paper kebidanan fix

43
ILMU KEBIDANAN DAN KEMAJIRAN “Tahap-Tahap Proses Fisiologi Kelahiran Pada SapiKelompok 3 : Ni Made Riska Adnyani 1209005010 AA. Ngurah Indra Vikan Nanda 1209005011 Putu Agus Trisna Kusuma A. 1209005012 Ayu Mey Ningrat 1209005014 Hanif Wahyu Wibisono 1209005028 Ester Muki Apriyani 1209005029 Putu Chyntia Nirmalasari 1209005030 Kelas A

Upload: hanif-wahyu

Post on 29-Jan-2016

249 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

hoho

TRANSCRIPT

Page 1: Paper Kebidanan Fix

ILMU KEBIDANAN DAN KEMAJIRAN

“Tahap-Tahap Proses Fisiologi Kelahiran Pada

Sapi”

Kelompok 3 :

Ni Made Riska Adnyani 1209005010

AA. Ngurah Indra Vikan Nanda 1209005011

Putu Agus Trisna Kusuma A. 1209005012

Ayu Mey Ningrat 1209005014

Hanif Wahyu Wibisono 1209005028

Ester Muki Apriyani 1209005029

Putu Chyntia Nirmalasari 1209005030

Kelas A

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

Page 2: Paper Kebidanan Fix

2015

ii

Page 3: Paper Kebidanan Fix

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah

memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penyusunan paper ini dapat

diselesaikan dengan tepat waktu.

Paper ini penulis susun sebagai tugas dari mata kuliah Ilmu Kebidanan dan

Kemajiran, dengan judul “Tahap-Tahap Proses Fisiologi Kelahiran Pada Sapi”.

Terima kasih penulis sampaikan kepada dosen pembimbing mata kuliah Ilmu

Kebidanan dan Kemajiran yang telah membimbing dan memberikan kuliah demi

lancarnya terselesaikannya tugas paper ini.

Demikianlah tugas ini penulis susun semoga bermanfaat, dan dapat

memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Kebidanan dan Kemajiran.

Denpasar, 30 September 2015

Penulis

iii

Page 4: Paper Kebidanan Fix

DAFTAR ISI

COVER.................................................................................................................i

KATA PENGANTAR.........................................................................................ii

DAFTAR ISI........................................................................................................iii

DAFTAR GAMBAR...........................................................................................iv

BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1

1.1 Latar Belakang...........................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................2

1.3 Tujuan Penulisan.......................................................................................2

1.4 Manfaat Penulisan.....................................................................................2

BAB IITINJAUAN PUSTAKA..........................................................................3

2.1 Gejala-gejala Menjelang Partus.................................................................3

2.2 Inisiasi Partus.............................................................................................4

BAB III PEMBAHASAN....................................................................................9

3.1 Tahap-tahap Kelahiran..............................................................................9

3.1.1 Tahap Pertama..................................................................................9

3.1.2 Tahap Kedua.....................................................................................13

3.1.3 Tahap Ketiga....................................................................................16

3.2 Involusi Uterus..........................................................................................18

3.3 Estrus Postpartum......................................................................................19

BAB IV PENUTUP..............................................................................................21

4.1 Kesimpulan................................................................................................21

4.2 Saran..........................................................................................................22

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................23

iv

Page 5: Paper Kebidanan Fix

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Pra Partus.............................................................................................10

Gambar 2. Berbagai Posisi Fetus yang Abnormal.................................................12

Gambar 3. Posisi Fetus yang Normal....................................................................13

Gambar 4. Keluarnya Kaki Fetus Pada Proses Kelahiran.....................................14

Gambar 5. Keluarnya Setengah Badan Fetus Pada Proses Kelahiran...................15

Gambar 6. Induk Sapi Menjilati Anak Sapi..........................................................16

Gambar 7. Pengeluaran Placenta...........................................................................17

v

Page 6: Paper Kebidanan Fix

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kelahiran (partus) adalah serentetan proses-proses fisiologik yang

berhubungan dengan pengeluaran anak dan placenta dari organisme induk

pada akhir masa kebuntingan.  Pada umumnya gejala menjelang partus pada

ternak hampir sama, yaitu; a) adanya perubahan pada ligamentum pelvis,

terutama lig. sacroichiadicus terlihat sangat mengendor, b) adanya perubahan

pada vulva yaitu menjadi oedema, c) adanya aktifitas mamae, dan d) terlihat

adanya leleran lendir kental berwarna kuning jernih yang mencair dan banyak.

Persiapan untuk partus meliputi perubahan-perubahan yang terkoordinir dalam

tubuh induk dan fetus.  Peristiwa kelahiran pada garis besarnya dapat dibagi

menjadi tiga stadium, yaitu stadium persiapan, stadium pengeluaran fetus dan,

stadium pengeluaran placenta.

Sapi termasuk hewan unipara yang secara normal melepaskan satu

ovum sewaktu ovulasi dan hanya satu fetus yang berkembang di dalam uterus.

Kelahiran pada sapi menjadi hal yang penting dipelajari dan dipahami oleh

semua peternak. Kelahiran merupakan hasil dari tingginya produktivitas dari

hewan ternak. Semakin tinggi kelahiran ternak, maka semakin banyak

produksi ternak tersebut dan semakin memberikan keuntungan bagi peternak

dan sebaliknya, peternak akan rugi bila tingkat kelahiran ternak mereka

rendah.

Seorang dokter hewan harus mengenal partus normal sehingga ia

segera dapat mengetahui adanya gejala patologik. Pertolongan kelahiran yang

kadang-kadang diperlukan untuk menyelamatkan fetus atau induk harus

dilakukan pada waktu yang tepat. Waktu partus adalah suatu saat yang kritis

dalam setiap hewan. Waktu tersebut dapat merupakan suatu periode dimana

tidak hanya anak tetapi juga induk dapat menderita berat sehingga

mempengaruhi efisiensi reproduksi dan produksi hewan tersebut di masa

mendatang. Oleh karena itu periode partus sangat penting bagi peternakan

yang mempunyai investasi ekonomis yang besar pada ternak.

