paper mata jia

30
PAPER DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H.ADAM MALIK MEDAN NAMA : Rahmi Silviyani NIM : 100100175 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Juvenile Idiopathic Arthritis (JIA) merupakan penyakit kronis yang merusak dan menghancurkan sendi-sendi tubuh. Kerusakan disebabkan oleh peradangan yang merupakan respon normal dari sistem kekebalan tubuh. Peradangan pada sendi menyebabkan nyeri, kekakuan, dan bengkak serta gejala lainnya. Selain itu, peradangan sering mempengaruhi organ lain dari sistem tubuh. Jika peradangan tidak dihambat atau dihentikan, akhirnya akan menghancurkan sendi yang terkena dan jaringan lainnya. 1 Penyakit ini merupakan penyakit aktif yang dapat terus berlangsung sampai usia dewasa. 2 Sampai saat ini penyebab JIA belum diketahui, namun bukti-bukti yang ada menunjukkan pengaruh faktor genetik dan respons autoimun abnormal sehingga terjadi inflamasi dan destruksi sendi yang progresif. 2 Insiden JIA diperkirakan 2 - 20 kasus per 100.000 anak dengan prevalensi 16 - 150 kasus per 100.000 anak diseluruh dunia. Juvenile Idiopathic Arthritis (JIA) biasanya muncul sebelum usia 16 tahun. Namun onset penyakit juga dapat terjadi lebih awal, dengan frekuensi tertinggi 1

Upload: rahmi-silviyani

Post on 06-Dec-2015

250 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

papermata JIA

TRANSCRIPT

PAPERDEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H.ADAM MALIK MEDAN

NAMA : Rahmi SilviyaniNIM : 100100175

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Juvenile Idiopathic Arthritis (JIA) merupakan penyakit kronis yang

merusak dan menghancurkan sendi-sendi tubuh. Kerusakan disebabkan oleh

peradangan yang merupakan respon normal dari sistem kekebalan tubuh.

Peradangan pada sendi menyebabkan nyeri, kekakuan, dan bengkak serta gejala

lainnya. Selain itu, peradangan sering mempengaruhi organ lain dari sistem tubuh.

Jika peradangan tidak dihambat atau dihentikan, akhirnya akan menghancurkan

sendi yang terkena dan jaringan lainnya.1

Penyakit ini merupakan penyakit aktif yang dapat terus

berlangsung sampai usia dewasa.2 Sampai saat ini penyebab JIA

belum diketahui, namun bukti-bukti yang ada menunjukkan

pengaruh faktor genetik dan respons autoimun abnormal

sehingga terjadi inflamasi dan destruksi sendi yang progresif.2

Insiden JIA diperkirakan 2 - 20 kasus per 100.000 anak dengan prevalensi

16 - 150 kasus per 100.000 anak diseluruh dunia. Juvenile Idiopathic Arthritis

(JIA) biasanya muncul sebelum usia 16 tahun. Namun onset penyakit juga dapat

terjadi lebih awal, dengan frekuensi tertinggi antara usia 1-3 tahun. Perempuan

lebih sering terkena dari pada laki-laki.3,4

Penderita JIA berisiko tinggi untuk menderita komplikasi mata.

Iridosiklitis kronis terjadi pada 15-30% pada suatu waktu selama 10 tahun

pertama penyakit. Kadang kala anak menampakkan gejala awal kemerahan, nyeri,

fotofobia, dan penurunan tajam peglihatan. Satu atau dua mata dapat terkena.10

Uveitis juga merupakan komplikasi tersering yang disebabkan oleh JIA ini.

Uveitis adalah inflamasi traktus uvea (iris,korpus siliaris,dan koroid) dengan

berbagai penyebabnya. Struktur yang berdekatan dengan jaringan uvea yang

mengalami inflamasi biasanya juga ikut mengalami inflamasi.7 Penderita JIA

1

PAPERDEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H.ADAM MALIK MEDAN

NAMA : Rahmi SilviyaniNIM : 100100175

kurang dari 7 tahun dan tidak terdeteksi iridocyclitis harus menjalani pemeriksaan

ophtalmologic termasuk evaluasi slit-lamp dan pemeriksaan ANA-test.17

Angka kematian pada penderita JIA sedikit lebih tinggi dari pada anak

normal. Angka kematian tertinggi terjadi pada JIA sistemik. Juvenile Idiopathic

Arthritis (JRA) juga dapat berkembang menjadi penyakit lain, seperti Systemic

Lupus Erythematosus (SLE) atau skleroderma, yang memiliki angka kematian

yang lebih tinggi dari pada JIA pausiartikular atau poliartikular.1

2

PAPERDEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H.ADAM MALIK MEDAN

NAMA : Rahmi SilviyaniNIM : 100100175

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Juvenile Idiopathic Arthritis (JIA) adalah peradangan kronis autoimun

pada sendi yang onsetnya terjadi sebelum usia 16 tahun dan menetap lebih dari 6

minggu, setelah menyingkirkan penyebab lain.1

Uveitis adalah komplikasi yang sering terjadi pada JIA. Inflamasi

intraokular menginfeksi iris dan badan siliar (iridocyclitis), terkadang juga koroid

bisa terkena.13

Penderita JIA dengan tipe pausiartikuler berisiko tinggi untuk menderita

uveitis anterior. Uveitis merupakan peradangan pada traktus uvea (iris, kospus

siliaris, dan koroid) dengan berbagai penyebab. Struktus yang berdekatan dengan

jaringan uvea yang mengalami inflamasi biasanya juga ikut mengalami inflamasi.

