pangan dan perbaikan gizi - kementerian … · web viewsebaliknya konsumsi ubi kayu dan ubi jalar...

93
PANGAN DAN PERBAIKAN GIZI

Upload: lythu

Post on 23-Mar-2019

230 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

PANGAN DAN PERBAIKAN GIZI

BAB VII

PANGAN DAN PERBAIKAN GIZI

A. PENDAHULUAN

Salah satu sasaran penting dalam pembangunan nasional adalah tersedianya pangan yang dapat mencukupi kebutuhan seluruh masyarakat secara merata dan meningkatkan mutu gizi rakyat. Itu sebabnya sejak Repelita I sampai dengan tahun keempat Repelita V, pembangunan di bidang pangan secara terus menerus memperoleh perhatian yang sungguh-sungguh. Disatu pihak penyediaan pangan senantiasa ditingkatkan, baik melalui peningkatan produksi di dalam negeri maupun pengadaan impor, di lain pihak kestabilan harga terus dipertahankan, sehingga tingkat harga yang terjadi memberi rangsangan yang cukup bagi petani untuk meningkatkan produksinya dan sekaligus merupakan harga yang wajar dan terjangkau oleh rakyat banyak.

Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) Tahun 1988 menekankan bahwa peningkatan produksi pangan, baik beras maupun bukan beras, perlu terus dilanjutkan tidak hanya untuk mempertahankan swasembada pangan, tetapi juga untuk memperbaiki keadaan gizi rakyat. Penekanan dalam GBHN tersebut mengisyaratkan bahwa keberhasilan pembangunan di bidang pangan tidak cukup bila hanya diukur dari meningkatnya produksi dan stabilnya harga pangan saja. Keberhasilan mempertahankan swasembada pangan akan

VII/3

lebih bermakna bagi rakyat banyak apabila berdampak pada peningkatan keadaan gizi mereka. Pemantapan swasembada pangan dan perbaikan mutu gizi rakyat itu akan dicapai antara lain melalui peningkatan penyediaan protein nabati dan hewani, penganekaragaman jenis bahan makanan dan stabilisasi harga, dengan tetap memperhatikan pola konsumsi masyarakat setempat.

Kebijaksanaan dan langkah-langkah yang telah ditempuh serta hasil-hasil yang telah dicapai sejak Repelita I sampai dengan tahun keempat Repelita V dapat diikuti secara rinci dalam uraian di bawah ini.

B. PENGADAAN DAN PENYALURAN PANGAN

1. Kebijaksanaan dan Langkah-langkah

Kebijaksanaan pangan menjelang Repelita I meliputi penyediaan dan penyaluran beras untuk memenuhi kebutuhan rakyat, peningkatan produksi pangan, dan penetapan harga dasar beras. Dengan ditetapkannya harga dasar beras ini, diharapkan terjadi peningkatan penghasilan dan daya beli petani sehingga akan mendorong kegiatan produksinya secara terus menerus melalui penggunaan teknologi baru yang tersedia pada waktu itu.

Kebijaksanaan pangan tersebut, dalam Repelita I lebih disempurnakan. Kebijaksanaan harga beras diperluas, tidak hanya meliputi penetapan harga dasar gabah dalam rangka melindungi produsen, tetapi juga penetapan harga batas tertinggi beras sehingga harga beras terjangkau oleh seluruh rakyat. Penyediaan dan penyaluran beras oleh pemerintah dilaksanakan dengan melakukan pembelian dan penjualan beras dalam jumlah yang cukup besar untuk mempertahankan keseimbangan antara penawaran dan permintaan pada tingkat harga yang wajar baik bagi produsen maupun bagi konsumen, tanpa mengurangi gairah pedagang untuk turut serta dalam kegiatan pemasaran secara bebas.

Seiring dengan kebijaksanaan dan langkah-langkah yang ditempuh dalam rangka mencapai swasembada beras maka dalam Repelita I dan II penyediaan dan penyaluran beras untuk rakyat juga semakin ditingkatkan jumlah dan kualitasnya. Namun demikian, peningkatan penyediaan dan pe-nyaluran beras pada kurun waktu tersebut setiap tahun masih diiringi oleh

VI/4

sejumlah impor beras yang semakin besar, karena antara lain belum berimbangnya produksi beras dalam negeri dengan permintaannya. Hal ini berkaitan erat dengan mulai meningkatnya pendapatan per jiwa dan masih tingginya tingkat pertumbuhan penduduk. Untuk mengatasi masalah kesenjangan tersebut dan mengurangi ketergantungan terhadap impor beras, maka sejak Repelita I kegiatan untuk mencapai sasaran swasembada beras, yaitu penganekaragaman penyediaan dan konsumsi pangan yang dikaitkan dengan stabilisasi harga pangan dan pemerataan pangan, lebih ditingkatkan. Demikian pula halnya dalam Repelita berikutnya, kebijaksanaan dan langkah-langkah yang telah ditempuh dalam Repelita I, dilanjutkan. Langkah-langkah kebijaksanaan tersebut antara lain dilaksanakan dalam bentuk penetapan harga dasar gabah dan harga batas tertinggi beras, penetapan harga dasar palawija, pengadaan sarana penyangga pangan, serta pengadaan dan penyaluran bahan pangan bukan beras.

Kebijaksanaan-kebijaksanaan dan langkah-langkah sejak Repelita I sampai dengan Repelita IV tersebut, terlihat telah membuahkan hasil yang menggembirakan sewaktu bangsa kita memasuki Repelita IV, yaitu tercapainya swasembada beras pada tahun 1984 dan tahun-tahun selanjutnya. Keberhasilan tersebut lebih dikukuhkan pada tahun 1986 yang ditandai dengan pemberian penghargaan dari Badan Pangan Dunia (FAO) kepada Indonesia.

Kebijaksanaan pengadaan dan penyaluran pangan yang ditempuh dalam lima tahun terakhir, sejak tahun 1988/89 sampai dengan tahun 1992/93 adalah tetap melanjutkan kebijaksanaan dan langkah-langkah tahun-tahun sebelumnya. Uraian selengkapnya mengenai kebijaksanaan dan langkah-langkah tersebut dapat diikuti di bawah ini.

a. Harga Dasar

Kebijaksanaan penetapan harga dasar gabah dan palawija bertujuan untuk menjamin agar pendapatan nyata para petani tetap meningkat, sehingga para petani senantiasa bergairah untuk terus meningkatkan produksinya. Harga dasar bertujuan juga untuk merangsang petani menggunakan teknologi baru yang akan meningkatkan produktivitas lahan. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, harga dasar secara berkala selalu disesuaikan dengan perkembangan biaya produksi dan harga barang serta jasa lain yang dibutuhkan petani.

VII/5

Tiap tahun dalam bulan Oktober, yaitu sebelum musim tanam, diumumkan harga dasar baru untuk gabah. Harga dasar baru tersebut mulai diberlakukan menjelang musim panen raya tiba, yaitu sekitar bulan Januari-Pebruari tahun berikutnya. Pemilihan waktu pemberlakuan tersebut dilatarbelakangi oleh adanya kecenderungan harga gabah di pasar menurun tajam dalam musim panen raya. Untuk melindungi para petani terhadap keadaan yang kurang menguntungkan tersebut, ditempuh kebijaksanaan harga dasar. Apabila harga gabah di pasar tampak menurun dan mulai mendekati harga dasar, Koperasi Unit Desa (KUD) akan melakukan pembelian gabah pada tingkat harga dasar di daerah-daerah produksi padi. Selanjutnya KUD akan menjual hasil pembeliannya dari para petani kepada Depot Logistik atau Dolog setempat, atau lembaga yang ditugasi. Dolog adalah cabang dari Badan Urusan Logistik atau BULOG.

Sejak Pebruari 1986 sampai dengan Desember 1988 harga dasar gabah ditetapkan menurut empat kelompok kualitas, yaitu Gabah Kering Panen (GKP), Gabah Kering Desa (GKD), Gabah Kering Lumbung (GKL), dan Gabah Kering Giling (GKG). Namun sejak Januari 1989 diadakan penyesuaian atas cara pengelompokan kualitas tersebut sehingga lebih mendekati keadaan nyata di pedesaan. Kelompok kualitas yang barn adalah Gabah Keying Panen (GKP), Gabah Kering Simpan (GKS) dan Gabah Kering Giling (GKG).

Pada Tabel VII-1 dapat dilihat perkembangan harga dasar gabah dari tahun 1973/74 sampai dengan tahun 1992/93. Harga dasar GKG pada tahun 1973/74 atau akhir Repelita I adalah sebesar Rp 30,4 per kilogram. Sedangkan dalam tahun 1992 harga dasar GKP, GKS dan GKG ditetapkan berturut-turut sebesar Rp 235, Rp 280 dan Rp 330 per kilogram, atau masing-masing mengalami kenaikan sebesar 11,9%, 12,0% dan 11,9% dari harga dasar tahun sebelumnya. Harga dasar gabah pada tahun 1992 tersebut, apabila dibandingkan dengan harga dasar tahun 1987/88 untuk . GKP, GKS dan GKG masing-masing meningkat sebesar 104,3%, 69,7% dan 73,7%. Sementara itu, harga dasar GKG pada tahun 1992 tersebut mencapai lebih dari dua kali lipat harga dasar GKG pada tahun terakhir Repelita III, lebih dari empat kali lipat harga dasar GKG pada tahun terakhir Repelita II dan hampir sebelas kali lipat harga dasar GKG pada tahun terakhir Repelita I.

Jumlah pembelian gabah dan beras dalam negeri oleh Pemerintah yang dilaksanakan oleh BULOG sejak tahun 1968 sampai dengan tahun 1992 berfluktuasi setiap tahun tetapi cenderung meningkat. Pembelian

VII/6

TABEL VII – 11)

HARGA DASAR GABAH DI TINGKAT KUD,1973/74 – 1992/93

(Rp/Kg)

1) Harga dasar tahun 1983/84 dan tahun-tahun sebelumnya tidakdicantumkan secara keseluruhan oleh karena dasar penentuan-nya berbeda dengan dasar penentuan tahun 1987/88 dan seterusnya.

