dalam hal

penggunaannya dan berpusat disekitar teks dan konteksnya. Dikarenakan grammar

fungsional berkaitan dengan bahasa dan bagaimana bahasa dipakai dalam sebuah

teks, maka bisa dikatakan fungsional grammar sejalan dengan tujuan penerjemah;

menerjemahkan teks. (Torsello 1996: 91).

Lalu apalah yang dimaksud dengan teks? Miller mendefinisikannya sebagai

“[…] a fragment of the culture that produces it” (Miller, 2005). Dan Halliday dan

Hasan sendiri mendefinisikan teks sebagai “[…] a unit of language in use” (1976: 1).

Tujuan dari kajian ini adalah untuk mencari teori linguistik yang melihat bahasa

sebagai alat komunikasi yang dinamis dan sebagai “semiotika sosial” (Halliday

1978). Dan LSF memang berkenaan dengan bagaimana cara kerja bahasa, bagaimana

menyusun bahasa, dan fungsi sosial apa yang terkandung. Dengan kata lain, LSF

adalah teori yang berorientasi pada kontekstual dan sosio-linguistik yang memandang

bahasa tertanam dalam budaya, dan di mana makna dapat dipahami hanya dengan

mengacu pada lingkungan budaya.

Semua ini bahkan lebih jelas ketika berhadapan dengan aktivitas

penerjemahan, ketika seorang penerjemah tidak hanya harus mengenali dan

memahami konteks sosial dan budaya yang berbeda pada teks sumber, tetapi juga

harus mampu mengalihbahasakan makna dalam lingkungan yang sangat berbeda pada

teks sasaran.

Dengan kata lain, penerjemah selalu bersentuhan dengan dua budaya yang

berbeda, yakni budaya dari bahasa sumber dan budaya bahasa sasaran. Penerjemah

juga kerap kali mendapat kesulitan dalam mengenali keistimewaan suatu budaya

sehingga penerjemah harus menemukan cara yang tepat untuk menyampaikan

keistimewaan itu kepada para pembaca sasaran. Sebagai hasilnya, sebuah pendekatan

yang berpusat pada bahasa yang melekat pada konteks diyakini dapat membuktikan

bahwa pendekatan tersebut merupakan bantuan yang sangat berarti dalam proses

menerjemahkan.

Ketika berhadapan dengan terjemahan suatu teks, baik itu teks kesusastraan

atau pun teks khusus, penerjemah diharapkan bisa menerapkan proses penerjemahan

Bottom-Up, yakni dari realisasi lexico-gramatikal ke pengenalan makna yang ada

dalam teks serta menyusun ulang “konteks situasi” dan “budaya” yang mengaktifkan

makna dan susunan kata semacam itu. Lalu penerjemah juga diharapkan mampu

menerjemahkannya dengan tepat, dengan mempertimbangkan konteks dari bahasa

sumber dan bahasa sasaran. Perlu diketahui juga bahwa, dalam LSF, penggunaan kata

“konteks” tidak merujuk pada “tataran teks di sekitar teks”—yang mana istilah untuk

itu adalah “co-text”. “Konteks” dalam LSF merujuk pada konsep yang pasti dan

spesifik yang akan dibahas selanjutnya.

Malinowski, seorang antropolog Polandia, merupakan orang pertama yang

mencetuskan gagasan “Konteks Situasi” pada tahun 1923. Halliday menyatakan

bahwa wawasan Malinowski tersebut mengekori karyanya mengenai masalah-

masalah dalam penerjemahan, khususnya masalah yang berhubungan dengan teks

yang “eksotis” atau “primitif”, dan budaya yang dihimpun selama penelitiannya di

Melanesia (Halliday 1992: 24). Gagasan Malinowski tersebut kemudian

dikembangkan oleh Firth (Halliday dan Hasan 1985/1989: 8) dan selanjutnya

digabungkan ke dalam FG model oleh Halliday.

Teori Penerjemahan yang dipengaruhi oleh LSF

Setelah pembahasan mengenai landasan teori yang menjembatani antara LSF

dengan penerjemahan, pada bagian ini akan dibahas mengenai bagaimana LSF dapat

diaplikasikan pada praktik penerjemahan. Disini akan diuraikan teori teori

penerjemahan yang dipengaruhi oleh LSF.