Peradangan pada uvea dapat hanya mengenai bagian depan jaringan uvea atau iris

yang di sebut dengan iritis. Bila mengenai badan tengan disebut siklitis, dan bila

sudah mengenai iritis dan siklitis disebut iridosiklitis atau disebut dengan uveitis

anterior.17

2.2 Epidemiologi

Juvenile Idiopathic Arthritis (JIA) pada anak bukan penyakit yang jarang,

namun frekuensi sebenarnya tidak diketahui. Insiden JIA bervariasi antara 2

sampai 20 per 100.000 anak. JIA biasanya bermula sebelum usia 16 tahun. Namun

onset penyakit juga dapat terjadi lebih awal, dengan frekuensi tertinggi antara usia

1-3 tahun. Perempuan lebih sering terkena dari pada laki-laki.3,4

Insiden iridosiklitis pada penderita JIA sekitar 10-20 % dari seluruh

pasien JIA. Insidensi uveitis sekitar 15 per 100.000 orang, sekitar 75% merupakan

uveitis anterior. Berdasarkan klasifikasinya, sistemik memiliki keterlibatan mata

jarang; kurang dari 6% dari pasien dengan onset sistemik JIA memiliki uveitis,

tipe poliartikular hampir 40% dari kasus JIA tetapi hanya sekitar 10% pada

3

PAPERDEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H.ADAM MALIK MEDAN

NAMA : Rahmi SilviyaniNIM : 100100175

iridosiklitis, dan tipe pauciartikular termasuk sebagian besar (80% -90%) dari

pasien dengan JIA yang memiliki uveitis.17

JIA dilaporkan terjadi 81% pada anak-anak yang menderita Uveitis, dan

95% dari kasus tersebut adalah Uveitis Anterior. 14

2.3 Etiologi

Etiologi JIA belum banyak diketahui, diduga terjadi karena respon yang

abnormal terhadap infeksi atau faktor lain yang ada di lingkungan. Peran

imunogenetik diduga memiliki pengaruh yang sangat kuat.5,6

Juvenile Idiopathic Arthritis (JIA) merupakan penyakit autoimun dimana

sistem kekebalan tubuh secara keliru menyerang jaringan yang seharusnya

dilindungi. Namun, belum pernah ditemukan autoantibodi spesifik untuk JIA.

Penyebab yang mungkin adalah respon imun pejamu yang secara genetik rentan

terhadap suatu antigen (yang belum diketahui).7

2.4 Klasifikasi

Poliartikular

Juvenile Idiopathic Arthritis (JIA) tipe ini ditandai dengan keterlibatan

banyak sendi secara khas, yaitu ≥ 5 sendi, termasuk sendi kecil tangan. Biasanya

tipe ini terjadi pada 35% anak yang menderita JIA. Ada 2 subtipe JIA

poliartikular, yaitu poliartritis faktor reumatoid positif (20-30%) dan poliartritis

dengan faktor reumatoid negatif <5-10.6,9

Perjalanan penyakit ini bisa terjadi secara tiba-tiba dan berlangsung hebat,

atau secara progresif lambat yang akhirnya dapat menimbulkan kekakuan sendi,

pembengkakan dan kehilangan gerakan. Pada sendi yang terkena ditemukan

tanda-tanda terjadinya proses inflamasi, seperti nyeri, bengkak, panas, penurunan

fungsi tetapi jarang terlihat memerah. Bengkak terjadi akibat edema periartikular,

efusi sendi, dan penebalan sinovial. Nyeri jarang dikeluhkan pada anak yang lebih

kecil. Gejala klinis terlihat dari berkurangnya pergerakan pada sendi yang terkena.

4

PAPERDEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H.ADAM MALIK MEDAN

NAMA : Rahmi SilviyaniNIM : 100100175

Hal ini dapat merupakan akibat dari spasme otot sendi yang mengalami efusi dan

proliferasi sinovial.8

Manifestasi ekstra-artikular JIA poliartikular tidak sehebat manifestasi

yang tampak pada JIA tipe sistemik. Kebanyakan penderita dengan penyakit

poliartikular yang aktif menderita malaise, anoreksia, iritabilitas, dan anemia

ringan. Demam ringan, hepatosplenomegali ringan, dan limfadenopati dapat

dijumpai. Bisa terjadi perikarditis dan iridosiklitis tetapi jarang. Nodulus

reumatoid dapat terjadi pada titik tekanan. Hal ini biasanya dijumpai pada

penderita dengan hasil uji aglutinasi positif terhadap faktor reumatoid. Vaskulitis

reumatoid kadang-kadang terjadi pada penderita dengan faktor reumatoid positif

sebagaimana pada penyakit sjogren. 10

Pausiartikular

Pada pausiartikular, sendi yang terkena terbatas pada ≤ 4 sendi selama 6

bulan pertama sesudah timbulnya penyakit. Sendi yang terkena terutama sendi

besar, dan penyebarannya sering tidak simetris. Ada 2 subtipe dari pausiartikular

ini, yaitu tipe 1 terutama menyerang anak perempuan yang masih kecil pada saat

mulainya penyakit dan berisiko menderita iridosiklitis kronis. Tipe 2 terutama

menyerang anak laki-laki dengan usia yang lebih besar pada saat mulainya

penyakit dan lebih berisiko mengalami spondiloartropati. 5,8

Pausiartikular tipe 1 adalah tipe yang paling umum terjadi (30-40%).