2) Berlaku mulai 24 Mei 1973 s/d 31 Mei 19743) Berlaku mulai 1 Pebruari s/d 31 Januari tahun anggaran yang bersangkutan4) Berlaku mulai 1 Pebruari s/d 31 Desember tahun 19885) Berlaku mulai 1 Januari s/d 31 Desember tahun 19896) Berlaku mulai 1 Januari s/d 31 Desember tahun 19907) Berlaku mulai 1 Januari s/d 31 Desember tahun 19918) Berlaku mulai 1 Januari s/d 31 Desember tahun 19929) Gabah Kering Lumbung

VII/7

gabah dan beras dalam negeri pada tahun 1968 berjumlah sebesar 597,6 ribu ton setara beras. Pada akhir Repelita I jumlah pembelian tersebut sedikit menurun, yaitu menjadi sebesar 268,3 ribu ton setara beras. Selanjutnya, pada akhir Repelita II dan akhir Repelita III, jumlah pembelian tersebut menunjukkan peningkatan, yaitu berturut-turut menjadi 881,3 ribu ton dan 1.210,7 ribu ton setara beras. Selama lima tahun sampai dengan tahun keempat Repelita V, yaitu tahun 1988/89 sampai dengan tahun 1992/93, jumlah pembelian gabah dan beras dalam negeri setiap tahunnya berturut-turut mencapai sebesar 1.801,0 ribu ton, 2.179,3 ribu ton, 1.333,5 ribu ton, 1.740,2 ribu ton dan 2.040,1 ribu ton setara beras. Dengan demikian, jumlah pembelian gabah dan beras selama lima tahun terakhir ini, setiap tahunnya lebih besar dibanding dengan jumlah pembelian pada tahun 1987/88 sebesar 1.214,4 ribu ton setara beras. Peningkatan pembelian gabah dan beras oleh pemerintah tersebut, secara umum juga mencerminkan keberhasilan peningkatan produksi beras selama lima tahun tersebut, walaupun pada tahun 1991 terjadi sedikit penurunan produksi dibanding dengan tahun sebelumnya sebagai akibat terjadinya musim kemarau panjang.

Hasil pembelian gabah dan beras dalam negeri menurut daerah tingkat I, sebagaimana tertera pada Tabel VII-2, menunjukkan bahwa secara umum sejak tahun 1968 pembelian gabah dan beras oleh pemerintah sebagian besar berasal dari propinsi Jawa Timur, Jawa Barat dan Jawa Tengah. Sumbangan ketiga propinsi ini pada tahun 1968 dan tahun 1973/74 berturut-turut adalah 32,7%, 29,1%, 18,2% dan 58,7%, 12,6%, 14,3%. Pada tahun 1992/93 persentase sumbangan ketiga propinsi tersebut berturut-turut sebesar 30,5%, 18,3% dan 15,3%. Khususnya selama lima tahun terakhir rata-rata persentase per tahun sumbangan ketiga propinsi tersebut adalah sebesar 66,9%. Angka 66,9% ini lebih rendah apabila dibandingkan dengan persentase sumbangan ketiga propinsi tersebut pada tahun 1987/88 dan tahun-tahun terakhir Repelita III, Repelita H, Repelita I serta tahun 1968. Perkembangan ini menunjukkan semakin meningkatnya sumbangan propinsi-propinsi lainnya dalam pengadaan gabah dan beras dalam negeri, sebagai cerminan dari peningkatan produksi berkat berhasilnya usaha-usaha peningkatan produksi di berbagai propinsi lain di luar Pulau Jawa seperti Sulawesi Selatan, Sumatera Selatan dan Lampung. Bertambahnya daerah pembelian gabah dan beras untuk pengadaan mempunyai dampak yang penting, yaitu mengurangi risiko ketergantungan yang berlebihan pada daerah pengadaan di Pulau Jawa.

VII/8

TABEL VII – 21)

HASIL PEMBELIAN GABAH DAN BERAS DALAM NEGERIMENURUT DAERAH TINGKAT I,

1968 – 1992/93(ton setara beras)

1) Angka Tahunan2) Angka sementara (Akhir Nopember 1992)

VII/9

GRAFIK VII – 11)

PEMBELIAN GABAH DAN BERAS DALAM NEGERI1968 – 1992/93

VII/10

Di samping untuk gabah, kebijaksanaan harga dasar juga pernah diberlakukan untuk palawija. Harga dasar jagung diberlakukan sejak tahun 1978 sampai dengan tahun 1991. Sedangkan untuk kacang tanah, kacang hijau dan kedele berlaku dari tahun 1979 dan berakhir tahun 1982 untuk kacang tanah, tahun 1990 untuk kacang hijau dan tahun 1991 untuk kedele. Harga dasar untuk palawija tersebut ditiadakan, karena ternyata perkembangan tingkat harga di pasaran dalam negeri relatif cukup tinggi dan dinilai tidak pernah merugikan bagi para petani yang bersangkutan; lagi pula harga di pasaran juga cukup tinggi untuk mendorong peningkatan produksi bahan-bahan tersebut tanpa adanya campur tangan pemerintah.

b. Harga Batas Tertinggi

Kebijaksanaan harga batas tertinggi beras bertujuan untuk menjaga agar harga beras di pasaran tetap terjangkau oleh daya beli rakyat banyak. Kebijaksanaan ini telah ditempuh sejak Repelita I dan senantiasa ditinjau kembali secara berkala agar sesuai dengan perkembangan harga dasar gabah dan perkembangan harga kebutuhan bahan penting lainnya. Tingkat harga tertinggi tersebut juga ditentukan dengan memperhitungkan tingkat margin pemasaran yang diperlukan untuk menjamin efisiensi kinerja pasar baik dalam menjaga keseimbangan antar waktu, maupun dalam menjaga keseimbangan antar daerah.

Penentuan harga batas tertinggi beras ini dibedakan menurut tiga kategori daerah sasaran, yaitu daerah surplus, daerah swasembada dan daerah defisit. Daerah surplus meliputi seluruh Jawa, Sulawesi Selatan, Bali dan Nusa Tenggara Barat. Daerah swasembada meliputi seluruh Sumatera kecuali Riau, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah. Sedangkan daerah lainnya tergolong daerah defisit. Harga batas tertinggi yang berbeda antara ketiga kategori daerah tersebut dimaksudkan untuk merangsang para pedagang agar turut serta dalam kegiatan perdagangan beras antar daerah dan antar pulau.

Dalam Tabel VII-3 dapat dilihat harga batas tertinggi beras dalam tahun 1973/74 sampai dengan 1992/93. Pada tahun 1973/74 harga batas tertinggi beras ditentukan masing-masing untuk daerah surplus, swasembada dan defisit berturut-turut sebesar Rp 55 per kg, Rp 65 per kg dan Rp 70 per kg. Sedangkan pada tahun 1992/93 untuk daerah surplus, swasembada dan defisit, ditentukan harga batas tertinggi masing-masing sebesar Rp 670 per kg, Rp 680 per kg dan Rp 690 per kg atau masing-masing lebih tinggi

VII/11

TABEL VII – 31)

HARGA BATAS TERTINGGI BERAS 1968 – 1992/93

(Rp/Kg)

1) Angka Sementara (akhir Nopember 1992)

VII/12

sebesar 10,7%, 10,4% dan 10,0% apabila dibandingkan dengan harga tahun sebelumnya. Harga batas tertinggi tahun 1992/93 tersebut untuk daerah surplus, swasembada dan defisit, masing-masing telah meningkat sebesar 71,8%, 65,9% dan 62,4% apabila dibandingkan dengan harga batas. tertinggi tahun 1987/88. Adapun apabila dibandingkan dengan tahun-tahun terakhir Repelita III, II dan I, harga batas tertinggi beras tahun 1992/93 di ketiga daerah tersebut secara rata-rata meningkat berturut-turut menjadi lebih dari dua kali lipat, lebih dari empat kali lipat dan hampir 11 kali lipat.

Apabila diperlukan untuk mengamankan agar harga beras di pasaran tidak melebihi harga batas tertinggi, maka dilaksanakan kegiatan penyaluran beras ke pasaran (operasi pasar) pada waktu dan di tempat tingkat harga beras di pasaran sedang meningkat mendekati harga batas tertinggi yang ditetapkan. Gambaran selengkapnya tentang jumlah penyaluran beras dari tahun 1968 sampai dengan 1992/93 dapat dilihat dalam Tabel VII-4. Secara umum, berkat harga beras yang stabil dan terkendali di tingkat konsumen maka jumlah penyaluran beras ke pasaran umum (operasi pasar) setiap tahunnya selama lima tahun terakhir ini lebih rendah apabila dibandingkan dengan jumlah penyaluran beras ke pasaran umum pada tahun 1987/88. Begitu pula apabila dibandingkan dengan tahun-tahun terakhir Repelita I dan Repelita III. Hanya pada tahun 1991/92 operasi pasar lebih besar dari operasi pasar pada tahun terakhir Repelita I dan tahun terakhir Repelita III, karena pada tahun ini musim kemaraunya panjang. Selain ke pasaran umum, penyaluran beras juga dilakukan setiap bulan bagi golongan anggaran, yaitu para pegawai negeri, pegawai otonom dan anggota Angkatan Bersenjata, serta kepada para karyawan Perusahaan Negara beserta keluarga mereka.

c. Sarana Penyangga.

Untuk menjaga stabilitas dan mengendalikan harga pangan terutama beras, pemerintah memiliki dan memelihara sarana penyangga berupa stok beras yang cukup. Sarana penyangga diperlukan agar penyaluran bahan pangan ke seluruh wilayah yang kekurangan dapat dilakukan dalam jumlah dan pada waktu yang sesuai dengan kebutuhan. Dalam usaha menghimpun sarana penyangga pangan tersebut, disediakan gudang pangan dengan kapasitas dan mutu yang memadai.

(1) Pengadaan Sarana Penyangga.