Dalam penerjemahan, banyak teoretikus penerjemahan yang mengembangkan

pendeketan fungsional yang diusung oleh M.A.K. Halliday’s; beberapa diantaranya

adalah Juliane House dalam bukunya A Model for Translation Quality Assessment

(1977) yang dalam dua puluh tahun kemudian direvisi kembali menjadi Translation

Quality Assessment: A Model Revisited (1997) dan Roger Bell dalam bukunya yang

berjudul Translation and Translating: Theory and Practice (1991)

1. Juliana House

Inti konsep dalam teori yang diperkenalkan oleh House adalah analisis

register dan gagasan 'kesetaraan', karena penerjemahan, menurut para teoritikus, pasti

terikat baik pada pembaca teks sumber maupun sasaran. Tugas penerjemah adalah

untuk mempertahankan makna di dua "linguacultures" yang berbeda. (House, 1977)

Dalam bukunya yang pertama, House (1977) memperkenalkan teori analisis

register yang mendetail menggunakan dimensi situasi. Pada setiap parameter, ia

membedakan antara sintaks, leksikal, dan makna tekstual. Langkah langkahnya terdiri

atas (1) analisis teks sumber dan fungsi statemen; (2) perbandingan antara teks

sumber dan teks sasaran, yang diikuti analisis “mismatches.” Dalam bukunya, House

(1977) membedakan dua jenis penerjemahan, yakni “overt” dan “covert.” Dalam

buku pertamanya, House juga memperkenalkan gagasan tentang “cultural filter.”

Dalam bukunya yang kedua, House (1997) tetap mengusung beberapa

teorinya pada buku sebelumnya, namun kali ini House menggabungkannya dengan

teori analisis register Halliday (Field, Tenor, dan Mode) seperti yang tergambar pada

skema berikut:

Skema yang diusung House untuk menganalisis dan membandingkan teks sumber dan

teks sasaran. (House, 1997)

House membuat modelnya dengan mengacu pada asumsi kedekatan erat

antara teks dan konteks, yaitu antara linguistik dan realisasi tekstual serta konteks

situasi, yang ditentukan oleh Field, Tenor, dan Mode.

Dalam dimensi Field, House mendeskripsikan “apa yang sedang terjadi”,

yaitu tentang apakah teks itu? Atau apa yang sedang terjadi dalam teks itu? Atau apa

topiknya?

Tenor merujuk pada “siapa yang turut serta”, dan juga sifat Addresser dan

Addressee, hubungan mereka dalam hal peran social, sikap social. Juga tingkatan

emosi dan intelektual. Dimensi Tenor menurut House juga mencakup geografis, asal,

dan sosial penulis.

Lalu pada dimensi Mode, House menerangkan tentang bagaimana teks itu

diwujudkan, khususnya yang media komunikasi yang digunakan, dan tingkat

partisipasi antara Addresser dan Addressee terlibat.

Untuk setiap sampel teks, analisis Register teks sumber dilakukan. Dimensi utama

Konteks Situasi - Field, Tenor dan Mode - dan sub-kategorinya dianalisis dalam hal

leksikal, sintaksis dan arti tekstual. Kemudian House juga memberi deskripsi 'Genre',

deskripsi jenis teks dalam konteks budaya dan tujuannya.

2. Roger T. Bell

Bell menggunakan model LSF dalam teori kognitif terjemahan, dalam upaya

untuk menggambarkan proses menerjemahkan. Bell mencoba memberikan garis besar

jenis pengetahuan dan keterampilan yang harus mendasari kemampuan praktis

penerjemah (Bell, 1991). Dengan kata lain, Bell menawarkan kepada seseorang

teknik linguistik yang dapat membantu untuk menganalisis teks sumber yang

seseorang itu harus terjemahkan dan teks sumber yang seseorang itu harus hasilkan.

Bell memilih model LSF secara khusus untuk dua alasan. Pertama, karena

masalah utamanya berhubungan dengan makna, yang mana adalah “the kingpin of

translation studies” (Bell, 1991), baik dari segi teoritikal maupun segi praktikal.

Kedua, karena LSF sangat penting kaitannya dengan aspek social bahasa, yang mana

merupakan inti dari penerjemahan.