Sebanyak 90% penderita memiliki tes ANA positif dan tidak disertai dengan

faktor reumatoid ataupun HLA 27. Sendi yang paling sering terkena adalah sendi

lutut, pergelangan kaki, dan siku. Kadang-kadang ada keterlibatan tersendiri pada

sendi lainnya, seperti sendi temporomandibular, satu jari kaki atau tangan,

pergelangan tangan, atau leher. Pinggul dan tulang lingkar panggul biasanya tidak

terkena dan tidak disertai sakroilitis. Gambaran klinis dan histologi sinovial sendi

yang terkena tidak dapat dibedakan dari gambaran klinis dan histologi JIA.6

Penderita dengan penyakit pausiartikuler tipe 1 berisiko tinggi untuk

menderita komplikasi mata. Iridosiklitis kronis terjadi pada 15-30% pada suatu

5

PAPERDEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H.ADAM MALIK MEDAN

NAMA : Rahmi SilviyaniNIM : 100100175

waktu selama 10 tahun pertama penyakit. Ciri khas iridosiklitis kronis JIA adalah

tidak disertai gejala atau tanda-tanda awal. Kadang kala anak menampakkan

gejala awal kemerahan, nyeri, fotofobia, dan penurunan tajam peglihatan. Satu

atau dua mata dapat terkena. Jika dimulai dari unilateral, mata yang lain biasanya

tetap tidak terlibat. Iridosiklitis kadang-kadang merupakan manifestasi JIA yang

ada tetapi biasanya iridosiklitis menyertai awal timbulnya keluhan sendi selama

berbulan-bulan sampai bertahun-tahun. Penderita dengan iridosiklitis biasanya

memiliki tes ANA yang positif. Tanda-tanda peradangan iris dan korpus siliaris

yang paling awal adalah bertambahnya jumlah sel serta jumlah protein dalam

kamera okuli anterior. Perubahan yang timbul hanya dapat dideteksi dengan

pemeriksaan slit lamp. Seringkali radang okuler tetap aktif selama bertahun-tahun.

Sekuelenya meliputi sinekia posterior, katarak dengan komplikasinya, glaukoma

sekunder, dan ptosis bulbi yang dapat berakibat kehilangan visus dan kebutaan

permanen. Oleh karena itu, pada anak dengan pausiartikular harus dilakukan

pemeriksaan slit lamp 3-4 kali setahun sekurang-kurangnya selama 5 tahun

pertama penyakit tanpa memandang aktivitas penyakit sendi. Manifestasi ekstra-

artikular lainnya pada JIA pausiartikular biasanya ringan, seperti demam ringan,

malaise, hepatomegali, limfedenopati sedang, dan anemia ringan. Hal ini bisa

dikaitkan dengan aktivitas penyakit yang aktif. Uveitis pada pasien ini cenderung

akut dan berulang. 17

Penyakit pausiartikular tipe 2 mengenai 10-15% penderita JIA terutama

anak laki-laki yang berusia lebih dari 8 tahun. Riwayat keluarga sering

menunjukan adanya anggota keluarga yang juga menderita artritis pausiartikular,

spondilitis ankilosa, dan penyakit reiter (iridosiklitis akut). Uji ANA biasanya

negatif. Pada tipe ini sendi yang sering terkena adalah sendi besar, terutama sendi

ekstremitas bawah. Nyeri tumit, fasiitis plantaris atau tendinitis achilles sering

ditemui. Kemungkinan juga dapat ditemukan radang pada tempat insersi tendon

pada tulang. Seiring berjalannya waktu, artritis pausiartikular tipe 2 ini

berkembang menjadi spondilitis ankilosa yang khas dengan keterlibatan spina

lumbodorsal, manifestasi sindroma reiter (hematuria atau piuria, uetritis,

6

PAPERDEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H.ADAM MALIK MEDAN

NAMA : Rahmi SilviyaniNIM : 100100175

iridosiklitis akut atau manifestasi mukokutan), atau adanya tanda-tanda penyakit

radang usus.6

Sistemik

Hanya terdapat 10% kasus tetapi keterlibatan mata jarang, kurang dari 6%

dari pasien dengan onset sistemik JIA memiliki uveitis.. Ditandai dengan fever

spikes dan mempunyai ciri ruam yang berwarna pink pucat, yang seringnya pada

badan dan ekstremitas proksimal. Demam, yang biasanya di bawah normal pada

pagi hari, terjadi paling minimal dalam 2 minggu. Selain dari ruam dan demam,

anak-anak biasanya mendapat visceral disease, seperti hepatosplenomegali,

limfadenopati, plevitis, dan perikarditis.