1

Page 7: Paper Kebidanan Fix

Berlatar belakang dari hal tersebut, penulis tertarik mengangkat judul

“Tahap-Tahap Proses Fisiologi Kelahiran Pada Sapi”.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Apa saja gejala-gejala menjelang partus yang dapat diamati pada sapi?

1.2.2 Bagaimana inisiasi partus pada sapi?

1.2.3 Bagaimana tahap-tahap kelahiran pada sapi?

1.2.4 Bagaimana kondisi uterus pasca melahirkan (involusi uterus) pada

sapi?

1.2.5 Bagaimana proses timbulnya estrus postpartum pada sapi?

1.3 Tujuan Penulisan

1.3.1 Untuk memahami gejala-gejala menjelang partus yang dapat diamati

pada sapi.

1.3.2 Untuk mengetahui inisiasi partus pada sapi.

1.3.3 Untuk memahami tahap-tahap kelahiran pada sapi.

1.3.4 Untuk mengetahui kondisi uterus pasca melahirkan (involusi uterus)

pada sapi.

1.3.5 Untuk mengetahui estrus postpartum pada sapi.

1.4 ManfaatPenulisan

Diharapkan paper yang dibuat dapat memberikan informasi dan

pengetahuan kepada pembaca mengenai tahap-tahap proses fisiologi kelahiran

pada sapi. Sehingga pembaca dapat mengetahui bagaimana tahap-tahap proses

fisiologi kelahiran pada sapi yang baik dan benar pada sapi. Hal ini sangat

bermanfaat bagi profesi dokter hewan yang kemungkinan menangani kasus

distokia pada sapi.

2

Page 8: Paper Kebidanan Fix

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gejala-Gejala Menjelang Partus

Gejala-gejala menjelang partus hampir sama pada semua ternak, tetapi

tidak konstan antara individu ternak dan antara partus yang berurutan. Oleh

karena itu gejala -gejala ini tidak dapat dipakai untuk meramalkan secara tepat

waktu partus pada seekor ternak tertentu tetapi dapat merupakan indikasi yang

baik terhadap perkiraan waktu kelahiran yang diharapkan. Seorang dokter

hewan atau bidan ternak harus mengekang diri dalam menentukan waktu

partus yang tepat (Toelehere, 1985).

Waktu perkawinan, jika diketahui, sangat membantu dalam

memperkirakan waktu partus. Dimana catatan perkawinan merupakan suatu

keharusan bagi peternak yang di kelola secara baik. Odema dan perubahan -

perubahan di dalam serabut kolagen pada jarigan ikat karena peningkatan

estrogen dari placenta dan kelenjar endokrin lainya seperti adrenal (Toelehere,

1985). Relaxin juga memegang peranan penting. Pada kebanyakan sapi

pengenduran ligament-ligamen ini menandakan bahwa partus mungkin akan

terjadi dalam waktu 24 sampai 48 jam (Harbers, 1981). Adapun gejala atau

tanda yang dapat diamati pada sapi yaitu :

1. Adanya perubahan pada ligamentum pelvis, terutama lig.

sacroichiadicus terlihat sangat mengendor. Relaksasi ligamen juga

jelas terlihat dengan peninggian pangkal ekor (Toelehere, 1985).

2. Vulva menjadi sangat oedematous, melonggar dan mencapai 2 sampai

6 kali ukuran normal (Toelehere, 1985).

3. Ambing membesar dan oedematous. Pada sapi dara pembesaran

ambing di mulai pada bulan ke 4 periode kebuntingan, pada sapi

pluripara pembesaran ambing mungkin tidak nyata 2 sampai 4

minggu sebelum partus. Pada sapi berproduksi susu tinggi, terutama

sapi muda, oedema ambing yang sangat besar dapat mengakibatkan

kesulitan berjalan. Oedema dapat mengembang ke depan pada dasar

abdomen sampai ke daerah siphoid dan tebalnya dapat mencapai 5

3

Page 9: Paper Kebidanan Fix

sampai 15 cm. Pada daerah pusar ia dapat menyerupai hernia

umbilicalis. Ia dapat menyebar ke belakang sampai ke daerah vulva.

Segera sebelum partus sekresi kelenjar susu berubah dari warna dan

konsistensi seperti madu kering menjadi kuning, keruh dan gelap

yang disebut kolostrum. Pada saat ini ambing dan puting susu

mengembang sedemikian rupa karena kolostrum, sehingga ia dapat

keluar sendiri pada sapi-sapi yang mudah di perah (Harbers, 1981).

4. Suatu lendir putih, kental dan lengket keluar dari bagian cranial

vagina mulai bulan ke 7 masa kebuntingan. Lendir tersebut makin

banyak keluar menjelang kelahiran. Segera sebelum partus jumlah

lendir sangat meningkat dan penyumbat cervix mencair (Toelehere,

1985).

5. Selama beberapa jam sebelum partus hewan memperlihatkan

anoreksia ketidaktenangan. Sapi dara memperlihatkan kesakitan

abdominal dengan menendang perutnya, menyentak-nyentakan kaki,

mengibas-kibaskan ekor, berbaring dan bangkit kembali (Toelehere,

1985).

2.2 Inisiasi Partus

Perubahan hormon yang terjadi pada masa kebuntingan akhir sapi

diketahui memiliki peran terhadap pematangan plasenta dan pengeluarannya.

Plasenta mampu mensintesis estrogen dan progesteron dalam jumlah yang

tidak sedikit. Sepuluh kali lipat konsentrasi estrogen dalam plasma terjadi saat

bulan terakhir kebuntingan. Konsentrasi estrogen meningkat secara bertahap

sampai minggu terakhir kebuntingan, lalu meningkat tajam pada saat partus.