Bell mengidentifikasikan makna menjadi tiga jenis, yaitu “cognitive”,

“interactional” dan “discoursal”, yang diatur oleh tiga “macrofunctions” (Halliday

menyebutnya sebagai “metafunctions”) dan kemudian direalisasikan dalam bahasa

oleh tiga sistem (“logical”, “grammatical” dan “rhetorical”), seperti yang dijelaskan

pada table berikut:

MEANING MACROFUNCTION SYSTEM

cognitive ideational logical

interactional interpersonal grammatical

discoursal textual rhetorical

Bell’s linguistic tripartite model (Bell, 1991)

Hal ini dibahas secara khusus dalam bab empat. Disitu dijelaskan bahwa Bell

menguraikan Model Halliday, yang membagi makna menjadi tiga tingkatan utama

makna. Bell berpendapat untuk proses penerjemahan yang melibatkan analisis dan

sintesis, masing masing berisikan tiga tingkatan utama: sintaksis, semantic, dan

pragmatic. Dalam modelnya, sebuah analisis klausa pada teks sumber adalah

“perubahan” pertama kedalam sebuah “language-free semantic representation” (Bell,

1991) , yang akan dipakai sebagai pondasi penerjemahannya kedalam bahasa lain,

seperti yang dirangkum pada gambar berikut:

Proses Penerjemahan Bell (Bell, 1991, p.21)

Analisis dilakukan melalui kategori fungsional dan pragmatis klausa

struktur, konten proposisional, struktur tematik, fitur register, kekuatan ilokusi dan

tindak tutur. Sintesis, di sisi lain, meliputi tujuan, struktur tematik, gaya dan kekuatan

ilokusi sebelum memperoleh sintesis sintaksis (Bell, 1991, p. 58-60).

Pada model yang diusung oleh Bell, tipe makna yang pertama, yaitu,

'kognitif', atau tentang apakah teks tersebut, dinyatakan oleh 'macrofunction

ideasional', dengan menarik pada sistem dan jaringan “transitivity” atau transitivitas

untuk membuat proposisi yang menyampaikan pengalaman pengguna dari dunia luar

indra dan dunia pikiran "(Bell, 1991, p. 121).

“Interactional” (atau 'speech functional') artinya dilakukan oleh

“macriofunction antarpribadi“, dengan menarik pada sistem dan jaringan “mood

"untuk membuat kalimat yang membawa konten kognitif dan logis dari proposisi dan

menampilkan hubungan pembicara dengan orang lain kepada siapa pesan sedang

dialamatkan" (Bell, 1991, p.121).

Terakhir, “discoursal” yang berarti diungkapkan oleh “macrofunction

tekstual”, dengan menarik sistem dan jaringan ”Theme” "untuk membuat dan

merealisasikan ucapan (atau teks) dalam konteks komunikatif yang sebenarnya".

Ucapan-ucapan tidak hanya membawa konten proposisional, tetapi juga

memerintahkan secara kohesif dan koheren (sesuai dengan konteks penggunaan)

(Bell, 1991, p. 121). Macrofunction tekstual mengatur makna discoursal dengan

menempatkan makna baik kognitif dan interaksional dalam konteks dan membuat

"perbedaan antara bahasa [yang] ditangguhkan dalam vakum dan bahasa yang

operasional" (Halliday, 1978, dalam Bell, 1991, p.148). Tanpa macrofunction ini,

pembicara hanya akan menghasilkan kalimat sembarangan.

Lalu bagaimana model ini bisa digunakan oleh penerjemah? Seorang

penerjemah pertama harus mengerti tiga lapis makna tersebut melalui analisis

perwujudan linguistik mereka.

Bell, merujuk pada jenis makna yang diketahui, membedakan antara

proposisi, kalimat, dan ucapan, di mana proposisi bersifat universal, kalimat adalah

bahasa yang spesifik dan ucapan berkaitan dengan konteks (Bell, 1991, p.106-108).

Bell menyatakan bahwa, di antara tiga hal tersebut, proposisi adalah yang

terpenting untuk penerjemah: yang tidak terikat pada bahasa tertentu, memiliki peran

sentral dalam komunikasi dan menawarkan petunjuk mendasar untuk proses

penerjemahan. Tugas pertama penerjemah kemudian ialah "untuk menguraikan

bahasa tertentu” dari teks sumber “kedalam konten proposisional universalnya"(Bell,

1991, p. 109). Dengan menyimpulkan struktur proposisi yang mendasari teks,

penerjemah “makes sense” akan teks sumber- "prasyarat utama untuk

menerjemahkannya" (Bell, 1991, p.130). Sementara klausa yang "secara eksplisit

hadir", dan proposisi hanyalah secara implisit (Bell, 1991, p. 129).