2.5 Patofisiologi

Terdapat 4 jenis patogenesis terjadinya JIA, yaitu :8

1. Berhubungan dengan molekul HLA dan non HLA

Gen HLA merupakan faktor genetik penting pada JIA karena fungsi utama

dari gen ini sebagai APC ke sel T. Hubungan antara HLA dengan JRA berbeda-

beda tergantung subtipe JRA.8

2. Mediator inflamasi pada kerusakan sendi

Patogenesis yang tepat tentang faktor reumatoid belum diketahui

sepenuhnya, diduga melibatkan aktivasi komplemen melalui pembentukan

komplek imun. Antinuclear antibody (ANA) dihubungkan dengan onset dini

terjadinya oligoartritis tetapi antibodi ini tidak spesifik untuk JRA.

3. Profil inflamasi khas pada penyakit tipe sistemik

Patogenesis dari JIA tipe sistemik berbeda-beda pada jenis JIA dalam berbagai

bagian seperti kurangnya keterkaitan antara tipe HLA serta tidak adanya

autoantibodi dan sel T reaktif. Penderita dengan penyakit tidak menunjukkan

tanda-tanda dari limfosit mediated antigen yang merupakan respon imun spesifik.

7

PAPERDEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H.ADAM MALIK MEDAN

NAMA : Rahmi SilviyaniNIM : 100100175

Tanda-tanda klinis dari JIA tipe sistemik juga dihubungkan dengan granulositosis,

trombositosis, dan peningkatan regulasi reaktan fase akut yang menandakan

aktivasi tidak terkontrol dari sistem imun didapat.7

Patogenesis JIA berhubungan dengan Uveitis masih belum diketahui.

Masih diasumsikan dikarenakan autoimun. Ini berhubungan dengan adanya

autoantibodi di serum pasien dengan JIA, dimana itu adalah respon positif dari

terapi imunosupresif. Anti-nuclear antobodies (ANA) adalah autoantibodi yang

sangat berhubungan dengan JIA. 15

2.6 Diagnosis

Kriteria diagnosis Juvenile Chronic Arthritis menurut European League

Against Rheumatism (EULAR) :2

1. Usia penderita < 16 tahun

2. Artritis pada satu sendi atau lebih

3. Lama sakit > 3 minggu

4. Tipe onset penyakit :

a. Poliartritis : > 4 sendi, faktor reumatoid negatif

b. Pausiartikular: < 5 sendi

c. Sistemik : artritis dengan demam

d. Artritis reumatoid juvenil : > 4 sendi, faktor reumatoid positif

e. Spondilitis ankilosing juvenil

f. Artritis psoriasis juvenil

Kriteria diagnosis pada uveitis dapat ditegakkan dengan cara anamnesa,

pemeriksaan oftalmologi dan penunjang.17

1. Anamnesis

8

PAPERDEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H.ADAM MALIK MEDAN

NAMA : Rahmi SilviyaniNIM : 100100175

Dilakukan dengan menanyakan riwayat kesehatan pasien, riwayat

penyakit terdahulu, serta riwayat penyakit sistemik yang pernah

diderita.

Keluhan yang biasanya timbul, antara lain :

- Nyeri dangkal

- Fotofobia atau fotosensitif terhadap cahaya, terutama padacahaya

matahari yang dapat menambah rasa tidak nyaman pada mata.

- Kemerahan tanpa sekret mukopurulen

- Pandangan kabur (blurring)

2. Pemeriksaan Oftalmologi

- Visus biasanya normal atau dapat sedikit menurun.

- Tekanan Intraokular (TIO) pada mata yang meradang lebih rendah

daripada mata yang sehat.

- Konjungtiva biasanya terlihat injeksi silier/perimbal atau injeksi

pada seluruh konjungtiva.

- Kornea tampah udema stroma kornea.

- Aqueous flare akibat dari keluarnya protein dari pembuluh darah

iris yang mengalami peradangan.

Gejala yang timbul dapat berupa nyeri ringan hingga sedang, fotofobia,

dan kabur, dan sering dijumpai dengan pasien tanpa keluhan. Seringkali, gejala-

gejala ini ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan kesehatan disekolah.17

JIA dilaporkan terjadi 81% pada anak-anak yang menderita Uveitis, dan 95% dari

kasus tersebut adalah Uveitis Anterior. 14

9

PAPERDEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H.ADAM MALIK MEDAN

NAMA : Rahmi SilviyaniNIM : 100100175

Gambar 2.1 Juvenile Idiopathic Arthritis (JIA) dengan iridociklitis dan katarak.17

Gambar 2.2 Juvenile Idiopathic Arthritis (JIA) with chronic calcific band

keratopathy.17

Mata pasien JIA berhubungan dengan Uveitis biasanya terlihat normal

(tidak merah atau inflamasi) pada pemeriksaan eksternal dan ophtalmoscopy rutin.