Pengadaan sarana penyangga pangan dalam jumlah yang aman

VII/13

TABEL VII – 41)

JUMLAH PENYALURAN BERAS 1968 – 1992/93

(ribu ton)

1) Angka Tahunan2) Angka Sementara (Akhir Nopember 1992)

VII/14

GRAFIK VII – 2JUMLAH PENYALURAN BERAS

1968 – 1992/93

VII/15

bertujuan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan penyaluran bagi berbagai kelompok dalam masyarakat dan untuk mencukupi kebutuhan akan pangan apabila sewaktu-waktu terjadi kekurangan persediaan dalam masyarakat. Sarana penyangga tersebut terutama diusahakan melalui kegiatan pembelian gabah dan beras di dalam negeri. Pembelian dalam negeri ini sekaligus berfungsi sebagai penunjang pelaksanaan kebijaksanaan harga dasar. Apabila melalui usaha tersebut sarana penyangga masih belum cukup tersedia, maka kekurangannya dipenuhi melalui impor, baik yang bersumber dari bantuan pangan, pengembalian pinjaman, maupun pembelian komersial.

Pada mulanya sebagian besar sarana penyangga dipenuhi dari impor. Kemudian, sejalan dengan peningkatan produksi beras dalam negeri, jumlah pembelian dari produksi dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan sarana penyangga nampak semakin meningkat. Jumlah beras yang diimpor pada akhir Repelita I dan Repelita II cukup tinggi, mencapai sekitar dua kali jumlah impor tahun 1968. Namun, pada akhir Repelita III jumlah impor menurun karena peranannya mulai digantikan oleh pengadaan gabah dan beras dari dalam negeri. Dalam Repelita IV berangsur-angsur kebutuhan akan beras untuk sarana penyangga semakin terpenuhi dari pembelian dalam negeri.

Keberhasilan mempertahankan laju pertumbuhan produksi beras sejak pertengahan Repelita IV, pada tingkat setidak-tidaknya sama dengan laju pertumbuhan konsumsi, telah membuka kemungkinan yang makin besar untuk dapat memenuhi kebutuhan sarana penyangga melalui pembelian dalam negeri. Tetapi sebagaimana diketahui, secara alami perkembangan produksi beras masih sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca dan curah hujan yang tidak dapat dikendalikan. Gangguan cuaca dan curah hujan dapat sewaktu-waktu terjadi tanpa dapat diduga sebelumnya sehingga menyebabkan tingkat produksi beras mengalami kemunduran.

Misalnya pada tahun 1990, produksi beras hanya mengalami kenaikan sebesar 1,0% dibanding tahun sebelumnya. Bahkan sebagai akibat kemarau panjang yang terjadi, pada tahun 1991 produksi beras turun sebesar 1,08% dari produksi tahun sebelumnya. Kenaikan produksi yang relatif kecil pada tahun 1990 dan penurunan produksi yang terjadi pada tahun 1991 itu menyebabkan jumlah pengadaan sarana penyangga yang dapat dihimpun dari dalam negeri kecil. Pada tahun 1990/91 realisasi pengadaan sarana penyangga dalam negeri hanya mencapai 1.333 ribu ton, padahal kebutuhan penyaluran cukup besar, yaitu 1.871 ribu ton. Akibatnya stok akhir yang dikuasai pada akhir 1990/91 kurang dari 1 juta ton.

VII/16

Pada tahun 1991/92, jumlah pengadaan yang dapat dihimpun sedikit meningkat yaitu 1.740 ribu ton. Tetapi jumlah itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan penyaluran pada tahun itu yang mencapai 2.173 ribu ton. Selanjutnya, pada waktu itu ada dugaan akan terjadi lagi kemarau panjang dalam tahun 1992, sehingga pada tahun itu diperkirakan akan sulit untuk menambah persediaan beras dari dalam negeri.

Dengan mengecilnya stok beras pada tahun 1991/92 dan adanya dugaan akan terjadi kemarau panjang pada tahun 1992, jelas bahwa perlu sekali ditempuh kebijaksanaan hati-hati, bersiap-siap untuk menanggulangi hal-hal yang tidak diinginkan. Pertimbangan demikian mendorong pengembalian kembali beras yang pernah kita pinjamkan kepada negara sahabat dan melaksanakan pembelian dari luar negeri dalam jumlah yang aman untuk memenuhi kebutuhan akan sarana penyangga secara memadai, yang pada waktu itu diperkirakan sebesar 1 juta ton.

Pada tahun 1992, ramalan akan adanya kemarau panjang ternyata tidak terjadi. Pada tahun ini produksi beras malahan mengalami kenaikan yang sangat tinggi yaitu 5,82%, sehingga pengadaan dalam negeri yang dapat dihimpun diperkirakan akan melonjak mencapai 2.517 ribu ton.

Dari segi keamanan pangan, stok beras yang besar itu menguntung-kan karena pengendalian harga beras di pasaran demi kepentingan rakyat banyak selalu dapat berhasil. Dilihat dari sudut pembiayaan, stok yang berlebihan kurang menguntungkan. Terbatasnya kapasitas gudang yang dimiliki Pemerintah mengakibatkan Bulog harus menyewa gudang tambahan dengan biaya yang cukup tinggi. Di samping itu dilihat dari segi penyaluran, berarti beras yang ada dalam gudang tersebut harus disimpan lebih lama dengan segala risiko dalam bentuk menurunnya mutu beras serta meningkatnya biaya simpanan. Kebijaksanaan yang ditempuh dalam menghadapi masalah kelebihan stok adalah mengekspor surplus tersebut atau meminjamkan kepada beberapa negara yang membutuhkannya.

Produksi beras telah berhasil ditingkatkan untuk memenuhi kon-sumsi. Tetapi untuk keamanan pangan (food security) diperlukan sarana penyangga yang aman. Tentu saja dalam menjaga adanya sarana penyangga yang aman ini jugs harus diperhitungkan biayanya. Untuk ini sewaktu- waktu kita perlu mengekspor; atau meminjamkan kepada negara-negara

VII/17

sahabat yang membutuhkan; sebaliknya sewaktu-waktu juga mengimpor atau mengusahakan pengembalian pangan yang pernah kita pinjamkan walaupun ditinjau dari kebutuhan konsumsi produksi beras dalam negeri umumnya mencukupi. Kebijaksanaan demikian perlu ditempuh mengingat kenyataan bahwa produksi padi masih dipengaruhi oleh cuaca dan curate hujan.

(2) Pembangunan Gudang Pangan

Gudang pangan dalam kapasitas dan mutu yang memadai sangat diperlukan untuk memantapkan pelaksanaan kebijaksanaan sarana penyangga. Sarana pergudangan di bangun di daerah-daerah pusat produksi, pusat konsumsi dan juga di pelabuhan sebagai gudang transito.

Pada tahun 1978/79 atau akhir Repelita II gudang gabah/beras di Indonesia berjumlah 323 unit dengan kapasitas sebanyak 1.130,5 ribu ton. Sedangkan pada tahun 1992/93 gudang di seluruh Indonesia berjumlah 1.547 unit dengan kapasitas 3.516,0 ribu ton atau meningkat masing-masing sebesar 84,4% dan 26,2% apabila dibandingkan dengan jumlah dan kapasitas pada tahun 1987/88 (Tabel VII-5). Apabila dibandingkan dengan jumlah dan kapasitas gudang pada tahun 1983/84 dan tahun 1978/79, jumlah gudang pada tahun 1992/93 meningkat masing-masing menjadi lebih dari tiga kali lipat dan hampir lima kali lipat, serta kapasitasnya meningkat masing-masing menjadi lebih dari dua kali lipat dan lebih dari tiga kali lipat.

Pembangunan gudang dilakukan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan penyediaan pangan tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan pemerataannya. Hal ini terlihat pada jumlah gudang di luar Jakarta yang semakin meningkat, yaitu 78% pada akhir Repelita II, 86% pada akhir Repelita III, 88% pada tahun 1987/88, 91% pada akhir Repe- lita IV dan 93% pada tahun 1992/93; dari total jumlah gudang seluruh Indonesia.

d. Impor Gandum dan Penyaluran Tepung Terigu

Untuk mendukung upaya penganekaragaman atau diversifikasi pola konsumsi pangan dalam rangka mengurangi ketergantungan masyarakat pada

VII/18

TABEL VII – 51)

JUMLAH GUDANG GABAH/BERASDI JAKARTA DAN DI DAERAH-DAERAH,

1978/79 – 1992/93

1) Angka kumulatif sejak tahun 1974/752) Angka sementara (Akhir Nopember 1992)

VII/19

beras, sejak Repelita I sampai dengan lima tahun terakhir ini penyediaan tepung terigu sebagai sumber karbohidrat di luar beras terus dilakukan. Penyediaan tepung terigu tersebut setiap tahun dilakukan melalui impor gandum yang kemudian diolah di dalam negeri menjadi tepung terigu.

Kebutuhan tepung terigu setiap tahun memperlihatkan kecenderungan yang makin meningkat. Demikianlah maka jumlah gandum yang disalurkan (Tabel VII-6), dari tahun terakhir Repelita I sampai dengan 5 tahun terakhir juga menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat. Dalam usaha untuk mengimbangi kebutuhan penyaluran gandum yang meningkat tersebut, maka impor gandum juga terus meningkat.

Impor gandum meningkat terus dari 753 ribu ton pada akhir Repe-lita I hingga menjadi 1.722 ribu ton pada akhir Repelita III, namun sedikit menurun menjadi 1.607 ribu ton pada akhir Repelita IV. Selama kurun waktu tersebut penyaluran gandum meningkat terus dari sebesar 712 ribu ton pada akhir Repelita I hingga menjadi 1.679 ribu ton pada akhir Repelita IV.

Selama lima tahun terakhir ini rata-rata impor gandum setiap tahunnya adalah sebesar 1.774 ribu ton atau lebih tinggi 4,2% apabila dibandingkan dengan impor pada tahun 1987/88. Sedangkan rata-rata penyaluran gandum per tahun selama lima tahun terakhir ini adalah sebesar 1.792 ribu ton atau 7,8% lebih tinggi dari penyaluran gandum pada tahun 1987/88. Pada tahun 1992/93 impor gandum sampai dengan bulan Nopember 1992 adalah sebesar 1.481 ribu ton, atau naik 1,3% dibanding impor tahun .1991/92 sampai dengan bulan Nopember yang mencapai 1.462 ribu ton. Sedangkan penyaluran gandum pada tahun 1992/93 sampai dengan akhir bulan Nopember 1992 berjumlah 1.551 ribu ton atau meningkat sebesar 5,1% jika dibandingkan dengan penyaluran pada tahun 1991/92 sampai dengan bulan Nopember yang mencapai 1.476 ribu ton.

e. Pengadaan dan Penyaluran Gula Pasir

Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan gula pasir yang terus meningkat, penyediaan gula pasir juga terus ditingkatkan. Pengadaan gula pasir terutama berasal dari produksi dalam negeri, tetapi karena produksi dalam negeri masih belum mencukupi kebutuhan maka untuk menutupi kekurangannya diperlukan impor.