Selama kebuntingan akhir, estron merupakan bentuk estrogen yang dominan,

dengan level 5-10 kali lebih banyak daripada estradiol. Penurunan drastis

estrogen dalam plasma dimulai setelah 24-36 jam (Gordon, 1996).

Progesteron di sintesis oleh plasenta selama 1/3 kebuntingan terakhir

pada sapi. Meskipun corpus luteum tetap sebagai sumber utama progesteron

dalam sirkulasi, plasenta mensekresikan progesteron fisiologis secara

signifikan. Konsentrasi progesteron induk menurun selama minggu-minggu

akhir kebuntingan dan merosot tajam saat menuju parturisi. Secara normal,

4

Page 10: Paper Kebidanan Fix

parturisi membutuhkan pelunakan dan dilatasi servix. Pemasakan servix

dimulai saat kebuntingan akhir di bawah pengaruh relaksin dan estrogen dan

terjadi lebih cepat ketika dominasi progesteron mulai menurun dan produksi

prostaglandin meningkat (Gordon, 1996).

Telah diketahui bahwa sinyal untuk parturisi datang dari poros

hipotalamus-pituitari-adrenal fetus. Meningkatnya level cortisol fetus

menyediakan sinyal yang menginisiasi proses parturisi, dan transmisi dari

sinyal ini ke induk dimediasi oleh perubahan aktivitas enzim steroidogenik di

plasenta, bukan karena berjalannya hormon melalui plasenta dari fetus ke

induk. Meskipun terjadi penambahan level cortisol induk sewaktu mendekati

kelahiran, hal ini di percaya hanya sebagai respon terhadap stress daripada

sebagai bagian yang terlibat dalam inisiasi partus (Gordon, 1996).

Corpus luteum sapi dipercaya sebagai satu-satunya sumber terpenting

dari progesteron selama kebuntingan, meskipun beberapa steroid disekresikan

oleh plasenta. Terjadinya konsentrasi tinggi ditemukan dalam vena ovarian.

Konsentrasi tinggi estrogen dalam vena uterina mengindikasikan bahwa unit

feto-plasenta merupakan sumber utama estrogen. Meningkatnya kortisol fetus

pada kebuntingan akhir merangsang produksi enzim baru atau mengaktivasi

enzim di plasenta. Kemudian plasenta meningkatkan produksi estrogen,

dengan cara mempercepat produksi estrogen dan konversi progesteron.

Sintesis estrogen di plasenta dan produksi progesteron di corpus luteum

merupakan sistem yang independen pada sapi, dan peningkatan konversi

progesteron menjadi estrogen kemungkinan tidak terjadi pada domba

(Gordon, 1996).

Peningkatan konsentrasi estrogen mungkin berhubungan dengan

regresi corpus luteum atau produksi prostaglandin oleh kotiledon. Corpus

luteum biasanya berhenti mensekresikan progesteron 30-40 hari sebelum

parturisi. Otot-otot uterus dan saluran kelahiran disiapkan untuk parturisi

dengan peningkatan konsentrasi estrogen, yang dipercaya dapat meningkatkan

kontraksi uterus dan menambah sensitivitas terhadap oksitosin dan

prostaglandin.

5

Page 11: Paper Kebidanan Fix

Terdapat sedikit keraguan bahwa urutan hormon yang mengawali

kelahiran berasal dari fetus, yaitu dengan peningkatan sekresi kortisol.

Barangkali pelepasan kortisol oleh pituitari fetus dipicu oleh pemasakan sel

neurosekretori di hipotalamus. Ketika kelahiran dipengaruhi oleh

korticosteroid sintetis yang diberikan oleh peneliti, secara kasar sinyal akan

terbentuk. Beberapa steroid sintetis, seperti dexamethasone, dapat menembus

plasenta dari sirkulasi induk dan dapat mengaktivasi atau merangsang enzim

plasenta yang secara normal merupakan target dari kortisol fetus (Gordon,

1996).

Endokrinologi Partus

Meskipun penyebab terjadinya partus tidak diketahui tetapi diketahui

bahwa partus adalah peristiwa yang kompleks. Partus di kontrol oleh sejumlah

hormon. Stimulus partus berasal dari fetus dan bukan dari induk. Sebagai

respon terhadap tekanan intra uterus, usia, dan faktor-faktor lain maka pituitari

dan glandula adrenal fetus menghasilkan kortikosteroid.

Perubahan yang terjadi pada lingkungan uroplasental memungkinkan

keluarnya fetus pada waktu tertentu. Progesteron memelihara kondisi tenang

uterus pada saat kebuntingan. Aktivitas ini akan dihentikan oleh estrogen

menjelang partus. Terciptanya lingkungan estrogen pada plasenta akan

meningkatkan konversi kortisol menjadi kortison sehingga kortisol maternal

tidak dapat lagi mencegah sekresi-sekresi kortikotrophin dari pituitari fetus.

1. Estrogen

Estrogen adalah esensial untuk perkembangan dan fungsi uterus.

Estrogen bertanggung jawab untuk sintesis protein kontraktil dan enzim-

enzim regulatori yang dibutuhkan untuk kontraktilitas uterus. Pada hewan

perpubertas, ukuran uterus kecil tetapi setelah estrogen disekresikan ketika

pubertas dicapai, ukuran uterus meningkat dan kemampuan responnya

terhadap stimulan dan inhibitor kontraksi terbentuk.

Metabolisme selama kebuntingan berbeda antara manusia dan

primata dengan spesies yang lain. Pada domba, estrogen dapat secara

lansung di sintesis dari progesteron. Pada manusia, karena tidak

mempunyai enzim maka tidak dapat secara langsung mensintesis estrogen.