Karena pasien dengan JIA masih muda, mereka tidak menyadari atau melaporkan

perubahan kecil penglihatan dimana itu adalah perkembangan lambat dari

inflamasi yang aktif. Komplikasi yang sering terjadi termasuk band yang

keratopati, katarak, glaukoma, puing-puing vitreous, edema makula, hypotony

kronis, dan penyakit paru-paru.17 Guidelines merekomendasikan anak-anak

dengan onset JIA kurang dari 7 tahun dan tidak terdeteksi iridocyclitis harus

menjalani pemeriksaan ophtalmologic termasuk evaluasi slit-lamp setiap 3-4

10

PAPERDEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H.ADAM MALIK MEDAN

NAMA : Rahmi SilviyaniNIM : 100100175

bulan jika mereka menderita JIA pausiartikular atau poliartikular dan ANA

positif, setiap 6 bulan jika JIA pausiartikular atau poliartikular dan ANA negatif,

setiap 12 bulan jika menderita sistemik JIA. 16

2.7 Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium

Tidak ada uji diagnostik yang spesifik. Pemeriksaan laboratorium dipakai

sebagai penunjang diagnosis. Bila ditemukan Anti Nuclear Antibody (ANA),

Faktor Reumatoid (FR) dan peningkatan C3 serta C4 maka diagnosis JRA

menjadi lebih sempurna.1

Selama penyakit aktif, LED dan CRP biasanya meningkat. Anemia pada

umumnya dijumpai, biasanya dengan angka retikulosit rendah dan uji Coomb

negatif. Selain itu ditemukan peningkatan sel darah putih. Trombositosis dapat

terjadi terutama pada penyakit. Analisis urin normal, selama terapi non-steroid

mungkin ditemukan sedikit eritrosit dan sel tubuler ginjal. Terdapat kenaikan

fraksi α2-dan gamma globulin dalam serum dan penurunan albumin. Salah satu

atau semua kadar imunoglobulin serum dapat naik.9

ANA ditemukan pada beberapa anak dengan penyakit faktor reumatoid-

negatif (25%), faktor reumatoid positif (75%), atau pausiartikular tipe I (90%)

tetapi jarang, pada mereka yang dengan penyakit sistemik atau pausiartikuler tipe

II. Penemuan ANA tidak berkolerasi dengan keparahan penyakit.8

Faktor reumatoid ditemukan pada sekitar 5% anak JIA dan berkolerasi

dengan JIA yang mulai pada umur yang lebih tua. Hasil uji positif paling sering

dihubungkan dengan penyakit poliartikular, yang mulai pada akhir masa kanak-

kanak, artritis destruksi berat, dan nodulus reumatoid.9

Cairan sinovial pada JIA tampak seperti berawan dan biasanya berisi

jumlah protein yang naik. Jumlah sel dapat bervariasi dari 5000-80.000 sel/mm3;

sel-sel tersebut terutama netrofil. Kadar glukosa pada cairan sendi mungkin

rendah; kadar komplemen mungkin normal atau menurun.9

11

PAPERDEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H.ADAM MALIK MEDAN

NAMA : Rahmi SilviyaniNIM : 100100175

Faktor reumatoid adalah kompleks IgM-anti IgG pada dewasa dan mudah

dideteksi, sedangkan pada JIA lebih sering IgG-anti IgG yang lebih sukar

dideteksi laboratorium. Anti-Nuclear Antibody (ANA) lebih sering dijumpai pada

JIA. Kekerapannya lebih tinggi pada penderita wanita muda dengan oligoartritis

dengan komplikasi uveitis. Pemeriksaan imunogenetik menunjukkan bahwa HLA

B27 lebih sering pada tipe oligoartritis yang kemudian menjadi spondilitis

ankilosa. HLA B5 B8 dan BW35 lebih sering ditemukan di Australia.1

Radiologi

Pemeriksaan radiologi JIA dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh

kerusakan yang terjadi pada keadaan klinis tertentu. Kelainan radiologik yang

terlihat pada sendi biasanya adalah pembengkakan jaringan lunak sekitar sendi,

pelebaran ruang sendi, osteoporosis, dan kelainan yang agak jarang seperti

formasi tulang baru periostal. Pada tingkat lebih lanjut (biasanya lebih dari 2

tahun) dapat terlihat erosi tulang persendian dan penyempitan daerah tulang

rawan.1

2.8 Penatalaksanaan

Dasar pengobatan JIA adalah suportif, bukan kuratif. Tujuan pengobatan

adalah mengontrol nyeri, menjaga kekuatan dan fungsi otot serta rentang gerakan

(range of motion), mengatasi komplikasi sistemik, memfasilitasi perkembangan

dan pertumbuhan yang normal. Karena itu pengobatan dilakukan secara terpadu

untuk mengontrol manifestasi klinis dan mencegah deformitas dengan melibatkan

dokter anak, ahli fisioterapi, latihan kerja, pekerja sosial, bila perlu konsultasi

pada ahli bedah dan psikiatri.3

Tujuan penatalaksanaan JIA ini tidak hanya sekedar mengatasi nyeri.

Banyak hal yang harus diperhatikan selain mengatasi nyeri, yaitu mencegah erosi

lebih lanjut, mengurangi kerusakan sendi yang permanen, dan mencegah

kecacatan sendi permanen. Modalitas terapi yang digunakan adalah farmakologi

maupun non farmakologi. Selain obat-obatan, nutrisi juga tak kalah penting. Pada

12

PAPERDEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H.ADAM MALIK MEDAN

NAMA : Rahmi SilviyaniNIM : 100100175

pasien JRA pertumbuhannya sangat terganggu baik karena konsumsi zat gizi yang

kurang atau menurunnya nafsu makan akibat sakit atau efek samping obat.6

Obat Anti Inflamasi Nonsteroid (OAINS)