VII/20

TABEL VII – 61)

IMPOR DAN PENYALURAN GANDUM,1968 – 1992/93

(ribu ton)

1) Angka tahunan2) Angka diperbaiki3) Angka sementara (Akhir Nopember 1992)

VII/21

Rata-rata jumlah pengadaan gula pasir dalam negeri selama Repelita I adalah 717 ribu ton setiap tahun, kemudian dalam Repelita II meningkat menjadi rata-rata 820 ribu ton per tahun. Akan tetapi karena kebutuhan dalam negeri juga meningkat dengan cepat, maka rata-rata impor gula pasir meningkat pula dari 131 ribu ton per tahun dalam Repelita I menjadi rata-rata 295 ribu ton per tahun dalam Repelita II.

Selama Repelita III pengadaan gula pasir dalam negeri menunjukkan perkembangan pesat, dari 694 ribu ton pada tahun 1979/80 menjadi 1.600 ribu ton pada tahun 1983/84. Peningkatan ini terjadi berkat meningkatnya produksi dalam negeri sejak dilaksanakannya program Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) pada tahun 1975 serta berhasilnya kebijaksanaan penguasaan persediaan gula pasir sejak tahun 1981. Keberhasilan produksi ini telah mampu menurunkan impor, bahkan meniadakannya pada tahun pertama Repelita IV. Namun demikian permintaan pasar yang terus meningkat dengan laju yang lebih tinggi dari laju peningkatan produksi di dalam negeri telah mengakibatkan Indonesia mengimpor gula pasir lagi sejak tahun 1986/87. Demikianlah maka walaupun pada tahun 1992/93 hasil pengadaan gula pasir dalam negeri sampai akhir bulan Nopember 1992 mencapai 2.066,7 ribu ton, pada tahun itu impornya masih berjumlah 139,9 ribu ton. Perlu dicatat bahwa impor pada tahun 1992/93 ini lebih kecil sebesar 24,9% apabila dibandingkan. dengan impor tahun 1991/92 sebesar 186,5 ribu ton.

Sementara itu dilain pihak, penyaluran gula pasir juga terus meningkat. Rata-rata penyaluran setiap tahunnya dalam Repelita I mencapai sebesar 804 ribu ton, Repelita II sebesar 1.093 ribu ton, Repelita III sebesar 1.541,4 ribu ton, dan Repelita IV sebesar 2.032,8 ribu ton. Sedangkan pada tahun 1992/93 ini, sampai dengan bulan Nopember 1992 penyaluran gula pasir mencapai sebesar 1.617 ribu ton atau naik 2,5% apabila dibandingkan dengan penyaluran gula pasir tahun 1991/92 sampai dengan bulan Nopember yang mencapai 1.577 ribu ton.

2. Hasil-hasil Kebijaksanaan yang Telah Dicapai

Hasil-hasil yang telah dicapai dari pelaksanaan kebijaksanaan pengadaan dan penyaluran pangan untuk mendukung usaha stabilisasi harga pangan, terutama beras , dari tahun 1968 sampai dengan tahun 1992/93

VII/22

tercermin dari perkembangan harga beras selama kurun waktu tersebut. Hasil pemantauan atas perkembangan harga, baik di tingkat produsen maupun di tingkat konsumen, secara rinci disajikan pada Tabel VII-7 sampai dengan Tabel VII-11.

Pada Tabel VII-7 terlihat perkembangan harga rata-rata gabah di pedesaan dalam tahun 1973/74 sampai dengan tahun 1992/93 umumnya me-nunjukkan kecenderungan yang meningkat dan berada di atas harga dasar yang ditetapkan. Tingkat harga rata-rata gabah di pedesaan yang berada di atas harga dasar itu menunjukkan bahwa gabah yang dihasilkan dan dijual oleh para petani telah memperoleh harga yang wajar. Antara lain karena itulah maka para petani umumnya senantiasa terdorong untuk meningkatkan produksinya dan menerima penerapan teknologi baru yang tersedia selama kurun waktu tersebut.

Berdasarkan Tabel VII-7 disusun Tabel VII-8 yang menyajikan perkembangan harga rata-rata gabah di musim panen dan di musim paceklik di daerah pedesaan, dari tahun 1973/74 sampai dengan tahun 1992/93. Dari Tabel VII-8 tersebut tampak bahwa perbedaan harga rata-rata antar musim di pedesaan tiap tahunnya, sejak tahun 1988/89 sampai dengan tahun 1991/92, lebih kecil apabila dibandingkan dengan tahun 1987/88, begitu pula apabila dibandingkan dengan tahun-tahun terakhir Repelita II dan Repelita I. Selanjutnya untuk daerah perkotaan (Tabel VII-10) perbedaan harga rata-rata antar musim setiap tahunnya sejak tahun 1988/89 sampai dengan tahun 1991/92 juga lebih kecil apabila dibandingkan dengan tahun 1987/88, begitu pula apabila dibandingkan dengan tahun-tahun terakhir Repelita III, Repe- lita II dan Repelita I serta tahun 1968.

Perkembangan harga tersebut menunjukkan bahwa kebijaksanaan pengadaan dan penyaluran pangan yang ditempuh sejak tahun 1968 khususnya selama lima tahun terakhir telah mampu mengendalikan harga di musim panen dan di musim paceklik sehingga gejolak perbedaannya berhasil dibatasi pada tingkat yang wajar. Hal ini dapat dilihat juga dari perkembangan harga rata-rata gabah di musim panen di pedesaan (Tabel VII-8) yang umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan harga dasar yang ditetapkan (Tabel VII-1), dan dari perkembangan harga rata-rata beras di musim paceklik di perkotaan (Tabel VII-10) yang umumnya lebih rendah dibandingkan dengan harga batas tertinggi yang ditetapkan (Tabel V11-3).

VII/23

TABEL VII – 71)

PERKEMBANGAN HARGA RATA-RATA GABAHDI PEDESAAN INDONESIA,

1973/74 – 1992/93(Rp/Kg)

1) Gabah kering giling. Namun sejak bulan Maret 1986 pencatatan dilakukandalam bentuk Gabah Kering Panen lalu dikonversikan menjadi Gabah KeringGiling dengan menggunakan koefisien berupa persentase harga dasar GabahKering Giling terhadap realisasi harga rata-rata dari Gabah Kering Panenselama musim panen (April, Mei, Juni) dalam tahun yang bersangkutan.

2) Angka sementara (Akhir Nopember 1992)

VII/24

TABEL VII – 81)

PERBEDAAN ANTARA HARGA RATA-RATA GABAH DI MUSIM PANENDENGAN MUSIM PACEKLIK DI DAERAH PEDESAAN,

1973/74 – 1992/93(Rp/Kg)

1) Dalam bentuk Gabah Kering Giling. Namun sejak bulan Maret tahun 1986pencatatan dilakukan dalam bentuk Gabah Kering Panen lalu dikonversi-kan menjadi Gabah Kering Giling dengan menggunakan koefisien berupa persentase harga dasar Gabah Kering Giling terhadap realisasi harga rata-rata dari Gabah Kering Panen selama musim panen (April, Mei, Juni) dalam tahun yang bersangkutan.

2) Angka sementara (Akhir Nopember 1992)

VII/25

TABEL VII – 91)

HARGA RATA-RATA TERTIMBANG BERAS BULANANDI BEBERAPA KOTA PENTING,

1968 – 1992/93(Rp/Kg)

VII/26

(Lanjutan Tabel VII – 9)

VII/27

(Lanjutan Tabel VII – 9)

VII/28

(Lanjutan Tabel VII – 9)

VII/29

(Lanjutan Tabel VII – 9)

VII/30

(Lanjutan Tabel VII – 9)

VII/31

(Lanjutan Tabel VII – 9)

VII/32

(Lanjutan Tabel VII – 9)

VII/33

(Lanjutan Tabel VII – 9)

VII/34

(Lanjutan Tabel VII – 9)

VII/35

TABEL VII – 101)

PERBEDAAN HARGA RATA-RATA BERAS DI MUSIM PANENDAN MUSIM PACEKLIK DI BEBERAPA KOTA PENTING,

1968 – 1992/93(Rp/Kg)

1) Angka Sementara (Akhir Nopember 1992)

VII/36

Perkembangan harga rata-rata beras jenis medium di beberapa kota penting dari tahun 1968 sampai dengan tahun 1992/93 dapat dilihat dalam Tabel VII-9. Dari tabel tersebut tampak sejak Repelita satu sampai dengan tahun 1992/93 harga di kota-kota yang bersangkutan umumnya relatif stabil. Khusus selama lima tahun terakhir ini, secara umum kota-kota yang mengalami tingkat harga yang relatif tinggi terutama menjelang dan selama musim paceklik adalah Jakarta, Bandung dan Medan. Sementara itu rata-rata perbedaan harga beras antara kota-kota penting selama lima tahun terakhir adalah sebesar 20%, atau lebih kecil apabila dibandingkan dengan perbedaan harga beras antara kota-kota penting pada tahun 1987/88 dan tahun-tahun terakhir Repelita III, Repelita II, Repelita I serta tahun 1968 (Tabel VII-11).

Dari uraian mengenai hasil kebijaksanaan dan langkah-langkah yang telah ditempuh di bidang pengadaan dan penyaluran pangan sejak tahun 1968 sampai dengan tahun 1992/93 dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut. Pertama, secara umum kebijaksanaan di bidang pangan telah berhasil mencapai tujuan utamanya, yaitu memantapkan swasembada pangan. Kedua, kebijaksanaan harga dasar gabah, dan sampai dengan tahun 1991 juga kebijaksanaan harga dasar palawija, telah berhasil menjaga agar para petani produsen selalu memperoleh harga yang layak untuk bahan pangan yang dihasilkan dan dijualnya sehingga mereka tetap terdorong untuk berproduksi, menerapkan teknik-teknik produksi yang baru dan bahkan untuk meningkatkan produksinya. Ketiga, kebijaksanaan harga batas tertinggi beras telah mampu mengendalikan harga beras di tingkat konsumen sehingga selalu berada dalam batas yang terjangkau oleh daya beli masyarakat luas. Keempat, upaya penyediaan bahan pangan selain beras semakin menunjang penganekaragaman penyediaan pangan. Kelima, kapasitas dan mutu sarana penyimpanan pangan semakin memadai dan cukup merata di seluruh tanah air, sehingga makin mampu menunjang upaya peningkatan, pemantapan serta pengamanan kebijaksanaan pengadaan dan penyaluran pangan secara merata di seluruh pelosok Indonesia.