6

Page 12: Paper Kebidanan Fix

2. Progesteron

Progesteron juga disebut sebagai hormon kebuntingan. Konsentrasi

progesteron plasma meningkat pada keseluruhan kebuntingan. Pada saat

konsepsi, progesteron dihasilkan oleh korpus luteum. Sekitar 3 bulan

kebuntingan produksi progesteron berpindah dari korpus luteum ke plasenta

pada beberapa spesies ternak. Reseptor progesteron di dalam miometrium

berikatan dengan progesteron yang berfungsi memelihara keadaan tenang

pada uterus dan tertutupnya serviks. Kedua hal ini diperlukan selama

kebuntingan.

3. Oksitosin

Seperti halnya progesteron dan estrogen, hormon steroid oksitosin

juga terlibat dalam partus. Oksitosin dianggap sebagai inisiator labor

berdasarkan pengamatan terjadinya kontraksi uterus pada domba setelah

diberi estrak dari hipofisa. Ekstrak tersebut kemudian diketahui adalah

oksitosin. pelepasan oksitosin selama labor tergantung pada konsentrasi

estrogen.

Oksitosin secara lokal dihasilkan di dalam uterus. Peranan oksitosin

lokal endogenus ini tidak diketahui. Imfus oksitosin intra uterin digunakan

secara klinik untuk induksi kontraksi uterus dan labor.

4. Prostaglandin

Ditemukan pada hampir seluruh sel-sel mamalia. Peranan

prostaglandin dalam mekanisme partus dapat dibuktikan dengan pemberian

prostaglandin selama kebuntingan akan menginduksi kelahiran. Selama

labor, terdapat peningkatan tajam kuantitas prostaglandin di dalam cairan

amnion. prostaglandin terlibat dalam jalur akhir kontraksi uterus dan partus.

Prostacylins, inhibitor prostaglandin terdapat pada awal kebuntingan, yang

juga bertanggung jawab pada awal kebuntingan, yang juga bertanggung

jawab memelihara keadaan uterus tetap tenang selama kebuntingan.

5. CRH (Corticotrophin Releasing Hormone)

CRH adalah hormon hypothalamus yang bertanggung jawab

terhadap kontrol ACTH. Peningkatan CRH plasenta terjadi pada

lingkungan dominan estrogen  seperti saat partus. Stimulasi adrenal fetus

7

Page 13: Paper Kebidanan Fix

juga meningkatkan produksi glukokortikoid. Glukokortikoid

bertanggungjawab untuk pematangan paru-paru fetus.

6. Cortisol

Observasi pada kebuntingan diperpanjang pada beberapa spesies

menghasilkan kesimpulan bahwa pituitary dan glandula adrenal fetus

terlibat dalam proses partus. Kortisol adalah hormon steroid yang

dihasilkan oleh korteks adrenal. Cortisol merupakan kelompok hormon

yang tergolong glukokortikoid. Sekresi kortisol meningkat 10 hari

menjelang partus.

7. Relaksin

Relaksin adalah hormon peptida yang merupakan anggota keluarga

insulin. Peranan relaksin tidak kritis dalam memilihara kebuntingan,

relaksin juga dihasilkan pada plasenta. Kelahiran prematur berhubungan

dengan peningkatan sirkulasi relaksin. Mekanismenya adalah melalui aksi

relaksin terhadap serviks. Relaksin berhubungan dengan melunaknya

serviks. Relaksin tidak menimbulkan kontraksi pada hewan bunting.

8

Page 14: Paper Kebidanan Fix

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Tahap-Tahap Kelahiran

Walaupun aktivitas partus merupakan suatu proses yang

bersinambungan, tetapi sebagai gambaran deskriptif dapat dibagi atas 3 tahap.

3.1.1 Tahap Pertama

Tahap ini ditandai oleh kontraksi aktif serabut-serabut urat

daging longitudinal dan sirkuler pada dinding uterus dan dilatasi

cervix. kontraksi ini timbul karena penyingkiran hambatan terhadap

progesterone dan peningkatan kadar estrogen (Gillette dan Holm,

1963). Oxytocin jarang dilepaskan dari hipofisa sebelum tahap kedua

partus sehingga dianggap tidak penting untuk menginduksi partus (Van

Dongen dan Hayes, 1966). Peristaltik uterus yang dimulai pada apex

cornua uteri diawali oleh kontraksi urat daging sirkuler yang

diserentakkan dengan penyebaran rangsangan kontraksi uterus

menangani 90 persen kegiatan partus dan kontraksi ini berbanding

lurus dengan ketahanan fetus. Aktivitas muskulatur uterus sangat

meningkat satu sampai dua jam sebelum kelahiran. Amplitudo

prepartum kontraksi urat daging uterus rata-rata 80 cm H2O. Kontraksi

uterus mendorong selaput fetus dan cairannya memasuki cervix yang

mengendur. Os cervicalis externa atau lubang serviks bagian luar

cukup merenggang seminggu sebelum partus sehingga dapat dimasuki

2 sampai 4 jari. Serviks sapi dara tetap tertutup rapat sampai satu hari

sebelum partus. Pada tahap pertama partus serviks tidak dikuakkan

oleh alantochorion, melainkan oleh daya kontraksi urat daging

longitudinal. selama tahap pertama partus serviks mudah menampung

alantochorion yang terdorong kedalamnya. Dilatasi os cervicalis

interna dimulai 2 sampai 4 jam sesudah os cervicalis eksterna

mencapai diameter 7,5 sampai 15 cm. Dalam waktu 6 sampai 12 jam

kemudian seluruh serviks terbuka sampai 17,5 cm dan serviks serta

9

Page 15: Paper Kebidanan Fix

vagina merupakan suatu saluran bersambung terisi dengan

alantochorion (Toelehere, 1985).

Selama tahap pertama partus, kontraksi uterus terjadi setiap 10

sampai 15 menit dan berlangsung selama 30 detik. Dengan

melanjutnya tahap kelahiran, kontraksi uterus berlangsung lebih

sering, lebih kuat dan lebih lama, setiap 3 sampai 5 menit (Gillete

Holm, 1963). Kontraksi dimulai pada apeks cornua, sedangkan bagian

pangkal uterus tidak berkontraksi, melainkan berdilatasi karena

tekanan fetus dan cairan yang mendorong kebelakang. Pada akhir

stadium ini serviks terbuka secara sempurna (Toelehere, 1985).