Macam OAINS yang sering digunakan pada anak-anak:

a. Tolmetin

Tolmetin diberikan bersama makanan, dalam dosis 25-30 mg/kgBB/hari,

dibagi dalam 3 dosis.2,5

b. Naproksen

Naproksen efektif dalam tatalaksana inflamasi sendi dengan dosis 15-20

mg/kgBB/hari yang diberikan dua kali perhari bersama makanan. Dapat

timbul efek samping berupa ketidaknyamanan epigastrik dan

pseudoporfiria kutaneus yang ditandai dengan erupsi bulosa pada wajah,

tangan, dan meninggalkan jaringan parut. 2,5

c. Ibuprofen

Ibuprofen merupakan antiinflamasi derajat sedang dan mempunyai

toleransi yang baik pada dosis 35 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 3-4 dosis

dan diberikan bersama makanan. 2,5

d. Diklofenak

Diklofenak dapat diberikan pada anak yang tidak dapat OAINS lain karena

adanya efek samping pada lambung. Dosis yang diberikan adalah 2-3

mg/kgBB/hari, dibagi dalam 3 dosis. 2,5

Analgetik

Walaupun bukan obat antiinflamasi, asetaminofen dalam 2-3 kali

pemberian dapat bermanfaat untuk mengontrol nyeri atau demam terutama pada

penyakit sistemik. Obat ini tidak boleh diberikan untuk waktu lama karena dapat

menimbulkan kelainan ginjal.3

Imunosupresan

13

PAPERDEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H.ADAM MALIK MEDAN

NAMA : Rahmi SilviyaniNIM : 100100175

Imunosupresan hanya diberikan dalam protokol eksperimental untuk

keadaan berat yang mengancam kehidupan, walaupun beberapa pusat reumatologi

sudah mulai memakainya dalam protokol baku. Obat yang biasa dipergunakan

adalah azatioprin, siklofosfamid, klorambusil, dan metotreksat. 2

Metotreksat mempunyai onset kerja cepat, efektif, toksisitas yang masih

dapat diterima, sehingga merupakan obat lini kedua dalam JRA. Keunggulan

penggunaan obat ini adalah efektif dan dosis relatif rendah, pemberian oral dan

dosis 1 kali per minggu. Indikasinya adalah untuk poliartritis berat, oligoartritis

yang agresif atau gejala sistemik yang tidak membaik dengan OAINS,

hidroksiklorokuin, atau garam emas. Dosis inisial 5 mg/m2 luas permukaan

tubuh/minggu dapat dinaikkan menjadi 10 mg/m2 luas permukaan tubuh/minggu

bila respon tidak adekuat setelah 8 minggu pemberian (dosis maksimal 30 mg/

m2). Lama pengobatan yang dianggap adekuat adalah 6 bulan. Asam folat 1

mg/hari sering diberikan bersama metotreksat untuk mengurangi toksisitas

mukosa gastrointestinal. Anak-anak dengan poliartritis berat yang tidak berespon

dengan metotreksat oral dapat digantikan dengan intramuskular atau subkutan. 2

Obat Antireumatik Kerja Lambat

Golongan ini terdiri dari obat antimalaria (hidroksiklorokuin), preparat

emas oral dan suntikan, penisilamin, dan sulfasalazin. Obat golongan ini hanya

diberikan untuk poliartritis progresif yang tidak menunjukan perbaikan dengan

OAINS. Hidroksiklorokuin dapat bermanfaat sebagai obat tambahan OAINS

untuk anak besar dengan dosis awal 6-7 mg/kgBB/hari, dan setelah 8 minggu

diturunkan menjadi 5 mg/kgBB/hari. Pemberian hidroksiklorokuin harus

didahului dengan pemeriksaan mata, khususnya keadaan retina, lapangan

pandang, dan warna. Oleh karena itu, penggunaan obat ini jarang diberikan pada

anak di bawah usia 4-7 tahun karena adanya kesulitan tindak lanjut pada

pemeriksaan mata. Bila setelah 6 bulan pengobatan tidak diperoleh perbaikan

maka hidroksiklorokuin harus dihentikan.3

14

PAPERDEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H.ADAM MALIK MEDAN

NAMA : Rahmi SilviyaniNIM : 100100175

Sulfasalazin tidak diberikan pada anak dengan hipersensitivitas terhadap

sulfa atau salisilat dan penurunan fungsi ginjal dan hati. Dosis dimulai dengan 500

mg/hari diberikan bersama makanan (untuk anak yang lebih kecil 12,5 mg/kgBB).

Dosis dinaikkan sampai 50 mg/kgB/hari (maksimal 2 gram). Monitor dilakukan

melalui pemeriksaan hematologi dan fungsi hati. Sulfasalazin dapat diberikan

sebagai langkah sementara sebelum menambah obat kedua selain OAINS, seperti

metotreksat. Sulfasalazin kadang-kadang diberikan sebagai antiinflamasi lini

kedua pada anak dengan tipe poliartritis atau oligoartritis persisten.3

Kortikosteroid

Diberikan bila terdapat gejala penyakit sistemik, uveitis kronik, atau untuk

suntikan intraartikular. Penggunaan kortikosteroid tunggal tidak dianjurkan untuk

menekan inflamasi sendi, namun dosis rendah dapat digunakan pada anak dengan

poliartritis berat yang tidak berespon dengan terapi lain. Dosis rendah prednison