C. PERBAIKAN GIZI

Salah satu masalah penting yang dihadapi masyarakat dalam masa pra Repelita sampai sekitar pertengahan Repelita III adalah kurangnya produksi

VII/37

TABEL VII – 111)

PERBANDINGAN ANTARA HARGA BERAS TERTINGGI DAN TERENDAHDENGAN HARGA RATA-RATA DI BEBERAPA KOTA PENTING,

1968 – 1992/93(Rp/Kg)

1) Angka sementara (Akhir Nopember 1992)

VII/38

Lanjutan Tabel VII - 11

VII/38A

dan persediaan pangan yang dapat mencukupi kebutuhan seluruh masyarakat secara merata. Dengan demikian keadaan gizi masyarakat yang antara lain erat kaitannya dengan ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga, sampai pada waktu itu masih merupakan salah satu masalah penting yang diupayakan pemecahannya dalam setiap Repelita berikutnya. GBHN 1988 menekankan bahwa peningkatan produksi pangan tidak hanya penting untuk mempertahankan swasembada pangan, tetapi juga untuk memperbaiki keadaan gizi rakyat. Penekanan dalam GBHN tersebut mengisyaratkan bahwa keberhasilan pembangunan di bidang pangan tidak cukup apabila hanya diukur tercapainya swasembada pangan pada tahun 1984, dan stabilnya harga pangan. Keberhasilan mempertahankan swasembada pangan akan lebih bermakna bagi rakyat banyak apabila berdampak pada pening-katan keadaan gizi mereka sebagaimana diamanatkan oleh GBHN.

Sejak saat Repelita I dicanangkan pada tahun 1969/70 sampai dengan Repelita V, masih terdapat empat masalah gizi utama yang intensitasnya cenderung terus menurun. Keempat masalah tersebut adalah: pertama, Kekurangan Kalori dan Protein (KKP), yang terutama diderita oleh anak umur di bawah lima tahun (balita). Tidak jarang juga KKP diderita oleh orang dewasa di pedesaan, khususnya waktu kegagalan panen yang masih sering terjadi sampai dalam Repelita III. Dampak dari KKP pada anak balita adalah terhambatnya pertumbuhan fisik dan intelektual anak yang dapat merugikan perkembangan masa depan anak-anak tersebut. Selain itu sebagai akibat KKP mereka mudah terserang penyakit infeksi, sehingga masalah ini merupakan salah satu sebab dari tingginya angka kematian bayi. Pada orang dewasa, KKP dapat menurunkan produktivitas kerja dan dapat menyebabkan timbulnya penyakit dan kematian.

Kedua, masalah kekurangan vitamin A yang juga banyak diderita oleh anak balita. Masalah ini merupakan salah satu penyebab penting dari banyaknya penderita kebutaan (tuna netra) di Indonesia yang tidak saja merendahkan mutu sumber daya manusia, tetapi juga menyebabkan dan mencerminkan masih rendahnya kesejahteraan masyarakat yang bersangkutan. Di samping itu, kekurangan vitamin A menyebabkan rendahnya daya tahan terhadap penyakit anak yang dapat mematikan, seperti: diare, campak, dan beberapa penyakit alat pernafasan bagian atas.

VII/39

Ketiga, masalah kekurangan zat besi yang mengakibatkan penyakit anemia gizi yang banyak diderita umumnya oleh ibu yang mengandung, anak sekolah dasar di daerah miskin dan pekerja kasar yang berpenghasilan rendah. Bagi ibu yang mengandung, penyakit ini membahayakan keselamatan persalinannya, karenanya merupakan salah satu penyebab penting dari tingginya angka kematian ibu melahirkan di Indonesia. Bagi anak sekolah, kekurangan zat besi berdampak menurunkan kecerdasan anak dan potensi perkembangannya. Sedangkan bagi pekerja atau buruh kasar, penyakit ini mengakibatkan rendahnya produktivitas kerja.

Dan keempat, masalah kekurangan zat iodium yang pada orang dewasa dapat menyebabkan penyakit gondok endemik, dan pada bayi dan anak-anak dapat mengakibatkan cacat fisik dan mental dalam bentuk tubuh kerdil, dungu, bisu dan tuli. Masalah gizi ini terutama diderita penduduk daerah pegunungan yang tanah dan airnya tidak mengandung zat iodium atau sangat rendah kandungan zat iodiumnya.

Secara keseluruhan, masalah gizi erat kaitannya dengan masalah kemiskinan, rendahnya derajat kesehatan dan tingkat pendidikan, rendahnya mutu lingkungan pemukiman, dan masih adanya nilai-nilai budaya yang kurang mendukung kebiasaan makan yang sehat.

Sejak Repelita I sampai tahun keempat Repelita V melalui berbagai kegiatan program pangan dan perbaikan gizi telah berhasil meningkatkan konsumsi berbagai bahan pangan sumber kalori dan protein serta sumber zat gizi lainnya. Misalnya persediaan beras untuk konsumsi sebagai sumber kalori utama bagi penduduk meningkat dari 118,07 kg per jiwa per tahun pada tahun 1969/70 menjadi 145,53 kg per jiwa per tahun pada tahun 1991/92 atau meningkat dengan lebih dari 23% dalam waktu kurang lebih 22 tahun. Bahan pangan pokok yang konsumsinya juga meningkat sangat mencolok adalah tepung gandum, yaitu meningkat dari 4,9 kg pada tahun 1969/70 menjadi 7,71 kg per jiwa per tahun pada tahun 1991/92 atau naik dengan lebih dari 57%. Sebaliknya konsumsi ubi kayu dan ubi jalar per jiwa dalam kurun waktu tersebut menurun dari 56,0 kg per jiwa per tahun menjadi 48,8 kg per jiwa per tahun atau menurun lebih dari 12% untuk ubi kayu dan menurun dari 39,3 kg per jiwa per tahun menjadi 9,6 kg per jiwa per tahun atau menurun dengan lebih dari 75% untuk ubi jalar. Selain itu

VII/40

untuk konsumsi bahan pangan sumber kalori lainnya yang juga menurun dalam kurun waktu yang sama adalah jagung turun dari 32,4 kg per jiwa per tahun menjadi 30,81 kg per jiwa per tahun atau menurun sebesar 4,9%. Kecenderungan perubahan pola makanan pokok tersebut di atas mencerminkan adanya peningkatan pendapatan rata-rata penduduk sehingga lebih mengarah kepada bahan makanan yang bermutu gizi lebih tinggi. Hal ini makin nyata apabila diikuti kecenderungan makin meningkatnya konsumsi bahan pangan sumber protein baik protein nabati maupun protein hewani.

Dalam kurun waktu antara tahun-tahun 1970-1992 dalam Repelita I sampai Repelita V, persediaan untuk konsumsi protein nabati khususnya kacang tanah dan kacang kedele per jiwanya meningkat masing-masing dari 2,1 kg menjadi 3,4 kg per jiwa per tahun dan dari 3,3 kg menjadi 10,7 kg per jiwa per tahun atau masing-masing meningkat dengan lebih dari 65% dan 220%. Untuk sumber protein hewani persediaannya dalam kurun waktu 1970-1992 juga meningkat dengan pesat terutama untuk daging yaitu dari 2,7 kg menjadi 5,9 kg per jiwa per tahun atau meningkat menjadi lebih dari dua kali lipat. Sedang untuk ikan meningkat dari 10,6 kg menjadi 15,9 kg per jiwa per tahun atau meningkat dengan 50%. Kemudian untuk telur dan susu meningkat masing-masing dari 0,5 kg per jiwa per tahun dan 0,3 liter per jiwa per tahun pada awal Repelita I menjadi masing-masing 2,8 kg per jiwa per tahun dan 2,0 liter per jiwa per tahun pada tahun 1991/92 atau masing-masing meningkat dengan lebih dari 4 kali dan 5 kali lipat. Demikian juga persediaan untuk konsumsi sayuran dan buah-buahan kecenderungannya juga terus meningkat.

Adanya kecenderungan perubahan pola persediaan untuk konsumsi bahan pangan selama kurun waktu Repelita III sampai dengan Repelita V juga terlihat pada perubahan persediaan kalori, protein dan lemak rata-rata penduduk. Pada masa pra Repelita (tahun 1968) persediaan kalori, protein dan lemak masing-masing tercatat kurang lebih 2.035 kilo-kalori, 43,0 gram protein dan 29,1 gran lemak per jiwa per hari. Pada tahun 1990 angka-angka tersebut meningkat menjadi 2.781 kilo-kalori, 61,7 gram protein, dan 59,1 gram lemak per jiwa per hari. Dengan demikian telah terjadi peningkatan persediaan kalori, protein dan lemak dengan 37%, 43%, dan 103%. Peningkatan persediaan protein dan lemak yang sangat bermakna

VII/41

tersebut selain meningkatkan mutu gizi juga mencerminkan adanya penganekaragaman pola pangan penduduk dan adanya peningkatan pendapatan. Selain itu peningkatan konsumsi kalori dan protein juga memberikan gambaran adanya pemerataan peningkatan pendapatan, oleh karena bagi golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah setiap ada kenaikan pendapatan maka bagian terbesar dari kenaikan tersebut akan dibelanjakan untuk memenuhi kebutuhan pangannya.

Dampak peningkatan persediaan pangan untuk konsumsi seperti diuraikan di atas terhadap perbaikan keadaan gizi masyarakat antara lain tercermin pada makin menurunnya angka prevalensi berbagai masalah gizi sebagai berikut.