Tahap pertama partus nampak berlangsung lebih lama pada

primipara daripada pluripara. Menjelang akhir tahap ini alantochorion

pecah karena dipaksa melewati serviks yang berdilatasi ke vagina.

Sesudah alantochorion pecah, amnion terdorong ke dalam serviks dan

fetus karena pemendekan, kontraksi uterus dan dilatasi serviks berlalu

ke dalam serviks dan vagina. Sekali sebagian fetus memasuki serviks,

rangsangan reflex menimbulkan perejanan disebabkan oleh kontraksi

urat daging perut dan diafragma dengan penutupan glottis. Tahap

kedua segera menyusul (Toelehere, 1985).

Gambar 1. Pra Partus

10

Page 16: Paper Kebidanan Fix

Presentasi, Posisi dan Postur Fetus

Kedudukan fetus perlu ditentukan secara teliti sewaktu ia

memasuki saluran kelahiran dan pelvis. Deskripsi ini dipakai pada

kelahiran normal maupun abnormal (Toelehere, 1985).

Presentasi mencakup:

a. Hubungan antara sumbu spinal fetus terhadap sumbu panjang

tubuh induk. Presentasi dapat longitudinal atau transversal.

b. Bagian fetus yang mendekati atau memasuki rongga pelvis atau

saluran kelahiran. Bagian tersebut adalah anterior dan posterior

pada presentasi longitudinal, dan dorsal atau ventral pada

presentasi transversal.

Pada presentasi longitudinal sumbu spinal fetus sejajar dengan

sumbu induk, sedangkan pada presentasi transversal sumbu panjang

fetus terletak menyilang atau tegak lurus terhadap sumbu panjang

induk. Pada presentasi longitudinal, bagian fetus dapat terletak anterior

atau kepala muncul terlebih dahulu dan dapat pula terletak posterior

atau bagian ekor fetus muncul terlebih dahulu. Presentasi transversal

dapat terjadi ventral yaitu bagian bawah tubuh fetus menghadap keluar

saluran kelahiran dan dapat terjadi dorsal dengan bagian punggung

fetus menghadap keluar (Toelehere, 1985).

Posisi adalah hubungan antara dorsum atau punggung fetus

pada presentasi longitudinal, atau kepala pada presentasi transversal

terhadap sisi pelvis induk, yaitu sacrum, pubis, ilium kiri dan ilium

kanan (Toelehere, 1985).

Posturnya menunjukkan hubungan ekstremitas, yaitu kepala,

leher dan kaki, terhadap tubuh fetus. Ekstremitas tersebut dapat

membengkok, lurus, terletak dibawah, di samping kiri, samping kanan,

atau di atas fetus (Toelehere, 1985).

Berbagai kemungkinan presentasi, posisi dan postur dapat

terjadi pada fetus yang memasuki saluran kelahiran pada waktu partus.

Kemungkinan-kemungkinan tersebut pada keadaan normal, fetus

terletak pada presentasi longitudinal anterior, posisi dorsodorsal atau

11

Page 17: Paper Kebidanan Fix

dorsosakral dengan kepala bertumpu pada tulang-tulang metacarpal

dan lutut pada kaki depan yang melurus. Kelahiran dapat pula

berlangsung normal bila fetus berada dalam presentasi longitudinal

posterior, posisi dorso-sakral,. kecuali pada keadaan fetus yang kecil,

posisi lainnya berakhir dengan distokia. Presentasi transversal jarang

terjadi dan kalaupun terjadi selalu berakhir dengan distokia. Presentasi

longitudinal posterior, posisi dorso-sakral, dengan kaki-kaki belakang

tertahan atau melurus di bawah tubuh, biasanya disebut letak sungsang

(Toelehere, 1985).

Gambar 2. Berbagai Posisi Fetus yang Abnormal

12

Page 18: Paper Kebidanan Fix

Gambar 3. Posisi Fetus yang Normal

3.1.2 Tahap Kedua

Tahap ini ditandai oleh pemasukan fetus ke dalam saluran

kelahiran, berdilatasi, ruptura kantong allantois, kontraksi abdominal

atau perejanan dan pengeluaran fetus melalui vulva. Menurut Gillette

dan Holm (1963) kontraksi abdominal hanya terjadi sesudah kaki-kaki

fetus berada dalam cervix atau vagina. Pemecahan kantung allantois

menyebabkan peningkatan kontraksi abdominal secara tiba-tiba yang

bertumpu dengan puncak setiap gelombang kontraksi uterus dengan

amplitudo 80 sampai 320 cm H2O, rata-rata 180 cm H2O. Sesudah

pemecahan kantung allantois, amnion di dorong melalui cervix dan

dapat terlihat pada vulva sebagai suatu kantung berisi air. Selama tahap

kedua perejanan, uterus berkontraksi 4 sampai 8 kali setiap 10 menit

dan berlangsung 80 sampai 100 detik. Perejanan berulang-ulang

berlangsung terus sampai 100 detik. Perejanan berulang-ulang

berlangsung terus dan kaki fetus terlihat di vulva. Sewaktu kaki fetus

melewati vulva kantung amnion pecah (Toelehere, 1985). Peningkatan

kontraksi abdominal terjadi pada waktu kepala, bahu dan pinggul fetus

memasuki pelvis. Kepala fetus mulai memasuki vulva dan pada saat

ini terjadilah perejanan abdominal yang terkuat dalam proses partus.