(0,1-0,2 mg/kgBB) dapat digunakan sebagai agen “jembatan” dalam terapi inisial

anak yang sakit sedang atau berat yang sebelumnya menggunakan obat

antiinflamasi kerja lambat. Untuk gejala penyakit sistemik berat yang tak

terkontrol diberikan prednison 0,25-1 mg/kgBB/hari dosis tunggal (maksimal 40

mg) atau dosis terbagi pada keadaan yang lebih berat. Bila terjadi perbaikan klinis

maka dosis diturunkan perlahan dan prednison dihentikan. Efek samping yang

dapat terjadi pada pemakaian jangka panjang antara lain sindrom cushing,

penekanan pertumbuhan, fraktur, katarak, gejala gastrointestinal dan defisiensi

glukokortikoid.2

Kortikosteroid intra-artikular dapat diberikan pada oligoartritis yang tidak

berespon dengan OAINS atau sebagai bantuan dalam terapi fisik pada sendi yang

sudah mengalami inflamasi dan kontraktur. Kortikosteroid intra-artikular juga

dapat diberikan pada poliartritis dimana satu atau beberapa sendi tidak berespon

dengan OAINS. Namun, pemberian injeksi intra-artikular ini harus dibatasi,

misalnya 3 kali pada 1 sendi selama 1 tahun. Triamsinolon heksasetonid

merupakan obat pilihan dengan dosis 20-40 mg untuk sendi besar. 2

15

PAPERDEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H.ADAM MALIK MEDAN

NAMA : Rahmi SilviyaniNIM : 100100175

Fisioterapi dan Latihan Fisik

Latihan fisik bertujuan untuk meminimalisir nyeri, menjaga dan

mengembalikan fungsi dan mencegah deformitas dan disabilitas. Pada anak

dengan artritis aktif dianjurkan untuk beristirahat dan meningkatkan waktu tidur

saat malam hari. Pasien dengan JRA harus sedapat mungkin aktif, namun kegiatan

yang menyebabkan kelelahan berlebih dan nyeri pada sendi perlu dihindari. 2,5

Penatalaksanaan pada penderita JIA dengan uveitis dapat diberikan steroid

topikal dengan midriatik/siklopegik tetes adalah terapi andalan. Inflamasi sulit

untuk dikontrol. Meskipun demikian, beberapa sumber mengatakan hanya

menggunakan midriatik atau siklopegik tetes jika aktifitas selular hanya 1+ sel

atau kurang, dan hanya memakai kortikosteroid topikal terapi jika aktifitas selular

lebih dari itu. Pada kelompok pasien yang tidak respon steroid topikal, atau

membutuhkan terapi jangka panjang, disarankan untuk menggunakan Non-

steroidal immunosuppressives. Seperti contoh : NSAIDs, chlorambucil,

azathioprine, dan methotrexate. Obat-obat tersebut dilaporkan efektif pada pasien

JIA. 16

Pengobatan katarak pada pasien dengan JIA memiliki tingkat komplikasi

yang tinggi setelah operasi katarak pada pasien dengan JIA terkait iridosiklitis,

karena kesulitan dalam mengendalikan respon inflamasi yang lebih agresif pada

anak-anak tersebut. Lensectomy dan vitrectomy melalui pars plana merupakan

tindakan yang dianjurkan. Pasien dengan band keratopati dapat dilakukan

penggoresan atau chelation dengan natrium Asam ethylenediaminetetraacetic

(EDTA) yang memungkinkan perbaikan sebelum dilakukan operasi katarak.

Glaukoma harus ditangani dengan terapi medis awal terlebih dahulu, meskipun

intervensi bedah sering diperlukan pada kasus yang berat.17

2.9 Prognosis

Pada kebanyakan kasus, JIA berespon secara lambat dan berangsur-angsur

terhadap terapi yang cocok. JIA biasanya sembuh sebelum dewasa. Pasien yang

16

PAPERDEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H.ADAM MALIK MEDAN

NAMA : Rahmi SilviyaniNIM : 100100175

menderita artritis hanya pada beberapa sendi memiliki prognosis lebih baik dari

pada mereka yang telah menderita penyakit artritis sistemik, yang sulit untuk

disembuhkan. Walaupun hal ini dapat menjadi masalah yang serius, namun hanya

sedikit orang yang meninggal karenanya.12

BAB III

PENUTUP

17

PAPERDEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H.ADAM MALIK MEDAN

NAMA : Rahmi SilviyaniNIM : 100100175

3.1 Kesimpulan

Juvenile Idiopathic Arthritis (JIA) adalah peradangan kronis pada sendi

yang onsetnya terjadi sebelum usia 16 tahun dan menetap lebih dari 6 minggu.

Juvenil Idiopathic Arthritis (JIA) merupakan penyakit kronis yang merusak dan

menghancurkan sendi-sendi tubuh. Kerusakan disebabkan oleh peradangan yang

menyebabkan nyeri, kekakuan, dan bengkak pada sendi. Peradangan sering

mempengaruhi organ lain dari sistem tubuh.

Uveitis adalah komplikasi yang sering terjadi pada JIA. Inflamasi

intraokular menginfeksi iris dan badan siliar (iridocyclitis), terkadang juga koroid

bisa terkena. Gejala yang timbul dapat berupa nyeri ringan hingga sedang,

fotofobia, dan kabur, dan sering dijumpai dengan pasien tanpa keluhan.