Sejak tahun 1988/89 telah terjadi penurunan penderita kurang gizi. Angka prevalensi gizi kurang (KKP sedang) anak Balita menurun dari 15,9% pada tahun 1978 menjadi 10,5% pada tahun 1989; atau menurun dengan 30% dalam satu dasawarsa. Sedangkan prevalensi gizi buruk (KKP berat) selama itu juga turun dari 3% menjadi 1,4%. Pada tahun 1992/93 ini diperkirakan angka-angka prevalensi tersebut terus menurun yang berarti makin baiknya keadaan gizi anak balita. Demikian pula di empat propinsi (Bali, NTB, Jawa Barat dan Jawa Tengah) telah terjadi penurunan prevalensi kekurangan vitamin A dari 1,25 persen pada tahun 1978 menjadi 0,1 persen pada tahun 1992 atau menurun dengan lebih dari 88%. Bahkan di beberapa daerah, yang sampai akhir tahun Repelita IV masih dinyatakan daerah rawan, dari penelitian terakhir dinyatakan bahwa sejak tahun 1991/92 masalah kebutaan akibat kekurangan vitamin A pada balita tidak lagi merupakan masalah kesehatan masyarakat. Artinya di masa yang akan datang apabila keadaan gizi dapat dipertahankan seperti keadaannya dalam lima tahun terakhir ini, maka penderita kebutaan akibat keadaan gizi yang kurang baik, jumlahnya makin sedikit; bahkan mungkin hilang sama sekali. Dalam hal masalah kekurangan iodium dan anemia gizi besi, dalam lima tahun terakhir ini (1988/89-1992/93) prevalensi Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI) dan Anemia Gizi juga menurun terutama di daerah-daerah yang prevalensinya tinggi.

Dengan adanya perbaikan keadaan gizi masyarakat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa upaya untuk mempertahankan swasembada beras

VII/42

dan penganekaragaman pangan yang telah menunjukkan hasilnya dalam 5 tahun terakhir (1988/89-1992/93), juga telah menunjukkan dampaknya secara nyata bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Kegiatan program gizi masyarakat yang dilaksanakan untuk menanggulangi berbagai masalah gizi tersebut di atas meliputi 5 kegiatan yaitu: (1) Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK), (2) Penanggulangan Kekurangan Vitamin A (KVA), (3) Penanggulangan Gangguan Akibat Ke-kurangan Zat Iodium (GAKI), (4) Penanggulangan Anemia Gizi, (5) Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG), dan (6) Pengembangan Gizi Institusi.

1. Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK)

Kegiatan UPGK dirintis dalam Repelita I dan merupakan kegiatan lintas sektor yang pada mulanya terbatas antara sektor-sektor pertanian, kesehatan dan pendidikan. Tujuan utamanya adalah mendorong masyarakat untuk dapat mencukupi kebutuhan gizinya melalui pemanfaatan aneka ragam pangan sesuai dengan kemampuan dan keadaan lingkungan setempat. Di samping itu melalui kegiatan UPGK diusahakan agar terjadi perubahan dalam pola konsumsi pangan keluarga bersamaan dengan adanya perubahan sikap dan perilaku hidup yang makin sehat. Adapun kegiatannya masa Repelita I dan Repelita II masih ditekankan pada penyuluhan pertanian dan gizi yang orientasinya lebih berat pada cara-cara menyediakan pangan keluarga dengan swadaya dan kemandirian tanpa memperhitungkan kemampuan ekonomi keluarga dan keadaan sosial keluarga pada umumnya.

Pada akhir Repelita II diadakan evaluasi tentang efektivitas UPGK. Atas dasar hasil evaluasi tersebut dalam Repelita III dan seterusnya, orientasi kegiatan UPGK lebih diarahkan pada kelompok sasaran yang lebih jelas, yaitu kelompok keluarga petani kecil dan buruh tani dan golongan masyarakat kurang mampu lainnya. Sedang kegiatannya tetap dilaksanakan dalam bentuk penyuluhan gizi tetapi dengan orientasi yang lebih luas dengan teknik-teknik komunikasi yang lebih efektif. Untuk itu kegiatan penyuluhan gizi selain dikaitkan dengan penyuluhan pertanian pangan, juga dikaitkan dengan pelayanan kesehatan dasar, air bersih, keluarga berencana, pendidikan di luar sekolah, dan sebagainya.

VII/43

Dalam Repelita III sebagai salah satu kegiatan UPGK dirintis pendirian "Taman Gizi" di sejumlah desa sebagai tempat penyuluhan gizi yang lebih intensif untuk ibu-ibu yang mempunyai anak balita. Dalam taman gizi ini dimulai penyuluhan gizi yang disertai penimbangan berat badan balita dan pemberian makanan tambahan bagi anak yang kekurangan kalori dan protein. Kegiatan tersebut dilaksanakan dengan swadaya masyarakat desa yang dipelopori oleh PKK dan dibantu oleh petugas-petugas gizi daerah.

Dengan orientasi baru tersebut pada akhir Repelita IV (1988/89) jumlah desa yang melaksanakan UPGK terus meluas mencakup lebih dari 50.000 desa di 298 kabupaten dari semua propinsi.

Dalam Repelita IV kegiatan taman gizi di sejumlah desa dikenal sebagai "pos penimbangan" anak balita. Kegiatan ini menjadi bagian dari kegiatan bersama antara UPGK dan PKK. Di samping pos penimbangan, kegiatan beberapa pos pelayanan lain juga tumbuh dan berkembang di pedesaan. Pos-pos tersebut antara lain adalah Pos Keluarga Berencana dan Pos Imunisasi, yang kelompok sasarannya sama, yaitu ibu hamil, ibu menyusui dan balita. Agar lebih efisien dan efektif, berbagai pos tersebut dipadukan pelayanannya ke dalam suatu pos pelayanan terpadu yang kemudian dikenal dengan Posyandu.

Sejak tahun 1989/90 kegiatan-kegiatan UPGK lebih diperluas, meliputi: (a) penyuluhan gizi masyarakat, (b) pelayanan gizi melalui Posyandu, dan (c) peningkatan pemanfaatan tanaman pekarangan.

a. Penyuluhan Gizi Masyarakat

Penyuluhan gizi masyarakat bertujuan untuk mendorong berlangsungnya proses perkembangan pengetahuan, sikap dan perilaku yang lebih sehat agar makin meningkat penghayatan mengenai kegunaan dan pemanfaatan berbagai jenis makanan serta pemanfaatan pelayanan gizi. Dengan kegiatan ini masyarakat antara lain diharapkan: (a) lebih dapat memanfaatkan jenis makanan produksi setempat, (b) lebih memahami penganekaragaman pola makanan, (c) lebih terampil dalam meningkatkan nilai tambah berbagai jenis pangan melalui proses pengolahan dan

VII/44

pengawetan makanan, dan (d) lebih memahami manfaat Posyandu bagi kesehatan anak dan ibu.

Dalam Repelita I ,dan Repelita II penyuluhan gizi baru dilakukan di desa percontohan UPGK yang meliputi 1.582 desa di 39 kabupaten dari 8 propinsi di Jawa (kecuali DKI), Bali, Nusa Tenggara Barat, Sumatera Utara dan Sumatera Selatan. Sejak Repelita III kegiatan ini sudah mencakup semua propinsi dengan jumlah desa, kecamatan dan kabupaten yang terus meningkat. Pada tahun keempat Repelita V (1992/93) secara kumulatif jumlah desa dan kabupaten yang dicakup dalam kegiatan penyuluhan gizi ini mencapai lebih dari 61,7 ribu desa, dari 3.680 kecamatan dan 301 kabupaten dan kotamadya. Dengan demikian jumlah desa yang dicakup meningkat sekitar 40 kali lipat dari keadaan pada akhir Repelita I (Tabel VII-12).

Sejak tahun 1988/89 berbagai teknik penyuluhan gizi disempurnakan agar lebih efektif. Salah satu pendekatan, dikenal sebagai “pemasaran sosial", yang telah dicoba di beberapa daerah sejak tahun 1989/90, terus dilanjutkan dan diperluas pemanfaatannya secara nasional, terutama melalui media televisi. Pelaksanaannya bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat. Dengan pendekatan pemasaran sosial, penyuluhan gizi dibuat lebih dinamis, kreatif dan menarik dengan prinsip pemasaran seolah-olah peningkatan gizi merupakan komoditi dagang. Beberapa pesan gizi seperti pentingnya sayur hijau-bagi kesehatan, tentang pelayanan gizi di Posyandu dan lain-lain di "pasarkan" melalui "iklan-iklan" radio dan selingan acara televisi.

Pesan gizi lain yang penyebarluasannya bersifat nasional dan mendapat perhatian besar adalah tentang peningkatan penggunaan air susu ibu (PP-ASI) yang dicanangkan oleh Presiden Suharto sebagai gerakan PP-ASI pada hari ibu tanggal 22 Desember 1990. Sejak itu berbagai pihak, baik Pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat, secara terpadu "memasarkan" PP-ASI, termasuk para Menteri Kabinet Pembangunan V.

Pesan gizi tentang pentingnya pemanfaatan pekarangan sebagai sumber untuk peningkatan mutu gizi makanan keluarga juga dicanangkan sebagai gerakan nasional oleh Presiden Suharto pada puncak peringatan hari Pangan Sedunia tanggal 16 Oktober 1992 yang diadakan di desa Merce, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat.

VII/45

TABEL VII – 121)

KEGIATAN USAHA PERBAIKAN GIZI KELUARGA,1968 – 1992/93

1) Angka kumulatif sejak Repelita I2) Angka diperbaiki3) Angka sementara sampai dengan Desember 1992

VII/46

GRAFIK VII – 3KEGIATAN USAHA PERBAIKAN GIZI KELUARGA,

1968 – 1992/93

VII/47

b. Pelayanan Gizi Melalui Posyandu

Seperti diuraikan di muka, pelayanan gizi di Posyandu adalah kelanjutan dan perkembangan dari kegiatan UPGK di taman gizi dan pos-pos penimbangan balita di sejumlah desa UPGK yang dirintis dalam Repelita III. Dalam Repelita IV, kegiatan taman gizi dan pos penimbangan dipadukan dengan kegiatan dari pos-pos lain sehingga menjadi suatu pos pelayan terpadu yang dikenal sebagai Posyandu. Apabila dalam taman gizi dan pos penimbangan kegiatannya terbatas pada penyuluhan gizi bagi ibu-ibu yang sedang mengandung atau mempunyai anak balita, yang disertai penimbangan balita dan pemberian makanan tambahan, maka di posyandu kegiatan-kegiatan tersebut dilengkapi lagi. dengan pelayanan lainnya, seperti imunisasi, pemeriksaan kehamilan dan kesehatan ibu dan anak, penyuluhan kesehatan masyarakat dan keluarga berencana. Penyelenggaraannya tetap alas prakarsa dan peran serta masyarakat desa setempat, terutama PKK yang didukung oleh petugas teknis dari Puskesmas, termasuk petugas gizinya.