Bell menyatakan bahwa, sistem transitivity bersifat universal, sementara

sistem mood adalah bahasa spesifik, karena bahasa yang berbeda mengatur struktur

klausa berbeda (Bell, 1991). Hal ini penting bagi penerjemah untuk mengetahui

perbedaan sistem mood. Modalitas juga adalah bahasa spesifik. Misalnya, bahasa

Inggris menggunakan kata kerja modal atau tambahan berarti untuk mengekspresikan

pendapat. “… It is fundamental for the translator to be able to recognize the strength

with which the writer of the [ST] holds an opinion and to be able to render that in an

appropriate manner in the [TL]” (Bell, 1991, p. 146). Dalam menjelaskan aspek ini,

Bell menawarkan beberapa contoh terjemahan antara bahasa Inggris dan Jerman. Juga

sistem theme yang berbeda di berbagai bahasa; khususnya, bahasa yang memiliki cara

yang berbeda untuk menandai tema. Bells menunjukkan beberapa contoh dari bahasa

Inggris dan Perancis. Dia menambahkan bahwa sistem theme beroperasi melalui dua

sistem, yaitu, secara tematisasi dan informasi, tetapi yang terakhir berkenaan dengan

speech.

Dari yang telah diuraikan secara singkat diatas, maka jelaslah bahwa Bell

telah menjauh dari pendekatan formal bahasa dan mulai merangkul yang fungsional.

Simpulan

Dari pembahasan diatas, dapat kita simpulkan bahwa LSF yang diusung oleh

linguist bernama M.A.K Halliday memiliki kaitan dan dapat diterapkan dalam

penerjemahan. Bahkan, LSF tidak hanya dapat diterapkan dalam penerjemahan, tetapi

juga memiliki peran dalam mengembangkan teori penerjemahan. Hal ini dibuktikan

oleh Juliana House dalam bukunya A Model for Translation Quality Assessment

(1977) yang dalam dua puluh tahun kemudian direvisi kembali menjadi Translation

Quality Assessment: A Model Revisited (1997) dan Roger Bell dalam bukunya yang

berjudul Translation and Translating: Theory and Practice. (1991).

Daftar Pustaka.

Barnwell, Katharine. (1983). Towards acceptable translations. Notes on Translation 95:19–25.

Bell, R.T. (1991) Translation and Translating: Theory and Practice, London/New York: Longman.

Eggins, Suzanne. (2004). An Introduction to Systemic Functional Linguistics. Second Edition. London: Continuum.

Eugene. A. Nida and Charles R. Taber (1969), The Theory and Practice of Translation. Leiden: E.J Brill.

Fawcett, P. (1997). Translation and Language, Manchester: St. Jerome.

Gregory, M. (2001). “What can linguistics learn from translation?” in Steiner, E. & C. Yallop (eds) (2001), 19-40.

Halliday, M.A.K (1978) Language as Social Semiotic: the Social Interpretation of Language and Meaning, London: Arnold.

Halliday, M.A.K. & R. Hasan. (1976). Cohesion in English, London/New York: Longman.

Halliday, M.A.K. (1985/1994.) An Introduction to Functional Grammar, 2nd Edition, London: Arnold.

Halliday, M.A.K. (1992) “Language Theory and Translation Practice”, Rivista internazionale di tecnica della traduzione, 0: 15-25.

House, J. (1977/1981). A Model for Translation Quality Assessment, Tübingen: Gunter Narr.

House, J. (1997) Translation Quality Assessment: A Model Revisited, Tübingen: Gunter Narr.

Kress Gunther (ed.). (1976). Halliday: System and Function in Language, Selected Papers edited by G.R. Kress, Oxford.

Miller, D.R., with the collaboration of Maiorani, A. & Turci, M. (2005), Language as Purposeful: Functional Varieties of Texts, Quaderni

Sampson, Geoffrey. (1980). Schools of Linguistics. California: Stanford University.

Saragih, Amrin. (2002). Bahasa dalam Konteks sosial. Medan: FBS Unimed.

Taylor Torsello, C. (1996) “Grammatica e traduzione”, in G. Cortese (a cura di), Tradurre i linguaggi settoriali, Torino: Edizioni Libreria Cortina, 87-119.

Taylor, C. (1998) Language to Language, Cambridge: CUP.

Tomasowa, Francien Herlen. (1993). Struktur klausa bahasa Indonesia analisis sistemik M.A.K.Holliday. Jakarta: Lembaga Bahasa Unika Atma Jaya.