Penderita JIA kurang dari 7 tahun dan tidak terdeteksi iridocyclitis harus

menjalani pemeriksaan ophtalmologic termasuk evaluasi slit-lamp setiap 3-4

bulan jika mereka menderita JIA pausiartikular atau poliartikular dan ANA

positif, setiap 6 bulan jika JIA pausiartikular atau poliartikular dan ANA negatif,

setiap 12 bulan jika menderita sistemik JIA.

Modalitas terapi yang digunakan adalah farmakologi maupun non

farmakologi. Modalitas farmakologi diantaranya obat anti inflamasi nonsteroid

(OAINS), analgetik, imunosupresan, obat antireumatik kerja lambat, dan

kortikosteroid. Sedangkan modalitas non farmakologi yaitu fisioterapi, latihan

fisik, nutrisi, dan terapi bedah.

Pada kebanyakan kasus, JIA berespon secara lambat dan berangsur-angsur

terhadap terapi yang cocok. Prognosis jangka panjang sering tergantung pada

tingkat kerusakan pada saat diagnosis pertama. JIA biasanya sembuh sebelum

dewasa.

DAFTAR PUSTAKA

18

PAPERDEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H.ADAM MALIK MEDAN

NAMA : Rahmi SilviyaniNIM : 100100175

1. David DS. Juvenile Idiopathic Arthritis. Diunduh dari:

http://emedicine.medscape.com/article/1007276-overview#a0156, 2011.

2. Lovell DJ. Juvenile idiopathic arthritis. Dalam: Klippel JHSJ, Crofford LJ,

White PH, penyunting. Primer on the rheumatic disease. Edisi ke-13. New

York: Springer; 2008. hlm. 142–8.

3. Akib AAP. Artritis Reumatoid Juvenil. Dalam: Akib AAP, Munasir Z, Kurniati N, penyunting. Buku Ajar Alergi Imunologi Anak. Jakarta: IDAI. 2008; hal 322-44.

4. Khan P. Juvenile Idiopathic Arthritis, An Update on Pharmacotherapy. Bulletin of the NYU Hospital for Joint Diseases 2011; 69(3): 264-76.

5. Pribadi A, Akib AAP, Taralan T. Profil Kasus Artritis Idiopatik Juvenil (AIJ) Berdasarkan Klasifikasi International League Against Rheumatism (ILAR). Jakarta : Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RS Dr. Cipto Mangunkusumo. Sari Pediatri. 2008

6. Pribadi A, Akib AAP, Taralan T. Profil Kasus Artritis Idiopatik Juvenil (AIJ) Berdasarkan Klasifikasi International League Against Rheumatism (ILAR). Jakarta : Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RS Dr. Cipto Mangunkusumo. Sari Pediatri. 2008

7. Juvenille Rheumatoid Arthritis – Canadian Rheumatology, Diunduh dari : rheum.ca/images/documents/Handbook-6-JRA.pdf

8. Hahn YS, Kim JG. Pathogenesis and clinical manifestation of juvenile reumathoid arthritis. Korean Journal of Pediatrics. 2010; 921-30.

9. Kliegman R, Stanton BF, Geme JW, Schor NF, Behrman RE, Arvin A. Artritis Reumatoid Juvenil. Juvenile Idiopathic Arthritis. Dalam: Kliegman Robert M ... [et al.]. Nelson Textbook of Pediatrics. 19th edition. Philadelphia: Elsevier. 2011; 2671-2689.

10. Saxena N. Is the enthesitis-related arthritis subtype of juvenile idiopathic arthritis a form of chronic reactive arthritis?. Oxford University Press on behalf of the British Society for Rheumatology. 2006; 1129-32.

11. Akib AAP. Artritis Idiopatik Juvenil Kesepakatan Baru Klasifikasi dan Kriteria Diagnosis Penyakit Artritis Pada Anak. Jakarta : Departemen Ilmu

19

PAPERDEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATAFAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H.ADAM MALIK MEDAN

NAMA : Rahmi SilviyaniNIM : 100100175

Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RS Dr. Cipto Mangunkusumo. Sari Pediatri. 2003

12. Shiel, William C. Juvenile Rheumatoid Arthritis. Diunduh dari: http://www.emedicinehealth.com/juvenile_rheumatoid_arthritis/article_em.htm

13. Cassidy J, Kivlin J, Lindsley C, et.al. Opthalmologic Examinations in Children With Juvenile Rheumatoid Arthritis. American Academy Of Pediatrics. 2006

14. Benezra D, Cohen E, Cohen F.B,. Uveitis And Juvenile Idiopathic Arthritis : A Cohort Study. Dove Medical Press. 2007

15. Samson, C.M., Juvenile Idiopathic Associated Uveitis. Diunduh dari :http://www.uveitis.org/docs/dm/juvenile_idiopathic_arthritis_uveitis.pdf

16. Foster C.S., Juvenile Idiopathic Arthritis and Uveitis : What is it and what its effect on the eye?. Diunduh dari : http://www.uveitis.org/docs/dm/juvenile_idiopathic_arthritis_and_uveitis.pdf

17. Amerian Academy of Ophtalmology. Basic and Clinical Science course 2007-2008, Section 9: Intraocular inflammation and Uveitis. Singapore: Amerian Academy of Ophtalmology 2007.

20