Pada waktu kepala di dorong ke dalam vulva, dada memasuki saluran

pelvis. Sesudah kepala fetus melewati vulva, induk beristirahat untuk

beberapa menit sebelum kembali merejan dengan kuat sewaktu dada

fetus berlalu melewati saluran kelahiran dan vulva. Pinggul segera

13

Page 19: Paper Kebidanan Fix

menyusul memasuki saluran kelahiran. Sewaktu fetus memasuki

saluran kelahiran dan sewaktu vagina berdilatasi, kadar oxytocin di

dalam darah jugularis lebih tinggi daripada selama tahap pertama dan

permulaan tahap kedua partus (Folley dan Knaggs, 1965; Van Dongen

dan Hayes, 1966). Kadar oxytocin di dalam plasma darah sapi selama

tahap kedua partus adalah kira-kira 1000 mikrounit per ml.

Gambar 4. Keluarnya Kaki Fetus Pada Proses Kelahiran

Segera sesudah perejanan dimulai biasanya induk berbaring.

Kadangkala anak sapi dapat lahir dari induk yang sedang berdiri. Pada

kerbau kebanyakan partus berlangsung dalam keadaan berdiri

(Harbers. 1981). Induk sapi berbaring dan menumpukan tubuhnya

pada sternum. Selama tahap ini dinding uterus yang berkontraksi dan

memendek memaksa dan mengarahkan fetus ke dalam saluran

kelahiran dan pelvis, dan kontraksi abdominal atau perejanan

mendorong fetus melalui saluran kelahiran (Toelehere, 1985). Tekanan

intrauteri adalah 66 mm Hg antara kontraksi uterus selama tahap

kedua, perejanan, dan mencapai 170 mm Hg pada waktu kontraksi

abdominal. Jadi jumlah seluruh tekanan pada waktu pembukaan inlet

pelvis adalah sebesar 70 sampai 80 kg atau seberat kekuatan tarikan

satu orang terhadap fetus. Tekanan intra-abdominal yang disebabkan

oleh kontraksi urat daging perut dan diafragma serta penutupan glottis,

adalah sama ke semua jurusan. Uterus perlu untuk mengarahkan fetus

14

Page 20: Paper Kebidanan Fix

ke jalan yang paling sedikit memiliki rintangan saluran pelvis. Fetus

yang sehat, dinding perut yang utuh dan uterus yang sehat perlu untuk

kelahiran normal (Toelehere, 1985).

Gambar 5. Keluarnya Setengah Badan Fetus Pada Proses Kelahiran

Fetus keluar melalui jalur yang berbentuk busur dari rongga

perut ke atas, ke dalam dan melalui pelvis, dan ke bawah lagi sewaktu

melalui vulva. Arah arah fetus yang seperti busur ini sewaktu ia

bergerak melalui pelvis menyebabkan perentangan urat-urat daging

dorsal dan pelvis, dan relaksasi linea alba dan urat daging perut.. Hal

terakhir tersebut penting untuk memperkecil diameter sakro-pubis

pelvis fetus. Bagian fetus yang mengarah ke bawah sewaktu melewati

vulva cenderung mendorong pelvis fetus tinggi di dalam pelvis induk,

di mana diameter bisiliaca lebih besar. Hal ini membantu mencegah

kondisi berhentinya pinggul yang sering ditemukan pada waktu

penarikan dilakukan secara tidak tepat (Toelehere, 1985).

Tahap kedua proses kelahiran berlangsung 0,5 sampai 3 atau 4

jam. Pada sapi yang sudah sering beranak tahap ini hanya memerlukan

waktu setengah sampai satu jam. Primipara membutuhkan waktu yang

lebih lama, sampai 3 jam atau lebih. Fase pengeluaran fetus pada

kerbau berkisar antara 23 sampai 60 menit (Mathias, 1981) atau rata-

rata 42,5 menit (Harbers, 1981).

15

Page 21: Paper Kebidanan Fix

Apabila chorda umbilicalis atau tali pusar putus, arteria

umbilicalis bersama dengan urachus berkerut ke dalam rongga

abdomen fetus. Dengan kontraksi arteria tersebut ke dalam jaringan

tubuh, terjadi pencegahan perdarahan melalui umbilicus. Vena

umbilicalis menciut, darah keluar dari vena tersebut dan cairan di

dalam chorda umbilicalis keluar, sering dibantu dengan penjilatan

induk. Chorda umbilicalis akan nekrotik, mengering dan luluh dalam

waktu 7 sampai 21 hari (Toelehere, 1985).

Gambar 6. Induk Sapi Menjilati Anak Sapi

3.1.3 Tahap ketiga

Tahap terakhir proses kelahiran adalah pengeluaran selaput

fetus dan involusi uterus. Pengeluaran selaput fetus secara normal

selesai dalam waktu beberapa jam sesudah pengeluaran fetus. Dengan

lahirnya fetus, pembuluh darah placenta fetalis mengempis, dan villi

mengecil serta menciut. Sesudah pengeluaran fetus uterus tetap

berkontraksi secara kuat selama 48 jam dan melemah tetapi lebih

sering sesudah itu (Gillette dan Holm, 1963). Hal ini penting untuk

menghambat perdarahan dan membantu pengeluaran selaput fetus.

Gelombang-gelombang peristaltik dan kontraksi ini, di samping

mengurangi ukuran uterus dan membantu mendorong placenta dan

selaput fetus ke dalam saluran kelahiran, mungkin sangat mengurangi

16

Page 22: Paper Kebidanan Fix

jumlah darah yang beredar di dalam endometrium. Pengurangan

peredaran darah pada endometrium yang menyebabkan dilatasi atau

relaksasi kripta maternal memegang peranan penting dalam pemisahan

trophoblast fetalis dan epitel kripta pada placenta induk. Tidak ada

jaringan induk yang dikeluarkan sesudah partus. Arteria uterina

mediana segera berkontraksi sesudah partus. Dinding arteria tersebut

menebal dan fremitus menghilang walaupun involusi ke ukurannya

yang normal baru terjadi beberapa minggu kemudian (Toelehere,

1985). Kontraksi uterus selama tahap ketiga partus menghasilkan

pergerakan dinding uterus dan karunkel yang membantu membebaskan

placenta fetalis. Berat amnion dan bagian allamtois di dalam saluran

kelahiran cenderung membantu menanggalkan placenta fetalis dari

uterus (Toelehere, 1985). Gerakan menyusu menstimuler pelepasan

oxytocin dari hipofisa yang diperlukan untuk merangsang kontraksi

dinding uterus. Kelahiran prematur, kembar dan masa kebuntingan

yang singkat sering berhubungan dengan retensio secundinae. Dalam

hal ini infeksi dapat memainkan suatu peranan patologik. Pelepasan

fetus secara normal dapat dikatakan merupakan suatu proses kompleks

yang melibatkan faktor-faktor mekanik dan hormonal, walaupun

mekanisme yang tepat belum seluruhnya dimengerti (Toelehere,

1985).