Pelayanan gizi di posyandu bertujuan untuk lebih memfokuskan sasaran upaya perbaikan gizi, yaitu ibu yang mengandung, ibu yang menyusui dan anak balita. Pelayanan. gizi yang diberikan adalah: (1) pemantauan pertumbuhan fisik anak balita dengan penimbangan bulanan, (2) penyuluhan dan motivasi agar ibu mau memberikan ASI pada bayi dan pem-berian makanan tambahan (PMT), (3) pemberian suplementasi vitamin A pada bayi, pemberian suplementasi pil besi untuk ibu yang mengandung dan pemberian paket oralit untuk dipakai di rumah apabila ada anggota keluarga yang diare. Seperti disebutkan di muka, pelayanan ini dipadukan dengan -

pelayanan-pelayanan lain sehingga dampaknya bagi kesehatan ibu dan anak menjadi sangat nyata.

Khusus untuk pelayanan pemberian makanan tambahan, sejak tahun 1988/89 kegiatan ini dikaitkan dengan kegiatan peningkatan pemanfaatan pekarangan yang dikelola oleh petugas penyuluh pertanian lapangan bersama PKK. Prinsip dasar yang dianut oleh UPGK dalam penyuluhan gizi, termasuk pemberian makanan tambahan, adalah sejauh mungkin memanfaatkan bahan pangan setempat atau yang ada di desa dan terjangkau oleh daya beli rakyat banyak.

VII/48

Fungsi Posyandu menjadi lebih efektif setelah dibentuk dan dikembangkannya Dasawisma sejak tahun 1989/90, yaitu unit pelayanan terkecil dalam lingkungan PKK yang terdiri dari 10-20 keluarga. Dengan Dasawisma ini setiap ibu yang mengandung dan setiap anak balita yang ada di desa dapat dijangkau oleh pelayanan Posyandu.

Sejak dirintisnya Posyandu dalam bentuk taman gizi dan pos penimbangan serta pos-pos lainnya dalam Repelita III, maka jumlah Posyandu terus meningkat dari sekitar 25.000 Posyandu pada akhir Repe- lita III menjadi kurang lebih 241.000 pada tahun keempat Repelita V. Berarti bahwa pada tahun 1992/93 di setiap desa rata-rata terdapat 4 Posyandu.

Dengan pelayanan gizi di Posyandu yang kemudian didukung oleh Dasawisma, maka upaya untuk memantau dan meningkatkan keadaan gizi masyarakat khususnya keadaan gizi ibu dan anak di hampir semua desa, termasuk yang terpencil, dapat dilaksanakan dengan lebih baik meskipun masih perlu terus ditingkatkan mutu pelayanannya. Dengan demikian Posyandu terbukti telah mampu menjadi salah satu bentuk prasarana pelayanan sosial di desa yang dapat diandalkan kelestariannya oleh karena Posyandu merupakan suatu lembaga swadaya masyarakat yang dibentuk dari dan untuk masyarakat. Kelestarian upaya untuk memperbaiki keadaan gizi masyarakat pedesaan memerlukan lembaga semacam Posyandu.

c. Peningkatan Pemanfaatan Tanaman Pekarangan

Kegiatan pemanfaatan tanaman pekarangan sebagai bagian dari kegiatan UPGK pernah digalakkan dalam Repelita I sampai dengan Repe- lita III namun hasilnya waktu itu kurang memadai. Oleh karena itu sejak tahun 1989/90 kegiatan ini digalakkan kembali dengan tujuan untuk menunjang program diversifikasi pangan dan membantu meningkatkan pendapatan keluarga petani, terutama petani kecil. Selain merupakan bagian dari program penanggulangan kemiskinan, kegiatan ini juga mendukung kegiatan pelayanan gizi di Posyandu melalui pemberian makanan tambahan (PMT) kepada anak balita dengan bahan yang dikumpulkan dari hasil pekarangan.

VII/49

Pelaksanaan kegiatan pemanfaatan tanaman pekarangan merupakan kegiatan lintas sektor yang dilaksanakan secara terpadu, oleh para Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL), kelompok wanita tani, anggota PKK dan kader kesehatan, berupa bimbingan penyuluhan dan bantuan terbatas dalam pembudidayaan tanaman pekarangan. Dalam program diversifikasi pangan ditekankan pendayagunaan bahan makanan setempat.

Kegiatan ini pada tahun 1989/90 telah dilakukan di 1.000 desa di 5 propinsi, yaitu di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Selanjutnya pada tahun yang sama Departemen Pertanian telah melaksanakan antara lain: pengadaan bibit buah-buahan dan benih sayuran untuk pekarangan di desa UPGK. Pada tahun 1991/92 pelaksanaan kegiatan pemanfaatan tanaman pekarangan dilakukan di 17 propinsi dengan melibatkan lebih dari 800 kelompok tani. Pada tahun 1992/93, tahun keempat Repelita V, cakupan kegiatan ini meningkat sehingga meliputi 23 propinsi dengan mengikutsertakan 1.100 kelompok tani yang terbentuk dari 34.000 KK sasaran.

Pada puncak Hari Pangan Sedunia tanggal 16 Oktober 1992, Presiden Suharto mencanangkan gerakan pemanfaatan tanaman pekarangan sebagai upaya untuk meningkatkan mutu gizi makanan keluarga, juga untuk meningkatkan pendapatan petani, dan untuk melestarikan lingkungan hidup.

2. Penanggulangan Kekurangan Vitamin A

Upaya pencegahan dan penanggulangan kekurangan vitamin A bertujuan untuk menanggulangi kebutaan akibat kekurangan vitamin A, terutama pada anak balita. Di samping itu upaya ini juga diperlukan untuk meningkatkan daya tahan tubuh anak terhadap berbagai penyakit infeksi yang kadang-kadang dapat mematikan. Pelaksanaannya dilakukan dengan cara pemberian kapsul vitamin A dan penyuluhan gizi untuk meningkatkan konsumsi makanan yang kaya vitamin A dengan didukung upaya fortifikasi makanan yang paling sexing dikonsumsi oleh masyarakat.

Pemberian kapsul Vitamin A dosis tinggi pada anak balita melalui Puskesmas dan Posyandu, telah dirintis sejak Repelita I. Pada akhir Repe- lita I telah didistribusikan kapsul vitamin A dosis tinggi kepada 83 ribu anak

VII/50

balita. Jumlah ini meningkat dengan cepat sehingga pada akhir Repelita III 11 juta anak balita yang tersebar di 27 propinsi telah dicakup dalam program ini.

Sejak tahun 1988/89 sampai tahun 1992/93 setiap tahunnya dibagikan rata-rata 14,8 juta kapsul vitamin A kepada kurang lebih 7,4 juta anak balita yang diberi dua kali satu kapsul setiap tahunnya (Tabel VII-13). Sejalan dengan itu UPGK juga menggalakkan pemanfaatan tanaman pe-karangan berupa sayuran dan buah-buahan sebagai sumber utama vitamin A bagi keluarga khususnya yang bermukim di pedesaan.

Dari berbagai penelitian yang dilakukan pada tahun 1991/92, tahun ketiga Repelita V, dapat diketahui bahwa angka kebutaan akibat kekurangan Vitamin A di Indonesia menurun dengan cukup berarti. Hasil penelitian di Kawasan Timur Indonesia pada tahun 1991 memperlihatkan bahwa di 3 dari 4 propinsi yang diteliti kebutaan akibat kekurangan Vitamin A bukan lagi merupakan masalah kesehatan masyarakat. Artinya di masa yang akan datang tidak lagi banyak anak yang hams menjadi tuna netra oleh karena kekurangan vitamin A.

3. Penanggulangan Gangguan Akibat Kekurangan Indium (GAKI) dan Anemia Gizi

Untuk pencegahan dan penanggulangan masalah kekurangan iodium, sejak Repelita II dilaksanakan dua jenis intervensi, yaitu kegiatan iodisasi garam bagi daerah rawan dan suntikan preparat iodium kepada penderita kekurangan iodium. Sejak tahun 1988/89 kegiatan iodisasi garam diserahkan pelaksanaannya kepada Pemerintah Daerah dan masyarakat setempat khususnya para pengusaha garam rakyat. Sementara itu penyuntikan preparat iodium kepada penderita lebih digiatkan sehingga sejak tahun 1988/89 sampai 1991/92 setiap tahunnya diberikan suntikan kepada sekitar 0,5 juta sampai 2,2 juta orang penderita. Hasil evaluasi tentang efektivitas suntikan preparat iodium yang diadakan dalam tahun-tahun 1989/90-1991/92 menunjukkan bahwa cara suntikan tersebut perlu diganti dengan teknologi baru. Oleh karena itu sejak tahun 1992/93 mulai dicoba cara baru tersebut dengan pemberian kapsul iodium kepada sekitar 10 juta penderita. Cara ini dianggap lebih murah dan lebih efektif karena distribusinya dapat dilakukan

VII/51

TABEL VII – 131)

PELAKSANAAN PENCEGAHAN GONDOK ENDEMIK DAN ANEMIA GIZI,1968 – 1992/93

1) Angka kumulatif lima tahunan untuk setiap kolom yang bertuliskan Akhir Repelita, yang lain adalah angka tahunan2) Angka diperbaiki3) Angka sementara sampai dengan Desember 19924) Mulai tahun 1992/93 penyuntikan Lipiodol diganti dengan pemberian kapsul Iodium.

VII/52

GRAFIK VII – 4PELAKSANAAN PENCEGAHAN GONDOK ENDEMIK DAN ANEMIA GIZI,

1968 – 1992/93

VII/53

melalui Posyandu. Selain itu juga dilakukan percobaan iodisasi air minum di pedesaan rawan GAKI.