17

Page 23: Paper Kebidanan Fix

Gambar 7. Pengeluaran Placenta

Pemisahan placenta merupakan suatu proses yang relatif

lambat, sehingga tahap kedua perejanan dapat diperpanjangan tanpa

membahayakan fetus. Chorda umbilicalis fetus segera putus sewaktu

fetus melewati saluran kelahiran. Lama waktu yang diperlukan untuk

pengeluaran selaput fetus pada sapi secara normal adalah 0,5 sampai 8

jam (Toelehere, 1985).

3.2 Involusi Uterus

Involusi uteri adalah kembalinya ukuran dan fungsi uterus dalam

kondisi normal seperti sebelum mengalami kebuntingan (Bearden dan Fuquay,

1992; Hafez, 2000). Peningkatan prostaglandin F2α pada 7-23 hari pasca

partus akan memberikan rangsangan pada myometrium untuk melakukan

kontraksi. Proses pelepasan jaringan yang berlangsung sekitar 15 hari pasca

partus akan diikuti oleh penyusutan beberapa pembuluh darah, regresi kelenjar

uterus, penyusutan jumlah dan volume sel uterus. Ruang di antara karunkula

akan diisi oleh sel-sel epitel yang baru pada 8 hari pasca partus dan proses

regenerasi secara keseluruhan akan berlangsung selama 4-5 minggu pasca

partus (Hadisutanto dkk, 2013). Kondisi tersebut dimulai sejak berakhirnya

minggu pertama pasca partus hingga involusi uteri terjadi secara utuh yang

ditandai oleh :

(1) menyusutnya ukuran corpus dan cornua uteri,

(2) uterus kembali berada di rongga pelvis,

(3) konsistensi dan tekanan uterus normal,

(4) degenerasi karunkula yang diikuti oleh regenerasi jaringan epitel

uterus.

(5) terbebasnya cervix dari bakteri pathogen.

Involusi uteri umumnya terjadi melalui tiga proses yaitu: kontraksi,

pelepasan jaringan dan regenerasi jaringan. Kehadiran performan estrus kedua

pascapartus menunjukkan bahwa induk sapi perah sudah mengalami

keseimbangan energi positif karena titik nadir keseimbangan energi negatif

berlangsung hingga 3 minggu pasca partus. Estrus kedua pasca partus juga

menggambarkan uterus sudah mengalami involusi artinya secara fisiologis

18

Page 24: Paper Kebidanan Fix

induk mampu menerima kebuntingan berikutnya. Secara fisologis bahwa

proses involusi uteri sangat berhubungan dengan kehadiran beberapa hormon

pasca partus di antaranya kortisol, oxytocin, estrogen dan prostaglandin F2α

(Hadisutanto dkk, 2013). Proses kerja sinergis hormon oxytocin, estrogen dan

prostaglandin F2α memberikan pengaruh yang kuat terhadap kontraksi

myometrium sehingga menyebabkan pengeluaran plasenta serta runtuhnya sel-

sel endometrium yang bercampur dengan sekresi cairan uterus yang dihasilkan

oleh sel-sel kelenjar endometrium (Hadisutanto dkk, 2013). Berlangsungnya

proses kontraksi ritmik yang diikuti pengeluaran runtuhan sel-sel

endometrium dan sekresi cairan uterus pasca partus menyebabkan pengeluaran

lochia. Sekresi cairan yang diproduksi oleh sel-sel endometrium akan

mendorong runtuhan sel endometrium keluar tubuh sehingga kondisi uterus

berangsur-angsur menjadi bersih. Kondisi tersebut pada akhirnya akan

menyebabkan pemendekan jaringan otot sirkuler dan longitudinal dari uterus

serta menyusutnya karunkula. Involusi uteri merupakan aktualisasi dari regresi

endometrium dan karunkula serta pemendekan jaringan otot sirkuler dan

longitudinal dari myometrium (Hadisutanto dkk, 2013).

3.3 Estrus Postpartum

Estrus post partus atau estrus pertama setelah melahirkan merupakan

mata rantai yang penting dalam proses reproduksi sehingga harus

mendapatkan perhatian dalam pengelolaan reproduksi agar ternak tetap

mempunyai kemampuan reproduksi yang optimum. Estrus pertama postpartus

berhubungan dengan aktivitas siklus ovarium yang kembali normal secara

cepat setelah melahirkan.

Pada masa awal setelah melahirkan, hewan betina harus menghasilkan

susu untuk anaknya dan menyiapkan uterus, ovarium, dan oran-organ kelamin

yang lain, serta sistem endokrin yang memulai siklus yang normal agar dapat

bereproduksi lagi. Pada masa ini, umumnya siklus estrus tidak akan segera

terjadi karena pengaruh umpan balik negatif dari progesteron yang dihasilkan

oleh korpus luteum dan plasenta selama kebuntingan.

Corpus luteum kebuntingan yang lampau beregresi secara cepat.

Interval antara partus dan estrus pertama postpartum berkisar antara 30 sampai

19

Page 25: Paper Kebidanan Fix

72 hari pada sapi perah dan 46 sampai 104 hari pada sapi potong. Interval ini

diperpanjang bila anak disusui dan frekuensi pemerahan ditingkatkan.

Pemisahan anak dari induk dapat memperpendek interval ini. Ovulasi pertama

postpartum biasanya terjadi terlebih dahulu dari estrus pertama yang dapat

diamati. Pada sapi perah yang berproduksi tinggi estrus pertama postpartum

umumnya pendek karena produksi progesterone rendah. Aktivitas ovarium

sesudah partus lebih sering terjadi pada ovarium di sisi uterus yang tadinya

tidak bunting. Kecenderungan ini menurun apabila interval antara partus dan

ovulasi meningkat (Jainudeen dan Hafez, 1980).

20

Page 26: Paper Kebidanan Fix

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Kelahiran adalah proses fisiologik yang berhubungan dengan

pengeluaran fetus dan plasenta melalui saluran peranakan. Pada umumnya

gejala menjelang partus pada ternak hampir sama, yaitu : a) adanya perubahan

pada ligamentum pelvis, terutama lig. sacroichiadicus sangat mengendor

terlihat, b) adanya perubahan pada vulva yaitu menjadi oedema, c) adanya

aktifitas mamaria, dan d) terlihat adanya leleran lendir kental berwarn kuning

jernih yang mencair dan banyak. Proses kelahiran dapat terjadi karena adanya

interaksi yang komplek antara faktor endokrin, neural dan mekanik. Terdapat

beberapa hal yang berkaitan dengan inisiasi partus, yaitu : progesteron rendah,

estrogen meningkat, volume uterus meningkat, peningkatan oksitosin,

peningkatan prostaglandin F 2-alfa, dan aktivitas axis hypothalamus-pituitaria-

adrenal fetus.

Terdapat 3 tahapan dalam proses kelahiran yaitu tahap pertama dilatasi

servik, tahap kedua pengeluaran fetus, dan tahap ketiga pengeluaran plasenta.

Pada tahap pertama terjadi karena adanya kontraksi uterus secara regular,

kontraksi dimulai dan uterus sampai servik, sehingga servik mengalami

dilatasi sepenuhnya dan dilanjutkan dengan dilatasi vagina, disamping itu

induk nampak gelisah, pulsus dan respirasi meningkat. Pada tahap kedua

terjadi kontraksi yang kuat pada uterus dan perut, servik akan berdilatasi

secara sempurna dan diakhiri dengan pengeluaran fetus, induk biasanya

merebah/ berdiri, allantokorion pecah dan keluar cairan pada vulva serta

keluar cairan amnion. Pada tahap ketiga kontraksi uterus menurun dan terjadi

pengeluaran plansenta.

Setelah proses kelahiran berakhir, sapi akan memasuki periode dimana

akan terjadi perubahan-perubahan di dalam tubuh sapi seperti : regenerasi

endometrium, involusi uterus, dan estrus post partus. Involusi uterus adalah

peristiwa pengecilan uterus setelah melahirkan keukuran semula (uterus tidak

bunting). Pada peristiwa ini terjadi proses regenerasi epitel endometrium,

21

Page 27: Paper Kebidanan Fix

pengecilan serat urat otot myometrium, dan pengecilan pembuluh-pembuluh

darah uterus. Setelah terjadi involusi uterus, sapi akan memasuki periode

estrus postpartum. Ovulasi pertama setelah partus sering tidak disertai dengan

gejala birahi. Normalnya estrus post partus pada sapi sekitar 50 hari (30-70

hari). Interval ini akan diperpanjang pada sapi yang menyusui/ tingginya

pemerahan.

4.2 Saran

Disarankan peternak melakukan pencatatan waktu perkawinan pada

ternaknya, karena pencatatan waktu perkawinan sangat penting agar bisa

menentukan waktu partus. Gejala-gejala menjelang kelahiran atau partus harus

diketahui oleh seorang dokter hewan agar dapat memberi bantuan apabila

hewan mengalami kesulitan dalam proses melahirkan.

22

Page 28: Paper Kebidanan Fix

DAFTAR PUSTAKA

Bearden, H.J. dan John W. Fuquay. 1992. Applied Animal Reproduction. Third Edition. Prentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey.

Folley, S.J., G.S. Knaggs. Levels of Oxytocin in the Jugular Vein Blood of Goats Parturition. J. Endocrinol, 33 : 301.

Gillette, D.D., L. Holm. 1963. Prepartum to Postpartum Uterine and Abdominal Contractions in Cows. Amer. J. Physol., 204.

Gordon, I. 1996. Controlled Reproduction in Cattle and Buffaloes. New York: CABI Publishing.

Hadisutanto, Bambang., Bambang Purwantara., dan Siti Darodjah. 2013. Involusi Uteri dan Waktu Estrus pada Induk Sapi Perah FH Pasca Partus. Jurnal Ilmu Ternak. Vol. 13, No. 1.

Hafez, E.S.E. 2000. Reproduction in Farm Animal. Lea and Febiger. Philadelphia.

Harbers, F. 1981. Untersuchungen zur Geburt and Postpartalen Morbiditat der Kalber beim Thailandischen Sumpfbuffei (Bubalus bubalis), disertasi (Glessen : Justus Liebig Univ.

Jainudeen, M.R., E.S.E. Hafez. 1980. “Gestation, Prenatal Physiology and Parturition”, dalam E.S.E. Hafez (Ed.), Reproduction in Farm Animals (Philadelphia : Lea dan Febiger, 1980).

Mathias, E. Physiologische and Hamatologische Untersuchungen an Sumpfbuffeikuhen and Kalbern in Thailand. disertasi (Giessen : Justus Liebig Univ).

Toelehere, Mozes R. 1985. Ilmu Kebidanan Pada Ternak Sapid an Kerbau. Universitas Indonesia Press : Jakarta.

VanDongen, C.G., R. L. Hayes. 1966. Oxytocis Activity in Unextracted Blood Plasma During Calving. J. Reprod. Fert., 11 : 317.

23