Dengan kegiatan-kegiatan penanggulangan yang intensif tersebut prevalensi gondok endemik sejak Repelita III tampak cenderung menurun. Penurunan tersebut dapat dilihat antara lain dari prevalensi gondok endemik pada anak sekolah dasar di daerah-daerah rawan gondok, yaitu dari 37,2% pada akhir Repelita III menurun menjadi 23,2% pada tahun 1988/89 dan diperkirakan akan lebih menurun lagi pada akhir Repelita V.

Upaya pencegahan dan penanggulangan anemia gizi yang dilaksanakan sejak tahun 1988/89 sampai dengan tahun 1992/93 merupakan peningkatan cakupan dan mutu dari kegiatan tahun-tahun sebelumnya, yaitu dengan pemberian tablet besi pada ibu hamil yang diberikan melalui Puskesmas dan Posyandu.

Sejak Repelita II untuk penanggulangan anemia gizi besi, selain dilakukan penyuluhan gizi juga digalakkan pemberian pil besi kepada ibu hamil. Dalam lima tahun terakhir ini sampai dengan tahun keempat Repe- lita V, jumlah ibu hamil yang memperoleh pil besi berjumlah antara 1,2 juta sampai 2,5 juta orang setiap tahunnya.

Seperti halnya dalam Repelita I sampai dengan Repelita IV kegiatan ini didukung dengan penyuluhan gizi khususnya mengenai pemanfaatan bahan makanan yang kaya akan zat besi dengan pendekatan pemasaran sosial.

4. Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG)

Tujuan Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi lebih diarahkan kepada dua hal pokok. Pertama, untuk mengembangkan Sistem Isyarat Dini dan Intervensi (SIDI), khususnya di daerah-daerah rawan dan penduduknya berpenghasilan rendah. Kedua, untuk mengembangkan sistem informasi gizi yang mencakup antara lain pemantauan berkala keadaan gizi anak balita di setiap kota dan desa.

Pengembangan SIDI dimaksudkan untuk memantau perubahan potensi produksi dan persediaan pangan sumber energi (makanan pokok) di

VII/54

tingkat pedesaan. Dengan pemantauan tersebut setiap ada perubahan ke arah penurunan produksi dan penurunan persediaan pangan di tingkat keluarga dan atau di pasar dapat segera diketahui sebelum keadaan menjadi parah. Di samping itu SIDI juga mengembangkan metodologi pengamatan terus menerus perubahan pola konsumsi makanan pokok penduduk, terutama dalam keluarga tidak mampu. Dengan adanya SIDI pemerintah daerah memiliki suatu cara sederhana untuk mengetahui situasi pangan dan keadaan gizi penduduknya, sehingga dapat segera mengambil tindakan intervensi setiap kali terjadi perubahan yang dapat membawa dampak negatif terhadap keadaan gizi rakyat.

Pada awal Repelita III kegiatan SKPG terbatas pada pelaksanaan SIDI dan hanya dilaksanakan di daerah pemanduan di 5 propinsi di Jawa Timur, Jawa Tengah, NTB, NTT, dan Sulawesi Selatan. Dalam Repelita IV SKPG dikembangkan di 7 propinsi lainnya sehingga terlaksanakan di 12 propinsi. Propinsi-propinsi yang dipilih adalah propinsi yang diduga akan mengalami masalah rawan pangan dalam masa-masa tertentu.

Oleh karena keadaan pangan dan lingkungan sosial ekonomi penduduk umumnya makin bertambah baik, maka pendekatan SKPG mulai tahun 1988/89 disesuaikan dengan perkembangan dan keadaan setempat. Propinsi-propinsi yang nampaknya berhasil dalam meningkatkan produksi pangan dan pendapatan penduduk, kegiatan SIDI dialihkan pada kegiatan Pemantauan Status Gizi (PSG). Namun demikian apabila terjadi rawan pangan seperti terjadi pada tahun 1991/92 di sejumlah propinsi, maka kegiatan SIDI diaktifkan kembali. Hasil dari pemantauan ini digunakan sebagai salah satu dasar penentuan prioritas dalam penanggulangan akibat musim kemarau panjang, seperti dalam penyediaan bantuan pangan dan bantuan obat-obatan, pelaksanaan proyek padat karya dan sebagainya, yang dilaksanakan oleh berbagai sektor instansi.

Sementara itu, pemantauan status gizi anak balita yang diintegrasikan dengan kegiatan Survai Sosial Ekonomi (SUSENAS) sejak tahun 1986 telah menghasilkan informasi tentang perkembangan keadaan gizi anak balita untuk tahun 1986, 1987 dan 1989. Sedangkan untuk tahun 1992/93 hasil pemantauan masih dalam pengolahan.

VII/55

Pada tahun 1986/87 melalui kegiatan PSG juga dirintis pengukuran tinggi badan anak yang baru masuk sekolah dasar di 3.540 SD di Sumatera Barat, Jawa Tengah dan NTB, yang mencakup lebih dari 86.000 anak kelas satu SD. Hasil pengukuran dan analisa kegiatan ini terus dikaji dan dikembangkan untuk dapat dipergunakan sebagai salah satu indikator perkembangan mutu anak-anak sekolah.

Demikian pula dalam 5 tahun terakhir (1988/89-1992/93) dilanjutkan pemantauan status gizi anak balita yang dilaksanakan di daerah-daerah, mulai dari tingkat kecamatan, kabupaten dan propinsi untuk memantau dan mengkaji hasil perkembangan balita yang dilakukan setiap bulan di setiap Posyandu. Hasil kajian tersebut dimanfaatkan untuk menyusun rencana kegiatan Posyandu di daerah masing-masing.

5. Usaha Perbaikan Gizi Institusi

Tujuan usaha ini adalah mendorong pimpinan institusi pemerintah dan Swasta, seperti: pabrik, perusahaan, rumah sakit, lembaga pemasyarakatan, panti asuhan, panti werdha, asrama pelajar dan mahasiswa, institusi pendidikan dan olahraga dan sebagainya, agar memberikan perhatian yang lebih besar terhadap peningkatan keadaan gizi di lingkungan masing-masing dalam rangka meningkatkan prestasi dan produktivitas kerja warganya.

Sejak tahun 1988/89 sampai dengan tahun keempat Repelita V telah dilakukan pelatihan bagi petugas beberapa institusi tersebut, antara lain pelatihan gizi untuk tenaga kerja, para petugas rumah sakit, para pengelola usaha jasa boga, pengelola pusat-pusat olahraga dan lain-lainnya di berbagai daerah.

Beberapa institusi yang telah memperoleh pembinaan dan pelatihan untuk para karyawan atau pengurusnya antara lain adalah Departemen Tenaga Kerja yang bertugas mengawasi pabrik dan perusahaan di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Kalimantan Timur. Kemudian para petugas gizi dan perawat di beberapa Rumah Sakit di Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Barat dan Kalimantan Timur, serta para . petugas panti-panti sosial di Jawa Tengah dan NTB.

VII/56

Sementara itu kegiatan Pemberian Makanan Tambahan (PMT) di sekolah dasar terpencil dan miskin, yang dimulai pada tahun 1990/91, terus dilanjutkan dan dikembangkan sehingga pada tahun 1992/93 telah mencakup lebih dari 22 ribu anak sekolah di 114 buah SD di 6 propinsi, yaitu Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB, NTT, Irian Jaya dan Maluku. Pengelolaan PMT SD terpencil ini dilaksanakan oleh PKK dan orang tua murid setempat, bekerja sama dengan pemerintah daerah.

6. Penelitian, Ketenagaan dan Kelembagaan Gizi

Langkah-langkah kebijaksanaan untuk menentukan arah dan perencanaan program gizi, didasari oleh hasil berbagai penelitian, survai, dan studi di bidang gizi. Selama Repelita II sampai dengan tahun keempat Repelita V telah dilaksanakan penelitian-penelitian, antara lain: Studi Evaluasi Pemantauan Status Gizi (PSG) di beberapa propinsi, Studi Kelayakan Iodisasi Air di Beberapa Desa Kekurangan Iodium di Indonesia, Studi mengenai Kebutuhan Informasi Untuk Pengelolaan UPGK, Studi mengenai Komposisi Zat Gizi dari Bahan Makanan, Studi mengenai Peningkatan Sadar Gizi Masyarakat Melalui Program Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah, Studi mengenai Masalah Kekurangan gizi khususnya di Kawasan Timur Indonesia, Studi Pemasaran Sosial dari Makanan Sumber Vitamin A dan Studi Prevalensi Gangguan Akibat Kekurangan Iodium.

Dalam rangka mengembangkan ketenagaan dan kelembagaan gizi sejak tahun 1988/89 sampai dengan tahun keempat Repelita V dilanjutkan pengembangan lembaga-lembaga pendidikan tenaga gizi untuk semua jenjang (DO sampai S3). Sampai dengan Repelita III baru terdapat satu buah Akademi Gizi di Jakarta, yang setiap tahunnya meluluskan sekitar 40 orang tenaga gizi, dan 6 buah Sekolah Pembantu Ahli Gizi (SPAG) yang setiap tahunnya menghasilkan sekitar 240 orang lulusan. Dalam Repelita IV, sejalan dengan meningkatnya program gizi, lembaga-lembaga pendidikan tersebut diperluas ke daerah-daerah sehingga pada tahun 1992/93 telah terdapat 13 buah Akademi Gizi yang tersebar di 13 propinsi; sebagian dari padanya merupakan peningkatan dari SPAG menjadi Akademi Gizi. Selain itu sejak akhir Repelita IV diadakan penyesuaian kurikulum dan program studi di Fakul tas Kedokteran dan Fakul tas Kesehatan Masyarakat

VII/57

Universitas Indonesia, serta Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, sehingga sejak itu dapat dilaksanakan pendidikan tenaga gizi untuk jenjang Si sampai S3 di bidang gizi. Dengan peningkatan upaya-upaya tersebut sejak Repelita I sampai dengan tahun keempat Repelita V tercatat sebanyak kurang lebih 2.000 orang lulusan Akademi Gizi dan kurang lebih 3.800 orang lulusan SPAG setingkat D1. Sementara itu sudah diluluskan tenaga gizi lebih dari 200 orang setingkat S1 dan S2 dan sebanyak 21 orang lulusan S3 dari berbagai perguruan tinggi di dalam dan di luar negeri.

VII/58